PERKEMBANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA HUTAN PASCA KEGIATAN HPH PT BINTANG ARUT, KALIMANTAN TENGAH Socio-Economic Development of Forest Villages in the Post-Concession Era of PT Bintang Arut, Central Kalimantan
Achmad Fa’izin1), Mustofa Agung Sardjono2) dan Slamet Mulyono3)
Abstract. This research aimed at assessing socio-economic development of forest villagers, especially in guided village (compared with non-guided village), to determine some influencing factors and to analyses the pospects of a guidance program for the local people surrounding PT Bintang Arut concession area. Research finding indicated that for both Sulung Kenambui Village (guided village) and Umpang Village (non-guided village), the assessment result of their socio-economic development was “fair” with the score of 68.10 and 62.28, respectively. However, the socio-economic condition of Sulung Kenambui Village was better than that of Umpang Village. The socio-economic development of both guided and non-guided villages so far were not changed during the post-HPH activity of PT Bintang Arut compared to the time when the company operated actively. Some factors influencing the socio-economic development of the forest villagers consisted of internal factors (i.e. education, culture, dependence on natural resources, accessibility and facility/ infrastructure) and external factors (i.e. government incentives, field officials, policies and available marketing). Forest village guidance program should take into account of internal and external aspects of the villagers. Some programs that should be developed and given priority included, among others, formal/informal institutional enpowerment and strengthening, facility/ infrastructure improvement and more participative programs through cooperation among related institutions and government policies. Any community guidance program supported by available policies and study should be direct and optimize people empowerment and reach the grass-root level, so that the community will not be dependent on others and be able to improve their bargaining positions. Therefore, community development should not be linked to political events, such as general election and succession of a government leader. Kata kunci: sosial, ekonomi, masyarakat desa, program pembinaan. _________________________________________________________________________________________________________
1) Universitas Muhammadiyah, Palangkaraya 2) Laboratorium Sosekbud Fak. Kehutanan Unmul, Samarinda 3) Laboratorium Pemanenan Hasil Hutan Fak. Kehutanan Unmul, Samarinda
114
115
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (2), OKTOBER 2006
Kegiatan pembangunan kehutanan perlu dilaksanakan dengan berpedoman pada UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Untuk memberikan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, maka hendaknya hutan mutlak harus dilindungi dan dikelola secara lestari agar manfaat hutan dapat diperoleh secara maksimal. Indonesia pada awal Orde Baru (pertengahan tahun 1960-an), mengalami krisis ekonomi yang parah. Untuk mengatasi krisis ekonomi itu pemerintah berusaha memanfaatkan segala sumberdaya yang ada. Termasuk di dalamnya adalah pendayagunaan sumberdaya alam hutan, baik yang berada di Pulau Jawa maupun hutan alam di luar Pulau Jawa. Tetapi untuk memanfaatkan hutan itu diperlukan investasi yang pada masa itu justru tidak dipunyai oleh pemerintah. Agar hutan dapat diusahakan secara terarah, maka pemerintah mengeluarkan UU no. 1/1967 (tentang Penanaman Modal Asing), UU no. 5/1967 (tentang Ketentuanketentuan Pokok Kehutanan) serta UU no. 6/1968 (tentang Penanaman Modal dalam Negeri). Secara operasionalnya, maka diterbitkan pula Peraturan Pemerintah no. 21 tahun 1970 yang memberikan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH). Pengusahaan hutan menurut UU Pokok Kehutanan (UUPK) no. 5/1967 harus memperhatikan aspek-aspek ekonomi, ekologi dan sosial. Kewajiban sosial ini juga dipertegas dalam setiap Perjanjian Kehutanan (Forestry Agreement), antara pihak pengusaha dan pemerintah. Wilayah intensifikasi pengusahaan hutan di luar Pulau Jawa salah satunya adalah di Propinsi Kalimantan Tengah. Salah satu perusahaan tersebut adalah HPH PT Bintang Arut yang memiliki luas areal 69.000 ha. Keberadaan HPH yang berdiri tahun 1974 tersebut diharapkan juga memberikan pengaruh yang baik terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang berada di dalam ataupun di sekitar hutan. Upaya dalam rangka mewujudkan aspek sosial dalam pengusahaan hutan salah satunya adalah dengan diterbitkannya kebijakan tentang HPH Bina Desa atau Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH). PMDH bertujuan untuk membina masyarakat dalam rangka membantu mewujudkan terciptanya masyarakat yang mandiri, sejahtera dan sadar lingkungan, terlepas ada atau tidaknya program sosial instansi sektoral. PT Bintang Arut merupakan salah satu pemegang HPH di Kecamatan Arut Selatan yang telah melaksanakan PMDH (sejak awal turunnya kebijakan pemerintah tahun 1991) sampai tahun 2001. Menurut Dinas Kehutanan Kotawaringin Barat, PMDH yang dilakukan oleh HPH PT Bintang Arut adalah termasuk berhasil (ukuran keberhasilan ditentukan oleh format pemerintah, bukan pengembangan kegiatan sesuai dengan karakteristik alam setempat). Tetapi HPH PT Bintang Arut sudah berakhir masa pengusahaannya sejak dua tahun yang lalu tepatnya tahun 2001, sehingga tidak ada lagi pembinaan yang dilakukan oleh perusahaan. Beberapa permasalahan yang timbul sehingga perlu dipertimbangkan dan menarik untuk diteliti yaitu sejauh mana keberhasilan PMDH yang pernah dicapai (aspek kesejahteraan, kemandirian dan kesadaran lingkungan) dapat bertahan dan bahkan meningkat setelah beberapa tahun berakhirnya operasi perusahaan, faktor-faktor internal dan eksternal apakah yang mempengaruhi
Fa’izin dkk. (2006). Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa
116
serta bagaimanakah perspektif ke depan program pembinaan desa-desa di sekitar eks areal HPH. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak perkembangan sosial ekonomi masyarakat desa binaan seiring dengan berakhirnya kegiatan HPH PT Bintang Arut di Kalimantan Tengah melalui penilaian dan identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhinya serta menganalisis perspektif ke depan program pembinaan masyarakat di sekitar eks areal HPH PT Bintang Arut. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di dua desa contoh, yaitu Desa Sulung Kenambui (desa binaan) dan Desa Umpang (desa non binaan) Kecamatan Arut Selatan, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Penelitian memakan waktu selama tiga bulan (April hingga Juni 2003). Penelitian ini dilakukan terhadap keluarga masyarakat Desa Sulung Kenambui dan Desa Umpang yang berada di dalam atau di sekitar eks HPH PT Bintang Arut. Pengambilan sampel responden dilakukan secara acak berstrata (stratified random sampling). Unit sampel untuk penelitian adalah keluarga dan yang bertindak sebagai responden adalah kepala keluarga (kk). Stratifikasi populasinya adalah petani dan non-petani, sehingga didapat responden 28 kk untuk Desa Sulung Kenambui dan 11 kk untuk desa Umpang. Data dikumpulkan dengan metode langsung (direct method), yaitu melalui pencatatan dan pengumpulan data (baik primer maupun sekunder) dengan beberapa kombinasi tehnik: wawancara, pengisian kuesioner, observasi langsung di lapangan dan studi dokumentasi. Data dianalisis sebagai berikut: a. Penilaian perkembangan sosial ekonomi masyarakat pada desa binaan dan nonbinaan, baik sebelum ataupun setelah ditinggalkan HPH, digunakan rumus yang dikembangkan Sardjono (1999): Psosek = NS + NM + NL yang mana: Psosek = nilai perkembangan sosial ekonomi masyarakat desa binaan/non binaan (<50 = kurang, 50-80 = sedang, >80 = baik), NS = nilai komponen kesejahteraan masyarakat, NM = nilai komponen kemandirian masyarakat, NL = nilai komponen kesadaran dan perilaku positif masyarakat terhadap lingkungan. Nilai komponen kesejahteraan (NS), kemandirian (NM) dan kesadaran serta perilaku positif masyarakat terhadap lingkungan (NL) dihitung dengan rumus sebagai berikut: NS/M/L = s/S x B, yang mana s = jumlah skor yang dicapai dari hasil evaluasi parameter, S = jumlah skor tertinggi dari keseluruhan parameter yang dievaluasi (Sejahtera/S = 54, Mandiri/M = 36, Lingkungan/L = 33), B = bobot nilai komponen yang dinilai (S = 50, M = 30, L = 20). Untuk acuan skala dan skor penilaian, kriteria bobot penilaian perkembangan sosial ekonomi masyarakat desa binaan/non binaan dan usulan kriteria nilai perkembangan sosial ekonomi masyarakat desa binaan/nonbinaan adalah sesuai dengan Sardjono (1999). b. Analisis perspektif ke depan program pembinaan masyarakat desa hutan digunakan analisis SWOT menurut Rangkuti (2001).
117
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (2), OKTOBER 2006
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Diskripsi Umum Lokasi Penelitian 1. HPH PT Bintang Arut dan kegiatan PMDH Perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT Bintang Arut mulai beroperasi sejak diterbitkannya Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Departemen Pertanian no. 410/Kpts/7/1974 tanggal 30 Juni 1974. Selanjutnya ijin pengusahaan hutan diperpanjang dengan adanya Ijin Prinsip Perpanjangan HPH no. 84/MENHUT-IV/1996 tanggal 22 Januari 1996. Areal kerja HPH PT Bintang Arut dengan luas areal HPH 69.000 ha secara geografis terletak antara 11125’ dan 11155’BT serta 225’LS. Berdasarkan pembagian wilayah administrasi kehutanan, areal kerja HPH PT Bintang Arut termasuk dalam Cabang Dinas Kehutanan Kotawaringin Barat, Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah. Anonim (2001) menjelaskan, bahwa keadaan areal hutan terdiri dari Hutan Rawa Permanen 46.500 ha (67 %) yang terletak di sebelah selatan, sisanya 22.500 ha (33 %) merupakan Hutan Rawa Pasang Surut. Jenis pohon yang dominan adalah Meranti (Shorea sp.), Merawan (Hopea sp.), Resak (Cotyllelobium sp.), Jangkang (Xylopia sp.), Rengas (Gluta rengas), Gerunggang (Cratoxylon celebicum), Kulir (Scordocapus borneonsis), Mentibu (Dactylocladus stenostachys), Nyatoh (Palaqium gutta), Jelutung (Dyera custulata) dan Kempas (Koompassia malaccensis). Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) di Desa Sulung Kenambui dimulai pada Rencana Kerja Tahunan (RKT) 1994/1995–1998/1999 yang dilanjutkan pada tahun berikutnya yaitu Desa Rangda dan Desa Runtu. 2. Diskripsi Ringkas Desa Sulung Kenambui dan Desa Umpang Desa Sulung Kenambui dan Desa Umpang termasuk dalam wilayah Kecamatan Arut Selatan, Kabupaten Kotawaringin Barat, Propinsi Kalimantan Tengah. Luas Desa Sulung Kenambui dan Umpang masing-masing adalah 320 km2 dan 609 km2. Jumlah penduduk Desa Sulung Kenambui berdasarkan data statistik desa tahun 2001 adalah sebanyak 1.594 jiwa atau 284 kk (846 laki-laki dan 748 perempuan) dan di Desa Umpang jumlah populasi penduduk kurang dari sepertiga populasi desa pertama, yaitu sebanyak 521 jiwa atau 102 kk (287 laki-laki dan 234 perempuan). Dengan pendidikan masyarakat tidak/belum tamat SD yang mendominasi di Desa Sulung Kenambui dan Umpang, yaitu masing-masing 778 (41,80 %) dan 354 (67,95 %), maka dapat dikemukakan bahwa kondisi sumberdaya manusia (human capital) kedua desa tersebut adalah rendah. Mata pencarian sebagian besar penduduk di Desa Sulung Kenambui dan Umpang adalah sebagai petani. Bentuk pertanian yang dominan masih berupa perladangan atau pertanian tebas bakar. Penduduk Desa Sulung Kenambui dan Umpang terdiri dari kelompok etnis campuran yaitu Melayu, Banjar dan Dayak yang mendapat pengaruh dari Melayu di daerah barat Kalimantan, demikian pula Kabupaten Kotawaringin Barat secara keseluruhan. Penduduk di Desa Sulung Kenambui dan Umpang mayoritas menganut agama Islam.
Fa’izin dkk. (2006). Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa
118
Perkembangan Sosial Ekonomi Jawaban responden dan skor perkembangan sosial ekonomi Desa Umpang dan Desa Sulung Kenambui diringkas seperti ditampilkan pada Tabel 1. Dengan mengacu pada Tabel 1, maka dapat diuraikan perkembangan sosial ekonomi masyarakat Desa Sulung Kenambui dan Umpang, sebagai berikut: 1. Komponen kesejahteraan masyarakat a. Perkembangan pendapatan masyarakat. pendapatan masyarakat di Desa Umpang ketika HPH tidak beroperasi tidak ada peningkatan dibandingkan ketika HPH sedang beroperasi. Tabel 1. Rekapitulasi Jawaban dan Skor Perkembangan Sosial Ekonomi Desa Umpang dan Desa Sulung Kenambui Indikator
Tingkat pendapatan
Skor Desa Umpang HPH Tanpa HPH 1 1
Skor Desa Sulung Keterangan Kenambui HPH Tanpa HPH 2 2 1 (tidak ada peningkatan); 2 (ada peningkatan) 2 2 1 (pendapatan primer); 2 (pendapatan primer berkurang) 2 2 2 (tahu manfaat menabung) 2 2 2 (relatif semakin besar) 1 2 1 (tidak ada); 2 (ada yang melanjutkan) 3 2 2 (berkurang); 3 (berkurang dengan upaya sendiri) 3 3 2 (berkurang berfluktuasi); 3 (berkurang secara konstan) 3 3 3 (berkurang konstan)
Sumber pendapatan
1
1
Tabungan Rasio murid usia sekolah Jumlah lulusan SD ke SLTP
2 2 1
2 2 1
Jumlah buta huruf
2
2
Jumlah penderita berobat/sakit Jumlah meninggal sakit/lahir Jumlah lahir cacat Kepadatan penduduk
2
2
3
3
3 1
3 1
3 3
3 2
Migrasi keluar
2
3
3
2
Beban tanggungan
1
1
2
1
Kondisi rumah Biaya hidup makanan
2 2
2 1
2 1
2 3
Frekuensi makanan
2
2
2
3
Biaya hidup sandang
1
2
1
1
Frekuensi kasus internal
3
3
2
2
Frekuensi kasus eksternal
3
3
2
3
Keberadaan lembaga formal
1
2
3
2
3 (berkurang konstan) 1 (tidak ada perubahan); 2 (meningkat berfluktuasi); 3 (meningkat konstan) 2 (menurun berfluktuasi ); 3 (menurun konstan) 1 (tidak ada perubahan); 2 (mulai berkurang) 2 (tidak ada perubahan) 1 (tetap); 2 (ada perubahan); 3 (cenderung meningkat) 2 (2–3 kali sehari); 3 (makan lengkap 3 kali sehari) 1 (tetap tidak ada peningkatan); 2 (ada perubahan) 2 (mulai berkurang); 3 (tidak ada kasus/aman) 2 (mulai berkurang); 3 (tidak ada kasus/aman) 1 (tidak berfungsi); 2 (mulai berfungsi); 3 (berfungsi dengan baik)
119
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (2), OKTOBER 2006
Tabel 1 (lanjutan) Indikator
Skor Desa Umpang HPH Tanpa HPH 1 2
Skor Desa Sulung Keterangan Kenambui HPH Tanpa HPH Peran lembaga tradisional 2 2 1 (tidak berperan); 2 (mulai berperan) Peran lembaga formal 1 2 2 2 1 (tidak berperan); 2 (mulai berperan) Keuangan 1 1 1 1 1 (tidak ada swadaya) Non keuangan 2 3 2 3 2 (terlibat/dilibatkan); 3 (senantiasa terlibat) Perencanaan 1 2 2 2 1 (tidak terlibat); 2 (sedikit terlibat) Pelaksanaan 2 2 2 3 2 (sedikit terlibat); 3 (banyak terlibat) Pemantauan 1 1 2 3 1 (tidak terlibat); 2 (sedikit terlibat); 3 (banyak terlibat) Penilaian 1 1 1 2 1 (tidak terlibat); 2 (sedikit terlibat) Pertanian 1 1 2 2 1 (berorientasi pemenuhan kebutuhan internal); 2 ( mulai berorientasi pasar) Non pertanian 1 1 2 3 1 (tidak berkembang); 2 (mulai berkembang); 3 (berkembang dengan baik) Jangkauan pemasaran 1 1 2 2 1 (hanya pada tingkat desa); 2 (ada yang keluar desa) Perkembangan tradisi 2 1 1 2 1 (ada tetapi tidak dipraktekkan); positif 2 (ada dan dipraktekkan sedikit) Hubungan manusia dan 3 2 3 3 2 (dimanfaatkan tetapi tidak ada alam aturan); 3 (dimanfaatkan sesuai aturan) Orientasi ruang 2 3 3 3 2 (perlu ada batasan dan bukti kepemilikan); 3 (tidak ada batasan dan perlu bukti kepemilikan) Orientasi waktu 2 2 3 2 2 (ditanam dgn banyak jenis semusim); 3 (ditanami dgn banyak jenis semusim dan tahunan) Kondisi flora 2 2 2 2 2 (tetap dari tahun ke tahun) Kondisi fauna 2 2 2 2 2 (tetap dari tahun ke tahun) Masa bera 2 2 2 1 1 (semakin pendek); 2 (tetap) Penggunaan saprodi tanitap 1 1 3 2 1 (tidak ada yang menggunakan); 2 (sebagian yg menggunakan); 3 (banyak yg menggunakan) Peremajaan flora/fauna 1 1 3 1 1 (tidak ada yang meremajakan); 2 (sebagian saja); 3 (banyak yang meremajakan) Luasan areal berhutan 2 2 2 1 1 (berkurang); 2 (tetap) Kebakaran hutan 2 1 2 2 1 (hampir tiap tahun); 2 (kadangkadang terjadi) Catatan: kriteria indikator adalah menurut Sardjono (1999)
Fa’izin dkk. (2006). Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa
120
Hal ini terkait dengan kebutuhan hidup mereka yang relatif asal terpenuhi, walaupun ada sebagian masyarakat yang pendapatannya cenderung meningkat dari beberapa pekerjaan yang ada. Lain halnya dengan Desa Sulung Kenambui yang menunjukkan tidak ada peningkatan, baik ketika HPH masih aktif maupun non aktif, tetapi masyarakat desa ini memiliki pendapatan yang cukup tinggi dibandingkan dengan Desa Umpang. Identifikasi di lapangan menghasilkan, bahwa pendapatan masyarakat di kedua desa beragam sumbernya (pertanian, hutan, kebun, nelayan dan lainnya). Pertanian, dalam hal ini perladangan menetap atau berpindah (shifting cultivation), merupakan pekerjaan utama masyarakat dan bahkan merupakan sumber pendapatan terbesarnya. Hal ini tergambar dari beberapa hasil wawancara, yang mana salah satu kelompok (dari seluruh kelompok pekerjaan), pekerjaan pertanian antara lain panen padi beberapa tahun terakhir ini sangat meningkat produksinya dibandingkan dengan keadaan sebelumnya yang relatif lebih rendah, rata-rata setiap kepala keluarga di Desa Umpang memanen antara 50–100 kaleng (kambut)/ha gabah kering giling (GKG) dan 100–150 kaleng/ha GKG untuk Desa Sulung Kenambui, tergantung tingkat kesuburan tanah, dan ada tidaknya hama seperti belalang. (1 kaleng = 23 kg (23 x 2/3 = 15,33 kg beras) = Rp40.000). Jadi jumlah beras/jiwa/tahun untuk Desa Umpang 153,3–306,6 kg dan untuk Desa Sulung Kenambui 306,6–459 kg, dengan rata-rata 229,95 kg untuk Desa Umpang dan 382,8 kg untuk Desa Sulung Kenambui. Jika kesejahteraan masyarakat dapat disetarakan dengan pendapatan beras, maka bila pendapatan lebih besar dari 320 kg beras disebut sejahtera dan bila pendapatan kurang dari 320 kg beras disebut kurang sejahtera, sehingga masyarakat Desa Sulung Kenambui berada di atas garis kemiskinan/sejahtera dengan pendapatan beras rata-rata 382,8 kg beras, sedangkan untuk Desa Umpang berada di bawah garis kemiskinan/kurang sejahtera dengan pendapatan beras 229,95 kg beras. Hasil perladangan (bahuma) bagi masyarakat Desa Umpang dan sebagian Desa Sulung Kenambui tidak untuk dijual, melainkan hanya disimpan (pemenuhan kebutuhan pokok) saja. Sumber pendapatan di luar pertanian (off-farm) seperti yang berasal dari hutan, kebun dan nelayan untuk masyarakat Desa Umpang merupakan penghasilan yang cukup membantu dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, namun ada juga hasil-hasilnya itu menjadi primadona, seperti kayu, karet, rotan, ikan dan yang lainnya. b. Perkembangan pendidikan. Penduduk di kedua desa ini sebagian besar rata-rata pernah mengenyam pendidikan, yakni di Sekolah Dasar (SD) atau sebelumnya disebut Sekolah Rakyat (SR). Namun dalam rangka peningkatan pendidikan dan betapa pentingnya sekolah, maka salah satu fokus kegiatan PMDH adalah memperhatikan bidang pendidikan. Perhatian PMDH ini diwujudkan dengan membangun TK Al-Qur’an, Madrasah Ibtidaiyah, Perpustakaan Madrasah serta bantuan beasiswa. Perkembangan kondisi rasio murid usia sekolah, jumlah lulus SD yang melanjutkan ke SLTP dan jumlah penduduk yang buta huruf di Desa Sulung Kenambui dan Desa Umpang. Jumlah anak sekolah di Desa Sulung Kenambui dari tahun ke tahun selalu meningkat. Peningkatan ini dikarenakan selain motivasi anak terhadap ilmu pengetahuan, juga kesadaran dan rasa tanggung jawab yang dimiliki oleh para orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya.
121
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (2), OKTOBER 2006
Indikasi perkembangan pendidikan selain berdirinya SLTP di Desa Sulung Kenambui adalah jumlah lulusan SD yang ingin melanjutkan ke SLTP meningkat, walaupun baru tahun pertama dibuka, dengan demikian penduduk yang buta huruf di Desa Sulung Kenambui cenderung berkurang. Berkurangnya masyarakat yang buta huruf dikarenakan beberapa hal, antara lain: i) di daerah penelitian pernah diadakan pemberantasan buta aksara (Kejar Paket A), yang dilakukan oleh HPH yang bekerja sama dengan pemerintah setempat, ii) buta huruf hanya didominasi masyarakat yang sudah lanjut usia. Kondisi rasio murid usia sekolah, jumlah lulusan SD yang melanjutkan ke SLTP dan jumlah buta huruf di Desa Umpang justru sebaliknya. c. Perkembangan kesehatan. Kesehatan masyarakat desa binaan maupun non binaan masing-masing mengalami perubahan beberapa tahun terakhir ini, hal ini seiring dengan tingginya minat masyarakat untuk selalu memperhatikan kesehatan, terutama keluarga mereka sendiri. Memang ada perbedaan antara desa binaan dan non binaan mengenai penilaian (skor), yang mana jumlah yang sakit/berobat di Desa Umpang ketika ada HPH ataupun tanpa HPH cenderung berkurang, namun untuk jenis-jenis penyakit utama di desa ini masih berfluktuatif, sedangkan di Desa Sulung Kenambui jauh lebih baik dibandingkan dengan Desa Umpang, yaitu jumlah penduduk yang terkena penyakit cenderung menurun terutama penyakitpenyakit utama. Jumlah penduduk yang meninggal karena sakit dan jumlah kelahiran cacat di Desa Umpang dan Desa Sulung Kenambui cenderung tetap dalam arti bahwa kondisi ketika masih ada HPH ataupun tanpa HPH jumlah penduduk yang meninggal karena sakit berkurang tajam dan jumlah bayi yang dilahirkan dalam keadaan cacatpun sangat kurang (bahkan tidak ada). Menurut petugas kesehatan yang berada di masing-masing desa tersebut penyakit yang mendominasi tersebut antara lain ISPA, Malaria, Desentri, TBC dan Muntahber, cenderung beberapa tahun ini menurun. Penurunan ini menurutnya tidak lepas dari partisipasi masyarakat dalam hal membantu kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh pihak Puskesmas Pembantu (Pusban). Masyarakat juga sudah semakin memperhatikan kesehatan keluarganya, karena menurut mereka kalau ada anggota yang sakit, maka sangat sulit untuk meninggalkannya, sehingga menjadi beban bagi mereka itu sendiri. Tenaga medis yang sangat kurang serta sarana dan prasarana lain yang sangat kurang, namun para medis ini dibantu oleh beberapa bidan kampung. Hal yang cukup menarik, masyarakat di kedua desa ini ternyata sudah memiliki daya tahan yang tinggi/kebal terhadap suatu penyakit. d. Perkembangan penduduk dan kondisi perumahan. Kepadatan penduduk di desa binaan, ketika HPH masih ada cenderung lebih meningkat, hal ini disebabkan karena di saat itu perusahaan sedang beroperasi. Kondisi ini sedikit berubah belakangan, yang mana kepadatan penduduk tidak ada peningkatan seiring dengan non aktifnya perusahaan, berbeda dengan Desa Umpang, baik ada HPH maupun tanpa HPH kepadatan penduduknya relatif tidak berubah. Kondisi perumahan penduduk lebih baik, karena di Desa Sulung Kenambui hampir rata-rata penduduk membuat rumah dengan bahan yang kuat seperti dari kayu ulin, bahkan ada sebagian masyarakat yang rumahnya menggunakan pagar dari ulin. Hal yang sama
Fa’izin dkk. (2006). Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa
122
juga dijumpai di Desa Umpang, tetapi tidak dijumpai adanya pagar di sekitar rumah mereka. Kondisi perumahan ini menunjukkan kebetahan (dalam berusaha /pekerjaan, rasa aman) masyarakat untuk tinggal di desa itu. Perkampungan penduduk di daerah penelitian ini berada di sepanjang aliran-aliran sungai dengan hutan-hutan sekitarnya. Rumah-rumah penduduk umumnya berjajar di tepian sungai dan menghadap ke sungai. e. Perkembangan kondisi menu/gizi pangan dan sandang. Faktor yang mempengaruhi kondisi kesehatan penduduk salah satunya adalah kondisi menu/gizi dari bahan makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat itu sendiri. Di desa binaan maupun non binaan masih tampak, bahwa masyarakat banyak kekurangan gizi sebagai akibat dari terbatasnya kemampuan keuangan yang dimiliki masyarakat mengakibatkan mudahnya terserang penyakit dan pola hidup yang kurang memperhatikan kebersihan. Di Desa Sulung Kenambui biaya yang dikeluarkan untuk membeli bahan makanan sebagian rumah tangga mengalami peningkatan meskipun berfluktuasi, seiring dengan kenaikan harga dan penambahan jumlah anggota keluarga. Kondisi di Desa Sulung Kenambui ini lebih baik ketika tanpa kehadiran HPH daripada ada HPH, kondisi sebaliknya terjadi di Desa Umpang, dengan demikian di desa binaan terdapat perbaikan frekuensi makan lengkap keluarga di desa dalam beberapa tahun terakhir ini, yang mana sebagian besar keluarga sudah mampu makan lengkap dua hingga tiga kali sehari. Sebagian masyarakat ada yang frekuensi makannya rata-rata tiga kali sehari walaupun tidak lengkap, sedangkan pada desa non binaan cenderung tetap (ada atau tidaknya HPH), yang mana sebagian anggota masyarakat mampu makan dua hingga tiga kali makan dengan makanan lengkap. f. Perkembangan kondisi keamanan. Perkembangan keamanan Desa Umpang yang tidak pernah dibina oleh perusahaan adalah cukup baik. Kondisi keamanan, baik intern (dalam kampung) maupun di luar kampung, dalam beberapa tahun terakhir ini kasus-kasus perselisihan internal atau eksternal dan pencurian tidak dijumpai lagi, namun jika ada perselisihan antar warga desa, cenderung permasalahannya diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Sementara itu kondisi keamanan Desa Sulung Kenambui masih tampak bahwa di desa ini dalam beberapa tahun terakhir ini secara internal cukup terjaga, baik ketika ada HPH maupun tidak ada HPH. Demikian pula dengan Desa Sulung Kenambui, juga masih sangat kuat kekeluargaannya, sehingga walaupun ada perselisihan di antara warga, maka dapat cepat diselesaikan. 2. Komponen kemandirian masyarakat a. Fungsi kelembagaan desa dan peranan masyarakat. Desa Umpang walaupun diklasifikasikan sebagai desa swasembada, pemberdayaan kelembagaan desanya masih sangat kurang. Namun akhir-akhir ini ketika HPH tidak ada, kelembagaan formal seperti LKMD (BPD), KUD dan yang lainnya di desa mulai berfungsi lebih baik (meskipun belum optimal), sedangkan kelembagaan yang sifatnya non formal fungsi dan perannya masih jauh dari yang diharapkan. Desa Binaan Sulung Kenambui ketika perusahaan ada dan masih beroperasional, kelembagaan desanya
123
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (2), OKTOBER 2006
dan kelembagaan tradisionalnya berfungsi dan berperan dengan baik, namun ketika perusahaan itu tidak ada, sekarang kurang berperan (tetapi tetap ada), di kalangan aparat desa ada yang berucap “HPH tidak ada, kurang bergairah dalam bertugas”, sehingga yang terjadi di lapangan segala aktivitas yang berkaitan dengan kantor kepala desa (administrasi) diatur di rumah aparat desa. Masyarakat Desa Sulung Kenambui dan Desa Umpang swadayanya terhadap suatu kegiatan/proyek/PMDH, yang dinilai dengan uang tidak ada satupun yang memiliki sumber dana dari swadaya masyarakat selama beberapa tahun terakhir ini. Sementara itu, untuk non keuangan, masyarakat senantiasa terlibat secara fisik/saran dalam setiap kegiatan/proyek dan berperan sebagai konseptor/perumus kebijakan lokal, walaupun lebih banyak sebagai peserta saja. Salah satu bentuk partisipasi masyarakat desa (non keuangan) umumnya adalah gotong royong dalam berbagai kegiatan. Seperti pada kegiatan pembangunan SLTP di Desa Sulung Kenambui, sejumlah masyarakat berpartisipasi “gotong-royong” dalam membersihkan (menebang, menebas, mencincang) lokasi pembangunan gedung SLTP. b. Peran/keaktifan masyarakat dalam perencanaan/operasional. Peran masyarakat dalam perencanaan suatu kegiatan pada desa binaan semenjak ada HPH dan tanpa HPH tidak ada perubahan, yakni hanya sebagian masyarakat saja yang dilibatkan. Dalam hal ini yang sering terlibat adalah kepala desa, aparat desa itupun masih dalam taraf sebagai peserta. Pada saat pelaksanaan, peran masyarakat di Desa Umpang dan Desa Sulung Kenambui di saat HPH ada, cenderung aparat desa/kepala desanya saja yang terlibat. Namun ketika HPH berakhir, pelaksanaan suatu proyek/kegiatan di Desa Sulung Kenambui, hampir seluruh lapisan masyarakat terlibat, baik secara fisik maupun non fisik. Pemantauan dan penilaian adalah merupakan tahap akhir dari peran/keaktifan masyarakat dalam suatu kegiatan/proyek, seharusnya masyarakat terlibat, namun di Desa Umpang kedua kegiatan ini hampir tidak pernah melibatkan masyarakat secara luas, sedangkan di Sulung Kenambui, masyarakat cenderung dilibatkan. Penilaian suatu kegiatan oleh beberapa pihak/instansi yang melakukan penilaian hanya mendatangi dengan mengunjungi kepala desa atau aparat lainnya saja (ketika turun ke lapangan). c. Perkembangan jenis komoditi dan jangkauan pemasaran. Jenis komoditi pertanian maupun non pertanian di Desa Umpang tidak banyak mengalami perubahan, yaitu komoditi pertanian yang dihasilkan lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan internal (kebutuhan sehari-hari), yang dari aspek kuantitas sering kali tidak mencukupi, hal ini dikarenakan sistem pertanian yang dilakukan oleh masyarakat sangat tergantung pada musim/alam. Sektor pertanian masih lebih dominan peranannya daripada sektor-sektor lainnya, hal ini dikarenakan penduduk desa tersebut masih mengutamakan tanaman padi, yang hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan selama setahun, sedangkan untuk non pertanian tidak dapat berkembang, meskipun potensi yang dimiliki oleh desa/warga masyarakat Desa Umpang cukup baik. Selanjutnya komoditi pertanian maupun non pertanian yang dihasilkan oleh kedua desa yang diteliti, pemasarannya berbeda. Untuk komoditi pertanian di Desa Umpang pemasaran produknya hanya sekedar pemenuhan kebutuhan lokal saja. Adapun komoditi non-pertanian ada yang berorientasi pasar.
Fa’izin dkk. (2006). Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa
124
Di desa binaan, pemasaran produk telah sampai keluar desa, walaupun masih dikendalikan tengkulak, kecuali di tingkat desa itu sendiri. 3. Komponen kesadaran dan perilaku positif terhadap lingkungan a. Praktek kearifan tradisional. Tradisi positif terhadap lingkungan ternyata masih ada dan dipraktekkan dalam skala kecil saja. Di Desa Umpang (desa non binaan), perkembangan tradisi positif justru sebaliknya, yaitu ada dan hanya sebagian kecil saja yang dipraktekkan ketika ada HPH dan ketika HPH tidak ada, tradisi ini tidak pernah dipraktekkan lagi. Sebagai gambaran, masyarakat dalam berladang/bertani dari membuka ladang sampai panen selalu bersama-sama “gotong-royong”. Selain itu ada hal yang menarik, ketika musim tanam padi (menugal) masyarakat juga menanam ketimun di sekitar (daerah pinggiran) ladang, yang mana ketimun ini masak bersamaan dengan padi bahkan lebih cepat dan menurut salah seorang petani, ketimun itu untuk menjaga dari serangan hama (tikus). b. Orientasi masyarakat dalam pemanfaatan lahan. Secara umum orientasi masyarakat dalam pemanfaatan lahan di kedua desa ini sedikit berbeda, salah satu perbedaan adalah pada pengelolaan lahan, yaitu di desa non binaan pengelolaannya sangat kurang, namun tetap lahan-lahan tersebut dimanfaatkan untuk perladangan/pertanian. Kegiatan pertanian di Desa Umpang pada umumnya tidak ada peningkatan, yaitu masih menganut pola perladangan berpindah (gilir balik), di mana sebagian besar penduduknya bertani (bahuma) di tepi sungai. Anggota masyarakat memulai aktivitas pertanian dengan terlebih dahulu menentukan lokasi (jauh dan dekatnya, kesuburan tanahnya menjadi pertimbangan), yang dilanjutkan dengan penebangan, penebasan, pencincangan, pembakaran hingga pemanenan hasil (musim bahanyi). Waktu untuk aktivitas perladangan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Waktu Aktivitas Perladangan Masyarakat Desa Umpang dan Sulung Kenambui Aktivitas
6
7
8
9
Bulan 10 11
12
1
2
3
Pemilihan lokasi Penebangan, penebasan, pencincangan Pembakaran Penanaman Pemeliharaan Pemanenan hasil
c. Lahan hutan setelah dibuka untuk berladang setelah 13 tahun ditinggalkan dan para peladang membuka areal baru. Umumnya peladang membuka lahan di tepi sungai, karena berdasarkan pengalaman tanah di tepi sungai tersebut sangat subur. Selain itu, mereka memanfaatkan lahan hanya dengan perladangan berpindah yang bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi keluarga. Sementara itu dalam pemanfaatan ruang, dari luas lahan yang ada di desa binaan dan non binaan, menurut masyarakat perlu ada pembatasan dan pembuatan sertifikat, karena menurut mereka jika lahan tidak ada sertifikatnya, maka akan
125
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (2), OKTOBER 2006
berpeluang terjadi konflik. Sementara itu, waktu pemanfaatan lahan antara desa binaan dan desa non binaan yaitu lahan-lahan yang dikuasai dan diusahakan perlu ditanami dengan banyak jenis semusim yang dapat dan cepat dipanen secara bertahap dalam satu lahan, seperti kelapa, karet, serta jenis yang lainnya. Biasanya lahan-lahan yang ditanami dengan jenis-jenis seperti ini menurut masyarakat merupakan tanda kepemilikan. d. Keanekaragaman hayati dan pemanfaatan teknologi. Sering terlihat dan jumlahnya selalu tetap seperti tahun-tahun yang lalu, begitulah kesan di desa-desa penelitian baik di desa binaan maupun non binaan mengenai kondisi keanekaragaman hayati, baik flora maupun fauna. Kondisi ini sangat beralasan, karena kondisi hutan di dua desa ini masih cukup mendukung untuk tumbuh dan berkembangnya flora maupun fauna. Setidaknya kondisi seperti ini dapat mengubah persepsi tentang kehadiran HPH pada suatu kawasan yang akan menyebabkan berkurangnya frekuensi kehadiran ataupun habitat flora maupun fauna. Kondisi demikian tergantung dari kinerja suatu perusahaan (HPH) itu sendiri. Frekuensi fauna semakin banyak, dalam arti hampir setiap hari terlihat fauna seperti kera, orangutan, burung dan yang lainnya di saat musim buah tiba. Pekerjaan utama para petani dari pembukaan lahan sampai panen dibantu dengan peralatan teknologi yang lebih baik. Pemanfaatan teknologi juga dapat dijumpai pada masyarakat non petani, seperti berburu dengan menggunakan senapan yang dibantu dengan menggunakan tombak dan mandau. Penguasaan teknologi akan mempengaruhi laju pemanfaatan sumberdaya. Sekelompok masyarakat yang telah mengenal teknologi yang lebih efektif dan efisien (dalam arti waktu, tenaga dan biaya) cenderung bersifat eksploitatif terhadap sumberdaya hutan. Sebagai contoh: pengenalan gergaji mesin (chain-saw) mendorong pembabatan hutan di banyak kawasan, selain itu penggunaan racun ikan (Thiodan) membunuh semua ikan yang ada di tempat itu termasuk ikan yang masih kecil. e. Kondisi kawasan berhutan dan kebakaran hutan. Luas areal berhutan di sekitar Desa Umpang pada saat HPH beroperasi maupun sudah tidak beroperasi tidak mengalami perubahan, artinya kawasan yang berhutan masih cukup dan masih banyak mengandung jenis-jenis komersil. Areal berhutan itu sendiri oleh masyarakat hanya digunakan untuk bertani, pencarian kayu bakar dan tempat berburu. Di Desa Sulung Kenambui, kawasan yang berhutan setelah HPH tidak beroperasi semakin berkurang dibandingkan ketika HPH masih beroperasi. Hal ini sebagai akibat kawasan hutan sudah tidak bertuan lagi (HPH sudah tutup), sejak itulah kondisi kawasan berhutan di Desa Sulung Kenambui berkurang. Kondisi ini, dimungkinkan telah terjadi perambahan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Selain sebagai akibat dari penjarahan, berkurangnya luas areal yang berhutan adalah akibat kebakaran. Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka diperoleh kondisi perkembangan sosial ekonomi masyarakat desa hutan pasca kegiatan HPH PT Bintang Arut di Kalimantan Tengah terkini dengan melihat komponen kesejahteraan, kemandirian dan kesadaran terhadap lingkungan seperti disajikan pada Tabel 3 yang dihitung sebagai berikut:
Fa’izin dkk. (2006). Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa
126
Desa Sulung Kenambui NS = 40/54 x 50 = 37,04 NM = 22/36 x 30 = 18,33 NL = 21/33 x 20 = 12,73
PSosek = NS + NM + NL = 37,04 + 18,33 + 12,73 = 68,10 (sedang)
Desa Umpang NS = 36/54 x 50 = 33,33 NM = 19/36 x 30 = 15,83 NL = 20/33 x 20 = 12,12
PSosek = NS + NM + NL = 33,33 + 15,83 + 12,12 = 61,28 (sedang)
Tabel 3. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Hutan Pasca Kegiatan HPH PT Bintang Arut Nama desa
Bobot Kriteria NS NM NL Psosek Sulung Kenambui 37,04 18,33 12,73 68,10 Sedang Umpang 33,33 15,83 12,12 61,28 Sedang Keterangan: NS = Nilai Komponen Kesejahteraan, NM = Nilai Komponen Kemandirian, NL = Nilai Kesadaran Lingkungan, Psosek = Nilai perkembangan sosial ekonomi
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Hutan Pasca Kegiatan HPH Perkembangan sosial ekonomi masyarakat desa hutan disebabkan karena beberapa faktor, baik faktor dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal), yaitu: 1. Faktor internal a. Pendidikan rendah. Tingkat pendidikan dan wawasan pengetahuan masyarakat yang identik dengan sumberdaya manusia akan menentukan seseorang berpikiran luwes dan luas dalam segala bidang, seperti sudut pandang terhadap hutan, pemasaran, respon terhadap inovasi dan penggunaan teknologi. b. Budaya. Sangat sulitnya mengubah kebudayaan dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat (menyangkut mental, kultur atau kebiasaan lainnya), sehingga menjadi kendala yang sangat berpengaruh terhadap aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat desa hutan. Salah satu alasannya adalah pola kehidupan yang lamban sebagai pengaruh dari alam di mana mereka tinggal, seperti etos kerja, aktivitas hidup, sistem pertanian dan tidak intensifikasinya dalam pengelolaan. c. Ketergantungan yang tinggi pada SDA (baik kayu maupun non kayu). Sumberdaya alam (SDA) yang berkecukupan ini sangat mendukung dalam aktivitas pekerjaan masyarakat desa, hal inilah yang membuat masyarakat sangat tergantung pada alam dalam pemenuhan kebutuhannya dan telah terbiasa mengambil dan memanfaatkannya.
127
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (2), OKTOBER 2006
d. Aksesibilitas dan sarana prasarana. Faktor pendukung dalam pengembangan sosial ekonomi salah satunya adalah aksesibilitas dan sarana prasarana. Sebagai akibatnya antara lain: perhubungan yang dinyatakan dengan sarana dan prasarana (aksesibilitas), kurangnya fasilitas dan tenaga di bidang pendidikan dan kesehatan, lembaga-lembaga pemerintah dan lembaga perekonomian desa kurang berfungsi. 2. Faktor eksternal a. Insentif pemerintah. Sebenarnya pemerintah memiliki program yang baik dalam sistem sosial ekonomi masyarakat, salah satunya dengan memberikan bantuanbantuan, seperti raskin, saprodi, dana. Namun dalam pelaksanaannya banyak bantuan itu tidak sampai sasaran/tujuannya. b. Petugas pembina lapangan. Petugas pembina di lapangan seperti penyuluh, pelatih, fasilitator sangat jarang dan bahkan tidak ada di lapangan, padahal para pembina lapangan ini sangat diharapkan oleh para kelompok tani dan masyarakat desa dalam hal mentransfer inovasi teknologi. c. Kebijakan. Kebijakan yang dimaksudkan adalah kebijakan dalam hal membina masyarakat seperti Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) di samping kebijakan yang lainnya. d. Ketersediaan pasar. Hasil-hasil pertanian dan non pertanian di dua desa cukup berpeluang, karena ada yang membeli. Di dua desa ini para pembeli langsung datang ke desa-desa mencari hasil-hasil pertanian atau non pertanian (produkproduk desa), para pembeli yang dimaksudkan adalah tengkulak. Prospek Pengembangan Program Pembinaan Masyarakat di Sekitar Hutan Program-program PMDH yang dilakukan oleh HPH PT Bintang Arut masih banyak menyisakan berbagai macam permasalahan, walaupun sudah dikriteriakan oleh Dinas Kehutanan Kotawaringin Barat bahwa program yang telah dilakukan berhasil. Namun kondisi (kesejahteraan, kemandirian dan perilaku positif terhadap lingkungan) masyarakat desa binaan kurang berkesinambungan. Oleh karenanya program-program yang akan disusun hendaknya selalu memperhatikan aspirasi dan kesesuaian kondisi masyarakat setempat, sehingga perlu kiranya dianalisis beberapa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kegiatan atau program PMDH tersebut. Analisis dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT (strength, weakness, opportunity, threat) seperti terlihat pada Tabel 4, yang akan melahirkan suatu strategi agar dapat mengantisipasi perkembangan perubahan lingkungan, baik internal maupun eksternal. Berdasarkan Tabel 4 dirumuskan beberapa strategi seperti berikut ini: 1. Strategi strengths-opportunities (S-O) a. Memfungsikan/memberdayakan kelembagaan formal/non formal. Memfungsikan dan memberdayakan kelembagaan formal/non formal dalam mengatasi permasalahan pemasaran dengan lebih memfokuskan kelembagaan perekonomian yang ada. Karena beberapa lembaga formal maupun non formal
Fa’izin dkk. (2006). Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa
128
sangat kurang dan bahkan tidak berfungsi/berdaya sama sekali. Seperti halnya dengan memfungsikan kembali koperasi unit desa (KUD). Tabel 4. Analisis SWOT dalam Program Pembinaan Masyarakat Desa Binaan (Sulung Kenambui)
I n t e r n a l E k s t e r n a l
Faktor internal dan eksternal Kekuatan (strength)
Kelemahan (weakness)
Peluang (opportunity) Ancaman (threat)
Faktor strategis Kelembagaan formal/non formal Sumberdaya alam Tenaga kerja Pendidikan Tradisi/budaya Kelembagaan formal/non formal Sarana dan prasarana Pasar Kebijakan pemerintah Penyerobotan lahan dan perambahan hutan Adanya tengkulak Sikap arogansi masyarakat Bahaya kebakaran
b. Penguatan kelembagaan formal/non formal. Selanjutnya setelah memfungsikan kelembagaan, hendaknya dikuatkan dengan pelatihan-pelatihan, penyuluhan serta pendampingan oleh semua pihak yang berkompeten. Oleh karena itu, salah satu aspek yang perlu diperhatikan dan harus dibenahi adalah kelembagaan formal/nonformal, seperti BPD/LKMD, KUD, lembaga adat. c. Perlu adanya kebijakan tentang aturan/sanksi. Bila dalam pengelolaan SDA atau yang lainnya ada yang menyalahi/melanggar aturan, maka perlu ditindak dengan tegas, sehingga diharapkan sekali dukungan kebijakan pemerintah yang terkait dengan pengontrolan/pengawasan suatu kawasan. 2. Strategi weaknesses-opportunities (W-O) a. Penyuluhan masyarakat tentang informasi pemasaran hasil pertanian/non pertanian. Peran Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) terhadap komponen masyarakat terutama kelompok petani hendaknya lebih diintesifkan. Hal ini supaya para petani dapat bergairah dalam berusaha yang mengarah kepada orientasi pasar. b. Meningkatkan fungsi/peran pemerintah desa secara formal atau non formal dalam rangka peningkatan SDM masyarakat desa. Kelemahan masyarakat desa pada umumnya adalah SDM yang rendah, sehingga dalam melaksanakan atau memanfaatkan sumberdaya hutan selalu berpikir subsisten. Oleh karena itu, hendaknya masyarakat atau aparat desa meminta dan bermitra dengan pemerintah daerah yang didampingi oleh (LSM)/perguruan tinggi (stakeholders) dalam peningkatan SDM masyarakat desa.
129
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (2), OKTOBER 2006
d. Meningkatkan sarana dan prasarana. Dukungan terhadap aktivitas perekonomian masyarakat setempat sangat perlu dan penting. Dukungan tersebut berupa peningkatan aksesibilitas, baik sarana maupun prasarana. e. Meningkatkan kerja sama antar instansi terkait. Mengingat banyaknya instansi/kelompok yang harus terlibat dalam penanganan kawasan ini, baik perencanaan, pemeliharaan maupun pemanfaatan, maka hendaknya saling bekerja sama/koordinasi dalam segala hal. 3. Strategi strengths-threats (S-T) a. Memfungsikan/memberdayakan kelembagaan formal/non formal dalam menjaga, mempertahankan dan melestarikan SDH. Fungsi kelembagaan formal maupun non formal dalam menjaga, mempertahankan dan melestarikan SDH hendaknya lebih ditingkatkan.
b. Meningkatkan penyuluhan dan pengembangan sistem pemanfaatan lahan. Masyarakat desa hutan perlu dibina (terutama pekerjaan pokoknya sebagai petani) agar tidak mudah dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dan tidak arogan terhadap lingkungannya. Oleh karenanya diperlukan pengembangan, penyuluhan sistem pemanfaatan lahan dan pola agroforestri serta inovasi teknologi dan pemilihan komoditas pertanian/perkebunan yang sesuai dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan didukung kearifan lokal, agar SDA baik ekosistem, produksi maupun lingkungannya tetap terjaga. 4. Strategi weaknesses-threaths (W-T) a. Perencanaan program secara partisipatif. program yang partisipatif merupakan salah satu cara agar kegiatan/proyek yang direncanakan dapat berhasil dilaksanakan. Program-program yang direncanakan hendaknya melibatkan semua komponen masyarakat, dari pemerintah desa, kelompok masyarakat ataupun lembaga-lembaga yang terkait lainnya. b. Meningkatkan sarana dan prasarana untuk mencegah dan menanggulangi kerusakan kawasan. Pengamanan kawasan SDA di daerah contoh merupakan hal yang penting mengingat kawasan yang cukup luas. Seperti pencegahan dan menanggulangi akibat tekanan terhadap hutan berupa perambahan dan kebakaran hutan, dengan meningkatkan sarana dan prasarana di dua desa tersebut, seperti pospos penjagaan, menara pengintai kebakaran. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Penilaian perkembangan sosial ekonomi masyarakat Desa Sulung Kenambui (desa binaan) maupun Desa Umpang (desa non binaan) adalah “sedang”, dengan nilai masing-masing 68,10 dan 61,28. Kondisi sosial ekonomi di Desa Sulung Kenambui “lebih baik” dibandingkan Desa Umpang.
Fa’izin dkk. (2006). Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa
130
Perkembangan sosial ekonomi masyarakat desa hutan baik desa binaan maupun non binaan dipengaruhi oleh beberapa faktor internal (pendidikan, budaya, ketergantungan yang masih tinggi terhadap SDA, aksesibilitas dan sarana prasarana) dan. faktor eksternal (insentif pemerintah, petugas pembina lapangan, kebijakan dan ketersediaan pasar). Perspektif ke depan program pembinaan masyarakat di sekitar hutan hendaknya selalu memperhatikan aspek-aspek internal dan eksternal dari suatu masyarakat hutan itu sendiri. Beberapa program yang harus dikembangkan dan mendapat prioritas antara lain: penguatan serta memfungsikan/memberdayakan kelembagaan formal/non formal, meningkatkan sarana prasarana, meningkatkan programprogram yang partisipatif melalui kerja sama antar instansi terkait ataupun kebijakan pemerintah. Saran Pembinaan masyarakat yang didukung dengan kebijakan dan kajian hendaknya benar-benar mengarah dan mengoptimalkan pemberdayaan masyarakat dan benar-benar menyentuh (sampai kepada masyarakat), sehingga masyarakat diharapkan tidak merasa ketergantungan terhadap pihak lain dan mampu meningkatkan posisi tawar masyarakat. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, maka pembangunan masyarakat hendaknya jangan dikaitkan dengan suatu “event” politik seperti pemilu, suksesi kepala daerah atau yang lainnya. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2001. Rencana Karya Tahunan Pengusahaan Hutan Tahun 2000/2001 PT Bintang Arut. Propinsi Kalimantan Tengah. Palangkaraya. 109 h. Rangkuti, F. 2001. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 188 h. Sardjono, M.A. 1999. Panduan Penilaian Kegiatan Pembinaan Masyarakat Desa Hutan. Kerja Sama Fahutan Unmul, PPLH Unmul, Center for Social Forestry (CSF) Unmul, Sustainable Forest Management Project (SFMP-GTZ), Samarinda. 62 h.