PERENCANAAN "BAWAH-ATAS" (Kasus Penjaringan Aspirasi Masyarakat di Kota Jayapura)
BOTTOM-UP PLANNING (Case Study Embracing Community Members Aspiration at Jayapura City)
MUHAMMAD All
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2004
PERENCANAAN "BAWAH-ATAS" (Kasus Penjaringan Aspirasi Masyarakat di Kota Jayapura)
Tesis Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi Administrasi Pembangunan
Disusun dan diajukan oleh
MUHAMMAD All
kepada
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2004
TESIS
PERENCANAAN "BAWAH-ATAS" (Kasus Penjaringan Aspirasi Masyarakat di Kota Jayapura)
Disusun dan diajukan oleh
MUHAMMAD All Nomor Pokok P0803203506 telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis pada tanggal 26 Agustus 2004 · dan dinyatakan telah memenuhi syarat
~ PQr. lr. Radi A. Gany Ketua
Ketua Program Studi Administrasi Pembangunan
Dr. lr. Darmawan Salman, MS. Anggota
iv
PRAKATA Segala puji dan syukur hanya dipanjatkan kepada Allah SWT, yang karena Ridha dan lnayah-Nya maka kegiatan penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. lr. Radi A Gany yang telah bertindak sebagai Ketua Komisi Penasehat dalam memberikan bimbingan penyelesaian tesis ini dan Bapak Dr. lr. Darmawan Salman, MS yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan dalam penyelesaian tesis ini baik sebagai Anggota Komisi Penasehat maupun sebagai Readers di dalam pendampingan awal hingga selesainya tesis ini. Perkenankanlah pula, penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada berbagai pihak yakni: (1) Rektor Universitas Hasanuddin atas kesempatan belajar pada isntitusi yang dipimpinnya; (2) Direktur Program Pascasarjana, Asisten Direktur I dan Asisten Direktur II beserta staf; (3) Kepala Pusbiddiklatren Bappenas beserta staf atas beasiswa yang diberikan;
(4)
Kepala
PSKMP
Universitas
Hasanuddin,
beserta
stat
fungsional dan staf administrasi, atas kesempatan dan pelayanan yang diberikan;
(5)
Ketua
Program
Studi Administrasi Pembangunan atas
penerimaannya; (6) Ketua beserta Pengelola Konsentrasi Studi Manajemen Perencanaan, atas kesempatan belajar serta layanan akademik dan teknis yang diberikan selama ini; (7) Tim Penilai dan Dosen Konsentrasi Studi Manajemen Perencanaan; (8) Walikota Jayapura, Sekretaris Daerah Kota Jayapura dan Kepala Bappeda Kota Jayapura yang telah memberikan
v
kesernpatan untuk rnelanjutkan pendidikan, bantuan dan dorongan yang diberikan; (9) Ternan - ternan sekelas pada Konsentrasi Studi Manajerne.n Perencanaan UNHAS yang telah banyak rnernberikan
rnotivasi untuk
rnenyelesaikan penulisan tesis ini; (10) Pak Sultan, Pak Hatta, Bu Nixia, MarNah dan Nur atas bantuan dan layanannya yang tak kenai Ieiah; (11) Para Kepala Dinas di lingkungan Pernerintah Kota Jayapura beserta stafnya, seluruh Kepala Distrik, Kepala Kelurahan, Kepala Pernerintahan Karnpung, Baperkarn dan BP2K yang bersedia rnenjadi inforrnan bagi pengurnpulan data karni; (12) Rekan-rekan di Bappeda Kota Jayapura
yang telah
rnernberikan bantuan dan dorongan bagi penyelesaian studi karni khususnya Erick yang telah setia rnenernani kami selama pengumpulan data dan nini yang telah banyak memberikan masukan bagi penulisan tesis ini; (8) lbunda yang tercinta Hj. Ufrah, mertua yang senantiasa memberikan perhatian H. Abd Rasyid dan Hj. Nandong serta istriku yang setia (Mawarwati) dan ananda (Ainun Syifa Arrosyida dan Ainurridho Assiddiqy) yang sabar menunggu dan mendo'akan bagi kesuksesan penulis serta seluruh keluarga yang senantiasa memberikan pengertian dan motivasi bagi penulis. Semoga Allah SWT membalas kebaikan dan bantuan yang telah kami terima. Akhirnya kepada Sang Khaliq sajalah kami bersandar, semoga tesis ini memberikan manfaat bagi para pencinta perubahan kepada yang lebih baik. Makassar,
Agustus 2004
Muhammad Ali
vi
ABSTRAK
MUHAMMAD All. Perencanaan "Bawah-Atas" (Kasus Penjaringan Aspirasi Masyarakat di Kota Jayapura) (dibimbing oleh Radi A. Gany dan Darmawan Salman). Studi ini bertujuan untuk mengetahui penyebab rendahnya kualitas usulan masyarakat yang disampaikan dalam forum Musyawarah Pembangunan (Musbang) di tingkat Kelurahan/Kampung dan mengungkap faktor-faktor penyebab kurang terakomodasinya usulan masyarakat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Jayapura. Metode penelitian yang digunakan untuk mengungkap tujuan tersebut adalah ekploratif dengan desain studi kasus. Analisis data dilakukan secara kualitatif, yang bertumpu pada kekuatan mengungkap data-data dalam bentuk narasi. Metode analisis yang digunakan adalah metode deskripsi analitik, yaitu data direduksi, diorganisasikan dalam bentuk display data dan selanjutnya disimpulkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab rendahnya kualitas usulan masyarakat dalam Musyawarah pembangunan adalah: kurangnya pelibatan masyarakat dalam penjaringan usulan, mekanisme penjaringan usulan yang kaku atau formalistik, tidak digunakannya alat analisa dalam mengungkap permasalahan dan kebutuhan masyarakat, rendahnya kualitas dan belum aparat terbawah dalam penjaringan usulan masyarakat optimalnya pendampingan dari aparat perencana ..Selanjutnya faktor-faktor penyebab dari kurangnya usulan masyarakat yang terakomodasi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Jayapura adalah peranan kebijakan pemerintah masih kuat, kepentingan dinas/unit kerja masih diutamakan, adanya anggapan bahwa usulan masyarakat adalah merupakan daftar keinginan segelintir orang, dan adanya keterbatasan dana yang diperuntukkan bagi belanja publik.
vii
ABSTRACT
MUHAMMAD All. Bottom-up Planning, Case Study: Embracing Community Members Aspiration at Jayapura City (Supervised by Radi A. Gany and Darmawan Salman). The objective this research is to identify: (1) the causes of low quality of community proposal in the village/sub-village level of development deliberation forum (Musbang), ans, (2) causal factors of low channeling of community proposals in the local budget (APBD) of Jayapura City. The research in an explorative and case study one. The data are analyzed on the basis of narrative exposition. By descriptive method, the data are reduced, organized, displayed, concluded. It is found out that: (1) the causes of low quality community proposals in the village/sub-village level of development deliberation forum (Musbang) are low involvement of in proposal embracing, rigidity or formalism in embracing mechanism, absence of analytical tools for identifying community problems and needs, low quality of lower level staff in community aspiration embracing, and unoptimal assistance of planning officials, (2) causal factor of low channeling of community proposals in the local budget of Jayapura City are the strong role of government policy, dominant interest of working units, assumption that community proposals are just a "list of will" of certain people, and limited budget allocation for public expentditure
viii
DAFTAR lSI
Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGAJUAN
II
HALAMA NPENGE SAHAN
Ill
PRAKATA
IV
ABSTRAK
VI
ABSTRACT
VII
DAFTAR lSI
VIII
DAFTAR TABEL
X
DAFTAR LAMPIRAN
XI
I.
II.
PENDAHULUAN A Latar Belakang
1
B. Rumusan Masalah
8
C. Tujuan
9
D. Manfaat Penelitian
9
TINJAUAN PUSTAKA A. Perencanaan Pembangunan Daerah
11
B. Aspirasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan
19
C. Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah
28
D. Kerangka Pemikiran
47
ix
Ill.
METODOLOGI PENELITIAN Jenis dan Desain Penelitian
48
B. Waktu dan Lokasi Penelitian
48
C. Unit Anal isis dan Penentuan lnforman
49
D. Pengumpulan dan Analisis Data
52
A
E.
IV.
v.
Konsep Operasional
56
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A
Gambaran Umum Kota Jayapura
59
B.
Mekanisme Penjaringan Aspirasi Masyarakat
80
C. Kualitas Usulan Masyarakat
108
D. APBD dan Aspirasi Masyarakat
118
KESIMPULAN DAN SARAN
A
Kesimpulan
127
B.
Saran
129
DAFTAR PUSTAKA
131
LAMPIRAN-LAMPIRAN
135
X
DAFTAR TABEL
Nomor
halaman
51
2.
Daftar lnforman yang terkait dengan Penjaringan Aspirasi Masyarakat Luasan Pemanfaatan Kawasan di Kota Jayapura Tahun 2001
3.
Kelurahan dan Kampung di Kota Jayapura
4.
Kepadatan Penduduk Kota Jayapura Menurut Distrik Tahun 2002 67
5.
Jumlah Penduduk Kota Jayapura Menurut Jenis Kelamin dan Sex Ratio Per Distrik Tahun 2002
68
6.
Jumlah Penduduk Kota Jayapura Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2002
69
7.
Banyaknya Penduduk Berumur 10 Tahun Ke atas Menurut Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan Tahun 2002
70
8.
Banyaknya Pencari Kerja Yang Mendaftarkan Diri di Kantor Departemen Tenaga Kerja dirinci Menurut Pendidikan Tahun 2001
71
9.
Perkembangan PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan Tahun 1993 Kota Jayapura Tahun 1999-20002
73
1.
60 62
10. Peranan Sektoral Terhadap Pembentukan PDRB Kota Jayapura T a hun 1998-2002
74
11. Angka lnflasi Kota Jayapura Tahun 1998-2002
76
12. Perkembangan APBD Kota Jayapura
77
13. Perincian Rekapitulasi Dana Otonomi Khusus Yang dikelola Pemerintah Kota Jayapura Tahun Anggaran 2002-2004
79
14. Perbandingan Proses Penjaringan Aspirasi Masyarakat ditingkat Kelurahan dan Kampung
81
15. Karakteristik Pola Penjaringan Aspirasi Masyarakat di Kota Jayapura Tahun 2003
93
16. Perbandingan Kualitas Usulan Masyarakat dengan Usulan Dinas di Lingkungan Pemerintah Kota Jayapura
116
17. Rekapitulasi Usulan Masyarakat pada Tingkat Musbang Dan Diskusi UDKP Tahun 2003
123
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
halaman
·1. Daftar Pertanyaan Untuk Wawancara
135
2. llustrasi Kasus
136
3. Rekap Usulan Masyarakat Melalui Musbang, Diskusi UDKP dan Rakorbang Tahun 2003
138
BASI PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Perencanaan
pembangunan
senantiasa
terkait
dengan
keberadaan suatu pemerintahan dan sistem nilai atau norma yang berlaku di dalam suatu masyarakat.
Sejalan dengan perkembangan
sistem perencanaan pembangunan dewasa ini, maka penekanan pada aspek perencanaan yang berasal dari masyarakat kian mendapat perhatian. Hal ini sesuai dengan amanat reformasi yang mengutamakan keterlibatan
masyarakat di
dalam
pembangunan
pada
baik
saat
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pemeliharaannya. Oleh
karena
itu,
menjawab
untuk
tuntutan
atau
aspirasi
masyarakat maka sudah selayaknya apabila pendekatan perencanaaf.! "bawah-atas" (bottom-up) diterapkan secara bertanggungjawab, sehingga tidak ada kesan bahwa masyarakat hanya dijadikan objek di dalam mengikuti musyawarah pembangunan baik di tingkat Desa/Kelurahan hingga ke tingkat Kabupaten/Kota. Hal ini dapat dilihat dari pengalaman selama ini bahwa keterlibatan masyarakat di dalam pengambilan keputusan di tingkat desa/kelurahan hingga akhir penetapan Anggaran Pendapatan
dan
Belanja
Daerah
(APBD),
ternyata
kurang
mengakomodasi usulan masyarakat. Kurang
terakomodasinya
aspirasi
masyarakat
adalah
satu
fenomena umum dari suatu pemerintahan yang sentralistik, di mana
2
pendekatan "atas-bawah" (top-down) sangat signifikan penerapannya, yang
menempatkan
pemerintah
aktor
sebagai
perencana,
yang
Namun kenyataan di
mengetahui semua kebutuhan masyarakatnya.
lapangan menunjukkan bahwa tidak semua hasil perencanaan tersebut Hal ini dapat dilihat dari
sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat.
rendahnya tingkat keterlibatan masyarakat di dalam proses perencanaan, pelaksanaan, apalagi dalam pengawasan pembangunan, yang pada akhirnya melahirkan sikap apatis (tidak memiliki) dari masyarakat terhadap hasil-hasil pembangunan. Dari beberapa hasil penelitian ditemukan bahwa partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dipengaruhi oleh faktor-faktor, seperti:
motivasi
individu,
desentralisasi kewenangan,
kemampuan
lembaga masyarakat, komunikasi, keberadaan pemimpin formal dan pemimpin informal,
pendidikan masyarakat,
pendapatan dan jenis
pekerjaan dari masyarakat (Nasri, 1998; Alimani, 2002; dan Umar, 2003) Hal
ini
sejalan
dengan
pendapat
Aryenti
(2000)
(dalam
Martawang, 2003), yang menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang
menjadi
penghambat
di
dalam
menumbuhkan
partisipasi
masyarakat yaitu : faktor pendidikan, ekonomi, sosial budaya dan religius. Sementara
menurut
Mubyarto
(1988:
13)
faktor-faktor
yang
mempengaruhi partisipasi adalah: (1) faktor lingkungan fisik, mencakup: variabel kesuburan tanah, jenis tanah, iklim, topografi dan orbitasi daerah; (2) faktor sosial ekonomi, mencakup: variabel jenis pekerjaan, tingkat
3
pendapatan, tingkat pendidikan, status pemilikan rumah/lahan, jumlah jumlah
tenaga
kerja
keluarga
dan
tingkat
tanggungan
keluarga,
kesehatan;
(3) faktor sosial budaya, mencakup: variabel norma, nilai
kepercayaan, pengetahuan, sikap, status pernikahan, usia, seks dan simbol-simbol; (4) faktor kebijakan pemerintah, mencakup: variabel sifatsifat koordinasi
kepemimpinan
lembaga sosial,
memonitor masyarakat dan tingkat kebebasan
pendekatan
untuk
untuk menyatakan
pendapat dan keinginan. Perencanaan pembangunan pada hakekatnya adalah suatu rangkaian pengelolaan usulan masyarakat, melalui suatu mekanisme atau sistem perencanaan yang terstruktur dan terlembagakan serta didukung oleh kapabilitas sumber daya manusia yang terlibat di dalam proses perencanaan tersebut.
Mekanisme perencanaan yang baik
adalah yang memberikan ruang yang luas kepada seluruh stakeholders (pemangku kepentingan), untuk dapat terlibat di dalamnya serta tidak memberikan rasa canggung kepada stakeholders untuk berencana. Suatu
perencanaan daerah
merupakan
proses menyusun
langkah-langkah yang akan diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, dalam rangka menjawab kebutuhan masyarakat, untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan seperti peningkatan kesejahteraan masyarakaf, perataan distribusi pendapatan, dan lain sebagainya.
Perencanaan
daerah dapat dipandang sebagai formulasi (rumusan) mengenai aspirasi masyarakat setempat, dalam rangka mencapai suatu kehidupan baru
4
yang lebih baik dan bermakna, melalui langkah-langkah pembangunan. Dalam hal ini, dikenal dua model perencanaan yaitu: (1) perencanaan yang ditentukan langsung oleh pusat, sehingga pemerintah daerah hanya merupakan pelaksana atau pelengkap dari konsep yang sudah ada; (2) perencanaan merupakan hasil dari pergulatan masyarakat setempat, dengan menggunakan mekanisme formal dan non formal yang ada. Kualitas perencanaan daerah dan implikasinya pada kehidupan Menurut
masyarakat akan sangat ditentukan oleh model yang dipilih.
Burke (1979) pelibatan masyarakat dalam perencanaan mempunyai fungsi: ikut terlibat dalam mendukung lembaga perencanaan dan seluruh aktifitasnya;
memberikan
sumbang
saran,
masukan
bahan
dan
pertimbangan dalam rangka penyusunan perencanaan; bertindak sebagai pengawas terutama terhadap hak-hak masyarakat sewaktu pembuatan kebijakan dibidang perencanaan. Dengan diberlakukannya Undang - Undang Nomor 22 tahun 1999 ,• tentang Pemerintah Daerah, maka peranan pemerintah daerah di dalam memilih
model
perencanaan
pembangunan
sudah
besar.
sangat
Kehadiran otonomi daerah telah memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Hal ini
sejalan juga dengan UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Papua,
keterlibatan
yang
memberikan
masyarakat di dalam
kesempatan perencanaan,
yang
luas
bagi
pelaksanaan dan
5
pengawasan
pembangunan
untuk mengejar ketertinggalannya dari
daerah lain di Indonesia. Najib
(2001)
beberapa
mengemukakan
permasalahan
perencanaan dari segi proses maupun hasilnya yang selama ini ada dan berkembang pada saat desentralisasi yaitu: (1) perumusan/penyusunan perencanaan pembangunan daerah hanya terbatas pada instansi-instansi (2) prioritas pembangunan daerah tidak mencakup
pemerintah saja;
rencana strategis jangka panjang, tetapi berubah berdasarkan prioritas yang ditetapkan oleh Kepala Daerah (atau bersama dengan DPRD); (3) pendekatan perencanaan partisipatif di tingkat Desa/Kelurahan tidak berkelanjutan
dan
tidak
pembangunan di atasnya;
ke
bersambung
perencanaan
tingkat
masyarakat tidak berminat untuk
(4)
berpartisipasi dalam perencanaan.
(5) tidak tersedianya penjelasan
mengenai tingkat, cakupan dan cara partisipasi masyarakat dengan perencanaan yang efektif;
(6) tidak adanya dialog yang efektif antar
pelaku pembangunan dalam perencanaan; validnya
data
yang
tersedia
untuk
(7) kurang akurat dan
pembuatan
kebijakan
dan
perencanaan. Selanjutnya sejalan dengan beberapa pemikiran tersebut di atas,
maka hasil penelitian Martawang (2003) tentang
"Strategi
Peningkatan Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan Pembangunan di Kota
Mataram"
menemukan
bahwa
partisipasi
masyarakat
bergantung kepada beberapa faktor yaitu faktor kebijaksanaan dan
6
peraturan pemerintah daerah yang bersangkutan, tingkat pendidikan, peran fasilitator dan tokoh masyarakat, sosial ekonomi, sosial budaya dan faktor kelembagaan. Apabila mengacu kepada pedoman yang telah dikeluarkan sebelumnya yaitu Permendagri nomor 9 tahun 1982 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan Daerah (P5D) dan yang diperbaharui dengan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Rl
Nomor
050/987/SJ tanggal
5 Mei 2003 tentang
Pedoman
Penyelenggaraan Forum Koordinasi Pembangunan Partisipatif, maka sistem perencanaan yang ditawarkan masih sejalan dengan amanat otonomi daerah, walaupun masih memberikan kesempatan adanya integrasi perencanaan "atas-bawah" (top do_wn) dan perencanaan "bawah-atas" (bottom up), dimana mekanisme penjaringan aspirasi dari
masyarakat
dimulai
penjaringan
aspirasi
masyarakat
terbawah
yaitu
desa/kelurahan,
yan_g
pemerintahan
struktur
ditingkat
selanjutnya akan di bahas lebih lanjut untuk sinkronisasi usulan ditingkat distrik/kecamatan, dan selanjutnya dipadukan dengan perencanaan ditingkat Kabupaten/Kota. Mengacu kepada mekanisme perencanaan seperti yang tertuang dalam Permendagri No. 9/1982 dan SE Mendagri No. 050/987/SJ tanggal 5 Mei 2003, Pemerintah Kota Jayapura telah berupaya untuk dapat menampung seluruh usulan masyarakat melalui mekanisme yang ada, di mana
keterlibatan
masyarakat
pada
saat
musyawarah
ditingkat
7
desa/kelurahan sudah ada, musyawarah
pembangunan
peserta yang diharuskan hadir dalam Desa/Kelurahan
(Musbangdes)
adalah
seluruh stakeholders (pemangku kepentingan) yang ada, sehingga pertemuan lebih aspiratif dan representatif. Dengan harapan kehadiran stakeholders
seluruh
tersebut
dapat
membicarakan
pada
tingkat
desa/kelurahan mengenai kebutuhan prioritas dari masyarakat di tingkat bawah tersebut. Usulan dari masyarakat di tingkat desa/kelurahan, yang dihasilkan dari forum Musyawarah Pembangunan selanjutnya dibawa ke tingkat kecamatan/distrik untuk dibahas lebih lanjut dalam forum Diskusi Unit Kerja
Daerah
Pembangunan
(UDKP).
Seluruh
usulan
desa/kelurahan dalam satu kecamatan/distrik- yang sama,
dari
dibahas
l<embali untuk dilakukan penyempurnaan-penyempurnaan lebih lanjut serta
prioritas
tersebut.
secara
keseluruhan
dari
wilayah
kecamatan/distrik
Seluruh usulan dibahas yang disesuaikan dengan kebutuhan
masyarakat, yang disinkronkan dengan dokumen perencanaan yang telah ditetapkan sebelumnya. Kemudian seluruh usulan dari tingkat kecamatan/distrik diteruskan ke tingkat Kota Jayapura untuk dibahas dan dipersandingkan dengan usulan dari unit kerja teknis di tingkat Kota, selanjutnya usulan yang telah mendapat persetujuan ditingkat eksekutif dimasukkan ke dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Kota Jayapura, yang akan dibahas kembali dengan DPRD Kota Jayapura untuk mendapat penetapan menjadi APBD, yang
8
dijadikan acuan di dalam melaksanakan kegiatan pembangunan selama satu tahun ke depan. Kondisi
selama
ini
menunjukkan bahwa
meskipun aspirasi
masyarakat telah dihantar melalui mekanisme yang diisyaratkan, yaitu Musyawarah Pembangunan desa/kelurahan hingga ke Diskusi Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP) di tingkat kecamatan/distrik, dan dipadukan dengan
usulan dinas/unit kerja teknis dalam forum Rapat
Koodinasi Pembangunan Daerah (Rakorbangda), namun pada saat penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Jayapura ternyata usulan masyarakat hanya terakomodasi kurang lebih 25 %. lni menunjukkan adanya masalah kurang terakomodasinya usulan masyarakat dalam penyusunan APBD. B. Rumusan Masalah Dari uraian tersebut di atas dan dari pengalaman selama ini menunjukkan
bahwa
masih
kurangnya
usulan
masyarakat
yang
diakomodasi dalam APBD Kota Jayapura, hal ini terkait oleh masalah yang dapat dirumuskan sebagai berikut : ..
1. Rendahnya kualitas usulan masyarakat yang disampaikan di dalam forum musyawarah pembangunan di tingkat desa/kelurahan. 2. Tidak optimalnya sistem penyusunan APBD dalam mengakomodasi usulan masyarakat.
9
Dari dua masalah tersebut di atas dikembangkanlah pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Mengapa kualitas usulan masyarakat yang disampaikan dalam forum musyawarah pembangunan tingkat Desa/Kelurahan rendah? 2.
Mengapa sistem penjaringan aspirasi masyarakat dalam penyusunan APBD kurang efektif mengakomodasi usulan masyarakat ? C. Tujuan
Penelitian ini ditujukan untuk : 1. Mengetahui penyebab dari rendahnya kualitas usulan masyarakat yang
dalam
forum
faktor-faktor
yang
disampaikan
pembangunan
di
tingkat
Kampung/Kelurahan. 2. Mengungkap
mengakibatkan
kurang
terakomodasinya usulan masyarakat dalam struktur APBD Kota Jayapura. D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pihak-pihak yang berkepentingan, seperti : 1. Bagi dunia keilmuan: memberikan kerangka konseptual dalam bidang manajemen perencanaan tentang keterkaitan perencanaan partisipatif dalam hubungannya dengan penyusunan APBD.
10
2. Pemerintah Kota Jayapura; diharapkan sebagai bahan masukan di dalam merumuskan kebijakan perencanaan pelibatan masyarakat pada penjaringan aspirasi di tingkat bawah (bottom up planning) serta hubungannya dalam keterakomodasiannya dalam penyusunan APBD.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perencanaan Pembangunan Daerah
Perencanaan berasal dari kata rencana, yang berarti rancangan atau rangka sesuatu yang akan dikerjakan. Dari pengertian sederhana tersebut dapat diuraikan beberapa komponen penting, yakni tujuan (apa yang hendak dicapai), kegiatan (tindakan-tindakan untuk merealisasikan tujuan), dan waktu (kapan, bilamana kegiatan tersebut hendak dilakukan) (Abe, 2002: 24). Kunarjo,
2002:
Sementara perencanaan menurut Y. Dror (dalam 14)
adalah
suatu
proses penyiapan
keputusan untuk dilaksanakan pada waktu
y~ng
seperangkat
akan datang yang
diarahkan pada pencapaian sasaran tertentu. Selanjutnya Kunarjo (2002: 22)
memilah
macam
perencanaan
dan
salah
satunya
adalah
perencanaan dilihat dari arus informasinya, yaitu perencanaan dari atas ke bawah (top down planning) dan perencanaan dari bawah ke atas (bottom up planning).
Konsep tersebut di atas sejalan dengan pendapat Soekartawi (1990:
77)
bahwa
berkesinambungan
perencanaan dari
waktu
ke
adalah waktu
suatu
proses
dengan
yang
melibatkan
kebijaksanaan (policy) dari pembuat keputusan berdasarkan sumber daya yang tersedia dan disusun secara sistimatis. Sementara Ardani dan lswara (1986) (dalam Soekartawi, 1990: 21) menyatakan bahwa defenisi
12
perencanaan biasanya mengandung beberapa elemen, antara lain: (a) perencanaan yang dapat diartikan sebagai pemilihan alternatif; (b) perencanaan yang dapat diartikan sebagai pengalokasian berbagai sumberdaya yang tersedia; (c) perencanaan yang dapat diartikan sebagai upaya untuk mencapai sasaran; dan (d) perencanaan yang dapat diartikan sebagai upaya untuk mencapai target sasaran yang dikaitkan dengan waktu masa depan. Lebih lanjut Abe (2002: 28) menguraikan tentang perencanaan yang dapat diulas melalui beberapa dimensi perencanaan yaitu : Periama, dimensi waktu.
Suatu perencanaan sesungguhnya
bicara tentang masa depan. Apa yang termuat dalam perencanaan tidak lain dari idealisme perubahan, suatu "tempat" sekaligus jalan yang hendak ditempuh.
y~ng
hendak dicapai dan
Pandangan ini sangat jelas
menunjukkan anggapan dari suatu perencanaan bahwa waktu bergerak linear, terkendali. Dengan kata lain, perencanaan adalah susunan anak tangga waktu, dari masa kini ke masa depan. Jumlah anak tangga akan ditentukan oleh tempat yang hendak dituju dan kurun waktu yang tersedia. Kedua, dimensi tujuan. Suatu perencanaan pada dasarnya adalah
rumusan mengenai pencapaian terhadap suatu tujuan. Dengan demikian didalamnya termuat idealisme mengenai suatu kondisi yang dipandang lebih baik dan lebih bermakna.
Rumusan ini bisa bermakna subyektif,
namun dapat pula menjadi hal yang obyektif.
Kondisi tersebut akan
13
sangat ditentukan oleh bagaimana proses perumusan perencanaan tersebut. Jika perencanaan merupakan hasil kerja intelektual yang alpa mendengar suara rakyat, maka dengan sendirinya produknya adalah suatu subyektifitas. Oleh sebab itu pula, suatu perencanaan sebaiknya bukan sebagai hasil kerja intelektual, melainkan sebagai hasil kerja dari usaha perubahan. Artinya, proses penyusunan perencanaan merupakan pergulatan
terbuka,
melibatkan
yang
kalangan
yang
luas
dan
representatif. Ketiga, dimensi pengaturan, alokasi. Suatu perencanaan memuat
pula maksud - maksud untuk mengatur atau membuat alokasi, termasuk menyusun suatu skala prioritas. Dimensi ini bisa terbaca dari pengertian yang menyatakan bahwa perencanaan tidak lain dari penetapan tujuan tujuan dan prioritas -
prioritas, dengan serangkaian aktivitas untuk
mencapainya. Keempat, dimensi tindakan. Inti dari perencanaan adalah tindakan
apa yang akan dilakukan. yang
secara
obyektif
Jika perencanaan berisi rencana tindakan
bisa
dilakukan,
maka
dengan
sendirinya
perencanaan tersebut memiliki sifat terfokus, sederhana, bisa dilakukan, jelas tersedia sumberdaya pendukung, jelas kapan akan dilakukan serta .. jelas pula batas waktu yang hendak digunakan.
Sehingga dengan
adanya perencanaan dimaksudkan agar tindakan - tindakan yang akan dilakukan tertata, jelas arahnya dan jelas pula hasil yang ingin dicapai.
14
Dari uraian tersebut di atas, maka dapat dinyatakan bahwa perencanaan adalah suatu kegiatan untuk melihat kedepan ke arah yang lebih baik dengan memperhatikan aspek waktu, sumberdaya, sasaran dan tujuan serta rencana implementasi. Selanjutnya kata "pembangunan" telah menjadi jargon yang tidak asing didengar.
Ia dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat
dielakkan, suatu keniscayaan.
Kata ini mulai gencar muncul setelah
Perang Dunia II, dengan program bantuan luar negeri Amerika Serikat yang
populer
disebut
Rencana
Marshall.
Dimana
pada
awal
diperkenalkan, kata "pembangunan" diidentikkan dengan pertumbuhan ekonomi,
sehingga
kata
kunci
dalam
"pembentukan modaf' (Kuncoro, 2000).
pembangunan
adalah
Sementara Ndraha (1987: 1)
melihat arti pembangunan dari dua tinjauan yaitu: tinjauan etimologik dan tinjauan ensiklopedik. Tinjauan etimologik, pembangunan meliputi segi anatomik (bentuk), fisiologik (kehidupan), dan behavioral (perilaku),
Tinjauan ensiklopedik,
pembangunan adalah hasrat bangsa-bangsa di
dunia untuk mengejar bahkan memburu masa depan yang lebih baik menurut kondisi dan cara masing-masing, yang melahirkan berbagai konsep pembangunan antara lain pertumbuhan (growth). modernisasi (modernization), westernisasi (westernization), pembebasan (liberation),
dan pembangunan nasional (national development). Dalam perkembangannya pada akhir dasawarsa 1960-an, banyak Negara Sedang Berkembang (NSB) menyadari bahwa "pertumbuhan"
15
(growth) tidak identik dengan "pembangunan" (development). Fakta ini
yang memperkuat keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diperlukan (necessary) tetapi tidak mencukupi (sufficient) bagi proses pembangunan (Esmara, 1986: 12; Meier, 1989: 7 dalam Kuncoro, 2000: 9). Hal inilah yang menandai dimulainya pengkajian ulang tentang arti pembangunan, dimana Myrdal (1968) (dalam Kuncoro, 2000: 9), mengartikan pembangunan sebagai pergerakan ke atas dari suatu sistem sosial.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Meier (1989) dan
Dudley Seers (1973) (dalam Kuncoro, 2000: 10) dan Fakih (2001: 1-16), bahwa pembangunan tidak lagi identik dengan pertumbuhan Gross National Product (GNP), namun lebih memusatkan perhatian pada
kualitas dari proses pembangunan yang lebih mengarah kepada konteks tujuan sosial, seperti berorientasi pada kesempatan kerja, pemerataan, pengentasan kemiskinan dan kebutuhan pokok. Sementara Fakih (2001: 10) menyatakan bahwa terdapat dua pandangan tentang
pembangun~n
yaitu: pertama, adalah suatu proses dan usaha untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, politik, budaya, infrastruktur masyarakat, dan sebagainya.
Pembangunan disejajarkan dengan kata "perubahan
sosial", kedua, adalah sebagai sebuah discourse, suatu pendirian, atau suatu paham, bahkan merupakan suatu ideologi dan teori tertentu tentang perubahan sosial.
16
Dari pemahaman tersebut di atas, maka dapat disarikan bahwa pembangunan adalah suatu perubahan bagi kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat baik ditinjau dari sisi ekonomi, sosial maupun politik melalui penghantaran sumberdaya baik oleh masyarakat itu sendiri atau dari luar sistim masyarakat tersebut. Selanjutnya dengan simpulan tersebut di atas (perencanaan dan pembangunan),
maka
dimaknai
dapatlah
perencanaan
kata
pembangunan sebagai proses perubahan kearah yang lebih baik melalui mekanisme penghantaran sumberdaya yang terstruktur. Hal ini sejalan dengan
pendapat
Riyadi
dan
(2002:
Bratakusuma
7)
bahwa
perencanaan pembangunan dapat diartikan sebagai suatu proses perumusan
alternatif-alternatif
atau
keputusan-keputusan
yang
didasarkan pada data-data dan fakta-fakta yang akan digunakan sebagai bahan
untuk
melaksanakan
suatu
rangkaian
kegiatan/aktivitas
kemasyarakatan, baik yang bersifat fisik (material) maupun nonfisik (mental dan spiritual), dalam rangka mencapai tujuan yang lebih baik. Dalam (development
beberapa planning),
literatur maka
perencanaan
pembahasan
pembangunan
terhadap
pentingnya
perencanaan sering dikaitkan dengan pembangunan itu sendiri. Dengan demikian, pembahasan pentingnya aspek perencanaan yang dikaitkan dengan pembangunan dapat diklasifikasikan menjadi dua topik utama yaitu: (1) perencanaan sebagai alat dari pembangunan ; dan (2)
17
pembangunan sebagai tolok ukur dari berhasil-tidaknya perencanaan terse but (Soekartawi, 1990: 24 ). Perencanaan
dianggap
sebagai
alat
pembangunan,
karena
perencanaan memang merupakan alat strategis dalam menuntun jalannya pembangunan. Suatu perencanaan yang disusun secara acakacakan (tidak sistematis) dan tidak memperhatikan aspirasi target group (sasaran), maka pembangunan yang dihasilkan juga tidak seperti yang Dengan demikian, maka di dalam konteks perencanaan
diharapkan.
sebagai alat, ia mempunyai keunggulan komprehensif sebagai berikut: (1) perencanaan dapat dipakai sebagai alat untuk menjadikan pedoman dalam melaksanakan pembangunan, (2) perencanaan dapat dipakai sebagai
alat
penentu
berbagai
alternatif dari
berbagai
kegiatan
pembangunan, (3) perencanaan dapat dipakai sebagai penentuan prioritas,
sk~~a
(4) perencanaan dapat dipakai sebagai alat peramalan
(forecasting) dari kegiatan pada masa yang akan datang.
Disisi lain, perencanaan dapat dipandang sebagai tolok ukur dari keberhasilan dan kegagalan dari pembangunan yang mengandung arti bahwa kegiatan pembangunan yang gagal bisa jadi karena aspek perencanaannya yang tidak baik dan begitu pula sebaliknya. Dalam konteks
pembangunan daerah (Soekartawi, 1990 dan
Abe, 2002) perencanaan adalah proses menyusun langkah-langkah yang akan diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, dalam rangka menjawab kebutuhan
masyarakat,
untuk
mencapai
suatu
tujuan
tertentu.
18
Perencanaan daerah dapat dipandang sebagai formulasi (rumusan) mengenai aspirasi masyarakat setempat, dalam rangka mencapai suatu kehidupan baru yang lebih baik dan bermakna, melalui langkah - langkah pembangunan. Dalam hal ini, dikenal dua model perencanaan yaitu: (1) perencanaan yang ditentukan langsung oleh pusat, sehingga pemerintah daerah hanya merupakan pelaksana atau pelengkap dari konsep yang sudah ada (top down planning); (2) perencanaan merupakan hasil dari pergulatan masyarakat setempat, dengan menggunakan mekanisme formal (dan non formal) yang ada (bottom up planning).
Kualitas
perencanaan daerah dan implikasinya pada kehidupan rakyat akan sangat ditentukan oleh model yang dipilih. Sejalan
dengan
premis
tersebut
menurut
Riyadi
dan
Kusumabratah (2002: 7) perencanaan pembangunan daerah adalah suatu proses perencanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungannya dalam wilayah/daerah tertentu dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumberdaya yang ada dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap tapi tetap berpegang pada azas prioritas. Dengan dukungan
pernyataan
tersebut,
maka
ciri-ciri
dari
perencanaan
pembar.gunan daerah adalah sebagai berikut: (1) menghasilkan programprogram
yang
bersifat
umum,
(2)
analisis
perencanaan
bersifat
makro/luas, (3) lebih efektif dan efisien digunakan untuk perencanaan
19
jangka menengah dan panjang, (4) memerlukan pengetahuan secara interdisipliner, general dan universal, namun tetap memiliki spesifikasi masing-masing yang jelas, (5) fleksibel dan mudah untuk dijadikan sebagai
acuan
perencanaan
pembangunan
pendek
jangka
(satu
tahunan). Selanjutnya Abe (2002: 30) menambahkan bahwa perencanaan pembangunan
daerah
dibagi
dalam
dua
bentuk
yaitu:
pertama,
perencanaan daerah sebagai suatu bentuk perencanaan (pembangunan) yang merupakan implementasi dari perencanaan nasional (pusat), kedua, perencanaan daerah sebagai suatu hasil pergulatan daerah dalam merumuskan kepentingan lokal. B. Aspirasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan
Dalam laporan Yayasan "Dag Hammarskjold" (Swedia) dalam memperingati 30 tahun PBS, disimpulkan bahwa model pembangunan yang dianut selama ini telah gagal menghapus kemiskinan massal di atas muka bumi, juga telah gagal mempertahankan sustainabilitasnya secara ekologis, sehingga direkomendasikan bahwa pembangunan seyogyanya bersifat
endogeneous,
self-reliance
dan
ramah
lingkungan.
Pembangunan diberikan kepada pengembangan system ketiga (konsep IFDA), yaitu sistem kekuasaan yang ditampilkan oleh orang yang bertindak secara individual atau kolektif melalui institusi atau asosiasi relawan yang merupakan sistim yang autonomous power yang legitimatif di dalam menyalurkan aspirasinya.
Perjuangan dari rakyat untuk
20
menentukan sendiri jalan hidupnya atau disebut "proses memanusiakan manusia" atau humanization of man (PSKMP, 2001). Selain itu Coleman (dalam Suwarsono dan So, 1991: 21) menyebutkan en am kemungkinan krisis modernisasi, yaitu: (1) krisis identitas nasional, (2) krisis legitimasi pemerintahan negara, (3) krisis ketidakmampuan pemerintah pusat untuk melaksanakan secara efisien apa yang telah menjadi keputusan politiknya ke seluruh pelosok tanah air .. (4) krisis rendahnya partisipasi karena tidak tersedianya lembaga penghubung dan penyalur tuntutan politik masyarakat ke negara, (5) krisis integrasi dan koordinasi berbagai kelompok politik dominan, dan (6) krisis distribusi ketika Negara tidak mampu mencapai pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasilnya sesuai harapari masyarakat. Sejalan dengan pendapat di atas Riyadi dan Bratakusumah (2002: 65) menawarkan konsep pendekatan perencanaan yang berorientasi pada tujuan atau pembangunan endogen. ekstrem
menentang
industrialisasi
atau
Konsep ini tidak secara modernisasi,
tetapi
lebih
menekankan penguatan-penguatan potensi daerah sebagai prakondisi bagi pertumbuhan daerah dan modernisasi. kemampuan
masyarakat
untuk
Partisipasi dikembangkan sebagai
memenuhi
Termasuk dalam hal ini kebutuhan
suatu strategi
dasarnya.
untuk menciptakan
kesempatan baru dan untuk mengeksplorasi arah pembangunan yang baru.
Sebagai konsekwensinya, masyarakat akan berperan sebagai
21
subyek pembangunan yang aktif dan bukan sekedar sebagai obyek yang pas if. Prinsip ini sejalan dengan yang dikembangkan oleh Jenssen dan Meyer (1995)
dalam Riyadi dan Bratakusumah (2002: 66) bahwa
perencanaan pembangunan distrik antara lain, harus: (1) menekankan pembangunan daerah endogen berdasarkan sumberdaya setempat untuk pengembangan
industri
skala
kecil,
pertanian,
perdagangan
dan
kerajinan, (2) dengan dialog menggalang partisipasi tingkat lokal sebagai input yang penting bagi rencana pengembangan distrik dan programnya, (3) menyiapkan kerangka kerja menyeluruh sebagai panduan utama untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan aktivitas badan-badan terkait, baik sektoral maupun lokal, (4) berfungsi sebagai dokumen dasar untuk mengetahui anggaran pembangunan tahunan daerah distrik terkait, (5) mengedepankan perencanaan sebagai suatu dialog. Sementara itu Batten (1960: 1) (dalam Ndraha, 1987: 101) mengemukakan bahwa pembangunan masyarakat adalah suatu proses dimana masyarakat membahas dan merumuskan kebutuhan mereka, merencanakan usaha pemenuhannya dan melaksanakan rencana itu sebaik-baiknya. berpartisipasi.
Proses
tersebut
oleh
Ndraha
disebut
sebagai
Menurut Mubyarto (1984:35) (dalam Ndraha, 1987:103)
partisipasi adalah kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai
kemampuan
kepentingan diri sendiri.
setiap
orang
tanpa
berarti
mengorbankan
22
Pengertian konsep di atas digolongkan sebagai bentuk partisipasi aktif, seperti yang dikemukakan oleh Paul (1987:24} (dalam Moeljarto, 1996: 133) bahwa: " ... participation refers to an active process whereby beneficiaries influence the direction and execution of development projects rather than merely receive a share of project beneficts".
Defenisi di atas melihat keterlibatan masyarakat mulai dari tahap pembuatan keputusan, penerapan keputusan, penikmatan hasil dan evaluasi (Cohen & Uphoff, 1980: 215-223 dalam Moeljarto, 1996: 133). Selanjutnya Perencanaan Partisipatif menurut Abe (2002: 81) adalah perencanaan yang dalam tujuannya melibatkan kepentingan masyarakat, dan dalam prosesnya melibatkan masyarakat (baik secara langsung maupun tidak langsung). Dimana Abe menawarkan dua bentuk perencanaan partisipatif yaitu: pertama, perencanaan yang langsung disusun
bersama
(menyangkut
rakyat,
daerah
berupa
dimana
perencanaan
masyarakat
berada)
lokasi-setempat dan
berupa
perencanaan wilayah yang disusun dengan melibatkan masyarakat secara perwakilan; kedua, perencanaan yang disusun melalui mekanisme perwakilan sesuai institusi yang sah (seperti parlemen). Menurut Abe (2002: 14-15) kebijakan pemberian otonomi daerah hendak menunjuk mengenai peluang daerah untuk menjalankan misi mendekatkan
pelayanan
dan
meningkatkan
pelayanan
kepada
masyarakat, dengan segala potensi yang dimiliki, serta melalui otonomi daerah akan memperkuat daerah dalam kerangka menangkap aspirasi
23
masyarakat daerah, terutama institusi lokal untuk berfungsi. Penguatan institusi lokal dalam kerangka otonomi daerah bermakna pengembalian fungsi institusi lokal sebagai wahana masyarakat dalam menghadapi hidup dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi, seperti fungsi yang diberikan kepada Badan Perwakilan Desa yaitu berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa, menampung dan menyalurkan
aspirasi
masyarakat,
serta
melakukan
pengawasan
terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa. Lebih lanjut Abe (2002:
16-17) menyatakan bahwa kualitas
otonomi sangat ditentukan oleh sejauhmana keterlibatan masyarakat melalui adanya saluran aspirasi masyarakat di dalam menyampaikan pokok-pokok harapan, kebutuhan dan kepentingan dasarnya. Sementara itu menu rut Ndraha (1987: 103) terdapat enam bentuk dari partisipasi masyarakat yaitu: ( 1) partisipasi melalui kontak dengan pihak lain (contact change) sebagai salah satu titik awal perubahan sosial; (2) partisipasi dalam memperhatikan/menyerap dan memberi tanggapan terhadap informasi, baik dalam arti menerima (mentaati, memenuhi,
melaksanakan),
mengiyakan,
menerima dengan syarat,
maupun dalam arti menolaknya; (3) partisipasi dalam perencanaan pembangunan, termasuk pengambilan keputusan; (4) partisipasi dalam pelaksanaan operasional pembangunan; (5) partisipasi dalam menerima, memelihara dan mengembangakan hasil pembangunan; (6) partisipasi dalam menilai pembangunan,
yaitu keterlibatan masyarakat dalam
24
menilai sejauhmana pelaksanaan pembangunan sesuai dengan rencana dan sejauhmana hasilnya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Conyers
( 1991)
menjelaskan
tiga
alasan
utama
mengapa
partisipasi masyarakat penting dalam proses pembangunan, yaitu: (1) partisipasi
masyarakat dapat
menjadi "telinga"
untuk
memperoleh
informasi mengenai kondisi, permasalahan dan kebutuhan masyarakat, (2) efektifitas dan efisiensi dari program atau proyek pembangunan akan lebih mudah dicapai, apalagi dalam kondisi kontribusi masyarakat dapat mengurang1
beban
biaya
yang
harus
dikeluarkan
untuk
suatu
implementasi pembangunan, (3) partisipasi secara etik-moral merupakan hak demokrasi bagi rakyat, sehingga dengan partisipasi yang maksimal pemer:ntah sudah otomatis meredam potensi resistensi dan protes sosial bagi efek-efek samping pembangunan. Pemahaman tentang perencanaan partisipatif pada awalnya menempatkan rakyat hanya sebagai partisipan dalam pembangunan. Seiring dengan perkembangan paradigma baru dalam pembangunan, berkembang pemikiran bahwa pembangunan seharusnya oleh rakyat itu sendiri
sedangkan
pihak
luar
hanyalah
fasilitator.
Agenda
ini
menghantarkan rakyat sebagai pelaku utama pembangunan. Pergeseran makna konsep partisipasi ini dari kata keadaan (keterlibatan rakyat dalam pembangunan) menjadi kata kerja (pendekatan untuk menghantar rakyat menjadi pelaku utama pembangunan) dikenal dengan pendekatan partisipatoris (Salman, 2001 ). Secara filosofis, pendekatan partisipatoris
25
berbasis pada proses belajar berdasarkan pengalaman (experience based learning process) untuk capability building dan institutional strenghtening, dengan capability building dan institutional strenghtening
pada gilirannya masyarakat akan tampil sebagai pelaku pembangunan yang mandiri (Ohama, 2001). Seiring dengan reformasi yang intinya menolak segala bentuk Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), dan sentralisasi yang memberikan kewenangan penuh kepada warga daerah (bukan hanya eksekutif dan legislatif) untuk mengelola berbagai kewenangan yang dimilikinya, maka tuntutan
akan
adanya
perubahan
dalam
peran
masyarakat dalam pembangunan semakin besar.
pemerintah
dan
Termasuk pula
perubahan peran pemerintah dan masyarakat dalam perencanaan ..
pembar.gunan daerah itu sendiri. Sebagaimana yang dimanatkan dalam UU No. 2211999 yang menyatakan bahwa Daerah Otonom yang selanjutnya disebut sebagai Daerah, didefinisikan sebagai "kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia". Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang menjadi konsep dasar dari pendekatan ini antara lain meliputi: (i) menekankan perlunya pariisipasi dan dialog; (ii) proses desentralisasi pembangunan; dan (iii) optimalisasi pemberdayaan daerah (Riyadi dan Bratakusumah, 2002).
26
Menjadi jelaslah bahwa pendekatan "top down planning" dalam perencanaan akan sama sekali bertentangan dengan ide dasar dari desentralisasi, maka diperlukan suatu rumusan tentang perencanaan yang bukan hanya mampu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses
pembangunan
tetapi juga mampu
menghasilkan
berbagai
kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas lokal. Sehingga harapan untuk perencanaan pembangunan yang partisipatif menjadikan
serangkaian
aktifitas
perencanaan
dimana membuka
yang
kesempatan kepada masyarakat untuk dapat memberikan masukan serta aspirasinya dan menyepakati berbagai program pembangunan yang akan dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu dapat terwujud. Namun, menurut Sumardi dkk (1998) . partisipasi masyarakat dalam
mendukung
program-program
pembangunan
hubungan dengan kebutuhan pokok masyarakat itu.
mempunyai
Wujud
partisipa~i
masyarakat merupakan perilaku individu dengan lingkungannya yang dipengaruhi oleh faktor dari dalam individu itu sendiri maupun faktor rangsangan dari luar (stimulus).
Faktor dari dalam meliputi keadaan
status sosial, ekonomi dan budaya. Sedangkan faktor yang berasal dari luar meliputi segala sesuatu yang ada disekitarnya yang mampu mempengaruhi individu itu untuk berperan terhadap kegiatan tertentu. Berdasarkan hasil penelitian Goldsmith dan Blustain di Jamaika (1980: 119) (dalam Ndraha: 1OS) berkesimpulan bahwa masyarakat tergerak untuk berpatisipasi jika: (1) dilakukan melalui organisasi yang
27
sudah dikenal atau yang sudah ada di tengah-tengah masyarakat yang bersangkutan, (2) memberikan manfaat langsung kepada masyarakat bersangkutan, (3) manfaat yang diperoleh melalu partisipasi dapat memenuhi kepentingan masyarakat setempat, dan (4) dalam proses partisipasi tersebut terjamin
adanya kontrol
yang dilakukan oleh
masyarakat, sebab partisipasi masyarakat akan berkurang jika mereka tidak atau kurang berperan dalam pengambilan keputusan. Sejalan
dengan
tersebut
pendapat
bila
dengan
dikaitkan
pernyataan Bintoro (1986) bahwa perencanaan ideal adalah yang mencakup
unsur-unsur:
(1)
dalam
perencanaan
perlu
dipahami
permasalahan-permasalahan pembangunan masyarakat atau daerah yang harus dikaitkan dengan pembangunan yang dapat diusahakan, seperti sumber-sumber daya ekonomi dan non ekonomi; (2) dalam perencanaan perlu termuat adanya suatu tujuan yang ingin dicapai dan adanya kebijaksanaan atau cara-cara untuk mencapai tujuan, termasuk pertimbangan
adanya
resiko;
dalam
(3)
perencanaan
harus
menerjemahkan program-program dalam bentuk konkrit dan mempunyai jangka waktu untuk mencapai tujuan tersebut; dan (4) yang terpenting untuk mencapai tujuan
itu perlu memperhatikan unsur koordinasi,
konsistensi dari berbagai variabel sosial ekonomi dalam masyarakat dan skala prioritas. Selanjutnya
Kunarjo
(1993:
15)
menyatakan
bahwa suatu
perencanaan yang baik apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
28
(1) di dasari dengan tujuan pembangunan; (2) konsisten dan realistis; (3) pengawasan yang kontinyu; (4) mencakup aspek fisik dan pembiayaan; (5) memahami berbagai ciri hubungan variabel ekonomi, dan (6) mempunyai koordinasi yang baik. Dengan melihat argumen-argumen
tersebut di atas, dapatlah
disimpulkan bahwa perencanaan yang baik akan menghasilkan usulan yang baik (berkualitas), dan usulan yang baik akan menjadi pedoman yang mantap di dalam melakukan penyusunan program/kegiatan lima tahunan maupun program/kegiatan tahunan.
Oleh karena itu, kualitas
usulan yang baik adalah: ( 1) merupakan hasil yang diangkat dari permasalahan masyarakat, sehingga menjadi kebutuhan masyarakat; (2) penentuan usulan
tersebut melibatkan lebih .banyak masyarakat; (3)
dapat menimbulkan masalah lain apabila tidak ditangani; (4) merupakan hasil analisa yang mendalam; dan (5) menjawab visi dan misi daerah. C. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Pada awal perkembangannya ilmu politik dibedakan dengan ilmu administrasi,
Frank J. Goodnow (1900) (dalam lslamy, 2003: 3)
mengatakan bahwa pemerintah mempunyai dua fungsi yang berbeda (two distinct function of government), yaitu fungsi politik dan fungsi
administrasi.
Fungsi
politik
berhubungan
dengan
pembuatan
kebijaksanaan atau penyataan keinginan negara (has to do with policies or expressions of the state
wil~;
sedangkan fungsi administrasi adalah
29
berkenaan dengan pelaksanaan kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut (has to do with the execution of these policies).
perkembangannya
pendapat
ini
ditolak dengan
Namun, dalam sendirinya
sebab
administrasi bukanlan sesuatu yang hampa nilai (value free) atau bersifat imparsia: dan apolitis, melainkan sesuatu yang sarat akan nilai (value laden) politik.
Seperti yang dinyatakan oleh John Gaus (1950) (dalam
lslarny, 2003: 5) bahwa "A theory of public administration means in our time a theory of politics also".
Sejalan dengan konsep tersebut, hal ini terjadi juga dengan ilmu politik dengan ilmu ekonomi, yang pada awal perkembangannya juga mengalami pemisahan, namun ternyata hal ini tidak dapat dipisahkan. Pada saat berbicara masalah politik negara pasti berhubungan dengan masalah ekonomi. Seperti yang dikemukakan oleh Rachbini (1996: 18) dengan lahirnya perspektif teori Ekonomi Politik Baru (EPB) atau the New Political Economy, yang di dalamnya terkandung perpektif Rational Choice (RC) dan Public Choice (PC).
Perpektif teori yang coba
menjembatani antara ilmu ekonomi dalam menelaah fenomena ekonomi dalam perspektif mekanisme pasar dengan fenomena dan kelembagaan non-pasar (non-market institution). Di dalam prakteknya di Indonesia oleh Mas'oed (2003: 30-34) disebut dengan tiga pendekatan pembangunan yang diberi nama: (1) Politik Sebagai panglima (PSP), (2) Ekonomi Sebagai Panglima (ESP), dan (3) Moral Sebagai Panglima (MSP).
Dalam perkembangannya
30
pendekatan PSP dan ESP secara bergantian telah pernah memimpin negara ini, sementara yang saat ini di perdebatkan adalah pendekatan MSP, bahwa inilah cara efektif untuk menangani persoalan kemiskinan yaitu dengan membantu masyarakat untuk menemukan kekuatan mereka sendiri.
Selama ini pembuatan keputusan pembangunan menjadi
monopoli pemerintah harus dikembalikan kepada masyarakat atau komunitas lokal sebab masyarakat memiliki kekuatan rakyat (people power).
Disarikan oleh Mas'oed (2003: 68-69)
bahwa semua perpektif
tersebut di atas dijalankan oleh apa yang disebut "birokrasi" (aparat negara).
Dimana aparat negara tersebutlah yang menjadi inisiator da·n
perencana pembangunan, investasi pembangunan,
yang yang
mencari dana,
yang menjalankan
menjadi manajer produksi maupun
redistribusi outputnya, dan bahkan menjadi konsumen terbesar dari hasil kegiatan pembangunan. Lebih lanjut Mas'oed (2003: 74-75) menggambarkan bahwa birokrasi sebagai aparat negara mempunyai lima kelompok fungsi dengan derajat keaktifan yar1g berbeda, yaitu: (1) fungsi administrasi; (2) fungsi arbitrasi, (3) fungsi regulasi, (4) fungsi kontrol finansial, moneter dan fiskal, dan (5) fungsi tindakan iangsung. berkembang
menjadi
instrumen
Dimana lima fungsi ini
kekuasaan
mengintervensi kegiatan masyarakatnya.
pemerintah
untuk
31
Selanjutnya Haneng (1999) menyatakan bahwa pembuatan kebijakan public (policy making) adalah proses yang pasti dijumpai dalam setiap sistem politik, negara atau pemerintahan. Bahkan dapat dikatakan bahwa produk dari setiap sistem politik adalah kebijakan yang lazim dikenal sebagai kebijakan public (public policy). Menurut Dunn (2000: 22) bahwa proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan di dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat Aktifitas politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan
politis.
kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahapan yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu, yaitu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan. Pada prinsipnya kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh Negara/pemerintah untuk memenuhi kepentingan publik.
Oleh
karena itu, setiap kebijakan publik yang dibuat oleh jenjang pemerintahan manapun sudah sepatutnya berorientasi pada kepentingan publik. Prinsip ini harus dipegang oleh setiap pembuaVperumus kebijakan publik kalau ingin kebijakan yang dibuatnya dapat disebut sebagai kebijakan publik. Menurut Haneng (1999) proses pengadministrasian masalahmasalah
pembangunan
hingga
menjadi
sebuah
kebijakan
publik
membentuk model-proses yang secara sederhana mengandung tahaptahap: perencanaan, pelaksanaan dan pengevaluasian. Ketiga tahap ini
32
berlangsung tidak saja berurut (reciproca~
(seria~
melainkan juga secara timbal balik
membentuk suatu siklus. Tahap-tahap tersebut disebut juga
sebagai tahap-tahap formulasi kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan. Dalam keseluruhan proses tersebut, tahap formulasi kebijakan atau pembuatan rencana merupakan tahap yang paling krusial, sementara tahap implementasi dan evaluasi kebijakan merupakan tahaptahap yang mengikuti dan hanya dapat dilaksanakan jika tahap formulasi telah diselesaikan. atau
program
Dengan demikian maka kegagalan suatu kebijakan
dalam
mencapai
tujuan-tujuannya
sebagian
besar
bersumber pada kekurangan-kekurangan pengelolaan tahap formulasi kebijakan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah suatu keputusan
publik
atau
kebijakan
publik,
karena
sejalan
dengan
pengertian yang dibangun tentang kebijakan publik yaitu suatu program pencapaian
tujuan,
nilai-nilai
dan
tindakan-tindakan
yang
terarah
(Lasswell dan Kaplan dalam Haneng, 1999) dan pengertian yang dibangun oleh Anderson (dalam Haneng, 1999) yaitu serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seseorang atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu. APBD selain merupakan kebijakan publik juga merupakan kebijakan politik, karena penetapannya dilakukan di DPRD.
Sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pasal 19 dan pasal 86,
33
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 pasal 19 dan pasal 20 serta tindak lanjut secara teknis diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri No 29 Tahun 2000. Sementara Mardiasmo (2002: 62) mengatakan bahwa anggaran publik berisi rencana kegiatan yang dipresentasikan dalam bentuk rencana perolehan pendapatan dan belanja dalam satuan moneter serta aktivitas yang hendak dilakukan dengan anggaran tersebut.
Sejalan
dengan pengertian anggaran yang dibangun oleh Garisson dan Noreen (dalam Santoso, 2000: 342-343) bahwa Anggaran adalah rencana rinci tentang
perolehan
dan
penggunaan
sumberdaya
keuangan
dan
sumberdaya lainnya untuk suatu periode tertentu. Selanjutnya Shick (1990: 1) memberikan pengertian anggaran adalah: "budgetting is. essential to the effective operation of modern government, it has become the closet thing to a national command and control proces, the means by which governments and finance their vast ambitious".
Pengertian ini dipertegas oleh Suparmoko (1986:
49)
bahwa anggaran (budget) adalah suatu daftar atau pernyataan yang diharapkan dalam jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun, "anggaran negara pada hakikatnya merupakan rencana kerja pemerintah yang akan dilakukan dalam satu tahun yang dituangkan dalam angka-angka". Sehingga anggaran dapat diartikan sebagai rencana keuangan yang mencerminkan pilihan kebijakan untuk suatu periode di masa akan datang.
34
APBD juga dikatakan sebagai anggaran publik karena berisi hasil perencanaan dan untuk menjawab kebutuhan masyarakat.
Sesuai
dengan pengertian yang dibangun oleh Mustopoadidjaya (1997: 12) bahwa
penyusunan
kegiatannya
adalah
rencana
anggaran
identifikasi
pembangunan
kebutuhan,
yaitu
salah
satu
mengidentifikasi
kebutuhan serta mempertimbangkan kebijaksanaan yang menyangkut pengalokasian pada program-program yang dihubungkan baik dengah tujuan perekonomian secara keseluruhan maupun sasaran-sasaran spesifik struktural dan regional tertentu. Selanjutnya Kunarjo (1998: 157) menyatakan bahwa untuk menampung kebutuhan masyarakat daerah dalam anggaran pembangunan ditempuh sistem perencanaan dari bawah ke atas (bottom up planning).
Namun demikian, penyusunan proyek-
proyek yang akan dibangun daerah juga harus merupakan penjabaran kebijaksanaan. dengan kata lain sistim perencanaan dari atas ke bawah (top down planning) juga tidak dapat ditinggalkan.
Hal yang sama oleh lslamy (2003: 23) mengungkapkan bahwa dalam glossary of public administration pembuatan keputusan (decision making) didefinisikan sebagai: "a process in which choices are made to change (or leave unchanged) an existing condition, to select a coLirse of action most appropriate to achieving a desired objective, and to minimize risks, uncsrtainty, and resource expenditures in pursuing the objective".
Dari defenisi di atas, nampak jelas sekali bahwa sepanjang perbuatan keputusan itu merupakan penentuan "serangkaian tindakan" (a course of
35
action), maka proses pembuatan keputusan itu dilakukan terus menerus
dan tidak mengenal berhenti.
Selanjutnya Dill (1972) (dalam lslamy,
2003: 23) menyatakan: "Administrative decisions are usually hard to interpret as a single choice among alternatives.
Most such decisions
really consist of a series of choice and commitments that have been made in sequence".
Selanjutnya Mamesah (1995: 17) memberikan makna APBD secara detail yaitu: A adalah "Anggaran" dalam arti "begrooting" atau "estimate" mempunyai makna "penentuan/patokan" atau "penetapan
besarnya uang", P adalah "Pendapatan" atau income dalam arti "revenue" atau penerimaan, dimaksudkan bahwa untuk membiayai pengeluaran, diperlukan sumber-sumber penerimaan dalam hal ini untuk daerah dikenal dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) berupa pajak, retribusi, bagi hasil pajak/bukan pajak, sumbangan (berupa ganjaran dan subsidi) dan lain-lain, B adalah "Belanja" atau "government expenditure" atau pengeluaran-pengeluaran pemerintah, dimaksudkan bahwa pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah dalam melaksanakan tugas atau fungsinya jelas memerlukan dan melakukan pengeluaran-pengeluaran, sedangkan
tindakan-tindakan
yang
berakibat
untuk
melakukan
pengeluaran tersebut diperlukan sumberdaya ekonomi antara lain berupa atau dinyatakan dengan penggunaan uang. Dimana uang tersebut untuk keperluan belanja rutin dan belanja pembangunan, D adalah "Daerah" dimaksudkan disini sebagai daerah atasan (dalam hal ini daerah
36
Kabupaten/Kota dan Propinsi) sebagai badan hukum publik dalam bentuk organisasi
yang
menjadi
alat
kekuasaan
dalam
menjalankan
pemerintahan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa APBD adalah rencana operasional keuangan Pemerintah Daerah, yang disatu pihak menggambarkan
perkiraan
pengeluaran
guna
membiayai
kegiatan
pemerintah dalam satu tahun anggaran tertentu, dan dilain pihak menggambarkan perkiraan penerimaan dan sumber-sumber penerimaan daerah guna menutupi pengeluaran-pengeluaran dimaksud. Sesuai dengan Pasal 20 UU No. 25/1999 bahwa APBD disusun dengan pendekatan kinerja yang memuat: sasaran yang diharapkan menurut fungsi perkiraan
biaya
belanja, satuan
standar pelayanan komponen
yang diharapkan dah
kegiatan
yang
bersangkutan,
selanjutnya pada pasal 21 dinyatakan bahwa dalam rangka menyiapkan rancangan APBD, Pemerintah Daerah bersama-sama dengan DPRD menyusun arah dan kebijakan umum APBD dan berdasarkan arah dan kebijakan umum tersebut Pemerintah Daerah menyusun strategi dan prioritas APBD. Menurut Mardiasmo (2002: 66) anggaran sektor publik dibagi menjadi
dua
yaitu:
Anggaran
Operasional
dan Anggaran
Modal.
Anggaran operasional digunakan untuk merencanakan kebutuhan seharihari dalam menjalankan pemerintahan yang dikategorikan sebagai "Belanja Rutin" (recurrent expenditure) yang manfaatnya hanya untuk
37
satu tahun anggaran dan tidak dapat menambah aset atau kekayaan bagi pemerintah,
Dan Anggaran Modal/lnvestasi (capital/investment budget)
adalah pengeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan pemerintah (aktiva tetap) seperti gedung, peralatan, kendaraan, perabot dan sebagainya, biasa dikategorikan sebagai "belanja pembangunan". Penjabaran
lebih
lanjut
dari
UU
No.
25/1999,
melalui
Kepmendagri No. 29/2000 dijelaskan secara rinci proses penyusunan kebijakan publik (APBD) yang dimulai dengan penjaringan aspirasi masyarakat (SE Mendagri No. 050/987/SJ tanggal 5 Mei 2003) melalui seluruh stakeholder untuk menetapkan arahan dan kebijakan umum APBD, yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan penjaringan program dan kegiatan mulai dari Musbang ditingkat Kampung/Kelurahan, Diskusi UDKP ditingkat Kecamatan/Distrik dan selanjutnya Rapat Koordinasi Pembangunan Tingkat Kota/Kabupaten, selanjutnya ditingkat Propinsi (menangani lintas kabupaten/Kota) dan Nasional (menangani issu-issu nasional). Harapan yang dibangun melalui UU No.
22/1999 adalah
Pemerintah Daerah lebih dapat berkreasi di dalam mensejahterakan masyarakatnya sesuai dengan kewenangan yang telah diberikan yang dituangkan dalam APBD, sebab orang di daerah yang lebih tahu yang menjadi kebutuhannya.
38
Dengan diberlakukannya Undang - Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, maka peranan Pemerintah Daerah di dalam memilih model perencanaan pembangunan sudah sangat besar.
Dan
sudah seharusnya keterlibatan masyarakat di dalam proses perencanaan harus mendapat perhatian yang serius. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Mardiasmo (2002) yang menyatakan bahwa anggaran sektor publik mempunyai beberapa fungsi utama, yaitu: (1) sebagai alat perencanaan, (2) alat pengendalian, (3) alat kebijakan fiskal, (4) alat politik, (5) alat koordinasi dan komunikasi, (6) alat penilaian kinerja, (7) alat motivasi, dan (8) alat menciptakan ruang publik. Lebih lanjut dijelaskan oleh Mardiasmo (2002) bahwa sebagai alat perencanaan digunakan untuk mencapai tujuan organisasi melalui rencana tindakan yang akan dilakukan oleh pemerintah, berapa biaya yang dibutuhkan dan berapa hasil yang diperoleh dari belanja pemerintah tersebut.
Selain itu sebagai alat perencanaan digunakan untuk: (1)
merumuskan tujuan serta sasaran kebijakan agar sesuai dengan visi dan missi yang telah ditetapkan, (2) Merencanakan berbagai program dan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi serta merencanakan alternatif sumber pembiayaannya,
(3)
Mengalokasikan dana pada berbagai
program dan kegiatan yang telah disusun, dan (4) Menentukan indikator kinerja dan tingkat pencapaian strategi.
Dan sebagai alat untuk
menciptakan ruang publik (public sphare) dimaksudkan sebagai wadah
39
bagi
semua
stakeholders
untuk
turut
berpartisipasi
di
dalam
mempengaruhi penganggaran publik. Sebagai sebuah kebijakan publik sudah barang tentu di dalam penyusunannya mendapat pengaruh-pengaruh, seperti yang diutarakan oleh Nigro dan Nigro (1980) (dalam lslamy, 2003: 25) tentang faktorfaktor yang mempengaruhi pembuatan kebijaksanaan, yaitu: (1) Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar. keputusan
karena
adanya
Seringkali administrator membuat
tekanan-tekanan
dari
luar,
yang
ikut
berpengaruh terhadap proses pembuatan keputusannya; (2) Adanya pengaruh kebiasaaan lama (konservatisme).
Kebiasaan lama dalam
organisasi
didalam
seringkali
keputusannya,
terlebih
kepuasaan dalam
digunakan
kembali
keputusan
yang
keberhasilan
lama
cukup
pengambilan memberikan
programnya, walaupun sebenarnya
banyak kritik terhadap kebijakan tersebut.
Terlebih administrator yang
baru akan segan untuk melakukan terobosan, karena rasa hormatnya kepada
pendahulunya;
(3)
Adanya
pengaruh
sifat-sifat
pribadi.
Pengambilan keputusan sangat dipengaruhi juga oleh sifat pribadi pengambil keputusan, seringkali faktor-faktor subyektifitas pribadi yang muncul, misalnya penerimaan/pengangkatan pegawai baru, faktor suka dan tidak suka akan ikut memberikan andil di dalam keputusannya; (4) Adanya pengaruh dari kelompok luar.
Lingkungan sosial dan para
pembuat keputusan juga berpengaruh terhadap pembuatan keputusan, karena seringkali pihak-pihak yang berada diluar dapat memuaskan
40
mereka di dalam pengambilan keputusan; (5) Adanya pengaruh keadaan masa lalu. Pengalaman latihan dan pengalaman sejarah pekerjaan yang terdahulu turut berpengaruh pada pembuatan keputusan.
Seperti
misalnya orang sering membuat keputusan untuk tidak melimpahkan sebagian dari wewenang dan tanggungjawabnya kepada orang lain karena khawatir kalau wewenang dan tanggungjawab yang dilimpahkan itu disalahgunakan, atau juga orang-orang yang bekerja di kantor pusat sering mambuat keputusan yang tidak sesuai dengan keadaan di lapangan. Sementara itu James E. Anderson (1979) (dalam lslamy, 2003: 27) melihat adanya beberapa macam nilai yang melandasi tingkah laku pembuat keputusan dalam pembuatan keputusan, yaitu: (1) nilai-nilai politik
(politic
values)
-
keputusan-keputusan
dibuat .atas
dasar
kepentingan politik dari partai politik atau kelompok kepentingan tertentu; (2) nilai-nilai organisasi (organization values) - keputusan-keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai yang dianut organisasi, seperti balas jasa (rewards) dan sanksi (sanctions) yang dapat mempengaruhi anggota
organisasi untuk menerima dan melaksanakannya; (3) nilai-nilai pribadi (personal values) - seringkali pula keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai
pribadi
yang
dianut
oleh
pribadi
pembuat
keputusan
untuk
mempertahankan status quo, reputasi, kekayaan dan sebagainya; (4) nilai-nilai kebijaksanaan (policy values) - keputusan dibuat atas dasar persepsi
pembuat kebijaksanaan tentang
kepentingan
publik atau
41
pembuatan
kebijaksanaan
yang
secara
moral
dapat
dipertanggungjawabkan; (5) nilai-nilai ideology (ideological values) - nilai seperti
idiologi
misalnya
nasionalisme
dapat
menjadi
landasan
pembuatan kebijaksanaan seperti misalnya kebijaksanaan dalam dan luar. negeri. Dari uraian tersebut di atas, terlihat bahwa APBD adalah merupakan salah satu kebijakan publik, yang pada dasarnya digunakan untuk menjawab permasalahan publik. tuntutan
publik
diperlukan
perencanaan
Dimana dalam menjawab yang
mampu
menjaring
permasalahan masyarakat serta menghasilkan rencana untuk menjawab permasalahan masyarakat tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mustoposdidjaya (1997: 12) bahwa penyusunan rencana anggaran pembangunan salah satu kegiatannya adalah identifikasi kebutuhan serta mempertimbangkan kebijaksanaan yang menyangkut pengalokasian pada program-program yang dihubungkan dengan tujuan yang akan dicapai.
Lebih lanjut
Madiasmo (2002: 62) menyatakan bahwa anggaran publik berisi rencana perolehan pendapatan dan belanja dalam satuan moneter serta aktivitas yang hendak dilakukan dengan anggaran tersebut. Selanjutnya Kunarjo menambahkan
(1998:
57)
bahwa
untuk
menampung
kebutuhan
masyarakat daerah dalam anggaran pembangunan ditempuh sistim perencanaan dari bawah ke atas (bottom up planning). Menjadi jelaslah bahwa untuk menjalankan fungsi pelayanan oleh Pemerintah Daerah.
42
termasuk menjawab permasalahan masyarakat
melalui penganggaran
pada sektor publik (APBD) perlu dilakukan melalui perencanaan yang melibatkan seluruh masyarakat. Pelibatan masyarakat dalam penjaringan usulan masyarakat, oleh Pemerintah telah diatur melalui forum Musyawarah Pembangunan (Musbang) mulai dari tingkat Kelurahan/Kampung, selanjutnya di tingkat Distrik dan akhirnya di tingkat Kabupaten/Kota sebelum diakomodasi dalam APBD. D. Kerangka Pemikiran
David
Korten
(dalam
Surjadi,
2003)
menyatakan
bahwa
pembangunan adalah proses yang memungkinkan anggota masyarakat meningkatkan kapasitas personel dan institutional dalam memobilisasi" dan mengelola sumberdaya untuk menghasilkan perbaikan kualitas yang sesuai dengan aspirasi mereka sendiri, berkelanjutan, adil dan merata. Hal ini diperkuat oleh Budiman ( 1995: 13-14) yang menyatakan bahwa pembangunan meliputi dua hal pokok, yaitu: Pertama, masalah materi yang mau dihasilkan dan dibagi; dan kedua, masalah manusia yang menjadi pengambil inisiatif (yang menjadi manusia pembangunan). Manusia yang pada awalnya hanya dihitung sebagai faktor produksi, namun pada akhirnya menjadikan manusia sebagai tujuan pembangunan yaitu manusia yang kreatif, yang memiliki rasa aman, bahagia dan bebas dari ketakutan.
43
Berlakunya UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 21 tahun 2001 telah memberikan arah pergeseran yang signifikan terhadap proses dan pelaku perencanaan di daerah.
Masyarakat yang selama ini hanya
sebagai obyek pembangunan digeser menjadi subyek pembangunan, yang dalam tataran keilmuan disebut konsep partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Sejalan dengan pergeseran paradigma pembangunan yang bertumpu pada manusia, serta diaktualisasi melalui UU No. 22/99 dan UU No. 21/2000, maka masyarakat Indonesia khususnya masyarakat papua mengalami suatu perubahan yang fundamental di dalam dimensi pemerintahan dan pembangunan. Pergeseran peran yang memberikari peluang yang sebesar-besarnya kepada
masyar~kat
untuk terlibat dalam
proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan yang ditujukan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat karena masyarakat sendiri yang meramu perencanaannya sesuai dengan masalah dan kebutuhannya.
Sementara
peran
pemerintah
hanyalah
sebagai
fasilitator, motivator dan dinamisator bagi pemberdayaan masyarakat.
,
Sesuai dengan Permendagri No. 9 tahun 1982 tentang P50 yang
dilanjutkan dengan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Rl Nomor : 050/987/SJ tanggal 5 Mei 2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Forum Koordinasi Pembangunan Partisipatif, maka peran masyarakat diatur di dalam penjaringan aspirasi yang terstruktur
mulai dari
Musyawarah di tingkat Kampung/kelurahan, Diskusi UDKP di tingkat
44
Kecamatan/Distrik
dan
Rapat
Koordinasi
Daerah
Pembangunan
(Rakorbangda) di tingkat Kota dan akhirnya seluruh usulan diseleksi untuk diakomodasi pembiayaannya di dalam APBD. Usulan masyarakat yang dijaring biasanya menggunakan pendekatan Partisipatory Rural Appraisal (PRA) dengan mengindentifikasi masalah dan kebutuhannya yang
tertuang
dalam
Surat
Menteri
Dalam
Negeri
Nomor
414.24/185/SET tanggal 10 Juni 1996 tentang Perencanaan Partisipatif Pembangunan Masyarakat Desa (P3MD). Dari hasil penelitian (Faisal, 2000; Nasri, 1998; Manna, 1998; Alimani, 2002; Umar, 2003 dan Martawang, 2003) yang dilakukan hanya berfokus kepada kemampuan masyarakat dalam berpartisipasi dalam perencanaan
maupun
pembangunan
serta
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya, dimana secara umum dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat sangat dipengaruhi oleh: tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, motivasi, kewenangan kebijakan, kelembagaan masyarakat dan kepemimpinan di masyarakat.
Hal ini sejalan dengan
pemikiran dari Mubyarto (1988) dan Najib (2001) bahwa faktor-faktor tersebut adalah merupakan domain bagi keterlibatan masyarakat dalam berpartisipasi. Oleh karena itu, dari uraian tersebut di atas terlihat bahwa tingkat keterlibatan masyarakat dalam partisipasi pada perencanaan di tingkat bawah turut mempengaruhi kualitas usulan yang dihasilkan, termasuk 0
kualitas pendampingan yang dilakukan oleh aparat perencana di tingkat
45
dalam
bawah
mempersiapkan
masyarakat
untuk
menganalisa
Selain usulan dari masyarakat, maka yang turut
kebutuhannya. mempengaruhi
struktur
penyusunan
APBD
adalah
usulan
dari
dinas/instansi teknis (unsur eksekutif) dan juga usulan dari legislatif. Pemerintah Kota Jayapura, melalui Bappeda Kota Jayapura telah memberikan
ruang
bagi
keterlibatan
masyarakat
dalam
proses
perencanaan. Hal ini dilakukan secara terstruktur, yang dimulai dengan menemukenali permasalahan dan kebutuhan masyarakat melaui forum Musyawarah
Pembangunan
di
tingkat
Kelurahan/Kampung
yang
didampingi oleh fasilitator pembangunan di tingkat kampung/kelurahan dan aparat kampung/kelurahan. Selanjutnya usulan masyarakat tersebut diteruskan oleh perwakilan kampung/kelurahan untuk dibahas lebih lanjut di tingl
46
Kota Jayapura.
Hal ini mungkin disebabkan oleh lemahnya kualitas
usulan dari masyarakat dalam mengidentifikasi kebutuhan mereka sehingga sering diidentikkan dengan daftar keinginan bukan kebutuhan riil masyarakat. Lemahnya kualitas penjaringan aspirasi dari masyarakat mungkin juga disebabkan oleh belum optimalnya pendampingan oleh aparat perencana di dalam memfasilitasi masyarakat mengidentifikasi kebutuhannya.
Hal lain yang diperkirakan mengakibatkan kurangnya
usulan masyarakat yang diakomodasi di dalam APBD Kota Jayapura adalah dipengaruhi juga oleh adanya usulan Dinas/lnstansi teknis yang dianggap merupakan kebutuhan masyarakat karena disesuaikan dengan Rencana Strategis Dinas dan adanya usulan hasil penjaringan aspirasi masyarakat oleh Legislatif, sehingga
mempenga~uhi
struktur penyusunan
APBD Kota Jayapura. Untuk jelasnya keterkaitan antar komponen yang mempengaruhi kualitas usulan masyarakat dalam penyusunan APBD Kota Jayapura dapat dilihat pada gambar kerangka konseptual berikut ini :
KERANGKA KONSEPTUAL
T
,.--------+
1
Kemampuan Masy dim identifikasi masalah dan kebutuhan
Penjaringan aspimsi oleh Legislatif
1
~ \
1
Masalah dan Kebutuhan Masyarakat
Usulan Masy. ~ dim forum Pembangunan
Usulan Masy yg terakomodir dim APBD
...
•
Sistem Penyusunan APBD
4
4
Usulan lnstansi/ Dinal
' - - - - - - - - -... ! Kemampuan
Perencana Memfasilitasi
mas~
•
BAB Ill METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian Jenis penelitian ini adalah eksploratif dengan menggunakan rancangan desain studi kasus.
Menurut
Yin (2002) penggunaan studi kasus
disesuaikan dengan tipe pertanyaan seperti "bagaimana" atau "mengapa" dan diarahkan ke serangkaian peristiwa kontemporer, dimana penelitinya hanya memiliki peluang yang kecil atau tak mempunyai peluang sama sekali untuk melakukan kontrol terhadap peristiwa tersebut. B. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian (pengumpulan data) dilaksanakan selama satu bulan yaitu tanggal 15 Mei -
14 Juni 2004 dengan lokasi penelitian adalah Kota
Jayapura Propinsi Papua.
Pemilihan Kota Jayapura sebagai lokasi
penelitian karena sebagai lbukota Propinsi memiliki karakteristik yang berbeda dengan perkotaan lainnya baik di Propinsi Papua maupun di Seluruh Kota di Indonesia,
selain memiliki keragaman masyarakatnya
karena merupakan daerah urban yang berada pada Kelurahan, juga masih memiliki wilayah yang homogen baik dari sisi masyarakatnya maupun budayanya yaitu keberadaan penduduk lokal dan menempati Desa/kampurig yang merupakan bagian wilayah administrasi Kota Jayapura.
Sehingga
dengan karakteristik yang spesifik ini merupakan daerah yang menarik untuk
49
dijadikan
lokasi
penelitian
mengenai
partisipasi
masyarakat
dalam
perencanaan pembangunan. C. Unit Anal isis dan Penentuan lnforman Menurut Yin (2003: 29-35) salah satu komponen desain penelitian untuk dikategorikan sebagai studi kasus ditentukan oleh unit analisisnya yaitu berkaitan dengan penentuan apa yang dimaksud dengan "kasus" dalam penelitian yang bersangkutan. Sehingga yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah Kota Jayapura sebagai satu kesatuan wilayah administrasi pemerintahan. Selanjutnya unit analisis dari penelitian ini adalah seluruh wilayah Kota Jayapura yang terdiri dari 4 Distrik yang terbagi lagi menjadi 20 Kelurahan dan 11 kampung.
Menurut Bungin (2003: 53) penelitian· kualitatif tidak
bermaksud untuk menggambarkan karakteristik populasi atau menarik generalisasi kesimpulan yang berlaku bagi suatu populasi, melainkan lebih terfokus kepada representasi terhadap fenomena sosia/.
Pengertian
populasi disini lebih bermakna sebagai unsur-unsur dalam unit kasus yang diteliti. Lebih lanjut Bungin menyatakan bahwa dalam prosedur sampling yang terpenting adalah bagaimana menentukan informan kunci (key informan) atau situasi sosial tertentu yang sarat informasi sesuai dengan fokus penelitian.
Oleh karenanya di dalam memilih informan menggunakan
50
pemilihan secara sengaja (purposive) (Bungin, 2003: 53 dan Sudjana, 2002: 168).
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka dipilih unit penelitian dari setiap Distrik 1 (satu) Kelurahan dan 1 (satu) Kampung, kecuali untuk Distrik Jayapura Utara dua-duanya adalah kelurahan sehingga total keseluruhan sampel terdiri dari: 5 (lima) Kelurahan dan 3 (tiga) Kampung. Sementara itu yang menjadi objek penelitian atau sumber informasi adalah: (1) Aparat Kampung dan Kelurahan yang menjadi lokasi penelitian, (2) Tokoh masyarakat dari Kampung dan Kelurahan terpilih, (3) Kepala Distrik, (4) Dinas-dinas
di Lingkungan Pemerintah Kota Jayapura yang
terkait dengan sektor prioritas otonomi khusus dan yang terkait dengan usulan masyarakat yang dominan. Penentuan informan di tingkat Kelurahan/Kampung didasarkan pada pertimbangan bahwa kegiatan penjaringan aspirasi masyarakat melalui Musbang
dan
Diskusi
UDKP
adalah
kegiatan
yang
setiap
tahun
dilaksanakan, maka informan yang dipilih adalah yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan tersebut, seperti: Kepala Distrik, Sekretaris Distrik, Kepala Kelurahan, Unsur Badan Perencana Kelurahan/Kampung (BP2K), Kepala
Pemerintahan
Kampung,
Unsur Badan
(Baperkam), Ketua RW/RT dan tokoh masyarakat.
Perwakilan
Kampung
lnforman di tingkat
Pemerintah Kota diambil dari Aparat perencana (Bappeda) dan Dinas/Unit Kerja yang merupakan sektor prioritas di Kota Jayapura dan juga merupakan
51
prioritas yang telah ditetapkan melalui UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Tabel 1. Daftar lnforman yang terkait dengan Penjaringan Aspirasi Masyarakat No. 1.
Distrik Jayapura Utara
Kelurahan/Kampung
lnforman - Kepala Distrik - Mantan Sekretaris Distrik
Kel. Tanjung Ria
-
Kel. Gurabesi
2.
Jayapura Selatan
-
Kelurahan Vim
-
3.
Kampung Tobati
-
Kelurahan Awiyo
-
Abe_pura -------
-
~-
-
Kampung Nafri
4.
Muara Tami Kelurahan Timur
Koya
-
-
-
Kampung Yam be
Skow
-
~
Lurah Sekretaris BP2K Ketua RT 04 Lurah Sekretaris BP2K RT 01/RW 03 Kepala Distrik Sekretaris Distrik Mantan Kepala Distrik Lurah Ketua BP2K Ketua RW 8 Sekretaris KPK Ketua Baperkam Sekretaris Distrik Lurah Ketua BP2K -·----------Pts. KPK KPK Demisioner ·- --------Kepala Distrik Lurah Sekretaris BP2K Ketua RT 02 Ketua RW 06 KPK Sekretaris KPK Tokoh Perempuan Tokoh adat -
--
lnforman lainnya yang diwawancarai di tingkat Pemerintah
Kota
Jayapura adalah: (1) Ketua DPRD Kota Jayapura; (2) Ketua Bappeda Kota Jayapura; (3) Sekretaris Bappeda Kota Jayapura; (5) Kepala Bidang
52
Pengendalian Bappeda Kota Jayapura; (7) Kepala Bidang Fisik Prasarana Kota Jayapura; (8) Pts. Kepala Bidang Ekonomi Bappeda Kota Jayapura; (9) Kepala Sub Bidang Program Bappeda Kota Jayapura; (11) Kepala Sub Bidang Pengendalian Bappeda Kota Jayapura; (12) Kepala Dinas Kesehatan Kota Jayapura; Pendidikan
dan
(13)
Kepala SubDin
Pengajaran
Kota
Perencanaan Program
Jayapura;
(14)
Kepala
Dinas SubDin
Perencanaan Perkotaan Dinas Pekerjaan Umum Kota Jayapura; (15) Kepala SubDin Perencanaan dan Evaluasi Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Jayapura; (16) Kepala Dinas Pertanian Kota Jayapura; (17) Kepala SubDin Penyusunan Program dan Evaluasi Dinas Koperasi dan PKM Kota Jayapura; (18) Kepala Subdin Program Dinas Perikanan Kota Jayapura; (19) Kepala Bagian Keuangan SetKota Jayapura; (20) Kepala .Sub Bagian Anggaran Bagian Keuangan SetKota Jayapura; (21) Kepala UPTD Kehutanan Kota Jayapura. D. Pengumpulan dan Analisis Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari: (1) Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari informan (tabel 1 dan informan dari Tingkat Pemerintah Kota Jayapura) dengan tehnik wawancara untuk mendapatkan data-data tentang penjaringan aspirasi masyarakat, kualitas usulan masyarakat dan keterakomodasiannya dalam struktur APBD Kota Jayapura; (2) Data sekunder adalah data yang telah tersedia dan diperoleh dari dokumen atau publikasi resmi lainnya dilingkungan Pemerintah Kota Jayapura yang berhubungan dengan fokus penelitian ini, yang terdiri dari
53
hasil diskusi UDKP dan Rakorbang tahun 2003 dan dokumen APBD Tahun Anggaran 2004, surat-surat pemberitahuan tentang pelaksanaan Musbang dan Diskusi UDKP serta Rakorbang tahun 2003, Arah Kebijakan Umum Kota Jayapura Tahun 2004 dan Strategi dan Prioritas APBD Tahun 2004. Sementara itu teknik pengumpulan data yang dipergunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) wawancara mendalam yang dikembangkan melalui pertanyaan yang telah disiapkan untuk ditanyakan kepada informan (Guba dan Lincoln, 181 da/am Moleong, 2000 hal. 138), untuk mendapatkan data yang lebih mendalam tentang substansi penelitian kepada informan yang dianggap memiliki pengetahuan tentang substansi yang akan diteliti. kelompok
Fokus wawancara dibagi kedalam tiga kelompok yaitu: p~da
pertama
adalah
yang
berada
Kelurahan/kampung
dengan
fokus
wawancara
level
Distrik
dan
adalah ... penggambaran
tentang pelaksanaan penjaringan aspirasi masyarakat yang dilakukan m!Jiai dari tingkat RT/RW, Kelurahan/Kampung dengan forum Musbangnya dan di tingkat Distrik dengan forum Diskusi UDKPnya; kelompok kedua adalah yang berada pada tingkat pemerintah Kota Jayapura namun terkait dengan mekanisme
penyusunan
program
di
tingkat
Dinas/Unit
Kerja
yang
dihubungkan dengan aspirasi masyarakat yang terdokumentasikan dalam hasil Diskusi UDKP tahun 2003 serta; kelompok ketiga adalah yang berada pada tingkat Pemerintah Kota Jayapura namun yang terkait dengan proses penyusunan APBD yang dihubungkan dengan keterakomodasian usulan masyarakat dalam APBD Kota Jayapura tahun anggaran 2004.
54
(2) Observasi, dilakukan untuk mengamati secara langsung kegiatan pelibatan masyarakat untuk melakukan perencanaan di dalam forum-forum_ Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di tingkat Distrik di empat distrik yang ada.
Pada saat penulis berada di lokasi penelitian
sementara dilangsungkan kegiatan penjaringan aspirasi masyarakat untuk penyusunan program/kegiatan tahun 2005, yang telah memasuki tahap penjaringan di tingkat Distrik melalui forum Musrenbang (berubah dari sebelumnya yang disebut Diskusi UDKP). (3) Studi dokumen terhadap dokumen perencanaan yang dihasilkan dari Musbang di tingkat Desa/Kelurahan tahun 2003, Diskusi UDKP dan Rakorbang tingkat Kota Jayapura tahun 2003, serta APBD Kota Jayapura Tahun Anggaran 2004.
Studi dokumen ini digunakan sebagai data
pendukung terhadap hasil analisa gambaran keterakomodasian usulan masyarakat dalam APBD Kota Jayapura. Analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif. Analisis data kualitatif diartikan sebagai usaha analisis berdasarkan kata-kata yang disusun ke dalam bentuk teks yang diperluas (Miles dan Huberman, 1992: 16). Data hasil wawancara dan pengamatan yang telah dituangkan dalam catatan lapangan inilah yang
dianalisis secara kualitatif, jadi data yang
disajikan bukan berupa angka-angka tetapi berupa kata-kata atau naratif. Metode analisis
yang
digunakan
untuk memaknai
data-dat~
lapangan yang telah dikumpulkan tersebut dianalisis dengan menggunakan metode deskripsi analitik (Scatzman dan Strauss, 1973 dalam Moleong,
55
2000: 197), yaitu hasil pengumpulan data tersebut di reduksi (data reduction), selanjutnya data hasil reduksi tersebut diorganisasikan ke dalam
bentuk tertentu (display data) dan terakhir dibuat kesimpulan (conclusion drawing and verification) (Bungin, 2003: 70; Miles and Huberman, 1992).
Tahap pertama analisis yang dilakukan adalah proses reduksi data yang
terfokus
pada
pemilihan,
penyederhanaan,
pengabstrakan
dan
transformasi data kasar dari catatan lapangan. Dalam proses ini dipilih data yang relevan dengan fokus penelitian.
Proses reduksi data dilakukan
bertahap selama dan sesudah pengumpulan data sampai laporan tersusun. Reduksi data dilakukan dengan cara membuat ringkasan data dan membuat kerangka dasar penyajian data. Tahap kedua adalah penyajian data, yaitu penyusunan sekumpulan informasi menjadi pernyataan yang memungkinkan penarikan kesimpulan. Data disajikan dalam bentuk teks naratif yang merupakan jawaban terhadap pertanyaan
penelitian
yang
meliputi
mekanisme
penjaringan
aspirasi
masyarakat, penentuan prioritas usulan masyarakat, keterakomodasian usulan masyarakat dalam program kerja Dinas dan akhirnya yang bermuara pada APBD Kota Jayapura. Tahap ketiga adalah penarikan kesimpulan berdasarkan reduksi dan penyajian (display)
data.
Penarikan kesimpulan berdasarkan tujuan
penelitian yang disesuaikan dengan hasil reduksi dan penyajian data sebelumnya.
56
D. Konsep Operasional
Beberapa konsep operasional yang terkait dengan penelitian ini adalah: 1. Perencanaan
"Bawah-Atas"
adalah
kegiatan
perencanaan
yang
memberikan ruang bagi masyarakat untuk ikut melakukan perencanaan dengan memberikan usulan untuk kegiatan pembangunan. 2. Masyarakat yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat Kota Jayapura yang terwakili melalui tokoh-tokohnya dalam forum perencanaan pembangunan. 3. Aspirasi atau usulan masyarakat adalah usulan masyarakat yang terkait dengan cara pengusulan, bentuk usulan dan isi usulan yang melahirkan program/kegiatan
yang
disampaikan
melalui
forum
musyawarah
pembangunan di tingkat Kelurahan/Kampung, Diskusi UDKP hingga ke tingkat Rakorbangda. 4. Penjaringan aspirasi masyarakat adalah proses menghimpun usulan masyarakat melalui suatu mekanisme yang telah ditentukan seperti forum Musyawarah Pembangunan di tingkat Kelurahan/Kampung,
forum
Diskusi UDKP di tingkat Distrik dan forum Rakorbangda di tingkat Pemerintah Kota Jayapura. 5. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana operasional keuangan Pemerintah Kota Jayapura untuk satu tahun anggaran yang
berisi perkiraan pendapatan daerah dan rencana
pembiayaan yang akan digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintah.
57
6. Kemampuan
masyarakat
dalam
mengidentifikasi
masalah
dan
kebutuhannya, adalah kemampuan masyarakat baik secara personal maupun kelompok di dalam mengidentifikasi permasalahannya dan merumuskan kebutuhannya yang akan diakomodir dalam anggaran pembangunan. 7. Kemampuan perencana dalam memfasilitasi masyarakat, adalah tingkat penghantaran
kernampuan
(skill)
dari
aparat
perencana
kepada
masyarakat. 8. Jumlah usulan masyarakat dalam APBD Kota Jayapura, adalah jumlah usulan kegiatan Musbang,
masyarakat yang tertuang dalam dokumen hasil
Diskusi
UDKP
dan
dokumen
Rakorbang
yang
dapat
terakomodasi dalam APBD TA 2004. 9. Rendahnya Kualitas usulan masyarakat, adalah ukuran ketidakmampuan masyarakat didalam menyampaikan usulan yang memenuhi kriteria untuk suatu usulan yang baik dan benar. 10. Kualitas usulan yang baik dan benar adalah:
(1) pengusulannya
melibatkan orang banyak, (2) merupakan kebutuhan orang banyak, (3) diangkat dari permasalahan di masyarakat, (4) dapat menimbulkan masalah lain kalau tidak ditangani, (5) merupakan hasil analisis yang mendalam, (6) dan menjawab visi dan misi daerah.
58
11. Faktor-faktor penyebab kurang terakomodasinya usulan masyarakat dalam struktur APBD Kota Jayapura, adalah sesuatu alasan mengapa hingga terjadi usulan masyarakat tidak terakomodasi dalam APBD Kota Jayapura TA. 2004.
'I
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Kota Jayapura 1. Deskripsi Fisik Wilayah
Kota Jayapura yang memiliki luas wilayah sebesar 940 Km2 secara geografis terletak pada 137°27' Bujur Timur, 141 °41' Bujur Timur, 1°27' Lintang Selatan dan 3°49' Lintang Selatan.
Secara geografis memiliki
batas -batas wilayah sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan Lautan
Pasifik;
Sebelah
Selatan
berbatasan
dengan
Distrik Arso
Kabupaten Kerom; Sebelah Timur berbatasan dengan Negara Papua New Guinea; Sebelah Barat berbatasan dengan Distrik Depapre Kabupaten Jayapura.
Terdapat kurang lebih 30% dari luas wilayah Kota Jayapura
tidak layak huni, karena terdiri dari perbukitan terjal, rawa-rawa dan hutan lindung dengan kemiringan di atas 40% bersifat konservasi dan lindung. Topografi daerah cukup bervariasi, mulai dari dataran hingga landai dan berbukiUgunung dengan ketinggian kurang lebih 700 meter dari permukaan laut. Tergolong beriklim tropis basah dengan suhu minimum 29°C - 31,8°C, curah hujan rata-rata 146 mm/tahun dengan kelembaban udara rata-rata 80,42%.
Variasi curah hujan antara 45 - 255 mm/thn
dengan jumlah hari hujan bervariasi antara 148- 175 hari hujan/tahun dan keberadaan antara musim kemarau dan musim hujan tidak teratur.
60
Luasan wilayah Kota Jayapura didominasi oleh kawasan terbuka berupa hutan sekunder sampai primer. Kawasan terbuka meliputi fungsi lindung dan fungsi budidaya dengan rincian pemanfaatannya dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Luasan Pemanfaatan Kawasan di Kota Jayapura Tahun 2001 Pemanfaatan Kawasan Kawasan Budidaya
Penggunaan Lahan --
Permukiman Wilayah Produksi Alang-alang Rawa/Pasang surut Dan au Jumlah Kawasan Budidaya Hutan yg belum difungsikan Kawasan Hutan Lindung Peg. Djar Lin dung Hutan Lindung Abepura Cagar Alam Peg. Cycloop Taman Wisata Teluk Youtefa Taman Wisata Hutan Teluk Youtefa Jumlah Kawasan Lindung Total luasan
-~-----
Luas Areal (Hal 8.537,82 3.082,00 1.875,00 75,00 650,00 14.219,82 68.891,20 2.246,00 561,20 6.431,78 1.650,00 79.780,18
Pemanfaatan
79.780,00 94.000,00
84,87 100
(%)
9,08 3,28 1,99 0,09 0,69 15,13 73,29 2,39 0,60 6,84 1,76 84,87
f-------
Sumber: RUTRW Bappeda Kola Jayapura
...
2. Kondisi Pemerintahan
Kota Jayapura adalah merupakan hasil pemisahan dari Kabupaten Jayapura, yang diawali dengan pembentukan Kota Administratif (Kotif) Jayapura melalui Peraturan Pemerintah Rl Nomor: 26 Tahun 1979 tanggal 28 Agustus 1979 tentang pembentukan Kota Administratif Jayapura, yang merupakan Kota Administratif pertama di Irian Jaya (Papua-sekarang) dan yang ke-12 di Indonesia.
Dalam perkembangannya melalui Undang-
Undang Nomor: 6 Tahun 1993, Kota Administratif Jayapura ditingkatkan menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Jayapura.
Terakhir
melalu~
61
Undang-Undang Nomor: 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka Kotamadya Dati II Jayapura berubah menjadi daerah otonom dengan sebutan Kota Jayapura. Pada awal pembentukannya sebagai Kotif Jayapura memiliki 3 Kecamatan
(Distrik-sekarang)
dengan
12
Kelurahan
dan
6
Desa.
(Kampung-sekarang). Saat ini Kota Jayapura berkembang menjadi 4 Distrik, yang terbagi dalam 20 Kelurahan dan 11 Kampung. Secara rinci pembagian wilayah administrasi pemerintahan Kota Jayapura dapat dilihat dari Tabel 3.
62
Tabel 3. Kelurahan dan Kampung di Kota Jayapura No
01
02
DISTRIK Abepura
Jayapura Selatan
Hedam
Kelurahan
As a no
Kelurahan
Waena
Kelurahan
Nafri
Kampung
Yoka
Kampung
Enggros
Kampung
Yabansai
Kelurahan
Awiyo
Kelurahan
Koya Koso
Kampung
Numbai
Kelurahan
Argapura
Kelurahan
~ura
Kelurahan
·-
Entrop
Kelurahan
-
Vim
Kelurahan
-·---·---
Hamadi ------
.
-
---
·--·-
Tahima Soroma
Kelurahan . --- - - - - - - - - · Kampun·g Kampung
Tobati
03
Jayapura Utara
,__ G~!.al?_;l _------~~-~---
----------
Mandala
1-----·------
Trikora ~~asap_!:!ra
Muara Tami
-----
Kelurahan
~-
---------
----
-----~-
---------
Kelurahan Kelurahan
lmbi
Kelurahan
Tanlung Ria
Kelurahan
Skouw Yambe
Kampung
Koya Barat
Kelurahan
Koya Timur
Kelurahan
Koya Tengah
Kampung
Holtekam
Kampung
Skouw mambo
Kampung
Skouw Sae
Kampung
Sumber: BPS Kota Jayapura
------
Kelurahan Kelurahan
Bhayangkara
04
STATUS PEMERINTAHAN
NAMA KELURAHAN \ KAMPUNG
---------
···'.
63
Data di atas menunjukkan bahwa sebagian dari wilayah kota Jayapura masih berstatus pemerintahan kampung yang dulunya disebut desa. Adanya perubahan sebutan tersebut sebagai akibat dari penerapan UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 pain k yang berisi perubahan sebutan dari Kecamatan menjadi Distrik dan pain L yang memuat perubahan dari Desa menjadi
Kampung.
Kelurahan
diidentikkan
dengan
daerah
urban
sementara Kampung adalah daerah rural dan merupakan penduduk lokal yang mendiami Kota Jayapura. Hal ini adalah merupakan salah satu karakteristik dari
Kota Jayapura.
Dimana sebagai sebuah daerah
perkotaa.n seharusnya bentuk pemerintahan terbawahnya adalah kelurahan namun di Kota Jayapura masih terdapat kampung yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat. Selain perubahan nomenklatur Distrik dan Kampung, maka dengan UU No. 21/2001 juga mengisyaratkan adanya pembentukan kelembagaan baru
di
tingkat
Kampung/Kelurahan
menggantikan
peran
Lembaga
Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) dan Lembaga Masyarakat Desa (LMD).
Amanat pembentukan kelembagaan tersebut dijabarkan oleh
Pemerintah
Kota Jayapura
melalui
Peraturan
Daerah
(Perda)
Kota·
Jayapura Nomor: 10 Tahun 2002 tentang Pemerintahan kampung dan
64
Perda No. 11 Tahun 2002 tentang Badan Perencana Pembangunan Kampung/Kelurahan (BP2K). Perda No. 10/2002 mengisyaratkan bahwa susunan Pemerintahan .. Kampung terdiri dari
Kampung dan
Pemerintah
Badan Perwakilan
Pemerintah Kampung dipimpin oleh seorang
Kampung (BAPERKAM).
Kepala Pemerintahan Kampung (KPK) yang dalam melaksanakan tugas kewajibannya bertanggungjawab kepada rakyat melalui BAPERKAM. mempunyai
Kampung
Pemerintah
pemerintahan,
administrasi kemasyarakatan.
tugas
melaksanakan
pembangunan
kegiatan pembinaan
dan
Sementara BAPERKAM merupakan wahana untuk
melaksanakan Demokrasi berdasarkan Pancasila yang berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Kampung .. Tugas dan wewenang dari BAPERKAM meliputi: (a) melaksanakan proses pemilihan Kepala Kampung; (b) Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Pemerintahan Kampung; (c) Menetapkan Peraturan Kampung
dan
Anggaran
Pemerintah Kampung; masyarakat. BAPER.
Pendapatan
Belanja
Kampung
bersama
(d) Menampung dan menindaklanjuti aspirasi
Dalam melaksanakan tugas dan kewenangan tersebut mempunyai
fungsi:
(a)
Pengayoman,
yaitu
menjaga
kelestarian adat istiadat yang hidup dan berkembang di Kampung yang bersangkutan sepanjang menunjang kelangsungan pembangunan; (b) Legislasi perumusan dan penetapan Peraturan Kampung bersama-sama Pemerintah Kampung; (c) Pengawasan, meliputi pengawasan terhadap
65
pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kampung serta Keputusan Kampung. Keanggotaan dari BAPERKAM terdiri dari 5 orang yang terdiri dari unsur adat, unsur agama, unsur pemuda, unsur perempuan dan golongan profesi. Perda
No.
11
Tahun
2002
adalah
sebagai
upaya
untuk
memberdayakan dan meningkatkan partisipasi masyarakat di Kampung atau Kelurahan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, maka dibentuk Badan Perencana Pembangunan Kampung/Kelurahan (BP2K), sebagai aparat perencana mitra Pemerintahan Kampung/Kelurahan. BP2K dibentuk oleh Pemerintahan Kampung/Kelurahan yang terdiri dari seluruh komponen masyarakat dengan organisasi mengikuti struktur bidang kerja di Kelurahan/Kampung,
yaitu:
Ketua,
Wakil
Ketua,
Sekretaris,
Bidang
Pemerintahan, Bidang Pembangunan dan Bidang Pembinaan· Masyarakat. Sesuai amanat Perda tersebut di atas BP2K mempunyai tugas meliputi: (a) Menghimpun data potensi dan sumber daya, baik menyangkut sumber daya manusia maupun sumber daya alam di Kampung/Kelurahan; (b) Menghimpun, menyalurkan permasalahan dan kendala yang dihadapi masyarakat dalam pembangunan; (c) Merumuskan prioritas Rencana Pembangunan di Kampung/kelurahan; dan (d) Menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam Perencanaan dan Pelaksanaan Pembangunan. Dalam rangka menjalankan tugas tersebut BP2K sebagai wadah partisipasi masyarakat mempunyai fungsi meliputi: (a) Perencanaan Pembangunan di Kampung atau Kelurahan; (b) Pendampingan Pelaksanaan Pembangunan
66
di Kampung/Kelurahan; dan (c) Pendayagunaan semua potensi yang ada, dalam rangka meningkatkan
tarat hidup masyarakat di Kampung atau
Kelurahan. Sesuai dengan amanat dari kedua Perda tersebut di atas seharusnya terdapat kelembagaan BAPERKAM di semua Kampung dan BP2K di semua Kelurahan dan Kampung.
Namun kondisi riil yang terjadi bahwa
saat ini baru terdapat lembaga BAPERKAM yang telah menjalankan fungsinya dalam pengangkatan dan pemberhentian Kepala Pemerintahan kampung, sementara BP2K baru berada di Pemerintahan Kelurahan dan di Pemerintahan Kampung tidak terdapat kelembagaan tersebut. 3. Kondisi Demografi Penduduk Kota Jayapura pada tahun 2002 berjumlah ..191. 414 jiwa, terbagi atas 102.699 jiwa adalah penduduk laki-laki dan 88.715 jiwa adalah perempuan. Kondisi ini menunjukkan bahwa penduduk laki-laki cukup dominan di kota Jayapura.
Secara keseluruhan,
kepadatan
penduduk kota masih cukup longgar yaitu 204 orang per Km2, namun kepadatan ini meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 2,51% (199 orang/Km2), meskipun pada beberapa tempat telah menunjukkan tingkat kepadatan yang berarti (tabel 4). Kepadatan tertinggi berada pada Distrik Jayapura Selatan yang merupakan lbukota Kota Jayapura, diikuti oleh Distrik Jayapura Utara yang merupakan pusat kota dan juga lbukota Propinsi Papua. Dari data tersebut terlihat bahwa kedua Distrik tersebut
67
(Jayapura Utara dan Jayapura Selatan) sudah mengalami kejenuhan ruang, Sementara Distrik Abepura yang memiliki penduduk sebesar 31,81% dari penduduk Kota Jayapura yang hampir sama dengan Distrik Jayapura Utara dan Distrik Jayapura Selatan mempunyai kepadatan yang sedang dibawah tingkat kepadatan penduduk kedua Distrik tersebut, hal ini dikarenakan luas wilayah Distrik Abepura lebih luas 3,5 kali dari kedua .. Distrik tersebut.
Distrik Muara Tami yang merupakan 66,67% luas Kota
Jayapura hanya dihuni oleh 12 orang/Km2.
Distrik Muara Tami adalah
daerah pertanian yang sebagian wilayahnya merupakan eks transmigrasi dan berbatasan dengan Negara tetangga PNG. Distrik Muara Tami dalam Renstra Kota Jayapura adalah daerah pengembangan di masa depan, yang menampung kejenuhan ruang dari Distrik Jayapura Selatan dan Distrik Jayapura Utara. Tabel 4. Kepadatan Penduduk Kota Jayapura Menurut Distrik Tahun 2002 -----
No
Luas Wilayah (Km2)
Distrik
01
Abepura
02
-
..
--
Jumlah Penduduk (Orang) ..
Kepadatan ( Orang/km2)
---- - - - · - - - · - - - · - - · - -
--·
201,3
60.882
302
Jayapura Selatan
61
66.010
1.082
03
Jayapura Utara
51
52.793
1.035
04
Muara Tami
626,7
7.679
12
Jumlah tahun 2002
940
191.414
204
Jumlah tahun 2001
940
186.623
199
--
Sumber: BPSKota Jayapura
Sedangkan mengenai perincian jumlah penduduk menurut jenis . kelamin, adalah sebagaimana tersebut pada tabel sebagai berikut.
68
Tabel 5. Jumlah Penduduk Kota Jayapura Menurut Jenis Kelamin dan Sex Ratio Per Distrik Tahun 2002 Distrik
No
Laki-laki
Perempuan
Sex ratio
01
Abepura
33.065
27.817
118,87
02
Jayapura Selatan
35.132
30.878
113,78
03
Jayapura Utara
30.489
26.354
115,69
04
Muara Tami
4.012
3.667
109,41
Jumlah tahun 2002
102.699
88.715
115,76
Jumlah tahun 2001
100.133
86.490
115 77
Sumber: BPS Kota Jayapura
Terlihat dari tabel tersebut di atas bahwa bukan saja secara total jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki,
namun perdistrikpun
menunjukkan hal serupa, demikian pula untuk seluruh kelompok umur menunjukkan bahwa ratio laki-laki lebih besar dibanding perempuan di Kota Jayapura.
Hal ini berbanding terbalik dengan
data Nasional yang
menunjukkan bahwa ratio perempuan lebih tinggi dari laki-laki. Bilamana dilihat dari keseluruhan jumlah penduduk yang tersebar di 4 Distrik, menunjukkan bahwa usia kerja produktif ( 15 - 59 tahun) tahun nampak dominan, sebagaimana ditunjukkan pada pada tabel sebagai berikut:
69
Tabel 6. Jumlah Penduduk Kota Jayapura Menurut Kelompok Umur Dan Jenis Kelamin Tahun 2002 No
Kelom~ok
01
Laki-laki
Perem_guan
Jumlah
0-4
12.005
10.370
22.375
02
5-9
9.820
8.485
18.305
03
10-14
9.194
7.941
17.135
04
15-19
10.635
9.185
19.820
05
20-24
13.232
11.433
24.664
06
25-29
12.417
10.725
23.142
07
30-34
10.407
8.993
19.400
08
35-39
7.949
6.869
14.818
09
40-44
5.805
5.012
10.817
10
45-49
4.167
3.597
7.764
11
50-54
3.166
2.694
5.809
12
55-59
1.481
3.191
13
:~ =:: - -
942
2.033
503
1.088
-------·-
308
266
57.3
I
258
221
479
I
102.699
88.715
191.414
I
100.133
14
Umur
J
1.710
·---··
15
70-74
16
>75
Jurnlah Tahun 2002
1~~~1_
·-·
~
-~-~--~·------
~-·~-
-~-
--~
I
JumlaH Tahun 2001 --
~--------
Sumber: BPS Kota Jayapura
--
l .
.
-
--.
86.490 -··- - - -·--·-
---
186.623 ----·
--·-·
Dari tabel tersebut diatas menunjukkan bahwa usia produktif yaitu 15 - 59 tahun mendominasi sebesar 67,62% dari total jumlah penduduk Kota
Jayapura. Sementara usia muda yaitu 0- 14 tahun memberikan kontribusi sebesar 30,2% dari jumlah penduduk dan penduduk usia senja yaitu 60 > 75 tahun memberikan kontribusi sebesar 2,18% dari jumlah penduduk
Kota Jayapura.
Dengan dominasi yang demikian, maka ratio antara
penduduk usia produktif dengan yang kurang produktif (usia muda dan usia senja) adalah 2,09 : 1. Hal ini menggambarkan bahwa apabila diasumsikan
f
70
l
,.
semua usia produktif di Kota Jayapura bekerja maka 2 orang usia produktif menanggung penduduk usia kurang produktif 1 orang. Kualitas penduduk yang ditandai dengan tingkat pendidikan yang telah dilalui, maka terlihat bahwa kualitas penduduk Kota Jayapura masih didominasi oleh lulusan Sekolah Menengah Umum (SMU) yaitu 34,97%, sementara yang berpendidikan Menengah Kejuruan hanya 7,48%.
Untuk
jelasnya tingkat pendidikan yang telah dilalui penduduk Kota Jayapura dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 7. Banyaknya Penduduk Berumur 10 Tahun Ke Atas Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Tahun 2002 ..
No.
Pendidikan yang Ditamatkan
Jml Penduduk Persentase (orang) (%} ---1. Tidak/Belum Tamat SO 15.827 10,51 2. Sekolah Qasar (SO)_ ·---··- ·-- --- --· - - --·-----------------------26.107 ________ 1?!.~~3. ···19,94 SMP 30.056 4 SMU 52.712 34,97 -5. SM Kejuruan 11.275 7,48 -Diploma 1/11 6. 1.372 0,91 7. Diploma Ill 3.798 __?~g_ ____ ------8. Universitas/Diploma IV --·-··--··-- f.--· 9.421 6,25 -----9. S2-S3 166 0,11 Sumber: BPS Kota Jayapura Dari data pada tabel tersebut di atas apabila dihubungkan dengan dunia kerja, maka penduduk yang sementara bekerja atau akan memasuki pasar kerja di dominasi oleh tenaga kerja tidak trampil karena terdapat 72,23% yang berpendidikan SMU ke bawah, sementara yang siap memasuki
pasar kerja
atau
sementara
bekerja
dengan
memiliki
ketrampilan tertentu hanya mencapai 10,91%, dan penduduk yang siap
71
berposisi sebagai top manajer hanya mencapai 6,36% dari jumlah penduduk yang pernah mengenyam pendidikan.
Penduduk yang pernah
mengenyam pendidikan setara Universitas/Diploma IV, Magister (S2) maupun Doktor (S3) kebanyakan berprofesi sebagai tenaga pengajar Hal ini dipengaruhi karena
(dosen) dan bekerja disektor Pemerintahan.
Kota Jayapura adalah merupakan pusat pendidikan yang mana terdapat 1 Perguruan Tinggi Negeri dan 11 Perguruan Tinggi Swasta, Sekolah .. ·. Menengall Kejuruan 7 buah, Sekolah Menengah Umum 21 buah, SL TP 33 buah dan Sekolah
Dasar 85 buah.
Dan juga merupakan pusat
Pemerintahan karena selain sebagai Kota Jayapura juga merupakan lbukota Provinsi Papua. Kota Jayapura,
~ebagai
impian bagi pencari kerja.
daerah urban adalah menjadi sasaran dan
Hal ini terlihat dari data yang -terdaftar pada
Dinas Tenaga Kerja Kota Jayapura pada tabel di bawah ini. Tabel 8. Banyaknya Pencari Kerja Yang Mendaftarkan Diri Di Kantor Depnaker dirinci Menurut Pendidikan Tahun 2001 -
No.
Pendidikan
Laki-Laki
------------
-- --- ---· ------- ----
Tidak!Bim Tamat SO Sekolah Dasar 107 Setingkat SMP 139 STM 931 SMEA 569 Setingkat SMU 3.316 Sarjana Muda 284 Sarjana Lengkap 1.236 Pascasarjana Jumlah 6.582 Sumber: Dmas Tenaga Kerya Kota Jayapura 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
··--.
Perempuan -
----
------------
-
33 121 86 606 3.209 425 1.179 1 5.660
Jumlah ----.
-
-
-----
140 260 1.017 1.175 6.525 709 2.415 1 12.242
------------
72
Dari tabel tersebut di atas terlihat bahwa dari penduduk pencari kerja yang terdaftar didominasi oleh penduduk dengan tingkat pendidikan SL TA ke bawah yaitu sebesar 74,47%, sementara pencari kerja yang terdaftar dengan kualifikasi pendidikan Sarjana Muda hingga Sarjana mencapai Pencari kerja yang terdaftar ini semuanya adalah belum ..
25,52%. mempunyai
pengalaman
menyelesaikan pendidikan.
kerja
sebelumnya
atau
baru
selesai
Dengan komposisi demikian maka dapat
dikategorikan bahwa pencari kerja di Kota Jayapura masih memiliki kualitas yang rendah, bila ditinjau dari aspek pengalaman kerja dan keahlian yang dimiliki. 4. Kondisi Pembangunan Ekonomi Perekonomian Kota Jayapura mengalami perkembangan yang cukup pesat selama kurun waktu 1998-2002. Hal ini terlihat dari peningkatan nilai PDRB atas dasar harga berlaku dari Rp 0,83 trilyun pada tahun 1998 menjadi Rp 1,3 trilyun pada tahun 2002. Sedangkan PDRB atas dasar harga
konstan
mengalami
peningkatan
penambahan sekitar Rp 0,08 trilyun.
moderat
dengan
tingkat
Perbedaan yang signifikan antara
peningkatan PDRB atas dasar harga berlaku dan harga konstan ini menunjukkan inflasi yang sangat tinggi pada kurun waktu tersebut. Laju pertumbuhan ekonomi Kota Jayapura berdasarkan harga konstan selama lima tahun mengalarni pertumbuhan yang positif. Pada tahun 1998, pertumbuhan Kota Jayapura adalah -9,28%. Selanjutnya, pada empat
73
tahun berikutnya, pertumbuhan ekonomi Kota Jayapura terus meningkat menjadi 1,93%, 4, 12%, 4,94% dan 5,65%. Tabel 9. Perkembangan PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan Tahun 1993 Kota Jayapura Tahun 1999-2002 (Dalam Jutaan Rupiah)
TAHUN
PDRB HARGA BERLAKU
PERTUMBUHAN
PDRB HARGA KONSTAN
PERTUMBUHAN
(%)
1998
827.084,87
14,93
486.486,04
-9,28
1999
919.344,19
11,15
495.859,89
1,93
2000
'1.006.445, 15
9,47
513.292,93
4,12
2001
1.096.091,51
8,91
538.648,48
4,94
2002
1.247.826,67
13,84
569.075,11
5,64
(%)
Sumber: BPS Kota Jayapura, 2002
Pertumbuhan ekonomi per sektor Kota Jayapura pada tahun 2002 mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kecuali untuk sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan yang tumbuh
~
2,31%. Hal ini disebabkan subsektor bank tumbuh -17,55% dan subsektor kehutanan tumbuh -0, 17%. Subsektor lain mengalami peningkatan output berkisar antara 3,56% sampai dengan 42,74%. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel1 o. Dari 17 subsektor ekonomi, yang mengalami peningkatan output paling besar adalah subsektor tanaman perkebunan yaitu 42,74%. Nilai ini disusul oleh subsektor komunikasi 17,36%, subsektor peternakan dan hasilnya 11,42%, subsektor air minum 9,32%, subsektor listrik 9, 12%, subsektor hotel
8,40%,
subsektor angkutan
laut 8,31 %,
subsektor
penggalian 7,26%, subsektor jalan raya 6,97%, subsektor jasa perorangan dan rumah tangga 6, 79%, subsektor lembaga keuangan bukan bank
74
sebesar 5, 75%, subsektor jasa penunjang angkutan 5,68%, subsektor jasa perusahaan 4,81%, subsektor angkutan sungai sebesar 4,73%, subsektor jasa hiburan dan rekreasi 4,58%, subsektor industri besar/sedang 4,26%, serta industri kerajinan rumah tangga 3,56%. 1998-2002
Struktur ekonomi Kota Jayapura pada kurun waktu didominasi oleh sektor jasa-jasa,
perdagangan,
hotel dan restoran,
pengangkutan dan komunikasi serta bangunan. Sektor-sektor yang memiliki prospek baik di masa datang adalah pertanian,keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Sedangkan sektor-sektor yang harus ditingkatkan adalah sektor listrik, dan sektor pertambangan dan penggalian. Tabel 10. Peranan Sektoral Terhadap Pembentukan PDRB Kota Jayapura Tahun 1998-2002 ·-
.
NO
1999 1998 - - - - · - - ----------
SEKTOR
-
2000
2001
--- -2002
1.
Pertanian
7.80
8.22
8.71
9.09 ..
8.75 --
2.
Pertambangan dan Penggalian
0.56
0.48
0.50
0.51
0.52
lndustri Pengolahan
7.90
3.
r---Listrik dan 4. Minum
----------
- - - - ------ --------
Air
7.05
- - - -- ----- -····--------
7.16
6.83
-------------
6.92 ----
---------
1.31
1.39
1.46
1.50
1.76
5.
Bangunan
15.58
14.40
14.87
14.58
14.28
6.
Perdagangan, Hotel & Restoran
17.64
15.89
15.45
15.27
16.42
7.
Angkutan Komunikasi
16.05
16.87
16.74
16.99
16.18
8.
Keuangan, Persewaan & jasa Perusahaan
7.13
5.32
6.42
7.85
6.92
9.
Jasa-jasa
26.03
30.38
28.69
27.37
28.25
PDRB
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
&
Sumber: BPS Kota Jayapura, 2002
--
75
Tabel di atas menunjukkan bahwa peranan sektor terbesar dalam pembentukan PDRB adalah sektor jasa-jasa, dengan rata 28,15%. Angka ini disusul oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 16,16%, sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 15,17% serta sektor bangunan sebesar 14,77%. Sektor yang peranannya kurang dari 2 persen dalam pemhentukan PDRB Kota Jayapura kurun waktu 1998-2002 adalah sektor listrik dan air minum serta sektor pertambangan dan penggalian. Menurut harga berlaku,
Kota Jayapura memiliki PDRB per kapita
sebesar 2,5 juta rupiah pada tahun 1998. Angka ini meningkat menjadi 7,07 juta rupiah pada tahun 2002. Hal ini menunjukkan peningkatan sebesar 279,32% selama kurun waktu tersebut.
Tingkat pertumbuhan PDRB per
kapita atas dasar harga berlaku pada periode yang sama mengalami peningkatan sebesar 15,65% pada tahun 2002. Dibandingka·ri tahun 2001, peningkatan PDRB mencapai 5,02%. Sejak 1997 sampai dengan 2001, persentase PDRB terus menurun dari 14,25% menjadi 5,90%. lndikator lain dalam melihat kondisi perekonomian suatu daerah adalah tingkat inflasinya yang merupakan ukuran dalam melihat stabilitas harga barang yang ada di suatu daerah.
Tingkat inflasi Kota Jayapura
mengalami kecenderungan menurun setelah tahun 1998 yang merupakan tahun krisis ekonomi di Indonesia, namun mengalami kenaikan kembali pada tahun 2002.
Hal ini merupakan pertanda adanya pertumbuhan
kembali dari sektor-sektor lapangan usaha di Kota Jayapura.
Untuk
76
jelasnya perkembangan tingkat inflasi di Kota Jayapura dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 11. Angka lnflasi Kota Jayapura Tahun 1998- 2002 NO.
Lapangan Usaha
1.
Pertanian
2.
Pertambangan
dan
1998
1999
2000
2001
2002
31,75
15,37
13.75
5.81
5.57
4.73
-4.07
14.87
4.03
10.62
Penggalian 3.
lndustri Pengolahan
22.03
5.08
1.93
1.87
13.29
4.
Listrik dan Air Minum
13.59
16.85
5.19
5.07
24.65
5.
Bangunan
12.52
25.62
8.11
3.83
9.92
6.
Perdagangan, Hotel
56.77
7.34
7.71
3.29
20.11
dan
15.39
-0.66
4.72
-0.46
2.71
Keuangan, Persewaan
25.32
7.81
17.96
11.12
4.94
Jasa-Jasa
26.18
4.41
0.99
1.79
15.36
Rata-rata
26.69
9.05
5.76
2.92
dan Restoran 7.
Pengangkutan Komunikasi
8.
dan Jasa Perusahaan 9.
..
11-:o1
Sumber: BPS Kota Jayapura
5. Perkembangan Pembiayaan Pembangunan
Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD) mengalami fluktuasi pada tiga tahun terakhir, yang pada tahun 2003 APBD mengalami kenaikan 18,61% dari tahun 2002 dan pada tahun 2004 mengalami penurunan 2, 07% dari tahun 2003, walaupun ini bukan patokan sebenarnya sebab untuk tahun 2004 masih akan mengalami perubahan tergantung capaian pendapatan daerah baik yang bersumber dari bantuan pusat maupun dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada akhir tahun anggaran.
77-
Untuk jelasnya perkembangan APBD pada tiga tahun terakhir dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 12. Perkembangan APBD Kota Jayapura JUMLAH NO
URAl AN
2002
2003
2004
K
(Rp.)
(Rp.)
(Rp.)
E T
I.
PENDAPATAN
229.067.117.332
271.695.170.409
266.07 4.292. 000
1.
PAD
11.181.932.456
14.623.557.881
15.000.000.000
2.
Dana
168.635.364.831
200.904.605.237
208.576.614
43.288.485.000
47.640.314.291
42.497.678.000
Perimbangan 3.
Lain-lain pendapatan yang sah
II.
BELANJA
I 220.540.423.987
260.689.545.732
276.764.445.600
1.
Rutin
1
131.451.928.164
184.185.383.210
203.111.821.600
I
2.
Pembangunan
1
89.088.495.823
76.504.162.522
62.330.364.000
I
Sumber: Bappeda Kota Jayapura, 2004
Dari tabel di atas terlihat bahwa untuk tahun 2004 dengan anggaran berbasis kinerja yang menganut surplus-defisit, maka terlihat bahwa Pemerintah Kota Jayapura mengalami defisit anggaran sebesar Rp. 10.690.153.600,-. Dari hasil wawancara dengan Kasubbag Anggaran SetKota Jayapura pada tanggal 17 Mei 2004 menyatakan bahwa defisit anggaran tersebut akan ditutupi dari hasil sisa perhitungan anggaran tahun 2003 yang belum selesai penetapannya oleh DPRD Kota Jayapura. Sumber pembiayaan bagi Pemerintah Kota Jayapura masih didominasi oleh dana perimbangan dan bantuan pemerintah atasan, sebab sumbangan PAD terhadap APBD baru mencapai rata-rata sebesar 5,27%.
Hal ini
menunjul
78
pembiayaan pembangunannya.
Pengeluaran pemerintah pada kurun 3
(tiga) tahun terakhir terlihat cenderung meningkat terutama pada belanja rutin mengalami rata-rata peningkatan sebesar 25,2%, yaitu pada tahun 2002 tercatat belanja rutin mencapai 59,60% dari APBD 2002, pada tahun 2003 meningkat menjadi 70,65% dari APBD 2003 dan pada tahun 2004 meningkat lagi menjadi 73,39% dari APBD 2004, sementara belanjc!i pembangunan terlihat cenderung menurun rata-rata -16,33%, yaitu pada tahun 2002 sebesar 40,40% dari belanja APBD 2002, pada tahun 2003 menurun menjadi 29,35% dari belanja APBD 2003 dan pada tahun 2004 menurun
lagi menjadi 22,52% dari belanja APBD
Kota Jayapura.
Meningkatnya belanja rutin dipengaruhi oleh adanya penambahan pegawai daerah di lingkungan Pemerintah Kota Jayapura setiap tahun dan perubahan kelembagaan termasuk adanya pemekaran Kelurahan, dan untuk tahun 2004 yang telah menggunakan dasar anggaran kinerja di dalam penyusunan APBD, peningkatan belanja rutin selain disebabkan· karena adanya peningkatan belanja pegawai juga adanya peralihan pos bantuan yang selama ini di proyekkan yang dikelola oleh Dinas dalam belanja pembangunan dipindahkan posnya ke dalam pos bantuan yang ditangani oleh Sekretariat Kota Jayapura. Sesuai dengan UU No 21/2001, maka Provinsi Papua mendapatkan dana Otonomi Khusus (Otsus) sebagai upaya untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan dan dan dapat mengejar ketertinggalannya dengan daerah lain dalam kurun waktu 25 tahun.
Dana otsus bagi
79
Pemerintah Kota Jayapura telah dihimpun dalam APBD Kota Jayapura sejak tahun 2002, untuk jelasnya jumlah dana otsus yang dikelola oleh Pemerintah Kota Jayapura dapat di lihat pada tabel di bawah ini. Tabel 13. Perincian Rekapitulasi Dana Otonomi Khusus Yang dikelola Pemerintah Kota Jayapura Tahun Anggaran 2002-2004 JENIS OTSUS Fresh Money
Paket Program
BIDANG PEMB.
JUMLAH 2002 4.619.178,2.000.000,-
DANA(RIJ. 000,-) 2003 2004 Pendidikan 4.500.000,3.673.912,Kesehatan 2.550.000,1.824.456,lnfrastruktur 3.000.000,_.LZ~~L4_?6. -:__ ---~.:..~9- 000~:- - Ekonomi Produktf 1.550.000,2.432.608,- 2.550.000,1.413.000,Umum 2.432.60~.2.400.000,·Jumlah 14.432.178,-. 12.163.040,_:-__ _1 5.000.000,-Pendidikan -- ····--- -----~-?.~8. 542,2 - __ _?. 6_1§.:..192' 4 _ _7.5]3.368.-:-_ 2.736.684,3.394.271 '1 771 :0~4!~ -Kesehatan -------lnfrastruktur 6.504.093,5 2.736.684,-------~j65.000,- e------------ -· --------Ekonomi Prodktf 4.58~-~_81 ,5 ... _8!)_0.000_c_ - __ }.6~_8.912,---- Umum ____J§Q.OOO,-_ --- 1~?18_:~_1_~.- ----·-- - ---·- ·- - 1. 35~:1_8?!Z. 22.628.474,Jumlah ___ 18.852.196,4 21.244.560.!_------------- ----Total Otsus 37.060.652,33.407.600,33.852.196,4 -------------~
----~--
-----~
Sumber: Bappeda Kota Jayapura, 2004. Dana otsus dibagi dalam dua bentuk bantuan yaitu: fresh money, adalah dana yang langsung diberikan kepada Pemerintah Kota Jayapura termasuk penentuan program dan kegiatannya ditentukan sendiri oleh Pemerintah Kota Jayapura sesuai dengan kebutuhannya; dan bentuk paket program, adalah dana yang diberikan kepada Pemerintah Kota Jayapura dimana penentuan program dan kegiatannya dikonsultasikan dengan Pemerintah Provinsi Papua termasuk ada juga yang merupakan program titipan dari Pemerintah Provinsi karena lokasinya berada di Kota Jayapura. Afektasi belanja dana otsus diperuntukkan terhadap ke-4 bidang tersebut (pendidikan, kesehatan, infrastruktur, ekonomi produktif dan umum) adalah merupakan peruntukan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi
80
Papua yang mengacu kepada UU No. 21 tahun 2001, dengan persentase lebih tinggi bidang pendidikan dibanding infrastruktur, kesehatan, ekonomi produktif dan umum. Bidang umum adalah bidang yang tidak termasuk ke4 bidang te1·sebut di atas dan harus dibiayai kegiatannya, sementara dana alokasi umum tidak rnencukupi untuk membelanjainya. Persentase yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota Jayapura untuk penggunaan dana otsus tersebut adalah: 30.21% untuk bidang pendidikan, 15% untuk bidang kesehatan, 14,79% untuk bidang infrastruktur, dan 20%
untuk bidang ekonomi produktif dan bidang umum. B. MEKANISME PENJARINGAN ASPIRASI MASYARAKAT Sebagai upaya untuk tetap mempertahankan penggalian usularJ masyarakat dalam pelaksanaan perencanaan pembangunan, sementara aturan
terbaru
belum
juga
jelas
keberadaannya,
maka
dengan
pertimbangan tersebut Pemerintah Kota Jayapura melalui Bappeda Kota Jayapura tetap memberlakukan Permendagri Nomor 9 tahun 1982 tentang PSD, sebagai dasar dalam penjaringan aspirasi masyarakat melalui forum Musbang di tingkat Kampung/Kelurahan dan Diskusi UDKP di tingkat Distrik.
Menurut pedoman tersebut seharusnya pelaksanaan Musbang
dilaksanakan pada bulan Mei dan Diskusi UDKP pada bulan Juni. Dengan melihat waktu telah memasuki bulan Maret 2003 sementara petunjuk teknis pelaksanaan penjaringan aspirasi masyarakat belum ada dari Pemerintah Pusat, maka Pemerintah Kota Jayapura melalui Bappeda Kota Jayapura mengeluarkan surat Nomor 414.2/390 tanggal 29 Maret
81
2003 tentang pelaksanaan Musbang dan Diskusi UDKP yang ditujukan kepada seluruh Kepala Distrik. Dengan dasar surat tersebut diharapkan seluruh Kepala Distrik dapat meneruskannya kepada Kepala Pemerintahan Kampung (KPK) dan Kepala Kelurahan untuk segera melaksanakan penjaringan usulan masyarakat yang akan dilaksanakan pada tahun anggaran 2004. Berdasarkan surat dari Distrik tersebut seluruh KPK/Lurah mulai menindaklanjuti
dengan
mengedarkan
surat
serupa
yang
intinya
memberitah:.Jkan kepada seluruh KPK/Lurah untuk segera melaksanakan Musbang yang intinya untuk melakukan penjaringan usulan masyarakat di wilayahnya masing-masing. Dari hasil penelitian ini didapat bahwa proses penjaringan aspirasi/usulan masyarakat di tingkat Kelurahan dan Kampung memiliki spesifikasi tersendiri. Hal ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 14. Perbandingan proses penjaringan aspirasi masyarakat di tingkat Kelurahan dan Kampung Uraian Kegiatan Surat penjaringan aspirasi masy. Disampaikan Waktu penjaringan Yang melakukan penjaringan aspirasi masy. Cara penjaringan aspirasi
Kelembagaan formal yg berperan Kelembagaan informal
..
·-- ·----------. --.
Kelurahan Ketua RW/RT
Kampuna ·Ketua RW/RT dan tokoh-tokoh masyarakat -----
Diberikan waktu 1 - 2 Bersamaan dengan undangan minggu musbano Ketua RW dan RT Disampaikan langsung pad a forum musbang
--
Dimusyawarahkan pertemuan terbatas disusun oleh Ketua RT/RW BP2K PKK, Karang Taruna
Sumber: Anahs1s data pnmer, 2004
1-
diusulkan oleh perwakilan kelompok masy disusun langsung pada saat musbang Baperkam PKK, Karang taruna, Lembaga Adat, Lembaga Keagamaan
82
KPK/Lurah meneruskan surat tersebut kepada seluruh Ketua RT/RW untuk segera mengajukan usulan rencana program/kegiatan untuk tahun 2004. Secara umum dapat disimpulkan bahwa metode penjaringan usulan di tingkat RT/RW berlangsung dalam
beberapa pola yaitu: Pertama,
disusun secara bersama-sama di tingkat RT/RW melalui pertemuan rutin seperti arisan RT/RW. Pola ini dapat diilustrasikan pada kasus berikut. Penjaringan aspirasi masyarakat di Kelurahan Koya Timur Distrik Muara Tami Kelurahan Koya Timur adalah merupakan kelurahan hasil perubahan status dari Kampung, dan kelurahan ini termasuk wilayah eks transmigrasi yang warganya sebagian besar berasal dari Pu/au Jawa yang masih tetap membawa budayanya di dalam bermasyarakat. Proses penjaringan aspirasi masyarakat juga terpengaruh dengan pola hidup mereka, dimana mereka membicarakan usulan programlkegiatan mereka dalam pertemuan rutin yang dibuat yaitu arisan di tingkat RWIRT. Pembahasan itu diikutkan dalam acara tersebut setelah Ketua RW memperoleh surat pemberitahuan tentang pelaksanaan musbang. Hasil pembahasan di tingkat RT tersebut dihimpun lagi dalam pertemuan RW dan selanjutnya diteruskan ke tingkat kelurahan dalam hal tm disampaikan kepada BP2K. Pembahasan yang dilakukan da/am forum musbang adalah hanya membahas tentang penempatan prioritas usulan kegiatan, yaitu dengan melihat kondisi lapangan sehingga diurut mulai dari yang terparah. Usulan masyarakat lebih banyak diarahkan kepada kegiatan fisik prasarana, sebab memerlukan biaya besar untuk pelaksanaannya sementara yang dapat diswadayakan maka akan dikerjakan secara bersama-sama oleh masyarakat. (Disarikan dari hasil wawancara dengan Lurah Koya Timur, Sekretaris BP2K Koya Timur, Ketua RT 02/RW 06 dan Ketua RW 06 Kelurahan Koya Timur Distrik Muara Tami)
Pola musyawarah melalui pertemuan rutin, yaitu arisan bulanan yang dilaksanakan setiap bulan oleh RW di lingkungan Kelurahan Koya Timur, adalah kegiatan
yang telah tumbuh sejak Koya Timur masih berstatus
83
sebagai Pemerintahan Desa. Kegiatan arisan bulanan ini selain merupakan wadah
untuk silaturrahmi
masyarakat, juga dijadikan wadah
untuk
membicarakan permasalahan masyarakat, baik yang menyangkut masalah pertanian maupun masalah pembangunan di lingkungan mereka secara umum. Pola ini dapat bertahan di tengah masyarakat karena didukung oleh · keberadaan masyarakat Koya Timur yang homogen, yaitu merupakan masyarakat petani eks transmigrasi nasional yang berasal dari Pulau Jawa. Keberadaan
masyarakat
yang
homogen
ini
menjadikan
kegiatan
penjaringan aspirasi masyarakat menjadi lebih mudah, terutama di dalam mengumpulkan masyarakat untuk bermusyawarah. masyarakat
ini
dapat
dikategorikan
sebagai
Bentuk keterlibatan partisipasi
di
dalam
perencanana pembangunan. Hal ini sejalan yang dikemukakan oleh Batten, 1960 (dalam Ndraha, 1987: 101) bahwa pembangunan masyarakat adalah suatu proses dimana masyarakat membahas dan merumuskan kebutuhannya, merencanakan usaha pemenuhannya dan melaksanakan rencana itu sebaik-baiknya. Pola kedua, disusun secara bersama namun dalam rapat terbatas karena adanya perintah menyusun usulan.
Pola ini dapat diilustrasikan seperti
pada kasus berikut. Penjaringan aspirasi masyarakat di Kelurahan Tanjung Ria Distrik Jayapura Utara Pelaksanaan penjanngan usulan masyarakat dimulai dengan diterimanya surat pemberitahuan dari distrik tentang pelaksanaan musbang dan akan dilaksanakannya Diskusi UDKP di tingkat Distrik Jayapura Utara. Dengan dasar surat tersebut pihak kelurahan melakukan koordinasi dengan Badan
84
(BP2K) tentang Perencanaan Pembangunan Kelurahan pelaksanaan musbang yang akan dilaksanakan, selanjutnya dikirimkan surat kepada seluruh Ketua RTIRW untuk segera melakukan penjaringan aspirasi masyarakat di wilayahnya masing-masing yang berisi rencana prograrnlkegiatan yang akan diusulkan kepada pemerintah untuk ditangani tahun 2004. Ketua RT segera melakukan penjaringan aspirasi masyarakat melalui beberapa cara yaitu: memberikan kesempatan kepada perwakilan kelompok masyarakat untuk menyampaikan usulannya baik secara lisan maupun tertulis, permasalahan yang terlihat di depan mata ketua RT dan selanjutnya semua usulan tersebut direkap oleh Ketua RW 0/eh Ketua RTIRW dilakukanlah pengumpulan usulan masyarakat baik melalui pertemuan di tingkat RT untuk membahas usulan yang akan diberikan, maupun yang ditulis langsung oleh Ketua RTIRW karena menganggap bahwa yang diangkat o/eh Ketua RTIRW adalah merupakan permasalahan Usulan masyarakat dan untuk kepentingan masyarakat. masyarakat diangkat dari permasalahan yang disampaikan oleh masing-masing perwakilan masyarakat baik disampaikan secara lisan maupun tertulis. Penentuan usulan disesuaikan dengan kondisi masing-masing wilayah, seperti wilayah perkampungan nelayan maka yang diminta adalah permohonan bantuan modal kerja dan perbaikan lingkungan, sementara wilayah RTIRW yang didominasi oleh masyarakat yang memi/ik{ pekerjaan tetap seperti Pegawai Negeri maka yang diusulkan kebanyaka.n adalah yang bersifat fisik prasarana. Usulan dari masing-masing RT direkap ditingkat RW setelah dilakukan pembahasan dan seleksi, sebab usulan tersebut adalah merupakan usulan masyarakat untuk menjawab permasalahannya dan kebutuhannya maka perlu diperjelas usulannya. Di tingkat Kelurahan, seluruh usulan dari masyarakat yang terangkum dalam usulan RW dibahas dengan mengacu kepada kriteria: (1) kebutuhan masyarakat yang dihubungkan dengan (2) manfaat; menerima yang jangkauan luasnya dan prioritas sektor kemendesakannya; (3) disesuaikan dengan visi, misi dari Pemerintah Kota Jayapura; (4) lebih banyak diarahkan kepada bidang fisik prasarana. Dan hasilnya adalah bahwa seluruh usulan dari RW terse but direkap oleh Kelurahan yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan peninjauan ke lokasi untuk dilengkapi dengan dokumentasinya sehingga lebih memberikan keyakinan bahwa usulan tersebut betul-betul dibutuhkan.
85
(Disarikan dari hasil wawancara dengan Lurah Tanjung Ria, Koordinator Bidang Pembangunan BP2K Kelurahan Tanjung Ria dan Ketua RT 04/RW VI Kelurahan Tanjung Ria). Pola yang
hampir sama juga terungkap di Kelurahan
Gurabesi
sebagaimana diilustrasikan seperti kasus dibawah ini: Penjaringan Aspirasi masyarakat di Kelurahan Gurabesi Oistrik Jayapura Utara Proses penjaringan aspirasi masyarakat dimulai ketika surat dari Kepala Distrik yang memerintahkan agar semua kelurahan segera melaksanakan musbang dalam rangka menjaring usulan programlkegiatan untuk tahun 2004 dari masyarakat. Surat tersebut segera ditindaklanjuti dengan berkordinasi dengan BP2K tentang pelaksanaan musbang di Kelurahan Gurabesi. Selanjutnya setelah waktu diputuskan, maka segera dari kelurahan menyur:at kepada seluruh Ketua RW untuk tentang masyarakat usulan penjaringan melakukan programlkegiatan yang akan diusulkan tahun 2004. Selanjutnya masing-masing RW berkoordinasi dengan RT menyampaikan bahwa akan ada pelaksanaan musbang, sehingga oleh RW dibuat pertemuan informal dengan RT ten tang -apa yang menjadi permasalahan masyarakat dan kegiatan apa yang diusulkan untuk menjawab permasalahan tersebut. Di tingkat RT, ada yang melakukan pembicaraan dengan beberapa orang yang dianggap tokoh dan mampu memberikan saran tentang kegiatan yang akan diusulkan, namun ada juga dengan cara melihat kondisi yang ada yang selalu menjadi keluhan masyarakat. Melalui cara yang demikian maka usulan dari masyarakat di tingkat RT yang akan dilaporkan kepada Ketua RW untuk direkap. Selanjutnya rekapan usulan dari RW itulah yang dibawa dalam forum musbang di tingkat kelurahan Gurabesi. Pembahasan usulan dilakukan sesuai dengan tingkat prioritasnya yaitu dengan melihat tingkat kebutuhan masyarakat yang mendesak (emergensi) dan masalah yang apabila tidak ditangani akan menimbulkan masalah yang lain serta lebih diarahkan kepada kegiatan fisik prasarana. (Disarikan dari hasil wawancara dengan Lurah Gurabesi, Sekretaris BP2K Kelurahan Gurabesi, Ketua RT 1/RW 7 Kelurahan Gurabesi)
86
Pola pertemuan terbatas ini dilakukan oleh inisiatif Ketua RT/RW, yang melibatkan anggota masyarakat yang dianggap mampu memberikan masukan usulan bagi perbaikan lingkungan mereka, karena menganggap bahwa aspirasi warganya telah dapat diwakili oleh tokoh-tokoh masyarakat. Pola ketiga, disusun oleh Ketua RT/RW karena adanya keluhan masyarakat dan hasil
pengamatan
wawancara di Kelurahan
RT/RW,
seperti
yang
terungkap dari
Vim Distrik Jayapura Selatan
hasil
seperti yang
diilustrasikan di bawah ini: Penjaringan aspirasi masyarakal di Kelurahan Vim Oislrik Jayapura Selalan Penjaringan diawali dengan dileruskannya sural pemberitahuan dari Dislrik Jayapura Selalan tenlang pelaksanaan Musbang di tingkat kelurahanlkampung dan dilanjutkan dengan Diskusi UDKP ditingkat Dislrik. Sural pemberitahuan ke masyarakal dilakukan melalui RTIRW yang merupakan perwakilan dari masyarakal yang ada dilingkungannya masing-masing. ··· Waktu pengumpulan usulan sebelum pelaksanaan Musbang biasanya 1 (satu) minggu. Dimana Ketua-ketua RW melalui RTRTnya melakukan penJanngan usulan di masyarakat. Mekanisme yang dibangun diserahkan sepenuhnya kepada RTIRW setempal, karena ini adalah kegialan lahunan dimana usulan mereka pada tahun-tahun sebelumnya belum juga lerjawab maka saal ini usulan tersebul diusulkan kembali. Hal ini dilakukan karena para Ketua RT/RW adalah juga warga masyarakat di wilayah lersebul sehingga dengan sendirinya dapat melihal langsung yang menjadi keluhan masyarakat. Kelurahan Vim sebagian besar warganya adalah pegawai negeri, TN/ dan POLRI serta sebagian kecil adalah masyarakal pelani dan mahasiswa. Dengan komposisi pekerjaan yang demikian maka yang menjadi ketua RTIRW adalah merekamereka yang pegawai alaupun yang pensiunan pegawai. Dan sebagai daerah pemukiman berupa kompleks pemukiman yang leralur, maka masalah utama bagi mereka adalah masalah infraslruklur alau sarana prasarana seperti saluran yang rusak, jalan yang rusak dan lampu jalan yang lidak menyala.
87
Semua usulan yang masuk dikumpulkan oleh BP2K dan dibahas pada saat musbang. Dimana yang hadir dalam musbang adalah Ketua RWIRT, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh perempuan dan tokoh adat serta pendamping dari Distrik. Pembahasan dilakukan hanya untuk mempertajam usulan masyarakat serta memperjelas lokasi usulan. sebab setelah selesai penjaringan usulan tersebut dilanjutkan dengan peninjauan kelokasi usulan masyarakat tersebut. Peran BP2K di Kelurahan Vim cukup baik dengan keterlibatan mereka di dalam penjaringan aspirasi masyarakat sebab semua pengurus BP2K adalah pensiunan pegawai. (Disarikan dari hasil wawancara dengan Lurah Vim, Ketua BP2K Kelurahan Vim dan Ketua RW 8 Distrik Jayapura Selatan) Hal yang sama juga terungkap di Kelurahan Awiyo Distrik Abepura, seperti hasil wawancara yang telah diillustrasikan di bawah ini:
Penjaringan aspirasi masyarakat di Kelurahan Awiyo Distrik Abepura Penjaringan aspirasi masyarakat dimulai dengan mengirimkan sural kepada seluruh Ketua RWIRT untuk segera me/akukan penghimpunan usulan masyarakat untuk- ·dibahas dalam forum musbang. Ketua RW bersama dengan Ketua RT di lingkungan pemerintah Kelurahan Awiyo melakukan penghimpunan kembali usulan yang lama yang belum dijawab-jawab, ditambah dengan keluhan masyarakat yang sering disampaikan secara lisan kepada Ketua RTIRW Dan permasalahan masyarakat tersebut dapat terlihat langsung oleh Ketua RWIRT karena mereka semua berada dalam lingkungan yang sama, sehingga apa yang menjadi permasalahan masyarakat menjadi permasalahan RWIRT. Masyarakat sepertinya memberikan kepercayaan kepada RWIRT untuk mengusulkannya. Pemberian kepercayaan ini dikarenakan masyarakat Kelurahan Awiyo adalah masyarakat yang sangat heterogen mata pencahariannya, namun didominasi oleh: Pegawai Negeri termasuk TN/ dan POLRI, pedagang karena merupakan pusat pasar dan kelompok buruh,petani dan bidang informal lainnya namun kurang dominan. Dengan kondisi seperti tersebut maka mekanisme penjaringan usulannya lebih banyak diserahkan kepada RTIRW-nya karena biasanya usulannya berupa fisik prasarana yang terlihat bersama dan memang merupakan kebutuhan bersama. Sementara masyarakat lokal yang petani
88
biasanya ikut mengusulkan terutama menyangkut bantuan modal ataupun peningkatan ekonomi produktif mereka. Selanjutnya seluruh usulan dari RWIRT dihimpun oleh BP2K di Kelurahan dan dibahas dalam forum musbang. Pembahasan hanya untuk mempertegas usulan yang dibawa serta penempatan prioritasnya. Hasil pembahasan tersebut akhirnya menjadi daftar usulan hasil musbang dari Kelurahan Awiyo yang akan dikirimkan ke tingkat Distrik untuk dibahas dalam forum Diskusi UDKP. (Disarikan dari hasil wawancara dengan Lurah Awiyo, Ketua BP2K yang juga Ketua RW 6 Kelurahan Awiyo Distrik Abepura)
Pola penjaringan aspirasi masyarakat yang diwakilkan kepada Ketua RT/RW terjadi karena adanya keragaman dari masyarakat baik menyangkut asal usul suku dan mata pencahariannya.
Latar budaya yang beragam
menjadikan model percaya kepada tokoh yang telah ditunjuk (Ketua RT/RW) menjadi pilihan yang lebih aspiratif. Demikian pula dengan mata pencaharian
yang
beragam
(PNS,
TNI/POLRI,
Karyawan,
Buruh,
pedagang) dengan tingkat kesibukan yang beragam, sehingga menyulitkan dalam pengaturan waktu untuk dapat mengumpulkan masyarakat.
Ketua
RT/RW adalah merupakan bagian dari warga yang hidup bersama dalam kelompok mereka, sehingga diasumsikan bahwa Ketua RT/RW mengetahui permasalahan dan kebutuhan masyarakatnya. Pola ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Abe (2002: 81) bahwa perencanaan yang dalam tujuan dan prosesnya melibatkan kepentingan masyarakat, maka dapat dilakukan melalui dua bentuk perencanaan partisipatif, yaitu pertama, perencanaan yang langsung disusun bersama masyarakat, berupa perencanaan lokasi dengan melibatkan masyarakat
89
secara perwakilan; kedua, perencanaan yang disusun melalui mekanisme perwakilan sesuai institusi yang sah. Pola keempat, disusun pada saat pertemuan Musbang di tingkat Kampung, seperti yang diilustrasikan dari kasus di bawah ini.
Penjaringan aspirasi masyarakat di KampungTobati Distrik Jayapura Selatan Sebagai wilayah yang berada terpisah dari daratan, kampung Tobati adalah merupakan kampung yang berada di atas /aut di Teluk Youtefa. Masyarakat Kampung Tobati adalah salah satu dari suku asli yang ada di Kota Jayapura dengan jumlah penduduk 395 jiwa yang menempati wilayah di atas air seluas 0,53 Km2 (Sumber: Bagian Tata Pemerintah SetKota Jayapura tahun 2000), sehingga menjadikan kegiatan penjaringan aspirasi masyarakat sangat mudah dilakukan oleh mereka, karena permasalahan dan kebutuhan yang mereka hadapi adalah sama dan dapat segera terlihat oleh mereka. Seterima surat dari Kepala Distrik yang menyatakan tentang pelaksanaan Diskusi UDKP di tingkat Distrik di awali dengan pelaksanaan Musbang di tingkat kampunglkelurahan. · · Kepala Pemerintahan Kampung (KPK) bersama-sama dengan Badan Perwakilan Kampung (Baperkamp) melakukan penjaringan usulan masyarakat dalam suatu forum musbang dan semua usu/an langsung dibahas dalam forum tersebut. Hal ini dikarenakan kampung tobati hanya memiliki 1 (satu) RW dan 3 (tiga) RT, maka seluruh usulan langsung diusulkan oleh masyarakat di dalam forum musbang. Yang hadir dalam forum musbang adalah KPK, Baperkam, RTIRW, tokoh gereja, tokoh adat, tokoh pemuda dan tokoh perempuan. Melalui perwakilan tersebut prioritas usulan kampung dibahas dengan kriteria kebutuhan yang mendasar atau mendesak, menjadi kepentingan banyak orang seperti air bersih dan transportasi /aut. (Disarikan dari hasH wawancara dengan Sekretaris KPK Tobati dan Ketua Baperkamp Tobati Distrik Jayapura Selatan)
Pola yang sama juga terjadi pada Kampung Nafri seperti yang terungkap dari hasil wawancara yang diilustrasikan seperti di bawah ini:
90
Penjaringan aspirasi masyarakat di Kampung Nafri Distrik Abepura Kampung Nafri adalah juga merupakan wilayah dari salah satu penduduk asli Kota Jayapura, yang merupakan masyarakat dengan mata pencaharian dominan adalah petani dan nelayan dan sebagian kecil sebagai pegawai negeri. Luas wilayah Kampung Nafri hanya 74,08 Km2 dengan jumlah penduduk 1.145 jiwa (Sumber Bagian Kepegawaian SetKota Jayapura, 2000), dengan pemukiman yang terpusat atau mengumpul. Sebagai wilayah dengan penduduk yang homogen hanya dibagi menjadi 2 RW, maka proses penjaringan aspirasi masyarakat berlangsung dengan mudah. Sebagaimana kampung-kampung /ainnya maka masyarakat diundang untuk menghadiri kegiatan Musbang melalui perwakilannya yaitu RW dan RT, tokoh gereja, tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan tokoh perempuan. Dimana penyampaian usulan langsung dilaksanakan pada saat musbang berlangsung. Permasalahan yang dihadapi masyarakat adalah sama untuk mereka semua, dan masing-masing perwakilan kelompok mengusulkan usulan yang merupakan kepentingan kelompoknya, seperti kelompok pemuda mengusulkan pembuatan lapangan olahraga, kelompok wanita mengusulkan pengadaan a/at masak dan lain sebagainya. Penempatan urutan prioritas tidak terlihat, sebab mereka menganggap bahwa semua ada/ah prioritas, jadi serahkan saja ke tingkat distrik yang akan membahasnya dalam forum diskusi UDKP. (Disarikan dari hasil wawancara dengan Pit. KPK Nafri, KPK Nafri Demisioner)
Demikian pula pola penJanngan aspirasi masyarakat Kampung Skouw Yambe, seperti diilustrasikan di bawah ini:
Penjaringan aspirasi masyarakat di kampung Skouw Yambe Distrik Muara Tami Kampung Skouw Yambe adalah juga merupakan salah satu perkampungan yang dihuni oleh masyarakat lokaVasli Kota Jayapura, yang mendiami se/uas 112,56 Km2 dengan jumlah penduduk 522 jiwa (sumber Bagian Pemerintahan SetKota Jayapura, 2000). Terletak di ujung timur Kota Jayapura dan berada di pinggiran pantai. Mata pencaharian mereka sebagian
91
besar adalah petani dengan diselingi sebagai nelayan apabila bukan musim ombak. Sebagai wilayah yang homogen, maka proses pengumpulan usulannya juga berlangsung dengan mudah yaitu penyampaian dan pembahasan usulan masyarakat dilakukan sekaligus pada saat pelaksanaan musbang. Peserta yang hadir adalah KPK, Baperkamp, Ketua RWIRT, tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh gereja, tokoh pemuda, dan tokoh perempuan. Dimana masingmasing tokoh yang mewakili kepentingan kelompoknya memberikan usulan kegiatan, dan seluruh usulan tersebut dihimpun oleh Baperkamp. Penentuan prioritas tidak dilakukan, sebab mereka menganggap bahwa semua usulan masyarakat adalah prioritas. Nomor urut tidak menentukan prioritas, mereka berprinsip bahwa usulkan saja nanti pemerintah yang tentukan mana yang mau dipilih. Sarna dengan wilayah lainnya partisipasi masyarakat diserahkan kepada perwakilan mereka baik itu sebagai ketua RWIRT ataupun karena ketokohannya. Hal yang sama juga dialami oleh masyarakat Skouw Yambe ini, bahwa mereka mulai bosan dengan kegiatan musbang sebab sekian lama mereka mengusulkan kegiatanlprogram tidak dijawab dan kalaupun diturunkan kegiatan bukan merupakan permintaan masyarakat. (Disarikan dari hasil wawancara dengan KPK Skouw Yambe, Sekretaris KPK Skouw Yambe, Tokoh Perempuan dan Tokoh Ao'at)
Terungkap dari illustrasi kasus tersebut di atas, pola keempat ini hanya berlaku di lingkungan Pemerintahan Kampung. penduduknya
homogen
(merupakan
Hal ini terjadi karena,
penduduk asli
Kota
Jayapura),
memiliki mata pencaharian yang hampir sama, dan berada dalam lokasi yang kecil (pemukimannya terpusat/mengumpul). Kondisi ini menyebabkan permasalahan dan kebutuhan masyarakat dapat diasumsikan kurang variatif atau dapat diseragamkan, sehingga dengan penyusunan secara langsung usulan masyarakat pada saat kegiatan musbang dilaksanakan menjadi pilihan yang baik.
92
Ke-empat pola penjaringan aspirasi masyarakat tersebut tidak berdiri sendiri-sendiri atau terpisah satu sama lainnya, dapat saja terjadi dalam satu Kelurahan/Kampung terdapat dua atau tiga pola yang saling berinteraksi, kecuali untuk Kelurahan Koya Timur yang memiliki pola penjaringan aspirasi masyarakat melalui musyawarah (pertemuan rutin arisan RW) yang tidak dimiliki oleh Kelurahan lainnya.
Pola penjaringan
aspirasi masyarakat melalui pertemuan terbatas sebelum disusun oleh Ketua RT/RW dan yang langsung disusun sendiri oleh Ketua RT/RW terdapat
pada
semua
kelurahan.
Pada
RT/RW yang
mayoritas
penduduknya bermata pencaharian PNS, TNIIPOLRI dan pedagang lebih condong menggunakan pola menyerahkan urusan penyusunan usulan kepada Ketua RT/RW, sementara lingkungan RT/RW yang penduduknya memiliki mata pencaharian di bidang pertanian secara umum lebih condong menggunakan pola adanya pertemuan terbatas (pertemuan dengan tokohtokoh atau orang yang dianggap dapat memberikan masukan usulan) sebelum dilakukan penyusunan usulan RT/RW. Di tingkat kampung, semuanya memberikan illustrasi penggunaan pola yang sama yaitu penjaringan usulan masyarakat dilaksanakan bertepatan pada saat kegiatan Musbang.
Usulan dari masyarakat disampaikan oleh
perwakilan kelompok yang hadir pada pertemuan tersebut,
seperti
kelompok perempuan diwakili oleh Ketua PKK, kelompok pemuda di wakili oleh Ketua Karang Taruna/ tokoh pemudanya, Kelompok agama diwakili
93
oleh tokoh gereja dan masyarakat secara umum diwakili oleh tokoh adat dan tokoh masyarakatnya. Karakteristik
dari
pola
penjaringan
aspirasi
masyarakat
yang
diillustrasikan pada kasus-kasus tersebut di atas dapat di lihat pada tabel dt bawah ini. Tabel 15. Karakteristik Pola Penjaringan Aspirasi Masyarakat di Kota Jayapura Tahun 2003 No.
Pola Penjaringan
Karakteristik
1
2
3
Pola 1 Dimusyawarahkan
Pola 2 Pertemuan terbatas
Usulan dibahas pada pertemuan rutin yaitu arisan RW Penduduk mempunyai kesempatan yang sama untuk menyampaikan usulan Penduduknya mayoritas homogen mata dengan eks transmigrasi pencaharian sebagai petani dari pengembangan Kelurahan kampung Hanya ada di Kelurahan Koya Timur Usulan dibahas oleh Ketua RT/RW dengan orang-orang yang ditokohkan Adanya anggapan bahwa orang yang mengetahui tersebut ditokohkan permasalahan masyarakat Cenderung dilakukan oleh kelompok masyarakat yang memiliki mata pencaharian pertanian secara umum r- Bentuk usulannya cenderung kepada ekonomi produktif dan prasarana lingkungan pemukiman mereka Penduduk heterogen baik ditinjau dari suku maupun pekerjaan, namun dominan adalah pendatang dengan mata pencaharian PNS, TNIIPOLRI, Karyawan, Buruh dan pedagang T erindikasi di seluruh kelurahan informan, terungkap di Kelurahan Tanjung Ria dan Gurabesi
94
3 Usulan disusun langsung oleh Ketua Ketua RT/RW Adanya anggapan bahwa ketua RT/RW dipilih karena ketokohannya dan dipercaya dapat mengatur masyarakatnya r- Adanya anggapan bahwa Ketua RT /RW mengetahui permasalahan di lingkungannya dan kebutuhan masyarakatnya, karena hidup bersama mereka r Bentuk usulannya cenderung kepada sarana dan prasarana lingkungan pemukiman Penduduk heterogen baik ditinjau dari suku maupun pekerjaan, namun dominan adalah pendatang dengan mata pencaharian PNS, TNI/POLRI, Karyawan, Buruh dan pedagang Terindikasi di seluruh Kelurahan informan, terungkap di Kelurahan Vim dan Awiyo r-----·r-------------------+-=~~~-~------------------Pola 4 Disusun pad a saat Usulan dibawa oleh masyarakat dan Mus bang langsung dibahas pada saat musbang Masyarakat diwakili oleh tokoh kelompoknya, seperti tokoh masyarakat, tokoh perempuan, tokoh pemuda, tokoh adat dan tokoh gereja Penduduknya homogen, merupakan penduduk lokal Kota Jayapura dengan mata pencaharian sebagai petani dan nelayan Cenderung usulannya berbentuk sarana dan prasarana lingkungan pemukiman dan bantuan ekonomi produktif Berlangsung hanya di seluruh Kampung Sumber: Analisis Data Pnmer 2004 1 Pola 3 Disusun RT/RW
2 oleh
Adanya berbagai pola penjaringan usulan masyarakat menunjukkan bahwa
terdapat
partisipasi
masyarakat
yang
bervariasi
di
dalam
95
menyampaikan usulannya.
Variasi dari partisipasi masyarakat dalam
menyampaikan usulannya ini disebabkan karena adanya kebosanan dari masyarakat menunggu realisasi dari hasil usulan mereka yang kurang ditanggapi oleh Pemerintah Kota Jayapura. Hal ini terungkap seperti yang disampaikan oleh Kepala Distrik Muara Tami dalam wawancaranya tanggal 21 Mei 2004 menyatakan bahwa: "Masyarakat sudah mulai jenuh dengan kegiatan Musbang dan Diskusi UDKP, sehingga sebagian masyarakat mulai apatis karena dari tahun ke tahun hanya musbang dan Diskusi saja tanpa ada realisasi dan dari tahun ke tahun yang diusul kegiatan itu-itu saja, juga belum terjawab, malahan ada indikasi salah satu Distrik rencananya tidak mau lagi melaksanakan Diskusi UDKP"
Demikian pula hasil wawancara dengan Sekretaris BP2K Kelurahan Gurabesi tanggal 8 Juni 2004 yang menyatakan bahwa: "Partisipasi masyarakat dalam penjaringan usulan masyarakat mulai terlihat kurang antusias sebab menurut mereka setiap tahun musbang dilaksanakan tapi usulan mereka tidak ada yang terjawab, namun karena ini adalah kegiatan pemerintah maka diwakilkan saja pada Ketua RWIRT yang menghimpun usulan masyarakat, karena mereka juga hidup bersama masyarakat".
walaupun kegiatan
terdapat
realisasi
kegiatan
di
kelurahan/kampung
namun
tersebut bukan merupakan usulan masyarakat tetapi program
kerja dinas ataupun dari pemerintah pusat.
Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian dari Goldsmith dan Blustain di Jamaika (dalam Ndraha 1987: 105) yang menemukan bahwa salah satu alasan masyarakat tergerak untuk berpartisipasi jika hasil partisipasinya memberikan manfaat langsung kepada masyarakat, khususnya dalam memenuhi kebutuhan mereka. Sejalan dengan argumen tersebut, hasil penelitian yang dilakukan Nasri
96
(1998), Umar (2003) dan Martawang (2003) diperolah bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain: pendidikan, pendapatan, jenis pekerjaan, motivasi individu, kemampuan lembaga masyarakat, komunikasi dan keberadaan pemimpin formal dan informal di masyarakat. Seperti yang ditunjukkan dalam tabel 7, terlihat bahwa secara umum tingkat pendidikan
penduduk Kota Jayapura terdapat 72,23%
yang
berpendidikan SMU ke bawah, tingkat pekerjaan yang membutuhkan waktu bekerja yang tetap dan juga adanya pekerjaan yang membutuhkan waktu yang tidak tetap menyebabkan kemampuan masyarakat untuk berkumpul mengeluarkan
pendapatnya
menjadi
terbatas,
adanya
kelembagaan
informal seperti RT/RW yang dipercaya oleh masyarakat menjadikan masyarakat menyerahkan sepenuhnya kepada kelembagaan tersebut, dan motivasi individu yang belum jelas karena tidak kelihatannya manfaat dari partisipasi masyarakat dalam berpartisipasi. Hasil penjaringan usulan masyarakat yang dilakukan pada tingkat masyarakat selanjutnya dihimpun di Kelurahan/Kampung melalui forum Musbang
menjadi
Kelurahan/Kampung.
daftar
usulan
masyarakat
di
masing-masing
Peserta yang hadir dalam forum musbang sudah
diatur dalam surat pemberitahuan dari Pemerintah tingkat Kota Jayapura .·
seperti: Ketua RT/RW, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda, tokoh perempuan dan tokoh agama.
97
Sesuai dengan amanat dari UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Peraturan Daerah Kota Jayapura No. 11 tahun 2002 tentang Badan Perencana Pembangunan Kampung/Kelurahan (BP2K)
pada pasal 3 yang mengisyaratkan bahwa BP2K berperan
membantu Kepala Pemerintahan Kampung (KPK) dan Kepala Kelurahan dalam
penyusunan
rencana,
pelaksanaan
dan
pendampingan
pembangunan di kampung/kelurahan dan dipertegas pada pasal 5 bahwa sebagai
wadah
perencanaan
partisipasi
pembangunan
masyarakat di
yang
berfungsi
kampung/kelurahan.
melakukan Sementara
kelembagaan Badan Perwakilan Kampung (BAPERKAM) yang dibentuk dengan Perda No. 10 tahun 2002 tentang Pemerintahan Kampung pada pasal 43 mengisyaratkan bahwa BAPERKAM merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila di Kampung,
yang
dipertegas pada pasal 44 menyatakan bahwa tugas dan wewenang BAPERKAM adalah melaksanakan proses pemilihan KPK, mengusulkan pengangkatan dan
pemberhentian
KPK dan menetapkan Peraturan
Kampung serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Kampung. Namun yang terjadi adalah BP2K hanya dibentuk di tingkat Kelurahan yang bertugas mendampingi Kepala Kelurahan dalam proses perencanaan di tingkat l(elurahan,
sementara di tingkat kampung
yang
dibentuk hanyalah
BAPERKAM yang telah berfungsi sebagai wahana demokrasi, namun ikut juga menangani perencanaan pembangunan yang seharusnya menjadi . tugas dari BP2K.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam masa peralihan
98
kelembagaan yang ada di masyarakat yang sebelumnya dikenal dengan LKMD dan LMD yang berubah menjadi BP2K dan BAPERKAM
masi~
dalam taraf penyesuaian. Kepercayaan masyarakat terhadap kelembagaan tersebut dalam melakukan perencanaan (BP2K dan BAPERKAM) masih menjadi pertanyaan, sebab usulan masyarakat yang selama ini belum mendapat respon yang signifikan dari Pemerintah Kota Jayapura. Menurut Goldsmith dan Blustain yang melakukan penelitian di Jamaika (dalam Ndraha, 1987: 105) berkesimpulan bahwa salah satu alasan masyarakat untuk berpartisipasi ditentukan oleh organisasi yang sudah dikenal
atau
bersangkutan.
yang
sudah
ada
ditengah-tengah
Selanjutnya Abe (2002:
masyarakat
yang
14-15) menjelaskan bahwa
kebijakan pemberian otonomi daerah hendak menuojukkan peluang daerah untuk menjalankan misi mendekatkan dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dengan segala potensi yang dimiliki, serta melalui otonomi daerah akan memperkuat daerah dalam kerangka menangkap aspirasi masyarakat terutama melalui institusi lokal untuk berfungsi. Sejalan dengan pola penjaringan aspirasi masyarakat (perencanaan di tingkat Kelurahan/Kampung), ternyata senapas dengan kesimpulan yang dibuat oleh PSKMP-UNHAS bahwa perencanaan desa (kampung) yang ada selama ini adalah perencanaan konvensional dengan ciri-ciri: (1) dilakukan untuk kepentingan akuntabilitas aparat, (2) pendanaan diberikan oleh pemerintah, (3) inisiatif perencanaan berasal dari pemerintah, (4) pada perencanaan ini masyarakat hanya berposisi sebagai diikutkan, (5) hasil
99
perencanaan lebih banyak ditentukan oleh pihak luar, (6) hasil perencanaan lebih banyak memperhatikan aspek ekonomi dan teknis, (7) dalam melakukan perencanaan menggunakan prosedur yang seragam dan •'
birokratis, (8) pelaksanaan perencanaan disesuaikan dengan kalender pembangunan pemerintah. Oleh karena itu, tawaran yang diberikan oleh PSKMP-UNHAS untuk memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk aktif berperan serta dalam perencanaan melalui perencanaan pembangunan lokal sosial partisipatori (Partisipatory local social development planning/PLSDP), yang dicirikan
dengan: (1) adanya pemberdayaan masyarakat lokal dalam menentukan arah pembangunan lokal, (2) adanya inisiatif perencanaan berasal dari masyarakat lokal, (3) pihak pemerintah sebagai. pihak luar berfungsi sebagai fasilitator, (4) usulan rencana ditentukan oleh masyarakat lokal, (5) dalam perencanaan memperhatikan kemampuan lokal dan aspek sosial, (6) pada pelaksanaan perencanaan menggunakan prosedur yang sederhana dan disesuaikan dengan kondisi lokal, (7) pelaksanaan perencanaan lebih sering dilaksanakan. Selanjutnya
pada
bula
Mei
2003
seluruh
Distrik
melakukan
penjaringan aspirasi masyarakat melalui forum Diskusi UDKP, yang menghimpun seluruh usulan masyarakat dari tingkat Kampung/Kelurahan. Demikian pula peserta yang hadir dalam forum Diskusi UDKP telah ditentukan seperti: Tim Asistensi dari Bappeda Kota Jayapura, Seluruh Lurah/KPK di masing-masing Distrik, Pengurus Baperkam dan BP2K, tokoh
100
adat, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh perempuan dan tokoh agama serta perwakilan Dinas/Unit Kerja yang berada di tingkat Distrik.
Seperti
yang terungkap pada illustrasi kasus di bawah ini.
Penjaringan Aspirasi Masyarakat di Distrik Jayapura Utara Seluruh usulan yang dijaring o/eh Lurah bersama dengan BP2K adalah merupakan hasil musyawarah di tingkat Ke/urahan, sementara pihak Distrik hanya ikut sebagai pendamping untuk memastikan tentang adanya kegiatan musbang di tingkat kelurahan. Hasil dari forum musbang dimasing-masing kelurahan se/anjutnya dibahas di tingkat Distrik da/am forum Diskusi UDKP dengan didampingi oleh Tim Asistensi dari Bappeda Kota Jayapura. Namun biasanya di tingkat Distrik yang dilakukan adalah merekap seluruh usu/an dari kelurahan dan digabung dengan usulan distrik, sehingga dapat dikatakan bahwa usulan distrik adalah penggabungan seluruh usulan kelurahan dan distrik tanpa ada yang terseleksi. Tidak dilakukannya penyeleksian di tingkat Distrik untuk menyeleksi usulan masyarakat karena dianggap bahwa seluruh usulan tersebut adalah merupakan kebutuhan masyarakat dan telah dibahas ditingkat kelurahan, sehingga usulan tersebut disepakati oleh forum untuk diteruskan ketingkat Rakorbang, dengan harapan bahwa biarlah pihak Pemerintah Kota Jayapura yang akan menyeleksi dari usulan yang banyak tersebut. Dalam kesepakan yang dibuat tersebut tidak terlihat adanya urutan prioritas dari usulan masyarakat, yang terjadi adalah menggabungkan usulan yang sama disatukan dengan lokasi yang berbeda-beda. (Disarikan dari hasil wawancara dengan Kepala Distrik Jayapura Utara, dan Mantan Sekretaris Distrik Jayapura Utara sekarang menjabat sebagai Lurah Yabansai Distrik Abepura)
Hal yang sama juga terungkap di Distrik Jayapura Selatan, yang hanya menghimpun usulan masyarakat ditambah dengan usulan yang menjadi kepentingan Pemerintahan Distrik, seperti dillustrasikan pada kasus di bawah ini.
101
Penjaringan Aspirasi Masyarakat di Distrik Jayapura Selatan Hasil musbang yang dikirim ke Distrik itulah yang dijadikan acuan didalam penyusunan daftar usulan hasil diskusi UDKP di tingkat distrik. Peserta yang diundang adalah Lurah/Kepala Pemerintahan Kampung, BP2K, Baperkam, Tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda, tokoh perempuan, perwakilan dari instansi yang berada di tingkat distrik dan Tim Asistensi dari Pemerintah Kota Jayapura (Bappeda Kota Jayapura). Pada tahun 2003 dalam pelaksanaan Diskusi UDKP, semua usulan dari kelurahanlkampung dibahas da/am 3 komisi yaitu: bidang fisik prasarana, bidang ekonomi dan bidang sosial budaya. Semua usulan direkap dan ditambahkan dengan usulan dari distrik dengan mempertimbangkan: kebutuhan masyarakat karena usulan tersebut diusulkan setiap tahun, dapat menimbulkan masalah jika tidak dilaksanakan dan merupakan usulan dari beberapa kelurahanlkampung. Hasil pembahasan itulah yang dijadikan daftar keluaran usulan Distrik Jayapura Se/atan yang dikirimkan ke tingkat Pemerintah Kota Jayapura melalui Bappeda Kota Jayapura untuk dipersandingkan dengan usulan dinas. Daftar usulan yang direkap tersebut menunjukkan tidak dirunut berdasarkan urutan prioritasnya, hal ini terlihat dalam daftar hasil Duskusi UDKP tersebut yang dibuat adalah menggabungkan -usulan masyarakat yang sama dengan lokasi yang berbeda. (Disarikan dari wawancara dengan Kepala Distrik Jayapura Selatan, Mantan Kepala Distrik Jayapura Selatan dan Sekretaris Distrik Jayapura Selatan)
Dari hasil dokumen Diskusi UDKP terlihat bahwa penyusunan usulan masyarakat, disusun berdasarkan kegiatan yang sama dengan lokasi yang berbeda, sehingga kurang menggambarkan usulan prioritas. Demikian pula di Distrik Abepura dan Distrik Muara Tami, juga menggambarkan hal yang sama,
namun dengan pola penyusunan
usulan berdasarkan lokasi
kelurahan yang diurut berdasarkan prioritas kegiatan perkelurahan. Hal ini tergambar dari illustrasi kasus di bawah ini.
102
Penjaringan Aspirasi Masyarakat di Distrik Abepura Proses yang dibangun tahun 2003 dalam menjaring usu/an masyarakat di Distrik Abepura sedikit berbeda dengan tiga distrik /ainnya, dimana sebelum pela/csanaan Diskusi UDKP diawali dengan Pra Diskusi UDKP yang didampingi oleh Tim Perform Project dari PDPP. Adanya pendampingan dari Tim Perform Project dimaksudkan sebagai upaya untuk memperbaiki kualitas penjaringan usulan masyarakat dengan mengedepankan partisipasi masyarakat. Pra Diskusi UDKP dimaksudkan sebagai langkah awal di dalam menghimpun usulan masyarakat yang dijaring melalui Kelurahan!Kampung. Dalam Pra Diskusi UDKP dimotori oleh Perform Project ini disampaikan bagaimana menjaring usulan masyarakat serta melakukan pembahasan awal mengenai prioritas dari usu/an masyarakat dan diberikan pengertian kepada utusan dari kelurahanlkampung bahwa sebaiknya yang diusulkan adalah yang benar-benar merupakan kebutuhan yang prioritas, sehingga tidak menutup kemungkinan adanya usu/an yang ditolak. Pelaksanaan Pra Diskusi UDKP selama satu hari yang dihadiri oleh seluruh KPK/Lurah, BP2K, Baperkam, Tokoh Perempuan, Tokoh agama, Tokoh adat, tokoh pemuc:Ja, aparat distrik, instansilunit kerja yang ada di distrik dan Tim Asistensi dari Bappeda Kota Jayapura. Selanjutnya hasil pembahasan dari Pra Diskusi UDKP diseleksi kembali di dalam Diskusi UDKP yang dimotori oleh Tim Asistensi Bappeda Kota Jayapura dan dihadiri oleh orang yang sama pada saat pelaksanaan Pra Diskusi UDKP. Dalam pembahasan prioritas usulan dibatasi dengan kriteria: merupakan kebutuhan masyarakat dari masing-masing kelurahanlkampung, sehingga masing-masing kelurahanlkampung mempunyai 1 atau 2 usulan prioritas. Namun dalam penyusunan urutan prioritas di tingkat distrik tidak dilakukan, yang dilakukan adalah menyusun prioritas dengan nomot urut berdasarkan Kelurahanlkampung, bukan merupakan rekap gabungan seluruh usulan kegiatan yang sama disatukan dengan lokasi yang berbeda. Walaupun ada seleksi terhadap usulan dari Kelurahan!Kampung, namun tidak terjadi yang mana yang menjadi usulan prioritas di tingkat distrik, sebab yang ada adalah urutan prioritas dari masing-masing kelurahanlkampung. Selanjutnya usulan masyarakat yang telah diseleksi tersebut direkap bersamaan dengan usu/an dari Pemerintah Distrik Abepura serta dari instansi yang ada di Distrik yang selanjutnya merupakan hasil diskusi UDKP Distrik Abepura yang dikirimkan ke Pemerintah Kota Jayapura mela/ui Bappeda Kota Jayapura.
103
(Disarikan dari hasil wawancara dengan Sekretaris Distrik Abepura, dan Ketua Tim Perform Project PDPP Kota Jayapura)
Hal yang sama juga terungkap dari Distrik Muara Tami, seperti yang tergambar dalam illustrasi kasus di bawah ini. Penjaringan Aspirasi masyarakat di Distrik Muara Tami Seluruh hasil musbang dihimpun oleh distrik untuk dibahas dalam forum Diskusi UDKP. Menurut Kepala Distrik Muara Tami (Wawancara tangga/21 Mei 2004): ubahwa 50%-70% usulan yang ada dalam hasil musbang adalah merupakan keinginan dari segelintir orang walaupun itu untuk memenuhi kepentingan orang banyak, usu/an tersebut hanya dibuat oleh kepala kampung dan beberapa tokoh masyarakat yang ada di kampung, sebagai contoh adanya usulan tentang penyambungan listrik, sementara listrik tingkat kesu/itannya tinggi ditambah Distrik Muara Tami terletak diujung Kota Jayapura yang sulit dijangkau menambah berat untuk dipenuhinya usu/an tersebut. Namun, karena semua usulan tersebut dari kelurahanlkampung sehingga kami hanya menerusksn untuk dibahas dan dipilih ditingkat Pemerintah Kota Jayapura. Sehingga usu/an dari Distrik Muara Tami adalah gabungan seluruh usu/an kelurahanlkampung ditambah dengan usulan dari pemerintah distrik". Dalam penyusunan usulan ditingkat distrik tidak terlihat adanya urutan prioritas, hal ini ditunjukkan dari dokumen hasil rekap usulan Distrik Muara Tami diurut berdasarkan usulan per kelurahanlkampung dengan usulan kebutuhan dari Pemerintah Distrik yang berada pada urutan di atas. (Disarikan dari hasil wawancara dengan Kepala Distrik Muara Tami, dan Mantan Sekretaris Distrik Muara Tami) Pen~·usunan
dokumen hasil Diskusi UDKP, yang tergambar dari
illustrasi kasus tersebut di atas diakibatkan dari tidak adanya keberanian moril dari Tim Pembahas dan Tim Asistensi di Tingkat Distrik untuk
104.
melakukan koreksi terhadap usulan masyarakat. Anggapan yang dibangun bahwa
seluruh
usulan
tersebut
telah
dibahas
di
tingkat
Kelurahan/Kampung, sehingga merupakan usulan kebutuhan masyarakat. Hal ini menjadikan kegiatan perencanaan menjadi kegiatan formalitas yang kurang memberikan manfaat kepada masyarakat. Hal ini menjadikan hasil perencanaan tidak dapat dijadikan sebagai alat dari pembangunan dan pembangunan sebagai tolok ukur dari berhasil tidaknya perencanaan yang dilakukan.
Sebagaimana yang dikemukakan
oleh Soekartawi (1990: 24) bahwa perencanaan menjadi penting karena dapat dijadikan sebagai alat dari pembangunan dan dijadikan sebagai tolok ukur dari keberhasilan perencanaan itu sendiri. Lebih lanjut dikemukakan bahwa sebagai alat, perencanaan memiliki keunggulan komprehensif yaitu: (a) dijadikan pedoman dalam pelaksanaan pembangunan; (b) penentu di dalam
penggunaan
berbagai
alternatif
dari
berbagai
kegiatan
pernbangunan; (c) sebagai penentu skala prioritas kegiatan; dan (d) sebagai alat peramalan (forecasting) dari kegiatan pada masa yang akan datang. Hasil dari Diskusi UDKP di masing-masing Distrik diserahkan oleh Walikota Jayapura kepada masing-masing Dinas/Unit Kerja di lingkungan Pemerintah Kota Jayapura untuk dapat menjadi bahan pertimbangan di dalam menyusun program kerja tahun 2004 sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
Persandingan antara usulan masyarakat yang tertuang
105
dalam dokumen UDKP dan usufan Dinas/Unit Kerja difakukan pada saat . Pra-Rakorba ng. Harapan yang
dibangun dengan
persandingan tersebut bahwa
nantinya pada saat pefaksanaan Rakorbang Bulan Juni 2003, yang difakukan hanyafah mengintegrasikan dan mensikronkan seluruh usulan Dinas/Unit Kerja di lingkungan Pemerintah Kota Jayapura dengan visi dan misi Pemerintah Kota Jayapura.
Dari hasil Rakorbang itulah yang di
dalamnya telah tercakup usulan masyarakat yang dibangun melalui forumforum perencanaan pembangunan yang diajukan untuk diakomodasi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Jayapura Tahun Anggaran 2004. Walaupun terlambat datangnya pedoman pelaksanaan penjaringan aspirasi
masyarakat,
pelaksanaanya
telah
namun
Pemerintah
mengikuti
Kota
mekanisme
Jayapura
penjaringan
dalam aspirasi
masyarakat sesuai dengan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 050/987/SJ tanggal 5 Mei 2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Forum Koordinasi Pembangunan Partisipatif. Mekanisme penjaringan aspirasi masyarakat yang dibangun tersebut diatas telah sejalan dengan amanat dari UU Nomor 22/1999 yang menyatakan
bahwa
daerah
berwenang
mengatur
dan
mengurus.
kepentingan masyarakatnya menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakatnya dan UU Nomor 21/2001 yang memberikan kewenangan
,I
106
•I
khusus bagi Provinsi Papua untuk mengurus daerahnya dalam bingkai NKRI. Demikian pula dengan pendapat Salman (2001) yang menyatakan bahwa perkembangan peranan masyarakat saat ini diarahkan kepada pendekatan partisipatoris yaitu pendekatan untuk menghantar masyarakat menjadi pelaku utama pembangunan. Sejalan dengan pemikiran tersebut Riyadi dan Bratakusumah (2002) menyatakan bahwa perlunya partisipasi dan
dialog,
proses
desentralisasi
pembangunan
dan
optimalisasi
pemberdayaan daerah jika ingin meningkatkan peran masyarakat dalam membangun daerahnya. Menurut Syahroni (2002) bahwa perencanaan daerah tidak boleh terisolasi secara vertikal karena memiliki hubungan keterkaitan dan interaksi secara vertikal, misalnya dengan perencanaan di dan ditingkat sub daerah (Kecamatan atau Desa).
t~ngkat
nasional
Demikian pula Abe
(2002: 16-17) menyatakan bahwa kualitas otonomi sangat ditentukan oleh sejauhmana keterlibatan masyarakat melalui adanya saluran aspirasi masyarakat di dalam menyampaikan pokok-pokok harapan, kebutuhan dan kepentingan dasarnya. Perencanaan
pembangunan
pada
hakekatnya
adalah
suatu
rangkaian pengelolaan usulan masyarakat, melalui suatu mekanisme atau sistem perencanaan yang terstruktur dan terlembagakan serta didukung . oleh kapabilitas sumber daya manusia yang terlibat di dalam proses perencanaan tersebut.
Mekanisme perencanaan yang baik adalah yang
107
memberikan ruang yang luas kepada seluruh stakeholders (pemangku kepentingan), untuk dapat terlibat di dalamnya serta tidak memberikan rasa canggung kepada stakeholders untuk berencana. Dari hasil penelitian, diperoleh bahwa secara kelembagaan telah diberikan ruang kepada masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya atau usulannya dalam pembangunan melalui saluran yang telah di atur mekanismenya. Saluran tersebut di mulai dari penjaringan usulan di tingkat Musbang, lalu dilanjutkan dengan persandingan usulan masyarakat dalam satu Distrik pada forum Diskusi UDKP, dan selanjutnya dijaring aspirasi tersebut oleh Dinas/Unit Kerja di lingkungan Pemerintah Kota Jayapura melalui forum Rakorbang. Hal ini mengisyaratkan bahwa mekanisme. yang dibangun dalam rangka menjadi saluran aspirasi masyarakat telah sejalan dengan otonomi daerah dan perubahan paradigma pembangunan yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan, namun
memiliki
kelemahan
yaitu:
(1)
belum
optimalnya
pelibatan
masyarakat dalam penjaringan usulan, sebab yang terjadi kemudian adalah usulan masyarakat tersebut disusun secara perwakilan yang belum tentu representasi mewakili masyarakatnya; (2) belum adanya aspek legal yang mendukung pelaksanaan penjaringan aspirasi masyarakat, sebab masih tingginya ketergantungan daerah terhadap aspek petunjuk pelaksanaan Ouklak) dari pusat hanya untuk melakukan kegiatan penjaringan aspirasi masyarakatnya sendiri.
Sebaiknya daerah mengeluarkan Peraturan
108
Daerah (Perda) yang mengatur kelembagaan mekanisme penjaringan aspirasi masyarakat, agar dapat lebih menjamin dan mengikat bagi semua komponen untuk terlibat; (3) mekanisme penjaringan aspirasi atau usularf masyarakat terkesan kaku dan membosankan, sehingga masyarakat menjadi canggung untuk berpartisipasi, sebab tidak pernah mengalami perubahan
yang
masyarakat,
berarti
sementara
di tidak
dalam
melakukan
semua
penjaringan
masyarakat
mampu
usulan untuk
berkomunikasi apabila dilaksanakan dalam ruang yang penuh dengan formalitas;
(4) adanya kebosanan dari masyarakat dengan kegiatan
penjaringan usulan masyarakat ini, dikarenakan kurang dirasakannya manfaat dari pelaksanaan penjaringan tersebut.
Hal ini diukur dengan
kurang atau bahkan tidak terjawabnya usulan masyarakat selama ini, .. sehingga menimbulkan rasa tidak memiliki (apatis) dad· masyarakat terhadap kegiatan pembangunan yang diturunkan oleh Pemerintah, karena merasa itu bukan usulan dan kebutuhan mereka.
C. KUALITAS USULAN MASYARAKAT Usulan
masyarakat yang disampaikan dalam forum
Musbang
ditingkat Kampung/Kelurahan adalah merupakan kebutuhan masyarakat yang tidak dapat ditawar-tawar, sehingga dengan asumsi tersebut dalam forum Diskusi UDKP di tingkat Distrik hanya melakukan penggabungan atau
menghimpun
usulan
masyarakat tersebut untuk diteruskan ke
pembahasan di Rakorbang di tingkat Kota Jayapura
!09··
Penggalian
usulan
Kampung/Kelurahan,
masyarakat
yang
dilakukan
oleh
BP2K
untuk
dikoordinir
BAPERKAM untuk Kampung.
dari
tingkat
Kelurahan
dan
Terungkap bahwa usulan masyarakat
diangkat dari permasalahan dan merupakan kebutuhan masyarakat. Hal ini terlihat dari illustrasi kasus berikut ini. Kualitas Usulan Masyarakat di Tingkat Kelurahan Hasil wawancara dengan seluruh informan yang ada di ke!urahan menunjukkan bahwa proses mengidentifikasi masalah dan kebutuhan masyarakat di tingkat kelurahan dilakukan secara sederhana dengan beberapa cara yaitu: (1) hasil musyawarah bersama masyarakat dalam pertemuan rutin seperti arisan RTIRW (Kelurahan Koya Timur); (2) penyampaian secara lisan oleh masyarakat kepada Ketua RTIRW tentang kondisi lingkungan yang bermasalah (semua kelurahan informan); (3) hasil penglihatan dari Ketua RTIRW sendiri karena hidup bersama warganya (semua kelurahan informan); (4) Adanya peninjauan /okasi dari aparat BP2K terhadap usulan masyarakat (semua kelurahan informan). Oi tingkat RTIRW tidak dilakukan penentuan prioritas usulan, namun yang dilakukan adalah penghimpunan usulan masyarakat. Penentuan usulan masyarakat dalam urutan prioritas ditentukan di tingkat Kelurahan pada sa at forum Musbang dengan kriteria : (1) merupakan kebutuhan masyarakat banyak karena akan ada banyaK masyarakat yang akan menikmati hasilnya; (2) tingkat urgensinya atau kemendesakan dari masalah tersebut; (3) dapat menimbulkan masalah lain jika tidak ditangani; (4) terdapat potensi untuk mendukung usulan tersebut; (5) sejalan dengan prioritas dan visi, misi Pemerintah Kota Jayapura. Selama pelaksanaan penjaringan aspirasi masyarakat, kelembagaan yang ada seperti PKK, Karang Taruna dan organisasi di tingkat lokal kurang berperan untuk memberikan masukan bagi penyempurnaan usulan masyarakat, sebab kelompok-kelompok tersebut ikut terlibat melalui ketua atau pengurusnya untuk mengusulkan kegiatanlprogram yang menjadi kepentingan kelompoknya. Sementara itu Tim pendamping dari tingkat Pemerintah Kota tidak pernah sampai di Kelurahan karena hanya berada di tingkat Distrik pada saat Diskusi UDKP, dan yang turun melakukan pendampingan adalah dari aparat distrik yang mewakili Kepala Distrik namun tidak memberikan pengaruh
110
terhadap kualitas proses penjaringan karena tidak dibekali dengan kemampuan wawasan perencanaan yang memadai. (Disarikan dari hasil wawancaran dengan Lurah Awiyo, Lurah Vim, Lurah Gurabesi, Lurah Tanjung Ria, Lurah Koya Timur, Sekretaris BP2K Kelurahan Koya Timur, Ketua BP2k Kelurahan Awiyo, Ketua BP2K Kelurahan Vim, Sekretaris BP2K Kelurahan Gurabesi, l
Ha: yang sama juga terjadi untuk tingkat Pemerintahan Kampung, walaupun penyampaian dan pembahasan usulan dilaksanakan pada saat pelaksanaan
Musbang,
namun
merupakan
kebutuhan
masyarakat.
Sebagaimana tergambar dari illustrasi kasus di bawah ini. Kualitas Usulan Masyarakat di Tingkat Kampung Kampung-kampung yang menjadi unit · penelitian adalah merupakan wilayah dengan penduduk yang homogen (Penduduk asli Kota Jayapura) dan menempati pemukiman yan'fj terpusat atau mengumpul dengan struktur pemerintahan kampung tidak lebih dari 2 RW. Dengan kondisi yang demikian menjadikan kegiatan penjaringan aspirasi masyarakat dilakukan dengan sangat sederhana dan tidak memakan waktu yang lama. Proses mengidentifikasi masalah hingga menjadi usulan programlkegiatan dilakukan pada saat musbang di tingkat kampung. Hal ini dilakukan karena asumsi mereka bahwa penduduk sedikit dan permasalahan yang ada dimasyarakat dirasakan dan dilihat secara bersama-sama. Walaupun demikian pada saat musbang yang hadir adalah RTIRW, tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh gereja, tokoh perempuan, tokoh pemuda, Baperkam dan sebagian masyarakat, namun yang banyak berperan memberikan usulan adalah perwakilan dari kelompok yang ada sementara masyarakat biasa hanya mendengar. Masing-masing kelompok membawa usulanr.ya, Ketua RTIRW membawa usulan lingkungannya, tokoh adat membawa usulan tentang kegiatan adat, tokoh gereja membawa usulan untuk kepentingan gereja, tokoh perempuan membawa usulan untuk kepentingan PKK, Tokoh pemuda membawa usulan untuk kepentingan pemuda sementara
III
Baperkam bersama-sama dengan Kepala Pemerintahan Kampung (KPK) menjadi pengatur jalannya proses musbang. Penentuan usulan masyarakat dilakukan dengan kriteria: (1) kemendesakan kebutuhan masyarakat; (2) merupakan kebutuhan masyarakat banyak; (3) dapat menimbulkan masalah lain jika tidak ditangani; dan (4) terdapat potensi yang mendukung usu/an tersebut. Seluruh usulan tersebut adalah merupakan kebutuhan masyarakat, sehingga penomoran dalam urutan usulan bukan merupakan hal mutlak dalam penentuan prioritas. Sarna halnya dengan di tingkat kelurahan, maka di musbang di tingkat kampung juga tidak mendapat pendampingan dari Tim asistensi semua mumi merupakan usulan pemikiran dari masyarakat. Demikian pula kelembagaan yang ada ditingkat lokal juga ikut mengusulkan sesuai dengan kepentingannya selain mengusulkan kegiatanlprogram untuk kepentingan seluruh masyarakat kampung. (Disarikan dari hasil wawancara dengan KPK Skouw Yambe, Pit KPK Nafri, KPK Nafri Demisioner, Sekretaris Kampung Tobati, Sekretaris Kampung Skouw Yambe, Tokoh perempuan Skouw Yambe, Tokoh Adat Skouw Yambe, dan Ketua Baperkamp Tobati)
diperoleh simpulan bahwa dalam menyusun prioritas usulan masyarakat dilakukan dengan kriteria: (1) merupakan kebutuhan masyarakat ban yak karena diusulkan oleh beberapa RT/RW, kelompok masyarakat dan kelurahan/kampung,
(2) dapat menimbulkan masalah lain jika tidak
ditangani, (3) terdapat potensi untuk mendukung usulan tersebut, (4) sejalan dengan visi dan misi Pemerintah Kota Jayapura. Dengan
menempatkan ukuran diatas terhadap Kualitas usulan
masyarakat, yang diartikan sebagai ukuran kemampuan masyarakat didalam menyampaikan usulan yang memenuhi kriteria untuk suatu usulan yang baik dan benar.
Kriteria usulan yang baik dan benar adalah:
merupakan kebutuhan orang banyak, diangkat dari permasalahan di masyarakat, dapat menimbulkan masalah lain kalau tidak ditangani,
112
merupakan hasil analisis yang mendalam, dan menjawab visi dan misi daerah. Dengan
demikian
rnasyarakat masih
dapatlah
rendah,
disimpulkan
walaupun
bahwa
kualitas
memenuhi kriteria:
usulan
merupakan
kebutuhan banyak orang, diangkat dari permasalahan di masyarakat, dapat menjawab visi dan misi daerah namun belum merupakan hasil analisis yang . mendalam terhadap usulan tersebut dan kurang melibatkan orang banyak dalam penQusulannya. Hal ini dikarenakan dari beberapa hasil wawancara dengan responden terdapat bahwa usulan tersebut dibuat oleh ketua RT/RW dan pengatasnamaan dari kelompok tertentu, seperti kelompok perempuan padahal itu merupakan usulan ketuanya saja. Proses penggalian usulan masyarakat di tingkat distrik hanyalah merupakan kegiatan penggabungan usulan masyarakat, .. sebagaimana tersirat dari illustrasi kasus di bawah ini. Kualitas usulan di tingkat Oistrik Pelaksanaan penjaringan usulan atau proses se/eksi usulan masyarakat di tingkat Oistrik /ebih merupakan hasil penggabungan seluruh usulan dari Kelurahanlkampung di tambah dengan usulan dari Pemerintahan Distrik serta instansi yang setingkat distrik. Pembahasan kadangkala hanya melihat seberapa banyak kelurahanlkampung mengusulkan sesuatu kegiatan yang sama, maka dapat dianggap prioritas di tingkat kampung, sementara kadang usulan Pemerintahan Distrik lebih dominan dari usulan masyarakat. Usulan dari Pemerintahan Distrik lebih merupakan program kerja yang disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsinya, yang sebenarnya hal tersebut tidak perlu diusulkan karena merupakan tugas rutin dari Pemerintahan Distrik. Lebih lanjut bahwa sural penyampaian dari Pemerintah Kota Jayapura tentang pelaksanaan Diskusi UDKP yang memuat batasan usulan yang akan disampaikan kadang kurang mendapat perhatian,
113
seperti dikatakan di alas lebih merupakan penggabungan usulan dari kelurahan/kampung. Kondisi ini terjadi lebih merupakan karena belum optimalnya pendampingan yang dilakukan oleh Tim Asistensi dari Bappeda Kola Jayapura. Tim asistensi kurang berperan secara efektif, sebab di dalam pendampingan tidak memberikan penjelasan yang pasti tentang prioritas-prioritas pembangunan dan tidak memberikan jawaban yang memuaskan tentang kenapa usulan masyarakat tidak terjawab. Akibat kurang efektifnya kerja tim asistensi, sehingga yang terjadi adalah menghimpun kembali seluruh usulan untuk dibawa ketingkat rakorbangda. Tim asistensi belum optimal didalam melakukan pendampingan pada pelaksanaan diskusi UDKP, seharusnya Diskusi UDKP adalah gawenya distrik oleh karenanya yang harus memimpin itu kepala distrik, sementara tim asistensi membantu dengan memberikan arahan tentang program dan prioritas pemerintah kola serta memberikan batasan-batasan di dalam melakukan pengusulan kegiatanlprogram, hal ini kurang dilakukan, terutama di dalam memberikan arahan prioritas pembangunan daerah, membantu di dalam melakukan seleksi terhadap usulan masyarakat, sehingga yang terjadi adalah seluruh usulan hasil musbang direkap kembali dan digabung dengan usulan distrik menjadi usu/an hasil Diskusi UDKP. (Disarikan dari hasil wawancara dengan Sekretaris Bappeda Kola Jayapura, Kasubbid Pengendalian Program Bappeda Kola Jayapura, Kepala Distrik Jayapura Utara, Kepala Distrik Jayapura Selatan, Kepala Distrik Muara Tami)
lllustrasi kasus tersebut di atas, menggambarkan bahwa kualitas penggalian usulan masyarakat di tingkat Distrik tidak lebih baik dari tingkat Kampung/Kelurahan.
Hal ini dikarenakan, di tingkat distrik hanyalah
melakukan penggabungan usulan tanpa melakukan seleksi terhadap kebutuhan dan permasalahan masyarakat yang ada di distrik. Diperhadapkan dengan usulan ~·ang disusun oleh Pemerintah Kota Jayapura yang dijabarkan oleh Dinas/Unit Kerja, secara umum dapat dikatakan lebih baik dibanding usulan masyarakat.
Hal ini disebabkan
114
dalam penyusunan usulan di tingkat Dinas/Unit Kerja di lingkungan Pemerintah Kota Jayapura telah diatur dengan petunjuk pelaksanaan yang jelas. Setiap usulan dari dinas/unit kerja harus mengacu kepada: visi dan misi Pemerintah Kota, Arah dan Kebijakan Umum Pemerintah Tahun 2004, Strategi dan prioritas APBD tahun 2004, disesuaikan dengan Tugas Pokok dan Fungsinya masing-masing, dan penganggarannya mengacu kepada Standar Analisa Belanja yang telah dikeluarkan, menyangkut kepentingan orang banyak dan memiliki dampak yang luas.
Untuk ringkasnya
perbandingan
dari
kualitas
usulan
antara
usulan
masyarakat
(Kelurahan/kampung) dengan usulan dari Pemerintah Kota Jayapura (Dinas/Unit Kerja) dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 16. Perbandingan Kualitas Usulan Masyarakaf dengan usulan Dinas di lingkungan Pemerintah Kota Jayapura Kriteria usulan - - ____l)_sular:!_ Masyarakaj_ __ -·--- Usulan Dinas -1 2 3 - Keterlibatan Kurang melibatkan Kurang melibatkan masyarakat dalam masyarakat, diwakili masyarakat mengusul - Jangkauan Masyarakat - untuk kepentingan penerima manfaat dilingkungan pengusul kelembagaan usulan - untuk masyarakat luas - Dasar rujukan - permasalahan masy - visi dan misi usulan - visi dan misi Pemerintah Kota Pemerintah Kota - AKU, Strategi dan Prioritas APBD - Tupoksi Dinas - Permasalahan masy. Melalui Dok. UDKP - Keterkaitan usulan - terdapat keterkaitan, - Terdapat keterkaitan, dengan yang lain namun dengan untuk wilayah yang jangkauan yang luas sempit
115
1
3
2
- Penggunaan alat analisa
- yang dirasakan masyarakat
- Mekanisme penyusunan
- kurang terinci, berisi usulan program/kegiatan dengan pendanaan yang belum akurat Sumber: Diolah dari data primer, Juni 2004
- Dianalisa sesuai program prioritas dan dokumen perencanaan - Terinci, berisi usulan program/kegiatan, besarnya dana sesuai SAB dan sumber pendanaan
Kondisi penggalian usulan seperti tersebut di atas adalah merupakan· sesuatu yang sering terjadi baik pada pada era sentralisasi maupun desentralisasi.
Seperti yang digambarkan oleh Najib (2001) bahwa
beberapa permasalahan perencanaan dari segi proses maupun hasilnya yang
selama
ini
berkembang
perumusan/penyusunan
di
perencanaan
era
desentralisasi
pembangunan
adalah:
daerah
(1)
hanya
terbatas pada instansi-instansi pemerintah saja; (2) prioritas pembangunan daerah tidak mencakup rencana strategis jangka panjang, tetapi berubah berdasarkan prioritas yang ditetapkan oleh Kepala Daerah (atau bersama dengan
DPRD);
(3)
pendekatan
perencanaan
partisipatif di
tingkat ..
Desa/Kelurahan tidak berkelanjutan dan tidak bersambung ke tingkat perencanaan pembangunan di atasnya;
(4) masyarakat tidak berminat
untuk berpartisipasi dalam perencanaan. (5) tidak tersedianya penjelasan mengenai tingkat, cakupan dan cara partisipasi masyarakat dengan perencanaan yang efektif; (6) tidak adanya dialog yang efektif antar pelaku pembangunan dalam perencanaan;
(7) kurang akurat dan validnya data
yang tersedia untuk pembuatan kebijakan dan perencanaan.
116
Selain faktor-faktor tersebut di atas, rendahnya kualitas usulan masyarakat juga dikarenakan tidak adanya Sumberdaya Aparat di tingkat Kelurahan/kampung dan Distrik yang memiliki kemampuan melakukan·· perencanaan yang baik, belum adanya petunjuk pelaksanaan Uuklak) mengenai penjaringan aspirasi masyarakat di tingkat Kelurahan/kampung, belum optimalnya pendampingan yang dilakukan oleh Tim Asistensi dari Pemerintah
Kota
Jayapura
(Bappeda
Kota
Jayapura)
pelaksanaan Diskusi UDKP, dan tidak adanya
pada
saat
Tim Asistensi yang
melakukan pendampingan pada tingkat Musbang di Kelurahan/Kampung. Hal ini dapat diperbaiki apabila dilakukan pendampingan yang mantap dari
aparat
perencana
penjaringan aspirasi
kepada
masyarakat
masyarakat.
pada
saat
melakukan
Selama ini - Tim Asistensi
yang
mendampingi pada saat Diskusi UDKP kurang memberikan peran yang signifikan terhadap penjaringan usulan masyarakat. Sehingga yang terjadi selama ini baik di tingkat Kelurahan/Kampung maupun pada tingkat Distrik adalah penjumlahan usulan masyarakat tanpa ada proses untuk melakukan seleksi yang
~etat
terhadap usulan tersebut.
Dalam memberikan ruang
bagi partisipasi masyarakat untuk melakukan perencanaan perlu diberikan aspek legalitasnya sebagai upaya untuk melembagakan pelaksanaan penjaringan aspirasi masyarakat dan memiliki kekuatan hukum untuk mendapat perhatian dari Pemerintah atasan, serta memberikan pelatihan kepada aparat di tingkat kelurahan/kampung untuk dapat mengenali masalah dan kebutuhan masyarakatnya.
I I7
Sejalan dengan permasalahan penggalian usulan masyarakat tersebut di atas, maka PSKMP-UNHAS (2002) menawarkan kerangka konseptual proses perencanaan pembangunan desa (kampung), yaitu kerangka konseptual PLSDP.
Konsep ini lebih menekankan pada bagaimana
melakukan suatu pelaksanaan perencanaan di tingkat kampung/desa, yaitu: pertama, Analisis situasi sekarang. Pada tahap ini keadaan masa lalu dan sekarang dikaji secara bersama, dengan tetap memperhatikan aspek sumberdaya (resources), organisasi (organization) dan norma (norm) yang ada pada masyarakat lokal; kedua, analisis situasi masa depan.
Pada
tahapan ini dilakukan untuk menetukan arah pembangunan masa datang yang disepakati bersama oleh seluruh stakeholder; ketiga, formulasi rencana. Pada tahap ini dibuat daftar rencana kegiatan, yang selanjutnya dikaji dan dirangking berdasarkan prioritas kepentingan ·ctengan tetap memperhatikan aspek ekonomi, issu gender dan aspek sosiallainnya serta· sumberdaya-organisasi-norma; dan keempat, strategi berkelanjutan. Tahap ini
dilakukan
strategi
yang
tepat
untuk
mempertahankan
pembangunan dapat berjalan secara berkesinambungan.
agar
Diharapkan
dengan strategi ini akan melahirkan perbaikan dan pengembangan kapasitas kemampuan
pengorganisasian masyarakat
diri
untuk
(self-organizing
melakukan
capability),
penyesuaian
yakni
terhadap
perubahan pada unsur-unsur sumberdaya, organisasi, dan norma yang terjadi sebagai hasil dari pembangunan sosial yang dilakukan.
118
D. APBD DAN ASPIRASI MASYARAKAT Proses penyusunan APBD Kota Jayapura untuk tahun 2004 telah mengikuti
sistim
anggaran
berbasis
kinerja
yang
tertuang
dalam
Kepmendagri Nomor 29/2001. Dimana APBD yang disusun berdasarkan pendekatan kinerja, adalah suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan.
Berdasarkan pendekatan kinerja, APBD
disusun berdasarkan pada sasaran tertentu yang hendak dicapai dalam satu tahun anggaran.
Oleh karena itu, dalam rangka menyiapkan
Rancangan APBD, Pemerintah Daerah bersama-sama DPRD menyusun Arah dan Kebijakan Umum APBD yang memuat petunjuk dan ketentuanketentuan umum yang disepakati sebagai pedoman dalam penyusunan APBD. Prosesnya dimulai dengan penyusunan Arah dan Kebijakan Umum (AKU) yang merupakan kesepakan antara Pemerintah dengan DPRD Kota Jayapura. AKU ini adalah merupakan hasil kerja yang dilakukan baik oleh eksekutif maupun legislatif. Pihak eksekutif (Pemerintah Kota Jayapura) melakukan penjaringan aspirasi masyarakat melalui tiga cara yaitu mendengarkan keluhan langsung masyarakat melalui media massa yang ada di Kota Jayapura (RRI dan Koran lokal), melalui forum yang memang diperuntukkan untuk membahas AKU (dilakukan secara perwakilan melalui tokoh-tokoh masyarakat), dan melalui dokumen hasil Diskusi UDKP dan Rakorbang tahun 2003.
Sementara oleh legislatif dilakukan melalui
119
kegiatan reses sebelum memasuki masa siding selanjutnya dan anggota •..•
legislatif juga turut ambil bagian pada saat forum pembahasan AKU bersama masyarakat. Hasil penjaringan tersebut di atas, selanjutnya dirumuskan oleh Tim Perumus, yang beranggotakan eksekutif, legislatif, tokoh masyarakat, Perguruan Tinggi dan LSM, dengan tetap mengacu pada kebijakan nasional
serta
sebelumnya.
dokumen
perencanaan
daerah
yang
telah
disusun
Selanjutnya draft hasil rumusan oleh tim tersebut kembali
disampaikan kepada masyarakat melalui tokoh-tokoh masyarakat untuk mendapat tanggapan, sebelum akhirnya ditetapkan dan disepakati oleh eksekutif dan legislatif menjadi dokumen AKU Kota Jayapura tahun 2004. Proses penyusunan AKU ini bila dikaitkan dengan pedoman perencanaan P50 dan Surat Edaran Mendagri Nomor: 050/987/SJ tanggal 5 Mei 2003, maka dapatlah dimasukkan bahwa proses penjaringan usulan masyarakat melalui forum musbang, diskusi UDKP dan Rakorbang dimasukKan sebagai bahan pertimbangan dalam penjaringan aspirasi masyarakat untuk penyusunan AKU.
Oleh karena itu, mekanisme
penjaringan usulan masyarakat melalui forum-forum musbang masih dapat digunakan sebagai salah satu jalan dan bahan pertimbangan untuk penyusunan AKU, sebab hasil musbang adalah berupa program/kegiatan tahunan yang diusulkan untuk dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Oleh karenanya terdapat dua fungsi dari hasil musbang yaitu sebagai bahan masukan untuk penyusunan AKU Kota Jayapura dan juga sekaligus
120
sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kota Jayapura melalui Dinas/unit kerja di dalam menyusun usulan kegiatan dan program kerjanya, yang akan dimuat dalam Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK) masing-masing dinas/unit kerja. Hasil dari AKU ini dijadikan acuan di dalam penyusunan Strategi dan Prioritas APBD oleh Walikota. Selanjutnya Kepala Daerah meminta kepada setiap Dinas/Unit Kerja untuk menyusun usulan program, kegiatan dan anggaran yang dituangkan dalam dokumen Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK).
Dalam suratnya tersebut disampaikan bahwa dalam
penyusunan RASK Dinas/Unit Kerja mengacu kepada: (1) AKU Pemerintah Kota Jayapura tahun 2004; (2) Strategi dan Prioritas APBD Pemerintah Kota Jayapura tahun 2004 dan; (3) visi, misi dan tugas pokok dan fungsi· dari masing-masing unit kerja. Dari
hasil wawancara dengan informan didapat bahwa usulan
masyarakat telah diupayakan untuk diakomodasi dalam RASK dinas/unit kerja yang
disesuaikan
dengan
prioritas dinas masing-masing
dan
merupakan hasil rakorbang tahun 2003, seperti tergambar dari illustrasi kasus di bawah ini: (lihat lampiran 2 kasus: 18) Usulan Masyarakat dalam Program Kerja Dinas/Unit Kerja Dinas/Unit Kerja di lingkungan Pemerintah Kota Jayapura di dalam menyusun program kerja atau usulan kegiatannya senantiasa mengacu kepada pencapaian visi dan misi Pemerintah Kota Jayapura mela/ui Renstra Dinas, Tugas pokok dan fungsi masing-masing dinas serta usulan masyarakat baik yang disampaikan secara langsung melalui surat dan proposal maupun melalui hasil diskusi UDKP dari masing-masing distrik.
121
Secara umum usulan masyarakat lebih banyak diarahkan kepada bidang fisik prasarana seperti jalan, jembatan, lampu jalan dan prasarana pemukiman, kemudian bidang ekonomi produktif seperti bantuan modal usaha, bidang pendidikan seperti pembangunanlrehabilitasi gedung sekolah, dan bidang kesehatan seperti permintaan pengobatan massal dan pembangunan puskesmas. Berdasarkan bidang usulan tersebut, sebenamya usulan masyarakat telah terangkum dalam usulan dinaslunit kerja namun ditempatkan dalam urutan di bawah urutan kegiatan dinas, dengan alasan bahwa usulan masyarakat biasanya hanya menyangkut disekitar lingkungannya sementara prioritas daerah berada pada wilayah atau lokasi yang menjadi wilayah pengembangan Kota Jayapura, usulan masyarakat biasanya bersifat umum/kurang spesifik sehingga masih harus diuraikan lebih lanjut oleh dinas, seperti adanya usulan bantuan ekonomi produktif, sehingga yang menjadi alasan kurang terakomodasinya usu/an masyarakat adalah terbatasnya dana, adanya kebijakan Pemerintah Kota yang harus diselesaikan, adanya kepentingan dinaslunit kerja, belum sejalannya usulan masyarakat dengan prioritas daerah. Selanjutnya belum optimalnya tim pembahas di dalam melakukan pembahasan dan seleksi terhadap seluruh usulan, karena tim tidak diberikan batasan plafon .dana yang dapat diafektasikan untuk belanja pembangunan tahun berikutnya, ditambah lagi dalam pembahasan usulan biasanya dari-dinaslunit kerja berkeras dengan usulannya dengan menyatakan bahwa usulan mereka telah disetujui oleh Walikota atau DPRD. Hal ini mengakibatkan kerja tim pembahas menjadi kurang efektif, sebab terkesan membiarkan semua usulan untuk dihimpun kembali tanpa seleksi yang ketat. (Disarikan dari hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kesehatan Kota Jayapura, Kepala Dinas Pertanian Kota Jayapura, Kasubdin Penyusunan Program Dinas Perikanan Kota Jayapura, Kasubdin Program Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kota Jayapura, Kasubdin Perencanaan dan Evaluasi Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Jayapura, Kasubdin Perencanaan Perkotaan Dinas Pekerjaan Umum Kota Jayapura, Kasubdin Penyusunan Program dan Evaluasi Dinas Koperasi dan PKM Kota Jayapura dan Kepala UPTD Kehutanan Kota Jayapura dan Kepala Bidang Sarana Prasarana Bappeda Kota Jayapura)
RASK yang telah disusun sebelum diajukan kepada legislatif untuk dibahas, dilakukan pembahasan terlebih dahulu di tingkat Tim Pembahas
122
Pemerintah Kota Jayapura (yang terdiri dari unsur Bappeda dan unsu~. Bagian Keuangan). Pembahasan dilakukan untuk mensinkronkan kembali usulan program/kegiatan dinas dengan AKU dan strategi dan prioritas daerah 2004 serta mengarahkan tentang penyusunan RASK yang benar. Sesuai dengan hasil wawancara dengan Kabag Keuangan SetKota Jayapura tanggal 24 Mei 2004 didapatkan bahwa: sebelum pembahasan program kegiatan yang akan diusulkan ditempuh beberapa langkah sebagai berikut: (1) melakukan prediksi terhadap rencana penerimaan daerah baik berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan maupun dana bantuan provinsi; (2) Menghitung kebutuhan untuk belanja tak langsung (model lama disebut dengan belanja rutin) termasuk hasil negosiasi untuk anggaran DPRD Kota Jayapura; (3) sisa dari belanja pegawai tersebut baru diarahkan untuk belanja langsung (mode/lama disebut dengan belanja pembangunan). Hasil RASK yang telah dibahas tersebut selanjutnya diserahkan ke DPRD Kota Jayapura untuk dilakukan pembahasan,
karen~r telah
diawali
dengan adanya pertemuan sebelumnya antara panitia anggaran eksekutif dengan panitia anggaran legislatif maka pada saat pembahasan di legislatif tidak menemui kendala yang berarti. Menurut Ketua DPRD Kota Jayapura yang diwawancarai pada tanggal 25 Mei 2004 bahwa: Eksekutif telah berupaya untuk menyusun programlkegiatan termasuk upaya untuk mengakomodasi usulan masyarakat karena dibangun dari bawah, namun karena keterbatasan dana yang ada maka pihak eksekutif lebih paham mengenai prioritas yang akan dibiayai terlebih dahulu.
Jumlah usulan masyarakat begitu banyaknya yang dibagi ke dalam tiga bidang pembangunan, yaitu: Bidang Fisik Prasarana, Bidang Ekonomi dan Bidang Sosial Budaya.
Pengelompokan berdasarkan ketiga bidang
I"_, I_
tersebut disesuaikan dengan bidang tugas yang ada di Bappeda Kota Jayapura, sehingga memudahkan nantinya di dalam melakukan koordinasi di dalam bidang tersebut sebab seluruh dinas/unit kerja dibagi ke dalam tiga · bidang tersebut. Adapun jumlah usulan masyarakat dari hasil Musbang di tingkat Karnpung/Kelurahan hingga ke tingkat Diskusi UDKP di Distrik dapat di lihat pada tabel di bawah ini. Tabel 17. Rekapitulasi Usulan Masyarakat pada Tingkat Musbang dan Diskusi UDKP Tahun 2003 No.
1
Kelurahan/Kampung
2
Jumlah usulan FP
EKO
SB
3
4
5
6
1
Kelurahan lmbi
6
2
Kelurahan Gurabesi
7
-
7
3
Kelurahan Bhayangkara
6
2
4
Kelurahan Mandala
3
5
Kelurahan Trikora
3
-
6
Kelurahan TaniunQ Ria
7
Kelurahan Angkasapura
1
9
1 1
11
2
6
4
1
2
Jumlah Usulan
40
4
28
1
Kelurahan Entrop
12
4
5
2
Kelurahan Numbav
10
4
4
3
Kelurahan Vim
4
Kelurahan Aroapura
10
2
3
5
Kelurahan Hamadi
11
4
5
6
Kelurahan Ardipura
5
3
4
7
Kampung Tobati
8
1
3
8
Kampung Kayu Pule
10
2
4
Jumlah Usulan
71
20
34
5
-
Jumlah usulan
Distrik
Jayapura Utara
FP
EKO
7
8
10
SB
9
·-
13
3
. ~-
.~·
...
Jayapura Selatan
.
10
3
13
21
8
53
6
·-· -----
-
21
8
53
124
1
6
1
Kelurahan Waena
6
2
Kelurahan Hedam
3
3
Kelurahan Asano
16
4
Kelurahan Awiyo
15
5
Kelurahan Yabansai
17
2
8
6
Kampung Yoka
3
2
3
7
Kampung Nafri
2
2
7
8
Kampung Enggros
4
2
3
9
Kampung Koya Koso
3
1
Kelurahan Koya Timur
5
2
Kelurahan Koya Barat
1
3
Kampung Holtekamp
7
4
Kampung Koya Tengah
3
5
Kampung Skouw Sae
4
6
Kampung Skouw Mabo
4
7
Kampung Skouw Yambe
Total Usulan
9
Ab~ura
44
13
60
44
13"
60
24
3
-71-
3 3
-
8 1
-
69
Jumlah Usulan
Jumlah Usulan
-
8
7
6
5
4
3
2
1
2 12
-
41 14
1
-
Muara Tami
4 5
1
-
6 14
2
-·
13
14 5 -- - - - t----------
--
-
--
.... --·-----------
-----
71
93
4
70
24
3 --t----
273
40
173
99
27
Sumber: Dokumen Musbang Kelurahan/kampung Tahun 2003 Ket:
FP
: Usulan masyarakat bidang fisik prasarana
EKO : Usulan masyarakat bidang ekonomi SB
-----
: Usulan masyarakat bidang sosial budaya
Dari dokumen APBD tahun anggaran 2004 terlihat bahwa usulan masyarakat yang terakomodasi kurang sekali (7,42%) dari seluruh usulan masyarakat yang dihimpun melalui Diskusi UDKP, dan jumlah usulan masyarakat dalam APBD sebanyak 18,60% (lihat lampiran 3).
Menurut
beberapa informan yang diwawancarai menyatakan bahwa kurangnya usulan masyarakat yang diakomodasi disebabkan karena: (1) kemampuan
197
125
dana yang terbatas, sementara kegiatan pembangunan banyak yang akan dibiayai; (2) Adanya kebijakan dari Pemerintah Kota Jayapura terhadap beberapa proyek besar yang harus diselesaikan sebelum berakhirnya keanggotaan legislative periode 2000-2004; (3) kepentingan dinas/unit kerja masih didahulukan; (4) adanya anggapan bahwa usulan masyarakat tersebut bukan merupakan kebutuhan tetapi keinginan dari segelintir orang yang hadir dalam forum musbang. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Mas'oed (2003: 68-69) yang menyatakan bahwa negaralah yang menjadi inisiator dan perencana pembangunan,
yang
pembangunan,
yang
mencari menjadi
dana,
yang
menjalankan
manajer produksi
maupun
investasi redistribusi
outputnya dan bahkan menjadi konsumen terbesar dari hasil kegiatan pembangunan. Hal ini diperkuat oleh Dunn (2000: 22) bahwa proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan di dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis, karena proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahapan yang saling
bergantung
yang diatur menurut urutan waktu,
yaitu:
penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan. Kunarjo
(1998:
157)
menyatakan
bahwa
untuk
menampung
kebutuhan masyarakat daerah dalam anggaran pembangunan ditempuh sistem perencanaan dari bawah ke atas (bottom up planning), namun
126
demikian penyusunan proyek-proyek yang akan dibangun daerah juga harus merupakan penjabaran kebijaksanaan, dengan kata lain sistim perencanaan dari atas ke bawah (top down planning) juga tidak dapat ditinggalkan. Dengan pendapat tersebut di atas nyatalah bahwa penempatan usulan masyarakat dalam APBD masih mengalami hambatan, walaupun secara
kelembagaan
masyarakat dalam
telah
berpihak
melakukan
kepada
perencanaan,
pemberian namun
masih
partisipasi sebatas
perencanaan sebab belum mendapat tempaUruang yang memadai didalam pembahasan anggaran dalam APBD Kota Jayapura.
BABV KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian tentang penjaringan aspirasi masyarakat dalam kaitannya dengan keterakomodasiannya dalam APBD Kota Jayapura, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Rendahnya kualitas usulan masyarakat dikarenakan beberapa hal yaitu: (a) dalam mekanisme penjaringan usulan kurang melibatkan seluruh komponen masyarakat yang ada di wilayahnya masing-masing, yang terjadi adalah perwakilan yang tidak representatif;
(b) mekanisme
penjaringan terkesan sangat formalistis, sebab telah diatur secara ketat mekanisme pelaksanaannya; (c) belum adanya analisa yang mendalam terhadap permasalahan masyarakat, sehingga yang dirumuskan menjadi kebutuhan masyarakat adalah apa yang terlihat dan terpikir pada saat akan menyusun usulan tersebut; (d) belum adanya aparat yang mampu untuk
melakukan
penjaringan
usulan
masyarakat
di
tingkat
Kampung/Kelurahan dan Distrik, sehingga aparat di tingkat bawah terkesan hanya mengumpulkan usulan tanpa di bahas; (e) belum optimalnya
kegiatan
pendampingan
yang
dilakukan
oleh
aparat
perencana pada saat pelaksanaan penjaringan usulan masyarakat di tingkat Kampung/Kelurahan (forum musbang) maupun di tingkat Distrik (forum Diskusi UDKP);
128
2. Saat ini dijumpai bahwa di dalam penjaringan usulan masyarakat di Kota Jayapura terdapat 4 (empat) pola penjaringan yaitu: (i) dilakukan dengan musyawarah pada pertemuan rutin yang telah dijadwalkan; (ii) usulan masyarakat dibahas dalam pertemuan terbatas yaitu pertemuan antara Ketua RT/RW dengan beberapa orang yang dianggap mampu untuk memberikan usulan bagi kegiatan pembantunan di wilayahnya; (iii) usulan rnasyarakat di susun sendiri oleh Ketua RT/RW, karena masyarakat menganggap bahwa Ketua RT/RW itu adalah itu dipilih masyarakat karena dipercaya untuk membawa aspirasi masyarakatnya dan anggapan bahwa Ketua RT/RW mengetahui permasalahan masyarakat karena sering mendapat keluhan warganya serta hidup bersama dengan masyarakatnya; (iv) usulan tersebut disusun pada saat pelaksanaan musbang berlangsung.
Tiga pola pertama ditemui
terj~di
di wilayah
Kelurahan yang memiliki penduduk yang heterogen dan dengan mata pencaharian yang beragam, sementara pola ke-empat ditemui hampir di seluruh Pemerintahan Kampung yang ada di Kota Jayapura, hal ini dikarenakan masyarakatnya homogen serta wilayah yang kecil dengan pemukiman yang terkumpul serta jumlah penduduk yang sedikit. 3. Kurangnya usulan masyarakat yang terakomodasi dalam APBD Kota Jayapura dikarenakan factor-faktor sebagai berikut: (a) adanya kebijakan Pemerintah
Kota
yang
harus
didahulukan
karena
menyangkut
penyelesaian kegiatan sebelum masa tugas legislatif dan Kepala Daerall berakhir; (b) Dinas/Unit Kerja masih lebih mementingkan kepentingan
129
dinas/unit kerja, karena dinas/unit kerja yang terkait dengan kegiatan pelayanan kepada masyarakat mendapat dana yang masih terbatas; (c) adanya anggapan bahwa usulan masyarakat adalah bukan merupakan kebutuhan masyarakat tetapi keinginan dari segelintir orang yang hadir dalam forum musbang; (d) adanya keterbatasan dana yang paling dikeluhkan, karena sebagian besar dana yang dipersiapkan untuk belanja publik digunakan untuk membiayai kegiatan yang merupakan kebijakan Pemerintah Kota dengan legislatif, yang dikenal dengan sebutan proyek multiyears. 4. Beberapa kebijakan perencanaan yang perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas usulan masyarakat dan keterakomodasiannya dalam APBD Kota Jayapura adalah: mekanisme penjaringan aspirasi masyarakat perlu dilembagakan (adanya Perda perencanaan partisipatif), pelatihan tentang perencanaan bagi aparat Distrik, Kelurahan/Kampung, dan
BP2K,
Pelibatan
Kelurahan/Kampung,
Tim Asistensi dilakukan mulai dari tingkat kewenangan
bagi
Pemerintahan
Distrik
dan
Kampung perlu direalisasikan. B. SARAN
Berdasarkan hasil kajian terhadap penelitian ini,
maka terdapat
beberapa saran yang perlu mendapat perhatian: 1. Untuk pengembangan ilmu,
menyangkut keterakomodasian usulan
masyarakat dalam APBD perlu lebih diperdalam kajiannya, khususnya
130
aspek
penyusun struktur APBD itu sendiri; sementara itu, menyangkut
kualitas usulan masyarakat masih perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan fokus pada satu distrik agar diperoleh jawaban yang lebih sempurna. 2. Untuk pengambil kebijakan, (a) perlunya konsisten di dalam penerapan penjaringan aspirasi masyarakat yang partisipatif termasuk memberikan ruang bagi terakomodasinya us ulan masyarakat dalam APBD; (b) Perlunya pelembagaan dari mekanisme penjaringan aspirasi masyarakat dalam bentuk Peraturan Daerah yang mengikat semua komponen masyarakat; (c) Untuk membekali aparat terdepan dalam perencanaan di tingkat kampung/kelurahan (penjaringan aspirasi masyarakat), perlu dibekali
dengan
kemampuan
melakukan
perencanaan ....
pendekatan Partisipatory Local Social Development (PLSD).
dengan
DAFTAR PUSTAKA
Abe, A 2002. Solo.
Perencanaan Daerah Partisipatif.
Pondok Edukasi.
Alimani, 2002. Evaluasi Pelaksanaan Musyawarah Pembangunan Desa (MUSBANGDES) di Kecamatan Fak-Fak Kabupaten FakTesis tidak dipublikasikan Program Pascasarjana Fak. Universitas Hasanuddin. Makassar. Biro Pusat Statistik Kota Jayapura, 2003. Kota Jayapura Dalam Angka Tahun 2002. CV. Mitra Langgeng Sejahtera. Jayapura. _ _ _ _ _ _ _ , 2003. Produk Domestik Regional Bruto Kota CV. Mitra Langgeng Sejahtera. Jayapura Tahun 2002. Jayapura. Bungin, B. 2003. Ana/isis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Cohen,J.M. dan N. T. Uphoff. 1977. Rural Development Participation. Cornell University. Darwis, M. 2003. Ana/isis Korelasi Alokasi Anggaran Pembangunan dengan Pertumbuhan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Kolaka. Tesis tidak diterbitkan. Pasca Sarjana Unhas. Makassar. Perencanaan Partisipatif Pembangunan 1996. Dirjen Bangda. Masyarakat Desa (Buku /). Dep. Dalam Negeri. Dirjen Pembangunan Masyarakat Desa. Jakarta. Pengantar Ana/isis Kebijakan Publik. Ed. 2000. Dunn, W. N. Indonesia. Edisi Kedua. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Fakih, M. 2001. Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi Insist Press. Yogyakarta. Haneng, H. 1999. Perumusan Masalah Kebijakan. TMKP. Tidak diterbitkan. Unhas. Makassar.
Materi Diklat
lslamy, M. I. 2003. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Publik. Bumi Aksara. Jakarta.
132 Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 1982 Tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan Daerah (P5D). - - - - - - - - - - - - - Nomor 29 Tahun 2000. Tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Kunarjo. 2002. Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan. UIPress. Jakarta. Kuncoro, M. 2000. Ekonomi Pembangunan; teori, masalah dan kebijakan. Edisi pertama. Akademi Manajemen Perusahaan YKPN. Yogyakarta. Lopulisa, C. 2002. Studi Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah Partisipatif dalam Era Otonomi. Dirjen Bangda dan JICA. PT. Semesco Niagakarisma. Jakarta. Mamesah, D.J. 1995. Sistim Administr.asi Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Keuangan
Daerah.
Ana/isis terhadap Efisiensi dan Efektifitas 2002. Mansur, H.H. Pengelo/aan Belanja Rutin Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Tesis tidak diterbitkan. Pasca Sarjana Unhas. Makassar. Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Andi. Yogyakarta. Martawang, L. 2003. Strategi Peningkatan Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan Pembangunan di Kota Mataram. Tesis tidak dipublikasikan Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Makassar. Miles, M.B., and Huberman, A.M. 1992. Ana/isis Data Kualitatif' Buku Sumber tentang Metode-Metode baru. UI-Press. Jakarta. Moeljarto, V. 1996. Pemberdayaan Kelompok Miskin Melalui Program lOT dalam Buku Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan dan lmplementasi. Penyunting: Onny S. Priyono danA. M. W. Pranarka. CSIS. Jakarta. Moleong, L.J., 2002. Metodo/ogi Rosdakarya: Bandung.
Penelitian
Kualitatif.
Remaja
133
Mubyarto, K. 1988. Pembangunan Pedesaan di Indonesia. LibertyP3PK UGM, Yogyakarta. Mustopoadidjoyo. 1997. Sistim dan Proses Penyusunan Anggaran dan Pendapatan Belanja Nasional (APBN). Modul Dlklat TMPP-D Angk. XV. Unhas - Ujung Pandang. Najib,
M. 2001. Mencoba Mewujudkan Indonesia yang lebih Demokratis Melalui Perencanaan Pembangunan Bersama Masyarakat. Bulletin Seminar Pemikiran Perencanaan Dalam Era Transformasi. Departemen Teknik Planologi ITS, Bandung.
Ndraha, T. 1987. Pembangunan Masyarakat: Mempersiapkan masyarakat tinggallandas. Bina Aksara. Jakarta. Pabeta, R. 1992. Partisipasi Masyarakat Dalam Mewujudkan Kebersihan Lingkungan di Permukiman Sekitar Sungai Tallo Kotamadya Ujung Pandang. Tesis tidak dipublikasikan Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang. Pemerintah Kota Jayapura, 2002. Himpunan Peraturan Daerah Kota Jayapura tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Distrik, Kelurahan dan Kampung. Bagian Tata Pemerintahan Sekretariat Kota Jayapura. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000. Tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Program Pascasarjana Unhas, 2003. Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi tahun 2003. Makassar. PSKMP-Unhas, 2002. Modul Pelatihan Participatory Local Social Development Planning (PLSDP). Modul 1. Proyek Kerjasama PMD-JICA. Makassar. Modul Pelatihan Participatory Local Social Development Planning (PLSDP). Modul 5. Proyek kerjasama PMD-JICA. Makassar. Riyadi dan Bratakusumah, D. S. 2003. Perencanaan Pembangunan Daerah. Strategi Menggali Potensi dalam Mewujudkan Otonomi Daerah. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Santoso, T. B. 2000. Akuntansi Manajerial. Sale mba Em pat. Jakarta.
134 Slamet, Y. 1989. Masalah Partisipasi Sosial. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Sukartawi. 1990. Prinsip Dasar Perencanaan Pembangunan dengan Pokok Bahasan Khusus Perencanaan Pembangunan Daerah. Rajawali Press. Jakarta. Suparmoko, M. 1986. Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek. Edisi 13. BP-FE Ul. Yogyakarta. Surjadi. 2003. Paradigma Pembangunan dan Kapabilitas Aparatur, (online), (http://Swaradiklat.htm, diakses 31 Maret 2004). Suryono, A 2001. Teori dan lsu Pembangunan. UM-Press. Malang. Suwarsono dan So, A Y. 1991. Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia. Teori-teori Modernisasi, Dependensia dan Sistem Dunia. LP3ES. Jakarta. Tjokrowinoto, M. 1999. Pembangunan: Dilema dan Tantangan. Pustaka Pelajar Offset. Yogyakarta. Umar, A 2003. Partisipasi Masyarakat di Tingkat Ke/urahan Dalam Proses Perencanaan Pembangunan di Kota Parepare. T esis tidak dipublikasikan Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Makassar.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Tentang Pemerintah Oaerah. _ _ _ _ _ _ _ _ 25 Tahun 1999. Keuangan Pusat dan Daerah.
21 Tahun 2001. Bagi Provinsi Papua.
Tentang
Perimbangan
Tentang Otonomi Khusus
17 Tahun 2003. Tentang Keuangan Negara. Fokusmedia. Bandung. Yin, R.K., 2003. Studi Kasus : Desain dan Metode (penerjemah M. Djauzi Mudzakir). Raja Grafindo Persada : Jakarta.
135
Lampiran 1:
DAFTAR PERTANY AAN UNTUK WAWANCARA Daftar pertanyaan ini hanya merupakan poin-poin pertanyaan berdasarkan tema penelitian. Perincian dalam bentuk pertanyaan yang diajukan kepada informan dikembangkan di lapangan. I.
II.
IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama 2. Umur 3. Jenis Kelamin 4. Pekerjaan 5. Jabatan MEKANISME PENJARINGAN ASPIRASI MASYARAKAT 1. Bagaimana mekanisme penjaringan aspirasi masyarakat yang dilakukan selama ini? 2. Apakah terdapat kelembagaan sosial di masyarakat dan bagaimana peran kelembagaan tersebut di dalam memfasilitasi masyarakat mengusulkan kebutuhannya?
Ill.
KUALITAS USULAN MASYARAKAT 1. Bagaimana proses mengidentifikasi masalah dan kebutuhan masyarakat hingga menjadi usulan dalam forum musbang? 2. Bagaimana menentukan kriteria usulan masyarakat untuk ditempatkan pada posisi prioritas? 3. Bagaimana Tim asistensi memfasilitasi dalam penjaringan aspirasi masyarakat?
IV.
APBD DAN ASPIRASI MASYARAKAT 1. Bagaimana mekanisme penyusunan APBD Kota Jayapura tahun anggaran 2004? 2. Bagaimana proses penyusunan program/kegiatan di tingkat Dinas/Unit Kerja di lingkungan Pemerintah Kota Jayapura? 3. Bagaimana Peran Bappeda di dalam menjembatani proses sinkronisasi antara usulan masyarakat dengan usulan dinas? 4. Mengapa usulan masyarakat kurang terakomodasi dalam dokumen APBD Kota Jayapura?
136
Lampire.n 2: ILUSTRASI KASUS Kasus-1: Mekanisme Penjaringan Aspirasi Masyarakat di Kota Jayapura
Pemerintah Kota Jayapura melaksanakan Musbang, Diskusi UDKP dan Rakorbang masih mengacu kepada jadwal yang dibangun oleh Permendagri Nemer 9 tahun 1982 tentang PSD. Dengan dasar tersebut maka oleh Pemerintah Kota Jayapura melalui Bappeda Kota Jayapura mengirim surat Nemer: 414.2/390 tanggal 29 Maret 2003 tentang Musbang dan Diskusi UDKP kepada seluruh Kepala Distrik, yang intinya meminta perhatia!1 kepada seluruh Kepala Distrik untuk melaksanakan Musbang dan Diskusi UDKP dengan memperhatikan: (1) lingkup musbang adalah musyawarah gagasan/usulan kegiatan pembangunan kampung/kelurahan yang prioritas yang akan diusulkan ke Walikota untuk dapat diakomodasi oleh Dinas teknis; (2) gagasan/usulan merupakan pemecahan masalah, mengelola potensi dan membuka peluang yang ada di kampung/kelurahan; (3) gagasan/usulan supaya memperhatikan masalah lingkungan, pemberdayaan masyarakat lokal terutama menyangkut penanggulangan krisis ekonomi; (4) peserta musbang adalah Kepala Kelurahan (Lurah)/Kepala Pemerintahan Kampung (KPK), pemuka masyarakat, Badan Perwakilan Kampung (Baperkam) dan Badan Perencanaan Pembangunan Kampung/Kelurahan (BP2K), tokoh perempuan, PKK dan tokoh agama; (4) hasil musbang ditindaklanjuti dengan pelaksanaan Diskusi UDKP di tingkat distrik dengan materi pembahasan adalah: menilai dan memadukan program yang dibiayai melalui bantuan pembangunan untuk masing-masing kampung/kelurahan, menilai dan memadukan usul kampung/kelurahan yang menjadi prioritas distrik yang didasarkan pada visi dan misi Walikota Jayapura; (5) prioritas lain yang disesuaikan dengan kondisi dan potensi daerah yang dapat diangkat untuk menjawab permasalahan di masyarakat, terutama dalam rangka penanggulangan krisis. Berdasarkan surat tersebut maka seluruh Distrik meneruskan kepada masing-masing kelurahan/kampung untuk segera melakukan penjaringan aspirasi masyarakat melalui forum musbang, dan hasil dari forum musban,;J tersebut dibahas kembali ditingkat distrik dalam forum Diskusi UDKP. Setelah itu d:lanjutkan dengan penyusunan usulan kegiatan ditingkat dinas/unit kerja. Berdasarkan surat Walikota Jayapura Nemer: 050/712 tanggal 24 Mei 2003 tentang usulan program tahun anggaran 2004, yang mana dalam penyusunan usulan kegiatannya mengacu pada: (1) Tugas Pokok dan Fungsi (tupoksi) masing-masing dinas/unit kerja; (2) visi dan misi VValikota Jayapura dalam lingkup tupoksi masing-masing dinas/unit
137
kerja; (3) Renstra dari masing-masing dinas/unit kerja dan; (4) usulan dari masyarakat melalui diskusi UDKP. Selanjutnya seluruh usulan dari dinas/unit kerja dibahas oleh tim pembahas pada forum Pra-Rakorbang dalam rangka mensinkronkan dengan usulan masyarakat baik yang melalui dokumen hasil UDKP maupun usulan yang langsung mendapat tanggapan dari Kepala Daerah Kemudian diteruskan lagi ke dalam forum untuk sege;a dibiayai. Rakorbangda pada bulan Juli 2003, sebagai upaya untuk mempertemukan semua usulan di tingkat Pemerintah Kota Jayapura, sehingga lahirlah dokumen hasil Rakorbangda tahun 2003 yang memuat rencana usulan program/kegiatan untuk tahun anggaran 2004. (Disarikan dari hasil wawancara dengan Kepala Bappeda Kota Jayapura, Sekretaris Bappeda Kota Jayapura Kepala Bidang Pengendalian Bappeda Kota Jayapura dan Kasubbid Program Bappeda Kota Jayapura)
Lampiran: 3 REKAPITULASI US ULAN MASYARAKAT MELALUI MUSBANG-DISKUSI UDKP- RAKORBANG- APBD (2003 - 2004) No. Kelurahan/Kampung
Jumlah usulan FP
1
31 kelurahan/kampung 273
EKO
40
Distrik
88
173 4 Distrik
Jumlah usulan FP
99
EKO
27
Rakorbang (2003)
88
197
Keterangan :
EKO
FP
AP8D (2004) 88
FP
Ket.
EKO
88
A
8
A
8
A
8
c
D
c
D
c
D
63
15
43
4
191
38
21
4
21
9
87
11
A
: Jumlah Usulan dalam rakorbang
FP
: Usulan masyarakat bidang fisik dan prasarana
8
: Jumlah Usulan masyarakat yang terakomodasi dalam rakorbang
EKO
: Usulan masyarakat bidang ekonomi
c
: Jumlah kegiatan /Proyek dalam AP8D
88
: Usulan masyarakat bidang Sosial budaya
D
: Jumlah Usulan masyarakat yang terakomodasi dalam AP8D