PROYEKSI PENGGUNAAN LAHAN UNTUK KONSISTENSI TATA RUANG DI KAWASAN JABODETABEK
Diyah Novita Kurnianti
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Proyeksi Penggunaan Lahan untuk Konsistensi Tata Ruang di Kawasan Jabodetabek adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2015 Diyah Novita Kurnianti NIM A1656120131
RINGKASAN DIYAH NOVITA KURNIANTI. Proyeksi Penggunaan Lahan untuk Konsistensi Tata Ruang di Kawasan Jabodetabek. Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI dan DWI PUTRO TEJO BASKORO. Perubahan penggunaan lahan di Kawasan Jabodetabek sangat dinamis karena urbanisasi yang berakibat meningkatnya kebutuhan lahan untuk permukiman dan menyebabkan konversi lahan pertanian. Perkembangan kawasan Jabodetabek menyebabkan penggunaan lahan yang tidak efisien seperti munculnya urban sprawl yaitu permukiman berkepadatan rendah dengan pola sebaran mengikuti jaringan jalan. Perkembangan Kawasan Jabodetabek yang tidak terkendali mengindikasikan terjadinya inkonsistensi penggunaan lahan terhadap rencana tata ruang. Penelitian ini menggunakan metode CA-Markov untuk membuat proyeksi perubahan penggunaan lahan di Jabodetabek di masa yang akan datang dan regresi logistik biner untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan teruama permukiman. Tren perubahan penggunaan lahan antara tahun 1995 sampai 2012 menunjukkan bahwa terjadi perubahan penggunaan lahan permukiman yang meningkat pesat dan mengkonversi lahan pertanian seperti hutan, sawah dan pertanian lahan kering. Faktor yang paling mempengaruhi perubahan penggunaan lahan permukiman dari 3 jenis jalan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah jarak terhadap jalan tol. Proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 dibuat dalam 2 skenario untuk melihat nilai konsistensi penggunaan lahan terhadap rencana tata ruang dan untuk mendapatkan potensi inkonsistensi penggunaan lahan di masa yang akan datang. Skenario 1 dibuat berdasar tren perubahan penggunaan lahan, kondisi eksisting dan perubahan satu arah, sedangkan skenario 2 dibuat untuk memproyeksikan penggunaan lahan sesuai dengan arahan rencana tata ruang dengan mempertimbangkan tren perubahan penggunaan lahan. Pada skenario 1 penggunaan lahan permukiman akan meningkat sampai 40,7 % pada tahun 2028 dan penggunaan lahan lainnya menurun, sedangkan pada skenario 2 dibutuhkan penambahan hutan sebanyak 53,5 % dan pengurangan permukiman sebesar 11,3 % dari kondisi eksisting tahun 2012. Nilai konsistensi penggunaan lahan terhadap rencana tata ruang pada skenario 1 adalah 93,9 % dan 97,4 % untuk skenario 2 yang menunjukkan bahwa nilai konsistensi akan meningkat apabila terdapat kontrol kebijakan dalam penggunaan lahan. Perkembangan kawasan Jabodetabek dari tahun ke tahun tanpa kontrol berpotensi terjadinya inkonsistensi penggunaan lahan terhadap rencana tata ruang yang dikhawatirkan dapat menurunkan kemampuan fisik lahan tersebut dan mengancam keberlanjutan sumberdayanya. Wilayah administrasi yang berpotensi terjadinya inkonsistensi terhadap rencana tata ruang adalah Bogor, Bekasi, Tangerang dan Kota Jakarta Utara. Pada akhirnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam pengendalian pemanfaatan ruang di Kawasan Jabodetabek. Kata kunci: konsistensi, perubahan penggunaan lahan, potensi inkonsistensi, proyeksi penggunaan lahan
SUMMARY DIYAH NOVITA KURNIANTI. Land Use Projection for Spatial Consistency in Jabodetabek Region. Supervised by ERNAN RUSTIADI and DWI PUTRO TEJO BASKORO. Land use change in Jabodetabek was very dynamic due to urbanization and causing land conversion especially agricultural into settlements. Greater Jakarta development is causing inefficient land use such as urban sprawl such as low-density settlements emergence around the roads that indicate land use inconsistencies to spatial plan. This research integrated CA-Markov to project land use in the future and binary logistic regression to analyze the factors affecting land use change especially for settlements. Land use change trend between 1995 and 2012 shows that agricultural land such as rice field and dry land agriculture turn into settlement and the most factor affecting land use change for settlement is distance from the highway. Land use projection made in year 2028 in 2 scenarios to see the land use consistency towards spatial plan and to know land use potential inconsistencies in the future. First scenario is land use projection made by considering land use change trend, existing and one direction land use change and the second one is made by considering land use change trend affected by land suitability and forest allocation. The results from scenario 1, settlements is increasing until 40,7 % and other land use is decrease, but in scenario 2, it shows that settlements should be reduced until 11,3% and needs 53,5 % forest from existing in year 2012 to achieve the goal of spatial plan. Land use consistency for scenario 1 only 93,9 % and scenario 2 could reach until 97,4 %. It shows that if there is control on land use, land use consistency reach higher than without control. Jabodetabek area development is increasing from year to year, eventually leads to inconsistency of land use to spatial plan. Land use inconsistency without regard to land carrying capacity, will decrease land physical abilities itself and threaten its sustainability. Administrative area which has potential inconsistencies towards spatial plan are Bogor, Bekasi, Tangerang and North Jakarta City. Those administrative areas need high attention to prevent form inconsistency that can cause inefficient land use. Eventually, the result of this research is expected to be one consideration for land use controlling in the Greater Jakarta area. Keywords: consistency, land use change, land use projection, potential inconsistencies
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PROYEKSI PENGGUNAAN LAHAN UNTUK KONSISTENSI TATA RUANG DI KAWASAN JABODETABEK
DIYAH NOVITA KURNIANTI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji luar komisi dalam ujian tesis: Dr Ir Widiatmaka, DEA
iv
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa T atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2014 ini adalah konsistensi tata ruang, dengan judul Proyeksi Penggunaan Lahan untuk Konsistensi Tata Ruang di Kawasan Jabodetabek. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr dan Bapak Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc selaku pembimbing serta program studi Ilmu Perencanaan Wilayah-Sekolah Pascasarjana IPB yang telah banyak memberi saran dan dukungan. Di samping itu penghargaan penulis sampaikan kepada tim Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah-IPB, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan untuk Bapak, Ibu, Alm. Papa, Mama dan keluarga kecilku serta seluruh anggota keluarga besar atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya. Terima kasih juga untuk teman-teman angkatan 2012 Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah-IPB atas kebersamaannya selama ini dan teman-teman lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuannya sehingga studi dan penelitian ini dapat berjalan dengan baik dan lancar. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat baik untuk sesama, lingkungan dan negeri ini. Bogor, Oktober 2015 Diyah Novita Kurnianti
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
x
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xii
2 TINJAUAN PUSTAKA Kawasan Metropolitan Kependudukan dan Urbanisasi Urban Sprawl Penggunaan Lahan Perubahan Penggunaan Lahan Proyeksi Perubahan Penggunaan Lahan dengan CA-Markov Regresi Logistik Biner Hasil-hasil Penelitian Terdahulu
5 5 7 7 8 9 10 12 13
4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis Kondisi Geografis dan Kependudukan
26 26 28
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian Kerangka Penelitian
1 1 2 3 4 4 4
3 BAHAN DAN METODE 14 Lokasi dan Waktu Penelitian 14 Pengumpulan Data 15 Analisis Data 16 Analisis Perubahan Penggunaan Lahan 18 Persiapan Data 18 Perubahan Penggunaan Lahan antara tahun 1995 dan 2012 18 Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan antara tahun 1995 sampai dengan 2012 19 Analisis Proyeksi Penggunaan Lahan tahun 2028 20 Skenario 1 (Skenario Business as Usual tanpa ada Kebijakan Khusus) 20 Skenario 2 (Skenario Konservatif) 21 Analisis Konsistensi Penggunaan Lahan 23 Analisis Potensi Inkonsistensi Penggunaan Lahan di Kawasan Jabodetabek 26
vi Kondisi Fisik Penduduk Penataan Ruang di Kawasan Jabodetabek
28 29 30
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 35 Perubahan Penggunaan Lahan Jabodetabek tahun 1995 dan 2012 35 Perubahan Penggunaan Lahan antara Tahun 1995 sampai dengan 2012 39 Faktor yang mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan 39 Proyeksi Penggunaan Lahan Tahun 2028 41 Skenario 1(Skenario Business as Usual tanpa ada Kebijakan Khusus) 41 Skenario 2 (Skenario Konservatif) 45 Perbandingan Kondisi Eksisting dan Proyeksi Penggunaan Lahan 47 Konsistensi Penggunaan Lahan terhadap RTR Jabodetabekpunjur 48 Konsistensi Penggunaan Lahan Tahun 2012 48 Konsistensi Proyeksi Penggunaan Lahan Tahun 2028 Skenario 1 50 Konsistensi Proyeksi Penggunaan Lahan Tahun 2028 Skenario 2 53 Perbandingan Konsistensi Penggunaan Lahan Tahun 2012 dengan Proyeksi Penggunaan Lahan Tahun 2028 55 Potensi Inkonsistensi Penggunaan Lahan di Jabodetabek 56 6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
59 59 60
LAMPIRAN
63
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
61
70
DAFTAR TABEL
1 Wilayah Administrasi di Kawasan Jabodetabek 2 Matriks hubungan antara tujuan penelitian, jenis data, sumber data, metodologi analisis dan output pada setiap tahapan penelitian 3 Pengaturan perubahan penggunaan lahan skenario 1 4 Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Sawah 5 Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Pertanian Lahan kering 6 Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Permukiman 7 Matriks konsistensi penggunaan lahan terhadap RTR Jabodetabekpunjur 8 Karakteristik dan arah pemanfaatan ruang di Kawasan Jabodetabek 9 Luas wilayah administrasi di Jabodetabek 10 Jumlah penduduk Jabodetabek antara tahun 1960 sampai dengan 2010 11 Kepadatan penduduk Jabodetabek antara tahun 2008 sampai dengan 2010 12 Luas zona dalam RTR Jabodetabekpunjur 13 Keterangan zona yang berbeda pada peta rencana pola ruang terhadap RTR Jabodetabekpunjur 14 Deskripsi kelas penggunaan lahan 15 Luas penggunaan lahan tahun 1995 dan 2012 di Jabodetabek 16 Urutan penggunaan lahan tahun 1995 dan 2012 17 Luas penggunaan lahan tahun 1995 18 Luas penggunaan lahan tahun 2012 19 Tren perubahan penggunaan lahan antara tahun 1995 dan 2012 20 Luas proyeksi penggunaan lahan Jabodetabek tahun 2028 skenario 1 21 Luas proyeksi penggunaan lahan Jabodetabek tahun 2028 skenario 1 berdasarkan wilayah administrasi 22 Luas proyeksi penggunaan lahan Jabodetabek tahun 2028 skenario 2 23 Luas proyeksi penggunaan lahan Jabodetabek tahun 2028 skenario 2 berdasarkan wilayah administrasi 24 Perbandingan penggunaan lahan eksisting dengan proyeksi penggunaan lahan 25 Inkonsistensi penggunaan lahan eksisting tahun 2012 terhadap RTR Jabodetabekpunjur 26 Konsistensi penggunaan lahan eksisting 2012 terhadap RTR Jabodetabekpunjur per wilayah administrasi 27 Sebaran inkonsistensi penggunaan lahan eksisting tahun 2012 terhadap RTR Jabodetabekpunjur 28 Penggunaan lahan eksisting tahun 2012 yang inkonsisten terhadap RTR Jabodetabekpunjur 29 Inkonsistensi penggunaan lahan tahun 2028 skenario 1 terhadap RTR Jabodetabekpunjur 30 Konsistensi proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 skenario 1 terhadap RTR Jabodetabekpunjur per wilayah administrasi 31 Sebaran inkonsistensi proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 skenario 1 terhadap RTR Jabodetabekpunjur per wilayah administrasi
15 16 21 22 22 22 23 24 27 29 30 32 35 35 36 36 38 38 39 43 44 46 46 48 48 49 50 50 51 52 52
viii 32 Penggunaan lahan eksisting tahun 2012 yang berpotensi inkonsisten pada proyeksi tahun 2028 skenario 1 52 33 Inkonsistensi penggunaan lahan 2028 skenario 2 terhadap RTR Jabodetabekpunjur 53 34 Konsistensi proyeksi penggunaan lahan 2028 skenario 2 terhadap RTR Jabodetabekpunjur per wilayah administrasi 54 35 Penggunaan lahaan eksisting tahun 2012 yang berpotensi inkonsisten pada proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 skenario 2 55 36 Perbandingan konsistensi penggunaan lahan terhadap RTR Jabodetabekpunjur 55 37 Perbandingan wilayah administrasi dan zona yang inkonsisten paling tinggi terhadap RTR Jabodetabekpunjur 56 38 Potensi inkonsistensi penggunaan lahan di Kawasan Jabodetabek 56 39 Wilayah administrasi kecamatan yang berpotensi terjadinya inkonsistensi penggunaan lahan terhadap RTR Jabodetabekpunjur 58
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
DAFTAR GAMBAR
Kerangka pikir penelitian Rantai markov Matriks transisi markov CA dengan The Von-Neumann Neighbourhood Diagram alir penelitian Peta wilayah administrasi di Kawasan Jabodetabek Grafik peningkatan jumlah penduduk tahun 1960 sampai dengan 2010 Sebaran zona dalam RTR Jabodetabekpunjur berdasar wilayah administrasi Peta Rencana Pola Ruang Jabodetabek Peta Rencana Tata Ruang KSN Jabodetabekpunjur Peta penggunaan lahan Kawasan Jabodetabek tahun 1995 dan 2012 Peta probabilitas perubahan penggunaan lahan permukiman antara tahun 1995 sampai dengan 2012 Skenario perubahan penggunaan lahan berdasarkan tren perubahan penggunaan lahan, kondisi eksisting dan pengaturan perubahan satu arah Peta proyeksi penggunaan lahan Jabodetabek tahun 2028 skenario 1 Skenario 2 (skenario konservatif) Peta proyeksi penggunaan lahan Jabodetabek tahun 2028 skenario 2 Peta konsistensi penggunaan lahan tahun 2012 terhadap RTR Jabodetabekpunjur Peta konsistensi proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 skenario 1 terhadap RTR Jabodetabekpunjur Peta konsistensi proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 skenario 2 terhadap RTR Jabodetabekpunjur Peta potensi inkonsistensi penggunaan lahan tahun 2028 di Kawasan Jabodetabek
5 10 11 12 17 27 30 33 33 34 37 41 42 44 45 48 49 51 54 57
DAFTAR LAMPIRAN 1 Tabel luas zona RTR Jabodetabekpunjur berdasarkan wilayah administrasi 2 Peta perubahan penggunaan lahan permukiman antara tahun 1995 sampai dengan 2012 sebagai variabel dependen dalam regresi logistik biner 3 Peta variabel independen dalam analisis regresi logistik (jalan arteri) 4 Peta variabel independen dalam analisis regresi logistik (jalan kolektor) 5 Peta variabel independen dalam analisis regresi logistik (jalan tol) 6 Potensi inkonsistensi penggunaan lahan di Kawasan Jabodetabek
64 65 66 67 68 69
x
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Jakarta merupakan sebuah kota yang mempunyai daya tarik yang lebih besar daripada wilayah lain di Indonesia. Selain sebagai ibukota negara, Jakarta juga merupakan pusat perekonomian makro negara yaitu sebagai kawasan bisnis utama di Indonesia (DPU 2008). Jakarta sebagai kawasan bisnis menyediakan banyak dan berbagai jenis lapangan pekerjaan sedangkan Jakarta sebagai ibukota negara mempunyai skala prioritas utama pembangunan berupa fasilitas transportasi, komunikasi serta sarana dan prasarana yang sangat memadai. Kedua posisi ini menjadikan Jakarta mempunyai daya tarik tersendiri. Daya tarik Jakarta tersebut mendorong terjadinya urbanisasi ke Jakarta dari wilayah-wilayah di sekitar dan di luar Jakarta. Bintarto (1987) mendefiniskan urbanisasi sebagai suatu proses yang ditunjukkan melalui perubahan penyebaran penduduk dan perubahan dalam jumlah penduduk dalam suatu wilayah. Data BPS mencatat, jumlah penduduk di Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2000 adalah sebanyak 8.347.083 jiwa dan kemudian naik menjadi 9.607.787 jiwa pada tahun 2010. Laju pertumbuhan penduduk per tahun di Provinsi DKI Jakarta adalah sebesar 1,42 % per tahun. Proses urbanisasi menimbulkan dampak pada perkembangan suatu wilayah bukan hanya pada pertumbuhan penduduk nya saja, melainkan juga berpengaruh dalam perekonomian, struktur sosial dan juga politik di wilayah tersebut (Bhatta 2010). Perkembangan wilayah Jakarta yang semakin pesat berdampak pada kebutuhan lahan yang semakin tinggi sehingga perkembangan kota Jakarta bergerak kearah wilayah-wilayah di sekitar Jakarta (DPU 2008). Wilayah Jakarta yang semakin padat membuat perkembangan wilayah Jakarta mengarah keluar Jakarta ke wilayah sekitarnya yaitu Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi atau disebut dengan Jabodetabek. Wilayah Jabodetabek mempunyai keterkaitan wilayah (regional lingkages) yang sangat tinggi berupa keterkaitan ekosistem dan sosial (Wicaksono 2011). Keterkaitan ekosistem di wilayah Jabodetabek berupa daerah aliran sungai (DAS) yang bersifat lintas wilayah, sedangkan keterkaitan sosial dicirikan oleh intensitas menglaju (commuting) dari wilayah sub-urban ke wilayah perkotaan dan fenomena migrasi keluar (out-migration) dari kota Jakarta ke wilayah sekitarnya. Aktivitas perekonomian di Jakarta didukung oleh aktivitas sosial dari wilayah di sekitar Jakarta, dimana banyak pekerja Jakarta yang bertempat tinggal di wilayah sekitar Jakarta. Hal ini didukung oleh fasilitas sarana dan prasarana serta infrastruktur yang dibangun menghubungkan wilayah Jakarta dengan wilayah sekitar Jakarta dengan kondisi yang layak dan memadai. Perkembangan tersebut selain mendorong pertumbuhan permukiman juga mendorong pertumbuhan industri ke wilayah sekitar Jakarta. Kawasan permukiman dan industri yang muncul di wilayah sekitar Jakarta atau Bodetabek menunjukkan gejala suburbanisasi yaitu sebagai proses terbentuknya permukiman-permukiman baru dan juga kawasan-kawasan industri di pinggiran wilayah perkotaan terutama sebagai akibat perpindahan penduduk kota yang membutuhkan tempat bermukim dan untuk kegiatan industri (Rustiadi 1999). Koridor-koridor manufaktur dan permukiman berkepadatan rendah yang muncul menimbulkan masalah keberlanjutan perkotaan dalam perkembangan kawasan Jabodetabek (Hakim 2010). Permasalahan tersebut adalah penggunaan lahan yang tidak
2
efisien yaitu munculnya koridor-koridor manufaktur dan permukiman berkepadatan rendah yang membentuk sprawl di sekitar jalan tol. Jalan tol yang dibangun untuk menghubungkan wilayah Jakarta dan sekitarnya, mempunyai bentuk radial kearah keluar Jakarta dimana lahan yang dipergunakan untuk membangun jalan tol tersebut sebelumnya didominasi oleh penggunaan lahan untuk pertanian. Konversi penggunaan lahan pertanian menjadi kawasan industri dan permukiman dan juga penggunaan lahan yang tidak efisien didukung oleh proses-proses informal yang terlihat mendominasi alokasi penggunaan lahan di Jabodetabek (Susantono 1998). Proses informal dalam penggunaan lahan ini mengindikasikan kurang patuhnya masyarakat sebagai pengguna lahan serta kurangnya kontrol dari pemerintah itu sendiri. Hal ini berakibat pada penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang selanjutnya disebut dengan inkonsistensi. Inkonsistensi pemanfaatan ruang dikhawatirkan akan membawa dampak negatif di masa yang akan datang karena salah satu pertimbangan dalam penyusunan rencana tata ruang adalah kesesuaian lahan. Dampak negatif tersebut adalah terjadinya degradasi lingkungan yang berdampak pada kerusakan lingkungan dan timbulnya bencana yang disebabkan karena kerusakan fisik lahan. Penataan ruang kawasan Jabodetabek ditetapkan dengan Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2008. Peraturan ini mengatur penetapan zona di kawasan Jabodetabek sesuai dengan fungsi-fungsinya dengan mempertimbangkan kesesuaian lahan. Perkembangan wilayah Jabodetabek yang semakin pesat memerlukan pengendalian dalam pemanfaatan ruangnya sebagai upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan dan keberlanjutan sumberdaya.
Perumusan Masalah Kawasan Jabodetabek berkembang sangat pesat dan sangat dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan penduduk serta aktivitas sosial ekonomi yang ada di kawasan tersebut. Peningkatan jumlah penduduk yang sangat pesat mempengaruhi peningkatan kebutuhan lahan baik itu untuk permukiman maupun untuk aktivitas sosial dan ekonomi seperti perdagangan dan jasa serta kegiatan industri. Perkembangan kawasan Jabodetabek yang didukung oleh fasilitas transportasi semakin meningkatkan terjadinya konversi lahan pertanian menjadi permukiman. Lokasi-lokasi indikasi terjadinya konversi lahan pertanian menjadi permukiman dan industri adalah disekitar jalan tol (Trisasongko et al. 2009). Pemilihan lokasi ini adalah berdasarkan pertimbangan kemudahan aksesibilitas dan transportasi. Proses konversi lahan pertanian ini semakin meningkat disebabkan karena kebutuhan yang semakin tinggi dan juga karena proses-proses informal yang mendominasi dalam pengaturan penggunaan lahan yaitu kurang patuhnya masyarakat terhadap rencana tata ruang dan kurangnya kontrol dari pemerintah sendiri. Penggunaan lahan yang kurang terkontrol terhadap rencana tata ruang dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak negatif di masa yang akan datang yaitu terjadinya degradasi lingkungan karena penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsinya, ditambah dengan sebaran kawasan permukiman dan industri yang tidak terencana dan tidak teratur atau sprawl yang dapat berpotensi memperluas terjadinya kerusakan fisik lahan. Perkembangan kawasan Jabodetabek memerlukan suatu arahan yang dapat dipergunakan sebagai upaya dalam mengontrol pemanfaatan ruang agar perkembangan
3
kawasan dapat berjalan secara efisien sesuai dengan rencana tata ruang yang telah disusun. Pembuatan arahan tersebut adalah dengan melihat nilai konsistensi penggunaan lahan terhadap rencana tata ruang dan juga melihat proyeksi penggunaan lahan di masa yang akan datang. Nilai konsistensi dipergunakan untuk melihat tingkat kekonsistenan penggunaan lahan terhadap rencana tata ruang yang dimulai dari konsistensi penggunaan lahan saat ini (eksisting) sebagai dasar (baseline) analisis dan juga konsistensi penggunaan lahan di masa yang akan datang. Nilai konsistensi ini dipergunakan untuk melihat seberapa patuh penggunaan lahan terhadap rencana tata ruang. Proyeksi penggunaan lahan selain dipergunakan untuk melihat penggunaan lahan di masa datang juga dipergunakan untuk melihat potensi terjadinya inkonsistensi. Nilai konsistensi dan potensi inkonsistensi penggunaan lahan dipergunakan sebagai kontrol dalam pemanfaatan ruang di kawasn ini. Pertanyaan yang diangkat dalam penelitian ini berdasarkan permasalahan tersebut di atas adalah: 1. Bagaimana perubahan penggunaan lahan di kawasan Jabodetabek antara 1995 dan 2012 dan faktor apa yang paling mempengaruhi perubahan penggunaan lahan yang paling tinggi? 2. Bagaimana proyeksi penggunaan lahan di kawasan Jabodetabek di masa yang akan datang? 3. Bagaimana konsistensi penggunaan lahan eksisting tahun 2012 dan proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 kawasan Jabodetabek terhadap tata ruang Jabodetabekpunjur? 4. Bagaimana potensi inkonsistensi yang akan terjadi di kawasan Jabodetabek?
Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya adalah untuk melihat potensi terjadinya inkonsistensi penggunaan lahan terhadap rencana tata ruang di masa yang akan datang sebagai salah satu masukan yang dipergunakan dalam pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan Jabodetabek. Tujuan umum tersebut diuraikan dalam beberapa tujuan khusus yaitu sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi perubahan penggunaan lahan di kawasan Jabodetabek antara tahun 1995 dan 2012 beserta faktor yang paling mempengaruhi perubahan penggunaan lahan yang paling tinggi 2. Mengevaluasi proyeksi penggunaan lahan di kawasan Jabodetabek di masa yang akan datang 3. Mengevaluasi konsistensi penggunaan lahan eksisting tahun 2012 dan proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 kawasan Jabodetabek terhadap rencana tata ruang Jabodetabekpunjur 4. Mengidentifikasi potensi inkonsistensi yang akan terjadi di kawasan Jabodetabek
4
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu sebagai berikut: 1. Memberikan masukan dan pertimbangan kepada pemerintah pusat dalam menyusun arahan pengembangan kawasan Jabodetabek 2. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi masukan dalam proses revisi RTR KSN Jabodetabek dan juga dalam pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan ini sehingga pemanfaatan ruang yang ada konsisten terhadap rencana tata ruang yang telah disusun 3. Memperkaya ilmu pengetahuan dan bahan pustaka bagi penelitian-penelitian selanjutnya
Ruang Lingkup Penelitian Kelas penggunaan lahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah lima kelas yaitu hutan, sawah, pertanian lahan kering, permukiman dan tubuh air yang diinterpretasi dari citra satelit landsat TM tahun 1995 dan 2012. Data penggunaan lahan tersebut diperoleh dalam bentuk data sekunder dan sudah dilakukan validasi oleh Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah-IPB (P4W-IPB). Faktor perubahan yang mempengaruhi penggunaan lahan yang dianalisis adalah faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan permukiman, karena antara tahun 1995 sampai dengan 2012 permukiman merupakan perubahan penggunaan lahan tertinggi yang terjadi di Jabodetabek. Penelitian ini dibatasi dengan tujuan untuk melihat konsistensi penggunaan lahan eksisting tahun 2012 dan proyeksi penggunaan tahun 2028 terhadap rencana tata ruang kawasan Jabodetabek serta melihat potensi inkonsistensi penggunaan lahan yang akan terjadi di tahun 2028.
Kerangka Penelitian Kawasan Jabodetabek merupakan kawasan yang mempunyai daya tarik sangat tinggi karena ketersediaan lapangan kerja dan juga fasilitas sarana dan prasarana serta infrastruktur yang memadai. Daya tarik kawasan tersebut menimbulkan tingginya arus urbanisasi ke kawasan Jabodetabek yang pada akhirnya berdampak pada perubahan penggunaan lahan akibat meningkatnya kebutuhan lahan untuk tempat tinggal dan aktivitas ekonomi seperti industri. Selain alasan kebutuhan lahan, proses konversi perubahan penggunaan lahan itu juga didukung oleh proses informal dari masyarakat dan juga pemerintah itu sendiri yang menyebabkan perkembangan kawasan ini tidak terkendali. Jakarta yang semakin padat menyebabkan perkembangan kawasan Jabodetabek mengarah ke wilayah sekitar Jakarta yaitu Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Peningkatan perubahan penggunaan lahan yang tidak terkendali dikhawatirkan akan mengakibatkan terjadinya inkonsistensi penggunaan lahan terhadap rencana tata ruang, dimana rencana tata ruang kawasan ini salah satunya disusun berdasar pertimbangan kesesuaian lahan. Inkonsistensi penggunaan lahan dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak negatif di masa datang yaitu terjadinya degradasi lingkungan yang dapat mengancam kelestarian lingkungan di kawasan ini. Inkonsistensi penggunaan lahan
5
dibuat pada kondisi eksisting dan proyeksi di masa datang untuk melihat potensi terjadinya inkonsistensi di masa yang akan datang. Konsistensi penggunaan lahan dan potensi inkonsistensi penggunaan lahan di masa yang akan datang diperlukan sebagai masukan dalam upaya pengendalian pemanfaatan ruang seiring dengan pengembangan kawasan Jabodetabek. pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan agar pemanfaatan ruang di kawasan ini sesuai dengan rencana tata ruang yang telah disusun sehingga kelestarian lingkungan dan keberlanjutan sumberdayanya dapat tercapai. Kerangka pikir penelitian tergambar dalam bagan yang disajikan pada Gambar 1. Perkembangan Kawasan Jabodetabek
Penggunaan Lahan Eksisting di Kawasan Jabodetabek
Konsistensi Penggunaan Lahan Eksisting
RTR Jabodetabek
Perubahan Penggunaa n Lahan
Proyeksi Penggunaan Lahan 2028
Inkonsistensi Penggunaan Lahan di masa yang akan datang
Inkonsistensi Penggunaan Lahan Eksisting
Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Jabodetabek
Potensi Inkonsistensi Penggunaan Lahan
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA Kawasan Metropolitan Metropolitan merupakan suatu kawasan yang terbentuk karena adanya aglomerasi ekonomi yang menyebabkan dominasi ekonomi kota terhadap daerah pinggirannya (DPU 2008). Kawasan metropolitan merupakan kawasan yang bersifat kota yang terbentuk karena penggabungan beberapa wilayah kota dengan satu kota
6
besar sebagai inti dan terhubung dengan kota-kota di sekitarnya serta mempunyai hubungan yang kuat dalam aktivitas sosial dan ekonomi. Secara etimology, kata metropolis berasal dari bahasa Yunani kuno, yakni berasal dari kata meter yang berarti ibu dan polis yang berarti kota (Wackermann 2000 dalam DPU 2008). Pada masa itu, secara harafiah metropolis berarti “kota ibu” yang memiliki kota-kota satelit sebagai anak, tapi bisa juga berarti pusat dari sebuah kota, sebuah kota negara (city-state), atau sebuah propinsi di kawasan Mediterania, sehingga dapat dikatakan bahwa “metropolis” memiliki konotasi yang berkaitan dengan fatherland. Pengertian tentang kawasan metropolitan juga tertuang dalam Undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yaitu Kawasan Metropolitan merupakan kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu juta) jiwa. Setiap metropolitan mempunyai karakter yang berbeda-beda yang disebakan oleh faktor sejarah dan perkembangannya yang berbeda-beda seperti yang terlihat di Asia dimana perkembangan kota metropolitan dipengaruhi oleh negara yang pernah menjajah di kawasan tersebut. Jakarta sebagai contoh menurut Winarso (2011) perkembangan Jakarta mendapat pengaruh dari penjajahan colonial yaitu aktivitas perekonomian perdagangan yang pernah dilakukan oleh Belanda pada waktu menjajah di Indonesia, dimana pada saat itu Jakarta masih disebut dengan nama Sunda Kelapa. Jakarta sebagai kawasan metropolitan dikembangkan pada tahun 1970 dengan bantuan dari Belanda dengan konsep pembentukan pusat-pusat pertumbuhan di wilayah sekitar Jakarta. Konsep pusat pertumbuhan Jabodetabek dituangkan dalam 2 model yaitu konsentris dan linier, tetapi sampai saat ini belum dikaji lagi konsep pembentukan kawasan Jabodetabek tersebut. Jean Bastie dan Bernard Dezert (1991) dalam DPU (2006) menyusun definisi kota metropolis modern berdasarkan fungsi dari kota yaitu: 1. Tidak selalu ditentukan oleh ukuran demografik, dapat saja ukurannya ditentukan oleh faktor yang lebih penting dari ukuran kuantitatif populasinya 2. Dicirikan oleh sistem infrastruktur komunikasi dan transportasi yang melayani pergerakan commuting, aliran informasi dan pengambilan keputusan 3. Sebagai pusat aktivitas keuangan di tingkat atas 4. Sebagai pusat berkumpulnya perusahaan-perusahaan internasional 5. Sebagai pusat kekuatan politik dan administrasi dari sebuah negara 6. Sebagai tempat pengembangan atau penggunaan teknologi tinggi dan telekomunikasi canggih 7. Sebagai tempat penting aktivitas-aktivitas budaya dan ilmiah 8. Sebagai tempat tujuan wisata internasional, dan 9. Sebagai pusat fungsional tenaga kerja dan perumahan Sebuah metropolis bukan saja sebuah kota yang sangat besar, tetapi juga sebuah bentuk baru dari masyarakat, lebih besar, lebih kompleks dan memiliki peran kekuasaan yang lebih sentral, baik dari sisi ekonomi, politik, maupun budaya dan selain itu, kawasan metropolitan juga dicirikan dalam bentuk kemudahan mobilitas (Angotti 1993 dalam DPU 2006).
7
Kemudahan mobilitas itu terkait dengan mobilitas modal dan tenaga kerja yang dijelaskan dalam tiga karakter yaitu: 1. Mobilitas pekerjaan (Employment Mobility) adalah dicirikan dengan mudahnya orang berpindah tempat kerja tanpa harus berpindah tempat tinggal karena banyaknya jenis dan variasi pekerjaan yang tersedia. Hal ini berkaitan dengan tersedianya modal dan mobilitas modal yang besar. 2. Mobilitas perumahan (Residential Mobility) biasanya mengikuti perubahan tempat kerja. 3. Mobilitas perjalanan (Trip Mobility), terjadi karena ketersediaan sarana transportasi yang baik, yang mendukung mobilitas pekerjaan dan mobilitas perumahan.
Kependudukan dan Urbanisasi Fenomena urbanisasi merupakan masalah yang paling utama di kawasan metropolitan Jabodetabek. Peningkatan jumlah penduduk yang sangat pesat dalam kurun waktu tertentu menunjukkan adanya pengaruh urbanisasi terhadap kenaikan jumlah penduduk. Urbanisasi juga memperlihatkan adanya keterkaitan penduduk dengan aktivitas sosial ekonomi kota yang mempengaruhi perkembangan suatu kota. Definisi tentang urbanisasi salah satunya adalah menurut UN (2005) yaitu urbanisasi merupakan perpindahan penduduk dari wilayah desa ke kota dengan pertumbuhan penduduk sebanding dengan perpindahan penduduk. Bintarto (1987) mendefinisikan urbanisasi dari beberapa aspek sebagai berikut: 1. Aspek demografi: urbanisasi dilihat sebagai suatu proses yang ditunjukkan melalui perubahan penyebaran penduduk dan perubahan dalam jumlah penduduk dalam suatu wilayah; 2. Aspek ekonomi: urbanisasi dapat dilihat dari perubahan struktural dalam sektor mata pencaharian; 3. Sudut pandang seorang ilmuwan perilaku (behavioral scientist): urbanisasi dilihat dari segi pentingnya atau sejauh mana manusia dapat menyesuaikan diri terhadap situasi yang berubah-ubah baik yang diebabkan oleh kemajuan teknologi maupun adanya perkembangan-perkembangan baru dalam kehidupan; 4. Sudut pandang sosiologi: urbanisasi dikaitkan dengan sikap hidup penduduk dalam lingkungan pedesaan yang mendapat pengaruh dari kehidupan kota; 5. Sudut pandang geografi: urbanisasi dilihat dari segi distribusi, difusi perubahan dan pola menurut waktu dan tempat. Urbanisasi dalam arti yang lebih luas merupakan keterkaitan kelima aspek tersebut yang membutuhkan pengaturan lebih lanjut dalam kebijakannya untuk mencapai keseimbangan urban system.
Urban Sprawl Sudhira dan Ramachandra (2007) dalam Bhatta (2010) mendefinisikan urban sprawl adalah perkembangan di wilayah urban disebabkan oleh pertumbuhan yang tak terkendali, tak terkoordinasi dan tak terencana yang terlihat terutama di wilayah pinggiran kota, sepanjang jalan tol, sepanjang jalan yang menghubungkan antar kota
8
dan wilayah-wilayah yang dekat dengan fasilitas sarana dan prasarana dimana pertumbuhan tersebut tidak tergambar selama proses perencanaan. Fenomena urban sprawl tersebut ditandai dengan pola pertumbuhan yang tak teratur dan tidak merata serta didorong oleh banyak faktor terutama penggunaan lahan yang tidak efisien. Pola penyebaran urban sprawl diidentifikasi salah satunya oleh Harvey dan Clark (1995) dalam Bhatta (2010) yang mengidentifikasikan urban sprawl ke dalam tiga bentuk yaitu sebagai berikut: 1. Kawasan dengan kepadatan rendah; 2. Penyebaran kawasan berbentuk seperti ribbon atau memanjang; dan 3. Penyebaran tidak merata dan tersebar dengan pola seperti leap-frog. Bhatta (2010) menyebutkan bahwa urban sprawl dapat dianggap sebagai pola (pattern) ataupun proses. Urban sprawl sebagai pola merupakan penggunaan lahan di wilayah urban yaitu konfigurasi spasial wilayah metropolitan dalam waktu tertentu, sedangkan sebagai proses urban sprawl merupakan proses perubahan struktur kota dari waktu ke waktu secara spasial.
Penggunaan Lahan Fenomena urban sprawl memberikan beberapa dampak salah satunya adalah perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi lahan terbangun.Salah satu teknik untuk memantau perubahan penggunaan lahan adalah dengan teknik penginderaan jauh.Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer 1999). Melalui data penginderaan jauh informasi, keadaan objek dipermukaan bumi dapat diketahui sehingga selanjutnya dapat dianalisis lebih dalam lagi sesuai dengan tujuannya.Informasi keadaan objek di permukaan bumi tersebut berupa informasi penutupan lahan yang dapat dianalisis lebih lanjut untuk mendapatkan informasi penggunaan lahan.Definisi penutupan lahan sendiri dipisahkan dari definisipenggunaan lahan dimana penggunaan lahan lebih terkait dengan aktifitas ekonomi dan fungsi ekonomis dari sebidang lahan.Pengetahuan tentang penutupan dan penggunaan lahan penting artinya dalam perencanaan, pengelolaan, pemodelan dan pemahaman tentang sistem kebumian. Secara umum penggunaan lahan di Indonesia merupakan akibat nyata darisuatu proses yang lama dari adanya interaksi yang tetap, adanya keseimbangan,serta keadaan dinamis antara aktifitas-aktifitas penduduk diatas lahan dan keterbatasan-keterbatasan di dalam lingkungan tempat hidup mereka. Penggunaan lahan merupakan hasil akhir dari setiap bentuk campur tangan (intervensi) kegiatan manusia terhadap lahan di permukaan bumi yang bersifat dinamis dan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup baik material maupun spiritual. Penggunaan lahan dapat dikelompokan ke dalam dua golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan berdasarkan pola penyediaan air dan komoditas yang diusahakan atau jenis tumbuhan atau tanaman yang terdapat di atas lahan tersebut. Berbagai macam peggunaan lahan berdasarkan hal tersebut adalah seperti tegalan (pertanian lahan kering atau pertanian pada lahan tidak beririgasi), sawah, kebun kopi, kebun karet, padang
9
rumput, hutan produksi, hutan lindung, padang alang-alang, dan sebagainya. Penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam lahan kota atau desa (pemukiman), rekreasi, pertambangan dan sebagainya (Arsyad 2006). Informasi penggunaan lahan dari data penginderaan jauh diperoleh dengan melakukan interpretasi secara digital ataupun visual. Jenis penutupan lahan yang diidentifikasi dari citra Landsat dijadikan dasar untuk menginterpretasi jenis penggunaan lahan pada masing-masing penutupan lahan. Hasil penetapan jenis penggunaan lahan tersebut selanjutnya digunakan untuk mendeteksi perubahan penggunaan lahan. Proses interpretasi jenis penggunaan lahan didasarkan pada kondisi lapangan yang diperoleh dari pengecekan lapang.
Perubahan Penggunaan Lahan Perubahan penggunaan lahan dapat diartikan sebagai suatu proses pilihan pemanfaatan ruang guna memperoleh manfaat yang optimum, baik untuk pertanian maupun non pertanian. Menurut Winoto et al. (1996), perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian bukanlah semata-mata fenomena fisik berkurangnya luasan lahan, melainkan merupakan fenomena dinamis yang menyangkut aspek-aspek kehidupan manusia, karena secara agregat berkaitan erat dengan perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat. Struktur yang berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan menurut Saefulhakim (1999) secara umum dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu: 1. Struktur permintaan atau kebutuhan lahan 2. Struktur penawaran atau ketersediaan lahan 3. Struktur penguasaan teknologi yang berdampak pada produktivitas sumberdaya alam Rustiadi et al. (2009) mengemukakan bahwa alih fungsi lahan sering kali memiliki permasalahan-permasalahan yang saling terkait satu sama lain, sehingga tidak bersifat independen dan tidak dapat dipecahkan dengan pendekatan-pendekatan yang parsial namun memerlukan pendekatan-pendekatan yang integratif. Permasalahanpermasalahan tersebut berupa: (1) efisiensi alokasi dan distribusi sumberdaya dari sudut ekonomi, (2) keterkaitannya dengan masalah pemerataan dan penguasaan sumberdaya, dan (3) keterkaitannya dengan proses degradasi dan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Irawan (2005) mengemukakan bahwa konversi lahan pertanian pada dasarnya terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antar sektor pertanian dan sektor non-pertanian. Persaingan dalam pemanfaatan lahan tersebut muncul akibat adanya tiga fenomena ekonomi dan sosial yaitu: 1. Keterbatasan sumberdaya lahan 2. Pertumbuhan penduduk 3. Pertumbuhan ekonomi Pertumbuhan ekonomi cenderung mendorong permintaan lahan untuk kegiatan non-pertanian pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan permintaan lahan untuk kegiatan pertanian. Ini disebabkan karena permintaan produk non-pertanian lebih elastis terhadap pendapatan. Meningkatnya kelangkaan lahan akibat pertumbuhan penduduk, yang dibarengi dengan meningkatnya permintaan lahan untuk kegiatan non-pertanian
10
yang juga merupakan akibat pertumbuhan penduduk mendorong terjadinya konversi lahan pertanian.
Proyeksi Perubahan Penggunaan Lahan dengan CA-Markov CA-Markov merupakan gabungan metode markov chain dan cellular automata. Rantai Markov (Markov Chain) adalah suatu teknik matematika yang biasa digunakan untuk melakukan pemodelan (modelling) bermacam-macam sistem dan proses bisnis. Teknik ini dapat digunakan untuk memperkirakan perubahan-perubahan di waktu yang akan datang dalam variabel-variabel dinamis atas dasar perubahan-perubahan darivariabel-variabel dinamis tersebut di waktu yang lalu. Teknik ini dapat digunakan juga untuk menganalisis kejadian-kejadian di waktu-waktu mendatang secara matematis. Model Rantai Markov ditemukan oleh seorang ahli Rusia yang bernama AA Markov pada tahun 1906, yaitu: “Untuk setiap waktu t, ketika kejadian adalah Kt dan seluruh kejadian sebelumnya adalah Kt(j), ... , Kt(j - n) yang terjadi dari proses yang diketahui, probabilitas seluruh kejadian yang akan datang Kt(j) hanya bergantung pada kejadian Kt(j - 1) dan tidak bergantung pada kejadian-kejadian sebelumnya yaitu Kt(j - 2), Kt(j - 3), ..., Kt(j - n).” Gambaran mengenai rantai Markov ini kemudian dituangkan dalam Gambar 2 dimana gerakan-gerakan dari beberapa variabel di masa yang akan datang bisa diproyeksi berdasarkan gerakan-gerakan variabel tersebut pada masa lalu. Kt4 dipengaruhi oleh kejadian Kt 3, Kt3 dipengaruhi oleh kejadian Kt 2 dan demikian seterusnya dimana perubahan ini terjadi karena peranan probabilitas transisi (transition probability). Kejadian Kt 2 misalnya, tidak akan mempengaruhi kejadian Kt 4.
Gambar 2 Rantai markov
11
Rantai Markov menjelaskan gerakan-gerakan beberapa variabel dalam satu periode waktu di masa yang akan datang berdasarkan pada gerakan-gerakan variabel tersebut di masa kini. Secara matematis dapat ditulis: Kt(j) = P x K t(j-1) dimana, K t(j) = peluang kejadian pada t(j) P = Probabilitas Transisional t(j) = waktu ke-j Konsep dasar analisis markov adalah transisi, dimana transisi adalah apabila diketahui proses berada dalam suatu keadaan tertentu, maka peluang berkembangnya proses di masa mendatang hanya tergantung pada keadaan saat ini dan tidak tergantung pada keadaan sebelumnya, atau dengan kata lain rantai markov adalah rangkaian proses kejadian dimana peluang bersyarat kejadian yang akan datang tergantung pada kejadian sekarang. Matriks transisi markov disajikan dalam Gambar 3.
Gambar 3 Matriks transisi markov n adalah jumlah keadaan dalam proses dan p ij adalah kemungkinan transisi dari keadaan saat i ke keadaan j. Jika saat ini berada pada keadaan i maka baris i dari tabel di atas berisi angka-angka pi1, pi2, , pin merupakan kemungkinan berubah kekeadaan berikutnya. Angka tersebut melambangkan kemungkinan sehingga semuanya melupakan bilangan non negatif dan tidak lebih dari satu.
Secara matematis : 0 < pij < 1 i = 1, 2, ....., n Σ pij = 1 i = 1, 2, ....., n Cellular Automata (CA) merupakan pemodelan yang berbasis grid atau sel, dimana sel-sel inti tersebut berinteraksi dengan sel-sel tetangga. Setiap sel mempunyai satu dari beberapa kemungkinan perubahan dimana aturan perubahan dari setiap sel dapat berupa rumus sederhana, stochastic dan deterministic. Aturan perubahan tersebut dapat berupa kondisi abiotik, interaksi biotik dan gangguan yang terjadi di alam. CA merupakan metode umum untuk interaksi spasial yang digunakan dalam pembuatan model penggunaan lahan untuk mensimulasikan beberapa tipe penggunaan lahan. CA menghitung bentuk piksel berdasarkan bobot dari piksel-piksel yang mengelilinginya (neighbourhood). Salah satu metode ketetanggaan yang digunakan
12
dalam CA adalah The Von-Neumann Neighbourhood, dimana nilai sel piksel dipengaruhi oleh nilai sel piksel-piksel yang mengelilinginya. CA dengan The VonNeumann Neighbourhood digambarkan pada Gambar 4.
Gambar 4 CA dengan The Von-Neumann Neighbourhood (sumber: http://cell-auto.com) CA merupakan metode sederhana yang dapat menunjukkan simulasi yang realistis dalam pola penggunaan lahan dan struktur spasial lainnya. Studi terakhir menunjukkan bahwa standar raster berbasis model CA sensitif dalam skala spasial terutama untuk ukuran sel dan konfigurasi ketetanggaan yang digunakan untuk membuat model. CA mengatur obyek untuk berubah berdasarkan pengaruh dari tetangga terdekatnya. Model perubahan penggunaan lahan dengan menggunakan metode CA-Markov merupakan model sederhana yang cukup besar validitasnya karena metode tersebut merupakan penggabungan dari analisis matematis dan juga spasial. Markov memperhitungkan perubahan penggunaan lahan secara matematis yaitu penghitungan probabilitas perubahan penggunaan lahan sedangkan Cellular Automata membantu pengaturan perubahan penggunaan lahan secara spasial.
Regresi Logistik Biner Regresi adalah metode yang dipergunakan untuk mengetahui hubungan empiris antara variabel dependen dan beberapa variabel independen yang mempengaruhinya (McCullagh dan Nedler 1989). Dua pendekatan dasar dipergunakan untuk menghitung ketergantungan spasial dalam kerangka regresi. Pertama, pembangunan model yang lebih kompleks yang melibatkan autoregressive structure (Anselin 1988). Kedua adalah dengan merencanakan sampling spasial berdasarkan jarak interval antara titik-titik sampel. Variabel dependen dalam model regresi logistik merupakan fungsi probabilitas perubahan penggunaan lahan berdasarkan skor/bobot variabel independen yang memepengaruhi perubahan penggunaan lahannya. Skor/bobot variabel independen dalam model regresi logistik biner adalah 1 untuk lahan yang mengalami perubahan dan nilai 0 untuk lahan yang tidak mengalami perubahan. Nilai skor/bobot tersebut dapat dihitung dengan formula sebagai berikut (Mahiny dan Turner 2003):
13
Dimana: P adalah probabilitas dari variabel dependen X adalah variabel independen, X = (x0, x1, x2,…,xk), x0=1 B adalah parameter yang diestimasi, B = (b0,b1,b2,…,bk) Untuk me-linier-kan model tersebut diatas dilakukan dengan menghapus batasbatas 0/1 probabilitas variabel dependen yaitu dengan formula sebagai berikut:
Dari kedua formula diatas diperoleh persamaan untuk regresi logistik biner sebagai berikut:
Y = α + β1 x1 + β2 x2 + β3 x3 Dimana Y α β x
= logit perubahan = intercept = koeffisien variabel perubahan penggunaan lahan = variabel independen
Hasil-hasil Penelitian Terdahulu Penelitian dengan judul Proyeksi Penggunaan Lahan untuk Konsistensi Tata Ruang di Kawasan Jabodetabek, merupakan suatu pemikiran yang di latarbelakangi oleh meningkatnya perubahan penggunaan lahan di kawasan Jabodetabek yang disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan lahan untuk aktivitas manusia baik ekonomi maupun sosial yang dikhawatirkan akan memberikan dampak pada keberlanjutan dan kelestarian lingkungan hidup di kawasan ini. Penelitian tentang konsistensi tata ruang sudah dilakukan di beberapa lokasi yang berbeda dan dengan tema yang juga berbeda fokus penelitiannya. Beberapa hasil penelitian dengan topik yang berkaitan dengan penelitian ini dijelaskan dalam paragraf berikut ini. Ekayana (2008) dalam penelitiannya dengan judul “Analisis Inkonsistensi Tata Ruang dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi Pola Penggunaan Lahan di Kota Bogor” menyatakan bahwa sebesar 127,21 ha atau 1,13 % dari luas wilayah Kota Bogor terjadi inkonsistensi penggunaan lahan terhadap RTRW Kota Bogor. Inkonsistensi terbesar terjadi pada taman atau lapangan olah raga dan jalur hijau yang menjadi ruang terbangun seluas 94,31 ha atau 0,84 % dari luas wilayah Kota Bogor. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi inkonsistensi penggunaan lahan dari hasil analisis regresi adalah keberadaan fasilitas permukiman seperti kesehatan, pendidikan dan telepon serta keluarga miskin, sedangkan inkonsistensi lahan pertanian atau kebun campur menjadi ruang terbangun dipengaruhi oleh luas desa / kelurahan dan luas lahan sawah. Inkonsistensi hutan kota menjadi ruang terbangun dipengaruhi oleh luas lahan sawah, fasilitas peribadatan, jumlah buruh tani, luas lahan non pertanian serta jarak desa ke pusat kota. Listiawan (2010) dalam penelitiannya berjudul “Hubungan Kelas Jalan Dengan Kecenderungan Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Di Kota Bogor” menyatakan bahwa
14
antara tahun 2003 sampai dengan 2007 terjadi perubahan penggunaan lahan yang cenderung bergeser ke ruang terbangun sebesar 10,34 %. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi inkonsistensi pemanfaatan ruang ke arah ruang terbangun di sepanjang jalan utama Kota Bogor adalah faktor kedekatan ke jalan kolektor sekunder dan terminal utama namun memiliki jarak lebih jauh ke jalan arteri primer, arteri sekunder, jalan kolektor primer, dan ke stasiun KA. Inkonsistensi terbesar terjadi pada taman atau lapangan olahraga atau jalur hijau dan area buffer 200 meter di sepanjang jalan utama. Afifah (2010) dalam penelitiannya berjudul “Analisis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya” menyatakan bahwa sekitar 5.663 ha atau 76 % pemanfaatan ruang di Kecamatan Cisarua adalah konsisten terhadap RTRW Kabupaten Bogor, sedangkan 23 % adalah inkonsisten. Bentuk inkonsistensi yang terjadi di Kecamatan Cisarua adalah peruntukan kawasan lindung dengan penggunaan lahan eksisting non-lindung dan peruntukan lahan pertanian dengan penggunaan lahan eksisting non-pertanian. Dari analisis regresi yang dilakukan dalam penelitian tersebut menyebutkan bahwa permukiman atau perkampungan dan kepadatan penduduk memberikan pengaruh terhadap peningkatan inkonsistensi hutan lindung menjadi penggunaan lain. Lufitayanti (2014) dalam penelitiannya berjudul “Analisis Inkonsistensi Penggunaan Lahan Terhadap Rencana Tata Ruang Kawasan dan Kemampuan Lahan (Studi Kasus Jabodetabek)” menyebutkan bahwa berdasarkan data penggunaan lahan aktual tahun 2010 terjadi inkonsistensi penggunaan lahan sebesar 65.286 ha (10,21 %) dari luas kawasan Jabodetabek. Inkonsistensi penggunaan lahan terhadap RTR Jabodetabekpunjur tertinggi terjadi pada zona B4 yang ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi tetap atau hutan produksi terbatas, sedangkan inkonsistensi peruntukan lahan RTR Jabodetabekpunjur terhadap kemampuan lahan adalah sebesar 145.657 ha (22,77 %) yang terjadi pada zona B2 yaitu perumahan hunian sedang dan zona B1 untuk perumahan hunian padat. Trisasongko et al. (2009) dalam penlitiannya dengan judul “ Analisis Dinamika Konversi Lahan di Sekitar Jalur Tol ruas Jakarta-Cikampek” menyatakan bahwa di sekitar jalur Tol Jakarta-Cikampek terdapat dua kelas penggunaan lahan yang mengalami konversi paling tinggi yaitu tanaman pertanian lahan basah (TPLB) berupa sawah dan selanjutnya lahan kering (TPLK) berupa tegalan dan kebun campur. Konversi lahan pertanian terutama berubah menjadi permukiman dan kawasan industri. Sebagian kecil lahan sawah dikonversikan ke lahan kering yang diduga merupakan penggunaan lahan intermedier sebelum dikonversikan menjadi lahan terbangun. Jalan tol sebagai penghubung Kota Jakarta dengan kota-kota di sekitarnya menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya konversi lahan pertanian menjadi permukiman karena kemudahan akses menjadi salah satu pertimbangan utama dalam pemilihan lokasi untuk permukiman.
3 BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi yang diambil dalam penelitian ini adalah kawasan Jabodetabek yang terdiri dari 3 wilayah provinsi dan 13 wilayah administrasi kabupaten dan kota dengan luas
15
wilayah 680.775,69 ha (Badan Informasi Geospasial 2012). Nama-nama wilayah administrasi yang termasuk dalam kawasan Jabodetabek disajikan pada Tabel 1. Wilayah Jabodetabek mempunyai karakteristik bentuk lahan yang beragam. Bentuk lahan di kawasan ini terdiri dari 3 karakteristik berupa kawasan pantai dan perairan di bagian utara, kawasan dataran rendah di bagian tengah dan kawasan perbukitan pegunungan di sebelah selatan. Karakteristik bentuk lahan ini mempengaruhi karakteristik fisik lahan yang pada akhirnya mempengaruhi jenis penggunaan lahannya. Penelitian dilaksanakan pada periode bulan Februari sampai November 2014, yang meliputi tahap studi pustaka, pengumpulan data, pengolahan data, dan penyusunan tesis. Tabel 1 Wilayah administrasi di Kawasan Jabodetabek No 1.
Nama Provinsi DKI Jakarta
2.
Banten
3.
Jawa Barat
Nama Kabupaten/Kota Kota Jakarta Pusat Kota Jakarta Barat Kota Jakarta Selatan Kota Jakarta Timur Kota Jakarta Utara Kota Tangerang Kota Tangerang Selatan Kabupaten Tangerang Kota Bekasi Kabupaten Bekasi Kota Bogor Kabupaten Bogor Kota Depok
Pengumpulan Data Data yang akan digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber. Data sekunder diperoleh dari lembaga penelitian dan instansi yaitu Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) – Institut Pertanian Bogor, Badan Infromasi Geospasial, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian dan Biro Pusat Statistik. Data-data yang dipergunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut: 1. Data penggunaan lahan tahun 1995 dan 2012 yang diperoleh dari citra landsat diperoleh dari P4W masing–masing skala 1:50.000; 2. Peta Rupabumi Indonesia dari Badan Informasi Geospasial skala 1:25.000; 3. Peta penunjukan kawasan hutan tahun 2009 dari Kementerian Kehutanan skala 1:25.000; 4. Peta landsystem Jabodetabek dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup–Institut Pertanian Bogor skala 1:250.000; 5. Peta RTR Jabodetabekpunjur dari Badan Informasi Geospasial skala 1:50.000; 6. Peta jalan dari RTRW Kabupaten dan Kota Seluruh Jabodetabek dengan skala beragam antara 1:25.000 sampai dengan 1:50.000; dan 7. Data statistik pendukung dari Biro Pusat Statistik. Alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa komputer dengan software untuk analisis yaitu Erdas, Idrisi Selva, ArcGis v.10.1 dan Microsoft Office.
16
Analisis Data Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan dengan analisis spasial, analisis statistik yang dilakukan secara spasial dan analisis tabular. Matriks hubungan antara tujuan penelitian, jenis data, sumber data, metodologi analisis dan output pada setiap tahapan penelitian disajikan pada Tabel 2. Analisis spasial dilakukan dalam pembuatan skenario dan proyeksi arahan penggunaan lahan, analisis konsistensi penggunaan lahan terhadap rencana tata ruang dan analisis potensi inkonsistensi penggunaan lahan terhadap rencana tata ruang di masa yang akan datang. Analisis statistik dilakukan untuk mengetahui besaran faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan dengan menggunakan metode regresi logistik biner. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan data-data spasial. Analisis tabular dilakukan untuk memperoleh informasi lebih lanjut dari hasil analisis spasial berupa luasan penggunaan lahan. Tahapan analisis yang dilakukan dalam penelitian ini tergambar dalam Gambar 5. Tabel 2 Matriks hubungan antara tujuan penelitian, jenis data, sumber data, metodologi analisis dan output pada setiap tahapan penelitian No
Tujuan Penelitian
1.
a. Identifikasi perubahan penggunaan lahan di kawasan Jabodetabek antara tahun 1995-2012
Data penggunaan lahan tahun 1995 dan 2012
b. Identifikasi faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan antara tahun 19952012 a. Evaluasi proyeksi penggunaan lahan di kawasan Jabodetabek tahun 2028: Skenario 1
b. Evaluasi proyeksi penggunaan lahan di kawasan Jabodetabek tahun 2028: Skenario 2
2.
3.
a. Evaluasi konsistensi penggunaan lahan
Jenis Data
Sumber data P4W-IPB
Metode Analisis Overlay, Markovchain
Output
Peta Jalan dari peta RBI seJabodetabek
BIG
Regresi logistik biner
Jalan yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan
Data penggunaan lahan tahun 1995 dan 2012, matriks perubahan penggunaan lahan antara 1995 dan 2012
P4W-IPB
CA-Markov
Proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 skenario 1
Data penggunaan lahan tahun 1995 dan 2012, matriks perubahan penggunaan lahan antara 1995 dan 2012 Data kesesuaian lahan, Peta penunjukan kawasan hutan Peta penggunaan lahan tahun 2012; Peta RTR
P4W-IPB, Kemenhut
CA-Markov
Proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 skenario 2
P4W-IPB, BIG
Overlay, Matriks konsistensi
Peta dan tabel konsistensi penggunaan
Matriks perubahan penggunaan lahan tahun 1995-2012
17 Tabel 2 (Lanjutan)
4.
eksisting 2012 terhadap RTR Jabodetabekpunjur b. Evaluasi konsistensi penggunaan lahan proyeksi tahun 2028 skenario 1 terhadap RTR Jabodetabekpunjur
Jabodetabekpunjur
Peta proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 skenario 1; Peta RTR Jabodetabekpunjur
Proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 skenario 1
Overlay, Matriks konsistensi
Peta dan tabel konsistensi penggunaan lahan tahun 2028 skenario 1
c. Evaluasi konsistensi penggunaan lahan proyeksi tahun 2028 skenario 2 terhadap RTR Jabodetabekpunjur Identifikasi potensi inkonsistensi yang terjadi di kawasan Jabodetabek pada tahun 2028
Peta proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 skenario 2; Peta RTR Jabodetabekpunjur
Proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 skenario 2
Overlay, Matriks konsistensi
Peta dan tabel konsistensi penggunaan lahan tahun 2028 skenario 2
GIS
Peta dan tabel potensi inkonistensi penggunaan lahan tahun 2028
Data Penggunaan Lahan 1995
Peta proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 skenario 1 dan 2
lahan tahun 2012
Proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 skenario 1 dan 2
Data Penggunaan Lahan 2012
SKENARIO Markov Chain
Trend Perubahan Penggunaan Lahan 1995-2012
CA-Markov
Data Jalan Se-Jabodetabek
Proyeksi Penggunaan Lahan 2028
Matriks Konsistensi Berdasarkan Perpres nomor 54 tahun 2008
Overlay
Rencana Tata Ruang KSN Jabodetabek
Regresi Logistik Biner
Faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan untuk permukiman antara1995 dan 2012 Konsistensi Penggunaan Lahan
Gambar 5 Diagram alir penelitian
Potensi inkonsistensi Penggunaan Lahan
18
Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Persiapan Data Data yang dipergunakan untuk melihat perubahan penggunaan lahan adalah data penggunaan lahan tahun 1995 dan 2012 yang diperoleh dari hasil interpretasi citra landsat dan sudah dilakukan validasi. Data tersebut berupa data raster dalam format erdas, sehingga untuk lebih memudahkan proses editing harus dikonversi ke format GIS yaitu shapefile. Data yang dipergunakan untuk melihat perubahan penggunaan lahan harus mempunyai batas kawasan yang sama, sedangkan kondisi data batas kawasan penggunaan lahan tahun 1995 dan 2012 berbeda dengan data batas kawasan yang terbaru yaitu tahun 2012. Sehingga data penggunaan lahan tersebut memerlukan editing data batas kawasannya agar diperoleh hasil yang lebih baik. Editing dilakukan dengan proses digitasi untuk menyesuaikan dengan batas yang terbaru serta mengisi atribut kelas penggunaan lahan yang masih kosong. Proses pengisian atribut kelas penggunaan lahan pada tahun 1995 dilakukan dengan melihat kelas terdekatnya dikarenakan keterbatasan informasi yang diperoleh, sedangkan untuk data penggunaan lahan tahun 2012 dilakukan dengan bantuan software google earth untuk pengecekan kelas penggunaan lahannya. Persiapan data selain editing batas kawasan dilakukan juga pengecekan sistem referensi yaitu sistem koordinat dan proyeksi pada data tersebut. Pengecekan tersebut dimaksudkan agar data penggunaan lahan tersebut mempunyai referensi yang sama dan dapat dilakukan analisis lebih lanjut menggunakan software GIS.
Perubahan Penggunaan Lahan antara tahun 1995 dan 2012 Analisis perubahan penggunaan lahan dilakukan pada data penggunaan lahan tahun 1995 dan 2012 menggunakan metode overlay dan markov chain. Peta penggunaan lahan tahun 1995 dan 2012 dibandingkan secara visual dan tabular Pada proses overlay. Analisis secara visual dilakukan untuk melihat pola perubahan penggunaan lahan sedangkan secara tabular dilakukan dengan membandingkan luasan penggunaan lahan masing-masing kelas penggunaan lahan. Analisis perubahan penggunaan lahan menggunakan metode markov chain dilakukan dengan menggunakan software Idrisi. Analisis ini dilakukan dengan membandingkan pixel-pixel pada kedua data penggunaan lahan dan menghasilkan matriks perubahan penggunaan lahan. Penghitungan probabilitas perubahan penggunaan lahan pada dua titik tahun ini dilakukan dengan memperhitungkan jarak tahun kedua data tersebut untuk proses iterasinya, sehingga hasil akhir yang diperoleh adalah data perubahan penggunaan lahan bukan hanya dari satu tahun sebelumnya tetapi merupakan hasil penghitungan beberapa tahun sesuai dengan jumlah tahun yang dipergunakan dalam proses iterasi. Hasil yang diperoleh pada analisis ini adalah pola perubahan penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan antara tahun 1995 dan 2012 berupa luasan masingmasing kelas penggunaan lahan serta luasan penggunaan lahan yang berubah menjadi kelas penggunaan lahan lainnya dalam bentuk matriks perubahan penggunaan lahan. Matriks perubahan penggunaan lahan ini selanjutnya dipergunakan dalam pembuatan arahan di masa yang akan datang sebagai proyeksi penggunaan lahannya.
19
Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan antara tahun 1995 dan 2012 Analisis perubahan penggunaan lahan yang dilakukan pada tahapan sebelumnya menghasilkan kelas-kelas penggunaan lahan yang mengalami perubahan. Kelas penggunaan lahan yang mengalami perubahan paling besar selanjutnya dilakukan analisis untuk memperlihatkan besaran faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut. Analisis dilakukan dengan metode regresi logistik biner secara spasial. Metode ini menggunakan variabel dependen dan variabel independen dimana variabel dependen adalah penggunaan lahan yang akan dilihat perubahannya sedangkan variabel-variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi perubahan variabel dependen. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah perubahan penggunaan lahan permukiman antara tahun 1995 sampai dengan 2012 karena kelas penggunaan lahan permukiman merupakan penggunaan lahan yang paling besar perubahannya, sedangkan variabel independen yang dipergunakan adalah data jarak terhadap jalan yang diduga mempunyai pengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan permukiman di kawasan Jabodetabek. Pemilihan variabel independen ini didasarkan pada penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya yaitu jalan mempunyai pengaruh yang besar dalam konversi penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi permukiman. Kelas jalan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah jalan arteri, jalan kolektor dan jalan tol. Analisis regresi logistik biner dilakukan secara spasial baik untuk penyiapan datadata yang dipergunakan maupun proses regresinya. Data perubahan penggunaan lahan permukiman diberikan nilai 0 untuk kelas penggunaan lahan yang tidak mengalami perubahan menjadi permukiman antara tahun 1995 dan 2012, sedangkan kelas penggunaan lahan yang berubah menjadi kelas penggunaan lahan permukiman diberikan nilai 1. Penghitungan jarak terhadap jaringan jalan dilakukan dengan prinsip jarak Euclidean secara spasial. Jarak Euclidean adalah jarak antar dua titik yang dihitung dari masing-masing titik dimana masing-masing titik tersebut mempunyai koordinat yaitu ( ). Jarak Euclidean dihitung berdasarkan prinsip sudut dan jarak dan dirumuskan sebagai berikut: (
)
‖
‖
∑(
)
Hasil dari analisis regresi logistik biner adalah berupa koeffisien yang menunjukkan besarnya faktor-faktor jalan terhadap perubahan penggunaan lahan untuk permukiman antara tahun 1995 dan 2012 dan peta probabilitas perubahan penggunaan lahan permukiman terhadap jalan. Signifikansi korelasi antara variabel independen terhadap variabel dependen ditunjukkan dengan nilai ROC (Relative Operating Characteristic) yang diperoleh dari hasil analisis regresi logistik biner secara spasial. Nilai ini berupa prosentase perbandingan peta probabilitas hasil analisis regresi terhadap variabel dependen.
20
Analisis Proyeksi Penggunaan Lahan Tahun 2028 Arahan penggunaan lahan dibuat tahun 2028, hal ini dilakukan dengan pertimbangan Perpres nomor 54 tahun 2008 tentang RTR Kawasan Jabodetabekpunjur mempunyai masa berlaku dari tahun 2008 sampai dengan 2028. Tahun 2028 merupakan masa berakhir berlakunya RTR Jabodetabekpunjur. Pembuatan proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 dibuat menggunakan data penggunaan lahan tahun 1995 dan 2012, trend perubahan penggunaan lahan antara tahun 1995 dan 2012 dan skenario arahan penggunaan lahan yang dipergunakan untuk membuat proyeksi penggunaan lahan di masa yang akan datang. Proyeksi penggunaan lahan dibuat menggunakan data raster dengan metode CA-Markov secara spasial dengan software Idrisi Selva. Tren perubahan penggunaan lahan diperoleh dari hasil analisis markov chain berupa matriks yang berisi luas kelas penggunaan lahan baik yang tidak mengalami perubahan menjadi kelas lain (tetap) maupun yang berubah menjadi kelas penggunaan lahan lainnya, sedangkan skenario penggunaan lahan dibuat dalam dua skenario yaitu sebagai berikut: 1. Skenario 1 (Skenario Business as Usual tanpa ada Kebijakan Khusus) Asumsi yang dipergunakan adalah proyeksi penggunaan lahan di maasa yang akan datang dipengaruhi oleh tren perubahan penggunaan lahan antara tahun 1995 sampai dengan 2012, kondisi eksisting dan perubahan satu arah; 2. Skenario 2 (Skenario Konservatif) Asumsi yang dipergunakan adalah proyeksi penggunaan lahan di maasa yang akan datang dipengaruhi oleh tren perubahan penggunaan lahan antara tahun 1995 sampai dengan 2012 dan kontrol kebijakan berupa kesesuaian lahan dan peruntukan kawasan hutan. Skenario ini dipergunakan dalam analisis spasial dengan metode Cellular Automata dimana semua data yang dipersiapkan dalam tiap skenario, dipergunakan secara bersamaan untuk menentukan perubahan nilai-nilai pixel. Nilai-nilai pixel yang berubah menunjukkan perubahan penggunaan lahannya. Skenario 1 (Skenario Business as Usual tanpa ada Kebijakan Khusus) Skenario 1 adalah skenario perubahan yang mengatur perubahan penggunaan lahan mengikuti mekanisme pasar. Asumsi yang dipergunakan dalam skenario ini adaah bahwa setiap lahan dapat berubah penggunaannya seluas-luasnya tanpa adanya kontrol atau campur tangan kebijakan dengan mempertimbangkan kondisi eksisting dan perubahan satu arah. Skenario perubahan satu arah adalah skenario yang menggambarkan logika perubahan penggunaan lahan dari satu kelas lahan menjadi kelas lahan lainnya. Perubahan satu arah dicontohkan pada penggunaan lahan permukiman yang tidak mungkin berubah menjadi hutan, pertanian lahan kering, sawah dan tubuh air. Skenario perubahan satu arah disajikan pada Tabel 3. Semua penggunaan lahan di kawasan Jabodetabek mempunyai peluang untuk mengalami perubahan menjadi kelas penggunaan lahan lainnya pada area-area yang diperbolehkan untuk berubah dan hanya tubuh air yang diskenariokan tidak mengalami atau sedikit mengalami terjadinya perubahan. Skenario 1 dilakukan dengan membuat lima data secara spasial berdasarkan kelas penggunaan lahan dimana tiap kelas penggunaan lahan diatur area-area yang diperbolehkan untuk berubah diluar kondisi eksisting dan pembatasan perubahan penggunaan lahannya. Skenario tubuh air
21
menggunakan data eksisting tahun 2012 sebagai data yang paling valid menunjukkan keberadaan tubuh air. Tabel 3 Pengaturan perubahan penggunaan lahan skenario 1 Kelas Lahan Hutan Permukiman Pertanian Lahan Kering Sawah Tubuh Air
Hutan
Permukiman
Eksisting TM TM
M Eksisting TM
Pertanian Lahan Kering M TM Eksisting
TM TM
TM TM
M TM
Sawah
Tubuh Air
M TM TM
M TM TM
Eksiting TM
TM Eksisting
Keterangan: M = Mungkin berubah TM = Tidak mungkin berubah
Skenario 2 (Skenario Konservatif) Skenario 2 adalah skenario yang mengatur perubahan penggunaan lahan dengan mempertimbangkan tren perubahan penggunaan lahan antara tahun 1995 sampai dengan 2012 serta mendapat kontrol kebijakan berupa peraturan peruntukan kawasan hutan dan kesesuaian lahan. Skenario ini menggambarkan kondisi ideal penggunaan lahan tahun 2028 sesuai dengan yang diharapkan dari pengaturan dalam RTR KSN Jabodetabek berdasarkan kondisi eksisting tahun 2012. Skenario ini dibuat sebagai benchmark yang memperlihatkan kondisi ideal pada tahun 2028 sesuai dengan rencana tata ruangnya. Skenario 2 ini juga dibuat dalam lima data secara spasial yaitu peruntukan kawasan hutan, kesesuaian lahan untuk sawah, kesesuaian lahan untuk permukiman, kesesuaian lahan untuk pertanian lahan kering dan tubuh air eksisting tahun 2012. Data peruntukan kawasan hutan diambil dari peta penunjukan kawasan hutan sesuai dengan SK Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.50/Menhut-II/2009 tentang Penegasan Status dan Fungsi Kawasan Hutan. Hal ini dikarenakan pengaturan kawasan hutan sudah ditetapkan berdasarkan peraturan menteri tersebut. Penentuan kawasan hutan ditentukan menurut fungsinya yaitu konservasi dan perlindungan terhadap flora dan fauna, ekosistem, gejala dan keunikan alam, kepentingan ilmu pengetahuan serta untuk kawasan wisata alam. Data kesesuaian lahan untuk tubuh air juga tidak ada kriteria khusus sehingga dipergunakan data tubuh air eksisting tahun 2012 sebagai dasar penentuan keberadaan lokasi tubuh air yang paling valid dan terbaru. Kriteria yang dipergunakan dalam pembuatan data kesesuaian lahan untuk sawah dan pertanian lahan kering adalah kriteria menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) yang disesuaikan dengan data land system, sedangkan data kesesuaian lahan untuk permukiman dibuat menggunakan kriteria yang diambil dari Kementerian Pekerjaan Umum. Data kesesuaian lahan yang dibuat dalam penelitian ini hanya sampai pada tingkat ordo yaitu ordo S untuk lahan yang sesuai dan ordo N untuk lahan yang tidak sesuai. Data kesesuaian lahan dalam penelitian ini berupa kesesuaian lahan aktual yaitu kesesuaian lahan dalam keadaan alami tanpa memperhitungkan upaya perbaikan dan tingkat pengelolaan untuk mengatasi kendala atau faktor pembatas pada lahan
22
tersebut. Pembuatan data kesesuaian lahan menggunakan masing-masing karakteristik fisik lahan yang diberikan nilai sesuai dengan kriteria yang ditetapkan yaitu sesuai atau tidak sesuai dan selanjutnya kelas kesesuaian lahan ditentukan berdasarkan atas kualitas yang mendominasi kesesuaiannya. Pembuatan data kesesuaian lahan dibuat menggunakan data land system yang diperoleh dari P4W-IPB dengan analisis spasial. Faktor fisik yang diperhitungkan dalam pembuatan data kesesuaian lahan adalah data kemiringan lereng, curah hujan, jenis tanah, jenis batuan dan tekstur tanah karena keterbatasan data yang tersedia. Masing-masing kriteria dalam pembuatan data kesesuaian lahan disajikan pada Tabel 4, 5 dan 6.
No 1 2 3 4
Tabel 4 Kriteria kesesuaian lahan untuk sawah Kelas Kesesuaian Lahan Parameter S N 0–8 % 8% Kemiringan lereng 1000 – 4000 mm/tahun >4000 mm/tahun Curah hujan Alfisols, ultisols, entisols Jenis tanah Andesit, basalt, coarse, Marl, limestone, sandstone, Jenis batuan alluvium, tuffite, breccia
5
Fine, Mod. Fine, Coarse
Tekstur
estuarine-marine, coral, mudstone, marine beach sand, gravel, granite Peat/fine, berbatu (rock)
Tabel 5 Kriteria kesesuaian lahan untuk pertanian lahan kering No
Parameter
1 2 3 4
Kemiringan lereng Curah hujan Jenis tanah Jenis batuan
5
Tekstur
Kelas Kesesuaian Lahan S
N
0–15 % 1000–5000 mm/tahun Alfisols, ultisols, entisols Andesit, basalt, coarse, alluvium, tuffite, breccias, limestone, marl Fine, Mod. Fine, Coarse
> 15 % > 5000 mm/tahun Haplorthox Sandstone, estuarine-marineriverine, riverine, coral, mudstone, peat, granite Peat/fine, berbatu (rock)
Tabel 6 Kriteria kesesuaian lahan untuk permukiman No
Parameter
1 2 3 4
Kemiringan lereng Curah hujan Jenis tanah Jenis batuan
5
Tekstur
Kelas Kesesuaian Lahan S
N
0–15 % 1000–5000 mm/tahun Alfisols,ultisols, entisols Andesit, basalt, coarse, alluvium, tuffite, breccias, limestone, marl Fine, mod. fine
> 15 % > 5000 mm/tahun Sandstone, estuarine-marineriverine, riverine, coral, mudstone, peat, granite Peat/Fine, mod. Fine/rock
23
Analisis Konsistensi Penggunaan Lahan Analisis konsistensi penggunaan lahan dilakukan dengan membandingkan peta penggunaan lahan eksisting tahun 2012 dan peta proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 sekanrio 1 dan 2 terhadap RTR Jabodetabekpunjur dengan proses overlay. Analisis dilakukan terhadap RTR kawasan Jabodetabek karena kelas penggunaan lahan yang dipergunakan dalam penelitian ini bersifat umum yaitu hanya 5 kelas, selain itu kondisi RTRW kabupaten dan kota yang ada di kawasan Jabodetabek belum padu-serasi sehingga menyulitkan dalam proses analisisnya. Analisis konsistensi ini dilakukan untuk melihat tingkat konsistensi atau kepatuhan penggunaan lahan terhadap pengaturan pemanfaatan ruang yang termuat dalam rencana tata ruangnya dimana salah satu pengaturan tersebut adalah tentang pengaturan arah pemanfaatan berdasarkan karakteristik lahannya yang disajikan pada Tabel 8. Analisis dilakukan dengan menetapkan kriteria konsistensi penggunaan lahan terhadap RTR Jabodetabekpunjur yang dituangkan dalam bentuk matriks konsistensi yang disajikan pada Tabel 7. Matriks konsistensi penggunaan lahan terhadap RTR Jabodetabekpunjur disusun dengan menetapkan konsistensi kelas penggunaan lahan pada zona yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang. Penggunaan lahan yang sesuai dengan zona dalam RTR diberikan tanda √ yang berarti konsisten sedangkan yang tidak sesuai diberi tanda X yang berarti tidak konsisten. Dalam analisis konsistensi terdapat zona yang tidak dilakukan analisis yaitu zona As (air sungai) dan Al (air laut). Kedua zona ini merupakan unsur alam yang tidak dibuat pengaturan peruntukan lahannya untuk mempertahankan kealamiannya. Tabel 7 Matriks konsistensi penggunaan lahan terhadap RTR Jabodetabekpunjur Zona
Sawah
Hutan
Permukiman
Pertanian Lahan Kering
N1
X
√
X
X
Tubuh Air √
N2
X
√
X
X
√
B1
√
√
√
√
√
B2
√
√
√
√
√
B3
√
√
√
√
√
B4
√
√
√
√
√
B5
√
√
X
√
√
B6
√
√
√
√
√
B7
√
√
√
√
√
P1
X
√
X
X
√
P2
X
√
X
X
√
P3
X
√
X
X
√
P4
X
√
X
X
√
P5
X
√
X
X
√
Keterangan: √ = Konsisten X = Tidak Konsisten
24
24
Zona
Kawasan Lindung
No
N1
-. Konservasi tanah dan air -. Mencegah abrasi, erosi, amblesan, bencana banjir, dan sedimentasi -. Menjaga fungsi hidrologi tanah untuk menjamin ketersediaan unsur hara tanah, air tanah, dan air permukaan -. Mencegah dan/atau mengurangi dampak akibat bencana alam geologi
N2
-. Konservasi budaya -. Perlindungan keanekaragaman biota, tipe ekosistem, serta gejala dan keunikan alam untuk kepentingan perlindungan plasma nutfah, penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan -. Pengembangan kegiatan pendidikan dan penelitian, rekreasi dan pariwisata ekologis bagi peningkatan kualitas lingkungan sekitarnya, dan perlindungan dari pencemaran --> menjadi fungsi lindung Kawasan yang mempunyai daya dukung lingkungan tinggi, tingkat pelayanan prasarana dan sarana tinggi, dan bangunan gedung dengan intensitas tinggi, baik vertikal maupun horizontal
Budidaya
B1
Kawasan Budidaya
Tabel 8 Karakteristik dan arah pemanfaatan ruang di Kawasan Jabodetabeka Karakteristik Arahan Pemanfaatan
B2
Kawasan yang mempunyai daya dukung lingkungan sedang dan tingkat pelayanan prasarana dan sarana sedang
B3
Kawasan yang mempunyai daya dukung lingkungan rendah, tingkat pelayanan prasarana dan sarana rendah, dan merupakan kawasan resapan air Kawasan yang mempunyai daya dukung lingkungan rendah tetapi subur dan merupakan kawasan resapan air, serta merupakan areal pertanian lahan basah bukan irigasi teknis dan pertanian lahan kering
B4
B5
Kawasan yang mempunyai kesesuaian lingkungan untuk budi daya pertanian dan mempunyai jaringan irigasi teknis
kawasan hutan lindung; kawasan resapan air; kawasan dengan kemiringan di atas 40% (empat puluh persen) sempadan sungai; sempadan pantai kawasan sekitar danau, waduk, dan situ; kawasan sekitar mata air; rawa; kawasan pantai berhutan bakau; dan kawasan rawan bencana alam geologi Cagar alam; Suaka margasatwa; Taman nasional; Taman hutan raya; Taman wisata alam; dan Kawasan cagar budaya Perumahan hunian padat, perdagangan dan jasa, serta industri ringan nonpolutan dan berorientasi pasar, dan difungsikan sebagai pusat pengembangan kegiatan ekonomi unggulan Perumahan hunian sedang, perdagangan dan jasa, industri padat tenaga kerja, dan diupayakan berfungsi sebagai kawasan resapan air Perumahan hunian rendah, pertanian, dan untuk mempertahankan fungsi kawasan resapan air Perumahan hunian rendah, pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, perkebunan, perikanan, peternakan, agroindustri, dan hutan produksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Pertanian lahan basah beririgasi teknis
25
Tabel 8 (Lanjutan)
Penyangga Budidaya
B6
a
B7
Kawasan yang mempunyai daya dukung lingkungan rendah dengan kesesuaian untuk budi daya dan KLB yang disesuaikan dengan aturan daerah Memiliki daya dukung lingkungan rendah, rawan intrusi air laut, rawan abrasi, dengan kesesuaian untuk budi daya dan KLB yang disesuaikan dengan aturan daerah
Permukiman dan fasilitasnya dan/atau penyangga fungsi Zona N1 Permukiman dan fasilitasnya, penjaga dan penyangga fungsi Zona N1, serta berfungsi sebagai pengendali banjir terutama dengan penerapan sistem polder
P1
Zona perairan pantai yang berhadapan dengan Zona N1 pantai
P2
-. Zona perairan pantai yang berhadapan dengan Zona N1 -. Pantai yang mempunyai potensi untuk reklamasi
P3
-. Zona perairan pantai yang berhadapan dengan Zona B1 pantai
P4
-. Zona perairan pantai yang berhadapan dengan Zona B2 pantai
P5
-. Zona perairan pantai yang berhadapan dengan Zona B6 dan atau B7
Upaya menjaga Zona N1 dari segala bentuk tekanan dan gangguan yang berasal dari luar dan/atau dari dalam zona, khususnya dalam mencegah abrasi, intrusi air laut, pencemaran, dan kerusakan dari laut yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan dan/atau perubahan fungsi Zona N1 Menjaga Zona N1 dari segala bentuk tekanan dan gangguan yang berasal dari luar dan/atau dari dalam zona, khususnya dalam mencegah abrasi, intrusi air laut, pencemaran, dan kerusakan dari laut yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan dan/atau perubahan fungsi Zona N1 Menjaga fungsi Zona B1 dengan tidak menyebabkan abrasi pantai dan tidak mengganggu fungsi pusat pembangkit tenaga listrik, muara sungai, dan jalur lalu lintas laut dan pelayaran Menjaga fungsi Zona B2 dengan tidak menyebabkan abrasi pantai, tidak mengganggu fungsi pembangkit tenaga listrik, dan tidak mengganggu muara sungai, jalur lalu lintas laut dan pelayaran, usaha perikanan rakyat Menjaga fungsi Zona B6 dan/atau Zona B7 dengan tidak menyebabkan abrasi pantai dan tidak mengganggu muara sungai, jalur lalu lintas laut dan pelayaran, usaha perikanan rakyat
Sumber: Perpres nomor 54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur.
25
26
26
Analisis Potensi Inkonsistensi Penggunaan Lahan di Kawasan Jabodetabek Potensi inkonsistensi di kawasan Jabodetabek adalah kondisi yang membandingkan antara proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 skenario 1 terhadap proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 dengan skenario 2. Analisis ini bertujuan melihat potensi terjadinya inkonsistensi penggunaan lahan pada skenario 1 yang bisa dikontrol oleh kebijakan pada skenario 2. Asumsi yang dipergunakan untuk melihat potensi inkonsistensi adalah penggunaan lahan yang tidak konsisten pada proyeksi tahun 2028 skenario 1 tetapi konsisten pada proyeksi tahun 2028 skenario 2. Hasil yang diperoleh dari analisis ini adalah informasi baik spasial maupun tabular wilayah-wilayah yang mempunyai potensi terjadinya inkonsistensi di masa yang akan datang apabila penggunaan lahannya tidak memperhatikan kontrol kebijakan pemanfaatan ruang berupa alokasi peruntukan kawasan hutan dan kesesuaian lahan. Informasi spasial yang dihasilkan pada analisis ini menggambarkan wilayah-wilayah yang berpotensi terjadi ikonsistensi penggunaan lahan terhadap rencana tata ruang dengan satuan terkecil adalah wilayah administrasi kecamatan. Informasi yang ditampilkan pada peta adalah penggunaan lahan pada kondisi ideal sesuai dengan arahan dari rencana tata ruang yang berpotensi inkonsisten.
4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis Secara geografis, Jabodetabek terletak antara 106˚ 20’ 0” BT – 107˚ 20’ 00” BT dan 5˚ 50’ 0” LS – 6˚ 50’ 00” LS dengan luas wilayah 680.775,69 ha (Badan Informasi Geospasial 2012). Jabodetabek terdiri dari 3 wilayah administrasi provinsi yang didalamnya terdapat 13 wilayah administrasi kabupaten/kota (Gambar 6). Wilayah administrasi provinsi yang paling luas adalah Provinsi Jawa Barat dengan 70,4 % sedangkan yang paling kecil adalah Provinsi DKI Jakarta dengan 9,4 %. Wilayah administrasi kabupaten/kota yang paling luas adalah Kabupaten Bogor sebesar 43,9 % dan paling kecil adalah Kota Jakarta Pusat dengan 0,7 %. Luas wilayah administrasi di Jabodetabek secara rinci disajikan pada Tabel 9. Wilayah Jabodetabek terdiri dari tiga bentuk lahan yaitu kawasan pantai dan perairan di bagian utara, kawasan dataran di bagian tengah dan kawasan perbukitan pegunungan di sebelah selatan. Wilayah dengan kemiringan lereng sebesar 0 % sampai dengan 8 % berada di Provinsi DKI Jakarta, sebagian Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kota Depok dan sebagian Kabupaten Tangerang. Sedangkan kemiringan lereng sebesar 40 % sampai dengan 60 % terdapat di beberapa area di wilayah selatan yaitu di Kabupaten Bogor. Di Kabupaten Bogor juga terdapat beberapa area dengan kemiringan > 60 %.
27
Tabel 9 Luas wilayah administrasi di Jabodetabekb No
Nama Provinsi
Nama Kabupaten/Kota
Luas per Kabupaten/Kota ha % 1. DKI Kota Jakarta Pusat 4.794 0,7 Jakarta Kota Jakarta Barat 12.521 1,8 Kota Jakarta Selatan 14.494 2,1 Kota Jakarta Timur 18.482 2,7 Kota Jakarta Utara 13.946 2,1 2. Banten Kota Tangerang 18.247 2,7 Kota Tangerang Selatan 102.753 15,1 Kabupaten Tangerang 62.53 2,4 3. Jawa Barat Kota Bekasi 14.444 2,1 Kabupaten Bekasi 134.161 19,7 Kota Bogor 11.249 1,7 Kabupaten Bogor 299.083 43,9 Kota Depok 20.062 2,9 LUAS KESELURUHAN 680.775 100 b Penghitungan luas dalam % didasarkan pada luas total Jabodetabek.
Luas per Provinsi ha % 64.236 9,4
137.253
20,2
478.999
70,4
680.775
100
Gambar 6 Peta wilayah administrasi di Kawasan Jabodetabek
28
Kondisi Geografis dan Kependudukan Kondisi Fisik Kondisi fisik kawasan Jabodetabek sangat beragam karena proses pembentukannya yang memepengaruhi bentuk lahannya. Bentuk lahan di kawasan Jabodetabek dibedakan menjadi tiga yaitu dataran yang landai di bagian utara, perbukitan di bagian tengah dan pegunungan di bagian selatan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (2013) dari modifikasi (Suwiyanto 1977) menjelaskan bahwa berdasarkan bentuk bentang alam (landscape) yang terlihat dari kenampakan topografi dan data-data geologi yang berisi informasi batuan penyusunan, wilayah Provinsi DKI Jakarta dan sekitarnya secara morfologi dibagi menjadi beberapa bagian yaitu dataran alluvial, kipas gunung api Bogor, perbukitan bergelombang dan gunungapi muda. Berikut adalah penjelasan untuk masing-masing satuan morfologi: 1. Dataran alluvial Satuan ini terletak di bagian utara menyebar relatif memanjang barat– timur sepanjang pantai utara. Dataran alluvial meliputi hilir Sungai Cisadane, Sungai Angke, Sungai Bekasi dan Sungai Citarum. Kemiringan lereng pada dataran alluvial adalah datar hingga miring landai yaitu 0 % hingga 15 %, dengan ketinggian berkisar antara 0 m sampai dengan 16 m di atas permukaan laut. Bentuk fisik pada dataran ini adalah berupa dataran rawa, pematang pantai, dan delta, dengan batuan penyusun utama berupa endapan aluvial terdiri dari fragmen lempung hingga pasir kasar (kadang–kadang kerikilan) yang umumnya bersifat lepas mengandung pecahan–pecahan cangkang serta sisa– sisa tumbuhan. 2. Kipas Gunungapi Bogor Sebagian besar morfologi Jabodetabek adalah berupa kipas gunungapi Bogor yaitu sebesar 37,75 % dari luas wilayah Jabodetabek. Satuan ini terletak di bagian tengah Jabodetabek yaitu selatan dataran alluvial. Penyebaran morfologi ini dimulai dari Kota Bogor selatan dan melebar ke Cibinong, bagian hulu Sungai Cisadane, Sungai Angke, Sungai Ciliwung, dan Sungai Bekasi. Kemiringan lereng dalam morfologi ini adalah sebesar 0,5 % sampai dengan 15 %, dengan ketinggian berkisar antara 16 m sampai dengan 195 m di atas permukaan laut. Di beberapa tempat morfologi ini juga ditemukan pada wilayah dengan kemiringan lereng yang lebih terjal yaitu terutama pada bagian selatan kipas gunungapi tersebut. Kipas ini umumnya disusun oleh batuan hasil rombakan vulkanik gunungapi dan tufa halus yang memiliki struktur perlapisan, sedangkan pada lembah sungainya dapat dijumpai adanya endapan aluvial dengan fragmen penyusun utama berukuran pasir halus hingga bongkah–bongkah yang bersifat andesitis dan basaltis. 3. Perbukitan Bergelombang Satuan morfologi ini terletak di bagian selatan barat–timur kawasan Jabodetabek yang menyebar antara lain di sekitar wilayah timur Gunung Karang dan wilayah barat Gunung Endut serta bukit–bukit intrusi seperti Gunung Dago, bukit 354, dan Gunung Putri. Morfologi ini umumnya memiliki kemiringan lereng 14 % sampai dengan 40 %, dengan ketinggian berkisar antara 195 m sampai dengan 1225 m di atas permukaan laut. Batuan penyusun utama pada satuan ini berupa batuan sedimen meliputi batu pasir, batu lempeng, batu gamping, intrusi andesit, dan breksi tufa.
29
4. Gunungapi Muda Satuan ini terletak di bagian Selatan yang menyebar di sekitar Gunung Masigit, Gunung Salak, dan Cipanas. Kemiringan lereng pada morfologi ini umumnya 15 % hingga > 70 %, dengan ketinggian berkisar antara 1225 m sampai dengan 2500 m di atas permukaan laut. Batuan pada satuan ini umumnya berupa endapan vulkanik gunungapi, breksi, lava, dan lahar. Batuan induk di kawasan Jabodetabek digolongkan menjadi 4 golongan yaitu batuan sedimen, endapan permukaan, batuan gunungapi dan batuan intrusi. Kota Jakarta Utara secara hidrologi sebagian besar berupa rawa, empang air payau dan pantai berpasir. Data dari curah hujan menunjukkan bahwa curah hujan tertinggi berada di Kabupaten Bogor dengan curah hujan 2000 mm/tahun sampai dengan 5000 mm/tahun, sedangkan di bagian utara Jabodetabek curah hujan relatif lebih rendah daripada bagian selatan kawasan yaitu rata-rata antara 1000 mm/tahun hingga 1700 mm/tahun. Penduduk Jumlah penduduk di Jabodetabek merupakan penduduk yang paling tinggi di seluruh Indonesia. Hal ini disebabkan karena aktivitas ekonomi dan bisnis yang tinggi serta fasilitas dan infrastruktur yang memadai di Jakarta sebagai ibukota negara sekaligus juga ibukota Provinsi DKI Jakarta. Pembangunan selama masa orde baru yang bias perkotaan dan bias jawa menyebabkan terjadinya perbedaan karakteristik Jakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia yang pada akhirnya berakibat pada pertumbuhan penduduk di Jakarta yang relatif lebih tinggi dibandingkan kota-kota lainnya di Indonesia (Rustiadi dan Panuju 1999). Perkembangan Kota Jakarta mempengaruhi perkembangan wilayah di sekitarnya yaitu Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek). Salah satu dampak yang terjadi adalah peningkatan jumlah penduduk yang pesat di Jabodetabek. Jumlah penduduk Jabodetabek antara tahun 1960 sampai dengan 2010 disajikan pada Tabel 10, sedangkan kepadatan penduduk Jabodetabek antara tahun 2008 sampai dengan 2010 disajikan pada Tabel 11. Tabel 10 Jumlah penduduk Jabodetabek antara tahun 1960 sampai dengan 2010c Tahun Jakarta Botabek Jabotabek Indonesia 1961 2.906.533 3.011.455 5.917.988 97.085.600 1971 4.576.009 3.762.068 8.338.077 119.208.200 1981 6.555.954 5.543.986 12.099.940 151.314.600 1991 7.108.359 9.425.983 16.534.342 182.940.100 2000 8.385.639 12.814.688 21.200.327 203.456.005 2010 8.502.818 18.253.144 26.755.962 237.641.326 c
Sumber: Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah–IPB (2010)
Berdasarkan data BPS pada tahun 2008 menunjukkan bahwa tingkat kepadatan penduduk menunjukkan bahwa DKI Jakarta merupakan daerah yang paling padat diantara kota-kota lainnya di Jabodetabek, sedangkan perbandingan data kepadatan penduduk antara tahun 2008 sampai dengan 2010 menunjukkan bahwa DKI Jakarta mengalami peningkatan yang paling pesat diantara kota-kota lainnya di Jabodetabek. Pertumbuhan penduduk DKI Jakarta pada tahun 2010 peningkatannya sudah mulai tidak siginifikan (grafik saturation) sedangkan wilayah Botabek masih menunjukkan peningkatan yang signifikan (Gambar 7).
30
30,000,000 25,000,000 20,000,000 Jakarta 15,000,000
Botabek Jabotabek
10,000,000 5,000,000 1961
1971
1981
1991
2000
2010
Gambar 7 Grafik peningkatan jumlah penduduk tahun 1960 sampai 2010 Tabel 11 Kepadatan penduduk Jabodetabek antara tahun 2008 sampai dengan 2010d Wilayah Kepadatan Penduduk 2008 Kepadatan Penduduk 2010 (jiwa/km2) (jiwa/km2) DKI Jakarta 11.766 14.464 Kota Depok 6.170 7.053 Kota Bogor 7.053 8.737 Kota Bekasi 8.560 9.905 Kota Tangerang 8.623 9.342 Kabupaten Bogor 1.584 1.791 Kabupaten Bekasi 1.662 2.071 Kabupaten Tangerang 3.044 2.958 d
Sumber: Biro Pusat Statistik (2010).
Penataan Ruang di Kawasan Jabodetabek Penataan ruang kawasan Jabodetabek merupakan bagian dari penataan ruang kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur yang tertuang dalam Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2008. Penataan ruang Jabodetabek ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor 26 tahun 2008 tentang RTRW Nasional (RTRWN) karena kawasan ini memerlukan penataan ruang antar daerah yang terpadu sebagai satu kawasan. Peta rencana pola ruang disajikan pada Gambar 9 dan peta rencana tata ruang KSN Jabodetabekpunjur sesuai dengan Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2008 disajikan pada Gambar 10. Sesuai dengan RTRWN, Jabodetabek merupakan Pusat Kegiatan Nasional (PKN) karena Jabodetabek merupakan kawasan yang mendukung kegiatan DKI Jakarta sebagai ibukota negara yang mempunyai kegiatan baik skala nasional maupun internasional. Penataan ruang di kawasan ini dilakukan secara terpadu antar daerah dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungan hidup dan juga perkembangan
31
aktivitas ekonomi. Pembangunan kawasan Jabodetabek diarahkan untuk tetap mempertahankan keberlanjutan sumberdaya yang tersedia dengan mengupayakan konservasi air dan tanah, penanggulangan banjir dan juga pengembangan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat. Rencana tata ruang Jabodetabek terdiri dari rencana struktur ruang dan rencana pola ruang. Sesuai dengan Perpres tersebut, bahwa rencana struktur ruang merupakan rencana pengembangan susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat yang secara hierarki memiliki hubungan fungsional. Sistem pusat permukiman di Jabodetabek merupakan hierarkhi pusat permukiman sesuai dengan RTRW Nasional sebagai PKN. Sistem jaringan prasarana terdiri dari sistem transportasi baik darat, laut maupun udara, sistem jaringan tenaga listrik, sistem jaringan telekomunikasi, sistem penyediaan air baku, sistem pengelolaan limbah, sistem drainase dan pengendalian banjir dan sistem pengelolaan persampahan. Sistem jaringan prasarana direncanakan secara terpadu antar daerah dengan memperhatikan fungsi dan arah pengembangan pusat-pusat permukiman. Rencana pola ruang merupakan pengaturan distribusi ruang untuk kawasan lindung dan budidaya. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama menjaga kelestarian lingkungan hidup yang meliputi sumberdaya alam dan sumber daya buatan. Kawasan lindung disebut sebagai kawasan non-budidaya terbagi menjadi dua zona yaitu non-budidaya 1 (zona N1) dan zona non-budidaya 2 (zona N2). Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Kawasan budidaya dikelompokkan menjadi dua yaitu zona budidaya (zona B) dan zona penyangga budidaya (zona P). Zona penyangga budidaya berupa perairan yang berfungsi sebagai penyangga kawasan lindung dan kawasan budidaya. Masing-masing zona beserta luasnya disajikan pada Tabel 11 dan Sebaran zona dalam RTR Jabodetabekpunjur berdasarkan wilayah administrasi disajikan pada Gambar 8. Tabel 12 menunjukkan luasan maing-masing zona dalam RTR Jabodetabekpunjur dimana zona paling luas adalah zona B1 yaitu 157.732 ha atau 23,17 % yang diarahkan untuk perumahan hunian padat, perdagangan dan jasa, serta industri ringan dan difungsikan sebagai pusat pengembangan kegiatan ekonomi unggulan. Zona paling kecil adalah P2 seluas 0,25 ha yaitu zona perairan yang berfungsi sebagai penyangga Zona N1 (kawasan lindung) dari segala bentuk tekanan dan gangguan yang berasal dari luar dan/atau dari dalam zona, yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan dan/atau perubahan fungsi Zona N1. Kawasan lindung N1 paling luas berada di Kabupaten Bogor seluas 25.299 ha yaitu sebesar 3,8 %, sedangkan sebagian kecil lainnya berada di Kabupaten Bekasi dan Jakarta Utara. Penggunaan lahan eksisting di kawasan lindung N1 berupa hutan lindung di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bekasi, sedangkan di Kota Jakarta Utara berupa hutan bakau atau mangrove. Kawasan lindung N2 hanya berada di Kabupaten Bogor seluas 20.805 ha atau 3,1 % berupa taman nasional, cagar alam dan taman wisata alam. Kawasan budidaya terutama zona B1, B2 dan B3 menyebar hampir merata di kawasan Jabodetabek, sedangkan zona B4 sampai dengan B7 tersebar di Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Tangerang dan sedikit Kota Tangerang Selatan. Zona B1 sampai dengan B3 berada di tengah kawasan, sedangkan Zona B4 sampai dengan B7 berada di bagian tengah kawasan. Pengaturan ini sesuai dengan kondisi
32
eksisting dimana pada zona B1 sampai dengan B3 sebagian besar berupa permukiman sedangkan zona B4 sampai dengan B7 sebagian besar berupa lahan pertanian. Kawasan penyangga budidaya berupa perairan yang pemanfaatannya ditetapkan sebagai pelindung kawasan budidaya dan atau kawasan lindung dari kerawanan abrasi pantai dan intrusi air laut. Zona penyangga paling luas adalah P5 yang terletak di Kabupaten Tangerang seluas 7.480 ha atau sebesar 1,1 %. Zona penyangga lainnya sebagian kecil berada di Kota Jakarta Utara yaitu zona P3 dan Kabupaten Bekasi untuk zona P4. Penggunaan lahan eksisting di zona P3,P4 dan P5 sebagian besar berupa tubuh air dan sawah dan sebagian lainnya berupa permukiman. Tabel luas masing-masing zona terhadap wilayah administrasi disajikan dalam Lampiran 1 dan persentase sebaran zona RTR Jabodetabekpunjur disajikan dalam Gambar 8. Rencana Tata Ruang KSN Jabodetabekpunjur saat ini akan dilakukan proses revisi berdasarkan proses review sebelumnya. Beberapa pertimbangan yang diambil dalam memutuskan proses revisi adalah terdapatnya ketidaksesuaian terhadap rencana tata ruang kabupaten dan kota di bawahnya dimana dinamika perkembangan kabupaten dan kota tersebut sangat tinggi. Beberapa kebijakan pemerintah pusat yang muncul setelah adanya Perpres ini juga belum terakomodir dalam substansi rencana dalam RTRW Kabupaten/Kota seperti kebijakan yang terkait dengan Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dan sekarang berubah lagi menjadi kebijakan yang terkait dengan Nawacita. Tuntutan dari munculnya kebijakan baru tersebut tentu saja berpengaruh pada ketersediaan lahan, salah satu contohnya adalah ide untuk membangun bandara di Karawang dan Kalijati secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi perubahan lahan di sekitarnya termasuk Kawasan Jabodetabekpunjur. Saat ini lahan-lahan subur di wilayah Jabodetabekpujur sudah mulai terkonversi menjadi industri dan pemukiman, dengan adanya intervensi kebijakan bukan tidak mungkin lahan-lahan subur lainnya dapat terkonversi menjadi industry dan permukiman. Dinamika yang tinggi serta adanya intervensi kebijakan menyebabkan RTR KSN Jabodetabekpunjur perlu dilakukan review dan revisi. Tabel 12 Luas zona dalam RTR Jabodetabekpunjur Zona Luas (ha) Luas (%) Luas Kawasan (ha) Al 10,08 0,00 10,08 As 2.373,58 0,35 2.373,58 N1 33.293,66 4,89 N2 18.673,70 2,74 CA 119,37 0,02 54.100,61 TN 1.654,61 0,24 TWA 359,26 0,05 B1 157.732,24 23,17 B2 106.788,54 15,69 B3 141.212,39 20,74 B4 141.211,87 20,74 616.203,60 B5 62.123,01 9,13 B6 3.018,44 0,44 B7 4.117,12 0,60 P1 327,71 0,05 P2 0,25 0,00 8.099,63 P3 187,73 0,03 P4 63,46 0,01 P5 7.520,49 1,10 e Penghitungan luas dalam persen dilakukan terhadap luas Jabodetabek.
Luas Kawasan (%)e 0,00 0,35
7,95
90,51
1,12
33
50.0 45.0 40.0 35.0 30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0
P5 P4 P3 P2 P1 N2 N1 B7 B6
Gambar 8 Sebaran zona dalam RTR Jabodetabekpunjur berdasarkan wilayah administrasi
Gambar 9 Peta rencana pola ruang Jabodetabek (Sumber: Badan Informasi Geospasial, 2008)
34
34
Gambar 10 Peta Rencana Tata Ruang KSN Jabodetabekpunjur (Sumber: BKPRN, 2008)
35
Peta rencana pola ruang memperlihatkan zona-zona yang berbeda dari pengaturan zona dalam Perpres nomor 54 tahun 2008. Zona-zona tersebut adalah Al, As, CA, TN dan TWA (Tabel 13). Tabel 13 Keterangan zona yang berbeda pada peta rencana pola ruang terhadap RTR Jabodetabekpunjur No
Zonaf
Deskripsi
1
Al
Air Laut
2
As
Air Sungai
3
CA
Cagar Alam
4
TN
Taman Nasional
5
TWA
Taman Wisata Alam
Keterangan Unsur alami yang tidak diarahkan untuk kegiatan apapun baik kawasan lindung maupun kawasan budidaya Unsur alami yang tidak diarahkan untuk kegiatan apapun baik kawasan lindung maupun kawasan budidaya Kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami Kawasan pelestarian alam baik daratan maupun perairan yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budi daya, budaya, pariwisata, dan rekreasi
Kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam f Sumber: Peta rencana pola ruang Jabodetabek.
Zona dalam RTR Tidak ada Tidak ada
N2
N2
N2
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Penggunaan Lahan Jabodetabek Tahun 1995 dan 2012 Data penggunaan lahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data penggunaan lahan tahun 1995 dan 2012 yang diperoleh dari hasil interpretasi citra landsat ETM dan telah dilakukan validasi. Data penggunaan lahan Jabodetabek dibagi menjadi 5 kelas penggunaan lahan yaitu hutan, sawah, pertanian lahan kering, permukiman dan tubuh air. Deskripsi tiap kelas penggunaan lahan disajikan dalam Tabel 14. Tabel 14 Deskripsi kelas penggunaan lahan Kelas Penggunaan Lahan Hutan Permukiman Pertanian Lahan Kering Sawah Tubuh Air
Deskripsi Hutan lahan kering, primer dan sekunder Lahan terbangun dan kawasan industri Perkebunan, ladang, semak belukar dan lahan terbuka Sawah tadah hujan dan sawah irigasi Rawa air payau dan air tawar, tambak, danau atau situ, sungai
36
Perbandingan kedua data penggunaan lahan tahun 1995 dan 2012 secara visual (Gambar 11) menunjukkan terjadinya peningkatan penggunaan lahan permukiman yang signifikan kearah timur, barat dan selatan kawasan Jabodetabek, sedangkan penggunaan lahan hutan terlihat cukup signifikan terkonversi menjadi kelas penggunaan lahan lainnya yaitu pertanian lahan kering dan sawah. Tabel 14 menunjukkan perubahan penggunaan lahan antara tahun 1995 dan 2012 yang dapat dilihat dari selisih luas penggunaan lahan tahun 1995 dan 2012. Kelas penggunaan lahan yang dominan di Jabodetabek pada tahun 1995 adalah sawah, pertanian lahan kering dan hutan, sedangkan pada tahun 2012 terdapat pergeseran dominasi penggunaan lahan menjadi sawah, permukiman dan pertanian lahan kering. Hal ini menunjukkan bahwa pada kurun waktu antara tahun 1995 sampai dengan 2012 sudah terjadi konversi lahan pertanian menjadi permukiman. Penggunaan lahan paling luas pada tahun 1995 adalah berupa lahan sawah seluas 261.262 ha yaitu sebesar 38,1 % dan pada tahun 2012 masih tetap berupa sawah dengan luas menjadi 243.514 ha yaitu sebesar 35,4 %. Sawah masih tetap menjadi lahan yang terluas antara tahun 1995 sampai dengan 2012 tetapi mengalami penurunan luas sebesar 2,7 %. Penggunaan lahan yang mengalami konversi paling tinggi adalah hutan sebesar 9,6 % sedangkan penggunaan lahan yang paling mengalami peningkatan paling tinggi adalah permukiman sebesar 16,2 % (Tabel 15). Tabel 15 Luas penggunaan lahan tahun 1995 dan 2012 di Jabodetabekg Kelas Penggunaan Lahan Hutan Permukiman Pertanian Lahan Kering Sawah Tubuh Air
1995 ha 129.571 91.216 174.874 261.262 28.808
2012 %a 18,9 13,3 25,5 38,1 4,2
ha 63.734 203.109 161.635 243.514 15.578
% 9,3 29,5 23,5 35,4 2,3
Perubahan luas antara 1995-2012 % -9,6 16,2 2,0 -2,7 -1,9
g
penghitungan persen luas didasarkan pada luas seluruh wilayah Jabodetabek.
Penggunaan lahan di Jabodetabek periode antara tahun 1995 sampai dengan 2012 mengalami perubahan yang cukup signifikan. Lahan pertanian cukup banyak yang terkonversi menjadi penggunaan lahan lainnya terutama hutan. Penggunaan lahan permukiman naik menjadi peringkat kedua terluas pada tahun 2012 dan sebaliknya hutan mengalami penurunan yang sangat drastis dari peringkat ketiga menjadi peringkat keempat di tahun 2012. Perubahan urutan luas penggunaan lahan antara tahun 1995 dan 2012 disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Urutan penggunaan lahan tahun 1995 dan 2012h NO 1 2 3 4 5 h
1995 Penggunaan Lahan Sawah Pertanian Lahan Kering Hutan Permukiman Tubuh Air
% 38,1 25,5 18,9 13,3 4,2
2012 Penggunaan Lahan Sawah Permukiman Pertanian Lahan Kering Hutan Tubuh Air
penghitungan persen luas didasarkan pada luas seluruh wilayah Jabodetabek.
% 35,4 29,5 23,5 9,3 2,3
37
37
Gambar 11 Peta penggunaan lahan Kawasan Jabodetabek tahun 1995 (kiri) dan 2012 (kanan)
38
Luas tiap kelas penggunaan lahan tahun 1995 dan 2012 masing-masing wilayah administrasi disajikan pada Tabel 17 dan Tabel 18. Pada tahun 1995, penggunaan lahan sawah paling luas berada di Kabupaten Bekasi seluas 90.903 ha atau sebesar 13,3 %, sedangkan pertanian lahan kering paling banyak ditemui di Kabupaten Bogor seluas 111.940 ha atau sebesar 16,4 %. Hutan paling luas berada di selatan Jabodetabek tepatnya di Kabupaten Bogor seluas 115.500 ha atau sebesar 16,9 %. Penggunaan lahan untuk permukiman merupakan penggunaan lahan keempat yang tersebar cukup merata di wilayah kabupaten dan kota yang ada di Jabodetabek dimana permukiman yang paling luas adalah di Provinsi DKI Jakarta, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bekasi. Pada tahun 2012, penggunaan lahan sawah terbesar berada di Kabupaten Bekasi seluas 85.035 ha yaitu sebesar 12,4 %, sedangkan permukiman paling luas ada di Kabupaten Bogor seluas 44.791 ha atau sebesar 6,5 %. Pertanian lahan kering dan hutan paling luas berada di Kabupaten Bogor dengan luas 125.465 ha atau sebesar 18,2 % untuk pertanian lahan kering dan 62.714 ha atau sebesar 9,2 % untuk hutan. Tabel 17 Luas penggunaan lahan tahun 1995i Hutan Bekasi Bogor Kota Bekasi Kota Bogor Kota Depok Kota Jakarta Barat Kota Jakarta Pusat Kota Jakarta Selatan Kota Jakarta Timur Kota jakarta Utara Kota Tangerang Kota Tangerang Selatan Tangerang JUMLAH i
Permukiman
41.68 115.500 102 1.520 627 117 13 119 260 333 543 169 6.087 129.557
7.101 8.840 5.578 3.734 5.414 8.406 4.285 11.079 12.091 7.703 6.878 5.401 4.700 91.212
Pertanian Lahan kering 20.141 111.940 3.463 3.554 8.314 583 57 12 2.207 474 2.272 4.558 16.032 173.607
Sawah 90.904 60.421 5.116 2.377 5.509 3.355 446 2.070 3.871 4.276 8.290 5.984 68.623 261.244
Tubuh Air 13.041 4.307 294 137 328 165 34 93 194 1.288 408 229 8.222 28.741
penghitungan luas dalam hektar (ha).
Tabel 18 Luas penggunaan lahan tahun 2012j
253 62.714
29.400 44.791
Pertanian Lahan kering 12.096 125.465
Kota Bekasi Kota Bogor
1,8 99
10.508 7002
Kota Depok Kota Jakarta Barat
30 4
Kota Jakarta Pusat Kota Jakarta Selatan Kota Jakarta Timur
0,5 13 11
Hutan Bekasi Bogor
85.040 68.626
Tubuh Air 8.958 668
1.482 2.665
250 1.572
54 21
12.344 11.106
4.200 122
3.610 1.317
51 36
4608 12.903 15.242
43 703 955
155 926 2.331
15 40 48
Permukiman
Sawah
39 Tabel 18 (Lanjutan) Kota jakarta Utara Kota Tangerang Kota Tangerang Selatan
j
10 7 16
11.073 12.576 10.675
237 573 2378
2.201 5.122 3.299
526 102 24
Tangerang
564
20.869
10.698
66.775
4.996
JUMLAH
63.723
203.095
161.617
243.481
15.538
penghitungan luas dalam hektar (ha).
Tren Perubahan Penggunaan Lahan antara Tahun 1995 sampai dengan 2012 Tren perubahan penggunaan lahan antara tahun 1995 dan 2012 sudah diperlihatkan dalam analisis sebelumnya secara tabular yaitu pada Tabel 15, dimana permukiman dan hutan merupakan penggunaan lahan yang paling besar mengalami perubahan di kawasan ini. Markov Chain merupakan analisis yang dilakukan juga untuk melihat tren perubahan penggunaan lahan di kawasan ini secara spasial. Analisis ini menghasilkan matriks tren perubahan penggunaan lahan yang berisi luasan kelas masing-masing penggunaan lahan baik yang tetap menjadi kelas penggunaan lahan sebelumnya maupun yang berubah menjadi kelas penggunaan lahan lainnya (Tabel 19). Matriks tren perubahan penggunaan lahan antara tahun 1995 dan 2012 menunjukkan perubahan kelas penggunaan lahan (baris) menjadi kelas penggunaan lahan lainnya (kolom). Baris dan kolom yang membentuk diagonal menunjukkan penggunaan lahan yang tetap menjadi kelas penggunaan lahan sebelumnya atau tidak mengalami perubahan. Informasi yang diperoleh dari matriks tersebut adalah terjadi perubahan penggunaan lahan paling besar pada penggunaan lahan sawah menjadi permukiman seluas 57.563 ha. Lahan pertanian kedua yang terkonversi menjadi permukiman adalah pertanian lahan kering seluas 31.289 ha dan penggunaan lahan hutan yang paling besar terkonversi adalah menjadi pertanian lahan kering seluas 18.950 ha. Tabel 19 Tren perubahan penggunaan lahan antara tahun 1995 dan 2012 Pertanian Tubuh Area (ha) Sawah Hutan Lahan Permukiman Air Kering Sawah 170.589 39 2.110 14.835 57.563 Hutan 8.905 31.507 186 18.950 2.965 Tubuh Air 5.616 0 7.210 1.753 1.090 Pertanian Lahan 33.661 418 232 93.145 31.289 Kering Permukiman 1.658 24 83 2.181 194.957
Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan Analisis regresi logistik biner dalam penelitian ini dilakukan untuk melihat besaran atau koeffisien faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan permukiman antara tahun 1995 sampai dengan 2012, dimana dari analisis sebelumnya yaitu markov chain diperoleh informasi bahwa permukiman merupakan penggunaan
40
lahan yang mengalami peningkatan paling tinggi dan mengkonversi lahan pertanian yaitu sawah dan pertanian lahan kering. Analisis regresi logistik biner ini menggunakan variabel dependen berupa perubahan penggunaan lahan permukiman antara tahun 1995 dan 2012, sedangkan variabel independen yang dipergunakan sebagai faktor yang mempengaruhi perubahan lahan permukiman adalah jarak terhadap jalan. Analisis statistik memerlukan pengelompokan kategori-kategori dalam prosesnya, dan karena analisis ini menggunakan data spasial maka dipergunakan pengelompokkan jarak terhadap jalan dengan cara melakukan buffering pada jarak tertentu terhadap jalan. Variabel independen yang dipergunakan adalah jarak terhadap jalan arteri, jarak terhadap jalan kolektor dan jarak terhadap jalan tol. Ketiga jenis jalan ini dipilih karena merupakan tipe jalan yang paling memungkinkan untuk dianalisis dalam skala kawasan. Gambar variabel dependen dan variabel independen disajikan pada Lampiran 3,4 dan 5. Hasil yang diperoleh dari analisis regresi ini adalah: (1) persamaan regresi yang memperlihatkan koefisien besaran perubahan penggunaan lahan permukiman antara tahun 1995 dan 2012 terhadap jarak dari masing-masing jalan dan (2) peta probabilitas perubahan penggunaan lahan permukiman di Jabodetabek antara tahun 1995 dan 2012. Peta probabilitas perubahan penggunaan lahan permukiman disajikan pada Gambar 12. Persamaan regresi yang diperoleh dari analisis statistik logistik biner adalah sebagai berikut: Y = -0,881 – 0,050*X1 – 0,034*X2 – 0,055*X3 Y = X1 = X2 = X3 =
logit perubahan penggunaan lahan permukiman antara tahun 1995 dan 2012 jarak terhadap jalan arteri jarak terhadap jalan kolektor jarak terhadap jalan tol
Persamaan regresi diatas menunjukkan bahwa jalan tol mempunyai pengaruh yang lebih besar dalam perubahan penggunaan lahan untuk permukiman dibandingkan dengan jalan arteri dan jalan kolektor, sedangkan dari peta probabilitas perubahan penggunaan lahan permukiman menunjukkan bahwa semakin dekat dengan jalan (warna biru tua), lahan mempunyai probabilitas yang lebih tinggi untuk berubah menjadi permukiman dibandingkan dengan daerah yang jauh dari jalan (warna kuning). Akurasi dari analisis regresi logistik biner menggunakan metode spasial ini dilihat dari nilai ROC (Reclassification of Cases), dimana nilai ROC diperoleh dari kesesuaian peta probabilitas perubahan penggunaan lahan permukiman terhadap peta perubahan penggunaan lahan permukiman. Nilai ROC sebesar 0,69 menunjukkan bahwa variabel independen fit terhadap variabel dependen (Nilai ROC = 1 menunjukkan perfect fit, nilai ROC = 0,5 menunjukkan random fit). Uji siginifikansi nilai ROC ditunjukkan dari nilai AuC (Area under Curve) sebesar 0,793. Nilai AuC adalah nilai yang diperoleh dengan menghitung perbandingan area dibawah grafik ROC terhadap keseluruhan area grafik ROC. Nilai AuC sebesar 0,793 menunjukkan bahwa peta probabilitas perubahan penggunaan lahan permukiman terhadap peta perubahan penggunaan lahan permukiman fit (Nilai Auc = 1 menunjukkan perfect fit, nilai AuC = 0,5 menunjukkan random fit)
41
Gambar 12 Peta probabilitas perubahan penggunaan lahan permukiman antara tahun 1995 sampai dengan 2012 Proyeksi Penggunaan Lahan Tahun 2028 Skenario 1 (Skenario Business as Usual tanpa ada Kebijakan Khusus) Skenario 1 adalah skenario yang menggambarkan kondisi dimana alokasi pemanfaatan ruang kurang mendapat kontrol kebijakan, yaitu seluas-luasnya diserahkan kepada masyarakat dan cenderung mengabaikan kesesuaian lahan. Asumsi yang dipergunakan dalam skenario 1 adalah bahwa setiap lahan dapat berubah penggunaannya seluas-luasnya tanpa adanya kontrol atau campur tangan kebijakan dengan mempertimbangkan kondisi eksisting dan pengaturan perubahan satu arah. Semua penggunaan lahan di kawasan Jabodetabek mempunyai peluang untuk mengalami perubahan menjadi kelas penggunaan lahan lainnya pada area-area yang diperbolehkan untuk berubah dan hanya tubuh air yang diskenariokan tidak mengalami atau sedikit mengalami terjadinya perubahan. Pengaturan perubahan satu arah yang dimaksud adalah dalam skenario ini perubahan penggunaan lahan diatur sesuai dengan logika perubahan yang mungkin terjadi. Pengaturan perubahan penggunaan lahan berupa asumsi bahwa masing-masing kelas penggunaan lahan mempunyai kecenderungan untuk berubah menjadi kelas lahan lainnya yang berbeda-beda, sebagai contoh adalah sawah mempunyai kemungkinan berubah menjadi pertanian lahan kering
42
dan permukiman tetapi sawah tidak mungkin berubah menjadi hutan. Pengaturan perubahan penggunaan lahan kelima kelas penggunaan lahan disajikan pada Tabel 19. Metode Cellular Automata digunakan dalam skenario ini pada 5 data yang dipergunakan secara bersamaan untuk menentukan perubahan penggunaan lahannya dalam hal ini perubahan nilai pixel yang ditentukan berdasarkan prinsip neighbourhood. Kelima data tersebut adalah sawah, hutan, tubuh air, pertanian lahan kering dan permukiman yang disajikan pada Gambar 13. Skenario 1 mengambarkan pengaturan tiap kelas penggunaan lahan area-area mana saja yang diperbolehkan untuk berubah diluar kondisi eksisting dan pembatasan perubahan penggunaan lahannya dan untuk skenario tubuh air menggunakan data eksisting tahun 2012 sebagai data yang paling valid menunjukkan keberadaan tubuh air.
Sawah
Hutan
Tubuh Air
Pertanian Lahan kering
Permukiman Gambar 13 Skenario perubahan penggunaan lahan berdasarkan tren perubahan penggunaan lahan, kondisi eksisting dan pengaturan perubahan satu arah
43
Kelima skenario tersebut digambarkan dalam warna-warna yang disesuaikan dengan warna pada peta penggunaan lahan. Warna menunjukkan lahan yang boleh berubah menjadi kelas penggunaan lahan lainnya, putih menunjukkan lahan yang tidak boleh berubah menjadi kelas penggunaan lahan lainnya, sedangkan merah menunjukkan batas kawasan. Hasil yang diperoleh dari pada tahapan ini adalah proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 dengan nilai kappa sebesar 0,76 yang dikategorikan sebagai good agreement. Peta hasil analisis berupa proyeksi penggunaan lahan skenario 1 yang disajikan pada Gambar 14. Penghitungan luas penggunaan lahan pada proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 dengan skenario 1 menunjukkan bahwa permukiman merupakan penggunaan lahan yang paling tinggi yaitu seluas 286.904 ha atau sebesar 42,1 %. Hutan terlihat terkonversi sangat tinggi dengan luas lahan hanya sebesar 32.308 ha atau sebesar 4,8 % (Tabel 20). Penghitungan luas penggunaan lahan berdasarkan wilayah administrasi menunjukkan bahwa Kabupaten Bogor mempunyai penggunaan lahan terluas pada hutan, permukiman dan pertanian lahan kering, sedangkan penggunaan lahan sawah dan tubuh air paling luas berada di Kabupaten Bekasi (Tabel 21). Tabel 20 Luas proyeksi penggunaan lahan Jabodetabek tahun 2028 skenario 1 Penggunaan Lahan Sawah Hutan Permukiman Pertanian Lahan Kering Tubuh Air k
Luas ha 215.012 32.308 286.904 132.262 14.356
penghitungan persen luas berdasarkan luas kawasan Jabodetabek.
%k 31.58 4,75 42,14 19,43 2,11
44
Gambar 14 Peta proyeksi penggunaan lahan Jabodetabek tahun 2028 skenario 1 Tabel 21
Luas proyeksi penggunaan lahan Jabodetabek tahun 2028 skenario 1 berdasarkan wilayah administrasi Pertanian Tubuh Hutan Permukiman Sawah Lahan kering Air Bekasi 0,4 43.145 5.757 76.562 8.701 Bogor 70.405 604 32.170 77.986 117.919 Kota Bekasi 13.064 340 994 46 Kota Bogor 0,5 9.788 1.008 434 18 Kota Depok 0,1 18.238 779 1.001 43 Kota Jakarta Barat 12.217 0,3 276 28 Kota Jakarta Pusat 4.780 0,8 13 Kota Jakarta Selatan 0,2 14.229 132 98 34 Kota Jakarta Timur 17.357 141 940 43 Kota Jakarta Utara 12.333 12 1.113 490 Kota Tangerang 16.082 26 2.048 92 Kota Tangerang Selatan 14.953 295 985 20 Tangerang 0,2 31.521 3.371 62.912 4.948
45
Skenario 2 (Skenario Konservatif) Skenario 2 adalah skenario yang dibuat dengan mengatur perubahan penggunaan lahan dengan mempertimbangkan tren perubahan penggunaan lahan antara tahun 1995 sampai dengan 2012 serta mendapat kontrol kebijakan berupa peraturan peruntukan kawasan hutan dan kesesuaian lahan. Skenario 2 berupa lima data spasial yang berisi kesesuaian lahan sawah, alokasi kawasan hutan, kondisi eksisting tubuh air tahun 2012 kesesuaian lahan pertanian lahan kering dan kesesuaian lahan permukiman (Gambar 15). Warna hijau pada gambar tersebut menunjukkan area tersebut boleh berubah sedangkan warna putih menunjukkan area yang tidak boleh berubah sesuai dengan penggunaan lahan pada masing-masing skenario tersebut. Kesesuaian lahan dalam skenario 2 ini berupa kesesuaian lahan aktual yaitu kesesuaian lahan dalam keadaan alami tanpa memperhitungkan upaya perbaikan dan tingkat pengelolaan untuk mengatasi kendala atau faktor pembatas pada lahan tersebut. Pembuatan data kesesuaian lahan ini hanya memperhitungkan data kemiringan lereng, curah hujan, jenis tanah, jenis batuan dan tekstur tanah karena keterbatasan data yang tersedia.
Kesesuaian lahan untuk sawah
Alokasi kawasan hutan
Tubuh Air
Kesesuaian lahan untuk pertanian lahan kering
Kesesuaian lahan untuk permukiman
Gambar 15 Skenario 2 (skenario konservatif)
46
Proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 skenario 2 yang dihasilkan pada tahapan ini disajikan pada Gambar 16 dengan nilai kappa sebesar 0,52 yang dikategorikan sebagai moderate agreement. Luas penggunaan lahan pada proyeksi penggunaan lahan skenario 2 menunjukkan sawah merupakan penggunaan lahan yang paling luas yaitu sebesar 234.524 ha atau sebesar 34,5 %, sedangkan luasan paling kecil adalah penggunaan lahan tubuh air seluas 22.632 ha atau sebesar 3,3 % (Tabel 22). Tabel 22 Luas proyeksi penggunaan lahan Jabodetabek tahun 2028 skenario 2 Penggunaan Lahan Sawah Hutan Permukiman Pertanian Lahan Kering Tubuh Air l
Luas ha 234.524 97.860 180.233 145.602 22.632
%l 34,5 14,4 26,5 21,4 3,3
penghitungan persen luas berdasarkan luas kawasan Jabodetabek.
Penghitungan luas penggunaan lahan berdasarkan wilayah administrasi menunjukkan bahwa Kabupaten Bogor mempunyai penggunaan lahan terluas pada hutan dan pertanian lahan kering, sedangkan penggunaan lahan sawah dan tubuh air paling luas berada di Kabupaten Bekasi (Tabel 23). Tabel 23
Luas proyeksi penggunaan lahan Jabodetabek tahun 2028 skenario 2 berdasarkan wilayah administrasi Pertanian Tubuh Hutan Permukiman Sawah Lahan kering Air Bekasi 664 18.255 9.193 94.410 11.646 Bogor 25.702 2.506 96.209 120.557 54.115 Kota Bekasi 0,4 10.138 1.296 2.913 96 Kota Bogor 746 6.952 2.469 1.026 56 Kota Depok 1,8 13.754 3.453 2.740 113 Kota Jakarta Barat 12.203 0,1 285 33 Kota Jakarta Pusat 4.792 1,5 Kota Jakarta Selatan 14.331 81,0 52 29 Kota Jakarta Timur 2,6 17.410 227 777 64 Kota jakarta Utara 11 11.504 11 1.360 1.063 Kota Tangerang 31 14.887 147 3.020 162 Kota Tangerang 0,3 13.226 570 2.390 68 Selatan Tangerang 166 17.030 7.571 71.376 6.617
47
Gambar 16 Peta proyeksi penggunaan lahan Jabodetabek tahun 2028 skenario 2 Perbandingan Kondisi Eksisting dan Proyeksi Penggunaan Lahan Pembandingan antara kondisi eksisting tahun 2012, arahan penggunaan lahan tahun 2028 skenario 1 dan skenario 2 menunjukkan bahwa pada proyeksi penggunaan lahan yang dibuat dengan skenario 1 akan menyebabkan terjadinya penurunan luas lahan hutan dan peningkatan luas lahan permukiman yang cukup tinggi, sedangkan proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 yang mendapat kontrol kebijakan menghasilkan luas permukiman menurun dan hutan meningkat. Kontrol kebijakan sangat berperan dalam mengendalikan perubahan penggunaan lahan terutama dalam mempertahankan hutan dan mengendalikan permukiman. Proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 menggunakan skenario 2 menunjukkan bahwa dengan adanya kontrol kebijakan tersebut diharapkan penggunaan lahan di masa yang akan datang lahan hutan akan bertambah sebanyak 53,5 % dan menurunkan luas lahan permukiman sebesar 11,3 % , begitu juga sebaliknya ketika kebijakan kurang diterapkan secara ketat maka permukiman akan meningkat pesat sampai sebesar 41,3 % dan luas lahan hutan menurun sampai 49,3 % (Tabel 24). Peningkatan luas lahan hutan dan penurunan luas lahan permukiman pada skenario 2 menunjukkan bahwa kondisi eksisting tahun 2012 permukiman sudah melampaui yang diharapkan sesuai dengan rencana tata ruang kawasan ini dan sebaliknya kawasan ini sangat kekurangan penggunaan lahan berupa hutan.
48
Tabel 24 Perbandingan penggunaan lahan eksisting dengan proyeksi penggunaan lahan Luas (ha)
2012
Sawah 243.515 Hutan 63.734 Permukiman 203.109 Pertanian Lahan 161.636 Kering Tubuh Air 15.579 m
Tahun Selisih dengan 2012 2028 2028 2028 %m 2028 %m S1 S2 S1 S2 215.012 234.524 -25.726 -11,7 -8.991 -3,7 32.308 97.860 -31.556 -49,3 34.126 53,5 286.904 180.234 82.606 41,3 -22.876 -11,3 132.262 145.602 -31.847 -18,2 -16.034 -9,9 14.356
22.633
-460
-7,8
7.054
45,3
penghitungan persen luas berdasarkan luas kawasan Jabodetabek.
Konsistensi Penggunaan Lahan terhadap RTR Jabodetabekpunjur Konsistensi Penggunaan Lahan Tahun 2012 Analisis konsistensi dilakukan pada peta penggunaan lahan eksisting tahun 2012 untuk melihat sejauh mana konsistensi atau kepatuhan pemanfaatan ruang tahun tersebut terhadap rencana tata ruang. Hasil yang diperoleh dari analisis tersebut adalah sebanyak 95,8 % penggunaan lahan konsisten terhadap rencana tata ruang, 3,9 % tidak konsisten dan 0,3 % tidak dilakukan analisis. Penggunaan lahan yang paling inkonsisten tahun 2012 ini berada di zona N1, N2 dan P5. Peta konsistensi penggunaan lahan eksisting tahun 2012 terhadap RTR Jabodetabekpunjur secara spasial disajikan pada Gambar 17. Zona yang mempunyai inkonsistensi paling tinggi adalah zona N1 seluas 9.913 ha atau sebesar 1,5 % dilanjutkan zona P5 seluas 6.713 ha atau sebesar 1,0 % dan zona N2 seluas 2.840 ha sebesar 0,4 % (Tabel 25). Tabel tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2012 inkonsistensi penggunaan lahan terhadap rencana tata ruang paling besar terjadi pada kawasan lindung pada zona N1 dimana sebagian besar berada di wilayah Kabupaten Bogor dan sebagian lainnya berada di Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Tangerang. Penggunaan lahan yang inkonsisten pada zona N1 tersebut berupa permukiman, pertanian lahan kering dan sawah. Zona N2 yang inkonsisten berada di Kabupaten Bogor dengan penggunaan lahan eksisting sebagian besar berupa permukiman dan sebagian lainnya pertanian lahan kering dan sawah. Zona ketiga yang inkonsisten adalah zona P5 yang ditetapkan sebagai zona perairan penyangga kawasan budidaya berada di Kabupaten Tangerang dengan penggunaan lahan didominasi oleh permukiman dan sawah sedangkan sebagian lainnya berupa pertanian lahan kering. Tabel 25
Inkonsistensi penggunaan lahan eksisting tahun 2012 terhadap RTR Jabodetabekpunjur No 1 2 3 4 5 6 7 8
Zona B5 N1 N2 P1 P2 P3 P5 P4
Luas (ha) 600 9.913 2.840 264 3,5 115 6.713 488
Luas (%) 0,1 1,5 0,4 0,0 0,0 0,0 1,0 0,1
49
Gambar 17 Peta konsistensi penggunaan lahan tahun 2012 terhadap RTR Jabodetabekpunjur Analisis konsistensi penggunaan lahan eksisting tahun 2012 terhadap RTR Jabodetabekpunjur berdasarkan wilayah administrasi menunjukkan bahwa secara keseluruhan wilayah yang paling tinggi inkonsistensinya adalah Kabupaten Tangerang sebesar 10,3 %, Kabupaten Bekasi sebesar 4,1 % dan Kabupaten Bogor sebesar 3,2 % (Tabel 26). Paling tinggi inkonsistensi penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang terjadi di zona P5 yaitu sebesar 7,0 %, Kabupaten Bekasi pada zona B5 sebesar 2,1 % dan Kabupaten Bogor pada zona N1 sebesar 2,3 % (Tabel 27). Penggunaan lahan eksisting tahun 2012 yang inkonsisten pada masing-masing zona tersebut disajikan pada Tabel 28. Tabel 26
Konsistensi penggunaan lahan eksisting tahun 2012 terhadap RTR Jabodetabekpunjur per wilayah administrasi Luas (%)n
Luas (ha) Wilayah Administrasi Bekasi Bogor Kota Bekasi Kota Bogor Kota Depok
Konsisten 128.251 288.493 14.428 11.178 19.997
Tidak Konsisten 5.576 9.681 0 0 0
Tidak Dianalisis 543 1198 16 71 65
Konsisten 95,4 96,4 99,9 99,4 99,7
Tidak Konsisten 4,1 3,2 0 0 0
Tidak Dianalisis 0,4 0,4 0,1 0,6 0,3
50 Tabel 26 (Lanjutan) Kota Jakarta Pusat Kota Jakarta Barat Kota Jakarta Selatan Kota Jakarta Timur Kota Jakarta Utara Kota Tangerang Tangerang Kota Tangerang Selatan n
4.794 12.520 14.478 18.462 13.498 18.217 92.157 16.224
0 0,9 0 0 417 0,2 10.581 0
0 0,7 16 20 34 30 260 29
100 99,9 99,9 99,9 96,7 99,8 89,5 99,8
0 0 0 0 2,9 0 10,3 0
0 0 0,1 0,1 0,2 0,2 0,3 0,2
penghitungan persen luas berdasarkan luas kawasan Jabodetabek.
Tabel 27 Sebaran inkonsistensi penggunaan lahan eksisting tahun 2012 terhadap RTR Jabodetabekpunjur Tangerang Bekasi Bogor Zona Luas (ha) Luas (%) Luas (ha) Luas (%) Luas (ha) Luas (%) N1 451 0,4 2.622 2,0 6.890 2,3 B5 3.139 3,1 2.839 1,0 2.828 2,1 P1 29 0,0 122 0,1 P4 27 0,0 P5 7.103 7,0 Tabel 28
Penggunaan lahan eksisting tahun 2012 yang inkonsisten terhadap RTR Jabodetabekpunjur Penggunaan Lahan Eksisting Wilayah Adminstrasi Tangerang (P5) Sawah, permukiman dan pertanian lahan kering Bekasi (B5) Permukiman Bogor (N1) Pertanian Lahan Kering, sawah dan permukiman
Konsistensi Proyeksi Penggunaan Lahan Tahun 2028 Skenario 1 Analisis konsistensi dilakukan pada proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 skenario 1 untuk melihat sejauh mana konsistensi atau kepatuhan penggunaan lahan tahun tersebut terhadap rencana tata ruang. Hasil yang diperoleh dari analisis tersebut adalah sebanyak 93,9 % konsisten, 5,8 % tidak konsisten dan 0,3 % tidak dilakukan analisis. Peta konsistensi proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 skenario 1 terhadap RTR Jabodetabekpunjur disajikan pada Gambar 18. Inkonsistensi paling tinggi pada proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 dengan skenario 1 ini adalah berada di zona N1 seluas 15.865 ha (1,5 %) dilanjutkan zona B5 seluas 10.143 ha (2,3 %) dan zona P5 seluas 7.192 ha (1,1 %) seperti yang disajikan pada Tabel 29. Zona N1 yang terjadi inkonsistensi sebagian besar berada di Kabupaten Bogor dan sebagian lainnya di Kabupaten Bekasi, Kabupaten Tangerang, Kota Jakarta Utara dan Kota Jakarta Barat. Sebagian besar penggunaan lahan pada zona N1 tersebut berupa permukiman, pertanian lahan kering dan sebagian kecil sawah. Zona B5 yang inkonsisten berada di Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Tangerang dengan penggunaan lahan berupa permukiman, sedangkan penggunaan lahan yang inkonsisten pada zona P5 sebagian besar berada di Kabupaten Tangerang dan sebagian kecil lainnya di Kota Jakarta Utara. Penggunaan lahan yang inkonsisten di zona P5 dimananfaatkan untuk permukiman, pertanian lahan kering dan sawah.
51
Gambar 18 Peta konsistensi proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 skenario 1 terhadap RTR Jabodetabekpunjur Tabel 29
Inkonsistensi penggunaan lahan tahun 2028 skenario 1 terhadap RTR Jabodetabekpunjur No Zona Luas (ha) Luas (%)o 1 N1 15.865 1,5 2 N2 5.776 0,9 3 B5 10.143 2,3 4 P1 148 0,0 5 P2 0,110 0,0 6 P3 167 0,0 7 P4 24 0,0 8 P5 7.192 1,1 o
penghitungan persen berdasarkan luas Jabodetabek.
Analisis konsistensi proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 skenario 1 terhadap RTR Jabodetabekpunjur berdasarkan wilayah administrasi menunjukkan bahwa wilayah yang paling tinggi terjadi inkonsistensi adalah Kabupaten Tangerang sebesar 11,6 %, Kabupaten Bekasi sebesar 10,2 % dan Kabupaten Bogor sebesar 6,2 % (Tabel 30).
52
Tabel 30 Konsistensi proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 skenario 1 terhadap RTR Jabodetabekpunjur per wilayah administrasi Luas (%p)
Luas (ha) Wilayah Administrasi
Konsisten
Bekasi Bogor Kota Bekasi
126.572 279.238 14.428
Tidak Konsisten 14.428 18.649 0,0
Tidak Dianalisis 544 1.198 16
Konsisten
Kota Bogor Kota Depok
11.178 19.997
0,0 0,0
72 65
99,4 99,7
0,0 0,0
0,6 0,3
Kota Jakarta Pusat Kota Jakarta Barat
4.794 12.520
0,0 0,9
0.0 0,7
100 100
0,0 0,0
0,0 0,0
Kota Jakarta Selatan Kota Jakarta Timur
14.478 18.462
0,0 0,0
16 20
99,9 99,9
0,0 0,0
0,1 0,1
Kota Jakarta Utara Kota Tangerang
13.496 18.217 90.581 16.224
418 0,2 11.912 0,0
34 30 260 29
96,8 99,8 88,2 99,8
3,0 0,0
0,2 0,2 0,3 0,2
Tangerang Kota Tangerang Selatan p penghitungan persen berdasarkan luas Jabodetabek.
89,4 93,4 99,9
Tidak Konsisten 10,2 6,2 0,0
Tidak Dianalisis 0,4 0,4 0,1
11,6 0,0
Inkonsistensi paling tinggi di Kabupaten Tangerang terjadi pada zona P5 yaitu sebesar 1,1 %, Kabupaten Bekasi pada zona B5 sebesar 0,7 % dan Kabupaten Bogor pada zona N1 sebesar 1,9 % (Tabel 31). Penggunaan lahan eksisting tahun 2012 yang berpotensi inkonsisten pada proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 skenario 2 ditunjukkan pada Tabel 32 yang memperlihatkan bahwa pada tahun 2012 sudah terjadi inkonsistensi penggunaan lahan terhadap rencana tata ruang pada zona tersebut. Tabel 31 Sebaran inkonsistensi proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 skenario 1 terhadap RTR Jabodetabekpunjur per wilayah administrasi Zona Tangerang Bekasi Bogor Luas (ha) Luas (%) Luas (ha) Luas (%) Luas (ha) Luas (%) N1 506 0,1 2.593 0,4 12.762 1,9 N2 5.776 0,9 B5 5.178 0,8 4.965 0,7 P1 27 0,0 120 0,0 P4 25 0,0 P5 7.159 1,1 Tabel 32 Penggunaan lahan eksisting tahun 2012 yang berpotensi inkonsisten pada proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 skenario 1 Wilayah Adminstrasi dan Penggunaan Lahan Zona Tangerang (P5) Permukiman, sawah dan pertanian lahan kering Bekasi (B5) Permukiman Bogor (N1) Pertanian lahan kering, sawah dan permukiman
53
Konsistensi Proyeksi Penggunaan Lahan Tahun 2028 Skenario 2 Analisis konsistensi dilakukan pada proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 skenario 2 untuk melihat sejauh mana konsistensi penggunaan lahannya terhadap rencana tata ruang. Hasil yang diperoleh dari analisis tersebut adalah sebanyak 97,4 % konsisten, 2,2 % tidak konsisten dan 0,3 % tidak analisis. Zona P5 merupakan zona yang paling tinggi inkonsisten terhadap rencana tata ruang dengan luas 7.205 ha atau sebesar 1,1 % dilanjutkan dengan zona N1 seluas 4.529 ha atau sebesar 0,7 % dan yang ketiga adalah zona B5 dengan luas 2.297 atau sebesar 0,3 % (Tabel 33). Hasil analisis konsistensi proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 skenario 2 terhadap RTR Jabodetabekpunjur berdasarkan wilayah administrasi disajikan pada Gambar 19 dan Tabel 34 yang menunjukkan bahwa wilayah yang paling tinggi terjadi inkonsistensi adalah Kabupaten Tangerang (8,5 %), Kabupaten Bogor (1,5 %) dan Kabupaten Bekasi sebesar 1,3 %. Penggunaan lahan eksisting tahun 2012 yang berpotensi inkonsisten pada proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 skenario 2 disajikan pada Tabel 35 dimana pada tabel tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2012 di areaarea yang inkonsisten pada proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 skenario 2, sudah terjadi inkonsistensi penggunaan lahan. Tabel 33
Inkonsistensi penggunaan lahan 2028 skenario 2 terhadap RTR Jabodetabekpunjur No 1 2 3 4 5 6 7 8 q
Zona N1 N2 B5 P1 P2 P3 P4 P5
Luas (ha) 4.529 1.156 2.297 12 0,001 86 2 7.205
Luas (%)q 0,7 0,2 0,3 0,0 0,0 0,0 0,0 1,1
penghitungan persen berdasarkan luas Jabodetabek.
54
Gambar 19 Peta konsistensi proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 skenario 2 terhadap RTR Jabodetabekpunjur Tabel 34 Konsistensi proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 skenario 2 terhadap RTR Jabodetabekpunjur per wilayah administrasi Tidak Dianalisis 0,4 0,4 0,1 0,6 0,3
Bekasi Bogor Kota Bekasi Kota Bogor Kota Depok
131.842 293.424 14.428 11.178 19.997
Kota Jakarta Pusat Kota Jakarta Barat Kota Jakarta Selatan Kota Jakarta Timur Kota Jakarta Utara Kota Tangerang
4.794 12.520 14.478 18.462 13.727,9 18.216,8
0,0 0,9 0,0 0,0 184,1 0,3
0,0 0,7 156 20 34,1 30,3
100,0 100,0 99,9 99,9 98,4 99,8
0,0 0,0 0,0 0,0 1,3 00
0,0 0,0 0,1 0,1 0,2 0,2
Tangerang Kota Tangerang Selatan
93.801,0 16.224,0
8.691,9 0,0
259,8 29,4
91,3 99,8
8,5 0,0
0,3 0,2
Wilayah Administrasi
r
98,3 98,1 99,9 99,4 99,7
Luas (%)r Tidak Konsisten 1,3 1,5 0,0 0,0 0,0
Luas (ha) Tidak Konsisten 1.776 4.461 0,0 0,0 0,0
Konsisten
penghitungan persen berdasarkan luas Jabodetabek.
Tidak Dianalisis 543 1.198 16 72 65
Konsisten
55
Tabel 35 Penggunaan lahan eksisting tahun 2012 yang berpotensi inkonsisten pada proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 skenario 2 Wilayah Adminstrasi dan Zona Tangerang (P5) Bogor (N1) Bekasi (N1)
Penggunaan Lahan Sawah, permukiman, hutan, pertanian lahan kering Pertanian lahan kering, sawah, permukiman Permukiman, sawah, pertanian lahan kering
Perbandingan Konsistensi Penggunaan Lahan Tahun 2012 dan Proyeksi Penggunaan Lahan tahun 2028 Konsistensi penggunaan lahan terhadap RTR selain menunjukkan seberapa tinggi tingkat kepatuhan penggunaan lahan terhadap pengaturannya juga menunjukkan seberapa tinggi tingkat pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan ini. Perbandingan konsistensi penggunaan lahan eksisting tahun 2012, proyeksi penggunaan lahan skenario 1 dan skenario 2 dilakukan untuk melihat nilai konsistensi proyeksi penggunaan lahan tanpa dan dengan kontrol kebijakan dan membandingkannya dengan kondisi eksisting (Tabel 36). Tabel 36 Perbandingan konsistensi penggunaan lahan terhadap RTR Jabodetabekpunjur 2012 (%)a Skenario 1 (%)a Skenario 2 (%)a Kriteria Konsisten 93,9 94,1 97,4 Tidak Konsisten 5,8 5,6 2,3 Tidak Dianalisis 0,3 0,3 0,3 a
penghitungan persen berdasarkan luas Jabodetabek.
Konsistensi penggunaan lahan terhadap RTR Jabodetabekpunjur pada kondisi eksisting tahun 2012 menunjukkan tingkat kepatuhan sudah mencapai 95,8 %. Proyeksi penggunaan lahan skenario 1 dimana penggunaan lahan diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar tanpa kendali kebijakan, nilai konsistensi nya menurun hingga 93,9 dan sebaliknya pada proyeksi penggunaan lahan skenario 2, ketika penggunaan lahan dikontrol dengan kendali kebijakan nilai konsistensi nya naik hingga mencapai 97,4 %. Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan ruang atau penggunaan lahan yang dikontrol dengan kebijakan, nilai konsistensi terhadap rencana tata ruang akan semakin meningkat yang berarti juga bahwa penyusunan rencana tata ruang kawasan Jabodetabek disusun dengan mempertimbangkan kesesuaian lahan dan peruntukan kawasan hutan. Wilayah-wilayah administrasi yang mengalami inkonsistensi paling tinggi pada tahun 2012, tahun 2028 skenario 1 dan tahun 2028 skenario 2 menunjukkan wilayah administrasi yang sama yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Bekasi. Zona yang mengalami inkonsistensi paling tinggi pada kondisi eksisting tahun 2012 juga terjadi pada zona-zona di skenario 1, sedangkan pada skenario 2 terlihat ada perbedaan zona-zona yang mengalami inkonsistensi dengan kondisi eksisting tahun 2012. Hal ini menunjukkan pada skenario 1 kontrol penggunaan lahan tidak berjalan dan perubahan penggunaan lahan cenderung mengikuti tren, sedangkan perbedaan zona pada skenario 2 terhadap zona-zona pada kondisi eksisting menunjukkan zona-zona yang perlu diwaspadai dimana walaupun kebijakan sudah diterapkan zona-zona tersebut masih berpotensi terjadi inkonsistensi penggunaan lahan.
56
Ketiga wilayah tersebut yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Bekasi beserta zona-zona yang mengalami inkonsistensi baik di tahun 2012 maupun potensi inkonsistensi di tahun 2028 memerlukan kebijakan dalam mengontrol pemanfaatan ruangnya untuk meminimalisir terjadinya inkonsistensi penggunaan lahan terhadap rencana tata ruangnya. Perbandingan kondisi eksisting dan proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 skenario 1 dan 2 yang mengalami inkonsistensi paling tinggi pada ketiga wilayah administrasi tersebut disajikan pada Tabel 37. Tabel 37 Perbandingan wilayah administrasi dan zona yang inkonsisten paling tinggi terhadap RTR Jabodetabekpunjur 2012 Bogor (N1) Bekasi (B5) Tangerang (P5)
NO 1 2 3
Skenario1 Bogor (N1) Bekasi (B5) Tangerang (P5)
Skenario2 Tangerang (P5) Bogor (N1) Bekasi (N1)
Potensi Inkonsistensi Penggunaan Lahan di Jabodetabek Potensi inkonsistensi di kawasan Jabodetabek adalah kondisi yang membandingkan antara proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 dengan skenario 1 terhadap proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 dengan skenario 2. Analisis ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat potensi terjadinya inkonsistensi di masa yang akan datang. Analisis dilakukan dengan melihat penggunaan lahan yang tetap konsisten terhadap RTR ketika mendapatkan kontrol kebijakan dibandingkan dengan penggunaan lahan yang tidak konsisten terhadap RTR ketika penggunaan lahan tersebut tidak dikontrol dengan kebijakan. Asumsi yang dipergunakan untuk melihat potensi inkonsistensi adalah penggunaan lahan yang tidak konsisten pada proyeksi tahun 2028 skenario 1 tetapi konsisten pada proyeksi tahun 2028 skenario 2. Hasil yang diperoleh dari analisis ini adalah informasi wilayah administrasi dan zona-zona yang mempunyai potensi terjadinya inkonsistensi di masa yang akan datang. Potensi inkonsistensi secara spasial digambarkan pada Gambar 20 dan secara tabular disajikan pada Tabel 38. Potensi inkonsistensi terjadi pada kawasan lindung yaitu zona N1 dan N2 sedangkan pada kawasan budidaya, potensi inkonsistensi sebagian besar terjadi pada zona penyangga kawasan budidaya yang berupa perairan (P2, P4, P3 dan P5). Penggunaan lahan pada zona P tersebut berupa kawasan tambak dan hutan mangrove yang rentan untuk dibudidayakan menjadi penggunaan lahan seperti sawah, pertanian lahan kering bahkan permukiman. Kawasan budidaya yang berpotensi inkonsisten adalah zona B5 yang diarahkan untuk menjadi lahan pertanian tetapi berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai permukiman. Tabel 38 Potensi inkonsistensi penggunaan lahan di Kawasan Jabodetabek No 1 2 3 4
Wilayah Administrasi dan Zona RTR Kabupaten Bogor (N1 dan N2) Kabupaten Bekasi (N1, B5, P1 dan P4) Kabupaten Tangerang (N1,B5, P1 dan P5) Kota Jakarta Utara (N1, P2, P3 dan P5)
Luas (ha) 14.371 6.058 4.440 239
57
Gambar 20 Peta potensi inkonsistensi penggunaan lahan tahun 2028 di Kawasan Jabodetabek Potensi inkonsistensi di Kawasan Jabodetabek secara rinci disajikan pada Lampiran 6 yang menunjukkan bahwa di Kabupaten Bogor zona yang diarahkan untuk hutan berpotensi menjadi permukiman, pertanian lahan kering dan sawah berada di selatan Kabupaten Bogor terutama di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Kondisi eksisting tahun 2012 menunjukkan pada zona tersebut telah terjadi inkonsistensi penggunaan lahan dimana lahan yang diarahkan untuk hutan dimanfaatkan untuk pertanian lahan kering dan sawah.
58
Di Kabupaten Bekasi, area yang inkonsisten berada di arah timur dan utara Kabupaten Bekasi. Penggunaan lahan di sebelah timur diarahkan sebagai kegiatan budidaya sawah dan pertanian lahan kering tetapi berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai permukiman, sedangkan penggunaan lahan di wilayah utara yang diarahkan untuk hutan yaitu berupa hutan mangrove berpotensi dimanfaatkan sebagai sawah, pertanian lahan kering dan juga permukiman. Kondisi eksisting tahun 2012 menunjukkan bahwa pada area tersebut saat ini sudah terjadi inkonsistensi penggunaan lahan berupa permukiman di wilayah timur, sedangkan di wilayah utara saat ini dimanfaatkan sebagai sawah, pertanian lahan kering dan permukiman. Kabupaten Tangerang mempunyai potensi inkonsistensi pada zona yang diarahkan untuk hutan, sawah dan pertanian lahan kering. Zona-zona tersebut berpotensi untuk digunakan sebagai permukiman, sedangkan untuk zona yang diarahkan sebagai zona perairan perairan penyangga budidaya berpotensi untuk dipergunakan sebagai sawah dan pertanian lahan kering. Area yang berpotensi terjadi inkonsistensi penggunaan lahan berada di wilayah barat laut dan utara Kabupaten Tangerang. Kota Jakarta Utara mempunyai potensi inkonsistensi pada zona yang diarahkan untuk hutan dan tubuh air. Potensi tersebut berupa penggunaan lahan permukiman dan pertanian lahan kering pada zona yang diarahkan untuk hutan, sedangkan untuk zona yang diarahkan untuk tubuh air berpotensi untuk dipergunakan sebagai permukiman, pertanian lahan kering dan sawah. Area yang berpotensi terjadinya inkonsistensi berada di wilayah utara yaitu di Kecamatan Penjaringan, Kecamatan Pademangan, Kecamatan Tanjung Priok dan Kecamatan Cilincing. Area-area kecamatan yang berpotensi inkonsistensi penggunaan lahan disajikan pada Tabel 39. Tabel 39 Wilayah administrasi kecamatan yang berpotensi terjadinya inkonsistensi penggunaan lahan terhadap RTR Jabodetabekpunjur No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Kab. Bogor Pangkalan Cariu Tegalwaru Tanjungsari Jonggol Klapanunggal Sukamakmur Citeureup Babakanmadang Sukaraja Megamendung Cipanas Cisarua Ciawi Caringin Cicurug Cigombong Cijeruk Tamansari Tenjolaya Pamijahan Leuwiliang Nanggung Lebakgedong Sukajaya Jasinga
Kab. Bekasi Muaragembong Babelan Tarumajaya Sukawangi Cabangbungin Sukakarya Tambun Utara Tambelang Cibitung Sukatani Karangbahagia Pebayuran Kedungwaringin Cikarang Utara Cikarang Timur
Kab. Tangerang Mekarbaru Kronjo Kemiri Pakuhaji Teluknaga Kemiri Mauk Sukadiri Sepatan Kosambi Benda Batuceper Sepatan Timur Rajeg Pasarkemis Sindangjaya Cikaler Cikande Sukamulya Kresek Jayanti Balaraja
Kota Jakarta Utara Penjaringan Pademangan Tanjung Priok Cilincing
59
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Perubahan penggunaan lahan periode tahun 1995 sampai dengan 2012 didominasi oleh konversi penggunaan lahan pertanian menjadi non pertanian yaitu permukiman. Kelas penggunaan lahan yang mengalami penurunan luas lahan paling tinggi adalah hutan sebesar 9,6 % dan menjadikan luasan hutan turun ke urutan keempat pada tahun 2012 dari urutan ketiga pada tahun 1995. Kelas penggunaan lahan yang mengalami peningkatan cukup tinggi adalah permukiman yaitu sebesar 16,2 % yang menjadikan urutan luas lahan meningkat dari urutan keempat pada tahun 1995 menjadi urutan kedua pada tahun 2012. Pola perubahan penggunaan lahan periode 1995 sampai dengan 2012 memperlihatkan terjadinya peningkatan lahan permukiman yang mengarah ke timur, barat dan selatan Jakarta. Pola tersebut terlihat mengikuti pola struktur jalan yang menghubungkan Jakarta dengan wilayah-wilayah di sekitarnya yaitu Bekasi, Tangerang dan Bogor dimana jalan tol merupakan jalan yang mempunyai pengaruh pada peningkatan lahan permukiman yang lebih tinggi daripada jalan arteri dan kolektor. Proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 dibuat selain untuk melihat penggunaan lahan di masa yang akan datang, juga dipergunakan untuk melihat seberapa jauh pengendalian pemanfaatan ruang diterapkan dari nilai konsistensi. Proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 dibuat dalam dua skenario yaitu tanpa kontrol kebijakan dan dengan kontrol kebijakan. Hasil dari kedua skenario tersebut dipergunakan untuk melihat potensi inkonsistensi yang diperlukan sebagai salah satu masukan dalam pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan ini. Proyeksi penggunaan lahan tanpa kontrol kebijakan memperlihatkan bahwa pada tahun 2028 terjadi peningkatan lahan permukiman sebesar 41,3 % dan penurunan lahan hutan sebesar 49,5 %, sedangkan proyeksi penggunaan lahan dengan kontrol kebijakan menunjukkan bahwa pada tahun 2028 permukiman sudah melebihi harapan pengaturan ruang kawasan sebesar 11,3 % dan hutan dibutuhkan penambahan sebesar 53,5 % dari kondisi eksisting tahun 2012. Kontrol dari proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 dilihat dari nilai konsistensi penggunaan lahan terhadap RTR. Nilai konsistensi ini menunjukan tingkat kepatuhan penggunaan lahan terhadap pengaturan pemanfaatan ruang dalam RTR. Nilai konsistensi penggunaan lahan eksisting tahun 2012 adalah sebesar 95,8 % sedangkan nilai konsistensi pada proyeksi penggunaan lahan tahun 2028 dengan skenario 1 turun menjadi 93,9 % dan pada skenario 2 naik menjadi 97,4 %. Hal ini menunjukkan bahwa ketika penggunaan lahan hanya mengikuti tren perubahan penggunaan lahan tanpa kontrol atau kendali dari kebijakan akan menurunkan nilai konsistensi penggunaan lahan terhadap rencana tata ruang dan sebaliknya ketika penggunaan lahan mendapatkan kontrol atau kendali dari kebijakan akan meningkatkan nilai konsistensi dan dengan demikian upaya untuk mencapai tujuan penataan ruang yaitu konservasi lingkungan dan keberlanjutan sumberdaya di kawasan ini dapat lebih tercapai.
60
Potensi inkonsistensi penggunaan lahan terhadap rencana tata ruang kawasan ini terjadi di Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Tangerang dan Kota Jakarta Utara. Zona yang berpotensi terjadi inkonsistensi adalah di kawasan lindung yaitu zona N1 dan N2, kawasan budidaya zona B5 dan kawasan penyangga budidaya P1, P2, P3, P4 dan P5. Potensi inkonsistensi penggunaan lahan sebagian besar terjadi di area yang diarahkan untuk hutan dan perairan penyangga budidaya yang berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai sawah, pertanian lahan kering dan permukiman.
Saran 1. Jalan mempunyai pengaruh yang cukup siginifikan terhadap perubahan penggunaan lahan di kawasan Jabodetabek. Pertumbuhan jaringan jalan harus mendapat perhatian yang tinggi dalam pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan Jabodetabek terutama untuk mengendalikan peningkatan penggunaan lahan permukiman. 2. RTRW dan RDTR yang harmonis antar wilayah administrasi di kawasan Jabodetabek sangat diperlukan untuk mendukung keberlanjutan sumberdaya di kawasan ini. Kondisi RTRW yang belum padu serasi antar masing-masing wilayah administrasi berpotensi menyebabkan kerusakan kelestarian lingkungan karena ketidakkonsistenan arahan peruntukan pada zona yang sama di perbatasan wilayah adminstrasi tersebut. RTRW dan RDTR masing-masing wilayah administrasi sebaiknya disusun mengacu pada RTR Jabodetabekpunjur sebagai arahan pemanfaatan ruang satu kawasan. 3. Pengendalian penggunaan lahan kawasan Jabodetabek membutuhkan perhatian yang tinggi terutama di wilayah selatan Kabupaten Bogor, wilayah timur dan utara Kabupaten Bekasi, wilayah barat daya dan utara Kabupaten Tangerang serta wilayah utara Kota Jakarta Utara. Zona yang paling mendapat perhatian yang tinggi adalah kawasan yang diarahkan untuk hutan dan kawasan perairan penyangga budidaya. 4. Hasil-hasil yang diperoleh dari penelitian ini bisa dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan dalam proses revisi RTR KSN Jabodetabekpunjur dan proses review RTRW Kabupaten/Kota di Jabodetabek menuju proses revisi.
61
DAFTAR PUSTAKA Agresti, A. 1984. Analysis of Ordinal Categorical Data. Wiley Series in Probability and Mathematical Statistics. Florida (US): University of Florida. Anselin, L. 1988. Spatial Econometrics: Methods and Models. Boston (US): Kluwer Academic. Arsanjani JJ, Helbich M, Kainz W, Boloorani AD. 2011. Integration of Logistic Regression, Markov Chain and Cellular Automata Models to Simulate Urban Expansion. Amsterdam (NL): Elsevier-International Journal of Geography. 265-275. 10.1016/j.jag.2011.12.014. Arsyad, S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID): IPB Pr. [Bappeda DKI Jakarta] Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Provinsi DKI Jakarta. 2013. DKI Jakarta dalam Angka. Jakarta (ID): Bappeda DKI Jakarta. Bintarto, R. 1987. Urbanisasi dan Permasalahannya. Yogyakarta (ID): Ghalia Indonesia. Bhatta, B. 2010. Analysis of Urban Growth and Sprawl from Remote Sensing Data. New York (US): Springer. [BKPRN] Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional. 2013. Materi Review Perpres No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Jabodetabekpunjur. Jakarta (ID): BKPRN. [CRESPENT/P4W] Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah-IPB. 2010. Recent Development of Jabodetabek Region (Jakarta Megacity): The Dynamics of Population, Economic Hegemony and LUCC Forecasting. Bogor (ID): P4W-IPB Daryanto A, Hafizrianda Y. 2010. Model-model Kuantitatif untuk Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah. Bogor (ID): IPB Pr. Dewan AM, Corner RJ. 2014. Spatiotemporal Analysis of Urban. Megacity Geospatial Perspectives on Urbanisation. New York (US): Springer. [DPU] Departemen Pekerjaan Umum. 2006. Metropolitan di Indonesia–Kenyataan dan Tantangan dalam Penataan Ruang. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Penataan Ruang – Departemen Pekerjaan Umum. [DPU] Departemen Pekerjaan Umum. 2008. Wajah Penataan Ruang Kawasan Metropolitan. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Penataan Ruang–Departemen Pekerjaan Umum. Firman T, Soegijoko S. 2005. Urbanisasi dan Pembangunan Perkotaan di Indonesia dalamBunga Rampai: Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21–Konsep dan Pendekatan Pembangunan Perkotaan di Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan Sugijanto Soegijoko dan Urban and Regional Development Institute (URDI). Fitriani R, Harris M. 2011. The Extent Of Sprawl In The Fringe Of Jakarta Metropolitan Area From The Perspective Of Externalities. Melbourne (AU). Australian Agricultural and Resource Economics Society Conference. Hadi M, Siva KB, Jamal, Christopher TBS, Alias MS, Karim A. 2012. Validation of CA-Markov for Simulation of Land Use and Cover Change in the Langat Basin. Malaysia (MY). Journal of Geographic Information System. 4:542-554. doi:10.4236/jgis.2012.46059. Hakim, I. 2010. Struktur Ruang dan Isu Keberlanjutan Perkotaan di Jabodetabek. Jakarta (ID): Majalah Perencanaan Pembangunan.
62
Hardjowigeno S, Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Lahan. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Kityuttachai K, Tripathi NK, Tipdecho T, Shrestha R. 2013. CA-Markov Analysis of Constrained Coastal Urban Growth Modeling: Hua Hin Seaside City, Thailand. Amsterdam (NL): Sustainability-International Journal. 2013 (5):1480-1500. doi:10.3390/su5041480. Lillesand, Kieffer. 2004. Remote Sensing and Image Interpretation. USA (US): John Wiley & Sons, Inc. Peter ES, Glenn RM. 2014. Factors Driving Land Use Change and Forest Distribution on The Coastal Plain Of Mississippi, USA. Amsterdam (NL): ElsevierLandscape and Urban Planning Journal. 2014 (121):55-64. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta (ID): Crestpent Pr.dan Yayasan Obor Indonesia Rustiadi E, Panuju DR. 2002. Spatial Pattern of Suburbanization and Land Use Change Process: Case Study in Jakarta Suburb. In Yukio Himiyama et.al, Land Use Changes in Comparative Perspective. Enfield (USA) and Plymouth (UK): Science Publishers, Inc. Scardaccione G, Scorza F, Las Casas G, Murgante B. 2010. Spatial Autocorrelation Analysis for the Evaluation of Migration Flows: The Italian Case. Berlin (DE): Springer. 62-76. Suliyanto. 2011. Ekonometrika Terapan: Teori dan Aplikasi dengan SPSS. Yogyakarta (ID): Penerbit Andi. Susantono B. 1998. Transportation Land Use Dynamics in Metropolitan Jakarta. Berkeley (US): Department of City and Regional Planning-Berkeley Planning Journal. 12(1):126-144. [Tim MPA] Tim Metropolitan Priority Area. 2012. Jabodetabek MPA Strategic Plan. Jakarta (ID): Kementerian Koordinator Perekonomian Republik Indonesia. Trisasongko BH, Panuju DR, Iman LS, Harimurti, Ramly AF, Anjani V, Subroto H. 2009. Analisis Dinamika Konversi Lahan di Sekitar Jalur Tol Cikampek. Jakarta (ID): Kementerian Lingkungan Hidup dan P4W-IPB. [UN] United Nations. 2013. Press Release World Populations Projected Year 2012. Population Division United. New York (US): UN. [UN] United Nations. 2005. World Urbanization Prospects. Population Division United Nations. New York (US): UN. Wicaksono A. 2011. Faktor Dominan Pembentuk Struktur kota di Wilayah Jabodetabek. Skripsi. Fakultas MIPA-Program Studi Geografi. Jakarta: Universitas Indonesia Wijaya MS, Susilo B. 2012. Integrasi Model Spasial Cellular Automata dan Regresi Logistik Biner Untuk Pemodelan Dinamika Perkembangan Lahan Terbangun. Yogyakarta (ID): Fakultas Geografi–Universitas Gadjah Mada. Winarso H. 2011. Urban Dualism in the Jakarta. In Sorensen A and Okata J, Megacities, Urban Form, Governance and Sustainability. New York (US): Springer. Yunus HS. 2006. Megapolitan, Konsep, Problematika dan Prospek. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar. Yunus HS. 2008. Dinamika Wilayah Peri Urban–Determinan Masa Depan Kota. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar.
63
LAMPIRAN
64
65 Lampiran 2 Peta perubahan penggunaan lahan permukiman antara tahun 1995 sampai dengan tahun 2012 sebagai variabel dependen dalam regresi logistik biner
66 Lampiran 3 Peta variabel independen dalam analisis regresi logistik (jalan arteri)
67 Lampiran 4 Peta variabel independen dalam analisis regresi logistik (jalan kolektor)
68 Lampiran 5 Peta variabel independen dalam analisis regresi logistik (jalan tol)
69 Lampiran 6 Potensi inkonsistensi penggunaan lahan di Kawasan Jabodetabek No 1
Wilayah Administrasi Kabupaten Bogor
2028 S1* Permukiman Pertanian lahan kering Sawah Permukiman Pertanian lahan kering Sawah
Hutan Hutan Hutan Tubuh air Tubuh air Tubuh air
2
Kabupaten Bekasi
Permukiman Pertanian lahan kering Sawah Permukiman Permukiman Pertanian lahan kering Sawah
Hutan Hutan Hutan Pertanian lahan kering Tubuh air Tubuh air Tubuh air
3
Kabupaten Tangerang
Permukiman Sawah Permukiman Permukiman Permukiman Pertanian lahan kering Sawah
Hutan Hutan Pertanian lahan kering Sawah Tubuh air Tubuh air Tubuh air
4
Kota Jakarta Utara
Permukiman Pertanian lahan kering Sawah Permukiman Pertanian lahan kering Sawah
Hutan Hutan Hutan Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air
2028 S2**
Pemanfaatan penggunaan lahan tahun 2028 yang tidak konsisten dengan RTR Jabodetabekpunjur. Pemanfaatan penggunaan lahan tahun 2028 yang konsisten dengan RTR Jabodetabekpunjur.
*
**
70
1
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 9 November 1981 di Pekalongan, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari ayah H. Zakaria Anshory, Bk.Teks dan Ibu Dra. Endang Setyatmini. Pendidikan dasar ditempuh oleh penulis di SDN Keputran VI Pekalongan lulus tahun 1993, pendidikan menengah ditempuh di SMPN 02 Pekalongan lulus tahun 1996 serta pendidikan menengah atas ditempuh oleh penulis di SMUN 1 Pekalongan jurusan Ilmu Pengetahuan Alam dan lulus tahun 1999. Pendidikan sarjana ditempuh oleh penulis di Universitas Gadjah Mada, Fakultas Teknik - Jurusan Teknik Geodesi, mulai tahun 1999 dan lulus tahun 2003. Penelitian tugas akhir atau skripsi yang disusun oleh penulis mengambil lokasi di Kabupaten Saat ini penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Badan Informasi Geospasial sejak tahun 2004. Kedudukan penulis saat ini adalah staf di Pusat Pemetaan Batas Wilayah Badan Informasi Geospasial.