Metode Pemecahan Sel pada Proses Hilir Industri Bioproses Brenda Kalista* Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung Jalan Ganesa No. 10, Bandung, Indonesia *Corresponding Author:
[email protected]
Abstrak Produk yang dihasilkan pada suatu industri bioproses biasanya berada dalam konsentrasi yang rendah, sehingga dibutuhkan proses pemisahan dan pemurnian yang lebih kompleks jika dibandingkan dengan industri kimia biasa. Proses hilir yang dibutuhkan akan semakin menantang apabila produk yang diinginkan merupakan produk intraseluler. Sebelum dilakukan pemisahan lebih lanjut, diperlukan suatu metode untuk memecahkan sel, sehingga produk dapat diproses lebih lanjut. Metode untuk melakukan pemecahan sel secara garis besar dibagi menjadi metode mekanik dan non-mekanik. Metode non-mekanik diklasifikasikan kembali menjadi metode pemecahan sel secara fisika, kimiawi, dan biologik. Metode mekanik yang umum digunakan adalah homogenisasi tekanan tinggi (HPH), penggilingan dengan material abrasif, dan ultrasonikasi. Kavitasi, osmotic shock, pH shock, dekompresi, termolisis, penggunaan agen biologis dan penggunaan zat aditif seperti enzim, detergen, agen pengkelat, chaotropic agent dan pelarut tertentu akan dijabarkan lebih dalam. Beberapa kasus pemecahan sel akan dibahas, seperti pemecahan sel mikroalga untuk memperoleh lipid, pemecahan sel Candida mogii untuk memperoleh enzim xilosa reduktase, dan pemecahan sel E. coli untuk memperoleh HBcAg (Hepatitis B core Antigen). Kata kunci: proses hilir, pemecahan sel, metode mekanik, metode non-mekanik, HPH, osmotic shock, penggilingan, agen biologis
1. Pendahuluan Pada suatu industri bioproses, produk yang dihasilkan biasanya berada dalam konsentrasi yang rendah, sehingga dibutuhkan proses pemisahan dan pemurnian yang disebut sebagai downstream processing guna meningkatkan konsentrasi produk yang diinginkan. Tahap pertama dari proses hilir industri bioproses adalah memisahkan sel dari kaldu fermentasi. Pada beberapa kasus, produk yang diinginkan tidak berada di dalam kaldu fermentasi, tetapi terdapat di dalam sel. Produk yang berada di dalam suatu biomassa disebut produk intraselular (Belter, 1988). Apabila produk yang diinginkan merupakan produk intraselular, maka sebelum melakukan pemisahan sel dari kaldu fermentasi, perlu dilakukan pemecahan dinding dan membran sel, sehingga produk terlarut di dalam kaldu fermentasi (Katoh dan Yoshida, 2009). 2. Membran Sel Mikroorganisme memiliki membran sel yang merupakan suatu struktur agak kaku dan berfungsi sebagai pemisah sel dengan lingkungan dan transpor nutrien, zat-zat
metabolit, dan sebagainya. Pada bakteri Gramnegatif, membran sel tersusun atas membran luar, peptidoglikan, ruang periplasmik, dan membran plasma (Harrison, 1991). Dinding serta membran sel bakteri Gram-negatif dapat dilihat pada Gambar 1. Membran luar memiliki ketebalan sekitar 8 nm, yang tersusun dari protein dan lipopolisakarida (Belter, 1988). Peptidoglikan merupakan suatu struktur lapisan yang bersifat kaku (Harrison, 1991) dan lebih tipis bila dibandingkan dengan membran luar. Peptidoglikan berperan terutama dalam memberikan kekuatan dan ketahan mekanik bagi sel. Ruang periplasmik terletak di antara peptidoglikan dan membran plasma, memiliki ketebalan yang hampir sama dengan membran luar, yaitu sekitar 8 nm. Pada ruang periplasmik biasanya sering ditemukan berbagai enzim. Membran plasma sebagian besar tersusun atas fosfolipid dan mengandung beberapa jenis protein (Harrison, 1991). Pada sel hidup, membran sel bertugas untuk mengatur gradien konsentrasi zat-zat terlarut di dalam sel dan mengatur transpor zat-zat keluar masuk sel.
Brenda Kalista, Metode Pemecahan Sel pada Proses Hilir Industri Bioproses, 2015, 1-13
Membran sel tidak berperan dalam kekuatan struktur sel dan mudah pecah akibat osmotic shock apabila tidak terdapat lapisan komponen yang berstruktur lebih kuat pada sel. Pada bakteri Gram-positif, susunan membran sel dari luar ke dalam adalah peptidoglikan, ruang periplasmik, dan membran plasma. Peptidoglikan pada bakteri Gram-negatif memiliki ketebalan 1.5 hingga 2.0 nm (10% hingga 20% berat kering dari keseluruhan membran sel), sedangkan pada bakteri Grampositif, komposisi peptidoglikan adalah 50% hingga 80% berat kering dari keseluruhan membran sel (Harrison, 1991). Membran luar Peptidoglikan Ruang periplasmik Membran sioplasma
Gambar 1. Struktur membran dan dinding sel bakteri Gram-negatif (Belter, 1988) Pengetahuan mengenai dinding sel bakteri penting dalam upaya pemecahan sel untuk memperoleh produk intraselular, agar metoda yang dipilih mampu memberikan hasil yang maksimal.
2
tahap pemisahan dan pemurnian lebih lanjut. Beberapa produk intraselular terlarut di dalam sitoplasma. Namun, ada pula produk intraselular yang tidak terlarut dan merupakan partikel yang terselubungi protein, disebut sebagai inclusion bodies. Khusus kasus yang disebutkan terakhir, diperlukan pelarutan sebelum tahap pemurnian lebih lanjut (Katoh dan Yoshida, 2009). Secara umum, metode pemecahan sel dibagi menjadi dua garis besar, yaitu metode mekanik dan metode nonmekanik. Pada proses mekanik dalam pemecahan sel secara umum adalah dengan menggunakan tekanan, agitasi mekanik, penggilingan, gesekan, dan sebagainya. Perlakuan yang diberikan dengan metode mekanik seperti homogenisasi tekanan tinggi, dispersi dan penggilingan koloid, penggilingan kecepatan tinggi, impingement jets, ultrasonikasi, dan solid pressure shear. Kerugian utama dari pemecahan sel dengan metode mekanik adalah investasi alat yang cukup tinggi dan kebutuhan energi yang besar. Metode non-mekanik dapat dibagi menjadi tiga garis besar, yaitu secara physical, kimiawi, dan biologik. Secara fisika, metode non-mekanik memanfaatkan pemanasan, pendinginan (freezing), osmotic shock, dekompresi gas, kavitasi ultrasonik dan kavitasi hidrodinamik. Secara kimiawi, dengan menggunakan asam, basa, detergen, pelarut, EDTA, antibiotik, dan agen chaotropic. Metode non-mekanik secara biologik memanfaatkan enzim dan agen-agen biologis (Harrison, 1991). Tidak semua metode pemecahan sel akan dibahas pada kesempatan ini.
Peptidoglikan
3. Metode Pemecahan Sel Secara Mekanik Membran sioplasma
3.1 Homogenisasi Tekanan Tinggi Gambar 2. Struktur membran dan dinding sel bakteri Gram-positif (Belter, 1988) Pada beberapa kasus proses hilir industri bioproses, produk yang diinginkan merupakan produk intraselular, sehingga diperlukan pemecahan sel agar produk dapat memasuki
Homogenisasi tekanan tinggi merupakan metode pemecahan sel yang sering digunakan pada industri skala menengah dan besar (Middleberg, 2000 dan Kleinig dan Middleberg, 1997). Homogenizer tekanan tinggi secara esensial merupakan pompa pemindahan positif yang memompakan suspensi sel melalui sebuah katup dengan tekanan hingga 1500 bar (Kleinig dan
Brenda Kalista, Metode Pemecahan Sel pada Proses Hilir Industri Bioproses, 2015, 1-13
Middleberg, 1997). Katup yang biasa digunakan pada proses ini dapat dilihat pada Gambar 3. Pada prinsipnya, pada metode ini suspensi sel dilewatkan secara paksa ke suatu lubang orifice yang sempit dari suatu katup sebelum dialirkan ke suatu wadah dengan tekanan yang lebih rendah (Halim, dkk., 2011). Valve spring loaded)
Impact ring
3
Selanjutnya, dilakukan pengambilan sampel awal sehingga diketahui konsentrasi awal protein supernatan. Three-way valve dari tangki yang mengandung material untuk dihomogenisasi kemudian dibuka sehingga terjadi aliran di antara tangki dan homogenizer, dan aliran keluar dari homogenizer diarahkan ke tangki yang lain. Proses ini terus berlangsung hingga tercapai kriteria yang diinginkan, yaitu pelepasan produk maksimum dan ukuran hasil homogenisasi yang sudah sesuai standar yang diinginkan. 3-way valve Validated filters
feed (Tekanan tinggi)
Valve seat
Homogenate (Tekanan rendah)
Gambar 3. Penampang melintang dari katup pada homogenizer tekanan tinggi (Middleberg, 2000) Efisiensi dari pemecahan sel dengan homogenisasi tekanan tinggi dapat ditingkatkan dengan gap katup yang kecil sehingga aliran suspensi sel memiliki kecepatan yang tinggi dan diameter impact ring yang kecil. Selain itu, perlu dirancang suatu sistem homogenisasi tekanan tinggi dengan aliran ganda, karena pada aliran tunggal, pemecahan sel secara menyeluruh hampir tidak terjadi. Sebagai contoh, pada Gambar 4, suspensi sel dimasukkan ke dalam tangki. Tangki yang digunakan harus tertutup dengan baik agar tidak terjadi kebocoran aerosol. Suspensi sel yang dimasukkan ke dalam tangki disesuaikan dengan substrat dan produk yang dihasilkan. Suspensi sel dapat berupa kaldu fermentasi yang sudah melalui pretreatment, pengurangan volume, dan pemisahan terhadap medium fermentasi awal. Kaldu fermentasi di dalam tangki kemudian diatur konsentrasinya dengan melakukan dilusi dengan buffer yang sesuai.
Cooling jacket
Storage tank
Storage tank
homogenizer
Gambar 4. Contoh sistem homogenisasi tekanan tinggi (Middleberg, 2000) Ukuran partikel hasil homogenisasi (debris size) diamati secara kualitatif dengan menggunakan mikroskop phase-contrast. Apabila dibutuhkan kalibrasi, maka ke dalam sampel ditambahkan standar lateks dengan ukuran yang sudah ditentukan. Pada upaya optimasi proses seringkali dibutuhkan pengukuran partikel hasil homogenisasi yang kuantitatif. Namun, metode pengukuran secara kuantitatif memberikan banyak error dan ketidakakuratan. Salah satu metode yang dikembangkan adalah CSA, yaitu cumulative sedimentation analysis, yang diharapkan dapat mengatasi keterbatasan metode-metode lain dan dapat digunakan dengan berbagai alat yang tersedia pada laboratorium standar,
Brenda Kalista, Metode Pemecahan Sel pada Proses Hilir Industri Bioproses, 2015, 1-13
seperti alat sentrifugasi dengan swing-out motor,elektroforesis dengan gel SDSpoliakrilamida (Middleberg, 2000). Homogenisasi tekanan tinggi banyak diintegrasikan dengan metode-metode seperti kavitasi, turbulensi, impingement, shear stress, gradien tekanan, dan extensional shear (Kleinig dan Middleberg, 1996).
3.2 Penggilingan (Bead Mill) Penggilingan merupakan salah satu metode pemecahan sel secara mekanik dengan menggunakan media penggilingan seperti manik-manik kaca (Heim, dkk., 2007). Pada prinsipnya, penggilingan menggunakan suatu wadah atau ruang penggilingan vertikal atau horizontal, dengan piringan atau impeler yang berotasi. Piringan atau impeler digerakkan oleh shaft yang terhubung dengan motor listrik. Pergerakkan secara rotasi ini mengakibatkan manik-manik kaca atau plastik yang digunakan menggiling suspensi sel secara merata. Dengan kata lain, penggilingan merupakan cara pemecahan sel berdasarkan gaya gesek solid, dengan mengagitasi suspensi sel dengan material yang bersifat abrasif (Gaver dan Huyghebaert, 1991).Pada ruang atau wadah penggilingan (grinding chamber) terdapat pelat sehingga manik-manik dapat dipisahkan dan tertahan di dalam grinding chamber. coolant katup
4
Pada alat penggilingan dipasang sistem pendingin dalam bentuk cooling jacket atau cooled impeller shaft untuk mendisipasi panas yang terbentuk selama proses penggilingan. Penggilingan secara horizontal lebih sering digunakan karena mampu mengurangi efek fluidising dari proses penggilingan yang sering terjadi pada penggilingan secara vertikal. Pada umumnya, penggunaan manik-manik yang berukuran lebih kecil akan lebih efektif. Untuk rata-rata dari sel ragi, digunakan manik-manik berukuran 0.2 hingga 2.8 mm (Harrison, 1991). Penggunaan manik-manik yang lebih besar bertujuan untuk memperoleh enzim yang terletak pada ruang periplasmik, sedangkan manik-manik yang lebih kecil penggunaannya lebih bertujuan untuk memperoleh produk pada sitoplasma (Schutte, dkk., 1983). Tabel 1. Waktu tinggal penggilingan (Ross, 1962)
Mikroorganisme
Waktu Tinggal [s]
Aerobacter aerogenes
96
Bacterium cyclo-oxidans
35
Eschericia coli
85
Penicillium chrysogenum
< 20
Saccharomyces cerevisiae
< 17
pompa udara
Streptomyces noosus
85
Chamber with beads
Suspensi sel
Broken Cell suspension
Gambar 5. Skema alat penggilingan sederhana (Ross, 1962)
Dalam penggilingan, parameter yang perlu mendapat perhatian antara lain ukuran manikmanik, densitas dan konsentrasi sel pada umpan, laju alir umpan, kecepatan agitator, konfigurasi peralatan, bentuk grinding chamber, temperatur, waktu tinggal (residence time) dan struktur dinding serta membran sel (Harrison, 1991). Pemecahan sel dapat digambarkan melalui persamaan laju pelepasan protein yang sebanding dengan
5
Brenda Kalista, Metode Pemecahan Sel pada Proses Hilir Industri Bioproses, 2015, 1-13
jumlah protein yang belum dilepaskan atau masih di dalam sel. Persamaan (1) untuk operasi secara batch dan persamaan (2) untuk operasi secara kontinu (Gaver dan Huyghebaert, 1991). (1) (2) Pada Tabel 1, dapat dilihat beberapa jenis mikroorganisme dan perkiraan waktu tinggal yang dibutuhkan untuk mencapai pemecahan sel yang sempurna untuk kecepatan penggilingan 6000 putaran/menit. Efisiensi dari mesin penggilingan diukur berdasarkan kemampuan untuk memecahkan sel mikroorganisme yang ditentukan berdasarkan analisis Kjeldahl (Ross, 1962).
Pada prinsipnya ultrasonikasi merupakan cara pemecahan sel berbasis liquid shear, dimana liquid shear ini berasal dari gelombang ultrasonik (gelombang dengan frekuensi tinggi). Gelombang ultrasonik ditransmisikan di dalam medium melalui ujung logam (Woi Ho, dkk., 2005). 4. Metode Pemecahan Sel Secara Nonmekanik 4.1 Kavitasi Hidrodinamik Proses pemecahan dinding sel dengan kavitasi hidrodinamik dapat dilihat pada Gambar 6. Saat cairan dialirkan melalui katup, tekanan statik akan turun hingga lebih rendah dari tekanan uapnya. Suspensi sel cavities
3.3 Ultrasonikasi Pemecahan ultrasonik merupakan proses pemecahan sel dimana digunakan sinyal akustik dengan frekuensi yang tinggi agar terjadi proses kavitasi. Gelombang ultrasonik menyebabkan gaya kohesi pada molekul larutan kaldu fermentasi, sehingga menyebabkan terbentuknya gelembunggelembung kavitasi. Akibat kolapsnya gelembung kavitasi, timbul gelombang kejut dan merambat ke medium di sekitarnya membentuk aliran jet. Aliran jet ini kemudian menyebabkan kehancuran sel pada kaldu fermentasi (Onyeche, dkk., 2002). kotak kedap suara
Cooling jacket
Booster horns Sonotroda Sampel
generator
Gambar 6. Ultrasonic cell distrupter (Onyeche, dkk., 2002)
katup
Pressure gauge Cooling jacket pompa
Gambar 6. Cavitating valve (Pandit, dkk., 1994) Hal ini menyebabkan terbentuknya gelembung-gelembung atau rongga yang sangat kecil. Apabila laju alir cairan dari tangki ditingkatkan, tekanan yang melalui celah orifice akan meningkat, sehingga terjadi penurunan tekanan statik yang sangat besar pada celah sempit (vena contracta), yang mengakibatkan jumlah rongga dan ukuran rongga atau gelembung yang lebih banyak dan besar. Rongga uap kemudian terkondensasi dengan keras dan hebat (collapse of the cavity) sehingga terbentuk impuls tekanan. Apabila kandungan gas di dalam rongga cukup sedikit, maka impuls tekanan dapat mencapai ratusan
Brenda Kalista, Metode Pemecahan Sel pada Proses Hilir Industri Bioproses, 2015, 1-13
bar, menyebabkan kerusakan pada dinding sel (Pandit, dkk., 1994). Peluang terjadinya kavitasi pada rejim aliran diprediksi dengan perhitungan ratio dari gaya collapsing cavities terhadap gaya pembentukan rongga awal (Pandit dan Joshi, 1996). Rasio ini disebut juga sebagai angka kavitasi (cavitation number) dan disimbolkan sebagai σ. (3) Angka kavitasi yang diperoleh dinilai baik apabila berada dibawah angka awal kavitasi, yaitu yang spesifik untuk setiap proses.
4.2 Dekompresi Pada metode dekompresi, ke dalam suspensi sel ditambahkan gas superkritik atau gas subkritik bertekanan selama selang waktu tertentu. Gas kemudian akan masuk ke dalam sel sehingga sel menjadi pecah (Middleberg, 1995). Kelebihan dari metode ini adalah lunak (gentle) dan menghasilkan sisa sel yang masih berukuran cukup besar. Hal yang disebutkan terakhir merupakan keuntungan apabila produk yang diinginkan dapat larut pada cairan, sehingga proses pemisahan produk menjadi lebih mudah. Kerugian dari dekompresi adalah nilai efisiensi yang kecil.
6
dengan kandungan garam tinggi (Harrison, 1991). Akibatnya, sel menjadi lisis. Metode ini yang disebut sebagai osmotic shock. Contoh medium yang memiliki tekanan osmotik tinggi adalah sukrosa 1 M. Teknik ini tidak terlalu efektif untuk sel-sel yang memiliki struktur penyokong seperti peptidoglikan. Osmotic shock biasanya digunakan dalam skala kecil, karena zat aditif yang mahal dan meningkatkan nilai BOD pada pengolahan limbah (Middleberg, 1995). Selain itu, terdapat kemungkinan produk yang diinginkan menjadi tercemar oleh garam (Harrison, 1991). Pada bakteri Gram-negatif, dengan menggunakan metode ini, protein pada ruang periplasmik dapat diperoleh dengan baik. Apabila diinginkan komponen pada sitoplasma, maka dinding sel harus dilemahkan terlebih dahulu sebelum menggunakan metode ini (Harrison, 1991). 4.4 Termolisis Bakteri Gram-negatif apabila dipanaskan hingga temperatur 50-550C akan merusak struktur membran luar, sehingga dapat diperoleh protein pada ruang periplasmik (Middleberg, 1995). Pada suhu 900C, dapat diperoleh protein pada sitoplasma, pada E. coli (Watson dkk., 1987). Pada bakteri Grampositif, metode termolisis kurang efektif.
Gas CO2 superkritik pada temperatur 31,1oC dan 7,38 MPa dapat meningkatkan permeabilitas membran (Lee, dkk.,2012). Peningkatan permeabilitas diiringi dengan efek fisio-kimiawi CO2, sehingga menyebabkan sel kehilangan viabilitas (Garcia-Gonzalez, dkk., 2007). Pemecahan sel E. coli dan S. cerevisiae dengan gas CO2 dilakukan pada tekanan 3 MPa hingga 5 MPa selama selang waktu 1,5 jam hingga 5 jam (Debs-Louka, 1999).
Termolisis memberikan beberapa keuntungan, yaitu dapat membunuh inang, sehingga mengeliminasi organisme rekombinan pada proses hilir, mendeaktivasi enzim protease, dan memberikan sisa sel dengan ukuran yang masih relatif besar, sehingga pemisahan produk dapat dilakukan dengan mudah (Middleberg, 1995). Namun, apabila produk yang diinginkan tidak terlarut dalam kaldu fermentasinya, maka pemisahan produk dengan sisa sel akan menjadi sulit.
4.3 Osmotic Shock
4.5 Liofilisasi
Suspensi sel dilarutkan pada suatu medium yang memiliki tekanan osmotik tinggi secara tiba-tiba (Middleberg, 1995). Pada literatur lain, osmotic shock dilakukan dengan melarutkan suspensi sel ke dalam larutan
Liofilisasi atau freeze drying menyebabkan dinding sel rusak akibat pembentukan kristal es di dalam sel. Pada freeze drying sampel diatur sedemikian rupa hingga mencapai tekanan 1 kPa dan temperatur -40oC. Namun,
Brenda Kalista, Metode Pemecahan Sel pada Proses Hilir Industri Bioproses, 2015, 1-13
untuk memecah sel, sampel didinginkan perlahan agar kristal es yang terbentuk di dalam sel lebih besar. Proses ini memerlukan konsumsi energi yang tinggi, karena tahapan dalam proses ini seperti pembekuan sampel, sublimasi, desorpsi dan kondensasi air, serta penggunaan pompa vakum untuk menurunkan tekanan membutuhkan suplai energi yang besar. Konsumsi energi yang besar menyebabkan peningkatan biaya produksi. Keuntungan dari liofilisasi adalah tidak merusak protein dan enzim di dalam sel, sehingga produk yang diperoleh relatif baik. (Lee, dkk, 2012)
4.6 Ekstrem pH Pada suasana dengan pH 11.5-12.5, akan menyebabkan sel pecah dalam 20 hingga 30 menit (Stanbury dan Whittaker, 1984). Efisiensi proses diukur berdasarkan kandungan nitrogen yang berhasil diekstrak dari suspensi sel. Kekurangan pada metode ini adalah kebanyakan protein menjadi terdenaturasi dalam keadaan sangat basa (Harrison, 1991). Pemecahan sel dengan metode ini berbasis pada reaksi saponifikasi. Metode ini bersifat sangat keras, namun efektif dan murah apabila produk yang diinginkan tahan suasana basa (Middleberg, 1995). Metode ini berjalan cepat, dapat kurang dari 30 detik. Metode pemecahan sel dengan pH shock biasanya diterapkan pada proses pengolahan PHB, suatu material polimer yang dapat terbiodegradasi.
4.7 Antibiotik Antibiotik sangat efektif untuk bakteri Gramnegatif. Namun, untuk setiap jenis antibiotik, akan menyebabkan lisis dengan mekanisme yang berbeda (Harrison, 1991). Pada antibiotik kelas β-laktam, akan mempengaruhi sintesis peptidoglikan. Lisis terjadi akibat sel tidak mampu menjaga tekanan osmotik, sehingga protein intraselular dapat diperoleh. Penggunaan antibiotik pada skala besar hingga saat ini hampir tidak dilakukan, karena harga antibiotik yang tinggi dan tidak semua bakteri dapat secara efektif dipecahkan selnya oleh antibiotik, seperti E. coli. Contoh dari
7
antibiotik kelas β-laktam seperti penisilin. Penggunaan antibiotik kelas ini relatif mahal dan cenderung bergantung pada jenis suspensi sel (Geciova, dkk., 2002). Selain itu, terdapat kelas antibiotik kationik polipeptida. Antibiotik kelas kationik polipeptida akan berikatan dan mengubah struktur membran sitoplasma, sehingga membran sitoplasma mengalami lisis. Contoh antibiotik kelas kationik polipeptida adalah polimiksin. Penggunaan antibiotik kelas ini biasa dikombinasikan dengan lysozyme. Seperti kelas antibiotik β-laktam, antibiotik kelas kationik polipeptida mahal dan keefektifannya bergantung pada tipe suspensi sel yang hendak diambil produk intraselularnya (Geciova, dkk., 2002).
4.8 Agen Pengkelat (Chelating Agent) Agen pengkelat yang sering digunakan adalah EDTA (ethylenediamine tetra-acetic acid). EDTA akan mengganggu membran luar dari bakteri Gram-negatif dengan mengikat kation Mg2+ atau Ca2+ pada lipopolisakarida, sehingga mengganggu struktur membran luar. Penggunaan EDTA sangat bergantung pada pemilihan buffer (Middleberg, 1995). Bakteri koliform dapat kehilangan kandungan lipopolisakarida hingga 33-50% pada metode pemecahan sel menggunakan EDTA (Harrison, 1991). EDTA tidak efektif apabila produk terdapat di dalam sitoplasma, karena EDTA tidak berpengaruh banyak terhadap membran dalam. Selain itu, EDTA juga tidak berpengaruh terhadap struktur peptidoglikan (Middleberg, 1995).
4.9 Detergen Detergen merupakan molekul yang mepunyai ujung hidrofilik dan ujung hidrofobik. Oleh karena itu, detergen mampu berinteraksi dengan air dan lemak. Secara garis besar, detergen yang dapat melarutkan membran sel adalah grup anionik, grup kationik, dan grup non-ionik. Grup anionik seperti SDS dan garam dari asam lemak, sedangkan garam tetraalkil amonium tergolong ke dalam grup kationik. Contoh detergen yang tergolong ke
Brenda Kalista, Metode Pemecahan Sel pada Proses Hilir Industri Bioproses, 2015, 1-13
dalam grup non-ionik adalah triton X dan Brij series. Dalam pemilihan deterjen, perlu dilihat efeknya terhadap produk terutama protein. SDS mampu membuat protein terdenaturasi (Middleberg, 1995). Triton X-100 bekerja secara spesifik terhadap membran sitoplasma E. coli, namun membran luarnya sangat resisten terhadap pelarutan oleh Triton (Schnaitman, C.A., 1971). Kemampuan detergen, terutama SDS dan Triton dalam melarutkan membran luar dan membran dalam secara sekaligus dapat ditingkatkan dengan menaikkan temperatur proses, dalam range 4370C (Harrison, 1991). N-lauroyl sarcosinate (sarkosyl) bekerja secara spesifik terhadap membran dalam. Namun, kerja sarkosyl tidak dipengaruhi suhu (Middleberg, 1995).
4.10 Solvent Pelarut yang umum digunakan antara lain butanol, toluen (Middleberg, 1995), kloroform dan aseton (Geciova, dkk., 2002). Pelarut nonpoloar memiliki kemampuan melarutkan komponen hidrofobik pada membran sel. Penambahan 10% toluen ke dalam suspensi sel dapat mengakibatkan lipid dinding sel mengabsorb toluen, mengakibatkan dinding sel pecah (Middleberg, 1995). Namun, terdapat kerugian, yaitu 25% protein (termasuk protein sitoplasma) yang terdenaturasi akibat penggunaan toluen tanpa kehadiran ion Mg2+, pada sel E. coli. Pada fungi, penggunaan pelarut dapat memecahkan sel secara sempurna. Pelarut dengan parameter solubilitas yang mirip, mempunyai mekanisme pelarutan envelope sel yang mirip pula (Belter, 1988). Penggunaan pelarut sebagai metode pemecahan sel tidak terlalu sering digunakan, karena konsentrasi produk yang diperoleh tidak terlalu tinggi dan beberapa pelarut bersifat toksik, sehingga tidak cocok digunakan pada industri pangan dan pharmaceutical (Middleberg, 1995). Penggunaan pelarut biasanya dalam pemecahan sel skala laboratorium. Pada Haemotococcus pluvialis yang merupakan sumber natural dari astaxantin (golongan karotenoid), dinding selnya berupa sporopollenin yang tebal. Ekstraksi astaxantin
8
menggunakan 2 mL aseton untuk 30 mg sel. Suspensi kemudian diaduk perlahn dengan menggunakan magnetic stirrer selama 16 jam pada temperatur ruang. Dengan menggunakan metode ini, karotenoid astaxantin tidak terdegradasi (Morais, R., dkk., 2001).
4.11 Pemecahan Sel secara Enzimatik Pemecahan sel dengan menggunakan enzim menguntungkan dari segi kondisi yang lunak, kebutuhan energi yang rendah, dan spesifik, sehingga tidak merusak produk. Secara umum, pemecahan sel secara enzimatik terbagi menjadi autolisis, phage lisis dan lisis akibat penambahan enzim litik. Sebagai contoh, strain mutan Saccharomyces cerevisiae tidak stabil pada suhu yang dinaikkan secara mendadak, misalnya dari 240C menjadi 370C. akibatnya, sel pecah dan produk intraselular dapat diperoleh. Hal ini yang disebut sebagai autolisis. Konsep autolisis menjadi agak abuabu karena dalam keberjalanannya membutuhkan sedikit induksi dengan senyawa kimia yang mild dan perlakuan fisik tertentu seperti pH shock dan thermal shock (Middleberg, 1995). Autolisis dikarakterisasi dengan menilai seberapa banyak peptidoglikan yang terdegradasi. Bakteri E. coli dapat mengalami pemecahan sel dengan bakteriophage T4. Hal ini disebut phage lysis, karena pecahnya sel diakibatkan oleh phage (Middleberg, 1995). Tiga tipe enzim bakteriolitik yang teridentifikasi adalah glikosidase, asetilmuramil-L-alanin amidase, dan endopeptidase (Harrison, 1991). Glikosidase memecah rantai polisakarida dari struktur peptidoglikan. Salah satu contoh glukosida adalah lysozyme, diperoleh dari telur putih ayam. Lysozyme merupakan enzim yang mengkatalisis reaksi hidrolisis ikatan β-1,4glikosidik, sehingga dapat merusak struktur peptidoglikan. Lysozyme sangat efektif untuk bakteri yang memiliki struktur peptidoglikan, seperti pada bakteri Gram-positif (Geciova, dkk., 2002). Asetilmuramil-L-alanin amidase memecah ikatan polisakarida dan polipeptida. Endopepidase berfungsi untuk memecah
Brenda Kalista, Metode Pemecahan Sel pada Proses Hilir Industri Bioproses, 2015, 1-13
ikatan polipeptida pada struktur peptidoglikan (Andrews dan Asenjo, 1987).
4.12 Chaotropic Agent Urea dan guanidin hidroklorida merupakan contoh chaotropic agent yang digunakan dalam pemecahan sel. Membran E. coli dapat dilarutkan bagian proteinnya oleh guanidinHCl, sehingga sel mengalami lisis (Harrison, 1991). Chaotropic agents merupakan ion yang memfasilitasi perpindahan grup nonpolar ke larutan polar seperti air (Hatefi dan Hanstein, 1969). Urea, guanidin, KI, NaClO4, dan NaSCN menginduksi oksidasi lemak yang sangat cepat pada mitokondria, mikrosom, dan sistem transpor elektron. Pada penggunaan chaotropic agent, oksidasi lipid mitokondria merupakan akibat dari hancurnya struktur membran. Penggunaan ion chaotropic simpel, efektif, dan dapat dikontrol dengan baik. Namun, penggunannya menyebabkan limbah sehingga kebanyakan chaotropic agent digunakan pada skala laboratorium untuk mengamati kompleks enzim dan mekanisme membran. Pada bakteri B. subtilis apabila menggunaan NaSCN dengan konsentrasi 2M, maka sebanyak 24% protein dapat dilarutkan. Pada penggunaan NaClO4 dengan konsentrasi 2M, maka sebanyak 21% protein dapat dilarutkan (Hatefi dan Hanstein, 1969).
9
sel akhir (C/Co) dengan konsentrasi sel awal dalam jumlah sel per milimeter kubik, untuk seluruh tekanan dibawah 0.1. Pemecahan sel Chlorococcum sp. mencapai 73,8% dari sel awal. Grimi, dkk., melakukan homogenisasi tingkat tinggi untuk Chlorococcum sp.dengan menggunakan homogenizer NS1001L-PANDA 2K dengan nilai Np 1 hingga 10, dengan tekanan 150 MPa, Q = 2.78 . 10-3 L.s dan m = 250 g. Katup yang digunakan berbahan keramik, dan seat berbahan stainless steel.
(a)
5. Aplikasi Metode Pemecahan Sel 5.1 Pemecahan Sel Mikroalgae untuk Memperoleh Lipid Sel mikroalgae mengandung kadar lipid yang signifikan dan tumbuh dengan cepat, sehingga dapat dimanfaatkan untuk pembuatan biofuel (Prabakaran dan Ravindran, 2011). Sebagai contoh, asam-asam lemak yang terkandung di dalam Chlorella vulgaris bervariasi dari asam beratom karbon 14 hingga 22 (Steriti, dkk, 2014). Namun, lipid merupakan produk intraselular sehingga diperlukan pemecahan sel untuk memperolehnya. Pada percobaan yang dilakukan Halim, dkk. menggunakan sel Chlorococcum sp. pada tekanan 500 bar dan 850 bar. Hasilnya, setelah dilakukan lima pass melalui homogenisasi, rasio dari konsentrasi
(b) Gambar 7. Chlorococcum sp. dilihat melalui mikroskop (a) sebelum homogenisasi (b) setelah homogenisasi (Halim, dkk., 2011) Temperatur awal terukur sebesar 220C dan temperatur hasil homogenisasi adalah sekitar 300C. Sebelum memasuki homogenisasi kembali, suspensi didinginkan hingga
Brenda Kalista, Metode Pemecahan Sel pada Proses Hilir Industri Bioproses, 2015, 1-13
temperatur ruang. Konsumsi energi secara spesifik dihitung sebagai berikut (Anand, dkk., 2007): (4) Grimi, dkk., melakukan percobaan dengan berbagai metode mekanik, dan HPH (Highpressure homogenization) memberikan hasil terbaik, dengan pemecahan sel mencapai 91% pada HPH dengan 6 pass. Namun, pada percobaannya HPH memiliki konsumsi energi spesifik paling tinggi.
5.2 Pemecahan sel Candida mogii untuk Memperoleh Xilosa Reduktase Sel Candida mogii dipecahkan dengan metode penggilingan, dengan menggunakan manikmanik kaca. Jumlah xilosa reduktase yang diperoleh meningkat dengan penurunan diameter manik-manik kaca dan konsentrasi umpan sel. Pada kondisi yang menggunakan manik-manik kaca berukuran 300 µm dan 45 g/L sel dan 50 pulses, aktivitas enzim xilosa reduktase mencapai 0.683 U/ml (Mayerhoff, dkk., 2008).
5.3 Pemecahan Sel Escherichia coli untuk Memperoleh Hepatitis B Core Antigen Hepatitis B core antigen (HBcAg) diekspresikan secara intraselular oleh E. coli, sehingga dibutuhkan pemecahan dinding sel. Pada percobaan yang dilakukan oleh Woi Ho dkk., pemecahan dinding sel E. coli dilakukan dengan ultrasonifikasi. Perolehahan HBcAg optimum untuk volume suspensi 15 ml, dan waktu sonifikasi 90 menit. Ultrasonifikasi memberikan hasil 22 kali lebih tinggi dibandingkan dengan metode enzimatik. HBcAg yang diperoleh masih dalam keadaan baik dan aktif. Pada metode enzimatik menggunakan lysozyme, yang memutus ikatan b-1,4 dari rantai peptidoglikan untuk bakteri Gram-negatif seperti E. coli. Keuntungan dengan menggunakan metode enzimatik adalah konsumsi energi yang rendah, reaksi spesifik, dan resiko produk yang diinginkan
10
rusak menjadi kecil. Namun, perolehan hasil dengan metode enzimatik jauh lebih rendah dibandingkan jika menggunakan metode ultrasonifikasi (Ho, C.W., dkk., 2006).
6. Kesimpulan Pada suatu industri bioproses, produk yang dihasilkan biasanya berada dalam konsentrasi yang rendah, sehingga dibutuhkan proses pemisahan dan pemurnian guna meningkatkan konsentrasi produk yang diinginkan. Pada beberapa kasus, produk yang diinginkan tidak berada di dalam kaldu fermentasi, tetapi terdapat di dalam sel, yang disebut produk intraselular. Metoda pemecahan sel secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu metode mekanik dan non-mekanik. Homogenisasi tekanan tinggi, penggilingan, dan ultrasonikasi termasuk ke dalam metode mekanik. Kavitasi hidrodinamik, dekompresi, osmotic shock, termolisis, liofilisasi, ekstrem pH, antibiotik, chelating agent, detergen, solvent, pemecahan sel secara enzimatik dan chaotropic agent termasuk ke dalam metode non-mekanik. Pada saat memilih metode untuk melakukan pemecahan sel, maka harus diketahui terlebih dahulu komposisi dan kompleksitas dinding serta membran sel. Selanjutnya, pemilihan metode pemecahan sel harus mempertimbangkan produk, apakah kerusakan yang disebabkan oleh metode pemecahan sel terlalu besar atau masih dalam batas yang dapat ditoleransi. Ketiga, pemilihan metode pemecahan sel berdasarkan biaya dan energi yang dibutuhkan. Apabila produk yang dihasilkan bernilai rendah dan metode yang dipilih relatif mahal, maka tidak sesuai. Daftar Notasi j k m Np P Pd Pv Q R
jumlah CSTR yang disusun seri konstanta laju reaksi massa suspensi sel [g] jumlah pass HPH tekanan homogenisasi [MPa] Tekanan discharge [Pa] Tekanan uap [Pa] laju alir volumetrik [L/s] jumlah protein yang dilepaskan
Brenda Kalista, Metode Pemecahan Sel pada Proses Hilir Industri Bioproses, 2015, 1-13
Rm t V W τ σ σi
jumlah maksimum protein yang dapat dilepaskan waktu treatment [s] Kecepatan cairan rata-rata [m/s] konsumsi energi spesifik [kJ/kg] densitas suspensi [kg/m3] rata-rata waktu tinggal [s] angka kavitasi angka awal kavitasi
Daftar Pustaka Anand, H., Balasundaram, B., Pandit, A.B., Harrison, S.T.L., The effect of chemical pretreatment combined with mechanical disruption on the extent of disruption and release of intracellular protein from E. coli, Biochemical Engineering Journal, 35 (2007) 166-173. Andrews B.A. dan Asenjo J.A., Enzymic lysis and disruption of microbial cells, Tibtech, 5 (1967) 273-277. (Journal) Belter, B.A., Cussler, E.L., dan Hu, W.S., Bioseparations, Downstream Processing for Biotechnology, 1988, John Wiley & Sons, Inc, Canada. Cao, G., Steriti, A., Concas, A., Rossi, R., a novel cell disruption tehnique to enhance lipid extraction from microalgae, Bioresource technology, 164 (2014) 70-77. Dean, C. R., & Ward, O. P., The use of EDTA or polymyxin with lysozyme for the recovery of intracellular products from E. coli. Biotechnology Techniques, 6(2), (1992) 133–138. Debs-Louka, E., Louka, N., Abraham, G., Chabot, V., Allaf, K. Effect of Compressed Carbon Dioxide on Microbial Cell Viability, Applied and Environtmental Microbiology, 65 (1999) 626-631. Doucha, J dan Livansky, K., Influence of processing parameters on disintegration of chlorella cells in various types of homogenizers, Appl. Microbiol. Biotechnol. 81 (2008) 431-440. Farkade, V.D., Harrison, S., Pandit, A.B., Heat induced translocation of proteins and enzyes within the cell: an effective way to optimize the microbial cell disruption
11
process, Biochemical Engineering Journal, 23 (2005) 247-257. Garcia-Gonzales, L., Geeraerd, A.H., Spilimbergo, S., Elst, K., Genneken, L.V., Debevere, J., Impe, J.F.V., Devlieghere, F., High pressure carbon dioxide inactivation of microorganisms in foods: The past, the present and the future, International Journal of Food Microbiology, 117 (2007) 1-28. Gaver. D., dan Huyghebaert, Optimization of yeast cell disruption with a newly designed bead mill, Enzyme Microb. Technol., 13 (1990) 665-671. Geciova, J., Bury, D., Jelen, P., Methods for disruption of microbial cells for potential use in the dairy industry-a review, International dairy journal 12 (2002) 541-553. Godson, G.N., dan Sinsherimer, R.L., Lysis of Eschericia coli with a neutral detergent, Biochim. Biophys. Acta, 149 (1967) 476-488. Grimi, N., Dubois, A., Marchal, L., Jubeau, S., Lebovka, N.I., Vorobiev, E., Selective extraction from microalgae Nannochloropsis sp. using different methods of cell disruption, Bioresource Techonology, 153 (2014) 254-259. Gunerken E, D’Hondt E, Eppink MHM, Garcia-Gonzalez L, Elst K, Wijffels RH, Cell disruption for microalgae biorefineries, Biotechnology Advances (2015). Halim, R, Harun, R., Danquah, M.K., Webley, P.A., Microalgal cell disruption for biofuel development, Applied energy 91 (2012) 116-121. Harrison, S.T.L., Bacterial cell disruption: a key unit operation in the recovery of intracellular products, Biotech. Adv., 9 (1991) 217-240. Hatefi, Y. Dan Hanstein. W. G., Solubilization of Particulate Proteins and Nanolectrolytes by Chaotropic Agents, Proc Natl Acad Sci USA 62 (1969) 1129-1136. Ho, C.W., Chew, T.K., Ling, T.C., Kamaruddin, S., Tan, W.S., Tey, B.T., Efficient mechanical cell disruption of Eschericia coli by an ultrasonicator and
Brenda Kalista, Metode Pemecahan Sel pada Proses Hilir Industri Bioproses, 2015, 1-13
recovery of intracellular hepatitis B core antigen, Process Biochemistry 41 (2006) 1829-1834. Jacobson, G. R., Takacs, B.J., Rosenbusch, J.P., Properties of a major protein released from Eschericia coli by osmotic shock., Biochemistry, 15 (1976) 22972301. Katoh, S., Yoshida, F., Biochemical Engineering: A Textbook for Engineers, Chemist, and Biologists, Weinheim, Wiley, 2009, hal 145-153. Lee, A.K., Lewis, D.M., dan Ashman, P.J., Disruption of microalgal cells for the extraction of lipids for biofuels: Processes and spesific energy requirements, Biomass and bioenergy 46 (2012) 89-101. Mayerhoff, Z.D.V.L., Franco, T.T., Roberto, I.C., A study of cell disruption of Candida mogii by glass bead mill for the recovery of xylose reductase, Separation and Purification Tech., 63 (2008) 706709. Ma, N.L., Teh, K.Y., Lam, S.S., Kaben, A.M., Cha, T.S., Optimization of cell disruption methods for efficient recovery of bioactive metabolites via NMR of three freshwater microalgae (chlorophyta), Bioresource tech 190 (2015). McGrath, R., A press for cell disruption by ice shear, Analytical biochemistry, 52 (1973) 518-521. Middleberg, A.P.J., Microbial cell disruption by high pressure homogenization, Methods in Biotechnology, Vol.9:Downstream Processing of Proteins: Methods and Protocols, (2000) chapter 2, Humana Press Inc., Totowa. Middleberg, A.P.J., Process - scale disruption of microorganisms, Biotechnology Advances, 13 (1995) 491-551. Middleberg, A.P.J., dan Kleinig, A.R., On the mechanism of microbial cell disruption in high-pressure homogenisation, Chemical Eng. Science, 53 (1998) 891898. Middleberg, A.P.J., dan Kleinig, A.R., The correlation of cell disruption with homogenizer valve pressure gradient
12
determined by computational fluid dynamics, Chemical Engineering Science, 51 (1996) 5103-3110. Morais, R., Mendes-Pinto, M.M., Raposo, M.F.J., Bowen, J., dan Young., A.J., Evaluation of different cell disruption processes on encysted cells of Haematococcus pluvialis: effects on astaxanthon recovery and implications for bio-availaility, Journal of applied phycology, 13 (2001) 19-24. Onyeche, T.I., Schlafer, O., Bormann, H., Schroder, C., Sievers, M., Ultrasonic cell disruption of stabilised sludge with subsequent anaerobic digestion, Ultrasonics 40 (2002) 31-35. Save, S.S., Pandit, A.B., Joshi, J.B., Microbial cell disruption: role of cavitation, The chemical eng. Journal, 55 (1994) B67B72. Save, S.S., Pandit, A.B., Joshi, J.B., Use of hydrodynamic cavitation for large scale microbial cell disruption, Trans IchemE, 75 (1997) 41-49. Schnaitman, C.A., Solubilization of the cytoplasmic membrane of Escherichia coli by Triton X-100, Journal of bacteriology, 108 (1971) 545-552. Schutte H., Kroner K.H., Hustedt H dan Kula M.-R., Experiences with a 20-1itre industrial bead mill for the disruption of micro-organisms, Enzyme Microb. Technol., 5 (1983) 143-148. Shirgaonkar, I.Z., Lothe, R.R., Pandit., A.B., Comments on the mechanism of microbial cell disruption in highpressure and high-speed devices. Biotechnol. Prog. 14 (1998) 657-660. Stanbury P.F. and Whitaker A., 1984, Principle in Fermentation Technology, hal 206-208. Pergamon Press. Solecki, M., Heim, A. Kamionowska, U., The effect of microogranism concentration on yeast cell disruption in a bead mill, Journal of food engneering, 83 (2007) 121-128. Ravindran, A.D. dan Prabakaran, P., A comparative study on effective cell disruption method for lipid extraction from microalgae, Letters in Applied Microbiology, 53 (2011) 150-154.
Brenda Kalista, Metode Pemecahan Sel pada Proses Hilir Industri Bioproses, 2015, 1-13
Ross J.W., Continuous-flow mechanical cell disintegrator, Appl. Microbiol., 11 (1962) 33-35. Terada, A., Xie, L., Bao, Q., Suenaga., T, Yoshino, H., Hosomi, M., Identification of a predominant effect on bacterial cell disruption and released organic matters by a high pressure jet device, Biochemical Engineering Journal, 101 (2015) 220-227. Wang, T., Gerde, J.A, Montalbo-Lomboy, M., Yao, L.X., Grewell, D., Evaluation of microalgae cell disruption by ultrasonic treatment, Bioresource Technology 125 (2012) 175-181.
13