Peresmian Tax Center untuk Memaksimalkan Penerimaan Pajak UNAIR NEWS – Perguruan tinggi turut berperan dalam penyebaran informasi tentang perpajakan. Menyongsong peran tersebut, Dekan Fakultas Vokasi Universitas Airlangga bersama Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak meresmikan tax center, Jumat (14/7). Peresmian tax center merupakan langkah Ditjen Pajak dalam penyebarluasan informasi perpajakan dan memperoleh penerimaan pajak dari para Wajib Pajak. Pusat informasi perpajakan di Vokasi merupakan tax center kesembilan yang diresmikan di Surabaya. “Paling penting itu adalah lebih untuk mensosisalisasikan kepada masyarakat. Bagi universitas, banyak calon-calon Wajib Pajak. Adanya tax center ini akan memudahkan bagi universitas untuk dapat memperoleh informasi sedini mungkin,” tutur Kepala Kanwil Ditjen Pajak Jatim Estu Budiarto. Menurut Estu, keberadaan pusat perpajakan dapat menjadi jembatan antara direktorat pajak dan wajib pajak. Melalui pusat perpajakan, wajib pajak bisa memenuhi kebutuhan informasi seputar dunia pajak dengan detail. “Pelaksananaan tax amnesty (pengampunan pajak) di surabaya terbilang berhasil dengan uang yang terserap sebesar Rp 9 triliun. Berakhirnya tax amnesty bukan berarti pekerjaan telah usai. Langkah-langkah memaksimalkan penyerapan pajak harus dilakukan salah satunya tax center ini,” imbuh Estu dalam acara peresmian tax center. Senada dengan Estu, Dekan Fakultas Vokasi Prof. Dr. H. Widi Hidayat
menyampaikan
bahwa
tax
center
sebagai
tempat
mengetahui seputar dunia perpajakan. “Semua komunitas dan sivitas akademika UNAIR dapat memaksimalkan hal ini. Memang banyak kesulitan seperti pengisian SPT (surat pemberitahuan) dapat diatasi di tax center Fakultas Vokasi,” papar Widi. Selain itu, UNAIR akan terbantu Kanwil Ditjen Pajak Jatim dari aspek pembaruan informasi. “UNAIR dapat memperoleh informasi yang up–to–date seputar dunia perpajakan,” ucap Guru Besar Fakultas Vokasi ini. “Dunia perguruan tinggi dan akademisi dalam hal ini perpajakan akan menjembatani dengan informasi mengenai dunia perpajakan. Diharapkan semua universitas di Jawa Timur memiliki tax center untuk memaksimalkan direktorat pajak dalam menjalankan perannya,” imbuhnya. Penulis: Helmy Rafsanjani Editor: Defrina Sukma S
Tax Amnesty Masih Problem Keadilan
Sisakan
UNAIR NEWS – Hingga saat ini, tax amnesty (pengampunan pajak) masih menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia. Kendati demikian, tax amnesty yang ketiga kali dalam sejarah Indonesia (setelah tahun 1964, 1984) ini bisa dibilang lumayan sukses. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Guru Besar Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga, Prof. Tjiptohadi Sawarjuwono, M.Ec., Ph.D dalam Gelar Inovasi Guru Besar Seri II bertajuk “Tax Amnesty :
Antara Harapan dan Kenyataan”, di Ruang Kahuripan 300, Gedung Manajemen, pada Selasa (27/9). Prof. Tjipto masih menyayangkan sedikitnya jumlah wajib pajak yang terdaftar. Nyatanya, jumlah wajib pajak yang terdaftar hanya berkisar 18 juta. “Kalau dilihat dari jumlah penduduk Indonesia, atau jumlah seluruh pebisnis Indonesia, 18 juta itu sedikit sekali,” tandasnya. Prof. Tjipto menganggap, salah satu faktor diadakannya program amnesti pajak ini didasari atas banyaknya orang atau badan bisnis yang tidak taat pajak. “Ibaratnya orang berfikiran, lha wong saya sudah bekerja keras kok, ngapain harus bayar,” jelasnya. Dalam talkshow tersebut, hadir pula Guru Besar Ekonomi Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UNAIR Prof. Kacung Maridjan, Ph.D, mengatakan, kemampuan pemerintah untuk melakukan penarikan pajak mengalami penurunan. Sehingga, program ini diharapkan bisa menjadi stimulator bagi pertumbuhan ekonomi. Menurut Prof. Kacung, bila defisit mencapai maksimal tiga persen dari produk domestik bruto, maka presiden bisa berpotensi dimakzulkan. “Bila defisit itu mencapai tiga persen dari PDB, politik akan gaduh karena presiden melanggar undang-undang. Presiden bisa dimakzulkan, meski sekarang parpol (partai politik) dukungannya mengarah ke presiden,” terang Prof. Kacung. Menurut Prof. Kacung, kebijakan amnesti pajak memang dirasa tidak mempertimbangkan asas keadilan. Karena negara memberikan ampunan bagi warga negara yang tidak melaporkan dan membayar pajaknya sesuai ketentuan yang berlaku. Namun, justru itulah kebijakan amnesti pajak dirasa tepat dilaksanakan agar penerimaan keuangan negara tercapai. “Iya, ini memang tidak adil. Artinya, orang yang nakal sama yang tidak menjadi sama kedudukannya. Hanya saja, akan lebih tidak adil lagi apabila negara secara terus menerus membiarkan
orang yang mengemplang. Saya kira negara ini mengambil suatu posisi, kalau dilanjutkan terus, maka lebih tidak adil. Makanya harus ada kebijakan untuk memangkas pengemplang pajak. Akhirnya, ya sudah diampuni kan diskresi,” tutur Prof. Kacung. Hadir pula Guru Besar Hukum Administrasi Fakultas Hukum UNAIR Prof. Dr. Tatiek Sri Djatmiati, SH., MS. Dalam paparannya Prof. Tatiek menyampaikan bahwa kebijakan amnesti pajak bukan berarti tak menyisakan problem yuridis. Pasalnya, kondisi di lapangan masih ada pro kontra yang berkaitan dengan pemahaman asas keadilan. Menurut Prof. Tatiek, hal tersebut terjadi karena adanya pemahaman yang belum sesuai antara internal Dirjen Pajak dengan pemahaman amnesti pajak yang dipahami oleh masyarakat pada umumnya. “Dalam Pasal 2 UU No 11 Tahun 2016 disebutkan tentang asas dan tujuan TA, yaitu pengampunan pajak dilaksanakan atas asas kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepentingan nasional,” ungkapnya. Terkait penegakan hukum dalam konteks hukum administrasi, Prof. Tatiek menyebut ada dua unsur yang melandasi, yaitu pengawasan dan pemberian sanksi. “Pejabat yang memiliki wewenang harus melakukan pengawasan dalam pelaksanaan pengampunan pajak, oleh karena dari instrumen pengawasan ini, sanksi berupa administrasi baru dapat diterapkan apabila terdapat pelanggaran,” jelasnya. Prof. Tatiek menghimbau, agar pemerintah selaku pengelola pajak dan masyarakat Indonesia harus saling percaya. Agar reformasi sistem perpajakan tersebut dapat berjalan untuk Indonesia yang lebih baik. Penulis: Dilan Salsabila dan Defrina Sukma S Editor: Nuri Hermawan
Prof. Tatiek Sri Djatmiati, Tax Amnesty Harus Dilandasi Asas Keadilan UNAIR NEWS – Untuk ketiga kalinya dalam sejarah Indonesia (setelah 1964 dan 1984), pemerintah kembali mencanangkan program tax amnesty (pengampunan pajak) bagi masyarakat Indonesia. Berbagai tanggapan telah terlontar dari para ahli, salah satunya dari Prof. Dr. Tatiek Sri Djatmiati, SH., MS., dalam acara Gelar Inovasi Guru Besar Seri II bertajuk “Tax amnesty : Antara Harapan dan Kenyataan” di Ruang Kahuripan 300, Gedung Manajemen UNAIR Kampus C, Selasa (27/9). Dalam kesempatan tersebut, Prof. Tatiek membahas program tax amnesty dari segi keahlian dibidangnya yakni Hukum Administrasi. Menurut Guru Besar Fakultas Hukum UNAIR tersebut, banyak masyarakat yang menyatakan kontra akan program tersebut dan dengan dilandasi kecemburuan. “Banyak sekali orang yang cemburu. Mereka beranggapan, kita sudah taat membayar pajak, nah ini yang tidak bayar pajak malah dapat pengampunan,” jelas Prof. Tatiek. Prof. Tatiek mengungkapkan, selayaknya program tax amnesty ini tidak menimbulkan diskriminasi atau ketidakadilan, sehingga dapat meminimalisir pro dan kontra. “Tax amnesty seharusnya gak terus-terusan dilakukan. Masa iya, orang gak bayar pajak diampuni terus,” serunya. Kendati demikian, mengutip dari pasal 2 UU No 11 tahun 2016, Prof. Tatiek membeberkan beberapa tujuan dari dilaksanakannya program tax amnesty. “Selain mempercepat pertumbuhan restrukturisasi ekonomi, TA (tax amnesty, –red) juga mendorong
reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan,” jelasnya. Sayangnya, sebagaimana yang dijelaskan Prof. Tatiek, masih ada problem yuridis dalam pelaksanaan pengampunan pajak, yaitu adanya pro kontra yang berkaitan dengan pemahaman asas keadilan. Menurut Prof. Tatiek, hal tersebut terjadi karena adanya pemahaman yang belum sesuai antara internal Dirjen Pajak dengan pemahaman tax amnesty yang dipahami oleh masyarakat pada umumnya. “Dalam Pasal 2 UU No 11 Tahun 2016 disebutkan tentang asas dan tujuan TA, yaitu pengampunan pajak dilaksanakan atas asas kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepentingan nasional,”ungkapnya. Terkait penegakan hukum dalam konteks hukum administrasi, Prof. Tatiek menyebut ada dua unsur yang melandasi, yaitu pengawasan dan pemberian sanksi. “Pejabat yang memiliki wewenang harus melakukan pengawasan dalam pelaksanaan pengampunan pajak, oleh karena dari instrument pengawasan ini, sanksi berupa administrasi baru dapat diterapkan apabila terdapat pelanggaran,” jelasnya. Prof. Tatiek menghimbau, agar pemerintah selaku pengelola pajak dan masyarakat Indonesia harus saling percaya. Agar reformasi sistem perpajakan tersebut dapat berjalan untuk Indonesia yang lebih baik.(*) Penulis : Dilan Salsabila Editor : Nuri Hermawan
Prof. Kacung Marijan, Tax Amnesty Stimulator Pertumbuhan Ekonomi UNAIR NEWS – Kebijakan pemerintah Indonesia untuk menyehatkan keuangan negara dengan program tax amnesty (amnesti pajak) tak hanya sekali dilakukan. Menurut sejarah, pemerintah RI terhitung pernah tiga kali menerapkan amnesti pajak yakni pada tahun 1964, 1984, dan 2016. Tujuannya hanya satu, yaitu untuk memaksimalkan penerimaan negara. Pada tahun 1964, pemerintah Indonesia ingin mengembalikan dana revolusi ke kas negara melalui program amnesti pajak. Pada tahun 1984, Indonesia mengalami krisis minyak. Sehingga pemerintah RI memutuskan untuk menggali pendapatan dari sektor non-migas, termasuk dari perpajakan. Pada tahun 2016, program amnesti pajak dilakukan untuk menutupi defisit keuangan negara. Pada tahun 2016, meski perhitungan keuangan amnesti pajak sudah masuk dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara – Perubahan 2016, kondisi keuangan masih mengalami defisit. Pada APBN – P 2016 saja, muncul defisit sebesar Rp296,723 triliun atau sekitar Rp2,35% dari produk domestik bruto. Guru Besar Ekonomi Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga Prof. Kacung Maridjan, Ph.D, mengatakan, kemampuan pemerintah untuk melakukan penarikan pajak mengalami penurunan. Sehingga, program ini diharapkan bisa menjadi stimulator bagi pertumbuhan ekonomi. “Ini bagian dari reformasi perpajakan, khususnya untuk mendata potensi wajib pajak kita. Karena sampai sekarang baru ada 18 juta penduduk Indonesia yang memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP), dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia dan jumlah penduduk yang seharusnya memiliki NPWP. Kedua, untuk
menarik dana yang di luar negeri (repatriasi) sebagai upaya untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi kita. Ketiga, negara mengalami defisit anggaran yang cukup besar,” tutur Prof. Kacung. “Dari orang yang mengikuti tax amnesty lumayan antusias, khususnya selama dua minggu terakhir. Dana yang sudah dideklarasikan hampir setengah dari target. Mungkin, bisa jadi akhir minggu ini bisa tembus Rp2.000 triliun. Yang agak kurang adalah repatriasi. Begitu pula dengan tebusan. Dari sini, saya sebut kebijakan ini masih separuh-separuh. Separuh gagal juga. Itu soal repatriasi yang masih 10%, dan tebusan masih sepertiga,” imbuh Prof. Kacung. Sebagai bagian dari reformasi perpajakan, deklarasi pajak ditarget mencapai Rp4.000 triliun, sedangkan repatriasi mencapai Rp1.000 triliun. Untuk menutup defisit anggaran, target yang didapat adalah Rp165 triliun. Menurut data, sampai 26 September 2016, tren pelaporan kekayaan dari program amnesti pajak cenderung positif. Pada tanggal 11 September 2016, deklarasi pajak baru berkisar di angka Rp174 triliun, repatriasi Rp18,6 triliun, dan tebusan Rp8,53 triliun. Pada tanggal 26 September 2016, deklarasi pajak telah mencapai Rp1.849 triliun, repatriasi Rp94,5 triliun, dan tebusan mencapai Rp56,1 triliun. Bila angka defisit mencapai maksimal tiga persen dari PDB, maka presiden berisiko mengalami pemakzulan. Untuk menghindari itu, maka dua hal yang dilakukan oleh pemerintah adalah memangkas anggaran yang sedang berjalan, dan melakukan utang luar negeri. “Bila defisit itu mencapai tiga persen dari PDB, politik akan gaduh karena presiden melanggar undang-undang. Presiden bisa dimakzulkan, meski sekarang parpol (partai politik) dukungannya mengarah ke presiden,” terang Prof. Kacung. Menurut Prof. Kacung, kebijakan amnesti pajak memang dirasa
tidak mempertimbangkan asas keadilan. Karena negara memberikan ampunan bagi warga negara yang tidak melaporkan dan membayar pajaknya sesuai ketentuan yang berlaku. Namun, justru itulah kebijakan amnesti pajak dirasa tepat dilaksanakan agar penerimaan keuangan negara tercapai. “Iya, ini memang tidak adil. Artinya, orang yang nakal sama yang tidak menjadi sama kedudukannya. Hanya saja, akan lebih tidak adil lagi apabila negara secara terus menerus membiarkan orang yang mengemplang. Saya kira negara ini mengambil suatu posisi, kalau dilanjutkan terus, maka lebih tidak adil. Makanya harus ada kebijakan untuk memangkas pengemplang pajak. Akhirnya, ya sudah diampuni kan diskresi,” tutur Prof. Kacung. Penulis: Defrina Sukma S. Editor: Nuri Hermawan
Prof. Tjiptohadi Sawarjuwono, Nilai Keberhasilan Tax Amnesty 2016 UNAIR NEWS – Kebijakan tax amnesty hingga saat ini masih menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia. Kendati demikian, tax amnesty yang sudah berjalan ketiga kali dalam sejarah Indonesia (1964, 1984, 2016 -red) ini bisa dibilang sukses. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Prof. Tjiptohadi Sawarjuwono, M.Ec., Ph.D dalam Gelar Inovasi Guru Besar Seri II bertajuk “Tax Amnesty : Antara Harapan dan Kenyataan”, di Ruang Kahuripan 300, Kantor Manajemen UNAIR, Selasa (27/9). “Walaupun ini yang ketiga, tapi sebelumnya tidak berhasil.
Nah, yang sekarang ini lumayan ada hasilnya, kalau melihat dari uang tebusan,” ujar Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNAIR tersebut. “Tadi pagi saya baca, sudah mencapai 53 Triliun. Lumayan sudah ada peningkatan dari minggu lalu,” ungkapnya sembari menunjukkan data tebusan 27 Triliun per 21 September. Meski demikian, Prof. Tjipto masih menyayangkan sedikitnya jumlah wajib pajak yang terdaftar. Pasalnya, jumlah wajib pajak yang terdaftar hanya berkisar 18 juta. “Kalau dilihat dari jumlah penduduk Indonesia, atau jumlah seluruh pebisnis Indonesia, 18 juta itu sedikit sekali,” tandasnya. Prof. Tjipto menganggap, salah satu faktor diadakannya program tax amnesty ini didasari atas banyaknya orang atau badan bisnis yang tidak taat pajak. “Ibaratnya orang berfikiran, lawong saya sudah bekerja keras kok, ngapain harus bayar,” jelasnya. Terkait pembayaran pajak, Prof. Tjipto memberikan wejangan, agar masing – masing individu tidak memisahkan antara agama dengan kehidupan sehari-hari. Wakil Rektor I Universitas Internasional Semen Indonesia (UISI) Gresik tersebut juga mengutip sebuah ayat di kitab suci al Quran. “Ada perintah untuk menaati ulil amri (pemimpin, -red). Salah satunya ya menaati kebijakan untuk membayar pajak. Agamis itu tidak hanya beribadah setiap hari, tapi juga mengimplementasikan agama dalam kehidupan sehari-hari,” serunya. Diakhir pemaparanya, Prof Tjipto mengingatkan kepada peserta seminar, agar selalu taat membayar pajak. Ia mengungkapkan, banyak rakyat yang masih memerlukan dana, salah satunya dari pajak. “Bayarlah pajak, anggap saja sedekah. Seharusnya bersukur bahwa perusahaanya sudah dapat rezeki. Dalam harta kita ada hak orang lain. Kita bayar pajak, masuk kas negara. Kita
percayakan pada negara yang mengelolanya,” pungkasnya.(*) Penulis : Dilan Salsabila Editor : Nuri Hermawan
Tax Amnesty Membawa Dampak Masyarakat
Diharapkan Positif di
UNAIR NEWS – Sekitar dua ratus hadirin yang berasal dari berbagai latar belakang, memadati aula Kahuripan, Kantor Manajemen, Kampus C Universitas Airlangga Sabtu pagi (17/9). Mereka terdiri dari konsultan pajak, wajib pajak, akuntan, auditor, konsultan keuangan, dosen, dan mahasiswa. Orang-orang tersebut datang dengan antusias untuk menghadiri seminar bertajuk “Arah Kebijakan Perpajakan Pasca Tax Amnesty”. Acara yang digelar atas kerjasama UNAIR, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Pajak (IAI-KAPj), dan BRI itu menghadirkan dua narasumber berkompeten. Mereka adalah Prof. Dr. Poltak Maruli John Liberty Hutagaol, MAc., Mec(Hons)., AK., CA selaku Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak Kemenkeu dan Ketua IAI-KPAj Pusat, dan DR Rudi Purwono SE., MSE selaku Wakil Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNAIR. Datang pula menjadi keynote speaker Kepala Kanwil DJP Jatim I Kemenkeu Estu Budiarto SE., MBA., Ak. Seminar dimoderatori Dr Ardianto SE., MSi., Ak., CA., CMA Direktur Keuangan UNAIR dan Wakil Kabid 3 IAI Wilayah Jatim, dan Dr Elia Mustikasari ., MSi., Ak., CA., CMA., BPK., BAK Ketua Laboratorium Pengkajian dan Pengembangan Akuntansi Perpajakan dan Sistem Informasi
(LPPAPSI) FEB UNAIR, dan Wakil Ketua IAI-KAPj Pusat. Pada kesempatan itu, Prof John menjelaskan, melalui program Tax Amnesty pemerintah berupaya membuat perbaikan di aspek perekonomian. Harapannya, kedisiplinan wajib pajak akan tergerak ke arah lebih baik. “Ini merupakan langkah konkret dari pemerintah kepada masyarakat agar Indonesia lebih siap dan mantap memasuki program pembangunan skala besar yang akan dituju,” kata dia. Di lain pihak, Dr Rudi menjelaskan bahwa kondisi perekonomian di Indonesia saat ini penuh ketidakpastian. Imbasnya, lembaga keuangan dunia selalu membuat proyeksi dan cepat dikoreksi. Untuk membuatnya lebih efektif, efisien, dan baik, perlu peran serta semua elemen. “Ekonomi berjalan lebih cepat jika swasta berperan. Namun harus diiringi oleh pemerintah, agar tidak timpang,” cetusnya. Pada prinsipnya, seminar Tax Amnesty itu menambah wawasan dan pengetahuan hadirin tentang seluk-beluk kebijakan yang digadang-gadang eksekutif bakal “menyehatkan” kas negara tersebut. Isu ini dikupas dari beragam perspektif secara menyeluruh. Direktur Keuangan Dr Ardianto yang diwawancara UNAIR News berharap, seminar ini dapat memberikan gambaran dampak Tax Amnesty, juga menunjukkan arah dan kebijakan pemerintah pasca program tersebut. Sehingga, dunia usaha dan seluruh masyarakat dapat memahami tujuan dan filosofinya. “Dalam seminar tersebut juga dipaparkan kajian makro ekonomi untuk memberikan gambaran tentang apa pentingnya Tax Amnesty,” kata dia. Seperti diketahui, UU Pengampunan Pajak yang diajukan pemerintah sudah disahkan DPR dan berlaku sejak 1 Juli 2016 melalui UU 11/2016. Sehubungan dengan hal ini, perlu dilakukan
sosialisasi terkait pemahaman teknis di masyarakat. Yang paling penting, pasca kebijakan ini dipastikan akan ada langkah konkret lain dari pemerintah. Termasuk, ketegasan di bidang hukum dalam lingkup perpajakan. Tujuan Tax Amnesty sendiri adalah membawa wajib pajak yang selama ini belum patuh dan objek pajak yang belum dilaporkan ke dalam sistem administrasi pajak. Dengan demikian, kontrol pemerintah akan lebih maksimal. Optimalisasi pemasukan negara dari sektor pajak pun dapat bergerak dengan maksimal. (*) Penulis: Rio F. Rachman Editor : Binti Q. Masruroh