Perjalanan Mewujudkan Bantuan Keuangan Khusus Kesehatan di Sulawesi Utara
PERJALANAN MEWUJUDKAN BANTUAN KEUANGAN KHUSUS KESEHATAN DI SULAWESI UTARA
Penulis : Nurhady Sirimorok Kontributor : Apridon Zaini Ellisabeth L. O. Noya Utoro Sindhubilowo Theresia Erni Bappeda Provinsi Sulawesi Utara Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara Dinas Kesehatan Kab. Minahasa Utara Desain Tata letak : Muh. Iswandhy Badillah
Dicetak di Jakarta – Juni 2014 Publikasi ini didanai oleh Department of Foreign Affairs, Trade and Development (DFATD) Canada melalui Proyek BASICS. Sebagian atau seluruh isi buku ini, termasuk ilustrasinya, boleh diperbanyak dengan syarat disebarkan secara gratis dan mencantumkan sumbernya. Versi elektronik dokumen ini dapat diunduh dari situs internet www.basicsproject.or.id
Selayang Pandang Proyek BASICS
P
royek BASICS (Better Approaches for Service Provision through Increased Capacities in Sulawesi atau Peningkatan Pelayanan Dasar melalui Pengembangan Kapasitas di Sulawesi) merupakan kerjasama antara Pemerintah Kanada melalui Department of Foreign Affairs, Trade and Development (DFATD)1 dan Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Dalam Negeri dalam mendukung peningkatan pelayanan dasar kesehatan dan pendidikan untuk memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan mencapai Tujuan Pembangunan Milenium. Salah satu pintu masuk untuk mencapai tujuan tersebut adalah melalui peningkatan kapasitas para pihak yang terlibat dalam proses perencanaan dan penganggaran di daerah. Para pihak tersebut adalah Pemerintah Daerah (eksekutif), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (legislatif), dan Organisasi Masyarakat Sipil. Dukungan kepada pemerintah daerah dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas para perencana dan pengambil kebijakan di daerah dalam melaksanakan tugas-tugas pokok kepemerintahan di bidang perencanaan dan penganggaran yang terintegrasi, dan meningkatkan kemampuannya dalam memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Dukungan kepada DPRD diberikan untuk meningkatkan dan memperkuat peran DPRD dalam menjalankan fungsi-fungsi penyusunan peraturan perundangundangan (legislasi), penganggaran (budgeting), dan pengawasan pemerintahan khususnya terkait penyediaan pelayanan publik yang berkualitas. Dukungan kepada organisasi masyarakat sipil adalah untuk memperkuat kapasitas mereka agar dapat melakukan peranperan partisipasi dalam proses perencanaan daerah, advokasi kebijakan daerah terkait pelayanan publik, dan pengawasan kinerja pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Sejak tahun 2009 Proyek BASICS bekerja di 10 Kabupaten/Kota di Propinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara. Lima kabupaten/ kota di Provinsi Sulawesi Utara terdiri dari: Kota Bitung, Kab. Minahasa, Kab. Minahasa Utara, Kab. Kepulauan Siau Tagulandang Biaro, dan Kab. Kepulauan Sangihe. Sedangkan lima kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tenggara meliputi Kota Baubau, Kab. Buton Utara, Kab. Wakatobi, Kab. Konawe Selatan dan Kab. Kolaka Utara.
Pada tahun 2014, Proyek BASISC menambah empat Kabupaten sebagai mitra kerja di Propinsi Sulawesi Utara (Kab. Kepulauan Talaud dan Kab. Minahasa Tenggara) dan Propinsi Sulawesi Tenggara (Kab. Bombana dan Kab. Konawe Utara).
Proyek BASICS mempunyai dua komponen utama. Komponen pertama adalah pengembangan kapasitas (Capacity Development) yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas para pihak (eksekutif, legislatif, organisasi masyarakat sipil) di daerah dalam meningkatkan kualitas pelayanan dasar kesehatan dan pendidikan, melalui: (1) peningkatan kapasitas Pemerintah Daerah dalam perencanaan dan penganggaran; (2) penguatan kapasitas DPRD dalam melakukan fungsi legislasi, budgeting, dan pengawasan terkait penyediaan pelayanan dasar yang berkualitas bagi masyarakat; (3) penguatan kapasitas organisasi masyarakat sipil dalam mendukung dan mengawasi kinerja penyelenggaraan pelayanan dasar kesehatan dan pendidikan di daerah; dan (4) pengarusutamaan gender dalam perencanaan dan penganggaran pelayanan dasar kesehatan dan pendidikan. Komponen kedua adalah BASICS Responsive Initiative (BRI) yang merupakan dana hibah yang diberikan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mendukung inovasi atau praktik cerdas yang dilakukan dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan dasar kesehatan dan pendidikan untuk percepatan pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) kesehatan dan pendidikan dan Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/ MDGs). Informasi lebih lengkap tentang Proyek BASICS dapat dilihat pada www.basicsproject.or.id
1 DFATD ebelumnya bernama Canadian International Development Agency (CIDA).
i
Kata Pengantar
P
royek BASICS mempunyai komitmen dalam mendukung peningkatan pelayanan dasar dalam rangka percepatan pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Tujuan Pembangungan Milenium (Millenium Development Goals/MDGs) di bidang kesehatan dan pendidikan dasar. Tujuan tersebut dicapai melalui peningkatan kapasitas para pihak yang terlibat dalam pembangunan daerah, khususnya dalam perencanaan dan penganggaran, serta para pemberi layanan yang berhubungan langsung dengan masyarakat.
Contents
Daftar Isi
Selayang Pandang Proyek BASICS
i Kata Pengantar ii Daftar Isi iii BAB I Menuju Pelayanan Dasar Lebih Bermutu
1
Buku ini hadir sebagai catatan refleksi perjalanan mitra kerja Proyek BASICS di Provinsi Sulawesi Utara dalam mengupayakan pelayanan dasar kesehatan yang lebih berkualitas melalui peningkatan kualitas data kesehatan, penganggaran pelayanan kesehatan yang terukur melalui mekanisme perhitungan unit cost, dan Bantuan Keuangan Khusus Kesehatan (BKK-Kes). Ketiga inovasi yang merupakan satu rangkaian yang saling mendukung ini adalah bukti komitmen Pemerintah Kabupaten/Kota serta Provinsi Sulawesi Utara dalam mengupayakan percepatan pencapaian SPM dan MDGs bidang kesehatan.
BAB II Pengolaan Data Kesehatan di Kabupaten Minahasa Utara 9 BAB III Menghitung Unit Cost Menuju Penganggaran yang Akurat dan Efektif
25
Kami berharap pengalaman dan pembelajaran dari inovasi-inovasi tersebut dapat menjadi masukan bagi pemerintah daerah lain yang ingin mengembangkan dan menerapkannya. Kami juga berharap pembelajaran tersebut dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam proses perencanaan , penganggaran, dan penyediaan layanan dasar kesehatan.
BAB IV Mewujudkan Sebuah Aturan untuk Keadikan
41
BAB V Kerja Belum Usai Bantuan Keuangan Khusus Kesehatan di Ujung Jalan
59
Kami menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara yang telah mendukung dan bekerjasama dalam penerapan dan pengembangan berbagai inovasi pelayanan dasar kesehatan tersebut. Apresiasi juga kami sampaikan kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam proses penulisan buku ini.
BAB VI Seranai Pembelajaran 75
Jakarta, Maret 2014
Bill Duggan Project Director BASICS
ii
iii
BAB I
Menuju Pelayanan Dasar Lebih Bermutu
iv
Pemeriksaan balita di Puskesmas Manganitu, Kab. Kepl. Sangihe
v
RENTETAN kerja yang berkembang dalam kerangka proyek BASICS memang belum usai, namun rentang nyaris lima tahun telah meninggalkan sejumlah pembelajaran. Rangkaian kegiatan itu terselenggara dalam rangka mendukung pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Tujuan Pembangunan Milenium atau Millenium Development Goals (MDGs). Sejak diluncurkan pada pertengahan tahun 2009, sudah cukup banyak program dan kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) baik dari Pemerintah Daerah, lembaga legislatif maupun organisasi masyarakat sipil. Mereka bekerjasama secara intensif dengan satu tujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan dasar di Sulawesi Utara. Di sepanjang perjalanan program inilah mereka menghasilkan berbagai inovasi.
Pemeriksaan Bayi (Imunisasi dan Penimbangan) di Posyandu Desa Tumbohon Kabupaten Minahasa Utara.
Tentang Tiga Inovasi PROYEK BASICS bekerja dalam dua ranah pelayanan dasar, kesehatan dan pendidikan. Namun buku kecil ini hanya akan mengulas kerja-kerja di bidang kesehatan. Lebih khusus, hanya membatasi diri pada tiga inovasi utama dalam mendukung peningkatan kapasitas perencanaan dan penganggaran untuk meningkatkan kualitas pelayanan dasar kesehatan di tingkat Pemerintah Daerah.
Ketiga inovasi tersebut, pertama, perbaikan sistem manajemen data dengan mengembangkan format dan aplikasi pangkalan data (database) yang lebih efektif dan terintegrasi; kedua, pengembangan model penghitungan biaya satuan (unit cost) pelayanan kesehatan yang menimbang aksesibiltas (kemudahan untuk dicapai) warga terhadap pelayanan tersebut; dan ketiga, perumusan konsep Bantuan Keuangan Khusus Kesehatan (BKKKes) dan advokasi Peraturan Gubernur No. 16/2013 yang antara lain mengatur
mekanisme bantuan keuangan dari APBD Provinsi ke Kabupaten/Kota.1
Kegiatan-kegiatan lain dalam kerangka proyek BASICs tentu turut berperan dalam menyokong tiga rangkaian kerja itu, namun membutuhkan ruang lain untuk menjelaskan bentuk-bentuk spesifik kontribusi mereka. Mengapa tiga kegiatan ini dijelaskan dalam bentuk semacam rangkaian?
Secara khusus, Proyek BASICS berusaha mendukung pelaksanaan pendekatan perancangan kebijakan yang ilmiah. Karena itu, perencanaan dan penganggaran harus berbasis data yang berkualitas: tersusun dengan baik, mudah diakses dan dianalisis, serta senantiasa mengalami pemutakhiran. Ini mengharuskan perbaikan sistem pengelolaan pangkalan data
1 Peraturan Gubernur Sulawesi Utara Nomor 16 Tahun 2013 tentang Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) dan Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2013-2015 (lihat Bab 4 untuk penjelasan lebih lengkap).
3
Pertama, berbagai variabel input seperti alat kesehatan, obat-obatan, dan ongkos jasa layanan kesehatan. Kedua, tingkat aksesibilitas warga terhadap layanan tersebut, dengan deretan variabelnya sendiri seperti jarak, kondisi geografis dan jenis kendaraan yang tersedia. Hasil penghitungan ini menyajikan perkiraan jumlah biaya yang dibutuhkan untuk memberikan pelayanan kesehatan minimal per individu. Suasana pemeriksaan di Puskesmas Manganitu, Kab. Kepl. Sangihe
(database) di tahap-tahap awal. Data bermutu sangat membantu menyusun perencanaan program dan kegiatan yang dapat menjawab permasalahan dan kebutuhan masyarakat. Data tersebut juga berkontribusi dalam menghitung biaya pelayanan kesehatan yang dibutuhkan, yang pada gilirannya sangat membantu menyusun penganggaran dengan metode yang lebih dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Di tahun pertama program, perbaikan sistem pengumpulan dan penataan data ditangani dengan serius. Ini terlihat pada dukungan BASICS bagi pengembangan sistem manajemen data di Minahasa Utara yang dimulai tahun 2010 (lihat di Bab 2). Dari kompilasi data inilah dapat dilihat cakupan SPM bidang kesehatan yang telah dicapai dan masih harus dicapai sesuai target yang diamanatkan secara nasional. Melihat kesenjangan antara capaian dan target tersebut kemudian muncul pertanyaan mendasar: berapa biaya yang dibutuhkan untuk membiayai pencapaian SPM bidang kesehatan?
4
Sementara itu komponen lain dari Proyek BASICS, yaitu BASICS Responsive Initiative (BRI)2, mendukung program dan kegiatan dengan sasaran terfokus untuk mengintervensi indikatorindikator SPM capaiannya masih jauh dari target (Lihat Kotak 1). Sebagai intervensi terfokus, program ini juga butuh data yang lengkap dan akurat sehingga pertanyaan tentang berapa dana yang dibutuhkan cakupan pelayanan tertentu kembali mencuat. Pertanyaan ini kemudian coba dijawab dengan mengadakan pengkajian unit cost (biaya satuan), sebuah model penghitungan kebutuhan biaya setiap satuan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan di tingkat Puskesmas, utamanya untuk pelayanan kesehatan ibu dan anak serta beberapa penyakit tertentu. Penghitungan ini mempertimbangkan dua aspek.
2 BRI (BASICS Responsive Initiative) adalah komponen bantuan berupa dana hibah mendukung berbagai usulan inovatif pemerintah daerah mitra kerja BASICS dalam upaya mendorong percepatan pencapaian MDGs dan SPM pada bidang kesehatan dan pendidikan dasar yang menjadi urusan wajib pemerintah daerah.
Hasil perhitungan ini kemudian me nimbulkan pertanyaan penting lain nya: dari mana mendapatkan ke ku rangan dana yang ditemukan cukup
banyak di level Kabupaten/Kota demi mengusahakan pencapaian SPM dan MDGs? Pertanyaan inilah yang memunculkan gagasan adanya alokasi dana bantuan keuangan khusus kesehatan dari APBD Provinsi (lebih lengkap dibahas pada Bab 4). Konsep yang awalnya disebut DAK-Like (karena kemiripannya dengan mekanisme DAK dari Pemerintah) ini kemudian dilegalformalkan melalui Peraturan Gubernur Sulawesi Utara Nomor 16 Tahun 2013 tentang Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) dan Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara Tanun 2013-2015.
KOTAK 1 INSPIRASI DARI BRI
Komponen BRI diluncurkan pada tahun 2011 dan berlangsung sampai 2013. Untuk pelaksanaanya Strategi Peningkatan Pelayanan (SPP) yang merupakan dokumen perencanaan tiga tahunan. Dokumen SPP, bidang pendidikan dasar maupun kesehatan, dirancang khusus untuk mengintervensi beberapa indikator MDGs dan SPM terpilih yang capaiannya masih jauh dari target nasional.
Sebagai sebuah program pelengkap, BRI tidak didisain untuk menyelesaikan semua masalah kesehatan maupun pendidikan. Ia bukan diadakan untuk mengurangi program, kegiatan dan anggaran rutin pemerintah daerah ataupun pusat; melainkan sebuah inisiatif untuk membantu program pemerintah, yaitu pencapaian SPM dan MDGs. Mekanisme pengelolaan BRI menjadi inspirasi bagi konsep DAK-Like atau dana bantuan mirip DAK (Dana Alokasi Khusus). DAK adalah alokasi anggaran dari pemerintah pusat ke kabupaten/kota untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan pemerintah daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Pengenalan konsep ini mencoba mengusahakan alternatif pembiayaan, bukan dari pemerintah pusat, melainkan dari pemerintah propinsi.
Aspek terakhir ini merupakan terobosan yang belum ada padanannya di provinsi lain. Pengenalan DAK-Like berangkat dari pemahaman bahwa untuk mewujudkan SPM bidang kesehatan dibutuhkan biaya besar, sedangkan aturan mengenai SPM dari pemerintah pusat tidak disertai dana untuk mencapai target yang ditetapkan. Salah satu akibatnya, banyak kabupaten/kota tidak sanggup membiayai pencapaian seluruh indikator yang diwajibkan dalam SPM. (Penjelasan lebih lengkap tentang BRI dapat dibaca pada buku BASICS Responsive Initiative Demi Masyarakat Lebih Sehat, Cerdas dan Sejahtera, terbitan BASICS tahun 2014, yang dapat juga diunduh melalui www.basicsproject.or.id )
5
meningkatkan pelayanan dasar yang telah didesentralisasikan. Dengan meningkatnya kapasitas penyelenggara pelayanan dasar, diharapkan peren canaan dan penganggaran daerah akan semakin berfokus kepada upaya pencapaian indikator SPM dan MDGs, utamanya bidang kesehatan dan pendidikan yang merupakan bagian dari tugas wajib daerah.
Menunggu pelayanan obat di Unit Rawat Jalan RSUD Kota Bitung
Dalam Kerangka Proyek BASICS SEJAK semula proyek BASICS dirancang untuk “meningkatkan kapasitas peme rintah dan masyarakat sipil dalam mengembangkan dan melaksanakan kebijakan, proses dan sistem yang efektif untuk pelayanan publik ber kualitas yang didesentralisir”. Bagai mana caranya? Untuk mewujudkan pelayanan pub lik berkualitas, proyek BASICS mela kukannya dengan cara memperkuat sistem perencanaan dan penganggaran yang lebih baik, berbasis pada pencapaian MDGs melalui penerapan SPM dan setara gender. Peningkatan kapasitas pemerintah daerah, lembaga legislatif dan organisasi masyarakat sipil merupakan strategi untuk mencapai tujuan tersebut.
6
Dalam pelaksanaannya, proyek meng hadapi berbagai tantangan teknis. Antara lain, Pemerintah Provinsi
kurang antusias, menganggap proyek BASICS ‘kurang menarik’ dan kurang memberi manfaat. Demikian pula, data yang berkaitan dengan SPM dan MDGs sangat memprihatinkan, pemahaman para pihak terkait sangat minim tentang Indikator Pencapaian (IP) SPM dan target MDGs. Ini masih ditambah dengan berbagai soal teknis menyangkut kerjasama dan mekanisme bantuan proyek kepada pemerintah daerah. Selama tahun 2010, proyek berfokus pada upaya menjawab beberapa tant angan mendasar di atas. Meskipun terdapat dua komponen proyek yang saling mendukung, yaitu kom ponen Peningkatan Kapasitas dan BASICS Responsive Initiative (BRI), namun proyek sadar bahwa dua komponen ini belum layak berjalan secara paralel. Proyek masih harus menjalankan kegiatan-kegiatan demi mengubah kerangka berpikir mitramitra di daerah dalam hal upaya
Untuk mendukung penguatan pada sistem perencanaan dan penganggaran daerah, tata kelola data wajib diberi perhatian khusus. Proyek BASICS menetapkan tahun 2010 sebagai tahun perbaikan data, utamanya di level Dinas Kesehatan dan Pendidikan Kabupaten/ Kota. Mulai tahun 2010 pula kegiatankegiatan peningkatan kapasitas ba gi para pemangku kepentingan di kabupaten/kota dilakukan secara intensif.
Tahun 2011 komponen BRI dilun curkan yang mengusung strategi intervensi terfokus bagi pencapaian SPM dan MDGs bidang kesehatan dan pendidikan dasar melalui perencanaan multi-tahun. Setiap kabupaten/kota mitra kerja BASICS menyusun strategi tersebut dalam dokumen Stategi Peningkatan Pelayanan untuk periode tiga tahun (2011-2013). Pelaksanaan komponen BRI ini, sebagai mana telah kita lihat, kelak memberikan inspirasi yang membantu terbentuknya ke rangka berpikir perencanaan multitahun dan intervensi terfokus, yang turut berkontribusi dalam perumusan konsep bantuan keuangan khusus kesehatan melalui Peraturan Gubernur Sulawesi Utara Nomor 16 Tahun 2013.
Struktur Buku Buku kecil ini disusun sebisa mungkin untuk memberi gambaran tentang bagaimana sejumlah program dijalankan dan berkembang sesuai situasi setempat. Ini menjadi penting sebab menghilangkan konteks dari pembelajaran berpotensi menjauhkan teks dari kenyataan di sekelilingnya. Pada gilirannya ini dapat menciptakan berbagai risiko, antara lain menciptakan kesulitan untuk memahami mengapa sesuatu dikerjakan atau terjadi dengan cara tertentu, bukan dengan cara lain. Aspek relasi teks-konteks ini sangat penting dalam memudahkan kerja diseminasi gagasan. Karena itu, buku ini mencoba meng gambarkan proses, berikut sejumlah hambatan yang dihadapi, serta cara- cara mengatasinya. Semua ini coba dipaparkan untuk, sekali lagi, melakukan refleksi terhadap apa yang telah dilewati, dan mengidentifikasi sejumlah pembelajaran yang muncul di sepanjang perjalanan proses tersebut. Untuk menyusun buku ini, tim pe nyusun mengadakan telaah terhadap sejumlah dokumen berupa notulensi, buku panduan, naskah Pergub, dan produk publikasi lain. Wawancara mendalam dan diskusi kelompok terfokus (FGD) juga dilangsungkan dengan melibatkan beberapa anggota Tim dari masing-masing kegiatan, yang berasal dari beberapa SKPD, akademisi, serta tim BASICS Sulawesi Utara. Karena dilakukan di sepanjang Maret-April 2014, ketika sebagian pekerjaan dalam penerapan Pergub masih berlangsung, buku ini belum dapat menjelaskan keseluruhan proses yang masih tersisa.
7
2009
Proyek BASICS diluncurkan
2010
Perbaikan Sistem Pengelolaan Data
2011
BRI diluncurkan
2011 - 2012
Pengembangan model penghitungan Unit Cost
MEI 2012 DAK like diperkenalkan
MEI 2013
GAMBAR 1 Milestones
Bagaimana membaca buku ini? Terdiri dari enam bab, buku ini disusun menurut urutan waktu kejadian. Ini dilakukan untuk menunjukkan bagaimana rangkaian kegiatan dalam program-program ini berkembang, sekaligus membentangkan konteks, serta menggambarkan kerja-kerja yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat. Di Bab 2, kita akan melihat pengembangan sistem manajeman data yang diselenggarakan bersama Dinas Kesehatan Kabupaten Minahasa Utara. Upaya ini merupakan salah satu batu pijakan yang kelak memunculkan gagasan mengenai unit cost atau perhitungan satuan biaya pelayanan kesehatan.
8
Bab 3 akan mengurai tentang perumusan deretan piranti yang digunakan untuk penghitungan biaya satuan (unit cost). Model ini sangat berguna untuk menyusun penganggaran bidang kesehatan, utamanya pada cakupan layanan tertentu, dengan lebih akurat. Selanjutnya, Bab 4 menyajikan proses terbentuknya Peraturan Gubernur
Pengesahan Pergub No. 16/2013
mengenai Bantuan Keuangan Khusus Kesehatan (BKKKes), serta upaya menghadirkan Peraturan Daerah (Perda) untuk mengantisipasi berakhirnya masa berlaku Pergub tersebut.
Bab 5 memaparkan tentang rang kaian kerja yang dilakukan pasca penandatanganan Pergub, termasuk upaya pelaksanaan Pergub dan penyu sunan Perda untuk mengantisipasi berakhirnya masa berlaku Pergub tersebut. Bab 6 akan menyajikan rangkuman sekaligus sintesis dari seluruh pembelajaran yang diurai pada bab-bab sebelumnya.
Pembaca yang tertarik mengenali konteks terbentuknya BKKKes, serta proses perumusan piranti-piranti pendukungnya (sistem manajeman data dan model penghitungan biaya satuan), dapat membaca buku ini secara berurutan. Sementara bagi mereka yang hendak langsung menekuni proses advokasi dan upaya penerapan BKKKes, dapat langsung membaca Bab 4 dan 5.
BAB II Pengelolaan Data Kesehatan di Kabupaten Minahasa Utara
9
DATA berkualitas, lengkap, dan sistematis sangat penting untuk menciptakan pelayanan bermutu. Data bisa membantu menemukan persoalan atau kebutuhan paling krusial untuk menyusun prioritas dan strategi, sehingga dapat berperan penting menyusun perencanaan dan penganggaran, juga pelayanan yang lebih tepat sasaran dan efektif.
Hingga sebuah upaya percontohan dimulai di Kabupaten Minahasa Utara, pada pertengahan 2010, sistem yang tersedia belum dapat menyokong tujuan tersebut. Salah satu persoalan utama ketika itu adalah ketersediaan data bermutu dari tingkat paling bawah, yaitu petugas kesehatan di desa (Poliklinik desa [Polindes], Puskesmas Pembantu [Pustu], dan Pos Kesehatan Desa [Poskesdes]).
Masalah diatas disebabkan oleh banyaknya format isian data yang menyulitkan pengumpulan dan rekapitulasi data, juga dipersulit dengan ketiadaan induk data (data master) yang dapat diakses dan menjadi rujukan bersama. Ini kemudian berimbas antara lain pada sulitnya menghitung Indeks Pencapaian SPM dan kurang maksimalnya pelaksanaan sebagian tugas Dinas Kesehatan (selengkapnya
masalah dapat dilihat di KOTAK 2).
Perihal ini menjadi sangat penting mengingat ketersediaan data valid dan regular dari level desa merupakan syarat pertama dari hadirnya rekapitulasi dan analisis data yang bermutu. Kondisi ini menciptakan kebutuhan untuk lebih serius menangani kerja pengumpulan dan pengolahan data sejak dari level terbawah. Ini berarti menyediakan
KOTAK 2 Masalah-masalah Pengelolaan Data •
• • •
•
•
Belum ada format pencatatan yang efektif dalam pengumpulan data. Banyak format pengumpulan data dengan berbagai pengulangan data, serta deskripsi operasional yang terbatas. Keduanya membuat pengelolaan data sering harus dilakukan secara manual. Data yang sama sering dikumpulkan secara berulang dan bukan merupakan pemutakhiran. Sumber data yang sama sering menghasilkan informasi berbeda untuk keperluan beragam. Minimnya rekapitulasi data dari Puskesmas, yang kemudian dijadikan dasar oleh Dinas untuk membuat laporan disertai analisis dan rekomendasi terbatas. Tidak ada data induk (master data) di Dinas Kesehatan yang terkoneksi dengan Puskesmas-Puskesmas, yang dapat digunakan oleh seluruh bagian/ bidang di Dinas Kesehatan.
Penghitungan Indikator Pencapaian (IP) SPM tidak memadai, hanya mengandalkan angka persentase, tanpa dukungan data yang bisa dipertanggungjawabkan yang menghasilkan angka tersebut. Dipersulit lagi dengan terbatasnya pemahaman atas definisi operasional SPM kesehatan sehingga menghasilkan perhitungan yang berbeda antara petugas data di Puskesmas dan Dinas Kesehatan. Tupoksi SKPD (melakukan pembinaan teknis pelayanan dasar dan perencanaan, pemantauan dan evaluasi) tidak dapat dilaksanakan dengan benar karena kurangnya hasil analisis dengan dukungan kedalaman data. Pelaksanaan program juga dilakukan dengan sumber data terbatas.
Belum ada Prosedur Standar Operasional yang mengatur pengelolaan data di Kabupaten.
Sumber: Praktik Cerdas, Seri Lembaran Informasi BASICS No.9 - Februari 2013
10
11
segala perangkat yang dibutuhkan untuk memudahkan para petugas di unit-unit pelayanan level bawah, agar data yang dapat tercatat dengan baik dan terhimpun dalam sistem penataan yang efektif.
tantangan pengelolaan data di atas coba dijawab dengan langkah-langkah yang kemudian memberi dampak positif kepada sistem pengelolaan data kesehatan dan perencanaan pelayanan kesehatan.
Rentetan persoalan pengelolaan data juga berhadapan langsung dengan Peraturan Menteri Kesehatan 741/MENKES/PER/VII/2008 yang menetapkan 18 Indikator Pencapaian (IP) SPM bidang kesehatan. Ukuran pencapaian tersebut hanya dapat ditakar dengan menggunakan data mengenai penyelenggaraan pelayanan yang bermutu. Berangkat dari kebutuhan inilah BASICS menyelenggarakan bantuan teknis kepada Dinas Kesehatan dan unit-unit pelayanan (Puskesmas) di Kabupaten Minahasa Utara. Beragam isu dan
Mereka mulai dengan kaji cepat untuk mengetahui kebutuhan dan masalah yang berhubungan dengan pengelolaan data. Kemudian membentuk tim untuk menyusun Standar Prosedur Operasional (SPO), sehingga akhirnya
PROSES
12
Dengan dukungan proyek BASICS, sekitar pertengahan tahun 2010 Dinas Kesehatan Minahasa Utara mulai membangun sistem pengelolaan data yang dapat menjamin ketersediaan data berkualitas, mulai dari kerja pengumpulan, pencatatan, pelaporan, hingga analisa. Ini merupakan langkah awal uji coba untuk mengetahui apakah sistem baru ini dapat menjamin ketersediaan data. terbentuk SPO di lingkungan Dinas Kesehatan. Sebelum tim itu bekerja, mereka menyepakati untuk memprioritaskan membangun sistem dengan berfokus kepada ketersediaan data untuk melihat capaian SPM dan MDGs bidang kesehatan.
Setelah itu, mereka beralih untuk membenahi pencatatan dan pela poran, yang menghasilkan format pencatatan dan pelaporan baku untuk IP SPM dan MDGs. Mereka menyeleksi dan memodifikasi register dan format laporan yang digunakan tenaga kesehatan untuk mencatat data pelayanan, ketika mereka memberi pelayanan. Penyederhanaan dilakukan dalam bentuk mengurangi register pencatatan dari 5 menjadi 3, dari 79 menjadi 18 tabel dan dari 10 menjadi 3 format laporan. (Format laporan adalah rekapitulasi dari register, sementara tabel adalah bagian dari laporan itu sendiri). Dari proses inilah Dinas Kesehatan Kabupaten Minahasa Utara kemudian mengembangkan formulir
yang digunakan olehbidan desa dan pemegang program di Puskesmas dalam pengumpulan dan pencatatan data dari tingkat desa.
Bersamaan dengan itu dikembangkan pula aplikasi olah da ta di tingkat Puskesmas untuk memudahkan petugas Sistem Informasi Kesehatan (SIK)Puskesmas melakukan kompilasi data dari desa dan pemegang program di Puskesmas. Dengan cara demikian sejak tahun 2011 Dinas Kesehatan Kabupaten Minahasa Utara dapat menghasilkan data kesehatan yang terpadu dan valid, utamanya terhadap penerapan SPM bidang kesehatan. Aplikasi SPM bidang kesehatan terdiri dari dua sub aplikasi, yaitu untuk Dinas Kesehatan dan untuk unit pelayanan (Puskesmas). Puskesmas melakukan pemasukan data dasar dan data program serta register kematian. (Selengkapnya lihat Tabel 1). Pemasukan data di Puskesmas menghasilkan laporan bulanan,
13
TABEL 1 Jenis Data Data Dasar (terpilah) Data Penduduk miskin Data desa/kelurahan (termasuk Desa Siaga) Data sumberdaya kesehatan (RS, Puskesmas, dan SDM Kesehatan), Data sasaran program
Data Program
Data program kesehatan ibu dan neo-natal Data program kesehatan anak Data program gizi
Data Pelayanan: Ibu hamil: kunjungan, deteksi resiko, rujukan resiko tinggi). Ibu bersalin: penanganan persalinan, komplikasi. Ibu nifas: kunjungan, pelayanan. Neonatal. Data pelayanan bayi, balita, termasuk penjaringan kesehatan usia SD sederajat. Data penanganan gizi kurang, gizi buruk, perawatan, gizi lebih.
Data program pelayanan KB
Data pelayanan komplikasi, kegagalan, drop-out, termasuk penanganan PUS (pasangan usia subur).
Data program Promosi Kesehatan
Data pelayanan kesehatan dasar untuk masyarakat miskin, serta Desa Siaga yang telah dibentuk.
Data program Pemberantasan Penyakit Menular (P2M)
Data pelayanan rujukan
Pemberantasan penyakit menular meliputi: AFP non polio, pneumonia balita, TB,DBD, dan diare.
Sumber: Praktik Cerdas, Seri Lembaran Informasi BASICS No.9 - Februari 2013
termasuk pencapaian SPM bidang kesehatan di wilayah kerja Puskesmas. Laporan bulanan Puskesmas merupakan rekapitulasi data dari unit pelayanan di wilayah kerja Puskesmas tersebut, yang merupakan perhitungan otomatis atas data yang telah diinput ke dalam aplikasi olah-data. Laporan bulanan dapat berbentuk tabel, grafik dan peta, yang menjadi bahan analisis bagi Kepala Puskesmas dalam pemberian informasi kesehatan.
14
Sistem pencatatan dan pelaporan, dengan demikian, sudah mulai terbangun, meskipun beberapa Puskesmas belum dapat melakukannya secara menyuluruh dan tepat waktu. Di tahun 2014 ini, setiap bulan para petugas kesehatan bertemu di Puskesmas untuk Lokakarya Mini
(Lokmin) tingkat Puskesmas, sebagai wadah perencanaan dan evaluasi di level Puskesmas, yang dipantau oleh kepala bidang terkait di Dinas Kesehatan. Pada kesempatan inilah mereka seharusnya mengumpulkan data dari unit-unit pelayanan di desa, namun kenyataannya tidak selalu demikian. Sementara di tingkat Dinas Kesehatan Kabupaten mereka sudah rutin menjakankan validasi data.
Pengumpulan data berkala belum bisa berjalan secara maksimal, sebab tidak seluruh Puskesmas dapat menyerahkan laporan setiap bulan. Salah satunya karena data dari tingkat desa kadang datang terlambat.1 Dalam kondisi 1. Meski sudah ada format register, sebagian petugas kesehatan di desa masih belum bisa disiplin mengisi register tersebut (lihat di bawah).
ideal, yang sudah berjalan di beberapa tempat, informasi pencapaian SPM kesehatan dapat diperbarui tiap bulan, bila suplai data dari Puskesmas berlajan lancar. Karena itu, menurut seorang anggota tim, ketersediaan data dari desa menjadi lebih penting ketimbang sistem aplikasi olah data.
Meneruskan Inovasi Kini
mereka lebih terfokus melanjutkan perbaikan sistem penge lolaan data di tingkat Puskesmas, agar pengelolaan data di level Dinas Kesehatan dapat berjalan baik. Ke tika sistem pengelolaan data sudah terbangun utuh di Puskesmas, kerja selanjutnya di level kabupaten semakin efisien, sebab mereka tidak perlu khawatir soal ketersediaan data yang valid. Mereka tinggal berpikir untuk mengolahnya dengan berbagai cara. Di level selanjutnya, Dinas Kesehatan melakukan pengelolaan data berupa kompilasi, rekapitulasi dan ‘rekonsiliasi’ data yang diperoleh dari Puskesmas, serta data dasar dan data program yang tidak dapat diperoleh dari Puskesmas (misalnya data dari rumah sakit). Dari sinilah Dinas Kesehatan menghasilkan laporan bulanan pencapaian SPM bidang kesehatan Kabupaten.
Laporan bulanan ini dihasilkan dalam bentuk tabel, grafik dan peta menurut kecamatan, untuk digunakan dalam analisis oleh bidang program Dinas Kesehatan dan menghasilkan informasi kesehatan untuk dilaporkan kepada pimpinan daerah dan masyarakat luas. Dengan begitu, data IP SPM dan MDGs bidang kesehatan dan Profil Kesehatan yang lebih bermutu sudah dihasilkan. Sebelumnya, Profil Kesehatan ini tidak tercatat dengan baik.
Pengembangan sistem, aplikasi, berikut pengadaan sarana dalam bentuk komputer merupakan langkah awal untuk membuat sebuah sistem jaringan data yang terintegrasi. Untuk itu, mereka merencanakan pengadaan komputer khusus untuk mengelola data di setiap Puskesmas, meski belum bisa sampai ke desa-desa. Mereka akan menyediakan sebuah server untuk melayani dan menghubungkan beberapa work station sebagai satu unit yang terintegrasi. Misalnya untuk menghubungkan bagian pendaftaran, apotik, unit pelayanan KIA, dan farmasi di satu Puskesmas, jaringan ini akan mengintegrasikan masing-masing bagian tersebut, walaupun di tahap awal masih berbasis offline.
Mereka pun berencana untuk membangun pangkalan data (database) terintegrasi berbasis online. Pada dasarnya pengembangan data base itu sejak awal memang dirancang sebagai bagian dari sebuah sistem online yang dapat menyatukan seluruh database ke dalam satu data induk (master data). Karena sasaran utama pengembangan sistem ini adalah mengasilkan tabel profil kesehatan yang terpadu, penting untuk menyatukan seluruh database ke sistem data induk. Bila semua sudah terhubung, petugas tidak perlu memasukkan data yang sama berulangulang di level berbeda. Jadi database dalam sistem di setia[ Puskesmas langsung terhubung secara online, di mana sudah siap 79 tabel yang dapat diisi. Setelah sistem data online terbangun, masing-masing bidang di Dinas Kesehatan Kabupaten dapat mengakses langsung data dari Puskesmas yang terkait dengan bidangnya tanpa harus menunggu dikeluarkannya
15
data rekapitulasi dalam bentuk Profil Kesehatan Kabupaten. Ini sangat mendukung kerja bidang-bidang yang memerlukan data spesifik yang tidak tercakup dalam Profil Kesehatan.
Perkembangan ini menunjukkan bahwa kerja-kerja pengembangan sistem manajemen data sebelumnya telah menjadi dasar atau landasan untuk proses pengembangan selanjutnya. Mereka tinggal melakukan perbaikan-perbaikan untuk mengatasi kekurangan-kekurangan yang mereka temukan. “Sudah capek membangun dan tinggalkan. Kalau kita bangun yang baru, berarti kita seolah mulai dari nol saja. Jadi apa yang sudah ada tinggal tingkatkan, supaya bisa berfungsi dengan baik, dan menjamin data bisa tersedia dengan baik,” kata seorang petugas SIK.
Mengawal Keberlanjutan
Demi mengawal keberlanjutan sistem ini serangkaian kegiatan dise lenggarakan secara berkala. Dinas Kesehatan Kabupaten Minahasa Utara dengan dukungan Proyek BASICS, misalnya, melakukan kegiatan validasi data secara bertahap mulai dari tingkat Puskesmas hingga Kabupaten.
16
Pertemuan validasi data SPM Kesehatan tingkat Puskesmas diikuti oleh semua bidan desa, pemegang program di Puskesmas dan petugas SIK. Pertemuan tiga bulanan yang dipimpin oleh Kepala Puskesmas ini dilakukan untuk mengumpulkan, memverifikasi dan merekapitulasi data mulai dari tingkat desa untuk mendapatkan data kesehatan yang valid di tingkat Puskesmas. Hasil rekapitulasi data dari pertemuan ini kemudian dibawa
ke pembahasan serupa di tingkat Kabupaten.
Pertemuan validasi data SPM Kesehatan tingkat kabupaten diikuti oleh Kepala Puskesmas, Petugas SIK dan Bidan Koordinator dari 11 Puskesmas di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Minahasa Utara. Pada pertemuan validasi data di tingkat Kabupaten verifikasi dan penyesuaian data dilakukan antara petugas pengelola data di Puskesmas dengan pemegang program di Dinas Kesehatan Kabupaten yang terdiri dari Bidang Kesehatan Keluarga, Bidang Pelayanan Kesehatan, Bidang Promosi Kesehatan dan Bidang Penanggulangan Penyakit Menular. Hasil validasi masing-masing bidang dengan Puskesmas ini kemudian dikompilasi oleh Petugas SIK Kabupaten menjadi data kabupaten yang sudah terverifikasi dan tervalidasi. Data inilah yang nantinya akan dikirimkan kepada Dinas Kesehatan Provinsi maupun Kementerian Kesehatan.
Mulai tahun 2010 sampai 2013 Dinas Kesehatan Kabupaten Minahasa Utara sudah punya data bermutu dan cukup teratur, sehingga mereka yakin isi buku Profil Kesehatan Kabupaten Minahasa Utara Tahun 2013 sudah jauh lebih berkualitas. Profil Kesehatan ini merupakan rekapitulasi dari laporan bulanan yang dibuat oleh para petugas kesehatan di desa dan Puskesmas. Para petugas di Puskesmas pun termotivasi untuk membuat olahan data yang lebih berkualitas. Sebelum itu, data profil mereka buat seadanya saja.
Seluruh kerja ini juga kemudian mendorong peningkatan anggaran untuk pengelolaan data. “Dari sebelumnya tidak ada menjadi ada,” ungkap seorang anggota tim. Dari
proses perbaikan sistem pendataan itu mereka menemukan bahwa memang banyak masalah dalam hal konten data, yang mereka temukan ketika melakukan validasi data secara reguler. Sehingga dibutuhkan tambahan dana untuk melakukan semua perbaikan tersebut.
Di Kabupaten Minahasa Utara, dana Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebesar hampir 1 miliar rupiah kemudian dimanfaatkan khusus untuk
pengembangan sistem informasi di Puskesmas. Ini sekaligus dilakukan untuk menunjang pelayanan Puskesmas semisal mempercepat waktu tunggu pelayanan, yang merupakan bagian dari mandat dana JKN. Dengan begitu, input data pelayanan menjadi lebih teratur. Mereka berencana, sistem ini juga akan digunakan untuk menginput data dari unit-unit pelayanan di desa. Akan tetapi, sebagaimana akan kita lihat, rencana ini masih menemui beberapa kendala.
KOTAK 3 LANGKAH - LANGKAH Standar Prosedur Operasional (SPO) yang mengikat untuk pelaksanaan pengelolaan data. SPO yang telah disusun ini mengatur pengelolaan data, pengaturan pelaksana tugas sampai ke unit/satuan pelayanan, dan aturan wewenang penugasan. Tenaga ini sekurangya telah ditetapkan dengan Surat Keputusan Kepala Dinas. Kompilasi Data. Data pelayanan yang berjumlah besar dan sering berulang, disederhanakan dan disatukan ke dalam data induk (master data), yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Kompilasi data ini sudah terpilah antara laki-laki dan perempuan, dan ditata di dalam program aplikasi komputer. Program aplikasi. Penyusunan program aplikasi sederhana dalam MS Ecxel, yang dibuat untuk dua tempat berbeda, yaitu di Dinas Kesehatan dan di Puskesmas.
Pelatihan dilakukan dalam beberapa tingkatan, yaitu pelatihan bagi operator untuk penanganan data, pelatihan bagi pengelola untuk pengolahan data, dan
pelatihan bagi manajemen untuk analisis data dan pelaporan informasi. Pelatihan tingkat perator diberikan kepada Puskesmas. Pelatihan tingkat pengelola diberikan kepada Bidan Perencanaan Program Dinas Kesehatan. Sedangkan pelatihan tingkat manajemen diberikan kepada Bidang Program di Dinas dan Kepala Puskesmas.
Pendampingan teknis. 1) perhitungan Indikator Pencapaian (IP) SPM atas cakupan pelayanan yang telah diberikan dalam tahun berjalan. Ini berhubungan dengan 2) analisis kesenjangan antara hasil perhitungan IP SPM dengan angka yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan, dan 3) perhitungan proyeksi IP SPM tahunan sampai dengan batas tahun yang telah ditetapkan Kementerian Kesehatan. (Data historis tidak mudah diperoleh untuk SPM bidang kesehatan, misalnya data historis penyebab kematian ibu hamil/bersalin/nifas/komplikasi kebidanan secara spesifik dan bukan secara umum disebutkan misalnya karena “terlambat”).
17
TANTANGAN sejumlah TANTANGAN yang ditemui dalam mengembangkan sistem pengelolaan data terpadu ini cukup beragam. Salah satu yang cukup penting adalah watak pengelolaan dan penggunaan data yang masih cenderung top-down sehingga kerap mengabaikan sistem pengumpulan dan pengolahan data di level terbawah. Ini menciptakan beragam kendala dari lapangan hingga level selanjutnya.
Pengumpulan data
Kendala pengumpulan data sudah muncul di level terbawah. Bidan, misalnya, tidak diminta untuk menghitung tapi hanya mencatat kemudian memindahkannya ke dalam laporan untuk kemudian dikirima ke Puskesmas. Kerja ini sangat tergantung oleh para bidan di lapangan, dan mereka meminta insentif bila mesti
18
melakukan kerja lebih berupa pencatatan (pengumpulan) dan rekapitulasi data tersebut. Akibatnya, di tahap validasi data yang dilakukan di level Dinas Kesehatan, sering ditemukan ketidakcocokan data antarbidang di Dinas Kesehatan Kabupaten. Apalagi validasi data berjenjang tidak berjalan dengan lancar. Saat itu, untuk menyelesaikan masalah tersebut, mereka menggunakan data yang disepakati bersama.
Konsistensi
Di masa awal, sulit menemukan ketegasan mengenai data yang digunakan. Misalnya, kesepakatan untuk memakai data Sistem Informasi Kesehatan (SIK) demi menyatukan data semua bidang ternyata tidak berjalan. Masing-masing bidang di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten masih mempertahankan data mereka, yang dihimpun secara terpisah. Dalam
unit data yang sama, selalu ada data yang menunjukkan angka berbeda, dan masing-masing bidang/bagian mempertahankan data mereka. Ini kerap berujung pada ‘bentrok’ antara SIK dan bidang/bagian. Salah satu persoalannya adalah bidang/ bagian harus membuatnya konsisten dengan hasil olah data yang dibuat masing-masing bidang di level Dinas Kesehatan Provinsi. Sehingga isu ini sebenarnya juga membutuhkan dukungan Dinas Kesehatan Provinsi, dengan memberi ketetapan bahwa data dari Provinsi harus “satu pintu”, misalnya lewat Balai Data Propinsi, yang menghimpun data dari bidangbidang ataupun UPT (Unit Pelayanan Terpadu) yang ada di lingkungan Dinas Kesehatan Provinsi. Masalah pun muncul saat pemutakhiran data di tingkat provinsi. Bappeda biasanya meminta menggunakan data Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) dalampemutakhiran untuk proses penganggaran, yang menyebabkan terjadinya kesenjangan cakupan sasaran pelayanan (misalnya, angkanya jadi lebih kecil dari sasaran layanan yang ada di wilayah Puskesmas).
Inkonsistensi data pun berlanjut hingga di level nasional. Misalnya, sulit menjamin data yang dikeluarkan Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan (Pusdatin) konsisten dengan data dari Dirjen Penanggulangan Penyakit Menular (P2M) dan Dirjen Bina Upaya Kesehatan (BUK). Karena itu, payung hukum untuk mengatur keberadaan satu data resmi yang digunakan oleh semua (yaitu, data SIK) sangat dibutuhkan. Sebuah Peraturan Pemerintah (PP) mengenai SIK sebenarnya bisa menjamin agar Kabupaten punya Unit Pelaksana
Teknis SIK, yang dapat berperan sebagai penyedia tunggal informasi dan data. Dengan begitu, data dapat digunakan oleh berbagai pihak, misalnya bila Humas Pemkab hendak mengumumkan pernyataan, informasi yang mereka sampaikan bisa berbasis data. BEBERAPA persoalan ini masih ditambah lagi, atau justru bersumber, dari hambatan-hambatan yang erat kaitannya dengan kebijakan dan peraturan di level Pemerintah Kabupaten.
Mutasi
Pengelolaan data dan sistem aplikasi baru tumbuh pesat setelah terjadi pergantian Kepala Dinas, seperti yang terjadi pada pengelolaan data untuk SPM bidang kesehatan di Kabupaten Minahasa Utara. Selain itu, mutasi juga tidak jarang terjadi terhadap pengelola SIK di Puskesmas. Ini membuat pengganti mereka harus belajar ulang sebelum dapat mengoperasikannya dengan baik, sementara data harus dihimpun dan dikelola secara berkala untuk mensuplai Laporan Bulanan.
Anggaran
Di balik seluruh pencapaian di atas, komponen belanja langsung pada APBD untuk peningkatan kapasitas pengelolaan data masih rendah. Pengembangan manajemen data dan pelatihan SDM pada APBD termasuk dalam belanja langsung peningkatan kapasitas. Dengan keterbatasan APBD dan prioritas politik anggaran, alokasi belanja untuk itu masih rendah, bahkan untuk belanja langsung program pelayanan alokasinya hanya sedikit meningkat. Sebagian
19
besar dana bersumber dari pemerintah pusat, untuk tujuan kepentingan yang berbeda, sehingga sulit membangun kerja berkesinambungan untuk daerah. Kondisi ini membutuhkan penguatan peran provinsi untuk mendukung pencapaian SPM dengan sumber APBD provinsi. Kelak ini ditindaklanjuti dengan upaya mengadakan bantuan keuangan khusus kesehatan dari APBD provinsi mulai dihela (lihat Bab 4)
Perhitungan keuangan
Pengembangan sistem manajemen data ini belum dilengkapi dengan perhitungan keuangan. Pengelolaan data yang telah disampaikan di atas dikembangkan pada tahun 2010 sampai tahun 2011. Perhitungan kebutuhan keuangan untuk pencapaian SPM kemudian dikembangkan pada tahun 2012 karena akan adanya alokasi dana dari provinsi. Untuk itulah, pada langkah selanjutnya, perhitungan unit cost diadakan (lihat Bab 3).
Diskusi perencanaan pelayanan kesehatan berdasarkan data permasalahan kesehatan di desa
Pembelajaran SELURUH proses berikut kendala yang dihadapi dalam pengembangan sistem manajemen data ini juga mewariskan rententan pembelajaran bagi pihak-pihak yang terlibat.
Intensitas kerja
20
Seorang anggota tim mengungkapkan kesadaran baru bahwa mendukung pengembangan dan perawatan suatu sistem baru bukanlah proses yang mudah. Membangun sistem berarti memulai dari kajian tentang persoalan yang dihadapi dan kebutuhan untuk pengembangan tersebut. Setelah itu barulah pekerjaan pengembangan sistemnya sendiri baru bisa dimulai. Ini berbeda dengan menerima disain yang datang dari level atas dan tinggal menjalankannya. Sehingga proses ini hingga taraf tertentu membentuk pengalaman baru yang penting untuk pengembangan kinerja di level bawah.
Fokus di level bawah
Kerja-kerja yang berhubungan dengan pengelolaan data dulunya sering berfokus dan merujuk dari level paling atas, antara lain karena data terolah biasanya disuplai dari atas. Padahal sebagian besar kerja pelayanan, dan dengan begitu pengumpulan data, ada di level paling bawah. Diperlukan upaya untuk mengubah persepsi demi meyakinkan berbagai pihak terkait bahwa ketika data dari bawah sudah terjamin, kerja selanjutnya akan lebih mudah. Hal serupa juga seharusnya terjadi dalam penganggaran. Keberadaan data dapat meyakinkan bahwa anggaran program memang
21
harus lebih banyak ketimbang yang lain, seperti pembinaan. Ini akan menciptakan kemajuan dari kerja dan capaian rutin sebagaimana terjadi selama ini. Sehingga pertanggungjawaban keuangan menjadi lebih bermakna, karena terbentuknya capaian-capaian baru. Karena itu, tahun ini mereka berusaha untuk meningkatkan keterlibatan Puskesmas, sebab mereka adalah ujung tombak di lapangan yang berhadapan langsung dengan warga. Informasi bermutu sangat dibutuhkan, misalnya, untuk melaksanakan tugas penyuluhan. Mereka pengumpul sekaligus pengguna data. Salah satu penyebab terfokusnya pengelolaan data di Dinas Kesehatan adalah dana operasional yang lebih banyak ‘menumpuk’ di Dinas Kesehatan. Padahal, menimbang Puskemas dan unit pelayanan di desa-desa sebagai pelaksana utama program-program pelayanan di ruang lingkup Dinas Kesehatan, seharusnya dana tersebut lebih tersebar. Bila dana untuk pelayanan sudah minim, untuk
22
pengelolaan sedikit lagi.
data
umumnya
lebih
Pengetahuan
Tim pengelola data di Puskesmas dapat menambah pengetahuan, karena orientasi mereka terhadap data menjadi jauh lebih tinggi. Mereka pun telah dilatih Sistem Informasi Kesehatan (SIK) Kabupaten dengan anggaran APBD, dan diharapkan profil kesehatan kabupaten tahun 2013 bisa hadir dalam bentuk olahan dan analisis data yang lebih baik, dengan penampilan data lewat peta tematis yang mudah dipahami. Dari pembelajaran ini mereka mulai menggunakan disain peta untuk menampilkan data sampai ke level Puskesmas. Dinas Kesehatan Kabupaten berharap bahwa metode ini juga akan merambat ke seluruh Puskesmas. Beberapa Puskesmas sudah membuat profil yang baik, sehingga Dinas Kesehatan Kabupaten mulai memikirkan untuk memberi semacam penghargaan bagi mereka yang benarbenar berusaha bekerja dengan baik.
Akhirnya terlihat kecenderungan bahwa semua Puskesmas berlombalomba untuk membuat Profil Kesehatan yang lebih baik.
Staf
Kesulitan lain tercipta ketika staf yang bertugas mengelola data harus merangkap pekerjaan lain. Kerja pengelolaan data di level Dinas Kesehatan Kabupaten, misalnya, lumayan menyita waktu dan tenaga. Karena itu, staf yang melaksanakannya selayaknya bukan merupakan petugas yang ‘dipinjam’ dari bidang lain. Ketika orang tersebut tidak fokus ke tugas utamanya, maka tugas tersebut akan sedikit terbengkalai, demikian pula sebaliknya. Persoalan ini masih belum dapat diatasi sepenuhnya. Di Dinas Kesehatan Kabupaten Minahasa Utara, sementara ini sudah ada dua orang lain yang dipersiapkan untuk ikut menangani pengelolaan data, meski mereka pun masih tetap merangkap tugas lain.
Data bulanan
Sistem ini belum mampu menyelesaikan soal penganggaran, bukan karena masalah di dalam sistem itu sendiri, namun karena data yang belum tersedia secara teratur. Data tahunan (Profil Kesehatan) dan triwulan memang sudah tersedia, namun tidak demikian dengan data bulanan dari Puskesmas (Laporan Bulanan). Ini pun membutuhkan aturan baku untuk penyediaan format data seragam yang harus diisi setiap bidang. Sekarang setiap bidang masih memasukkan data secara terpisah dengan format berbeda.
Data, unicost, dan penganggaran
Pada level perkembangan selanjutnya, penghitungan biaya per unit pelayanan (unit cost) sangat bergantung kepada ketersediaan data. Tanpa data, unit cost tak dapat dihitung. Sementara ketersediaan data dibangun dari sistem pengelolaan data yang bermutu. Tanpa sistem yang baik, sulit untuk mendapatkan data bermutu, karena
23
BAB III MENGHITUNG UNIT COST Menuju Penganggaran Lebih Akurat dan Efektif
keberadaan dan mutu data tidak bisa diprediksi. Oleh karena itu, sistem ini sangat diperlukan agar data betul-betul dapat menjamin akurasi kebutuhan anggaran. Sehingga, bila penganggaran yang lebih akurat membutuhkan data berkualitas, sistem pangkalan data terintegrasi bisa menjamin data tersebut. Oleh sebab itu, sistem pangkalan
24
data yang komprehensif dapat menghasilkan bahan advokasi anggaran yang kokoh, bukan sekedar hitung-hitungan berdasarkan “perkiraan”, melainkan sesuai kebutuhan aktual yang berbasis data. Juga dapat mengidentifikasi masalah dengan melihat indikatorindikator yang ada di dalam sistem tersebut.
25
Dalam sebuah diskusi terbatas mencuat kisah-kisah tentang kesulitan BERAPA biaya yang dibutuhkan sebuah daerah untuk mencapai Standar Pelayanan Minimal (SPM) di bidang kesehatan? Pertanyaan ini memulai proses pengkajian yang cukup panjang, dua tahun, melibatkan sebuah tim yang terdiri dari para akademisi, ahli statistik, berikut konsultasi intensif dengan para staf Puskesmas, Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota. Semua ini demi menemukan cara penghitungan anggaran SPM bidang kesehatan yang lebih bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
menerapkan SPM kesehatan, terutama mengenai kerumitan menjalankan indikator SPM secara setara di wilayah terpencil dan dengan akses sarana transportasi yang terbatas. Misalnya, pelayanan kunjungan rutin ibu hamil tidak mudah diselenggarakan bagi mereka yang tinggal di daerah kepulauan.
Dari rangkaian informasi itulah mereka mulai bertanya soal bagaimana menetapkan anggaran untuk masing-masing wilayah dengan kondisi berbeda itu. Sebab sulit membayangkan, misalnya, bahwa kebutuhan anggaran kesehatan seorang anak di Manado dan di kepulauan sama besarnya. Aturan-aturan mengenai SPM kesehatan tidak menjangkau kondisi spesifik semacam itu, padahal jawaban meyakinkan tentang kebutuhan dana masing-masing daerah yang berbeda kondisi sangat diperlukan untuk perencanaan. Selain itu, model penghitungan biaya yang dapat mereka rujuk bersama sampai saat itu ternyata belum tersedia. Pihak SKPD mengakui bahwa dalam menerjemahkan SPM, mereka belum punya metode untuk membuat perencanaan keuangan yang lebih akurat, sesuai kebutuhan di lapangan.1
Proses Sulawesi Utara terdiri dari wilayah perkotaan dan perdesaaan, juga pesisir dan kepulauan. Untuk mengatasi tantangan keberagaman itu, model perhitungan yang dibuat harus dapat menentukan besaran kebutuhan dana secara akurat namun tidak terjatuh pada kerumitan yang tak sanggup diatasi akibat keragaman tersebut. Para peneliti kemudian meretasnya dengan menggunakan model dasar penghitungan yang seragam, namun dengan deretan variabel beragam yang dapat 1 Selain keragaman kondisi daerah dan absennya model penghitungan standar, keterbatasan alokasi anggaran untuk program-program kesehatan tertentu juga terlihat (lihat Bab 4).
26
27
mengakomodasi perbedaan-perbedaan antar wilayah.
Pemerintah provinsi Sulawesi Utara melalui Bappeda yang menjalankan fungsi perencanaan, bersama Dinkes Provinsi, kemudian menginisiasi pengembangan satu model standar dalam menghitung beban atau biaya pelayanan kesehatan untuk seluruh kabupaten/kota. Model penghitungan itu kemudian dikenal dengan nama penghitungan “biaya per satuan” jenis pelayanan atau “unit cost”.2 Dalam dokumen-dokumen resmi pemerintah, jenis pelayanan ini menggunakan frasa ‘cakupan pelayanan’.3
Penghitungan biaya per satuan pelayanan ini belum pernah dilakukan di provinsi manapun di Indonesia. Di Sulawesi Utara sendiri, Dinkes Provinsi pun belum pernah membuat perhitungan seperti itu. Bila dilakukan, kalkulasi biasanya hanya menimbang jumlah populasi di suatu unit wilayah administratif seperti kabupaten untuk menetapkan jumlah segmen populasi tertentu yang membutuhkan layanan kesehatan, semisal ibu hamil. Ini dilakukan dengan rumus perhitungan tertentu yang telah dibuat pemerintah pusat—yang berdiri di atas banyak asumsi. Atau program baru yang direncakan SKPD dibuat berdasarkan berapa anggaran program yang ‘turun’ dari APBN; atau merujuk kepada jumlah alokasi dana untuk program 2 Standar pelayanan minimal kesehatan yang dimaksud dalam cakupan pelayanan kesehatan ini sesuai dengan ketetapan Menteri Kesehatan (Kotak 5) 3 Dalam lingkup Dinas Kesehatan, definisi ‘cakupan pelayanan’ punya dua aspek, yaitu ‘jenis’ pelayanan dan ‘pencapaian’ dari layanan tersebut. Dalam tulisan ini hanya akan digunakan salah satu aspek dari definisi ‘cakupan pelayanan’, yaitu sehimpunan ‘jenis’ pelayanan.
28
yang sama pada tahun sebelumnya, lalu menaikkannya beberapa persen di tahun anggaran berikutnya.
Kondisi ini antara lain menciptakan keterbatasan dana, sebab sejumlah program yang ditetapkan di level nasional sering harus dilaksanakan di setiap level di bawahnya: provinsi, kabupaten, puskesmas, dan tingkat masyarakat sendiri. Sehingga tidak mungkin membiayai sebagian besar dari program itu, apalagi seluruhnya. Mereka kerap menjalankan hanya sebagian dari program tersebut, tidak bisa utuh. Alokasi dari APBN dan APBD yang kurang memadai kerap memaksa mereka menyusun prioritas yang cukup sempit. Akibatnya, banyak target yang dipancang oleh programprogram nasional dan daerah menjadi sulit tercapai.
Sementara itu, dalam model perhitungan ‘unit cost’ berbagai aspek spesifik menjadi pertimbangan, yaitu: (1) harga normal dari setiap komponen standar yang dibutuhkan dalam menyelenggarakan layanan kesehata minimal, (2) jenis atau ‘cakupan pelayanan’ yang diselenggarakan di level Puskesmas, dan (3) derajat aksesibilitas warga terhadap pelayanan tersebut. Untuk keperluan penghitungan, masing-masing aspek ini diurai ke dalam deretan variabel yang digali berdasarkan kajian dokumen dan kunjungan lapangan. Biaya per cakupan pelayanan kesehatan yang dihasilkan kajian ini mencerminkan beban yang (1) sesuai dengan standar minimal menurut berbagai buku panduan resmi tentang SPM kesehatan; (2) pengaruh harga komponen pelayanan seperti obat, tenaga kesehatan (jasa) dan alat
kesehatan; (3) indeks aksesibilitas atau derajat kemampuan warga mengakses layanan, yang turut menambah atau mengurangi beban satuan pelayanan. Indeks ini menimbang tingkat kemudahan memperoleh akses pelayanan kesehatan yang dipengaruhi letak, kondisi, transportasi, dan jarak terhadap tipologi puskesmas (daratanperkotaan dan perdesaan, kepulauan dan daerah terpencil). Dengan demikian, terciptalah model seragam untuk menghitung beban untuk setiap ‘cakupan pelayanan’, berdasarkan standar minimal yang diselenggarakan di Puskesmas. Hasil dari model penghitungan ini menampilkan biaya satuan berdasarkan 35 jenis atau ‘cakupan layanan’ yang tersedia di Puskesmas. Dengan satu model perhitungan, perencana dapat mengetahui perkiraan besaran biaya yang dibutuhkan masingmasing Puskesmas yang berbeda jarak dan kondisi geografis. Menggunakan model ini, para perencana dapat mengetahui, misalnya, berapa biaya yang dibutuhkan untuk mengawal proses kehamilan seorang ibu, sejak awal masa kehamilan hingga pascanifas di satu kelompok wilayah tertentu pada kurun waktu tertentu.
Tahapan Kerja
Butuh setidaknya dua tahun untuk merampungkan seluruh tahap penelitian ini, 2011-2013. Mereka kemudian melakukan pengkajian unit cost terhadap seluruh puskesmas di tiga kabupaten, yaitu kabupaten Minahasa Utara, Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro dan Kota Bitung.
Tahap pertama kajian ini adalah melakukan kaji cepat (assessment). Mereka mengunjungi 9 Puskesmas
terpilih di tiga kabupaten/kota, yang dipilih berdasarkan perbedaan karakteristik (perkotaan dan perdesaan) dan kondisi geografis (kepulauan dan daratan).4 Menurut seorang anggota peneliti, pilihan untuk menjadikan pelayanan Puskesmas sebagai level pelayanan yang akan dikaji datang dari pertimbangan bahwa sekitar 60% dari target pencapaian SPM dan MDGs ditangani di Puskesmas. Pada tahap ini para peneliti melakukan kunjungan awal ke Puskesmas terpilih untuk mengumpulkan keterangan tentang aspek-aspek pelayanan yang dianggap prioritas, yang menyumbang informasi mengenai variabel-variabel penting untuk dipertimbangkan dalam penghitungan. Di sini mereka menemukan bahwa ternyata cukup banyak cakupan pelayanan yang diselenggarakan di Puskesmas sehingga membutuhkan pembatasan cakupan penelitian. Temuan lainnya adalah perbedaan biaya (harga obatobatan dan alat kesehatan) dan tingkat kemudahan akses ke Puskesmas. Pada tahap selajutnya para peneliti mengumpulkan data primer lewat survei dan sensus, serta data sekunder dengan meneliti dokumen-dokumen (studi pustaka). Di sini peran Dinas Kesehatan Provinsi dan Puskesmas sangat besar dalam menyediakan dokumen-dokumen yang dibutuhkan. Setelah itu mereka melakukan kajian pustaka, mendalami materi SPM Kesehatan yang harus dipenuhi dan dilaksanakan pada Puskesmas
4 Puskesmas-puskesmas tersebut adalah sebagai berikut: Kabupaten Kepulauan Sitaro, Puskesmas Ondong dan Ulu. Kab Minahasa Utara, Puskesmas Likupang Timur, Tatelu, Airmadidi dan Kema. Kota Bitung, Puskesmas Lembeh, Lembeh Utara dan Lembeh Selatan.
29
KOTAK 4 Dasar Hukum Penghitungan Unit-Cost Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Regulasi ini menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal (Pasal 4). Untuk itu, diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan (Pasal 10). Permenkes Nomor 741/Menkes/Per/VII/2008 tentang Standar Pelayanan
Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. Kerja selanjutnya adalah mengembangkan formulaStandar untukPelayanan Minimal (SPM)unit bidang Kesehatan kabupaten/kota, yaitu upaya kesehatan paling minimal menghitung cost, dengandimenetapkan berbagai komponen yang ditargetkan secara menyeluruh dapat dicapai mulai tahun 2010 sampai 2015. atau aspek yang akan diperhitungkan, yang kemudian diurai Pelayanan kesehatan sesuai SPM kesehatan diselenggarakan oleh kabupaten/kota menjadi variabel-variabel, berikut sub-sub variabel masingdengan Bupati/Walikota sebagai penanggungjawab. Dilaksanakan oleh perangkat masing.daerah Misalnya, komponen ‘cakupan pelayanan’ yang diurai kabupaten/kota bersama masyarakat dan secara operasional dikoordinasikan menjadioleh variabel-variabel seperti pelayanan ibu hamil, dengan teknis dilakukan dinas kesehatan kabupaten/kota. Pembinaan dan pengawasan berderetolehsub-variabel seperti tahap-tahap kehamilan, yang Menteri Kesehatan berdasarkan laporan teknis tahunan kinerja penerapan dan masing-masing membutuhkan biaya kesehatan Menteri Kesehatan pencapaian SPM kesehatankomponen yang diterima dari (alat Bupati/Walikota. 5 dan farmasi/obat-obatan) Di evaluasi sini informasi yangSPM kesehatan oleh bertugas melaksanakan berbeda. monitoring dan atas penerapan pemerintah daerah. ke Monitoring dansangat evaluasi ini dilakukan oleh Gubernur sebagai diperoleh dari kunjungan Puskesmas bermanfaat.
wakil pemerintah di daerah untuk pemerintah daerah kabupaten/kota. (Pasal 12 ayattingkat 2) Mengenai aksesibilitas, sangat banyak waktu dihabiskan
untuk mengembangkan formula indeks aksesibilitas, dengan Kepmenkes Nomor 828/Menkes/SK/IX/2008 tentang Petunjuk Teknis Standar menimbang berbagai variabel seperti letak, kondisi, jenis moda Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. Aturan ini merupakan transportasi, (lihatkesehatan Kotak 4).diHarga setiap ‘komponen acuan dan bagi jarak perangkat kabupaten/kota untuk mencapai target SPM biaya’, seperti obat, alat kesehatan dan jasa, tentu pengertian, berbeda didefinisi operasional, bidang kesehatan. Petunjuk teknis ini mengurai antara Puskesmas dengan ‘komponen aksesibilitas’ berbeda cara perhitungan (yang dilengkapi dengan sumber data(lihat dan referensi/rujukan), Kotak 4). Misalnya, harga obat Manado berbeda dengan juga target (indikator dandi batas waktutentu pencapaian) serta langkah kegiatan untuk pencapaian SPM.di Kabupaten Kepulauan Sitaro. Atau ketika harga obat yang sama seorang ibu hamil mengalami komplikasi dan harus dirujuk Kepmenkes Nomorberbeda 317/Menkes/SK/V/2009 ke rumah sakit, biayanya untuk dua wilayah tentang tersebut. Pedoman Teknis Perencanaan Pembiayaan Pencapaian SPM bidang kesehatan Kabupaten/ Semua perbedaan itu coba dipertimbangkan di dalam formula Kota (Pasal 10 ayat 1): Menteri Kesehatan memfasilitasi pengembangan kapasitas indeks yang dibuat. Seorang anggota peneliti mengatakan, nyaris melalui peningkatan kemampuan sistem, kelembagaan, personal dan keuangan, baik 60% waktu dihabiskan untukkabupaten/kota, mengembangkan indeks tersebut. untuk digunakan di pemerintah maupun karena itu diterbitkan Mereka sebagai menentukan koefisien (faktor pengali) variabel untuk acuan bagi perangkat kesehatan di daerah untuk melaksanakan SPM di setiap kecamatan, di mana biasanya Puskesmas berada. Koefisienmodul perhitungan kabupaten/kota. Dalam pedoman teknis tersebut menjelaskan
5 Satu komponen beban lain, jasa kesehatan, tidak dihitung dalam formula ini, biaya SPM beserta templatenya, termasuk penentuan biaya investasi penunjang dengankegiatan asumsi telah masuk ke dalam alokasi anggaran untuk gaji pegawai. SPM.
Sumber: Kajian Unitcost SPM kesehatan: Ibu, anak dan penyakit. Bappeda dan BASICS, 2012.
30
sesuai pedoman teknis atau standar resmi yang dikeluarkan pemerintah pusat. Sebenarnya, menurut para peneliti, membaca literatur khususnya mengenai SPM kesehatan mereka lakukan sepanjang penelitian berlangsung. Mereka harus senantiasa merujuk dokumen-dokumen tersebut ketika dibutuhkan. Dari kajian literatur ini mereka merangkum dasar-dasar hukum bagi penghitungan unitcost, yang berguna untuk sekaligus menentukan variabel dan penyusunan kebijakan (Kotak 4). Dari kajian ini pula mereka dapat menetapkan cakupan pelayanan sebagai ‘unit-unit’ yang biayanya (cost) akan dihitung. Mengingat pelayanan
banyaknya cakupan yang diselenggarakan
Puskesmas, kebutuhan untuk membatasi ruang lingkup penelitian, serta tujuan penelitian untuk berkontribusi pada penganggaran resmi pemerintah, mereka membatasi penelitian kepada dokumen cakupan pelayanan SPM bidang kesehatan dan target MDGs. Sehingga, di tahap ini dilakukan seleksi jenis layanan di Puskesmas menurut urgensi pada daerah kajian, serta menimbang SPM dan target MDGs terutama yang berhubungan dengan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Artinya, cakupan pelanyanan yang akan dihitung memang harus ada dan dilakukan di Puskesmas dengan fasilitas yang telah tersedia. Cakupan pelayanan yang dihitung dalam kajian ini dapat dilihat di Kotak 4.
31
KOTAK 5 Cakupan dan Komponen Penelitian Cakupan pelayanan yang dihitung • • •
Kesehatan ibu: ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas dan komplikasi kebidanan. Unitcost ini dipengaruhi fasilitas puskesmas yang mendasari pada tipologi puskesmas, yaitu: puskesmas rawat jalan, puskesmas rawat inap dan Poned. Kesehatan anak: neonatus, bayi, anak balita dan komplikasi neonatus.
Penyakit: penanganan AFP non-folio, penanganan Penmonia BB, TBC positif, DBD, diare, dan beberapa penyakit lokal (malaria, kusta, cikungunya dan rabies).
Komponen biaya • • •
Alat kesehatan Jasa tenaga kesehatan Bahan dan farmasi (obat-obatan)
•
Letak: kepulauan, daratan, kota, dan waktu tempuh, keberadaan penduduk di daerah sulit (keterjangkauan)
Komponen Akesibilitas
• • •
Kondisi: karakteristik geografis, ketersediaan sarana dan prasarana (moda), serta topografi Transportasi: tipe transportasi (darat, air) dan kontinuitas
Jarak: jarak ke fasilitas kesehatan, jarak ke kecamatan, kabupaten dan ke ibu kota provinsi (Manado).
Sumber: Kajian Unitcost SPM kesehatan: Ibu, anak dan penyakit. Bappeda dan BASICS, 2012.
inilah yang akan dikalikan dengan unit cost untuk melihat perbedaan beban atau biaya antar kelompok wilayah menurut derajat aksesibilitas.
32
Untuk membangun rumusan itu, para peneliti kemudian harus melengkapi data tentang harga masing-masing komponen biaya. Harga setiap obatobatan, bahan kimia, dan alat kesehatan yang dibutuhkan oleh masing-masing cakupan pelayanan tersebut harus
ditemukan untuk dapat melakukan penghitungan. Di titik ini para peneliti juga perlu waktu cukup lama, untuk melengkapi seluruh data tentang harga tersebut (lihat di bawah). Khusus mengenai harga alat kesehatan, mereka juga harus menimbang masa pakainya. Ambil contoh, dengan harga 1 juta rupiah, satu alat bisa melayani berapa pasien hingga usia ekonomisnya habis dan harus segera digantikan.6 Untuk 6 Artinya, alat tidak harus secara kasat mata
mengetahui informasi detil ini mereka kembali mengunjungi Puskesmas untuk melakukan verifikasi. Mereka melakukan wawancara di beberapa Puskesmas dengan para bidan, perawat, dokter, apoteker, hingga penjaga gudang, juga melaksanakan serangkaian FGD. Dari metodemetode itulah mereka menakar harga komponen barang yang paling masuk akal. Setelah seluruh data dapat diperoleh kemudian dilakukan analisis. Di tahap ini, telaah dilakukan terhadap data yang terhimpun dengan mencari beban per unit pelayanan dan tingkat aksesibilitas layanan tersebut. Penghitungan unit cost dilakukan terhadap cakupan pelayanan kesehatan ibu, anak dan penyakit sesuai ketetapan pemerintah mengenai SPM bidang kesehatan. Sementara pengkajian mengenai tingkat aksesibilitas berguna untuk melihat akses pelayanan kesehatan ke puskesmas menurut variabel yang telah ditetapkan dari hasil kunjungan lapangan di atas.
Analisis terhadap aksesibilitas menghasilkan indeks yang diperoleh dari analisis regresi logistic dan MDA dengan bantuan aplikasi statistik SPSS. Unit cost dihasilkan dari penggunaan koefisien yang diperoleh dari analisis deskriptif, analisis beban satuan, dengan bantuan aplikasi formula di microsoft-excel. Sesudah itu, mereka melakukan uji coba penghitungan dengan mendapat masukan dari narasumber yang mempunyai keahlian spesifik menurut bidang kajian terlihat ‘rusak’ baru diganti, yang dapat berisiko bagi pasien. Para peneliti menyebutkan bahwa dari keterangan sejumlah informan, kondisi semacam ini masih kerap terjadi karena keterbatasan dana.
kesehatan.
‘Formulasi unit cost untuk kesehatan ibu, kesehatan anak dan balita, dan penanganan penyakit, diperoleh dengan memperhitungkan indeks aksesibilitas. Indeks aksesbilitas terhadap jenis cakupan pelayanan di Puskesmas dipengaruhi jarak dan waktu ditinjau dari letak, kondisi, dan kelancaran transportasi, telah dihasilkan indeks aksesibilitas kesehatan di seluruh Puskesmas. Penggunaan model penghitungan unit cost pada SPM kesehatan dilakukan dengan mengalikan unit cost dengan indeks aksesibilitas untuk memperoleh angka beban satuan pelayanan kesehatan di puskesmas dengan nilai yang wajar pada wilayah tertentu. Dengan demikian, diperoleh pula nilai signifikan pada Puskesmas lainnya pada wilayah yang berbeda sesuai nilai indeks aksesibilitas. Untuk pengembangan, penggunaan pendekatan geografi dapat lebih memberi dukungan perhitungan indeks -aksesibilitas pelayanan kesehatan.
KOTAK 6 Tahapan Pengkajian
1. Penggalian kebutuhan 2. Mengumpulkan data dan telaah dokumen 3. Menetapkan cakupan pelayanan kesehatan 4. Mengembangkan formula perhitungan unit cost 5. Analisis perhitungan unit cost 6. Menguji perhitungan dari hasil analisis
33
Inovasi Berlanjut
Hasil kajian unit cost bermanfaat bagi berbagai pihak. Bagi Puskesmas, model ini dapat membantu menghitung capaian SPM sesuai dengan data dasar, termasuk pembiayaan atau beban belanja atas kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai SPM. Sementara untuk Dinas Kesehatan Daerah, penghitungan ini dapat membantu menemukan total yang dibutuhkan untuk mencapai SPM berdasarkan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh seluruh Puskesmas di kabupaten/kota tersebut. Bagi Pemerintah Kabupaten/ Ko ta,model ini berguna untuk menghitung biaya pelaksanaan SPM dalam penyusunan perencanaan dan penganggaran bidang Kesehatan di kabupaten/kota. Sedangkan untuk Pe me rintah Provinsi, mereka dapat me ngetahui kebutuhan dana untuk pencapaian SPM di kabupaten/kota, yang memerlukan dukungan dana ber sumber dari provinsi. Dan jika tidak mencukupi, penghitungan ini dapat menjadi dasar pemerintah provinsi
mengusulkan kebutuhan dana pen capaian SPM kesehatan kepada peme rintah melalui Kementerian Kesehatan.
Mengenai keberlanjutan dan penga rusutamaan model penghitungan ini, beberapa perkembangan menarik tengah berlangsung.
Pertama, bagi Bappeda Sulawesi Uta ra, kajian unit cost khusus bidang kesehatan ini merupakan semacam proyek percontohan (pilot project), yang kelak akan diterapkan di bidangbidang lain, bahkan dapat diluaskan penggunaannya hingga ke level nasional. Untuk itu, Bappeda sering mengkampanyekan metode ini, sebagaimana Dinas Kesehatan dan Pemerintah Provinsi.
oleh salah satu pengusung model penghitungan unit cost.
Kedua, kajian unit cost masih bertahan di Dinas Kesehatan, digunakan untuk menghitung perkiraan biaya guna menyusun perencaan anggaran pada tahun ini. Bahkan mereka tengah mengusahakan agar metode ini akan menjadi standar baku untuk penyusunan anggaran di lingkup
Dinas Kesehatan Propinsi. Ketiga, di level Kabupaten/Kota, sebagian dari (seluruh) Kabupaten/Kota di Sulawesi Utara yang telah mengikuti pelatihan mengoperasikan metode penghitungan ini telah menerapkannya, meski belum sampai pada tahap pemanfaatan untuk penyusunan anggaran. Ini berarti bahwa metode ini sanggup meyakinkan banyak pihak akan kemanjurannya dalam menakar kebutuhan pendanaan.
Salah satu yang cukup penting dalam pengarusutamaan model ini adalah upaya memasukkannya ke dalam kurikulum pendidikan (kursus) reguler para perencana keuangan daerah yang diselenggarakan oleh Departemen Dalam Negeri. Ini tengah dilakukan
TANTANGAN SECARA praktis para peneliti tidak menghadapi terlalu banyak tantangan dalam mengorganisasikan kerja-kerja penelitian. Menurut para peneliti, seluruh pemangku kepentingan seperti Dinas Kesehatan, Bappeda, Puskesmas, dan BASICS sangat responsif dan mendukung penuh kerja penelitian ini. Di samping karena anggota tim yang ramping dan semua SKPD yang terlibat mudah melakukan koordinasi. Sehingga kebanyakan yang mereka alami adalah hambatan yang berhubungan dengan metode penelitian seperti kerja mendapatkan data dan mengembangkan indeks aksesibilitas.
Data Harga
34
Salah satu hambatan yang cukup menguras waktu adalah ketika para peneliti mencoba melengkapi data tentang harga masing-masing komponen biaya seperti obat-obatan dan alat kesehatan. Untuk menemukan data harga tersebut mereka
35
coba bertanya kepada distributor obat dan alat kesehatan atau PBF (Pedagang Besar Farmasi), yang sering enggan memberikan informasi mengenai harga barang yang mereka salurkan. Mereka menangkap kesan bahwa para distributor khawatir memberikan informasi tersebut. Memakan waktu cukup lama untuk melengkapi harga obat dan alat kesehatan untuk setiap komponen cakupan pelayanan.
Pencatatan Ganda
Soal metodologis lainnya berhubungan dengan penemuan keterbatasan penelitian, salah satunya soal kerumitan menghadapi pencatatan
ganda terhadap kasus yang dilaporkan. Misalnya, kasus komplikas persalinan yang dilaporkan bisa tercatat di lebih dari satu tempat, karena si ibu hamil harus dirujuk dari unit pelayanan kesehatan di desa ke Puskesmas di kecamatan kemudian ke rumah sakit di ibukota kabupaten. Pencatatan ganda ini melambungkan angka komplikasi persalinan atau kematian ibu di daerahdaerah perkotaan seperti Manado dan Bitung. Soal-soal metodologis semacam ini kemudian menjadi bagian dari batasan-batasan penelitian yang berguna sebagai wanti-wanti dalam penggunaan model penghitungan unitcost (lihat KOTAK 7)
KOTAK 7 Batas-Batasan Perhitungan 1. Dari 18 indikator pencapaian SPM bidang kesehatan hanya 11 indikator yang diperhitungkan oleh unit cost, yaitu: a. Kesehatan ibu (IP #1-4) b. Kesehatan Anak (IP #5-10) c. Penemuan dan Penanganan Penyakit (IP #13) 2. Tidak memperhitungkan kesehatan rujukan ke rumah sakit terdekat. 3. Tidak memperhitungkan bias data mobilitas pengunaan layanan puskesmas domisili, maupun pengguna dari puskesmas lain. 4. Beberapa asumsi yang digunakan: a. 20% dari ibu hamil mengalami komplikasi dengan rujukan Puskesmas PONED
b. Pola maksimal atas dosis penggunaan farmasi (obat, vitamin, bahan kimia, alat uji lab) pada penyakit yang sama dari jenis yang berbeda terhadap umur dan berat badan yang berbeda.
5. Tidak diperhitungkan dalam unit cost: a. Pendidikan tenaga medis tingkat lanjutan dan pelatihan non-nakes b. Pemantauan dan evaluasi atau rapat/pertemuann c. Pembangunan sarana kesehatan d. Beban atas rujukan pasien (karena telah dijamin BPJS)
Sumber: Panduan Praktis Unit-cost SPM Bidang Kesehatan, BASICS, 2012
36
Pembelajaran MANFAAT penghitungan unit cost adalah mengetahui kebutuhan dasar program. Ini menghasilkan beberapa pembelajaran.
Praktik Baru
Penghitungan menghasilkan praktikpraktik baru di kalangan SKPD yang terlibat. Salah satu yang paling penting adalah perhitungan ini dapat digunakan untuk mengadvokasi anggaran. Dengan pengetahuan akurat tentang besaran kebutuhan, mereka bisa mengajukan permintaan tambahan anggaran dengan lebih meyakinkan. Misalnya, dengan mengajukan permintaan untuk program spesifik yang memang
menjadi prioritas, seperti penerapan SMP menuju pencapaian target-target MDGs yang masih tertinggal. Bila dulu program mengikuti anggaran, sekarang anggaran yang mengikuti program. Ini juga berarti bahwa perhitungan unitcost bukan hanya berperan di dalam kerangka proyek BASICS, tetapi juga di luar itu. “Jadi tidak hanya kerja rutin, menerima saja apa yang ada,” ungkap seorang staf Dinkes
37
Provinsi. Hasil penghitungan yang dibutuhkan untuk upaya advokasi demi mengatasi kekurangan alokasi dana juga berguna di level Kabupaten/Kota. Untuk mengusahakan penambahan biaya, Dinas Kesehatan kabupaten/ kota atau bahkan Puskesmas dapat membawa data akurat mengenai kebutuhan aktual mereka ke pihakpihak yang dapat menentukan kebijakan anggaran.
Meyakinkan Para Pihak
Penghitungan ini juga memudahkan meyakinkan pihak Kabupaten/Kota untuk turut berpartisipasi mendukung program yang ditawarkan Dinkes Provinsi. Dulunya mereka sulit meyakinkan pihak kabupaten/kota untuk bersama-sama menjalankan program tertentu. Dengan hanya mengatakan bahwa sebuah program penting dilaksanakan bersama, itu tidak cukup. Bila pihak Kabupaten/ Kota bertanya mengapa program itu penting, akan sulit untuk merespons dengan jawaban meyakinkan.
Alokasi Anggaran
Setelah melakukan penghitungan, mereka memang menemukan bahwa seluruh kabupaten kekurangan dana untuk melaksanakan pencapaian SPM bidang kesehatan. Keawasan mengenai besaran dana yang dibutuhkan menciptakan komitmen di sisi Pemerintah Provinsi untuk mengatasinya. Ini memunculkan pertanyaan baru, yang akan mengantar mereka mengembangkan satu lagi inovasi baru: di bagian mana dari anggaran pemerintah propinsi yang dapat ditransfer ke kabupaten?
38
Bagaimana cara melakukannya tanpa melanggar aturan-aturan yang sudah ditetapkan?
SEJUMLAH pembelajaran lain juga datang dari proses penelitian itu sendiri, setidaknya menurut perspektif sebagian peneliti yang terlibat.
Indikator Pencapaian SPM
Soal Indikator Pencapaian (IP) SPM tertentu yang masih harus dipertajam sesuai kondisi setempat. Misalnya, menurut SPM, persalinan minimal harus ditangani dokter dibantu oleh bidan dengan standar pendidikan D3. Di lapangan para peneliti menemukan sebagian besar kelahiran hanya dilayani bidan berpendidikan D1. Sehingga SPM ini sulit diterapkan di seluruh wilayah, yang dalam kenyataannya sering hanya ada bidan. Selanjutnya, karena mereka dalam banyak kasus dapat bekerja efektif membantu kelahiran tanpa ada dokter, para peneliti sulit memahami mengapa para bidan harus berpendidikan D3. Merujuk kondisi di lapangan, mereka bahkan menilai bahwa sebenarnya tidak perlu harus ada dokter dalam setiap kasus kelahiran. Di samping karena bidan dapat bekerja efektif, biaya juga lebih condong untuk komponen jasa dokter, sementara yang melakukan banyak pekerjaan aktual adalah para bidan tersebut.
Alat Kesehatan
Hasil wawancara dan FGD para peneliti juga menemukan bahwa ada beberapa alat yang tidak termasuk di dalam indikator pencapaian SPM ternyata sangat dibutuhkan dan berguna bagi
para petugas Puskesmas. Biasanya karena kekurangan anggaran mereka sering tidak dapat mengadakan alat-alat tersebut. Fakta bahwa alat-alat tersebut tidak termasuk dalam SPM membuatnya sangat rentan untuk tidak dianggarkan.
Peran Puskesmas
Dari pengalaman meneliti dan melihat hasilnya, para peneliti juga berpandangan bahwa manfaat peng hitungan ini bagi upaya mengatasi masalah kesehatan secara umum dapat dilakukan dengan memperkuat kualitas pelayanan di Puskesmas. Langkah semacam itu dapat mengurangi beban rumah sakit dengan semakin kurangnya pasien yang harus dirujuk ke sana. Dengan diketahuinya secara lebih akurat dana yang dibutuhkan, penyusunan prioritas menjadi lebih baik dan advokasi penambahan anggaran bisa berjalan dengan lebih efisien. “Bila puskesmas diperkuat, tidak perlu anggaran besar untuk membangun lagi rumah sakit besar.”
39
BAB IV Mewujudkan Sebuah Aturan Untuk Keadilan 40
41
MENGHABISKAN waktu sekitar dua puluh bulan advokasi untuk menghasilkan Peraturan Gubernur Nomor 16 Tahun 2013 tentang Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) dan Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara tahun 2013-2015 (selanjutnya disebut sebagai ‘Pergub No.16/2013’).
Pengesahan aturan ini memulai sesuatu yang baru: bantuan dana dari APBD provinsi ke kabupaten/kota berikut perangkat tatakelolanya. Aturan mengenai dana bantuan ini dibuat sebagai wujud penjabaran salah satu fungsi ‘pembinaan’ Pemerintah Provinsi, yaitu untuk mengusahakan kesetaraan pelayanan kesehatan antar kabupaten/kota. Bantuan keuangan ini diiringi oleh pembentukan perangkat institusional penyelenggaranya, yang kelak dapat berguna dalam mengusahakan skema serupa di bidang-bidang lain.
Di samping itu, aturan ini juga merupakan upaya menerapkan sebuah upaya percepatan penerapan SPM untuk pencapaian MDGs bidang kesehatan, terinsiprasi oleh disain BASICS Responsive Initiative (BRI) (lihat Bab 1) yang telah dilaksanakan sebelumnya. BRI merupakan skema bantuan dengan dua aspek penting, yaitu 1) berbentuk intervensi yang terfokus kepada indikator-indikator tertentu dari MDGs dan SPM Kesehatan yang masih jauh tertinggal, dan 2) intervensinya dilakukan dalam skema multi-tahun. Sehingga, proses pembentukan Pergub ini sejatinya merupakan alat untuk menyokong penciptaan sistem baru untuk mengakselerasi pencapaian SPM dan MDGs bidang kesehatan.
PROSES
Keseluruhan proses ini dapat dibagi menjadi dua rangkaian kerja, yakni studi dokumen dan advokasi kebijakan. Di bawah ini merupakan uraian proses sejak pelaksanaan kajian dokumen hingga penandatanganan draft Pergub No.16/2013. Setelah itu akan disajikan ulasan mengenai tantangan dan pembelajaran yang muncul di sepanjang proses.
Kajian dokumen
Pertemuan 42 dengan DPRD Kab. Minahasa Utara
UPAYA merintis bantuan dana dari Provinsi ke Kabupaten/Kota dimulai pada Oktober dan November 2011, ketika terjadi serangkaian pertemuan terpisah antara Gubernur Sulawesi Utara, S.H. Sarundajang; Kepala Bappeda, Noldy Tuerah PhD; dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara, dr. Maxi Rondonuwu DHSM. Pertemuan-pertemuan ini membahas data jumlah kematian ibu di beberapa Kabupaten/Kota yang kian meningkat di Sulawesi Utara. Salah satu kesimpulannya: minimnya alokasi dana pada program-program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di tingkat Kabupaten/ Kota turut berkontribusi dalam peningkatan kasus kematian ibu.
Bisa dikatakan, pertemuan tingkat pimpinan ini menandai awal komitmen Gubernur untuk menyokong rangkaian upaya pengkajian kebijakan demi mempercepat penurunan jumlah kematian ibu dan bayi di Sulawesi Utara. Gubernur mendukung penuh pelaksanaan pengkajian kebijakan anggaran untuk itu, khususnya mengenai transfer dari APBD Provinsi kepada Kabupaten/Kota. Di saat bersamaan, di banyak pertemuan yang melibatkan Dinas Kesehatan, Kepala Bappeda senantiasa mengemukakan bagaimana minimnya dana di Kabupaten/Kota turut memberi andil terhadap kondisi kesehatan ibu. Ini dilakukan demi mendorong
43
dilakukannya kajian komprehensif terhadap peraturan-peraturan yang melatari tercpitanya situasi tersebut. Dinas Kesehatan membuat kajian lebih terperinci mengenai anggaran KIA, yang hasilnya kemudian diserahkan kepada Kepala Bappeda untuk dipaparkan dihadapan Gubernur, yang kembali menyambut baik dan menyatakan perlunya tindak lanjut terhadap temuan mereka. Analisa tim Dinkes Provinsi menemukan, program KIA di Kabupaten/Kota masih minim sumberdaya. Dalam salah satu pertemuan yang membahas jumlah alokasi APBD untuk program KIA, diketahui bahwa pendanaan program KIA di Kabupaten/ Kota ternyata sangat tidak memadai, bahkan ada yang sama sekali tidak menganggarkannya selama tiga tahun berturut-turut. Ini terjadi ketika isu KIA tengah menjadi perhatian dalam rangka pencapaian target MDGs, dan hasil evaluasi rutin Dinkes menunjukkan bahwa kesehatan ibu (kaitannya sangat erat dengan kesehatan anak), menjadi salah satu target yang paling tertinggal.
Dari rangkaian pertemuan evaluasi yang berlangsung sejak Desember 2011, Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara menyadari bahwa Kabupaten/ Kota mengalami keterbatasan anggaran untuk menjalankan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan sesuai peraturan Menteri Kesehatan.1 Pemerintah Provinsi pun sadar bahwa untuk menerima laporan yang baik dari kabupaten/kota perlu upaya lebih untuk membantu mengatasi masalah1 Permenkes No. 741 Tahun 2008 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota.
masalah yang mereka hadapi. Peraturan Pemerintah juga menegaskan bahwa Pemerintah Provinsi dalam membina penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten/Kota juga bertugas mengupayakan kesetaraan kualitas pelayanan publik antar Kabupaten/ kota di wilayah Provinsi.2 Hal ini diperkuat dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri yang mengatur pula tentang tugas monitoring dan evaluasi (monev) pencapaian SPM di kabupaten/kota.3 Oleh sebab itu, telah menjadi tugas Pemerintah Provinsi Sulawei Utara untuk mendorong dan membantu Kabupaten/Kota dalam upaya mencapai target-target indikator SPM. Pengkajian secara tidak langsung juga terjadi lewat diskusi-diskusi lintas SKPD yang membahas gagasan tentang bantuan keuangan khusus kesehatan. Di bulan-bulan berikutnya, forum-forum pertemuan menciptakan pertukaran pengetahuan yang semakin memperkaya semua pihak dalam mengembangkan aturan itu. Berbagai peraturan dan mekanisme yang akrab di dalam domain SKPD masingmasing mereka pelajari bersama dari forum-forum tersebut. Antara lain tentang mekanisme penyusunan program dan aturan keuangan, serta mekanisme pengajuan dan penyaluran dana. Demikian pula dengan hal-hal mendasar seperti mencari pilihan paling tepat mengenai status dan posisi bantuan keuangan yang hendak
mereka usahakan di dalam kerangka aturan-aturan penganggaranan. Semua ini membantu menyusun pasal demi pasal serta lampiran dari Rancangan Peraturan Gubernur yang sedang mereka kembangkan.
Dengan mengetahui seluruh aturan dan mekanisme itu, mereka menjadi sadar akan pekerjaan panjang yang menanti. Bahwa membuat aturan bukan sebatas membangun disain aturan penganggaran beserta dasar-dasar hukumnya, melainkan melebar hingga pembuatan aturan pelaksanaan (baik program maupun keuangan). Tetapi membangun sebuah mekanisme baru mirip dengan merintis pembukaan jalan baru, tidak seluruh hal dapat diantisipasi dalam proses pengkajian awal. Orang harus melangkah sambil memangkas seluruh hambatan yang ditemui di sepanjang jalan agar jalur baru bisa terbuka. Apa yang terjadi selama proses selanjutnya, upaya advokasi aturan, mengajari sebagian dari
yang harus diketahui agar Ranpergub itu bisa disahkan. Setelah menyelesaikan kajian awal, Dinkes Provinsi mulai membuat rumusan awal rancangan Peraturan Gubernur pada Februari 2012. Dua bulan kemudian, draft yang mereka susun dibahas bersama Bappeda dan tim konsultan dari BASICS. Saat itu muncul kebutuhan membuat analisis kebijakan tentang Dana Alokasi Khusus (DAK), utamanya untuk mencari kemungkinankemungkinan lewat mana anggaran Provinsi dapat dialokasikan demi membiayai percepatan pelaksanaan SPM kesehatan Kabupaten/Kota. Bappeda meminta tim BASICS membantu melaksanakan kajian tersebut. Hasilnya kemudian memunculkan istilah ‘DAK-Like’ (lihat di bawah).
Advokasi kebijakan
ADVOKASI sebenarnya telah dimulai sejak para pihak mengenalkan gagasan mereka tentang Peraturan Gubernur ini kepada pejabat-pejabat terkait, yang kemudian menghasilkan kesepakatan untuk menyusun tim kerja yang melibatkan beberapa instansi di level Provinsi Sulawesi Utara.4 4 Tim penyusun draft rancangan Peraturan Gubernur terdiri dari Bappeda, Dinas Kesehatan, Biro Hukum, Badan Pengelola Keuangan dan Barang Milik Daerah, dan Inspektorat.
2 Sebagaimana yang diatur dalam PP 19/2010, Pasal 9/1 (d) dan perubahan terakhir dengan PP 23/2011. 3 Permendagri No. 24/2011 tentang Penyelenggaraan tugas dan wewenang Gubernur sebagai wakil Pemerintah di wilayah Provinsi.
44
45 Suasana lokakarya DAK-Like diperkenalkan Mei 2012
Diskusi dalam Lokakarya “DAKI Like” pada Mei 2012 Model rujukan yang digunakan dalam perumusan rancangan Pergub ini, DAK-Like, diperkenalkan BASICS dalam sebuah lokakarya pada Mei 2012. Nama model ini merujuk kepada sifat dana bantuan yang akan diadvokasikan: mirip dengan DAK yang ditransfer oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah, untuk program tertentu yang sudah diatur oleh pemberi bantuan.
Bedanya, dana yang akan diusahakan berasal dari APBD Provinsi yang ditransfer ke Kabupaten/Kota. Karena itu ada kata ‘like’ (Bhs. Inggris. ‘mirip’). Lokakarya itu berusaha menyusun peraturan berdasarkan konsep DAKLike, sekaligus meminta masukan mengenai model bantuan keuangan yang akan dibuat.
KOTAK 8 KRITERIA SELEKSI •
•
•
46
Kriteria Umum untuk melihat kemampuan keuangan daerah dengan menggunakan indeks yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan, untuk melihat sejauh mana kemampuan sebuah daerah membiayai pelaksanaan SPM bidang kesehatan.
Kriteria Khusus untuk menseleksi akses pelayanan kesehatan dengan menggunakan ‘indeks aksesibilitas’ pelayanan. Dengan cara ini, pemerintah Kabupaten/Kota dapat mengetahui kebutuhan spesifik setiap daerah, agar bantuan yang akan diberikan benar-benat tepat sasaran. Kriteria Teknis, kajian Tim yang memperhitungkan aspek teknis kesehatan yang akan dicapai selama 3 tahun pada seluruh Kabupaten/kota di Sulawesi Utara, dengan menggunakan indikator SPM dan MDGs yang prioritas harus dicapai.
Salah satu bagian paling penting dalam konsep DAK-Like adalah stra tegi perbaikan penganggaran dan perencanaan lewat metode seleksi penerima bantuan. Model ini mem perkenalkan 3 kriteria seleksi (lihat KOTAK 8). Model ini menjadi petunjuk agar Kabupaten/Kota penerima bantuan Provinsi dapat menjamin diterapkannya pelayanan dengan asas keadilan, transparansi, dan tepat sasaran. Ketiga kriteria ini dapat digunakan membandingkan antara potensi keuangan (kriteria umum) sebuah daerah dan capaian SPM bidang kesehatan (kriteria teknis): daerah yang punya kemampuan finansial memadai seharusnya punya capaian SPM lebih tinggi. Demikian pula, akses terhadap layanan kesehatan (kriteria khusus) yang berbeda setiap daerah dapat memastikan tidak terjadi penyeragaman suplai bantuan untuk memenuhi kebutuhan daerah yang beragam. Mekanisme transfer juga telah dibuat jelas dan tegas, bahkan dilengkapi dengan penatausahaan, monev, pela poran berikut model akuntansi untuk pertanggungjawaban. Sehingga ban tuan ini sebenarnya merupakan cara untuk mengajak Kabupaten/Kota memperbaiki mekanisme penyaluran anggaran. Model ini telah menarik perhatian Biro Perencanaan dan Anggaran Kemenkes, dan bahkan BAPPENAS. Konsep DAK-Like ini kemudian menjadi rujukan untuk mengembangkan konsep bantuan keuangan Provinsi kepada kabupaten/ Kota yang diberi nama Bantuan Keuangan Khusus Kesehatan (BKKKes atau BK3), serta pengintegrasiannya ke dalam Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD).
Lewat beberapa pertemuan di bulan September 2012, mereka menemukan, pertama, dana bantuan yang mereka usung dapat dimasukkan ke dalam mekanisme ‘bantuan’, dalam kategori ‘dana bantuan khusus’ di dalam APBD.5
Kedua, dana untuk BKKKes akan menjadi bagian dari APBD provinsi dengan mekanisme transfer ke Kabupaten/Kota. Sementara Dinkes Provinsi akan berperan melaksanakan monitoring dan evaluasi (monev) terhadap pelaksanaannya. Sebelum itu, Dinkes bersama BPKBMD Provinsi juga bertanggungjawab menyusun petunjuk teknis mengenai mekanisme transfer dana. Dana untuk monev akan dianggarkan pada alokasi dana Dinkes Provinsi, dan pelaksanaannya melibatkan lintas SKPD terkait. Ketiga, karena dana akan disalurkan ke Kabupaten/Kota, sebelumnya perlu dipastikan bahwa skema bantuan keuangan ini telah tercantum dalam APBD Kabupaten/Kota, di dalam item dana ‘percepatan MDGs’; serta di dalam Kebijakan Umum Anggaran-Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUAPPAS), Rencana Kerja (Renja) Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pembuatan Petunjuk pelaksanaan (Juklak) tentang pedoman pengelolaan BKKKes, yang akan menjadi lampiran Pergub, merupakan tanggungjawab SKPD terkait6 dengan tugas masingmasing (lihat KOTAK 9).
5 Merujuk kepada Permendagri 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Mereka juga mempertimbangkan kategori bantuan lain, yaitu dana ‘hibah’. Alternatif ini tidak mereka sepakati sebab hibah tidak dapat dianggarkan untuk beberapa tahun berturutturut (multi-years). 6 SKPD terkait terdiri dari Bappeda, Dinkes, Inspektorat, dan BPKBMD.
47
Lokakarya Penyusunan Proposal BKKKes, July 2013
KOTAK 9 Pembagian Tugas Penyusunan Juklak BAPPEDA bertugas utk input; - prinsip penyelenggaraan (BaB 3) - perencanaan program (bab 4) - pengelolaan program (bab, 5) - pengelolaan keuangan (bab, 6) DINKES Sulut bertugas; - prinsip penyelenggaraan (bab3) - perencanaan program (bab 4) - pengelolaan program (bab 5) - pengelolaan keuangan ( bab 6) - monev dan pelaporan (bab7) BIRO HUKUM; - review rancangan Pergub BPKBMD - pengelolaan keuangan (bab 6) INSPEKTORAT - monev dan pelaporan (bab 7)
LANGKAH selanjutnya, finalisasi naskah rancangan Pergub, berlangsung lewat beberapa pertemuan di sepanjang Oktober 2012. Naskah kemudian diserahkan ke Biro Hukum Pemprov, untuk memeriksa secara terperinci kelayakan naskah dengan menimbang aturan-aturan yang ada. Namun naskah itu mengalami penyeliaan lebih lama dari yang direncanakan.7 Mereka berencana menyelesaikan Pergub dan lampirannya pada bulan Oktober itu agar dapat mengintegrasikannya ke dalam APBD
7 Pada pertemuan 10 Oktober menyepakati bahwa Biro Hukum akan menyelia draft rancangan Pergub itu dalam dua hari sebelum dipresentasikan dihadapan Kepala Bappeda pada 15 Oktober 2012
48
tahun anggaran 2013. Namun draft itu mesti melewati proses cukup panjang di Biro Hukum dan kemudian di BPKBMD, sekitar 4 bulan. Baru pada bulan Maret 2013 draft itu kembali dibahas, dengan beberapa masukan yang harus segera direvisi oleh para perumusnya. Satu tahun anggaran pun terlewatkan.8
Jeda yang cukup lama seiring proses review draft tersebut membutuhkan penyegaran, untuk menguatkan kem bali komitmen dan rencana kerja kolektif. Pada 22 Maret 2013, sebuah Lokakarya mempertemukan beberapa pihak yang terlibat dalam perancangan Pergub (Dinkes, Bappeda, BPKBMD, dan BASICS), mereka juga sepakat untuk mengganti judul Ranpergub, dari ‘Pedoman Bantuan Keuangan Khusus Bidang Kesehatan’ menjadi Pergub tentang ‘Percepatan Pencapaian MDGs dan SPM Bidang Kesehatan Tahun 20132015’. Dalam berbagai pembahasan maupun dokumen informal istilah BKKKes untuk merujuk Ranpergub ini (dan kelak Pergub) masih digunakan. Mereka juga membahas penerapan Pergub dengan menimbang aturanaturan tatakelola keuangan di tingkat provinsi. Soal bagaimana transfer bantuan dapat dilakukan, misalnya, disepakati bahwa Dinkes Kabupaten/Kota terlebih dahulu perlu mengidentifikasi dan memilah jenis kegiatan fisik dan non fisik.
8 Selama masa draft itu menjalani proses review di Biro Hukum dan BPKBMD, pihak Dinkes Provinsi dan BASICS yang bertindak sebagai tim bantuan teknis (berdasarkan SK Gubernur untuk urusan pencapaian target MDGs bidang kesehatan), tetap berusaha berhubungan dengan Biro Hukum, BPKBMD, dan Bappeda untuk mendorong tanggapan segera atas draft tersebut.
Hasil diskusi ini menyimpulkan bahwa kedua jenis bantuan itu mesti melewati jalur berbeda. Program atau kegiatan non fisik yang diajukan Dinkes Kabupaten/Kota dapat menjadi bagian dari Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) Dinkes Provinsi. Anggaran kegiatan seperti pelatihan atau lokakarya sosialisasi yang diadakan Dinkes Provinsi dengan mengundang staf kabupaten/kota, dapat dicantumkan di dalam Dokumen Pengguna Anggaran (DPA) Dinkes Provinsi.9 Sementara pelaksanaan Tupoksi Dinkes Provinsi yang diselenggarakan di kabupaten/ kota harus bekerjasama dengan Dinas Kabupaten/kota. Untuk itu, Provinsi dapat melakukan transfer dana kepada Dinkes Kabupaten/Kota sebagai penyelenggara kegiatan tersebut. Sementara untuk program fisik, Dinkes Provinsi tidak boleh melaksanakannya secara langsung di Kabupaten/Kota, sebab tidak berada di bawah wewenang Dinkes Provinsi. Ini pun harus dilakukan
9 Dokumen anggaran SKPD yang sudah ditetapkan, memuat perincian anggaran per kegiatan.
dalam bentuk transfer dana, sebab tidak memungkinkan menghibahkan barang kepada sesama instansi pemerintah. Sehingga, jika Kabupaten/Kota membutuhkan bantuan fisik semisal pembangunan klinik VCT (Voluntary Counseling Test) untuk pemeriksaan HIV/AIDS, atau penyediaan peralatan PONED (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergency Dasar), Pemerintah Provinsi hanya boleh menyediakan bantuan dalam bentuk dana. Sebenarnya hibah kepada daerah atau antar-pemerintah daerah (misalnya provinsi ke Kabupaten/ Kota) dalam bentuk barang maupun jasa diperbolehkan, sesuai Pasal 10 Permendgari Nomor 32 Tahun 2011. Pasal 1 Permendagri tersebut menyatakan, “Hibah berupa uang dicantumkan dalam RKA-PPKD. “Sedangkan pada Pasal 2 disebutkan, “Hibah berupa barang atau jasa dicantumkan dalam RKA-SKPD.” Namun butuh waktu lebih panjang bila mereka memilih menggunakan hibah sesuai aturan di atas.
49
Barang yang akan dihibahkan harus dianggarkan di DPA Dinkes Provinsi sebagai belanja modal, lalu harus menunggu paling tidak setahun untuk melewati mekanisme ‘penghapusan’ dari daftar inventaris Dinkes. Setelah itu barulah barang tersebut dapat dihibahkan ke SKPD Kab/Kota.10 Untuk dapat mengakses kedua jenis bantuan itu, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus menyusun proposal dan penerima bantuan dipilih berdasarkan hasil evaluasi pencapaian SPM MDGs mereka. Untuk menyusun proposal tersebut, mereka akan didampingi oleh Dinas Kesehatan Provinsi.
Mekanismenya, proposal diajukan atas nama kepala daerah kabupaten/ kota, ditujukan kepada Gubernur (Cq. Kadis Kesehatan Provinsi), lalu Kepala Dinas Provinsi mereview dan merekomendasikan kepada Gubernur melalui Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) provinsi. Lalu TAPD akan menelaah proposal tersebut sebelum memasukkannya ke dalam rancangan (KUA-PPAS). Selain aturan transfer, pertemuan ini juga membahas peluang ketersediaan anggaran untuk bantuan ini, yang tampaknya cukup besar karena beberapa kondisi yang mendukung (lihat KOTAK 10). Usai pertemuan ini, draft Ranpergub BKKKes mengulang lagi rangkaian proses yang sudah berlangsung sebelumnya.
10 Jalan singkat lain yang bisa ditempuh adalah menyalurkan barang lewat belanja ‘barang dan jasa’, bukan ‘belanja modal’ SKPD provinsi, agar dapat langsung diserahkan sebagai hibah SKPD provinsi, tanpa melewati proses ‘penghapusan’.
50
KOTAK 10 Situasi Pendukung Ketersediaan Anggaran 1. Kebijakan Pemerintah Provinsi yang memprioritaskan pencapaian MDGs bidang Kesehatan, pendidikan dan infrastruktur 2. UU Kesehatan mengamanatkan bahwa minimal 10% dari alokasi anggaran harus merupakan belanja langsung (bukan belanja pegawai)
3. Dari 10% alokasi minimal itu, proporsi anggaran kesehatan Pemerintah Provinsi yang terpakai baru sekira 8,24%. Artinya, masih tersisa 1,76%, yang jika dihitung berdasarkan total APBD provinsi akan berkisar 20 milyar rupiah lebih.
Perbaikan draft Rapergub dilaksanakan lagi pada akhir Maret 2013 oleh Dinas Kesehatan Provinsi, lalu direview oleh BPKBMD sebelum diperiksa kembali di Biro Hukum Setda Provinsi pada awal April 2013. Sementara mekanisme pengelolaan keuangan akan diatur kemudian dalam bentuk Juknis dan BPKBMD bertanggungjawab untuk merumuskannya. Mereka kemudian membuat tenggat yang disepakati: hasil akhir revisi Pergub akan disahkan oleh Gubernur sebelum Kepala Dinas Kesehatan Provinsi mengumumkannya dalam Rapat Koordinasi Kerja Kesehatan Nasional (Rakerkesnas) pada bulai Mei 2013, yang kebetulan berlangsung di Manado. Dalam proses itu diskusi alot sering terjadi ketika membahas pembagian
wilayah tanggung jawab, yang tercantum dalam lampiran Ranpergub versi awal, ‘versi pedoman’11, yang mengatur secara detil mekanisme pengelolaan keuangan. Masih di sepanjang Maret hingga April, berlangsung proses review dengan rancangan peraturan tersebut beberapa kali berpindah tempat, diberi tambahan dan koreksi di tempat-tempat naskah itu singgah.12 Mengacu kepada masukan-masukan ini, beberapa pasal dan lampiran mengalami revisi. 11 Ranperda ‘versi pedoman’ merujuk pada rancangan peraturan gubernur versi awal, berjudul ‘Pedoman Bantuan Keuangan Khusus Kesehatan’. Versi ini berbeda dengan Pergub yang ditetapkan, terutama karena versi ini memuat detil tentang pengelolaan keuangan, yang ditolak oleh BKPBMD. 12 Pada kesempatan itu, misalnya, Dinas Kesehatan menambahkan beberapa elemen dalam program prioritas seperti penanggulangan penyakit tuberkulosis paru, rabies dan hepatitis. Sementara konsultasi dengan BPKBMD menghasilkan masukan tentang aturan-aturan tatakelola keuangan. BPKBMD menyarankan agar Pergub tidak terlalu detil mengatur mekanisme keuangan. Pergub cukup mengatur tentang kegiatan yang akan dikerjakan oleh Dinas Kesehatan, bagaimana menyelesaikannya dan bagaimana mengukur pencapaiannya.
Proses ini mengisyaratkan bahwa perumusan Pergub ini berupaya semaksimal mungkin menampung seluruh pendapat dan pengetahuan pihak-pihak yang terlibat. Ini pun menunjukkan bahwa produk kebijakan ini merupakan hibrida dari berbagai pengetahuan, merefleksikan proses dan aktor yang terlibat di dalam perumusannya. Namun ini juga menunjukkan kecenderungan melupakan bahwa tenggat yang hendak dikejar—pencapaian SPM dan MDGs hingga 2015, semakin sulit untuk terwujud. Dengan kata lain, proses perumusan aturan ini memakan waktu penerapannya yang kian sempit. Pada 2 Mei, draft Ranpergub Percepatan Pencapaian MDGs dan SPM Bidang Kesehatan (sebelumnya BKKKes) akhirnya rampung.13
Pada 13 Mei 2013, Peraturan Gubernur No. 16 tahun 2013 ditandatangani gubernur. Duapuluh bulan sejak rancangannya mulai dibicarakan.
13 Setelah beberapa kali mengalami perubahan hasil koreksi dan penambahan dari Dinas Kesehatan, BPKBMD dan Biro Hukum. Tinggal menunggu pengesahan kepala BPKBMD, sebelum dibawa ke Gubernur.
Pertemuan multipihak yang melibatkan SKPD, DPRD, dan Organisasi Masyarakat Sipil 51
TANTANGAN
Mutasi
SEJUMLAH tantangan yang ditemui dalam proses ini bukan sesuatu yang unik.
Panjangnya jalur birokrasi dan mutasi pejabat yang memperlambat perjalanan naskah rancangan menjadi Pergub merupakan kecenderungan umum di Indonesia. Agak unik dalam kasus ini adalah fakta bahwa Pergub yang mereka rancang akan mengatur sesuatu yang baru: transfer dana bantuan dari Provinsi ke Kabupaten/ Kota. Karena itu mereka masih dalam proses mencari bentuk penyaluran yang tepat dengan menimbang berbagai aturan, yang belum secara langsung mengatur transfer dana bantuan khusus dari Provinsi ke Kabupaten/Kota. Tak terhindarkan bahwa proses perancangan ini memancing munculnya perbedaan pendapat mengenai banyak hal, sebagian besar berasal dari perbedaan fungsi masing-masing pihak dalam hubungannya dengan perjalanan naskah tersebut. Kepala Seksi Ibu dan Lansia Dinkes Provinsi Sulut
Alur birokrasi
Gambar 2 Jalur Paraf Koordinasi dan pengesahan naskah Pergub No. 16 /2013
Kepala Bidang Bina Kesga dan Gizi Dinkes Provinsi Sulut
Sekretaris Dinkes Provinsi Sulut
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulut
Proses birokrasi yang cukup panjang menciptakan tantangan tersendiri. Rancangan peraturan itu mesti melewati beberapa meja di kantor berbeda sebelum disahkan oleh gubernur. Butuh dua puluh bulan, Oktober 2011-Mei 2013, sejak dimulainya pembahasan draft hingga peraturan tersebut disahkan. Padahal tujuan pembuatan Pergub itu, menyokong pencapaian beberapa target MDGs, akan berakhir tahun 2015. Sebagai gambaran, dengan penyederhanaan di sana-sini, draft itu harus melewati pembahasan di Dinas Kesehatan, Bappeda, lalu BPKBMD, kemudian diperiksa oleh Biro Hukum. Proses ini kemudian diulang sekali lagi sebelum naskah dibubuhi paraf koordinasi, dari Kepala Seksi di Dinkes Provinsi hingga ke Sekretariat Provinsi, sebelum akhirnya disahkan oleh Gubernur (selengkapnya lihat Gambar 1). Pada tahap pelaksanaan Pergub itu kelak, proses birokrasi ini masih ditambah lagi dengan siklus serupa untuk merumuskan dan menetapkan Juknis dan Juklak, ditambah pembahasan anggaran di DPRD Provinsi (lihat Bab 5).
Biro Hukum
Perbedaan Melihat Aturan
Soal perbedaan cara mengelaborasi aturan terjadi baik antar-SKPD di level Provinsi maupun dan antar-SKPD di level berbeda. Contoh, salah satu masalah utama dalam hal penyaluran anggaran adalah perbedaan cara menjabarkan aturan (yang kadang masih multi-tafsir), terutama mengenai mekanisme dan tatakelola keuangan. BPKBMD, misalnya, menyatakan bahwa sudah memiliki format tersendiri dalam menyalurkan dana. Mereka telah terbiasa dengan mentransfer dana ke Dinas Kesehatan Provinsi, bukan ke Kabupaten/Kota, sebagaimana aturan yang ada hingga saat itu. Memakan waktu cukup lama untuk mediskusikan persoalan tersebut. Pembahasan mengenai mekanisme penyaluran dana juga berlangsung alot ketika menghadirkan SKPDSKPD di level berbeda (kabupaten/ kota dan provinsi). Usulan mekanisme
Asisten I
Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat
Sekretaris Provinsi Sulut
Wakil Gubernur Sulut
Gubernur 52
Sebagaimana di banyak kasus lain, pergantian atau mutasi pejabat juga turut menghambat laju draft aturan ini. Saat naskah tiba di BPKBMD untuk diperiksa kembali setelah selesai direview oleh Biro Hukum, kepala bidang yang menanganinya belum lama diganti. Proses mesti terhenti beberapa bulan sementara pejabat baru menghadapi tumpukan dokumen yang ditinggalkan pejabat sebelumnya. Pihak Bappeda mesti melayangkan surat resmi agar draft Pergub segera diselia oleh pejabat BPKBMD maupun Biro Hukum, sebelum bisa diteruskan ke Sekretaris Provinsi. Mutasi pejabat pemerintahan dalam praktiknya tidak meninggalkan semacam laporan serah terima. Padahal warisan semacam itu bisa sangat berguna bagi pejabat baru, salah satunya untuk mempelajari ‘utang’ prioritas yang ditinggalkan pejabat lama dan mesti segera dilaksanakan.
Diskusi dalam Lokakarya Penyusunan Proposal BKKKes 53 yang melibatkan 15 Kabupaten/Kota, Juli 2013
Pertemuan dengan petugas Puskesmas dan kader kesehatan se-Kabupaten Minahasa Utara
penyaluran dana meniru Dana Alokasi Khusus (DAK) misalnya, awalnya ditolak pihak kabupaten. DAK merupakan penyaluran dana yang diiringi ketentuan alokasi untuk program-program tertentu. Sebagai badan yang otonom, dinas di kabupaten kota memandang ini melangkahi aturan-aturan tentang wewenang Kabupaten/Kota dalam menentukan arah alokasi. Di sisi lain, argumen itu sulit diterima oleh pihak provinsi. Bagi mereka, tanpa arahan tertentu dana yang disalurkan dapat dialokasikan untuk apa saja, termasuk yang tidak sesuai dengan semangat penyaluran dana tersebut. Bagaimanapun, hibah provinsi yang diatur dalam Pergub ini diadakan untuk tujuan tertentu, yaitu mendorong percepatan pencapaian MDGs melalui pelaksanaan SPM bidang kesehatan.
Beberapa anggota tim, yang merupakan pegawai negeri sipil, mengungkap bahwa di awal proses mengembangkan Pergub sebagian besar masih dikuasai pola pikir tertentu. Dalam nada otokritik, seorang anggota tim menyebutnya sebagai “pola pikir PNS”. Di masa-masa awal itu mereka merasa masih dikungkung pemikiran bahwa semuanya sudah “given” atau terberi, bahwa semua “sudah ditetapkan dari atas.” Mereka masih terbiasa melakukan kerja-kerja rutin yang aturannya telah ditetapkan, dan mereka tinggal menjalankannya dengan konsisten. Karena menjadi sesuatu yang rutin, pola ini membuat mereka kurang percaya diri untuk berpikir sendiri maupun mencoba sesuatu yang baru. “Polanya sudah begitu. Tidak bisa diubah lagi,” simpul seorang anggota tim ketika mengenang masa itu.
54
Bahkan
dengan
semangat
untuk
mengembangkan inovasi yang sudah terbangun, ketika dibawa masuk ke dalam sebuah pertemuan, pola pikir itu kadang masih mendominasi. Ungkapanungkapan seperti “so lelah lebe dulu” atau “ini pasti susah” kadang muncul ketika itu. Sebagian menghadapi proses pengembangan aturan baru ini dengan sikap serba hati-hati, utamanya karena khawatir menyalahi aturan. Apalagi usaha ini merupakan sesuatu yang tanpa preseden di tempat lain, di mana mereka dapat melakukan studi banding. Padahal, bila inisiatif ini belum punya aturan, mereka tidak punya pilihan selain membuat aturan baru.
PEMBELAJARAN
SELAIN menghasilkan produk kebijakan berupa Peraturan Gubernur, kerja panjang ini juga menghasilkan model baru perencanaan dan penganggaran multi tahun dengan menyebutkan secara langsung tahun 2013-2015, juga pola transfer antar APBD yang membangun sebuah mekanisme perencanaan bersinergi terutama antara pemerintah di level kabupaten kota dengan pemerintah provinsi. Proses panjang bekerja intensif secara bersama-sama juga menghasilkan ikatan kuat baik antar-instansi (SKPD) maupun antar-orang yang terlibat. Menguatnya jaringan kerja institusional dan personal ini dapat berguna di masa datang. Individu-individu yang terlibat, misalnya, sangat mungkin dapat kembali bekerjasama dengan mudah, sekalipun dalam posisi berbeda. Sebagaimana diatur di dalam Pergub No. 16/2013, proses ini juga berhasil membentuk sebuah strategi manajemen baru di dalam pengelolaan keuangan daerah, yaitu transfer dana
dari provinsi ke kabupaten dalam bentuk bantuan khusus. Ini disokong pengembangan pola transfer dan pengawasan serta pelaporan keuangan dan program yang baru, setidaknya bagi banyak pihak yang terlibat. Ini merupakan warisan berharga yang ditinggalkan oleh orang-orang yang telah terlibat di dalamnya.
Selain hasil-hasil di atas, proses panjang ini menghasilkan rentetan aspek pembelajaran bagi semua pihak yang terlibat, baik secara institusional maupun personal. Rangkaian pembelajaran ini dapat menjadi ilustrasi tentang apa saja yang perlu diperhatikan dalam mengusahakan sebuah produk regulasi, setidaknya dalam konteks yang kurang lebih serupa. Uraian aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut.
Pemimpin
Komitmen dan peran para pengambil keputusan di berbagai instansi yang terlibat menjadi salah satu faktor terpenting dalam keberhasilan
perjalanan Ranpergub ini. Para pejabat teras Provinsi Sulut sudah punya komitmen serupa dalam hal pelaksanaan SPM dan pencapaian target-target MDGs. Aspek ini menjadi penting mengingat peraturan yang sedang dirancang dan diadvokasikan mengatur sesuatu yang baru. Tidak mudah untuk memperkenalkan dan meyakinkan orang akan kelayakan rancangan itu dari berbagai aspek. Bahkan di tahap awal perancangan para pemimpin SKPD berperan besar meyakinkan anggota tim bahwa aturan ini bisa dibuat. Bahwa inisiatif baru mungkin diciptakan dan diusahakan menjadi produk peraturan resmi. Dengan demikian mereka berperan dalam mengatasi soal ‘pola pikir PNS’, sebagaimana disinggung di atas, yang cenderung menjadi pengguna inisiatif yang “diturunkan dari atas”. Mereka juga berperan dalam kelancaran proses perancangan dan advokasi naskah Ranpergub. Di sepanjang perjalanan naskah
55
dengan cepat mengambil keputusan untuk kelancaran pembuatan Pergub tersebut. Sejak dari mendengar gagasan awal, merespon hambatanhambatan yang muncul, hingga penandatanganan, mereka terus memperlihatkan dukungan politis, sehingga dapat mengurangi dan mengatasi tantangan-tantangan yang mungkin muncul.
Keterlibatan
itu, mereka senantiasa melakukan supervisi. Ambil contoh, mereka sampai meminta mencarikan data-data berupa aturan hukum untuk mendukung Biro Hukum agar proses review Ranpergub berjalan lancar. Seorang staf Bappeda mengungkapkan, biasanya setelah rancangan aturan diserahkan ke Biro Hukum maka selesailah tugas mereka. Begitu naskah sudah berpindah kantor, mereka tinggal menunggu, bila Biro Hukum membutuhkan sesuatu sebelum meneruskan naskah tersebut ke proses selanjutnya.14 Di banyak kasus biasanya tak ada lagi persoalan, dan mereka hanya tahu bahwa Ranpergub sudah keluar sebagai Pergub. Terakhir, di level yang lebih tinggi, komitmen para pemimpin juga sangat penting dalam pengambilan keputusan. Gubernur dan Wakilnya yang senantiasa menerima audiensi dan presentase juga
14 Setelah itu naskah diperiksa di BPKBMD, kemudian diteruskan ke asisten I atau III, lalu dibahas dalam forum SKPD, kemudian berturut-turut ke meja Sekretaris Provinsi, Wakil Gubernur, sebelum akhirnya ditandatangani Gubernur.
56
Keterlibatan banyak pihak sangat membantu proses perumusan maupun advokasi kebijakan ini. Pengetahuan yang terhimpun dalam setiap diskusi menjadi cukup lengkap sebab berasal dari berbagai titik fungsi di sepanjang jalur pembentukan kebijakan. Serupa keping-keping mozaik, mereka saling melengkapi informasi yang dibutuhkan untuk membentuk sebuah gambaran yang utuh. Setiap partisipan dari kantor berbeda punya pengetahuan spesifik mengenai wilayah kerja masingmasing. Ini sangat berguna ketika tim perumus mencoba menjawab berbagai pertanyaan. Misalnya ketika menakar kemungkinan pendanaan dari propinsi ke kabupaten/kota, diskusi menemukan berbagai fakta yang mendukung kemungkinan tersebut, seperti prioritas MDGs Provinsi yang berkaitan dengan KIA, alokasi minimal amanat UU kesehatan, lowongnya sejumlah anggaran di APBD provinsi. Keterlibatan berbagai pihak, yang berperan memastikan pemahaman bersama, juga dapat mempermudah proses. Sebagai contoh, pada beberapa tahap pembahasan naskah Ranpergub terkadang staf SKPD yang hadir berbeda dengan staf yang menangani naskah tersebut ketika tiba di SKPD tersebut. Karena berbagai sebab,
staf yang menyelia naskah masih butuh waktu lebih untuk memahami Ranpergub tersebut. Bahkan kadang pertemuan dengan tim perumus Ranpergub kembali harus digelar untuk menjelaskan naskah tersebut. Untuk mengatasi itu, seorang anggota tim berpendapat, ketika naskah Ranpergub dan lampirannya diteruskan, misalnya ke Biro Hukum, seharusnya prosiding rapat juga disertakan. Prosiding ini setidaknya harus berisi proses perumusan yang telah dilewati dan siapa saja yang terlibat. Paling tidak prosiding tersebut dapat memudahkan mempelajari bagaimana Ranpergub dihasilkan, dan bahwa draft itu telah disepakati semua pihak.
Kredibilitas
Sangat penting bagi sebuah upaya advokasi kebijakan untuk membangun kredibilitas. Demi menggalang dukungan berbagai pihak, salah satunya dengan membangun kepercayaan pejabat teras provinsi. Ini misalnya dilakukan mengundang para manajer puncak di kantor provinsi mengikuti acara berskala nasional yang diselenggarakan oleh program. Dengan demikian, mereka berkesempatan melihat secara langsung bagaimana pemerintah tingkat nasional menerima dengan baik program kerja yang ditawarkan proyek ini. Terbukti cara ini dapat meningkat dukungan para pejabat teras. Di samping itu, metode penyusunan Ranpergub berikut kajian pendukunngnya yang dilakukan secara sistematis dan ilmiah, juga telah menghasilkan materi dengan kredensial yang tinggi. Keduanya berperan memudahkan untuk memperkenalkan gagasan kepada berbagai pihak lain.
Faktor kredibilitas ini semakin kuat dengan menyebarnya informasi mengenai program di kalangan para pengambil keputusan, terutama apabila para pejabat teras menjadikannya sebagai materi dalam pidato-pidato mereka. Audiensi teratur dengan para pejabat teras Pemerintah Provinsi untuk mengenalkan proyek, melaporkan perkembangannya, atau membicarakan isu-isu relevan yang mencuat, juga berperan memutakhirkan informasi kepada para pengambil kebijakan. Ini sangat penting dilakukan agar kredibilitas yang telah terbangun tetap terjaga.
Faktor Inovasi
Hadirnya unsur inovasi atau kebaruan cukup penting dalam menarik dukungan berbagai pihak. Menjadi ‘yang pertama’ menciptakan kelebihan tersendiri. Model penghitungan unit cost yang dilengkapi indeks aksesibilitas paling dikenali sebagai sebuah metode terbaru penghitungan biaya pelayanan kesehatan (berdasarkan cakupan pelayanan dan mengakomodasi keragaman karakteristik wilayah). Sementara Pergub No. 16/2013 sering dibicarakan sebagai aturan yang mengatur transfer dana bantuan dari provinsi ke kabupaten/kota, yang menurut berbagai kalangan belum ada presedennya di Indonesia. Faktor inovasi ini sering menjadi bahan pembicaraan ketika memperkenalkan kedua produk kebijakan tersebut. PADA tingkat personal, proses bekerja untuk menciptakan satu sistem baru juga menghasilkan beberapa pembelajaran yang tidak kalah pentingnya.
57
Inisiatif
Kerja-kerja ini membuat sebagian anggota tim merasa bahwa menginisiasi sesuatu yang baru dan belum diatur sebelumnya mungkin untuk dilakukan. Ini juga berperan dalam kerja-kerja mereka di luar kerangka proyek BASICS. Dulunya, sebagai pegawai negeri sebagian besar tim merasakan inovasi sebagai sesuatu yang sulit karena begitu banyak peraturan yang membatasi. Demikian banyaknya aturan sehingga tidak perlu untuk meneliti lebih jauh sebelum menganggap bahwa inovasi apapun yang diusahakan sulit untuk dilakukan dan lebih mudah mengerjakan sesuatu yang telah ada. Bagi para perencana, pembelajaran ini sangat penting, sebab sifat pekerjaan mereka sebagai perancang yang kerap berhadapan dengan pilihan untuk membentuk sesuatu yang baru.
Pertukaran Pengetahuan
Proses yang melibatkan orang dari berbagai SKPD juga membuat orangorang yang terlibat dapat saling belajar tentang metode kerja dan cara berpikir yang terbentuk di masingmasing SKPD, yang sebenarnya juga mereka butuhkan. Misalnya, staf dari Dinas Kesehatan belajar metode baru menyelia proposal dari kabupaten/kota setelah dalam beberapa kesempatan melihat bagaimana staf Bappeda menjelaskannya atau melakukannya. Sebaliknya, staf Bappeda belajar mengenai cara kerja spesifik bidang kesehatan untuk mempertajam metode perencanaan mereka ketika berhadapan dengan usulan-usulan dari bidang kesehatan. Mereka saling mengadopsi metode masing-masing.
58
Berargumen
Rangkaian diskusi intensif yang mereka lewati juga melatih para staf SKPD yang terlibat dalam menyampaikan argumen secara lebih runut dan kokoh dalam menyokong pendapat yang mereka ajukan. Mereka pun terbiasa mendukung argumen mereka dengan data-data.
BAB V Kerja Belum Usai Bantuan Keuangan Khusus Kesehatan di Simpang Jalan
59
PROSES SETELAH penandatangan Peraturan Gubernur No. 16/2013, pekerjaan panjang dan kadang rumit sudah menanti. Bagian ini mencoba menyajikan sejumlah upaya yang ditempuh untuk memastikan implementasi dana Bantuan Keuangan Khusus Kesehatan dapat tersalurkan sesuai aturan. Ini termasuk proses upaya pengadaan Perda untuk mengantisipasi berakhirnya masa berlaku Pergub No. 16/2013. Seperti di bab sebelumnya, penggambaran proses akan disertai uraian mengenai hambatan dan pembelajaran. Beberapa bagian dari kerja ini belum selesai, sehingga masih butuh waktu untuk mendapatkan gambaran utuh.
60
SERANGKAIAN diskusi segera berlangsung menyusul pengesahan Peraturan Gubernur No. 16/2013. Berlangsung di sepanjang Mei, forumforum ini membicarakan implementasi Pergub tersebut, khususnya untuk menyesuaikan lampiran petunjuk teknis pelaksanaan (Juklak) dengan beberapa bagian Pergub yang telah mengalami perubahan dari proses sebelumnya. Juga mengenai persiapan program prioritas yang akan diusulkan dalam APBD Perubahan 2013, yang masih menyisakan tenggat hingga bulan Oktober. Dengan kata lain, mereka mulai mengusahakan penyaluran dana BKKKes.
Strategi pasca-pengesahan Pergub dibahas lebih jauh sebulan kemudian1, memunculkan usulan dari Dinkes Provinsi agar BASICS memfasilitasi penyusunan proposal Bantuan Keuangan Khusus Kesehatan (BKKKes) untuk 15 Kabupaten/Kota di Sulawesi Utara. Sebagaimana diatur dalam Pergub No. 16/2013, Kabupaten/Kota harus
1 Ini berlangsung pada Pertemuan Tahunan Sub Komite BRI 2013 yang diselenggarakan oleh BASICS tanggal 27-28 Juni, dihadiri perwakilan 5 Kabupaten/Kota yang termasuk dalam wilayah kerja BASICS. Sub komite BRI adalah panitia pengarah proyek BASICS daerah di tingkat provinsi untuk mengawal kegiatan BRI di kabupaten/Kota terlaksana. dibentuk oleh Tim Koordinasi Proyek BASICs di tingkat provinsi, terdiri dari Bappeda (bidang sosbud), Dinkes Provinsi (bidang kesehatah keluarga, anak dan gizi dan bidang perencanaan) perwakilan dari Badan PemberdayaanPerempuan dan Anak.
61
memasukkan usulan program demi menerima dana transfer. Usulan ini langsung diterima, dan pada tanggal 2-3 Juli berlangsung lokakarya penyusunan proposal BKKKes, dihadiri oleh Biro perencanaan Kementrian Kesehatan, perwakilan dari Ditjen Otonomi Daerah – UPD 2 Kemendagri, utusan 15 Kabupaten/Kota yang mewakili unsur Bappeda dan Dinkes, serta jajaran Dinkes Provinsi. Dari 15 Kabupaten/ Kota yang hadir, 11 diantaranya merampungkan proposal BKKKes dan menyerahkannya kepada Dinas Kesehatan Provinsi untuk diperiksa. Sejalan dengan proses pematangan proposal dari 11 SKPD Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, kerja penyiapan Juklak memasuki babak baru dalam usaha melengkapi dokumen penyerta Pergub No. 16/2013. Dimulai pada tengah Agustus 2013, penyusunan Juklak berlangsung secara maraton di internal Dinas Kesehatan Provinsi didampingi tim BASICS.
Di bulan yang sama datang kabar dari BPKBMD bahwa usulan dari Kabupaten/Kota belum dapat diakomodasi dalam APBD Perubahan 2013. Argumentasi yang berkembang saat itu, beberapa Kabupaten/Kota terlanjur menetapkan APBD Perubahan tanpa memasukkan pengajuan alokasi dana BKKKes karena pihak Provinsi terlambat mensosialisasikan kepada Kabupaten/Kota.
Sementara Pergub No. 16/2013 menghadapi tantangan dalam upaya penerapannya, kabar tentang pencapaian Sulawesi Utara lewat Pergub ini telah mengharumkan nama Pemerintah Provinsi. Dalam Rakerkesnas di Makassar, Sulawesi Utara mendapat penghargaan ke dua tingkat nasional, sesudah Daerah Istimewa Yogyakarta, dan peringkat pertama untuk di Indonesia Timur. Salah satu penilaian adalah keberadaan Pergub untuk percepatan pencapaian MDG’s dan SPM serta pendanaan BKKKes.
Gubernur pun menerima penghargaan atas kebijakan-kebijakan yang berpihak pada kesehatan, salah satunya Pergub No. 16/2013 dan BKKKes tersebut. Belum lama berselang, delegasi dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur datang untuk melakukan studi banding, salah satunya mempelajari bantuan keuangan dari Pemerintah Provinsi ke Kabupaten/Kota. Delegasi studi banding juga datang dari Pemerintah Provinsi Gorontalo.2 Setelah itu, pada 5 Juli 2013, Dinkes Provinsi Sulawesi Utara juga diundang sebagai narasumber oleh Dinkes Provinsi Gorontalo untuk mempresentasikan inovasi BKKKes di Kota Gorontalo. DISKUSI intensif berlanjut di sepanjang September untuk memastikan alokasi anggaran BKKKes dalam APBD Perubahan 2013 yang akan ditetapkan pada pertengahan Oktober. Menghadapi kenyataan bahwa APBD perubahan Kabupaten/Kota telah ditetapkan tanpa memasukkan dana BKKKes, muncul usulan untuk memasukkan dana BKKKes ini ke dalam skema DPA Dinkes provinsi, bukan ditransfer langsung ke APBD Perubahan Kabupaten/Kota.
Di DPA Dinkes ini sudah tersedia dana sebesar 3,4 miliar untuk pembelian perlengkapan bidan kit dan USG portabel bagi 11 Kabupaten/Kota. Alokasi dana ini tercantum di dalam DPA Dinkes Provinsi. Ini berarti bantuan tersebut bukan menggunakan mekanisme transfer dana langsung ke Kabupaten/Kota sebagaimana diinginkan lewat penerbitan Pergub N0. 16/2013. 2 Kegiatan ini difasilitasi oleh Provinsial Government Support Program - United Nation Development Programme (PGSP-UNDP).
62
Beberapa kali pertemuan yang diselenggarakan pihak BASICS untuk membahas dana BKKKes belum menemui titik terang. Malah berkembang rumor tentang jumlah dana yang berbeda-beda, meski kepastiannya ada di BPKBMD. Sebagian menginformasikan, di APBD 2014 telah tersedia dana BKKKes sebesar 25 milyar rupiah, tetapi mekanisme pengelolaannya belum jelas. Informasi tentang ketersediaan dana sebesar itu pun belum disertai bukti tentang keberadaannya. Untuk mencari jawab atas kekaburan informasi tersebut, mereka memutuskan untuk melakukan audiensi kepada pejabat teras provinsi dalam hal ini Wakil Gubernur sebagai ketua MDGs. Di sana mereka menanyakan kejelasan informasi tersebut, sekaligus meminta dukungan sekali lagi. Wakil Gubernur membenarkan keberadaan anggaran tersebut dan berjanji akan memastikan penyalurannya.
Selain untuk mengetahui secara persis posisi dana BKKKes, pertemuan itu juga berperan sebagai alat untuk mengingatkan kembali komitmen agar para pihak yang terkait pelaksanaan Pergub No. 16/2013 dapat mempercepat proses penyaluran dana. Usai bertemu Wakil Gubernur, para pihak terkait langsung mengambil langkah. Pihak BPKBMD menyampaikan informasi tentang dana BKKKes kepada anggota DPRD, juga menelaah Pergub dan Juklak BKKKes sebagai rujukan untuk merumuskan Juknis pengelolaan keuangan untuk dana bantuan secara umum (bukan hanya BKKKes), yang memang menjadi tugas mereka.
63
Pertemuan dengan masyarakat pengguna layanan kesehatan
Namun jalan panjang bagi penerapan Pergub 16/2013 masih terus berlanjut. Beberapa persyaratan transfer dana dari provinsi ke kabupaten juga belum terpenuhi. Pertama, meski anggaran sudah tersedia, besaran pagu anggaran (perincian pembagian untuk tiap kabupaten) perlu ditetapkan sebelum dapat disalurkan ke Kabupaten/kota. Dengan ditetapkannya pagu anggaran, maka Kabupaten/Kota memiliki dasar dalam menyusun penganggarannya. Kedua, Juknis yang telah dibuat ternyata masih harus diubah mengikuti perubahan yang terjadi pada draft Ranpergub sebelum disahkan menjadi Pergub. Ketiga, nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) antara kepala daerah pemerintah provinsi dan pemerintah Kabupaten/ Kota juga belum dibuat. Padahal MOU inilah yang menjadi dasar penyaluran bantuan keuangan. Keempat, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), sebuah perangkat khusus untuk bantuan tersebut di
64
BPKBMD, belum dibentuk. Di level Provinsi, untuk dapat melakukan transfer dana bantuan yang baru dibentuk, harus dibentuk pula Kuasa Pengguna Anggaran (di BPKBMD), yang salah satu perangkatnya adalah ‘bendahara pengeluaran’. Perangkat ini harus ditetapkan melalui SK Gubernur, yang hanya bisa dilakukan di awal tahun anggaran (setahun sekali). Di Kabupaten/Kota juga harus ada perangkat serupa, yaitu Kuasa Penerima Anggaran. Karena itu upaya mengejar tenggat APBD Perubahan menjadi nyaris tidak mungkin.
Selain beberapa syarat di atas, pada tahap selanjutnya, sederet pos birokrasi yang harus disinggahi sudah menunggu. Kelengkapan administratif penyaluran dana masih harus disediakan untuk menjamin terlaksananya Pergub No. 16/2013. Meski dana BKKKes sudah tercantum dalam APBD 2014, pengucurannya membutuhkan Surat Keputusan (SK) Juknis dari Gubernur. Untuk itu, Dinas Kesehatan segera
merumuskan Juknis Program di sepanjang Januari 2014. Tim satuan tugas/Satgas penerapan BKKKes juga segera dibentuk, mengikuti amanat Pergub No. 16/2013, sebelum disahkan lewat SK Gubernur. BPKBMD juga perlu segera mengajukan Juknis pelaksanaan keuangan, sementara Dinas Kesehatan menuntaskan Juknis yang berhungan dengan program, yang meski telah rampung masih perlu diajukan untuk mendapatkan SK Gubernur sebelum dapat berfungsi.3
Akhirnya, penyaluran dana masih harus menimbang keadaan keuangan Pemerintah Provinsi. Walaupun sudah disahkan, tidak seluruh mata anggaran yang tercantum dalam APBD telah siap untuk langsung ditransfer. Berasal dari beberapa sumber (DAU, DAK, Dana Bagi Hasil, dan lain-lain), tidak seluruh sumber pendapatan yang sedianya membiayai belanja yang tercantum di APBD langsung siap di awal tahun anggaran. Artinya, disamping menunggu SK Gubernur diterbitkan4, penyaluran dana BKKKes juga harus bergantung kepada kesiapan dana Pemerintah Provinsi. 3 Menurut seorang staf BPKBMD, penandatanganan MoU antara kepala daerah dan pembentukan perangkat Kuasa Pengguna Anggaran juga masih harus dilakukan. 4 Penerbitan SK Gubernur menununggu kesiapan Juknis baik yang terkait dengan Teknis Pelaksanaan (Dinkes), Tata Cara Penyaluran Dana (BPKBMD). Diharapkan semua Juknis yang dibutuhkan untuk kebutuhan penerbitan SK Gubernur harus sudah selesai/siap akhir Februari 2014.
Apalagi, Dana Bantuan Keuangan Khusus Insfrastruktur baru saja meminta 70 milyar rupiah dari APBD, karena musibah banjir bandang di Sulawesi Utara pada Januari 2014 lalu. Padahal saat itu dana BKKKes sudah tercantum dalam DPA BPKBMD Tahun 2014, pada nomenklatur ‘Belanja Tidak langsung’, Subyek ‘Bantuan Keuangan Khusus Bidang Kesehatan’.
Berbelok dari tujuan awal
Sementara itu, menghadapi panjangnya jalur birokrasi, muncul pembicaraan untuk mengabil jalur lain agar dana BKKKes yang telah dianggarkan dapat segera disalurkan. Misalnya dengan mengalokasikan dana tersebut dalam kategori lain, yaitu lewat anggaran ‘Tugas Pokok dan Fungsi’ (Tupoksi) Dinas Kesehatan Provinsi.
Usulan ini berbeda dengan skema awal BKKKes yang masuk dalam kategori ‘Dana Bantuan’ yang membutuhkan Pergub agar dapat dialokasikan secara berurutan setiap tahun anggaran, sesuai dengan Pergub No. 16/2013. Tanpa harus menunggu proses panjang, dana bisa disalurkan lewat programprogram Dinkes Provinsi yang dikerjakan di Kabupaten/Kota. Namun itu berarti dana tetap disalurkan ke SKPD di level provinsi, yang berbelok dari prinsip dasar BKKKes, yaitu transfer dana langsung dari APBD Provinsi kepada APBD Kabupaten/ kota sebagai ‘pendapatan’, dan Dinkes Provinsi hanya berperan dalam monitoring dan evaluasi.
65
Akhirnya pembelokan dari prinsip awal BKKKes, dan Pergub sebagai payung hukum pelaksanaannya, mengambil bentuk nyata ketika dana BKKKes sebesar 25 milyar rupiah seluruhnya telah dialokasikan untuk ‘belanja modal’ di Kabupaten/Kota. Artinya, dana itu tidak dapat digunakan untuk belanja program atau hanya mungkin melaksanakan program fisik. Sementara dana program non-fisik, misalnya untuk membiayai kerja peningkatan kapasitas dan monev, dianggap telah tercantum di dalam anggaran Dinkes Provinsi, karena melekat pada Tupoksi mereka.
Kenyataan ini agak berbeda dengan apa yang selama ini dibayangkan oleh para perumus Pergub No.16/2013. Demikian pula, di dalam Pasal 7 ayat
(2) Pergub tersebut, meski tidak menutup kemungkinan adanya belanja modal, sebagian besar bentuk kegiatan yang dicantumkan merujuk pada kegiatan non-fisik, sehingga belanja non-fisik sangat dibutuhkan untuk menjalankannya. (lihat KOTAK 11)
Pembelokan ini tak lepas dari proposal Dinkes Kabupaten/Kota. Dana yang tersedia memang telah dianggarkan berdasarkan proposal Dinkes Kabupaten/Kota yang dibuat dalam lokakarya bersama tim BASICS. Akan tetapi, usulan komponen-komponen belanja modal belum terlalu tepat, karena bagian Keuangan Dinkes saat itu bekerja dalam kejaran tenggat yang sempit sebelum membawa rancangan anggaran ke pembahasan di DPRD.
KOTAK 11 Pasal 7 ayat (2) Pergub No. 16/2013
66
Tingkat Kabupaten/Kota: a. Membentuk Tim Satgas percepatan pencapaian MDGs dan SPM bidang kesehatan di tingkat kabupaten/kota. b. Meningkatkan kualitas puskesmas dan jaringannya sehingga mampu menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar untuk program prioritas dan pelayanan obstetri neonatal emergensi dasar (PONED) yang berkualitas. c. Meningkatkan kualitas Rumah Sakit sehingga mampu menyelenggarakan pelayanan kesehatan rujukan dan pelayanan obstetri neonatal emergensi komprehensif (PONEK) yang berkualitas. d. Mensupervisi dan membimbing puskesmas dalam pengembangan program prioritas. e. Mengadvokasi dan melakukan kemitraan efektif dengan berbagai pihak dalam mengembangkan dan membina kelestarian program prioritas. f. Mendukung dan membantu sumberdaya dan upaya lain yang diperlukan puskesmas dan rumah sakit serta pengembangan dan operasionalisasi program. g. Mendorong pemberdayaan masyarakat yang lokal spesifik dengan mempertimbangkan sosial budaya, ekonomi dan aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan. h. Melakukan pemantauan dan evaluasi di tingkat Puskesmas dan Rumah Sakit i. Mengembangkan sistem surveilans, sistem informasi, dan perencanaan pembiayaan berbasis data di tingkat Puskesmas dan Kabupaten/Kota.
Karena tidak lagi bisa mengubah ketetapan agar sebagian dana dapat dialokasikan untuk ‘belanja non-fisik’ dalam kategori dana program5, mereka sepakat untuk menyiapkan strategi untuk memasukan dana program untuk BKKKes di Kabupaten/Kota pada APBD Perubahan 2014 mendatang.
Mengingat kembali disain DAK-Like yang menjadi rujukan pembentukan Pergub BKKKes, perkembangan ini telah mengambil jalan lain. Pergub ini dibuat dengan pikiran untuk mengejar ketertinggalan dalam beberapa Indeks Pencapaian SPM dan MDGs. Karena itu, skema bantuan ini menyasar indikatorindikator tertentu di tempat tertentu yang tertinggal (berdasarkan kajian unit cost) dan berlangsung setiap tahun untuk memastikan dukungan maksimal hingga berakhirnya masa MGDs pada tahun 2015.
Selain itu, mengingat kembali skema Komponen BRI yang turut berkontribusi dalam pembentukan gagasan BKKKes, terlihat bahwa kriteria seleksi skema BRI juga tampak tidak lagi dirujuk. Padahal itu diadopsi untuk membantu pemerintah Kabupaten/ Kota memperbaiki sistem perencanaan dan penganggaran. Dengan demikian, alokasi dana BKKKes secara seragam untuk seluruh Kabupaten/Kota hanya untuk ‘belanja modal’, menunjukkan bahwa gagasan BKKKes tengah berada di simpang jalan.
5 Ini berbeda dengan dana non-program yang biasanya berupa belanja untuk gaji pegawai dan sejenisnya. Juga bukan belaja modal yang biasanya merupakan pengadaan barang.
Mengusahakan Perda MENGANTISIPASI berakhirnya masa berlaku Pergub No. 16/2013 pada 2015, agar alokasi dana BKKKes dapat berlanjut setelahnya, sejumlah upaya dijalankan untuk menghadirkan Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur hal tersebut. Ini diusahakan lewat Perda Inisiatif DPRD Provinisi. Di bawah ini disajikan narasi kronologis untuk menggambarkan bagaimana detil upaya tersebut berlangsung. Pada Oktober 2013, berlangsung pertemuan informal antara tim BASICS dengan Komisi IV DPRD Provinsi yang membidangi kesehatan. Diskusi ini disusul beberapa kali pertemuan dengan ketua Badan Legislasi (Banleg) DPRD Provinsi untuk menjajaki kemungkinan diajukannya usulan Perda untuk dana BKKKes dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda) 2014.
Atas usulan anggota Komisi IV DPRD, BASICS mengajukan surat formal terkait rencana pengajuan usulan Perda ini agar seluruh anggota Komisi IV dan Banleg dapat mengagendakan pertemuan dengan BASICS. Pada Desember 13, atas usulan tersebut, BASICS melayangkan surat dengan subyek “audiensi” ditujukan kepada ketua DPRD tembusan sekwan. Namun sebelum diajukan, salah seorang anggota Komisi IV menyarankan agar judul surat diganti menjadi “hearing” atau dengar pendapat. Sebab menurut pengalamannya, pengajuan audiensi biasanya kurang ditanggapi serius. Surat untuk hearing pun diajukan.
67
pembahasan usulan Perda ini ke dalam Prolegda. Sementara tim BASICS diminta untuk mengajukan usulan judul sekaligus pokok-pokok pikiran Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tersebut.
Pertemuan antara pimpinan Proyek BASICS dan Wakil Gubernur Sulawesi Utara. Salah satu yang dibahas adalah dukungan BASICS bagi percepatan SPM dan MDGs di Sulawesi Utara.
Namun hearing ini tidak dapat segera dilaksanakan sebab berdasarkan prosedur tetap (protap) ketua Dewan perlu meminta tinjauan/pengkajian terhadap isu yang akan menjadi subyek hearing. Butuh waktu paling cepat dua minggu untuk bisa mengagendakan dengar pendapat. Informasi mengenai kejelasan waktu pertemuan baru diperoleh sehari sebelumnya. Sementara tim BASICS, termasuk deputy director proyek, telah siap untuk bertemu dewan. Namun pada hari pertemuan yang direncanakan, nyaris seluruh anggota DPRD berkonsentrasi pada agenda pembahasan KUAPPAS 2014 yang rencanakan dilaksanakan pada hari dan tanggal yang sama. Sementara Tim BASICS telah menyiapkan semua kebutuhan pertemuan dan menunggu informasi dari Sekretariat Dewan (Sekwan).
68
Menghadapi situasi mendadak itu, BASICS segera mengusahakan pertemuan informal hari itu juga.
Lobi dilakukan sejak 4 jam sebelum pertemuan. Seorang anggota Komisi IV menyatakan bersedia mengupayakan untuk mengorganisir koleganya agar memenuhi undangan BASICS di luar kantor DPRD. Tigapuluh menit menjelang pukul 16:00, beberapa anggota dewan menyatakan bersedia hadir. Tim BASICS segera menginformasikan kepada Dinkes maupun Bappeda agar mengirimkan wakilnya untuk bergabung dalam pertemuan. Saat itu hadir 5 orang anggota Komisi IV, 3 orang wakil Dinkes Provinsi dan tim BASICS.
Presentasi BASICS menggunakan Geographic Information System (GIS) dari google earth yang menampilkan situasi kesehatan di Sulut mendapat apresiasi dari anggota dewan. Mereka pun sepakat untuk mendukung lahirnya Perda tentang pelayanan kesehatan provinsi. Anggota dewan yang hadir berjanji akan mengkomunikasikan hal ini kepada Banleg agar mengagendakan
Pada November 2013, usulan pokokpoko pikiran dan Judul Ranperda diajukan, “Kerjasama Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam Meningkatkan Pelayanan Bidang Kesehatan.” Pada Desember 2013, tiba kabar dari ketua Badan Legislasi DPRD bahwa usulan Ranperda kesehatan tersebut sudah masuk ke dalam daftar Prolegda, tinggal menunggu pengesahan. Untuk membahas tindaklanjut pasca pengesahan Prolegda, disepakati pertemuan pada minggu ke dua Desember, untuk membahas pembagian peran antara BASICs dan pihak DPRD. Pertemuan itu dihadiri tim BASICS yang diwakili 3 orang advisor, beberapa anggota Banleg, serta perwakilan Bappeda dan Dinkes. Salah satu rekomendasi pertemuan itu adalah penyelesaian adminitrasi pengaturan teknis kerjasama. BASICS diminta menyiapkan draft kerjasama dan beberapa contoh Perda sejenis sebagai rujukan bagi anggota dewan yang akan bertindak mengajukan Perda Inisiatif. Sebelum pertemuan selanjutnya dilaksanakan, draft kerjasama dan salinan contoh Perda tersebut sudah diserahkan melalui staf pembantu Banleg.
Di Bulan Januari 2014, agenda para anggota DPRD terbilang padat. Sementara BASICS pun sedang mengejar beberapa agenda yang harus segera diselesaikan sehubungan berakhirnya masa kerja Proyek.
Menjelang pemilihan anggota legislatif (Pileg) sebagian besar anggota DPRD akan sibuk dengan kampanye. Karena itu, BASICS menetapkan target yang lebih realistis: jika pengaturan teknis kerjasama dengan DPRD belum dapat ditandatangani pada Januari, bisa dipastikan Naskah Akademik dan draft Ranperda tidak akan bisa berposes sebelum Pileg. Faktanya memang sulit memaksakan draft pengaturan teknis kerjasana segera ditandatangani.
Pada Februari, BASICS melayangkan surat penegasan kepada dewan mengenai keseriusan menjalin kerjasama tersebut. Namun hingga saat itu belum ada jawaban formal dari Sekwan. Status rencana penyusunan Perda pun terkatung-katung dan terinterupsi oleh pelaksanaan Pileg. Artinya, pelembagaan BKKKes via Perda seterusnya menjadi tanggungjawab pihak Pemprov melalui Dinkes, mengingat komposisi anggota dewan yang akan segera berganti.
Setelah itu, BASICS kembali berunding dengan Dinkes mengenai kemungkinan Perda tersebut menjadi usulan eksekutif, ketimbang Inisiatif DPRD. Pada prinsipnya Dinkes bersedia melanjutkan advokasi Perda kesehatan terebut. Namun mereka mengakui bahwa usulan yang akan dimuat oleh Perda tersebut tidak tercantum dalam rencana anggaran mereka di tahun 2014, meski pun mereka dapat mengupayakannya dalam APBD Perubahan di bulan Oktober nanti. BASICS sendiri menyatakan bahwa tidak akan dapat sepenuhnya membantu Dinkes dalam menyiapkan Ranperda karena masa perpanjangan Proyek BASICS akan berakhir pada awal tahun 2015.
69
Terlepas dari berderet persoalan yang disebutkan di atas, pada dasarnya Dinkes menyadari bahwa proses selanjutnya, mengusahakan hadirnya Perda yang mendukung pelaksanaan BKKKes, menjadi tugas dan tanggungjawab mereka. Proses pengalihan tugas yang belum rampung ini berlangsung terjadi secara bertahap. Selama proyek BASICS masih berjalan di Sulawesi Utara hingga akhir 2014, penyiapan informasi maupun fasilitasi kepada tim ahli Perda masih akan dilakukan. Dokumen pokok-pokok pikiran tentang Perda kesehatan sudah diserahkan kepada Dinkes Provinsi, demikian pula daftar nama-nama konsultan Perda yang dapat diminta membantu bila dibutuhkan.
TANTANGAN
SEJUMLAH hambatan yang ditemui di sepanjang proses ini pada dasarnya merupakan tarikan antara Pergub No.16/2013 yang mengatur sesuatu yang baru dan kurun waktu yang dipancangnya, yaitu 2013-2015. Ini membuat proses mencari alternatif mekanisme yang tepat sulit dilakukan dalam kondisi lebih kondusif, sebab tenggat Pergub ini segera berakhir. Gagasan untuk memperbaharuinya pun mungkin harus berhadapan dengan hal-hal baru lainnya karena kerangka besar pencapaian target MDGs, yang dirujuk oleh Pergub ini, juga segera berakhir.
Administrasi
70
Beberapa prasyarat dibutuhkan untuk pelaksanaan Pergub No. 16/2013. Ketika mengejar tenggat APBD Perubahan, yang terlewatkan, ditemukan bahwa beberapa kelengkapan administratif belum
KOTAK 12 Proses Penyusunan Perda 1. Pengumpulan info dan data terkait isu yang diperdakan 2. dokumen2 kebijakan terkait 3. dokumen hasil kajian, penelitian, laporan 4. hasil wawancara dg stakeholder 5. Analisa situasi based on data yang dikumpul 6. Penyusunan Naskah Akademik dan draft Ranperda 7. Kunjungan lapangan 8. Penyusunan draft NA dan Ranperda 9. Konsultasi public 1 10. Pembentukan Pansus 11. Paripurna 1: Pembahasan Ranperda 12. Paripurna 2 : pembahasan finalisasi Ranperda 13. Paripurna penetapan 14. Sosialisasi implementasi Perda
Alur Pelaksanaan Pergub No. 16/2013 1. Penyusunan Juknis (Dinas Kesehatan) 2. Pembuatan SK Satgas (Dinas Kesehatan) 3. Penyusunan Rencana dan Program Kabupaten/Kota (disesuaikan dengan RPJMD dan Renstra) 4. Rencana dan Program dibahas dalam Forum SKPD untuk penyusunan RKPD (Bappeda) 5. Rencana dan Program dibahas dalam Forum Musrenbang Provinsi (bersama dengan Kabupaten/Kota) 6. Penetapan Kebijakan Umum Anggaran-PPAS (di DPRD Provinsi) 7. Penetapan Perda APBD (DPA BKKKes) 8. Penyusunan Perencanaan Program dan Keuangan Dinkes Provinsi.
rampung, seperti Juklak dan Juknis, proposal dari Kabupaten/Kota, MoU antar-kepala daerah, dan perangkat Kuasa Pengguna Anggaran. Demikian pula ketika berusaha menyusun anggaran untuk APBD tahun anggaran 2014, yang juga membutuhkan kelengkapan administratif nyaris serupa. Selengkapnya, alur yang harus dilewati untuk pelaksanaan Pergub ini dapat dilihat pada Gambar 2.
Informasi
Berbagai celah administratif di atas banyak dihubungkan dengan distribusi informasi. Sebagai sesuatu yang baru diatur, Pergub ini menciptakan cukup banyak celah informasi, yang baru diketahui ketika proses sedang berlangsung, sehingga menyulitkan untuk melakukan antisipasi. Ambil contoh, belum jelasnya ketersediaan anggaran di APBD Provinsi membuat Dinkes Provinsi masih ragu mendorong Dinkes Kabupaten/Kota untuk memasukkan alokasi anggaran untuk BKKKes di dalam rencana anggaran SKPD mereka. Padahal anggaran BKKKes di Provinsi harus merujuk kepada permintaan anggaran dari level Kabupaten/Kota, Sebagaimana disebutkan pada Pasal 9 ayat (3) Pergub No. 16/20136, sementara pihak Kabupaten/Kota belum menetapkan permintaan dana BKKKes di dalam APBD mereka. Seorang staf Dinkes Provinsi menghubungkan ini dengan keterlambatan penyebaran informasi. Informasi tentang BKKKes belum sempat disosialisasikan ke sebagian Kabupaten/Kota ketika APBD 6 “Dalam hal kabupaten/kota tidak mampu, dimana membutuhkan bantuan provinsi, maka kabupaten/kota dapat mengajukan permohonan bantuan kepada Pemerintah Provinsi c.q. Kepala Dinas Keseatan Provinsi Sulawesi Utara.”
Perubahan ditetapkan. Pagu indikatif BKKKes per kabupaten kota di APBD propinsi belum ditetapkan. Ini terjadi antara lain karena, pertama, kekurangjelasan ketersediaan dana yang menghambat Dinkes Provinsi untuk bertindak menganggarkan BKKKes di dalam APBD Perubahan. Kedua, hal ini juga berhubungan dengan soal rotasi pemegang tanggungjawab yang cukup deras terjadi di tingkat kabupaten, sehingga orang yang pernah bertanggugjawab mengerjakan proposal untuk BKKKes tidak lagi berada di posisi semula. Hambatan informasi juga terlihat dalam upaya menghadirkan Perda, terutama terlihat pada ketidakjelasan waktu beberapa pertemuan, yang terpaksa berubah dari rencana yang telah disepakati. Ini menciptakan penundaan-penundaan yang akhirnya membuat Ranperda tidak dapat dibahas di dalam Prolegda sebelum Pileg 2014 berlangsung.
Aturan
Masih berhubungan dengan hambatan di atas, debat tentang aturan yang tepat untuk mengatur mekanisme penyaluran dana masih terus muncul, salah satunya karena menghadapi hambatan administratif yang cukup menyita waktu sementara masa berlaku Pergub ini kian menyusut. Ini berlangsung sejak tahap sebelumnya, yang berlanjut karena mereka sedang berhadapan dengan mekanisme transfer dana yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Berbagai alternatif dibicarakan agar dana dapat segera tersalurkan sebelum tenggat Pergub berakhir. Misalnya, memasukkan dana bantuan ini dalam kategori ‘dana kerjasama’ ketimbang dana ‘bantuan’, sehingga dapat langsung disalurkan ke kabupaten/kota, atau
71
lewat kategori dana program Dinas Provinsi daripada transfer langsung ke bagian pendapatan Kabupaten/Kota. Di sini terlihat tarik menarik antara menipisnya waktu pelaksanaan Pergub dan aspek inovasi transfer Provinsi ke Kabupaten/Kota yang menjadi ‘roh’ BKKKes.
PEMBELAJARAN
DISKUSI dan kerja masih terus berlangsung untuk memastikan Pergub No. 16/2013 dapat benarbenar terwujud. Demikian pula dengan usaha menghadirkan Perda demi mengantisipasi berakhirnya masa berlaku Pergub tersebut. Kerja belum usai, namun beberapa pembelajaran telah dapat dipetik dari proses yang kini masih berlangsung. Aspek-aspek pembelajaran tersebut antara lain sebagai berikut.
Politik
Merujuk proses yang baru lewat, mereka banyak mendiskusikan beberapa soal yang menunjukkan bahwa proses politis pelaksanaan Pergub No. 16/2013 juga merupakan isu penting untuk senantiasa dibicarakan, di samping soal teknis pelaksanaan. Misalnya, bila kas daerah tidak memperoleh pendapatan signifikan, berarti harus ada alokasi yang digeser untuk memenuhi amanat UU Kesehatan yang mengharuskan alokasi minimal 10%. Mereka mengantisipasi potensi pergeseran dana ini, yang masih harus dipastikan dari mana asalnya, agar dapat memikirkan alternatif langkah yang harus ditempuh. Contoh lain, mereka juga membicarakan
72
kekhawatiran yang muncul akibat anggaran Belanja Tidak Langsung (BTL) akan tampak membesar jika alokasi di APBD bertambah untuk BKKKes. Ini kemungkinan akan menuai pertanyaan dari pihak DPRD, yang dapat menciptakan pembahasan alot dengan kemungkinan gagalnya penambahan alokasi untuk BKKKes di APBD. Pun, diskusi panjang dilakukan untuk memastikan agar dana BKKkes yang akan ditransfer tidak dipergunakan untuk program lain di luar tujuan asli Pergub, atau apa yang dikenal dengan nama ‘dana titipan’ pejabat atau anggota DPRD.
Di sisi lain, komitmen politis para pengambil keputusan juga menunjukkan bagaimana aspek politis kebijakan dapat sangat membantu jalannya pelaksanaan sebuah produk kebijakan. Ini terlihat pada masa setelah kunjungan ke Wakil Gubernur yang menghasilkan konfirmasi keberadaan dana untuk BKKKes dan pelaksanaan komitmen untuk segera melanjutkan pekerjaan yang tersisa oleh seluruh pihak yang terlibat. Semua untuk memastikan agar pada APBD tahun anggaran 2014, transfer dana provinsi ini bisa benar-benar terwujud. Di titik itu terlihat isyarat bahwa relasi kuasa sangat berpengaruh untuk memastikan tersalurnya anggaran yang sudah ditetapkan.
Pendampingan
Ketelatenan mendampingi proses pelaksanaan Pergub No.16/2013 berkontribusi dalam kemajuan yang ada hingga saat ini. Sebagaimana di proses sebelumnya, pada tahap ini pihak-pihak yang terlibat juga mesti mempelajari berbagai aturan dan mekanisme
internal birokrasi di beberapa SKPD, termasuk titik-titik pengaruh politik yang juga penting untuk diperhatikan. Sejumlah informan mengungkapkan bahwa pihak-pihak yang terkesan lamban sangat mungkin disalahpahami, padahal yang terjadi adalah hilangnya potongan informasi yang dibutuhkan sehingga belum bisa diantisipasi sebelumnya, karena transfer dana ini merupakan sesuatu yang baru. Ini membutuhkan pengawalan intensif agar informasi yang dibutuhkan dapat diperoleh keping demi keping. Soal ini dapat kita lihat dalam kasus mengejar tenggat APBD Perubahan yang telah diulas di atas. Hal serupa terlihat pula dalam upaya menghadirkan Perda untuk melanjutkan keberadaan BKKKes. Upaya menghadapi ketakjelasan jadwal pertemuan yang kadang datang mendadak, pembuatan pokokpokok pikiran, upaya mengalihkan pengusulan Perda dari anggota dewan ke pihak eksekutif, serta pengalihan beberapa tugas yang berhubungan dengan pengusulan Perda dari BASICS ke Dinkes Provinsi, semuanya membutuhkan komunikasi dan
pendapingan intensif.
Angka vs. Sistem
Beberapa kalangan yang terlibat dalam mengusahakan Pergub No.16/2013 dan pelaksanaannya menyebutkan bahwa yang paling penting dalam proses ini adalah munculnya aturan dan mekanisme baru dalam penganggaran. Melihat angka yang kelak akan kucur untuk BKKKes, mungkin tidak begitu besar bila dibandingkan dengan tingginya kebutuhan. Namun sebuah jalur baru telah dibuka dan dapat digunakan oleh siapapun yang membutuhkannya di masa datang. Dalam debat mengenai mekanisme penyaluran BKKKes, yang belum punya aturan di level provinsi, mereka dapat melihat bahwa bila itu terjadi, mereka tinggal berinisiatif merumuskan aturan baru dengan merujuk aturan di atasnya, tanpa perlu senantiasa menunggu petunjuk dari atas. Mereka melihat, kerja panjang merambah berbagai wilayah baru telah menghasilkan sistem dapat menjamin keberlanjutan perbaikan pelayanan kesehatan dasar untuk semua.
73
BAB VI
Seranai Pembelajaran
74
75
Membalik Fokus Perhatian
Kita telah melewati narasi dan penjelasan mengenai proses, hambatan dan pembelajaran dari tiga program yang dikembangkan BASICS bersama berbagai pihak di Sulawesi Utara. Sebagai bagian penutup, bab ini mencoba merangkum dan menampilkan sintesis dari seluruh pembelajaran yang diurai di atas. Di dalam masing-masing pembelajaran ini tentu terselip, kadang dalam bentuk tersirat, beberapa rekomendasi untuk pengembangan ke depan. Model pemaparan seperti ini ditempuh setidaknya karena dua alasan. Pertama, karena buku ini lebih fokus menyoroti proses dan pembelajaran, sehingga membutuhkan kajian lanjutan untuk dapat merumuskan rekomendasi yang lebih definitif. Kedua, agar rekomendasi tetap melekat pada konteks pembelajarannya.
TERUTAMA dalam proses pengembangan sistem pengelolaan data dan penghitungan unit cost, terlihat kebutuhan cukup besar untuk menggeser fokus perhatian, dari pelaksana di tingkat Dinas (Provinsi maupun Kabupaten/Kota) ke unitunit pelaksana layanan tingkat bawah. Dalam mengembangkan sistem pengelolaan data, kesadaran ini muncul dari kenyataan bahwa pengumpul data adalah para petugas di unitunit pelayanan di tingkat desa. Tanpa mereka bekerja dengan baik, data bermutu tidak tersedia secara teratur. Sebaliknya data pun dapat berperan menunjukkan bahwa anggaran untuk program atau pelayanan warga memang harus lebih banyak. Sebab kerja program pelayanan merupakan ujung tombak di lapangan yang berhadapan langsung dengan penerima manfaat. Salah satu cara membalik fokus perhatian ini adalah memikirkan ulang dana operasional yang lebih banyak ‘menumpuk’ di Dinkes Kabupaten. Puskemas dan unit pelayanan di desadesa merupakan pelaksana utama program-program pelayanan di ruang lingkup Dinkes. Sehingga seharusnya anggaran lebih tersebar, utamanya untuk mendanai program-program pelayanan di level bawah. Selanjutnya, ketimpangan penganggaran juga terjadi pada tingkatan antar-petugas kesehatan di unit-unit pelayanan. Para peneliti unit cost menemukan, misalnya, sementara pekerjaan aktual dalam persalinan lebih banyak dikerjakan para bidan, alokasi biaya lebih condong untuk komponen jasa dokter.
76
Soal timpangnya perhatian pada kondisi di level bawa juga memunculkan
kelemahan pada SPM bidang kesehatan sendiri, yang dibuat di tingkat pusat. Menurut SPM, persalinan minimal harus ditangani dokter, dibantu oleh bidan dengan standar pendidikan D3. Sementara di lapangan ditemukan sebagian besar kelahiran hanya dilayani bidan berpendidikan D1. Dalam kenyataan, di desa-desa sering hanya ada bidan. Karena dalam banyak kasus para bidan itu dapat bekerja efektif membantu proses kelahiran tanpa kehadiran dokter, para peneliti sulit memahami mengapa para bidan harus berpendidikan D3. Beberapa alat kesehatan yang tidak termasuk di dalam indikator pencapaian SPM ternyata sangat dibutuhkan dan berguna bagi para petugas Puskesmas. Karena kekurangan anggaran, mereka sering tidak dapat mengadakan alatalat tersebut. Fakta bahwa alat-alat tersebut tidak termasuk dalam SPM membuatnya sangat rentan untuk tidak dianggarkan. Sekali lagi, ini membutukan pembalikan fokus dengan melihat lebih terperinci kondisi pelayanan di level terbawah.
Akhirnya, para peneliti unit cost menilai bahwa penguatan kualitas pelayanan di Puskesmas dan unit-unit di bawahnya mesti diperkuat. Langkah semacam itu dapat mengurangi beban rumah sakit dengan semakin kurangnya pasien yang harus dirujuk ke sana. “Bila puskesmas diperkuat, tidak perlu anggaran besar untuk membangun lagi rumah sakit besar.”
Partisipasi, Inovasi dan Kredibilitas
Keterlibatan banyak pihak sangat membantu berjalannya proses masing-masing program. Dalam pengembangan sistem kelola data, keterlibatan pihak puskesmas dan
77
petugas kesehatan di desa sangat menentukan keberhasilannya. Demikian pula keterlibatan para akademisi, ahli statistik, dan Dinas Kesehatan sendiri dalam penghitungan unit cost. Dalam proses perumusan maupun advokasi Pergub, pengetahuan yang terhimpun dalam setiap diskusi banyak berkontribusi, sebab setiap partisipan dari kantor berbeda berbagi pengetahuan spesifik dalam wilayah kerja masing-masing. Penghitungan unit cost secara ilmiah juga memudahkan usaha meyakinkan pihak Kabupaten/Kota untuk turut berpartisipasi mendukung program yang ditawarkan Dinkes Provinsi. Metode penyusunan Ranpergub berikut kajian pendukungnya yang dilakukan secara sistematis dan ilmiah, juga menghasilkan materi dengan kredensial yang tinggi. Ini menciptakan kredibilitas yang memudahkan pengenalannya kepada berbagai pihak.
Demi menggalang dukungan bagi upaya advokasi Pergub, upaya mengembangkan kredibilitas juga dilakukan dengan membangun kepercayaan pejabat teras provinsi. Faktor kredibilitas ini semakin kuat dengan menyebarnya informasi mengenai program di kalangan para pengambil keputusan. Hadirnya unsur inovasi atau kebaruan juga cukup penting dalam menarik dukungan berbagai pihak. Menjadi ‘yang pertama’ menciptakan kelebihan tersendiri. Faktor inovasi ini sering menjadi bahan pembicaraan ketika memperkenalkan sistem pengelolaan data, penghitungan unit cost, dan Pergub No. 16/2013.
Intensitas Kerja
78
Mendukung pengembangan dan perawatan suatu sistem baru bukanlah proses mudah. Ini berbeda
dengan menjalankan disain yang telah dibuat datang di level atas. Ini terlihat baik dalam proses mengerjakan tiga program, yang seluruhnya merupakan inovasi baru.
Ketelatenan mendampingi proses pelaksanaan Pergub No.16/2013 berkontribusi dalam mengumpulkan dan menindaklanjuti informasi yang dibutuhkan. Proses politis advokasi dan pelaksanaan Pergub No. 16/2013 butuh diskusi intensif untuk mengantisipasi tantangan-tantangan tak terduga. Audiensi teratur ke pejabat teras Pemerintah Provinsi diperlukan untuk mengenalkan proyek, melaporkan perkembangannya, atau membicarakan isu-isu relevan yang mencuat. Dalam upaya menghadirkan Perda kesehatan, pembuatan pokok-pokok pikiran, upaya menggeser pengusulan Perda dari anggota dewan ke pihak eksekutif, serta pengalihan beberapa tugas yang berhubungan dengan pengusulan Perda dari BASICS ke Dinkes Provinsi, semuanya membutuhkan komunikasi dan pendapingan intensif. Kerja intensif juga masih dibutuhkan dalam memastikan keberlanjutan inovasi-inovasi yang telah diwariskan oleh program-program ini. Sistem pengelolaan data, misalnya, masih perlu pendampingan antara lain karena data dari desa-desa belum dapat tersedia secara teratur. Data tahunan (Profil Kesehatan) dan triwulan memang sudah tersedia, namun tidak demikian dengan data bulanan dari Puskesmas (Laporan Bulanan).
Praktik Baru
Tiga program ini telah memunculkan praktik-praktik baru di berbagai level dalam lingkungan penyelenggara
pelayanan kesehatan publik. Bisa dikatakan, lewat kerja-kerja ini proses perencanaan dan penganggaran menjadi lebih ilmiah dan runut (‘dari bawah ke atas’).
Pengembangan sistem pengelolaan data, hingga taraf tertentu, telah menciptakan praktik baru dalam penanganan data. Mulai dari pengumpulan, pengelolaan hingga penyajian data, penangannya di berbagai level. Ini ditunjukkan dengan hadirnya Profil Kesehatan yang lebih akurat. Data ini kemudian berguna bagi penghitungan besaran unit cost pelayanan kesehatan, yang butuh data dengan tingkat akurasi dan kelengkapan yang tinggi.
Penghitungan unit cost menghasilkan praktik-praktik baru seperti proses penghitungan biaya yang lebih ilmiah dan penggunaan hasilnya untuk mengadvokasi anggaran.
Dengan alat baru yang lebih bisa dipertanggungjawabkan, permintaan tambahan anggaran menjadi lebih meyakinkan. Artinya, perhitungan unit cost bukan hanya berperan di dalam kerangka proyek BASICS. Penghitungan ini pun memunculkan pertanyaan baru, yang mendasari pengembangan satu lagi inovasi, yaitu Pergub yang mengatur bantuan keuangan kesehatan dari APBD provinsi ke Kabupaten/Kota.
Beberapa kalangan yang terlibat dalam mengusahakan Pergub No.16/2013 dan pelaksanaannya menyebutkan bahwa yang paling penting dalam proses ini adalah munculnya aturan dan mekanisme baru. Bantuan keuangan khusus kesehatan mungkin tidak begitu besar bila dibandingkan dengan tingginya kebutuhan, tetapi Pergub ini telah membuka jalur baru yang dapat berguna di masa datang.
79
Komitmen Politik Pemimpin
Komitmen dan peran para pengambil keputusan di berbagai instansi yang terlibat menjadi salah satu faktor penting dalam terlaksananya seluruh program ini. Mengusahakan Pergub No. 16/2013 akan lebih sulit jika para pejabat teras Provinsi Sulut tidak punya komitmen serupa dalam hal pelaksanaan SPM dan pencapaian target-target MDGs. Aspek ini menjadi lebih penting mengingat peraturan yang sedang dirancang dan diadvokasi mengatur sesuatu yang baru. Di tahap awal perancangan Pergub para pemimpin SKPD yang terlibat berperan besar meyakinkan anggota tim bahwa aturan ini bisa dibuat. Bahwa inisiatif baru mungkin diciptakan dan diusahakan menjadi produk peraturan resmi. Mereka juga berperan dalam kelancaran proses perancangan dan advokasi naskah Ranpergub itu. Di sepanjang perjalanan naskah itu, mereka senantiasa melakukan supervisi. Komitmen para pemimpin juga sangat penting dalam pengambilan keputusan. Gubernur dan Wakilnya yang senantiasa menerima audiensi dan presentase juga dengan cepat mengambil keputusan untuk kelancaran pembuatan Pergub tersebut. Sejak dari mendengar gagasan awal, merespon hambatan-hambatan yang muncul, hingga penandatanganan, mereka terus memperlihatkan dukungan politis, sehingga dapat mengurangi dan mengatasi tantangan-tantangan yang mungkin muncul. Faktor ini menjadi sangat penting bila mengingat temuan tim kajian unit cost bahwa seluruh kabupaten kekurangan dana untuk melaksanakan pencapaian SPM bidang kesehatan. Sebaliknya, keawasan mengenai besaran dana yang dibutuhkan membantu menciptakan komitmen di sisi Pemerintah Provinsi untuk mengatasinya. Komitmen politis para pejabat teras Sulawesi Utara ini merupakan modal besar bagi Provinsi untuk meningkatkan kinerja pelayanan dasar mereka, yang sangat sayang bila dilewatkan.
Perubahan Personal
Selain menghasilkan perubahan-perubahan institusional, tiga program ini juga memunculkan sejumlah capaian di level personal. Wawancara mendalam dan FGD dengan sebagian anggota tim yang terlibat di program-program ini kerap dihiasi penyingkapan mengenai pembelajaran personal. Sebagian anggota tim menjadi sadar bahwa menginisiasi sesuatu yang baru dan tidak diatur sebelumnya memungkinkan untuk dilakukan. Sebelumnya mereka sering menganggap bahwa inovasi apapun yang diusahakan sulit dilakukan dan lebih mudah mengerjakan sesuatu yang telah ada. Misalnya, aturan di level provinsi ternyata dapat mereka buat tanpa harus ada petunjuk spesifik mengenai itu di peraturan level pusat. Bagi para perencana, pembelajaran ini sangat penting, sebab sifat pekerjaan mereka sebagai perancang kerap berhadapan dengan pilihan untuk membentuk sesuatu yang baru.
80
Proses yang melibatkan orang dari berbagai SKPD juga membuat orang-orang yang terlibat dapat saling belajar tentang metode kerja dan cara berpikir yang terbentuk di masing-masing SKPD, yang sebenarnya juga mereka butuhkan. Mereka saling mengadopsi metode masing-masing. Rangkaian diskusi intensif juga melatih para staf SKPD yang terlibat dalam menyampaikan argumen secara lebih runut dan kokoh dalam menyokong pendapat yang mereka ajukan. Mereka pun terbiasa mendukung argumen mereka dengan data-data.
Aspek Proses
Dalam pandangan beberapa anggota tim, dua aspek ‘proses’ yang dikembangkan proyek BASICS mereka rasa berperan penting dalam pembelajaran personal tersebut, yaitu pelibatan orang yang sama dalam kurun lumayan panjang dan suasana diskusi yang santai. Aspek-aspek ini sendiri dapat menjadi pembelajaran bagi upaya serupa di masa datang.
Durasi Keterlibatan
Sebagian anggota tim dalam program-program ini terlibat secara bersamaan dalam waktu cukup lama, sehingga mereka menjadi cukup akrab. Ini menciptakan sejumlah kemudahan dalam berbagai aspek. Kedekatan ini memperlancar jalannya diskusi, juga memotong jalur birokrasi dengan tidak perlu melayangkan surat undangan pertemuan bila tidak benar-benar diperlukan. Surat undangan resmi, biasanya ditandatangai Kepala Dinas, juga kadang memberikan beban mental bagi para pegawai yang menerimanya. Mereka sudah membayangkan suasana pertemuan yang formal, atau harus menyiapkan presentasi yang bersifat formal pula.
Metode Diskusi
Di sepanjang proses yang difasilitasi oleh BASICS, pertemuan lebih banyak berlangsung dengan metode Focus Group Discussion (FGD) atau diskusi informal, sehingga para peserta dapat berdiskusi dengan lebih santai. Dalam proses yang berlangsung ringan, diskusi lebih mudah mengalir, gagasan-gagasan segar menjadi lebih gampang terlontar, demikian pula ketika menyelia dokumen yang membutuhkan konsentrasi tinggi sehingga membuat orang cepat lelah. Suasana informal juga membuat relasi menjadi lebih rileks dan kerjaan lebih cepat selesai. Kondisi informal ini diakui banyak pihak memang memudahkan jalannya diskusi. Seorang anggota tim berpesan, “proses semacan ini penting disebarluaskan.”
81