PERENCANAAN LAHAN RAWA UNTUK PENINGKATAN PRODUKSI PADI DAN REVISI TATA RUANG DI KAWASAN HIDROLOGIS GAMBUT MUARA SABAK TIMUR
RAZIALDI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perencanaan Lahan Rawa untuk Peningkatan Produksi Padi dan Revisi Tata Ruang di Kawasan Hidrologis Gambut Muara Sabak Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2016 Razialdi NRP A156140214
RINGKASAN RAZIALDI. Perencanaan Lahan Rawa untuk Peningkatan Produksi Padi dan Revisi Tata Ruang di Kawasan Hidrologis Gambut Muara Sabak Timur. Dibimbing oleh BABA BARUS dan ATANG SUTANDI. Kabupaten Tanjung Jabung Timur merupakan salah satu wilayah di Provinsi Jambi yang memiliki potensi lahan rawa cukup besar dalam pemanfaatan ruangnya, yang terbagi dalam beberapa Kawasan Hidrologis Gambut (KHG). Proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia / makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan selaras dan seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan. Pengelolaan dan pemanfaatan daerah rawa untuk pertanian menghadapi kendala, antara lain intrusi air laut, tingkat kesuburan tanah rendah, pH tanah masam, kandungan unsur hara NPK relatif rendah, penurunan permukaan tanah yang besar setelah di drainase dan ketersediaan air baku pertanian yang semakin sedikit dikarenakan rusaknya fungsi lindung ekosistem gambut. Tujuan penelitian yaitu : (1) Aspek sebaran indikasi intrusi air laut dan lahan sulfat masam secara spasial keruangan; (2) Evaluasi lahan dengan mempertimbangkan kesesuaian dan ketersediaan lahan pertanian rawa guna meningkatkan perekonomian petani; (3) Mengoptimalkan perencanaan kawasan lindung (pesisir pantai dan sempadan sungai) serta kawasan potensi perlindungan air tanah (kubah gambut) atau potensi perlindungan lainnya; dan (4) Memberikan rekomendasi arahan kebijakan perencanaan lahan rawa dalam revisi tata ruang Kabupaten untuk meningkatkan produksi padi dan revisi tata ruang di Kawasan Hidrologis Gambut Muara Sabak Timur. Penelitian ini menggunakan data primer yang diperoleh melalui pengambilan sampel solum dan air tanah dangkal berdasarkan garis transek dan observasi langsung. Kemudian sampel air dan tanah dilakukan pengujian laboratotium untuk mendapatkan parameter yang dibutuhkan. Pengumpulan data dalam bentuk kuisioner dan wawancara yang mendalam kepada masyarakat (petani) untuk mendapatkan informasi tentang pertanian dan produksi padi di KHG. Data sekunder menggunakan data yang ada diperoleh dari berbagai instansi yang terkait. Metode analisis yang digunakan adalah (1) Analisis sebaran indikasi intrusi air laut dan lahan sulfat masam dilakukan interpolasi dengan teknik IDW, sintesis dan analisa dengan mengamati pola spasial pH, DHL dan interaksinya dengan penggunaan lahan: (2) Evaluasi kesesuaian dan ketersediaan lahan padi dilakukan pengkelasan lahan dengan metode overlay peta-peta dasar berdasarkan faktor-faktor penghambat dan kriteria kesesuaian lahan padi sawah; (3) Perencanaan pengelolaan kawasan lindung dan kawasan potensi perlindungan air tanah dengan teknik IDW, interpretasi citra disesuaikan dengan peraturan Green Belt dan kubah gambut; (4) Merumuskan arahan perencanaan lahan rawa untuk meningkatkan produksi padi dan revisi tata ruang di KHG Muara Sabak Timur berdasarkan point 1,2 dan 3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa KHG Muara Sabak Timur sebahagian besar telah dipengaruhi intrusi air laut dan lahan sulfat masam. Intrusi air laut diperkirakan telah mempengaruhi kawasan seluas 30.909 Ha pada bagian utara
(dekat pesisir pantai) dan berpotensi akan mengurangi produksi padi dengan perkiraan kehilangan hasil tanaman 20-50% atau lebih. Kawasan yang tergolong lahan sulfat masam potensial, sesuai dengan klasifikasi derajat kemasaman pH tanah yang masih berpotensi untuk produksi padi seluas 43.332 Ha. Ketersediaan dan kesesuaian luas lahan baku sawah secara keseluruhan seluas 7.340,59 Ha dengan kelas kesesuaian lahan S3 (sesuai marginal). Areal kawasan lindung pesisir pantai dan sempadan sungai, telah terdegradasi dan terkonversi kepenggunaan lahan budidaya seluas 1.665 Ha dari luas keseluruhan areal kawasan lindung seluas 4.600 Ha. Rencana zonasi kawasan budidaya dengan bersifat lindung seluas 11.446 Ha dari luas KHG merupakan solusi untuk melindungi lumbung ketersediaan air baku pertanian. Arahan kebijakan pemerintah daerah untuk revisi RTRW kabupaten guna meningkatkan produksi padi dan revisi tata ruang sangat terkait dengan masalah kesejahteraan masyarakat dari sisi ekonomi dan ketahanan pangan dari sisi produksi. Kata kunci: Evaluasi lahan, Intrusi air laut, Konservasi ekosistem gambut, Lahan sulfat masam, Revisi tata ruang.
SUMMARY RAZIALDI. Swamp Planning Land to Enhancement Production of Rice and Revised Spatial in Peat Hydrological Areas East Muara Sabak. Supervised by BABA BARUS and ATANG SUTANDI. East Tanjung Jabung regency is one of area in Jambi Province which has the potential to swamp large enough in the utilization of space, which is divided into several Hydrological Region Peat (KHG). Spatial planning process, which produces spatial plan (RTRW) is basically a form of intervention that human interaction/mortal with the environment can work in harmony and balance to the achievement of human well-being/living things and the environment and sustainable development. Management and utilization of swamp areas for agriculture is facing challenges, among others seawater intrusion, soil fertility is low, pH of acid soils, the content of NPK nutrients is relatively low, land subsidence great after the drainage and water availability of agricultural raw dwindling due to damage peat ecosystem protection function. Research objectives are: (1) Distribution analysis of indication salt water intrusion effect and acid sulphate soil in spatial; (2) Land evaluation to consider the suitability and availability of agricultural land in order to improve the economy of farmers; (3) Optimizing the planning of protected areas (coastal and river border) as well as the potential for groundwater protection area (peat dome) or other protection potential; and (4) Provide recommendations swamp land planning policy directives in the revised RTRW district to increase rice production and regional development in Peat Hydrological Region East Muara Sabak. This study uses primary data obtained through sampling solum and shallow groundwater based on transect lines and direct observation. Then the samples of water and soil testing laboratotium to get the required parameters. The collection of data in the form of questionnaires and in-depth interviews to people (farmers) to obtain information about agriculture and rice production in the KHG. Secondary data using existing data obtained from various related agencies. The analytical method used was (1) Distribution analysis of indication salt water intrusion effect and soil acid sulfate interpolation technique IDW, synthesis and analysis by observing the patterns of spatial pH, DHL and its interaction with land use: (2) Evaluation suitability and availability of rice land is done grading land overlay method base maps based on factors inhibiting and suitability criteria rice field; (3) planning the management of protected areas with the potential for groundwater protection IDW techniques, image interpretation adjusted to the rules Green Belt and peat dome; (4) To formulate directives swamp land planning to increase rice production and regional development in KHG East Muara Sabak based point 1,2 and 3. The results showed that KHG East Muara Sabak has largely been influenced by the intrusion of sea water and acid sulphate soil. Indication salt water intrusion effect is estimated to have affected an area of 30,909 Ha in the north (near the coast) and will potentially reduce rice production by an estimated yield loss of 20-50% or more. The area belongs to the potential acid sulphate soil, in accordance with the pH classification degree of acidity soil, which is still potential for rice production
area of 43,332 Ha. The availability and suitability of raw land area of 7340.59 acres of paddy overall suitability Ha with class S3 (suitable marginal). Protected coastal areas and river banks, degraded and converted consumerism cultivated land area of 1,665 hectares of the total area of protected areas covering an area of 4,600 Ha. Zoning plan for the area is protected cultivation area of 11,446 hectares of area KHG is a solution to protect the availability of water for agriculture barn. Instructions local government policies to revised spatial districts in order to increase rice production and regional development is related to the welfare of the people from the economic and food security in terms of production.
Key words: Acid sulfate soil, Land evaluation, Peat ecosystem conservation, Spatial revised, Salt water intrusion.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERENCANAAN LAHAN RAWA UNTUK PENINGKATAN PRODUKSI PADI DAN REVISI TATA RUANG DI KAWASAN HIDROLOGIS GAMBUT MUARA SABAK TIMUR
RAZIALDI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisis pada Ujian Tesis:
Dr Ir Budi Nugroho, M.Si
PRAKATA Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan petunjuk dan kemudahan dalam menyelesaikan tesis yang membahas permasalahan Perencanaan Lahan Rawa untuk Peningkatan Produksi Padi dan Revisi Tata Ruang di Kawasan Hidrologis Gambut Muara Sabak Timur Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Dalam proses penyusunan tesis ini berbagai hambatan dihadapi penulis. Namun atas bantuan, bimbingan, dan kerjasama dari berbagai pihak sehingga tesis ini selesai. Oleh karena itu, perkenankan penulis dengan segala kerendahan hati menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Dr Ir Baba Barus, M.Sc sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr Ir Atang Sutandi, M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, dan arahan serta mengkritisi sejak penyusunan rencana penelitian sampai pada penyelesaian penulisan tesis ini. Demikianlah pula ucapan terima kasih dan penghargaan yang sama disampaikan kepada : 1. Bapak Prof. Dr Ir Santun RP Sitorus selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah. 2. Bapak Dr Ir Budi Nugroho, M.Si selaku dosen penguji luar komisi atas masukan dan sarannya. 3. Segenap dosen dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB yang telah mengajar dan membantu penulis selama mengikuti studi. 4. Pimpinan dan staf Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis. 5. Bapak Bupati, Sekretaris Daerah, Kepala Badan Kepegawaian Daerah, serta Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang telah memberikan ijin serta dukungan baik moril maupun materiil unuk mengikuti tugas belajar pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB. 6. Kedua orang tua H. Azyar Azis (alm.) dan Hj. Erniza Munir (alm.) terkasih dan adik-adik tercinta yang telah memberikan ridho dan restunya kepada penulis. 7. Istri tercinta Lusy Amelia yang telah memberikan dorongan semangat sehingga memberikan kekuatan yang besar kepada penulis. 8. Rekan-rekan PWL IPB baik kelas khusus Bappenas maupun reguler yang juga memberikan dorongan moral untuk kesuksesan penulis. 9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas bantuan baik moril maupun materiil selama studi dan penulisan tesis ini. Penulis sepenuhnya menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan. Kritik dan saran yang bermanfaat sangat diharapkan penulis untuk lebih menyempurnakan karya tulis ini. Semoga memberikan manfaat. Bogor, Januari 2016 Razialdi NRP A156140214
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran
1 1 4 5 5 6
2 TINJAUAN PUSTAKA Pengembangan Wilayah Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Gambut Kawasan Hidrologis Gambut Intrusi Air Laut Lahan Sulfat Masam Evaluasi Kesesuaian Lahan Konservasi Ekosistem Rawa Kawasan Lindung (Green Belt) Lahan Rawa
11 11 12 13 15 16 17 19 20
3 BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Jenis dan Sumber Data Analisis Data Penelitian
21 21 21 22 23
4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Fisik Wilayah Geografis Administratif Iklim Ketinggian dan Topografi Jenis Tanah Hidrologi Penggunaan Lahan Kondisi Sosial Wilayah Demografi Ketenagakerjaan Komoditi Padi
31 31 31 31 33 34 35 37 38 39 39 40 40
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Sebaran Indikasi intrusi air laut dan Lahan Sulfat Masam Indikasi Intrusi Air Laut Lahan Sulfat Masam Hubungan Spasial pH dan DHL Evaluasi Ketersediaan dan Kesesuaian Lahan Pertanian Padi Evaluasi Ketersediaan Lahan Evaluasi Kesesuaian Lahan Pengelolaan Kawasan Lindung (Pesisir Pantai, Sempadan Sungai) dan Kawasan Potensi Perlindungan Air Tanah (Kubah Gambut) Atau Potensi Perlindungan Lainnya Rekomendasi Program Kegiatan Perencanaan Lahan Rawa untuk Meningkatkan Produksi Padi dan Revisi Tata Ruang Isu Strategis Lingkungan Isu Strategis Fisik Isu Strategis Ekonomi Isu Strategis Sosial
42 42 42 44 46 47 47 49
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
68 68 68
DAFTAR PUSTAKA
69
LAMPIRAN
74
RIWAYAT HIDUP
77
55 61 61 63 65 66
DAFTAR TABEL 1 Luas lahan menurut pemanfaatannya di Kabupaten Tanjung Jabung Timur Tahun 2011 3 2 Perbandingan luas lahan dan produktifitas padi 4 3 Jenis dan sumber data penelitian 22 4 Klasifikasi DHL Berdasarkan Kualitas Air 24 5 Tujuan penelitian, jenis data, teknik pengumpulan, sumber data, teknik analisis data dan output penelitian 30 6 Luas wilayah per-kecamatan Kabupaten Tanjung Jabung Timur 32 7 Luas KHG Muara Sabak Timur per-kecamatan 33 8 Jumlah Curah Hujan Per-Bulan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, 2013 34 9 Satuan Peta Tanah KHG Muara Sabak Timur 36 10 Satuan Wilayah Sungai Batanghari berdasarkan Permen. PU No 39/PRT/1989 37 11 Komposisi Penduduk Kab. Tanjung Jabung Timur Menurut Jenis Kelamin Tahun 2013 39 12 Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, 2013 40 13 Luas Tanam dan Luas Panen (Sawah & Ladang) di Kabupaten Tanjung Jabung Timur Tahun 2013 41 14 Luas Panen dan Produksi Padi (Sawah & Ladang) di Kabupaten Tanjung 41 Jabung Timur, 2013 15 Luasan Areal Indikasi Intrusi Air Laut sesuai Klasifikasi DHL Berdasarkan Sampel Air Tanah 43 16 Luasan Areal Indikasi Intrusi Air Laut sesuai Klasifikasi DHL Berdasarkan Sampel Tanah Kedalaman 20 cm 44 17 Luasan Areal sesuai Klasifikasi Derajat Keasaman pH Solum Tanah 45 18 Penggunaan Lahan KHG Muara Sabak Timur per-kecamatan 48 19 Lahan Baku Sawah KHG Muara Sabak Timur per-kecamatan 48 20 Luasan Lahan Sawah LP2B KHG Muara Sabak Timur per-Desa 49 21 Luasan Sebaran Tanah Gambut KHG Muara Sabak Timur 50 22 Data hasil analisis uji Laboratorium sampel tanah KHG Muara Sabak Timur 52 23 Luasan Sebaran Kelas Lahan KHG Muara Sabak Timur 53 24 Faktor Pembatas dan Paramater Pembatas Lahan 55 25 Areal Kawasan Lindung KHG Muara Sabak Timur 56 26 Rencana Zonasi KHG Muara Sabak Timur 59
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Peta Administrasi Kabupaten Tanjung Jabung Timur Keberadaan pirit (a) dan Lahan teridikasi intrusi air laut (b) Sistematika Penelitian Proses Pembentukan Gambut di Daerah Genangan
2 8 10 14 Peta Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) sebagai Lokasi Penelitian 21 Sebaran Titik Pengambilan Sampel 24 Peta Administrasi Kabupaten Tanjung Jabung Timur 32 Peta Lokasi Penelitian di KHG Muara Sabak Timur 33 Satuan Peta Tanah KHG Muara Sabak Timur 35 Penggunaan Lahan (Land Use) KHG Muara Sabak Timur 38 Sebaran Daya Hantar Listrik Air Tanah 43 Sebaran Daya Hantar Listrik Tanah pada Kedalaman 20 cm 44 Sebaran Derajat Kemasaman Tanah pada Kedalaman 0 – 20 cm 45 Hubungan Spasial pH dan DHL Tanah 46 Ketersediaan Lahan Baku Sawah KHG Muara Sabak Timur 47 Sebaran Gambut KHG Muara Sabak Timur 51 Kelas Kesesuaian Lahan KHG Muara Sabak Timur 53 Kesesuaian dan Ketersediaan Lahan Sawah Padi Sawah 54 Parameter Pembatas Kesesuaian dan Ketersediaan Lahan Sawah 54 Kawasan Lindung Aktual dan Seharusnya 56 Distribusi Spasial Produksi Padi di KHG Muara Sabak Timur 58 Kawasan Lindung dan Rencana Zonasi Kawasan Budidaya Bersifat Lindung 59
DAFTAR LAMPIRAN 1 Titik Pengamatan dan Data Hasil Uji Laboratorium 2 Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Komoditas Padi Sawah
74 76
1 PENDAHULUAN Kabupaten Tanjung Jabung Timur merupakan salah satu wilayah di Provinsi Jambi yang memiliki potensi lahan rawa cukup besar dalam pemanfaatan ruangnya, yang terbagi dalam beberapa Kawasan Hidrologis Gambut (KHG). Mengingat pentingnya lahan rawa di Kabupaten Tanjung Jabung Timur secara ekonomis maupun secara ekologis, maka perencanaan lahan rawa untuk produktifitas pertanian terutama komoditas padi dan dalam rangka revisi tata ruangnya, harus dilakukan secara hati-hati dengan berupaya mendapatkan manfaat secara optimal namun dengan tetap mempertahankan fungsi ekologisnya. Pengelolaan lahan rawa berkelanjutan akan menentukan banyak hal yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Latar Belakang Kabupaten Tanjung Jabung Timur merupakan pemekaran dari Kabupaten Tanjung Jabung berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 54 tahun 1999 tanggal 4 Oktober 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Kabupaten Tanjung Jabung Timur terletak dibagian pesisir timur Pulau Sumatra yang sebagian besar daratannya merupakan daerah rawa. Kabupaten Tanjung Jabung Timur merupakan pintu gerbang perekonomian Provinsi Jambi di wilayah timur, dikarenakan posisi wilayahnya yang berbatasan dengan selat malaka. Untuk itu revisi tata ruang Kabupaten Tanjung Jabung Timur sangat diperlukan, selain untuk menumbuhkan perekonomian juga untuk menjaga ketahanan nasional. Berdasarkan Undang – Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 disebutkan definisi wilayah dalam tata ruang, yaitu wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia / makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan selaras dan seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development sustainability). Untuk itu revisi tata ruang haruslah disesuaikan dengan konsepkonsep penataan ruang yang memanfaatkan ruang secara tepat dan maksimal. Revisi tata ruang merupakan upaya yang dilakukan untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan wilayah dan menjaga kelestarian lingkungan hidup. Perkembangan suatu wilayah ditentukan atas empat aspek utama, yaitu aspek ekonomi, aspek sosial budaya, aspek fisik dan aspek lingkungan. Batas-batas administrasi merupakan salah satu faktor dalam merencanakan penataan ruang, sehingga dalam penyusunan penataan ruang dapat dikelompokan potensi yang dimiliki pada masing-masing daerah dan penguasaannya pada daerah tersebut. Gambar 1 menunjukkan batasan-batasan administrasi kecamatan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
2
Gambar 1. Peta Administrasi Kabupaten Tanjung Jabung Timur Ekosistem lahan rawa gambut merupakan ekosistem yang khas dimana selalu tergenang sepanjang tahun. Keberadaan lahan rawa gambut memainkan peranan penting dalam siklus hidrologis dan memelihara keanekaragaman hayati. Beberapa keutamaan lahan rawa bila dibandingkan dengan jenis lahan lainnya, antara lain merupakan penyangga lingkungan, sebagai lahan pertanian, sumber reservoir / cadangan air, sebagai tempat hidup habitat flora dan fauna tertentu yang adaptif dengan kondisi lahan rawa gambut, sebagai lokasi produksi padi, dan lainnya. Lahan rawa gambut memiliki peranan yang sangat penting baik ditinjau dari segi ekonomi maupun ekologi. Lahan rawa gambut menyediakan hasil hutan berupa kayu dan non kayu, penyimpan air, pensuplai air dan pengendali banjir, serta merupakan habitat bagi keanekaragaman hayati. Lahan gambut juga sangat berperan penting sebagai pengendali iklim global karena kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan karbon (Barus dan Iman 2009). Pengelolaan dan pemanfaatan daerah rawa untuk pertanian menghadapi banyak kendala, antara lain : a. Intrusi air laut yang semakin dalam masuk kedaratan menyebabkan kondisi lahan salin semakin meluas. b. Tingkat kesuburan tanah rendah, pH tanah masam, kandungan unsur hara NPK relatif rendah. c. Penurunan permukaan tanah yang besar setelah di drainase; d. Ketersediaan air baku pertanian yang semakin sedikit dikarenakan rusaknya fungsi lindung ekosistem gambut. Pemanfaatan dan pengelolaan lahan rawa mempunyai banyak keterkaitan dengan lingkungan yang sangat rumit, pada dasarnya rawa selain mempunyai fungsi produksi juga fungsi lingkungan. Apabila fungsi lingkungan ini menurun
3 maka fungsi produksi akan terganggu. Oleh karena itu perencanaan pengembangan rawa harus dirancang sedemikian rupa untuk memadukan antara fungsi lahan sebagai produksi dan penyangga lingkungan agar saling menguntungkan. Rancangan semacam inilah yang memungkinkan untuk tercapainya pertanian berkelanjutan di lahan rawa. Kabupaten Tanjung Jabung Timur memiliki luasan lahan rawa yang sangat dominan, dimanfaatkan untuk kawasan lindung dan kawasan budidaya. Jumlah areal pemanfaatan lahan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Luas lahan menurut pemanfaatannya di Kabupaten Tanjung Jabung Timur Tahun 2011 (Bappeda Kab. Tanjabtim) No. A. 1. 2. 3. 4. B. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. C. 1. 2. 3. 4.
DATA LAHAN LAHAN SAWAH Tadah Hujan Pasang Surut Lebak, polder Sementara tidak diusahakan LAHAN PERTANIAN KERING/NON SAWAH Tegal/Kebun Ladang/Huma Penggembalaan/Padang rumput Perkebunan Rakyat Ditanami pohon/Hutan rakyat Sementara tidak diusahakan Tambak Kolam/tebat/empang Lain-lain/Pekarangan LUAS BUKAN PERTANIAN Rumah/halaman Taman Nasional Berbak Rawa-rawa Lain-lain/jalan/sungai/danau/tandus JUMLAH
JUMLAH (Ha.) (%) 44.100 8,10 1.165 0,21 28.620 5,26 15 0,00 14.300 2,63 223.530 41,05 40.575 1.690 981 128.086 5.730 42.619 286 399 3.164 276.870 32.316 129.002 8.002 111.550 544.500
7,45 0,31 0,19 23,52 1,05 7,83 0,05 0,07 0,58 50,85 5,93 25,39 1,47 18,06 100,00
Salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Timur dalam meningkatkan produktifitas padi adalah dengan telah ditetapkannya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi, yang telah disahkan melalui Peraturan Daerah Kabupaten Tanjung Jabung Timur Nomor 11 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Timur Tahun 2011 – 2031. Produksi pertanian terutama padi masih menjadi program prioritas pemerintah daerah Kabupaten Tanjung Jabung Timur
4 untuk kurun waktu 20 tahun kedepan. Sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tanjung Jabung Timur nomor 18 tahun 2013 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, bertujuan untuk : - Melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan; - Menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan; - Mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan; - Melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani; - Meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan masyarakat; - Meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani; - Meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak; - Mempertahankan keseimbangan ekologis; dan - Mewujudkan revitalisasi pertanian. Perumusan Masalah Tingkat produksi komoditi padi di Kabupaten Tanjung Jabung Timur berdasarkan data dari BPS Kabupaten Tanjung Jabung Timur, menunjukan bahwa dengan diperluasnya areal sawah tidak serta merta meningkatkan produksi padi. Hal tersebut menunjukkan proses ekstensifikasi sawah tidak efektif untuk meningkatkan produksi padi, seperti yang ditunjukan pada Tabel 2. Tabel 2. Perbandingan luas lahan dan produktifitas padi (BPS Tanjabtim Tahun 2009 - 2013)
No.
Tahun
Jumlah Penduduk
Luas Lahan Sawah (Ha)
Produksi (Ton)
Data BPS s/d tahun 2013 (1) 1 2 3 4 5
(2) 2009 2010 2011 2012 2013
(3) 203.630 205.272 210.420 211.522 212.218
(4) 25.332 56.635 53.302 50.719
(5) 113.956 108.319 104.011 94.854 102.692
Permasalahan penurunan produksi padi di Kabupaten Tanjung Jabung Timur dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Penelitian yang lebih mendalam terhadap faktor-faktor yang diperkirakan menghambat peningkatan produksi padi, harus direncanakan secara detil. Perencanaan lahan rawa dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan aspek-aspek penataan ruang pada setiap KHG Muara Sabak Timur. Masalah yang diperkirakan terjadi atas penurunan produksi padi tersebut jika ditinjau dari aspek penataan ruang pada Kawasan Hidrologis Gambut Muara Sabak Timur, yaitu: 1. Pengelolaan lahan akibat adanya intrusi air laut dan lahan sulfat masam yang belum direncanakan secara rinci dan terarah sesuai dengan sebarannya secara spasial keruangan. 2. Kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk pengembangan komoditas padi yang belum direncanakan dengan optimal.
5 3.
4.
Konservasi kawasan lindung (pesisir pantai dan sempadan sungai) serta kawasan potensi perlindungan air tanah (kubah gambut) atau potensi perlindungan lainnya belum ditetapkan secara optimal. Prioritas perencanaan lahan rawa untuk meningkatkan produksi padi dan revisi tata ruang di Kawasan Hidrologis Gambut Muara Sabak Timur dalam RTRW Kabupaten belum ditetapkan secara maksimal perencanaannya sesuai dengan peraturan penataan ruang yang berlaku. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang dan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini menitikberatkan kepada perencanaan lahan rawa untuk meningkatkan produksi padi dan revisi tata ruang di Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) Muara Sabak Timur Kabupaten Tanjung Jabung Timur, yaitu : 1. Analisis sebaran indikasi intrusi air laut dan lahan sulfat masam secara spasial keruangan. 2. Evaluasi lahan dengan mempertimbangkan kesesuaian dan ketersediaan lahan pertanian rawa guna meningkatkan kesejahteraan petani. 3. Analisis konservasi kawasan lindung (pesisir pantai dan sempadan sungai) serta kawasan potensi perlindungan air tanah atau potensi perlindungan lainnya. 4. Rekomendasi program kegiatan perencanaan lahan rawa dalam revisi tata ruang di KHG Muara Sabak Timur untuk meningkatkan produksi padi. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi keberlangsungan ketahanan pangan khususnya padi yang berkelanjutan di Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) Muara Sabak Timur Kabupaten Tanjung Jabung Timur, dan juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi pemerintah daerah Kabupaten Tanjung Jabung Timur dalam penyusunan revisi tata ruang untuk mendukung program kegiatan pengembangan areal kawasan pertanian pangan berkelanjutan. Manfaat penelitian yaitu: 1. Mengoptimalkan penggunaan lahan dengan mempertimbangkan pengaruh lahan yang terindikasi adanya intrusi air laut dan lahan sulfat masam menurut pola sebarannya. 2. Mengoptimalkan tingkat pendapatan petani dengan mempertimbangkan kesesuaian dan ketersediaan lahan pertanian padi yang disesuaikan dengan potensi wilayahnya. 3. Mempertegas batasan pengelolaan kawasan lindung (pesisir pantai dan sempadan sungai) serta kawasan potensi perlindungan air tanah (kubah gambut) atau potensi perlindungan lainnya secara optimal. 4. Memberikan rekomendasi program prioritas bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Tanjung Jabung Timur dalam revisi tata ruang Kabupaten untuk mengoptimalkan perencanaan lahan rawa guna meningkatkan produksi padi dan revisi tata ruang di Kawasan Hidrologis Gambut Muara Sabak Timur.
6 Kerangka Pemikiran Untuk meningkatkan produksi padi dan revisi tata ruang di KHG Muara Sabak Timur Kabupaten Tanjung Jabung Timur, maka dalam perencanaan lahan rawa, haruslah mempertimbangkan aspek-aspek panataan ruang wilayah yaitu aspek ekonomi, aspek sosial budaya, aspek fisik dan aspek lingkungan. Perencanaan lahan rawa pada KHG Muara Sabak Timur yang optimal untuk ketahanan pangan seiring dengan permasalahan meningkatnya pertumbuhan penduduk dan alih fungsi lahan, perlu mempertimbangkan aspek tersebut, agar keseimbangan antara meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan dapat terjaga. Penelitian ini memiliki tujuan utama untuk mendeteksi permasalahan penurunan produksi padi di KHG Muara Sabak Timur, ditinjau dari segi aspekaspek penataan ruang. Perencanaan lahan rawa dengan mengidentifikasi permasalahan yang terjadi, bertujuan untuk meningkatkan produksi padi, yaitu: a.
Analisis Sebaran Indikasi Intrusi Air Laut dan Lahan Sulfat Masam KHG Muara Sabak Timur mengalami perkembangan perubahan penggunaan lahan yang cukup pesat. Sebelum tahun 2010, kawasan hidrologis ini dikenal sebagai salah satu sentra produksi padi di Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Namun akibat dari perkembangan perubahan penggunaan lahan yang cukup drastis dari kawasan pertanian menjadi perkebunan, menyebabkan pola eksploitasi air tanah yang terus berubah dan semakin meningkat dari waktu ke waktu, dan diduga telah mengakibatkan terjadinya intrusi air laut pada air tanah di daerah pesisir pantai. Lahan sawah yang kondisi drainasenya dipengaruhi oleh intrusi air laut sewaktu terjadi pasang, biasanya memiliki tingkat salinitas yang tinggi. Lahan yang terindikasi terintrusi air laut memiliki kondisi tanah yang berkadar garam terlarut sangat tinggi, akan menimbulkan kejenuhan dan memberikan tekanan terhadap pertumbuhan tanaman. Salinisasi tanah adalah masalah yang umum dijumpai di daerah-daerah dengan curah hujan rendah. Jika dikombinasikan dengan irigasi dan kondisi drainase yang buruk, dapat mengakibatkan hilangnya kesuburan tanah secara permanen. Pengaruh salinitas lebih nyata di daerah kering dan semi kering yang curah hujannya terbatas, evapotranspirasi tinggi, suhu tinggi yang terkait dengan air dan praktek pengelolaan tanah yang buruk merupakan faktor utamanya. Dengan demikian, tidak cukupnya curah hujan serta penguapan yang tinggi dan air tanah yang dangkal pada lahan akan meningkatkan gerakan garam ke permukaan tanah. Praktik irigasi yang tidak benar dan kurangnya drainase telah memperburuk masalah sehingga menyebabkan penurunan yang signifikan pada produktivitas tanaman (FAO 2005). Lahan sulfat masam merupakan bentuk ekosistem yang tidak pernah tergenang atau digenangi air hampir sepanjang tahun. Permasalahan yang umum dijumpai pada lahan sufat masam adalah kemasaman tanah yang tinggi, ketersediaan hara P yang rendah dan fiksasi P yang tinggi oleh Al dan Fe berakibat pada rendahnya hasil tanaman yang diusahakan. Kemasaman tanah yang tinggi memicu larutnya unsur beracun dan kahat hara sehingga tanah menjadi tidak produktif. Sumber kemasaman tanah sulfat masam berasal dari
7 senyawa pirit (FeS₂) yang teroksidasi melepaskan ion- ion hidrogen dan sulfat yang diikuti oleh penurunan pH menjadi sekitar 3. Keadaan tersebut menyebabkan kelarutan Al meningkat sehingga hampir semua tanaman budidaya, termasuk padi tidak dapat tumbuh secara normal (Abdurachman dan Suriadikarta 2000). Penelitian mengenai indikasi adanya sebaran intrusi air laut pada permukaan tanah dan lahan sulfat masam di KHG Muara Sabak Timur, perlu dilakukan agar dapat diketahui daerah-daerah yang memerlukan perhatian khusus dari pemerintah daerah dalam rangka penanggulangan dan pengurangan dampak yang ditimbulkan akibat adanya intrusi air laut dan lahan sulfat masam di KHG Muara Sabak TImur untuk kepentingan peningkatan produktifitas pertanian padi. b. Evaluasi Kesesuaian dan Ketersediaan Lahan Pertanian Padi. Evaluasi lahan untuk perencanaan penggunaan lahan rawa dengan komoditas padi di KHG Muara Sabak Timur, khususnya pada upaya peningkatan produksi padi harus dilakukan dengan mempertimbangkan parameter-parameter pembatas lahan yang terjadi. Untuk menyusun perencanaan tersebut dibutuhkan informasi dasar sumberdaya lahan yang meliputi tentang masalah kesesuaian lahan, merupakan sifat dakhil lahan yang menyatakan daya dukungnya untuk memberikan hasil pertanian pada tingkat tertentu. Evaluasi kesesuaian lahan adalah estimasi daya dukung lahan untuk penggunaan komoditas tertentu, yang menitikberatkan pada tingkat kecocokan sebidang lahan untuk satu penggunaan komoditas tertentu. Kriteria kesesuaian lahan yang merupakan suatu proses penilaian dan pengelompokan lahan menurut kesesuaian relatif lahan atau kesesuaian absolut lahan bagi suatu penggunaan tertentu. Evaluasi kesesuaian lahan sangat diperlukan untuk perencanaan penggunaan lahan yang produktif dan lestari. Penggunaan teknologi berbasis komputer untuk mendukung perencanaan tersebut diperlukan untuk menganalisis, memanipulasi dan menyajikan informasi dalam bentuk tabel dan keruangan. Salah satu teknologi tersebut adalah Sistem Informasi Geografi (SIG) yang memiliki kemampuan membuat model yang memberikan gambaran, penjelasan dan perkiraan dari suatu kondisi faktual. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan informasi dan gambaran keruangan tentang faktor-faktor penghambat lahan untuk komoditas padi di KHG Muara Sabak Timur secara cepat dan akurat. Tujuan penelitian adalah menyajikan data dan informasi tentang evaluasi kesesuaian lahan bagi komoditas padi sawah menggunakan analisis spasial untuk memberikan informasi yang objektif dan lengkap sebagai bahan pertimbangan dalam membuat program kegiatan bagi pemerintah daerah, guna meningkatkan produksi padi berdasarkan faktor-faktor pembatas lahan yang terjadi serta menunjang keberhasilan program LP2B di KHG Muara Sabak Timur.
8 c.
Analisis konservasi kawasan lindung (pesisir pantai dan sempadan sungai) serta kawasan potensi perlindungan air tanah atau potensi perlindungan lainnya. Lahan gambut di Indonesia sudah banyak mengalami pengurangan, baik luas penyebarannya maupun kualitasnya. Pengurangan tersebut disebabkan oleh konversi penggunaan lahan, penebangan kayu (deforestasi) dan kebakaran hutan (Sabiham dan Mulyanto 2005). Pembukaan lahan rawa gambut untuk pengembangan pertanian (terutama untuk tanaman pangan dan perkebunan) semakin intensif dan kondisi ini menyebabkan menyusutnya ketebalan gambut secara drastis. Perencanaan lahan rawa gambut untuk berbagai kepentingan haruslah memperhatikan prinsip-prinsip konservasi secara menyeluruh untuk menjaga kelestariannya sebagai lahan basah alami yang unik yang berkenaan dengan keanekaragaman hayati, plasma nutfah dan ekosistem langka. KHG Muara Sabak Timur pada saat ini telah mengalami penurunan muka air tanah, yang ditandai dengan semakin meluasnya areal budidaya yang terindikasi terintrusi air laut dan lahan sulfat masam. Terdegradasinya kawasan lindung pesisir pantai dan sempadan sungai juga menjadi salah satu penyebab KHG Muara Sabak Timur mengalami kekurangan air baku pertanian. Potensi areal perlindungan air baku lainnya seperti keberadaan kubah gambut, juga semakin terdegradasi akibat dari kesalahan pembuatan saluran drainase. Permasalahan yang terjadi pada KHG Muara Sabak Timur pada saat ini, yang diakibatkan oleh terdegardasinya kawasan lindung pesisir pantai dan sempadan sungai serta penurunan lapisan gambut (deforestasi kubah gambut) ditunjukkan pada gambar 2.
(a)
(b)
Gambar 2. Keberadaan pirit (a) dan Lahan teridikasi intrusi air laut (b). Keberadaan kawasan lindung pesisir pantai dan sempadan sungai sangat diperlukan kelestariannya sebagai kawasan perlindungan terhadap pengaruh intrusi air laut. Kerapatan vegetasi yang alami dari kawasan lindung merupakan pertahanan pertama kawasan terhadap masuknya garam-garam terlarut pada aliran air permukaan. Greenbelt pesisir pantai dan sempadan sungai, biasanya berisi vegetasi yang toleran terhadap pengaruh intrusi air laut, sehingga dapat menetralisir dan menghambat aliran air permukaan yang bermuatan garamgaram terlarut.
9 Lahan gambut merupakan penyangga ekologi, terutama sebagai kawasan resapan air. Dengan kemampuan tersebut, lahan gambut berfungsi mengatur air di dalam dan pada permukaan tanah dengan cara menyerap air yang berlebih pada saat musim penghujan, kemudian menampung dan melepaskannya pada saat lahan di sekitar kekurangan air secara perlahan dan terus menerus. Hal ini tentunya akan menyebabkan air akan tetap mengalir secara konsisten dan menjaga terjadinya banjir. Kawasan kubah gambut (peat dome) merupakan tumpukan serasah atau sisa pelapukan bahan organik yang semakin bertambah ketebalannya. Kubah gambut merupakan tempat yang paling banyak melakukan penyerapan air dan memiliki kedalaman di atas rata-rata, sehingga kapasitas kemampuan untuk menyerap airnya lebih banyak. Konservasi sumberdaya air adalah upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat dan fungsi sumberdaya air agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan mahluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang. Salah satu permasalahan yang berkaitan dengan sumber daya air adalah masalah kekurangan air ataupun kelebihan air. Hal ini diakibatkan antara lain oleh pengaruh perubahan iklim dan juga perubahan tata guna lahan yang menyebabkan penurunan kuantitas air yang terinfiltrasi ke dalam tanah. Tujuan konservasi kawasan lindung pada penelitian ini, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang bahwa ekosistem mangrove termasuk Kawasan Lindung lainnya, yaitu kawasan pesisir berhutan bakau berupa kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan bakau bakau (mangrove) yang berfungsi memberi perlindungan kepada perikehidupan pantai dan lautan. Kawasan dimaksud memiliki lebar 130 x nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah kearah darat. Sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan Perkotaan, RTH sempadan sungai adalah jalur hijau yang terletak di bagian kiri dan kanan sungai yang memiliki fungsi utama untuk melindungi sungai tersebut dari berbagai gangguan yang dapat merusak kondisi sungai dan kelestariannya. d. Rekomendasi program kegiatan perencanaan lahan rawa untuk meningkatkan produksi padi dan revisi tata ruang di KHG Muara Sabak Timur. Untuk mencapai tingkat produksi padi dan revisi tata ruang di Kawasan Hidrologis Gambut Muara Sabak Timur yang lebih maksimal, maka dibutuhkan perencanaan kawasan secara detail dan menyeluruh. Dari solusi permasalahan yang ditemukan pada kerangka pemikiran, maka diharapkan dapat menjadi masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Tanjung Jabung Timur sebagai bahan untuk revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dalam merencanakan KHG Muara Sabak Timur untuk keperluan peningkatan produksi padi dan revisi tata ruang secara berkelanjutan. Agar penentuan arahan dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan, maka sangat perlu untuk ditentukan skala prioritas dalam pengambilan keputusan alternatif strategi kebijakan arahan revisi tata ruang berdasarkan potensi pertanian padi di KHG
10 Muara Sabak Timur yang mengarah pada pentingnya perencanaan lahan rawa untuk kesejahteraan masyarakat dan ketahanan pangan serta mendukung upaya pemerintah daerah untuk melaksanakan program Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Sistematika penelitian perencanaan lahan rawa secara keseluruhan, disajikan pada Gambar 3.
Perencanaan Lahan Rawa
Analisis sebaran indikasi Intrusi Air Laut dan Lahan Sulfat Masam Evaluasi Kesesuaian dan Ketersediaan Lahan Perencanaan pengelolaan kawasan lindung (pesisir pantai, sempadan sungai, kubah gambut atau lainnya) Arahan Kebijakan dalam perencanaan rawa guna meningkatkan produksi padi dan revisi tata ruang Gambar 3. Sistematika Penelitian
11
2 TINJAUAN PUSTAKA Pengembangan Wilayah Konsep pengembangan wilayah berbeda dengan konsep pembangunan sektoral, karena pengembangan wilayah sangat berorientasi pada isu permasalahan pokok wilayah secara terkait, sementara pembangunan sektoral sesuai dengan tugasnya, bertujuan untuk mengembangkan sektor tertentu tanpa terlalu memperhatikan kaitannya dengan sektor-sektor lainnya. Konsep pengembangan wilayah (regional development) merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antar wilayah dan menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah. Pengembangan wilayah sangat diperlukan karena kondisi sosial ekonomi, budaya dan geografis yang sangat berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Pada dasarnya pengembangan wilayah harus disesuaikan dengan kondisi, potensi dan permasalahan wilayah yang bersangkutan. Pembangunan sektoral dan regional berbeda dalam orientasi tetapi saling melengkapi, dimana revisi tata ruang tidak mungkin terwujud tanpa adanya pembangunan sektoral. Sebaliknya, pembangunan sektoral tanpa pengembangan wilayah akan berujung pada tidak optimalnya pembangunan sektor itu sendiri (Riyadi 2002). Menurut Direktorat Pengembangan Kawasan (2002), ditetapkan prinsipprinsip dasar dalam pengembangan wilayah adalah: 1. Sebagai growth center Pengembangan wilayah tidak hanya bersifat internal wilayah, namun harus diperhatikan sebaran atau pengaruh (spread effect) pertumbuhan yang dapat ditimbulkan bagi wilayah sekitarnya, bahkan secara nasional. 2. Pengembangan wilayah memerlukan upaya kerjasama pengembangan antar daerah dan menjadi persyaratan utama bagi keberhasilan revisi tata ruang. 3. Pola pengembangan wilayah bersifat integral yang merupakan integrasi dari daerah-daerah yang tercakup dalam wilayah melalui pendekatan kesetaraan. 4. Dalam pengembangan wilayah, mekanisme pasar harus juga menjadi prasyarat bagi perencanaan pengembangan kawasan. Sasaran utama yang banyak dicanangkan oleh pemerintah daerah maupun pusat dalam mengembangkan wilayahnya adalah meningkatkan pertumbuhan produktivitas (productivity growth), memeratakan distribusi pendapatan (income distribution), memperluas kesempatan berusaha atau menekan tingkat pengangguran (unemployment rate), serta menjaga pembangunan agar tetap berjalan secara berkesinambungan (sustainable development) (Alkadri dan Djajaningrat 2002). Pembangunan sektor pertanian dan wilayah perdesaan sekarang dianggap sangat penting, karena apabila pembangunan sektor ini di wilayah tersebut menjadi tidak berhasil dikembangkan, terutama dalam jangka menengah dan jangka panjang, dapat memberi dampak negatif terhadap pembangunan nasional keseluruhannya, berupa terjadinya kesenjangan yang semakin melebar antar wilayah dan antar kelompok tingkat pendapatan. Pada gilirannya keadaan ini menciptakan ketidakstabilan (instabillity) yang rentan terhadap setiap goncangan
12 yang menimbulkan gejolak ekonomi sosial yang dapat teriadi secara berulang ulang (Anwar dan Rustiadi 1999). Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Gambut Konsep pertanian yang berkelanjutan dapat diwujudkan dengan perencanaan wilayah yang berbasiskan sumberdaya alam yang ada di suatu wilayah tertentu. Konsep perencanaan mempunyai arti penting dalam pembangunan nasional karena perencanaan merupakan suatu proses persiapan secara sistematis dari rangkaian kegiatan yang akan dilakukan dalam usaha pencapaian suatu tujuan tertentu. Perencanaan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah haruslah mencakup aspek kesejahteraan masyarakat untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai, sesuai dengan kondisi dan potensi sumberdaya yang dimiliki agar pelaksanaan pembangunan tersebut dapat berjalan lebih efektif dan efesien. Perencanaan pembangunan wilayah adalah suatu upaya merumuskan dan mengaplikasikan kerangka teori kedalam kebijakan ekonomi dan program pembangunan yang didalamnya mempertimbangkan aspek wilayah dengan mengintegrasikan aspek sosial lingkungan menuju tercapainya kesejahteraan yang optimal dan berkelanjutan. Pembangunan pertanian yang kokoh dan tangguh, artinya pembangunan yang dilakukan harus didukung oleh segenap komponen secara dinamis, ulet, dan mampu mengoptimalkan sumberdaya, modal, tenaga, serta teknologi sekaligus mampu menciptakan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan pertanian harus berdasarkan asas keberlanjutan, yakni mencakup aspek ekologis, sosial dan ekonomi. Pemanfaatan hutan rawa gambut untuk pengembangan pertanian tanaman pangan dan perkebunan menghadapi kendala yang cukup berat, terutama dalam mengelola dan mempertahankan produktivitas lahan. Pemanfaatan lahan yang tidak cermat dan tidak sesuai dengan karakteristiknya dapat merusak keseimbangan ekologis wilayah. Berkurang atau hilangnya kawasan hutan rawa gambut akan menurunkan kualitas lingkungan, bahkan menyebabkan banjir pada musim hujan serta kekeringan dan kebakaran pada musim kemarau. Upaya pendalaman saluran untuk mengatasi banjir, dan pembuatan saluran baru untuk mempercepat pengeluaran air justru menimbulkan dampak yang lebih buruk, yaitu lahan pertanian di sekitarnya menjadi kering dan masam, tidak produktif, dan akhirnya menjadi lahan tidur, bongkor, dan mudah terbakar. Pengembangan lahan rawa untuk pertanian mempunyai kendala, baik aspek biofisik maupun sosial, ekonomi dan kelembagaan. Untuk menjamin keberlanjutan pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam, pengembangan pertanian lahan pasang surut dalam suatu kawasan luas, memerlukan perencanaan dan penanganan yang cermat dan hati-hati. Kekeliruan dalam membuka dan mengelola lahan ini membutuhkan biaya besar untuk merehabilitasinya dan sulit untuk memulihkan kondisi seperti semula (Widjaja-Adhi et al. 1992). Budidaya padi di lahan rawa mempunyai resiko yang cukup tinggi karena pada umumnya lahan rawa bersifat masam, miskin unsur hara, dan mengandung besi (Fe) yang tinggi. Keracunan besi dan ketidakseimbangan kandungan unsur hara merupakan permasalahan utama. Keracunan besi menyebabkan produktivitas padi dilahan rawa relatif rendah (1-2 Ton/ha) atau bahkan tidak menghasilkan. Kondisi ini harus dapat segera diatasi untuk mencegah adanya alih fungsi/konversi
13 lahan dari lahan tanaman pangan (padi) ke lahan perkebunan (sawit). Ada beberapa cara untuk mengatasi keracunan besi, diantaranya adalah penanaman varietas yang toleran dan pemupukan untuk meningkatkan keseimbangan unsur hara. Beberapa varietas padi rawa telah dilepas oleh Badan Litbang Pertanian diantaranya adalah Banyu Asin, Dendang, Mendawak, dan Inpara 1 sampai dengan 6. Dengan pengelolaan tanaman dan sumberdaya secara terpadu, produktivitas padi di lahan rawa dapat mencapai 4-6 T/Ha (Suprihatno et al. 2011). Lahan rawa pasang surut mempunyai peranan penting dalam mendukung peningkatan ketahanan pangan nasional serta pengembangan sistem dan usaha agribisnis, mengingat potensi arealnya luas dan teknologi pengelolaannya telah tersedia. Beberapa teknologi handal yang telah didapatkan dan diterapkan di lahan rawa, serta varietas yang adaptif telah terbukti mampu memperbaiki kualitas dan meningkatkan produktivitas lahan pasang surut (Idak 1982). Keberhasilan dan keberlanjutan pengembangan pertanian atau agribisnis di lahan pasang surut melalui penerapan teknologi pengelolaan lahan dan komoditas yang tepat perlu didukung oleh kemampuan sumberdaya manusia, sarana dan prasarana yang memadai serta kelembagaan yang efektif dan efisien. Kawasan Hidrologis Gambut Sesuai dengan PP 71 Tahun 2014, gambut merupakan mineral organik yang terbentuk secara alami dari sisa-sisa tumbuhan yang telah terdekomposisi serta terakumulasi pada daerah rawa atau genangan air. Ekosistem gambut adalah tatanan unsur gambut yang mempunyai karakteristik yang unik dan rapuh serta merupakan satu kesatuan utuh menyeluruh dalam kesatuan hidrologis gambut yang saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktifitasnya. Kesatuan hidrologis gambut adalah suatu ekosistem gambut yang dibatasi oleh sungai dan atau anak sungai dan atau laut. Proses pembentukan gambut bermula dari adanya genangan di daerah rawa belakang (back swamp), danau dangkal atau daerah cekungan yang secara perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah. Tanaman yang mati dan melapuk secara bertahap membentuk lapisan-lapisan gambut sehingga genangan tersebut terpenuhi timbunan gambut (Gambar 4). Gambut yang tumbuh mengisi genangan tersebut disebut sebagai gambut topogen karena proses pembentukannya disebabkan oleh topografi daerah cekungan. Gambut topogen biasanya relatif subur (eutrofik) karena adanya pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu banjir besar, terjadi pengkayaan mineral yang menambah kesuburan gambut tersebut. Tanaman tertentu masih dapat tumbuh di atas gambut topogen dan hasil lapukannya membentuk lapisan gambut baru yang lama kelamaan membentuk kubah gambut (dome) yang permukaannya cembung. Gambut yang berkembang di atas gambut topogen disebut sebagai gambut ombrogen, yang pembentukannya ditentukan oleh air hujan. Gambut ombrogen lebih rendah kesuburannya dibanding gambut topogen karena hampir tidak ada pengkayaan mineral.
14
Ekosistem Gambut
Gambar 4. Proses Pembentukan Gambut di Daerah Genangan a. Pengisian daerah genangan genangan oleh vegetasi b. Pembentukan gambut topogen c. Pembentukan gambut ombrogen membentuk kubah (Agus dan Subiksa 2008) Proses tersebut memperlihatkan bahwa antara tanggul sungai, rawa belakang dan kubah gambut terjadi interaksi yang dinamis membentuk ekosistem gambut, dimana lingkungan biofisik, unsur kimia dan unsur organisme saling mempengaruhi membentuk keseimbangan. Dari aspek hidrologi, ekosistem gambut ini secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan hidrologi yang utuh. Adanya gangguan pada salah satu subsistem, misalnya perubahan penggunaan lahan pada daerah kubah, akan memberikan dampak pada subsistem lainnya, diantaranya adalah berubahnya fluktuasi debit air musiman, meningkatnya debit puncak, serta meningkatnya intensitas banjir dan kekeringan. Untuk menunjang pembangunan berkelanjutan maka pengembangan pertanian pada lahan rawa gambut memerlukan perencanaan yang cermat dan teliti,
15 penerapan teknologi yang sesuai, dan pengelolaan yang tepat. Konservasi dan optimalisasi pemanfaatan lahan rawa gambut sesuai dengan karakteristiknya memerlukan informasi mengenai tipe, karakteristik, dan penyebarannya. Makin terbatasnya lahan untuk mendukung ketahanan pangan dan memenuhi kebutuhan areal perkebunan dalam rangka pengembangan bioenergi mendorong pemerintah untuk memanfaatkan lahan rawa gambut. Namun, lahan rawa gambut merupakan ekosistem yang rapuh (fragile), sehingga pemanfaatannya harus secara bijak (a wise landuse) dan didasarkan pada karakteristik lahan (BBPPSL 2008). Intrusi Air Laut Gupta (1979) menyatakan bahwa salinitas dipengaruhi oleh pasang surut, curah hujan, penguapan, presipitasi dan topografi wilayah. Salinitas atau cekaman garam merupakan salah satu ancaman bagi produktifitas pertanian dunia di masa yang akan datang serta sebagai salah satu penyebab terjadinya degradasi lahan. Di berbagai negara, salinitas telah menjadi hal yang cukup diperhatikan karena efeknya bagi bidang pertanian. Masalah salinitas berhubungan erat dengan kualitas air, praktik irigasi menggunakan air yang memiliki kandungan garam cukup tinggi secara terus menerus akan menyebabkan garam terakumulasi di daerah perakaran tanaman dan mengganggu pertumbuhan tanaman. Tanah salin adalah tanah yang mengandung senyawa organik seperti (Na+, Mg2+, K+, Cl+, SO42-, HC03-, dan CO32-) dalam suatu larutan sehingga menurunkan produktivitas tanah. Salinitas tanah yang tinggi, akan merusak kesuburan tanah, karena akan mematikan organisme penyubur tanah seperti bakteri dan cacing tanah. Semakin dekat suatu daerah dengan pengaruh air laut, maka akan semakin tinggi kadar garam yang terkandung didalam tanahnya sehingga secara langsung akan menurunkan tingkat kesuburan tanahnya. Garam mempengaruhi pertumbuhan tanaman umumnya melalui: (a) keracunan yang diakibatkan penyerapan unsur penyusun garam secara berlebihan, seperti sodium, (b) penurunan penyerapan air, dikenal sebagai cekaman air dan (c) penurunan dalam penyerapan unsur-unsur penting bagi tanaman khususnya potasium. Gejala awal munculnya kerusakan tanaman oleh salinitas adalah (a) warna daun yang menjadi lebih gelap daripada warna normal yang hijau-kebiruan, (b) ukuran daun yang lebih kecil dan (c) batang dengan jarak tangkai daun yang lebih pendek. Jika permasalahannya menjadi lebih parah, daun akan (a) menjadi kuning (klorosis) dan (b) tepi daun mati mengering terkena “burning” (terbakar, menjadi kecoklatan) (FAO 2005). Salinisasi menjadi hal yang sangat diperhatikan karena kelebihan garam dapat menghalangi pertumbuhan tanaman dengan cara menghalangi kemampuan tanaman untuk menyerap air. Salinitas dapat terjadi secara natural karena kondisi yang disebabkan oleh praktek pengolahan dan manajemen lahan pertanian salah satunya adalah praktek irigasi (Materechera 2011). Pada skala bentang lahan, salinitas tanah mampu berkurang akibat pasokan air hujan maupun dari air irigasi dalam volume dan intensitas yang cukup. Salinitas di lahan sawah sangat erat hubungannya dengan pasokan air irigasi dan merupakan cara paling efektif untuk merehabilitasi tanah akibat dari pengaruh salinitas (van Asten et al. 2004). Pemetaan salinitas dilakukan secara terintegrasi dengan karakteristik tanah yang bertujuan untuk memprediksi hasil panen (Kitchen et al. 1999). Hasil penelitian Sudduth et al. (1995) dan Yan et al. (2007) menghasilkan kesimpulan
16 bahwa keragaman (variability) salinitas tanah sangat dipengaruhi oleh keragaman karakteristik tanah sehingga untuk mendelineasi distribusi salinitas memerlukan zonasi untuk mengelompokan beberapa karakter homogen lahan sehingga pengambilan titik observasi lebih representatif. Zona tersebut diberi istilah satuan pengelolaan lahan. Johnson et al. (2001) juga menemukan bahwa pemetaan lahan salin berdasarkan parameter utama EC merupakan metode paling bagus untuk penentuan titik pengambilan sampel tanah sekaligus sebagai parameter hubungan spasial pengelolaan lahan dan pengaruhnya terhadap tanah. Bahkan perbandingan metode pembuatan zonasi satuan pengelolaan lahan oleh Ferguson et al. (2003) membuktikan bahwa zonasi yang berdasarkan EC tanah adalah lebih baik bila dibandingkan zonasi yang berdasarkan tekstur tanah permukaan dan kelerengan lahan. Lahan Sulfat Masam Pengembangan lahan sulfat masam untuk lahan pertanian menghadapi banyak kendala, antara lain kemasaman tanah yang tinggi dan ketersediaan hara P yang rendah karena difiksasi oleh Al dan Fe. Rendahnya produktivitas lahan sulfat masam selain disebabkan oleh tingginya kemasaman tanah yang menyebabkan meningkatnya kelarutan unsur beracun seperti Al, Fe, dan Mn, juga karena rendahnya kejenuhan basa. Kemasaman tanah yang tinggi memicu larutnya unsur beracun dan meningkatnya kahat hara sehingga tanah menjadi tidak produktif. Lahan sulfat masam merupakan ekosistem yang potensial untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian, karena arealnya yang cukup luas sehingga mempunyai peran yang strategis dalam mendukung peningkatan produksi beras nasional. Namun lahan sulfat masam bukan hanya cocok untuk tanaman padi, tapi juga tanaman pangan lainnya dan tanaman hortikultura dan perkebunan. Hal penting yang harus diperhatikan dalam pemanfaatannya harus hati-hati dan terencana agar tidak mengalami degradasi dan menimbulkan masalah lingkungan. Pemanfaatan lahan marginal, seperti lahan sulfat masam, belum diupayakan secara optimal untuk memenuhi dan mempertahankan kebutuhan pangan nasional. Tanah sulfat masam dapat dibedakan menjadi 2 golongan yaitu (1) tanah sulfat masam potensial yang dicirinya antara lain lapisan pirit pada kedalaman >50 cm dari permukaan tanah dan (2) semua jenis tanah yang digolongkan sebagai tanah sulfat masam aktual. Adapun yang dimaksud dengan tanah sulfat masam potensial yang dicirikan oleh warna kelabu, kemasaman sedang-sampai dengan masam (pH>4.0). Sementara itu yang dimaksud dengan tanah sulfat masam aktual yang dicirikan dengan warna kecoklatan pada permukaan, dan sangat masam atau pH< 3.5 (Noor 1996). Permasalahan yang umum dijumpai pada lahan sufat masam adalah kemasaman tanah yang tinggi, ketersediaan hara P yang rendah dan fiksasi P yang tinggi oleh Al dan Fe. Kemasaman tanah yang tinggi memicu larutnya unsur beracun dan kahat hara sehingga tanah menjadi tidak produktif. Sumber kemasaman tanah sulfat masam berasal dari senyawa pirit (FeS₂) yang teroksidasi melepaskan ion- ion hidrogen dan sulfat yang diikuti oleh penurunan pH menjadi sekitar 3. Keadaan tersebut menyebabkan kelarutan Al meningkat sehingga hampir semua tanaman budidaya, termasuk padi tidak dapat tumbuh secara normal (Abdurachman dan Suriadikarta 2000).
17 Evaluasi Kesesuaian Lahan Evaluasi lahan merupakan proses penilaian potensi suatu lahan untuk penggunaan-penggunaan tertentu. Hasil evaluasi lahan digambarkan dalam bentuk peta sebagai dasar untuk perencanaan tataguna tanah yang rasional, sehingga tanah dapat digunakan secara optimal dan lestari. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya, disamping dapat menimbulkan terjadinya kerusakan lahan juga akan meningkatkan masalah kemiskinan dan masalah sosial lain, bahkan dapat menghancurkan suatu kebudayaan yang sebelumnya telah berkembang (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2001). Menurut Sitorus (2004) metode evaluasi lahan secara langsung untuk keperluan pertanian pada dasarnya dilakukan melalui percobaan, pengumpulan dan pengolahan data hasil tanaman atau pengukuran komponen produktifitas pertanian lainnya. Produktifitas dapat diukur melalui pengumpulan data hasil tanaman yang umum dibudidayakan atau melalui penghitungan keuntungan kegiatan usahatani pada sebidang lahan tertentu. Menurut Ritung et al. (2007) evaluasi lahan adalah suatu proses penilaian sumber daya lahan untuk tujuan tertentu dengan menggunakan suatu pendekatan atau cara yang sudah teruji. Hasil evaluasi lahan akan memberikan informasi dan/atau arahan penggunaan lahan sesuai dengan keperluan. Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini (kesesuaian lahan aktual) atau setelah diadakan perbaikan (kesesuaian lahan potensial). Kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan berdasarkan data sifat biofisik tanah atau sumber daya lahan sebelum lahan tersebut diberikan masukan yang diperlukan untuk mengatasi kendala. Data biofisik tersebut berupa karakteristik tanah dan iklim yang berhubungan dengan persyaratan tumbuh tanaman yang dievaluasi. Kesesuaian lahan potensial menggambarkan kesesuaian lahan yang akan dicapai apabila dilakukan usaha-usaha perbaikan. Lahan yang dievaluasi dapat berupa hutan konversi, lahan terlantar atau tidak produktif, atau lahan pertanian yang produktivitasnya kurang memuaskan tetapi masih memungkinkan untuk dapat ditingkatkan bila komoditasnya diganti dengan tanaman yang lebih sesuai. Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO (1976) dapat dibedakan menurut tingkatannya, yaitu tingkat Ordo, Kelas, Subkelas dan Unit. Ordo adalah keadaan kesesuaian lahan secara global. Pada tingkat ordo kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S=Suitable) dan lahan yang tidak sesuai (N=Not Suitable). Kelas adalah keadaan tingkat kesesuaian dalam tingkat ordo. Berdasarkan tingkat detail data yang tersedia pada masing-masing skala pemetaan, kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi: (1) Untuk pemetaan tingkat semi detail (skala 1:25.000-1:50.000) pada tingkat kelas, lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu: lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai marginal (S3). Sedangkan lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N) tidak dibedakan ke dalam kelas-kelas. (2) Untuk pemetaan tingkat tinjau (skala 1:100.000 - 1:250.000) pada tingkat kelas dibedakan atas Kelas sesuai (S), sesuai bersyarat (CS) dan tidak sesuai (N). Kelas S1 : Sangat sesuai, lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas bersifat
18 minor dan tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara nyata. Kelas S2: Cukup sesuai, lahan mempunyai faktor pembatas, dan faktor pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan (input). Pembatas tersebut biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri. Kelas S3: Sesuai marginal, lahan mempunyai faktor pembatas yang berat, dan faktor pembatas ini akan sangat berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan yang lebih banyak daripada lahan yang tergolong S2. Untuk mengatasi faktor pembatas pada S3 memerlukan modal tinggi, sehingga perlu adanya bantuan atau campur tangan (intervensi) pemerintah atau pihak swasta. Kelas N, lahan yang tidak sesuai karena mempunyai faktor pembatas yang sangat berat dan/atau sulit diatasi. Subkelas adalah keadaan tingkatan dalam kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi subkelas berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan (sifat-sifat tanah dan lingkungan fisik lainnya) yang menjadi faktor pembatas terberat, misal Subkelas S3rc, sesuai marginal dengan pembatas kondisi perakaran (rc = rooting condition). Unit adalah keadaan tingkatan dalam subkelas kesesuaian lahan, yang didasarkan pada sifat tambahan yang berpengaruh dalam pengelolaannya. Dalam praktek evaluasi lahan, kesesuaian lahan pada kategori unit ini jarang digunakan (Ritung et al. 2007). Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001) isu utama dalam evaluasi lahan adalah menjawab pertanyaan yaitu lahan manakah yang terbaik untuk suatu jenis penggunaan lahan dan penggunaan lahan apa yang terbaik untuk suatu lahan tertentu. Adanya hasil evaluasi lahan dapat dijadikan dasar untuk memilih komoditas pertanian alternatif yang dikembangkan. Pelaksanaan evaluasi lahan dibedakan ke dalam tiga tingkatan, yaitu : tingkat tinjau skala 1 : 250.000 atau lebih kecil, semi detil skala 1 : 25.000 sampai 1 : 50.000, dan detil skala 10.000 sampai 25.000 atau lebih besar. Menurut Djaenuddin et al. (1994) evaluasi lahan merupakan suatu pendekatan atau cara untuk menilai potensi sumberdaya lahan. Hasil evaluasi lahan akan memberikan informasi atau arahan penggunaan lahan yang diperlukan, dan akhirnya nilai harapan produksi yang kemungkinan akan diperoleh. salah satu pendekatan yang digunakan adalah sistem matching atau mencocokkan antara kualitas dan sifat-sifat lahan (land qualities/land characteristics) dengan kriteria kelas kesesuaian lahan yang disusun berdasarkan persyaratan tumbuh komoditas pertanian yang berbasis lahan. Kesesuaian lahan adalah penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu. Kelas kesesuaian suatu lahan dapat berbeda tergantung tipe penggunaan lahan yang sedang dipertimbangkan (Djaenuddin et al. 1994). Pada prinsipnya penilaian kesesuaian lahan dilaksanakan dengan cara mencocokkan (matching) data tanah dan fisik lingkungan dengan tabel rating kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan persyaratan penggunaan lahan mencakup persyaratan tumbuh/hidup komoditas pertanian yang bersangkutan, pengelolaan dan konservasi. Pada proses matching hukum minimum dipakai sebagai parameter dalam evaluasi lahan antara lain: kemiringan lereng, temperatur udara, drainase, tekstur, alkalinitas, bahaya banjir/genangan. Perencanaan penentuan wilayah pengembangan komoditas tertentu dalam proses evaluasi lahan dapat dilakukan melalui Sistem Informasi Geografi (SIG). SIG adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang
19 bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Untuk keperluan tersebut maka perlu diketahui peta-peta seperti peta lereng, peta status lahan dan peta penutupan lahan. Operasi selanjutnya adalah menumpangtindihkan (overlay) berbagai peta tersebut sehingga dapat diperoleh lokasi yang sesuai dengan persyaratan komoditas yang bersangkutan (Barus dan Wiradisastra 2000). Konservasi Ekosistem Rawa Sumberdaya air merupakan bagian dari kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, secara lestari sebagaimana tercantum dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Konservasi sumberdaya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan perlindungan dan pelestarian sumber air, pengawetan air, serta pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air dengan mengacu pada pola pengelolaan sumberdaya air yang ditetapkan pada setiap wilayah sungai. Ketentuan tentang konservasi sumberdaya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi salah satu acuan dalam perencanaan tata ruang. Penentuan kubah gambut pada kesatuan hidrologis gambut diawali dengan pemahaman proses terbentuknya daerah rawa gambut yang sebagian besar terbentuk pada daerah pasang surut. Pada daerah rawa pasang surut dimungkinkan terjadinya daerah genangan rutin dan relatif stabil khususnyap ada daerah rawa belakang, sedangkan pada daerah pinggirnya seperti tanggul sungai dan limpasan akan bersifat dinamik dan senantiasa dapat asupan sedimen dari sungai. Pada daerah bagian tengah atau daerah rawa belakang gambut kemungkinan terbentuknya kubah gambut, yang pada akhirnya akan berperan sebagai daerah resapan air untuk kawasan sekitarnya. Daerah kubah yang idealnya terletak pada daerah cembungan yang dalam prakteknya relatif sulit dilihat secara langsung di lapangan, kecuali melalui kenampakan vegetasi di permukaan atau keberadaan gambut atau genangan atau pola kenampakan air pada daerah tersebut. Kenampakan genangan mengindikasikan bahwa proses pembentukan kubah masih berjalan dan daerah tersebut menunjukkan bahwa potensi gambut dengan tingkat kedalaman yang tinggi. Sebagian ciri-ciri lapangan tersebut dapat dikumpulkan melalui penggunaan citra satelit seperti pola aliran, kenampakan kelembaban, kenampakan vegetasi atau pola penggunaan lahan (Barus dan Laode 2009). Keppres No. 32 tahun 1990 dan Undang-undang No. 21 tahun 1992 tentang penataan ruang kawasan bergambut menetapkan kawasan bergambut dengan ketebalan 3 m atau lebih, yang letaknya dibagian hulu sungai dan rawa, ditetapkan sebagai kawasan lindung, yang berfungsi sebagai penambat air dan pencegah banjir, serta melindungi ekosistem yang khas dikawasan tersebut. Peraturan ini perlu diberlakukan lebih efektif lagi, disertai sanksi yang tegas bagi yang melanggarnya agar lahan rawa gambut dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dan tidak berdampak buruk bagi lingkungan. Dalam keadaan hutan alami, lahan gambut berfungsi sebagai penambat (sequester) karbon sehingga berkontribusi dalam mengurangi gas rumah kaca diatmosfir, walaupun proses penambatan berjalan sangat pelan setinggi 0-3 mm gambut per Tahun (Parish et al. 2007) atau setara dengan penambatan 0-5,4 t CO2 Ha/Tahun (Agus et all. 2011). Apabila hutan gambut ditebang dan didrainase, maka karbon tersimpan pada gambut mudah teroksidasi menjadi gas CO2 (salah satu gas
20 rumah kaca terpenting). Selain itu lahan gambut juga mudah mengalami penurunan permukaan (subsiden) apabila hutan gambut dibuka. Oleh karena itu diperlukan kehati-hatian dan perencanaan yang matang apabila akan mengkonversi hutan gambut. Perencanaan harus mengacu pada hasil studi yang mendalam mengenai karakteristik gambut setempat dan dampaknya bila hutan gambut dikonversi. Untuk menghindari gangguan gambut di kawasan bergambut, Pemerintah sudah mempunyai regulasi bahwa pengembangan kelapa sawit tidak boleh di daerah hulu sungai, gambut yang mempunyai kedalaman >3 meter (UU No. 26 2007). Khusus tentang peraturan ini, beberapa pemerintah daerah menentang karena keterbatasan ruang pembangunan atau ternyata banyak dilanggar. Saat ini Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sedang mengusulkan bahwa daerah gambut yang tidak boleh dibangun adalah daerah sekitar kubah yang disebut sebagai kubah gambut. Daerah kubah gambut ini merupakan daerah penyimpan dan pengaman lingkungan sekitarnya (Barus dan Iman 2009). Kawasan Lindung (Green Belt) Lahan Rawa Hutan lindung merupakan suatu kawasan yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau kelompok masyarakat tertentu untuk dilindungi. Hutan lindung (protection forest) memiliki fungsi-fungsi ekologis terutama sebagai sumber air dan kesuburan tanah. Sehingga dengan demikian hutan lindung memiliki banyak manfaat bagi masyarakat disekitar hutan lindung. Hutan ditetapkan dalam UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 yang tentang kehutanan menyebutkan: “Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah”. Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Garis sempadan adalah garis batas luar pengaman untuk mendirikan bangunan dan atau pagar yang ditarik pada jarak tertentu sejajar dengan as jalan, tepi luar kepala jembatan, tepi sungai, tepi saluran, kaki tanggul, tepi situ/rawa, tepi waduk, tepi mata air, as rel kereta api, jaringan tenaga listrik, pipa gas. Sabuk hijau (greenbelt) adalah RTH yang memiliki tujuan utama untuk membatasi perkembangan suatu penggunaan lahan atau membatasi aktivitas satu dengan aktivitas lainnya agar tidak saling mengganggu. Hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat yang sangat penting bagi ekosistem hutan, air dan alam sekitarnya. Fungsi atau manfaat hutan bakau dapat ditinjau dari sisi fisik, biologi, maupun ekonomi. Manfaat dan fungsi hutan mangrove secara fisik antara lain: a. Penahan abrasi pantai. b. Penahan intrusi (peresapan) air laut ke daratan. c. Penahan badai dan angin yang bermuatan garam. d. Menurunkan kandungan karbondioksida (CO2) di udara (pencemaran udara). e. Penambat bahan-bahan pencemar (racun) diperairan pantai.
21
3 BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) Muara Sabak Timur Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi, yang merupakan sentra padi. Kabupaten Tanjung Jabung Timur secara geografis terletak pada 0°53’ - 1°41’ LS dan 103°23’ - 104°31’ BT dengan luas 5.445 Km², seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan yaitu dari bulan April sampai dengan September 2015. Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) Muara Sabak Timur, terdiri dari Kecamatan Muara Sabak Timur dan Sebahagian Kecamatan (Kuala Jambi, Nipah Panjang, Rantau Rasau dan Dendang) dengan Luas daratan seluas 50.166 Ha.
Gambar 5. Peta Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) sebagai Lokasi Penelitian
Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian adalah Global Positioning System (GPS), seperangkat bor tanah tangan, kertas pH, alat-alat uji laboratorium tanah serta laptop dengan menggunakan software Windows Office 2013, ArcGIS 10.1 dan software lainnya.
22 Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data penelitian, yaitu: A. Data Primer. Data primer diperoleh dengan cara pengambilan sampel tanah dan air tanah dangkal di KHG Muara Sabak Timur berdasarkan garis transek yang telah ditentukan dalam GPS. Kemudian data sampel air dan tanah tersebut dilakukan pengujian di laboratotium tanah untuk mendapatkan parameter yang dibutuhkan. Pengumpulan data dalam bentuk kuisioner dan wawancara yang mendalam kepada masyarakat (petani) untuk mendapatkan informasi tentang pertanian dan produksi padi di KHG. Pemilihan responden petani dilakukan secara acak namun tetap representatif sesuai dengan pengelompokan karakteristik yang ditemui di lapangan. B. Data Sekunder. Data sekunder bersumber dari peta-peta dasar KHG Muara Sabak Timur, semaksimal mungkin menggunakan data sekunder yang ada. Data ini diperoleh dari berbagai instansi yang terkait. Jenis dan sumber data penelitian dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Jenis dan sumber data penelitian NO.
SUMBER
SKALA
TAHUN
BENTUK
Data Citra Resolusi Tinggi (SPOT atau Ikonos) atau Citra LandSat (optional) Peta Administrasi 1 : 50.000
2011 dan 2014
Softcopy
LAPAN/ Kementan/ USGS.Gov
2011
Softcopy
Bappeda
2012
Softcopy
Kementan RI
4.
Peta Lahan Baku 1 : 50.000 Sawah Penggunaan Lahan 1 : 50.000
2011
Softcopy
Bappeda
5.
Peta Kelerengan
1 : 50.000
2011
Softcopy
Bappeda
6.
Peta Curah Hujan
1 : 50.000
2011
Softcopy
Bappeda
7.
Satuan Peta Tanah
1 : 25.000
1975
Softcopy
Dep. ITSL IPB
8.
Peta Pola Ruang
1 : 50.000
2011
Softcopy
Bappeda
9.
Peta Kawasan 1 : 50.000 Lindung Data luas lahan dan produksi pertanian tanaman padi Peta Land Unit 1 : 50.000
2011
Softcopy
Bappeda
2009 -
Hardcopy
1.
2. 3.
10.
11. 12.
JENIS DATA
Perda RTRW Kabupaten
DATA
2011
Softcopy
BPS Kabupaten Tanjab. Timur Bappeda
2011
Hardcopy
Bappeda
2014
23 Analisis Data Penelitian Metode penelitian yang dilakukan, yaitu: A. Analisis Sebaran Indikasi intrusi air laut dan Lahan Sulfat Masam. Penelitian dilakukan secara bertahap dari persiapan, pengumpulan data, pengolahan data sampai pembuatan laporan, seperti berikut: 1. Metode pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan cara membuat sistem transek line pada peta penggunaan lahan KHG Muara Sabak Timur dan di input kedalam GPS. Survei lapangan dengan tracking setiap titik sampel menggunakan GPS, mengukur pH dengan kertas pH dan mencatat data fisik tanah secara visual (tekstur, warna tanah, kedalaman gambut dan keberadaan pirit). 2. Pengujian sampel air dan tanah di laboratorium dengan menggunakan DHL meter dan pH meter, untuk mendapatkan data nilai sebaran salinitas (µmhos/cm) dan derajat tingkat keasaman tanah (pH). 3. Hasil uji laboratorium terhadap sampel, data diinput ke dalam atribut peta spasial keruangan KHG Muara Sabak Timur berdasarkan titik pengamatan. 4. Untuk mendapatkan peta sebaran salinitas dan sebaran lahan sulfat masam, kemudian dilakukan interpolasi dengan teknik Inverse Distance Weighting (IDW) menggunakan tools software ArcGis dengan pendekatan keruangan (spatial approach). IDW memiliki pengaruh bersifat lokal, berkurang terhadap jarak dan memberikan bobot yang lebih besar pada sel terdekat dibandingkan dengan sel yang lebih jauh (Watson dan Philip 1985). Metode IDW umumnya dipengaruhi oleh inverse jarak yang diperoleh dari persamaan matematika. Pada metode interpolasi ini kita dapat menyesuaikan pengaruh relatif dari titik-titik sampel. Nilai pada interpolasi IDW ini menentukan pengaruh terhadap titik-titik masukan, dimana pengaruh akan lebih besar pada titiktitik yang lebih dekat sehingga menghasilkan permukaan yang lebih detil. Hasil interpolasi data sampel air dan tanah dangkal menghasilkan peta sebaran berbasis raster yang belum diklasifikasi. Menyederhanakan data raster tersebut dengan pengklasifikasian (reclassify) berdasarkan klasifikasi tingkat kualitas air dan derajat kemasaman pH tanah. Dari 72 sampel tanah dan 47 sampel air, interpolasi hanya dilakukan pada 65 sampel tanah dan 42 sampel air, sedangkan terhadap 7 sampel tanah dan 5 sampel air merupakan sampel uji terhadap validasi keakuratan peta sebaran salinitas dan sebaran lahan sulfat masam. 5. Sintesis dan analisa dengan mengamati pola spasial pH, DHL dan interaksinya dengan penggunaan lahan. Klasifikasi kualitas air berdasarkan nilai daya hantar listrik (DHL) seperti ditunjukan pada Tabel 4.
24 Tabel 4. Klasifikasi DHL Berdasarkan Kualitas Air Kualitas Air Tawar Agak Payau Payau Asin Brine Sumber : Suherman (2007)
DHL (µmhos/cm) <1.500 1,500 – 5,000 5,000 – 15,000 15,000– 50,000 >50,000
Tanah sulfat masam dapat dibedakan menjadi 2 golongan yaitu (1) tanah sulfat masam potensial yang dicirinya antara lain lapisan pirit pada kedalaman >50 cm dari permukaan tanah, biasanya memiliki tekstur seluruh lapisan tanah menunjukkan halus yaitu tekstur tanah liat berdebu mempunyai kandungan liat antara 40-75 %, dengan debu 25-60 %, lapisan piritnya berada dalam status reduksi atau proses pemasaman belum berjalan, warna kelabu, kemasaman sedang sampai dengan masam (pH>4.0) dan (2) tanah sulfat masam aktual yang seluruh lapisan tanah memiliki tekstur halus, dengan kandungan fraksi liat 35-70 %, dan debu 25-60 %, sehingga tekstur tanah tergolong liat berdebu, lapisan piritnya telah teroksidasi atau proses pemasaman telah berlangsung, dicirikan dengan warna kecoklatan pada permukaan, dan sangat masam atau pH<3.5 (Noor dan Saragih 1993). Sebaran titik pengambilan sampel air permukaan dan tanah lapisan atas pada KHG Muara Sabak Timur, disajikan pada Gambar 6.
. KETERANGAN : Titik Pengamatan Garis Transek HUTAN SEJENIS ALAM PERKEBUNAN
Kilometers 0 1 2
4
6
8
PERMUKIMAN SAWAH SUNGAI
Gambar 6. Sebaran Titik Pengambilan Sampel
25 Survei data primer dilakukan pengambilan 72 sampel tanah (kedalaman 0 – 20 cm) dan 47 sampel air tanah dangkal, dengan menggunakan alat bor tanah pada kedalaman bor maksimal 100 cm. B. Evaluasi Kesesuaian dan Ketersediaan Lahan Pertanian Padi Evaluasi lahan merupakan bagian dari proses perencanaan tataguna lahan. Inti dari evaluasi lahan adalah membandingkan karakteristik lahan aktual dengan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Kegiatan evaluasi lahan dan survei tanah, sangat dianjurkan dalam rangka untuk merencanakan dan mengkoordinir upaya perbaikan dan pengelolaan lahan pada masing-masing tipe penggunaan atau usahatani. Kegiatan evaluasi lahan ini memberikan informasi secara tepat dan akurat tentang apa yang sebaiknya dikerjakan, dan perbaikan apa saja yang diperlukan untuk pengelolaan lahannya. Termasuk ke dalam evaluasi tersebut adalah penelitian dan penilaian tentang tekstur tanah lapisan atas, kedalaman solum dan subsoil, struktur tanah, keadaan batu-batuan, mudahnya diolah, permeabilitas subsoil, drainase permukaan, drainase internal profil tanah, kemiringan, derajat erosi, dan bahaya erosi bila tanah diolah. Identifikasi potensi lahan pada suatu wilayah untuk komoditas pertanian tertentu, dilakukan pengkelasan areal/lahan dengan metode overlay (tumpang tindih) peta-peta dasar Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Evaluasi kesesuaian lahan berdasarkan faktor-faktor penghambatnya, berdasarkan kriteria kesesuaian lahan untuk pertanian pangan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Kementrian Pertanian. Faktor penghambat, sesuai dengan kriteria kesesuaian lahan tersebut diatas seperti: 1. Tempertur (tc), Ketersediaan Air (wa), Media Perakaran (rc) yang diperoleh dari peta Land Unit. 2. Gambut, diperoleh dari peta Jenis tanah. 3. Retensi Hara (nr), Hara Tersedia (na), Toksisitas (xc), Sodisitas (xn) dan Bahaya Sulfidik (xs). 4. Bahaya banjir / Genangan pada masa tanam (fh). Untuk mengetahui lahan yang sesuai pengembangan komoditas pertanian tanaman padi, terlebih dahulu dilakukan pengolahan data spasial yaitu dengan cara overlay (tumpang tindih) beberapa peta diantaranya peta administrasi skala 1:50.000, peta Land Unit skala 1:50.000, peta jenis tanah skala 1:25.000, peta kelerengan skala 1:50.000, Peta moratorium hutan skala 1:50.000, peta curah hujan skala 1:50.000, peta sawah existing skala 1:50.000. Hasil overlay diperoleh luasan areal padi daerah rawa dengan kelas kesesuaian lahan S1, S2, S3, atau N yang berupa peta kelas kesesuaian lahan skala 1:25.000. Untuk memperoleh potensi luas areal pengembangan padi di Kabupaten Tanjung jabung timur, maka peta kelas kesesuaian lahan skala 1:25.000 di overlay dengan peta penggunaan lahan skala 1:50.000 dan peta pola ruang skala 1:25.000 untuk menghasilkan peta ketersediaan lahan komoditas padi.
26 C. Analisis Konservasi Kawasan Lindung (pesisir pantai, sempadan sungai) dan Kawasan Potensi Perlindungan Air Tanah (Kubah Gambut) Atau Potensi Perlindungan Lainnya. Perlindungan terhadap ekosistem kawasan pesisir pantai dan sempadan sungai di KHG Muara Sabak Timur sebagai pertahanan awal terhadap intrusi air laut. Bila ekosistem ini rusak akan menyebabkan salinisasi lahan-lahan yang berada di sekitarnya. Pemanasan global pada saat ini yang berakibat naiknya permukaan air laut, juga memicu cepatnya intrusi air laut semakin masuk ke area daratan KHG Muara Sabak Timur. Kawasan sekitar pesisir pantai seperti pada Desa Sungai Ular, Desa Kota Raja, Desa Lambur Luar dan Desa Kuala Simbur, kerusakan lahan pertanian dan perkebunan semakin tampak yang ditandai dengan kanopi vegetasi yang layu. Kerusakan lahan diperkirakan disebabkan oleh adanya indikasi intrusi air laut yang mempengaruhi media perakaran tanaman, sehingga garam-garam terlarut didalam tanah menghalangi tanaman dalam menyerap air dan unsur hara dalam tanah. Batasan areal perencanaan konservasi kawasan lindung pesisir pantai dan sempadan sungai, dapat diketahui melalui hasil pengujian laboratorium terhadap sampel tanah dan air tanah permukaan berdasarkan nilai DHL. Keberadaan lapisan gambut di KHG Muara Sabak Timur, telah cukup lama mengalami deforestasi. Kehilangan kubah gambut menyebabkan KHG Muara Sabak Timur berpotensi kekurangan air baku untuk mengembangkan potensi pertanian dan perkebunan. Kubah gambut sebagai kawasan penyimpan air juga berfungsi agar keberadaan pirit tidak sampai mengalami oksidasi, sehingga racun-racun yang menghambat pertumbuhan tanaman dapat ditekan tidak sampai pada lapisan media perakaran. Kubah gambut merupakan areal yang berfungsi sebagai embung penyimpanan air pada saat musim penghujan, dan menjadi sumber air pada saat musim kemarau. Dikarenakan keberadaan kubah gambut di KHG Muara Sabak Timur yang saat ini telah banyak berkurang, dan minimnya ketersediaan sumber air baku pertanian pada saat musim kemarau dan keberadaan pirit yang telah nampak pada lapisan tanah permukaan. Maka diperlukan penelitian untuk menentukan areal zonasi perencanaan kawasan budidaya bersifat lindung yang berfungsi sebagai areal penyimpan air dan menjaga agar oksidasi pirit di media perakaran dapat diminimalisir. Analisis terhadap perencanaan pengelolaan kawasan lindung (pesisir pantai, sempadan sungai dan kubah gambut atau lainnya), yaitu: a. Interpretasi dan digitasi citra resolusi tinggi KHG Muara Sabak Timur, untuk menentukan kawasan lindung yang masih tersedia dan kawasan lindung yang telah terkonversi ke areal penggunaan lainnya. b. Identifikasi terhadap keberadaan kawasan kubah gambut dan pola sebaran kedalaman gambut dengan melakukan survey lapangan. c. Menganalisis kawasan lindung pesisir pantai dan sempadan sungai serta ekosistem gambut yang disesuaikan dengan peraturan yang berlaku. Identifikasi kawasan lindung pesisir pantai dan sempadan sungai, sesuai dengan amanat UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, PP.63/PRT/1993 tentang garis Sempadan Sungai, daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan bekas sungai serta Permen. PU Nomor: 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang
27 Terbuka Hijau (RTH). Menentukan kawasan perlindungan terhadap kubah gambut dan potensi sumber baku air pertanian lainnya sesuai dengan amanat PP No. 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang bahwa ekosistem mangrove termasuk Kawasan Lindung lainnya, yaitu kawasan pesisir berhutan bakau berupa kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan bakau bakau (mangrove) yang berfungsi memberi perlindungan kepada perikehidupan pantai dan lautan. Kawasan dimaksud memiliki lebar 130 x nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah kearah darat. Sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kawasan Perkotaan, RTH sempadan sungai adalah jalur hijau yang terletak di bagian kiri dan kanan sungai yang memiliki fungsi utama untuk melindungi sungai tersebut dari berbagai gangguan yang dapat merusak kondisi sungai dan kelestariannya. Garis sempadan sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan ditetapkan sebagai berikut: a) Sungai besar yaitu sungai yang mempunyai daerah pengaliran sungai seluas 500 km2 atau lebih, penetapan garis sempadannya sekurangkurangnya 100 m; b) Sungai kecil yaitu sungai yang mempunyai daerah pengaliran sungai kurang dari 500 km2, penetapan garis sempadannya sekurang-kurangnya 50 m dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan. c) Pasal 12 : Garis sempadan sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf d ditentukan paling sedikit berjarak 5 m (lima meter) dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur sungai. d) Pasal 13 : Penentuan garis sempadan yang terpengaruh pasang air laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf e, dilakukan dengan cara yang sama dengan penentuan garis sempadan sesuai Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 yang diukur dari tepi muka air pasang rata-rata. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, telah mengatur mengenai perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan sanksi administratif. Pada PP tersebut juga dibahas mengenai kriteria fungsi lindung ekosistem gambut yang terdiri atas: (a) 30 persen dari seluruh luas Kesatuan Hidrologis Gambut; (b) gambut dengan ketebalan 3 (tiga) meter atau lebih; (c) plasma nutfah spesifik dan/atau endemik; (d) spesies yang dilindungi sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan/atau (e) ekosistem gambut yang berada di kawasan lindung sebagaimana ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi. Menurut Keputusan Presiden No. 32/1990 tentang Kawasan Lindung dan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUTR), serta petunjuk penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional-RTRWN, kawasan tanah gambut dengan ketebalan 3 m atau lebih, yang terdapat dibagian hulu sungai dan rawa, ditetapkan sebagai kawasan lindung bergambut. Perlindungan terhadap kawasan ini dilakukan untuk mengendalikan hidrologi
28 wilayah, berfungsi sebagai penambat air dan pencegah banjir, serta melindungi ekosistem yang khas di kawasan tersebut. Serta dalam Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, pasal-pasal yang menyatakan tentang Kawasan Hidrologis Gambut dengan fungsi lindung antara lain : a. Pasal 1 antara lain yaitu : Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi Ekosistem Gambut dan mencegah terjadinya kerusakan Ekosistem Gambut yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Kesatuan Hidrologis Gambut adalah Ekosistem Gambut yang letaknya di antara 2 (dua) sungai, di antara sungai dan laut, dan/atau pada rawa. b. Pasal 9 : Fungsi Ekosistem Gambut meliputi fungsi lindung ekosistem Gambut dan fungsi budidaya ekosistem Gambut. Menteri wajib menetapkan fungsi lindung Ekosistem Gambut paling sedikit 30% (tiga puluh per seratus) dari seluruh luas Kesatuan Hidrologis Gambut serta terletak pada puncak kubah Gambut dan sekitarnya. c. Pasal 11 : Ekosistem Gambut dengan fungsi budidaya dapat diubah menjadi ekosistem Gambut dengan fungsi lindung. Perubahan fungsi Ekosistem Gambut sebagaimana dimaksud dilakukan oleh Menteri atau berdasarkan usulan gubernur atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya kepada Menteri. Perubahan fungsi Ekosistem Gambut dapat dilakukan dalam hal adanya urgensi ekologis untuk melakukan upaya pencegahan atau pemulihan kerusakan lingkungan hidup pada dan/atau di sekitar Ekosistem Gambut serta adanya urgensi ekologis untuk melakukan upaya pencadangan Ekosistem Gambut di provinsi atau kabupaten/kota. d. Pasal 12 : Ekosistem Gambut yang telah ditetapkan sebagai fungsi lindung atau budidaya digunakan sebagai bahan dalam penyusunan dan peninjauan kembali rencana tata ruang wilayah beserta rencana rincinya. D. Rekomendasi program kegiatan perencanaan lahan rawa untuk meningkatkan produksi padi dan revisi tata ruang di Kawasan Hidrologis Gambut Muara Sabak Timur. Berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah dalam melaksanakan otonominya. Pemberian kewenangan yang luas ini memerlukan koordinasi dan pengaturan untuk lebih mengharmoniskan dan menyelaraskan pembangunan baik pembangunan nasional, pembangunan daerah maupun pembangunan antar daerah. Untuk itulah diperlukan suatu sistem perencanaan pembangunan yang dapat menjamin terlaksananya pembangunan secara harmonis, selaras, dan berkelanjutan. Dalam sistem perencanaan pembangunan nasional ini sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, tata cara perencanaan pembangunan
29 dibuat dalam berbagai tahapan yang meliputi jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat baik di tingkat pusat maupun daerah dengan melibatkan masyarakat. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. Hal tersebut di atas telah digariskan dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Rekomendasi program kegiatan perencanaan bagi revisi tata ruang Kabupaten Tanjung Jabung Timur, khususnya di KHG Muara Sabak Timur untuk meningkatkan produksi padi, sehingga program perlindungan ekosistem gambut dan program lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) dapat dimaksimalkan pelaksanaannya. Rekomendasi berdasarkan analisis sebaran salinitas dan lahan sulfat masam, evaluasi ketersediaan dan kesesuaian lahan dan Perencanaan pengelolaan kawasan lindung (pesisir pantai, sempadan sungai dan kubah gambut atau lainnya). Proses pengambilan keputusan selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan pemerintah. Adapun tahapan langkah analisis adalah sebagai berikut: Tahap 1 : Memahami situasi dan informasi yang ada. Tahap 2 : Memahami permasalahan yang terjadi baik, masalah yang bersifat umum maupun spesifik. Tahap 3 : Menciptakan berbagai alternatif dan memberikan berbagai alternatif pemecahan. Tahap 4 : Evaluasi pilihan alternatif dan pilih alternatif yang terbaik. Secara keseluruhan tahapan penelitian dari seluruh tujuan penelitian seperti pada Tabel 5, dapat memberikan rekomendasi yang terukur untuk mendapatkan manfaat penelitian yang diharapkan.
30
x
31
4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Fisik Wilayah Geografis Kabupaten Tanjung Jabung Timur terbentuk berdasarkan Undang-Undang No. 54 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 14 Tahun 2000 dengan luas 5.445 𝐾𝑚2 atau 10,2% dari luas wilayah Provinsi Jambi, namun sejalan dengan berlakunya Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan Perda No. 11 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Timur tahun 2011 - 2031, luas wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Timur termasuk perairan dan 27 pulau kecil (11 diantaranya belum bernama) menjadi 9.005 𝐾𝑚2 yang terdiri dari daratan seluas 5.445 𝐾𝑚2 dan lautan/perairan seluas 3.560 𝐾𝑚2 . Disamping itu memiliki panjang pantai sekitar 191 km atau 90,5 % dari panjang pantai provinsi Jambi. Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang terletak di pantai timur pulau Sumatera ini berbatasan langsung dengan Provinsi Kepulauan Riau dan merupakan daerah hinterland segitiga pertumbuhan ekonomi Singapura-Batam-Johor (SIBAJO). Wilayah perairan laut kabupaten ini merupakan bagian dari alur pelayaran kapal nasional dan internasional (ALKI I) dari utara keselatan atau sebaliknya, sehingga dari sisi geografis daerah ini sangat potensial untuk berkembang (Bappeda Kab. Tanjung Jabung Timur 2013). Kabupaten Tanjung Jabung Timur secara geografis terletak pada 0°53’ 1°41’ LS dan 103°23’ - 104°31’ BT dengan luas 5.445 Km² dengan ketinggian Ibukota-Ibukota Kecamatan dalam Kabupaten Tanjung Jabung Timur berkisar antara 1-5 m dpl. Kabupaten Tanjung Jabung Timur mempunyai luas wilayah 5.445 Km², dengan batas-batas sebagai berikut : Sebelah Utara : berbatasan dengan Laut Cina Selatan. Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kabupaten Muaro Jambi dan Provinsi Sumatera Selatan. Sebelah Barat : berbatasan dengan Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Muaro Jambi. Sebelah Timur : berbatasan dengan Laut Cina Selatan. Administratif Secara administratif Kabupaten Tanjung Jabung Timur dengan Ibukota Muaro Sabak terdiri dari 11 Kecamatan, 73 Desa dan 20 Kelurahan. Adapun namanama Kecamatan dalam Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Bappeda Kab. Tanjung Jabung Timur 2013), adalah sebagai berikut : 1. Kecamatan Muara Sabak Timur dengan Ibu Kota Muara Sabak Ilir 2. Kecamatan Muara Sabak barat dengan Ibu Kota Nibung Putih 3. Kecamatan Kuala Jambi dengan Ibu Kota Kampung Laut 4. Kecamatan Dendang dengan Ibu Kota Rantau Indah 5. Kecamatan Mendahara dengan Ibu Kota Mendahara Ilir 6. Kecamatan Mendahara Ulu dengan Ibu Kota Pematang Rahim 7. Kecamatan Geragai dengan Ibu Kota Pandan Jaya
32 8. 9. 10. 11.
Kecamatan Rantau Rasau dengan Ibu Kota Bandar Jaya Kecamatan Berbak dengan Ibu Kota Simpang Kecamatan Nipah Panjang dengan Ibu Kota Nipah Panjang II Kecamatan Sadu dengan Ibu Kota Sungai Lokan Luas wilayah per-kecamatan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 6, sedangkan letak dan batas wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Timur secara administrasi disajikan pada Gambar 7. Tabel 6. Luas wilayah per-kecamatan Kabupaten Tanjung Jabung Timur Luas Kecamatan (%) (𝑲𝒎𝟐 ) 1. Mendahara 1 8 911,15 16,73 2. Mendahara Ulu 1 6 381,30 7,00 3. Geragai 1 8 285,35 5,24 4. Dendang 1 6 478,17 8,78 5. Muara Sabak Timur 2 10 410,28 7,53 6. Muara Sabak Barat 7 0 251,75 4,62 7. Kuala Jambi 2 4 120,52 2,21 8. Rantau Rasau 1 10 356,12 6,54 9. Berbak 1 5 194,46 3,57 10. Nipah Panjang 2 8 234,70 4,31 11. Sadu 1 8 1.821,20 33,45 Jumlah 20 73 5.445,00 100 Sumber : Bappeda Kab. Tanjung Jabung Timur 2013
No.
Kecamatan
Kel.
Desa
Gambar 7. Peta Administrasi Kabupaten Tanjung Jabung Timur
33 Dikarenakan perencanaan rawa untuk meningkatkan produksi padi dan revisi tata ruang sangat memerlukan kedetilan infomasi, maka pada penelitian ini ditetapkan satu kawasan gambut yaitu Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) Muara Sabak Timur. KHG Muara Sabak Timur merupakan gabungan dari Kecamatan Muara Sabak Timur dan sebagian Kecamatan Nipah Panjang, Rantau Rasau, Berbak dan Kuala Jambi seperti pada Tabel 7 dan Gambar 8. Tabel 7. Luas KHG Muara Sabak Timur per-kecamatan No.
Kecamatan
1. 2. 3. 4. 5.
Muara Sabak Timur Kuala Jambi Rantau Rasau Dendang Nipah Panjang Jumlah
Luas Kecamatan (Ha) (%) 39.826 79,39 1.191 2,37 1.490 2,97 1.677 3,35 11,92 5.982 50.166 100
Gambar 8. Peta Lokasi Penelitian di KHG Muara Sabak Timur Iklim Iklim merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh cukup besar terhadap berhasil tidaknya pembangunan pertanian maupun non pertanian. Kondisi iklim secara makro sangat sulit untuk dikendalikan karakteristiknya, karena dipengaruhi oleh letak geografis dan bentuk kawasan. Dalam hal ini kegiatan yang disesuaikan dengan kondisi iklim setempat, yaitu berdasarkan Zona Agroklimat B1 dengan 8
34 bulan basah (bulan dengan curah hujan > 200 mm) dan 2 bulan kering (bulan dengan curah hujan < 100 mm) berturut-turut. Bulan basah terjadi pada bulan Oktober sampai April, sedangkan bulan kering terjadi mulai bulan Juni sampai Agustus. Untuk semua wilayah di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, sepanjang tahun 2008 mempunyai curah hujan tahunan sekitar 2.000 – 3.000 mm, dimana 8 – 10 bulan basah, 2 – 4 bulan kering. Rata-rata curah hujan bulan basah 179 – 279 mm dan bulan kering 68 – 106 mm. Suhu udara rata-rata 25,90 ˚C – 27,40 ˚C, kelembaban udara 78% - 81% pada bulan Desember–Januari dan 73% pada bulan September (Bappeda Kab. Tanjung Jabung Timur 2013), seperti pada Tabel 8. Tabel 8. Jumlah Curah Hujan Per-Bulan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, 2013 (BPS 2014) Bulan
Curah Hujan Rata-rata (mm)
(1)
(2)
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
164 214 144 148 133 328 209 45 178 134 237 399
Ketinggian dan Topografi Ketinggian suatu tempat dari permukaan laut dapat mempengaruhi sifat tumbuhnya suatu tanaman karena adanya perbedaan suhu yang disebabkan oleh ketinggian, dimana tiap naik 100 M maka suhu udara turun 0,6°C. Kabupaten Tanjung Jabung Timur mempunyai ketinggian kurang lebih 0 – 100 M dari permukaan laut. Topografi daerah pada umumnya dataran rendah terdiri dari rawa/gambut dengan permukaan tanah banyak dialiri pasang surut air laut. Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang sebagian secara topografi, seluruh kawasan mempunyai kelerengan antara 0 – 3% (datar). Kawasan ini dapat dikembangkan sebagai kawasan pertanian dengan syarat input drainase, yang berfungsi juga sebagai saluran irigasi karena adanya pengaruh arus pasang. Berdasarkan hasil studi serta pengukuran yang telah dilakukan sebelumnya, semua elevasi di daerah rawarawa sepanjang Sungai Batanghari dinyatakan dalam acuan ketinggian yang sama, yaitu dalam meter di atas Project reference Level (M + PRL). Acuan ketinggian di kawasan perencanaan diambil dari ketinggian BM (Bench Mark) BK 63 (Bappeda Kab. Tanjung Jabung Timur 2013).
35 Jenis Tanah Jenis tanah dibagi berdasarkan beberapa landform, yaitu landform gambut oligotropik air tawar, dataran pasang surut estuarin, rawa belakang pantai, dataran tektonik dan landform dataran sisa erosi. Jenis dan karakteristik tanah kawasan hidrologis Gambut (KHG) Muara Sabak Timur dideskripsikan pada Gambar 9 (ITSL IPB 1975):
.
6 5
5
7 19 18
26 21
15 23
11
8 8
1 5
17 22 25
19
28
31
16
1 25
3
17
24 4
20
24
23
27 17
29
11
11
17
6
11 22
14 10
3
17 5
25
11 27
9 2
13
4 28
15
23
30
25 12
Kilometers 0 1 2
4
6
2
8
9
Gambar 9. Satuan Peta Tanah KHG Muara Sabak Timur (sumber : Dept. ITSL IPB 1975) Kawasan hidrologis gambut Muara Sabak Timur merupakan sebagian dari dataran delta Berbak, yang diapit oleh 2 (dua) sungai besar yaitu Batanghari dan Pemusiran. Dalam daerah tersebut didapatkan banyak sungai-sungai kecil yang sebahagian besar dipengaruhi pasang surut. Di kawasan hidrologis gambut ini ditemukan penimbunan bahan organik karena keadaan anaerobik menyebabkan mineralisasi bahan organik berjalan sangat lambat. Kawasan ini terbentuk dari tanah-tanah organik (histosol) yang berkematangan lanjut (Troposaprist) dan berkematangan sedang (Tropohemist) dan ada juga yang mengandung sulfida pada kedalaman 50 cm dari permukaan (Sulfihemist) dengan ketebalan bahan organik 130 cm (subgroup Tipik dan Hemik) dan ketebalan bahan organik 40 – 130 cm (subgroup Terik dan Saprik Terik). Didaerah pinggir cekungan, tanah organik beralih ketanah mineral yang dalam proses pembentukannya sangat dipengaruhi air. Hal ini ditunjukkan oleh warna kelabu dengan chroma rendah. Tanah ini tergolong tropaquept dan sebagian mengandung bahan organik dipermukaan yang tebalnya < 40 cm (subgroup Histik, Aerik Histik dan Hidrik Histik). Pembagian unit satuan peta tanah disajikan dalam Tabel 9.
Tabel 9. Satuan Peta Tanah KHG Muara Sabak Timur.
36
37 Hidrologi Kabupaten Tanjung Jabung Timur merupakan bagian dari kawasan timur Provinsi Jambi termasuk bagian dari Pantai Timur Sumatera yang ditunjukan dengan ciri-ciri tenggelamnya dataran rendah di bawah permukaan pada zaman quarter tua. Oleh sebab itu wilayah ini relatif datar dan keadaan tata airnya dikendalikan gradient sangat kecil sehingga drainase terhambat, dengan akibat penggenangan yang luas dan bersifat permanen membentu rawa-rawa. Berdasarkan daerah aliran sungai, hampir semua wilayah Provinsi Jambi termasuk Kabupaten Tanjung Jabung Timur dilalui oleh Sungai Batanghari dengan orde-ordenya. Sementara itu DAS Batanghari dibagi menjadi beberapa sub DAS (RTRW Provinsi Jambi Tahun 2005 - 2020), seperti pada Tabel 10. - Sub DAS Batang Tembesi, - Sub DAS Jujuhan, - Sub DAS Batang Tebo, - Sub DAS Batang Tabir, - Sub DAS Tungkal dan Mendahara, - Sub DAS Air Hitam, - Sub DAS Air dikit, - Sub DAS Banyulincir. Tabel 10. Satuan Wilayah Sungai Batanghari berdasarkan Permen. PU No 39/PRT/1989 No. I 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. II 1. 2. 3. 4. 5. III 1. 2.
Sub SWS / DPS DPS Batanghari DPS Batanghari Hulu (Sumbar) DPS Batanghari Hulu (Riau) DPS Batanghari Hulu (Jambi) DPS Sumai – Rengas DPS Tebo DPS Tabir DPS Batang Merangin - Tembesi DPS Batanghari Hilir DPS Pengabuan - Lagan DPS Pengabuan DPS Betara DPS Pangkal Duri DPS Mendahara DPS Lagan DPS Air Hitam – Benuh DPS Air Hitam DPS Benuh
Luas (Km²) 47.182 8.230 140 2.589 5.088 4.408 2.627 16.003 8.097 7.632 4.459 1.037 456 4.016 664 2.890 1.900 990
Dilihat dari pola aliran sungai, di daerah hulu pola aliran sungai berbentuk radial sedangkan di daerah pesisir berbentuk paralel. Seperti yang telah dideskripsikan sebelumnya di atas bahwa kawasan hilir sungai relatif datar dan
38 keadaan tata airnya dikendalikan gradient sangat kecil sehingga drainase terhambat, maka debit air Sungai Batanghari sangat terpengaruh pada musim hujan dan kemarau. Pada musim hujan kecenderungan air sungai menjadi banjir, sebaliknya pada musim kemarau kecenderungan air sungai menjadi dangkal dan fluktuasinya dapat mencapai 7 (tujuh) meter. Dari kondisi ini sangat berpengaruh pada permukiman penduduk yang tinggal disepanjang DAS baik sebagai tempat tinggal maupun sebagai tempat usaha (tani). Pada kawasan yang dilalui DAS yang berhulu pada kawasan perbukitan dan pegunungan memiliki potensi yang cukup baik bagi pengembangan pertanian, dikarenakan sungai-sungai mengangkut sedimen aluvial yang berasal dari erosi sedimen formasi batuan tersier di bagian atas. Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 39/PRT/1989 tentang pembagian wilayah sungai, seluruh wilayah administratif di Provinsi Jambi beserta seluruh sungai-sungainya ditetapkan masuk kedalam Satuan Wilayah Sungai Batanghari dengan kode Satuan Wilayah Sungai (SWS) 01.02. Penggunaan Lahan Berdasarkan interpretasi citra SPOT 5 tahun 2013, RTRW Kabupaten Tanjung Jabung Timur 2011 - 2031 dan survey lapangan (ground check), pemanfaatan/penggunaan lahan di KHG Muara Sabak Timur didominasi dengan hutan, belukar, ladang, lahan terbuka, perkebunan, sawah, kebun campuran, tegalan dan pemukiman seperti pada Gambar 10. Ragam penggunaan lahan (land use) di KHG Muara Sabak Timur berdasarkan pola ruang RTRW Kabupaten Tanjung Jabung Timur Tahun 2011-2031 dibagi atas kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung terdiri dari: (1) Hutan Lindung; (2) Perlindungan Setempat; dan (3) Kawasan Lindung Lainnya, sedangkan kawasan budidaya terdiri dari: (1) Perkebunan; (2) Tanaman Pangan; (3) Permukiman; (4) Hortikultura; dan (5) Perairan Darat (Bappeda Kab. Tanjung Jabung Timur 2011). Kota Harapan
Sungai Ular
"
"
Lambur
Alang-alang
Kuala Simbur
"
"
"
.
Simbur Naik
"
Kota Raja
Teluk Kijing
"
"
Pemusiran
"
Siau Dalam
"
Sei Raya
"
Muara Sabak ilir
Lambur II
"
"
Lambur I
"
Muara Sabak Ulu
"
KETERANGAN : HUTAN SEJENIS ALAM PERKEBUNAN Trimulyo
Kilometers 0 1 2
4
6
"
8
Kota Kandis
"
PERMUKIMAN SAWAH SUNGAI
Gambar 10. Penggunaan Lahan (Land Use) KHG Muara Sabak Timur
39 Kondisi Sosial Wilayah Demografi Berdasarkan data BPS Kabupaten Tanjung Jabung Timur tahun 2014, jumlah penduduk mencapai 212.218 jiwa pada tahun 2013. Angka ini terus meningkat dari tahun 2012, dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,33 persen pertahun. Jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari penduduk perempuan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai sex ratio lebih dari 100, dimana pada tahun 2013 nilai sex ratio penduduk di Kabupaten Tanjung Jabung Timur sebesar 105,45 yang berarti bahwa penduduk laki-laki lebih banyak 5,45 persen dibandingkan penduduk perempuan. Secara lebih rinci kondisi penduduk menurut jenis kelamin Tahun 2013 disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Komposisi Penduduk Kab. Tanjung Jabung Timur Menurut Jenis Kelamin Tahun 2013 (BPS Tanjabtim 2014) . No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Kecamatan (1) Mendahara Mendahara Ulu Geragai Dendang ⃰ ⃰ Muara Sabak Barat Muara Sabak Timur ⃰ Kuala Jambi ⃰ ⃰ Rantau Rasau ⃰ ⃰ Berbak Nipah Panjang ⃰ ⃰ Sadu Jumlah / Total 2012 2011
Laki-laki Perempuan (2) 13.411 7.966 11.535 7.823 8.214 16.029 7.325 11.801 5.176 13.221 6.423 108.924 108.301 108.117
(3) 12.794 7.102 10.226 7.496 7.849 15.761 7.084 11.188 4.909 12.857 6.028 103.294 103.221 102.303
Jumlah Total (4) 26.205 15.068 21.761 15.319 16.063 31.790 14.409 22.989 10.085 26.078 12.451 212.218 211.522 210.420
Rasio Jenis Kelamin (5) 104,82 112,17 112,80 104,36 104,65 101,70 103,40 105,48 105,44 102,83 106,55 105,45 104,92 105,68
Keterangan : ⃰ Kecamatan berada dalam KHG Muara Sabak Timur. ⃰ ⃰ Sebagian Kecamatan berada dalam KHG Muara Sabak Timur.
Kepadatan penduduk tahun 2013 sebesar 38,97 jiwa/km2. Hal ini berarti di Kabupaten Tanjung Jabung Timur setiap 1 km2 terdapat 39 jiwa. Kecamatan dengan kepadatan penduduk tertinggi berada di Kecamatan Kuala Jambi dengan kepadatan penduduk sebesar 119,56 jiwa/km2. Angka ketergantungan penduduk di Kabupaten Tanjung Jabung Timur tahun 2013 sebesar 50,12. Hal ini berarti setiap 100 orang yang berusia kerja (dianggap produktif) mempunyai tanggungan sebanyak 50 orang yang belum produktif atau tidak poduktif lagi.
40 Ketenagakerjaan Dari total penduduk usia kerja (15 tahun ke atas), hampir dua pertiga penduduk Kabupaten Tanjung Jabung Timur termasuk dalam angkatan kerja. Tingkat partisipasi angkatan kerja mengalami sedikit penurunan pada tahun 2013 dibandingkan tahun 2012, yaitu dari 69,96 persen menjadi 64,75 persen.Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) merupakan perbandingan antara penduduk angkatan kerja dengan penduduk usia kerja. Angkatan kerja mencakup penduduk yang bekerja dan yang tidak bekerja tetapi sedang mencari pekerjaan. Penduduk yang bekerja ini berarti sudah berkecimpung dalam kegiatan aktivitas ekonomi, dimana TPAK Kabupaten Tanjung Jabung Timur pada tahun 2013 mencapai 64,75 persen yang artinya bahwa dari 100 penduduk usia kerja di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, hampir 65 orang sudah terlibat dan siap terjun ke dalam dunia kerja. Mayoritas penduduk di Kabupaten Tanjung Jabung Timur bekerja di sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan dan perikanan yakni sebesar 73,35 persen, kemudian diikuti oleh sektor perdagangan, rumah makan dan hotel yaitu sekitar 11,18 persen. Adapun jumlah penduduk yang bekerja menurut jenis pekerjaan di Kawasan hidroligis gambut Muara Sabak Timur Tahun 2013 dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, 2013
No.
1.
2. 3. 4. 5.
Lapangan Usaha
LakiLaki (%)
Perempuan (%)
(1) (2) (3) Pertanian, Perkebunan, 79,36 58,29 Kehutanan, Perburuan dan Perikanan Industri Pengolahan 1,56 1,88 Perdagangan, Hotel & Restoran 4,71 27,38 Jasa Kemasyarakatan 6,21 12,44 Lainnya 8,15 0,00 Jumlah / Total 100 100 Sumber: BPS Kabupaten Tanjung Jabung Timur 2014
Persentase Lapangan Usaha (%) (4) 73,35
1,65 11,18 7,99 5,83 100
Komoditi Padi Luas panen padi di Kabupaten Tanjung Jabung Timur pada tahun 2013 seluas 28.463 hektar dengan total produksi padi sebesar 102.692 ton, sehingga produktivitasnya sebesar 36,08 kuintal per hektar. Namun total produksi padi dari tahun 2009 sampai 2013 mengalami trend penurunan dikarenakan penurunan luas panen tanaman padi tersebut. Oleh karena itu produktivitas tanaman pertanian khususnya tanaman pangan terutama padi perlu terus ditingkatkan. Produksi padi di Kabupaten Tanjung Jabung Timur pada tahun 2013 mengalami kenaikan sebesar 8,26 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Kenaikan produksi tersebut terjadi lebih disebabkan oleh naiknya produktifitas padi, namun perkembangan luas panen padi dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2013 terus berkurang. Hal ini disebabkan
41 alih fungsi lahan dari lahan pertanian padi ke lahan perkebunan. Pada tahun 2013, terjadi penurunan luas panen sebesar 1,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya, seperti ditunjukan pada Tabel 13 dan Tabel 14. Tabel 13. Luas Tanam dan Luas Panen (Sawah & Ladang) di Kabupaten Tanjung Jabung Timur Tahun 2013 (BPS Tanjung Jabung Timur 2014)
No.
Kecamatan
(1) 1. Mendahara 2. Mendahara Ulu 3. Geragai 4. Dendang ⃰ ⃰ 5. Muara Sabak Barat 6. Muara Sabak Timur ⃰ 7. Kuala Jambi ⃰ ⃰ 8. Rantau Rasau ⃰ ⃰ 9. Berbak 10. Nipah Panjang ⃰ ⃰ 11. Sadu Jumlah Total 2013 2012 2011 2010
Sisa Tanaman Tahun Lalu (Ha) (2) 100 150 2.314 120 4.720 3.376 6.065 4.455 2.081 23.381 25.236 24.182 -
Luas Tanam Tahun Ini (Ha) (3) 233 647 3.159 507 4.877 2 3.715 6.678 6.825 1.016 27.659 28.066 32.453 25.332
Kerusakan/Puso (Ha) (%)
(4) 17 17 121 1 12 112 280 524 777 -
(5) 7,36 0,54 2,51 50 0,33 1,70 1,02 0,98 1,37 -
Luas Panen (Ha) (6) 302 593 2.343 556 4.988 1 3.774 7.420 6.153 2.326 28.463 28.955 29.727 31.005
Keterangan : ⃰ Kecamatan berada dalam KHG Muara Sabak Timur. ⃰ ⃰ Sebagian Kecamatan berada dalam KHG Muara Sabak Timur.
Tabel 14. Luas Panen dan Produksi Padi (Sawah & Ladang) di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, 2013 (BPS Tanjung Jabung Timur 2014) Tahun (1) 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Luas Panen (Ha) (2) 31 959 32 524 33 458 32 989 31 005 29 727 28 955 28 463
Produksi (Ton) (3) 108 806 112 329 115 591 113 956 108 319 104 011 94 854 102 692
Catatan : Bentuk Produksi = Gabah Kering Panen (GKP)
Produktivitas (Kw/Ha) (4) 34,06 34,55 34,60 34,54 34,87 34,99 32,76 36,08
42
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Sebaran Indikasi intrusi air laut dan Lahan Sulfat Masam Kawasan hidrologis gambut Muara Sabak Timur merupakan salah satu kawasan gambut di Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang letaknya diwilayah pesisir dengan perkembangan perubahan penggunaan lahan yang cukup pesat. Sebelum tahun 2010, kawasan hidrologis ini dikenal sebagai salah satu sentra produksi padi di Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Namun akibat dari perubahan penggunaan lahan yang cukup drastis dari kawasan pertanian menjadi perkebunan, menyebabkan pola eksploitasi air tanah yang terus berlangsung dan semakin meningkat dari waktu ke waktu, diduga telah mengakibatkan terjadinya intrusi air laut pada akuifer di daerah pesisir pantai. Penelitian mengenai sebaran indikasi pengaruh intrusi air laut pada air tanah permukaan dan lahan sulfat masam didaerah penelitian perlu dilakukan agar dapat diketahui daerah-daerah yang memerlukan perhatian khusus dari pemerintah daerah dalam rangka penanggulangan dan pengurangan dampak yang ditimbulkan akibat adanya intrusi air laut dan lahan sulfat masam bagi kepentingan peningkatan produktifitas pertanian. Hasil penelitian sebaran indikasi pengaruh intrusi air laut dan lahan sulfat masam, berdasarkan data uji sampel air permukaan dan lapisan tanah atas sesuai dengan sebaran titik pengambilan sampel pada Gambar 6. Sampel yang telah dilakukan pengujian laboratorium dengan menggunakan alat DHL meter dan pH meter, didapat nilai salinitas (µmhos/cm) dan derajat keasaman pH tanah pada setiap titik pengamatan, seperti disajikan dalam Tabel Lampiran 1. Dari data laboratorium, input data kedalam atribut titik peta, dilakukan interpolasi titik sampel serta pengklasifikasian sesuai dengan kriteria kualitas air dan lahan sulfat masam. Hasil interpolasi peta sebaran salinitas dan lahan sulfat masam dilakukan pengujian keakuratan peta dengan cara meletakkan sampel titik uji pada peta. Dari 7 titik sampel tanah dan 5 titik sampel air yang berfungsi sebagai titik uji, semua titik sesuai koordinat terletak pada klasifikasi yang sesuai baik pada peta sebaran salinitas maupun pada peta sebaran lahan sulfat masam. Indikasi Intrusi Air Laut Lokasi sebaran intrusi air laut sangat mempengaruhi terhadap produktifitas pertanian pada suatu lahan. Pengaruh intrusi air laut pada KHG Muara Sabak Timur, seperti yang terlihat dilapangan pada areal-areal terdampak lahan salin, sekitar Desa Kota Harapan dan Lambur luar. Pada areal perkebunan kelapa terlihat banyak tanaman mati. Lapisan permukaan tanah berupa mineral liat berlumpur dan banyak ditemui biota laut yang biasa hidup pada kawasan pantai berlumpur. Analisis sebaran indikasi intrusi air laut berdasarkan nilai daya hantar listrik (DHL) di KHG Muara Sabak Timur menurut data hasil uji sampel air, seperti ditunjukkan pada Gambar 11.
43
.
! !
!
!
Sebaran_DHL Titik Interpolasi Air !
4
6
Titik Validasi Air Tawar (< 1.500 µmhos/cm)
Kilometers 0 1 2
!
8
Agak Payau (1.500 - 5.000 µmhos/cm) Payau (5.000 - 15.000 µmhos/cm) Asin (15.000 - 50.000 µmhos/cm)
Gambar 11. Sebaran Daya Hantar Listrik Air Tanah Dari hasil interpolasi DHL, diketahui bahwa pengaruh intrusi air laut yang ditandai dengan nilai DHL tertinggi adalah sebesar 41.500 μmhos/cm. Nilai DHL tertinggi sesuai data hasil interpolasi terdapat pada garis transek vertikal 3 dengan jarak ±1.000 m dari garis pantai, tepatnya di Desa Kuala Simbur. Sesuai dengan klasifikasi tergolong kedalam kualitas air tanah dangkal yang asin. Sementara nilai DHL terendah sebesar 367 μmhos/cm terdapat pada garis transek vertikal 2, atau tepatnya ±17,500 m dari garis pantai kawasan penelitian menunjukkan bahwa ada kaitan antara DHL dengan jarak ke laut, semakin menuju ke arah pantai atau sungai yang bermuara ke arah laut di bagian utara, nilai DHL semakin besar. Luasan sebaran indikasi intrusi air laut seperti ditunjukkan pada Tabel 15. Tabel 15. Luasan Areal Indikasi Intrusi Air Laut sesuai Klasifikasi DHL Berdasarkan Sampel Air Tanah No.
Kualitas Air
1. 2. 3. 4.
Tawar (< 1,500 µmhos/cm) Agak Payau (1,500 – 5,000 µmhos/cm) Payau (5,000 – 15,000 µmhos/cm) Asin (15,000 – 50,000 µmhos/cm)
Luas Klasifikasi Areal (Ha) (%) 3.833 7,64 15.422 30,74 14.671 29,25 16.238 32,37
Sedangkan hasil analisis sebaran indikasi intrusi air laut berdasarkan uji sampel tanah kedalaman 20 cm seperti ditunjukkan pada Gambar 12, nilai DHL
44 tertinggi adalah sebesar 6.070 μmhos/cm yang terdapat pada garis transek vertikal 2 dengan jarak ±820 m dari garis pantai, tergolong kedalam kualitas air payau. Sementara DHL terendah dengan nilai 107 μmhos/cm terdapat pada garis transek vertikal 3 tepatnya ±17.500 m dari garis tepi pantai. Berdasarkan hasil uji laboratorium dan interpolasi sampel tanah permukaan, intrusi air laut belum mempengaruhi kawasan hidrologis gambut Muara Sabak Timur. Luasan sebaran indikasi intrusi air laut seperti ditunjukkan pada Tabel 16.
.
Sebaran DHL Titik Tanah interpolasi Titik Validasi Tanah
Kilometers 0 1 2
4
6
Tawar (< 1.500 µmhos/cm)
8
Agak Payau (1.500 - 5.000 µmhos/cm) Payau (5.000 - 15.000 µmhos/cm)
Gambar 12. Sebaran Daya Hantar Listrik Tanah pada Kedalaman 20 cm. Tabel 16. Luasan Areal Indikasi Intrusi Air Laut sesuai Klasifikasi DHL Berdasarkan Sampel Tanah Kedalaman 20 cm. No.
Kualitas Air
1. 2. 3.
Tawar (< 1,500 µmhos/cm) Agak Payau (1,500 – 5,000 µmhos/cm) Payau (5,000 – 15,000 µmhos/cm)
Luas Klasifikasi Areal (Ha) (%) 35.741 71,25 14.339 28,58 86 0,17
Lahan Sulfat Masam Seperti halnya intrusi air laut, derajat kemasaman pH tanah juga sangat menentukan terhadap produktifitas pertanian. Derajat kemasaman tanah dipengaruhi seberapa besar terjadinya oksidasi pirit pada kedalaman sulfidik tanah. Hasil analisis sebaran derajat tingkat keasaman tanah seperti ditunjukkan pada Gambar 13.
45
.
"
Toponimi Desa Titik Tanah interpolasi Titik Validasi Tanah
Kilometers 0 1 2
4
6
8
pH_Tanah <3
4,5 - 5
3 - 3,5 (bat. Aktual)
5 - 5,5
3,5 - 4 (bat. Potensial)
5,5 - 6,5
4 - 4,5
Gambar 13. Sebaran Derajat Kemasaman Tanah pada Kedalaman 0 – 20 cm. Diketahui bahwa nilai derajat tingkat keasaman tanah tertinggi adalah pH 2.46 yang terdapat pada garis transek vertikal 2 dengan jarak ±3,000 m dari garis pantai, tepatnya di Desa Lambur Luar. Sesuai dengan klasifikasi, areal tersebut tergolong kedalam lahan sulfat masam aktual. Sementara nilai derajat tingkat keasaman tanah terendah dengan pH 6.32, terdapat pada garis transek vertikal 2 tepatnya ±500 m dari garis pantai kawasan hidrologis gambut Muara Sabak Timur tergolong kedalam lahan sulfat masam potensial. Luasan sebaran pengaruh derajat tingkat keasaman tanah seperti ditunjukkan pada Tabel 17. Tabel 17. Luasan Areal sesuai Klasifikasi Derajat Keasaman pH Solum Tanah No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
pH Tanah <3 3 - 3,5 3,5 - 4 4 - 4,5 4,5 - 5 5 - 5,5 5,5 - 6,5
Luas Klasifikasi Areal (Ha) (%) 156 0,31 6.676 13,31 21.670 43,20 13.253 26,42 7.712 15,37 625 1,25 70 0,14
46 Hubungan Spasial pH dan DHL Dari Gambar 14 berikut, hasil overlay sebaran DHL dan derajat kemasaman pH tanah terhadap sampel tanah (kedalaman 0 – 20 cm), dapat disimpulkan bahwa adanya korelasi hubungan antara nilai DHL dan pH tanah di KHG Muara Sabak Timur, dimana seluas 32,329 Ha atau 64,45% menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai DHL maka nilai pH tanah juga semakin tinggi.
.
Hubungan pH dan DHL Titik Tanah interpolasi Titik Validasi Tanah
Kilometers 0 1 2
4
6
8
Ada Hubungan pH DHL Tidak Ada Hubungan
Gambar 14. Hubungan Spasial pH dan DHL Tanah Semakin menuju ke arah pantai atau sungai yang bermuara ke arah laut di bagian utara, maka intrusi air laut akan semakin besar dan juga diikuti oleh derajat kemasaman tanah dimana pH tanah juga menjadi lebih tinggi. FAO (2005) dalam panduan teknisnya, bahwa air diserap oleh akar tanaman melalui suatu proses yang disebut osmosis, yang melibatkan pergerakan air dari tempat dengan konsentrasi garam rendah (tanah) ke tempat yang memiliki konsentrasi garam tinggi (bagian dalam dari sel-sel akar). Jika konsentrasi garam di dalam tanah tinggi, pergerakan air dari tanah ke akar melambat. Jika konsentrasi garam pada tanah lebih tinggi dibandingkan dengan didalam sel-sel akar, tanah akan menyerap air dari akar, dan tanaman akan layu dan mati, ini merupakan prinsip dasar bagaimana salinisasi mempengaruhi produksi tanaman. Pengaruh yang merusak dari garam pada tanaman tidak hanya disebabkan oleh daya osmosis, tetapi juga oleh sodium (Na+) and klor (Cl-) pada konsentrasi yang meracun tanaman. Tingginya nilai pH (ukuran untuk keseimbangan asam/basa) yang disebabkan oleh konsentrasi sodium yang tinggi akan berakibat pada kekurangan unsur mikro.
47 Evaluasi Ketersediaan dan Kesesuaian Lahan Pertanian Padi Semua tanah-tanah pertanian perlu diuji kesuburan, reaksi tanah, dan kondisi alkalinitas/salinitasnya sehingga dapat diprediksi kesesuaian lahan bagi komoditas pertanian dengan kriteria kelas kesesuaian lahan dari yang paling sesuai (S1), cukup sesuai (S2), sesuai marginal (S3) sampai yang tidak sesuai (N). Parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat kesesuaian lahan padi adalah kualitas dan karakteristik tanah. Kualitas tanah diukur dari kondisi perakaran, temperatur, ketersediaan air, penyerapan unsur hara, ketersedian unsur hara, toksisitas dan kondisi permukaan, sedangkan karakteristik tanah ditinjau dari temperatur, suhu rata-rata, ketersediaan air (curah hujan dan lamanya bulan basah), kondisi perakaran (kondisi drainase, tekstur dan kedalaman tanah), penyerapan hara (kualitas KTK, tingkat keasaman), ketersediaan unsur hara (N, P₂O₅, K₂O), kadar garam (salinitas) dan kondisi permukaan (kemiringan lereng, batuan permukaan, dan batuan singkapan) (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2001). Evaluasi Ketersediaan Lahan Sesuai Perda Kabupaten Tanjung Jabung Timur No. 11 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tahun 2011 – 2031, menyatakan bahwa lahan pertanian tanaman pangan ditetapkan dengan luas ±40.157 Ha dan ±42 % diantaranya merupakan kawasan pertanian pangan berkelanjutan. Peta penggunaan lahan kawasan hidrologis gambut Muara Sabak Timur, sesuai data tersedia yang bersumber dari Peta Pola Ruang Rencana Tata Ruang Wilayah (Bappeda Kabupaten Tanjung Jabung Timur 2011) dan Peta Lahan Sawah Baku (Direktorat Perluasan dan Pengembangan Kementrian Pertanian 2012) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 15.
.
KETERANGAN Lahan Baku Sawah
Kecamatan DENDANG
Kilometers 0 1 2
4
6
8
KUALA JAMBI MUARA SABAK TIMUR NIPAH PANJANG RANTAU RASAU
Gambar 15. Ketersediaan Lahan Baku Sawah KHG Muara Sabak Timur
48 Ketersediaan lahan baku sawah di kawasan hidrologis gambut Muara Sabak Timur seluas 7.340,59 Ha atau untuk Kecamatan Muara Sabak Timur tersedia lahan baku sawah seluas 5.187,14 Ha. Sementara sesuai dengan data BPS 2014 bahwa luas tanam padi pada tahun 2013 seluas 4.877 Ha di Kecamatan Muara Sabak Timur. Dikarenakan data sebaran luas tanam padi belum tersedia secara spasial, maka data yang dipakai pada penelitian berdasarkan data luas baku sawah dari Direktorat Perluasan dan Pengembangan Kementrian Pertanian. Tabel 18 menyajikan data penggunaan lahan yang terdapat di kawasan hidrologis gambut Muara Sabak Timur sesuai data tahun 2012. Tabel 18. Penggunaan Lahan KHG Muara Sabak Timur per-kecamatan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis Penggunaan Lahan Hutan Sejenis Alam Perkebunan Kebun Campuran Lahan Baku Sawah Permukiman
Luasan Cakupan Wilayah Kecamatan Muara Sabak Timur, Nipah Panjang, Kuala Jambi Muara Sabak Timur, Nipah Panjang, Rantau Rasau, Dendang, Kuala Jambi Muara Sabak Timur Muara Sabak Timur, Nipah Panjang, Rantau Rasau, Dendang Muara Sabak Timur, Nipah Panjang, Rantau Rasau, Dendang, Kuala Jambi
Sungai / Tubuh Air Total Luas Kawasan KHG
(Ha) 3.316
(%) 6,62
37.445
74,72
1.027
2,05
7.340
14,65
581
1,16
405
0,81
50.166
100,00
Lahan baku sawah yang ada di kawasan hidrologi gambut Muara Sabak Timur sesuai dengan Gambar 15 diatas, secara administratif terdapat pada 5 (lima) kecamatan, yaitu Kecamatan Muara Sabak Timur, Kuala Jambi, Nipah Panjang, Rantau Rasau dan Dendang. Luasan lahan baku sawah disajikan pada Tabel 19. Tabel 19. Lahan Baku Sawah KHG Muara Sabak Timur per-kecamatan No. 1. 2. 3. 4.
Kecamatan Muara Sabak Timur Nipah Panjang Dendang
Rantau Rasau Total Luas Lahan Baku Sawah KHG
Luas (Ha) 5.187
(%) 70,66
1.401 472 280 7.341
19,08 6,44 3,82 100,00
Sesuai dengan Perda No. 18 Tahun 2013 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi
49 kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan ditetapkan seluas 4.460,20 Ha di Kawasan hdrologis gambut Muara Sabak Timur, rincian luasan perdesa seperti pada Tabel 20. Tabel 20. Luasan Lahan Sawah LP2B KHG Muara Sabak Timur per-Desa No.
KECAMATAN
DESA
LAHAN PADI (Ha)
DATA LP2B (Dinas Pertanian Tanaman Pangan 2013) 1.
Nipah Panjang
Sungai Raya Pemusiran Teluk Kijing
468 276 274
2.
Rantau Rasau
Tri Mulya
169
3.
Muara Sabak Timur
Simbur Naik Muara Sabak Ulu Muara Sabak Ilir Kota Harapan Siau Dalam Sungai Ular Lambur I Lambur II Lambur (Luar)
4.
Dendang
Koto Kandis Dendang
TOTAL LUAS LAHAN
1.130 118 101 479 453 195 63 10 589 316
4.640
Evaluasi Kesesuaian Lahan Analisis kesesuaian lahan dilakukan dengan menggunakan data primer dan data sekunder, sehingga diperoleh peta kesesuaian lahan aktual yang selanjutnya akan dipadukan dengan peta ketersediaan lahan sehingga dapat diketahui lahan yang sesuai dan berpotensi untuk pengembangan komoditas padi secara biofisik. Dari proses evaluasi lahan akan dihasilkan peta kesesuaian lahan secara kualitatif, yaitu hanya berdasarkan pada kondisi fisik lahan tanpa memperhitungkan secara tepat produksi, masukan dan keuntungan yang dapat diperoleh. Analisis kesesuaian lahan menggunakan data sekunder dengan metode overlay peta-peta yang sesuai dengan parameter yang ditetapkan berdasarkan kriteria dalam petunjuk teknis evaluasi lahan yang dikeluarkan oleh Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian Kementerian Pertanian Tahun 2011, seperti yang ditunjukkan pada Tabel Lampiran 2. Hasil overlay tersebut kemudian dipadukan dengan data primer hasil pengambilan sampel tanah lapangan yang telah dilakukan pengujian dilaboratorium untuk mendapatkan parameter yang dipersyaratkan dalam petunjuk teknis evaluasi lahan untuk penggunaan lahan sawah padi sawah.
50 Data-data sekunder sebagai parameter dalam petunjuk teknis evaluasi lahan di KHG Muara Sabak Timur sesuai dengan kriteria yaitu : a. Satuan Peta Tanah Tinjau Mendalam skala peta 1:25.000 (Departemen ITSL IPB Tahun 1975). b. Peta Land Unit kabupaten dengan skala peta 1:50.000 (RTRW Kabupaten Tanjung Jabung Timur Tahun 2011) dengan suhu udara rata-rata 25,90 ˚C – 27,40 ˚C dan kelembaban udara 78% - 81% pada bulan Desember–Januari dan 73% pada bulan September. Zona agliklimat Oldeman Type B1 yaitu iklim yang memiliki Curah hujan tahunan sekitar 2.000 – 3.000 mm, dimana 8 – 10 bulan basah, 2 – 4 bulan kering. Rata-rata curah hujan bulan basah 179 – 279 mm dan bulan kering 68 – 106 mm. Secara topografi seluruh kawasan mempunyai kelerengan antara 0 – 3 % (datar). c. Drainase untuk media perakaran baik dan sedang, tekstur tanah halus, agak halus dan sedang, bahan kasar kurang dari 3 %, dengan kedalaman tanah 50 – 100 cm serta kedalaman sulfidik 75 – 100 cm. d. Bahaya banjir (genangan) pada masa tanam 25 – 50 cm selama < 7 hari. e. Secara keseluruhan kawasan tidak mengalami bahaya erosi dengan tingkat kelerengan < 3 %. f. Sebaran Lahan Gambut dengan skala peta 1:25.000 bersumber dari hasil ground check dilapangan, luasan kedalaman gambut disajikan pada Tabel 21, secara spasial ditunjukan pada Gambar 16. Tabel 21. Luasan Sebaran Tanah Gambut KHG Muara Sabak Timur No.
TIPE TANAH GAMBUT
1. 2. 3. 4. 5.
Gambut Dangkal (Saprik) < 50 cm Gambut Dangkal (Saprik Hemik) 50 - 100 cm Gambut Sedang (Hemik) 100 - 150 cm Liat Bergambut Mineral TOTAL LUASAN
LUASAN (Ha) (%) 21.334 42,53 5.100 10,17 92 0,18 12.651 25,22 10.989 21,91 50.166 100,00
51
.
Kilometers 0 1 2
4
6
8
Kedalaman Gambut Mineral Liat Bergambut Gambut Dangkal < 50 cm (Saprik) Gambut Dangkal 50 - 100 cm (Saprik Hemik) Gambut Sedang 100 - 150 cm (Hemik)
Gambar 16. Sebaran Gambut KHG Muara Sabak Timur Analisis data yang berasal dari data primer yaitu data yang berasal dari sampel tanah, yang diuji laboratorium dengan mengukur parameter sesuai dengan petunjuk teknis evaluasi lahan, seperti terdapat pada Tabel 23. Sesuai dengan kriteria dalam petunjuk teknis evaluasi lahan, dilakukan evaluasi dengan cara overlay peta-peta sesuai dengan parameter yang ditentukan. Secara spasial wilayah yang sesuai dan berpotensi untuk pengembangan komoditas padi berdasarkan aspek biofisik dan ketersediaan lahan sawah padi sawah beserta faktor pembatasnya di KHG Muara Sabak Timur disajikan pada Gambar 17.
Tabel 22. Data Hasil Analisis Uji Laboratorium Sampel Tanah KHG Muara Sabak Timur
52
53
.
Faktor Pembatas S3 nr na
Kilometers 0 1 2
4
6
S3 na
8
S3 xc nr na S3 nr na gambut S3 xc na
Gambar 17. Kelas Kesesuaian Lahan KHG Muara Sabak Timur Kelas kesesuaian lahan di KHG Muara Sabak Timur berdasarkan kriteria FAO, seluruh kawasan termasuk dalam kelas S3 (sesuai marginal) dengan faktor pembatas yang paling dominan yaitu Retensi Hara (nr) dan Hara Tersedia (na). Luasan sebaran kelas kesesuaian lahan S3 pada Gambar 17, disajikan pada Tabel 23. Tabel 23. Luasan Sebaran Kelas Lahan KHG Muara Sabak Timur
No.
Kelas Lahan
1. 2. 3. 4.
S3 S3 S3 S3
Faktor Pembatas (nr) dan (na) (na) (xc), (nr) dan (na) (nr), (na) dan gambut Total
Luas (Ha) 49.431 569 77 89 50.166
(%) 98,53 1,14 0,15 0,18 100
Untuk mendapatkan peta kesesuaian dan ketersediaan untuk komoditas padi dalam satu spasial keruangan, maka dilakukan teknik overlay data evaluasi kesesuaian lahan dan ketersediaan lahan baku sawah, untuk mendapatkan faktor pembatas agar upaya-upaya perbaikan yang dapat dilakukan dan dicirikan dengan baik. Analisis spasial dari kedua data tersebut, didapat peta kesesuaian dan ketersediaan lahan yang berpotensi untuk komoditas padi seperti pada Gambar 18 dan parameter pembatas lahan disajikan pada Gambar 19.
54
.
Kriteria Kesesuaian Lahan S3 nr na
Kilometers S3 na
0 1 2
4
6
8 S3 nr na gambut Non Sawah
Gambar 18. Kesesuaian dan Ketersediaan Lahan Sawah Padi Sawah
.
Parameter Pembatas
Kilometers
pH, P2O5 dan K2O
0 1 2
4
6
8 pH dan P2O5 pH, P2O5, K2O dan C-organik pH, P2O5, K2O dan Kej. Basa Non Sawah
Gambar 19. Parameter Pembatas Kesesuaian dan Ketersediaan Lahan Sawah
55 Luasan kelas kesesuaian lahan sawah di KHG Muara Sabak Timur yang seluruh lahan sawah termasuk dalam kelas kesesuaian lahan S3 (sesuai marginal). Faktor pembatas dan parameter pembatas lahan sawah disajikan dalam Tabel 24. Tabel 24. Faktor Pembatas dan Paramater Pembatas Lahan. No.
Kelas Lahan
1. 2. 3. 4.
S3 S3 S3 S3
Faktor Pembatas
Parameter Pembatas
(nr) dan (na) pH, P2O5 dan K2O pH dan P2O5 pH, P2O5, K2O dan C-organik pH, P2O5, K2O dan Kej. Basa Total
Luas (Ha) 6.915 103 254 67 7.339
(%) 94,22 1,40 3,46 0,92
100,00
Hasil analisis ketersediaan dan evaluasi kesesuaian lahan untuk komoditas padi sawah menunjukkan bahwa kawasan hidrologis gambut Muara Sabak Timur hanya memiliki kelas kesesuaian lahan S3 (sesuai marginal) pada seluruh lahan baku sawah seluas 7.340,59 Ha. Faktor pembatas kelas kesesuaian lahan kriteria S3 di kawasan hidrologis gambut Muara Sabak Timur adalah Retensi Hara (nr) ditandai dengan pH H2 O < 5, Hara Tersedia (na) ditandai dengan nilai kandungan unsur P₂O₅ dan K₂O yang sangat minim tersedia pada lahan baku sawah di KHG Muara Sabak Timur.
Pengelolaan Kawasan Lindung (Pesisir Pantai, Sempadan Sungai) dan Kawasan Potensi Perlindungan Air Tanah (Kubah Gambut) Atau Potensi Perlindungan Lainnya RTRW Kabupaten Tanjung Jabung Timur, belum menetapkan kawasan dengan fungsi lindung di KHG Muara Sabak Timur. Analisis areal kawasan lindung pesisir pantai dan sempadan sungai di KHG Muara Sabak Timur menggunakan data citra satelit penginderaan jauh untuk mendapatkan ketersediaan aktual areal kawasan lindung saat ini. Berdasarkan hasil studi Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Jambi terdahulu, didapat data bahwa pola pasang yang terjadi adalah tipe diural, yaitu dalam satu hari terjadi dua kali pasang naik dan pasang surut. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dilapangan, didapat data bahwa di Kabupaten Tanjung Jabung Timur fluktuatif pasang setinggi 2 – 3,5 m dan mencapai puncaknya pada saat bulan purnama. Dari hasil wawancara dengan beberapa nelayan di Desa Kuala Simbur, Desa Sungai Ular, Desa Kota Harapan dan Desa Teluk Kijing diperoleh data ketinggian fluktuatif pasang dipesisir pantai KHG Muara Sabak Timur mencapai 5 m. Dari data primer dan sekunder diatas, dilakukan analisis areal kawasan lindung pesisir pantai, sempadan sungai dan saluran primer di kawasan hidrologis gambut Muara Sabak Timur, yaitu : 1. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kawasan pesisir pantai yang berfungsi sebagai kawasan lindung dengan lebar 130 x 5 m (nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah
56 tahunan diukur dari garis air surut terendah kearah darat) atau sama dengan lebar 650 m diukur dari batas vegetasi hutan mangrove terluar yang berbatasan langsung dengan kawasan pantai. 2. Garis sempadan sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan ditetapkan, sungai besar yaitu sungai yang mempunyai daerah pengaliran sungai seluas 500 km2 atau lebih, penetapan garis sempadannya sekurang-kurangnya 100 m; Hasil digitasi on screen pada data citra satelit kemudian di overlay dengan batasan areal kawasan lindung seperti yang telah ditetapkan dalam peraturan penataan ruang kawasan, sehingga diperoleh data areal kawasan lindung pesisir pantai dan sempadan sungai seperti pada Gambar 20.
.
Kawasan Areal Budidaya
Kilometers 0 1 2
4
6
Hutan Alami dan Mangrove
8
Kawasan GreenBelt Terkonversi
Gambar 20. Kawasan Lindung Aktual dan Seharusnya. Dari Gambar 20, terlihat bahwa disebagian areal di pesisir pantai KHG Muara Sabak Timur, yang seharusnya merupakan areal kawasan lindung sesuai dengan peraturan dan penetapan areal kawasan lindung pesisir pantai dan sempadan sungai, telah terkonversi dan dibudidayakan untuk penggunaan lahan perkebunan kelapa dan penggunaan lainnya. Luasan areal kawasan lindung pesisir pantai dan sempadan sungai yang telah terkonversi menjadi kawasan budidaya, seperti pada Tabel 25. Tabel 25. Areal Kawasan Lindung KHG Muara Sabak Timur
No. 1. 2.
KAWASAN Hutan Alami dan Mangrove Kawasan GreenBelt Terkonversi Total Kawasan Lindung
LUAS (Ha) 2.935 1.665 4.600
(%) 63,80 36,20
57
Hilangnya hutan mangrove berpengaruh terhadap penurunan daya dukung fisik pesisir, yang dapat berakibat pada penurunan potensi sumberdaya pertanian, laju intrusi air laut yang semakin cepat kedaratan, peningkatan laju abrasi dan hilangnya biodiversitas. Pengelolaan yang terpadu antara kawasan pesisir, DAS dan lautan dibutuhkan agar pemanfaatan secara optimal sumberdaya KHG dapat dilakukan. Pengelolaan kawasan pesisir, DAS, lautan secara terpadu akan mengkaitkan sistem alam, ekonomi dan lingkungan serta proses ekologi sehingga tekanan terhadap ekosistem kawasan pesisir, DAS dan laut yang terkait dengan KHG dapat dilakukan secara terintegrasi. Dikarenakan proses salinitas di KHG Muara Sabak Timur sesuai analisis spasial sebaran salinitas berdasarkan hasil uji sampel air yang ditunjukkan pada Gambar 10, pengaruh intrusi air laut telah mencapai ±1,000 m dari garis pantai kearah daratan, tepatnya di Desa Kuala Simbur. Dipandang perlu untuk memperluas cakupan areal kawasan lindung yang telah dibatasi sesuai dengan peraturan berlaku tentang penetapan kawasan lindung pesisir pantai dan sempadan sungai. Lebar kawasan lindung sepanjang 650 m dari batas vegetasi hutan mangrove terluar yang berbatasan langsung dengan kawasan pantai, maka diperluas lagi cakupan kawasannya selebar 350 m menuju daratan, dengan total keseluruhan lebar menjadi 1.000 m dengan pendekatan nilai pengaruh intrusi air laut tertinggi yang telah mencapai ±1,000 m dari garis pantai kearah daratan. Terhadap penambahan areal ini, bukan dimaksudkan untuk difungsikan sebagai kawasan lindung, akan tetapi difungsikan sebagai kawasan budidaya dengan fungsi lindung. Kawasan ini membatasi penanamannya terhadap vegetasi yang toleran terhadap salinitas saja, seperti pananaman vegetasi mangrove atau vegetasi lainnya yang toleran terhadap salinitas dan dapat dimanfaatkan serta menjadi sumber penghasilan bagi masyarakat pesisir. Kawasan budidaya dengan fungsi lindung ini diharapkan dapat menahan laju intrusi air laut dalam jangka panjang. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, pasal-pasal yang menyatakan tentang kawasan hidrologis gambut dengan fungsi lindung, yaitu Pasal 9 yang menyatakan bahwa “Fungsi ekosistem gambut meliputi fungsi lindung ekosistem gambut dan fungsi budidaya ekosistem gambut. Menteri wajib menetapkan fungsi lindung ekosistem gambut paling sedikit 30% (tiga puluh per seratus) dari seluruh luas kesatuan hidrologis gambut serta terletak pada puncak kubah Gambut dan sekitarnya”. Data hasil quisioner kepada petani dan wawancara mendalam terhadap kelompok tani “Maminase” berlokasi di Parit 15 Desa Simbur Naik yang beranggotakan 64 orang dengan luas tanam padi 120 Ha, yang dihadiri oleh ketua kelompok (Basri) dan 7 orang anggota kelompok, didapatkan informasi, yaitu : a. Produksi padi rata-rata setiap lahan ± 2 – 3 Ton gabah kering / Ha, dengan harga jual tertinggi beras Rp. 8.000,-/Kg dan harga terendah Rp. 7.400,-/Kg. Rata-rata kemampuan petani untuk menggarap sendiri lahan sawah ± 2 - 4 Ha. Hasil panen petani rata-rata dijual ketempat penggilingan padi yang sekaligus menjadi pengepul. Secara spasial produksi padi di KHG Muara Sabak Timur disajikan dalam Gambar 21.
58
.
Produksi Padi 1,5 2
Kilometers 0 1 2
4
6
8
2,5 3 Non Sawah
Gambar 21. Distribusi Spasial Produksi Padi di KHG Muara Sabak Timur b. Sekitar 90 % lahan pertanian di kawasan hidrologis gambut Muara Sabak Timur, hanya melakukan penanaman padi sawah dan padi ladang pada satu kali musim tanam setiap tahunnya. Waktu sela antara penanaman padi sengan penanaman berikutnya tidak dimanfaatkan untuk menanam tanaman sela (palawija) atau dibiarkan menjadi semak belukar, sehingga dalam pengolahan lahan kembali mengalami kesulitan untuk mencapai parameter kesuburan tanah yang diharapkan. c. Kondisi muka air tanah, pada saat musim kemarau memanfaatkan air baku pertanian dengan cara memompa air dari saluran dikarenakan muka air tanah pada lahan sawah jauh dibawah media perakaran. Sedangkan pada musim pasang besar kondisi lahan sawah tidak tergenang (muka air tanah normal). Nilai DHL yang ideal untuk tanaman padi, nilai EC(e) kurang dari 4 (dS/m) pada saat tanam adalah yang paling baik untuk pembentukan akar. Jika ini bisa dicapai dan jika pengelolaan air dapat dilaksanakan dengan baik, maka tidak akan ada masalah salinitas selama musim tanam. Kehilangan produksi padi sesuai klasifikasi nilai EC(e) berdasarkan FAO (2005): a. Jika EC(e) kurang dari 6 dS/m dengan kualitas air tawar dan agak payau, maka perkiraan kehilangan hasil tanaman 10-20%. b. Jika EC(e) lebih dari 6 dS/m kualitas air payau dan asin, maka perkiraan kehilangan hasil tanaman 20-50% atau lebih. Dari Gambar 20, produksi padi rata-rata lahan sawah tanam di KHG Muara Sabak Timur saat ini ± 2 – 3 Ton gabah kering / Ha. Jika dihubungkan dengan nilai DHL solum tanah saat ini seperti ditunjukkan pada Gambar 11, potensi kehilangan produksi padi sesuai analisis FAO (2005) diperkirakan kehilangan hasil tanaman 10-20%. Akan tetapi dari nilai DHL air tanah dangkal saat ini seperti ditunjukkan
59 pada Gambar 10, apabila tidak dilakukan penanggulangan masalah intrusi air laut secepatnya, maka potensi kehilangan produksi padi sesuai analisis FAO (2005), diperkirakan kehilangan hasil tanaman 20-50% atau lebih pada daerah dengan kualitas air payau dan asin. Dari data yang dihasilkan dan disesuaikan dengan PP No. 71 Tahun 2014, maka didapat areal atau zonasi rencana kawasan budidaya dengan fungsi lindung seluas 12.333 Ha dari luas KHG Muara Sabak Timur seluas 50.166 Ha, seperti ditunjukkan pada Gambar 22.
.
Keterangan Lahan Baku Sawah
Kilometers 0 1 2
4
6
Areal Budidaya
8
Areal Budidaya Fungsi Lindung Hutan Alami dan Mangrove Kawasan GreenBelt Terkonversi
Gambar 22. Kawasan Lindung dan Rencana Zonasi Kawasan Budidaya Bersifat Lindung Luasan perencanaan rawa untuk meningkatkan produksi padi dan revisi tata ruang di KHG Muara Sabak Timur, direncanakan zonasi peruntukan kawasan lindung, kawasan budidaya dengan fungsi lindung, lahan baku sawah dan areal budidaya perkebunan seperti ditunjukan pada Tabel 26. Tabel 26. Rencana Zonasi KHG Muara Sabak Timur No. 1. 2. 3. 4.
Zonasi Kawasan lindung Kawasan budidaya fungsi lindung Lahan baku sawah Areal penggunaan lahan lainnya Total
Luas (Ha) 4.600 12.333 7.340 25.893 50.166
(%) 9,17 24,58 14,63 51,62 100
60 Penetapan rencana zonasi kawasan budidaya dengan bersifat lindung di kawasan hidrologis gambut Muara Sabak Timur, berdasarkan pendekatanpendekatan sebagai berikut : a. Melindungi areal kubah gambut dan kedalaman gambut sekitarnya, yang diutamakan dalam penentuan kawasan budidaya pada seluruh kedalaman gambut sedang 100 – 150 cm (kedalaman sedang), kedalaman gambut dangkal 50 – 100 cm (dangkal) dan sebagiannya dengan kedalaman < 50 cm (dangkal). b. Meminimalkan terkonversinya lahan baku sawah menjadi kawasan budidaya dengan bersifat lindung , agar luas tanam padi sawah dapat terus terjaga dengan harapan meningkatnya produksi padi dikawasan hidrologis gambut dapat dicapai. c. Satu hamparan luas, secara administrasi penentuan satu areal hamparan luas yang terdiri dari beberapa wilayah desa atau kelurahan saja, dapat memudahkan bagi pemerintah daerah dalam sosialisai kawasan budidaya dengan bersifat lindung kepada masyarakat. d. Area terdekat daerah aliran sungai menjadi tempat limpasan air yang potensial, menjadi strategis sebagai tempat untuk menangkap dan mengumpulkan air limpasan permukaan (runoff) yang digunakan untuk beragam tujuan produktif usaha pertanian. Luasan areal kawasan budidaya dengan bersifat lindung yaitu seluas 30 % dari luas KHG Muara Sabak Timur bersifat dinamis, penetapan luasan areal budidaya bersifat lindung dapat ditambah ataupun berkurang sesuai dengan jumlah kebutuhan air baku pertanian. Rencana zonasi yang ditetapkan bukan didasarkan pada luasan areal KHG, akan tetapi berdasarkan jumlah volume air yang dibutuhkan KHG Muara Sabak Timur pada saat musim kemarau. Rencana zonasi budidaya bersifat lindung dan kawasan lindung pada penelitian seluas 16.933 Ha direncanakan lebih dari 30 % luas areal KHG Muara Sabak Timur seluas 50.166 Ha, dikarenakan ketersediaan volume air di KHG Muara Sabak Timur belum ada datanya. Keberadaan dan ketebalan gambut pada saat ini sudah sangat sedikit dan tipis, areal kubah gambut yang berpotensi sebagai lumbung air pertanian sudah tidak memadai. Rencana zonasi kawasan budidaya bersifat lindung juga ditujukan untuk mendukung upaya pemerintah daerah dalam pelaksanaan perlindungan lahan pertanian sesuai dengan peraturan daerah tentang lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B). Areal LP2B yang ditetapkan di KHG Muara Sabak Timur merupakan luasan sawah yang secara spasial letaknya terdiri dari persil-persil lahan yang kecil dan tersebar, kemungkinan untuk terjadinya konversi lahan semakin besar. Secara spasial rencana zonasi kawasan budidaya yang dilindungi pada penelitian ini merupakan suatu hamparan yang luas, terdiri dari kawasan budidaya bersifat lindung dan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B), hal ini memudahkan bagi pemerintah daerah dalam pelaksanaan dan pengawasan program LP2B serta upaya untuk meningkatkan Indeks Pertanaman (IP) pertanian dapat terlaksana. Upaya-upaya tersebut juga ditujukan untuk menunjang bagi meningkatnya produksi padi dalam hal ketersediaan air baku untuk pertanian tetap terjaga serta target-target revisi tata ruang di kawasan hidrologis gambut Muara Sabak Timur dapat dicapai dan berkembang. Perubahan ekosistem gambut dari fungsi budidaya menjadi ekosistem Gambut dengan fungsi lindung bukan dimaksudkan untuk menjadikan kawasan ekosistem gambut tersebut menjadi kawasan hutan lindung,
61 akan tetapi menata kawasan ekosistem gambut tersebut menjadi kawasan budidaya dengan bersifat lindung. Dengan kata lain komoditi vegetasi yang diusahakan berupa vegetasi tahunan yang dapat berproduksi dan dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan, dan juga dimaksudkan kawasan tersebut dapat menyimpan ketersediaan air baku bagi keperluan pertanian. Rekomendasi Program Kegiatan Perencanaan Lahan Rawa untuk Meningkatkan Produksi Padi dan Revisi Tata Ruang Dari hasil pengembangan penelitian terhadap analisis sebaran indikasi intrusi air laut, sebaran lahan sulfat masam, evaluasi ketersediaan dan kesesuaian lahan padi dan rencana zonasi kawasan budidaya bersifat lindung diatas dapat di kembangkan dan disusun menjadi isu strategis, program dan kegiatan untuk keperluan dan kepentingan perencanaan rawa guna meningkatkan produksi padi dan revisi tata ruang di kawasan hidrologis gambut Muara Sabak Timur. Hasil dari rekomendasi perencanaan rawa untuk meningkatkan produksi padi dan revisi tata ruang di kawasan hidrologis gambut Muara Sabak Timur tersebut merupakan sebagian dari rekomendasi arahan kebijakan dalam penyusunan revisi tata ruang Kabupaten Tanjung Jabung Timur secara keseluruhan, dikarenakan masih ada beberapa kawasan hidrologis gambut yang masih terdapat di Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Peningkatan produksi padi dan revisi tata ruang sangat terkait dengan masalah kesejahteraan masyarakat dari sisi ekonomi dan ketahanan pangan dari sisi produksi. Strategi kebijakan untuk pengembangan pertanian padi perlu memperhatikan aspek-aspek dalam penyusunan pola ruang dalam penataan ruang kawasan yang mempunyai kontribusi besar dan basis ekonomi wilayah serta memperhatikan peruntukan lahan atau rencana tata ruang berdasarkan aspek ekonomi, fisik, sosial budaya dan lingkungan. Dari penelitian ini berdasarkan pengembanganpengembangan penelitian berdasarkan aspek penataan ruang tersebut, menghasilkan arahan dan strategi kebijakan dalam penyusunan revisi RTRW Kabupaten Tanjung Jabung Timur dalam meningkatkan produksi padi dan revisi tata ruang di kawasan hidrologis gambut Muara Sabak Timur, sebagaimana berikut : Isu Strategis Lingkungan Perlindungan kawasan hidrologis gambut yang berpotensi untuk meningkatkan produksi padi yaitu dengan segera menetapkan zonasi areal ekosistem gambut sebagai fungsi lindung dan mengembalikan fungsi kawasan sebagai fungsi lindung pada kawasan lindung areal greenbelt pesisir pantai dan sempadan sungai. Rencana zonasi kawasan budidaya dengan bersifat lindung di kawasan hidrologis gambut Muara Sabak Timur, dengan membudidayakan tanaman atau vegetasi tahunan yang produktif dan dapat menjadi sumber penghasilan tetap bagi masyarakat dikawasan. Tanaman-tanaman tahunan yang dapat dipertimbangkan untuk diusahakan pada kawasan budidaya dengan bersifat lindung, yaitu sagu, pohon gaharu, bambu, sengon dan pohon adaptif lainnya. Perbedaan penting di antara tanaman tahunan (misalnya pohon) dengan tanaman semusim adalah bahwa pohon memerlukan konsentrasi air pada titik-titik
62 tertentu, sedangkan tanaman semusim biasanya lebih diuntungkan kalau distribusi air lebih merata ke seluruh areal pertanaman. Pendekatan-pendekatan yang dapat dilakukan dalam pengelolaan pesisir pantai dan daerah aliran sungi kawasan hidrologis gambut Muara Sabak Timur yang disesuaikan dengan pengelolaan kawasan delta (Kusumastanto 2009) dapat melalui : a. Pendekatan ekosistem dalam pengelolaan kawasan delta adalah pengelolaan yang dilakukan dengan berbasiskan kepada pengetahuan dan pemahaman kondisi ekosistem perairan di kawasan delta. Seperti diketahui, delta adalah sebuah ekosistem perairan pesisir, semi tertutup dan merupakan perairan yang sangat dipengaruhi oleh masukan air dari daratan melalui sungai maupun dari laut. Dalam arti kata, ekosistem perairan pesisir, delta tidak berdiri sendiri dan sangat dipengaruhi oleh ekosistem daratan melalui sungai dan laut lepas. Sehingga, pengelolaan kawasan delta tidak bisa di lepaskan dari pengelolaan kawasan DAS serta lautan. b. Ditinjau dari aspek sosial ekonomi dan budaya, pengelolaan wilayah delta beserta sumberdaya alam di dalamnya, seharusnya memberikan manfaat terbesar kepada masyarakat pesisir sebagai pelaku utama pemanfaat/pengelola sumberdaya tersebut. Oleh karena itu, segala aktivitas pembangunan di wilayah delta diarahkan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir tanpa mengorbankan aspek-aspek sosial budaya masyarakat setempat serta kelestarian sumberdayanya. c. Suatu kegiatan pembangunan berkelanjutan khususnya di wilayah pesisir dan lautan hanya dapat dicapai apabila didukung oleh suasana politik yang kondusif dan transparan. d. Pengaturan hukum dan kelembagaan dalam pemanfaatan sumberdaya delta, pada dasarnya merupakan unsur penting bagi pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Oleh karena itu pengaturan hukum dan kelembagaan hanya akan dapat memberikan peranannya secara maksimal apabila kebijakan pengelolaan sumberdaya delta telah ditetapkan didasarkan pada aspek legal yang kuat serta dukungan lembaga yang dapat berperan aktif. Pemilihan kebijakan pengelolaan harus memiliki landasan teoritis dan praktis dengan mempertimbangkan kemampuan sumberdaya alam yang tersedia serta proyeksi pemanfaatannya di masa depan, baik untuk sumberdaya pulih, tidak pulih maupun untuk jasa-jasa lingkungan di wilayah delta. Program 1. Menetapkan ekosistem gambut sebagai fungsi lindung sesuai dengan amanat PP No. 71 Tahun 2014 seluas minimal 30 % dari total luas KHG Muara Sabak Timur seluas 50.166 Ha atau dalam penelitian ini ditetapkan seluas 16.933 Ha yang terdiri dari kawasan lindung seluas 4.600 Ha dan kawasan budidaya dengan fungsi lindung seluas 12.333 Ha. Dengan pola sebagai berikut : - Pembuatan Perda. Tentang penetapan Kawasan budidaya dengan fungsi lindung seluas 15.091 Ha, dengan pendekatan-pendekatan kedalaman gambut, areal hulu sungai, satu atau beberapa hamparan luas, menghindari atau meminimalisir penggunaan areal lahan baku sawah. - Sosialisasi pentingnya perlindungan ekosistem gambut sebagai areal dengan fungsi lindung guna kepentingan pencegahan bahaya banjir dan
63 kekeringan serta untuk mendapatkan ketersediaan lumbung air bagi usaha pertanian. - Rehabilitasi ekosistem gambut sebagai fungsi lindung dengan tanaman produksi tahunan yang memiliki nilai produktif bagi masyarakat pemilik lahan. Contoh vegetasi yang direkomendasikan antara lain sagu, pohon gaharu, bambu, sengon dan pohon adaptif lainnya. 2. Review dan penertiban secara spasial keruangan terhadap batasan kawasan lindung pesisir pantai dan sempadan sungai sesuai dengan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, PP Nomor 38 Tahun 2011, PP. 63/PRT/1993 dan peraturan terkait lainnya. Dengan pendekatan sebagai berikut : - Pendekatan ekosistem dalam pengelolaan kawasan lindung. - Pendekatan aspek sosial ekonomi dan budaya. - Pendekatan politik yang kondusif dan transparan. - Pendekatan hukum dan kelembagaan dalam pemanfaatan sumberdaya kawasan. Isu Strategis Fisik Perbaikan kualitas lahan pertanian yang dipengaruhi oleh salinitas (intrusi air laut) dan lahan sulfat masam serta pemeliharaan saluran drainase pertanian (jaringan irigasi rawa). Cekaman salinitas dan lahan sulfat masam pada KHG Muara Sabak Timur tidak terlepas dari masalah rusaknya ekosistem gambut, yang ditandai dengan terdegradasinya kawasan lindung pesisir pantai dan sempadan sungai serta terjadinya penurunan muka air tanah. Kurangnya air tanah baku yang tersedia pada saat musim kemarau menyulitkan proses untuk menahan laju intrusi air laut yang masuk kedaratan serta semakin cepatnya proses oksidasi pirit. Untuk mengurangi dan menghambat pengaruh cekaman salinitas, merehabilitasi kawasan lindung pesisir pantai, sempadan sungai dengan cara penanaman varietas tumbuhan atau pohon yang toleran (memiliki toleransi tinggi) dengan kondisi lahan salin sangat diperlukan. Membuat rencana zonasi kawasan budidaya bersifat lindung dengan membudidayakan tanaman terbatas seperti karet, mangrove atau jenis lainnya yang mampu untuk mempertahankan ketersediaan air baku tanah pada saat musim kemarau sangat diperlukan untuk menghambat laju intrusi air laut serta tetap menjaga agar lapisan pirit tidak teroksidasi. Sistem pengelolaan lahan dan tata air merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pengembangan pertanian di lahan pasang surut. Pengelolaan lahan dan tata air bertujuan untuk mengatur pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal untuk mendapatkan hasil/manfaat secara maksimal, serta sekaligus mempertahankan kelestarian sumber daya alam tersebut. Langkah utama dalam kegiatan tersebut ditujukan pada penguasaan air untuk: 1) memanfaatkan air pasang untuk pengairan; 2) mencegah akumulasi garam pada daerah perakaran; 3) mencuci zat-zat beracun bagi tanaman; dan 4) mengatur tinggi genangan untuk sawah dan permukaan air tanah guna menghindari oksidasi pirit. Sistem penataan lahan dan air untuk lahan sulfat masam ditentukan berdasarkan tipologi lahan dan tipe luapan air pasang, pengelolaan tanaman, kemungkinan dampak buruknya terhadap lingkungan, serta kebutuhan tanaman
64 terhadap air. Berdasarkan hidrotofografinya, lahan sulfat masam dibagi menjadi empat katagori yaitu: 1) lahan bertipe luapan A; 2) lahan bertipe luapan B; 3) lahan bertipe luapan C; dan 4) lahan bertipe luapan D. Tipe luapan ini sangat menentukan sistem pengelolaan pada tiap tipologi lahan (Balitbang 2006). Kawasasan hidrologis gambut Muara Sabak Timur didominasi dengan lahan bertipe luapan B dan C, maka pengelolaan lahan yang tepat dapat dilakukan pengelolaan lahan dengan sistem surjan. Hal ini disebabkan oleh sistem surjan mempunyai beberapa keuntungan antara lain: 1) stabilitas produksi lebih terjamin, terutama untuk tanaman padi sawah di tabukan; 2) intensitas tanam lebih tinggi; dan 3) diversifikasi tanaman sekaligus dapat terlaksana. Ukuran surjan di lahan pasang surut tergantung pada tipologi lahan dan luapan air, kedalaman pirit, dan air tanah. Sistem pengelolaan air mikro berfungsi untuk: a) mencukupi kebutuhan evapotranspirasi tanaman dan dengan demikian cukup air untuk penyerapan hara optimum; b) mencegah pertumbuhan gulma, khususnya dalam budi daya sawah; c) mencegah keadaan air dan tanah toksik bagi tanaman melalui penggelontoran dan pencucian; d) mengatur tinggi air disawah dan tinggi air di tanah; dan e) menjaga kualitas air di lahan dan saluran. Saluran kuarter sebaiknya dibuat pada setiap batas pemilikan untuk memfasilitasi sistem aliran satu arah. Sistem aliransatu-arah dapat diterapkan dengan memanfaatkan satu kuarter sebagai pemasukan dari saluran tersier irigasi dan kuarter sebelahnya membuang air ke saluran tersier drainase. Hal ini dapat dilaksanakan dengan menutup atau memasang stop log pada satu ujung saluran kuarter, bila sistem satu arah dilaksanakan dalam pengelolaan air tersier. Bila pengelolaan air tersier belum dilaksanakan sistem satu arah, maka pintu klep dipasang disetiap ujung saluran kuarter. Ameliorasi dan pemupukan merupakan komponen penting untuk memecahkan masalah pada lahan sulfat masam dan gambut. Bahan amelioran yang telah teruji baik adalah kapur atau abu sekam maupun abu gergajian. Dengan pemberian kapur atau abu sebagai amelioran sebanyak 1 – 3 ton/ha, akan mampu meningkatkan hasil padi secara nyata di lahan sulfat masam. Amelioran ini harus dikombinasikan dengan pemberian pupuk anorganik dengan dosis anjuran adalah pupuk N berkisar 67,5-135 kg, P2O5 47 hingga 70 kg, dan K2O 50-75 kg/ha. Lahan gambut; dosis kapur 1 -2 t/ha serta pupuk N 45 kg, P2O5 60 kg dan K2O 50 kg/ha. Sedangkan untuk lahan potensial tanpa menggunakan kapur, namun pupuk N yang dianjurkan adalah 45-90 kg, P2O5 22,5-45 kg, dan K2O 50 kg/ha (Balitra, 1998). Pengapuran merupakan teknologi konvensional dalam mengatasi kemasaman tanah, penentuan dosis kapur didasarkan pada sensitifitas tanaman dan kejenuhan Al dalam tanah. Batas kritis toleransi tanaman terhadap alumunium (dinyatakan dalam % kejenuhan) berbeda-beda, untuk komoditas padi sawah sebesar 70%. Penggunaan kapur dalam jangka panjang mempunyai dampak yang kurang menguntungkan terhadap keseimbangan hara dalam tanah, juga akan mengurangi ketersediaan unsur mikro, terutama bila diberikan dalam jumlah yang berlebih (Rachman dan Dariah 2008).
65 Program 1. Rehabilitasi saluran drainase air baku lahan pertanian untuk memperlancar proses pencucian garam-garam terlarut dalam tanah (terpengaruh kondisi salin). 2. Rehabilitasi kawasan sekitar pesisir pantai, sempadan sungai maupun saluran primer dengan cara penenaman varietas tumbuhan atau pohon yang toleran terhadap kondisi salin. 3. Pengelolaan dan perbaikan lahan dan tata air mikro ditingkat petani. 4. Pemberian bantuan ameliorasi dan pemupukan yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan lahan. Isu Strategis Ekonomi Optimalisasi penggunaan lahan baku sawah dengan kriteria kesesuaian lahan kelas S3 dengan memperbaiki faktor-faktor hambatan pembatas lahan dan meningkatkan Indeks Pertanaman (IP) padi dari 100 menjadi 200. Secara potensial faktor pembatas tingkat kesuburan tanah rendah yang melibatkan Retensi Hara (nr), Ketersediaan Hara (na) dan Toksisitas (xc) untuk kelas kesesuaian lahan padi dengan kriteria S3 masih dapat diatasi dengan usaha pengolahan tanah yang baik, pengapuran dan pemupukan. Penyiapan lahan dapat dilakukan dengan cara tebas atau menyemprot herbisida dengan cara olah tanah konservasi (OTK) yang merupakan metoda penyiapan lahan yang dilakukan untuk mempersiapkan tanah supaya mudah/dapat ditanami yang penerapannya memperhatikan kondisi lingkungan dengan tujuan untuk mengatasi terjadinya penurunan kesuburan tanah terutama pada tanah-tanah marginal sehingga produktivitas lahan dapat dipertahankan, tanaman dapat tumbuh dan memberikan hasil yang optimal serta sistem usahatani yang dikembangkan berkelanjutan. Pemberian bahan amelioran sangat dianjurkan, kriteria amelioran yang baik bagi lahan rawa pasang surut adalah memiliki kejenuhan basa yang tinggi, mampu meningkatkan derajat pH secara nyata, mampu memperbaiki struktur tanah, memiliki kandungan unsur hara yang lengkap, dan mampu mencuci senyawa beracun terutama asam-asam organik. Penyiapan lahan untuk melakukan perbaikan unsur hara dikawasan hidrologis gambut Muara Sabak Timur, dukungan inovasi teknologi pengelolaan hara sangat diperlukan untuk mengoptimalkan produktifitas lahan. Defesiensi ganda N dan P dapat dijumpai hampir pada semua lahan sulfat masam. Maka pemupukan berimbang dan pemantauan status hara secara berimbang sangat penting untuk dilakukan (Santoso dan Sofyan 2005), dapat dilakukan langkahlangkah sebagai berikut : a. Pengelolaan bahan organik, sangat membantu dalam proses perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Fungsi bahan organik di lahan sulfat masam untuk meningkatkan ketersediaan P, dapat mensuplai kebutuhan hara baik secara makro maupun mikro. b. Rekapitulasi Fosfat (P), ketersediaan unsur fosfat bagi tanaman seringkali menjadi faktor pembatas optimalisasi lahan sulfat masam. Untuk meningkatkan produktifitas lahan, maka dilakukan rekapitulasi fosfat yaitu (1) mencukupi kehilangan P akibat fiksasi oleh koloid liat, Fe dan Al tanah serta mensuplai kebutuhan P tanaman selama beberapa musim kedepan. (2)
66 memaksimalkan kontak antara butiran pupuk dan koloid tanah, sehingga aplikasi pupuk dilakukan dengan cara disebar dan dicampurkan ketanah. c. Pemberian pembenah tanah, utamanya ditujukan untuk perbaikan struktur tanah, sehingga kemampuan tanah dalam memegang dan menyediakan air meningkat. Pembenah tanah bisa berasal dari bahan alami atau buatan, bisa berbahan dasar organik atau mineral, bisa juga merupakan campuran dari keduanya. d. Konservasi air dan irigasi suplemen, dengan cara meresapkan air semaksimal mungkin kedalam tanah, sehingga kesempatan tanaman untuk memanfaatkan air menjadi lebih tinggi. e. Pemilihan varietas tanaman padi yang sesuai dengan kondisi lahan dan agroklimat setempat dengan memanfaatkan sumberdaya genetik (toleran kemasaman dan kekeringan, efisien terhadap penggunaan pupuk, tahan terhadap hama) serta sesuai dengan kondisi sosial ekonomi dan kebijakan pemerintah daerah setempat. Perbaikan terhadap faktor-faktor pembatas tersebut diharapkan dapat meningkatkan produktifitas padi dengan tetap memperhatikan aspek ekonomisnya. Hal ini berarti apabila lahan tersebut diatasi kendalanya, harus diperhitungkan apakah secara ekonomis masih dapat memberikan keuntungan terhadap pengusahaan komoditas padi. Oleh karena, dalam rangka mendukung pencapaian kedaulatan dan kemandirian pangan maka diperlukan campur tangan pemerintah atau pihak swasta dalam usaha perbaikan lahan bila biaya yang diperlukan untuk mengatasi faktor pembatas tersebut tergolong mahal. Hasil evaluasi kesesuaian lahan untuk komoditas padi di Kawasan hidrologis gambut Muara Sabak Timur dapat dijadikan dasar dalam arahan pengembangan komoditas padi dengan pemanfaatan ketersediaan lahan potensial. Dalam penelitian ini, lahan yang sesuai dan berpotensi dijadikan pengembangan komoditas padi berdasarkan kesesuaian secara spasial dan biofisik adalah lahan dengan kelas kesesuaian S3, sedangkan kelas kesesuaian N tidak termasuk areal potensial karena lahan dengan kelas kesesuaian N mempunyai faktor pembatas yang sangat berat dan/atau sulit diatasi. Program 1. Meminimalisir faktor-faktor penghambat / pembatas untuk pengelolaan dan pengolahan lahan pertanian seperti Retensi Hara (nr), Ketersediaan Hara (na) dan Toksisitas (xc) dengan pemberian bantuan untuk olah tanam, proses pengapuran dan pemupukan lahan pertanian padi. 2. Pemerataan bantuan pertanian untuk pengelolaan dan perbaikan lahan pertanian sehingga peningkatan Indeks Pertanaman (IP) dapat dilakukan diseluruh areal lahan baku sawah. Isu Strategis Sosial Memperbaiki kualitas sumberdaya manusia (petani) dengan rutinitas penyuluhan pertanian dan legalisasi perangkat kelompok tani yang masih belum ditetapkan dalam SK Bupati. Peningkatan produksi padi di kawasan hodrologis gambut Muara Sabak Timur dapat dilakukan dengan metode intensifikasi lahan, untuk menjawab permasalahan kurangnya tenaga kerja pada masa tanam maupun pasca panen. Intensifikasi dapat dicapai melalui :
67 a. Penyediaan agro inovasi yang sesuai untuk kawasan hidrologis gambut, meliputi penyediaan varietas unggul baru yang sesuai dan toleran terhadap kondisi lahan, teknologi pengelolaan tanah, pupuk, air dan tanaman secara terpadu, teknologi pengendalian organisme pengganggu tanaman, teknlogi pasca panen dan pengelolaan hasil, inovasi kelembagaan (permodalan, pasar, sarana produksi, kelompok tani dan petani pemakai air). b. Peningkatan indeks pertanaman dilakukan dengan mengubah paradigma yang biasanya berlaku pada lahan sulfat masam, yaitu hanya menggantungkan kebutuhan air untuk tanaman terhadap curah hujan. c. Pengembangan tanaman sela dengan memasukkan jenis tanaman pangan atau hortikultura pada areal tanaman tahunan. d. Mengembangkan strategi penyampaian informasi dan diseminasi teknologi pengelolaan lahan secara langsung kepada petani sebagai calon pengguna teknologi. e. Melibatkan peran serta petani dan masyarakat pedesaan dalam mengembangkan lahan sulfat masam secara optimal dengan memanfaatkan pilihan teknologi yang tepat. f. Integrasi dan harmonisasi antara penyuluh pertanian, petani dan pemerintah daerah dalam transfer teknologi pengelolaan lahan-lahan marginal sehingga dapat diadopsi petani dan berkelanjutan. g. Mengembangkan kemitraan petani/masyarakat dengan pihak swasta dengan prinsip saling menguntungkan. Perubahan iklim global yang cepat mengalami perubahan menyebabkan ketidakpastian musim yang semakin sulit untuk diprediksi, sehingga resiko gagal panen menjadi semakin tinggi. Seringkali hujan jatuh dalam jumlah besar dan waktu relatif singkat, sehingga peluang terjadinya banjir semakin tinggi. Musim kemarau kadang menjadi lebih panjang yang berisiko terhadap timbulnya kekeringan, yang berdampak terhadap meningkatnya luasan lahan yang mengalami gagal panen. Serangan hama penyakit juga menjadi semakin meningkat, akibat semakin langkanya musuh alami dari hama penyakit. Interaksi pertemuan di kelompok tani diduga turut mempengaruhi luas pengusahaan lahan sawah. Semakin banyak interaksi pertemuan di kelompok tani, maka semakin banyak informasi atau pengetahuan yang petani dapatkan agar aktivitas usahataninya semakin baik. Selain itu, akses petani untuk meningkatkan penguasaan lahannya pun lebih terbuka dibandingkan dengan petani yang jarang mengikuti pertemuan di kelompok tani, karena petani melakukan sosialisasi dengan banyak petani lainnya. Dengan demikian, interaksi pertemuan di kelompok tani diduga memiliki hubungan yang searah dengan penguasaan lahan. Semakin banyak interaksi pertemuan di kelompok tani, maka semakin luas penguasaan lahan petani. Program 1. Legalitas fungsi lembaga kelompok tani. 2. Optimalisasi proses usaha pasca panen dan pengolahan hasil produksi padi. 3. Segera melaksanakan Peraturan Daerah No. 18 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sesuai dengan hak dan kewajiban petani. 4. Membuat aturan yang jelas dan mengikat tentang larangan konversi lahan pertanian ke non-pertanian beserta sangsi yang tegas
68 5. Intensifkan rutinitas pertemuan penyuluhan pertanian antara kelompok tani dan penyuluh lapangan pertanian 6. Pengembangan kemitraan petani, pemerintah dan swasta dengan prinsip saling menguntungkan.
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang dilakukan pada kawasan hidrologis gambut Muara Sabak serta kaitannya dengan tujuan penelitian demi ketercapaian peningkatan produksi padi dan revisi tata ruang, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. KHG Muara Sabak Timur sebahagian besar telah dipengaruhi intrusi air laut dan lahan sulfat masam. Salinitas diperkirakan telah mempengaruhi kawasan seluas 30.909 Ha pada bagian utara (dekat pesisir pantai) yang ditandai dengan tingkat kualitas air payau dan asin sesuai klasifikasi DHL air tanah dangkal, dan berpotensi akan mengurangi produksi padi dengan perkiraan kehilangan hasil tanaman 20-50% atau lebih. Kawasan yang tergolong lahan sulfat masam potensial, sesuai dengan klasifikasi derajat kemasaman pH tanah yang masih berpotensi untuk produksi padi seluas 43.332 Ha. 2. Ketersediaan dan kesesuaian luas lahan baku sawah secara keseluruhan seluas 7.340,59 Ha dengan kelas kesesuaian lahan S3 (sesuai marginal), memiliki areal yang berpotensi untuk pengembangan komoditas padi. 3. Areal kawasan lindung pesisir pantai dan sempadan sungai, telah terdegradasi dan terkonversi ke penggunaan lahan budidaya seluas 1.665 Ha dari luas keseluruhan areal kawasan lindung seluas 4.600 Ha. Rencana zonasi kawasan budidaya dengan bersifat lindung seluas 12.333 Ha dari luas KHG merupakan upaya untuk melindungi lumbung ketersediaan air baku pertanian pada saat musim kemarau, sehingga peningkatan IP pertanian dapat dilaksanakan. 4. Perencanaan rawa untuk meningkatkan produksi padi dan revisi tata ruang di KHG Muara Sabak Timur yang telah disusun program strategi kebijakan dan disesuaikan dengan aspek-aspek penataan ruang, merupakan rekomendasi bagi pemerintah daerah dalam menyusun revisi RTRW Kabupaten Tanjung Jabung Timur dalam mendukung program lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) di Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Saran Untuk meningkatkan produksi padi dan revisi tata ruang di kawasan hidrologis gambut Muara Sabak Timur, berdasarkan permasalahan yang ditemui, maka diharapkan kepada pemerintah daerah Kabupaten Tanjung Jabung Timur untuk segera melaksanakan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Untuk mengurangi dampak indikasi intrusi air laut dan dampak lahan sulfat masam serta faktor-faktor pembatas lainnya yang mempengaruhi peningkatan produksi padi yaitu membantu dalam pengelolaan lahan dan tata air mikro dan
69
2.
3.
4.
makro dengan merehabilitasi jaringan (saluran) irigasi, memberikan bantuan kepada petani bahan-bahan amelioran untuk membantu dalam pemeliharaan lahan dan secara simultan memberikan arahan dalam pengembangan teknologi pertanian. Kelas kesesuaian lahan untuk komoditas padi masih tergolong rendah yaitu kelas S3 (sesuai marginal) sehingga perlu adanya kajian secara mendalam terkait dengan paket budidaya padi spesifik lokasi untuk meningkatkan produksi padi di kawasan hidrologis gambut Muara Sabak Timur. Secepatnya melaksanakan program LP2B seperti yang telah ditetapkan, dengan pemberian insentif kepada para petani, serta menetapkan peraturan daerah tentang zonasi areal kawasan lindung dengan batasan dan sangsi yang jelas sesuai dengan perturan perundang-undangan yang berlaku, merehabilitasi kawasan lindung yang terdegradasi dan melakukan pengawasan yang ketat terhadap kawasan lindung, kawasan budidaya bersifat lindung dan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Luasan areal kawasan budidaya bersifat lindung, minimal seluas 30 % dari luas total KHG Muara Sabak Timur, dihitung berdasarkan jumlah volume kebutuhan air, yang pada saat ini belum ada datanya. Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang ketersediaan volume air di KHG Muara Sabak Timur, sehingga luasan areal budidaya bersifat lindung dapat direncanakan dengan tepat.
DAFTAR PUSTAKA Abdurachman, Suriadikarta. 2000. Pemanfaatan Lahan Rawa eks PLG Kalimantan Tengah untuk Pengembangan Pertanian Berwawasan Lingkungan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 19 (3): 76-87. Agus F, Subiksa IGM. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Bogor (ID): Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF). Alkadri, Djajaningrat. 2002. Revisi tata ruang dan Otonomi Daerah. Kajian Konsep dan Pengembangan. Bagaimana Menganalisis Potensi Daerah Konsep dan Contoh Aplikasi. Jakarta (ID): Pusat Pengkajian Teknologi Revisi tata ruang dan CV Cahaya Ibu. Anwar A, Rustiadi E. 1999. Desentralisasi Spasial Melalui Pembangunan Agropolitan, dengan Mereplikasi Kota-Kota Menengah Kecil di Wilayah Perdesaan. Buletin Tata Ruang. 1(3): 1-57. [Balitbang] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2006. Multifungsi dan Revitalisasi Pertanian. Jakarta (ID): Balitbang Pr. [Balitra] Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa.1998. Laporan tahunan 1998-1999. Banjarbaru (ID): Balitra Pr.
70 [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tanjung Jabung Timur. 2011. RTRW Kabupaten Tanjung Jabung Timur Tahun 2011 2031. Kabupaten Tanjung Jabung Timur (ID): BAPPEDA Pr. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tanjung Jabung Timur. 2013. Profil Daerah Kabupaten Tanjung Jabung Timur 2013. Kabupaten Tanjung Jabung Timur (ID): BAPPEDA Pr. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jambi. 2005. RTRW Provinsi Jambi Tahun 2005 - 2020. Jambi (ID): BAPPEDA Pr. Barus B, Iman LS. 2009. Perbandingan Hasil Pemetaan Kesatuan Hidrologis dan Kubah Gambut Dengan Citra Optik Landsat TM dan SAR. Di dalam: LPPMIPB, LAPAN dan BAKOSURTANAL, editor. Prosiding Semiloka GeomatikaSAR Nasional; 2009 April; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): LPPM-IPB. hlm 187194. Barus B, Wiradisastra US. 2000. Sistem Informasi Geografis. Bogor (ID): Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB Pr. [BBPPSL] Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 2008. Pemanfaatan dan Konservasi Ekosistem Lahan Rawa Gambut di Kalimantan. Bogor (ID): BBPPSL Pr. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanjung Jabung Timur. 2014. Tanjung Jabung Timur Dalam Angka 2014. Kabupaten Tanjung Jabung Timur (ID): BPS Pr. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanjung Jabung Timur. 2014. Sensus Pertanian 2013. Kabupaten Tanjung Jabung Timur (ID): BPS Pr. Dinas Pertanian Tanaman Pangan. 2012. Laporan Tahunan Pertanian 2011. Kabupaten Tanjung Jabung Timur (ID): Dinas Pertanian Tanaman Pangan Pr. Direktorat Pengembangan Kawasan. 2002. Pendekatan dan Program Pengembangan Wilayah [editorial]. Bulletin Kawasan Edisi 2. Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal, Deputi Otonomi Daerah dan Pengembangan Regional BAPPENAS. Jakarta. Djaenuddin D, Basuni, Hadjowigeno S, Subagyo H, Sukardi M, Ismangun, Marsudi D, Suharta N, Hakim L, Widagdo, Dai J, Suwandi V, Bachri S, Joreds ER. 1994. Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Pertanian dan Tanaman Kehutanan (Land Suitability for Agricultural and Silvikultural Plants). Bogor (ID): Center for Soil and Agroclimate Research Pr. [FAO] Foundation Agriculture Organization. 1976. A Frame Work Of Land Evaluation. Rome (IT): FAO Pr. [FAO] Foundation Agriculture Organization. 2005. Panduan Lapang FAO: 20 Hal Untuk Diketahui Tentang Dampak Air Laut Pada Lahan Pertanian di Propinsi NAD. Jakarta (ID): FAO Pr. Ferguson RB, Lark RM, Slater GP. 2003. Approaches to Management Zone Definition for Use of Nitrification Inhibitors. Soil Sci. Soc. Am. J. 67:937-947.
71 Gupta IC. 1979. Use of Saline Water in Agriculture in Arid and Semi-arid Zones of India. New Delhi (IN): Oxford & IBH Pr. Hardjowigeno S, Widiatmaka. 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Tanah. Bogor (ID): Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB Pr. Hardjowigeno S, Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan & Perencanaan Tataguna Lahan. Yogyakarta (ID): Gajahmada University Press. Hasyim W. 1988. Peasant Under Peripheral Capitalism. Malaysia (ML): Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia. Johnson CK, Doran JW, Duke HR, Wienhold BJ, Eskridge KM, Shanahan JF. 2001. Field Scale Electrical Conductivity Mapping for Delineating Soil Condition. Soil Sci. Soc. Am. J. 65:1829-1837. Kabupaten Tanjung Jabung Timur. 2012. Peraturan Daerah Kabupaten Tanjung Jabung Timur No. 11 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Timur Tahun 2011 - 2031. Lembaran Daerah Kabupaten Tanjung Jabung Timur Tahun 2012. Sekretariat Daerah. Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Jambi. Kabupaten Tanjung Jabung Timur. 2013. Peraturan Daerah Kabupaten Tanjung Jabung Timur No. 18 Tahun 2013 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Lembaran Daerah Kabupaten Tanjung Jabung Timur Tahun 2013, No. 18. Sekretariat Daerah. Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Jambi. Kitchen NR, Sudduth KA, Drummond ST. 1999. Soil Electrical Conductivity as a Crop Productivity Measure for Claypan Soils. J. Prod. Agric. 12:607-617. Kusumastanto T. 2009. Pengelolaan Delta Mahakam Berkelanjutan. Di dalam: PKSPL-IPB, editor. The Int’l Seminar Research on Plantation Forest Management; 2009 Nov 5-6; Bogor, Indonesia. Bogor (ID) PKSPL-IPB. Materechera SA. 2011. Soil Salinity in Irrigated Fields Used for Urban Agriculture Under a Semi-arid Environment of South Africa. African Journal of Agricultural Research 6(16): 3747-3754. Menteri Pekerjaan Umum. 2008. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Kementrian Pekerjaan Umum. Jakarta. Noor M, Saragih S. 1993. Peningkatan Produktivitas Lahan Pasang Surut dengan Perbaikan Sistem Pengelolaan Air dan Tanah. Di dalam: P3TP, editor. Makalah Penunjang pada Simposium Penelitian Tanaman Pangan III; 1993 Agt 21-24; Bogor, Indonesia. Bogor (ID) Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Noor M. 1996. Padi Lahan Marjinal. Jakarta (ID): Penebar Swadaya Pr. Pahlevi N, Hadi S, Soma S. 2014. Studi Revisi tata ruang Kota Sukabumi. Jurnal Tata Loka 16(1):132-144. Parish F, Sirin A, Charman D, Joosten H, Minayeva T, Silvius M, Stringer L. 2007. Assessment on Peatlands, Biodiversity and Climate Change. Kuala Lumpur (ML): Global Environment Centre Pr.
72 Rachman A, Dariah A. 2008. Permodelan dalam Perencanaan Konservasi Tanah dan Air. Dalam: Fahmuddin A, Sinukaban N, Ginting AN, Santoso H, Sutadi, editor. Seminar Konservasi Tanah dan Air: 2008; Jakarta, Indonesia. Jakarta (ID) Pengurus Pusat Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia. hlm. 2833. Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Lembaran Negara RI Tahun 1999, No. 167. Sekretariat Negara. Jakarta. Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang No. 54 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten Muaro Jambi, dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Lembaran Negara RI Tahun 1999, No. 182. Sekretariat Negara. Jakarta. Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Lembaran Negara RI Tahun 2007, No. 68. Sekretariat Negara. Jakarta. Republik Indonesia. 2011. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai. Lembaran Negara RI Tahun 2011, No. 74. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Jakarta. Republik Indonesia. 2014. Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Lembaran Negara RI Tahun 2014, No. 209. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Jakarta. Ritung S. 2011. Karakteristik dan Sebaran Lahan Sawah di Indonesia. Dalam: Balai Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, editor. Seminar Nasional Teknologi Pemupukan dan Pemulihan lahan Terdegradasi; 2012 Juni 30; Bogor, Indonesia. Bogor (ID) Balai Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. hlm 83-98. Ritung S, Wahyunto, Agus A, Hidayat H. 2007. Panduan Evaluasi Kesesuaian Lahan. Bogor (ID): Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Center Pr. Sabiham S, Mulyanto B. 2005. Biomass Utilization in Indonesia: Integration of Traditional and Modern Principles of Organic Matter Management, In: APECATC, editor. APECATC Workshop on Biomass Utilization held in Tokyo and Tsukuba Japan; 2005 Jan 19-21; Tokyo, Japan. Tokyo (JP) APECATC. Pp 35-48. Santoso D, Sofyan A. 2005. Pengelolaan Hara Tanaman pada Lahan Kering Masam Dalam: Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Jakarta (ID) : Balai Penelitian Tanah Pr. Sitorus SRP. 2004. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Bandung (ID): Penerbit Tarsito. Sudduth KA, Kitchen NR, Hughes DF, Drummond ST. 1995. Electromagnetic Induction Sensing as an Indicator of Productivity on Claypan Soils. In: P.C. Robert (Ed.), Proceedings of the 2nd Internal Conference on Site-specific Management for Agricultural Systems. ASA, CSSA, SSSA, Madison, WI. Pp 671-681.
73 Suherman D. 2007. Mata Air Sebagai Sumber Air Bersih di Pulau Kai Kecil Maluku Tenggara. Dalam Hehanusa PE dan Bhakti H. 2004. Sumber Daya Air di Pulau Kecil. Bandung (ID): Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Team ITSL IPB. 1975. Laporan Survey dan Pemetaan Tanah Daerah Pasang Surut Muara Sabak, Delta Berbak. Bogor (ID) ITSL IPB Pr. van Asten PJA, van Zelfde JA, van der Zee SEATM, Hammecker C. 2004. The Effect of Irrigated Rice Cropping on the Alkalinity of Two Alkaline Rice Soil in the Sahel. Geoderma. 119:233-247. Watson DF, Philip GM. 1985. A Refinement of Inverse Distance Weighted Interpolation, Geo-processing. Vol.2:315–327. Widjaja-Adhi IPG, Nugroho K, Suriadikarta DA, Karama AS. 1992. Sumber daya lahan rawa: potensi, keterbatasan dan pemanfaatannya. Dalam: Partohardhono dan M. Syam (Ed.). Pengembangan Terpadu Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak. Bogor (ID) Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. hlm. 19−38. Yan L, Zhou S, Feng L, Yi LH. 2007. Delineation of Site-specific Zones Using Fuzzy Clustering Analysis in a Coastal Saline Land. Journal of Computers and Electronics in Agriculture. 56:174-186.
74 Lampiran 1. Titik Pengamatan dan Data Hasil Uji Laboratorium Titik Pengamatan
Warna Tanah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
Gelap Gelap Terang Gelap Terang Gelap Gelap Gelap Gelap Gelap Terang Terang Terang Gelap Terang Terang Gelap Gelap Gelap Terang Terang Gelap Gelap Gelap Gelap Terang Gelap Terang Terang Terang Terang Terang Terang Terang Terang Gelap Gelap Gelap Gelap Gelap Gelap
DHL Air DHL Tanah pH Tanah (Laboratorium) (Laboratorium) (Laboratorium) (µmhos/cm) (µmhos/cm) 367 3,020 6,710 13,640 2,300 990 1,395 2,740 1,970 24,600 24,700 20,000 373 605 14,880 15,090 19,370 8,780 4,880 2,790 4,650 1,150 1,670 1,866 3,780
307 347 581 583 245 206 176 173 741 520 3,420 277 4,330 247 25 159 239 242 436 1,465 456 3,130 3,860 471 188 107 143 1,228 1,230 626 480 296 385 197 506 82 781 83 237
3.88 3.39 3.58 3.93 3.94 3.41 3.22 2.94 3.55 3.87 5.74 4.59 5.10 3.68 5.15 4.10 3.35 3.45 3.17 5.58 5.27 4.33 4.06 3.69 3.64 3.49 3.87 3.45 4.62 4.83 5.76 4.49 4.91 4.56 3.89 4.00 3.28 3.85 4.24
75 Lampiran 1. Lanjutan.... Titik Pengamatan
Warna Tanah
42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77
Terang Gelap Terang Gelap Terang Terang Terang Terang Terang Terang Terang Terang Terang Terang Terang Terang Terang Terang Terang Gelap Terang Terang Gelap Terang Gelap Gelap Gelap Terang Terang Terang Terang Terang Gelap Gelap Terang Terang
DHL Air DHL Tanah pH Tanah (Laboratorium) (Laboratorium) (Laboratorium) (µmhos/cm) (µmhos/cm) 28,200 7,000 18,150 41,500 2,300 39,300 36,100 20,600 27,100 6,890 26,000 9,450 3,300 5,640 4,580 35,900 38,900 41,000 21,100 7,160 16,090 23,000 12,910
2.430 3,140 526 2,380 6,060 4,690 194 2,800 6,070 165 5,400 4,290 2,040 1,172 665 1,822 395 1,889 1,811 330 1,028 1,362 406 309 367 199 4,210 3,920 4,030 1,139 179 3,060 2,080
2.60 4.07 3.72 2.79 4.61 5.33 3.72 6.32 5.14 3.51 3.98 2.46 4.82 5.12 4.52 5.03 3.33 5.07 2.93 3.44 3.48 3.30 3.51 3.81 3.60 3.69 5.34 4.32 5.34 3.01 4.26 2.66 3.01
76 Lampiran 2. Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Komoditas Padi Sawah
No. 1.
2.
Persyaratan Penggunaan / Karakteristik Lahan Temperatur (tc) Temperatur rata-rata (°C) Ketersediaan Air (wa) a. Zone agroklimat (Oldeman) b. Kelembaban (%)
3.
Media Perakaran (rc) a. Draenase
b. Tekstur
4.
5.
6.
c. Bahan kasar d. Kedalaman tanah (cm) Gambut a. Ketebalan b. Kematangan Retensi Hara (nr) a. KTK tanah (cmol) b. Kejenuhan basa (%) c. pH H₂O d. C-organik (%) Hara Tersedia (na) a. N total (%) b. P205 (mg/100 g)
7. 8. 9. 10.
c. K2O (mg/100 g) Toksisitas (xc) Salinitas (dS/m) Sodisitas (xn) Alkalinitas / ESP (%) Bahaya Sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik (cm) Bahaya Erosi (eh) a. Lereng (%) b. Bahaya erosi
11.
KRITERIA KESESUAIAN LAHAN S1
S2
S3
N
24 - 29
22 - 24 29 -32
18 - 22 32 -35
< 18 > 35
B2,B3,C2
A1,A2,B1,C1
33 - 90
30 - 33
Agak Terhambat
Terhambat
Sedang
Baik
C3,C4,D1,D2
E3,E4
D3,D4,E1,E2 < 30 > 90
-
Agak Cepat, Sangat Terhambat
cepat
agak kasar
kasar
15 - 35 25 - 40
> 35 < 25
sedang <3 > 50
halus, agak halus sedang 3 - 15 40 - 50
< 50 saprik
50 - 100 saprik, hemik
100 - 150 hemik
> 150 fibrik
> 16 > 50 5,5 - 7
<5 < 35 < 4,5 > 8,0 < 0,8
-
> 1,2
5 - 16 35 - 50 4,5 - 5,5 7,0 - 8,0 0,8 - 1,2
sedang
rendah
-
tinggi
sedang
sedang
rendah
sangat rendah rendah sangat rendah sangat rendah
<2
2-4
4-6
>6
< 20
20 - 30
30 - 40
> 40
> 100
75 - 100
40 - 75
< 40
<3
3-5
5-8
sangat ringan
ringan
>8 sedang, berat
halus, agak halus
-
-
Bahaya Banjir / Genangan Pada Masa Tanam (fh) a. Tinggi (cm) 25 25 - 50 50 - 75 > 75 b. Lama (hari) tanpa <7 7 - 14 > 14 12. Penyiapan Lahan (lp) a. Batuan dipermukaan (%) <5 5 - 15 15 - 40 > 40 b. Singkapan batuan (%) <5 5 - 15 15 - 25 > 25 Sumber : Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian - Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian - Kementrian Pertanian (Tahun 2011)
77
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Jambi Provinsi Jambi pada tanggal 16 Juni 1976 dari Ayah yang bernama H. Azyar Azis dan Ibu yang bernama Hj. Erniza. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri No. 25/VI Kota Jambi pada Tahun 1988. Selanjutnya penulis mengikuti pendidikan menengah di SMP Negeri No. 8 Kota Jambi (lulus Tahun 1991) dan SMA Negeri No. 5 Kota Jambi (lulus Tahun 1994). Penulis menempuh pendidikan sarjana mulai Tahun 1996 sampai 2002 pada Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Bung Hatta Padang Provinsi Sumatra Barat dengan memperoleh gelar Sarjana Teknik (ST). Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil mulai Tahun 2006 di Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi, pada Inspektorat (2006 – 2013) dan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Tanjung Jabung Timur dengan jabatan terakhir sebagai Kepala Seksi Survey dan Pengukuran. Pada Tahun 2014, penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan studi ke jenjang S2 yang dibiayai oleh Pusbindiklatren Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yaitu pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Sebagian dari hasil penelitian yang berjudul ‘Analisis Spasial Sebaran Salinitas dan Lahan Sulfat Masam di Kawasan Hidrologis Gambut Muara Sabak Timur, telah direviu dan disetujui untuk terbit di Jurnal Tanah dan Lingkungan dengan ISSN 1410–7333.