PERISTIWA TONYAMAN: REFLEKSI PERLAWANAN RAKYAT POLEWALI MENENTANG BELANDA DI MANDAR 1946-1947 721<$0$1(9(175()/(&7,212)7+(3(23/(2)32/(:$/,5(6,67$1&( $*$,1671(7+(5/$1',10$1'$5 Sritimuryati Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km. 7 Makassar, 90221 Telepon (0411) 883748, 885119 Faksmile (0411) 865166 Pos-el:
[email protected] Handphone: 082187636423 Diterima: 8 Juli 2015; Direvisi: 14 September 2015; Disetujui: 26 November 2015 ABSTRACT 7KLVDUWLFOHGLVFXVVHGDERXWWKHHYHQWWKDWRFFXUUHGLQ3ROHZDOL0DQGDUQDPHO\NLOOLQJDSSDUDWXVRI1,&$ .RQWUROLU0RQVHHVE\WKH,QGRQHVLDQKHURHV7KLVDUWLFOHZDVKLVWRULFDOUHVHDUFKZKLFKFRQVLVWVRIIRXUVWDJHV QDPHO\KHXULVWLFVFULWLFLVPRIVRXUFHVLQWHUSUHWDWLRQDQGKLVWRULRJUDSK\7KHUHVXOWVVKRZHGWKDWWKLVHYHQW LVRQHRIDVHULHVHYHQWWKDWZDVFORVHO\UHODWHGZLWKWKHVWUXJJOHIRU,QGRQHVLDQLQGHSHQGHQFHPRYHPHQWLQ 3ROHZDOL0DQGDU,WVXSSRUWHGWKHSHRSOHRI3ROHZDOL0DQGDUIRUSODQQLQJWKHNLOOLQJRI.RQWUROLU0RQVHHV %\NLOOLQJ.RQWUROLU0RQVHHVFDXVHG1,&$WRRNUHWDOLDWRU\PHDVXUHV7KHSHRSOHWKHUHRQWKDWWLPHWRUWXUHG EH\RQGWKHOLPLWRIKXPDQLW\WKHKHUR¶VTXDUWHUVZHUHEXUQHGRXWVRPH\RXQJDUP\RI.5,6DUUHVWHG6DYDJHO\ tortured and punished to exile. Moreover, this event could not be separated from the history of the struggle for QDWLRQDQGVWDWHWRUHSODFHWKHQDWLRQWRWDOO\DQGWKHQDWLRQLGHQWLW\ZKLFKKDGDGKHUHGLQWKHLQGHSHQGHQFH SURFODPDWLRQRI5HSXEOLFRI,QGRQHVLDLQth$XJXVW Keywords: struggle for independence, NICA, Mandar. ABSTRAK Tulisan ini membahas tentang peristiwa yang terjadi di daerah Polewali Mandar, yaitu terbunuhnya aparat NICA, Kontrolir Monsees, oleh para pejuang kemerdekaan Indonesia. Tulisan ini merupakan penelitian sejarah \DQJ WHUGLUL DWDV HPSDW WDKDS \DLWX KHXULVWLN NULWLN VXPEHU LQWHUSUHWDVL GDQ KLVWRULRUD¿ +DVLO SHQHOLWLDQ menunjukkan bahwa peristiwa tersebut adalah salah satu dari rangkaian peristiwa yang erat kaitannya dengan gerakan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Polewali Mandar. Hal tersebut mendorong rakyat Polewali Mandar untuk merencanakan pembunuhan terhadap Kontrolir Monsees. Terbunuhnya Kontrolir Monsees menyebabkan NICA mengambil tindakan balasan. Masyarakat di lokasi peristiwa pada saat itu disiksa melebihi batas perikemanusiaan, markas pejuang dibakar, sebagian anggota laskar KRIS Muda ditangkap, disiksa secara biadab, dan dihukum dengan cara dibuang. Selain itu, peristiwa tersebut tidak dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan bangsa dan negara untuk mengembalikan keutuhan dan identitas bangsa yang telah terpatri pada proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Kata kunci: Perjuangan kemerdekaan, NICA, Mandar.
PENDAHULUAN Ketika Perang Dunia II berakhir yang ditandai oleh kemenangan Sekutu (Amerika, Inggris, dan Australia) telah mengantar Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta, atas dorongan para pejuang kemerdekaan untuk memproklamasikan
kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun proklamasi kemerdekaan itu ternyata tidak diakui sepenuhnya oleh pihak Sekutu. Padahal Sekutu telah berjanji bahwa kelak di kemudian hari apabila mereka memenangkan Perang Dunia II, mereka akan memberikan 339
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 339—352 kesempatan kepada daerah-daerah pendudukan untuk segera menentukan nasib mereka. Sikap Sekutu ini tidak terlepas dari proses kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan oleh tokoh-tokoh yang berkolaborasi dengan pemerintahan militer Jepang. Hal inilah yang menyebabkan pihak Sekutu bersedia menandatangani Civil Affaire Agrement pada 24 Agustus 1945, yang pada dasarnya memberikan kesempatan kepada Netherlands Indie Civil Administration (NICA) sebagai bagian dari pasukan Sekutu dalam mengurusi hal-hal sipil di bekas wilayah koloninya. NICA diterima dan ditempatkan menjadi bagian yang integral dari pasukan Sekutu dalam melaksanakan tugas di Hindia Belanda. Itulah sebabnya ketika tentara Australia (atas nama Sekutu) datang ke Makassar pada September 1945, ikut pula aparat NICA di bawah pimpinan Mayor J.G. Wegner (Poelinggomang, 2002:3). Kehadiran aparat NICA bersama pasukan Sekutu mendapat reaksi penolakan dari bangsa Indonesia, termasuk rakyat Polewali. Hal itu disebabkan karena mereka mendukung sepenuhnya proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Sikap dukungan pada proklamasi kemerdekaan itu secara spontan tentunya didasari oleh kenyataan, bahwa selama dalam pemerintahan kolonial Belanda mereka merasakan ketidakadilan, hak mereka terkungkung, dan hidup penuh penderitaan akibat tindakan kolonial mengeksploitasi barang dan jasa mereka. Di samping itu, pihak kolonial pun bertindak tanpa memperhatikan lingkungan kultural dari mereka pula. Ibaratnya segala sendi kehidupan mereka telah direnggut oleh pemerintah kolonial Belanda. Aksi pembersihan yang dilakukan oleh pasukan Baret Merah yang dipimpin oleh Raymond Paul Pierre Westerling merupakan aksi tandingan atas tindakan rakyat di Sulawesi Selatan terhadap usaha NICA untuk memulihkan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Dalam kisah perjuangan rakyat di Sulawesi Selatan dapat dicatat antara lain, serangan pemuda Merah Putih di Makassar terhadap iring-iringan militer NICA. Namun demikian, tampak bahwa aksi penolakan dari rakyat di berbagai daerah dan usaha pembunuhan atas penempatan aparat NICA belum terungkap sepenuhnya dan berbagai 340
tindakan itu merupakan ancaman terhadap kedudukan kekuasaan kolonial Belanda. Berdasarkan pada latar persoalan itu, maka kajian ini diarahkan untuk mengungkapkan dan menjelaskan faktor-faktor yang melatari terjadinya peristiwa Tonyaman. Karena itu yang menjadi pokok persoalan dalam kajian ini adalah mengapa terjadi peristiwa ini. Penelusuran dan pengungkapan berbagai hal yang berkaitan dengan peristiwa itu diharapkan dapat memberikan gambaran dan kejelasan tentang faktor-faktor penyebab dan peristiwa itu sesungguhnya. Oleh karena itu kajian ini bukan hanya bertujuan untuk mengungkap dan menjelaskan latar belakang peristiwa, tetapi juga berbagai hal yang berkaitan dengan peristiwa. Persoalan-persoalan yang terkandung di dalamnya, mengacu kepada hal-hal yang berkaitan dengan sebab-musabab dan faktorfaktor kondisional yang mendasari terjadinya peristiwa. Dengan pengungkapan peristiwa secara utuh dapat memberikan penjelasan yang lengkap bagi pemahaman peristiwa masa lampau itu. Penyajian secara utuh dan lengkap dapat diambil manfaatnya bagi pengenalan diri dan identitas bangsa, juga untuk mempertahankan keutuhan dan kesatuan bangsa. Semoga kajian ini dapat memberikan pemahaman dan kesadaran tentang dinamika kesejarahan perjuangan bangsa dalam menentang kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Yang menjadi permasalahan adalah karena belum adanya kajian yang khusus membahas mengenai “peristiwa Tonyaman” ini yaitu tentang terbunuhnya Contreleur Monsees, yang benar-benar berhasil mengungkapkan dan menjelaskan kedudukan masalahnya secara lengkap. Seperti hasil karya dari Amir yang berjudul “Peranan Laskar Kris Muda Mandar dan GAPRI dalam Perjuangan Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Daerah Mandar 2006”. Juga karya dari Jusuf “Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Daerah Balanipa Mandar 1989”. Begitu juga dengan karya Sewang dengan judul “Peranan Islam Dalam Pergerakan Kris Muda di Daerah Mandar 1980”, dan banyak lagi. Karya-karya ini mengungkapkan atau menyajikan mengenai
Peristiwa Tonyaman: 5HÀHNVL.. 6ULWLPXU\DWL
Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia dan Kelaskaran tidak menyajikan atau mengungkapkan peristiwa Tonyaman yaitu terbunuhnya Contereleur Monsees secara utuh dan lengkap sehingga penggambarannya belum dapat dipahami sebagai kisah masa lampau tentang peristiwa tersebut. METODE Penelitian ini adalah penelitian sejarah sehingga akan mengikuti tahapan tahapan kegiatan penelitian sejarah dan menyajikan dengan berpedoman pada prinsip penulisan sejarah, yaitu kronologis. Tahapan heuristik atau pengumpulan sumber akan dilakukan terutama di Makassar dan Kabupaten Polewali Mandar. Penelitian di Makassar dilakukan pada badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Sulawesi Selatan dan beberapa perpustakaan lainnya, seperti perpustakaan Universitas Hasanuddin dan Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar. Keterangan atau sumber-sumber yang dikumpulkan itu sebelum dilakukan interprestasi dan untuk digunakan dalam penyusunan naskah, terlebih dahulu dilakukan kritik guna memastikan kredibilitas dan validitas atas sumber. Hal tersebut dimaksudkan untuk dapat memberikan keterangan dan ulasan yang objektif sehingga hasil yang diharapkan dapat dipercaya dan dipertanggung jawabkan secara akademik. Selain penelitian kepustakaan dan penelitian arsip dalam pengumpulan keterangan atau sumber, kegiatan penelitian ini juga dilakukan dengan melakukan wawancara di sekitar tempat terjadinya peristiwa dan masyarakat lainnya yang mengetahui tentang peristiwa ini. Sebab pada umumnya rakyat yang menyimpan tradisi lisan selalu menuangkan kenyataan historis dalam landasan kultural kehidupan politik dan sosial mereka dalam bentuk ceritera rakyat. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari sikap memarginalisasikan kenyataan historis yang tertuang dalam naskah (dokumen dan manuskrip). Penulisan naskah/laporan hasil penelitian ini, bercorak deskripsi analitis. Hal ini dimaksudkan agar persoalan-persoalan yang berkaitan dengan peristiwa dan perubahan yang mengikutinya
dapat dijelaskan faktor-faktor penyebabnya. Dengan demikian gambaran yang ditampilkan tidak hanya bersifat deskripsi narasi dalam artian pengisahannya dalam bentuk ceritera dengan memperhatikan urutan waktu (kroonologis) belaka. Disadari bahwa model deskripsi narasi kurang memberikan kepuasan bagi pemaknaan peristiwa dan perubahan yang menyertainya. Dalam hubungan dengan keinginan itu, faktor-faktor penyebab akan ditelusuri dari dua aspek, yaitu: aspek internal (faktor dari dalam) dan aspek eksternal (faktor pengaruh luar) baik yang tampak maupun yang terselubung (laten). Dalam hal ini perhatian tidak hanya tercurah pada dinamika internal yang terjadi dalam masyarakat itu sendiri, tetapi juga dinamika eksternal yang berpengaruh terhadap proses kesejarahannya. PEMBAHASAN Latar Belakang Peristiwa Sebelum terjadinya Peristiwa Tonyaman aparat pemerintah NICA yang ditempatkan di Polewali, telah mendapat perlawanan rakyat secara ¿VLNEDLN\DQJGLODQFDUNDQROHKNHODVNDUDQ.5,6 Muda (Kebaktian Rahasia Islam Muda), GAPRI 531(Gabungan Pemberontak Rakyat Indonesia 531) maupun gabungan dari kelaskaran BPRI (Badan Perjuangan Rakyat Indonesia). Hal itu bermula ketika sekelompok anggota kelaskaran KRIS Muda melakukan tindakan balasan terhadap berbagai aksi-aksi yang dilakukan oleh NICA pada waktu sebelumnya, seperti penurunan bendera Merah Putih dan sebagainya. Organisasi KRIS Muda Mandar ini adalah suatu wadah perlawanan (perjuangan) yang merupakan lanjutan dari organisasi pergerakan Islam Muda yang berdiri sebelumnya. Organisasi KRIS Muda ini dipelopori oleh Riri Amin Daud dan A.R.Tamma atas restu Depu dengan susunan pengurus sebagai berikut: ketua (Riri Amin Daud), wakil ketua (A.R.Tamma), sekretaris (Lappasa Bali), bendahara (S. Usen Ali), wakil bendahara (Abdul Razak), anggota pengurus (Amin Badawi), Siti Ruwaedah (Arsip Kantor Veteran, No. 63). Pusat kegiatan organisasi ini ditetapkan di Tinambung kerena letaknya yang strategis untuk menghadapi NICA yang memusatkan 341
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 339—352 kegiatan di Polewali, Majene, dan Mamasa. Organisasi KRIS Muda ini mempunyai arti sebagai berikut: Kebangkitan; mengandung makna bahwa mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945 dari penjajahan kolonial adalah suatu kebaktian (perbuatan mulia) terhadap bangsa, negara dan agama. Rahasia; memberi arti bahwa suatu organisasi yang bersifat rahasia. Islam mengandung pengertian bahwa dalam perjuangan Islam, sebagai azas perjuangan. Muda; mengandung pengertian bahwa dalam perjuangan diperlukan adanya semangat jiwa muda (Sewang, 1980: 70-71). Organisasi ini mulanya mengurus para anggotanya secara legal atau rahasia yang bergerak di bawah tanah. Kemudian berkembang secara terang-terangan setelah NICA menduduki dan sekaligus mengambil alih kekuasaan pemerintahan sipil di seluruh daerah Mandar. Pada November 1945 organisasi KRIS Muda Mandar ini berubah menjadi satuan kelaskaran dengan tujuan utama untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yang telah dikumandangkan pada 17 Agustus 1945. Jadi sifat organisasi ini pada mulanya adalah political force, kemudian berubah menjadi satuan perlawanan bersenjata dalam bentuk kelaskaran atau militer sebagai reaksi tandingan dari rakyat atas pemerintah NICA sebagai alat politik Belanda untuk kembali menjajah Indonesia yang telah memproklamasikan kemerdekaannya. Hal ini sesuai dengan Maklumat Presiden tanggal 5 Oktober 1945, yaitu tentang pembentukkan kelaskaran dan badan-badan perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan. Sebab pengertian kelaskaran adalah suatu organisasi rakyat yang bersifat militer dan mendapat pengesahan dari Menteri Pertahanan Republik Indonesia yang telah terbentuk (Nasution, 1968:31). KRIS Muda adalah lanjutan dari organisasi Islam Muda yaitu organisasi pemuda di Campalagian yang didirikan pada sekitar April 1945 yang bertujuan untuk mencapai Indonesia merdeka, yang dipelopori oleh tokoh-tokoh masyarakat setempat antara lain: Andi Depu, Riri Amin Daud, M. Mas’ud Rahman, Lappas Bali, Mahmudi Syarif, Achmad, Amin Badawi, dan Musdalifah (Jusuf, 1989:52). Selanjutnya empat
342
hari setelah dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, maka pada 21 Agustus 1945 organisasi Islam Muda di Polewali Mandar berubah nama menjadi ”Kebatian Rahasia Islam Muda” (KRIS Muda) Mandar (Kadir, 1984:114). Selain organisasi KRIS Muda ada juga organisasi GAPRI 531 (Gabungan Pemberontak Indonesia). Kode 5.3.1. Organisasi ini terbentuk pada pertengahan1946 di wilayah Timbu Allu. Awalnya terjadi pertemuan antara M. Saleh Puanna I Sudding bersama pembantunya, seperti Kanjuha, Saleh Bakti dan Mustafa serta kedua perutusan dari Jawa (Raden Ishak) dan Kalimantan (M. Saleh Banjar). Kesepakatan membentuk organisasi ini semata-mata hanya strategi atau taktik untuk mengelabui pihak NICA bila ada ekspedisinya yang baru menyusup ke dalam wilayah Polewali Mandar dan sekitarnya. Angka 531 adalah kode rahasia organisasi yang mempunyai arti sebagai berikut: 5 (lima); artinya berjuang dengan tidak melalaikan sembahyang lima waktu, 3 (tiga); artinya bersedia memberikan tiga macam pengorbanan, yaitu pikiran, tenaga dan harta termasuk jiwa, 1(satu); artinya satu tujuan yaitu Indonesia tetap merdeka dan berdaulat di bawah Ridha Allah Subhanahu Wataala (Jud Pance, 1982:13). Terbentuknya organisasi perjuangan tersebut, semakin melapangkan terjadinya aksiaksi perlawanan yang dilakukan oleh para pemuda pejuang. Aksi yang dilakukan oleh KRIS Muda adalah untuk melakukan hambatan agar NICA tidak melewati Polewali yang hendak ke Majene atau sebaliknya, seperti aksi penghadangan atau rintangan dengan mengikat pada kedua sisi jembatan dan merantai perahu di Sungai Tinambung. Pada keesokan harinya, 16 Januari 1946, Asisten Residen Mandar yang telah ditunjuk dan diangkat NICA, Baso Daeng Malewa hendak melewati jembatan tersebut dengan tujuan ke Makassar tidak dapat melaluinya karena para anggota kelaskaran yang menjaganya tidak bersedia membukanya. Akibatnya timbul insiden kecil, namun pada akhirnya Baso Daeng Malewa dapat dizinkan juga melewatinya dengan peringatan; “Jangan kembali lagi ke Majene selaku Asisten Residen Mandar (Amir, 2006:176-177).
Peristiwa Tonyaman: 5HÀHNVL.. 6ULWLPXU\DWL
Selanjutnya pada bulan yang sama (Januari 1946), sebuah truk yang memuat tentara NICA masuk jurang jembatan Puppole Campalangiang karena aksi sabotase pejuang. Akibatnya, beberapa di antara tentara dalam truk yang malang tersebut mengalami luka berat, bahkan diperkirakan ada pula yang tewas. Jembatan itu, sebelumnya telah dirusak oleh sekelompok laskar KRIS Muda di bawah pimpinan Amin Badawi (Pawiloy,1987:298). Sedang di tempat lain laskar KRIS Muda di bawah pimpinan Hanna dan Bundu melakukan penghadangan terhadap patroli NICA di Pambusuang. Kemudian pada bulan yang sama, sebuah konvoi, iring-iringan mobil tentara NICA dihadang pula oleh sekelompok laskar KRIS Muda di bawah pimpinan Basong di Soreang. Aksi penghadangan berikutnya terjadi di Kampung Segeri-Baruga, dalam wilayah Majene pada April 1946, laskar di bawah pimpinan Basong melakukan penghadangan terhadap patroli polisi NICA yang berkekuatan satu peleton. Sedang di pihak kelaskaran hanya menggunakan empat pucuk senjata karaben dengan tiga butir granat tangan. Dalam penghadangan ini terjadi pertempuran dan dianggap sebagai suatu kontak senjata yang paling sengit melawan NICA pada saat itu. Peristiwa ini mengakibatkan gugurnya Kepala Kampung Segeri-Baruga bernama Siada (Jusuf, 1989: 89-90). Karena itu dan semakin ganasnya aparat NICA, sehingga para pejuang segera mengadakan serangan balasan yang langsung ditujukan kepada tangsi NICA di dalam Kota Majene. Untuk melaksanakan serangan tersebut, maka sebagai komandan pertempuran dipegang langsung dua nama kembar Saleh, masing-masing M. Saleh Banjar dan M. Saleh Puanna I Sudding. Serangan balasan yang dilakukan pada April 1946 ini walaupun dibantu oleh ratusan rakyat, namun hasilnya masih kurang memuaskan. Sebab tentara NICA sudah terlebih dahulu mengetahui rencana serangan balasan tersebut, karena hasil usaha dari kaki tangan atau mata-mata mereka. Aksi atau gerakan perlawanan KRIS Muda dan GAPRI 531 pada Juli 1946 antara lain penangkapan mata-mata musuh atau pihak NICA
di Rusung, penyergapan terhadap patrol NICA di Pamboang dan kontak senjata secara langsung melawan operasi NICA di Asing-Asing (Baruga). Pada bulan ini pula salah seorang anggota kelaskaran bernama M. Tahir kembali dari Kalimantan dengan membawa tiga pucuk senjata beserta tiga orang bekas tentara KNIL. Ketiganya masing-masing bernama Harun, Mariono, dan Sukirno yang ingin segera menggabungkan diri dalam wadah perjuangan pihak republik di kawasan Mandar. Terjadinya penangkapan dan pembunuhan terhadap anggota kelaskaran yang tertangkap dan penduduk setempat yang dianggap dan dicurigai membantu para pejuang, yang umumnya dilakukan oleh para aparat NICA. Melihat keadaan yang demikian, maka baik dari markas KRIS Muda di Tinambung maupun GAPRI 531 di Baruga-Majene serta dari berbagai markas yang ada di sektor wilayah Polewali dan sekitarnya segera meningkatkan serangan-serangan balasan. Taktik yang dipergunakan ialah memperbanyak serangan-serangan secara sporadis dengan sistem bergerilya atau berbagai taktik lainnya. Terbunuhnya Kontrolir Monsees Memasuki bulan suci Ramadhan, sekitar jam 21.00 atau setelah salat Tarawih, pada hari Jumat malam, tanggal 16 Agustus 1946 terjadi peristiwa pembunuhan terhadap kontrolir yang ditempatkan di Polewali beserta salah seorang pengawalnya dalam wilayah Kampung Tonyaman. Kampung ini letaknya tiga atau empat kilometer sebelah timur Kota Polewali. Peristiwa terbunuhnya kontroli Polewali yang bernama G. Monsees beserta salah satu pengawalnya yang bernama Sabakodi, pangkat kopral. Dari berbagai sumber yang diperoleh, tampak mempunyai perbedaan antara satu dengan lainnya terutama pada pelaku anggota kelaskaran maupun terjadinya pembunuhan. Hulpbestuurs Asisten Majene bernama Sangkala di bawah pengawalan militer NICA pimpinan Letnan Duqe tentang peristiwa kontrolir Polewali, Monsees dan salah seorang pengawalnya (Sabakodi) dinyatakan bahwa hal tersebut ”boleh dianggap terjadi hanya secara kebetulan saja” (Arsip NIT, No.166). 343
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 339—352 Berdasarkan laporan yang dibuat atas perintah Asisten Residen Mandar L.L.A. Maurenbrecher 1, bahwa Sangkala bersama patroli militer di bawah pimpinan atau komandan Letnan Duqe pada malam Selasa, 19 menjelang 20 Agustus 1946, jam 24.00 segera berangkat dari Majene bersama rombongan patroli militer menuju ke Polewali dan langsung menuju Kampung Tonyaman, tempat peristiwa atau terjadinya pembunuhan. Setibanya di lokasi pembunuhan itu, kami langsung menangkap beberapa orang yang disangka melakukan pembunuhan dan di antaranya terdapat kepala dan mantan kepala Kampung Tonyaman, yang diduga kuat turut terlibat dalam perbuatan atau tindakan tersebut. Sebab dalam penggeledahan yang dilakukan di rumah kepala kampung didapati sebilah badik yang ada bekas lumuran darah dan di dalam saku/kantong bajunya didapati pula sebuah arloji. Menurut Muhammad Ali, arloji itu ia peroleh dengan menukarkan arloji tangan miliknya kepada seseorang. Namun menurut tiga orang saksi, masing-masing; jongos (pesuruh) dan tukang kebun kontrolir serta seorang polisi NICA bernama Sulaiman mengakui pernah memperbaiki arloji tersebut dan amat mengenalnya, karena ia pernah melihatnya diletakkan di atas meja makan Kontrolir Monsees (Arsip Resident Zuid Celebes, I:2). Lebih jauh sumber atau laporan ini mengungkapkan, bahwa ketika kami (Sangkala) bersama rombongan meninggalkan Tonyaman menuju ke Polewali, dan di jalan raya Kampung Tonyaman terlihat seorang laki-laki dari jauh menuju kepada kami. Namun saat melihat kami dan rombongan militer, lelaki tersebut segera lari menjauhi kami, akan tetapi ia segera ditangkap. Pengakuannya ia bernama Tongani, asli orang Mandar dan menetap di Kampung Tonyaman, dan juga berdekatan rumah dengan mantan kepala Kampung Tonyaman sendiri. Karena identitas dan gerak-geriknya yang amat mencurigakan itu, maka lelaki Tongani tersebut kami periksa dengan teliti. Di saat diperiksa dengan teliti, Tongani mengaku 1
Sebelum menjabat sebagai Asisten Residen di Mandar, L.L.A. Maurenbrecher merupakan pimpinan atau komandan militer NICA yang diselundupkan tentara Sekutu sewaktu menduduki wilayah di daerah-daerah Mandar pada Oktober 1945.
344
pada hari Jum’at tanggal 16 Agustus 1946 atau sebelum terjadinya pembunuhan Kontrolir Monsees pada malam hari, ia mengunjungi rumah Daeng Patiwi di Pajalele2, seseorang yang amat terkenal memiliki berbagai ilmu kebal atau tidak dapat dimakan senjata dan menjadi guru dari murid-murid para pencuri dan perampok. Karena Tongani sebelumnya telah mendapat kabar dari Saruna dan Ajeng (kedua orang lelaki ini belum tertangkap), bahwa di Tonyaman tertanam dua peti senjata api (senapan dan pistol) milik tentara Jepang. Karena itulah Tongani disuruh oleh kepala dan mantan kepala Kampung Tonyaman ke rumah Daeng Patiwi untuk mendatangkan segera beberapa orang-orangnya yang terkenal itu segera pergi mengambil senjata api tersebut. Oleh karena itu pula, kami (Sangkala bersama polisi militer) melakukan penangkapan terhadap Daeng Patiwi. Ketika kami periksa, mula-mula Daeng Patiwi menyangkal, namun pada akhirnya dia mengakui bahwa berhubung karena penyampaian Tongani atas suruhan atau permintaan kepala dan mantan kepala Kampung Tonyaman untuk segera menyiapkan tenaga (orang), maka ia perintahkan muridnya bernama Boko (belum tertangkap) dan Mada agar mengumpulkan sekurang-kurangnya 15 orang dan segera pergi ke Tonyaman untuk mengambil senjata milik pendudukan militer Jepang yang tertanam itu. Namun Daeng Patiwi dalam pengakuannya, sama sekali tidak mengetahui bahkan tidak menyuruh orangorangnya untuk membunuh Kontolir Monsees, ia hanya menyuruh Boko dan Mada bersama kawankawannya untuk menggali (mengambil) senjata api milik Jepang yang tertanam di Tonyaman atas permintaan kepala dan mantan kepala Kampung Tonyaman sendiri melalui penyampaian Tongani (Arsip Resident Zuid Celebes, I:2). Selanjutnya sumber atau laporan dari Sangkala ini menyebutkan, bahwa seorang lelaki bernama Mengga asal dari Kampung Tonyaman sendiri telah memberikan keterangan, bahwa pada malam Sabtu, sebelum terjadi pembunuhan 2
Pajalele merupakan salah satu wilayah dalam Kabupaten Pinrang (wilayah yang berbatasan dengan Polman), yang mayoritas penduduknya asal suku bangsa Bugis dan jaraknya sekitar 20-25 Km dengan Kampung Tonyaman.
Peristiwa Tonyaman: 5HÀHNVL.. 6ULWLPXU\DWL
terhadap Kontrolir Monsees, yaitu sekitar jam 21.00 sesudah ia salat Tarawih ia pergi ke rumah kepala Kampung Tonyaman. Di rumah mantan kepala kampung itu, ia mendapat beberapa orang yang lagi makan dan semuanya ia tidak kenal sama sekali, tetapi ia memastikan bahwa orang-orang tersebut adalah orang yang bersuku Bugis. Lebih jauh dijelaskan lagi, bahwa ketika orang-orang itu selesai makan, maka ia pun segera turun dari atas rumah ia mendapati Mengga lalu memegang tangannya dan menyerahkan sebuah skop dengan ancaman akan dibunuh bila ia tidak mau ikut serta. Karena ancaman itulah, maka dengan terpaksa Mengga menerima skop lalu berjalan bersama-sama dengan rombongan menuju ke tempat penimbunan senjata milik pendudukan militer Jepang (Arsip Resident Zuid Celebes, I:2). Pembunuhan Kontrolir Monsees dan Sabakodi, boleh dianggap secara kebetulan saja. Sebab pembuat laporan (Sangkala) ini telah pula mendapat keterangan, bahwa beberapa hari sebelumnya Kontrolir Monsees pergi ke Tonyaman lalu memarahi kepala Kampung Tonyaman, sehingga dapat dianggap bahwa dengan terbunuhnya Kontrolir Monsees itu adalah merupakan pembalasan sakit hati. Saya (Sangkala) belum dapat menuduh Kontrolir Monsees (tergantung dari pemeriksaan lebih lanjut), oleh karena itu pembuat laporan ini berpendapat: 1. Rombongan itu hanya berniat untuk memperoleh senjata api yang tertanam milik pendudukan militer Jepang. Karena waktu mereka berangkat dari Pajalele ke Tonyaman, tentu saja ia tidak tahu atau menyangka kalau Kontrolir Monsees akan datang ketempat tersebut, maka dengan secara nyata mereka pun tidak berniat untuk membunuh. 2. Dapat disangka atau diduga, sebab ketika rombongan tersebut sedang berkumpul di depan penjagaan pos polisi NICA dan melihat Kontrolir Monsees, maka ia mendapat perintah dari kepala Kampung Tonyaman untuk segera membunuhnya. Sebab bila mereka semata-mata hanya
hendak mengambil senjata api yang tertanam itu padahal mereka pun sudah diperiksa kontrolir lewat polisi yang berjaga di pos tersebut, maka tentu ia akan berlalu pergi dengan leluasa mencari tempat senjata api yang tertanam itu. Akan tetapi ketika Kontrolir Monsees hendak kembali ke Polewali dan sudah menaiki mobilnya, maka dengan tiba-tiba mereka maju dan menahannya dan kemudian terjadilah pembunuhan tersebut. 3. Kalaupun mereka ia memang mempunyai niat untuk melakukan pembunuhan, maka biar kepada siapapun termasuk para polisi pengawal kontrolir yang ikut akan dibunuhnya juga (Arsip Resident Zuid Celebes, I:2). Dari sumber atau laporan pemerintah NICA yang dibuat oleh Hulpbestuurs Asisten Majene, Sangkala berdasarkan hasil penyelidikannya dari tanggal 19 sampai 23 Agustus 1946 di bawah pengawalan patroli militer NICA seperti diungkapkan secara rinci di atas, maka dapat disimpulkan bahwa peristiwa terbunuhnya Kontrolir G. Monsees bersama salah seorang pengawalnya bernama Sabakodi itu bukan karena sekelompok perampok atau penduduk liar dari Pajalele. Akan tetapi sekelompok orang Bugis asal Pajalele datang ke Tonyaman untuk mengambil senjata api milik bekas pendudukan militer Jepang yang tertanam atas permintaan kepala dan mantan kepala Kampung Tonyaman sendiri. Namun karena kebetulan adanya Kontrolir Monsees yang sedang melakukan inspeksi di pos polisi dan terlihat oleh kepala Kampung Tonyaman, yang mempunyai dendam atas rasa sakit karena pernah ditegur (dimarahi) sebelumnya, maka terjadilah peristiwa pembunuhan itu atas perintah kepala Kampung Tonyaman oleh kelompok tersebut. Sedangkan menurut laporan atau surat tertanggal 22 Agustus 1946 yang ditulis oleh Asisten Residen di Mandar, L.L.A Maurenbrecher, dan ditujukan kepada Resident van Zuid-Celebes (pemerintah NICA) di Makassar disebutkan, bahwa peristiwa terbunuhnya kontrolir Polewali bersama salah seorang pengawalnya itu adalah merupakan ulah dari perampok atau sekelompok 345
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 339—352 penduduk liar. Lebih jauh surat tersebut mengatakan, polisi NICA di Tonyaman terdiri dari tiga orang anggota dan diperlengkapi dengan satu pucuk senapan serta satu pucuk sten melepaskan tembakan. Hal tersebut dapat diketahui melalui telepon yang konon disampaikan oleh salah seorang agen polisi yang sedang bertugas kepada kontrolir Polewali. Akan tetapi tindakan yang dilakukan oleh petugas pos polisi itu tampaknya menimbulkan reaksi protes sehingga pos telepon dirusak oleh sekelompok penduduk. Hal inilah yang mendorong sehingga salah seorang agen polisi yang sedang bertugas segera berangkat ke Polewali untuk melaporkan insiden tersebut. Di tengah jalan ia berjumpa dengan kontrolir yang sementara dalam perjalanan menuju ke Tonyaman, sehingga agen polisi tersebut ikut menumpang pada mobil kontrolir. Dalam kegiatan inspeksi inilah kontrolir diserang oleh sejumlah orang, yang dalam laporan itu dianggap sebagai perampok atau kelompok liar. Peristiwa ini berakibat Kontrolir Polewali, Monsees dan salah seorang pengawalnya bernama Sabakodi terbunuh (Arsip Resident Zuid Celebes, I:1) Kedua sumber dari pemerintah NICA yang diungkapkan seperti di atas amat bertentangan dengan sumber-sumber dari pihak lainnya, terutama bila dihubungkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Sebab kedua sumber pemerintah NICA itu, sama sekali tidak menyebut adanya perlawanan dari rakyat, tetapi hanya menyebut bahwa terbunuhnya kontrolir Polewali (Monsees) beserta salah seorang pengawalnya (Sabakodi) adalah merupakan ulah perampok atau sekelompok penduduk liar dari Pajalele yang datang ke Tonyaman hendak mengambil senjata api yang tertanam milik bekas penduduk militer Jepang. Sedang sumber-sumber yang diperoleh di luar pemerintah NICA itu, substansinya erat kaitannya dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan melawan pemerintah NICA yang ingin mengembalikan penjajahan Belanda di Indonesia. Untuk jelasnya dapat dilihat pada keterangan atau sumber-sumber yang dimaksud pada pengungkapan atau uraian berikut: “Salah satu bukti keberanian para pemuda Merah-Putih yang ada di sektor Polewali dan
346
sekitarnya (gabungan kelaskaran KRIS Muda dan BPRI Paku/Pajalele), ialah memancing Tuan Petoro (Kontrolir) Polewali ke Tonyaman dan kemudian membunuhnya” (Syahban Baso, wawancara 9-2-2008). Untuk memancing ke luar agar Kontrolir Polewali Monsees ke Tonyaman, maka para pemuda Merah-Putih dari gabungan kelaskaran KRIS Muda dan BPRI dari Paku/Pajelele melakukan taktik atau strategi semacam jebakan. Lebih jelasnya diungkapkan sebagai berikut: “Menjelang Magrib, hari Jumat tanggal 16 Agustus 1946 para pemuda pejuang Merah-Putih berkumpul di Tonyaman yang sesuai rencana akan menggali (mengambil) senjata api milik Jepang yang tertanam. Setibanya, ia dijamu makan oleh kepala Kampung Tonyaman, Pua Rindung. Setelah itu mereka menyebar; sebahagian pergi mencari senjata milik Jepang dan sebahagian lagi bergaja-jaga siapa tahu kontrolir akan datang. Karena sebelumnya, salah seorang dari mereka (pemuda merah putih) memperlihatkan diri pada petugas polisi NICA yang sedang berjaga di depan pos yang kemudian menelpon melapor kepada kontrolir, bahwa di malam ini ada beberapa orang yang tidak dikenal berkumpul di Tonyaman. Sekitar jam 22.00 sebuah mobil warna biru muda tiba yang ditumpangi kontrolir bersama pasukan/pengawalnya. Setibanya mereka itu, ia melihat orang yang seakan-akan berdiri dengan menyinari lampu senter, sehingga para pengawal menembaknya sampai peluru habis atau dan berkata: tuan kontrolir peluru habis. Di saat mendengar peluru habis itu, maka beberapa anggota pemuda merah-putih yang umumnya bersenjatakan tombak, parang/pedang dan badik/keris segera menyergap kontrolir dan mengikatnya pada sebuah batang pohon mangga besar, dan kemudian menggorok lehernya hingga tewas. Demikian pula salah seorang pengawalnya juga dan kemudian ditikam dengan badik/keris hingga tewas pula, sedang pengawalnya yang lain
Peristiwa Tonyaman: 5HÀHNVL.. 6ULWLPXU\DWL
lari seketika karena kehabisan peluru” (Syahban Baso, wawancara, 9-2-2008)3. Selanjutnya diungkapkan bahwa: “pemuda merah putih yang menggorok leher kontrolir Polewali bernama Sudding Daeng Bella, yang kurang lebih satu minggu setelah peristiwa tersebut ia ditangkap lalu dijebloskan dalam penjara di Kota Polewali dan beberapa hari kemudian ia dieksekusi mati bersama 14 orang lainnya oleh pemerintah NICA (Syahban Baso, wawancara 9-2-2008). Sumber atau keterangan yang diungkap tersebut menunjukkan secara jelas dan nyata bahwa peristiwa terbunuhnya Kontrolir Monsees beserta salah seorang pengawalnya, substansinya erat kaitannya dengan gerakan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Polewali. Sebab salah satu kebutuhan yang amat didambakan para pemuda pejuang untuk melawan NICA pada masa itu, ialah selain adanya semangat membutuhkan adanya senjata api, yang dapat diperoleh dengan cara apapun. Hal inilah yang menyebabkan terjadi kontak senjata (pertempuran) di Tonyaman, yaitu di mana para pemuda berusaha merebut senjata api peninggalan Jepang dan berhasil membunuh kontrolir Polewali bersama salah seorang pengawalnya (Asdy,2003:166). Sumber lainnya pun lebih memperjelas, bahwa pada 16 Agustus 1946 sekelompok pemuda pejuang di bawah pimpinan Pangiu dan Nyompa yang umumnya bersenjatakan bambu runcing, parang panjang atau pedang dan badik/ keris mampu menandingi, dan bahkan berhasil menghadapi pasukan NICA di bawah pimpinan Kontrolir Polewali, Monsees. Dalam kontak senjata atau pertempuran di Tonyaman itu, para 3
Sumber yang diutarakan ini, juga diberikan oleh beberapa narasumber atau informan.Antara lain: Djimma (pemilik rumah sekarang, yang dia tempati itu dahulu ada di depan rumahnya sebuah pohon mangga besar sebagai tempat untuk mengikat dan membunuh Kontrolir Monsees), Massang (anak kepala Kampung Tonyaman waktu peristiwa terjadi), Haji Rahim (bekas anggota TRI), Letnan I Basrie (pensiunan militer AD), Ali dan Ahmad (keduanya penduduk Tonyaman yang menetap di sekitar tempat terjadinya peristiwa). Sedangkan Pua Djamudding, merupakan saksi mata (melihat atau menyaksikan sendiri) terjadinya pembunuhan (penggorokkan) oleh pemuda merah putih hingga Kontrolir Monsees terbunuh.
pemuda pejuang berhasil membunuh kontrolir Polewali dan seorang pengawalnya serta dapat pula merampas senjata api milik mereka, masing-masing satu pucuk pistol dan RXZHQJXQ. Sedangkan di pihak kelompok pemuda pejuang tidak ada korban jiwa (Arsip NIT, No. 166). Aksi Balasan Pemerintah NICA Terbunuhnya Kontrolir Polewali G. Monsees bersama anggota pasukan pengawalnya di Tonyaman, menyebabkan pihak NICA di kawasan Mandar yang pusat pemerintahan atau markas utamanya di Kota Majene segera mengambil tindakan balasan. Tanggal 17 Agustus 1946, ia mengerahkan satu peleton tentara NICA/ KNIL ke Tonyaman dan menangkap semua lakilaki yang berada di lokasi peristiwa dan kemudian menyiksanya sampai di luar perikemanusian. Salah satu tangkapan mereka yang mengaku bernama Muhammad Ali, yang dianggap sebagai pelaku utama hingga terbunuhnya Kontrolir G. Monsees disiksa setengah mati tanpa melalui proses, sebab pada malam peristiwa itu para pemuda pejuang berteriak (ada persamaan nama); “ maju Ali”. Kemudian keesokan harinya, pada 18 Agustus 1946 pasukan NICA/KNIL segera melancarkan serangan terhadap markas pemuda pejuang di Silolo Paku Pajalele. Para pemuda pejuang di bawah pimpinan Pangiu yang umumnya bersenjatakan bambu runcing, parang pedang panjang, badik atau keris dan beberapa pucuk senjata yang mereka miliki dengan penuh semangat memberikan perlawanan mati-matian sehingga terjadi pertempuran yang sengit di antara kedua belah pihak. Akan tetapi karena adanya keunggulan persenjataan yang dimiliki oleh lawan, maka pada akhirnya pemuda pejuang segera mengundurkan diri dan beberapa di antara anggota mereka yang gugur dan tertangkap serta markasnya pun dibakar habis oleh pihak tentara NICA (Amir, 2010:184). Sebagian anggota laskar KRIS Muda dapat ditangkap oleh tentara NICA dan mereka disiksa secara biadab, dan kemudian menjalani hukuman pembuangan, antara lain : Sultan Pattani Batang, Baco Cina, La Pairing, Saruna, Sinia, dan Bengga. Sebelum menjalani hukuman pembuangan, 347
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 339—352 yaitu ketika aksi pembunuhan oleh pasukan Westerling melanda berbagai daerah di kawasan Mandar, mereka sudah dalam status tahanan jaksa dan berkas perkaranya sudah ditangani oleh pengadilan Polewali, menyebabkan luput dari pembunuhan massal pasukan Westerling. Sebaliknya Kontrolir pengganti G. Monsees di Polewali bernama H. Jonesse meminta dan mendesak agar mereka segera diserahkan kepada pasukan Westerling, tetapi pihak kejaksaan sama sekali tidak membenarkan atau mengabulkannya (Jusuf,1989:91). Peristiwa-peristiwa berikutnya, yaitu pada awal September 1946 seorang penyelidik dari kelompok atau kompi IV yang bernama Tola ditangkap oleh NICA di daerah Paku. Aparat NICA yang menangkap adalah yang bertugas di Bungin. Oleh karena itu, maka diadakanlah suatu rapat kilat pimpinan kelompok atau kompi IV Ambo Damma dengan para pemuda dan hasil kesepakatan bersama, yaitu besok malam markas aparat NICA di Bungin harus digempur, dengan niat dan tekad yang membaja bahwa tawanan harus dibebaskan dan kalau memungkinkan merampas senjata apapun. Keesokan harinya sekitar jam 10.00 berkumpullah semua anggota pasukan di Kampung Lombok, daerah Lembang sekitar 120 orang anggota pasukan di bawah pimpinan Ambo Damma. Sesudah makan siang berkumpullah semua pejuang, yang dikelilingi oleh komandannya yaitu Ambo Damma sebanyak tiga kali. Sesudah itu dikeluarkan beberapa orang dari barisan, yaitu Mangundang, Amba, Tanai, Billa dan Badusama, lalu berkatalah Ambo Damma, bahwa “saudara yang dikeluarkan tidak usahlah ikut, karena kalau ikut akan merepotkan saja”. Kelima orang anggota pasukan itu tidak mengerti apa makna teguran itu, sehingga mereka salah pengertian, karena mereka malu pada teman-temannya dan merekapun marah serta berkata bahwa “saudara laki-laki, kamipun juga laki-laki, kami sudah bertekad mau melawan penjajah dan bertekad untuk membebaskan atau melepaskan kawan kita yang tertangkap oleh musuh”. Karena itu berkatalah komandannya, bahwa”ya apa boleh buat kalau saudara mau ikut juga terserahlah pada saudara”. Sekitar jam 15.00 berangkatlah para pejuang dengan tekad 348
yang menyala-nyala. Jarak antara Lombok dan Bungin kalau melalui jalan raya sekitar 17 kilo meter. Namun para pejuang tidak melalui jalan raya, melainkan melalui hutan hingga mencapai markas NICA sekitar pukul 20.00. Sesampai ditempat itu, para pejuang segera menyerang dan berkecamuklah pertempuran selama sekitar dua jam. Meskipun para pejuang hanya bersenjatakan badik, tombak dan bambu runcing melawan senjata api otomatis. Pada pertempuran itu, para pejuang berhasil membebaskan tawanan musuh yang bernama Tola. Akan tetapi para pejuang juga gugur sebagai kusuma bangsa 5 orang anggota pasukan, yaitu mereka yang dikeluarkan dari barisan sewaktu mau berangkat: Amba, Tanai, Billa, dan Badusama mati di tempat, sedangkan Mangundang mata kakinya kena tembakan sehingga ia ditangkap dan dibunuh oleh musuh (Amir, 2010:185 ). Pada pertengahan September 1946, komandan kompi III, yaitu Pangiu memerintahkan pada pasukannya untuk menghadang dan melemparkan granat terhadap mobil NICA di tanjakan Mirring sekitar 11 kilo meter dari Polewali. Maka berangkatlah anggota pasukan antara lain: Jappu, Manggulita, Andi Pawallangi, La Hale, La Baba, Padulu, Djamadah dan lain-lain. Berhubung karena mereka belum berpengalaman dalam pertempuran, dan juga granat yang dibawa adalah granat yang dibakar dan digosok, sehingga ketika granat dilemparkan ternyata meleset dan jatuh di belakang mobil tentara musuh. Melihat granat tidak berhasil mengenai sasaran, para pejuang melarikan diri dan diberondong senjata dari belakang oleh musuh. Pada peristiwa itu, para pejuang tidak ada yang gugur, tetapi rakyat yang kebetulan ada di tempat itu ditangkap disiksa serta dibunuh, antara lain rakyat yang bernama Lerang. Pada akhir September1946, komandan kompi III, Pangiu disertai sekitar 17 orang anggota pasukan terhadap kedudukan NICA di daerah Binuang. Pada peristiwa tersebut, Wa Saira tewas dan anak buahnya melarikan diri, sementara pihak pejuang tidak ada korban jiwa (Arsip NIT, No. 166). Berikutnya, pada awal Oktober 1946 para pejuang dengan jumlah pasukan sekitar 40 orang di bawah pimpinan Nyompa dan Pangiu melancarkan satun serangan terhadap mata-mata
Peristiwa Tonyaman: 5HÀHNVL.. 6ULWLPXU\DWL
NICA dan pos polisi NICA di daerah Paku. Pada peristiwa itu, satu regu polisi NICA yang menjaga pos atau markas melarikan diri dan para pejuang berhasil menangkap dan membunuh mata-mata NICA. Sementara di pihak pejuang tidak ada korban jiwa. Tanggal 7 Oktober 1946, para pejuang di bawah pimpinan Masse dan Lande diperintahkan oleh komandan kompi II, yaitu Tarrua untuk mengadakan pengamatan di daerah perbatasan Massawa dengan Kalapadua. Namun, ketika pasukan sampai di Kalosi-losi tiba-tiba diserang oleh serdadu NICA/KNIL, sehingga terjadi pertempuran sengit antara kedua belah pihak. Setelah pertempuran berlangsung sekitar satu jam, kedua belah pihak masingmasing mengundurkan diri. Pada peristiwa itu, di pihak pejuang gugur empat orang, yaitu: Masse, Tangnga, Reken, dan Kadongboli, sedangkan di pihak musuh tidak diketahui. Namun empat orang mata-mata NICA yang ditangkap beberapa saat setelah peristiwa itu di bawa ke Riso (Taponga) lalu diadili. Setelah diadili keempat tawanan itu akhirnya dibunuh. Kemudian, pada 8 Oktober 1946 para pejuang sedang mengadakan pertemuan di Tabone, membahas penyerangan terhadap kedudukan musuh dalam Kota Polewali. Tibatiba mendapat serangan dari pasukan KNIL dan polisi NICA sehingga terjadi pertempuran. Namun karena pertempuran tidak seimbang, akhirnya para pejuang mengundurkan diri. Pada peristiwa di Tabong itu, kerugian di pihak pejuang gugur empat orang: Lattone, La Runa, Tola, dan seorang perempuan tukang masak, yaitu Tabara serta beberapa orang tertangkap oleh musuh antara lain Onjeng, Apo dan Tanah. Atas kegagalan rencana itu, maka pada 10 Oktober 1946, para pejuang mengadakan lagi satu pertemuan di Kelapadua untuk melancarkan serangan umum terhadap kedudukan musuh di Kota Polewali, dan waktu penyerangan ditetapkan pada tanggal 12 Oktober 1946 tengah malam. Pada hari yang telah ditetapkan itu, yaitu sekitar jam 05.00 pagi, pasukan KNIL/ di bawah pimpinan NICA Controleur Polewali, Yonasse, melancarkan serangan secara mendadak ke markas kompi II di Kelapadua yang dijadikan pusat pertemuan atau tempat bertemunya para pejuang serta markas
dalam rangka untuk serangan umum terhadap kota Polewali. Serangan yang dilancarkan oleh pihak musuh itu, mendapat perlawanan sengit dari para pejuang, sehingga musuh akhirnya mengundurkan diri ke Polewali. Pada peristiwa itu, kerugian di pihak pejuang , 21 orang anggota gugur sebagai kusuma bangsa dan beberapa orang ditangkap oleh musuh (Amir, 2010:188). Pada hari itu juga sekitar jam 13.00 pasukan KNIL/NICA dengan jumlah kekuatan yang lebih besar datang lagi ke tempat kejadian, tetapi tidak mendapati lagi para pejuang yang telah meninggalkan markasnya sebelumnya, sehingga markas tersebut dan segala perbekalannya dibakar habis oleh musuh. Keesokan harinya datang lagi dua mobil pasukan KNIL di sekitar tempat kejadian untuk mencari para pejuang, yaitu Badu yang kemudian ditembak mati karena tetap membisu ketika ditanya tempat persembunyian para pejuang. Dengan pengkhianatan salah seorang pejuang, maka pada 14 Oktober 1946, serdadu KNIL dengan kekuatan sekitar dua pleton mendatangi dan mengepung tempat persembunyian komandan kompi II, yaitu Tarrua bersama pengawalnya di Gua Salu Bayo. Oleh karena itu, maka terjadilah pertempuran sengit antara kedua belah pihak dan Tarrua bersama pengawalnya memberikan perlawanan sampai titik darah yang penghabisan pada akhir pertarungan mati-matian itu. Tarrua bersama kedua putranya, yaitu Sampeani dan Lira gugur sebagai kusuma bangsa. Perlawanan sengit dari para pejuang di daerah Polewali dan sekitarnya, tetap berlanjut sampai November 1946. Meskipun sebagian besar para pejuang telah gugur dalam pertempuran dan tertangkap lalu dijebloskan ke dalam penjara oleh musuh, seperti Andi Hasan Mangga tertangkap pada pertengahan November 1946. Sementara sisa-sisa pasukannya tetap melanjutkan perjuangan secara bergerilya dan ‘main kucing-kucingan”. Pada 3 Desember 1946, para pejuang di bawah pimpinan H. Umri dan Nyompa melakukan penyusupan secara besar-besaran ke dalam Kota Polewali untuk melancarkan serangan terhadap kantor Controleur Polewali dan markas polisi NICA serta penjara Polewali. Namun rencana penyerangan tersebut, 349
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 339—352 mengalami kegagalan karena letusan granat yang akan dijadikan sebagai tanda untuk memulai penyerangan, yang dilemparkan pada kantor Controleur tidak meletus, sehingga anggota pasukan mengundurkan diri secara teratur. Karena kegagalan itu maka semua pejuang merasa kecewa. Untuk mengobati rasa kekecewaan itu, para pejuang menyepakati untuk melakukan penyerangan terhadap penjaga Perkebunan Madatte, karena mereka diketahui memiliki satu pucuk senjata Karabyn dan penembak rusa. Penjaga perkebunan itu ialah A.P. Saris. Namun ketika penyerang tersebut dilakukan, yang didapat hanyalah senjata penembak rusa karena senjata Karabyn telah dibawa lari oleh A.P. Saris (Arsip NIT, No, 166). Di samping itu, para pejuang juga melakukan aksi-aksi pengrusakan kawat telepon, pengrusakan mesin listrik, pengrusakan jembatan, dan lain sebagainya. Oleh karena rentetan peristiwa penyerangan dan penghadangan serta aksi-aksi sabotase tersebut, maka tentara KNIL dan Polisi NICA semakin meningkatkan operasioperasi penangkapan terhadap para pejuang. Dari operasi-operasi yang dilakukan oleh serdadu Belanda itu, tertangkaplah antara lain; Andi Hasan Mangga, Alex Patola, Pene Dg. Pasanre, H. Ummarang, La Hamma, Pangiu, Tammalino, Nongngo, Salempang, Pinnikal, Labulan, La Gante, Ati Dg. Patoangin, Tonang, Manangi, Panjang, Pama dan Kati. Para pejuang yang tertangkap tersebut, sebagian besar ditembak mati, yang terdiri atas pemimpin dan anggota pasukan laskar pejuang. Sejak itu, perlawanan bersenjata di daerah Polewali dan serkitarnya praktis semakin menurun dan akhirnya dapat dilumpuhkan oleh musuh (Amir, 2010:190). PENUTUP Perlawanan rakyat Polewali Mandar terhadap kehadiran pemerintah NICA lewat pasukan Sekutu, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan sejarah perjuangan bangsa dan negara untuk mewujudkan kembali keutuhan dan identitas bangsa yang telah terpatri pada proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Dasar adanya 350
perlawanan di kalangan rakyat Polewali-Mandar yang dipelopori oleh para pemuda dan tokoh setempat terhadap pemerintah NICA, juga diilhami sifat dan suri toladan yang diperlihatkan oleh para tokoh pemimpin mereka, diantaranya A. Depu, Riri Amin Daud, A.R. Tamma. Memasuki tahun 1946, rakyat PolewaliMandar yang tergabung dalam berbagai kelompok atau bentuk organisasi perjuangan mulai melancarkan perlawanan secara fisik (bersenjata) terhadap usaha-usaha pemerintah NICA, sebagaimana pula halnya gerakan perlawanan di daerah lainnya yang ada di wilayah selatan. Persenjataan tradisional seadanya digunakan untuk melawan tentara NICA. Di samping itu, mereka pun berusaha memperoleh senjata api dengan berbagai cara bahkan dengan mengorbankan nyawa mereka sendiri. Ketika sekelompok perlawanan rakyat yang ada di Polewali dan sekitarnya memasuki daerah Tonyaman pada Jumat malam, tanggal 16 Agustus 1946 untuk mengambil dua peti senjata api milik bekas pendudukan Jepang, terjadi pertempuran di antara mereka melawan tentara NICA. Dalam pertempuran ini, pihak tentara NICA dipimpin langsung oleh Kontrolir Polewali G.Monsees tertangkap dan kemudian dibunuh bersama salah seorang pengawalnya bernama Sabakodi. Peristiwa terbunuhnya Kontrolir G. Monsees bersama salah seorang pengawalnya ini, oleh pihak pemerintah NICA sesuai keterangan atau laporan yang dibuatnya adalah merupakan ulah dari sekelompok penduduk liar atau perampok hendak mengambil senjata milik Jepang yang tertanam di Tonyaman. Sudah merupakan suatu kebijaksanaan politik mereka bahwa jika seorang tokoh atau individu maupun kelompok-kelompok pejuang yang berusaha mempertahankan kemerdekaan, mengambil suatu tindakan atau aksi perlawanan menentang kebijaksanaan politik yang diterapkan, maka oleh pemerintah NICA akan mencap atau menyebutnya sebagai: “ penduduk liar, perampok, perusuh” dan sebagainya. Ini adalah pendapat dari Pemerintah NICA, sedangkan kalau dilihat dari sumber-sumber atau keterangan yang lainnya maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa peristiwa ini sebenarnya erat hubungannya
Peristiwa Tonyaman: 5HÀHNVL.. 6ULWLPXU\DWL
dengan gerakan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Polewali. Dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan mereka sangat membutuhkan senjata, mereka hanya mempergunakan senjata tradisional seperti golok, keris, bambu runcing dan lain sebagainya, bagaimana mereka bisa melawan NICA yang mempergunakan senjata api. Untuk itulah mereka berusaha untuk mendapatkan senjata dengan cara apapun, seperti berusaha mendapatkan senjata api peninggalan Jepang dan berhasil membunuh Contreleur Monsees bersama salah seorang pengawalnya. Jadi sebetulnya peristiwa ini bukan hanya peristiwa yang kebetulan saja, atau kejahatan yang dilakukan oleh penduduk liar, perampok, perusuh, tetapi ada kaitannya dengan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kehadiran aparat NICA bersama pasukaan sekutu itu mendapat reaksi penolakan dari bangsa Indonesia, begitu juga dengan rakyat Polewali. Hal ini disebabkan karena mereka menerima dan mendukung sepenuhnya proklamasi kemerdekaan itu secara spontan tentunya didasari oleh kenyataan, bahwa selama dalam pemerintahan kolonial Belanda mereka merasakan kemerdekaan sebagai hak mereka terkungkung dan hidup penuh penderitaan akibat tindakan kolonialpun bertindak tanpa memperhatikan lingkungan kultural dari mereka pula. Segala sendi kehidupan mereka telah dirampas oleh pemerintah kolonial Belanda. Kenyataan itulah reaksi penolakan dari masyarakat di Sulawesi Selatan oleh pejuangpejuang kemerdekaan Indonesia terjadi, seperti peristiwa Tonyaman ini dengan terbunuhnya Contreleur Monsees. Dari peristiwa ini menghantar kita bahwa sesungguhnya peristiwa ini merupakan suatu gambaran menyangkut sikap rakyat di daerah itu, mereka merasa sakit hati, kecewa dan dendam yang terpendam karena penderitaan selama penjajahan kolonial ini sehingga mereka melakukan aksiaksi untuk menyerang NICA. Seperti peristiwa terbunuhnya Kontrolil Monses ini.
DAFTAR PUSTAKA Amir, Muhammad. 2006. Peranan Laskar Kris Muda Mandar dan GAPRI dalam Perjuangan Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Repubik Indonesia di Daerah Mandar (Sulawesi Barat). Makassar: Laporan Penelitian, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar. Amir, Muhammad. 2010. .HODVNDUDQ di Mandar 6XODZHVL%DUDW.DMLDQ6HMDUDK3HUMXDQJDQ 0HPSHUWDKDQNDQ.HPHUGHNDDQ. Makassar: Dian Istana. Arsip Resident Zuid Celebes, I:1, Surat L.L.A. Maurenbrecher Tanggal 22 Agustus 1946, No. 176/ geheim, en de Tim: Fus. Sabakodi. Koleksi Arsip dan Perpustakaan Propinsi Sulawesi Selatan, Makassar. Arsip Resident Zuid Celebes, i:2, Rapport Sangkala Tanggal 19 s/d 23 Agustus 1946, No. 180/ Geheim, Onderwerp: Moord op den Controleur van Polewali G. Monsees en de Tim: Fus. Sabakodi. Koleksi Arsip dan Perpustakaan Propinsi Sulawesi Selatan, Makassar. Arsip Negara Indonesia Timur (NIT) No. 166, Koleksi Arsip dan Perpustakaan Propinsi Sulawesi Selatan, Makassar. Arsip/Dokumen Kantor Veteran RI Makassar, No. Register 63/III/1958. Asdy, Ahmad, H. 2003. 0DQGDU'DODP.HQDQJDQ Tentang Latar Belakang .HEHUDGDDQ $UDMDQJ%DODQLSD.H Bumi Tipalayo: Yayasan Maha Putra Mandar. Jusuf, Muh, 1989. “Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Daerah Balanipa Mandar”. (Skripsi). Ujung Pandang: Fakultas Sastra Unhas. Kadir, harun,1984. 6HMDUDK 3HUMXDQJDQ .HPHUGHNDDQ 5HSXEOLN ,QGRQHVLD GL 6XODZHVL 6HODWDQ . Ujung Pandang: Kerjasama Bappeda dengan Unhas. Nasution, A. H. 1986. TNI- Tentara Nasional Indonesia, Jakarta: Seruling Mas. Pance Jud, Maemunah, H. 1982. Sejarah Kelaskaran GAPRI 531 di Afdeling Mandar Sulawesi Selatan 1945-1950: Makalah 351
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 339—352 Seminar Sejarah Perjuangan Rakyat Sulawesi Selatan Menentang Penjajahan Asing, Ujung Pandang. Pawiloy, Sarita. 1987. $UXV 5HYROXVL GL 6XODZHVL6HODWDQUjung Pandang: Dewan Harian Angkatan 45 Propinsi Sulawesi Selatan.
352
Poelinggomang, L. Edward, 2002. Perjuangan Kemerdekaan Indonesia: Makalah Seminar Temu Tokoh , Makassar. Sewang, Ahmad 1980. “Peranan Islam Dalam Pergerakan Kris Muda Di Daerah Mandar”. (Skripsi). Ujung Pandang: Fak. Adap IAIN Alauddin Ujung Pandang.