Tata Niaga dan Pengendalian Harga Beras di Indonesia Tulus Tambunan Kadin Indonesia September 2008 Tata Niaga Beras Dalam sistem pemasaran beras di Indonesia, terutama pada zaman Orde Baru, Bulog (Badan Urusan Logistik) memainkan suatu peran yang krusial. Bulog dibentuk beberapa tahun setelah pelaksanaan revolusi hijau. Tugas utamanya waktu itu ada dua. Pertama, menetapkan atau mempertahankan harga minimum gabah per kg. untuk petani dalam upaya agar petani meningkatkan atau mempertahankan produksi maksimum dan juga pada waktu bersamaan memberi jaminan suatu pendapatan yang layak atau suatu keuntungan minimum sekitar 30% dari jumlah biaya produksi bagi petani. Kedua, mempertahankan suatu harga maksimum yang layak bagi konsumen. Selain peran stabilisasi harga tersebut, sebelum krisis ekonomi 1997/98, Bulog juga merupakan satu-satunya importir beras. Tetapi, setelah krisis tersebut, sebagai salah satu konsukwensi dari kesepakatan (letter of intent, LoI) antara pemerintah Indonesia dan Dana Moneter Internasional (IMF), Bulog kehilangan kekuatan monopolinya, dan badan tersebut mendapat suatu fungsi baru yakni mendistribusikan beras ke RT miskin. Awalnya, tata niaga Bulog sangat sederhana. Namun setelah produksi padi di dalam negeri meningkat, mata rantai pembelian beras oleh Bulog menjadi semakin kompleks. Arifin (2004) dan Natawidjaja (2000) menemukan bahwa di banyak wilayah ada dua jalur pemasaran dalam tata niaga beras: swasta dan pemerintah (Bulog), dan jalur swasta lebih panjang daripada jalur pemerintah dengan banyak pemain yang diawali oleh pengumpul-pengumpul di desa, perusahaan-perusahaan penggilingan padi, grosir, dan berakhir oleh pedagang-pedagang eceran. Namun sistem pemasaran beras ternyata bervariasi dalam tingkat kompleksitasnya antar wilayah atau antar kelompok wilayah. Misalnya, dari observasinya di 7 Kabupaten/Kota di Jawa, Saliem (2004) menemukan betapa pentingnya pedagang dalam perdagangan beras antar pulau atau propinsi (Gambar 1), sedangkan, dari penelitiannya di Solok dan Padang di Sumatera Barat, Djulin (2004) menemukan tidak adanya keterlibatan Bulog di dalam perdagangan beras (Gambar 2). . Gambar 1: Jalur-jalur Distribusi/Pemasaran Beras di Indonesia (kasus 1) gabah
Pengumpul
Petani gabah
KUD Penggilingan beras
Pedagang besar/grosir
Pedagang antar pulau
gabah
rice BULOG
Pasar propinsi
Pasar Induk Cipinang
Pedagang/toko eceran
Sumber: Saliem (2004)
Konsumen
1
Gambar 2: Jalur-jalur Distribusi/Pemasaran di Indonesia (kasus 2) Petani
gabah Pedagang dari luar kabupaten
Pengumpul
Penggilingan (individu & KUD)
beras Pedagang dari luar kabupaten
Grosir di Padang
Pedagang eceran di Padang
Pedaganag dari luar kabupaten
Grosir di Solok
Pedagang dari luar Solok
Konsumen Sumber: Djulin (2004)
Setelah revolusi hijau menghasilkan produksi padi/beras dengan laju pertumbuhannya yang terus meningkat hingga akhirnya Indonesia untuk pertama kalinya swasembada beras pada tahun 1984, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang membuat stabilitas harga beras bukan lagi prioritas utama. Pembangunan infrastruktur, khususnya di perdesaan, dengan harapan dapat mendorong pembangunan sektor pertanian, khususnya pertumbuhan produksi padi/beras, menjadi prioritas utama. Oleh sebab itu, menyisihkan dana pemerintah untuk pembelian beras atau gabah dari petani menjadi tidak terlalu penting. Selain itu, kualitas beras yang dibeli pemerintah dari petani juga diperketat dengan kandungan beras patah maksimum 15%. Selain kebijakan itu, permintaan bantuan pangan pada IGGI juga dikurangi (Prabowo, 2008). 1 . Stabilitas Harga Salah satu ciri dari pemerintahan Orde Baru, khususnya di bidang pertanian, adalah kebijakan perberasan atau pengendalian harga yang dilakukan oleh Bulog. Kebijakan ini dimulai tahun 1967 dan terus berlangsung hingga saat ini, walaupun banyak perubahan yang terjadi dalam arah kebijakan tersebut selama ini (Tabel 1). Misalnya, pada tahun 2005 dikeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No2/2005 tentang kebijakan perberasan yang mengakhiri rezim harga dasar gabah. Sejak itu harga dasar tidak lagi diberlakukan, pemerintah hanya mengeluarkan harga referensi. Dalam kata lain, pemerintah tidak lagi menjamin harga yang diterima petani bila harga gabah jatuh. Setelah itu, Inores No.3/2007 yang menetapkan hanya satu (1) harga pembelian pemerintah (HPP), yakni gabah kering panen (GKP) Rp 2.000/kg, gabah kering giling (GKG) Rp 2.575/kg., dan beras Rp 4.000/kg. 2 1
IGGI adalah sebuah konsorsium dari sejumlah negara donor yang dibentuk sesaat setelah Orde Baru berdiri yang dipimpin oleh negara Belands. Tujuannya untuk memberi bantuan dana setiap tahun bagi pemerintah Indonesia. Tahun 1992 konsorsium tersebut dibubarkan dan dibentuk yang baru, CGI, yang dipimpin oleh Bank Dunia, dan berakhir setelah krisis ekonomi 1997/98. 2 Inpres ini mensyaratkan dua komponen penilaian kualitas gabah (yakni kadar air dan kadar gabah) dan kualitas beras (kadar air dan butir patah). Namun dibandingkan sebelumnya, standar gabah yang disyaratkan kali ini lebih rendah. Sedangkan, menurut Prabowo (2008), Bulog mengusulkan penambahan tiga syarat lagi, yakni derajat sosoh minimum 95%, kandungan menir maksimal 2%, dan butir kuning atau rusak maksimum 3%. Kandungan menir yang terlalu besar bisa disebabkan oleh kandungan air di gabah
2
Tabel 1: Sejarah Harga Dasar Gabah, 1967-2005 Periode 1967 (17 Agustus)
Kebijakan -Pemerintah menegaskan akan mengimplementasikan kebijakan harga beras yang berisikan insentif produksi untuk petani.. -Pemerintah mengusulkan rumusan kebijakan harga dasar yang merangsang peningkatan produksi dan kontrol harga beras tertinggi. Kebijakan harga dasar (harga dasar dengan patokan harga pupuk saat itu) diumumkan. Kebijakan tersebut mulai dilaksanakan Pemerintah menyatakan bahwa harga dasar adalah harga terendah di mana petani harus menerimanya. Tujuan harga dasar untuk mengangkat petani sebagai produsen Perhitungan untuk mendapatkan harga dasar ditetapkan dengan menggunakan formula incremental benefit cost ratio (IBCR). Pendekatan perhitungan harga dasar diarahkan untuk menyeimbangkan antara produksi dan kebutuhan konsumsi ditambah kebutuhan untuk cadangan beras pemerintah. Tahun 1988 Bulog menerapkan perbedaan harga pembelian gabah di berbagai daerah. Inpres No.9/2002 yang menetapkan HPP. Inpres No.2/2005 yang menetapkan HPP Inpres No.3/2007 yang menetapkan HPP
1968 1970 1973 (11 Mei) 1973-1984 1985-2001
2002 2005 2007 Sumber: Kompas 3
Walaupun Bulog, khususnya pada era Orde Baru, sangat penting sebagai penentu harga, di dalam prakteknya, harga pasar yang sebenarnya dibayar oleh konsumen tidak selalu sama seperti yang pemerintah tentukan atau ingin pertahankan, tergantung pada perkembangan aktual dari bermacam komponen biaya, dari biaya produksi di tingkat petani, biaya penggilingan, biaya transportasi, dan marjin keuntungan (PM) yang diambil oleh agen-agen distribusi/pemasaran (Arifin, dkk., 2001). Jumlah biaya bervariasi menurut wilayah, sehingga harga sebenarnya yang dibayar konsumen di, misalnya, Jakarta berbeda dengan yang dibayar di Indonesia kawasan timur. Konsumen-konsumen yang lokasinya dekat dengan pasar-pasar induk di perkotaan membayar lebih rendah dibandingkan mereka yang harus membeli beras dari pedagang/toko eceran. Sebagai suatu ilustrasi, Tabel 2 memperlihatkan PM dalam pemasaran beras di 7 kabupaten di Java. Tabel 2: Analisis Marjin Pemasaran Beras di 7 Kabupaten di Java (Rp/kg) Jalur Pemasaran 1
2
3
Petani - harga jual (gabah) - harga jual (beras)
1100 1897
1100 1897
1100 1900
Pengumpul-pengumpul di desa -harga beli -biaya pemasaran -harga jual -PM
1897 62 2032 73
1897 51 2002 54
Unit-unit penggiling padi -harga beli -biaya pemasaran -biaya penggilingan/pengolahan -harga jual
2032 16 98 2164
2002 13 95 2127
7 Kabupaten 4
Rata-rata 5
6
7
1050 1909
1100 1897
1050 1850
1050 1900
1079 1893
1900 65 2000 35
1909 49 1983 25
1897 55 2041 90
1850 55 2000 95
1900 50 2000 50
1893 55 2008 60
2000 10 100 2122
1983 15 104 2120
2041 11 100 2158
2000 14 95 2117
2000 11 90 2107
2008 13 97 2131
yang terlalu tinggi, atau padi dipanen terlalu cepat, atau gabah terlalu kering sehingga saat digiling banyak yang patah. Sedangkan beras dengan derajat sosoh terlalu rendah bisa mengakibatkan beras tersebut berbau apak. Alasan Bulog menambah tiga syarat tersebut agar beras yang dibelinya lebih baik kualitasnya daripada sebelumnya. Menurut hasil evaluasi pengadaan beras Bulog 2007, seperti yang dijelaskan oleh Prabowo (2008), dari total pembelian beras produksi dalam negeri sebanyak 1,76 juta ton, sekitar 1,4 juta ton di antaranya adalah beras berkualitas rendah dengan kandungan menir di atas 2%. Sekitar 10% lainnya adalah beras dengan derajat sosoh kurang dari 95%. . 3 “Inpres No.2/2005 Akhiri Rezim Harga Dasar Gabah”, Bisnis & Investasi, Rabu, 9 Maret 2005: 14.
3
18
17
12
18
6
8
6
12
Grosir -harga beli -biaya pemasaran -harga jual -PM
2164 52 2250 34
2127 41 2200 32
2122 32 2175 21
2120 47 2200 33
2158 35 2200 6
2117 44 2175 14
2107 36 2150 7
2131 41 2193 21
Toko/penjual eceran -harga beli -biaya pemasaran -harga jual -PM
2250 35 2350 65
2200 75 2350 75
2175 67 2300 58
2200 50 2300 50
2200 45 2300 55
2175 75 2300 50
2150 80 2300 70
2193 61 2313 60
98 165 191 453
95 180 179 453
100 174 126 400
104 161 126 391
100 146 157 403
95 188 167 450
90 177 131 400
97 170 154 422
-PM
Total -penggilingan/pengolahan -transportasi -PM -biaya pemasaran Sumber: Saliem (2004)
Instrumen yang digunakan selama ini untuk menjalankan kebijakan tersebut adalah ikut bermain di pasar sebagai pembeli atau penjual saat harga beras di pasar cenderung melewati harga yang ditetapkan oleh pemerintah. Langkah ini disebut operasi pasar (OP). Misalnya pada Maret 2005, pemerintah memutuskan untuk segera melakuka OP jika harga beras di dalam negeri mencapai Rp 3,500 per kilogram (kg). OP tersebut adalah operasi setempat dengan harga beras OP sebesar Rp3.300/kg untuk kualitas médium. Atau, tahun 2008 Bulog menargetkan pengadaan beras di dalam negeri sebesar 2,8-3 juta ton. Sebanyak 2,43 juta ton di antaranya dari dalam negeri, sisanya impor. Dengan menghitung kebutuhan beras untuk orang miskin sebanyak 2,67 juta ton, stok beras Bulog di akhir tahun 2008 diharapkan 1 juta ton, atau lebih rendah 600.000 dibanding tahun 2007 (Prabowo, 2008). Namun demikian, perlu diakui bahwa kebijakan OP tidak selalu menguntungkan petani, atau tidak semua petani di semua daerah mengalami keuntungan yang sama. Misalnya, berdasarkan berita di Kompas, 4 Biro Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa nilai tukar petani (NTP) Januari 2007 meningkat 1,78% dari Desember 2006 atau 106,4 menjadi 108,2. Hal ini disebabkan oleh ketetapan pemerintah menaikkan HPP untuk gabah dan beras. Namun demikian, hasil pemantauan BPS di 23 propinsi menunjukkan bahwa hanya di 14 propinsi yang NTP-nya mengalami kenaikan (kenaikan NTP tertinggi terjadi di Sulawesi Selatan yang mencapai 9,19%), sedangkan di 9 propinsi lainnya malahan menurun. 5 Dari sisi peningkatan pendapatan petani, efektivitas dari kebijakan OP/HPP tergantung pada dua hal: (a) kemampuan Bulog untuk membeli langsung dari petani dalam jumlah yang cukup, dan (b) perbedaan antara HPP dan harga yang berlaku di pasar saat kebijakan tersebut dijalankan. Ternyata (sesuai pemberitaan Kompas tersebut), Bulog waktu itu hanya mampu beli 7% dari jumlah produksi, padahal pemerintah mentargetkan 10% agar kebijakan tersebut memberi hasil optimal. Sedangkan dalam harga, perbedaan antara
4
Kompas, ”Perberasan. Komitmen Bulog dan Asa Petani”, Bisnis & Keuangan, Selasa, 3 April 2007: 21. Yang paling ditakuti setiap petani padi adalah anjloknya harga gabah pada saat panen raya. Biasanya pada saat panen raya para tengkulak menekan harga jual, dan petani biasanya tidak bisa berbuat apa-apa karena harga jual ditentukan oleh para tengkulak.. Disini sebenarnya peran pemerintah lewat Bulog sangat penting, dan memang sangat diharapkan oleh para petani padi. Kompas (”Perberasan. Komitmen Bulog dan Asa Petani”, Bisnis & Keuangan, Selasa, 3 April 2007: 21) mencatat bahwa selama bulan April 2007 harga gabah dan beras di sejumlah daerah anjlok. Misalnya, di Banyuasin (Sumatera Selatan), harga GKP hanya Rp 1.500/kg. Di Ogan Komering Ulu Timur, beras di tingkat petani dihargai hanya Rp 3.200/kg. Di Belitang, di kabupaten yang sama, yang merupakan salah satu sentra produksi beras di Sumsel, harga GKP hanya dihargai antara Rp 1.650/kg hingga Rp 1.700/kg, sementara harga beras hanya Rp 3.400/kg. Menurut Kompas yang sama, harga terakhir itu sebenarnya sudah naik dibandingkan satu minggu sebelumnya, tetapi itu masih di bawah HPP karena ulah para tengkulak .
5
4
HPP dan harga pasar, walaupun tidak selalu besar, namun sering terjadi6 Menurut data BPS Juli 2007 7 (Tabel 3 dan Tabel 4, Gambar 3 s/d Gambar 5) dari 532 observasi untuk GKG dan GKP di 15 provinsi dijumpai 78 observasi (14,66%) kasus harga gabah di tingkat penggilingan yang berada di bawah HPP. Untuk GKP berkualitas baik (kadar air: 14,01%-25%/rata-rata mutu: 18,82% dan kadar hampa/kotoran: 3,01%-10%/ratarata mutu: 5,12%) dari sebanyak 488 observasi, dijumpai kasus harga gabah yang di bawah HPP sebagai berikut: 54 observasi (11,07%) di tingkat petani dan 60 observasi (12,30%) di tingkat penggilingan. Kasus harga gabah di bawah HPP tersebut terdapat di 8 provinsi yaitu: Sumatera Barat, Lampung, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Kasus untuk gabah kualitas rendah (kadar air > 25 % atau kadar Hampa/kotoran > 10%) sebanyak 95 observasi (15,15%), ditemukan di 7 provinsi yaitu: Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Sedangkan, menurut data BPS Juli 2008, 8 dari 731 observasi untuk GKG dan GKP di 15 provinsi dijumpai 24 observasi (3,28 persen) kasus harga gabah di tingkat penggilingan yang berada di bawah HPP. Untuk GKP berkualitas baik dari sebanyak 674 observasi, dijumpai kasus harga gabah yang di bawah HPP sebagai berikut: 21 observasi (3,12%) di tingkat petani dan 19 observasi (2,82%) di tingkat penggilingan. Kasus harga gabah di bawah HPP tersebut terdapat di 4 provinsi yaitu: Jawa Tengah, Yogyakarta, Banten, dan Bali. Kasus untuk gabah kualitas rendah sebanyak 81 observasi (9,98%), ditemukan di 8 provinsi yaitu: Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, dan Sulawesi Barat. Dilihat dari sisi stabilitas harga, efektivitas dari kebijakan OP sangat tergantung pada pencapaian target yang ditetapkan sebelumnya oleh Bulog dalam pengadaan beras. Target tidak tercapai berisiko tinggi bagi stabilitas harga beras, terutama pada masa paceklik. Dalam menghadapi masalah ini, pemerintah biasanya melakukan impor. Misalnya, seperti yang diberitakan oleh Kompas, 9 hingga awal Juni 2008 total realisasi pengadaan beras Bulog dari produksi dalam negeri 1,6 juta ton, atau 65,64% dari target awal Bulog 2008, yaitu 2,43 juta ton. Operasi Bulog yang tujuannya menstabilkan harga beras juga sering terganggu oleh ulah spekulan. Misalnya Prabowo (2007) mencatat bahwa stok beras di Bulog pada awal Februari 2007 hanya 700.000 ton. Dari jumlah ini, 100.000 ton untuk OP, dan sisa stok hanya 600.000 ton. Jumlah ini ditambah dengan masuknya beras impor tahap pertama untuk tahun 2007 sebanyak 500.000 ton, dan hingga pertengahan Februari 2007 belum mencapai 50%. Berarti dengan jumlah ini, Bulog tidak bisa melakukan apapun juga untuk melawan spekulan. Prabowo (2008) juga mencatat bahwa hingga Juli 2007 jumlah beras yang dibeli Bulok dari produksi dalam negeri hanya 82.875 ton. Pada saat yang sama, stok beras Bulog 960.000 ton, dan 790 ribu ton-nya harus segera didistribusikan ke pasar untuk stabilitas harga (OP). Akibatnya, stok Bulog tinggal sedikit, dan kondisi ini dimanfaatkan oleh para spekulan yang akhirnya mengakibatkan harga beras saat itu melonjak hingga lebih dari 100%. Pada gilirannya, jika harga beras di pasar naik terlalu besar, Bulog juga menjadi sulit untuk memenuhi targetnya. Hal ini terjadi di sejumlah daerah pada tahun 2008. Misalnya, hingga Juni 2008 Bulog Subdivisi Regional Cirebon, Jawa Barat, belum bisa memenuhi target stok nasional sebesar 65.000 ton setara beras akibat tingginya harga beras. Karena alasan tingginya harga beras tersebut, Bulog Cirebon terpaksa membeli beras dengan harga di atas HPP, yang sudah dilakukan sejak Mei 2008. Sebelumnya, Bulog memasang harga Rp 4.300/kg. untuk beras dengan kadar air tidak lebih dari 14% dan tingkat patahnya 20%. Kini, terpaksa membeli dengan harga Rp 4.600/kg dengan kadar air yang sama, tetapi
6
Kompas yang sama memberitakan bahwa banyak juga petani di sejumlah daerah yang mengatakan bahwa kenaikan HPP itu tidak mereka nikmati karena patokan harga tersebut sama dengan harga harga di pasaran selama ini. Atau untungnya tidak terlalu besar seperti yang petani harapkan. Misalnya seorang petani di Desa Tamasaju, Kecamatan Galesong Utara, Takalar, Sulawesi Selatan, mengatakan bahwa kenaikan HPP GKP menjadi Rp 2.000/kg. dan HPP GKG (gabah kering giling) Rp 2.575/kg. dinilainya cukup untuk menutupi ongkos produksi, namun tidak ada keuntungan yang besar. Selama ini keuntungan petani tersebut tidak mencapai 2%. Petani tersebut mengerjakan sawah seluas 28 are (2.800 meter persegi) dengan total biaya produksi mencapai sekitar Rp 770.000. Sementara hasil panennya hanya setara Rp 3 juta. 7 Berita Resmi Statistik, No.36/07/Th.X, 2 Juli 2007. 8 Berita Resmi Statistik, No.36/07/Th.XI, 1 Juli 2008. 9 “Impor Tetap Dilakukan”, Bisnis & Keuangan, Selasa, 10 Juni 2008: 17.
5
Tabel 3: Jumlah dan Persentase Observasi Gabah di Bawah dan Sama Dengan HPP menurut Kualitas, Juni 2007 dan Juni 2008 Kelompok Kualitas
Jumlah observasi
GKG GKP Semua kualitas Kualitas rendah Sumber: BPS
Di bawah HPP
Juni 2007
Juni 2008
44 488 532 95
57 674 731 81
Tkt Petani Juni 2007 Juni 2008 54 (11,07%) -
21 (3,12%) -
Sama dengan HPP
Tkt Penggilingan Juni 2007 Juni 2008 18 (40,91%) 60 (12,30%) 78 (14,66%)
Tkt Petani Juni 2007 Juni 2008
5 (8,77%) 19 (2,82%) 24 (3,28%)
57(11,68%) -
Tkt Penggilingan Juni 2007 Juni 2008
11 (1,63%) -
0 (0,00%) 3 (0,61%) 3 (0,56%)
3 (5,26%) 2 (0,30%) 5 (0,68%)
Gambar 3: Persentase Observasi Harga Gabah di Tingkat Penggilingan di Bawah HPP dan Gabah Kualitas Rendah, September 2006Juni 2008 45 40 35 30 25 20 15 9,45 10 5,81 5 0,14 0,35 0 Sept
Oct
41,67 Obs di bawah HPP
31,92 25,02
22,87
22,37 14,6615,15
15,58 12,48 6,12 0 Nov
6,44 0 Des
12,8
0 Feb
12,5
0,24 Mar
Apr
Mei
Juni
Sept
Oct
Nov
8,3
8,54
9,76
7,52
4,55
19,24 21,03
20,72
11,15
8,65 0 Jan
33,15 36,02 30,14
Obs gabah kualitas rendah
28,02
2,73
2,77
Jan
Feb
Des
9,98 3,28
Mar
Apr
Mei
Juni
Sumber: BPS
Tabel: 4: Rata-rata Harga Gabah Di Tingkat Petani dan Penggilingan Menurut Kualitas, April - Juni 2007 dan April – Juni 2008 Kualitas April
GKG GKP Kualitas rendah
Tkt Penggilingan (000Rp/kg) Mei Juni
2007
2008
2007
2008
2007
2008
2,8 2,2 1,9
2,7 2,2 1,87
2,4 2,2 2,04
2,8 2,5 2,2
2,7 2,3 2,1
2,9 2,7 2,4
% Perubahan Juni-Mei 2007 2008 11,4 4,3 4,6
5,97 6,02 9,1
April
Mei
Tkt Petani (000Rp/kg) Juni % Perubahan Juni-Mei
2007
2008
2007
2008
2007
2008
2007
2008
2,7 2,1 1,9
2,6 2,1 1,9
2,3 2,2 1,99
2,7 2,4 2,2
2,6 2,3 2,1
2,9 2,6 2,4
11,9 4,1 4,5
6,3 5,98 9,3
Sumber: BPS
6
Gambar 4: Rata-rata Harga Gabah di Tingkat Penggilingan di Indonesia, Juli 2006-Juni 2007
Sumber: dikutip dari Grafik 2, BPS (Berita Resmi Statistik, No.36/07/Th.X, 2 Juli 2007)
Gambar 5: Rata-rata Harga Gabah di Tingkat Penggilingan di Indonesia, Juli 2007-Juni 2008
Sumber: dikutip dari Grafik 2, BPS (Berita Resmi Statistik, No.36/07/Th.XI, 1 Juli 2008)
7
tingkat patahnya 20%. Kini, terpaksa membeli dengan harga Rp 4.600/kg dengan kadar air yang sama, tetapi 10% tingkat patahnya. 10 Gambar 6 memperlihatkan tren jangka panjang dari perkembangan harga beras dari kategori kualitas medium. Dapat dilihat bahwa pengaruh Bulog dalam stabilitas harga beras di dalam negeri sangat terasa pada era 70-an. Namun sejak dekade 80-an harga beras mulai merayap ke atas, dan laju kenaikannya setiap tahun meningkat tajam sejak awal tahun 1990-an yang mencapai Rp 1285/kg pada tahun 1997. Pada tahun 1998 pada saat krisis ekonomi mencapai klimaksnya, dan juga pada saat Bulog mengalami reformasi, harga beras mengalami suatu kenaikan yang luar biasa. Walaupun setelah itu sempat turun untuk dua tahun berikutnya, harga beras di Indonesia cenderung meningkat terus. Bahkan perubahan/kenaikan harga beras terjadi tidak hanya setiap bulan tetapi juga hampir setiap hari, walaupun laju kenaikannya bervariasi menurut jenisnya (Gambar 7). Perkembangan dari harga di tingkat petani juga menunjukkan tren yang serupa, cenderung meningkat terus (Gambar 8). Walaupun ini tidak harus berarti petani padi di Indonesia semakin sejahtera karena kenaikkan harga tersebut. Karena tergantung pada dua hal. Pertama, perubahan harga-harga dari input-input yang dibutuhkan dalam produksi padi seperti pupuk, benih dan lainnya. Kedua, tingkat inflasi atau perubahan dari harga-harga dari kebutuhan pokok. Dalam kata lain, jika harga-harga dari input-input tersebut atau inflasi selama periode yang sama juga mengalami kenaikan dan dengan laju yang lebih tinggi daripada laju kenaikan harga jual, maka petani padi akan tetap mengalami kerugian. Yang manarik adalah bahwa tidak di semua negara pertanian penting lainnya seperti India, China dan Thailand, di mana harga di tingkat petani mengalami kenaikan setiap tahun dengan laju sepesat seperti di Indonesia. Bahkan, di Thailand harga yang diterima oleh petani cenderung stabil (Gambar 9). Juga, dalam dollar AS, dalam beberapa tahun belakangan ini Indonesia merupakan negara dengan laju pertumbuhan harga beras di tingkat petani paling pesat dibandingkan di ketiga negara tersebut dalam (Gambar 10). Menurut Berita Resmi Statistik, No.36/07/Th.X, 2 Juli 2007 dari BPS, berdasarkan observasi sebanyak 627 transaksi gabah di 15 provinsi, rata-rata harga gabah di tingkat petani pada Juni 2007 dibandingkan keadaan Mei 2007 adalah sebagai berikut: untuk gabah berkualitas baik yakni GKG (kadar air 14 % dan kadar hampa/kotoran 3 %) naik sebesar 11,93%; dan GKP (kadar air: 14,01%-25% dan kadar hampa/kotoran: 3,01%- 10%) naik 4,11%; sedangkan untuk gabah dengan kualitas rendah (kadar air > 25 % atau kadar hampa/kotoran > 10%) naik sebesar 4,51%. Rata-rata harga gabah di tingkat penggilingan untuk GKG berkualitas baik mencapai Rp2.657/kg, berada di atas HPP. Rata-rata harga gabah untuk kualitas GKP mencapai Rp2.280/kg di tingkat petani dan Rp2.337/kg di tingkat penggilingan, keduanya berada di atas HPP. Persentase observasi harga gabah di tingkat penggilingan yang berada di bawah HPP turun, yaitu dari 28,02% pada Mei 2007 menjadi 14,66% pada Juni 2007. Persentase observasi gabah berkualitas rendah turun dari 22,37% pada Mei 2007 menjadi 15,15% pada Juni 2007 (Tabel 5) Harga gabah berkualitas buruk terendah di tingkat petani sebesar Rp1.700/kg dijumpai di Sukabumi (Jawa Barat), sedangkan harga gabah dengan kualitas GKP tertinggi sebesar Rp3.727/kg dijumpai di Banjar (Kalimantan Selatan). Sedangkan menurut Berita Resmi Statistik, No.36/07/Th.XI, 1 Juli 2008, berdasarkan observasi sebanyak 812 transaksi gabah di 15 provinsi, rata-rata harga gabah di tingkat petani pada Juni 2008 dibandingkan keadaan Mei 2008 untuk semua kualitas mengalami kenaikan. Untuk GKG naik sebesar 6,33% dan GKP naik sebesar 5,98%, sedangkan untuk gabah dengan kualitas rendah/diluar kelompok kualitas baik naik sebesar 9,34%. Rata-rata harga gabah di tingkat penggilingan untuk GKG mencapai Rp 2.941/kg, berada di atas HPP, dan rata-rata harga GKP mencapai Rp 2.589/kg di tingkat petani dan Rp 2.651/kg di tingkat penggilingan, keduanya berada di atas HPP. Persentase observasi harga gabah di tingkat penggilingan yang berada di bawah HPP mengalami penurunan dari 21,03% pada Mei 2008 ke 3,28% pada Juni 2008. Sedangkan persentase observasi gabah berkualitas rendah mengalami kenaikan dari 8,30% pada Mei 2008 ke 9,98% pada
10
“Pangan. Stok Bulog Belum Terpenuhi. Indramayu dan Cirebon Surplus Beras”, Nusantara, Rabu, 18 Juni 2008: 22. Menurut Kompas ini, harga beras eceran di pasar pagi, yang merupakan pasar induk di kota Cirebon, hingga Selasa, 17 Juni 2008, masih Rp 5.000-Rp 5.200 per kg. Memang ada yang murah namun kualitasnya rendah, kecoklatan, dan tingkat patahnya di atas 20%.
8
Gambar 6: Tren Jangka Panjang dari Perkembangan Harga Beras Kualitas Medium di Indonesia Menurut PIBC * 4500 4077
4000 3500 3000
2678
2552
2500
3046 2704 2600
2461 2256 2099
2000 1500 1087
1000
696 722
28
25
29
46
48
60
70
74
77
85
1970
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
500
387 404 430 286 254 333 288 186 205 226 275
1185
1285
900
452
2006**
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
1986
1985
1984
1983
1982
1981
1980
0
Keterangan: * kualitas medium, jenis IR-64 I/IR-64 II dalam Rp/kg. ** rata-rata harga sampai dengan 22 November 2006 Sumber: Kompas (Sabtu, 25 November 2006) (data dari a.l. BPS).
9
Gambar 7: Perkembangan Harga Beras Grosir di PIBC, Januari-Maret 2007 6000 5850 5850 5700 5700 5450 5550 5550 5400 5300 5250 5300 5250 5200 5100 5000 5200 5000 5000 4950 5000 5000 4900 4700 4750 4700 4700
5300 IR-64 I IR-64 II IR-64 III
4300
3300
2005
8Fe b 15 -F eb 21 -F eb 2M ar et
5Fe b
3Fe b
Ja n 23 -
an
Ja n 15 -
5J
Se p
A gu s
Ju l
Ju n
M ei
A pr
M ar
Ja n
2300
Fe b
3186 3126 3185 3217 2996 3000 3028 2948 2900 2981 3033 2826 2800 2840 2808 2800 2748 2726 2839 2917 2684 2654 2608 2600 2548 2408 2400
2007
Sumber: Prabowo (2007) dan Hidayati (2005).
Gambar 8: Harga Beras di Tingkat Petani di Indonesia (Rupiah /ton). 2500000
2000000
1500000
1000000
500000
0 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Sumber: FAO database
Gambar 9: Harga Beras di Tingkat Petani di China, India, dan Thailand (uang lokal /ton). 7000 6000 5000 4000 China Thailand India
3000 2000 1000
20 06
20 05
20 04
20 03
20 02
20 01
20 00
19 99
19 98
19 97
19 96
19 95
19 94
19 93
19 92
19 91
0
Sumber: FAO database
10
Gambar 10: Harga Beras di Tingkat Petani di Sejumlah Negara Asia (Dollar AS /ton) 250
200
150
100 China Indonesia Thailand India
50
0 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Sumber: FAO database
Tabel 5: Jumlah Observasi, Harga Gabah di Tingkat Petani dan Penggilingan dan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) menurut Kelompok Kualitas, Juni 2007
Keterangan: * HPP berdasarkan INPRES NOMOR 3 TAHUN 2007 tgl. 31 Maret 2007 yang diberlakukan mulai 1 April 2007. Sumber: dikutip dari Tabel 3, BPS (Berita Resmi Statistik, No.36/07/Th.X, 2 Juli 2007).
Juni 2008 (Tabel 6). Harga gabah dari kualitas buruk terendah di tingkat petani sebesar Rp 1.900/kg dijumpai di Kabupaten Pati (Jawa Tengah, sementara harga tertingginya sebesar Rp 3.840/kg dijumpai di Kabupaten Solok (Sumatera Barat).
11
Tabel 6: Jumlah Observasi, Harga Gabah di Tingkat Petani dan Penggilingan, dan HPP menurut Kelompok Kualitas, Juni 2008.
Keterangan: * HPP berdasarkan INPRES NOMOR 1 TAHUN 2008 tgl. 22 April 2008 yang mulai diberlakukan mulai 22 April 2008 Sumber: dikutip dari Tabel 3, BPS (Berita Resmi Statistik, No.36/07/Th.XI, 1 Juli 2008).
Daftar Pustaka
Arifin, Bustanul (2004), Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia, Jakarta: Kompas. Arifin, Bustanul (2008), ”Peluang Kekeringan dan Misteri Indeks Pertanaman”, Kompas, Bisnis & Keuangan, Senin, 2 Juni: 21. Arifin, Bustanul, A. Munir, E. Sri Hartatai dan Didik J. Rachbini (2001), “Food Security and Markets in Indonesia: State and Market Interaction in Rice Trade”, Quezon City: MODE Inc. Djulin, Adimesra (2004), “Analisis Sistem Distribusi Gabah/Beras di Sumatera Barat”, dalam Handewi P. Saliem, Saptana and Edi Basuno (ed.), Prospek Usaha Dan Pemasaran Beberapa Komoditas Pertanian, Monographs Series No.24, Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hidayati, Nur (2005a), “Lahan bagi Kepentingan Umum Vs Reformasi Agraria yang Mandek”, Kompas, Fokus, Sabtu, 25 Juni: 39. Hidayati, Nur (2005b), “Pertanian. Revitalisasi Masih Retorika”, Kompas, Bisnis & Keuangan, Kamis, 30 November: 21. Hidayati, Nur (2005c), ”Impor Beras, Pertaruhan Kredibilitas Pemerintah”, Kompas, Fokus Impor Beras, Sabtu, 24 September: 37. Hidayati, Nur (2008), ”Minyak Goreng. Sulit Meredam Keresahan Rakyat”, Kompas, Bisnis & Keuangan, Kamis, 6 Maret: 21. Natawidjaya, Ronnie S. (2000), "Pengembangan Sistem Intelijen Pasar sebagai Usaha Monitoring Kelancaran Arus Distribusi Bahan Makanan Pokok Dalam Menunjang Penyediaan Kebutuhan Pangan Masyarakat yang Efektif dan Efisien", Laporan Tahunan Riset Unggulan Terpadu (RUT), Menristek, DRN dan LIPPI, Jakarta. Natawidjaya, Ronnie S. (2001), "Dinamika Pasar Beras Domestik", dalam Suryana, Achmad dan Sudi Mardianto (penyunting), Bunga Rampai Ekonomi Beras, Penerbit LPEM-UI, Jakarta.
12
Prabowo, Hermas E. (2007), “Impor Beras Bukti Marjinalisasi Pertanian”, Kompas, Bisnis & Keuangan, Selasa, 20 Februari: 21. Prabowo, Hermas E. (2008a), ”Ketahanan Pangan. Pandai-pandailah Membaca Sinyal”, Kompas, Bisnis & Keuangan, Rabu, 30 Januari: 21. Prabowo, Hermas E. (2008b), “Perberasan. Peningkatan Mutu Gabah Tergantung Insentif”, Kompas, Bisnis & Keuangan, Sabtu, 23 Februari: 21. Prabowo, Hermas E. (2008c), ”PUAP Jangan Sekadar Bagi-bagi Uang”, Kompas, Bisnis & Keuangan, Rabu, 25 Juni: 21. Prabowo, Hermas E. (2008d), ”Perberasan. Krisis Pangan di Ujung Pemerintahan SBY-JK?”, Kompas, Bisnis & Keuangan, Selasa, 22 April: 21. Prabowo, Hermas E. (2008e), ”Ketahanan Pangan. Tinggalkan Pendekatan Komoditas”, Kompas, Bisnis & Keuangan, Kamis, 24 April: 21. Saliem, Handewi P. (2004), “Analisis Marjin Pemasaran: Salah Satu Pendekatan Dalam Sistem Distribusi Pangan”, dalam Handewi P. Saliem, Saptana and Edi Basuno (ed.), Prospek Usaha Dan Pemasaran Beberapa Komoditas Pertanian, Monographs Series No.24, Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
13