Perkembangan Terkini Teknologi Pemisahan pada Industri Bioproses Kezia Febriana* Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung Jalan Ganesa No. 10, Bandung, Indonesia *Corresponding Author:
[email protected]
Abstrak Dengan meningkatnya permintaan produk industri bioproses dalam kemurnian yang tinggi,industri bioproses membutuhkan metode-metode pemisahan yang lebih efisien. Efisiensi yang dimaksud adalah perolehan yang lebih tinggi dari proses-proses yang biasa digunakan. Karena dibutuhkannya metode yang lebih efisien, terciptalah metode baru seperti reverse micelle, affinity membrane chromatography, isoelectric focusing, super critical fluid extraction, dan microfluidic biosepatation. Reverse micelle merupakan teknik pemisahan berdasarkan kepolaran. Affinity membrane chromatography merupakan gabungan 2 konsep proses pemisahan yang sudah ada, yaitu kromatografi afinitas dan penggunaan membran. Isoelectric focusing adalah pemisahan protein dari larutannya dengan memanfaatkan informasi pI. Supercritical fluid extraction adalah pemisahan senyawa organik ringan yang bersifat non polar menggunakan fluida superkritik.Teknik yang termasuk baru, yaitu microfluidic bioseparation, memanfaatkan microchip dan biosensor untuk mendeteksi protein dan memisahkannya. Teknik-teknik yang baru dikembangkan ini sangat berpotensi untuk dijadikan investasi industri bioproses. Kata kunci : peroses pemisahan, industri bioproses, reverse micell, affinity membrane chromatography, isoelectric focusing, supercritical fluid extraction, microfluidic bioseparation.
1. Pendahuluan Semakin lama, kebutuhan akan kemurnian produk industri bioproses meningkat. Contohnya adalah industri farmasi yang membutuhkan kemurnian zat hasil fermentasi yang tinggi. Padahal dengan teknologi sekarang, hanya beberapa kilogram protein atau enzim yang dapat diperoleh pertahunnya.[1] Walaupun begitu, keuntungan industri terebut sudah sangat besar karena saingannya yang sedikit tetapi permintaan konsumen besar. Tantangan lain yang akan dihadapi industri bioproses adalah merancang proses pemisahan tanpa mengetahui sifat fisik atau kimiawi dari zat yang dibutuhkan maupun limbah.[1] Selain itu, dalam perancangan proses pemisahan ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan selain perolehan yang tinggi seperti keamanan produk dan sel mikroba atau agen biologis itu sendiri.[2] Dengan menggunakan proses pemisahan seperti elektroforesis atau pemisahan mekanik, sel akan terekspos dengan lingkungan yang mungkin dianggap ekstrim bagi sel itu sendiri seperti medan elektrik atau tekanan.[1] Lingkungan yang baru
ini dapat meningkatkan stress kepada mikroba sehingga dapat menyebabkan lysis pada sel padahal sel tersebut akan dibutuhkan untuk batch atau proses fermentasi selanjutnya. Berarti industri bioproses membutuhkan teknik-teknik pemisahan hasil fermentasi yang baru dan lebih efisien. Sekarang dengan berkembangnya teknologi telah dikembangkan beberapa teknik proses pemisahan produk bioproses yang baru. Namun, sebagian konsep-konsep ini masih di tahap penelitian, belum dibawa ke skala pabrik. Maka dari itu, bidang ini sangat berpotensi untuk dikembangkan dan diinvestasikan. 2. Reverse Micelles Konsep pemisahan menggunakan reverse micelles dikembangkan untuk memisahkan protein dari pelarut beserta pengotornya dan menghasilkan larutan protein yang murni. Tidak hanya protein, teknik ini dapat digunakan untuk memperoleh makromolekul seperti DNA dan organel sel seperti mitokondria.[3,4]
Kezia Febriana, Perkembangan Terkini Teknologi Pemisahan pada Industri Bioproses, 2015, 01-11
Senyawa yang berperan besar dalam penggunaan teknik reversed micelles, adalah senyawa yang bersifat amfifilik. Senyawa ini juga dapat disebut sebagai surfaktan karena memiliki bagian hidrofilik yang terdiri dari gugus polar dan hidrofobik yang terdiri dari gugus non-polar. Pada teknik pemisahan reverse micelles, bagian polar dari surfaktan akan berikatan hidrogen dengan senyawa yang ingin dipisahkan (bersifat polar). Sementara bagian non-polar pada micelles akan berikatan dengan pelarut non-polar dengan ikatan van der Waals.Hasilnya, surfaktan akan membentuk reversed micelles, dimana bagian polar menghadap ke dalam dan bagian polar menghadap ke pelarut.[3,4,5,8] Contoh surfaktan yang biasa digunakan untuk teknik ini adalah AOT, anionic di-2-ethylhexyl sodium sulfosuccinate.[4]
Gambar 1. Struktur Reverse Micell Sumber: Ganguli (2009) Teknik reverse micelles terdiri dari 2 tahap yakni solubilisasi dan desolubilisasi. [3,4,5]. Pada tahap solubilisasi, molekul polar yang ingin diekstrak akan berpindah dari pelarut medium ke pelarut organik. Senyawa ini dapat terlarut di dalam pelarut organik dengan cara memasuki struktur reversed micelle yang terbentuk oleh surfaktan. Menurut sistem Winsor-II, perpindahan massa molekul polar dari pelarut awal dengan air pada inti reversed micelle mengikuti mekanisme endositosis yang terdapat pada sistem biologis.[3] Kinetika atau kecepatan solubilisasi dipengaruhi oleh pH air inti pada reverse micelle, konsentrasi surfaktan yang dinyatakan dalam Wo, dan sifat pada surfaktan dan biomolekul. Tingkat keasaman (pH) pada pelarut polar dapat
2
mempengaruhi muatan pada biomolekul. Semakin besar muatan biomolekul, ikatan antara biomolekul dan surfaktan semakin kuat, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk solubilisasi semakin cepat. Wo adalah konstanta yang menyatakan rasio perbandingan mol air dalam inti micelle terhadap mol surfaktan (mol H2O/mol surfaktan). Jika Wo tidak memenuhi syarat, maka sistem reversed micelle tidak akan terbentuk. Nilai syarat Wo tergantung pada ukuran biomolekul dan konsentrasi surfaktan. Sifat pada surfaktan dan biomolekul akan mempengaruhi kekuatan ikatan yang akan terbentuk. Semakin besar muatan atau kepolaran biomolekul dengan surfaktan, semakin cepat solubilisasi. [3,5,8] Surfaktan yang biasa digunakan untuk teknik pemisahan reversed micelle adalah surfaktan ionik seperti AOT dan CTAB (cationic cetyl trimethyl ammonium bromide). Surfaktan ionik adalah surfaktan yang memiliki gugus ionik sebagai bagian hidrofiliknya. Ikatan yang kuat terbentuk antara biomeluk dengan surfaktan diakibatkan oleh adanya pertukaran ion.[6] Walaupun ikatan terbentuk antara surfaktan dengan biomolekul yang kuat mempercepat solubilisasi, waktu yang dibutuhkan untuk tahap desolubilisasi realtif lama dan sulit untuk dilakukan. Selain itu, karena ikatannya terlalu kuat, biomolekul sering mengalami kerusakan, terutama protein. Akibatnya, aktivitas biologis pada biomolekul hilang. Untuk mencegah masalah ini, surfaktan nonionik seperti Tween 85 digunakan. Surfaktan ini cocok untuk mengekstraksi protein yang aktivitas biologisnya harus dijaga. Sayangnya, perolehan menggunakan surfaktan ini tidak sebanyak menggunakan surfaktan ionik walaupun waktu yang dibutuhkan untuk desolubilisasi tidak lama. Untuk mengoptimasi antara perolehan dan kualitas biomolekul, konsep mixed reverse micelles terbentuk. Pada konsep ini, ekstraksi dilakukan dengan menggunakan campuran surfaktan ionic dan non-ionik seperti AOT-Tween80 yang digunakan untuk ekstraksi protein. Konsep yang paling terkini adalah affinity-based reverse micelles. Konsep ini memiliki
Kezia Febriana, Perkembangan Terkini Teknologi Pemisahan pada Industri Bioproses, 2015, 01-11
selektivitas dan kapasitas yang lebih tinggi sehingga perolehan biomolekul dengan menggunakan konsep ini lebih tinggi. Pada konsep ini bagian polar pada surfaktan memiliki ligand atau gugus yang akan mengikat biomolekul secara spesifik. Ekstraksi antibody dapat memanfaatkan konsep ini karena menggunakan antigen sebagai ligand pada surfaktan.[4]
Gambar 2. Tahap Solubilisasi Protein[8] Tahap setelah solubilisasi adalah desolubilisasi. Tahap ini merupakan proses penghancuran sistem reversed micelle untuk melarutkan biomolekul dalam pelarut air yang murni, menghasilkan larutan biomolekul murni. Kecepatan desolubilisasi dipengaruhi oleh kekuatan ikatan yang terbentuk pada tahap solubilisasi, semakin kuat ikatan antara biomolekul dengan surfaktan, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk desolubilisasi. Maka dari itu kondisi operasi seperti pH dan temperatur dapat diatur untuk mempercepat desolubilisasi. Dengan pengaturan pH, muatan protein dapat diatur sehingga protein dengan surfaktan mengalami tolakan diakibatkan oleh tanda muatan yang sama. Dengan tolakan tersebut, struktur micelle runtuh dan biomolekul terlarut oleh pelarut air murni.[3,5] Temperatur dapat mempengaruhi ikatan antar pelarut, terutama air. Dengan kenaikan temperatur nilai Wo membesar sehingga tidak memenuhi syarat. Akibatnya, micelle hancur dan biomolekul terekstraksi. Penambahan ion dalam lingkungan reversed micelle dapat dilakukan agar konten air dalam reversed micelle mengalami osmosis sehingga air
3
bersama biomolekul keluar dari micelle. Selain senyawa garam, alkohol seperti etanol dapat ditambahkan untuk mempercepat desolubilisasi. Alkohol memiliki gugus hidroksi yang polar dan gugus alkil yang non polar sehingga dapat melarutkan surfaktan dalam pelarut non-polar. Akibatnya, struktur micelle hancur dan protein terekstraksi. Sayangnya, pengaturan pH, temperatur dan konsentrasi garam dapat merusak biomolekul, terutama protein yang sensitif terhadap perubahan kondisi tersebut. Bahkan, alkhohol yang dibutuhkan untuk desolubilisasi cukup untuk mengubah pH pelarut biomolekul secara drastis. Maka dari itu digunakanlah alternatif lain seperti penambahan counter-ionic surfactant yang akan berikatan dengan surfaktan dan membentuk sebuah kompleks. Pembentukan kompleks ini beringingan dengan penghancurkan struktur micelle. Metode lain adalah dehidrasi menggunakan gel silika yang mengakibatkan hilangnya konten air sekaligus protein pada micelle. Biomolekul yang keluar kemudian larut dalam air murni. Tekanan yang ditambahkan hingga 3-5 atm pada sistem reversed micelle akan membentuk gas hidrat dari konten air pada inti micelle. Pembentukan gas ini akan merusak micelle dan biomolekul dapat membentuk persipitasi yang mudah dipisahkan. [3] Aplikasi teknik pemisahan reverse micelles cukup luas terutama pada ektraksi enzim yang aktivitas biologisnya perlu dijaga. Contohnya ekstraksi enzim lysozyme dari telur putih ayam.[7] Teknik ini juga dapat digunakan untuk ekstraksi biomolekul lainnya seperti asam amino[6], DNA atau bahkan organel sel[3]. Teknik ini sangat berpotensi dalam industri bioproses karena selektivitas yang tinggi, dapat dilakukan secara kontinu, mudah scaling-up, dan biaya operasinya relatif rendah.[3,5,8] Beberapa surfaktan juga merupakan bahan antimicrobial seperti AOT.[9] Maka teknik ini perlu diteliti lebih lanjut supaya dapat diaplikasikan pada industri-industri.
4
Kezia Febriana, Perkembangan Terkini Teknologi Pemisahan pada Industri Bioproses, 2015, 01-11
3. Affinity Membrane Chromatography Teknik pemisahan yang sekarang umum dipakai oleh industri bioproses untuk memperoleh kemurnian yang tinggi adalah bead-packed column-liquid chromatography. Kekurangan dari menggunakan metode ini adalah hilang tekan pada aliran fluida sangat besar sehingga waktu yang dibutuhkan untuk pemisahan lama. Selain itu proses difusi biomolekul dalam packing juga membutuhkan waktu yang lama. Kerugian ini mengakibatkan perolehan yang rendah.[10,11] Teknik yang telah dikembangkan, teknik affinity membrane chromatograpy memecahkan masalah ini. Karena pori-pori yang berukuran makro pada membran, aliran fluida mengalami hilang tekan yang rendah sehingga laju alir fluida tetap tinggi dan perolehan biomolekul lebih tinggi dibandingkan teknik sebelumnya.[10] Teknik affinity membrane chromatography merupakan aplikasi konsep kromatografi. Senyawa dengan afinitas terhadap fasa stasioner akan tertinggal. Hanya saja fasa stasioner tersebut adalah membrane berpori. Pori pada membrane membiarkan larutan mengalir untuk mengurangi hambatan yang mengakibatkan hilang tekan. Karena hilang tekan yang dialami fluida kecil, laju alir fluida tetap tinggi sehingga biomolekul yang memiliki afinitas terhadap membran cepat mengalir melalui membran dan terpisahkan.[11,12] Akibatnya waktu tinggal biomolekul yang diinginkan dalam membran cepat. Supaya teknik ini dapat digunakan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh substrat membran atau biomolekul yang akan dipisahkan[11]. Berikut adalah syaratsyaratnya:
Struktur molekul tahan terhadap aliran fluida yang cepat Substrat memiliki gugus yang reaktif seperti gugus hidroksida, amida, dan asam karboksilat Sifat kimiawi dan fisika tetap stabil terhadap temperatur tinggi dan bahan kimia yang digunakan untuk sterilisasi
Memiliki sifat hidrofobik mempermudah pemisahan
untuk
Jika kelima syarat ini tidak terpenuhi, metode pemisahan ini tidak dianjurkan karena dapat merusak molekul substrat itu sendiri. Akibatnya, hasil dari pemurnian tidak maksimal. Untuk melaksanakan teknik ini jelas dibutuhkan membran terbuat dari bahan yang memiliki afinitas dengan protein ataupun zat yang ingin diperoleh. Jadi proses pembuatan membran ini merupakan proses yang penting. Berikut adalah 3 tahap dalam pembuatan membran berafinitas: Membuat membran dengan bahan dasar Aktivasi membran dasar Penyesuaian ligand dengan membran berafinitas
Gambar 3. Tahap-Tahap Pembuatan Membran Berafinitas untuk Pelaksanaan Affinity Membrane Chromatography[10] Bahan dasar membran perlu diperhatikan karena merupakan struktur dasar dari membran. Pemilihan bahan dasar yang akan digunakan tergantung pada sifat zat yang akan dipisahkan. Bahan polimer yang biasa digunakan untuk membuat membran berafinitas ini adalah selulosa karena selulosa memiliki gugus reaktif hidroksi yang banyak sehingga gugus ini dapat direaksinya untuk membentuk ligand. Namun, kekuatan bahan ini cukup lemah dan tidak tahan terhadap cairan yang basa karena menyebabkan hidrolisis selulosa. Selain itu pembentukan pori pada selulosa juga sulit.[13] Turunan selulosa, kitin dan kitosan, juga merupakan bahan yang sering digunakan sebagai bahan dasar membran karena memiliki struktur yang kuat, gugus reaktif yang banyak, dan ukuran porinya mudah diatur. Poliamida dan turunannya seperti nylon juga sering digunakan sebagai bahan dasar membran
Kezia Febriana, Perkembangan Terkini Teknologi Pemisahan pada Industri Bioproses, 2015, 01-11
karena memiliki struktur yang kuat dan stabil secara kimiawi. Tetapi, hidrolisis membran nilon perlu dilakukan untuk menambah gugus aktif dan menghindari afinitas terhadap molekul yang tidak diinginkan. Jika diperlukan bahan yang tahan terhadap suhu yang tinggi, polisulfon dan turunannya dapat digunakan. Sayangnya, bahan ini bersifat hidrofobik. Maka untuk mengatasi masalah ini bahan ini perlu dimodifikasi. Contoh modifikasi adalah mencampurkan polimer ini dengan polimer yang hidrofilik. Polietilen dan polipropilen merupakan bahan yang berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai membran karena memiliki stabilitas terhadap panas dan bahan kimia. Tetapi bahan ini bersifat hidrofobik. Sama seperti polisulfon, perlu dilakukan modifikasi. [10] Setelah pemilihan bahan, pembentukan pori perlu dilakukan. Metode pembentukan pori tergantung pada bahan yang digunakan. Pembentukan pori makro (0,5-1μm) pada selulosa dilakukan dengan mereaksikan selulosa dengan basa kuat pada konsentrasi yang tinggi kemudian direaksikan dengan NaBH4.[13] Pemodifikasian bahan dasar membran telah dilakukan untuk meningkatkan afinitas membrane terhadap biomolekul. Resin yang biasa digunakan pada packed-column chromatography memiliki afinitas yang tinggi. Sifat resin ini dimanfaatkan untuk membentuk mixed-matrix membrane. Hasil modifikasi ini memiliki afinitas yang lebih besar dari membran biasa.[12] Hasil pembentukan membran dari bahan dasar adalah membrane yang belum teraktivasi. Berarti, membrane ini belum dapat menarik protein dengan baik sehingga diperlukan aktivasi terlebih dahulu. Aktivasi membrane dapat dilakukan dengan beberapa cara. Salah satu cara yang paling biasa digunakan adalah aktivasi cyanogen bromide. Pada metode ini bahan dasar direaksikan dengan cyanogen bromide pada pH 7.2. Hasil reaksi ini akan membentuk membran teraktivasi dimana membran akan berikatan dengan gugus aromatik primer atau alifatik dari monomer
5
asam amino pada sebuah protein saat proses pemisahan protein. Sayangnya cyanogen bromide dikatakan karsinogenik sehingga proses aktivasi menggunakan metode ini harus dilakukan dengan hati-hati. Metode ini kurang cocok untuk digunakan pada proses pemisahan enzim yang akan dikonsumsi manusia. Karena metode sebelumnya bersifat kurang aman, telah dikembangkan metode aktivasi yang menggunakan zat yang lebih aman, yaitu metode aktivasi epoksida. Metode ini melibatkan reaksi antara gugus hidroksida pada bahan dasar membrane dengan bioxiranes, epichlorohydrin, atau epoxy bromopropane. Reaksi ini menghasilkan membran yang teraktivasi karena ada pembentukan gugus kelompok oksiran pada bahan dasar membran. Ada berbagai metode lain selain yang disebutkan sebelumnya seperti periodate oxidation dan triazine activation.[10] Tahap terakhir pembuatan membran berafinitas setelah tahap aktivasi adalah tahap penyesuaian ligan dengan membran. Tahap ini diperlukan untuk mencegah membran berikatan dengan zat yang memiliki afinitas dengan bahan dasar namun bukanlah zat yang ingin dipisahkan. Penyesuaian ligand dengan membran dilakukan dengan cara penambahan spacer arm kepada membran terlebih dahulu. Spacer arm adalah gugus mengikat kepada membran yang bertugas untuk memberi jarak antara membran dengan ligand. Spacer arm yang baik memiliki karakteristik berikut: (1)panjang spacer arm lebih dari 3 atom, (2) tidak memiliki gugus aktif selain yang mengikat substrat untuk menghindari afinitas terhadap molekul yang tidak diinginkan, dan (3) dapat mengikat ligand dan memiki afinitas terhadap substrat sehingga menambah kapasitas affinity chromatography membrane. Contoh spacer arm yang biasa digunakan adalah polipeptida, alkilamin, dan polieter.[10] Ligand yang terikat pada membran tergantung pada substrat yang ingin dipisahkan. Terdapat 4 macam ligan yang digunakan pada teknik ini yaitu: immunoafinity ligands (memanfaatkan ikatan antigen-antibody), Protein A atau G
Kezia Febriana, Perkembangan Terkini Teknologi Pemisahan pada Industri Bioproses, 2015, 01-11
(mengikat imunoglobulun G, IgG), ligan lowmolecular mass, dan ligan lain-lainnya.[12] Ligan yang baik harus memenuhi syarat berikut: (1) reaksi pembentukan ikatan antara subtrat dan ligan harus reversibel, (2) ikatan yang terbentuk tidak boleh merusak konformasi atau situs aktif substrat.[10] Jika syarat ini tidak terpenuhi, substrat yang dihasilkan akan kehilangan ativitas biologisnya.
Gambar 4. Struktur Affinity Chromatography Membrane Aplikasi teknik ini sangat berpotensi dalam pemurnian protein. Contohnya adalah pemurnian inhibitor enzim tripsin menggunakan membrane selulosa berpori (ukuran makro) dan enzim tripsin sebagai ligannya.[13] Concanavalin A berhasil dipisahkan menggunakan membran selulosa berpori yang diaktivasi menggunakan gugus epoksi, ditambahkan spacer arm dengan maltosa sebagai ligan.[14] 4. Isoelectric Focusing Diketahui bahwa setiap enzim memiliki nilai pI yang berbeda-beda. pI adalah nilai pH pada saat enzim memiliki muatan total sebesar 0. Informasi ini kemudian dimanfaatkan untuk pemisahan enzim. Teknik pemisahan protein dengan memanfaatkan informasi pI disebut sebagai teknik isoelectric focusing. Teknik ini juga merupakan hasil modifikasi teknik elektroforesis, yang memisahkan zat tergantung pada muatannya.[15]
6
Teknik ini dilaksanakan dengan meletakkan larutan berenzim di tempat bermedan elektrik. Medan elektrik ini dibentuk oleh anoda dan katoda yang dialiri listrik. Dengan adanya anoda dan katoda yang bermuatan, konsentrasi ion hidrogen atau senyawa asam akan terkonsentrasi pada anoda sehingga larutan sekitar anoda bersifat asam. Sementara senyawa basa akan terkonsentrasi pada katoda. Perpindahan senyawa asam dan basa ini akan membentuk konsentrasi gradien pH dari anoda (pH rendah) ke katoda (pH tinggi). Ditambah lagi, reaksi yang terjadi pada anoda adalah oksidasi air yang menghasilkan ion hidrogen sehingga menurunkan pH pada anoda. Sementara pembentukan ion hidroksi dengan reduksi air terjadi pada katoda.[16] Molekul protein yang kebetulan terletak pada pH dibawah nilai pI-nya akan bersifat asam dan memiliki muatan positif. Muatan yang terbentuk ini akan mendorong protein untuk berpindah menuju katoda yang bermuatan negatif. Selama perpindahan protein akan mengalami perubahan pH pada lingkungan sehingga muatan protein juga berubah menuju 0. Perubahan pH ini diakibatkan oleh protein yang bereaksi dengan ion hidroksi selama perpindahan. Pada saat pH molekul protein mencapai pI, molekul bermuatan 0 dan akan diam di tempat itu karena telah mencapai kondisi paling stabil. Jika protein kebetulan terletak pada pH yang lebih tinggi dari nilai pI, hal yang sebaliknya akan terjadi. Protein bermuatan negative berpindah menuju anoda yang disebabkan oleh ketertarikan antara muatan protein dengan elektroda yang berbeda. Selama perjalanan protein akan bereaksi dengan ion hidrogen, menghasilkan protein yang bermuatan 0. Pada kondisi ini protein akan diam di tempat yang sama dari kondisi sebelumnya. Akhirnya sebuah daerah pada reaktor akan terkonsentrasi dengan protein. Daerah tersebut memiliki nilai pH yang sama dengan pI dari protein.[15,16] Teknik ini berbeda dengan elektroforesis dimana biomolekul akan terus bergerak selama ada medan listrik.[17]
Kezia Febriana, Perkembangan Terkini Teknologi Pemisahan pada Industri Bioproses, 2015, 01-11
Gambar 5. Konsep Isoelectric Focusing[15] Dalam mendesain proses pemisahan ini ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan yakni:
Rentang gradient pH Gel yang digunakan Listrik yang dibutuhkan Kelarutan protein terhadap larutan yang akan digunakan
Rentang gradien pH yang akan terbentuk perlu diperhatikan karena nilai pI protein harus berada di rentang gradien yang akan terbetuk. Idealnya nilai pI protein berada di tengah rentang pH larutan. Supaya protein dapat dikonsentrasikan ke suatu area yang spesifik. Berarti, larutan yang akan membentuk gradien pH perlu dipilih dengan baik. Ada 2 macam larutan yang dapat digunakan pada sistem ini yaitu elektrolit amfoterik, larutan dengan campuran berbagai macam senyawa amin alifatik dengan senyawa bergugus asam karboksilat, dan penyangga acrylamido sebuah senyawa turunan dari akrilamida.[15,16] Senyawa elektrolit amfoterik, atau pembawa amfolit, selain penyangga dapat menghantarkan arus listrik untuk menjaga pH gradien antara elektroda. Senyawa ini juga harus memiliki kapasitas penyangga yang besar untuk menghindari perubahan pH pada daerah tersebut. Selain itu, penyangga ini harus dipilih dengan baik sehingga tidak berikatan dengan protein dan membentuk sebuah kompleks. Jika terbentuk kompleks, protein tidak dapat dipisahkan. Masalah dari menggunakan larutan ini adalah seiring berjalannya waktu variasi pH antara elektroda berubah dikarenakan larutan yang terus
7
bereaksi dengan protein. Akibatnya, efisiensi pemisahan tidak konstan dan berbeda setiap percobaan. Maka dari itu, digunakanlah penyangga akrilamido yang tetap pada matriks poliakrilamid dalam wujud gel. Terdapat 7 macam senyawa turunan akrilamid yang digunakan untuk membentuk gradien pH. Tujuh titik pH senyawa tersebut sebesar: 3,6; 4,6; 6,2; 7,0; 8,5; 9,3; dan 10,3. Berbeda dengan elektrolit amfoterik, gradien pH pada penyangga akrilamido konstan maka proses pemisahan dapat dilakukan dalam waktu yang lebih lama, efisiensi dan perolehan menggunakan penyangga ini lebih besar.[16] Biasanya pada metode ini digunakan media gel dengan pori-pori yang besar sehingga molekul protein dan senyawa penyangga dapat berpindah tempat dengan bebas. Terdapat 2 macam gel yang biasa digunakan, agar dan poliakrilamid. Jika menggunakan poliakilamid, penyangga yang digunakan pasti senyawa turunan akrilamido dimana gradien pH akan selalu konstan dalam waktu yang lama. Agar merupakan polisakarida yang natural. Struktur pada agar dan poliakrilamid tidak berbeda jauh hanya saja pori pada agar lebih besar. Ini merupakan kelebihan bari agar karena dapat digunakan untuk pemisahan protein yang besar (>200 kDa). Pemisahan protein besar menggunakan poliakrilamid tidak menghasilkan perolehan yang tinggi karena protein tidak dapat berpindah jauh sehingga tidak dapat capai pI.[16] Listrik yang dibutuhkan juga perlu diperhitungkan karena listrik yang mengalir pada anoda dan katoda akan mempengaruhi pH larutan. Semakin besar gradien pH semakin baik karena protein akan terkonsentrasi ke area yang lebih kecil sehingga lebih mudah untuk diperoleh. Waktu yang dibutuhkan untuk pemurnian juga berkurang.[17] Namun, semakin besar tegangan yang diberi, semakin banyak panas yang tertinggal dalam gel. Hal ini tidak diinginkan karena kenaikan suhu gel yang drastis dapat mengakibatkan kerusakan biomolekul seperti denaturasi protein. Maka dari itu, tegangan yang diberi harus diperhitungkan dengan baik. Salah satu caranya adalah menggunakan gel
Kezia Febriana, Perkembangan Terkini Teknologi Pemisahan pada Industri Bioproses, 2015, 01-11
yang lebih tipis karena rasio permukaan terhadap volumenya lebih besar dibandingkan gel yang teba sehingga lebih mudah untuk menghilangkan panas ke lingkungan. [15] Kelarutan protein juga harus diperhatikan karena molekul protein cenderung mengdendap saat keasaman protein mencapai pI. Untuk menghindari terjadinya pendendapan, urea atau senyawa detergen ditambahkan ke larutan. Urea dalam larutan akan mengganggu pembentukan ikatan hidrogen antar molekul protein sehingga tidak terjadi koagulasi. Tetapi jika urea yang ditambahkan terlalu banyak, pH larutan dapat berubah drastis sehingga menyebabkan denaturasi protein. Jadi dibutuhkan senyawa lain yang menghambat koagulasi protein.[15] Pemisahan campuran protein menggunakan isoelectric focusing dilakukan pada jaringan sel tikus dilakukan dengan gel akrilamid. Hasilnya, pemisahan dapat memisahkan ratusan protein yang terdapat pada jaringan sel tikus. Titik pI yang sangat berdekatan dapat mengartikan mutasi protein pada jaringan sel.[18] 5. Ekstraksi Fluida Superkritik Fluida superkritikal adalah fluida dalam kondisi temperatur diatas temperatur kritis dan tekanan diatas tekanan kritis. Fluida superkritikal pada umumnya memiliki densitas yang tinggi, viskositas yang rendah, dan difusivitas diantara cairan dan gas.[19] Jika tekanan ditingkatkan terus, solubilitas dan massa jenis fluida akan semakin menyerupai cairan.[20] Karakteristik ini menyebabkan fluida superkritikal dapat menyebar melewati celah-celah padatan seperti gas dan melarutkan zat seperti cairan.[21] Sifat-sifat ini menyebabkan fluida superkritik menjadi pelarut ekstraksi yang baik. Fluida superkritik yang pada umum digunakan adalah karbon dioksida, CO2. Karbon dioksida merupakan fluida yang umum digunakan karena tidak mudah bereaksi, tidak berbahaya, tidak mudah terbakar dan harganya relatif terjangkau.[19]
8
Alasan lain yang membuat karbon dioksida sering digunakan sebagai pelarut ekstraksi adalah tidak dibutuhkan suhu yang tinggi untuk mencapai kondisi superkritik sehingga senyawa yang diekstraksi tidak mengalami kerusakan yang disebabkan oleh kondisi operasi. Pada teknik ekstraksi menggunakan fluida superkritik terdapat dua tahap utama yaitu melarutkan senyawa dalam fluida superkritik dan dilanjutkan dengan persipitasi senyawa estrak. Pada tahap pertama, fluida pelarut, biasanya karbon dioksida dipanaskan dan diberi tekanan sampai mencapai kondisi superkritik.[20] Selektivitas dan kapasitas pelarut dipengaruhi oleh massa jenis fluida superkritik. Sementara, massa jenis fluida dipengaruhi oleh tekanan dan temperatur fluida. Maka dari itu untuk mengoptimalkan selektivitas dan kapasitas, tekanan dan suhu fluida superkritik diatur.[19] Tahap selanjutnya adalah persipitasi senyawa terlarut dengan cara menurunkan tekanan fluida superkritik. Penurunan tekanan mengakibatkan penurunan massa jenis yang menghasilkan kelarutan terhadap senyawa ekstrak yang sangat rendah. Hasilnya, senyawa biomolekul memisahkan diri dari fluida sebagai persipitasi sementara fluida menjadi gas dan menguap.[20] Karena fluida pelarut yang biasa digunakan adalah karbon dioksida, senyawa yang terlarut terbatas pada senyawa non-polar yang ringan seperti hidokarbon C3 dan C4. Hal ini diakibatkan oleh sifat karbon dioksida yang polar dan massa jenis karbon dioksida superkritik kurang besar untuk mengikat molekul polar yang lebih besar. Penambahan ko-pelarut seperti metanol yang bersifat polar telah dilakukan untuk mengekstraksi senyawa polar. Sayangnya, hasilnya perolehannya belum setinggi hasil ekstraksi konvensional.[19] Beberapa upaya lain telah dilakukan untuk meningkatkan perolehan. Contohnya adalah
Kezia Febriana, Perkembangan Terkini Teknologi Pemisahan pada Industri Bioproses, 2015, 01-11
menggunakan ekstraksi beberapa tahap. Misalkan ekstraksi perasa alami dari lemak susu dengan karbon dioksida superkritikal dilakukan dengan 2 tahap. Tahap pertama adalah ekstraksi dengan kondisi operasi 200 bar dan 45°C dan dilanjutkan dengan ekstraksi tahap kedua dengan kondisi operasi 170 bar 60°C. Hasil percobaan menyatakan konsentrasi perasa dipekatkan 500 sampai 1000 kali dengan metode ekstraksi 2 tahap.[22] Salah satu cara lain untuk mengoptimasi adalah menggunakan kolom dengan packing. Namun hal lain yang perlu diperhatikan adalah laju alir fluida dengan ukuran packing karena kedua hal ini mempengaruhi efisiensi.[23] Teknik ini telah diaplikasikan untuk mengekstraksi minyak dari kacang kedelai[24], biji pohon ek[25], perasa pada susu dari lemak susu[22], dan β-karoten serta likopen dari tomat[26]. Selain itu teknik ini dapat digunakan untuk mengekstrasi bernilai tinggi untuk industri farmasi seperti karotenoid dan asam linoleik dari mikroalga.[27] Dapat disimpulkan bahwa teknik ini berhasil digunakan untuk mengekstraksi zat-zat organik yang bernilai tinggi, terutama perasa, obat, dan bahan aromatik untuk parfum dan makanan. Jadi teknik ini berpotensi untuk dikembangkan untuk dioptimasi dan dapat mengekstraksi berbagai senyawa termasuk yang polar yang masih merupakan tantangan bagi industri bioproses.
9
mendeteksi dan memisahkan senyawa produk yang diinginkan. Metode ini juga menggunakan konsep elektroforesis dimana substrat berpindah tempat sesuai muatan.[28] Teknik ini dilaksanakan dengan cara penanaman microchip dengan biosensor kepada medium hasil fermentasi. Kemudian dengan adanya magnet, senyawa yang ingin diperoleh akan terkonsentrasi ke arah daerah yang paling dekat dengan sumber medan magnet. Dengan ini protein terpisahkan dan dapat diperoleh untuk dimurnikan lebih lanjut.[28,30]
Gambar 6. Perbedaan Antara Metode Microfluidic dan Tube Separation[29] 7. Kesimpulan
6. Microfluidic Bioseparation Tantangan yang selalu ada dalam industri bioproses adalah memisahkan produk yang diinginkan dari medium hasil fermentasi yang mengandung berbagai macam senyawa. Teknik ini kemudian dikembangkan dengan harapan dapat memecahkan masalah ini. Teknik ini merupakan teknik yang sangat modern karena menggunakan microchip untuk
Dengan meningkatnya permintaan produk industri bioproses dalam kemurnian yang tinggi, industri bioproses membutuhkan metode-metode pemisahan yang menghasilkan perolehan yang lebih tinggi. Metode pemisahan yang relative baru adalah reverse micelle, affinity membrane chromatography, isoelectric focusing, super critical fluid extraction dan microfluidic biosepatation. Reverse micelle sangat berpotensi untuk
Kezia Febriana, Perkembangan Terkini Teknologi Pemisahan pada Industri Bioproses, 2015, 01-11
pemisahan molekul polar. Affinity membrane chromatography berpotensi digunakan dalam pemurnian berbagai macam molekul, yang penting adalah substrat memiliki afinitas terhadap ligan pada membrane, senyawa tersebut termasuk antibody dan protein. Isoelectric focusing adalah teknik yang dikembangkan khusus untuk pemisahan protein. Supercritical fluid extraction sangat berpotensi dalam bidang kosmetik dan makanan yang membutuhkan senyawa yang memiliki wangi khas dan perasa natural yang khas dimana senyawa-senyawa ini biasanya adalah senyawa organik ringan yang bersifat non polar. Teknik yang termasuk baru, yaitu microfluidic bioseparation, berpotensi untuk berbagai macam pemisahan biomolekul, hanya saja teknik ini perlu penelitian yang lebih lanjut. Daftar Pustaka [1] Keller, K., Friedmann, T., (2011). The Boseparation Needs for Tomorrow. The NDS in Biotechnology. 19(11). Hal 438-441. [2] Singh, P.C., Singh, R.K., (1996). Choosing an Appropriate Bioseparation Technique. Trends in Food Science & Technology Engineering. 16(6). Hal 949-955. [3] Lazarova, Z., Tonova, K., (2008). Reversed Micelle Solvents as Tools of Enzyme Purification and Enzyme-Catalyzed Conversion, Biotechnology Advances, 26, Hal 516-532. [4] Liu, Y., Dong, X., Sun., Y. (2008). New Development of Reverse Micelles and Application in Protein Separation and Refolding. Chinese Journal of Chemical Engineering.16(6). Hal 949955. [5] Kadam, K. L. (1986). Reverse Micelles as a Bioseparation Tool, Enzyme Microbiology Technology, 8. Hal 266-273. [6] Cardoso, M. M., et al. (1998). Mechanisms of Amino Acid Partitioning in Cationic Reversed Micelles, Bioseparation, 7. Hal 65-78 [7] Jarudilokkul, S., Paulsen, E., Stuckey, D. C. (2000). The Effect of Demulsifiers on Lysozyme
10
Extraction from Hen Egg White Using Reverse Micelles, Bioseparation,9. Hal 81-91. [8] Krei, G. A., Hustedt, H. (1992). Extraction of Enzymes by Reverse Micelles, Chemical Engineering Science, 47(1). Hal 99-111 [9] Chen, F., et al. (2008). Antimicrobial Activity of AOT-isooctane Reverse Micelle as a Bioseparation and Biocatalyst Tool. Chemical Speciation and Bioavailability, 20(3), Hal 191-197. [10] Zou, H., Luo, Q., Zhou, D,. (2001). Affinity Membrane Chromatography for the Analysis and Purification of Proteins. Elsevier. 49. 199-240. [11] Ghosh, R., (2002). Protein Separation Using Membrane Chromatography: Opportunities and Challenges. Elsevier. 952. Hal 13-27. [12] Orr, V., et al. (2013). Recent Advances in Bioprocessing Application of Membrane Chromatography, Biotechnology Advances, 31, hal 450-465. [13] Ruckenstein, E., Guo, W. (2001). Crosslinked Mercerized Cellulose Membranes and Their Application to Membrane Affinity Chromatography, Journal of Membrane Science 187, hal 277-286. [14] Guo, W., Ruckenstein, E. (2001). A New Mtrix for Membrane Affinity Chromatography and its Application to the Purification of Concanavalin A, Journal of Membrane and Science, 182, hal 227234. [15] Davey, J., Lord, M. (2003). Isoelectric Focusing. Oxford University Press, Oxford UK. Hal 1-8. [16] Garfin, D. E. (2000). Separation Science and Technology, Volume 2, Academic Press. Hal 263298. [17] Vesterberg, O. (1972). Isoelectric Focusing of Proteins in Polyacrylamide Gels, Biochimica Et Biophysica Acta, 257, hal 11-19. [18] Klose, J. (1975). Protein Mapping by Combined Isoelectric Focusing and Electrophoresis of Mouse Tissue, Humangenetik 26, hal 231-243. [19] Palmer, M. V., Ting, S. T. T. (1995). Applications for Supercritical Fluid Technology in Food Processing, Food Chemistry, 52, hal 345-352. [20] Morgan, E. D. (2000). Supercritical Fluid Extraction, III/Natural Products, Academic Press, hal 3451-3459
Kezia Febriana, Perkembangan Terkini Teknologi Pemisahan pada Industri Bioproses, 2015, 01-11
[21] Sapkale, G. N., et al. (2010). A Review: Supercritical Fluid Extraction. Int. J. Chem. Sci, 8(2), hal 729-743. [22] de Haan, A. B., et al. (1990). Extraction of Flavours from Milk Fat with Supercritical Carbon Dioxide, The Journal of Supercritical Fluids, 3, hal 15-19. [23] Salamatin, A. A., Egorov, A. G. (2015). Optimization of Supercritical Fluid Extraction: Polydisperse Packed Beds and Variable Flow Rates. The Journal of Supercrtical Fluids, 105, hal 35-43 [24] Friedrich, J. P., List, G. R., Heakin, A. J. (1982). Petroleum-Free Extracton of Oil from Soybeans with Supercritical CO2, JAOCS, 59(7), hal 288-292 [25] Bernando-Gil, M. G., et al. (2007). Supercritical Carbon Dioxide Extraction of Acorn Oil, The Journal of Supercritical Fluids, 40, hal 444-348. [26] Baysal, T., Ersus, S., Starmans, D. A. J. (2000). Supercritical CO2 Extraction of β-Carotene and Lycopene fro Tomato Waste Paste. Journal of Agriculture and Food Chemistry. 48, hal 55075511. [27] Mendes, R. L., et al. (2003). Supercritical Carbon Dioxide Extraction of Compounds with Pharmaceutical Importance from Microalgae. Inorganica Chimica Acta, 356, hal 328-334. [28] Khashan, S. A., Alazzam, A., Furlani E. P. (2014). Computational Analysis of Enhanced Magnetic Bioseparation in Microfluidic Systemns with Flow-Invasive Magnetic Elements. Scientific Reports. 4(5299). Hal 1-9. [29] http://www.robaid.com/tech/novelmicrofluidic-method-for-bioseparation.htm, diakses 7 November 2015. [30] Shields IV, C. W., Reyes, C.D., Lopez, G.P., (2014). Microfluidic Cell Sorting: Arevier of the Advances on the Seperation of Cells from Debulking to Rare Cell Isolation. NIH Public Access. 15(5). 1230-1249
11