Perikanan Indonesia, mau ke mana?1
Dedi Supriadi Adhuri (
[email protected]) Pertanyaan: Wilayah Indonesia dengan sekitar 70 persen laut, menjadikan laut sebenarnya kekayaan terbesar, jadi apa masalah utama sehingga kita belum mampu menjadikan laut sebagai ‘’anugerah’’ yang menyejahterakan bagi bangsa Indonesia? Jawaban: Ada beberapa hal yang menyebabkan kita belum mampu menjadikan laut sebagai anugerah yang mensejahterakan. Tiga di antara hal-hal ini adalah, karakter khas wilayah dan sumberdaya laut, penguasaan teknologi dan pengelolaan. Pertama, karakteristik wilayah dan sumberdaya laut yang khas. Berbeda dengan wilayah dan sumberdaya terrestrial atau daratan, ‘pemilikan’ wilayah laut tidak otomatis memungkinkan kita bisa menguasai dan memanfaatkan wilayah dan sumberdaya yang ada di dalamnya. Kita tidak bisa memagari laut seperti memagari kebun. Sumberdaya yang ada di laut, ikan misalnya, bisa lalu lalang masuk dan keluar wilayah kita. Demikian juga, kita tidak bisa secara penuh mengontrol orang lalu lalang masuk ke wilayah kita, termasuk orang-orang luar dengan armada besar menguras hasil laut kita. Hal terakhir ini terkait dengan hal yang kedua yakni penguasaan teknologi. Kemampuan kita memanfaatkan dan menjaga wilayah dan sumberdaya laut terkait dengan penguasaan teknologi. Terkait dengan ini, khusus mengenai sumberdaya perikanan, kita kebanyakan hanya baru mampu menguasai teknologi sederhana yang hanya mampu digunakan untuk perairan pesisir. Karena kemampuan yang terbatas itu, kita hanya dapat memanfaatkan sumberdaya ikan di perairan pesisir. Ironisnya, karena mayoritas kegiatan penangkapan ikan terjadi di pesisir, maka sumberdaya pesisir sudah mengalami gejala lebih tangkap. Dalam konteks ini, usaha penangkapan yang terus dilakukan di pesisir bukan meningkatkan kesejahteraan, tetapi malah semakin memperburuk kualitas sumberdaya dan lingkungan dan semakin menjerumuskan nelayan ke dalam jebakan kemiskinan. Ketiga, tentang pengelolaan, selama ini meskipun jargon tentang pengelolaan sudah lama dipakai, kerja sistematis pemerintah untuk menciptakan praktek pengelolaan wilayah dan sumberdaya laut sangat terbatas. Kita tahu, departemen kelautan dan perikanan baru terbentuk jaman GusDur jadi presiden, padahal selat Malaka dan Pantai Utara Jawa sudah terjangkit gejala tangkap lebih sejak tahun 1970-1980an. Orientasi kerja Kementrian Kelautan dan Perikanan pun masih sangat berorientasi ke eksploitasi. Karena kemampuan teknologi tangkap hanya di 1
Tulisan ini merupakan teks wawancara antara penulis (Dedi Supriadi Adhuri) dengan Sabar Subekti, Editor pada www.satu harapan.com. Teks ini telah publikasikan online pada link berikut: http://www.satuharapan.com/read-detail/read/nelayan-kita-sebatas-penguasa-pesisir dan http://www.satuharapan.com/read-detail/read/nelayan-penguasa-laut-sejati-tapi
1
peraran pesisir, maka peningkatan eksploitasi yang berkutat di perairan pesisir yang sudah tangkap lebih. Usaha-usaha mendorong nelayan ke tengah laut atau konversi ke budidaya tidak signifikan. Sedikit usaha juga bisa dikatakan gagal. Program 1000 kapal (besar) misalnya, selain target pembagian kapal tidak tercapai, kapal yang dibagikan juga banyak yang tidak bisa dioperasikan baik karena perlengkapan yang kurang, ketiadaan biaya operasional, maupun pengetahuan/keterampilan nelayan yang kurang atas karakteristik sumberdaya di tengah laut. Demikian juga dengan konversi ke budidaya. Konflik yang berkepanjangan dan produksi yang sangat rendah dari tambak inti rakyat Dipasena yang telah mengkonversikan 16,2500 Ha hutan mangrove ke tambak di Lampung, adalah contoh kegagalan ini.
Pertanyaan: Bicara hasil laut, terutama untuk pangan, maka kita melihat ‘’sea food’’ adalah makanan pada ‘’ranking’’ atas, bergengsi dengan harga mahal. Kontrasnya, mereka yang mengasilkan bahan pangan ini adalah lapisan masyarakat paling miskin. Di mana letak masalahnya? Bagaimana solusinya? Jawaban: Sebenarnya tidak semua seafood mahal, jika kita masuk ke pasar-pasar tradisional dan warung tegal, kita akan menjumpai seafood yang lebih murah dari protein hewani lain. Jika kita masuk restoran dan melihat seafood untuk eksport lah baru kita akan jumpai seafood yang mahal harganya. Tapi kedua realitas ini memang menunjukkan pentingnya nelayan sebagai produsen protein hewani untuk ketahanan pangan (food security) di tanah air dan nilai ekonomi produk nelayan yang cukup tinggi. Namun, memang betul, ironisnya, kehidupan ekonomi nelayan masih didominasi kemiskinan. Masalah utama yang terkait hal ini adalah penguasaan sektor perikanan yang timpang. Meskipun yang paling berkeringat dan beresiko adalah nelayan, tetapi sebenarnya sektor perikanan kita dikuasai pedagang ikan atau pemilik-pemilik kapal. Penguasaan para pedagang atas modal di satu pihak, keterbatasan nelayan akan hal ini di pihak lain, menyebabkan para pedagang terlibat sebagai pemasok kebutuhan produksi nelayan. Tentu saja pasokan itu bukan dalam bentuk pemberian bantuan secara gratis, tetapi pinjaman yang harus ditebus dengan keterikatan nelayan untuk menjual hasil tangkapannya ke pedagang itu. Dengan itu, artinya secara tidak langsung pedagang menguasai sistem produksi maupun pemasaran ikan. Akibat dari ini adalah bargaining position nelayan lemah dan oleh karenanya pedagang lebih leluasa untuk mengambil keuntungan jauh lebih besar daripada nelayan itu sendiri. Terkait dengna pemilik kapal yang seringkali juga bertindak sebagai pedagang ikan, kita bisa mengecek ketimpangan distribusi keuntungan dan resiko antara mereka dengan nelayan melalui sistem bagi hasil tangkapan. Bisa dipastikan bahwa sistem pembiayaan penangkapan ikan dan bagi hasilnya tidak imbang, resiko lebih banyak ditanggung oleh nelayan keuntungan lebih banyak dinikmati oleh pemilik kapal. Lagi, karena nelayan memang tidak memilik banyak sumberdaya, nelayan juga tidak bisa berkutik dengan sistem ini. 2
Solusi dari masalah ini adalah support dari pemerintah atau pihak-pihak lain baik untuk keperluan produksi maupun pemasaran. Dalam konteks produksi, mengingat kondisi perairan pesisir yang telah lebih tangkap, bantuan harus diberikan kepada nelayan tidak hanya sekedar untuk bisa menangkap ikan tetapi untuk menjangkau wilayah yang sumberdayanya masih dalam kondisi baik. Support ini tidak juga hanya terbatas pada pengadaan teknologi kapal dan alat tangkap, kebutuhan operasional tetapi juga keterampilan dan pengetahuan tentang perikanan offshore. Kita tahu selama ini keterampilan dan pengetahuan nelayan lebih terfokus pada hal-hal yang terkait dengan perikanan pesisir. Dibutuhkan perangkat keahlian dan pengetahuan baru tentang perikanan offshore yang berbeda dengan perikanan pesisir. Support yang lain bisa juga berupa penumbuhan kesempatan pekerjaan alternatif, baik masih dalam bidang perikanan seperti usaha-usaha pengolahan paska panen, budidaya atau sektor lain. Sama seperti halnya bantuan untuk perikanan tengah laut, bantuan ini juga harus satu paket, bukan bantuan-bantuan yang segmental. Dengan bantuan input produksi, nelayan tentu diharapkan terlepas dari genggaman penjual ikan. Ini tentu positif, tetapi juga mengandung hal negatif yang harus diantisipasi. Karena lebih banyak mengalokasikan waktu untuk kegiatan di laut, pengetahuan nelayan tentang pasar dan dunia darat sangat terbatas, termasuk pengetahuan tentang pasar. Selama ini nelayan tergantung pada penjual ikan, relasi yang ‘renggang’ dengan pedagang ikan akibat kemandirian mereka dalam produksi ikan, mendatangkan resiko pemasaran. Oleh karenanya nelayan harus dibantu untuk memasarkan ikan secara baik dengan harga lebih tinggi. Misalnya, jika selama ini informasi tentang pasar dikuasai hanya oleh pedagang ikan, maka harus dibentuk system yang memungkinkan nelayan bisa mendapatkan informasi pasar, dengan ini maka bargaining position mereka juga akan meningkat. Demikian dalam hubungannya dengan pemilik ikan, jika nelayan bisa mendapatkan bantuan langsung, maka seharusnya system bagi hasil juga dikoreksi sehingga lebih fair.
Pertanyaan: Bagaimana sebenarnya gambaran yang riil tentang situasi nelayan kita? Jawaban: Mayoritas nelayan kita adalah nelayan sekala kecil yang oleh karenanya hanya mampu mengeksploitasi sumberdaya perikanan di sekitar pesisir. Karena tingkat tekanan yang terfokus pada perairan pesisir –ini tidak hanya karena nelayan kecil tetapi juga karena illegal fishing yang dilakukan nelayan besar—maka gejala tangkap lebih telah menjadi potret kondisi perairan pantai kita. Ditambah dengan hal-hal yang saya jelaskan di atas, maka miskin dan masalah-masalah kehidupan lain di dunia nelayan menjadi wajah umum yang tampak merata di semua pelosok tanah air. Namun demikian, ada hal lain yang juga menjadi realitas nelayan kecil kita yang sebenarnya bisa dilihat sebagai potensi. Nelayan kecil kita jumlahnya besar, meskipun sulit memastikan berapa banyaknya tetapi kita-kita 2-3 juta orang dengan armada lebih dari lima ratusan ribu kapal. Mereka tersebar dari ujung Barat Indonesia, Aceh, sampai ujung timur, Papua, Sulawesi Utara sampai Rote. Bayangkan kalau mereka melaut semua, paling tidak perairan 3
pesisir kuasai karena keberadannya itu. Dibandingkan dengan keberadaan angkatan laut dan aparat Negara lain di laut --yang minggu lalu membuat menteri KKP kaget karena begitu minim jumlahnya dan terbatasnya kapasistasnya-- adalah bukan mengada-ada kalau ktia mengatakan sebenarnya penguasa laut sejatinya adalah nelayan. Kalau kita berdayakan dan manfaatkan potensi itu, maka banyak hal yang terkait permasalahan di lautan kita seperti illegal fishing, human trafficking, dan ancaman keamanan, akan sangat terbantu. Belum lagi kalau melihat kemampuan mereka menangkap ikan liar di laut yang kita butuhkan untuk asupan protein hewani, nelayan adalah gawang dari masalah ketahanan pangan (food security) kita. Dalam konteks pengelolaan, kita juga mengenal praktek-praktek pengelolaan pesisir berbasis masyarakat baik tradisional maupun inisiatif-inisiatif kontemporer. Kapitalisasi praktekpraktek ini untuk pengelolaan pesisir termasuk perikanan, yang sementara ini menjadi kelemahan pemerintah kita, juga akan mengarahkan pada pemecaham masalah-masalah lingkungan, sosial dan ekonomi di pesisir. Pertanyaan: Nelayan adalah garda paling depan dalam menjaga laut, memahami laut dan mengelola laut. Memberdayakan nelayan semestinya suatu keharusan untuk Indonesia menjadi negara maritim. Hal apa yang paling esensial untuk memberdayakan mereka, dan dengan cara apa? Jawaban: Pertama, kita harus melakukan reformasi mental. Selama ini nelayan selalu hanya diasosiasikan dengan kemiskinan, kerendahan tingkat pendidikan, ketidakberdayaan dan segala persoalan di laut. Hal itu, seperti saya jelaskan juga di atas, adalah benar, tapi baru separuh dari kebenaran. Nelayan adalah juga potensi yang tidak tenilai yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi segala persoalan serius di laut dan pesisir. Nah jika, kita mereformasi pemikiran kita dengan melihat sisi positif/potensi nelayan, maka kita akan menjadi optimis dan memandang nelayan sebagai bagian penting dari solusi masalah maritime. Dengan demikian political will dan support dari berbagai pihak untuk pemberdayaan nelayan akan semakin meningkat. Reform pola pikir ini seharunya diikuti dengan perubahan kita dalam memperlakukan nelayan. Jika selama ini mereka diperlakukan sebagai kelompok pasif atau objek penderita, perubahan cara pandang ini mengharuskan kita melihat dan memperlakukan mereka sebagai pihak yang harus terlibat dan dilibatkan dalam semua pengambilan keputusan terkait pengembangan dunia maritime/perikanan/kebaharian. Nelayan dalam hal ini juga harus dilihat sebagai entitas yang majemuk dan lintas jender. Harus digarisbawahi bahwa posisi wanita di dunia perikanan sangat strategis. Mereka seringkali menempati posisi kunci dalam pengelolaan pasca panen, pemasaran dan pengelolaan keuangan rumah tangga. Setelah itu, tentu kita harus bergerak di lapangan, mewujudkan support untuk merberdayakan nelayan—yang tidak hanya dipikirkan sebagai membantu nelayan, tetapi juga mengatasi persoalan bangsa; food security, illegal fishing, perahanan keamanan, trafficking dan lainlain. Pemberdayaan tentu kata kunci pada gerakan di lapangan, konteksnya tentu dalam 4
paket peningkatan kemampuan nelayan untuk melakukan penangkapan offshore . Saya sebut paket karena bantuan-bantuan segmental seperti halnya program 1000 kapal tidak banyak manfaatnya, bahkan hanya pemborosan saja. Support peningkatan produksi harus lengkap tidak hanya hardware (teknologi dan permodalan) tetapi juga software (pengetahuan, keterampilan). Aspek keselamatan harus juga menjadi perhatian utama pada support-support peningkatan kapasitas nelayan untuk berproduksi ini. Support peningkatan nilai pasca panen dan pemasaran adalah hal-hal yang juga harus dilakukan. Pengetahuan, keterampilan dan pengadaan teknologi pengolahan pasca panen akan menjadi kunci untuk meningkatkan produktifitas perikanan dan rumah tangga nelayan. Koreksi terhadap praktek perdagangan saat ini yang tidak fair terhadap nelayan juga harus dilakukan. Penciptaan system informasi pasar sedemikian rupa sehingga sampai ke nelayan adalah salah satu kunci dari perbaikan itu. Support budidaya ramah lingkungan dan berpihak kepada nelayan/pembudidaya kecil adalah juga usaha yang harus dilakukan seperti halnya pekerjaan alternative lain. Selain mengalihkan nelayandari jebakan kemiskinan seperti telah disebut di atas, pengalihan ke budidaya dan alternative lain akan mengurangi tekanan pada perairan pantai. Dengan demikian recovery kondisi perairan pesisir bisa terjadi. Hal yang juga penting adalah pembentukan dan penguatan organisasi kenelayanan. Salah satu hal yang menyebabkan mereka lemah posisinya saat ini adalah karena tidak adanya pengorganisasian yang memungkinkan mereka bergerak sebagai satu kekuatan socialekonomi-politik. Tanpa representasi itu, posisi mereka cenderung rentan terhadap tekanan pihak lain dan tentu saja kerja-kerja mengatasi masalah kelautan/perikanan kelompok akan lebih kuat jika dilakukan dalam bentuk gerakan kelompok daripada individu. Terakhir, dukungan terhadap praktek-ptaktek pengelolaan perikanan/pesisir berbasis masyarakat juga dibutuhkan. Dukungan-dukungan ini tidak hanya akan menguatkan praktek-praktek dilokaslitas yang bersangkutan tetapi—keberhasilan local—akan mendorong adopsi horizontal maupun vertical. Dengan demikian akan mempercepat proses replikasi kesuskesannya.
Pertanyaan: Ada perbedaan tentang Indonesia menjadi negara maritim atau negara bahari. Bisakah dijelaskan apa letak perbedaannya, dan apa yang paling sesuai untuk Indonesia? Jawaban: Ada tiga konsep dalam konteks ini, laut (kelautan), matirim dan bahari. Laut atau kelautan lebih mengacu pada wilayah, sumberdaya dan aspek-aspek terkait itu. Sementara itu konsep maritime lebih mengacu pada kemampuan kita untuk berdaulat dan memanfaatkan laut. Dan bahari lebih mengacu pada aspek-aspek kultural dari kemaritiman. Dengan konsepsi itu, idealnya kita menjadikan ketiga konsep itu kongruen. Klaim kedautan dan hak-hak lain atas wilayah dan sumberdaya laut, harus dibarengi kemampuan kita untuk menguasai dan mengelola wilayah dan sumberdaya itu. Dengan itu kita menjadi Negara maritime. Tentu saja jika kita memahami kebudayaan sebagai alat adaptasi terhadap 5
lingkungan, untuk menjadi Negara maritime itu, kita harus menguasai budaya bahari juga untuk bisa menguasai wilayah laut itu. Kita tidak akan bisa menguasai laut (menjadi negara maritime) kalau kita tidak menguasai budaya bahari). Ketiganya harus ada dan bersifat saling melengkapi (complementary), menjadi three in one.
Pertanyaan: Jika dipilih sebagai negara bahari (atau maritim?), prasyarat apa yang harus dipenuhi? Dan apa yang harus dilakukan Indonesia untuk mewujudkannya? Komitment, penguasaan hardware (teknologi) dan software (budaya; ‘mentalitas,’ pengetahuan dan keterampilan) kelautanlah yang akan menjadi prasyarat kita bisa menguasai dan mengelola laut dan oleh karenanya menjadikan kita Negara maritim. Tanpa itu semua, klaim Negara maritim adalah tak ada manfaatnya. Klaim kita atas Sipadan dan Ligitan dikalahkan karena tidak ada bukti penguasaan dan pengelolaan kita atas kedua pulau itu. Hal yang harus kita lakukan untuk mewujudkannya adalah, pertama menguatkan komitmen untuk tidak lagi memunggungi laut, kalau boleh saya menggunakan istilah pak Jokowi. Saya harus menggarisbawahi pentingnya komitment ini karena selama ini kelemahan utamanya di situ. Paling tidak sebagian besar persoalan-persoalan yang ditelanjangi bu Susi, menteri KKP kita yang baru, dari mulai perijinan, illegal fishing, data perikanan, status sumberdaya, sampai keterbatasan teknologi dan sumberdaya manusia, itu bukanlah hal-hal baru. Di kalangan birokrasi, akademisi dan pengusaha, termasuk teman-teman LSM, masalah itu sudah menjadi rahasia umum. Tetapi tidak ada komitmen yang cukup kuat, dari semua pihak untuk menyelesaikan masalah itu secara komprehenship. Sebagian karena segmentasi di antara pemangku kepentingan, ego sektoral, konflik kepentingan dan hubungan ewuhpakewuh di antara mereka. Sebagian karena realitas perikanan tropis (multi gear, multi spesies) dengan wilayah yang maha luas dan didominasi sekala kecil memang sulit dikelola. Kita harus membulatkan komitmen, tidak mudah, tapi di situlah kuncinya. Kedua, melakukan diagnosis yaitu mengevaluasi tentang socio-ecological system dari dunia kelautan kita. Dengan ini kita bisa mengidentifikasi peluang dan tantangan ke depan seperti apa, baik dari segi bio-ecologinya maupun social ekonomi dan kelembagaan pengelolaan. Ketiga menelisik apa yang kita punya dan tidak punya terkait software dan hardware untuk mengoptimalkan potensi dan mengatasi tantangan-tantangan yang telah kita identifikasi itu. Keempat, merumuskan langkah-langkah strategis mengoptimalkan apa yang kita miliki, mempelajari dan mengusahakan pengadaan hal yang kita belum punya. Dan terakhir bekerja untuk mengoptimalkan apa yang telah kita miliki itu untuk penguasaan dan pengelolaan wilayah dan sumberdaya laut untuk kesejahteraan umat dan keberlangsungan sumberdaya dan lingkungannya. Nah terkait tujuan akhir dari kerja kita di dunia maritime mewujudkan kesejahteraan umat dan sustainability sumberdaya alam beserta lingkungannya, saya harus kembali ke masalah perspektif. Di bagian awal saya sudah menyinggung bahwa selama ini orientasi kita ke laut berfokus pada eksploitasi yang didorong oleh keinginan memaksimalkan keuntungan ekonomi. Kita tidak pernah belajar bahwa runtuhnya perikanan di Selat Malaka dan Pantai 6
Utara Jawa itu diawali dengan adopsi pukat harimau pada tahun 1960-70an. Pada awalnya Bagan Siapi-api tumbuh menjadi sentra perikanan, tapi hanya berjalan satu dekade, setelah itu runtuh karena ikan terkuras (over-eksploitasi) dan konflik antara pengguna trawl dan nelayan kecil yang sangat serius. Beruntung Soeharto mengeluarkan larangan pemngunaan pukat harimau tahun 1980, tetapi itu pun tidak membantu secara signifikan recovery kondisi perikanan di dua tempat ini. Masalah yang sama malah menular ke wilayah perairan lain, meskipun penyebabnya bukan hanya karena trawl yang dalam realitas tidak pernah bisa dibasmi habis. Kalau kita berlajar dari ini, sebenarnya kita harusnya sudah shift orientasinya dari eksploitasi ke pengelolaan. Jika eksploitasi tujuannya adalah pemanfaatan maksimal, maka pengelolaan adalah keseimbangan antara pemanfaatan, pemeliharaan dan konservasi. Malah, pada kondisi di mana sudah terjadi gejala tangkap lebih dan kerusakan lingkungan, pengelolaan harus pula melingkupi restorasi/recovery. Perlu digarisbawahi, dengan ini tidak berarti saya mengatakan usaha-usaha pengelolaan tidak pernah dilakukan. Program-program seperti Marine and Coastal Resource Management Project (MCRMP) dan Coral Reef Management Program (CORMAP) adalah programprogram yang berbasis perspektif pengelolaan. Namun demikian mereka hanyalah program, bukan perspektif yang mengkerangkai keseluruhan gerak di dunia perikanan.
Pertanyaan: Dalam kondisi sekarang ini, benarkan kita berdaulat penuh pada wilayah perairan Indonesia? Atau dengan pertanyaan lain, siapakah sebenarnya pemilik lautan Indonesia? Dan siapakah sebenarnya yang sekarang menguasai laut Indonesia? Jawaban: Teriakan bu Susi tentang illegal fishing, persoalan perijinan kapal berbobot 30 Gross Ton ke atas, impor ikan dan garam adalah indikasi yang jelas bahwa kita belum berdaulat secara penuh di lautan. Kita bisa membuat list yang sangat panjang kalau harus menunjukkan indikasi-indikasi lain; tingginya tingkat perampokan di laut (piracy), kecelakaan di laut, trafficiking dalam segela bentuknya, kemiskinan nelayan, tentu masuk ke dalam daftar itu. Konstitusi kita mengatakan bahwa laut dikuasai Negara sementara undang-undang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan Undang-undang Perikanan terakhir, mengakui hak masyarakat adat juga. Ada beberapa masyarakat adat yang memiliki klaim kepemilikan dan atau hak kelola atas wilayah pesisir juga. Jadi secara legal formal Negara dan masyarat adat yang menguasai pemilik laut, mungkin sebagian laut untuk masyarakat adat. Kalau kita mengartikan menguasai sebagai menempati secara fisik, untuk perairan pesisir, ya nelayan yang mendominasi, merekalah yang setiap saat, jika cuaca memungkinkan, berada di laut untuk menangkap ikan. Tetapi kalau penguasaan diartikan sebagai pihak yang mendapatkan keuntungan paling banyak dari laut, ya pemilik modal dan kapal. Nelayan berada di laut di bawah kekuasaan mereka, yang mendapatkan keuntungan jauh lebih banyak juga mereka. 7
Pertanyaan: Sebagai pakar antropologi kelautan, bagaimana semestinya arah pembangunan manusia yang ada di pantai dan hidup dari laut? Jika tujuan pembangunan adalah kesejahteraan umat, maka arah pembangunan masyarakat pesisir dan nelayan adalah arah yang bisa mensejahterakan mereka yang hidupnya bergantung pada wilayah pesisir dan sumberdaya laut. Kesejahteraan mereka bergantung kepada kemampuan untuk mengakses dan mengambil sumberdaya laut secara berkesinambungan. Oleh karena itu arah pembangunan harus memberikan jaminan akan asesabilitas dan sustainability dari sumberdaya pesisir dan lingkungannya.
Pertanyaan: Apa saran untuk Menteri Perikanan dan Kelautan dan Menko Kemaritiman untuk pembangunan Indonesia lima tahun ke depan? Jawaban: Jawaban-jawaban saya terhadap beberapa pertanyaan di atas telah, paling tidak secara implisit, mengandung saran-saran, khususnya untuk bu Susi, tetapi juga terkait dengan Pak Indroyono sebagai menko Kemaritiman. Jika boleh ada yang harus saya garis bawahi dan tambah, saya akan menekankan perlunya switch dari gaya lama Kementrian yang lebih menekankan produksi aka eksploitasi, ke perspektif pengelolaan sebagai basis dasar kebijakan dan pembangunan kelautan dan perikanan. Yang kedua, saya titip nelayan kecil. Telah terlalu lama mereka terabaikan baik dari segi atensi yang kurang dan kalaupun ada atensim mereka lebih diperhatikan sebagai ‘objek penderita.’ Hal yang cenderung dilihat dari nelayan ini adalah kemiskinan dan ketidakberdayaannya. Padahal, seperti yang telah saya jelaskan di atas, mereka bisa menjadi kunci solusi dari persoalan-persoalan maritime. Mereka bisa menjadi actor kunci dalam pembicaraan tentang food security, konservasi, berkontribusi secara signifikan pada masalah transborder issues (pertanahan, trafficking, illegal fishing). Ini berarti pemberdayaan terhadap mereka tidak lagi dilihat sebagai belas kasih pada yang marjinal. Dengan ini pula seharusnya mereka dilibatkan sebagai stakeholder kunci pada setiap tahap pembangunan.
Bekasi, November 2014.
8