ISSN 1411-5794
lURNAL EICONOMI DAN MAttAlfMfN
Vol. 1, No.2, Desember 2000,127-138
PERILAKU EKONOMI AKTOR POUTIK DALAM PROSES VOTING • The Economic Behavior of Political Agents in Voting Process
l ose Rlzal loes oe' Universitas Gajayana Malang
The foundation of a democratic government is that it respects the will of the people as expressed through the ballot box. Unfortunetely, these lofty ideals are not so easily implemented. Strategic interactions arise in voting, just as in other multi person game. Neither majority rule nor any other voting scheme can solve these problem, for there does not exist anyone perfect system for aggregating up individuals' preferences into a will of the people. This deep resu lt is due to Kenneth J. Arrow. His theorem demonstrates logically that any system for aggregating unrestricted preferences over three or more alternatives into a group decision cannot simultaneously satisfy the following minimally properties: (1) Collective Rationality, (2) Unrestricted Domain, (3) Pareto Principle, (4) Independence of Irrelevant Alternatives, and (5) Non-dictatorship. This study is about strategic voting. How should people behave In voting process? My answer does not deal with ethics or etiquette. Nor do I aim to compete with phi losophers or preachers. My theme, although less lofty, affects the lives of all of us just as much as do morality and manners. All of us may be strategiests, whether we like it or not.
Kata k unci : public choice, Arrow's impossibility theorem, voting, manipulasi.
I have defined democracy as a system of decision -making in which all those who are subject to the decisions made have equally effective power to determine the political outcomes of the decision -making. (James L. Hyland, 1995:81)
1 . PENDAHULUAN Dalam masyarakat demokratis, voting sering dinampakkan sebagai prosedu r untuk menentukan keputusan-keputusan publik, utamanya ketika • Penulis berterima kasih kepada Drs. Ahmad Jamll, MA (Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada), atas kesempatan untuk berdlskusl dan membaca IIteratur tentang topik Ini.
127
Perilaku Ekonoml Aktor PoIIUk dalam Proses VotIng
129
The subject matter of public choice is the same as that of political sci· ence: the theory of the state, voting rules, voter behavior, party poll· ties, the bereaucracy, and so on. The methodology of public choice Is that of economics, however. The basic behavioral postulate of public chOice, as for economics, is that man is an egoistic, rational, utility maximIzer. PC berbeda dengan ekonomlka politik tradisional, yang menganggap bahwa " manusia politik" (political man) selalu pedull dengan kepentingan publik dan sementara manus!a ekonomi (economic man) peduli dengan kepentingan pribadi. Namun, PC menolak dikotomi tersebut. Dasar pemikiran inilah yang menggelitik Buchanan & Tullock (1962:20-23) seraya menyoal mengapa kita harus menganggap bahwa individu atau kelompok harus mengubah perilakunya (changes gear) ketika berplndah dar! masalah pribadi (private sphere) ke masalah publik (public sphere), sementara la adalah orang yang sama. Kalau kita mengetahui bahwa ia adalah orang yang sama, tentu masuk akal jika klta menganggap bahwa kepentingankepentingannya juga sama. 2 PC bukanlah suatu metode dalam arti yang blasa kita dengar, dan bukan pula seperangkat analisis seperti statistika atau ekonometrika. Ia adalah sebuah perspektif untuk bidang politlk, yang muncul dart pengem· bangan dan penerapan seperangkat metode ekonomika terhadap berbagai renomena non·pasar dan proses pembentukan kebijakan publik , Dengan kata lain, PC berbicara tentang bagaimana proses folitik terjadinya keseimbangan permintaan dan pemasokan barang pubUk. Meier (1995:579·585) menjuluki PC sebagai ekonomika politik mo· dern . Meier mengkontradiksikan PC dengan ekonomika politik tradisional. Pemerintah tidak dlasumstkan secara mutlak sebagal Platonic guardian, yaitu semacam makhluk yang menempatkan idealisme dl atas self-interest, tapi ia bisa menjelma menjadl Leviathan state atau bureaucratic state. Pendekatan ekonomika politik konvensional memandang bahwa ekonom berperan sebagai konsultan dan pemasok anallsis-anallsls ekonomi ke dalam proses pemutusan kebijakan. Berdasarkan anallsis ekonom, pengambll kebijakan menentukan policy choice. Ekonomika politik konvensional tidak menyoal "kekuatan lain" yang mung kin masuk dalam proses penentuan itu. Sedangkan pendekatan PC berusaha menginternalisasi perilaku pengambil kebijakan, yang menu rut pandangan PC dipengaruhi oleh society· centered forces dan state-centered forces. Meier
2 Meskipun bukanlah James M. Buchanan yang pertama kali menganalisis perilaku ekonomi para aktor politik, tapl sejak Buchanan para pendukung analisis tersebut mengelompok menjadi kaukus public choice school, Oleh karena kontribusinya yang memperluas cakrawala ekonomika, Buchanan dinobatkan sebagai pemenang Nobel bidang ekonomika 1986. 1 Topik- toplk yang dicakup oleh PC, dapat dibaca dalam, misalnya Mueller (1976), Mueller (1979), Bonner (1986), Inman (1987:647·777), Stiglitz (1988:bab 6·8), Buchanan (1991:bab 5).
Jurnal Ekonoml dan ManaJemen 1(2), Desember 2000
1 130
J . R. laesae'
melu kiskan proses pembentukan kebijakan publik sepertl pada Gambar 1. GAM BAR 1
For masi Keb ljakan Pub llk State-centered forces: A. Technocrats B. Bureaucrats C. State interests
~
I
Pol Milk":rs
SocIety-centered forces: A. Classes B. Interest Groups C. Parties and VotelS"
r
Policy Choice
H
Implementation
r
Potlcy
Outcome
/
Sumber: Meier (1995:581) .
Paradigma PC menganggap bahwa indivldu atau politisi memiliki sedikit insentif dalam proses voting. Mangapa? Ketika sebuah grup atau keiompok politisi hendak mengadakan aksi kolektif (collective action) untuk menetapkan seorang kandidat atau sebuah kebijakan melalui voting, maka outcome dari proses voting tersebut akan menjadi collective good yang berimpllkasi kepada collective incentive untuk dibaglkan secara merata kepada masing-rnasing anggota grup.4 Dalam grup, individu yang rnengeluarkan effort tinggi akan memperoleh insentif yang sarna dengan individu yang mengeluarkan effort rendah. Blla tidak ada pembedaan terhadap effort tinggi dan effort rendah, politisi atau anggota grup yang rasional akan berfiklr: "Mengapa saya harus bersusah-payah untuk sesuatu yang nantinya akan menjadi collective good?" Masalah yang rnuncul dar! proses tersebut adalah perilaku free-riding dar; sebagian anggota grup yang merasa bakal memperoleh benefit yang sama dari outcome voting, meskipun mereka mengeluarkan effort tinggi . 5 Menurut Olson (1971: 5-52), adanya selective incentive yang diterima oleh sebagian anggota grup, akan menjamin efektivitas aksi kolektif dalam rnewujudkan collective good. Berdasarkan kerangka teorl grup dari Olson di atas, kelompokkelompok kepentingan bisa mempengaruhi keputusan politik melalui penyediaan selective incentive. Mereka berusaha memberikan insentif selektif kepada sebagian politisi atau se bagian calon voters, yang memillkl ke" Menurut Buchanan & Tullock (1962:95): "Collective action is viewed as the action of individuals when they choose to accomplish purposes collectively rather than individually, .. " 5 Jadi, ketika se mua anggota grup (seperti pemerintah, dewan perwakilan, atau birokrasi) Ingin menjadi free rider, maka aksi kolektir untuk memperoleh collective good tidak akan optimal.
Jurnal fkonomi dan Ma najemen 1 (2), Oesember 2000
Perllaku Ekonoml Aktor Politlk dalam
Pro~
Voting
131
pentlngan yang sarna dengan kelornpoknya. lnsentlf yang mereka berikan bisa berupa penyediaan Informasl tentang suatu issue, penganugerahan jamlnan sosia l, penyedlaan alat transportasi pada saat polling day, atau bahkan uang suap (Stiglitz, 1988:165-166).
III. TEOREMA ARROW Berhubung dengan proses pembentukan kebljakan publik, PC peduli dengan pertanyaan: "Bagalmana kebijakan kolektlf diperoleh?" "Apakah kebijakan itu sudah melalul proses transformasl terhadap kepentingan masyarakat?" Pertanyaan-pertanyaan ini menggiring ekonomika menjelajahi wilayah ilmu politik , dengan penekanan pada proses politik pembentukan kebijakan publik. Kenneth J. Arrow, pemenang Nobel bidang ekonomika 1972, mengatakan bahwa tidak ada proses politik penentuan kebijakan yang demokratls. Prosedur transformasi yang demokratls hanyalah angan-angan belaka. Untuk sampai kepada kesimpulan inl, Arrow mend"hulukan lima kondisi bagi prosedur transformasi yang ideal dan rnemenuhi kaidah rna yoritas, yaitu (Arrow, 1963:22-33 ): 1. Collective Rationality (C). lndividu-i ndividu yang terlibat dalam penentuan social choice harus harus dapat membandingkan berbagai pilihan-pilihan yang tersedla untuk kemudian menghasilkan collective rank. Agar bisa dlranking, pilihan-pilihan yang tersedla harus menghasilkan hubungan antar-pilihan yang transitif, konsisten, dan tidak memblngungkan. Maksudnya, jlka A lebih disukai daripada 8, S lebih disukal daripada C, maka A harus lebih disukai dibanding C.
2. Unrestricted Domain (U) . Prosedur penentuan social choice harus menghargai, dapat menampung, dan mampu mengatasi segala kemungklnan bentuk urutan (ordering) preferensi indivldu. Misalkan Alif meranking ABCDE, dan Amin ACOE . Prosedur harus menghasilkan ranking kolektif, walaupun Amin menganggap tabu memasukkan 8 dalam rankingnya. 3. Pareto Principle (P). Jika semua pemilih menyukai A ketimbang B (a papun derajad kesukaannya), maka urutan kolektlf harus menempatkan A di atas B. Misalkan Allf meranking ABCDE, Amin ACBDE, dan Ahmad CASDE. Dengan prosedur tertentu dihasilkan ranking kolektif ABCDE, di mana A terletak di atas B. Ketika Amln mengubah ranklng nya dari ACBDE menjadi ADBCE (posisi A dan B tetap), maka ranking kolektif harus tetap menempatkan A di atas B. 4 . Independence of Irrelevant Alternatives (I). Ranking kolektif tiap pasang pilihan, katakan A dan 8, hanya tergantung pad a ranking indi vidual A dan B saja. Misalkan ada ranking kolektif ABCDE yang )umal Ekonoml dan Manajemen l(l), Desember 2000
132
J,
R. laesae'
disepakati semua pemilih. Kemudian B "mengundurkan dlri " dan proses transformasi diulang. Menurut kondisi Ini, hasil transformasl kedua harus menghasilkan ranking kolektif ACDE.
5. Non-dictatorship (D). Tidak ada satu orang (kelompok) pun yang mampu mengontrol hasll akhir. Mayoritas menyukai A bukan karena satu orang (kelompok) menyukai A. Menurut Arrow, prosedur transformaSi yang ideal dan demokratis haruslah memenuhi lima kondisinya. Sayangnya, dengan menggunakan logika matematika, bellau berhasil mendemonstrasikan bahwa hanya slstem diktatorial yang mampu me menu hi seluruh kondisinya. Karena per;laku diktatorial mung kin bisa memaksakan kehendak dalam proses transformasi. Kesimpulan Ini dikenal dengan sebutan Arrow's impossibility theorem. 6 Teorema Arrow segera mendapat reaksl dari kalangan filosof, pakar Ifmu politik, dan ekonom. 1 Kalangan filosof gellsah. Doktrin etis mereka mengatakan bahwa rightness tindakan tergantung pad a happiness manu sia t sementara filosof butuh metode agregasi preferensi individu yang obyektif. Pakar ilmu politik meninjau kembali berbagai metode voting yang ada, sembari berusaha mendisain metode yang memenuhi kondisi Arrow. Semen tara ekonom bertanya-ta n ya apakah kebijakan ekonomi publik benar- benar mencerminkan pilihan publik (social choice).
IV. VOTING & MANIPULASI secara teoritis, Arrow menyoal: "Apakah ada social welfare function ( sWF) yang bisa memuaskan mayoritas masyarakat?" sWF merupakan prosedur transformasl profil preferensi masyarakat menjadi ranking sosial (luenberger, 1995:358- 359). Dalam ekonomika publlk, prosedur int masuk dalam wacana teori-teori voting. Metode voti ng adalah teknik bagaimana preferensi individu-individu diagregasikan sedemikia n rupa sehingga menjadi profil preferensi masyarakat.
Karya seminal Arrow 'Social Choice and Individual Values' dipublikasikan pada tahun 1951 (edis! 1) dan 1963 (edisi 2) . logika matematika Arrow nampaknya belum tergoyahkan (Iihat, misalnya, Vickrey (1960) ; Sen (1970 : 41 ~ 46) ; Mueller ( 1979: 184- 188); Steen (1980), luce & Raiffa (1985 :339-340» . Atas kontribusinya, Arrow dinobatkan sebagal pemenang Nobel Ekonomlka tahun 1972. 7 Untuk sampai pada teoremanya, Arrow menggunakan fungsi preferensi ordinal. Salah satu upaya menghlndar darl "jebakan Arrow" adalah dengan pendekatan kardinal, namun ternyata berakhir dengan Arrow's impossibility (lihat Sen (1972:118-130) dan Samuelson (1972».
(0
)umal Ekonomi dan Manajemen 1(2), Desember 2000
133
Perllaku Ekonoml Aktor Polltik dalam Proses Voting
Metode Voting Mayoritas Jika ada dua alternatif, yang paling diminati (the most preferred) dan menjadi pemenang akan mudah ditentukan yakni dengan kaidah 50 + 1. Namun ketika ada tlga atau lebih pilihan yang dipertimbangkan, dan untuk menjamin bahwa satu alternatif benar-benar diminati oleh mayoritas, maka medan pergulatan antar-kandidat harus dipersempit (narrowed down). Artinya, dari sekian banyak alternatif, harus dilakukan perbandingan antar-dua-alternatif (pairwise comparison). Misalkan kita hendak menentukan sebuah kebljakan dari tiga alternatif yang tersedia. Setiap kelompak atau partai berpeluang sarna untuk menentukan kebijakan yang dianggap penting atau one party one vote. Kebijakan yang diambil (policy choice) adalah yang didukung oleh mayoritas partai. Katakanlah ada voting yang diikuti oleh tiga partai: Merah, Kuning, dan Hijau. Kandidat kebijakan yang hendak divoting adalah A, B, dan C. Seti ap pemilih (voter) terikat pada partai, dan ketua panitia (chairman) tidak berwenang memutus ikatan itu. Semua partai menyepakati tiga skala preferensi, yaitu: sa ngat penting (yes), cukup penting (dou btful), dan tidak penting (no).a Profil preferensi voting ini dilaparkan dalam Tabel 1 berikut. TA BEL 1 Votin g Mayoritas Partai Merah
Partai Biru
Partai Hij au
Sang at penting
A
B
C
Cukup penting
B
C
A
Tidak penting
C
A
B
Anggota =
3 orang
2 orang
2 orang
Kebijakan mana yang dipilih? Partai Merah mementingkan A, Kuning rnemilih B, dan Hijau menyukai C. Kalau profilnya demikian yakni tidak ada pemenang mayoritas, pengambilan keputusan bisa dilakukan dengan agenda seperti berikut :
Of negara-negara demokrartis seperti Amerika Serikat, upaya penentuan kebijakan dengan preferensl yes-no tidaklah po puler. Oi antara yes dan no ditempatkan preferensi doubtful atau status quo. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari dlkotomi yang menjurus kepada social polarization. Namun, polarisasi yang tajam dalam slstem dwi-partal memberlkan insentif bagi kandidat yang lebih menguasai informasl untuk mengambil " posisi tengah." Baca anal isis McKenzie & Tullock (1981: 159- 174) pada bab 10 tentang "Presi dential Elections. "
8
Jurnal fkonoml dan Manajemen 1 (2), Desember 2000
134
J, R.
Pemenang
Pendukung
A lawan B
A
Partai Merah dan Hljau
B lawan C
B
Partai Merah dan Biru
A lawan C
C
Partai Biro dan Hijau
laesae'
A mengaiahkan a, B mengalahkan C, tapi C mengalahkan A. Seharusnya C dikalahkan A, bukan sebaliknya. Ini berarti hubungan antar- kandidat tldak transitif dan melanggar syarat Arrow pertama-co/ective rationality. lstilah lain intransitivitas ini adalah siklus voting (voting cycle). Menurut Blair & Pollak (1983), jika dua atau lebih kebijakan hendak diranking, dan tidak ada wewenang veto, maka slklu5 semacam ini sullt dihindari. Bagi Bonner (1986:76), agenda semacam ini ..... open to manipulation by a chairman or anyone who controls the agenda. '"
Metode Voting Pluralitas Metode ini atau first past the post, didasa rkan pada aturan one man one vote, bukan one party one vote . Kandidat akan dipilih jika didukung oleh suara terbanyak . Misalkan ada 21 suara yang dikatagorikan menjadi tiga kelompok: Tipe - l, Tipe-2, dan Tipe-3, dengan profil preferensi seperti
p.d. T.bel 2. TABEL 2
Voting Pluralitas Tipe - 1
Tipe-2
Tipe-3
Sangat penting
B
A
C
Cukup penting
C
B
B
Tidak penting
A
C
A
Jumlah suara ""
9
10
2
Kebijakan A menang, karena didukung 10 orang. Tipe-l dan Tipe-3 harus pandai menyembunyikan kesedihannya . Gejala voting cycle jelas tid ak ada. Masalahnya adalah konstituen dari dua (atau lebih ) kandidat yang memiliki pandangan ideologis yang sama , bisa dikalahkan oleh satu kandidat. Andaikan pemilih Tipe- l dan Tipe-3 m emiliki kesamaan ideologis dan pemilih Tipe- l (atau pemilih Tipe-3) tahu sebelumnya bahwa A bakal didukung 10 orang, mereka blsa melakukan jual -beli suara (vote trading) atau berkoalisi (Buchanan & Tullock, 1962:155-158) dengan Tipe-3, untuk melancarkan jalan B menjadi pemenang. Dengan membeli sua ra Tipe-3, B akan memperoleh 11 suara dan A mengantongi 10 suara. Tipe-3 akan merasa lebih beruntung dengan kemenanga n B, ketim bang A .
Jurnal Ekonomi dan Manajemen 1(2), Desember 2000
135
Perilaku Ekonomi Aktar Pol/tik dalam Proses Voflng
Metode Voting Poln Prinsip metode Ini sama dengan metode pluralltas, yakni satu pemillh satu suara. lika ada k kandidat, urutan pertama ( teratas) diberi poin k, urutan kedua diberi poin k - I, urutan ketiga k - 2, dan seterusnya. Selanjutnya poin-poin itu dikalikan dengan jumlah pem llih menurut katagorinya. Total suara kandidat adalah penjumlahan pOin-poln yang sudah dikalikan itu; dan kebijakan publik ditentukan oleh banyaknya jumlah poln. 9 Metode ini adalah gagasan Jean-Charles de Borda (1733-1799), fHosof Prancis. Namun ia waspada, dengan mengatakan (dalam Feldman, 1979 :3 18): " My scheme is only intended for honest men." Berhubung dengan kewaspadaan Ini, kita coba ' paksakan' D dan E masuk daftar kandidat (Tabel 2), sehingga profil preferensi metode menjadl seperti pada Tabel 3. TABEL 3 Voting Poln 1 Tipe- l
Tipe -2
Tipe-3
Kandidat
A (5)
B (5)
C (5)
A - 29 pain
B (4)
C (4)
A (4)
B - 28 pain
C(3)
A (3)
B (3)
C"" 27 pain
0(2)
0(2)
o
o "" 14 pain
E (1)
E (1)
E (1)
3 pemilih 2 pemilih
(2)
E=7poin
2 pemilih
Kolom paling kanan dalam Tabel 3 diperoleh dengan cara 3x5+ 2x3+ 2x4 = 29untukA 3x4 + 2x5 + 2 x]:: 28 untuk B 3 x 3 + 2 x 4 + 2 )( 5 = 27 untuk C 3)( 2 + 2 )( 2 + 2 )( 2 - 14 untuk D 3x 1
+ 2 x 1 + 2 x 1 - 7 untuk E
Tabel 3 menunjukkan bahwa prinsip Pareto (syarat Arrow ketiga) terpenuhi,lo karena mayorltas (3 pemilih Tlpe- l dan 2 suara Tipe-3) Dalam titeratur tertentu, metode in! disebut dengan metode rank order. Menurut ekonomika, keselmbangan atau kondlsl Pareto terjadi ketika peningkatan kesejahteraan satu Individu menyebabkan peningkatan kesejahteraan sosial, atau setidaknya tidak membuat penurunan kesejahteraan indivldu lainnya. 9
10
Jumal Ekonomi dan Manajemen 1 (2), Desember 2000
136
J. R. Jaesoe'
menempatkan A di atas 6. Nampak bahwa kandidat 0 dan E tidak diung· gulkan (underdog) oleh semua katagori pemilih. Misalkan entah karena apa, voting harus diulang. Katakanlah karena B keluar atau dikeluarkan dari pencalonan. Jika dalam voting kedua semua pemilih jujur, hasilnya adalah dalam Tabel 4 berikut. TABEL 4 V oting Po in 2 Kandidat
Tipe-!
Tipe-2
Tipe-3
A (4)
C (4)
C (4)
c-
29 poin
C (3)
A (3)
A (3)
o-
2S pOin
D (2)
D (2)
D (2)
A = 24 poln
E (1)
E (1)
E (1)
E = 9 poln
3 pemilih
2 pemitih
2 pemllih
Ketika semua pemilih jujur (me ranking seperti voting pertama tapi tanpa B), hasil voting kedua dalam Tabel 4, telah " menyodok" kebijakan C ke urutan teratas, seraya menurunkan kebijakan A ke urutan ketiga (bandi ngkan dengan Tabel 3). Padahal, ada kondisi Pareto, yakni semua tipe pemilih menempatkan A di atas O. Anehnya ranking kolektif menempatkan A di bawah O. Ini berarti ada pelanggaran terhadap syarat Arrow keempat-independence of irrelevant alternatives, yang menyatakan bahwa jika semua pemilih menyepakati ranking kolektif ABCDE, dan kemudian B "dihilangkan," ranking kolektif harus menjadi ACDE, bukan CDAE. Dengan kata lain, posisi relatif A tidak hanya tergantung pada 6, tapi juga tergantung pada C, D, dan E. Blair & Pollak (1983) menyebut syarat Arrow keempat dengan pairwise determination.
V. PENUTUP Membandingkan dan menentukan preferensl tidaklah mudah, karena ia melibatkan penilalan subyektif Uudgment} terhadap kriteriakriteria non-fisik (intangiable) . Kata Steen (1980:315), "Elections will always remain a matter of passion more than logic, based on belief more than on reason." Misalkan dalam memilih anggota parlemen atau presiden, akan terjadi peristiwa yang tak terhindarkan dalam benak pemillh, yakni peristiwa pencampuradukan antara, misalkan, kriterla Intelektual, kriteria
]ika kondisi ini tidak terpenuhl, maka la dinamakan Pareto-inefficient. Penamaan kondisi inl untuk mengenang Vllfredo Pareto (1848 · 1923), soslolog dan ekonom bangsa Itali . Jurnal Ekonomi dan Manajemen J (2), Desember 2000
Perifaku Ekonomf Aktor Politik dafam Proses Voting
137
kemampuan mengelo la hubungan Internaslonal, dan kriteria sehubungan dengan kharisma kandidat. Mungkin ada benarnya pernyataan Arrow, bahwasannya tidak ada prosedur voting yang ideal dan rasional. Bag! Arrow, rasionalitas kolektif atau transitivitas ada lah sangat penting. Luce & Raiffa (1985:25) bisa memakluminya: No matter how intransitivitles arise, we must recognize that they exist, and we can take only little comfort in the thought that they are an anathema to most of what constitutes theory In the behavioral sciences today. Terlepas dari beberapa asumsi Arrow yang sang at ambisiu 5, rasanya Arrow hendak menggiring kita untuk berpikir secara deterministik (diktator atau demokratis ), walaupun beliau tidak menyatakan begitu. Realitas dunia dan perilaku manusia tidaklah bersifat " hitam - putih," melainkan sangat sto kastik (probabilitas). Terlalu berani kalau kita mengatakan bahwa kandidat A adalah 100% balk, atau 100% jelek. Jlka semua orang berpikir secara determinlstik, dapat dibayangkan betapa ributnya proses penentuan kebijakan publik . Yang terpentlng adalah kesadaran bahwa di antara dua siste m yang secara diametris saling kontradiktif, pasti ada spektrum kontinyu. Untuk menemukan dan menyepakatl satu titik, haru s ada kornpromi. Demokrasl adalah process of becoming, bukan state of being _
Dattar Pustak a Arrow, K. J. (1963). Social Choice and Individual Value . Edis! 2. New Haven : Yale University Press . Baker, S. & Elliot, C. (1990) . Readings in Public Sector Economics. Lexington, Mass.: D.C. Heath. Bla ir, D. H. & Pollak, R. A. (1983). " Rational Collective Choice." Dalam Baker, S. & Elliot, C. (eds.). op. cit., 331-342. Bonner, J. (1986) . Politics, Economics and Welfare: An Elementary Introduction to Social Choice. Brighton, Sussex: Harvester-Wheatsheaf. Brams, S. J. & Fishburn, P. C. (1991). "Alternative Voting Systems." Dalam Meisel, S. L. (ed.). Political Parties an Elections in the United States: An Encyclopedia . Vol. 1. New York: Garland. 23-31. [http ://bcn.boulder.co.us/ government/approvalvote/altvote.html] 1 November 1999. Buchanan, J. M. & Tullock, G. (1962) . The Calculus of Consent. Ann Arbor: The University of Michigan Press. Buchanan, J . M. (1991) . Constitutional Economics. London : Basic Blacwell. Dixit, A. K. & Nalebuff, B. J. (1991) . Thinking Strategically: The Competitive Edge in Business, Politics, and Everyday Life. New York: W. W. Norton. Downs, A. ( 1957). An Economic Theory of Democracy. New York: Harper &. Broth -
.
.,;.
Feldman, A. (1979). "Mani pulating Vot ing Procedures." Dalam Baker, S. & Elliot, C. (eds.). op. Cit., 316-330.
)urnal Ekonoml dan Manajemen 1 (2), Desember 2000
138
J. R. loesaef
Hyland , J. L. (1995). Democratic Theory: The Philosophical Foundations. Manchester: Manchester University Press. Inman, R. P. (19B7). "Markets, Government, and the New Political Economy," Dalam Auerbach, A. J. &. Feldstein, M. (eds.). Handbook of Public Economics. Volume II, Amsterdam: North-Holland, 647- 777 Luce, R. D. &. Raiffa, H. (1985, cetak ulang). Games and Decisions : Introduction and Critical Survey. New York: Dover Publications. Luenberger, D. G. (1995). Microeconomics Theory. New York: McGraw-HilL McKenzie, R. B. &. Tu llock, G. (1981). The New World of Economics: Explorations into the Human Experience. Edisl 3. Homewood, illinois : Richard D. Irwin. Meier, G. M. (1995). Leading Issues in Economic Development. Edisl 6. New York: Oxford University Press. Mueller, D. C. (1976) . "Public Choice: A Survey ." Journal of Economic Literature. Vol. 16 (2), 395-433. Mueller, D. C. (1979). Public Choice. Cambridge: Cambridge University Press Olson, M. (1971). The Logic of Collective Action : Public Goods and the Theory of Groups. Cambridge: Harva rd University Press. Samuelson , P. A. (1972). " Arrow 'S Mathematical Politics." Dalam Merton, R. C. (ed .) . The Coffected Scientific Papers of Paul A. Samuelson. Volume III. Cambridge: MIT Press. Sen, A. K. ( 1970 ) . Collective Choice and Social Welfare . San Francisco: Holden-Day. Steen, l. A. ( 1980) . " Election Mathematics : Do All Those Numbers Mean What They Say?" Dalam Baker, S. & Elliot, C. (eds.). op. cit., 308- 315. Stiglitz, J. E. (1988) . Economics of the Public Sector. Edisl 2. New York: W. W. Norton . Vickrey, W. (1960) . "Utility, Strategy, and Social Decision Rules." Quarterly Journal of Economics . Vol. 74 (4) , 507-535 . Oalam Arnott, R. ; Arrow, K. J.; Atkinson, A.; & Dreze, J. (eds .) . Public Economics: Selected Papers of William Vickrey. Cambridge : Cambridge UniverSity Press 1994.
lose Rizal loesaef adalah dosen ekonomika pad a Universitas Gajayana Malang. 1a memperoleh gelar sarjana Ekonom i dart Universitas Brawijaya tahun 1993 dan gelar Magister Sa lOS bidang 11mu Ekonoml & Studt Pembangunan (lESP) dari Universitas Gadjah Mada tahun 1998. E-mail: joserizaU @yahoo.com
}umal Ekonomi dan Manajemen 1(2), Oesember 2000