Mohammad Muktiali Perencanaan Non-Statutory Sebagai Instrumen Perencanaan Lokal: Tinjauan Teoritis dan Empiris Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 20 No. 1, April 2009, hlm. 66 - 77
PERENCANAAN NON-STATUTORY SEBAGAI INSTRUMEN PERENCANAAN LOKAL: TINJAUAN TEORETIS DAN EMPIRIS Mohammad Muktiali Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, UNDIP Jl. Prof. H. Soedharto, SH, Tembalang, Semarang 50275 Email :
[email protected]
Abstrak Perencanaan non-statutory dipandang sebagai solusi terhadap kompleksitas dan dinamika yang terkait dengan pelaksanaan perencanaan formal (statutory) yang harus dihadapi oleh pemerintahan daerah di wilayah tertentu. Di negara maju, misalnya Inggris, perencanaan non-statutory digunakan sebagai instrumen pemanfaatan dan pengendalian ruang atau spasial pada tataran lokal dalam bentuk pengendalian pembangunan, penggunaan lahan, dan pengembangan sektor ekonomi seperti industri, pariwisata, perumahan, dan bisnis. Artikel ini membahas mengenai perencanaan partisipatif yang dilakukan lembaga-lembaga kuasi publik di wilayah Provinsi Jawa Tengah, yang diejawantahkan melalui kombinasi antara temuan dari praktek tersebut dengan studi pustaka. Praktek ini, yang termasuk ke dalam perencanaan nonstatutory, dilakukan melalui Forum Pengembangan Ekonomi Sumber Daya (FPESD) Jawa Tengah, Forum for Economic Development and Employment Promotion (FEDEP) kabupaten/kota, dan juga Forum Rembug Klaster (FRK). Perencanaan non-statutory terbukti efektif mendukung kegiatan perencanaan pembangunan di Jawa Tengah, khususnya di bidang pengembangan ekonomi lokal dan regional. Dalam konteks perencanaan pembangunan di Indonesia pada umumnya dan Jawa Tengah pada khususnya, ini dapat menjadi bukti bahwa perencanaan non-statutory merupakan instrumen yang efektif dalam mendukung rencana pembangunan formal (statutory) di tingkat lokal dan regional. Kata kunci: perencanaan non-statutory, perencanaan lokal, pengembangan ekonomi lokal, partisipatif
Abstract Non-statutory planning is viewed as a solution to the complexities and the dynamic related to the implementation of statutory (formal) planning faced by local government in certain area. In developed countries (e.g. the United Kingdom,) non-statutory planning is used as an instrument for physical or spatial plans implementation at local level in the form of development control, land use, and development of economic sectors, such as industry, tourism, housing, and business. This paper discusses participatory practices conducted through several public-quasi institutions in Central Java Province, manifested through the combination of findings in practices and literature study.The practice, defined as a nonstatutory planning,is conducted by Forum Economic Development Resources (FPESD) of Central Java Province, Forum for Economic Development and Employment Promotion (FEDEP) at regency/city level, and also the Cluster Round tableForum (FRK). Non-statutory planning is proven to be effective in supporting the development planning activities in Central Java Province, particularly in the field of local and regional economic development. In the context of development planning in Indonesia in general and Central Java in particular, this can be evidence that non-statutory planning is an effective instrument in supporting the statutory (formal) development plan at the local and regional level.
Keywords: non-statutory planning, local planning, local economic development, participatory
66
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 20/No.2 Agustus 2009
Dalam hal proses perencanaan, maka pendekatan yang dipakai dalam penyusunan rencana non-statutory cenderung menggunakan pendekatan partisipatif dengan melibatkan berbagai stakeholder (masyarakat, pemerintah, serta pelaku bisnis & industri) melalui dialog dan konsultasi publik. Salah satu keuntungan yang diperoleh melalui pendekatan ini adalah dapat diminimalkannya konflik kepentingan antar stakeholder sehingga mampu meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan pembangunan di tingkat lokal/daerah (Bruton & Nicholson, 1987).
1. Pendahuluan Bruton & Nicholson (1987: 28) menyatakan bahwa perencanaan non – statutory merupakan perencanaan yang dilakukan oleh pemerintah lokal/regional yang digunakan sebagai solusi terhadap kompleksitas dan dinamika implementasi perencananaan formal (statutory) yang berlangsung di wilayah tersebut. Perencanaan non-statutory yang sifatnya informal diyakini dapat mengeliminir kelemahan perencanaan statutory yang cenderung bersifat makro, komprehensif dan birokratis karena dibatasi oleh berbagai peraturan perundangan baik peraturan di tingkat nasional maupun daerah.
Berdasarkan Renstra Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003–2008 dan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah Tahun 2000–2010, maka Pemerintah Provinsi Jawa Tengah melakukan upaya pengembangan ekonomi lokal/daerah melalui pendekatan klaster. Konsep pengembangan klaster (cluster development) adalah pengembangan ekonomi wilayah/daerah/ regional pada sentra – sentra produksi yang telah disepakati bersama stakeholder baik oleh FEDEP maupun FPESD untuk dikembangkan dalam rangka peningkatan ekspor klaster tersebut. Pengertian klaster di sini bukan hanya klaster industri tetapi juga klaster pariwisata dan pertanian yang pada dasarnya merupakan pengelompokkan usaha sejenis. Lokasi klaster bisa berada dalam satu kecamatan, antar kecamatan dalam satu kabupaten/kota bahkan antar daerah kabupaten/kota (Miyasto, 2005).
Selain itu, perencanaan non-statutory juga relatif lebih fleksibel, realistis, taktis, dan implementatif serta mampu merespon secara cepat dan akurat terhadap dinamika kebutuhan dan permasalahan yang terjadi pada tingkat lokal/regional/daerah. Dengan demikian, perencanaan non–statutory bersifat komplementaris dengan perencanaan formal (statutory) karena bersifat saling melengkapi dan mengisi kekurangan satu sama lain. Di beberapa negara maju (misalnya di Inggris) perencanaan non-statutory digunakan sebagai instrumen pemanfaatan dan pengendalian rencana fisik atau tata ruang pada tingkat wilayah lokal. Dari hasil survei tahun 1983 dapat diketahui bahwa telah dihasilkan sekitar 6500 pe-rencanaan non-statutory yang telah disusun oleh pemerintah lokal/daerah di negara Inggris dalam berbagai kategori klasifikasi fungsi (seperti fungsi pengawasan pembangunan, pemanfaatan lahan dan pembangunan sektor–sektor ekonomi, seperti industri, pariwisata, perumahan, dan bisnis) yang bersifat mendukung implementasi dan pengendalian perencanaan formal (Bruton & Nicholson, 1987).
Salah satu upaya yang dilakukan dalam pengembangan klaster di Provinsi Jawa Tengah adalah dengan memfasilitasi pembentukan dan penguatan forum pengembangan ekonomi lokal/daerah pada berbagai tingkatan wilayah. Pada tingkat provinsi dibentuk lembaga semi publik yang disebut Forum Pengembangan Ekonomi dan Sumber Daya (FPESD Provinsi Jawa Tengah),
67
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 20/No.2 Agustus 2009
sementara pada tataran kabupaten/kota dibentuk Forum for Economic Development and Employment Promotion (FEDEP). Pembentukan kedua lembaga quasi-publik tersebut (FPESD dan FEDEP) merupakan hasil inisiasi dan kerjasama antara Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan lembaga donor GTZ (Deutsche Gesellschaft fuer Technische Zusammenarbeit) dari Jerman. Selain kedua lembaga tersebut di atas, pada tingkatan kelompok sentra UKM (klaster) dibentuk juga apa yang disebut Forum Rembug Klaster (FRK). Gambaran selengkapnya mengenai forum pengembangan ekonomi lokal di Jawa tengah dapat dilihat pada gambar 1.
kedua, menguraikan secara empiris mengenai proses dan mekanisme perencanaan nonstatutory yang terjadi pada tataran wilayah Provinsi Jawa Tengah maupun wilayah kabupaten /kota bahkan di tingkat kelompok UKM (klaster usaha). Selain itu, pada bagian ini juga akan dikaji mengenai efektivitas perencanaan non-statutory sebagai instrumen perencanaan lokal/daerah. 2. Perencanaan Non-Statutory Perencanaan Statutory
Perbedaan yang paling mendasar antara perencanaan non-statutory dan perencanaan statutory adalah terkait aspek legal formal. Perencanaan statutory mempunyai tingkatan legalitas formal yang lebih tinggi dibandingkan perencanaan non-statutory karena baik dalam penyusunan maupun produk yang dihasilkannya harus mengacu secara eksplisit terhadap peraturan perundangan yang berlaku. Perbedaan lain terkait dengan waktu penyusunan, perencanaan statutory (formal) cenderung membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan perencanaan non-statutory.
Makalah ini mencoba memaparkan perencanaan non-statutory sebagai instrumen dalam perencanaan lokal/daerah di wilayah Provinsi Jawa Tengah (dan kabupaten/kota yang ada di dalamnya), khususnya dalam perencanaan pembangunan ekonomi daerah di bidang UKM (usaha kecil dan menengah). Isi pokok makalah ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama menguraikan tinjauan teoretis terkait perencanaan non-statutory. Bagian
Instansi Publik Kab/Kota:
• •
Bappeda
FPESD Forum Pengembangan Ekonomi dan Sumber Daya
Dinas terkait
Asosiasi Pengusaha
PROVINSI
Asosiasi: - OSS - BDS
- APBD Provinsi - Bantuan lain DPRD Kab/Kota - APBD Kabupaten - Bantuan
Instansi Publik Kab/Kota : Bappeda, Dinas, dst
- Anggaran lokal - Bantuan Kab/Prop - Bantuan lain Dinas Teknis Terkait
Vs
FEDEP FEDEP FEDEP Forum for Economic Development & Employment Promotion
KLASTE KLASTE FORUM REMBUK RR
Asosiasi Pengusaha
KABUPATEN/ KOTA
Perusahaan Besar
UKM
UKM UKM
Wilayah Usaha Produksi
KLASTER
Gambar 1. Forum Pengembangan Ekonomi Lokal/Daerah di Jawa Tengah Sumber: FPESD Provinsi Jawa Tengah, 2006.
68
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 20/No.2 Agustus 2009
Tabel 1.
Perbedaan Perencanaan Non-Statutory dan Perencanaan Statutory
Perencanaan Non-Statutory Merupakan kerangka kerja dalam rangka melakukan kolaboratif Produk dokumen perencanaan yang dihasilkan tidak mempunyai status legal formal Tidak disyaratkan melakukan review terhadap produk dokumen perencanaan non statutory yang telah dibuat Tidak ada persyaratan secara teknis substansi perencanaan yang harus termuat dalam produk yang dihasilkan Perencanaan yang dibuat bisa tidak selalu mengikuti peraturan perundangan yang ada Program pembangunan yang disetujui dan diimplementasi tidak harus sesuai dengan perencanaan yang telah disusun Perencanaan lebih berorientasi pada program dan rencana tindak
Perencanaan Statutory Merupakan kerangka kerja yang sifatnya arahan (direksional) Status produk yang dihasilkan mempunyai legalitas formal yang sangat kuat Harus dilakukan review secara formal dalam kurun waktu tertentu (5, 10 atau 20 tahun) Substansi perencanaan yang dimuat diatur secara tegas menurut peraturan perundangan yang berlaku Perencanaan harus terintegrasi dengan peraturan perundangan yang berlaku Implementasi program harus sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan sebelumnya Perencanaan lebih bersifat makrokomprehensif
Sumber:Department of Infrastructure and Planning, Queensland Government, 2008.
Gambar 2. Kedudukan Perencanaan Non-Statutory dalam Perencanaan Statutory di New Zealand Sumber: Saunders, 2006
69
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 20/No.2 Agustus 2009
Meskipun terdapat banyak perbedaan di antara perencanaan non-statutory dan perencanaan statutory, namun justru bersifat komplementaris. Sebagai contoh dapat dilihat pada gambar 2 yang menggambarkan hubungan antara perencanaan non-statutory dan perencanaan statutory di New Zealand.
statutory dalam perencanaan statutory (formal), khususnya terkait pembangunan ekonomi lokal/daerah di wilayah Provinsi Jawa Tengah. Dalam kaitannya dengan perencanaan formal, maka di wilayah Provinsi Jawa Tengah terdapat Rencana Strategis (Renstra) Provinsi Jawa Tengah 2003–2008 (diatur dengan Perda No.11 Tahun 2003) dan juga Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah 2000–2010 (diatur dalam Perda No.21 Tahun 2003), yang memuat strategi pengembangan ekonomi lokal/daerah di Jawa Tengah yang sifatnya komprehensif dan makro. Untuk itulah guna menjabarkan perencanaan statutory (formal) menjadi lebih taktis dan implementatif, maka dilakukan penyusunan perencanaan non-statutory, baik pada tataran pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota di Jawa Tengah.
Dari gambar 2 terlihat bahwa dalam rangka mengimplementasikan berbagai peraturan perundangan (formal) yang menyangkut aspek manajemen sumber daya alam (Resources Management Act 1991) dan juga manajemen ketahanan sipil (Civil Defence and Emergency Act 2002); maka digunakan berbagai instrumen perencanaan non statutory yang sifatnya non formal seperti perencanaan mitigasi bencana (Hazard Mitigation Plan), perencanaan struktur (Structure Plan) dan perencanaan strategi pertumbuhan (Growth Strategic Plan).
Pada tataran tingkat provinsi dilakukan beberapa perencanaan non-statutory, meliputi perencanaan kebijakan pengembangan Forum for Economic Development and Employment Promotion (FEDEP), kebijakan pengembangan iklim investasi yang kondusif, kebijakan pengembangan klaster dan kebijakan pengembangan Business Development Service (BDS).
3. Perencanaan Non-Statutory Sebagai Instrumen dalam Perencanaan Lokal/ Daerah di Provinsi Jawa Tengah Bagian ini menguraikan berbagai aspek terkait perencanaan non-statutory sebagai instrumen dalam perencanaan lokal/daerah khususnya dalam perencanaan pengembangan ekonomi daerah di Provinsi Jawa Tengah. Pembahasan dimulai dengan melihat bagaimana kedudukan perencanaan non-statutory dalam konteks perencanaan statutory untuk selanjutnya dibahas mekanisme dan proses perencanaan non-statutory, dan bagian terakhir mengulas efektivitas perencanaan non-statutory sebagai instrumen perencanaan lokal/daerah.
Di tataran tingkat kabupaten/kota, dilakukan penyusunan perencanaan program tahunan dalam rangka penguatan dan pengembangan kegiatan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) pada masing–masing klaster (pertanian, industri, dan pariwisata) yang ada di wilayah kabupaten/kota yang ada di Jawa Tengah. Sementara pada tataran paling bawah di tingkat kelompok usaha (klaster) juga dilakukan kegiatan perencanaan yang dapat meningkatkan kinerja klaster tersebut.
3.1. Kedudukan Perencanaan Non-Statutory dalam Perencanaan Statutory (Formal) Berdasarkan gambar 3, dapat dijelaskan bagaimana kedudukan perencanaan non-
70
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 20/No.2 Agustus 2009
STATUTORY PLANNING
NON STATUTORY PLANNING Kebijakan Pengembangan FEDEP
RTRW PROVINSI JAWA TENGAH Kebijakan Iklim Investasi RENSTRA PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2003 2008
Kebijakan Pengembangan BDS (Business Development Service)
Strategi Pengembangan Ekonomi Lokal/Daerah Jawa Tengah
Kebijakan Pengembangan Klaster
Rencana Tahunan Pengembangan Klaster di masing – masing Kabupaten/Kota di Jateng
Gambar 3. Kedudukan Perencanaan Non-Statutory dalam Perencanaan Statutory di Jawa Tengah Sumber: diolah dari berbagai sumber, 2009.
Menarik pula untuk dicatat bahwa secara kelembagaan, perencanaan non-statutory dilakukan oleh lembaga semi–publik, yaitu lembaga Forum Pengembangan Ekonomi dan Sumber Daya (FPESD) pada tingkat provinsi dan lembaga Forum for Economic Development and Employment Promotion (FEDEP) pada masing–masing kabupaten/kota di Jawa Tengah. Kedua forum tersebut dibentuk dalam rangka memfasilitasi dialog antara pemerintah, pelaku usaha, masyarakat beserta asosiasi, LSM, dan lembaga legislatif dalam upaya mengembangkan kelompok usaha kecil menengah (klaster) menjadi lebih optimal. 3.2 Mekanisme Perencanaan Non-Statutory dalam Perencanaan Pengembangan Klaster/UKM yang Dilakukan FPESD Provinsi Jawa Tengah Bagian ini menguraikan proses perencanaan non-statutory yang dilakukan dalam menyusun perencanaan pengembangan UKM/klaster 71
yang dilakukan oleh FPESD Provinsi Jawa Tengah. Mekanisme perencanaan non statutory yang dilakukan FPESD diawali dengan melakukan identifikasi kebutuhan program pada klaster/UKM yang ada di masing–masing kabupaten/kota. Untuk selanjutnya dilakukan pembahasan pada tingkat Pokja di FPESD (meliputi Pokja Pertanian, Industri, dan Pariwisata). Kemudian, dilakukan kegiatan rapat kerja yang membahas perencanaan program yang akan dilakukan pada satu tahun mendatang. Selanjutnya, hasil perencanaan program tersebut diajukan pada forum yang lebih formal seperti Forum SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) dan juga Rakorbang (Rapat Koordinasi Pembangunan) Provinsi Jawa Tengah (sekarang dikenal sebagai Musrenbang tingkat Provinsi Jawa Tengah). Mekanisme perencanaan non statutory pengembangan klaster UKM yang dilakukan FPESD di Provinsi Jawa Tengah dapat dilihat pada gambar 4.
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 20/No.2 Agustus 2009
(FRKB). Mekanisme pertama adalah mekanisme normal, dimana forum diadakan sesuai dengan rencana dengan mengundang perwakilan dari masing-masing kelompok usaha atau paguyuban yang ada dalam klaster.
3.3 Mekanisme Perencanaan Non-Statutory dalam Perencanaan Pengembangan Klaster/UKM di Kabupaten Magelang Sampai tahun 2009 telah terbentuk sekitar 300 klaster di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah. Bagian ini menguraikan mekanisme perencanaan non-statutory yang dilakukan dalam menyusun perencanaan pengembangan salah satu klaster yang ada di Jawa Tengah, yaitu Klaster Pariwisata Borobudur di Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Secara skematis, mekanisme yang terjadi dapat digambarkan pada gambar 5.
Hasil forum, yaitu berupa usulan program yang akan diolah oleh Business Development Service (BDS) Bina Swadaya untuk disusun menjadi proposal perencanaan pengembangan klaster. Kemudian proposal tersebut akan diajukan ke instansi terkait melewati klaster dan FEDEP Kabupaten Magelang dan dibantu juga oleh FPESD Provinsi Jawa Tengah. Forum tersebut dilaksanakan satu bulan sekali dan difasilitasi oleh FEDEP, sedangkan forum yang diadakan sendiri oleh FRKPB, diadakan minimal tiga kali dalam satu bulan.
Bagan tersebut menjelaskan bahwa terdapat dua mekanisme perencanaan pada Forum Rembug Klaster Pariwisata Borobudur
PENDAMPINGAN Agustus s/d
• Lay out
2
• Renstra BAPPEDA+ Dinas
September
SENTRA/KEC
• Assesment Sept
FORUM REMBUG Dibantu BDS
1 FEDEP
Agustus
3
Kab/Kota
4b
POKJA
FPESD Oktober POKJA 5b Oktober
POKJA
RAKER FPESD
FOKUS PROGRAM : • PERTANIAN • UKM BERBASIS EKSPOR • PARIWISATA
POKJA 6b FPESD April PENAJAMAN
USULAN USULAN PROGRAM PROGRAM Nopember
7b
FORUM SKPD
DANA INGUB/2P OA
DANA INGUB/2P OA
SEKTORAL PROPINSI
SEKTORAL PROPINSI
PUSAT
PUSAT
RAKORBANG
Gambar 4. Mekanisme Perencanaan Non Statutory Pengembangan Klaster/UKM yang dilakukan FPESD Provinsi Jawa Tengah Sumber: FPESD Provinsi Jawa Tengah, 2006.
72
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 20/No.2 Agustus 2009
Pelaku Usaha
Masalah
Forum dalam Kelompok Usaha
Proposal Pengembangan Klaster
Pengurus Klaster
FRKPB Klaster Pariwisata Instansi Terkait
Normal
BDS Bina Swadaya
FEDEP FPESD
Gambar 5. Mekanisme Perencanaan Non Statutory Pengembangan Klaster Pariwisata Borobudur di Kabupaten Magelang Sumber: Pusat Pelayanan Perencanaan Pembangunan Partisipatif (P5) UNDIP.
Mekanisme yang kedua bersifat kondisional. Pada mekanisme ini, forum diadakan oleh kelompok usaha ketika muncul permasalahan yang harus diselesaikan bersama. Pada forum ini, pengurus klaster akan diundang dan diajak untuk ikut berdiskusi. Hasil forum, baik berupa solusi atau usulan program, akan disampaikan oleh pengurus klaster yang diundang tersebut ke FRKPB yang diadakan minimal tiga kali dalam satu bulan. Untuk proses selanjutnya sama dengan mekanisme normal.
dilakukan pada proses perencanaan pengembangan Klaster Melon Merah di Kabupaten Pekalongan Provinsi Jawa Tengah adalah sebagai berikut: 3.4.1. Identifikasi permasalahan Identifikasi potensi dan permasalahan dilakukan sendiri secara partisipatif oleh para pelaku usaha (dalam hal ini para petani yang tergabung dalam kelompok tani). Adapun permasalahan tersebut dibahas dalam forum yang dihadiri oleh seluruh pelaku usaha pada masing-masing Kelompok Tani bersama dengan Asosiasi Melon Tani Manunggal yang berfungsi sebagai wadah penampung aspirasi.
3.4 Proses Perencanaan Non-Statutory Pengembangan Klaster Pertanian Melon Merah di Kabupaten Pekalongan Bagian ini menguraikan proses perencanaan non-statutory yang dilakukan dalam menyusun perencanaan pengembangan Klaster Pertanian Melon Merah di Kabupaten Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan gambar 6, dapat dijelaskan masing–masing tahapan yang
3.4.2. Penetapan tujuan dan sasaran Tahapan kedua yang dilaksanakan dalam proses perencanaan adalah melakukan pembahasan tujuan yang akan dicapai sebagai
73
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 20/No.2 Agustus 2009
upaya pemecahan masalah dengan metode yang lebih kepada musyawarah mufakat.
dihasilkan melalui forum perencanaan formal seperti Musrenbang) guna menghindari duplikasi pelaksanaan program dan juga erat kaitannya dengan kesesuaian kapasitas anggaran pemerintah daerah.
3.4.3. Pengumpulan data Jika dalam forum tersebut tidak tercapai konsesus pemecahan masalah, maka mereka mengumpulkan data selengkap-lengkapnya guna menjadi pendukung untuk mengangkat permasalahan tersebut kepada forum di atasnya, yaitu melakukan pembahasan bersama Komuniti Forestri selaku BDS pendamping.
3.4.7. Implementasi Setelah terbentuk kesepakatan antara berbagai pihak dan tercukupinya kebutuhan anggaran dana, maka usulan program tersebut siap untuk dilaksanakan/diimplementasikan.
3.4.4. Persiapan rencana Tahapan selanjutnya adalah melakukan penyusunan draft program rencana tahunan. Persiapan rencana tersebut disusun secara bersama-sama dengan menghadirkan seluruh anggota Kelompok Tani, Asosiasi Melon Tani Manunggal, Komuniti Forestri, FPESD Kabupaten Pekalongan, serta anggota BAPPEDA yang tergabung dalam anggota FPESD Kabupaten Pekalongan.
3.4.8. Monitoring dan Evaluasi Selama pelaksanaan tidak terlepas dari monitoring dan juga evaluasi untuk mengamati perkembangan peluang keberhasilan program. Melalui seperangkat indikator penilaian dalam evaluasi tersebut disinkronkan dengan tujuan yang akan dicapai. Jika nilai perkembangannya positif, maka selanjutnya akan mencoba memikirkan upaya peningkatannya, namun jika kurang berhasil maka dilakukan feedback pada masing-masing tahapan.
3.4.5.Usulan kepada Pemerintah Kabupaten Pada tahap selanjutnya, yaitu usulan kepada Pemerintah Kabupaten dibahas dalam forum yang menghadirkan ketua masing-masing Kelompok Tani sebagai perwakilan dari anggota-anggotanya, Asosiasi Melon Tani Manunggal, Komuniti Forestri, FPESD Kabupaten Pekalongan, serta juga dihadiri dari unsur pemerintah yaitu BAPPEDA Kabupaten Pekalongan.
3.5. Efektivitas Perencanaan Non–Statutory Sebagai Instrumen Perencanaan Lokal/ Daerah di Jawa Tengah Baik dalam konteks means (alat) maupun ends (tujuan), efektivitas perencanaan non-statutory sebagai instrumen perencanaan lokal/daerah memiliki beberapa penjelasan. Pertama, perencanaan non-statutory yang lebih banyak menggunakan pendekatan partisipatif (participatory planning) secara efektif mampu menjadi forum pelibatan masyarakat (dan stakeholder lain, seperti pemerintah, swasta, LSM dan juga organisasi masyarakat lain) untuk berperan aktif, baik dalam tahapan perencanaan, implementasi, maupun monitoring dan evaluasi program pengembangan ekonomi lokal daerah di Jawa Tengah. Hal ini bisa terlihat secara jelas pada
3.4.6. Penentuan prioritas Data-data usulan tersebut dikumpulkan dan disusun skala prioritas secara bersama-sama dengan pertimbangan program-program yang paling mendesak, efektif, dan efisien melalui metode Participatory Appraisal of Competitive Advantage (PACA). Penentuan skala prioritas tersebut dilakukan supaya dapat disesuaikan dengan perencanaan program yang akan dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten (yang
74
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 20/No.2 Agustus 2009
Identifikasi permasalahan Pelaku usaha Implementasi Asosiasi Melon Tani Manunggal
Perwakilan ketua Kelompok Tani + Asosiasi Melon Tani Manunggal + Komuniti Forestri + FPESD Kabupaten Pekalongan + Dinas Pemerintahan + BAPPEDA
Kelompok Tani + Asosiasi Melon Tani Manunggal
Evaluasi Menetapkan tujuan dan sasaran
Sinkronisasi
Feedback
Kelompok Tani + Asosiasi Melon Tani Manunggal
Usulan ke (Pemerintah Kabupaten)
Perwakilan ketua Kelompok Tani + Asosiasi Melon Tani Manunggal + Komuniti Forestri + FPESD Kabupaten Pekalongan
Kelompok Tani + Asosiasi Melon Tani Manunggal + Komuniti Forestri + FPESD Kabupaten Pekalongan + anggota BAPPEDA
Mengumpulkan dan menginterpretasikan data
Proposal Perencanaan Pengembangan Klaster Pertanian Melon Merah
Gambar – 6 :
Proses Perencanaan Non Statutory Pengembangan Klaster Melon Merah Kabupaten Pekalongan Sumber: Pusat Pelayanan Perencanaan Pembangunan Partisipatif (P5) Universitas Diponegoro.
proses perencanaan yang dilakukan dalam rangka pengembangan klaster melon merah di Kabupaten Pekalongan (lihat gambar 6). Masyarakat (asosiasi petani melon dan stakeholder lainnya) dilibatkan sejak pengidentifikasian masalah, perencanaan program pengembangan klaster hingga implementasi program. Masyarakat juga diberikan kesempatan untuk melakukan
di
evaluasi dan memberikan umpan balik (feedback) terhadap implementasi program. Kedua, perencanaan non–statutory mampu meminimalkan konflik yang terjadi antar stakeholder di tingkat lokal/daerah. Komposisi dan struktur forum pengembangan ekonomi lokal/daerah di tingkat provinsi (FPESD), kabupaten/kota (FEDEP), dan kelompok usaha
75
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 20/No.2 Agustus 2009
(FRK) yang terdiri dari multistakeholder (lihat gambar 1) memungkinkan terjadinya komunikasi dan interaksi yang intensif antar stakeholder sehingga dapat dilakukan kompromi kepentingan antar berbagai pihak serta tercapainya konsensus bersama antar stakeholder.
program dan rencana tindak (action plan), terbukti mampu menjabarkan perencanaan statutory (formal) menjadi lebih adaptif, taktis dan implementatif. 4. Penutup Perencanaan non-statutory yang dilakukan oleh FPESD Jawa Tengah, FEDEP kabupaten/kota dan juga Forum Rembug Klaster (FRK) terbukti secara efektif mendukung kegiatan perencanaan dan pembangunan di Jawa Tengah, khususnya dalam bidang pembangunan ekonomi lokal /daerah. Dalam konteks perencanaan pembangunan di Indonesia pada umumnya dan Jawa Tengah pada khususnya, ini dapat menjadi bukti bahwa perencanaan nonstatutory yang sifatnya informal dan tidak diatur secara eksplisit melalui peraturan perundangan dapat berfungsi secara efektif sebagai instrumen perencanaan pembangunan di tingkat lokal /daerah.
Ketiga, di negara maju (misalnya di Inggris), perencanaan non–statutory mempunyai dua fungsi pokok, yaitu sebagai instrumen pemanfaatan dan pengendalian pembangunan. Dalam kasus yang terjadi di Jawa Tengah, perencanaan non–statutory lebih dominan sebagai fungsi implementatif daripada fungsi pengendalian. Hal ini bisa tercermin dari substansi produk perencanaan non–statutory yang dihasilkan baik pada tataran provinsi, kabupaten/kota, maupun kelompok usaha (klaster) lebih banyak me-muat program– program pengembangan ekonomi lokal/daerah, khususnya pengembangan klaster usaha/UKM yang ada di kabupaten/kota di wilayah Provinsi Jawa Tengah.
Perencanaan non-statutory yang lebih bersifat fleksibel, taktis, dan adaptif mampu merespon secara cepat dan akurat terhadap kebutuhan dan permasalahan yang terjadi pada tingkat lokal/daerah. Dengan demikian, perencanaan non-statutory ini dapat mengeliminir kelemahan instrumen perencanaan statutori/formal – seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJMD, Rencana Tata RuangWilayah (RTRW), Rencana Strategis (RENSTRA), dst. – yang cenderung bersifat makro-komprehensif, rigid dan relatif kurang fleksibel karena dibatasi oleh peraturan perundangan yang berlaku pada tataran nasional maupun daerah.
Keempat, seperti halnya di negara maju (lihat gambar 2), di wilayah Provinsi Jawa Tengah perencanaan non-statutory bersifat komplementaris terhadap perencanaan lokal/daerah yang bersifat statutori/formal (lihat gambar 3). Meski pada awalnya ada sedikit kekhawatiran bahwa proses–proses perencanaan non-statutory menjadi “tandingan” bagi proses perencanaan formal (terutama Musrenbang dan juga peren-canaan tata ruang), namun kekhawatiran itu tidak terbukti. Dalam kasus di Jawa Tengah, proses perencanaan non-statutory yang menitikberatkan pada pengembangan ekonomi lokal/daerah berjalan beriringan dengan perencanaan pembangunan daerah secara umum. Terkait output perencanaan yang dihasilkan, maka output dari perencanaan nonstatutory yang bersifat lebih berorientasi pada
Mengacu pada proses dan hasil perencanaan non–statutory di wilayah Provinsi Jawa
76
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 20/No.2 Agustus 2009
Planning–Information Sheet: Non Satutory and Statutory Regional Plans. Queensland: Queensland Government. Forum Pengembangan Ekonomi dan Sumber-daya Daerah (FPESD) Provinsi Jawa Tengah. 2006. Pola Pengembangan Klaster di Jawa Tengah. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengembangan Klaster dan Display Program 23 Klaster di Provinsi Jawa Tengah. Surakarta, 27-28 Maret 2006. Miyasto. 2005. Langkah Menuju Penguatan UKM di Jawa Tengah Melalui Forum Stakeholder Lokal. Makalah dipresentasikan pada The 1st Participatory Planning and Development Conference: Meninjau Kembali Pembangunan Partisipatif: Praktek dan Prospeknya di Indonesia, Semarang 29 September 2005. Pusat Pelayanan Perencanaan Pembangunan Partisipatif (P5) UNDIP. 2008. Evaluasi Kinerja Klaster Usaha di Jawa Tengah. Semarang: Plano Media. Saunders,Wendy dan Becker, Julia. 2006. Land Use Planning For Natural Hazards In New Zealand. Lower Hutt : GNS Science.
Tengah yang dinilai cukup efektif sebagai instrumen implementasi dalam perencanaan lokal, khususnya dalam perencanaan pembangunan ekonomi lokal/daerah, maka seperti halnya di negara maju, pendekatan ini sebaiknya juga dilakukan terhadap sektor/bidang pembangunan yang lain di luar bidang ekonomi, seperti bidang sosial, fisikinfrastruktur dan lingkungan, dan juga terkait fungsi yang harus dilakukan tidak hanya sekedar fungsi pemanfaatan /implementasi pembangunan, tetapi juga fungsi pengendalian pembangunan lokal /daerah. Daftar Pustaka Bruton, Michael dan Nicholson, David. 1987. Local Planning in Practice. London: Hutchinson Education. Department of Infrastructure and Planning Queensland Government. 2008. Regional
77