PERKEMBANGAN DAN DAYA SAING EKSPOR MEUBEL KAYU INDONESIA Tulus Tambunan Kadin Indonesia-JETRO Agustus 2006 I. Perkembangan Ekspor dan Permasalahan Per definisi, perkembangan nilai ekspor ditentukan oleh kombinasi dari perkembangan harga dan perkembangan volume. Perkembangan harga dan perkembangan volume tersebut, pada gilirannya, ditentukan masing-masing oleh sejumlah faktor yang berbeda. Indonesia sebagai negara kecil di pasar global untuk hampir semua produk ekspor, artinya Indonesia adalah price taker, maka perkembangan harga adalah faktor eksogen bagi Indonesia. Sedangkan perkembangan volume ditentukan oleh faktor-faktor dari sisi suplai domestik. Semakin besar supply bottleneck di suatu negara semakin sulit negara tersebut untuk meningkatkan produksi dan ekspor. Masalah serius yang selalu dihadapi Indonesia dalam ekspor adalah supply bottleneck, sehingga biasanya kenaikan nilai ekspor Indonesia lebih sering disebabkan oleh kenaikan harga di pasar dunia dibanding kenaikan volume ekspor. Data Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa nilai ekspor Januari 2006 termasuk migas dan tanpa migas bernilai masing-masing 7,56 miliar dan 5,73 miliar dollar AS, sedangkan impor masing-masing bernilai 4,39 dan 3,18 miliar dollar AS. Dengan demikian neraca perdagangan luar negeri Indonesia untuk Januari 2006 termasuk dan tanpa migas mengalami surplus masing-masing 3,17 miliar dan 2,55 miliar dollar AS. Dibandingkan nilai ekspor Januari 2005, nilai ekspor dengan dan tanpa migas meningkat masing-masing 23,26% dan 16,83%. Peningkatan nilai ekspor tersebut terutama disebabkan oleh meningkatnya nilai ekspor hasil sektor tambang dari 0,44 miliar menjadi 0,97 miliar dollar AS. Sedangkan data ekspor Mei 2006 menunjukkan bahwa nilai ekspor pada bulan itu mencatat angka bulanan tertinggi sepanjang sejarah, yakni mencapai 8,34 miliar dollar AS atau naik sekitar 9,79% dibandingkan nilai ekspor April 2006. Sementara itu nilai kumulatif ekspor selama Januari-Mei mencapai 38,39 miliar dollar AS atau meningkat 13,40% dari periode yang sama 2005. Dari peningkatan ini, nilai ekspor non-migas naik 10,52% dan nilai ekspor migas naik 7,22% dari April. Menurut keterangan BPS (Kompas, Selasa, 4 Juli 2006, hal.17), kenaikan nilai ekspor Mei lebih banyak disebabkan oleh kenaikan ekspor dari sektor pertambangan khususnya bijih, kerak, dan abu logam. Nilai ekspor dari produk-produk tersebut meningkat 113 juta dollar AS dibandingkan nilai ekspor April. Secara umum, tingginya nilai ekspor Mei 2006 tersebut disebabkan oleh meningkatnya harga dari banyak komoditi seperti minyak sawit mentah (CPO), karet dan batu bara, dan juga harga minyak mentah di pasar dunia masih cukup tinggi. Dalam lima bulan terakhir, karet bernilai ekspor sebesar 776 juta dollar AS, CPO bernilai 360 juta dollar, dan batu bara mencapai 800 juta dollar AS. Berdasarkan perkembangan ini, BPS memprediksi bahwa Kadin Indonesia-Jetro, 2006
1
www.kadin-indonesia.or.id
total ekspor Indonesia sepanjang 2006 bisa mencapai 100 miliar dollar AS jika perekonomian dunia kondusif dan permintaan dunia terhadap produk-produk ekspor Indonesia tetap tinggi (Kompas, Selasa, 4 Juli 2006, hal.17). Jika dilihat dari tahun 2000, nilai ekspor total (migas dan non-migas) sempat mengalami penurunan dari sekitar 65,4 juta dollar AS tahun 2000 ke 57,4 juta dollar tahun 2001, dan setelah itu mengalami peningkatan terus hingga saat ini. Oleh karena nilai surplus neraca perdagangan luar negeri juga sempat mengalami penurunan dalam periode yang sama dari sekitar 25 juta dollar AS ke 22,7 juta dollar AS (Gambar 1). Jika perkiraan BPS tersebut memang terwujud, dan pertumbuhan impor relatif stabil, maka surplus neraca perdagangan Indonesia bisa meningkat pada akhir 2006. Gambar 1: Tren Perkembangan Neraca Perdagangan Luar Negeri (NP), ekspor (X) dan impor (M) Indonesia, 2000-2005 (juta dollar AS). 100000 90000 80000 70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0
NP X M
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Sumber: BPS.
Selama ini pemerintah telah banyak berusaha untuk meningkatkan daya saing ekspor Indonesia, termasuk terakhir ini memutuskan mempercepat proses pembentukan Badan Ekspor Impor Indonesia, dengan embrionya Bank Ekspor Indonesia (BEI). Namun demikian, efektivitas dari segala langkah yang dilakukan pemerintah selama ini untuk menggenjot ekspor sangat tergantung pada apakah langkah-langkah tersebut tepat mengenai permasalahan yang dihadapi para eksportir Indonesia pada umumnya selama ini. Menurut penelitian Bank Dunia (2004), pertumbuhan ekspor yang lambat terutama disebabkan oleh empat faktor. Pertama, daya saing biaya (cost competitiveness) yang merosot akibat apresiasi rupiah dan inflasi yang lebih tinggi ketimbang inflasi di mitra perdagangannya yang paling penting, misalnya Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE). Selain itu, menurut perkiraan Lembaga Moneter Dunia (IMF), biaya satuan pekerja di Indonesia kini 35% lebih tinggi ketimbang sebelum krisis ekonomi 1997/98. Daya saing biaya dari industri-industri manufaktur Indonesia juga disebabkan oleh biaya transaksi domestik yang besar di Indonesia. Selama periode 2001-02 tingkat harga umum di Indonesia telah meningkat dengan 24%, yang disebabkan oleh kenaikan tarif listrik (102%), bahan bakar minyak/BBM (52%) , minyak diesel (159%), air (27%) dan transport (32%) (James, Ray & Minor, 2003). Sedangkan, kenaikan harga BBM pada paruh kedua 2005 telah mengakibatkan kenaikan tajam dalam laju inflasi sebesar dua digit (Thee, 2006). Semua ini membuat biaya produksi dari barang-barang ekspor Indonesia menjadi lebih tinggi dibandingkan di negara-negara lain. Dengan tingkat produktivitas Indonesia yang relatif rendah yang Kadin Indonesia-Jetro, 2006
2
www.kadin-indonesia.or.id
tidak mengkompensasi kenaikan biaya produksi, membuat tingkat daya saing harga dari produk-produk Indonesia di pasar global menurun relatif terhadap harga dari produk-produk yang sama dari negara-negara produsen lainnya. Kedua, investasi yang merosot. Iklim usaha Indonesia yang buruk menghambat pertumbuhan ekspor karena tidak bisa menarik investasi asing terutama investasi langsung (PMA) yang sebelum krisis justru merupakan pelaku utama dalam mendorong ekspor non-migas, termasuk hasil-hasil industri. Tiadanya investasi asing berarti juga tidak ada investasi baru yang saat ini sebenarnya sangat diperlukan untuk memperluas kapasitas produksi ekspor dan meningkatan mutu serta diversifikasi barang (product upgrading). Pengalaman Indonesia selama era orde baru dalam perkembangan ekspor non-migas terutama industri menunjukkan bahwa PMA sangat krusial bagi peningkatan ekspor Indonesia untuk hasil-hasil industri yang mengalami peningkatan yang signifikan selama periode 80-an hingga krisis terjadi. Lonjakan ekspor yang menakjubkan dari China untuk sebagian besar juga disebabkan oleh kegiatan berorientasi ekspor dari PMA. 1 Ketiga, persaingan internasional yang semakin tajam. China dan Vietnam merupakan pesaing yang kuat bagi Indonesia karena mereka bersaing dalam ekspor hasil-hasil industri padat karya yang sama dengan Indonesia, seperti tekstil, garmen, alas kaki, dan produk-produk dari kayu yang justru bertumbuh lebih pesat ketimbang ekspor Indonesia. Oleh karena ini Indonesia akhir-akhir ini kehilangan pangsa pasar dalam 30 ekspor non-migas, termasuk hasil-hasil industri, yang diraih oleh China dan Vietnam (Pangestu, 2005). Jika kondisi industri nasional yang buruk seperti sekarang ini dengan segala macam persoalannya tetap tidak berubah, tidak mustahil Indonesia akan kehilangan pangsa pasar globalnya untuk produk-produk industri yang selama ini menjadi andalan ekspor Indonesia seperti tekstil dan pakaian jadi (TPT), 2 sepatu dan produk-produk dari kayu. Berita dalam Kompas terbitan Rabu, 28 Juni 2006 (hal.17) menunjukkan bahwa industri kayu dan hasil hutan di Indonesia semakin buruk. Mengutip data BPS, produk kayu dan hasil hutan dalam tiga tahun terakhir ini terus mengalami pertumbuhan negatif. Tahun 2004 industri ini tercatat tumbuh minus 2,1%, tahun 2005 tumbuh minus 1,3%, lalu makin terperosok pada kuartal pertama 2006 menjadi minus 5,8%. Berdasarkan data Asosiasi Panel 1
Industri tekstil dan produk-produknya (TPT) sebagai contoh kasus yang sangat aktual. Menurut Aswicahyono dan Hill (2004), PMA di industri TPT Indonesia tidak dilakukan lagi sejak beberapa tahun terakhir ini, dan ini membuat kinerja ekspor industri TPT Indonesia semakin buruk dibandingkan pada era orde baru. PMA Jepang di industri TPT yang cukup dominan selama Orde Baru juga sangat merosot sesudah krisis ekonomi. Misalnya, selama empat tahun sebelum krisis perusahaan-perusahaan TPT Jepang menginvestasikan rata-rata US$ 119 juta setahun dalam industri TPT Indonesia. Akan tetapi selama 2003 dan 2004 investasi Jepang dalam industri ini hanya berjumlah rata-rata US$ 7 juta setahun. 2 Dalam kasus TPT, misalnya, beberapa studi memprediksi bahwa setelah penghapusan Persetujuan Multi-Serat (Multi-Fibre Agreement, MFA) pada akhir 2004, pangsa impor TPT China akan meningkat tajam dan memdominasi pasar domestik AS dan UE, sedangkan pangsa impor TPT dari Indonesia akan turun atau tetap kecil. Ini artinya, Indonesia menghadapi persaingan ketat dari TPT China tidak hanya di dalam negeri tetapi juga di pasar global. Namun demikian, kekuatiran Indonesia bahwa penghapusan MFA tersebut akan merugikan industri TPT Indonesia di pasar AS dan UE karena persaingan tajam dari TPT China ternyata belum terwujud. Pasalnya, baik AS dan UE telah mengintrodusir pembatasan kuota atas impor TPT China setelah hapusnya MFA. Hal ini membuka peluang bagi industri TPT Indonesia untuk tetap mempertahankan pangsa pasarnya di AS dan UE. Namun di pihak industri TPT Indonesia terdapat kekuatiran bahwa peluang ini kurang dapat dimanfaatkan industri TPT Indonesia karena berbagai masalah dan tantangan yang dihadapi industri ini di sisi pasokan, khususnya kenaikan yang lebih pesat dalam biaya produksi kedua industri ini ketimbang di negara-negara pesaing (Thee, 2006).
Kadin Indonesia-Jetro, 2006
3
www.kadin-indonesia.or.id
Kayu Indonesia (Apkindo), produksi panel kayu Indonesia yang pernah mencapai sekitar 7 juta meter kubik pada periode 1999-2000 juga merosot menjadi 3,5 juta meter kubik tahun 2005. Padahal, Malaysia diperkirakan masih memproduksi panel kayu hingga 4 juta meter kubik (Kompas, Rabu, 28 Juni 2006, hal.17). Dari 120 pabrik kayu lapis di Indonesia, pabrik yang sampai saat ini tercatat masih berproduksi dan mengekspor hasil produksinya tinggal 52 pabrik. Tetapi, pabrik-pabrik ini rata-rata berproduksi dengan kapasitas terpakai kurang dari 50% kapasitas normal. (Kompas, Rabu, 28 Juni 2006, hal.17). Ironisnya, industri kayu dan hasil hutan justru berkembang pesat di negara-negara kompetitor seperti China, Malaysia dan Vietnam yang tidak mempunyai bahan baku kayu sendiri. Ekspor mebel Indonesia tercatat 1,79 miliar dollar AS atau tumbuh rata-rata 0,088 miliar dollar AS per tahun dalam 8 tahun terakhir. Pada periode yang sama, ekspor meubel dari China tumbuh rata-rata 1,1 miliar dollar AS. China yang melarang penebangan kayu di negerinya mengekspor mebel senilai 14 miliar dollar AS tahun 2005. Namun banyak anggapan bawa industri kayu Indonesia bisa survive karena industri ini lebih mampu menyesuaikan diri dengan keadaan pasar dengan memperbaiki pengendalian mutu, disain yang lebih baik, kemampuan untuk memenuhi standar lingkungan internasional, dan pemasaran yasng lebih baik di pasaran internasional (Aswicahyono & Hill, 2004). Keempat, fasilitasi perdagangan yang lemah. Berbagai hambatan di pelabuhan dan prasarana fisik merupakan salah satu faktor pokok yang menambah biaya ekspor di Indonesia. Meskipun tarif penggunaan pelabuhan Indonesia relatif rendah, namun hampir semua ekspor Indonesia dalam kontainer disalurkan (transshipped) melalui Singapura atau Malaysia karena efisiensi pelabuhan Indonesia begitu rendah. Menurut suatu kajian mengenai efisiensi pelabuhan Indonesia, Terminal Container Internasional di Jakarta (Jakarta International Container Terminal, JICT), yang merupakan terminal utama di Tanjung Priok, pelabuhan Indonesia terbesar, adalah terminal yang paling tidak efisien di Asia Tenggara. Baik ditinjau dari produktivitas (jumlah kontainer yang bisa diangkat dalam satu jam) maupun biaya satuan (biaya mengangkat satu kontainer berisi berukuran 40 foot, JICT di Tanjung Priok adalah paling tidak efisien dibanding dengan pelabuhan-pelabuhan lain di Asia Tenggara, misalnya Singapura, dan Port Klang di Malaysia (Ray 2003). II. Perkembangan Ekspor Mebel Kayu II.1 Perdagangan Mebel Dunia Perdagangan mebel merupakan salah satu komponen penting di dalam perdagangan dunia untuk kategori produk-produk manufaktur, dan setiap tahun volume ekspornya tumbuh pesat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan per kapita dunia. Kedua faktor ini merupakan sumber utama pertumbuhan permintaan dunia terhadap mebel. Jika pada tahun 1997 nilai perdagangan mebel dunia tercatat sekitar 41 miliar dollar AS, pada tahun 2005 nilainya mencapai 80 miliar dollar AS (Gambar 2). Kadin Indonesia-Jetro, 2006
4
www.kadin-indonesia.or.id
Banyak negara yang terlibat dalam ekspor mebel dengan pangsa pasar dunia yang bervariasi; ada banyak negara yang pangsa ekspor mebelnya relatif kecil, dan ada beberapa yang posisinya sangat kuat. Berdasarkan nilai ekspor selama periode 1996-2004, 12 negara eksportir mebel terbesar di dunia dapat dilihat di Tabel 1. Ternyata, Indonesia berada pada posisi paling bawah, sedangkan China pada posisi ke dua setelah Italia. Pada tahun 2004, pangsa pasar dunia Italia mencapai 14,18%, sedangkan China hampir 13,70%. Disusul kemudian oleh Jerman, Polandia dan Kanada dengan pangsa pasar dunia masing-masing 8,43%, 6,38%, dan 5,77% (Gambar 3). Dalam periode 8 tahun tersebut nilai ekspor mebel China mengalami statu kenaikan yang signifikan yang tercatat sebesar US$ 8,8 miliar, atau rata-rata 1,1 miliar dollar AS/tahun, sementara Indonesia relatif sangat kecil hanya sekitar 0,088 miliar dollar AS/tahun. Gambar 2: Nilai Perdagangan Mebel Dunia (US$ Milyar) 80
76
80 64
70 60 47 50
54
50
51
43
41
40 30 20 10 0 1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Sumber: ASMINDO (2006) (data UN, Eurostat dan CSIL)
Tabel 1: 12 Negara Eksportir Mebel Terbesar di Dunia Periode 1996 – 2004 (US$ Juta) Periode 2000 2001
Negara
1996
Italia
8.521
China
1.294
1.818
2.189
2.705
3.560
3.953
5.350
7.278
10.133
Jerman
3.855
3.622
3.917
4.051
4.235
4.217
4.522
5.324
6.239
Polandia
1.542
1.707
1.847
1.883
2.103
2.383
2.752
3.691
4.722
Kanada
2.188
2.703
3.279
3.796
4.465
4.068
4.027
4.091
4.268
1997
1998
8.316 8.125
1999
7.967 8.318
8.078
2002
2003
8.324 9.272
2004 10.496
AS
Kadin Indonesia-Jetro, 2006
5
www.kadin-indonesia.or.id
1.993
2.306
2.426
2.380
2.826
2.403
2.138
2.351
2.648
Denmark
1.831
1.861
1.872
1.797
1.727
1.653
1.819
2.216
2.568
Perancis
1.823
1.753
2.026
2.030
2.055
1.865
1.882
2.127
2.362
Austria
854
872
911
1.019
1.032
1.229
1.380
1.782
1.936
Malaysia
1.095
1.180
1.088
1.361
1.552
1.344
1.452
1.577
1.851
Belgia
1.295
1.278
1.278
1.400
1.395
1.361
1.361
1.579
1.716
Indonesia 946 755 354 1.231 Sumber : ASMINDO (2006) (data UN, Eurostat dan CSIL)
1.508
1.414
1.502
1.558
1.651
Gambar 3: Negara Eksportir Terbesar Mebel di Dunia Tahun 2004 (%) Italia (14,18%) China (13,69%) Lainnya, 51,55% Jerman (8,43%)
Polandia (6,38%) Kanada,
(5,77%) Sumber : ASMINDO (data UN, Eurostat dan CSIL)
Data WTO terakhir menunjukkan bahwa pada tahun 2005 China telah menjadi eksportir mebel terbesar di dunia melampaui Italia dengan nilai ekspornya mencapai sekitar US$ 14 miliar, atau 18% dari total ekspor mebel. Sedangkan nilai ekspor mebel Indonesia pada tahun yang sama hanya US$1,79 miliar, atau hanya menguasai 2% dari pasar dunia mebel (Gambar 4). Melihat China sangat agresif dalam melakukan ekspor, tidak hanya mebel tetapi juga semua produk-produk lainnya yang diekspor, besar sekali kemungkinan bahwa nilai ekspor mebel China akan meningkat terus dalam laju yang semakin pesat dalam tahun-tahun ke depan ini. Dan, jika Indonesia tidak hati-hati, ekspansi mebel China di pasar dunia bisa membuat kerugian besar bagi Indonesia, dalam arti mebel Indonesia bisa sama sekali kehilangan pasar eksternalnya. Gambar 4: Nilai Ekspor Mebel Indonesia dan Negara-negara Pesaing di Asia, 2005 (US$ milyar) China,14,00 (18%)
Malaysia, 1,80 (2%) Indonesia 1,79 ( 2%) Vietnam, 1,61 (2%)
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 Lainnya, 60,80 , (76%)
6
www.kadin-indonesia.or.id
Sumber : ASMINDO (2006) (data UN, Eurostat dan CSIL).
II.2 Ekspor Mebel Kayu Indonesia Usaha mebel telah lama dikenal di Indonesia karena merupakan budaya turun temurun. Walaupun Indonesia memproduksi mebel dari berbagai bahan baku seperti kayu, rotan, besi dan plastik, produksi dan ekspor mebel kayu merupakan komponen terbesar dengan proporsi 75% (Gambar 5). 3 Memang sebagian masyarakat Indonesia sangat dikenal dalam hal ukir-ukiran kayu seperti di Jepara. Sentra-sentra industri mebel kayu berkembang pesat terutama di pulau Jawa, yaitu :untuk kayu di Semarang, Jepara, Solo dan Surabaya, sedangkan untuk rotan yang paling besar dan maju pesat terdapat di Cirebon. Gambar 5: Ekspor Mebel Indonesia Berdasarkan Bahan Baku (%) Bambu, logam Plastik & lainnya; 5 Rotan: 20
Kayu; 75
Sumber : ASMINDO (2006) (data BPS)
Khususnya sentra mebel di Jepara mendapat banyak perhatian dari masyarakat luas termasuk peneliti-peneliti asing karena keberhasilannya dalam ekspor. Misalnya, studi-studi dari Sandee, dkk. (2000), Berry dan Levys (1994), dan Schiller dan Martin-Schiller (1997) menunjukkan bahwa dengan bantuan dari pengunjung-pengunjung (turis) asing, pengusahapengusaha mebel di Jepara mampu meningkatkan kualitas produk mereka sehingga mendorong pertumbuhan ekspor mereka secara signifikan, khususnya pada era 80-an hingga krisis ekonomi 1997/98 terjadi.
Industri permebelan di Indonesia didominasi oleh usaha kecil dan menengah (UKM), tetapi kebanyakan adalah usaha mikro/rumah tangga. Banyak dari mereka bekerjasama dengan industri - industri besar atau
3
Informasi resmi pemerintah menunjukkan bahwa kebutuhan bahan baku kayu industri mebel kayu di Indonesia saat ini mencapai sekitar 4,5 – 5 juta cbm. Bahan baku kayu yang digunakan umumnya adalah : jati, mahoni, mindi, waru dari tanaman rakyat, pinus dari perhutani, acasia, gmelina dari HTI dan inhutani, tanaman buah-buah, seperti durian, mangga, mbacang, kuwen, kayu karet dari perkebunan, dan yang berasal dari hutan alam, seperti meranti, nyatoh, bangkirai, kempas dll. Akibat hutan di Indonesia semakin gundul, Indonesia semakin tergantung pada impor kayu.
Kadin Indonesia-Jetro, 2006
7
www.kadin-indonesia.or.id
perusahaan-perusahaan pemasaran (trading houses). Tenaga kerja yang diserap baik langsung maupun tidak langsung mencapai 5 juta jiwa, dengan demikian industri ini telah menghidupi sekitar 20 juta jiwa. Namun dilihat dari ekspornya, mebel kayu bukan merupakan komponen terpenting dibandingkan produkproduk kayu lainnya, terutama kayu lapis, di dalam ekspor kayu olahan Indonesia. Sebagai presentase dari total ekspor kayu olahan, ekspor kayu lapis masih menduduki posisi teratas. Setelah krisis, proporsi dari ekspor mebel kayu di dalam total ekspor kayu olahan cenderung meningkat yanta nilainya rata-rata per tahun mencapai di atas US$1 miliar (Tabel 2). Tabel 2: Sumbangan Sektor Kehutanan terhadap Perolehan Devisa Indonesia, 1995-2004 (US$ juta) Nilai Ekspor Kayu Olahan Tahun
Kayu lapis Kayu Olahan Pulp & kertas Mebel Kayu
Kayu Mebel Rotan Gergajian
Total
% Terhadap Total Devisa
1995
3.886,9
1.086,5
1.258,0
458,6
368,2
1,3
7.059,5 15,86%
1996
4.029,5
1.067,1
1.309,8
545,6
337,1
0,2
7.289,3 14,64%
1997
3.887,9
1.002,1
1.427,8
527,2
194,9
0,4
7.040,3 13,19%
1998
2.486,2
696,8
2.115,4
252,1
64,4
62,2
5.677,0 11,62%
1999
2.704,7
719,8
2.440,6
854,0
294,0
78,7
7.091,8 14,58%
2000
2.419,1
597,9
3.001,9
1.091,1
313,5
97,2
7.520,8 12,13%
2001
2.004,2
478,8
2.598,4
1.036,8
290,3
162,7
6.571,3 11,67%
2002
2.145,0
897,3
2.848,0
1.116,5
302,1
…*
7.308,9 12,79%
2003
1.985,9
1.280,0
3.164,0
1.167,7
313,5
…
7.911,0 12,96%
2004 1.852,8 1.436,5 2.817,6 1.172,2 Catatan: * tidak ada data Sumber : Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian RI.
336,9
…
7.616,1 10,64%
Tetapi, kenaikan ini lebih disebabkan oleh kenaikan nilai, bukan karena volume ekspor yang meningkat. Sebaliknya, volume ekspor mebel kayu Indonesia rata-rata per tahun cenderung tetap tidak melebihi 600 ton per tahun (Gambar 6). Data yang ada memang menunjukkan bahwa harga internasional untuk mebel kayu lebih tinggi dari pada produk-produk kayu lainnya dan mempunyai laja pertumbuhan rata-rata per tahun yang lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan harga dari produk-produk kayu lainnya (Gambar 7). Ini bisa disebabkan antara lain oleh pertumbuhan permintaan dunia terhadap mebel yang lebih pesat daripada pertumbuhan produksi mebel dunia; selain tentu oleh perkembangan kurs dollar AS. Gambar 6: Perkembangan Nilai Ekspor Mebel Kayu Indonesia, 2000-2005 1.400 1.200 1.000 800 600 400 Kadin Indonesia-Jetro, 2006200 -
www.kadin-indonesia.or.id
8 2000
2001
2002
2003
TAHUN
2004
2005
Sumber : ASMINDO (2006) (data BPS)
Gambar 7: Trend Harga Produk Industri Hasil Hutan Kayu (US$/M3) 1800 1600
US$/M3
1400 1200 1000
Panel Kayu Kayu Olahan Mebel
800 600 400
Pulp Paper
200 0 2001
2002
2003
2004
2005
Tahun Sumber: ISWA (2006).
Kemungkinan besar salah satu penyebab belum begitu pentingnya mebel kayu dibandingkan misalnya kayu lapis di dalam ekspor kayu olahan Indonesia adalah karena investasi yang minim di subsektor tersebut. Sebagai suatu ilustrasi, data dari Departemen Perindustrian tahun 2000 menunjukkan bahwa nilai investasi ke industri mebel kayu tercatat hanya sekitar 3% dibandingkan 12% di industri kayu lapis dari total investasi ke sektor kehutanan (Tabel 3). Padahal, seperti yang telah dibahas sebelumnya, investasi merupakan salah satu faktor penting bagi pengembangan/pertumbuhan ekspor, karena investasi dibutuhkan untuk perluasan kapasitas produksi, diversifikasi produk atau product upgrading, dan pembaharuan teknologi yang berarti perbaikan kualitas produksi Kalau dulu orang beli mebel lebih melihat pada harga dan kebutuhan mendesak, sekarang dengan pendapatan masyarakat rata-rata per kapita yang jauh lebih tinggi dibandingkan, bilang, 20 tahun yang lalu, permintaan terhadap mebel tidak lagi hanya ditentukan oleh harga tetapi juga faktor-faktor lain, seperti selera, prestise, dan kedudukan sosial pembeli. Artinya, design, warna, bentuk atau penampilan juga menjadi faktor-faktor determinan yang penting dalam pembelian mebel.
Tabel 3: Nilai Investasi di Sektor Kehutanan menurut Industri Kayu di Indonesia, 2000 (US$ miliar) Industri HPH
Kadin Indonesia-Jetro, 2006
Nilai Investasi 3,28
9
% 12
www.kadin-indonesia.or.id
HTI 3,00 Kayu Lapis 3,30 Perekat 0,19 Kayu Gergajian & Kayu Olahan 1,03 Pulp & Kertas 16,00 Mebel 0,80 Pertukangan/Pengrajin 0,17 Total 27,77 Sumber : Departemen Perindustrian, Departemen Kehutanan RI, 2000.
11 12 1 4 58 3 1 100
Data BPS 2005 yang diolah lebih lanjut oleh ASMINDO menunjukkan bahwa Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) merupakan pasar utama bagi ekspor mebel Indonesia dengan bahan kayu dan rotan. Pada tahun itu, pasar AS menyerap sekitar 36,6% dari total ekspor mebel Indonesia; sedangkan di pasar UE, negara-negara tujuan terbesar adalah Belanda, Inggris, Jerman, Perancis dan Italia. Di Asia, pasar terpenting adalah Jepang yang pada tahun yang sama memiliki saham sekitar 12% dari total ekspor mebel Indonesia (Gambar 8). Gambar 8: Sepuluh (10) Negara Tujuan Utama Ekspor Mebel* Indonesia, 2005 (%) Spanyol Belgia 5,30
4,94
Australia AS 36,58
4,39
Italia 6,34 Perancis 7,10
Jerman 7,23 Inggris 8,07
Keterangan: * berbahan kayu dll. Sumber : ASMINDO (2006) (data BPS)
Belanda 8,07
Jepang 11,98
Walaupun hingga saat ini Indonesia masih berada pada posisi sangat lemah relatif dibandingkan China dalam ekspor mebel, Indonesia tetap mempunyai prospek jangka panjang yang bagus, paling tidak dalam pertimbangan dua hal. Pertama, negara-negara importir mebel utama hingga saat ini masih AS, Kanada dan dari UE (Tabel 4) dan mereka ini selama ini adalah mitra dagang penting Indonesia (bukan hanya untuk mebel tetapi juga untuk banyak produk lainnya). Ini artinya sebenarnya tidak ada rintangan kultur, budaya atau selera dari negara-negara tersebut terhadap produk-produk dari Indonesia, terkecuali hambatan-hambatan teknis untuk produk-produk tertentu (non-tariff barries; NTBs) Kedua, AS yang bukan saja merupakan negara importir mebel terbesar di dunia dengan pangsa pasarnya pada tahun 2004 mencapai 26,67% (Gambar 9), tetapi juga pasar tujuan terbesar ekspor mebel Indonesia selama ini (lihat Gambar 8), bersama-sama dengan Jerman dan Italia (yang juga merupakan pasar penting bagi ekspor mebel Indonesia), dan Kanada saat ini menerapkan kebijakan anti dumping terhadap sebagian produk mebel dari China. Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id 10
Ini merupakan peluang besar bagi Indonesia untuk menggantikan pasar China di negara –negara tersebut. Tentu, hal ini bisa tecapai jika daya saing mebel Indonesia relatif lebih baik daripada negara-negara lain, karena banyak negara lain yang juga siap menggantikan posisi China tersebut. Khusus untuk mebel berbahan kayu, Gambar 10 menunjukkan AS sebagai pembeli terbesar dengan saham sekitar 33% disusul dengan sejumlah negara di UE. Hal ini menegaskan adanya suatu hubungan erat antara jumlah penduduk dan tingkat pendapatan per kapita (atau pertumbuhannya) dan besarnya kebutuhan (berarti juga impor) mebel. Selanjutnya, Gambar 11 hingga Gambar 17 menjabarkan lebih rinci mengenai perkembangan impor mebel kayu AS dan UE dari tiga negara eksportir penting, yakni Indonesia, China dan Vietnam. Tabel 4: Negara Importir Mebel*Terbesar di Dunia Periode 1996 – 2004 (US$ Juta) Negara AS
Periode 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 7.309 8.551 10.275 12.604 14.970 14.624 16.781 18.718 21.404
Jerman
6.134
5.679
6.198
6.080
5.862
5.813
6.048
7.569
8.161
Inggris
1.891
2.117
2.571
2.865
3.140
3.377
4.225
5.278
6.633
Perancis Jepang
2.751 2.592
2.696 2.529
3.018 2.021
3.196 2.252
3.254 2.801
3.297 2.817
3.566 2.760
4.369 3.145
5.415 3.773
Kanada
1.191
1.439
1.603
1.739
2.061
2.068
2.258
2.549
3.043
Belgia
1.679
1.692
1.931
1.903
1.868
1.791
1.851
2.233
2.591
Austria
1.279
1.245
1.262
1.341
1.376
1.466
1.389
1.770
1.984
Belanda Swiss
1.571 1.619
1.389 1.393
1.369 1.523
1.743 1.585
1.604 1.490
1.471 1.431
1.460 1.502
1.813 1.749
1.971 1.970
Spanyol
455
501
558
685
747
767
825
1.385
1.861
Italia 543 585 680 Keterangan: * berbahan kayu dll. Sumber : ASMINDO (2006) (data UN, Eurostat dan CSIL)
801
842
840
898
1.131
1.474
Gambar 9: Negara Importir Terbesar Mebel* di Dunia Tahun 2004 (%) AS, 27,67% Lainnya, 41,33%
Jerman (10,55%)
Jepang, (4,88%)
Perancis, (7,00%)
Inggris (8,57%),
Keterangan: * berbahan kayu dll.
Kadin Indonesia-Jetro, 2006
11
www.kadin-indonesia.or.id
Sumber : Data UN, Eurostat dan CSIL, Ditabulasikan oleh ASMINDO
Gambar 10: Negara-negara Tujuan Utama Ekspor Mebel Kayu Indonesia, 2005 (%) Lainnya 18,91 AS 33,11
Australia 3,58 Spanyol 3,97
Jerman 4,03 Belgia 4,31
Italia 5,04
Inggris 5,06
Jepang 9,28
Belanda 6,47
Perancis 6,25
Sumber : ASMINDO (data BPS)
Gambar 11: Impor Mebel Kayu (HS 9403) Amerika Serikat (AS), 2001-2005 (CIF juta dolar) 15000 14000 13000 12000 11000 10000 9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0
Sumber : IFC PENSA
16.288
18.197
14.344 12.739 10.978
2001
2002
2003
2004
2005
Gambar 12: Impor 4 klasifikasi mebel kayu AS dari Indonesia, 2001-2005 (CIF juta dolar) 250 200 150 100 50
Kadin Indonesia-Jetro, 2006
www.kadin-indonesia.or.id
12
0 2001
2002 Kantor
2003 Dapur
2004 Kam ar tidur
2005 Lainnya
Sumber: lihat Tabel 10
Gambar 13: Impor 4 klasifikasi mebel kayu AS dari Vietnam, 2001-2005 (CIF juta dolar) 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 2001
2002 Kantor
2003 Dapur
2004
2005
Kam ar tidur
Lainnya
Sumber: lihat Tabel 10
Gambar 14: Impor 4 klasifikasi mebel kayu AS dari China, 2001-2005 (CIF juta dolar) 3,000 2,750 2,500 2,250 2,000 1,750 1,500 1,250 1,000 750 500 250 0 2001
2002 Kantor
2003 Dapur
2004 Kam ar tidur
2005 Lainnya
Sumber: lihat Tabel 10.
Gambar 15: Impor UE(25) 4 klasifikasi mebel kayu dari Indonesia, 2001-2005 (juta Euro) 450 400 350
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 300 250 200
13
www.kadin-indonesia.or.id
Sumber: lihat Tabel 10
Gambar 16: Impor UE (25) 4 klasifikasi mebel kayu dari Vietnam, 2001-2005 (juta Euro) 225 200 175 150 125 100 75 50 25 0 2001
2002
Kantor
2003
Dapur
2004
Kamar tidur
2005
Lainnya
Sumber: lihat Tabel 10
Gambar 17: Impor UE (25) 4 klasifikasi mebel kayu dari Cina, 2001-2005 (juta Euro) 750 700 650 600 550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 2001
2002 Kantor
2003 Dapur
2004 Kam ar tidur
2005 Lainnya
Sumber: lihat Tabel 10
Kadin Indonesia-Jetro, 2006
14
www.kadin-indonesia.or.id
II.3 Daya Saing Global Mebel Kayu Indonesia Banyak cara atau indikator yang dapat digunakan untuk melihat tingkat daya saing relatif Indonesia dibandingkan negara lain atau dunia untuk suatu produk. Misalnya yang umum digunakan di dalam literatur adalah Revealed Comparative Advantage (RCA). Namun suatu cara yang lebih sederhana dapat juga digunakan untuk melihat bagaimana daya saing mebel kayu Indonesia di pasar global, yakni dengan melihat perubahan jangka panjang nilai ekspor mebel kayu Indonesia dibandingkan negara-negara pesaing. Seperti yang diilustrasikan di Gambar 18, dengan pendekatan sederhana ini, sangat jelas bahwa posisi Indonesia semakin tergeser oleh posisi China, dan hal ini mencerminkan bahwa daya saing mebel Indonesia semakin buruk dibandingkan China. Gambar 18: Posisi Ekspor Mebel Indonesia terhadap Negara-negara Pesaing di Asia, 2000–2004(US$ juta) 12000 10000 8000
China Malaysia
6000
Indonesia Vietnam
4000 2000 0 '00
'01
'02
'03
'04
Sumber : ASMINDO (2006) (data UN, Eurostat dan CSIL).
Dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, mebel Indonesia juga mendapat ancaman serius, terutama dari Malaysia. Malaysia, seperti halnya juga Thailand, lebih banyak membuat mebel dari bahan baku kayu karet. Di Gambar 19 dapat dilihat bahwa pada tahun 2002, dilihat dari nilai ekspor, posisi Malaysia lebih buruk dibandingkan Indonesia, yang mana nilai ekspor mebel Indonesia telah mencapai di atas US$1,4 miliar, sedangkan dari Malaysia lebih rendah dari angka tersebut. Tahun berikutnya, Malaysia berhasil menyamakan posisinya dengan Indonesia pada angka di atas US$1,5 miliar, dan pada tahun 2004, Malaysia berhasil mengungguli Indonesia yang mencapai sekitar US$1,7 miliar. Hal ini menunjukkan sangat jelas bahwa dalam periode tersebut laju pertumbuhan ekspor mebel Malaysia jauh lebih pesat dibandingkan Indonesia, dan menandakan bahwa industri mebel Malaysia tidak mengalami supply bottleneck dibandingkan Indonesia. Ini merupakan ancaman serius bagi kelangsungan ekspor mebel Indonesia. Khususnya untuk pasar AS, jika perbedaan kinerja ini berlangsung terus atau semakin besar yang menguntungkan Malaysia, bisa saja dalam waktu yang tidak lama, mebel Malaysia , bukan Indonesia, yang akan menggantikan posisi China. Kadin Indonesia-Jetro, 2006
15
www.kadin-indonesia.or.id
Daya saing bisa dalam berbagai bentuk, bisa daya saing kualitas, design, harga, pemasaran, atau service after sale, yang semua ini menentukan daya saing secara keseluruhan dari suatu barang. Apabila, misalnya, daya saing harga dari suatu barang rendah (misalnya buatan negara A), dalam arti harganya relatif lebih tinggi daripada harga dari barang yang sama buatan negara B, namun karena kualitasnya jauh lebih baik yang memberi lebih dari 100% kompensasi terhadap daya saing harganya yang rendah, pada akhirnya barang A lebih laku daripada barang B di pasar dunia. Dalam pendekatan analisis, mengukur daya saing harga lebih mudah daripada mengukur daya saing kualitas atau dalam bentuk lainnya, karena data mengenai perkembangan harga dari suatu barang tersedia. Demikian juga, lebih gampang mengidentifikasi faktor-faktor utama penyebab tingginya harga (rendahnya daya saing harga) dari suatu barang. Untuk kasus industri mebel Indonesia, Tabel 5 menunjukkan enam (6) faktor atau jenis biaya utama, dan beberapa diantaranya lebih mahal di Indonesia dibandingkan di beberapa negara ASEAN lainnya. Misalnya, biaya pengerjaan terminal (THC) baik untuk kategori per 40 maupun per 20 kontainer (CNTR) di Indonesia lebih tinggi dibandingkan di Malaysia dan Thailand. Juga, biaya listrik per kwh/kva di Indonesia lebih tinggi daripada di Malaysia. Biaya modal yang dicerminkan oleh tingkat suku bunga bank di Indonesia juga jauh lebih tinggi daripada di Malaysia dan Thailand. Gambar 19: Posisi Ekspor Mebel Indonesia dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, 2002-2004 (US$ juta) Filipina
2002
2003
2004
Singapura Thailand Malaysia Indonesia 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
NILAI EKSPOR
Catatan : Untuk Thailand dan Malaysia lebih dari 70% merupakan mebel berbahan baku kayu karet. Sumber : Asean Furniture Industries Council (AFIC)
Tabel 5: Biaya-biaya utama Industri Mebel di Negara-negara ASEAN (US$) NO Faktor-faktor 1
2
Indonesia
Malaysia 68-87 / 40 THC (Terminal 145 / 40 CNTR CNTR Handling Charge) 90 / 20 CNTR 47-58 / 20 CNTR
Filipina
Singapura
Thailand
Myanmar
200 / 40 CNTR
160/ 40 CNTR 107/20 CNTR
75/40 CNTR 67/20 CNTR
50/? CNTR
Upah minimum/
140
590-880
4,55/hari
30-50
65
Kadin Indonesia-Jetro, 2006
129-124
16
www.kadin-indonesia.or.id
bulan 0,08
0,03 – 0,07
0,20/Kwh/per month
16
7,25
15,5-16,5/tahun
Berbeda menurut 5,75%/tahun(MLR) 17% /tahun bank
0,5
0,40 – 0,56
0,49
0,50
100/20 CNTR 150/40 CNTR
213 / 20 CNTR 226 / 40 CNTR
20
4
Biaya listrik per Kwh/Kva Suku bunga bank (%)
5
BBM/liter
0,20
0,41 – 0,42
6
Angkutan ke pelabuhan
160
0,02 – 0,10 80-120 / CNTR /ton/km laden
3
0,08 – 0,1
0,08
0,8/unit
Catatan: Untuk Data THC sebelumnya US$ 150 untuk 20 CNTR dan US$ 230 untuk 40 CNTR ditambah BL fee US$ 30 Sumber : Asean Furniture Industries Council (AFIC)
Menurut Gunawan (2006), kelebihan industri mebel China versus Indonesia adalah terutama dalam berbagai aspek berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kayu yang lebih murah (mungkin ilegal logging dari Indonesia) Tenaga kerja yang lebih produktif Bunga bank yang lebih murah Pajak yang lebih rendah Overhead yang lebih rendah (organisasi kecil/sederhana) Perizinan yang lebih mudah Pungli tidak sebanyak di Indonesia Politik Dumping yang direkayasa
Daya saing harga juga ditentukan oleh tingkat produktivitas. Dasar teorinya adalah bahwa semakin tinggi produktivitas, ceteris paribus, semakin rendah biaya dan berarti juga harga per output Seperti telah dijelaskan sebelumnya, sebagian besar industri mebel kayu di Indonesia adalah usaha mikro atau rumah tangga (IRT). Baik data dari Departemen Industri (Tabel 6) maupun dari BPS (Tabel 7) menunjukkan bahwa di industri manufaktur, rata-rata rasio nilai tambah-tenaga kerja (sebagai indikator dari produktivitas tenaga kerja) meningkat menurut skala usaha: semakin kecil skala usaha semakin rendah tingkat produktivitas tenaga kerja. Di IRT, tingkat produktivitas tenaga kerja paling rendah. Tabel 6: Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja di Industri Manufaktur menurut Skala Usaha dan Kelompok Industri di Indonesia, 2000 (rata-rata nilai tambah per pekerja; Rp 000). ISIC IRT IK IM IB 31 Makanan, minuman & tembakau 2.339 2.539 25.806 67.309 32 Tekstil dan produk-produknya (TPT), kulit & alas kaki 1.746 4.855 24.271 27.237 33 Kayu & produk-produk dari kayu 2.103 6.743 12.403 30.236 34 Kertas, percetakan & publikasi 3.981 5.723 18.953 103.938 35 Produk-produk kimia (termasuk pupuk) & produk-produk karet 1.782 7.812 50.849 68.968 36 Semen & produk-produk mineral non-logam 3.346 3.071 8.849 63.327 37 Produk-produk dari besi & baja 3.374 7.011 395.344 142.243 38 Alat-alat transportasi, mesin & peralatannya 5.492 5.402 45.127 130.589 39 Lainnya 4.973 6.097 12.701 22.946 Keterangan: IRT=industri rumah tangga dengan 1-4 pekerja; IK=industri kecil dengan 5-19 pekerja; IM =industri menengah dengan 2050 pekerja; IB = industri besar dengan pekerja lebih dari 50 orang. Sumber: Departemen Industri (database).
Kadin Indonesia-Jetro, 2006
17
www.kadin-indonesia.or.id
Tabel 7: Rasio nilai tambah-tenaga kerja (Q1; Rp 000) dan kontribusi total output industri manufaktur (Q2; %) menurut skala usaha, 1999-2003 Skala usaha IM & IB bersama IRT & IK bersama Sumber: BPS
1999 Q1 Q2 115,28 90,52 8,35 9,48
2000 Q1 143,99 9,11
Q2 91,65 8,35
2001 Q1 Q2 167,70 91,50 10,98 8,50
2002 Q1 Q2 166,31 89,94 12,36 10,06
2003 Q1 Q2 196,26 90,68 13,55 9,32
Daftar Pustaka ASMINDO (2006), ”Tinjauan tentang Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia”, Kadin Roadmap Industri, 27 Juni, Kadin Indonesia. Aswicahyono, Haryo & Hal Hill (2004), “Survey of Recent Developments”, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 40(3), Berry, Albert dan Brian Levy (1994), “Indonesia’s Small and Medium-Size Exporters and Their Support Systems”, Policy Research Working Paper 1402, December, Policy Research Department, Finance and Private Sector Development Division, World Bank, Washington, D.C.
Eddy Gunawan, Eddy (2006), “Industri Furniture Knock Down”, Kadin Roadmap Industri, 27 Juni, Kadin Indonesia.. ISWA (2006), ”Revitalisasi Industri Kayu Olahan Menuju Industri Yang Kompetitif”, Kadin Roadmap Industri, 27 Juni, Kadin Indonesia. James, William E; David J. Ray & Peter J. Minor (2003), “Indonesia’s Textiles and Apparel: The Challenges Ahead, Bulletin of Indonesian Economic Studies,39(3). Liu, Raymond (2006), “Outlook for Pulp & Paper Market”, Kadin Roadmap Industri, 27 Juni, Kadin Indonesia. Pangestu, Mari, 2005, “Developing the Trade Sector: Challenges and Strategy Towards Strengthening Industreial Competitiveness”, Ceramah di Symposium “Reinventing Indonesia’s Industrial Competitiveness”, Jakarta, 1 Maret. Ray, David J. (2003), “Survey of Recent Developments”, Bulletin of Indonesian Economic Studres, 39(3). Sandee, Henry, Roos Kities Andadari dan Sri Sulandjari (2000), “Small Firm Development during Good Times and Bad: The Jepara Furniture Industry”, dalam C. Manning dan P. van Dierman (eds.), Indonesia in Transition: Social Aspects of Reformasi and Crisis, Indonesia Assessment Series, Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University, Canberra, and Institute of Southeast Asian Studies, Singapore: 184-98. Schiller, J. dan B. Martin-Schiller (1997), “Market, Culture and State in the Emergence of an Indonesian Export Furniture Industry”, Journal of Asian Business, 13(1): 1-23.
Kadin Indonesia-Jetro, 2006
18
www.kadin-indonesia.or.id
Thee Kian Wie (2006), “Apakah Landasan Pembangunan Industri di Indonesia sudah tepat?”, makalah dalam Kongres ISEI ke-X, Menado, 18-20 Juni.
Kadin Indonesia-Jetro, 2006
19
www.kadin-indonesia.or.id