PERENCANAAN INTERPRETASI BERBASIS KONSERVASI BAMBU SEBAGAI BAHAN BAKU ANGKLUNG DI SAUNG ANGKLUNG UDJO
PANCA OKTAWIRANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perencanaan Interpretasi Berbasis Konservasi Bambu di Saung Angklung Udjo adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2013 Panca Oktawirani NIM E 352100031
ABSTRAK PANCA OKTAWIRANI. Perencanaan Interpretasi Berbasis Konservasi Bambu di Saung Angklung Udjo. Dibimbing oleh E.K.S. HARINI MUNTASIB dan ERVIZAL A.M. ZUHUD. Saung Angklung Udjo, salah satu pusat pelestarian angklung di Jawa Barat, berkepentingan untuk menjaga kelestarian keempat jenis bambu (bambu Hitam, bambu Gombong, bambu Temen, dan bambu Tali) sebagai bahan baku angklung sekaligus menyampaikan informasi kepada pengunjung untuk mengenal sumber daya tersebut. Penelitian ini bertujuan menyusun rencana interpretasi yang berbasis konservasi bambu sebagai bahan baku angklung di Saung Angklung Udjo. Metode yang dikembangkan menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan perencanaan interpretasi Sharpe yaitu menuliskan tujuan, mengumpulkan informasi, menganalisa, memadukan alternatif yang ada, pelaksanaan program, evaluasi, dan perbaikan. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder yang meliputi jenis dan karakteristik bambu, proses pengolahan bambu menjadi alat musik angklung, dan upaya konservasi yang dapat melibatkan pengunjung di Saung Angklung Udjo. Data dikumpulkan melalui observasi, studi literatur, dan wawancara dengan tiga informan dan 50 responden. Kondisi kawasan dan data yang diperoleh digunakan sebagai bahan untuk membuat perencanaan interpretasi di Saung Angklung Udjo. Terdapat empat jenis bambu yang digunakan sebagai bahan baku angklung yaitu bambu hitam (Gigantochloa atroviolaceae), bambu gombong (Gigantochloa pseudoarundinaceae), bambu temen (Gigantochloa atter), dan bambu tali (Gigantochloa apus). Keempat jenis bambu tersebut memiliki sifat fisik dan anatomi yang cocok sebagai angklung. Pengadaan bambu sebagai bahan baku angklung masih diperoleh melalui pengambilan dari alam dan belum dilakukan budidaya yang intensif. Kondisi ini mempengaruhi keberadaan keempat jenis bambu yang semakin sulit ditemukan. Konservasi jenis bambu sebagai bahan baku angklung perlu dilakukan sebagai upaya mempertahankan keberadaan jenis bambu dan kesenian angklung. Pengelola dan mitra petani (pemanen) perlu melakukan upaya konservasi bambu. Salah satu upaya yang dapat dilakukan pengelola Saung Angklung Udjo yaitu menyampaikan informasi terkait jenis dan karakteristik bambu, upaya pengolahan bambu menjadi angklung serta upaya konservasi bambu kepada pengunjung yang datang ke Saung Angklung Udjo. Bentuk perencanaan interpretasi yang dikembangkan berupa program dan fasilitas interpretasi berbasis konservasi bambu sebagai bahan baku angklung. Program dan papan interpretasi yang dikembangkan diarahkan untuk meningkatkan apresiasi pengunjung terhadap konservasi bambu sebagai bahan baku angklung. Kata kunci: interpretasi, konservasi bambu, saung angklung udjo
ABSTRACT PANCA OKTAWIRANI. Interpretive Planning Based on Bamboo Conservation as Angklung Raw Material at Saung Angklung Udjo. Supervised by E.K.S. HARINI MUNTASIB and ERVIZAL A.M. ZUHUD Saung Angklung Udjo is one of the conservation of angklung where focused in West Java, It concerned to preserve the four types of bamboo (Black bamboo, Gombong bamboo, Temen bamboo, and Tali bamboo) which identified as angklung raw materials also to communicate information to visitors to get to know these resources. This study aims to develop a conservation plan based interpretation of bamboo as a raw material at Saung Angklung Udjo. The method was developed using qualitative descriptive methods to approach the interpretation of Sharpe is make objective, collection information, analysing, synthesis, plan, implementation, evaluation & revision, and feedback. Data were collected in the form of primary and secondary data including the type and characteristics of bamboo, bamboo processing into a musical instrument angklung, and conservation efforts that may involve visitors in Saung Angklung Udjo. Data were collected through observation, study of literature, and interviews with three informants and 50 respondents. The data obtained is used to make planning interpretation at Saung Angklung Udjo. There are four types of bamboo used as angklung raw materials namely black bamboo (Gigantochloa atroviolaceae), gombong bamboo (Gigantochloa pseudoarundinaceae), temen bamboo (Gigantochloa atter), and Tali bamboo (Gigantochloa apus). Fourth bamboo has physical properties and anatomy suitable as an angklung musical instrument. Procurement bamboo as angklung raw material was obtained by taking from nature and has not done the intensive cultivation. This condition affects the existence of four types of bamboo are increasingly rare. Conservation bamboo species as angklung raw material needs to be done in order to maintain the existence and type of angklung art. Business partners and farmer (harvesters) have bamboo conservation efforts. One effort can to do Saung Angklung Udjo managers through the delivery of information related to the type and characteristics of bamboo, bamboo processing effort into conservation efforts bamboo to the visitor. Forms of interpretation that was developed in the form of plans and programs based interpretation facilities conservation angklung bamboo as raw material. Program and interpretation boards are developed to enhance the appreciation of visitors directed to the conservation of bamboo as angklung raw material. Keywords:conservation of bamboo, interpretation, saung angklung udjo
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERENCANAAN INTERPRETASI BERBASIS KONSERVASI BAMBU SEBAGAI BAHAN BAKU ANGKLUNG DI SAUNG ANGKLUNG UDJO
PANCA OKTAWIRANI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Dr. Ir. Naresworo Nugroho MS
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2012 ini ialah Perencanaan Interpretasi, dengan judul Perencanaan Interpretasi Berbasis Konservasi Bambu sebagai Bahan Baku Angklung di Saung Angklung Udjo. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr E.K.S Harini Muntasib dan Bapak Prof Dr Ir Ervizal A.M. Zuhud selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir Naresworo Nugroho selaku dosen penguji. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada pengelola Saung Angklung Udjo yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, suami, teman-teman MEJ 2010, serta seluruh kerabat, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2013 Panca Oktawirani
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ....................................................................................................... DAFTAR TABEL ............................................................................................... DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... 1 PENDAHULUAN ...................................................................................... Latar Belakang ............................................................................................. Perumusan Masalah ..................................................................................... Tujuan Penelitian ......................................................................................... Manfaat Penelitian ....................................................................................... Kerangka Teori ............................................................................................ 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. Pengertian Interpretasi ................................................................................ Perencanaan Interpretasi ............................................................................. Teknik Interpretasi ...................................................................................... Program Interpretasi .................................................................................... Makna Konservasi ....................................................................................... Tri Stimulus AMAR Konservasi Bambu untuk Angklung .......................... 3. METODE PENELITIAN ............................................................................. Waktu dan Lokasi ....................................................................................... Alat dan Bahan ............................................................................................ Metode Penelitian ....................................................................................... 4. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ....................................... Sejarah Saung Angklung Udjo (SAU) ........................................................ Letak, Luas, dan Status SAU ...................................................................... Aksesibilitas SAU ....................................................................................... Profil Pengelola SAU .................................................................................. 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... Program Wisata di Saung Angklung Udjo .................................................. Profil Pengunjung ....................................................................................... Proses Pengolahan Bambu menjadi Angklung ........................................... Upaya Konservasi Bambu sebagai Bahan Baku Angklung ......................... 6. PERENCANAAN INTERPRETASI BERBASIS KONSERVASI BAMBU SEBAGAI BAHAN BAKU ANGKLUNG ................................ Tujuan dan Sasaran Interpretasi ................................................................... Program Interpretasi ..................................................................................... Obyek, Tema dan Materi Interpretasi .......................................................... Teknik Interpretasi ....................................................................................... 7. CONTOH PROGRAM INTERPRETASI: MENGENAL BAMBU SEBAGAI BAHAN BAKU ANGKLUNG ................................................. Program Pengenalan Bambu sebagai Bahan Baku Angklung ..................... Program Pengenalan Jenis dan Karakteristik Bambu sebagai Bahan Baku Angklung ............................................................................................ 8. CONTOH RENCANA PENGEMBANGAN FASILITAS ........................ Pusat Informasi ............................................................................................ Papan Interpretasi ........................................................................................ Arboretum Bambu .....................................................................................
i iii iv 1 1 2 2 2 3 4 4 5 6 7 8 9 21 21 21 21 26 26 27 27 28 31 31 33 35 42 44 44 47 47 49 49 50 56 58 58 58 59
ii
Media Publikasi ........................................................................................... 9. SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ Simpulan ...................................................................................................... Saran ........................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................
59 59 59 60 60
iii
DAFTAR TABEL
1.
2. 3. 4. 5. 6. 7.
Perbedaan Sifat Bambu Hitam (G. atroviolaceae Widjaja) Bambu Temen (G. atter Hassk) Bambu Tali (G. Apus (J.A&J.H Schultes Kurz) dan Bambu Gombong (G. Pseudoarundinaceae) ...................................... Jenis Data Penelitian ................................................................................... Stratifikasi Responden ................................................................................ Saung Angklung Udjo dari waktu ke waktu ................................................ Perencanaan Interpretasi Berbasis Konservasi Bambu sebagai Bahan Baku Angklung di Saung Angklung Udjo ................................................... Obyek, Tema, dan Materi Interpretasi di Saung Angklung Udjo ................ Skenario Cerita .............................................................................................
18 22 24 26 46 48 51
iv
DAFTAR GAMBAR
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Kerangka Teori Penelitian ........................................................................ Fase Perencanaan Interpretasi (Berdasarkan Bardley 1982 dalam Sharpe, 1982) ............................................................................................. Diagram Alir “tri stimulus amar pro-konservasi”: stimulus, sikap, dan perilaku aksi konservasi ............................................................................. Bambu Hitam (G. atroviolaceae) .............................................................. Bambu Temen (G. atter)............................................................................ Bambu Tali (G. apus) ................................................................................ Morfologi Rebung Bambu Gombong (G. pseudoarundinaceae) .............. Bambu Gombong (G. pseudoarundinaceae) ............................................. Angklung Buncis ....................................................................................... Lokasi Penelitian ....................................................................................... Bagan Perencanaan Interpretasi berbasis Konservasi Bambu sebagai Bahan Baku Angklung............................................................................... Papan Nama SAU yang berada di muka Jalan Padasuka .......................... Struktur Organisasi Saung Angklung Udjo ............................................... Bale Karesmen ........................................................................................... Buruan Sari Asih........................................................................................ Fasilitas yang ada: (a) Saung, Tempat Alternatif untuk Berkumpul Bersama Keluarga , dan (b) Pusat Produksi Angklung ............................. Beberapa Rangkaian Acara: (a) Wayang Golek dan (b) Helaran ............. Motivasi Pengunjung ke SAU ................................................................... Program Wisata yang dipilih Pengunjung ................................................. Pemahaman Pengunjung terhadap Proses Pembuatan Angklung ............. Pemahaman Pengunjung terhadap Jenis Bambu sebagai Bahan Baku Angklung ................................................................................................... Pemahaman Pengunjung mengenai Konservasi Bambu ........................... Bambu yang baru dipanen ........................................................................ Ilustrasi Pengawetan dan Pengeringan Bambu dengan Metode Pengasapan ................................................................................................ Proses Pengawetan Bambu dengan Metode Perendaman ......................... Pengeringan Bambu Secara Vertikal ......................................................... Bakalan Angklung ..................................................................................... Tabung Angklung ...................................................................................... Proses Perakitan Angklung ........................................................................ Angklung yang telah distem ...................................................................... Finishing Tabung Angklung ...................................................................... Arah Program Interpretasi (Interpretive Direction) .................................. Skema Program Interpretasi ...................................................................... Morfologi Angklung .................................................................................. Jenis Bambu sebagai Bahan Baku Angklung ............................................ Rencana Papan Interpretasi........................................................................
4 5 10 14 15 16 17 17 19 21 25 27 29 30 31 31 32 33 33 34 34 35 37 37 38 39 39 40 40 41 42 51 52 54 54 59
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Angklung merupakan alat musik multitonal (bernada ganda), terbuat dari bambu dan dibunyikan dengan cara digoyangkan. Angklung berkembang dan menjadi salah satu filosofi hidup masyarakat Jawa Barat. Menurut karuhun urang sunda/sejarah masyarakat Sunda, kehidupan manusia diibaratkan seperti tabung angklung. Angklung bukanlah sebuah angklung apabila ia hanya terdiri dari satu tabung saja, layaknya manusia yang tidak dapat hidup sendiri melainkan harus bersosialisasi (Sejarah Angklung 2012). Angklung menjadi populer sejak November 2010, ketika terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) oleh UNESCO. Bambu sebagai bahan baku angklung belum mendapatkan perhatian secara intensif dari pengguna bambu yang memanfaatkannya sebagai bahan baku angklung khususnya dalam konservasi bambu. Bambu yang digunakan sebagai bahan baku angklung masih diperoleh dari alam dan belum dibudidayakan secara massal. Diantara berbagai jenis bambu, Bambu Hitam (Gigantochloa atroviolaceae Widjaja), Bambu Gombong (Gigantochloa pseudoarundinacea (Steud) Widjaja), Bambu Temen (Gigantochloa atter (Hassk.) Kurz, dan Bambu Tali (Gigantochloa apus (J.A. & J.H. Schultes) Kurz tercatat memiliki karakteristik yang sesuai untuk dijadikan sebagai bahan baku angklung (Nuriyatin 2000). Saung Angklung Udjo (SAU) merupakan salah satu lokasi yang mengembangkan budaya dan kesenian angklung di Jawa Barat. Sejak berdiri tahun 1966, Saung Angklung Udjo terus berupaya memperkenalkan angklung kepada masyakat luas bahkan sudah mencatatkan diri dalam Guiness World of Record karena memainkan angklung sebanyak 5.182 buah dengan peserta multibangsa. Jumlah pengunjung di Saung Angklung Udjo terus meningkat dari tahun ke tahun. Selain menawarkan pertunjukan angklung, Saung Angklung Udjo juga memproduksi angklung untuk dijual hingga ke mancanegara. Saung Angklung Udjo sudah memiliki manajemen terkait pelayanan pengunjung namun belum mengembangkan suatu pelayanan yang berguna untuk mengarahkan dan meningkatkan rasa keingintahuan pengunjung dalam mengenal dan memahami peranan bambu sebagai bahan baku utama angklung khususnya dalam aspek pelestarian bambu. Interpretasi didefinisikan sebagai suatu kegiatan atau suatu usaha menciptakan pemahaman serta menunjukkan arti dan hubungan antara seseorang dengan alam lingkungannya dengan menggunakan obyek yang terdapat dikawasan tersebut dengan menggunakan media ilustratif serta melalui pengalaman langsung dilapangan (Tilden 1977; Alderson&Low 1985; Moscardo1998). Beragam penelitian mengenai program interpretasi tidak hanya mendukung upaya konservasi dan pengelolaan kawasan melainkan juga meningkatkan kepuasan dan kenyamanan pengunjung (Moscardo 1998; Pearce&Moscardo 2007; Povey&Rion2002; Wiles 2005). Oleh karena itu perlu
2 disusun suatu perencanaan interpretasi yang berbasis pada konservasi bambu sebagai bahan baku angklung di Saung Angklung Udjo. Perumusan Masalah Sebagai salah satu lokasi wisata budaya di Bandung Timur, pengelolaan Saung Angklung Udjo masih terbatas pada penyediaan paket pertunjukan dan kesenian angklung. Paket kunjungan tersebut berupa aktivitas menyaksikan pertunjukan angklung yang dimainkan oleh anak-anak binaan Saung Angklung Udjo yang dinamakan Bamboo Afternoon/Bambu Petang. Bamboo Afternoon merupakan atraksi wisata yang terdiri dari tari-tarian, pertunjukan angklung hingga pelibatan pengunjung dalam memainkan angklung. Pengadaan bambu sebagai bahan baku angklung masih diperoleh secara langsung dari alam dan belum dilakukan budidaya bambu secara intensif. Kondisi ini menjadikan keempat jenis bambu semakin sulit ditemukan. Konservasi jenis bambu sebagai bahan baku angklung perlu dilakukan sebagai upaya mempertahankan keberadaan jenis dan kesenian angklung. Pengelola Saung Angklung Udjo mempunyai kewajiban untuk melestarikan jenis bambu yang digunakan sebagai bahan baku angklung sekaligus mengajak dan memberikan pemahaman kepada pengunjung yang datang untuk memahami pentingnya konservasi jenis bambu untuk angklung. Interpretasi merupakan jembatan untuk menyampaikan keistimewaan bambu sebagai sumber daya khususnya sebagai bahan baku angklung kepada pengunjung. Informasi terkait karakteristik, proses pengolahan bambu menjadi angklung, dan upaya konservasi bambu dapat disampaikan melalui interpretasi yang dapat diwujudkan dalam bentuk program dan papan interpretasi. Pengelola Saung Angklung Udjo belum menyiapkan informasi dan program wisata yang berkaitan dengan bambu sebagai bahan baku utama angklung. Kenyataan tersebut merupakan peluang bagi pengelola untuk mengenalkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang konservasi bambu sebagai bahan baku utama angklung sekaligus memberikan pengalaman yang berkualitas bagi pengunjung Saung Angklung Udjo. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menyusun rencana interpretasi yang berbasis konservasi bambu sebagai bahan baku angklung.di Saung Angklung Udjo. Manfaat Penelitian 1. Menjadi salah satu contoh pengelolaan lokasi wisata yang berbasis pada konservasi sumber daya 2. Memberi pengetahuan dan pengalaman yang berkualitas kepada pengunjung di Saung Angklung Udjo akan peranan bambu terhadap angklung. 3. Membangun keterlibatan pengunjung untuk ikut melestarikan sumber daya bambu.
3 4. Bahan masukan bagi pengelola dalam mengoptimalkan manajemen di Saung Angklung Udjo agar tercapai pemanfaatan dan pengelolaan bambu jangka panjang Kerangka Teori Tingginya permintaaan bambu, khususnya jenis Bambu Hitam (G. atroviolaceae), Bambu Gombong (G. pseudoarundinacea), Bambu Temen (G. atter), dan Bambu Tali (G. apus) berdampak pada pemanenan bambu dari alam (Fathony 2011; Irawan et al. 2006; Jonkhart 2011). Di sisi lain, penanaman bambu lebih diutamakan jenis Bambu Duri (Bambusa blumeana) dan Bambu Betung (Dendrocalamus asper) untuk industri pulp dan sumpit (Widjaja 1990). Oleh sebab itu, perlu adanya upaya konservasi jenis-jenis bambu sebagai bahan baku angklung dalam upaya menjamin keberadaan angklung sebagai warisan dunia. Sebagai destinasi wisata dan lokasi workshop angklung, Saung Angklung Udjo merupakan salah satu pihak yang berkewajiban untuk melestarikan bambu, khususnya jenis bambu sebagai bahan baku angklung. Sebagian besar pengunjung Saung Angklung Udjo datang untuk melihat pertunjukan angklung sehingga potensi dan peranan bambu sebagai bahan baku angklung belum banyak diketahui pengunjung. Pihak pengelola berperan untuk menyampaikan peranan bambu dan pentingnya upaya konservasi bambu sebagai bahan baku angklung kepada pengunjung. Untuk itu perlu upaya memperkenalkan peranan bambu dalam kesenian angklung melalui sebuah interpretasi. Melalui perencanaan interpretasi, bambu dapat disusun menjadi materi program wisata yang bermanfaat dan mendidik pengunjung. Berikut kerangka teori penelitian yang tersaji pada Gambar 1 berikut ini.
4
Bambu sebagai Bahan Baku Angklung (Prosea (1995) dalam Nuriyatin (2000)
Karakteristik Fisik, Biologis, Mekanik Akustik Bambu (Widjaja 2001a+b) (stimulus alamiah)
Proses Pengolahan dan Pemanfaatan Bambu menjadi Angklung (stimulus manfaat)
Tri Stimulus AMAR Konservasi Bambu (Zuhud et al. 2007)
Perencanaan Interpretasi Berbasis Konservasi Bambu sebagai Bahan Baku Angklung
Pengunjung
Pengelola
Gambar 1 KerangkaTeori Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Interpretasi Penggunaan interpretasi sebagai bentuk komunikasi dalam kegiatan wisata telah umum dijumpai di berbagai negara sepanjang abad kedua puluh. Akar dari bidang interpretasi dapat ditelusuri dan ditemukan di Amerika dan Eropa pada abad kesembilan belas. Hal ini diikuti dengan pertumbuhan dalam studi mengenai sumber daya alam, perencanaan wisata melalui penggunaan pusat informasi alam dan taman naturalis (Sharpe 1982). Penyediaan informasi merupakan hal yang umum dalam mendukung pengelolaan dan pengembangan wisata. Umumnya penyampaian informasi terdapat di museum, kebun binatang, lokasi bersejarah hingga kawasan konservasi (Muntasib 2003). Proses penyampaian informasi atau mendidik pengunjung dapat didefinisikan sebagai interpretasi (Moscardo 1998). Interpretasi telah dikenal sebagai layanan kepada pengunjung (Pearce&Moscardo 2007), dan pendekatan untuk komunikasi (Ham 1992). Archer&Wearing (2003) mendefinisikan interpretasi sebagai kegiatan menjelaskan dan merancang informasi tentang sumber daya lokal bagi pengunjung dengan cara yang menarik. Veverka (1994)
5 juga menyatakan bahwa interpretasi adalah proses komunikasi yang dirancang untuk mengungkapkan makna dan hubungan budaya dan warisan alam kepada masyarakat (pengunjung) melalui tangan pertama pengalaman dengan obyek, artefak, lanskap, atau lokasi. Meski kedatangan pengunjung ke tempat rekreasi untuk berwisata dan atau mencari inspirasi tetapi pengunjung juga mempunyai keinginan untuk mengenal tempat yang dikunjungi. Poo (1993) dalam Moscardo (1998) menyatakan perubahan trend menunjukkan bahwa program yang berbasis pada pendidikan, konservasi, dan meningkatkan pengalaman dan pengetahuan pengunjung lebih diminati. Interpretasi dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran yang lebih luas terhadap lingkungan (Archer&Wearing 2003). Belajar hal-hal yang baru dan meningkatkan pengetahuan menjadi motivasi terbesar yang diminati dan dipilih pengunjung. Jika pengunjung semakin mencari unsur pendidikan dalam aspek perjalanannya, maka interpretasi menjadi bagian integral yang harus ada di lokasi wisata (Moscardo 1998). Perencanaan Interpretasi Komponen penting bagi perencanaan program interpretasi adalah 1) pengunjung, 2) prosedur penyampaian informasi (Sharpe 1982). Komponen pengunjung meliputi latar belakang, perilaku dan sikap, dan karakteristik spesial pengunjung. Karakteristik spesial pengunjung meliputi umur, tingkat pendidikan, dan ketertarikan khusus. Interpretasi mampu mengakomodasi berbagai karakteristik spesial dari pengunjung. Berdasarkan Sharpe (1982) dalam menyusun sebuah interpretasi, perlu perencanaan yang spesifik. Proses perencanaan harus interaktif dan terus menerus. Langkah-langkah dalam merencanakan sebuah interpretasi terdapat pada Gambar 2 di bawah ini.
Masukan
Tujuan
Inventarisasi & Pengumpulan Data
Analisis
Sintesis
Peren canaan
Penerapan
Evaluasi& Revisi
Umpan Balik
Gambar 2 Fase Perencanaan Interpretasi (Bradley dalam Sharpe 1982) Fase perencanaan interpretasi terdiri dari menuliskan tujuan, mengumpulkan informasi, menganalisa, memadukan alternatif yang ada, pelaksanaan program, evaluasi dan perbaikan (Sharpe 1982). Penjabaran dari tahap tersebut adalah:
6 a. Tujuan Tujuan adalah panduan untuk melakukan tindakan spesifik yang diperlukan dalam sebuah perencanaan. Perumusan tujuan merupakan sasaran yang ingin dicapai dalam perencanaan interpretasi b. Inventarisasi Tahap inventarisasi adalah tahap mengidentifikasi lokasi untuk menemukan sumber daya serta kekhasan dari lokasi tersebut yang meliputi aspek fisik, biologis, dan sosial budaya. Inventarisasi yang baik sangat diperlukan untuk memberikan sebuah data dasar dalam perencanaan interpretasi. c. Analisis Data yang diperoleh dalam inventarisasi harus menggambarkan kondisi yang ada di lokasi. Data kemudian dianalisis secara deskriptif dengan penyajian dalam bentuk tabulasi. Dalam analisis data, informasi yang didapatkan harus diuji dan dievaluasi sehingga menghasilkan potensi, permasalahan, dan pemecahan masalah yang dilanjutkan pemilihan obyek interpretasi serta lokasi interpretasi (site) untuk pengembangan rencana interpretasi yang disusun. d. Sintesis Tahap ini merupakan tahap memadukan berbagai alternatif kegiatan dan mengidentifikasi implikasinya. Rencana interpretasi mengadopsi potensi sumber daya dengan kebutuhan pengunjung. e. Perencanaan Pada tahap ini merupakan tahap melengkapi semua aspek dan rencana yang diperoleh sekaligus pendugaan dan dampak implementasi. f. Evaluasi dan Perbaikan Rencana Kegiatan monitoring dan pemantauan diperlukan untuk melihat potensi keberhasilan dan keberlanjutan suatu rencana yang dibuat sehingga tujuan yang diinginkan dapat tercapai. Evaluasi dilakukan terkait dampak program terhadap para pengguna dan dampak fasilitas yang dibangun terhadap sumber daya. Beberapa prinsip untuk merancang interpretasi yang efektif antara lain: (1) merancang pengalaman interpretasi yang berbeda, (2) menyediakan komunikasi personal dengan pengunjung, (3) melatih partisipasi pengunjung, (4) menciptakan konten yang jelas, (5) memungkinkan untuk pengunjung alternatif yang bukan sasaran utama (Knapp&Benton 2004; Muscardo 1998). Ham (1992) mengemukakan empat ide utama yang menjadi pendekatan dalam interpretasi yaitu: (1) pleasurable atau menyenangkan, (2) relevant atau menghubungkan, (3) organized atau mengatur, dan (4) has a theme atau mempunyai tema. Teknik Interpretasi Veverka (1998) mengklasifikasikan teknik interpretasi menjadi beberapa jenis. Teknik interpretasi tidak selalu berupa guided tour, namun dapat berupa ucapan, musik pengiring kedatangan pengunjung, pola-pola ubin, penataan ruangan hingga hal-hal yang meningkatkan ketertarikan pengunjung serta menciptakan ikatan (bonding) antara pengunjung dengan destinasi. Beberapa teknik intrepretasi antara lain : Visitor Center, Education Center, Display and Exhibits, Publication, Website, Self guided trails.
7 Sharpe (1982) menyampaikan interpretasi terdiri dari dua teknik yaitu (1) Teknik secara langsung (attended service), dan (2) Teknik secara tidak langsung (unattended service). 1. Teknik secara langsung (Attended Service) Teknik secara langsung (attended service) yaitu kegiatan interpretasi yang melibatkan langsung antara interpreter dan pengunjung dengan obyek interpretasi yang ada sehingga pengunjung dapat secara langsung melihat, mendengar atau bila mungkin mencium, meraba dan merasakan obyek-obyek intrepretasi yang dipergunakan dan biasanya dengan tahap-tahap pelaksanaan sebagai berikut: Informasi; pengunjung akan mendapatkan informasi tentang obyek yang akan dikunjungi. Rencana kegiatan pelaksanaan program akan dijelaskan pada suatu sentra pengunjung, jadi pengunjung sudah lebih dulu mengetahui program interpretasi yang dipilih dan garis besar rencana perjalanannya. Penyampaian uraian-uraian; dilakukan oleh interpreter pada saat melaksanakan program interpretasinya. Dengan adanya kontak antara pengunjung dengan interpreter maka terdapat suatu komunikasi langsung sehingga peran interpreter sangat besar untuk dapat mengungkapkan semua potensi dalam suatu kawasan secara menarik. Interpreter yang baik harus dapat membuat suasana yang santai sehingga pengunjung akan dapat bebas bertanya ataupun dapat mengutarakan keluhankeluhannya. Pengunjung akan merasa penting jika dilibatkan dalam suatu program interpretasi (Knapp&Benton 2004). 2. Teknik secara tidak langsung (Unattended Service) Teknik secara tidak langsung (unattended service) yaitu kegiatan interpretasi yang dilaksanakan dengan menggunakan alat bantu dalam memperkenalkan obyek interpretasi. Interpretasi disajikan dalam suatu program slide, video, film, ataupun rangkaian gambar-gambar. Program ini biasanya diselenggarakan terutama untuk kawasan yang sangat luas sehingga tidak semua potensi alam mudah dinikmati atau didatangi (daerahnya rawan, satwa liar masih banyak) sehingga walaupun tidak dapat mengunjungi semua lokasi tetapi pengunjung dapat mengetahui dan menikmati kekayaan alam yang ada di kawasan tersebut. Program interpretasi secara tidak langsung ini juga harus dibuat menarik dan dapat mewakili potensi alam yang ada di tempat tersebut. Kedua teknik diatas sebenarnya tidak dapat dipisahkan begitu saja karena biasanya pengunjung yang datang ke suatu kawasan yang mempunyai potensi besar dan luas ingin melihat dulu secara keseluruhan potensi alam yang ada ditempat-tempat tersebut, baru setelah itu melihat salah satu atau beberapa program interpretasi yang ditawarkan. Program Interpretasi Menurut Sharpe (1982), program interpretasi adalah pengetahuan dari seluruh usaha interpretasi, yaitu mencakup personil, fasilitas, dan seluruh kegiatan interpretasi, kelembagaan serta tempat wisata tersebut. Menurut Ditjen PHPA (1988), program interpretasi merupakan suatu pola pelaksanaan interpretasi menurut waktu dan skenario cerita tertentu pula. Skenario cerita interpretasi
8 adalah garis-garis besar cerita yang mencakup materi interpretasi sebagai bahan yang digunakan untuk menyusun suatu program interpretasi dan menjadi isi dan maksud dari program interpretasi tersebut. Program interpretasi yang disusun haruslah informal dan dalam suasana yang santai (Ham 1992). Program membantu pengunjung untuk menyelaraskan kebutuhan rekreasi dan ekspetasi akan sumber daya yang ada sekaligus memberi dampak terhadap tingkah laku pengunjung secara langsung. Hal ini menunjukkan bahwa interpretasi memberi makna secara langsung (Wearing 2009). Manfaat dari segi pendidikan bagi pengunjung adalah kesempatan untuk belajar, meningkatkan pengetahuan dan pemahaman akan lingkungan serta mendorong penemuan personal (self discovery). Dalam merancang suatu program interpretasi ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan, seperti yang telah dikemukakan oleh Tilden (1977) sebagai berikut : 1. Suatu interpretasi yang tidak ada kaitannya antara yang diperagakan dengan apa yang diuraikan akan merupakan suatu hal yang sia-sia 2. Informasi atau penerangan bukanlah interpretasi. Interpretasi adalah suatu ungkapan berdasarkan informasi-informasi. Dalam interpretasi dimasukkan unsur-unsur informasi 3. Interpretasi adalah suatu seni yang menggabungkan bermacam-macam seni, baik bersifat ilmiah, sejarah atau arsitektur, suatu seni yang pada suatu tingkatan tertentu dapat dianjurkan kepada orang lain 4. Cara menyampaikan interpretasi bukan dengan perintah tetapi pancingan atau persuasi (dorongan) 5. Interpretasi bermaksud menunjukkan sesuatu secara keseluruhan dan bukan potongan-potongan informasi 6. Interpretasi bagi anak-anak bukan penyederhanaan bagi orang dewasa.
Makna Konservasi Konservasi berasal dari conservation yang terdiri atas kata con (together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian “upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have) namun secara bijaksana (wise use). Konsep ini pertama kali dikemukakan oleh Theodore Roseevelt (1902) dalam Model Desa Konservasi (2009) yang merupakan orang Amerika pertama yang mengemukakan tentang konsep konservasi. Konservasi dalam pengertian sekarang diterjemahkan sebagai the wise use of nature resources (pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana). Makna konservasi merupakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang bertanggungjawab, berkelanjutan, dan berkeseimbangan (Zuhud 2011). Azas konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya adalah pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara serasi dan seimbang. Tujuan dari konservasi adalah terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Kegiatan konservasi meliputi tiga hal, yaitu perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan jenis tumbuhan dan
9 satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Departemen Kehutanan 1990). Pemanfaatan dan konservasi bambu telah menjadi perhatian bagi negaranegara di Asia, khususnya Asia Timur, Asia Selatan, dan Asia Tenggara (Wong, 2004). Konservasi bambu seperti halnya dengan konservasi pada tanaman lain didasarkan pada spesies yang memiliki manfaat ekonomi dan spesies yang tergolong langka dan endemik. Seiring dengan meningkatnya penggunaan bambu, penebangan bambu terus meningkat. Pemanenan yang dilakukan secara tidak beraturan dikhawatirkan akan menyebabkan kerusakan. Pengambilan secara terus menerus tegakan alami bambu tanpa penanaman kembali berdampak pada kepunahan. Oleh karena itu diperlukan adanya usaha konservasi bambu, baik di lokasi tumbuh alaminya (in-situ) maupun di luar lokasi pertumbuhannya (ex-situ) (Widjaja 2001). Pemerintah telah menyiapkan strategi dan rancang tindak untuk melindungi dan melestarikan potensi serta fungsi keanekaragaman hayati bambu dan jasa lingkungan yang tersedia secara berkelanjutan (Untung et al. 1998). Upaya mendorong program pengelolaan bambu dengan menjamin keseimbangan antara pelestarian keanekaragaman hayati bambu dan pemanfaatannya secara insitu dan ex-situ. Pelestarian bambu dilakukan melalui kegiatan penanaman di hutan alam dan kebun koleksi untuk mempertahankan keberadaan berbagai jenis bambu baik yang endemik maupun yang eksotik dengan semua sumber genetiknya. Salah satu konsep mengenai pengelolaan konservasi jangka panjang disampaikan oleh Zuhud (2008) yaitu konsep tri stimulus AMAR konservasi. Konsep tristimulus AMAR konservasi terdiri dari tiga nilai yang menstimulus seseorang atau suatu pihak untuk melakukan upaya konservasi. Tiga nilai tersebut adalah nilai Alamiah, nilai MAnfaat, dan nilai Rela-religius. Stimulus alamiah didefinisikan nilai-nilai kebenaran alam, fakta-fakta, fenomena-fenomena dan sinyal-sinyal alam yang harus disikapi serta diperlakukan sesuai dengan karakter setiap spesies sumberdaya alam hayati. Stimulus MAnfaat diartikan nilai-nilai kepentingan untuk manusia, terutama berguna bagi keberlanjutan hidup fisiologis manusia, diantaranya manfaat ekonomi, sandang, obat dan sebagainya. Adapun stimulus Rela-religius bermakna nilai-nilai kebaikan terutama yang ganjarannya dipercaya dan diyakini anugerah dari Sang Pencipta Alam. Stimulus ini antara lain: nilai spiritual, nilai agama yang universal, dosa, pahala, norma, etika, termasuk kearifan sosial budaya masyarakat tradisional. Stimulus ini mampu mendorong masyarakat untuk rela berkorban melakukan aksi konservasi dan mencegah aksi yang bertentangan dengan konservasi. Konservasi akan terwujud dengan syarat apabila ketiga kelompok stimulus sudah mengkristal menjadi pendorong sikap dan aksi masyarakat untuk konservasi. Tri Stimulus AMAR Konservasi Bambu untuk Angklung Dalam konteks sistem nilai, terdapat tiga kelompok stimulus pro konservasi, yaitu Alamiah, MAnfaat, dan Religius-rela yang merupakan kristalisasi dari nilai kebenaran, kepentingan, dan kebaikan (Zuhud 2011). Kristalisasi tersebut menjadi penggerak, penyeimbang, dan pengendali terwujudnya sikap dan perilaku untuk aksi konservasi yang berkelanjutan secara konkret. Gambar berikut
10 menunjukkan diagram alir tiga kelompok stimulus sebgai pendorong sikap prokonservasi masyarakat.
Tri-Stimulus Amar Prokonservasi 1. Stimulus Alamiah Nilai-nilai kebenaran dari alam, kebutuhan keberlanjutan sumber daya alam hayati sesuai dengan karakter biologisnya (jenis, morfologi, habitat, usia, pola pemanenan, proses pengawetan bambu) 2. Stimulus Manfaat Nilai-nilai kepentingan untuk manusia: manfaat ekonomi, manfaat sosial, budaya, ekologis (angklung, bahan bangunan, rebung, kertas) 3. Stimulus Religius-rela Nilai-nilai religius, kebaikan, nilai spiritual, kearifan budaya, kepuasan batin
Sikap Konservasi Cognitive Persepsi, pengetahuan, pengalaman, pandangan, keyakinan Affective Emosi, cinta Overt action Kecenderungan bertindak
Perilaku Pro Konservasi
Konservasi terwujud di dunia nyata
Gambar 3 Diagram alir „tri stimulus amar pro-konservasi”: stimulus, sikap, dan perilaku aksi konservasi (Zuhud, et al 2007)
Bio-Ekologi Bambu (Stimulus Alamiah) Morfologi Bambu Bambu merupakan tumbuhan dengan batang berbentuk buluh, beruas, bercabang dan berimpang (Alamendah 2011). Bambu telah menjadi penghuni bumi sejak 200.000.000 tahun yang silam. Jumlah jenis bambu yang ada di seluruh dunia belum diketahui secara pasti. Menurut Widjaja (2001a) ada 1.2001.300 jenis bambu ada di dunia. Dari jumlah tersebut, ada 160 jenis bambu yang tumbuh di Indonesia (Fathony 2011). Di Pulau Jawa diperkirakan hanya ada 60 jenis, 14 jenis diantaranya hanya tumbuh di Kebun Raya Bogor dan Cibodas sedangkan 9 jenis merupakan endemik pulau Jawa (Widjaja 2001b). Bambu menjadi bagian dari kehidupan dan budaya bangsa Asia (Wong, 2004). Bagi para botanist, keanekaragaman bambu menjadi sumber penelitian yang mengagumkan,sedangkan fokus perhatian agronom yaitu membudidayakan bambu, bagi pengelola sumber daya memastikan bambu dilestarikan dan diketahui dengan baik, sedangkan keberadaan dan kelimpahan bambu menjadi fokus perhatian para rimbawan. Bambu adalah salah satu jenis tumbuhan yang cepat
11 tumbuh dan dapat mencapai ketinggian maksimum 30 meter dalam waktu 2-4 bulan dengan rata-rata pertumbuhan harian sekitar 20-100 cm dan diameter 5-15 cm (Bamboo the Giant Grass 1991; Ueda (1960) dalam Jonkhart 2011). Dalam beberapa bulan, batang bambu mampu mencapai pertumbuhan maksimal. Ratarata waktu pertumbuhan bambu untuk mencapai usia dewasa sekitar 3-6 tahun (Xingcui 2011). Bambu memiliki batang yang tumbuh di dalam tanah yang disebut rimpang (rhizome) dan buluh (culm) untuk bagian rimpang yang tumbuh ke atas membentuk rebung (Widjaja 2001; Wong 2004). Rimpang membentuk sistem percabangan yang dapat dipakai untuk membedakan kelompok bambu. Ada dua macam sistem percabangan rimpang yaitu pakimorf (dicirikan oleh rimpangnya yang simpodial), leptomorf (dicirikan oleh rimpangnya yang monopodial). Di Indonesia jenis-jenis bambu asli umumnya mempunyai sistem rimpang pakimorf, yang dicirikan oleh ruasnya yang pendek dengan leher yang pendek juga (Bamboo Terminology 1991). Rebung merupakan bambu muda yang muncul dari permukaan dasar rumpun atau rizhom. Pada awalnya berbentuk tunas yang pertumbuhannya lambat dan dalam perkembangannya berbentuk kerucut yang merupakan bentuk permulaan dari perkembangan batang. Rebung muncul pada musim hujan yang laju pertumbuhannya sangat tergantung dari jenis bambunya (Bamboo Terminology 1991; Environmental Bamboo Foundation Holland1996). Rebung tumbuh dari kuncup akar rimpang di dalam tanah atau dari pangkal buluh tua. Rebung selalu ditutupi oleh pelepah buluh yang juga tumbuh memanjang mengikuti perpanjangan ruasnya (Widjaja 2001b). Buluh berkembang dari rebung, tumbuh sangat cepat dan mencapai tinggi maksimum dalam beberapa minggu. Buluh terdiri atas ruas dan buku-buku. Selain berbeda dalam panjang buluhnya beberapa jenis tertentu mempunyai diameter buluh yang berbeda. Marga Dendrocalamus mempunyai diameter buluh tebesar diikuti oleh jenis-jenis dari marga Gigantochloa dan Bambusa (Widjaja 2001). Buluh memiliki pelepah yang merupakan hasil modifikasi daun yang menempel pada setiap ruas. Pelepah buluh sangat penting fungsinya yaitu menutupi buluh ketika muda. Saat buluh tumbuh dewasa dan tinggi pada beberapa jenis bambu pelepahnya luruh tetapi jenis lain pelepahnya tetap menempel (Widjaja 2001). Pelepah buluh terdiri atas daun pelepah buluh, kuping pelepah buluh dan ligula (sambungan antara pelepah buluh). Batang bambu terdiri atas tiga bagian yaitu kulit, kayu dan bagian empulur. Kulit bambu adalah bagian terluar dari penampang lintang dinding batang, empulur adalah bagian batang yang berdekatan dengan rongga bambu yang tidak mengandung ikatan vaskular. Bagian kayu pada bambu adalah bagian diantara kulit dan empulur (Widjaya 2001b). Percabangan pada umumnya terdapat di atas buku-buku. Cabang dapat digunakan sebagai ciri penting untuk membedakan marga bambu. Pada marga Bambusa, Dendrocalamus dan Gigantochloa sistem percabangan memiliki satu cabang yang lebih besar daripada cabang lainnya yang lebih kecil. Cabang lateral bambu yang tumbuh pada batang utama, biasanya berkembang ketika buluh mencapai tinggi maksimum. Daun pada tanaman bambu diasumsikan dalam dua bentuk dengan fungsi berbeda. Daun yang berwarna hijau dan berperan dalam fotosintesis dan selubung
12 daun (culm sheaths) yang berfungsi membungkus ruas batang yang masih muda dan umumnya akan berubah warna dari hijau menjadi coklat kekuningan (Bamboo Terminology 1991; Wong 2004). Helai daun bambu mempunyai tipe pertulangan yang sejajar seperti rumput, dan setiap daun mempunyai tulang daun utama yang menonjol. Daunnya biasanya lebar, tetapi ada juga yang kecil dan sempit seperti pada bambu cendani (Bambusa multiplex) dan bambu siam (Thyrsostachys siamensis). Helai daun dihubungkan dengan pelepah oleh tangkai daun. Siklus Hidup Bambu Bambu mampu tumbuh di cuaca yang panas seperti di Kepulauan Nusa Tenggara hingga iklim yang bercurah hujan tinggi seperti Bandung (Sulthoni, 1994). Semakin tinggi curah hujan, semakin beragam jenis bambu yang tumbuh. Bambu juga mampu tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian 2.000 m dpl. Bahkan bambu dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah (Sutiyono2006). Siklus hidup tanaman bambu dimulai seperti tanaman lain, bertunas dari biji dan mengeluarkan pucuk pertamanya untuk membentuk suatu batang. Seperti kebanyakan rerumputan, bambu tumbuh dan berbunga, menghasilkan biji dan mati. Cabang tunas ini nantinya akan membantuk akar dan menghasilkan rizoma dan batang bambu baru. Batang bambu memiliki rongga dan dibatasi oleh node (buku) tempat tumbuhnya ranting dan daun bambu. Batang tersebut mengeluarkan daun untuk memulai proses fotosintesis. Batang pertama dari suatu rumpun ukurannya dibatasi oleh kapasitas fotosintesis dari rumpun baru. Pada proses fotosintesis ini, batang-batang yang lebih kecil hingga yang sudah cukup besar membantu batang-batang yang baru mencapai ketinggian maksimal (Sutiyono 2006). Pola Pertumbuhan Bambu Bambu secara umum dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok menyebar (running) dan merumpun (clumping). Jenis yang merumpun (clumping) menyebarkan tunas – tunas barunya dekat dengan tangkainya (culm), sementara kelompok yang menyebar (running) menyebarkan tunasnya sejauh 30 meter dari tangkainya (culm), biasanya sejauh tingginya batang. Kebanyakan spesies tropis seperti yang ditemukan di Indonesia adalah kelompok yang merumpun (clumping), sementara kelompok yang menyebar (running) hanya terbatas di daerah yang lebih dingin seperti di Cina (Sutarno 1996 dalam Erizal 1997). Penanaman Bambu Bambu dapat tumbuh melalui biji, pemotongan atau pembagian rumpun. Karena bambu sangat jarang berbunga, biasanya dikembangbiakkan secara vegetatif dan kultur jaringan. Bambu jenis menjalar, biasanya dikembangkan dengan potongan rizomanya. Sedangkan bambu rumpun biasanya dikembangbiakkan dengan potongan batang bambu yang menyertakan ruas yang memiliki bakal tunas. Spesies bambu mempunyai waktu yang lama untuk berbunga dan susah bertunas dari biji (tingkat pertumbuhan hanya dibawah 1%). Jenis tanaman bambu yang kecil (diameter < 5 cm) ditanam dengan memisahkan rumpun sedangkan jenis yang lebih besar (> 15 cm) dengan metode pemotongan.
13 Cara yang paling umum dalam penyebaran spesies bambu besar adalah dengan memotong dan dikubur (burying cuttings) secara horizontal, dimana 3 atau 4 bongkol bambu dengan panjang sekitar 6 inci dikubur dibawah tanah pada permulaan musim hujan. Lubang – lubang dipotong ditengah antara bongkol, dan setiap segmen diisi dengan air sebelum dikubur. Tunas-tunas baru kemudian akan terbentuk dari setiap tangkal bongkol (nodal joints) (Sutiyono 2006). Jenis dan Karakteristik Bambu untuk Angklung Bambu yang dipergunakan sebagai bahan baku angklung sebagai berikut : Bambu Gombong(G. Pseudoarundinacea) Bambu Hitam atau Awi Hideung(G. Atroviolacea) Bambu Temen atau Awi Temen(G. Atter) Bambu Tali atau Awi Tali(G. Apus) Keempat jenis bambu tersebut merupakan bambu yang paling baik sebagai bahan baku angklung karena keempat bambu tersebut memiliki pola distribusi serabut yang lebih merata. Kelemahan bambu antara lain : a. Elastisitas bambu/sifat menyusut dan mengembang Pengaruh cuaca atau iklim setempat dapat menyebabkan perubahan nada yang telah terbentuk pada Angklung. Nada yang dihasilkan dapat menjadi lebih tinggi apabila bambu mengerut dan menjadi rendah apabila bambu mengembang. Besar kecilnya elastisitas bambu tergantung kepada kepadatan bambu yang bersangkutan. Apabila bambu itu kurang padat, maka elastisitasnya akan menjadi lebih besar dan mudah sekali berubah karena pengaruh iklim. Namun jika bambu memiliki distribusi serat yang cukup padat, maka elastisitasnya akan kecil Perubahan elastisitas dapat diperbaiki dengan melakukan penyeteman kembali. b. Bambu menjadi retak/pecah karena perubahan iklim yang drastis Perubahan suhu berpengaruh terhadap kerusakan bambu. Bambu akan mudah retak bahkan pecah jika berada pada suhu lingkungan yang tinggi. Sedangkan pada suhu yang dingin, bambu akan mengerut sehingga mempengaruhi nada yang telah ditala. c. Bambu menjadi hancur karena dimakan organism perusak Rayap adalah hama alami dari segala jenis tumbuhan bambu. Rayap memakan zat selulosa yang terdapat pada bambu. Rayap menyerang bagian kulit dalam dan kulit luar bambu. Rayap yang menyerang bambu dapat berasal dari larva yang terdapat di dalam bambu ataupun rayap yang berasal dari luar. Hama yang menyerang bambu adalah serangga bubuk kering dan rayap kayu kering (Nandika et al. 1994). Penanganan rayap secara alami adalah dengan cara menghilangkan/mengurangi kandungan zat selulosa yang terdapat didalam bambu. Proses pengasapan dan perendaman pada sungai yang memiliki arus yang deras merupakan cara yang diyakini dapat mengurangi kandungan zat selulosa yang terdapat pada bambu. Dengan perkembangan teknologi, beragam obat anti rayap diyakini dapat membunuh rayap dengan efektif. Bambu Hitam (G. atroviolacea) Bambu Hitam umum dikenal dengan pring wulung (Jawa), awi hideung (Sunda). Sinonim dari G. verticillata tersebar hanya di Pulau Jawa, namun telah
14 diintroduksi dibeberapa tempat di luar Jawa. Habitat bambu hitam di daerah kering dan tanah berkapur (Widjaja 2001). Ciri Bambu Hitam memiliki batang berwarna hitam sampai hitam keunguan seperti yang terlihat pada gambar 4. Di beberapa tempat juga sering dijumpai warna hitam/ ungunya agak bercampur dengan hijau. Ruas-ruas sedikit membengkok pada buku. Percabangan dimulai dari buku bagian tengah sampai ujung, terdapat akar-akar aereal di buku-buku bagian bawah. Tinggi batang dapat mencapai 12 meter dengan diameter 11 cm. Deskripsi klasifikasi Bambu Hitam adalah sebagai berikut: kingdom : Plantae (Tumbuhan). subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) super divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil) sub kelas : Commelinidae ordo : Poales famili : Poaceae (suku rumput-rumputan) genus : Gigantochloa spesies : Gigantochloa atroviolacea
Gambar 4 Bambu Hitam (G. atroviolaceae) (Sumber :Gigantochloa atroviolaceae 1991)
15 Bambu Temen (G. atter) Sinonim dari Bambusathouarsii Kunth memiliki nama lokal awi temen (Sunda) atau pring Legi (Jawa). Bambu Temen atau Ater tumbuh tersebar di Jawa dan daerah lain di Indonesia. Bambu Temen tumbuh baik di habitat dengan kondisi yang lembab, namun masih dapat tumbuh di dataran rendah maupun dataran tinggi.
Gambar 5 Bambu Temen (Sumber: Gigantochloa Awi Temen 1991) Rebung berwarna hijau dan tertutup oleh bulu hitam seperti tersaji pada Gambar 5. Umumnya digunakan untuk membuat angklung calung. Selain sebagai alat musik bambu, bambu temen juga digunakan untuk membuat sumpit, tusuk gigi dan tiang penyangga pada rumah bambu (Widjaja 2001). Klasifikasi dari Bambu Temen sebagai berikut: kingdom subkingdom super divisi divisi kelas sub kelas ordo famili genus spesies
: Plantae (Tumbuhan) :Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) : Spermatophyta (Menghasilkan biji) : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) : Liliopsida (berkeping satu / monokotil) : Commelinidae : Poales : Poaceae (suku rumput-rumputan) : Gigantochloa : Gigantochloa atter
Bambu Tali (G. apus) Bambu Tali (Gambar 6) atau umum dikenal dengan pring apus (Jawa) atau awi tali (Sunda) tumbuh di seluruh Jawa, namun tumbuh meliar di Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Meru Betiri (Widjaya 1990). Kegunaan Bambu Tali untuk kerajinan tangan, bahan baku industri papan serat serta kesenian angklung. Klasifikasi dari Bambu Tali sebagai berikut : Kingdom : Plantae (Tumbuhan) subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) super divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
16 divisi kelas sub kelas ordo famili genus spesies
: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) : Liliopsida (berkeping satu / monokotil) : Commelinidae : Poales : Poaceae (suku rumput-rumputan) : Gigantochloa : Gigantochloa apus
Gambar 6 Bambu Tali (Sumber:Gigantochloa apus 1991) Bambu Gombong (G. pseudoarundinacea) Bambu Gombong (G. pseudoarundinacea) adalah salah satu jenis bambu yang banyak terdapat di Indonesia. Bambu Gombong berukuran besar berwarna hijau kekuningan hingga hiijau muda, diameter rata-rata adalah 12 cm, tetapi ukurannya bisa mencapai lebih besar dari itu. Ukurannya yang besar menjadikannya sebagai bambu yang paling banyak dipergunakan sebagai “tiang” pada konstruksi rumah, saung, bangsal dan lain-lain bangunan dengan komponen utama bambu. Tinggi Gombong rata-rata adalah 12 meter dan bisa lebih dari itu, tergantung usia dan kesuburan tanaman. Klasifikasi dari Bambu Gombong (G. pseudoarundinacea) sebagai berikut: Kingdom : Plantae (Tumbuhan) subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) super divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil) sub kelas : Commelinidae ordo : Poales famili : Poaceae (suku rumput-rumputan) genus : Gigantochloa spesies : Gigantochloa pseudoarundinacea
17
Gambar 7 Morfologi Rebung Bambu Gombong(G. pseudoarundinacea) (sumber: Gigantochloa pseudoarundinacea 1991) Rebung bambu Gombong berwarna coklat karena diselimuti oleh bulu (Gambar 6), tinggi bambu gombong mencapai 7-30 m (batang berbulu tebal dan tebal dinding batang hingga 2 cm), jarak buku hingga 40- 45 cm (Gigantochloa pseudoarundinacea (Steudel) Widjaja 2010). Bambu Gombong tumbuh di habitat tanah liat berpasir/tanah berpasir dengan ketinggian hingga 1200 m di atas permukaan laut dengan curah hujan per tahun 2350-4200 mm, temperatur 20-32 derajat C dengan tingkat kelembaban relatif sekitar 70% (Gambar 8).
Gambar 8 Bambu Gombong (G. pseudoarundinacea) (Sumber: Gigantochloa pseudoarundinaeceae 1991)
18 Pemanfaatan Bambu sebagai Bahan Baku Angklung Ditinjau dari segi pemanfaatannya, bambu dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan baik langsung maupun tidak langsung yang secara keseluruhan mencerminkan tingkat variasi yang cukup tinggi (Nuriyatin, 2000). Akar bambu dimanfaatkan menjadi ukiran, buluh bambu digunakan sebagai bahan bangunan, jembatan, kerajinan tangan, keranjang, meubel, alat pertanian, pipa air, kertas, sumpit, tusuk gigi hingga tusuk sate (Widjaja, 2001b). Masyarakat di Indonesia mempergunakan bambu untuk konstruksi, perabotan, bahan baku kertas, obat-obatan, tanaman penghijauan hingga alat musik. Menurut Prosea (1995) dalam Nuriyatin (2000), jenis bambu yang cocok dipergunakan untuk kepentingan peralatan musik terutama angklung adalah Bambu Hitam (G. atroviolaceae/G. verticillata), Bambu Temen (G. atter), Bambu Tali (G.apus), Bambu Gombong (G. pseudoarundinaceae), dan Bambu Mayan (G. robusta/G. verticillata). Tidak semua jenis bambu dapat dipergunakan sebagai bahan baku angklung. Hal ini disebabkan potensi/sifat-sifat dasar yang dimiliki setiap jenis bambu berbeda. Sifat-sifat yang menentukan kegunaan bambu sebagai angklung didasarkan pada sifat anatomi dan fisik dari bambu tersebut. Sifat fisik meliputi kadar air, berat jenis, susut lebar, susut tebal. Sedangkan sifat anatomi didasarkan pada dimensi pori, tipe dan distribusi ikatan vaskuler, dan panjang serabut (Tabel 1). Hal ini diperkuat dengan penelitian Nuriyatin (2000) yang menyebutkan bahwa hasil pengolahan data ketiga bambu dengan menggunakan metode Kruskal-Walis memberikan hasil bahwa bambu Hitam (G. atroviolaceae Widjaja/G. verticillata) memiliki kualitas suara terbaik, sedangkan bambu Tali (G. apus) menempati urutan kedua, dan bambu Temen (G. atter) menempati urutan terakhir. Ketiga jenis bambu tersebut merupakan bambu yang cocok sebagai bahan baku angklung karena memiliki pola distribusi serabut yang lebih merata dibandingkan dengan bambu lain. Bambu Hitam (G. atroviolaceae Widjaja/G. verticillata (Willd.) Munro) memiliki ketebalan yang relatif lebih tipis dibanding dua jenis bambu yang lain. Bambu Hitam (G. atroviolaceae/G. verticillata) juga memiliki kerapatan yang tinggi dan ukuran serabut yang relatif lebih besar dibanding bambu lain. Hal ini berdampak terhadap kualitas suara yang dihasilkan oleh Bambu Hitam yang lebih nyaring. Tabel 1 Perbedaan sifat Bambu Hitam (G. atroviolacea), Bambu Temen (G. Atter), Bambu Tali (G. apus), Bambu Gombong (G. peudoarundinacea)
Berat jenis
0,5
0,45
Bambu Tali& Bambu Gombong 0.47
Kadar air kering udara
12,45 %
12,40 %
12, 38%
% Serabut
35
18
25
Pola penyebaran kepadatan bahan (luar, tengah, dalam)
Seragam
Bagian luar dan tengah seragam, sedangkan bagian dalam lebih padat
Seragam
Sifat Bambu
Sumber : Nuriyatin 2000
Bambu Hitam
Bambu Temen
19 Alat Kesenian Angklung (Stimulus Manfaat) Sejarah Perkembangan Angklung Angklung adalah alat musik populer dari Jawa Barat. Tabung Suara, kerangka dan dasar adalah tiga elemen dari alat musik Angklung. Secara etimologis, Angklung berasal dari kata “angka” yang berarti nada dan “lung” yang berarti putus atau hilang sehingga Angklung merujuk nada yang pecah atau nada yang tidak lengkap sehingga memerlukan grup untuk dapat memainkan sebuah lagu dengan angklung (Ganjar 2003). Angklung dalam bentuk yang masih sederhana sudah dikenal masyarakat Sunda sejak masa kerajaan. Angklung digunakan sebagai penyemangat dalam pertempuran. Mitos kepercayaan keberadaan Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Kehidupan dianggap sebagai sejarah terciptanya angklung. Adanya bukti tertulis pada tahun 1908, menunjukkan bahwa permainan angklung menjadi bagian dari misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand(Sejarah Angklung 2012) Ada beragam jenis angklung yang ada di Indonesia. Masyarakat Sunda mengenal angklung Buncis yang digunakan dalam ritual penghormatan Dewi Padi atau Nyai Pohaci seperti pada gambar 9. Masyarakat Baduy mengenal Angklung Buhun atau lebih dikenal dengan angklung Kanekes. Kanekes merupakan desa dimana upacara tradisonal dengan memainkan angklung dilaksanakan. Angklung Dogdog Lonjor terdapat di daerah Sekitar Gunung Halimun Salak. Angklung ini dimainkan setiap upacara seren tahun oleh masyarakat kasepuhan (Sejarah Angklung 2012).
Gambar 9 Angklung Buncis (Sejarah Angklung 2012) Filosofi Angklung Angklung Gubrag yang dibuat di Jasingan Bogor merupakan angklung tertua di Indonesia berusia 400 tahun. Menurut sejarah, Angklung Gubrag digunakan untuk memikat Dewi Sri turun dari langit (bahasa Sunda = ngagubrag) agar memberi berkah kesuburan pada padi. Karena itulah angklung ini dinamakan Angklung Gubrag. Angklung ini dibuat pada abad ke-17 di Jasinga, Bogor. Pada saat ini, beberapa angklung dari zaman dahulu masih tersimpan di Museum Sri Baduga, Bandung. Di perbatasan Cirebon dan Indramayu, tepatnya di Desa Bungko, terdapat angklung yang diberi nama angklung Bungko. Angklung Bungko diyakini telah
20 berusia 600 tahun dan masih terawat dan dipelihara meskipun tidak lagi digunakan. Angklung Bungko diciptakan oleh Syeh Bentong atau Ki Gede Bungko, yaitu seorang pemimpin agama yang menggunakannya sebagai media penyebaran agama Islam (Sejarah Angklung 2012) Angklung merupakan manifestasi bahwa manusia sebagai makhluk sosial harus bersosialisasi. Permainan angklung juga mengajarkan angklung akan menghasilkan suara indah jika digerakkan bersama-sama. Bagian angklung yang terdiri dari satu tabung tinggi dan satu tabung rendah merupakan metamorfosis kehidupan manusia yang tumbuh dan berkembang. Kedua bagian tabung juga mencirikan bahwa untuk menciptakan harmonisasi, kedua tabung harus dibunyikan beriringan seperti halnya dengan manusia yang memerlukan kerja sama dan saling mendukung untuk menciptakan kehidupan yang harmonis (anneahira 2000; the marketers 2013). Jenis-Jenis Angklung Jenis angklung ada dua macam angklung yaitu angklung yang bertangga nada pentatonik, dan angklung yang bertangga nada diatonik (Supardiman 2007). Kedua jenis angklung tersebut sekaligus menunjukkan perbedaan bentuk dan fungsinya. Angklung pentatonik adalah angklung tradisional, biasanya terdiri atas dua atau tiga buah ruas (tabung) yang disusun/disatukan berjajar. Masing-masing tabung mempunyai ketinggian sendiri dan berdiri pada lubang tabung bambu bagian bawah, kemudian dikuatkan oleh dua buah tiang di kiri-kanan dan palang yang menusuk bagian atas tabung. Untuk memperkokohnya, pertemuan antara tiang dan palang diikat oleh tali dari rotan. Ujung tiangnya ada yang berupa palang yang diratakan, dan ada juga yang dilengkungkan disertai hiasan rumbai dari daun pelah. Jika angklung itu memiliki dua tabung, maka tabung yang satu bernada lebih tinggi dan satunya lebih rendah. Misalnya, tabung yang satu itu bernada a, maka tabung kedua bernada a 1(oktav). Tabung yang lebih tinggi bernada tinggi, dan sebaliknya. Angklung yang tersebar di berbagai wilayah Jawa Barat mempunyai latar belakang dan fungsinya masing-masing. Oleh karena itu dikenal banyak sebutan angklung, seperti angklung sered, angklung gubrag, angklung badeng, angklung bungko, angklung buncis, angklung badud (Ganjar Kurnia 2003). Angklung diatonik adalah angklung hasil modifikasi dari angklung tradisional. Pemrakarsanya adalah Daeng Sutigna. Pada tahun 1938, Daeng Soetigna, seorang guru Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat melakukan modernisasi Angklung dari yang berskala tangga nada pentatonis menjadi Angklung kompleks yang berskala tangga nada diatonis. Angklung ini kemudian dikenal dengan nama Angklung Daeng atau biasa disebut Angklung Padaeng dengan tangga nadanya mengacu pada tangga nada musik Barat yaitu do, re, mi, fa, so, la, ti (Sejarah Angklung 2012). Perbedaan Angklung tradisional dengan Angklung Daeng terdapat pada skala tangga nada dan cara memainkannya. Angklung tradisional merupakan Angklung renteng yang dimainkan oleh seorang pemain saja, sedangkan Angklung Daeng dibuat untuk dimainkan bersama, di mana setiap pemain memainkan hanya satu nada saja. Angklung Daeng lebih dikenal oleh masyarakat dan identik dengan angklung nasional. (SejarahAngklung 2012).
21
3 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Saung Angklung Udjo, Jalan Padasuka 116, Bandung. Waktu penelitian dilakukan selama empat bulan yaitu mulai bulan Februari-Mei 2012. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 10 di bawah ini.
Gambar 10 Lokasi Penelitian(Visit Us, 2012) Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: alat tulis, kamera, panduan wawancara, Panduan Identifikasi Bambu di Indonesia yang berupa Buku “Identikit jenis-jenis Bambu di Jawa” oleh Widjaja. Metode Penelitian Penelitian menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan perencanaan interpretasi. Perencanaan interpretasi tersebut terdiri dari beberapa tahap yaitu inventarisasi atau pengumpulan data, analisis data, sintesis dan penetapan rencana interpretasi (Sharpe 1982).
22 Inventarisasi Data Inventarisasi data dilakukan dengan mengumpulkan data yang berupa data primer dan data sekunder. Jenis Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah seluruh data yang diperoleh dari kegiatan pemeriksaan (verifikasi), pengamatan di lapangan dan wawancara. Data sekunder meliputi seluruh informasi yang berhubungan dengan penelitian yang berasal dari studi literatur. Data primer yang diambil berupa data mengenai jenis dan karakteristik bambu sebagai bahan baku angklung, proses pemanfaatan bambu menjadi angklung, keterlibatan pengelola terkait pengelolaan dan pelestarian bambu, pemahaman pengunjung mengenai jenis, proses pemanfaatan bambu serta upaya pelestarian bambu sebagai bahan baku angklung. sedangkan data sekunder berupa data kondisi umum Saung Angklung Udjo sebagai lokasi penelitian. Secara lengkap, data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini tersaji pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Jenis data penelitian Bentuk Data
No.
Kelompok Data
1.
Kondisi umum lokasi penelitian
2.
Bioekologi Bambu (Stimulus Alamiah)
Jenis bambu Habitat bambu Karakteristik fisik & biologis bambu (bagian bambu yang digunakan, sifat anatomi, fisik, mekanik) Asal bambu
3.
4.
Pemanfaatan bambu sebagai bahan baku angklung ( Stimulus Manfaat) Persepsi Masyarakat terhadap pelestarian bambu
Jenis Data Primer Sekunder x x x
Letak dan luas Sejarah dan status Aksesbilitas
Produksi bambu Pemanenan (umur, proses) Pengolahan Budidaya
Pengelola Visi Misi Program interpretasi yang sudah ada Program wisata yang terkait dengan bambu Sarana dan prasarana, obyek yang menarik Upaya pelestarian bambu Upaya mengajak keterlibatan pengunjung Pengunjung
x x x
x x x
x
x
x x x x
x x x x
x x
x x
x
x
x
x
x x
x
x
Metode Pengumpulan Data Studi Literatur
Observasi, Wawancara dan Studi Literatur
Observasi, Wawancara dan Studi Literatur
Wawancara dan Studi Literatur
23 No.
Kelompok Data
Bentuk Data Tujuan berkunjung Preferensi program wisata Pemahaman mengenai angklung Pemahaman terhadap bambu Pemahaman konservasi lingkungan Kesediaan terlibat dalam program konservasi
Jenis Data Primer Sekunder
Metode Pengumpulan Data
x x x x x
Metode Inventarisasi Data Inventarisasi atau pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan 3 prosedur pengumpulan data yaitu studi literatur, pemeriksaan (verifikasi) dan observasi, dan wawancara. Data primer diperoleh dari observasi dan wawancara yang dilakukan kepada pihak pengelola Saung Angklung Udjo dan pengunjung, sedangkan data sekunder diperoleh dari studi literatur. Studi Literatur Studi literatur dilakukan untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian yang berupa informasi mengenai lokasi, visi dan misi Saung Angklung Udjo, Rencana Pengelolaan, peta, aksesbilitas, data jumlah pengunjung, sarana dan prasarana interpretasi, aspek sejarah kawasan. Pemeriksaan (verifikasi) dan Observasi Metode ini bertujuan untuk memeriksa kesesuaian antara data sekunder dengan kondisi dilapangan sekaligus mengamati dan mencatat segala sesuatu yang dapat dipergunakan dalam penyusunan skenario interpretasi. Kegiatan pemeriksanaan dan pengamatan langsung yang dilakukan yaitu verifikasi sarana dan prasarana interpretasi alam, verifikasi obyek yang menarik, dan program interpretasi yang sudah ada serta pengambilan dokumentasi (foto) sarana dan prasarana dan program yang sedang berjalan. Observasi lapangan merupakan pengumpulan data primer dengan mengamati ciri bambu yang dijadikan bahan baku angklung, mengidentifikasi jenis bambu sebagai bahan baku angklung, mengamati proses pengolahan bambu menjadi angklung serta program wisata di Saung Angklung Udjo. Wawancara Wawancara dilakukan secara terstruktur dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang telah disusun sebelumnya, kepada pihak pengelola dan pekerja Saung Angklung Udjo dan pengunjung. Dalam penelitian ini, responden akan dipilih secara purposive sampling, yaitu menyesuaikan dengan tujuan penelitian, kemampuan biaya dan waktu yang dimiliki oleh peneliti (Kusmayadi 2004 dalam Heriyaningtyas et al 2009). Dalam melakukan wawancara kepada pengunjung Saung Angklung Udjo (SAU), langkah pertama adalah menentukan strata pengunjung menurut kelompok umur yaitu anak-anak, remaja, dewasa, usia lanjut
24 yang dapat diajak berkomunikasi dengan baik serta memberikan informasi yang diperlukan sesuai dengan tujuan perencanaan interpretasi. Secara lengkap, data responden berdasarkan strata yang telah dibuat, tersaji pada Tabel 3 di bawah ini. Tabel 3 Stratifikasi responden Kelompok Umur
Proporsi Sampel
Jumlah Sampel
Anak-anak (<12 tahun) Remaja (13-19 tahun) Dewasa (20-60 tahun) Tua (>60 tahun) Jumlah
20 % 20 % 20 % 20 % 100 %
10 10 20 10 50
Wawancara kepada responden dilakukan dengan menggunakan panduan wawancara yang berisi daftar pertanyaan yang terdiri dari tiga topik pertanyaan yaitu pertanyaan mendasar seputar motivasi pengunjung datang, pemahaman pengunjung mengenai bambu dan proses pengolahannya menjadi angklung dan pentingnya upaya pelestarian bambu. Daftar pertanyaan terdapat pada Lampiran 1. Analisis Data Data yang telah dikumpulkan akan dianalisis secara deskriptif dengan pengelompokan dan tabulasi data. Data berupa karakteristik dan jenis bambu yang digunakan sebagai bahan baku angklung, proses pengolahan bahan baku menjadi angklung (pemanenan-pengemasan), program wisata di Saung Angklung Udjo, peran dan kontribusi pengelola terhadap konservasi bambu sebagai bahan baku utama produksi angklung, serta aspek pemahaman pengunjung mengenai bambu dan angklung. Sintesis Sintesis adalah tahap memadukan seluruh unsur yaitu data sumber daya bambu (jenis, ciri bambu), proses pengelolaan bambu menjadi angklung, aspek sumber daya manusia (pengelola), program wisata yang ada, aspek karakteristik pengunjung menjadi sebuah konsep rencana interpretasi yang berbasis konservasi sumber daya bambu. Perencanaan Interpretasi Mengacu pada perencanaan interpretasi Sharpe (1992), data yang telah dikumpulkan dianalisis secara deskriptif dengan pengelompokan dan tabulasi data. Data berupa karakteristik bambu yang digunakan sebagai bahan baku angklung, proses pengolahan bahan baku menjadi angklung (pemanenanpengemasan), kontribusi bambu terhadap program wisata di SAU, peran dan kontribusi pengelola terhadap konservasi bambu sebagai bahan baku utama produksi angklung, serta aspek pemahaman pengunjung mengenai bambu dan angklung. Hasil penelitian berupa sifat bambu, ciri khas sebagai bahan baku angklung serta proses pengolahan bambu menjadi angklung disusun menjadi materi interpretasi. Analisis data karakteristik pengunjung menjadi bahan untuk menyusun rencana interpretasi yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik pengunjung yang datang ke SAU. Tema yang terpilih kemudian dibuat menjadi beberapa program interpretasi yang disesuaikan dengan durasi
25 waktu dan karakteristik pengunjung. Selain itu juga dilakukan pengoptimalan lokasi dengan pengembangan fasilitas yang ada berupa pembuatan papan interpretasi pada beberapa lokasi yang dapat menarik perhatian pengunjung untuk mengenal lebih jauh mengenai karakteristik bambu sebagai bahan baku angklung dan pelestariannya. Gambar 11 berikut ini adalah bagan perencanaan interpretasi modifikasi dari Sharpe (1982) yang akan dibuat di SAU.
SAUNG ANGKLUNG UDJO
Konservasi Bambu
Pengelola & Pengunjung
Visi Misi SAU Program interpretasi di SAU Identitas Pengunjung Pemahaman terkait Bambu dan Angklung Keterlibatan dalam Program Konservasi
Karakteristik Bambu Pengolahan dan Pemanfaatan bambu Budidaya Bambu
ANALISIS Obyek Interpretasi Karakteristik Pengunjung
SINTESIS Rencana Interpretasi
RENCANA INTERPRETASI Program Interpretasi Fasilitas Interpretasi
Gambar 11
Bagan perencanaan interpretasi berbasis konservasi bambu sebagai bahan baku angklung
26
4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Sejarah Saung Angklung Udjo (SAU) Di tahun 50-an, ada sebuah keluarga yang menempati kawasan Jalan Padasuka Bandung, bapak Udjo Ngalagena (alm) dan istri ibu Uum Sumiati (alm) sepasang suami-istri yang telah dikaruniai 10 orang anak, memulai perjalanan mereka untuk mendirikan sebuah paguyuban kesenian Sunda yang unik. Ide dasarnya adalah menjadikan bambu sebagai elemen yang memberikan banyak karakter yang mendominasi, karena itu, banyak benda yang dihasilkan dari bambu, seperti kursi pertunjukan, alat musik hingga panggung pertunjukannya. Udjo mulai membangun Saung Angklung yang berawal dari sebuah rumah tinggal sederhana dengan pekarangan sempit di tahun 1958. Saung yang berarti rumah kecil, pondok, dangau/gubuk diharapkan menjadi tempat berkumpulnya masyarakat belajar angklung dan melestarikannya. Dengan bantuan dan dorongan Daeng Soetigna dan bantuan dari Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat, Saung Angklung Udjo resmi didirikan pada Januari 1966. Saung Angklung Udjo merupakan sanggar seni yang terdiri dari pertunjukan musik bambu, pagelaran kesenian Jawa Barat seperti wayang golek, Rampak Kendang, Pencak silat, Sendratari, Drama Sunda, Tari Topeng khas Cirebonan, hingga kegiatan pengrajin memproduksi barang kerajinan khas dan alat alat musik bambu. Sanggar seni Saung Angklung tersebut kemudian dikembangkan menjadi yayasan Saung Angklung. Secara de facto, Yayasan Saung Angklung mulai didirikan pada tanggal 1 Januari 1967. Yayasan Saung Angklung sendiri mulai didaftarkan pada tanggal 14 September 1973. Berbekal struktur manajemen yang lebih profesional, Saung Angklung Udjo (SAU) berhasil meningkatkan kualitas perusahaan. SAU menunjukkan potensi yang menjanjikan lewat unit–unit usahanya. Diawali dari sebuah paguyuban kesenian Sunda dan workshop Angklung, SAU kini menjadi salah satu tujuan utama wisata budaya di Jawa Barat. Kronologi sejarah perkembangan SAU dari waktu ke waktu dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini. Tabel 4 Saung Angklung Udjo (SAU) dari waktu ke waktu No. 1.
Episode/ Tahun Episode 1 1950-an
1966
Perkembangan Dengam sistem manajemen yang sangat sederhana, Udjo Ngalagena mengelola SAU dengan semangatnya yang tak kenal lelah. Angklung dimainkan dalam sebuah peristiwa akbar yang bersejarah, yaitu Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955, saat itu Udjo Ngalagena menjadi salah satu konduktor orkestra. Beberapa tahun kemudian, hasratnya pada Angklung mendorong Udjo untuk mengajak masyarakat sekitar berkontribusi secara aktif untuk mengembangkan kerajinan Angklung dan berpartisipasi dalam pertunjukan kesenian Sunda. Mulai memproduksi Angklung sendiri. Udjo Ngalagena dan istrinya Uum Sumiati mendirikan SAU. SAU memperkuat reputasinya dengan tampil dalam beberapa acara besar, diantaranya adalah peringatan ke 5 Konferensi Asia Afrika dan
27
28 Papan tersebut memberikan informasi bahwa lokasi SAU berada 250 m dari muka jalan. Wisatawan yang berasal dari Jakarta dapat mencapai lokasi SAU dengan menggunakan kendaraan umum yang berupa bus umum, atau menggunakan penyedia bus (travel agent) yang bekerja sama dengan SAU. Dari Jakarta, wisatawan dapat melewati tol Pasteur menuju Cicaheum. Dari Kota Bandung, wisatawan bisa menggunakan taksi atau Angkot (Angkutan Umum Perkotaan) untuk mencapai lokasi SAU. Profil Pengelola SAU Pada awal berdirinya, SAU merupakan sebuah yayasan yang hanya berfungsi sebagai cagar budaya Sunda. Dalam perjalanannya, SAU berkembang menjadi sebuah perusahaan modern dengan pengelolaan cagar budaya yang semakin profesional. Sampai dengan saat ini, SAU membagi pengelolaan ke dalam dua wadah, yaitu Yayasan SAU dan PT. SAU. Pengelolaan yang dilakukan oleh Yayasan SAU (Saung Angklung Udjo Foundation) terfokus pada pelestarian budaya, dimana yayasan ini menjadi rel agar SAU tetap patuh pada visi dan misi awal, yaitu menjadi kawasan budaya Sunda, khususnya Bambu, serta melestarikan dan mengembangkan budaya. Adapun bentuk Perseroan Terbatas (PT) adalah kendaraan SAU yang fokusnya berientasi komersil untuk mendapatkan keuntungan (profit). Struktur Organisasi SAU memiliki bagan stuktur organisasi yang terdiri dari President Director, Bussiness&Development Director, Operational Director. Divisi Corporate Secretary SAU berada dalam naungan Operational Director. Berdasarkan data yang diperoleh dari Manajer Komunikasi Perusahaan, SAU memiliki dua unit bagian yaitu Unit bisnis dan Unit Pendukung. Kedua unit tersebut masing- masing memiliki konsultan. A. Unit Bisnis, yang terdiri dari : E-Marketing: Bagian Marketing bertangggung jawab atas pemasaran, pemesanan tempat serta penjualan segala produk dan layanan dari Saung Angklung Udjo. Departement Performance : Bagian ini bertugas atas pertunjukan, kreativitas, kemasan serta inovasi seni dan budaya yang akan ditampilkan dalam pertunjukan seni. Mereka juga bertanggung jawab untuk membuka pendaftaran pemain baru yang ingin bermain angklung di Saung Angklung Udjo dan mengatur penjadwalan para pemain pertunjukan. Production Group: Bagian ini bertanggung jawab atas produksi serta pengolahan Angklung dan mengawasi ketersediaan bahan baku utama Angklung yaitu bambu. Selain itu juga bekerja sama dengan para pengrajin Angklung di sekitar daerah Padasuka untuk memproduksi angklung. B. Unit Pendukung, yang terdiri dari: Finance and Accounting Group: Bagian ini bertanggung jawab atas keuangan perusahaan secara keseluruhan serta mengatur keuangan perusahaan.
29
Human Capital Group: Bagian ini bertanggung jawab atas kegiatan serta bidang kepegawaian SAU. Stuktur organisasi SAU dapat dilihat pada Gambar 13 di bawah ini.
Presiden Director
Business & Development Dir
Research & Development
Operational Dir
Corp Secretary
Comercial Group
Production Group
Finance & Accounting Group
Human Capital Group
Dept. Performance
Dept. Performance
Dept Finance
Dept HRD
Dept Product
Dept Product
Dept Accounting
Dep. Training
Dep. Training
Dept. Banquet & GM
Dept. Banquet & GM
E-Marketing
Gambar 13 Struktur organisasi SAU
Dept Legal
Dept General Service
30 Sarana dan Prasarana SAU memiliki suasana taman belakang yang rindang dan menyenangkan. Dikelilingi oleh tanaman khas Sunda, suasana serta angin yang alami serta sebagai rumah bagi beragam jenis burung liar. Dengan luas area sekitar 1000 meter persegi yang terdiri dari rumput yang hijau, pengunjung dapat melakukan beragam aktivitas hingga menampung lebih dari 150 orang. Sarana dan prasarana yang dimiliki di SAU meliputi: 1. Gerbang Pintu Masuk Utama 2. Guest House Angklung 3. Area/ Tempat Parkir 4. Guest House Arumba 5. Toko Cinderamata 6. Kantor 7. Pusat Produksi Angklung 8. Bale Karesmen 9. Tepas Udjo 10. Warung Hawu 11. Buruan Sari Asih dan Panggung Serbaguna 12. Kantor 13. Studio Musik 14. Perpustakaan 15. Sentra Penyuluhan Kehutanan
Gambar 14 Bale Karesmen Bale Karesmen seperti yang ditunjukkan pada Gambar 14 merupakan sebuah bangunan gaya klasik dengan struktur atap Sunda dan ampiteater di dalamnya, dengan ukuran 225 meter persegi terdapat kursi kayu yang disusun pada tiga sisi, serta terdapat panggung untuk Pangrawit (Karawitan) yang menemani pengunjung saat pertunjukan. Bale Karesemen ini dapat menampung hingga 400 orang.
31
Gambar 15 Buruan Sari Asih Beragam hewan ternak, unggas serta sarang belasan jenis burung liar terdapat di SAU. Anak-anak dapat belajar mengenali alam sekitar dengan beragam jenis hewan dan burung liar serta bermain permainan tradisional ala SAU. Buruan Sari Asih (Gambar 15) menjadi salah satu tempat alternatif bagi pengunjung yang ingin menikmati suasana kampung Sunda. SAU juga memberi kesempatan bagi pengunjung untuk melihat proses pembuatan Angklung tersebut secara keseluruhan.
Gambar 16 Fasilitas yang ada : (a) Saung, Tempat Alternatif untuk Berkumpul Bersama Keluarga, dan (b) Pusat Produksi Angklung
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Program Wisata di Saung Angklung Udjo Sejak didirikan pada tahun 1966 oleh Udjo Ngalagena, Saung Angklung Udjo berpinsip harus mengenalkan angklung kepada semua orang (Syafiii 2009). Inovasi yang dilakukan oleh Udjo yaitu memproduksi angklung untuk dijual sebagai souvenir, mengadakan pelatihan memainkan angklung serta pertunjukan
32 kesenian. Hal ini didasari sebagai bentuk pendidikan dini kepada anak-anak terhadap musik angklung. Ciri khas paket kunjungan di Saung Angklung Udjo adalah bamboo afternoon (Gambar 17). Program wisata ini khusus dirancang untuk keperluan wisatawan mancanegara yang memiliki kesempatan/waktu yang singkat. Dinamakan Bamboo Afternoon atau bambu petang karena dipentaskan setiap sore. Rangkaian acara ini meliputi: 1. Pemberian cinderamata (kalung angklung), sinopsis pertunjukan dan segelas minuman jahe kepada pengunjung yang baru datang. 2. Demontrasi wayang golek yaitu boneka kayu yang dipakaikan kostum menyerupai manusia. Hal ini karena pertunjukan wayang golek sesungguhnya berdurasi 7 jam. Demonstrasi hanya menampilkan bagaimana wayang golek berbicara, menari dan berkelahi di pertempuran. Hal yang menarik pada pertunjukan di Saung Angklung Udjo ketika papan penutup kaki Dalang di buka menjelang berakhirnya sandiwara wayang, Hal ini bertujuan agar penonton dapat melihat gerak kaki Dalang dalam memainkan wayang. 3. Helaran merupakan arak-arakan upacara tradisional dengan memainkan angklung yang dilakukan ketika khitanan ataupun panen padi. Angklung yang digunakan merupakan angklung dengan nada salendro/pentatonik, berupa nada asli angklung yang terdiri dari nada da, mi, na, ti, la, da. 4. Tari Tradisional Tari Topeng. Penyajian tari topeng di pertunjukan merupakan cuplikan dari pola tarian klasik topeng Kandaga, sebuah rangkaian tari topeng gaya parahyangan yang menceritakan ratu Kencana Wungu yang dikejar oleh prabu Menakjingga. Tari kedua adalah tari merak, merupakan pengejawantahan burung merak dengan keindahan bulunya. 5. Calung. Permainan calung merupakan permainan bambu. 6. Arumba. Arumba merupakan singkatan dari alunan rumpun bambu. Band dengan alat musik bambu alat musik tradisonal dengan nada diatonik yang diciptakan oleh Udjo Ngalagena. 7. Angklung mini Pertunjukan angklung yang dilakukan oleh anak-anak usia 2 hingga 13 tahun dengan menggunakan angklung yang berukuran kecil.
Gambar 17 Beberapa rangkaian acara : (a) Wayang Golek, dan (b) Helaran (Pertunjukan Bambu Petang 2012)
33 Profil Pengunjung Motivasi Kunjungan Motivasi pengunjung menjadi informasi penting dalam perencanaan interpretasi. Dalam rangka mengetahui motivasi, persepsi, dan aktivitas pengunjung di Saung Angklung Udjo, maka dilakukan wawancara semi terstruktur dengan pengunjung. Umumnya pengunjung cukup antusias dan bersedia berpartisipasi dalam wawancara. Sayangnya waktu yang dimiliki sangat minim untuk menjawab seluruh pertanyaan yang diberikan. 7 Orang
13 Orang
30 Orang
Gambar 18 Motivasi pengunjung ke SAU Berdasarkan hasil wawancara dengan pengunjung seperti yang terlihat pada Gambar 18 di atas dapat diketahui bahwa 60% pengunjung bertujuan untuk melihat pertunjukan angklung, 26% bertujuan mempelajari angklung dan 11% memperkenalkan kesenian angklung kepada keluarga, khususnya putra putrinya. Salah satu responden mengatakan kunjungan ke Saung Angklung Udjo sebagai bentuk pendidikan dini bagi generasi muda. Keinginan berkunjung didasari untuk mengenal angklung dan tertarik dengan angklung sejak angklung dinobatkan menjadi bagian dari warisan dunia. Program Wisata yang dipilih Pengunjung Terdapat tiga paket kunjungan di Saung Angklung Udjo yaitu pertunjukan bambu dan kesenian sunda, program setengah hari di Saung Angklung Udjo, dan mengenal alam di Saung Angklung Ujo. Pertunjukan bambu dan kesenian sunda menjadi program wisata yang dipilih oleh 43 orang sedangkan 7 orang memilih mengenal alam di Saung Angklung Udjo. (Gambar 19).
7 Orang
43 Orang
Gambar 19 Program wisata yang dipilih pengunjung
34
Pemahaman Pengunjung terhadap Proses Pembuatan Angklung Gambar 20 menunjukkan bahwa dari 50 orang responden, sebanyak 34% responden sudah mengetahui proses pembuatan angklung. Pengetahuan tersebut diperoleh dari kunjungan ke Saung Angklung Udjo sebelumnya sedangkan 66% belum mengetahui proses pembuatan angklung.
17 Orang 33 Orang
Gambar 20 Pemahaman pengunjung terhadap proses pembuatan Angklung Pemahaman Pengunjung terhadap Jenis Bambu sebagai Bahan Baku Angklung Dari 50 responden yang diwawancarai terkait jenis bambu sebagai bahan baku angklung, sebanyak 33 orang mengetahui bahwa bambu merupakan bahan baku angklung namun tidak mengenal jenis bambu yang digunakan. Sedangkan 17 responden menjawab bambu yang digunakan sebagai bahan baku angklung adalah awi wulung/bambu hitam (G. atrovioleacea). Gambar 21 di bawah ini menunjukkan pemahaman pengunjung terhadap jenis bambu sebagai bahan baku Angklung. 17 Orang 33 Orang
Gambar 21 Pemahaman pengunjung terhadap jenis bambu sebagai bahan baku Angklung Pemahaman Pengunjung mengenai Konservasi Bambu Hasil wawancara kepada pengunjung mengenai konservasi Bambu dapat dilihat pada Gambar 22. Dari 50 orang responden, 90% menyatakan perlunya pelestarian bambu, salah satunya melalui penanaman bambu secara massal. Sedangkan 10% upaya pelestarian bambu belum diperlukan karena jumlah bambu masih cukup besar. Mereka menganggap bambu mudah didapatkan dan tumbuh liar dimanapun. Dari upaya konservasi yang telah dilakukan sebesar 66% pengunjung mengaku terlibat dalam upaya konservasi lingkungan berupa gerakan
35 penanaman pohon di lingkungan tempat tinggalnya sedangkan 34% responden menjawab belum pernah melakukan upaya konservasi lingkungan. Namun dari seluruh responden, belum ada satupun yang terlibat dalam upaya pelestarian bambu.
5 Orang 45 Orang
Gambar 22 Pemahaman pengunjung mengenai konservasi Bambu Kesediaan Pengunjung Terlibat dalam Program Konservasi Bambu di SAU Kebutuhan program atau fasilitas yang memperkenalkan bambu sebagai bagian penting dari alat musik angklung disampaikan oleh 80% responden atau sebanyak 40 orang. Keingintahuan dan ketertarikan pengunjung untuk mengenal bambu sebagai bahan baku angklung didasari bahwa upaya pelestarian bambu berarti juga melestarikan angklung. Proses Pengolahan Bambu Menjadi Angklung Pengadaan Bahan Baku Saung Angklung Udjo memproduksi angklung dengan menggunakan bahan baku berupa jenis bambu Hitam (G. atroviolacea), sebagai bahan tabung, Bambu Temen (G. atter) sebagai tabung dasar dan bambu Tali (G. apus) untuk bahan kerangka (jejer dan palang gantung). Hal ini diperkuat oleh penelitian dari Rifai (1994) yang menyatakan bahwa kondisi lingkungan dan habitat akan mempengaruhi dari tipe dan distribusi ikatan vaskuler buluh bambu. Berdasarkan penelitian, rumpun bambu yang tumbuh di Jawa Tengah memiliki garis tengah buluh lebih besar sehingga lebih cocok untuk kebutuhan perabotan dibandingkan sebagai bahan tabung angklung. Tipe dan distribusi ikatan vaskuler mempengaruhi penghantaran getaran yang berdampak pada kualitas suara yang dihasilkan (Nuriyatin 2000). Kualitas suara yang dihasilkan dari masing-masing jenis bambu dipengaruhi oleh sifat mekanik akustik bambu. Melalui pori-pori, bagian dari energi akustik yang masuk kedalam bambu diserap oleh massanya. Massa mengubah energi akustik menjadi energi termal atau lebih dikenal dengan absorp sound. Berdasarkan wawancara dengan pengelola Saung Angklung Udjo ada dua persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan Angklung dengan kualitas suara yang baik, yaitu persyaratan fisik meliputi tinggi ruas bambu minimal 8 - 51 cm, diameter bambu minimal 1,5 - 4,5 cm serta ketebalan bambu minimal 3,3 mm - 1,5 cm. bambu harus cukup tua dan kering sehingga kadar air rendah serta volume serat padat dan kompak. Hal tersebut mendukung proses perambatan getaran sehingga relatif bersifat konstan.
36 Permintaan angklung dari dalam negeri maupun mancanegara terus bertambah. Hal ini berdampak terhadap permintaan bahan baku yang tinggi. Kurangnya suplai bahan baku dengan spesifikasi dan kualifikasi yang sesuai sebagai angklung di sekitar Saung Angklung Udjo mengakibatkan pengadaan bahan baku dipenuhi dari luar Bandung (Garut, Sukabumi, Subang dan Kuningan). Pengadaan bambu masih mengandalkan pengambilan dari alam sehingga berdampak pada semakin sedikitnya habitat bambu liar. Berdasarkan wawancara dengan pengelola, Saung Angklung Udjo melakukan kerja sama dengan mitra penyedia bahan baku. Mitra atau dikenal dengan vendor memiliki tanggung jawab berupa pemanenan, pengeringan, penyimpanan hingga distribusi ke Saung Angklung Udjo. Pemesanan/pembelian bahan baku dilakukan secara berkala menurut periode produksi dengan memperhatikan kualitas bahan baku, proses pasca pemanenan (sebelum melakukan kerja sama, pihak pengelola melakukan survei lokasi). Lokasi milik mitra harus memenuhi syarat terkait pemanenan hingga penyimpanan. Beberapa syarat terjadinya kerja sama adalah pihak mitra memiliki lahan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan bambu dalam satu kali masa panen, yaitu kurang lebih 10.000 batang. Pengetahuan akan pemilihan bambu yang cocok sebagai bahan baku angklung merupakan pengetahuan yang wajib dimiliki oleh pengelola khususnya staff Produksi. Karakteristik bambu yang digunakan sebagai bahan baku angklung sangat spesifik. Pemilihan bambu dilakukan berdasarkan usia bambu yang tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda. Bambu yang paling cocok untuk angklung berusia 3-4 tahun. Jika dibawah 3 tahun, serat belum kompak dan rapat sehingga suara yang dihasilkan tidak maksimal. Nada yang dicapai tidak mampu melengking dan kencang. Apabila bambu yang dipanen lebih dari usia 4 tahun, akan mempengaruhi kualitas nada yang dihasilkan. Pengolahan Bahan Baku Pemanenan Selama ini bambu yang dipanen (Gambar 23) merupakan hasil dari pengambilan secara langsung di alam. Petani tidak melakukan penanaman/ budidaya bambu. Sejauh ini bambu yang digunakan sebagai bahan baku angklung diambil dari lokasi di Jampang Kulon, Sukabumi, Cianjur hingga Kuningan. Waktu pemanenan bambu antara bulan Juli-Oktober, ketika musim kemarau sehingga bambu yang dihasilkan lebih kering dan tidak dimakan organisme perusak. Sebelum melakukan kontrak kerja sama, pengelola melakukan survey terhadap cara pemanenan bambu yang dilakukan oleh calon mitra. Bambu yang baik adalah bambu yang dipanen pada pukul 09.00 wib hingga pukul 15.00 wib. Hal didasarkan pada waktu fotosintesis bambu sehingga meminimalisasi serangan serangga bubuk kering. Hama tersebut dapat menyebabkan munculnya bubuk putih di dalam ruas sehingga berpengaruh terhadap kualitas suara dari bambu tersebut. Apabila calon mitra tidak melakukan pemanenan dengan aturan standar dari Pihak Saung Angklung Udjo, maka Pengelola melakukan pelatihan dan pengenalan metode pemanenan yang tepat terhadap calon mitra.
37
Gambar 23 Bambu yang baru dipanen Pengawetan dan Pengeringan Bambu mudah diserang oleh mikroorganisme. Tahap selanjutnya adalah pengawetan (Gambar 24). Usaha pengawetan bambu secara tradisional sudah dikenal oleh masyarakat pedesaan. Pengawetan dilakukan dengan merendam bambu di dalam air mengalir, air tergenang, lumpur atau melalui metode pengasapan.
Gambar 24 Ilustrasi pengawetan dan pengeringan bambu dengan metode pengasapan (Membuat angklung 2012) Selain itu juga dapat dilakukan dengan diangin-anginkan di tempat yang teduh atau disimpan dalam gudang hingga 3-4 bulan. Tahap selanjutnya adalah pemilihan bambu yang utuh tanpa adanya hama. Saat ini pengawetan sudah menggunakan bahan kimia antara lain boraks, campuran kapur barus dengan minyak tanah dan berkembang dengan menggunakan boron dan pestisida pengawet kayu. Bambu yang sudah dikeringkan kemudian direndam selama kurang lebih seminggu (Gambar 25). Hal ini untuk menghilangkan hama-hama yang masih
38 terdapat di dalam ruas. Bambu juga diasapi dan disemprot dengan obat pembasmi hama. Namun hal ini membutuhkan waktu dan bambu menjadi tidak aman bagi manusia. Karena obat pembasmi hama terbukti menyebabkan efek samping gatalgatal. Bambu yang sudah dikeringkan kemudian dikirim ke Bandung, tepatnya di lokasi Saung Angklung Udjo. Sesampai di lokasi, bambu yang rusak selama perjalanan akan dijadikan sebagai bahan baku souvenir dan perabotan. Sedangkan bambu yang masih baik, akan didistribusikan kepada mitra pembuat Angklung. Saung Angklung Udjo memiliki tiga mitra dalam pembuatan angklung. Mitra pertama pembuat tabung, penyetelan nada pada tabung resonansi angklung dan merakit, mitra kedua membuat rangka.
Gambar 25 Proses pengawetan bambu dengan metode perendaman Proses pengeringan dibutuhkan untuk menjaga stabilitas dimensi bambu, perbaikan warna permukaan, serta pelindung terhadap serangan jamur dan bubuk basah. Pengeringan bambu dilakukan dengan cara pengasapan ataupun tungku (Gambar 26). Pengeringan yang terlalu cepat mengakibatkan bambu mudah pecah namun pengeringan yang terlalu lambat akan berakibat pada warna bambu yang suram, bulukan dan menjadi gelap. Kekuatan bambu juga akan bertambah seiring keringnya bambu. Pengeringan bambu harus dilaksanakan secara hati-hati, karena apabila dilakukan terlalu cepat (suhu tinggi dengan kelembaban rendah) atau suhu dan kelembaban yang terlalu berfluktuasi akan mengakibatkan bambu menjadi pecah, kulit mengelupas, dan kerusakan lainnya. Sebaliknya bila kondisi pengeringan yang terlalu lambat akan menyebabkan bambu menjadi lama mengering, bulukan dan warnanya tidak cerah atau menjadi gelap.
39
Gambar 26 Pengeringan Bambu secara vertikal Pembuatan Kerangka Angklung Kriteria bambu yang memenuhi syarat memiliki ruas sepanjang mungkin, diameter bambu tidak lebih dari 6 cm, ringan dan memiliki serat yang padat. Bambu yang sudah dikeringkan kemudian diseleksi untuk diolah lebih lanjut menjadi angklung (Gambar 27). Selanjutnya bambu dipotong menjadi bakalan sesuai dengan ukuran tabung, rangka atau tiang.
Gambar 27 Bakalan Angklung
40 Bakalan ini kemudian diolah menjadi nada sora, yaitu menyesuaikan panjang tabung dan tinggi lubang. Pekerjaan ini membutuhkan keterampilan dan keahlian tersendiri, sehingga dapat dihasilkan bunyi yang nyaring dengan cara dipukul dan ditiup. Bambu Hitam dan Bambu Tali untuk tabung suara dan tabung dasar sedangkan untuk bambu Gombong dan bambuTemen untuk tiang rangka angklung (Gambar 28).
Gambar 28 Tabung Angklung Perakitan Tahap perakitan (Gambar 29) merupakan tahap dimana tabung bambu dan kerangka diikat dengan rotan. Pekerjaan ini tidak terlalu susah namun juga membutuhkan kecepatan dan ketelitian. Bagi pekerja yang sudah terbiasa menggabungkan tabung dan kerangka dengan rotan hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit. Umumnya pekerjaan ini dilakukan oleh mitra pembuat tabung. Mitra pembuat tabung akan mengambil kerangka dari mitra lain untuk dirakit menjadi angklung.
Gambar 29 Proses perakitan angklung
41 Penyeteman/ Penyetelan Nada Saung Angklung Udjo menerapkan prinsip bahwa konsumen yang membeli angklung tidak hanya membeli alat musik bambu melainkan membeli suara. Oleh karena itu penyeteman menjadi proses yang sangat diperhatikan dalam pembuatan angklung. Setiap angklung yang diproduksi merupakan sebuah totalitas mutu Saung Angklung Udjo. Setelah bambu dipilih, bambu tersebut baru dapat digunakan sebagai bahan pembuatan angklung. Pembuatan angklung yang paling penting adalah membentuk nada dasar dari tabung bambu. Suara bambu ada dua yaitu suara kayu bambu ketika beradu dengan benda lain dan suara yang dihasilkan ketika tabung ditiup. Alat penyeteman/penyesuaian nada yang digunakan untuk menentukan nada dasar adalah Berrina. Kemudian setelah dihasilkan nada dasar dilakukan finishing dengan penyeteman dengan Autochromatic Tuner (Gambar 30 dan Gambar 31). Dahulu penyeteman angklung hanya menggunakan botol-botol yang diisi air dan diberi tanda pada bagian luarnya, saat ini penyeteman selain menggunakan suling, gamelan, dan juga telah menggunakan alat elektronik yaitu Autochromatic Tuner. Proses akhir rangka dan tabung diikat dengan tali rotan.
Gambar 30 Angklung yang telah distem Pengecekan dan Pengemasan Tahap pengecekan merupakan tahap terakhir sebelum angklung dikemas. Pengecekan atau lebih dikenal quality control merupakan mekanisme pemeriksaan kerangka, suara angklung setelah distem. Selanjutnya dilakukan
42 pengemasan angklung dengan menggunakan kardus sebelum angklung dikirim ke tempat tujuan. Pengemasan dilakukan ketika angklung telah mengalami masa uji lulus yang ditunjukkan dengan tidak adanya hama yang terdapat pada angklung.
Gambar 31 Finishing tabung Angklung Upaya Konservasi Bambu sebagai Bahan Baku Angklung Saung Angklung Udjo sebagai pihak yang mengembangkan angklung membutuhkan sumber daya bambu jangka panjang memiliki kewajiban untuk mengelola bambu secara alam maupun melalui penanaman bambu.Semakin langkanya jenis bambu untuk angklung merupakan kendala yang dihadapi Saung Angklung Udjo. Menurut Pengelola, jumlah bambu yang sesuai untuk bahan baku angklung akan habis dalam waktu 10 tahun mendatang khususnya bambu Hitam sebagai bahan baku utama tabung angklung. Permintaan yang tinggi terhadap jenis bambu Hitam menjadikan bambu Hitam lebih banyak dicari oleh mitra petani. Kebutuhan bambu yang terus meningkat mengakibatkan permintaan bambu tidak dapat dipenuhi dari wilayah Bandung, melainkan harus mencari bambu Hitam hingga ke Sukabumi dan Kuningan. Permintaan bambu yang tinggi tidak disertai dengan budidaya bambu yang intensif sehingga berdampak terhadap keberadaan dan kebutuhan bambu jangka panjang. Len Muller (1996a, 1998b) dalam Wong (2004) menyampaikan “the possible roleof selection in maintaining useful bamboo clones”. Konservasi spesies bambu menjadi perhatian banyak pihak. Tidak adanya manajemen bambu yang baik membuat proses pemanenan bambu di hutan dilakukan dengan cara menebang habis seluruh tanaman, praktek ini sangat tidak ekologis dan merupakan pemborosan karena banyak batang bambu yang semestinya dapat dimanfaatkan. Upaya mendorong program pengelolaan bambu dengan menjamin keseimbangan antara pelestarian keanekaragaman hayati bambu dan pemanfaatannya melalui pelestarian bambu secara in-situ dan ex-situ dilakukan melalui kegiatan penanaman di hutan bambu alam yang masih ada dan pembuatan kebun koleksi untuk mempertahankan keberadaan berbagai jenis bambu baik yang endemik maupun yang eksotik dengan semua sumber genetiknya.
43 Kesadaran berkonservasi timbul dari terpenuhinya stimulus alamiah (karakteristik bambu sebagai bahan baku angklung, habitat, sifat fisik yang dimiliki oleh bambu sebagai bahan baku angklung) dan stimulus manfaat dari bambu sebagai bahan baku angklung. Stimulus manfaat dari bambu berupa produk angklung sebagai alat kesenian tradisional (nilai sosial budaya) yang dijual sebagai cinderamata (nilai ekonomi). Jenis bambu yang digunakan sebagai tabung angklung berpengaruh terhadap harga angklung. Harga seperangkat angklung di SAU berkisar antara Rp 1.500.000 hingga Rp 2.000.000. Harga tersebut tergantung pada jenis bambu yang digunakan. Angklung berbahan dasar bambu Hitam memiliki harga yang lebih tinggi dibanding angklung dengan bahan baku bambu Tali. Pemahaman bahwa semakin sulitnya mencari bahan baku bambu Hitam berpengaruh pada kesadaran masyarakat (pengguna) untuk melakukan konservasi dengan cara penanaman jenis bambu sebagai bahan baku angklung untuk menjaga ketersediaan bahan baku serta melakukan upaya pengelolaan pemanenan dengan menggunakan metode yang meminimalisasi kerusakan lingkungan. Pengelolaan bambu yang memperhatikan konservasi bamboo dilakukan untuk menjaga ketersediaan sumber daya bambu jangka panjang melalui budidaya dan pengelolaan bambu yang tepat. Salah satu pengelolaan yang perlu dilakukan yaitu yaitu pemanenan bambu dengan metode tebang habis diganti dengan metode tebang pilih. Kualitas bambu yang dipanen dengan metode tebang pilih juga lebih baik dibanding metode tebang habis. Pada metode tebang habis, semua batang bambu ditebang baik yang tua maupun yang muda, sehingga kualitas batang bambu yang diperoleh bercampur antara bambu tua dan muda. Selain itu metode ini juga menimbulkan pengaruh terhadap sistem perebungan bambu, sehingga kelangsungan tanaman bambu terganggu, karena sistem perebungan bambu dipengaruhi juga oleh batang bambu yang ditinggalkan. Pada beberapa jenis tanaman bambu metode tebang habis menyebabkan rumpun menjadi kering dan mati, tetapi pada jenis yang lain masih mampu menumbuhkan rebungnya tetapi dengan diameter rebung tidak besar dan jumlahnya tidak banyak. Metode tebang pilih pada tanaman bambu adalah menebang batang-batang bambu berdasarkan umur tumbuhnya. Metode ini dikembangkan dengan dasar pemikiran adanya hubungan batang bambu yang ditinggalkan dengan kelangsungan sistem perebungan bambu. Manfaat bambu yang beragam perlu diimbangi dengan perlindungan akan keberadaan bambu baik dari segi jenis, lahan/tempat penanaman (in situ dan ex situ), produk, hingga pengrajin. Data-data peneliti terkait sebaran dan potensi bambu khususnya jenis bambu sebagai bahan baku angklung perlu disampaikan kepada mitra dan pengelola sebagai pengguna dan pihak yang berinteraksi langsung dengan tanaman bambu. Pengelolaan bambu sebagai upaya pemanfaatan yang berkelanjutan perlu disebarluaskan dan disampaikan kepada masyarakat. Upaya konservasi bambu perlu dimasyarakatkan sehingga kegiatan penanaman bambu menjadi icon seperti layaknya kegiatan penanaman pohon.
44 6
PERENCANAAN INTERPRETASI BERBASIS KONSERVASI BAMBU SEBAGAI BAHAN BAKU ANGKLUNG
Seperti yang disampaikan oleh Muscardo (1998) peran interpretasi dalam mendukung kegiatan wisata meliputi meningkatkan pengalaman berkualitas bagi pengunjung, meningkatkan kualitas hidup pengelola dan masyarakat, menyampaikan pentingnya keberlanjutan sumber daya bambu, perlindungan keanekaragaman biodiversitas bambu (jenis-jenis bambu yang digunakan sebagai bahan baku angklung), pemeliharaan ekosistem bambu melalui metode pemanenan tebang pilih serta melakukan penanaman bambu in-situ maupun exsitu yang menjamin keberadaan angklung sebagai warisan dunia baik dari segi sumber daya maupun produk secara berkelanjutan. Program wisata yang terdapat di Saung Angklung Udjo masih sebatas pada kebudayaan/kesenian alat musik angklung sehingga belum menyentuh sumber daya bambu sebagai bahan baku utama pembuatan angklung. Perencanaan interpretasi yang dibuat berupa interpretasi berbasis konservasi sumber daya bambu sebagai bahan baku angklung. Keberlanjutan usaha (produksi angklung) dan kelestarian kesenian dan budaya angklung yang dilakukan oleh pihak pengelola Saung Angklung Udjo sangat tergantung pada sumber daya bambu sebagai bahan baku pembuatan angklung. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan antara alat musik angklung (sebagai produk/komoditas) dan sumber daya bambu (sebagai bahan baku). Perencanaan interpretasi merupakan salah satu upaya pengenalan sumber daya bambu yang diharapkan dapat meningkatkan pengertian dan pemahaman, kesadaran, serta apresiasi masyarakat (pengelola dan pengunjung) terhadap sumber daya bambu sebagai bahan baku utama angklung yang jumlahnya terbatas. Pentingnya upaya konservasi dalam menjaga keberadaan sumber daya bambu jangka panjang disampaikan dalam bentuk interpretasi. Pengadaan bahan baku, kegiatan produksi angklung merupakan atraksi yang dapat dikemas menjadi program interpretasi. Topik bambu sebagai obyek interpretasi dijabarkan menjadi beberapa tema, antara lain: pengenalan jenis-jenis bambu, memahami siklus hidup bambu, manfaat bambu, filosofi bambu dan konservasi sumber daya bambu. Beberapa rumpun tanaman bambu yang tumbuh di area Saung Angklung Udjo menjadi obyek penting yang dapat menjelaskan karakteristik bio-ekologis bambu sebagai sumber daya (bahan baku) utama pembuatan angklung. Obyek Angklung tidak dapat dipisahkan dari obyek bambu sebagai bahan baku pembuatannya. Topik angklung dapat dijabarkan menjadi beberapa tema yang berkaitan dengan obyek bambu antara lain: filosofi angklung, proses bambu menjadi angklung (pemanenan, perakitan, hingga pengemasan), bentuk-bentuk angklung yang mengalami modifikasi dari jaman dahulu hingga masa kini, karakteristik tabung-tabung angklung yang menghasilkan nada yang berbedabeda. Tujuan dan Sasaran Interpretasi Tujuan interpretasi berbasis konservasi sumber daya bambu di Saung Angklung Udjo dibangun di atas empat pilar utama yaitu understanding and
45 appreciation; sustainability; authenticity and relevancy; danbest practices. Sasaran interpretasi menurut Sharpe (1982) ada tiga hal yaitu: (1) mengembangkan kesadaran dan memperkaya pengetahuan pengunjung, (2) meningkatkan pendayagunaan sumber daya, dan (3) menjadi sarana promosi agar masyarakat mengetahui nilai sejarah, konservasi dari obyek yang dimaksud. Implementasi dari tujuan yang mengintegrasikan dari keempat pilar tersebut diharapkan menjadi pilihan terbaik dalam perencanaan interpretasi di Saung Angklung Udjo. Sejalan dengan apa yang telah dikemukakan oleh Tilden (1977) bahwa “Interpretation is an educational activity which aims to reveal meanings and relationships through the use of original objects, by firsthand experience, and by illustrative media, rather than simply to communicate factual information”, maka tujuan dan sasaran perencanaan interpretasi di Saung Angklung Udjo dijabarkan sebagai berikut: 1. Meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan penghargaan (apresiasi) masyarakat (pengunjung) mengenai bambu dan angklung. a. Menjadi pusat informasi dan konservasi bambu di Jawa Barat. b. Mewujudkan pendekatan yang seimbang antara sumber daya alam (bambu) dan budaya (angklung). c. Mengembangkan komunikasi dua arah antara pengunjung dan Saung Angklung Udjo. 2. Mencapai kelestarian sumber daya bambu dan angklung, serta keberlanjutan usaha Saung Angklung Udjo. a. Terwujudnya kelestarian sumber daya alam (bambu). b. Terwujudnya relevansi sosial melalui pemberdayaan masyarakat sekitar dan kerjasama kemitraan. c. Terwujudnya program rutin dengan lembaga pendidikan dan pihak lainnya. d. Mewujudkan Saung Angklung Udjo sebagai model interpretasi yang ideal, asli, khas dan relevan bagi semua pengunjung. Tujuan ini meliputi aktifitas pendidikan lingkungan melalui penggalian dan penyampaian informasi mengenai sumber daya bambu dan angklung melalui program interpretasi. Dengan memperhatikan pelaksanaan interpretasi yang autentik, relevan dan eksklusif bagi pengunjung, agar memperoleh makna dan nilai dari sumber daya bambu dan angklung dan menciptakan kepedulian (awareness) yang tinggi terhadap bambu. Dari tujuan tersebut, interpretasi diharapkan dapat mencapai tujuan yang menjamin keseimbangan antara kelestarian sumber daya dan keberlanjutan usaha bagi pihak pengelola Saung Angklung Udjo. Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Veverka (1994), bahwa “objectives are specific and measurable steps that outline actions to achieve goals. Tujuan, sasaran dan strategi perencanaan interpretasi berbasis konservasi bambu di Saung Angklung Udjo dikembangkan berdasarkan rencana interpretasi yang merupakan hasil sintesis dari inventarisasi dan analisis data penelitian (tabel 5). Strategi yang dikembangkan ini diharapkan juga dapat menarik pengunjung baik pengunjung baru maupun pengunjung yang pernah datang ke Saung Angklung Udjo sehingga tertarik untuk melakukan kunjungan kembali secara rutin.
46 Tabel 5
Perencanaan Interpretasi Berbasis Konservasi Bambu sebagai Bahan Baku Angklung di Saung Angklung Udjo
No.
Tujuan
Sasaran/ Indikator
Strategi
1.
Meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan penghargaan (apresiasi) masyarakat (pengunjung) mengenai bambu dan angklung
a. Menjadi pusat informasi dan konservasi bambu di Indonesia. b. Mewujudkan pendekatan yang seimbang antara sumber daya alam (bambu) dan budaya (angklung). c. Mengembangkan komunikasi dua arah antara pengunjung dan Saung Angklung Udjo. Pengunjung bisa mengenal bambu dan habitatnya Pengunjung mengetahui jenis-jenis bambu yang menjadi bahan baku angklung Pengunjung mengerti dan memahami pentingnya konservasi bambu Pengunjung mengetahui proses pengolahan bambu sebagai bahan baku angklung Pengunjung bisa merasakan pengalaman secara langsung proses pembuatan angklung
2.
Mencapai kelestarian sumber daya bambu dan angklung, serta keberlanjutan usaha Saung Angklung Udjo
a. Terwujudnya kelestarian sumber daya bambu b. Terwujudnya keberlanjutan produksi angklung c. Mewujudkan Saung Angklung Udjo sebagai model interpretasi yang ideal, asli, khas dan relevan bagi semua pengunjung. Pengunjung dapat menerima pesan konservasi dan tertarik untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam kegiatan konservasi bambu untuk melestarikan kesenian alat musik angklung Meningkatnya kepedulian publik terhadap konservasi sumber daya bambu
Membangun arboretum bambu dan pusat konservasi bambu Meningkatkan penekanan program wisata pada sumber daya bambu dan angklung Mengintegrasikan interpretasi bambu dengan angklung Memberi peluang bagi pengunjung berperan dalam kegiatan interpretasi (menjadi guide/informan mengenai bambu, menjadi salah satu pemain pertunjukan) Memfasilitasi pengunjung untuk berperan dalam pengelolaan interpertasi bambu (volunteer) Membangun media komunikasi secara online (website) Menggali dan mengembangkan nilai-nilai budaya masyarakat lokal Meningkatkan kepedulian publik terhadap konservasi sumber daya bambu Menerapkan hasil riset untuk mendukung pengelolaan Mengembangkan pusat produksi angklung. Membangun arboretum bambu dan pusat konservasi bambu Membangun stasiun penelitian dan pembibitan bambu
47 Program Interpretasi Dari tujuan, sasaran dan strategi perencanaan interpretasi seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, selanjutnya ditetapkan beberapa program interpretasi di Saung Angklung Udjo. Dalam menentukan program interpretasi, ada beberapa hal yang menjadi dasar pertimbangan, seperti yang telah disarankan oleh Lewis (1980) yaitu: (1) orang belajar terbaik dari pengalaman pertama, (2) orang belajar lebih baik ketika mereka aktif terlibat dalam proses pembelajaran, (3) orang belajar lebih baik ketika mereka menggunakan berbagai sensasi yang tersedia, (4) pengunjung belajar tentang apa yang paling bernilai untuk mereka diwaktu kini, (5) menggunakan berbagai variasi pendekatan dan pembelajaran, dan (6) pembelajaran baru adalah membangun pondasi akan pengetahuan sebelumnya. Dengan memperhatikan prinsip-prinsip interpretasi yang telah dikemukakan oleh Tilden (1977), pendekatan interpretasi oleh Ham (1992), dan saran-saran dari Lewis (1980), maka beberapa program interpretasi yang dipilih di Saung Angklung Udjo adalah : 1. Program pengenalan sumber daya bambu 2. Program pengenalan bahan baku angklung Program-program tersebut di atas merupakan program interpretasi berbasis konservasi sumber daya bambu sebagai bahan baku utama pembuatan angklung. Dalam program ini, pengunjung tidak hanya diberi informasi mengenai jenis-jenis bambu dan upaya konservasi bambu yang menjadi bahan baku utama pembuatan angklung, tetapi mereka diajak untuk berpartisipasi dalam kegiatan konservasi tersebut baik secara langsung maupun secara tidak langsung sehingga dapat memperkaya pengalaman pengunjung. Mengajak pengunjung melihat langsung obyek interpretasi, memahami keterkaitan dan hubungan obyek interpretasi dengan lingkungan melalui pengalaman langsung lewat panca indera, penglihatan, pendengaran, perasaan, penciuman, ataupun perabaan. Aspek yang terlibat dalam sebuah penyampaian interpretasi tidak hanya ranah kognitif, melainkan juga ranah afektif dan psikomotorik. Parameter ranah afektif berupa perasaan dan emosi yang berpengaruh signifikan terhadap persepsi dan perilaku pengunjung khususnya terkait isu lingkungan (Povey&Rion 2002). Obyek, Tema dan Materi Interpretasi Dalam perencanaan interpretasi berbasis konservasi bambu ini, semua data penelitian yang telah dikumpulkan dari berbagai sumber, baik data primer maupun data sekunder digunakan untuk merumuskan dan mendukung pengembangan tema interpretasi. Perumusan dan pengembangan tema interpretasi seperti yang dikemukakan oleh Veverka (1994) memberikan langkah-langkah perencanaan interpretasi yang meliputi enam elemen yaitu What, Why, Who, How/ When/Where (Story Development Forms), Implementation and Operation, So What. Pada elemen pertama, Veverka (1994) memberikan penjelasan bahwa What berisi tentang “The resources, theme, and sub-theme to be interested”, dengan demikian What memberikan gambaran mengenai sumber daya yang akan menjadi obyek interpretasi.
48 Ham (1992) menyatakan bahwa “The topic of a presentation is simply its subject matter, whereas the theme of the presentation is the specific message about the subject we want to communicate to the audience”. Sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Ham (1992) tersebut, maka bambu sebagai obyek interpretasi di Saung Angklung Udjo telah dipilih menjadi topik interpretasi yang merupakan dasar dalam pengembangan tema interpretasi berbasis konservasi bambu sebagai bahan baku pembuatan angklung. Dalam merumuskan tema interpretasi, Mullins (1979) menetapkansuatu formula yaitu “Theme = Topic + Recurring Message Element”. Pada penelitian ini, formulasi tema interpretasi dapat dirumuskan sebagai “Tema = Topik ( Obyek) + Pesan berulang (pesan bagi pengunjung). Berdasarkan formula tersebut, maka dapat dirumuskan sebuah tema utama yang terbagi menjadi 3 (tiga) sub tema dalam perencanaan interpretasi berbasis konservasi sumber daya bambu sebagai bahan baku pembuatan angklung yaitu bambu, angklung, dan saung angklung udjo. Tema utama interpretasi berbasis konservasi sumber daya bambu sebagai bahan baku pembuatan angklung di Saung Angklung Udjo. Banyak penelitian yang menganggap bahwa sangat penting untuk menciptakan program dengan tema yang jelas dan sesuai dengan tujuan (Knapp&Benton 2004). Tema-tema tersebut merupakan pernyataan ide penting yang mengatur pesan-pesan yang akan disampaikan kepada pengunjung Saung Angklung Udjo. Pesan yang diturunkan dari tema-tema interpretasi merupakan materi yang berupa informasi yang akan disampaikan kepada pengunjung Saung Angklung Udjo. Materi ini secara komprehensif meliputi seluruh obyek yang terdapat di Saung Angklung Udjo dengan berbasis pada konservasi sumber daya bambu sebagai bahan baku angklung. Dengan tema-tema ini diharapkan mampu menginspirasi, menggugah kesadaran, kepedulian dan penghargaan pengunjung terhadap obyek interpretasi. Beberapa materi interpretasi dari masing-masing tema dideskripsikan pada Tabel 6 di bawah ini. Tabel 6 Obyek, Tema dan Materi Interpretasi di SAU No. 1.
Obyek Sumber bambu
daya
Tema Bioekologi bambu menjadi dasar konservasi sumber daya bambu
Tema Pendukung : 1. Karakteristik bambu merupakan tulang punggung (backbone) Saung Angkung Udjo
2. Konservasi sumber daya bambu
Pesan/ Materi
Klasifikasi, morfologi serta anatomi bambu Habitat dan penyebaran bambu Pengenalan jenis-jenis bambu Memahami siklus hidup bambu Manfaat bambu
Filosofi bambu Karakteristik bambu Sifat fisik dan mekanik bambu Jenis bambu yang menjadi bahan baku pembuatan angklung ( tidak semua jenis bambu dapat dijadikan bahan baku angklung) Prinsip pengelolaan bambu Arboretum bambu di SAU Pembibitan dan penanaman bambu di SAU
49 Teknik Interpretasi Untuk menyampaikan pesan yang berupa materi interpretasi berbasis konservasi sumber daya bambu kepada pengunjung dengan baik, maka diperlukan teknik interpretasi. Sesuai dengan penjelasan Sharpe (1982), maka teknik interpretasi yang digunakan untuk menyampaikan pesan/materi interpretasi di Saung Angklung Udjo terdiri dari dua teknik yaitu (1) Teknik secara langsung (attended service), dan (2) Teknik secara tidak langsung (unattended service). 1. Teknik secara langsung (attended service) Penyampaian materi interpretasi berbasis konservasi sumber daya bambu kepada pengunjung dilakukan secara langsung oleh seorang interpreter (guide) yang telah ditunjuk oleh pihak pengelola Saung Angklung Udjo. Interpreter tersebut bertugas memberikan penjelasan mengenai obyek interpretasi dengan berdasarkan pada tema dan materi yang telah ditentukan sebelumnya sehingga pengunjung merasa tertarik terhadap obyek tersebut. Proses penyampaian informasi yang berupa materi ini berlangsung didekat obyek interpretasi, sehingga pengunjung dapat melihat dan merasakan obyek seperti bambu dan angklung secara langsung. Pada saat dibutuhkan, interpreter akan mendemonstrasikan suatu aktifitas seperti memainkan angklung, mengidentifikasi jenis bambu dengan indera peraba dan penciuman. Pengunjung juga diberi kesempatan untuk mempraktekkan apa yang telah dijelaskan dan diperagakan oleh interpreter tersebut. Dalam proses komunikasi ini, juga diselingi dengan tanya jawab dan diskusi. Pengunjung yang tertarik, biasanya akan menanyakan sesuatu yang belum diketahui dan ingin penjelasan yang lebih detil. Khusus pada program pertunjukan bambu, interpreter juga bertugas sebagai pembawa acara (host) yang memandu acara pertunjukan dari awal sampai akhir pertunjukan. Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, karena pengunjung bukan hanya berasal dari dalam negeri, namun juga berasal dari luar negeri. 2. Teknik secara tidak langsung (unattended service) Teknik penyampaian informasi/ materi interpretasi secara tidak langsung (unattended service) juga dilakukan di Saung Angklung Udjo. Penyampaian materi dilakukan tanpa kehadiran interpreter, namun dengan menggunakan alat bantu yang berupa media atau sarana interpretasi dalam memperkenalkan obyek interpretasi (Pradini 2002). Media atau sarana interpretasi yang digunakan adalah papan informasi, papan tanda atau penunjuk arah, peta interpretasi, video, galeri foto, website, dan leaflet serta booklet yang berisi materi interpretasi berbasis konservasi sumber daya bambu. 7 CONTOH PROGRAM INTERPRETASI: MENGENAL BAMBU SEBAGAI BAHAN BAKU ANGKLUNG Dari perencanaan interpretasi yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka ditentukan dan dipilih sebanyak 2 (dua) contoh program interpretasi prioritas dalam rangka interpretasi berbasis konservasi sumber daya bambu sebagai bahan baku utama pembuatan Angklung di Saung Angklung Udjo. Program interpretasi tersebut adalah (1) program pengenalan bambu sebagai bahan baku Angklung, dan (2) program pengenalan jenis dan karakteristik bambu
50 yang menjadi bahan baku utama pembuatan Angklung. Target audiensi program adalah pengunjung yang datang ke Saung Angklung Udjo. Program Pengenalan Bambu sebagai Bahan Baku Angklung Program interpretasi yang menjadi prioritas di Saung Angklung Udjo adalah program pengenalan bambu sebagai bahan baku Angklung. Program interpretasi ini akan dijelaskan dalam bentuk tabel, uraian deskriptif, visualisasi gambar, serta video interaktif. Judul Program
: Mengenal Bambu Sebagai Bahan Baku Utama Angklung
Teknik
: Interpretasi secara langsung : Interpretive Talk and Workshop
Target
: Pengunjung (untuk semua umur)
Durasi
: 30 Menit
Lokasi
: Ruang Produksi Angklung
Topik/ Obyek
: Sumber Daya Bambu dan Angklung
Tema Pesan/ Materi
: Bambu sebagai bahan baku utama pembuatan angklung : Bambu dalam Angklung : Morfologi Angklung : Bagian-bagian Angklung Bahan baku pada setiap bagian Angklung Jenis bambu yang menjadi bahan baku utama Angklung
Tujuan
: Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman pengunjung mengenai bambu dan angklung. : Pengunjung mengetahui jenis-jenis bambu yang menjadi bahan baku angklung Pengunjung bisa merasakan pengalaman secara langsung proses pembuatan angklung Pengunjung mengerti dan memahami pentingnya konservasi bambu
Sasaran
Program interpretasi ini dilakukan di ruang produksi yaitu pusat produksi angklung, dengan pemanduan seorang petugas (pegawai) yang disediakan oleh pihak pengelola Saung Angklung Udjo. Dalam program interpretasi ini, petugas berperan sebagai interpreter sekaligus memandu pengunjung yang datang ke Saung Angklung Udjo. Bandung. Materi utama yang menjadi pesan dalam program pengenalan bambu sebagai bahan baku Angklung ini adalah informasi mengenai bagian-bagian Angklung yang berasal dari bambu sebagai bahan baku utama pembuatan Angklung. Secara ringkas, skenario cerita program pengenalan bambu sebagai bahan baku Angklung di Saung Angklung Udjo tersaji pada Tabel 7 di bawah ini.
51 Tabel 7 Skenario Cerita No
Kegiatan
Lokasi/ Ruang
Durasi Waktu
1
Kedatangan pengunjung di SAU
Pintu Gerbang
-
2
Pengunjung Berkumpul
-
3
Perkenalan Interpreter dan Peserta
Area Parkir Ruang Penerimaan/ Pusat Informasi
4
Pemaparan Materi, Workshop dan Diskusi
10 Menit 20 menit
Jumlah Durasi
30 Menit
Arah program interpretasi (interpretive direction) dan skema alur pengunjung dalam program pengenalan bambu sebagai bahan baku Angklung (Gambar 32 dan Gambar 33) menunjukan bahwa program ini merupakan salah satu dari beberapa program yang ada di Saung Angklung Udjo.
Masuk
Masuk (Entry) Media
Interpreter Mengetahui & Memahami
Interpretasi &Experience Bambu & Angklung
Keluar (out) Pengetahuan & Kesadaran meningkat Kesadaran (Awarness)
Pengetahuan (Knowledge)
Komitmen
Gambar 32 Arah program interpretasi (interpretive direction)
52
Gambar 33 Skema program interpretasi
53 Dari uraian dan penjelasan gambar di atas, maka skenario cerita dalam program pengenalan bambu sebagai bahan baku Angklung ini adalah sebagai berikut : 1. Pengunjung masuk ke dalam kawasan Saung Angklung Udjo melalui pintu gerbang utama. 2. Pengunjung berkumpul di area parkir mempersiapkan diri untuk menuju ruang penerimaan 3. Seorang petugas menyambut kedatangan pengunjung. Dengan panduan petugas SAU, pengunjung menuju ke Pusat Informasi dan memilih program interpretasi/ paket wisata. Petugas SAU dan pengunjung melakukan komunikasi dan perkenalan, petugas mendata identitas, jumlah dan asal pengunjung. Petugas SAU memberikan informasi mengenai program interpretasi yang ada di SAU, pengunjung menerima penjelasan secara lisan dari petugas/ pemandu. Aktifitas ini berlangsung selama kurang lebih 10 menit. Setelah menerima informasi, pengunjung memilih paket wisata di SAU. Salah satu paket wisata yang telah dipilih oleh pengunjung adalah program interpretasi pengenalan sumber daya bambu sebagai bahan baku angklung. Dengan dipandu oleh petugas SAU, pengunjung berjalan menuju ke ruang produksi Angklung. 4. Program interpretasi pengenalan bambu sebagai bahan baku Angklung berlangsung di ruang produksi Angklung. Pengunjung menuju ke ruang produksi Angklung dengan berjalan kaki. Selama perjalanan yang membutuhkan waktu kurang lebih 2 menit, pengunjung menikmati suasana area Saung Angklung Udjo yang sejuk dan asri, pengunjung bisa melihat tata hijau tanaman bambu yang tumbuh di area Saung Angklung Udjo. Setelah tiba di ruang produksi Angklung, pengunjung bisa melihat secara langsung proses perakitan kerangka angklung dan pengecekan serta pengemasan/ pengepakan Angklung yang siap dipasarkan. Program interpretasi pengenalan sumber daya bambu sebagai bahan baku Angklung dimulai dengan pemaparan yang dilakukan oleh seorang pemandu yang sekaligus bertugas sebagai interpreter. Interpreter menggunakan teknik secara langsung (attended service). Tema program interpretasinya adalah Bambu sebagai bahan baku utama pembuatan Angklung. Materi interpretasi disampaikan secara lisan (pemaparan) oleh interpreter kepada pengunjung. Materi tersebut berupa Bambu dalam Angklung: Morfologi Angklung: Bagian-bagian Angklung Bahan baku pada setiap bagian Angklung, Jenis bambu yang menjadi bahan baku utama Angklung Pemaparan materi interpretasi oleh interpreter dilakukan secara informal dan dengan bahasa yang komunikatif seperti layaknya kedua pihak sedang bercakap-cakap. Pengunjung bisa langsung bertanya bila ada sesuatu yang belum dia mengerti. Aktifitas ini berlangsung selama kurang lebih 20 menit. Dalam melaksanakan interpretasi ini, petugas menggunakan obyek yang berupa Angklung secara langsung untuk memperkenalkan alat musik Angklung dan bahan baku pembuatan Angklung. Setelah selesai memberikan pemaparan, petugas memberikan waktu untuk diskusi. Diskusi dilakukan dengan tanya jawab, dimana pengunjung dapat mengajukan pertanyaan yang kemudian akan dijawab dan dijelaskan oleh petugas. Selain itu, pengunjung juga bisa mendapatkan informasi dengan membaca papan informasi yang ada di area.
54
Angklung terdiri dari beberapa bagian : 1. Tabung sora yang terdiri dari 2 Tabung a. Tabung kecil terletak di sebelah kiri dan, b. Tabung besar yang berada di sebelah kanan 2. Ancak yaitu bagian rangka Angklung yang dibagi menjadi beberapa bagian : c. Jejer bagian dari ancak (rangka angklung) d. Tabung dasar (bawah) e. Palang Gantung sebagai penyangga tabung sora
Gambar 34 Morfologi Angklung
Sumber Daya Bambu : 1. Bambu Gombong
Tali pengikat, terbuat dari Rotan
Sumber Daya Bambu : 2. Bambu Temen 3. Bambu Gombong
Sumber Daya Bambu : 4. Bambu Hitam 5. Bambu Tali
Sumber Daya Bambu : 6. Bambu Hitam 7. Bambu Tali
Gambar 35 Jenis Bambu sebagai Bahan Baku Angklung
55 Dalam pemaparan materi interpretasi (interpretive talk) yang berupa bagian-bagian Angklung, interpreter menggunakan dan memperagakan bagianbagian Angklung secara langsung agar pesan yang ingin disampaikan dapat diterima dan dipahami oleh pengunjung secara mudah. Selama berlangsungnya pemaparan, pengunjung juga diberi kesempatan untuk memegang langsung obyek Angklung, sambil mendengarkan penjelasan dari interpreter. Penjelasan bagianbagian Angklung oleh interpreter, diikuti pemaparan dan penjelasan bahan baku sebagai bahan baku utama pembuatan Angklung (Gambar 34 dan Gambar 35). Pada program interpretasi ini, fokus penyampaian materi atau pesan interpretasi dititikberatkan pada jenis-jenis bambu yang menjadi bahan dasar/baku dari bagian-bagian Angklung tersebut. Setelah pemaparan selesai dilakukan, diharapkan pengunjung senang dan memahami mengenai sumber daya bambu yang menjadi bahan dasar pembuatan Angklung. Pengunjung dapat melakukan pengamatan terhadap para pekerja yang sedang merakit dan mengecek Angklung di dalam workshop pembuatan Angklung, bahkan pengunjung diperbolehkan untuk mencoba melakukan aktifitas pembuatan angklung, sambil mengamati bambu yang siap dirakit menjadi angklung. Selanjutnya pengunjung dapat meninggalkan lokasi (ruang produksi Angklung) untuk mengikuti aktifitas/program-program yang lainnya. Dengan membawa informasi dan mendapatkan pengalaman dan pengetahuan baru, pengunjung kembali ke tempat istirahat dan melihat ruang display lain. Pengunjung yang merasa senang dan puas, tentu akan menginformasikan pengalaman dan pengetahuannya ke teman-temannya yang lain atau masyarakat lainnya. Kegiatan interpretasi lain ialah membedakan bambu yang baru di panen dengan bambu yang siap untuk untuk diproses menjadi angklung. Dalam kegiatan ini, pengunjung akan diajak untuk menggunakan indera peraba, penglihatan dan penciumannya dalam membedakan usia bambu seusai pemanenan. Bambu yang baru dipanen memiliki bau, warna, dan karakteristik yang khas. Kegiatan ini tentu memberi pengetahuan baru bagi pengunjung dalam mengenali bambu yang baru dan sudah lama dipanen. Ciri-ciri bambu yang dijadikan alat musik adalah bambu dengan usia yang relatif tua yang berkadar air rendah serta volume serat padat dan kompak (Nuriyatin 2000). Ciri tersebut mendukung proses perambatan getaran relatif konstan. Saung Angklung Udjo menjadi salah satu objek wisata yang sangat menarik pengunjung. Dengan perencanaan program interpretasi yang berjudul mengenal bambu sebagai bahan baku angklung, pengunjung dapat mengetahui dan mengenal lebih dalam mengenai bahan baku angklung. Di samping itu, pengunjung akan merasa senang dan puas serta mempunyai keinginan untuk datang lagi. Program interpretasi juga akan membentuk komitmen pengunjung untuk ikut memelihara dan melestarikan bambu dan angklung sehingga dapat bermanfaat bagi anak cucu di masa mendatang. Pengunjung juga akan menginformasikan pengalaman dan pengetahuannya ke teman-temannya yang lain atau masyarakat lainnya. Perencanaan interpretasi di Saung Angklung direncanakan sebagai berikut: 1. Pengunjung yang datang akan disambut dengan gemerisik rumpun bambu yang terletak di area parkir. Pengunjungkemudian dibagi menjadi kelompok dengan jumlah anggota 5-10 orang dengan didampingi oleh satu interpreter.
56 2.Seluruh kelompok akan diarahkan ke amphiteater yang sudah disiapkan sound system dan layar lebar. Pengunjung akan diputarkan film berdurasi 5-7 menit yang terdiri dari 5-7 slide. Slide pertama menggambarkan rumpun bambu dan filosofinya. Keistimewaan bambu sebagai tanaman yang tumbuh bergerombol, memperkuat akar terlebih dahulu sebelum menumbuhkan batang, tumbuh lurus ke atas dan memiliki sifat fleksibel namun kuat dipaparkan lewat slide presentasi. Slide kedua mendeskripsikan mengenai manfaat bambu dari akar hingga daun, kehidupan masyarakat yang tidak terlepas dari tanaman bambu dari mulai lahir hingga meninggal dunia. Slide ketiga menjelaskan mengenai filosofi angklung sehingga dinobatkan oleh Unesco sebagai World Heritage. Slide keempat menjelaskan proses pembuatan angklung secara singkat, dan slide kelima mendeskripsikan rusaknya hutan akibat pengambilan bambu di alam dan dengan menggunakan metode pemanenan tebang pilih. Dari perencanaan tersebut, pengunjung diajak untuk mengenal dan memahami bambu sebagai tanaman dan sebagai produk angklung. Konsep konservasi yang ditunjukkan lewat slide audio visual diharapkan mampu menggugah sikap pengunjung akan pentingnya pelestarian bambu sebagai salah satu perlindungan jenis bambu sebagai bahan baku angklung. Beberapa upaya konservasi bambu disampaikan di akhir presentasi untuk mengajak pengunjung terlibat secara langsung dalam program konservasi bambu. Program Pengenalan Jenis dan Karakteristik Bambu Sebagai Bahan Baku Angklung Program interpretasi berbasis konservasi sumber daya bambu sebagai bahan baku utama pembuatan Angklung yang menjadi prioritas di Saung Angklung Udjo adalah program pengenalan jenis dan karakteristik bambu sebagai bahan baku Angklung. Program interpretasi ini akan dijelaskan dalam bentuk tabel, uraian deskriptif, dan visualisasi gambar. Judul Program Teknik Target Durasi Lokasi Topik/ Obyek Tema
Pesan/ Materi
: Mengenal Jenis dan Karakteristik Bambu sebagai Bahan Baku Angklung : Interpretasi secara langsung dan tidak langsung : Pengunjung Saung Angklung Udjo (usia dewasa 20-60 tahun) : 30 Menit : Ruang Konservasi Bambu : Sumber Daya Bambu : 1. Karakteristik bambu merupakan tulang punggung (backbone) Saung Angkung Udjo 2. Konservasi sumber daya bambu : Karakteristik bambu: Filosofi bambu Karakteristik bambu Sifat fisik dan mekanik bambu Jenis bambu yang menjadi bahan baku pembuatan angklung : tidak semua jenis bisa digunakan
57 Kondisi dan status bambu yang menjadi bahan baku pembuatan angklung Konservasi sumber daya bambu : Prinsip pengelolaan bambu Kebijakan konservasi bambu Upaya pelestarian bambu oleh SAU Arboretum bambu di SAU Pembibitan dan penanaman bambu di SAU Tujuan Sasaran
: Meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran (awareness) pengelola mengenai konservasi bambu. : Pengunjung mengetahui jenis-jenis bambu yang menjadi bahan baku angklung. Pengunjung mengerti, memahami dan menyadari pentingnya konservasi bambu. Pengunjung melakukan upaya konservasi sumber daya bambu.
Program interpretasi ini dilaksanakan dengan menggunakan teknik langsung dan tidak langsung (unattended service) atau self guide interpretive. Teknik tidak langsung merupakan penyampaian materi yang dilakukan tanpa kehadiran interpreter, namun dengan menggunakan alat bantu yang berupa media atau sarana interpretasi dalam memperkenalkan obyek interpretasi. Media atau sarana interpretasi yang digunakan adalah papan informasi dan galeri foto dan poster, yang berisi materi jenis-jenis bambu yang menjadi bahan baku utama pembuatan Angklung dan konservasi sumber daya bambu. Media atau sarana interpretasi ini diletakkan pada kantor pengelola Saung Angklung Udjo, dipasang di depan rumpun bambu yang tumbuh di Saung Angklung Udjo sesuai kebutuhan. Dengan program interpretasi ini, diharapkan akan meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran (awareness) pengunjung mengenai konservasi bambu. Pengelola akan mencintai sumber daya bambu sehingga akan diikuti dengan upaya konservasi/ pelestarian sumber daya bambu yang menjadi tulang punggung usaha Saung Angklung Udjo. Pengunjung diajak menuju arboretum bambu dan diminta mendeskripsikan perbedaan antara bambu Hitam (G. atrovioalaceae), bambu Temen (G. atter), bambu Tali (G. Apus) dan Bambu Gombong (G. pseudiarundinaceae). Deskripsi bambu meliputi batang, ruas, daun, warna batang. Aktivitas untuk pengunjung anak-anak (usia <12 tahun) ialah meningkatkan kemampuan kognitif dan psikomotoriknya melalui: Permainan ilmiah : Mencocokkan gambar bambu Hitam, bambu Temen, Bambu Tali dan Bambu Gombong dengan kartu yang bertuliskan nama latin dari ketiga bambu tersebut Permainan lima perbedaan : menyebutkan lima perbedaan dari Bambu Hitam, Bambu Temen, Bambu Tali dan Bambu Gombong berdasarkan tipe daun, tipe buluh, warna buluh dan bentuk akar. Membuat herbarium daun Bambu dan mengkreasikan sehingga menjadi pembatas buku yang cantik.
58
Aktivitas meningkatkan kemampuan afektif adalah melalui aktivitas menonton bersama video pemanenan bambu di alam. Pengunjung diajak untuk membedakan secara langsung berbagai jenis bambu yang ada. Karakterisik batang, daun dan ciri khusus dari masing-masing jenis bambu akan diperkenalkan kepada pengunjung sebagai bentuk edukasi. Aktivitas menggambar beragam daun bambu atau mengawetkannya menjadi herbarium juga dapat dijadikan aktivitas untuk memperkenalkan morfologi bambu. Hasil herbarium dapat dibawa pulang sebagai bentuk penghargaan dan apresiasi bagi peserta. Aktivitas penutup dari program ini adalah melakukan penanaman bambu sebagai bentuk pelestarian kesenian angklung. 8 CONTOH RENCANA PENGEMBANGAN FASILITAS Fasilitas yang akan dikembangkan direncanakan sarat dengan nuansa alam, khususnya sumber daya bambu. Hal ini untuk memperkuat ikatan (bonding) pengunjung dengan bambu. Saung Angklung Udjo yang sudah memiliki kelengkapan fasilitas cukup dikembangkan dengan nuansa dan ciri khas bambu. Fasilitas yang akan dikembangkan antara lain: penyediaan papan interpretasi, leaflet, peta jalur interpretasi. Pusat Informasi Ruang ini menjadi pusat bagi pengunjung dalam memperoleh informasi mengenai obyek dan tema interpretasi yang terdapat di Saung Angklung Udjo. Pusat informasi dilengkapi dengan peta lokasi Saung Angklung Udjo, peta zona kegiatan, leaflet dan booklet mengenai sejarah angklung, jenis bambu yang ada di lokasi serta sebuah perpustakaan mini dimana pengunjung dapat membaca beragam pustaka mengenai bambu dan angklung. Dalam suatu pusat informasi/pusat display perlu ditunjukkan perkembangan dan sejarah angklung dari jaman dulu hingga masa kini. Nada asli hingga nada gubahan dari Daeng Soetigna yang sekarang menjadi nada dari angklung Saung Udjo. Selain itu perlu ditunjukkan jenis bambu yang digunakan dalam membuat angklung jaman dulu hingga masa kini, proses produksi hingga upaya konservasi bambu. Papan Interpretasi Papan Interpretasi menjadi salah satu bagian yang menarik pengunjung untuk mengetahui lebih jauh suatu obyek. Papan interpretasi yang akan dibuat antara lain adalah papan informasi dan papan penunjuk arah. Papan informasi yang akan dibuat tidak hanya menyebutkan nama dan nama latin dari suatu jenis bambu namun akan ditambahkan dengan kegunaan dan asal dari bambu tersebut (gambar 36). Ada jenis bambu tertentu yang lebih cocok untuk dijadikan bahan bangunan karena memiliki serabut yang tebal. Hal ini akan memacu pengunjung untuk mengenali dan mencari tahu lebih jauh mengenai hal tersebut. Papan interpretasi memuat materi yang terdiri dari 2 tema interpretasi yaitu: (1) Karakteristik bambu merupakan tulang punggung (backbone) Saung
59 Angkung Udjo, dan (2) Konservasi sumber daya bambu. Kedua tema tersebut selanjutnya dijabarkan dalam bentuk pesan yang akan disampaikan kepada pengunjung.
Gambar 36 Rencana Papan Interpretasi Arboretum Bambu Arboretum bambu di Saung Angklung Udjo berfungsi sebagai konservasi ex-situ yang bertujuan menjaga dan membudidayakan semua jenis bambu yang menjadi bahan baku utama pembuatan angklung untuk memberikan informasi pengetahuan dan pendidikan bagi pengunjung. Media Publikasi Media publikasi yang dikembangkan berupa leaflet, brosur dan poster yang memperkenalkan bambu dan fungsinya dengan bahasa yang mudah dimengerti dan menarik perhatian pengunjung. Brosur dan leaflet akan tersedia ditempat-tempat strategis seperti tempat pertunjukan, saung-saung hingga di mushola. Poster mengenai bambu juga akan ditempatkan di ruang souvenir. 9 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Perencanaan interpretasi yang dibuat di Saung Angklung Udjo ialah interpretasi berbasis konservasi bambu sebagai bahan baku angklung. Ketertarikan pengunjung untuk mengenal lebih jauh tentang program interpretasi
60 berbasis konservasi bambu di Saung Angklung Udjo merupakan potensi bagi pengelola untuk mengembangkan program wisata berbasis konservasi bambu sebagai bahan baku angklung. Program interpretasi ini diarahkan untuk meningkatkan apresiasi pengunjung terhadap konservasi dan keberadaan bambu sebagai bahan baku angklung. Perlu adanya integrasi perencanaan interpretasi wisata konservasi bambu ke dalam rencana pengelolaan Saung Angklung Udjo sehingga dapat mengoptimalkan pengenalan bambu sebagai bahan baku utama angklung. Peningkatan promosi dan informasi terkait program wisata konservasi bambu sebagai bahan baku angklung untuk memaksimalkan pengelolaan bambu sebagai bahan baku angklung dengan tetap memperhatikan kelestariannya diharapkan menjadi bagian dari bentuk sosialisasi meningkatkan pemahaman pengunjung yang datang ke Saung Angklung Udjo Saran Perencanaan interpretasi di Saung Angklung Udjo merupakan interpretasi yang berbasi pada konservasi bambu sebagai bahan baku angklung. Salah satu bentuk konservasi bambu dengan upaya budidaya bambu khususnya jenis bambu untuk angklung serta penggunaan metode tebang pilih untuk pengelolaan bambu yang berkelanjutan. Sebagai pengelola, pihak Saung Angklung Udjo perlu mengintegrasikan perencanaan interpretasi wisata konservasi bambu kedalam rencana pengelolaan Saung Angklung Udjo sekaligus mendukung pemberdayaan stakeholder dalam pelaksanaan perencanaan interpretasi wisata konservasi bambu sebagai bahan baku angklung. DAFTAR PUSTAKA Alamendah Blog. 2011. Jenis-jenis Bambu di Indonesia. [internet]. [Diacu 2012 Mei 4]. Tersedia di: http://alamendah.org/2011/01/28/jenis-jenisbambu-di-indonesia/. Alderson.W.T & Low S.P. (1985) Interpretation of Historic Site. Nashville, TN: American Association for State and Local History. Anneahira.com. 2000. Angklung Kanekes. [internet]. [Diacu 2013 Mei 29].Tersedia di http://www.anneahira.com/angklung-kanekes.htm. Archer. D& Wearing S. 2003. Self, Space, and Interpretive Experience: The Interactionism of Environmental Interpretation. Journal of Interpretation Research Vol 8 No 1: Pages 7-23 Bamboo the Giant Grass. 1991.[internet]. [Diacu 2013 Februari 6]. Tersedia di http://www.bambooland.com.au/Information/Bamboo-the-giant-grass Bamboo Terminology. 1991. [internet].[Diacu 2013 Maret 5]. Tersedia di http://www.bambooland.com.au/Information/Bamboo-terminology Departemen Kehutanan, 1990. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Direktorat Jenderal PHPA. 1988. Pedoman Interpretasi Taman Nasional.Proyek Pengembangan Taman Nasional dan Hutan Wisata. Bogor
61 Environmental Bamboo Foundation Holland, 1996.Bamboo : The Alternative for Tropical Timber. The Environmental Bamboo Foundation Journal No.1. Environmentally Fiendly. 1991. [internet]. [Diacu 2013 Maret 12]. Tersedia di http://www.bambooland.com.au/Information/Environmentallyfriendly Fathony, T.2011. Research and Development on Bamboo and Other NTFPs in The Ministry of Forestry, Indonesia. Gintings, A.Ng., Wijayanto, N. (Eds.). Proceedings of International Seminar: Strategies and Challenges on Bamboo and Potential Non Timber Forest Products (NTPs) Management and Utilization. 23-24 November 2011, Bogor, Indonesia.Bogor (ID): Centre for Forest Productivity Improvement Research and Development. hlm 1-10 Ganjar, K. 2003. Deskripsi Kesenian Jawa Barat. Bandung (ID): Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat, Bandung. Gigantochloa apus. 1991. [internet]. [Diacu 2013 Januari 3]. Tersedia di http://www.bambooland.com.au/Bamboo/Gigantochloa-apus Gigantochloa pseudoarundinacea (Steudel) Widjaja. 2010. [internet]. [Diacu 2012 Mei 6].Tersedia dihttp://www.bambubos.com/index.php?page=gigantochloapseudoarundinacea-steudel-widjaja. Gigantochloa atroviolaceae. 1991. [internet]. [Diacu 2013 Januari 14]. Tersedia di http://www.bambooland.com.au/Bamboo/Gigantochloaatroviolaceae Gigantochloa Awi Temen. 1991. [internet]. [Diacu 2013 Juni 18]. Tersedia di http://www.bambooland.com.au/Bamboo/Gigantochloa-Awi-Temen Ham, S.H. 1992. Environmental Interpretation :A Practical guide for People with Big Ideas and Small Budgets. Fulcrum Publishing Golden, Colorado. Heriyaningtyas. 2009. Metode Penelitian. Rineka Cipta. Jakarta. Irawan B, Rahayuningsih S.R, Kusmoro J. 2006. Keanekaragaman Jenis Bambu di Kabupaten Sumedang Jawa Barat. Universitas Padjajaran. Bandung Jonkhart, J. 2011. Importance of Bamboo and Rattan in International Market: Strategy and Challenges on Bamboo and Potential Non Timber Forest Product Management and Utilization. Gintings, A.Ng., Wijayanto, N. (Eds.). Proceedings of International Seminar: Strategies and Challenges on Bamboo and Potential Non Timber Forest Products (NTPs) Management and Utilization. 23-24 November 2011, Bogor, Indonesia.Bogor (ID). Centre for Forest Productivity Improvement Research and Development. hlm 11-44 Knapp D, Benton G. M. 2004. Elements to Successful Interpretation: A Multiple Case Study of Five National Parks.Journal of Interpretation, Volume 9, Number 2. Lewis, W.1980.Interpreting for Park Visitors. USA: Eastern Acorn Press. Mary, A.H. 1997. Workbook for Planning Interpretive Projects in California State Parks. Interpretation Section, Parks Service Division, California State Parks, www.parks.ca.gov.
62 Membuat Angklung. 2012. [internet]. [Diacu 2012 Agustus 15]. Tersedia di http://www.angklung-udjo.co.id/id/angklung/making-angklung/ Model Desa Konservasi. 2009. [internet]. [Diacu 2012 Juni 18]. Tersedia di http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/5107 Moscardo, G.1998. Interpretation and Sustainable Tourism: Function, examples, and principles. The Journal of Tourism Studies Vol 9 No1. May 1998 :Pages 1-12. Mullins, G.W. 1979. Plan Ahead for Interpretation. Environmental Interpretation Workshop, TVA/Murray State University. Golden Pond, Kentucky. Muntasib, E.K.S.H. 2003. Interpretasi Wisata Alam. Institut Pertanian Bogor. Nandika D, Matangaran J.R, Darma I.G.K.T. 1994. Keawetan dan Pengawetan Bambu. Didalam: Widjaya E, Rifai M, Subiyakto B, Nandika D, editor. Strategi Penelitian Bambu Indonesia.Sarasehan Penelitian Bambu Indonesia ; 1994 Juni 21-22; Serpong, Indonesia. Serpong (ID): Yayasan Bambu Lingkungan Lestari. hlm 112-116 Nuriyatin, N. 2000. Studi Analisa Sifat-Sifat Dasar Bambu pada Beberapa Tujuan. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Pearce P.L, Moscardo G. 2007. An Action Research Appraisal of Visitor Center Interpretation and Change.Journal of Interpretation, Volume 12, Number 1 Pearce, P.L. 2004.The Function and Planning of Visitor Centers in Regional Tourism.The Journal of Tourism Studies Vol 15 No 1.May 2004: Pages 1-10 Povey K.D, Rios J. 2002. Using Interpretive Animals to Deliver Affective Messages in Zoos. Journal of Interpretation Volume 7 Number 2. Pertunjukan Bambu Petang. 2012. [internet]. [Diacu 2012 Maret 14]. Tersedia di: http://www.angklung-udjo.co.id/id/attraction/art-performance/. Pradini, S. 2002. Perencanaan Interpretasi Biota Air di Suaka Margasatwa Muara Angke. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Rifai, M.A. 1994. Ke Arah Keterpaduan Penelitian Bambu di Indonesia. Makalah yang disampaikan pada Sarasehan Penelitian Bambu Indonesia, Serpong 21-22 Juni 1994: 16-28. Sharpe, G.W. 1982. Interpreting the Environment (2nd edition). John Willey &Sons, Inc. Sejarah Angklung. 2012. [internet]. [Diacu 2012 April 16]. Tersedia di http://www.angklung-udjo.co.id/id/angklung/history-of-angklung/. Sulthoni, A.1994.Permasalahn Sumber Daya Bambu di Indonesia.Didalam: Widjaya E, Rifai M, Subiyakto B, Nandika D, editor. Strategi Penelitian Bambu Indonesia.Sarasehan Penelitian Bambu Indonesia; 1994 Juni 21-22; Serpong, Indonesia. Serpong (ID): Yayasan Bambu Lingkungan Lestari. hlm 30-35 Supardiman, B. 2007.Angklung.[internet]. [Diacu 2012 Februari 23].Tersedia di http://angklung-web-institute.com/content/view/177/74/lang,en/. Sutiyono.2006. Koleksi Jenis-jenis Bambu Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam Bogor di Stasiun Penelitian Hutan
63 Arcamanik,Bandung. Makalah Penunjang disajikan pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi SumberdayaHutan. Padang, 20 September 2006. Padang (ID). Syafii, S. 2009. Udjo : Diplomasi Angklung. Bandung (ID): Grasindo Untung K,Widjaja E, Garland L, Gustami, Indraningsih W.1998. Strategi Nasional dan Rancang Tindak Pelestarian Bambu dan Pemanfaatannya Secara Berkelanjutan di Indonesia. Veverka, J. A. 1998. Planning Truly "Interpretive" Panels.In Interpretation – theJournal for the Society of the Interpretation of Britain‟s Heritage. February, 2008 Veverka, J.A.1994. Interpretive Master Planning: For parks, historic sites, forests, zoos, and related tourism sites, for self-guided interpretive services, for interpretive exhibits, for guided programs/tours. Falcon Press Tilden, F. 1977. Interpreting Our Heritage.3rd Edn. Chapel Hill.The University of North Carolina Press. New York. TheMarketers.com. 2013. Marketing 3.0 Dibalik Filosofi [internet].[Diacu 2013 Mei 29]. Tersedia di marketeers.com/archives/marketing-3-0-dibalik-filosofiangklung%E2%80%A6-2.html
Angklung. http://the-
Widjaya, E.A 1990. Pemanfaatan Sumber daya Bambu di Indonesia :Prospek Penelitian dan Pengembangannya dalam Sastrapradja, D., Alfian, Rifai, M.A & Kahar (Penyunting). Risalah Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional Iv. Buku III. Dimensi Sumber Daya alam :99-116 Widjaja, E. A. 2001(a). Identikit Jenis-jenis Bambu di Kepulauan Sunda Kecil. Puslitbang Biologi LIPI. Bogor. Widjaja, E. A. 2001(b). Identikit Jenis-jenis Bambu di Jawa. Puslitbang Biologi LIPI. Bogor. Widjaja, E. A., N. W. Utami dan Saefudin. 2004. Panduan Membudidayakan Bambu. Puslitbang Biologi LIPI. Bogor. Wiles R, Hall T.E.2005. Can Interpretive Messages Change Park Visitors‟Views on Wildland Fire?Journal of Interpretation, Volume 10, Number 2. Winter, P.L. 2006.The Impact of Normative Message Types on Off-Trail Hiking. Journal of Interpretation, Volume 11, Number1. Wong, KM. 2004. Bamboo The Amazing Grass : A Guide to Diversity and Study of Bamboos in Southeast Asia. Malaysia: International Plant Genetic Resources Intitute. Xingcui, D. 2011. Bamboo cultivation and Processing Industries in China. Gintings, A.Ng., Wijayanto, N. (Eds.). Proceedings of International Seminar: Strategies and Challenges on Bamboo and Potential Non Timber Forest Products (NTPs) Management and Utilization. 23-24 November 2011, Bogor, Indonesia. Bogor (ID). Centre for Forest Productivity Improvement Research and Development. hlm 45-70
64 E.A.M. 2008. Mengembangkan Multisistem Silvikultur dengan Pendekatan Holistik Tri Stimulus AMAR (Alamiah, Manfaat, Religius) Pro Konservasi. IPB. Zuhud, E.A.M. 2011. Pengembangan Desa Konservasi Hutan Keanekaragaman Hayati untuk Mendukung Kedaulatan Pangan dan Obat Keluarga (POGA) Indonesia dalam Menghadapi Ancaman Krisis Baru Ekonomi Dunia di Era Globalisasi. Orasi Ilmiah Guru Besar dalam rangka Dies Natalis IPB ke -48. IPB Press. Bogor. Indonesia Zuhud Eam, K Sofyan, Lb Prasetyo, H Kartodihardjo. 2007. Sikap Masyarakat dan konservasi, Suatu Analisis Kedawung (Parkia timoriana (DC) Merr.) sebagai stimulus tumbuhan Obat bagi Masyarakat , Kasus di Taman Nasional Meru Betiri. Media Konservasi, Jurnal Ilmiah Bidang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Lingkungan. Vol XII/No. 2 September 2007. Zuhud,
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banyuwangi pada tanggal 5 Oktober 1986 sebagai anak sulung dari pasangan Pitoyono M.Pd dan Wiwik Nuryati S.Pd. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Biologi dan Pendidikan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang, lulus pada tahun 2009. Kesempatan untuk melanjutkan ke program master di Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan pada Program Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2010. Penulis bekerja di Perusahaan Swasta yang bergerak di bidang investasi Pengelolaan Pariwisata Alam di Kawasan Konservasi milik Kementerian Kehutanan. Penulis pernah menjadi volunteer World Ecotourism Conference yang dilaksanakan di Sihanoukville, Kamboja 3-5 Oktober 2011. Penulis juga aktif dalam keorganisasian BEST (Bogor Ecotourism and Sustainable Tourism). Artikel yang berjudul Perencanaan Interpretasi Berbasis Konservasi Bambu sebagai Bahan Baku Angklung di Saung Angklung Udjo sedang dalam proses review oleh Tim Redaksi Jurnal Masyarakat, Kebudayaan, Politik Unair. Karya ilmiah yang berjudul Interpretive Planning Based on Bamboo Conservation as Angklung Raw Material at Saung Angklung Udjo sedang dalam proses review untuk disajikan dalam 3rd Regional Conference of Tourism Research di Langkawi, Malaysia pada bulan Oktober 2013. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S-2 penulis.