Perencanaan Areal Kapal PLTD Apung Sebagai Kawasan Wisata Sejarah Tsunami Di Kota Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam
Oleh: Cut Sri Handayani A34203001
PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN
CUT SRI HANDAYANI. Perencanaan Areal Kapal PLTD Apung Sebagai Kawasan Wisata Sejarah Tsunami Di Kota Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam. Dibimbing oleh Siti Nurisyah. Perencanaan kawasan Areal Kapal PLTD Apung sebagai Kawasan Wisata Sejarah Tsunami Kota Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam dilakukan untuk melestarikan salah satu objek peninggalan tsunami, yaitu kapal PLTD Apung dan nilai sejarah yang terkandung didalamnya akibat peristiwa bencana tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 26 Desember 2004. Pelestarian yang dilakukan yaitu dengan merencanakan suatu kawasan yang dapat mengingatkan setiap orang akan peristiwa tsunami tersebut. Perencanaan ini menggunakan metode pendekatan Gold (1980) yang menggabungkan pendekatan tradisional dengan masa depan, yang menekankan pada campuran antara rencana lingkungan, ilmu sosial, dan administrasi. Tahapan perencanaan menurut metode ini, yaitu persiapan, pengumpulan data, analisis dan sintesis, dan perencanaan lanskap. Analisis data dilakukan berdasarkan potensi wisata sejarah, pertimbangan perencanaan sesuai RTRW, aspek pendukung (topografi dan kemiringan, iklim, dan kondisi tanah), dan kondisi sosial masyarakat serta pengunjung. Konsep yang akan dikembangkan pada tapak yaitu “mengkreasikan areal di kapal PLTD Apung sebagai kawasan wisata sejarah tsunami yang bersifat edukatif melalui media dan jalur interpretasi”. Kawasan wisata ini sebagian besar daerahnya berada di daerah Ulee Lheue. Daerah Ulee Lheue merupakan salah satu daerah yang mengalami kerusakan paling parah di kota Banda Aceh pada saat bencana tsunami terjadi. Di daerah ini, ketinggian air mencapai 20 m. Selain letaknya yang berada di daerah patahan aktif, kerusakan ini juga dikarenakan jaraknya yang tidak terlalu jauh dari laut. Dengan demikian, pembangunan di daerah ini harus berada pada fungsifungsi ruang kota dalam wujud zonasi berdasarkan tingkat potensi kerusakan, serta dilengkapi dengan berbagai sarana dan prasarana perlindungan terhadap bencana gempa dan tsunami. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, diperoleh alternatif pengembangan kawasan wisata yang sesuai dengan jalur interpretasi wisata sejarah pergerakan kapal tersebut. Kawasan wisata sejarah ini dibagi menjadi tiga zona berdasarkan keterkaitannya dengan bencana tsunami. Ketiga zona ini yaitu zona wisata utama, zona transisi dan zona pelayanan. Zona Wisata Utama merupakan zona yang berkaitan langsung dengan pergerakan kapal PLTD Apung dari Perairan Ulee Lheue menuju kawasan pemukiman. Berdasarkan tingginya (kepentingan) nilai sejarah, zona wisata utama terbagi lagi kedalam dua ruang, yaitu ruang inti dan ruang penyangga. Zona Transisi merupakan zona yang terdiri dari berbagai aktivitas manusia yang bersifat edukatif dan merupakan zona dimana objek dan atraksi berada. Zona ini berperan untuk menjaga dan melindungi objek bersejarah yang ada di dalam zona wisata utama. Zona pelayanan difungsikan untuk mengakomodasi berbagai fasilitas wisata untuk memudahkan pengunjung mendapatkan berbagai fasilitas selama berada di kawasan wisata.
Dalam hasil rencana areal kapal PLTD Apung sebagai kawasan wisata sejarah tsunmai, tersedia beberapa fasilitas wisata. Adapun fasilitas yang terdapat di kawasan ini yaitu, ticketing, Visitor Information Center (VIC), parking lots, pos satpam, food court, darmaga, perahu, penyewaan perahu, tempat beribadah, boardwalk, children playground, foodcourt, tempat pembuangan sampah, toilet. Dalam perencanaan di areal sekitar kapal PLTD Apung, pengunjung juga dapat menikmati berbagai media interpretasi seperti tsunami interpreting outdoor playground, museum tsunami, sirene tower, refuge building inventory (ruang penyelamatan terhadap bencana dari laut), amphitheater, coastal forest, signage. Sedangkan untuk rencana jalur interpretasi wisata pada kawasan terbagi menjadi tiga jalur yang dibedakan berdasarkan pengguna. Ketiga jalur itu adalah jalur yang diperuntukkan bagi anak-anak, pengunjung dewasa, dan para peneliti. jalur yang diperuntukkan bagi anak-anak lebih singkat dan berada di areal yang dekat dengan Kapal PLTD Apung. Untuk pengunjung dewasa, jalur wisata yang dilalui meliputi jalur pergerakan kapal PLTD Apung, mulai dari lautan dan berakhir di posisi terakhir kapal pasca tsunami. Jalur wisata yang dapat digunakan oleh para peneliti sebagian besar hampir sama dengan jalur yang dilalui oleh pengunjung dewasa. Akan tetapi yang membedakan adalah hanya para peneliti yang diizinkan untuk mengunjungi dan masuk ke dalam bangunan sirene tower dan refuge building inventory (ruang penyelamatan terhadap bencana dari laut). Dengan perencanaan jalur ini, pengunjung dapat mengingat kembali dan merasakan dasyatnya peristiwa tsunami yang terjadi. Namun dalam perencanaan ini terdapat beberapa permasalahan, diantaranya yaitu belum adanya kesepakatan antara pemerintah dan penduduk setempat dalam hal pembebasan lahan, belum jelas siapa yang akan mengelola kawasan wisata ini, serta terjadinya perubahan fungsi lahan kota yang dilakukan masyarakat dari area tsunami heritage menjadi pemukiman baru. Oleh karena itu, perlu adanya upaya memberikan pengertian kepada masyarakat mengenai pentingnya melestarikan kawasan bersejarah tersebut dan memberikan dana kompensasi/ganti rugi yang sesuai, adanya upaya relokasi masyarakat setempat ke area lain yang tidak mengganggu nilai-nilai kesejarahan dari objek wisata tsunami, serta mencegah terjadinya perubahan fungsi-fungsi tersebut dengan adanya kontrol dari pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta untuk mempertahankan nilai-nilai kesejarahannya. Dan untuk pengembangan kawasan wisata sejarah ini selanjutnya yaitu dengan penempatan fasilitas dan ruang-ruang lebih mendetil.
PERENCANAAN AREAL KAPAL PLTD APUNG SEBAGAI KAWASAN WISATA SEJARAH TSUNAMI DI KOTA BANDA ACEH, NANGGROE ACEH DARUSSALAM
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh Cut Sri Handayani A34203001
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
LEMBAR PENGESAHAN Judul
:
Perencanaan Areal Kapal PLTD Apung Sebagai Kawasan Wisata Sejarah Tsunami Di Kota Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam.
Nama
:
Cut Sri Handayani
NIM
:
A34203001
Program Studi
:
Arsitektur Lanskap
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA NIP. 131 516 290
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, MAgr NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banda Aceh, 19 September 1985. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara dari keluarga Bapak Teuku Hazlianto dan Ibu Jauhari Usti. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasarnya di SD Negeri 7 Banda Aceh pada tahun 1997. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Negeri 3 Banda Aceh dan lulus pada tahun 2000 dan menyelesaikan pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas di SMU Negeri 4 Banda Aceh pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis diterima di Program Studi Arsitektur Lanskap, Departemen Budidaya Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui program Undangan Seleksi Masuk Institut (USMI). Selama menimba ilmu di Institut Pertanian Bogor, penulis berkesempatan menjadi Ketua Bidang Kerohanian dan Pendidikan Ikatan Mahasiswa Tanah Rencong (2004-2005), Anggota Seksi Humas Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap (2004-2005), serta Anggota Seksi Beasiswa dan Pendidikan Komisi Peduli Aceh. Penulis juga mendapat kesempatan untuk melaksanakan kegiatan magang pada tahun 2007 di PT. Envirospace Consultant Indonesia, Bogor. Selain itu, penulis juga berkesempatan menjadi Asisten Mata Kuliah Rancangan Taman Khusus dan Mata Kuliah Analisis dan Perencanaan Tapak pada tahun ajaran 2006/2007, serta Mata Kuliah Perencanaan Lanskap pada tahun ajaran 2007/2008.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan laporan penelitian dapat diselesaikan. Penelitian ini berjudul “Perencanaan Areal Kapal PLTD Apung sebagai Kawasan Wisata Sejarah Tsunami Di Kota Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam” dan disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penyusunan laporan penelitian ini dibantu dan didukung oleh berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Papa T. Hazlianto dan Mama Jauhari Usti, atas doanya selama ini. 2. Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA selaku dosen pembimbing skripsi. 3. Dr. Ir. Nurhayati, MSc selaku dosen pembimbing akademik. 4. Adik-adikku Oriza, Putri, dan Celvin atas supportnya. 5. Bunda Ani dan Abi, serta seluruh keluarga. Makasih atas nasihat dan makanannya...It so delicious n I love it! 6. Formasi ‘anak-anak Aceh’, Opeh, Beteu, Tigor, n Puji. Makasih atas bantuannya selama di Aceh, di Enviro, di praktikum, di Kerinci, di Kampus, dan di berbagai tempat yang pernah kita kunjungi. Don’t forget ‘bout our work ethics, guys! 7. Teman-teman di Wisma Shambala atas bantuan printernya. 8. Seluruh teman-teman ARL angkatan 40, Weeta, Marna, Piko, Ali, Tope, Mpit, Alin, Arin, Febi, Dunk2, Anggie, Uti, Wira, Ucy, Budiman, Indah, Deni, Mada, Michan, Sano, Miftah, Shasa, Keni, Putri, Jabi, Pepenk, Komti, Ario, Greg, Meidi, Ayu, Ubud, Icha, Dwee, Titie, Teta, Dani, Iwan, Aki (Rezki), n Indra. thanks for unforgetable momment. 9. Arsitektur Lanskap IPB yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 10. Shinta (alias mami...), Tari n Baiq, thanks to let me stay at ur room gals. 11. Pihak Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. 12. Pihak Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Banda Aceh.
13. Pihak Dinas Perkotaan dan Permukiman Kota Banda Aceh. 14. Pihak Stasiun BMG Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar. 15. Cik yang di Meulaboh...(sumpah, icut lupa siapa namanya....maaf ya cik...^.^). Terima kasih dah mau menampung kami ‘ank2 Aceh’ di rumah cik. 16. Bang Dodi....makasih dah bersedia nganterin ami ‘ank2 Aceh’ keliling Banda Aceh dan Meulaboh. Makasih Banget ya.... 17. Kak Ita, Landscaper 38. Makasih atas bantuannya selama di Meulaboh 18. Pak yahya and his library. Thanks for undersatanding me n I’ve been return all of that books, rite? 19. Bos and his photocopy guys....makasih dah bersedia direpotin selama penyusunan dan penyelesaian laporan penelitian ini. 20. Last but not least, my special bestfriends, Acha n Ijonk.....thanks to share n care ‘bout me. I hope we’ll be bestfriend forever.I put u both at the last list cause I don’t know how can I say thanks to and makes the rite word.Thank u really pretty much. 21. Serta seluruh pihak yang telah membantu selama proses penyusunan laporan penelitian ini. Akhirnya semoga studi ini dapat bermanfaat di masa yang akan datang. Mohon maaf sebesar-besarnya atas segala kekurangan dan kesalahan yang ada. Semoga amal ibadah penuh keikhlasan mendapat balasan dari Allah SWT. Amin.
Bogor, Januari 2008 Penulis
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR……………………………………………………….
i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………
ii
DAFTAR TABEL……………………………………………………………
iv
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………...
v
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................
vi
PENDAHULUAN Latar Belakang……………………………………………………….. Tujuan……………………………………………………………….. Manfaat……………………………………………………………… Kerangka Pikir……………………………………………………….
1 3 3 4
TINJAUAN PUSTAKA Lanskap Sejarah Definisi Lanskap Sejarah……………………………………. Tipe-Tipe Lanskap Sejarah……....…...............……………... Pelestarian Lanskap sejarah…………………………………. Pengembangan Lanskap Sejarah sebagai Kawasan Wisata…. Interpretasi Definisi Interpretasi………………………………………….. Tujuan Interpretasi…………………………………………… Prinsip-Prinsip Interpretasi…………………………………... Unsur-Unsur Utama Interpretasi……………………………... Perencanaan Lanskap………………………………………………… Perencanaan Kawasan Wisata…………………………..….... Perencanaan Kawasan Interpretasi Sejarah…………………...
9 9 10 11 13 14 14
METODOLOGI Lokasi dan Waktu……………………………………………………. Bahan dan Alat ………………...…………………………………….. Metode Perencanaan Kawasan Wisata Sejarah..…………………….. Tahapan Perencanaan Kawasan Wisata Sejarah………………………
16 17 17 19
KONDISI UMUM KAWASAN PERENCANAAN Wilayah Kota Banda Aceh…………………………………………… Kawasan Bencana Tsunami…………………………………………..
23 26
DATA DAN ANALISIS Kondisi Umum...................................................................................... Kondisi Tapak Sebelum Tsunami.....................……………………… Kejadian Saat Tsunami………...………………………....………….. Kondisi Fisik Tapak Setelah Tsunami..................................................
29 29 31 37
6 6 7 7
iii
Halaman Potensi Wisata Sejarah Tsunami Batas & Luas Kawasan Perencanaan..…….............................. 38 Objek-Objek Wisata Sejarah Tsunami...................................... 41 Aksesibilitas……………………………………….................. 47 Alternatif Jalur Wisata Sejarah................................................. 53 Pertimbangan Perencanaan RTRBWK…………………………………………................. 56 Tata Guna Lahan (Land Use).....……….………….................. 59 Kebijakan Pemerintah NAD…………....…..………………… 61 Aspek Pendukung Biofisik Topografi & Kemiringan.…………..………............… 63 Iklim…………………….……………………............. 66 Kondisi Tanah.………….……………...........……….. 69 Kondisi Sosial Masyarakat Lokal Dampak Tsunami terhadap Masyarakat Lokal .................…… 71 Pengunjung................................................................................ 72 Konsep Dasar Perencanaan………………………………….……….. 73 Pengembangan Konsep Konsep Tata Ruang Kawasan Wisata Sejarah........................... 73 Konsep Obyek-obyek Sejarah Tsunami.………….………….. 75 Konsep Sirkulasi........................................................................ 77 Konsep Aktivitas.....…......…………………………………… 78 Konsep Infrastruktur………………...……............................... 79 PERENCANAAN KAWASAN WISATA SEJARAH TSUNAMI Rencana Tata Ruang.....................................................….…………… Rencana Sirkulasi.................................................................................. Kawasan Wisata Sejarah Tsunami........................................................ Rencana Jalur Wisata.......……………………………….……….…....
81 84 85 87
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan…………………………………………………………… Saran………………………………………………………………......
93 94
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..
95
LAMPIRAN……………………………………………………………….....
97
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Tahapan Pelaksanaan dan Alokasi Waktu Penelitian................................
17
2. Jenis, Cara, dan Sumber Pengambilan Data…………....………………..
20
3. Objek Wisata Sejarah yang Diusulkan berdasarkan Urutan Kejadian Pergerakan Kapal PLTD Apung....................................
36
4. Analisis Aksesibilitas dan Alternatif Perencanaan....................................
51
5. Pembagian Zona pada BWK Barat Kota Banda Aceh..............................
57
6. Bentuk-bentuk Peruntukan Lahan beserta Luasan Lahan Pra-Tsunami...................................................................................
59
7. Analisis Topografi dan Kemiringan Lahan...............................................
64
8. Luasan Area dalam Kawasan Wisata........................................................
80
9. Hubungan Objek Wisata dengan Atraksi dan Fasilitas Wisata.................
92
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1.
Halaman Form Kuisioner Penelitian........................................................................
97
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Kerangka Pikir ………………………………………………………….......
5
2.
Diagram Alur Prinsip Dasar Program Interpretasi……………………....….
11
3.
Lokasi Penelitian............………………………………………..……..........
16
4.
Tahapan Proses Penelitian………....………………………..…..…......…...
18
5.
Batas Wilayah dan Batas Kecamatan di Kota Banda Aceh….....…………..
24
6.
Patahan Semangko………………………………….....……………………
25
7.
Peta Tingkat Kerusakan Akibat Tsunami di Tiap Kecamatan di Kota Banda Aceh………………………………….…………………….
27
8.
Skema Struktur Pusat Pelayanan Kegiatan Kota Banda Aceh……………..
28
9.
Kondisi Peruntukan Lahan di Kawasan Ulee Lheue Setelah Bencana Tsunami..........................................………………………
30
10. Jalur Masuk Kapal PLTD Apung ke Daratan………………………………
32
11. Foto Udara yang Menggambarkan Lokasi Kapal PLTD Apung Pasca Tsunami...................................................................................
34
12. Batas Perencanaan Kawasan Wisata Sejarah Tsunami..................................
35
13. Kondisi Rumah di Sekitar Tapak Pasca Tsunami..........................................
37
14. Kondisi Tapak di Sekitar Kapal PLTD Apung..............................................
40
15. Perairan Ulee Lheue.......................................................................................
41
16. Desa Lambung...............................................................................................
42
17. Rumah Tsunami.............................................................................................
43
18. Mesjid Subulussalam......................................................................................
43
19. Kapal PLTD Apung.......................................................................................
44
20. Monumen Syuhada........................................................................................
45
21. Mesjid Baiturrahim.........................................................................................
46
22. Diagram Aksesibilitas Menuju Kapal PLTD Apung.....................................
48
23. Kondisi Aksesibilitas Menuju Kapal PLTD Apung......................................
50
24. Aksesibilitas...................................................................................................
52
25. Jalur Pergerakan Kapal dan Lokasi Objek Wisata Sejarah............................
54
26. Kawasan Wisata Sejarah Tsunami..................................................................
55
Halaman
vi
27. Peta Arahan Fungsi Berdasarkan Zona Fisik per BWK Kota Banda Aceh................................................................................
58
28. Peta Eksisting Tata Guna Lahan....................................................................
60
29. Kawasan Wisata Berdasarkan Peruntukan Kota............................................
62
30. Hasil Perhhitungan Topografi dan Kemiringan Lahan...................................
65
31. Grafik Beberapa Unsur Iklim di Kecamatan Ulee Lheue dalam Kurun Waktu 1997-2006................................................................................
67
32. Berbagai Bentuk Tajuk Pohon.......................................................................
68
33. Peta Kesesuaian Lahan terhadap Bangunan...................................................
70
34. Konsep Pengembangan Tata Ruang Kawasan Wisata Sejarah Tsunami.......
74
35. Konsep Ruang Wisata………………….......................................................
75
36. Contoh Media Interpretasi ............................................................................
76
37. Konsep Pengembangan Jalur Sirkulasi...........................................................
78
38. Sighseeing.......................................................................................................
79
39. Suasana di Beberapa Infrastruktur Pendukung..............................................
80
40. Contoh Motif dan Bentuk Bangunan.............................................................
80
41. Rencana Tata Ruang Wisata Tsunami...........................................................
82
42. Rencana Kawasan Wisata Sejarah Tsunami..................................................
86
43. Rencana Jalur Wisata.....................................................................................
88
44. Potongan Tampak...........................................................................................
89
45. Ilustrasi Suasana di Kawasan Wisata Sejarah Tsunami..................................
90
PENDAHULUAN
Latar Belakang Kota Banda Aceh adalah ibukota provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Awalnya, kota ini bernama Kutaraja, kemudian sejak 28 Desember 1962 namanya diganti menjadi Banda Aceh. Sebagai pusat pemerintahan, Banda Aceh menjadi pusat segala kegiatan ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Kota yang telah berumur 802 tahun ini, berdasarkan Perda Aceh No.5/1988, tanggal 22 April 1205 ditetapkan sebagai tanggal keberadaan kota tersebut1). Pada tanggal 26 Desember 2004, kota ini dilanda gelombang pasang tsunami yang menelan sekitar 150.000 jiwa dan menghancurkan lebih dari 60% bangunan kota ini. Tsunami di Aceh bisa digolongkan sebagai bencana alam yang paling mengerikan dalam sejarah dunia dalam beberapa tahun terakhir. Di beberapa tempat di Aceh, gelombang tsunami mencapai setinggi 9 meter2). Karena letak kota yang tidak jauh dari daerah pantai, menyebabkan kerusakan yang sangat parah, yaitu di Kecamatan Meuraxa dan Kecamatan Jaya Baru (Tim Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara, 2005). Berdasarkan data yang bersumber dari BRR Aceh-Nias tersebut, sebagian besar fasilitas yang ada rusak berat, diantaranya yaitu: perumahan dan infrastruktur dasar (4.787 rumah permanen); fasilitas pendidikan (41 sekolah); fasilitas kesehatan dan pribadi; fasilitas agama, sosial dan budaya; serta fasilitas perdagangan dan industri. Untuk mengenang tragedi bencana dunia yang melanda Aceh akhir tahun 2004 lalu, pemerintah akan segera membangun sebuah museum internasional, tiga situs dan enam monumen tsunami yang representatif di Banda Aceh awal tahun 2007.
Dengan
adanya
bangunan-bangunan
tersebut,
diharapkan
bisa
meninggalkan sejarah bagi masa depan dan juga mampu menarik wisatawan asing yang datang ke Aceh 3). 1) 2) 3)
http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Banda_Aceh#column-one (10 November 2006) http://www.news.php aceh 2.htm (17 November 2006). Serambi Indonesia edisi No. 6.192 Thn ke-40 (23 September 2006) dalam Museum Tsunami Dunia Segera Dibangun.
2
Menyusul adanya rencana pemerintah tersebut, maka salah satu kawasan yang diusulkan sebagai monumen tsunami yaitu kawasan di sekitar kapal PLTD Apung yang terdapat di daerah Punge Blangcut Kecamatan Jaya Baru. Kapal PLTD Apung merupakan sebuah kapal pembangkit listrik yang menggunakan tenaga diesel. Awalnya kapal tersebut berada di Kalimantan. Akan tetapi, karena Aceh kekurangan pasokan listrik, maka kapal ini ditempatkan di Perairan Ulee Lheue. Saat tsunami terjadi, kapal PLTD Apung terdampar ke daerah perumahan penduduk sekitar 4 km dari perairan Ulee Lheue. Padahal bobot kapal ini mencapai ribuan ton (Sufi dan Agus, 2005). Sebenarnya, kapal PLTD Apung ini direncanakan akan ditarik kembali ke laut. Hal ini dikarenakan jika dilihat dari segi kondisi fisik dan keadaan mesinnya, kapal ini masih mampu beroperasi dengan baik. Namun dikarenakan jaraknya yang tergolong jauh dari laut, maka kapal tersebut tetap dibiarkan berada di tempatnya. Saat ini, kapal tersebut merupakan salah satu objek wisata tsunami di kota Banda Aceh. Berbagai pengunjung baik dari daerah Aceh maupun luar Aceh, bahkan wisatawan asing, berdatangan ingin menyaksikan secara langsung fenomena dari peristiwa tsunami. Hal yang harus diperhatikan jika kawasan tersebut dijadikan sebagai kawasan wisata adalah pengaturan tata ruang kawasan dan jalur interpretasi sebagai kawasan wisata sejarah. Diharapkan penataan ruang dan jalur interpretasi wisata sejarah dapat mempertahankan, atau bahkan dapat meningkatkan nilai historis daerah tersebut. Perencanaan kawasan wisata juga harus memperhatikan kesesuaian penggunaan lahan dengan rencana tata ruang kota dan lanskap kota. Penggunaan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Banda Aceh dan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Meuraxa dan Jaya Baru digunakan sebagai panduan dalam merencanakan kawasan wisata sejarah tsunami.
3
Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini melestarikan salah satu objek peninggalan tsunami, yaitu kapal PLTD Apung dan nilai sejarah yang terkandung didalamnya akibat peristiwa dasyat bencana tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 26 Desember 2004 yaitu dengan merencanakan suatu kawasan yang dapat mengingatkan setiap orang akan peristiwa tsunami. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk : 1. mengidentifikasi kondisi tapak lokasi PLTD Apung, serta obyek-obyek dan atraksi pendukung wisata sejarah lainnya. 2. menganalisis kondisi tapak PLTD Apung untuk dijadikan sebagai kawasan wisata sejarah. 3. merencanakan kawasan wisata sejarah tsunami. 4. merencanakan jalur interpretasi sejarah tsunami. 5. mengakomodasi aktifitas dan menata fasilitas di kawasan wisata dan jalur interpretasi sejarah.
Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah : 1.
Mengakomodasi keinginan masyarakat yang ingin menyaksikan benda bersejarah dan mengenang terjadinya peristiwa bencana alam tsunami di Aceh.
2. Sarana pendidikan dan menambah pengalaman mengenai tsunami baik bagi masyarakat Aceh maupun bangsa Indonesia, dan bangsa-bangsa lain pada umumnya. 3. Menjadi bahan masukan dan bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah Nanggroe Aceh Darussalam dalam upaya rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh pasca terjadinya tsunami baik dari segi fisik maupun kesejarahan. 4. Sumber PAD bagi pemerintah daerah dengan mengembangkan kawasan sekitar kapal PLTD Apung sebagai salah satu kawasan wisata.
4
Kerangka Pikir Kota Banda Aceh merupakan ibukota propinsi NAD yang mengalami kerusakan sangat parah dan menelan korban jiwa terbanyak setelah kabupaten Meulaboh, Aceh Barat. Kerusakan yang ditimbulkan memberikan dampak yang cukup besar bagi masyarakat Aceh, baik secara fisik (sarana dan prasarana kota, perumahan, dll) maupun psikologi (emosional, kehilangan kerabat, dan sosial budaya). Dalam rangka mengenang tragedi bencana dunia yang melanda Aceh akhir tahun 2004 lalu, diperlukan adanya upaya-upaya untuk melestarikan objek-objek bersejarah. Berkaitan dengan masalah ini, pemerintah daerah NAD mengambil kebijakan-kebijakan, yaitu dengan mendirikan sebuah museum internasional, tiga situs dan enam monumen tsunami. Salah satu kawasan yang direncanakan akan dikembangkan menjadi monumen sejarah tsunami yaitu kawasan di sekitar Kapal PLTD Apung. Perencanaan di kawasan ini mempunyai keunikan tersendiri dimana kapal dengan bobot ribuan ton mampu terbawa arus tsunami hingga mencapai 4 km jaraknya dari posisinya semula. Selain kapal PLTD Apung, di daerah ini juga terdapat beberapa objek bersejarah lainnya yang berpotensi sebagai objek tujuan wisata. Perencanaan yang akan dilakukan yaitu perencanaan kawasan dan jalur interpretasi wisata sejarah tsunami yang bersifat edukatif pada lokasi terjadinya perpindahan kapal PLTD Apung. Dengan dijadikannya kawasan ini sebagai kawasan dan jalur interpretasi sejarah, diharapkan dapat mengingatkan kembali para pengunjung akan peristiwa tsunami yang pernah terjadi di NAD. Dengan latar belakang keadaan yang demikian, diperlukan aplikasi yang sesuai dengan kondisi terjadinya tsunami pada saat itu, yaitu dengan mewujudkan suatu kawasan wisata sejarah tsunami di Kota Banda Aceh, NAD. Kerangka berpikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
5
Kota Banda Aceh, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Tsunami 26 Desember 2004 Mengalami kerusakan lingkungan yang sangat parah
Infrastruktur kota, Perumahan, Sosial dan budaya, Emosional, dll
Untuk mengenang kejadian tsunami 2004
Museum
Monumen
Situs
Lokasi kapal PLTD Apung II
Upaya penataan kawasan dan jalur interpretasi wisata sejarah tsunami yang bersifat edukatif
Rencana Kawasan Wisata Sejarah Tsunami Di Kota Banda Aceh, NAD
Gambar 1. Kerangka Pikir
TINJAUAN PUSTAKA
Lanskap Sejarah Definisi Lanskap Sejarah Lanskap sejarah merupakan suatu kawasan geografis dimana pada kawasan tersebut merupakan obyek atau latar belakang atas suatu peristiwa interaksi yang bersejarah dalam kehidupan manusia (Simonds, 1978). Lanskap sejarah penting dilestarikan untuk memberikan suatu makna simbolis bagi peristiwa terdahulu dan peristiwa sekarang. Lingkungan fisiknya yang tertata merupakan suatu penghubung peristiwa masa lalu yang mempengaruhi kita dengan peristiwa yang menentukan masa depan. Tanpa suatu kesan konteks fisik, maka pengetahuan kita mengenai peristiwa-peristiwa semacam ini terbatas pada catatan lisan dan gambar-gambar grafis (Nurisyah dan Pramukanto, 1995).
Tipe-Tipe Lanskap Sejarah Secara umum, Nurisyah dan Pramukanto (2001) mengemukakan bahwa tipe lanskap sejarah dapat dikategorikan berdasarkan hal-hal tersebut: 1) Lanskap yang berasosiasi dengan kehidupan pedesaan dan ekonomi pedesaan pada setiap periode prasejarah sampai sekarang. 2) Lanskap yang berasosiasi dengan kehidupan perkotaan pada setiap periode yang dimulai dari awal pembentukannya sampai sekarang. 3) Lanskap yang berasosiasi dengan berbagai aktivitas industri dan pabrik seperti lanskap perkebunan, lanskap kawasan industri. 4) Lanskap yang berasosiasi dengan individu atau kelompok bangunan dan monumen sejarah. 5) Lanskap yang berasosiasi dengan orang atau peristiwa-peristiwa sejarah yang penting, termasuk tempat-tempat yang ada hubungannya dengan seniman-seniman, penyair-penyair, medan pertempuran dan sebagainya. 6) Tapak-tapak historic scenic, yaitu tempat-tempat yang dalam istilah sejarah sudah dikenal baik atau sangat berpengaruh karena berbagai pemandangan yang menarik yang dimilikinya. 7) Taman dan tempat rekreasi yang bersejarah.
7
Pelestarian Lanskap sejarah Nurisyah dan Pramukanto (2001) mengemukakan bahwa untuk tindakan pelestarian dapat dilakukan dengan suatu bentuk pendekatan atau kombinasi beberapa pendekatan. Pendekatan ini terutama diterapkan terhadap: 1) nilai-nilai, makna atau arti kesejarahan yang dimiliki oleh suatu tatanan lanskap (landscape fabric), dan 2) bentang alam atau taman tersebut secara fisik. Pendekatan ini umumnya mempertimbangkan aspek-aspek yang berperan dalam proses dinamika perubahan lanskap tersebut yang meliputi aspek sejarah, aspek arkeologis, aspek etnografis, dan nilai-nilai desain yang dimilikinya. Dalam upaya pengelolaan untuk pelestarian lanskap tersebut, beberapa pilihan bentuk tindakan teknis yang umumnya dilakukan adalah adaptive use (penggunaan adaptif), rekonstruksi, rehabilitasi, restorasi, stabilisasi, konservasi, interpretasi, period setting (replikasi, imitasi), release, dan replacement (penggantian) (Nurisyah dan Pramukanto, 2001). Dalam penelitian ini, tindakan teknis yang diterapkan untuk pelestarian lanskap sejarah yaitu dalam bentuk interpretasi.
Pengembangan Lanskap Sejarah sebagai Kawasan Wisata Wisata (tour, travel, jalan-jalan) didefinisikan sebagai pergerakan orang untuk sementara (temporal) dalam jangka waktu tertentu ke tujuan-tujuan di luar rutinitas dan tempat biasa mereka tinggal dan bekerja. Selama tinggal di tujuan wisata tersebut mereka melakukan kegiatan rekreatif dan menyenangkan dan disediakan fasilitas untuk mengakomodasikan kebutuhan mereka (Nurisyah dan Damayanti, 2006). Bentuk-bentuk wisata yang dapat ditawarkan kepada pengunjung sangat beragam. Wisata dikategorikan berdasarkan faktor penyebab dilakukannya kegiatan ini, yaitu (1) obyek dan atraksi utama yang dikembangkan, (2) tujuan berwisata, (3) letak geografis kawasan (Nurisyah dan Damayanti, 2006). Berdasarkan objek dan atraksi utama yang dikembangkan di lokasi tujuan wisata, Brunn dalam Nurisyah dan Damayanti (2006), mengkategorikan wisata dalam bentuk: (a) ecotourism, green tourism atau alternative tourism yaitu wisata yang
8
berorientasi
pada
lingkungan
untuk
menjembatani
kepentingan
industri
kepariwisataan, perlindungan terhadap sumber daya alam dan kualitas lingkungan, serta kesejahteraan masyarakat lokal, (b) wisata budaya atau cultural tourism, yaitu wisata dengan kekayaan budaya sebagai obyek wisata utama dengan penekanan pada aspek pendidikan dan pengetahuan, dan (c) wisata alam, nature tourism yaitu wisata untuk meningkatkan pengalaman terhadap obyek dan daya tarik kondisi alam dan panoramanya. Berdasarkan tujuan berwisata, bentuk wisata dikategorikan dengan (a) wisata rekreasi, (b) wisata ilmu, (c) wisata medis, (d) wisata olahraga, (e) wisata konvensi; berdasarkan letak geografisnya, kegiatan ini dibagi menjadi (1) wisata pegunungan, (2) wisata pesisir/pantai, (3)wisata lautan/bahari. Ketersediaan obyek, daya tarik atau atraksi pada suatu kawasan merupakan komponen utama dalam pengembangannya menjadi kawasan tujuan wisata (Gunn dalam Nurisyah dan Damayanti, 2006). Obyek dan daya tarik wisata didefinisikan sebagai suatu keadaan alam serta perwujudan dari ciptaan manusia, tata hidup, seni budaya serta sejarah dan tempat yang memiliki daya tarik untuk dikunjungi wisatawan. Atraksi wisata adalah semua perwujudan dan sajian alam serta kebudayaan, yang secara nyata dapat dikunjungi, disaksikan dan dinikmati wisatawan di suatu kawasan wisata atau daerah tujuan wisata melalui suatu bentuk pertunjukan yang khusus diselenggarakan untuk para wisatawan yang mengunjungi kawasan tersebut (Yoeti dalam Nurisyah dan Damayanti, 2006). Menurut Nurisyah dan Pramukanto (2001), lanskap sejarah merupakan suatu bukti fisik dari keberadaan manusia. Waktu yang tercermin dalam suatu lanskap sejarah membedakan designed landscape. Selanjutnya, salah satu kepentingan dari pelestarian lanskap yang terkait dengan aspek budaya dan sejarah ini adalah untuk motivasi ekonomi. Peninggalan budaya dan sejarah memiliki nilai yang tinggi apabila dipelihara dengan baik, terutama apabila dapat mendukung perekonomian kota/daerah bila dikembangkan sebagai kawasan tujuan wisata (cultural and historical type of tourism). Disamping upaya pelestarian benda bersejarah, peningkatan kondisi ekonomi merupakan alasan lain untuk mengadakan wisata pada lanskap sejarah di kawasan sekitar kapal PLTD Apung.
9
Interpretasi Definisi Interpretasi Interpretasi menurut Tilden (1957) yang dianggap sebagai bapak interpretasi, menyatakan bahwa interpretasi adalah
penafsiran suatu aktifitas
bidang pendidikan dengan tujuan untuk mengungkapkan hubungan dan arti melalui penggunaan obyek asli dengan pengalaman langsung dan oleh ilustrasi media bukan hanya sekedar penyampaian informasi. Interpretasi merupakan suatu mata rantai komunikasi antara pengunjung dan sumberdaya yang ada (Sharpe, 1982). Menurut Muntasib (2002), interpretasi merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang seni dalam memberikan penjelasan tentang suatu kawasan (flora, fauna, proses geologis, dan sebagainya) serta sejarah dan budaya masyarakat kepada pengunjung yang datang ke kawasan tersebut, sehingga dapat memberikan kepuasan dan pengetahuan baru yang dapat menggugah pemikiran untuk mengetahui, menyadari dan menarik minat pengunjung untuk ikut menjaga dan melestarikan serta mempelajari lebih lanjut.
Tujuan Interpretasi Dalam hal ini, Sharpe (1982) mengemukakan tiga sasaran interpretasi, yaitu: •
interpretasi dapat membantu pengunjung memperkaya pengetahuan dan menjadi tertarik pada suatu lokasi.
•
mewujudkan tujuan pengelolaan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan sumberdaya alam sehingga dapat dinikmati pengunjung secara maksimal. selain itu kerusakan dapat diminimalisir karena pengunjung dituntut untuk tidak mengganggu sumberdaya yang ada.
•
menjadi sasaran promosi agar masyarakat mengetahui keberadaan sumberdaya atau obyek yang dimaksud melalui biro-biro perjalanan.
10
Prinsip-Prinsip Interpretasi Dalam kegiatan interpretasi ada enam prinsip yang harus diperhatikan (Tilden, 1957). Keenam prinsip tersebut, yaitu: a) Suatu interpretasi tidak ada hubungannya antara apa yang diperagakan dengan apa yang dialami atau kepribadian personalitas para pengunjung, merupakan sesuatu yang sia-sia. b) Informasi, penerangan, atau materi yang sejenis dengan itu saja bukanlah sebuah interpretasi. Interpretasi merupakan ungkapan rahasia berdasarkan atas informasi-informasi, namun interpretasi berbeda dan lebih luas daripada informasi. Di dalam interpretasi termasuk juga didalamnya unsur-unsur informasi. c) Interpretasi merupakan suatu seni yang dikombinasikan dari berbagai macam seni, baik yang bersifat ilmiah, sejarah, arsitektur, atau seni yang pada tingkat tertentu dapat diajarkan kepada orang lain. d) Cara mengutarakan interpretasi bukanlah dengan sebuah perintah, melainkan dengan menggunakan pancingan-pancingan, dorongan atau persuasi (provokasi). e) Interpretasi bermaksud mempertunjukkan secara jelas dan bukan sebagiansebagian. Interpretasi sebaiknya tidak dirahasiakan atau hanya boleh untuk golongan tertentu saja. f) Interpretasi yang ditujukan untuk anak-anak tidak dapat digunakan untuk orang dewasa, karena keduanya memiliki pendekatan yang berbeda.
Kerangka pemikiran interpretasi mengacu pada pendekatan prinsip dasar program interpretasi yang merupakan kombinasi dari enam hal, yaitu : pelayanan Informasi, Pelayanan Pemanduan, Pendidikan, Hiburan serta Inspirasi dan promosi (Departemen Kehutanan, 1988a). Mengenai prinsip dasar program interpretasi dapat dijabarkan pada Gambar 2.
11
KEGIATAN INTERPRETASI
PENGUNJUNG TERTARIK
IKUT MELESTARIKAN
TIDAK MENGGANGGU
MENGERTI
MEMAHAMI
Gambar 2. Diagram Alur Prinsip Dasar Program Interpretasi (Departemen Kehutanan, 1988a)
Unsur-Unsur Utama Interpretasi Berdasarkan Departemen Kehutanan (1988a), di dalam interpretasi terdapat tiga unsur pokok yang menjadi satu kesatuan, yaitu: a). Pengunjung Beberapa hal yang harus perlu dianalisa dan diperhitungkan dalam perencanaan serta pelaksanaan interpretasi yang berkaitan dengan pengunjung agar interpretasi yang disajikan mencapai sasaran, antara lain: •
Lokasi yang paling banyak pengunjungnya.
•
Asal daerah pengunjung yang paling banyak berkunjung ke kawasan tersebut.
•
Waktu ramai pengunjung.
•
Persen pengunjung yang memasuki pintu utama dan juga untuk jumlah pengunjung yang memasuki kawasan melalui pintu alternatif lain.
b). Pemandu wisata Kualitas pemandu sangat menentukan keberhasilan interpretasi yang dilaksanakan. Syarat kemampuan yang harus dimiliki oleh pemandu wisata adalah: 1. Penguasaan ilmu atau ahli dalam bidang ilmu tertentu yang berkaitan dengan sesuatu yang menjadi obyek interpretasi. 2. Menguasai pengetahuan di bidang pendidikan dan komunikasi masa, serta mampu dalam prakteknya.
12
3. Menguasai cara-cara melaksanakan interpretasi secara benar, bukan hanya sekedar memberikan informasi. c). Obyek-obyek Interpretasi Obyek interpretasi adalah segala sesuatu yang berada dalam kawasan wisata alam, yang dipilih untuk diinterpretasikan kepada pengunjung. Obyek interpretasi ini dapat digolongkan menjadi dua, yaitu obyek interpretasi berupa sumberdaya alam dan potensi sejarah (Departemen Kehutanan, 1988a). Agar interpretasi dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan pemilihan dan penggunaan serta pembinaan obyek interpretasi. Seleksi penentuan obyek interpretasi harus memperhatikan sifat dan keadaan pengunjung serta sifat sumberdaya atau potensi sejarah yang menjadi obyek interpretasi. Selain itu, obyek interpretasi juga haruslah potensial, misalnya karena tingkat kelangkaannya tinggi, peranannya dalam kehidupan manusia sangat menonjol, mudah dan aman untuk dipegang, dilihat langsung, dicium ataupun dipegang oleh pengunjung (Departemen Kehutanan, 1988a). Untuk mendukung suatu kegiatan interpretasi dibutuhkan fasilitas-fasilitas yang mendukung kegiatan interpretasi tersebut. Fasilitas tersebut dapat berupa media peralatan, metode, perlengkapan dimana pesan-pesan interpretasi dapat disampaikan kepada umum dengan baik (Sharpe, 1982). Menurut Sharpe (1982), ilustrasi media interpretasi memiliki bentuk yang bermacam-macam. Salah satunya adalah pemandu, booklet, leaflet, brosur, peta wisata, pusat interpretasi, pameran museum, galeri, dan sebagainya. Sedangkan untuk menunjang wisata sejarah yang dilakukan, perlu dipahami mengenai sistem rekreasi. Dalam suatu sistem rekreasi, terdapat hubungan erat antara sisi supply dan demand. Supply dalam rekreasi didefinisikan sebagai semua pengembangan fisik dan program yang memenuhi kebutuhan dan keinginan pengunjung (Gunn, 1997). Kebutuhan dan keinginan pengunjung inilah yang disebut dengan demand. Elemen lanskap yang dirancang juga merupakan salah satu supply rekreasi. Supply rekreasi ini terdiri atas attraction, services, transportation, informations, dan promotions (Gunn, 1997). Menurut Knudson (1980) fasilitas dan pelayan baik berupa tenaga akomodasi dan pengorganisasian merupakan suplai rekreasi. Suplai rekreasi yang
13
dimaksud yaitu sesuatu yang dapat disediakan untuk melayani pengunjung dalam berekreasi. Perencanaan fasilitas diperlukan guna menunjang aktifitas di lintasan sekaligus mengurangi dampak pengunjung. Fasilitas di tepi jalan dapat berupa shelter, gazebo, atau tempat duduk untuk istirahat. Jauh dekatnya jarak lintasan tergantung bentuk lahannya (Knudson, 1980). Menurut Departemen Kehutanan (1988a), jalur interpretasi adalah rute yang dirancang guna obyek interpretasi (geologis, biologis, historis, dan kebudayaan yang menarik) dijelaskan dengan bantuan pemandu, tanda-tanda, pamflet atau peralatan elektronik. Hal ini dimaksudkan agar pengunjung mendapatkan pengetahuan tentang faktor-faktor lingkungan tersebut pengalaman secara langsung di lapangan. Selain berfungsi sebagai akses penghubung, rute atau lintasan juga menampilkan keindahan pemandangan terbaik (Simonds, 1983). Lintasan juga harus aman, menghindari daerah berbahaya, memiliki keindahan (vista) dan obyek khas, nyaman, tidak terlalu jauh, mudah dilalui, dilengkapi papan petunjuk dan tidak mengganggu kehidupan alami (Berkmuller, 1981).
Perencanaan Lanskap Perencanaan merupakan suatu alat yang sistematis dan dapat digunakan untuk menentukan awal suatu keadaan dan merupakan cara terbaik untuk mencapai keadaan yang diharapkan tersebut (Gold, 1980). Sedangkan menurut Laurie (1990) mengungkapkan bahwa dalam perencanaan tapak terdapat penyesuaian tapak dengan program. Persyaratan program harus dilengkapi dan dihubungkan satu dengan lainnya, disertai imajinasi serta kepekaan terhadap analisis tapak. Disamping itu, perencanaan menyangkut pengaturan fungsi ruang, sirkulasi, keindahan dan keunikan dengan memanfaatkan elemen air, tanah, dan berbagai benda, serta keadaan yang ada seperti taman, bangunan, kondisi topografi, dan pemandangan (Rachman, 1984). Nurisyah dan Pramukanto (1995) berpendapat bahwa dalam perencanaan dibutuhkan suatu pendekatan yang dilakukan terhadap kebutuhan khusus dari suatu kelompok sosial atau lahan. Pendekatannya harus efektif untuk penyediaan
14
segala bentuk pelayanan dan ruang bagi masyarakat yang menggunakannya. Masyarakat atau orang mempunyai maksud dan tujuan yang berbeda dalam penggunaan ruang sehingga pengamatan sosial sangat penting. Lebih lanjut dinyatakan bahwa proses perencanaan lanskap diawali dengan memperhatikan, menafsirkan dan menjawab kepentingan manusia dan mengakomodasikan berbagai kepentingan ini ke produk (lahan) yang direncanakan antara lain seperti untuk mengkreasikan dan merencanakan secara fisik berbagai bentuk pelayanan, fasilitas dan berbagai bentuk pemanfaatan sumberdaya tersedia lainnya dan nilainilai budaya manusia.
Perencanaan Kawasan Wisata Sejarah Perencanaan
kawasan
wisata
merupakan
perencanaan
yang
memperhatikan dengan mengantisipasi dan mengatur perubahan-perubahan yang terjadi pada tapak, memajukan pengembangan sesuai dengan tata tertib yang berlaku dan meningkatkan kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan sekitarnya dalam proses pengembangannya (Murphy dalam Hall, 2000). Selain itu, perencanaan harus meningkatkan elemen kritis dalam menjamin pengembangan berkelanjutan dalam jangka panjang terhadap tujuan wisata. Menurut Hall (2000) wisata merupakan intergrasi mendalam antara ekonomi, sosial dan maksimalisasi lingkungan hingga mencapai pengembangan wisata yang sesuai. Dengan demikian, perencanaan kawasan wisata sejarah juga harus memperhatikan ketiga aspek tersebut. Dalam pengembangannya juga dibutuhkan suatu touring plan yang bertujuan untuk mengarahkan pengunjung menikmati obyek wisata atau atraksi yang disediakan.
Perencanaan Kawasan Interpretasi Sejarah Perencanaan kawasan interpretasi sejarah merupakan perencanaan yang terdiri atas perencanaan kawasan dan jalur interpretasi. Perencanaan kawasan interpretasi dalam perencanaan ini merupakan media atau objek sejarah tsunami yang akan diinterpretasikan kepada pengunjung. Sedangkan jalur interpretasi yang direncanakan yaitu rute/jalur yang menggambarkan suasana sejarah terjadinya
15
tsunami di Aceh. Dengan demikian, pengunjung dapat ikut merasakan suasana pada saat tsunami terjadi. Dalam merencanakan jalur interpretasi, menurut Nurisyah dan Damayanti (2006), hal-hal yang dapat dijadikan panduan dijelaskan sebagai berikut: 1. Mengumpulkan data yang terkait dengan kondisi bio-fisik, sosial-budaya, kesejarahan kawasan. 2. Menetapkan tujuan interpretasi pada jalur tersebut, yang sejalan dengan tujuan umum dan visi kawasan. 3. Menentukan pendekatan untuk analisis sumber daya alam dan budaya dalam kawasan sehingga didapat zona-zona yang dapat dan tidak dapat dikembangkan jalur interpretasi di dalamnya (karena faktor keamanan pengunjung dan sumber daya). 4. Menentukan titik-titik potensial dalam zona terpilih dan menseleksinya dengan kriteria tertentu. 5. Menghubungkan titik-titik potensial, menentukan titik start dan stop sehingga tercipta rute yang dibuat berdasarkan pada suatu tema. 6. Menentukan jenis media dan fasilitas penunjuang jalur interpretasi beserta lokasi penempatannya. 7. Mengintegrasikan jalur dengan metode serta program interpretasi lainnya dalam kawasan atau jika ada dengan sekitar kawasan. Setelah diperoleh jalur, selanjutnya adalah mengimplementasikannya dan mengelola jalur tersebut dalam kawasan. Untuk melihat keberhasilan jalur tersebut sebagai media interpretasi, perlu dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap jalur yang dapat dinilai tingkat keberhasilannya, salah satunya yaitu dengan penilaian pengunjung.
METODOLOGI
Lokasi dan Waktu Lokasi penelitian dilakukan di kawasan Punge Blangcut Kecamatan Jaya Baru yang merupakan salah satu kawasan terjadinya tsunami (Gambar 3). Dalam perencanaan ini, kawasan wisata mengalami perluasan hingga ke daerah Ulee Lheue, Kecamatan Meuraxa. Perluasan kawasan merupakan penambahan dari luasan kawasan di sekitar kapal PLTD Apung yang telah disepakati oleh Pemerintah Daerah Kota Banda Aceh, kawasan objek-objek bersejarah lainnya dengan kawasan jalur interpretasi sejarah. Kawasan ini termasuk ke dalam wilayah Kotamadya Banda Aceh, Provinsi NAD dan terletak di bagian barat kota Banda Aceh.
72 71
NAD
08
09
74
10
11 16
17 05 73 06
07
14 15 13 12
04
03
01 02
PETA ORIENTASI TAPAK
WILAYAH KOTAMADYA BANDA ACEH
SELAT MALAKA Pelabuhan Ulee Lheue
Lokasi penelitian Rencana jalan arteri primer Jalan arteri sekunder Jalan kolektor sekunder
NTS
Gambar 3. Lokasi Penelitian
17
Waktu penelitian dimulai dari survei lapang sampai dengan penyusunan laporan akhir penelitian, berlangsung selama sembilan bulan, yakni dari bulan Februari hingga bulan November 2007 (Tabel 1). Tabel 1. Tahapan Pelaksanaan dan Alokasi Waktu Penelitian Kegiatan Persiapan Studi Pengumpulan dan Pengolahan Data Perencanaan Penyusunan Pelaporan
Alokasi Waktu Februari 2007 Maret sampai Juli 2007 Agustus sampai minggu pertama September 2007 Minggu keempat September-November 2007
Produk Proposal Studi Hasil Analisis Data Rencana lanskap Laporan Hasil Studi
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan meliputi : peta lokasi, peta penyebaran penduduk, peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Banda Aceh, Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Meuraxa, data iklim, peta topografi, peta tata guna lahan, dan kuisioner. Alat yang digunakan terdiri dari : kamera digital (Merk Casio Tipe EXZ50, 5 megapixel), komputer, software (Autocad, ACDSee Pro Photo Manager, Adobe Photoshop, Corel Draw, Excel), alat-alat tulis, GPS, alat pengukur suhu dan kelembaban, meteran.
Metode Perencanaan Kawasan Wisata Sejarah Metode perencanaan kawasan wisata sejarah tsunami secara arsitektural yang digunakan adalah metode pendekatan Gold (1980). Metode perencanaan Gold adalah tipe perencanaan yang menggabungkan pendekatan tradisional dengan masa depan, yang menekankan pada campuran antara rencana lingkungan, ilmu sosial, dan administrasi. Tahapan
perencanaan
menurut
Gold
(1980),
yaitu
persiapan,
pengumpulan data, analisis dan sintesis, dan perencanaan lanskap. Tahapan proses perencanaan yang akan dilaksanakan dapat dilihat pada Gambar 4.
18
Persiapan
• tujuan perencanaan • usulan penelitian • informasi sementara
Penentuan Batas Tapak
Pengumpulan Data
data primer dan data sekunder, fakta, dan informasi pendukung
data teknik : RTRW kota Banda Aceh
Analisis dan Sintesis
data fisik: Batas wilayah, objek dan alur sejarah, geologi, aksesibilitas, topografi dan kemiringan lahan, tata guna lahan, kondisi tanah, iklim
potensi, kendala, amenity dan danger signal tapak
data sosial : sejarah pergerakan kapal PLTD Apung, jumlah dan kepadatan penduduk, perilaku serta keinginan penduduk setempat
alternatif pengembangan tapak terpilih
Konsep Wisata Sejarah
Perencanaan Lanskap
tata ruang
Objek-objek sejarah tsunami
Aktifitas wisata
infrastruktur
Rencana Lanskap Wisata Sejarah Tsunami Proses Hasil
Gambar 4. Tahapan Proses Penelitian (Modifikasi Gold, 1980)
19
Tahapan Perencanaan Kawasan Wisata Sejarah Persiapan Pada tahap ini dilakukan penetapan tujuan sebagai langkah awal untuk mengarahkan suatu tindakan spesifik apa yang akan dilakukan dalam perencanaan kawasan interpretasi sejarah tsunami. Kemudian diteruskan dengan pengumpulan informasi mengenai program yang berhubungan dengan pariwisata, pengelolaan dan aspek sosial lainnya, serta perizinan di berbagai instansi pemerintahan daerah. Pengumpulan informasi sementara ini menjadi bahan dalam penyusunan usulan penelitian. Pengumpulan Data Inventarisasi merupakan tahapan pengumpulan data dan semua informasi yang berkenaan dengan kondisi tapak dan faktor-faktor di luar tapak yang mempengaruhi perencanaan lanskap tersebut. Jenis data dapat berupa data primer dan data sekunder. Pada Tabel 2 menjelaskan jenis data dan cara pengambilannya, serta sumber perolehan data. Pengumpulan data dilakukan untuk menentukan potensi wisata sejarah, kendala, amenity dan danger signal pada tapak dalam tahap analisis. Potensi merupakan bagian terbaik dari tapak yang dapat dimanfaatkan dalam pengembangannya sebagai kawasan wisata sejarah. Kendala merupakan bagian tapak yang berbahaya dan menghambat dalam perencanaan, tetapi masih dapat diperbaiki untuk dimanfaatkan. Amenity adalah bagian unik, langka, dan indah dari suatu tapak yang memberikan kenyamanan. Danger signal merupakan bagian tapak yang sangat berbahaya dan sulit untuk diubah tanpa mengundang resiko dan diperlukan teknik khusus untuk dapat memperbaiki kondisi tersebut. Danger signal dapat terjadi karena faktor alam (tsunami, gempa, badai, abrasi) maupun akibat ketidak tahuan atau ketidak-pedulian manusia (erosi, sedimentasi dari aliran sungai, pencemaran) (Nurisyah dan Damayanti, 2006). Metode pengambilan data yang dilakukan adalah metode survei lapang (berupa pengamatan langsung, dokumentasi dan wawancara) dan studi pustaka. Survei lapang dilakukan untuk mengetahui keadaan tapak sebenarnya. Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan data fasilitas standar yang diperlukan. Studi pustaka diperoleh dari buku-buku acuan, laporan-laporan pendahuluan dan
20
bacaan lain yang berhubungan dan mendukung pelaksanaan studi. Selain itu juga dilakukan pengumpulan data melalui penelusuran sejarah terjadinya tsunami di kawasan Ulee Lheue. Tabel 2. Jenis, Cara, dan Sumber Perolehan Data Aspek Fisik
Sosial
Teknik
Jenis Data
Cara Pengambilan Data
1. Letak, luas, dan status
Pustaka dan wawancara
2. Geologi, tanah & topografi.
Pustaka
3. Iklim
Pustaka
4. Tata guna lahan
Pustaka dan pengamatan
5. Objek dan atraksi wisata sejarah
Pustaka dan pengamatan
1. Data Penduduk
Pustaka
2. Persepsi, tujuan, aktifitas yang diinginkan masyarakat 2. Perilaku pengunjung
Wawancara dengan penduduk Pengamatan
Kuisioner
RTRW Aceh
Pustaka
Kantor Pemda NAD
kota Banda
Sumber Bappeda Kotamadya Banda Aceh. Bappeda Kotamadya Banda Aceh, Dinas Tata Kota Banda Aceh. Sta. Klimatologi Banda Aceh. Bappeda Kotamadya Banda Aceh, Dinas Tata Kota Banda Aceh, BRR, dan Lapang. Dinas Kebudayaan Provinsi NAD. Bappeda Kotamadya Banda Aceh, BRR. Kuisioner
Wawancara dilakukan terhadap lima orang responden yang dianggap sebagai key person dalam menentukan objek-objek yang masih berhubungan dengan peristiwa terjadinya tsunami, yaitu perwakilan dari Dinas Pariwisata Provinsi NAD, Kepala kelurahan Desa Punge Blangcut sebagai perwakilan dari tokoh masyarakat, serta pemilik lahan lokasi kapal PLTD Apung dan masyarakat sekitar yang menyaksikan sendiri masuknya kapal PLTD Apung ke daerah pemukiman sebagai perwakilan dari masyarakat setempat. Dari tahap wawancara ini dapat diketahui kondisi tapak sebelum dan setelah tsunami, keinginan dan kebutuhan tipe informasi fasilitas interpretasi, serta harapan dari masyarakat setempat terhadap pembangunan kawasan wisata sejarah di daerah tersebut (Lampiran 1). Beberapa pertanyaan yang diajukan kepada para responden, yaitu
21
mengenai pendapat masyarakat terhadap rencana pembangunan kawasan wisata bersejarah di kawasan Ulee Lheue, jenis kegiatan atau aktifitas yang dapat dilakukan, ketersediaan fasilitas wisata, atraksi wisata yang tersedia, serta preferensi masyarakat dan pengunjung terhadap pengembangan areal kapal PLTD Apung sebagai kawasan wisata sejarah tunami. Analisis dan Sintesis Berdasarkan data yang dikumpulkan, dilakukan analisis terhadap tapak untuk menentukan potensi dan kendala amenity serta danger signal pada tapak. Dari data dan informasi yang diperoleh, dilakukan analisis secara deskriptif dalam bentuk tabular dan data spasial. Beberapa komponen dari data fisik dan data teknik akan dianalisis secara deskriptif dalam bentuk tabular dan spasial. Data teknik yang dianalisis yaitu Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Bagian Wilayah Kota (BWK). Komponen data fisik yang dianalisis, yaitu batas dan luas kawasan perencanaan, aksesibilitas (sistem sirkulasi dan transportasi), tata guna lahan, biofisik yaitu topografi dan kemiringan lahan, kondisi tanah, iklim (suhu udara, curah hujan dan kecepatan dan arah angin, kelembaban udara dan persentase penyinaran matahari). Untuk data sosial budaya akan dianalisis secara deskriptif. Setelah meng-overlay seluruh data dan informasi, kemudian akan dilanjutkan dengan tahap sintesis. Pada tahap ini akan diperoleh alternatif terpilih pengembangan potensi dan pemecahan masalah untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan tujuan perencanaan tapak tersebut. Hasil dari sintesis berupa alternatif terpilih untuk menentukan konsep yang kemudian akan dijadikan acuan dalam rencana pengembangan pembagian ruang dengan mempertimbangkan aspek sosial-budaya masyarakat setempat, nilai sejarah tapak, dan aspek biofisik tapak, sehingga diharapkan fungsi wisata dapat berjalan dan nilai sejarahnya tetap lestari.
22
Perencanaan Lanskap Merupakan tahapan untuk menentukan pengembangan yang akan dilakukan dalam menata ruang dan fasilitas melalui penelusuran sejarah tsunami. Pra-perencanaan ini disajikan dalam bentuk rencana tata ruang dengan pembagian ruang dan letak fasilitas berdasarkan kesesuaian lahan yang mendukung kegiatan wisata dan interpretasi sejarah. Rencana pengembangan areal kapal PLTD Apung sebagai kawasan wisata sejarah tsunami akan diterjemahkan kedalam bentuk rencana lanskap (landscape plan).
KONDISI UMUM KAWASAN PERENCANAAN
Wilayah Kota Banda Aceh Kota Banda Aceh yang merupakan ibukota dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), terletak di pantai utara Pulau Sumatera pada 05º30’05º35’LU dan 95º30’-99º16’BT. Kota Banda Aceh berada pada ketinggian ratarata 0,80 m diatas permukaan laut (dpl). Kawasan ini rawan terhadap banjir khususnya apabila terjadi secara bersamaan banjir kiriman dari perbukitan di Kabupaten Aceh Besar, pasang air laut, dan hujan yang lebat di Banda Aceh. Luas wilayah kota Banda Aceh adalah 61,359 Km2 yang terbagi atas 9 kecamatan dengan jumlah desa sebanyak 89 desa (Bappeda Kota Banda Aceh, 2006). Adapun batas-batas wilayah kota Banda Aceh (Gambar 5) adalah sebagai berikut : Utara : Selat Malaka Selatan : Kecamatan Darul Imarah dan Kecamatan Ingin Jaya, Kab. Aceh Besar Barat : Kecamatan Peukan Bada dan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar Timur : Kecamatan Kuta Baru dan Kecamatan Darussalam, Kabupaten Aceh Besar. Luas dan persentase wilayah kecamatan yang ada di Kota Banda Aceh dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Luas dan Persentase Wilayah Kecamatan di Kota Banda Aceh No.
Kecamatan
Luasan Wilayah (Km2)
Persentase (%)
1.
Meuraxa
7,258
11,83
2.
Baiturrahman
477.8
7,40
3.
Kuta Alam
442.4
16,37
4.
Ulee Kareng
934.1
10,02
5.
Jaya Baru
365.4
6,16
6.
Banda Raya
464.6
7,80
7.
Leung Bata
895.0
8,70
8.
Syiah Kuala
1414.9
23,21
9.
Kuta Raja
587.2
8,49
Total
61,359
100,00
Sumber : Revisi RTRW Kota Banda Aceh Tahun 2006-2016
24
Gambar 5. Batas Wilayah dan Kecamatan di Kota Banda Aceh
25
Secara geologis, Pulau Sumatera dilalui oleh patahan aktif yang memanjang dari Banda Aceh di utara hingga Lampung di selatan, yang dikenal sebagai Sesar Semangko (Semangko Fault) (Gambar 6). Patahan ini bergeser sekitar 11 cm/tahun. Oleh karenanya, daerah yang terlintasi patahan ini rentan terhadap gempa dan longsor. Kota Banda Aceh terletak diantara dua patahan (sebelah timur – utara dan sebelah barat – selatan kota) atau berada pada pertemuan Plate Euroasia dan Australia berjarak ± 130 km dari garis pantai barat sehingga daerah ini sangat rawan terhadap bahaya tsunami.
Kota Banda Aceh
Ruas-ruas Patahan Semangko
Gambar 6. Patahan Semangko (Sumber : Bappeda Kota Banda Aceh, 2006) Berdasarkan keterangan tersebut, daerah Ulee Lheue merupakan salah satu daerah yang mengalami kerusakan paling parah di kota Banda Aceh. Pada saat terjadinya bencana tsunami, ketinggian air di daerah ini mencapai 20 m. Selain letaknya yang berada di daerah patahan aktif, kerusakan juga dikarenakan
26
jaraknya yang tidak terlalu jauh dari laut. Dengan demikian, pembangunan di daerah ini harus berada pada fungsi-fungsi ruang kota dalam wujud zonasi berdasarkan tingkat potensi kerusakan, serta dilengkapi dengan berbagai sarana dan prasarana perlindungan terhadap bencana gempa dan tsunami.
Kawasan Bencana Tsunami Bencana alam gempa bumi dan tsunami pada 26 Desember 2004 menyebabkan kerusakan di berbagai kecamatan di Kota Banda Aceh. Dari 9 kecamatan ada 6 kecamatan yang mengalami kehancuran baik hancur total, rusak berat, rusak sedang dan ringan. Kecamatan yang mengalami kerusakan yaitu Kecamatan Meuraxa, Jaya Baru, Kuta Raja, Kuta Alam, Baiturahman dan Syiah Kuala. Dilihat dari tingkat kerusakan, wilayah kota Banda Aceh dan sekitarnya dibagi menjadi tiga bagian wilayah kerusakan (Gambar 7), yaitu: 1. bagian wilayah kota A yang mengalami rusak total 2. bagian wilayah kota B yang mengalami rusak struktur bangunan, dan 3. bagian wilayah kota C yang mengalami rusak ringan. Gelombang tsunami menyebabkan sekitar 70% dari wilayah kota terendam air dan kerusakan fisik mencapai 60%, bahkan Kecamatan Meuraxa mengalami kerusakan mencapai 100%. Untuk Kecamatan Jaya Baru mengalami kerusakan sekitar 92% dari luas wilayahnya 378 Ha. Sesuai dengan strategi pengembangan Kota Banda Aceh RTRW 2010 yang memadukan antara pengembangan multi-center dan linear-growth, maka struktur pusat pelayanan kegiatan kota mengalami perubahan seperti yang tertera pada Gambar 8. Pengertian dari multi-center adalah memberikan fungsi tertentu pada titik-titik tumbuh (pusat pelayanan). Sedangkan linear growth adalah memberikan dan meningkatkan kondisi/fungsi jaringan atau prasarana transportasi pada daerah yang dikembangkan.
27
A
B
C
Gambar 7. Peta Tingkat Kerusakan Akibat Tsunami di Tiap Kecamatan di Kota Banda Aceh (Sumber : RTRW Kota Banda Aceh 2006-2016) Sebelum bencana tsunami melanda Aceh, Kecamatan Jaya Baru termasuk dalam salah satu sub pusat Struktur Pusat Pelayanan Kegiatan di Kota Banda Aceh, yaitu sub pusat Ulee Lheue. Lokasi sub pusat Ulee Lheue yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka menyebabkan kawasan ini hancur di seluruh wilayahnya. Untuk mengantisipasi kerusakan yang lebih tinggi lagi, sub pusat Ulee Lheue mengalami pergeseran peran pusat-pusat pelayanan ke kawasan bagian selatan Kota Banda Aceh. Hal ini dikarenakan kawasan selatan kota (kawasan prioritas) memiliki daya tarik yang kuat bagi pengembangan kota di masa datang karena kawasan ini mempunyai ”keunggulan” dibanding kawasan lainnya, antara lain : 1. Kawasan ini terbebas dari bencana tsunami, sehingga secara psikologis masyarakat yang menghuni kawasan ini merasa lebih aman.
28
Sebelum tsunami
Setelah tsunami Gambar 8. Skema Struktur Pusat Pelayanan Kegiatan Kota Banda Aceh (Sumber : Bappeda Kota Banda Aceh, 2006) 2. Masih tersedianya lahan yang cukup bagi pengembangan permukiman dan fasilitas umum kota. 3. Tersedianya akses yang cukup baik yakni dengan keberadaan jalan arteri primer (Jalan Elak/Jl. Soekarno-Hatta) dan jalan tembus baru dari Simpang Surabaya ke Jalan Elak. Dengan adanya perubahan sub pusat pelayanan di kota Banda Aceh, maka berdasarkan hasil analisis, pengembangan di kawasan kapal PLTD Apung lebih mengarah kepada upaya mengantisipasi dampak bencana tsunami. Pembangunan dilakukan berdasarkan potensi yang ada pada tapak dan menyesuaikan dengan kesesuaian lahan.
DATA DAN ANALISIS
Bencana tsunami dan gempa bumi yang terjadi di Kota Banda Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 meninggalkan banyak peninggalan yang dapat dijadikan sebagai obyek dan daya tarik wisata sejarah yang potensial. Obyekobyek tersebut jika ditata dapat dijadikan salah satu daya tarik sebagai kawasan pariwisata yang dapat mengingat dan mengenang peristiwa dan dampak dari bencana tsunami. Kawasan wisata tsunami diarahkan di kawasan Ulee Lheue, daerah ini merupakan daerah yang hancur parah akibat bencana tersebut. Kawasan kapal PLTD Apung yang menjadi artifak utama pada tapak dalam kegiatan perencanaan ini, merupakan bagian dari wilayah kecamatan Meuraxa dan Kecamatan Jaya Baru yang awalnya merupakan pemekaran wilayah Kecamatan Meuraxa.
Kondisi Tapak sebelum Tsunami Dari segi penggunaan lahan sebelum kejadian tsunami, kawasan Kecamatan Meuraxa dan Jaya Baru merupakan kawasan pantai yang sebagian besar wilayahnya berupa kawasan pertambakan. Dalam beberapa tahun terakhir sebelum terjadinya tsunami, kawasan ini dijadikan sebagai permukiman, pusat pelayanan jasa, tambak dan kawasan hutan lindung mangrove. Namun setelah terjadinya tsunami, sebagian besar mangrove di daerah ini hilang (Gambar 9).
Kejadian Saat Tsunami Untuk mendapatkan gambaran terjadinya tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 yang lalu, dilakukan wawancara terhadap lima orang narasumber dari pemerintah, tokoh masyarakat, pemilik rumah, serta dua orang masyarakat yang pada saat itu berada di tempat kejadian. Berdasarkan hasil wawancara, dapat diketahui bahwa pada saat terjadinya gempa bumi pada tanggal 26 Desember 2004 pukul 08.00 WIB, sebagian besar masyarakat berada di dalam rumah.
30
Zona awal kapal
Selat Malaka
Zona pergerakan kapal
c
Zona akhir kapal
Deah Glumpang Ulee Lheue Blang Oi
b d Lambung
Punge Ujong Cot Lamkuweuh Gampong Baro
Peta orientasi
a
Punge Blangcut
0
68
204 m
(a) Kawasan Permukiman
(b) Kawasan Pelabuhan Pasca Tsunami
(c) Kawasan Tambak
(d) Hutan Mangrove yang Hilang Akibat Tsunami
Gambar 9. Kondisi Peruntukan Lahan di Kawasan Ulee Lheue Setelah Bencana Tsunami
31
Gempa tektonik berkekuatan 8.9 skala Richter tersebut menyebabkan beberapa bangunan rumah runtuh. Selain itu, gempa bumi ini juga menimbulkan gelombang tsunami. Gelombang besar ini bergerak dari Selat Malaka dan perairan Ulee Lheue menuju daratan dengan kecepatan tinggi melalui permukaan dan bagian dalam tanah. Sebagian besar benda-benda dan bangunan yang dilalui gelombang ini hancur. Oleh karena itu, banyak masyarakat yang tidak sempat melarikan diri juga menjadi korban. Kapal PLTD Apung yang semula berada di Pelabuhan Ulee Lheue terbawa oleh ombak dan arus air laut hingga akhirnya terdampar di kawasan pemukiman penduduk di daerah Punge Blangcut Kecamatan Jaya Baru, sekitar 4 km dari posisi awal (Gambar 10). Kapal ini terbawa arus dan ombak air laut dari dua arah, yakni dari arah Ulee Lheue dan dari arah Peunayong (utara Kota Banda Aceh). Beberapa desa yang dilewati kapal PLTD Apung, yaitu Desa Deah Glumpang, Lambung, Blang Oi, Punge Jurong, dan Punge Blangcut. Pada saat kapal terbawa gelombang tsunami dari arah Ulee Lheue, kapal berjalan lurus ke arah kota. Namun gelombang tsunami dari arah Peunayong menyebabkan kapal berubah arah dan sempat berputar-putar di atas atap rumahrumah penduduk. Umumnya, rumah penduduk yang dilalui kapal tersebut rusak parah akibat hantaman badan kapal dan jangkar kapal yang pada saat itu masih dalam kondisi berlabuh di perairan Ulee Lheue. Akibatnya, jangkar
kapal
menarik bangunan dan benda lain yang dilaluinya. Pada saat terjadinya tsunami, kapal ini sempat menyelamatkan banyak orang. Namun, satu hal yang sulit difahami adalah selama perjalanannya, kapal ini tidak menabrak mesjid yang terdapat dalam jalur pelayarannya, yaitu mesjid Subulussalam. Menurut narasumber, jalur kapal PLTD Apung seolah-olah ada yang membelokkan, sehingga tidak menabrak mesjid. Diperkirakan dikarenakan adanya gelombang air laut yang membelokkan kapal tersebut. Letak mesjid ini tidak jauh dari posisi kapal saat ini. Kondisi mesjid ini sendiri telah mengalami pemugaran kembali dan masih digunakan oleh masyarakat setempat sebagai tempat beribadah.
32
Gambar 10. Jalur Masuk Kapal PLTD Apung ke Daratan
33
Pada saat air laut surut, kapal PLTD Apung ini akhirnya mendarat di atas sebuah rumah dan menimpa seluruh bangunan rumah. Dengan kebijakan Pemda Kota Banda Aceh, kapal dengan bobot ribuan ton ini akhirnya dijadikan sebagai salah satu bukti sejarah tsunami di Kota Banda Aceh. Para korban tsunami di daerah ini kemudian dimakamkan di Kuburan Massal yang dijadikan sebagai sebuah Monumen Syuhada atau yang lebih dikenal Taman Syuhada. Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan, dapat diketahui sejarah terjadinya tsunami tersebut, serta bagaimana kapal PLTD Apung sampai ke posisinya saat ini (Gambar 11). Kapal ini perlu dilestarikan untuk menjaga peninggalan sejarah dan edukasi yang bernilai tinggi bila dikembangkan. Disamping itu juga dapat mendukung perekonomian daerah tersebut sebagai kawasan tujuan wisata. Untuk menentukan batas kawasan yang akan direncanakan, ditentukan berdasarkan luas lahan dalam Pembebasan Tanah Tahap 1 yang dilakukan oleh pemerintah kota Banda Aceh sebagai kawasan sejarah. Untuk kawasan kepariwisataan, areal diperluas ke area yang masih ada kaitannya dengan kejadian pada saat tsunami terjadi, yaitu berdasarkan jalur pergerakan kapal (Gambar 12). Adapun batas-batas kawasan perencanaan yaitu : Utara :
berbatasan dengan Selat Malaka, dan Kecamatan Kuta Raja.
Selatan :
berbatasan dengan Kecamatan Jaya Baru
Timur :
berbatasan dengan Kecamatan Baiturrahman dan Krueng Doy
Barat :
berbatasan dengan Selat Malaka
Berdasarkan cerita yang diperoleh mengenai sejarah pergerakan kapal PLTD Apung mulai dari posisinya awal kapal yang berada di Perairan Ulee Lheue hingga menuju ke kawasan pemukiman (kejadian saat tsunami), maka dapat diketahui beberapa obyek bersejarah yang berpotensi untuk dijadikan sebagai obyek wisata sejarah (Tabel 3).
34
Gambar 11. Foto Udara yang Menggambarkan Lokasi Kapal PLTD Apung Pasca Tsunami
35
Gambar 12. Batas Perencanaan Kawasan Wisata Sejarah Tsunami
36
Tabel 3. Obyek Wisata Sejarah yang Diusulkan berdasarkan Urutan Kejadian Pergerakan Kapal PLTD Apung No.
Lokasi
Pembagian
Obyek Wisata
Zona 1. 2.
3. 4. 5. 6.
7.
Eksisting Aktivitas
Fasilitas
Desa Ulee Lheue Desa Lambung
Posisi awal kapal Pergerakan kapal
Perairan Ulee Lheue Desa Percontohan Pasca Tsunami
sightseeing
Desa Punge Ujong Desa Punge Blangcut Desa Punge Blangcut Desa Ulee Lheue
Pergerakan kapal Posisi akhir kapal Posisi akhir kapal Di luar jalur interpretasi
Rumah Tsunami
sightseeing
Sirene tower (Sea Defence Study), jalan -
Mesjid Subulussalam Kapal PLTD Apung Monumen Syuhada
beribadah
Toilet Parkiran, guide sign board, trackking
Desa Ulee Lheue
Di luar jalur interpretasi
Mesjid Baiturrahim
Sightseeing, foto hunting Sightseeing, berjalan-jalan, berdoa Sightseeing, foto hunting
Pengamatan, penelitian
-
Toilet, parkiran
Berdasarkan data pada Tabel 3, terlihat bahwa kondisi di beberapa lokasi obyek wisata masih minim akan aktivitas dan fasilitas yang terbatas. Keadaan ini dipengaruhi oleh belum adanya upaya penataan dan pengelolaan kawasan wisata tsunami secara terkoordinir. Selain itu, perhatian pemerintah setempat lebih terfokus pada pembenahan fasilitas umum yang rusak akibat bencana gempa dan tsunami.
Kondisi Fisik Tapak Setelah Tsunami Setelah terjadinya tsunami, kondisi di sekitar Ulee Lheue mengalami rusak parah. Beberapa wilayah di kecamatan ini sebagian hilang karena tenggelam air laut. Pola pemanfaatan ruang yang akan dikembangkan pada tapak lebih mengarah kepada pengembangan fisik ke arah
daratan, tetapi karakteristik
kawasan sebagai kota tepi pantai juga akan tetap dipertahankan sesuai dengan kondisi geografisnya. Saat ini, kondisi di sekitar kawasan kapal PLTD Apung mengalami perbaikan. Sebagian besar penduduk yang selamat kembali membangun dan
37
memperbaiki rumah yang rusak. Selain itu, pihak BRR dan berbagai LSM lainnya juga turut membantu rekonstruksi dan rehabilitasi di daerah tersebut (Gambar 13).
(a) Rumah Penduduk yang Mulai Dibangun Kembali
(b) Kondisi Rumah Penduduk yang Dipertahankan sebagai Obyek Sejarah Kawasan Permukiman
(c) Salah Satu Rumah Bantuan dari LSM Kawasan Permukiman
Gambar 13. Kondisi Rumah di Sekitar Tapak Pasca Tsunami
Dalam perencanaan kawasan wisata sejarah tsunami, keberadaan pemukiman yang terlalu padat dan lokasinya yang terlalu berdekatan dengan obyek bersejarah dapat mengganggu upaya pelestariannya. Hal ini berkaitan dengan aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat seperti penjualan ikan di samping kapal PLTD Apung. Pemukiman yang jaraknya terlalu dekat dengan obyek wisata disarankan untuk dipindahkan ke area lain yang memungkinkan untuk pembangunan pemukiman. Sedangkan beberapa rumah yang rusak akibat tsunami tetap dipertahankan sebagai bagian dari bukti sejarah tsunami.
38
Masuknya kapal PLTD Apung akibat gelombang tsunami ke daerah pemukiman padat di daerah ini merupakan salah satu sejarah fisik dan sosial yang penting untuk diingat oleh seluruh bangsa sehingga perlu untuk dilestarikan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan suatu makna simbolis bagi peristiwa terjadinya tsunami yang hebat dan menghancurkan tersebut. Untuk merealisasikannya, direncanakan akan dibangun suatu kawasan wisata sejarah tsunami. Dalam kawasan ini juga direncanakan jalur dan media interpretasi sejarah untuk memudahkan pengunjung mengerti dan memahami mengenai sejarah terjadinya tsunami sehingga pengunjung menyadari akan bahaya yang ditimbulkan dari bencana ini, serta ikut menjaga dan melestarikan obyek-obyek bersejarah tersebut.
Potensi Wisata Sejarah Tsunami Batas dan Luas Kawasan Perencanaan Secara geografis, lokasi PLTD Apung terletak antara 5º32’30”5º34’40”LU dan 95º16’35”- 95º19’18”BT. Berbeda dengan luasan yang direncanakan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) kota Kota Banda Aceh dalam RTRW 2006-2016 yaitu sekitar 18,162 Ha atau 0,296 % dari luas Kota Banda Aceh. Luas tapak yaitu sekitar 219,37 Ha, dengan asumsi bahwa kawasan wisata diperluas sesuai dengan kesepakatan antara Pemda Kota Banda Aceh dengan masyarakat. Berdasarkan luasan tersebut, maka luas kawasan yang direncanakan oleh pemerintah perlu diperluas. Jaraknya yang tidak telalu jauh dari pusat kota Banda Aceh, memudahkan pengunjung untuk datang ke daerah ini. Secara administratif, lokasi kapal PLTD Apung berada di desa Punge Blang Cut Kecamatan Jaya Baru dan sebagian kawasan lainnya termasuk Kecamatan Meuraxa, Kotamadya Banda Aceh. Daerah ini termasuk wilayah perkotaan yang diapit oleh beberapa desa, diantaranya Gampong Baro, Punge Ujong, Punge Jurong dan Sukaramai dari kecamatan Baiturrahman. Lokasi kapal juga dekat dengan jalan arteri dan pusat kota. Hal ini merupakan potensi dalam mengembangkan kawasan ini menjadi kawasan wisata.
39
Sebagai salah satu calon daerah tujuan wisata tsunami di kota Banda Aceh, kondisi di sekitar kapal PLTD Apung masih sangat minim dari kenyamanan berwisata dan fasilitas masih kurang memadai (Gambar 14). Saat ini, obyek wisata yang telah terencana dengan baik hanya Monumen Syuhada dan Mesjid Baiturrahim. Sebagian obyek wisata yang lainnya hanya berupa obyek bersejarah tanpa adanya penataan kawasan wisata yang terencana dan tertata dengan baik. Kondisi ini dapat ditingkatkan dengan mendata dan mengurutkan rangkaian obyek-obyek bersejarah yang berpotensi untuk dikembangkan dan mengadakan atraksi-atraksi wisata yang masih berhubungan dengan tsunami . Sebagian besar area kapal berupa lahan kosong dan beberapa ditanami rumput liar dan tanaman rawa, seperti dari jenis Thypa. Bahkan di beberapa lokasi, masyarakat setempat membuang sampah di lokasi kapal. Pembuangan sampah tidak pada tempatnya mengurangi keindahan di sekitar kapal PLTD Apung. Oleh karena itu, tempat pembuangan sampah ini harus dipindahkan, dan disediakan tempat pembuangan yang tidak terlalu dekat dengan kapal, sebagai obyek wisata, dan tidak mengurangi keindahan tapak. Selain membuang sampah sembarangan, di lokasi kapal PLTD Apung juga dijumpai penjual yang menggelar barang dagangannya, yaitu berbagai jenis ikan. Bau tidak sedap yang ditimbulkan dari penjualan ikan tersebut mengganggu pengunjung. Kondisi ini menurunkan citra kapal PLTD Apung sebagai salah satu obyek sejarah tsunami dan dapat menurunkan jumlah pengunjung yang datang ke lokasi wisata ini. Menghadapi masalah seperti ini, perlu adanya penempatan atau lokalisasi penjualan ikan, sehingga tidak mengganggu upaya pelestarian obyek bersejarah. Selain itu juga diperlukan peraturan yang tegas mengenai larangan berjualan di tempat yang tidak semestinya.
40
Zona awal kapal
Selat Malaka
Zona pergerakan kapal Zona akhir kapal
Deah Glumpang Ulee Lheue Blang Oi Lambung Punge Ujong Cot Lamkuweuh Gampong Baro
Peta orientasi
(a) Pemandangan yang tidak mengenakkan akibat adanya pembuangan sampah di sekitar kapal
(c) Rumah Penduduk terlalu dekat dengan kapal
d a
b Punge c Blangcut
0
68
204 m
(b) Penjual Ikan Menggelar Dagangannya Dipinggir Kapal PLTD Apung
(d) Tanaman alang-alang mendominasi tapak memberi kesan tapak tampak tidak terurus
Gambar 14. Kondisi Tapak di Sekitar Kapal PLTD Apung
41
Obyek-Obyek Wisata Sejarah Tsunami Perencanaan kawasan wisata dan jalur interpretasi sejarah tsunami di Aceh lebih dipusatkan di daerah Ulee Lheue. Beberapa titik-titik obyek interpretasi berdasarkan urutan kesejarahannya merupakan obyek wisata utama sejarah tsunami. Obyek Wisata Utama Obyek wisata utama merupakan obyek-obyek wisata sejarah yang masih berkaitan dengan jalur masuknya kapal PLTD Apung ke daratan. Beberapa obyek wisata sejarah tsunami yang dapat ditemui di sepanjang jalur interpretasi, yaitu: 1. Perairan Ulee Lheue Perairan Ulee Lheue (Gambar 15), merupakan kawasan yang berada di lingkungan pelabuhan Ulee Lheue, pelabuhan antar samudera di kota Banda Aceh. Daerah ini juga merupakan lokasi awal kapal PLTD Apung sebelum terjadinya tsunami. Dalam perencanaan kawasan wisata dan jalur interpretasi sejarah tsunami ini, kawasan ini merupakan titik awal dari jalur interpretasi sejarah tsunami.
Gambar 15. Perairan Ulee Lheue 2. Desa Lambung Diantara beberapa desa yang dilalui oleh kapal PLTD Apung, Desa Lambung (Gambar 16) terpilih sebagai desa yang mewakili desa-desa lainnya
42
sebagai desa yang mengalami kerusakan terparah. Kondisi Desa Lambung pasca tsunami sangat berbeda dengan saat sebelum tsunami terjadi. Desa ini awalnya merupakan desa yang ramai penduduk. Pasca tsunami, di desa ini tidak ada satu pun bangunan yang masih utuh. Oleh karena itu, desa Lambung dapat dijadikan salah satu media obyek interpretasi yang mampu merefleksikan kondisi dan suasana desa pasca bencana tsunami.
Gambar 16. Desa Lambung 3. Rumah Tsunami Rumah ini (Gambar 17) terdapat di Desa Punge Ujong. Obyek wisata ini merupakan salah satu rumah yang masih tersisa dan masih dapat diperbaiki walaupun mengalami beberapa kerusakan akibat benturan-benturan kapal. Rumah ini tetap dipertahankan mengingat rumah ini merupakan bukti bahwa kapal PLTD Apung tidak menghancurkan rumah tersebut. Jaraknya yang tidak terlalu jauh dari jalan Sultan Iskandar Muda memudahkan pengunjung untuk mendatangi lokasi ini atau hanya sekedar melihatnya dari jalan. 4. Mesjid Subulussalam Setelah melewati rumah-rumah penduduk, kapal bergerak ke selatan kota menuju Mesjid Subulussalam (Gambar 18) akibat hempasan gelombang tsunami yang datang dari arah Peunayong. Seperti yang telah dijelaskan, kapal
43
tidak menabrak mesjid tersebut, tetapi sempat berputar-putar, kemudian bergerak ke selatan kota dan akhirnya berhenti di atas rumah salah satu warga Punge Blangcut. Saat ini mesjid telah mengalami perbaikan dan dapat dimanfaatkan sebagai salah satu fasilitas peribadatan dalam kawasan wisata.
Gambar 17. Rumah Tsunami
Gambar 18. Mesjid Subulussalam
44
5. Kapal PLTD Apung Kapal PLTD Apung (Gambar 19) merupakan obyek wisata utama dalam perencanaan ini. Hal ini dikarenakan kapal ini telah berpindah lokasinya dari Pelabuhan Ulee Lheue hingga sampai di kawasan pemukiman padat di kelurahan Punge Blangcut akibat tsunami. Dalam perjalananya, kapal ini juga sempat menyelamatkan beberapa orang. Akibat bobotnya yang berton-ton, maka kapal ini tetap dibiarkan ditempatnya dan dijadikan sebagai salah satu monumen bersejarah di Aceh. Peristiwa ini menunjukkan betapa dasyatnya bencana tsunami yang terjadi di Aceh.
Gambar 19. Kapal PLTD Apung 6. Monumen Syuhada atau Taman Syuhada Monumen Syuhada (Gambar 20) merupakan kuburan massal bagi para korban bencana gempa bumi dan tsunami di kawasan Ulee Lheue pada tanggal 26 Desember 2004. Pekuburan ini dinamakan Monumen Syuhada atau Taman Syuhada dengan berdasarkan pada ajaran agama Islam bahwa para korban yang meninggal dalam kondisi bencana alam merupakan para syuhada dan tidak wajib untuk dimandikan sebelum dimakamkan. Monumen Syuhada berada di Jalan Sultan Iskandar Muda. Letaknya yang berada di pinggir jalan memudahkan pengunjung untuk mengakses lokasi ini. Saat ini, obyek wisata pendukung ini sudah tertata dengan baik. Kekurangan
45
dari penataannya adalah tidak tersedianya area parkir, sehingga banyak pengunjung yang membawa kendaraan pribadinya memarkirkan kendaraannya di pinggir jalan. Keadaan ini dapat menyebabkan kemacetan, terutama pada hari peringatan Tsunami 26 Desember setiap tahunnya, dan hari-hari besar Agama Islam, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.
Gambar 20. Monumen Syuhada 7. Mesjid Baiturrahim Selain Monumen Syuhada yang berada di luar jalur pergerakan kapal PLTD Apung, begitu juga halnya dengan Mesjid Baiturrahim (Gambar 21) merupakan salah satu dari beberapa mesjid di Kota Banda Aceh yang berada di pesisir pantai. Pada saat bencana tsunami terjadi, mesjid Baiturrahim tidak mengalami kerusakan yang berarti dan menjadi salah satu tempat berlindung masyarakat sekitarnya. Pasca tsunami, korban yang selamat berkumpul di mesjid ini dan pemberian bantuan dilakukan di tempat ini. Selain itu korban tsunami yang meninggal juga dikumpulkan di mesjid ini untuk kemudian dikebumikan di lokasi Monumen Syuhada. Selamatnya bangunan mesjid dari gelombang tsunami merupakan suatu keajaiban dimana semua bangunan yang berada disekitarnya hancur dan yang
46
tersisa hanyalah pondasi bangunan itu sendiri. Keberadaan mesjid ini merupakan salah satu bukti kekuasaan Allah SWT yang patut direnungkan. Walaupun letaknya yang berada di luar jalur interpretasi wisata, keberadaannya Monumen Syuhada dan Mesjid Baiturrahim mendukung keberadaan tapak sebagai kawasan wisata sejarah tsunami. Dengan demikian, obyek Monumen Syuhada dan Mesjid Baiturrahim dapat menjadi salah satu obyek wisata alternatif.
Gambar 21. Mesjid Baiturrahim Obyek Wisata Pendukung Selain terdapat beberapa obyek wisata utama, di kawasan Ulee Lheue juga terdapat obyek wisata sejarah tsunami pendukung. Obyek wisata pendukung ini masih berkaitan dengan peristiwa bencana tsunami. Beberapa obyek pendukung wisata sejarah, yaitu : 1. Tsunami Interpreting Outdoor Playground Tsunami Interpreting Outdoor Playground merupakan tempat untuk memberikan pengetahuan dan pembelajaran kepada anak-anak mengenai tsunami, mulai dari tanda-tanda akan adanya tsunami hingga cara-cara penyelamatan diri yang dapat dilakukan apabila bencana tersebut terulang kembali.
47
2. Museum Tsunami Museum ini merupakan museum yang menyimpan berbagai hal yang berkaitan dengan tsunami dan sejarah terjadinya tsunami di Aceh dan di beberapa negara di dunia yang pernah dilanda bencana tsunami. Keberadaan museum ini diharapkan dapat menjadi salah satu pusat informasi dan ilmu pengetahuan bagi pengunjung yang ingin mengetahui segala sesuatu mengenai tsunami dan cara-cara penyelamatan dari bencana tsunami. 3. Sirene Tower Bangunan Sirene Tower adalah menara yang dibangun untuk memberikan informasi mengenai tanda-tanda gelombang pasang dan terjadinya tsunami bagi masyarakat di Kota banda Aceh umumnya dan masyarakat di pesisir pantai Ulee Lheue khususnya. Dengan demikian, masyarakat dapat menyelamatkan diri. 4. Refuge Building Inventory Merupakan salah fasilitas yang diperuntukkan bagi penyelamatan pertama dalam menghadapi korban bencana tsunami. 5. Amphitheater Amphitheater lebih difungsikan sebagai sarana pementasan atraksi wisata seperti tarian-tarian tradisional Aceh maupun opera mengenai tsunami. 6. Coastal Forest Merupakan formasi tanaman pantai seperti bakau, pohon sagu, dan pohon kelapa yang memiliki kemampuan alamiah untuk mereduksi gelombang tsunami. Coastal forest merupakan solusi dari kelemahan penggunaan struktur buatan seawell dan breakwater. Aksesibilitas Kawasan PLTD Apung memiliki aksesibilitas yang cukup baik dan mudah dicapai dengan sistem jaringan sirkulasi yang baik. Jarak antara lokasi perencanaan ke pusat kota Banda Aceh sekitar 2 km dan jarak ke pelabuhan Ulee Lheue sekitar 4 km (Gambar 22). Berdasarkan Gambar 22, untuk menuju ke lokasi tapak dapat melalui beberapa jalan alternatif utama yaitu melalui Jalan Iskandar Muda (dari pusat kota Banda Aceh), dari arah pusat kota melalui Jalan Rama Setia, dari arah
48
Lamteumen, dan dari arah Pantai Lhok Nga. Untuk aksesibilitas dari arah Pantai Lhok Nga dapat menempuh Jalan Lhok Nga yang merupakan jalur lingkar luar Kota Banda Aceh, atau dapat juga melalui Jalan Teuku Umar, kemudian menuju jalan Sultan Iskandar Muda. Kondisi jalan dari keempat akses yang dapat dilalui secara umum
rusak,
berbatu, berdebu dan berlubang. Kondisi ini sangat mengganggu pernafasan bagi para pengendara kendaraan, terutama kendaraan beroda dua dan beroda tiga (becak motor). Perbaikan jalan sangat dibutuhkan guna memperlancar kegiatan berwisata. Pusat Kota melalui Jl. Sultan Iskandar Muda
± 15 menit
± 30 menit
± 10 menit
Dari Arah Lamteumen
± 10 menit
± 15 menit
Tapak
Pusat Kota melalui Jl. Rama Setia
± 50 menit
Lhok Nga ± 40 menit
± 90 menit
Keterangan : Akses masuk Jalan alternatif
Gambar 22. Diagram Aksesibilitas Menuju Kapal PLTD Apung
Berdasarkan berbagai alternatif aksesibilitas menuju kawasan kapal PLTD Apung pada Gambar 22, akses dari arah Jl. Rama Setia menjadi akses yang paling dekat dari pusat kota Banda Aceh dan merupakan interpretasi dari jalur sejarah masuknya kapal PLTD Apung ke daratan akibat tsunami. Selain melalui Jl. Rama
49
Setia, akses menuju tapak juga dapat ditempuh melalui baberapa jalan alternatif dari berbagai wilayah di Kotamadya Banda Aceh. Untuk memudahkan pengunjung memahami jalur sejarah tsunami yaitu dengan menempatkan signboard-singboard di beberapa titik akses masuk alternatif menuju tapak. Transportasi di kota Banda Aceh memiliki jaringan pelayanan dalam dan luar kota. Jaringan pelayanan dalam kota meliputi kendaraan umum, yaitu angkutan umum atau yang umumnya disebut labi-labi, becak, bus Damri dan mini bus (L300). Untuk jaringan luar kota dilayani oleh angkutan lintas propinsi seperti bus antar kota, pesawat terbang, dan kapal laut. Untuk menuju lokasi kapal PLTD Apung dengan menggunakan angkutan umum, saat ini kondisinya hanya bisa dilalui oleh becak, dan mini bus, sedangkan angkutan labi-labi hanya melewati jalur yang sudah ditetapkan oleh pemerintah kota, yaitu hanya sampai jalan Sultan Iskandar Muda. Melihat perkembangan yang terjadi, banyak pengunjung yang mendatangi lokasi kapal PLTD Apung dengan kendaraan pribadi. Dari Mesjid Raya Baiturrahman (pusat kota Banda Aceh) menuju kawasan PLTD Apung, jika menggunakan angkutan umum dapat menggunakan labi-labi, jurusan Ulee Lheue. Sedangkan dari arah Pantai Lhok Nga dapat menggunakan labi-labi jurusan Lhok Nga, atau dapat juga menggunakan labi-labi jurusan Leupung. Hal ini dikarenakan daerah ini merupakan daerah terkena tsunami yang terparah di kecamatan Jaya Baru. Oleh karena itu, seluruh perangkat jalan hancur. Untuk akses dari arah Bandara Sultan Iskardar Muda (SIM) dapat menggunakan angkutan jurusan Blang Bintang. Kondisi jalan masih tergolong rusak. Hal ini terlihat dari adanya beberapa perbaikan jalan di beberapa ruas jalan. Selain itu akses dari arah ini juga mengalami pelebaran jalan. Kondisi aksesibilitas menuju kapal PLTD Apung dapat dilihat pada Gambar 23. Dari hasil survei yang dilakukan, jalan yang mengelilingi kawasan perencanaan tergolong dalam kelas jalan lingkungan atau jalan lokal. Jalan Lingkungan atau Jalan Lokal merupakan jalan yang melayani suatu lingkungan atau yang menghubungkan suatu lingkungan dengan jalan kolektor. Sedangkan Jalan Kolektor, adalah jalan yang menghubungkan bagian-bagian utama di dalam
50
kota atau sebagai penghubung dengan jalan jalan utama di dalam kota (RTRW Kota Banda Aceh 2006-2016, 2006).
(a) Kondisi jalan melalui Lamteumen
(b) Kondisi Jalan menuju kapal PLTD Apung melalui Jl. Rama Setia
(c) Kondisi Jalan melalui Pantai Lhok Nga
(d) Kondisi Jalan menuju kapal PLTD Apung melalui Jalan Sultan Iskandar Muda
Gambar 23. Kondisi Aksesibilitas Menuju Kapal PLTD Apung Jika melihat kondisi jalan lingkungan saat ini, lebar jalan terlalu sempit dan hanya cukup dilalui oleh satu kendaraan roda empat ukuran kecil. Melihat perkembangan kawasan ini apabila dikembangkan sebagai kawasan wisata, sebaiknya kelas jalan ditingkatkan, yaitu dari kelas jalan lingkungan menjadi jalan kolektor sekunder. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pengunjung dalam mengakses kawasan wisata. Selain lebar jalan yang belum sesuai dengan RTRW Kota Banda Aceh, sarana untuk pejalan kaki pada jalan arteri juga belum tersedia, yaitu jalur pedestrian dan jalur sepeda. Pedestrian diperuntukkan bagi pengunjung maupun masyarakat yang ingin mengunjungi obyek-obyek wisata tsunami yang ada dengan berjalan kaki atau bersepeda atau hanya sekedar berjalan-jalan di sekitar tapak.
51
Analisis aksesibilitas, jaringan jalan dan alternatif perencanaan kawasan wisata dan jalur interpretasi sejarah tsunami dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Analisis Aksesibilitas dan Alternatif Perencanaan No.
Data
Analisis
Alternatif Perencanaan
1.
Jarak dan waktu tempuh
Jarak menuju lokasi sekitar 2 km atau 10 menit dari pusat kota
Jarak dari pusat kota ke lokasi tapak dekat, sehingga tapak lebih mudah diakses oleh masyarakat lokal, maupun dari luar kota.
2.
Aksesibilitas
Dapat melalui : - Pusat Kota Banda Aceh (melalui Jl. Sultan Iskandar Muda) - Pusat Kota (melalui Jl. Rama Setia) - Lamteumen - Pantai Lhok Nga
Akses masuk-keluar utama melalui Jl. Rama Setia karena jalan ini merupakan jalan yang paling dekat dan mudah diakses seluruh masyarakat Banda Aceh. Akses masuk-keluar juga dapat melalui Jl. Sultan Iskandar Muda dan Jl. Lhok Nga. Untuk Jalan keluar alternatif dapat melalui Jl. Punge Blangcut menuju Lamteumen.
3.
Sistem Transportasi
Sebagian besar pengunjung menggunakan kendaraan pribadi atau kendaraan umum roda empat.
Pengadaan lapangan pasrkir denganpembagian lapangan parkir bagi kendaraan umum jenis Bus Pariwisata, kendaraan roda empat dan kendaraan roda dua.
4.
Kondisi Jalan
Sebagian besar masih dalam keadaan rusak akibat tsunami. Tidak ada rambu-rambu lalu lintas dan fasilitas jalan lainnya.
Perlunya perbaikan jalan dan penyediaan kelengkapan fasilitas jalan. Selain itu juga diperlukan jalur pedestrian dan jalur sepeda.
Berdasarkan RTRW Kota Banda Aceh 20062016 termasuk kedalam kelas jalan lingkungan atau jalan lokal. Hal ini menghambat jalur sirkulasi dalam tapak dan akses kaluar masuk tapak.
Peningkatan kelas jalan menjadi jalan kolektor sekunder.
Dapat merusak obyek sejarah akibat vandalisme
Diperlukan upaya-upaya pelestarian benda bersejarah dengan membuat zona penyangga.
5.
Jarak antara jalan lingkungan dan obyek wisata sejarah yang berdekatan
Dari hasil analisis pada Tabel 4, maka diperoleh peta hasil analisis aksesibilitas yang dapat dilihat pada Gambar 24.
52
Gambar 24. Aksesibilitas
53
Alternatif Jalur Wisata Sejarah Jalur sejarah diperlukan sebagai bahan masukan dalam penentuan jalur interpretasi wisata utama di dalam tapak. Dalam perencanaannya, jalur interpretasi wisata utama yang digunakan yaitu jalur masuknya kapal PLTD Apung ke daratan. Selain itu, jalur ini juga menghubungkan beberapa obyek bersejarah lainnya yang masih berkaitan dengan bencana tsunami. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pengunjung memahami makna dari obyek sejarah tsunami (Gambar 25) Kawasan wisata sejarah ini terdiri dari jalur interpretasi yang menghubungkan keseluruhan kawasan tapak dan beberapa obyek wisata sejarah, baik obyek wisata utama maupun obyek wisata pendukung yang masih berada dalam jalur pergerakan kapal PLTD Apung. Kegiatan wisata yang disarankan bagi pengunjung yaitu dengan mengikuti urutan obyek yang sesuai dengan sejarah pergerakan kapal yang diawali dari Perairan Ulee Lheue. Di perairan ini merupakan area kapal sebelum bencana tsunami terjadi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kapal berada di perairan ini dalam keadaan berlabuh. Obyek wisata yang dapat dilihat selanjutnya yaitu Desa Lambung. Di desa ini, pengunjung dapat menyaksikan puing-puing rumah yang masih tersisa. Rumah Tsunami merupakan obyek ketiga. Pada area ini, pengunjung hanya bisa menyaksikan rumah tersebut dari jarak tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari bahaya runtuhnya bangunan rumah yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Kemudian Mesjid Subulussalam menjadi kunjungan selanjutnya. Di Mesjid ini, pengunjung yang beragama Islam juga dapat melaksanakan ibadah di tempat ini. Lokasi keberadaan kapal PLTD Apung merupakan obyek terakhir dalam jalur interpretasi. Untuk obyek wisata pendukung yang berada di luar jalur pergerakan kapal dapat ditempuh dengan mengunakan alternatif jalur wisata. Obyek wisata yang dapat dilihat yaitu Monumen Syuhada dan Mesjid Baiturrahim. Dari analisis potensi wisata yang dilakukan menghasilkan kawasan wisata sejarah (Gambar 26).
54
Gambar 25. Jalur Pergerakan Kapal dan Lokasi Objek Wisata Sejarah
55
Gambar 26. Kawasan Wisata Sejarah Tsunami
56
Pertimbangan Perencanaan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh (RTRW) adalah rencana pemanfaatan ruang kota yang disusun untuk menjaga keseimbangan dan keserasian pembangunan antar sektor dalam rangka pembangunan kota. RTRW berfungsi sebagai panduan dalam merumuskan kebijaksanaan pembangunan antar sektoral dan wilayah; dasar dalam menentukan arah dan pengendalian kegiatan pembangunan; arahan investasi yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat dan swasta; serta upaya meningkatkan peran kota sebagai pusat pengembangan dalam suatu sistem pengembangan wilayah di lingkungan ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Konsep pengembangan ruang Kota Banda Aceh ke depan direncanakan akan untuk dibagi menjadi empat zona yang disesuaikan dengan pengembangan kota yang digunakan, pertumbuhan penduduk, ketersediaan sumber daya lahan dan antisipasi terhadap potensi bencana. Berdasarkan revisi RTRW 2010, Kota Banda Aceh terbagi dalam empat Bagian Wilayah Kota (BWK), yaitu BWK Barat, BWK Pusat (Utara), BWK Selatan dan BWK Timur. Untuk revisi RTRW 2016, pembagian keempat BWK ini tetap digunakan, hanya ada penyesuaian batas menggunakan unit administrasi kecamatan. Kecamatan Jaya Baru dan Muraxa termasuk kedalam BWK Barat. BWK ini difungsikan sebagai pusat kegiatan pelabuhan dan wisata, yang didukung kegiatan perdagangan dan jasa, kawasan permukiman dan sebagainya. Pusat BWK ini ditetapkan di Lamteumen. Selanjutnya BWK Barat terbagi atas tujuh zona berdasarkan karakter zona kesesuaian pengembangan fisik (Tabel 5). Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa Pemda Kota Banda Aceh merencanakan pembangunan kawasan wisata Monumen PLTD Apung. Rencana ini terletak pada zona BWK A.5 (Gambar 27). Rancangan RTRW ini menjadi landasan dalam pengembangan dan pembangunan kawasan wisata dan jalur interpretasi sejarah tsunami. Dalam pengembangan kawasan wisata PLTD Apung diketahui bahwa areal lahan yang ditempati kapal tersebut merupakan hak milik pribadi salah seorang masyarakat. Menurut Qanun RTRW Kota Banda Aceh Tahun 2006-
57
2015 Bab IV mengenai Pengembangan dan Pemanfaatan Ruang Pasal 27, menyatakan bahwa: 1) Rencana tata ruang berkewajiban untuk mempertahankan kelestarian cagar alam, situs budaya dan peninggalan sejarah; 3) Jika sewaktuwaktu berdasarkan hasil penelitian, ditemukan adanya situs budaya atau peninggalan sejarah lainnya, maka penemuan itu dengan sendirinya ditetapkan sebagai kawasan cagar alam, situs budaya dan peninggalan sejarah baru. 4) Bila penetapan kawasan sebagaimana dimaksud ayat (3) pasal ini, termasuk dalam areal lahan yang dimiliki dan atau dikuasai oleh pihak lain, maka Pemerintah Kota berkewajiban memberikan ganti rugi. (5) Ganti rugi sebagaimana maksud ayat (4) pasal ini adalah dilaksanakan berdasarkan yang diatur menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tabel 5. Pembagian Zona pada BWK Barat Kota Banda Aceh No. 1.
Kode Zona BWK P1 (Pesisir)
Fungsi Wilayah
2.
A.1
Kawasan konservasi yang berupa zona hijau/pond serta dapat menjadi daerah wisata. Selain itu juga diarahkan menjadi budidaya tambak. Pada zona ini diarahkan untuk kawasan permukiman terbatas, yang berarti bahwa tidak ada pengembangan permukiman baru.
3.
A.2
Kawasan konservasi yang berupa zona hijau/pond serta dapat menjadi daerah wisata. Selain itu juga diarahkan menjadi budidaya tambak. Zona ini juga diarahkan untuk kawasan permukiman terbatas, yang berarti bahwa tidak ada pengembangan permukiman baru.
4.
A.3
Zona ini berfungsi sebagai zona tambak, kawasan konservasi (berupa zona hijau dan wisata) serta permukiman terbatas.
5.
A.4
Terdapat perkantoran baik pemerintah maupun swasta, kawasan campuran komersial dan fasilitas umum, serta permukiman kepadatan sedang dan tinggi.
6.
A.5
Merupakan kawasan permukiman dengan kepadatan sedang, termasuk zona perdagangan dan jasa yang menyebar secara linier mengikuti pola jalan, terdapat terminal kota, dan kawasan wisata Monumen PLTD Apung.
7.
A.6
Merupakan kawasan permukiman dengan kepadatan sedang. Selain itu juga termasuk zona perdagangan dan jasa yang menyebar secara linier mengikuti pola jalan
Sebagai daerah perlindungan pantai yang berupa Hutan Mangrove (hutan lindung) dan juga kawasan perikanan tangkap/perikanan samudera
(Sumber: RTRW Kota Banda Aceh 2006-2016, 2006)
58
Gambar 27. Peta Arahan Fungsi Berdasarkan Zona Fisik per BWK Kota Banda Aceh
59
Dengan memperhatikan peraturan tersebut, maka saat ini kondisinya areal di sekitar kapal PLTD Apung telah dibebaskan sebagian yakni melalui kesepakatan Pembebasan Tanah Tahap 1 dan sebagian areal yang belum dibebaskan, saat ini masih dalam tahap diskusi dengan masyarakat setempat. Tata Guna Lahan (Land Use) Menyikapi perubahan fisik dan non-fisik di kecamatan Meuraxa dan Jaya Baru pasca tsunami, maka pola dan struktur ruang yang akan dikembangkan harus melalui pendekatan terhadap perencanaan mitigasi bencana gempa dan tsunami. Penggunaan lahan saat ini di dominasi oleh lahan permukiman dan lahan-lahan yang menjadi genangan ditimbun oleh masyarakat dan digunakan untuk perumahan atau pemukiman (Tabel 6). Tabel 6. Bentuk-bentuk Peruntukan Lahan beserta Luasan Lahan Pra-Tsunami Bentuk Lahan
Penggunaan Lahan (Ha) Meuraxa
Jaya Baru
Sawah
65
3
Ladang
111
0
Perkebunan
4
0
Pemukiman
478
28
Bangunan Industri
1
0
Bangunan lainnya
47
0
Lain-lain (bukan hutan negara)
16
0
Tidak diusahakan
56
0
Sumber: RTRW Kota Banda Aceh 2006-2016 Berdasarkan data yang terdapat dalam Tabel 6, sebagian besar wilayah di kecamatan Meuraxa dan Jaya Baru pra-tsunami merupakan kawasan pemukiman padat. Pada saat tsunami, sebagian besar bangunan rumah hancur. Dengan demikian banyak wilayah yang berubah penggunaanya menjadi rawa-rawa yang tidak ditanami. Untuk memperbaiki tata guna lahan sesuai dengan tujuan saat ini yaitu sebagai kawasan wisata sejarah, maka tata guna lahan pada tapak dapat dilihat pada Gambar 28.
60
Gambar 28. Peta Eksisting Tata Guna Lahan
61
Lahan tidak terbangun merupakan lahan yang hancur akibat tsunami pada 26 Desember 2004 yang lalu. Kawasan ini mengalami perubahan yang sangat cepat. Sedangkan lahan terbangun pada tapak didominasi oleh pemukiman. Sirene Tower dan Refuge building inventory dibangun untuk mendeteksi kemungkinan adanya gelombang tsunami susulan dalam waktu dekat, sehingga diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat di pesisir pantai khususnya untuk menyelamatkan diri dan mampu mengurangi jumlah korban jiwa. Kebijakan Pemerintah NAD Berdasarkan Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekontruksi Wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara (Rencana Induk R2WANS) tahun 2005, secara prinsip kebijakan struktur dan pola pemanfaatan ruang provinsi NAD diarahkan untuk mengembalikan dan merehabilitasi struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah Provinsi NAD. Untuk struktur dan pola pemanfaatan ruang kabupaten/kota, pemerintah membedakan dalam empat hal, yakni sistem kota, struktur ruang kota, kawasan non-budidaya dan kawasan budidaya. Untuk kawasan budidaya dibagi menjadi dua kawasan, yakni: 1. Kawasan Permukiman a) membangun kembali permukiman kota yang rusak beserta fasilitasnya. b) melengkapi permukiman yang ada dengan fasilitas mitigasi bencana. c) mengembangkan bangunan penyelamatan/rumah vertikal pada kawasan-kawasan berkepadatan tinggi. d) menciptakan kawasan permukiman baru. 2. Kawasan Bersejarah Mengkonservasi dan merevitalisasi kawasan bersejarah yang masih ada. Dengan memperhatikan kebijkan pemerintah kota Banda Aceh tersebut, maka perencanaan kawasan wisata dan jalur interpretasi sejarah tsunami di kawasan kapal PLTD Apung dilakukan dengan upaya mengkonservasi obyek sejarah tsunami sekaligus menjadikan kawasan disekitarnya sebagai kawasan wisata sejarah (Gambar 29).
62
Gambar 29. Kawasan Wisata Berdasarkan Peruntukan Kota
63
Aspek Pendukung Biofisik Topografi dan Kemiringan Topografi merupakan bentukan lahan suatu lanskap berdasarkan perbedaan tingkat ketinggian lahan. Aspek ini sangat penting untuk diketahui dalam perencanaan
suatu
kawasan
sebagai
dasar
pertimbangan
dalam
pembangunan jalur jalan, penempatan utilitas, tata ruang dan tata letak bangunan. Kecamatan Jaya Baru berada di kawasan pesisir bagian barat Kota Banda Aceh. Sebagian besar wilayahnya berupa dataran. Terletak pada ketinggian 0,8 m di atas permukaan laut (dpl) pada saat sebelum terjadi tsunami. Saat ini kondisinya, terjadi penurunan ketinggian sebesar 0,75 m dpl. Dengan demikian, beberapa kawasan di kecamatan ini terendam dan luas wilayahnya menurun menjadi 725,8 Ha. Untuk kawasan perencanaan merupakan dataran rendah dengan ketinggian kurang dari 4 m dpl dengan kemiringan 0-10%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kawasan ini memiliki topogafi relatif datar dan tingkat erosi relatif rendah menyebabkan sistem drainase buruk. Hal ini terlihat dari kontur pada peta yang nilainya semakin rendah ke arah barat tapak (Gambar 30). Beberapa bagian utara, barat dan selatan di luar tapak dikelilingi oleh air baik berupa genangan air maupun rawa. Bahkan di bagian utara lokasi kapal PLTD Apung juga terdapat genangan permanen. Dengan kondisi lahan yang relatif datar seperti ini merupakan kendala yang dapat menimbulkan masalah drainase seperti terjadinya penggenangan dan banjir. Menurut data dari DPU (Departemen Pekerjaan Umum), secara keseluruhan Provinsi Aceh mempunyai saluran drainase lama yang mencakup wilayah seluas 35 km². Cakupan wilayah ini, termaksud didalamnya kawasan prioritas, dibagi dalam tiga zona drainase. Setiap zona memiliki jaringan yang mencakup saluran-saluran drainase yang ada di sepanjang jalan dan dilengkapi 8 titik pompa berdasarkan karakteristik topografinya. Wilayah drainase primer terhubung kebeberapa sungai, antara lain Krueng Aceh, Krueng Doy, banjir kanal dan lainnya.
64
Berdasarkan
data
yang
diperoleh,
penanggulangan
terjadinya
penggenangan air dan banjir dapat diatasi dengan menggunakan pompa air. Pada tapak terdapat dua pompa air primer. Pompa air yang pertama diarahkan ke laut sedangkan pompa yang lain digunakan untuk mengalirkan air ke Krueng Doy (Sungai Doy). Saluran drainase pada tapak mengikuti pola tata ruang dan jaringan jalan. Selain itu juga dapat diatasi dengan membuat pembuangan air dan rawarawa atau danau buatan yang berfungsi sebagai penangkap air dan mencegah terjadinya banjir. Area ini juga dapat dimanfaatkan sebagai area permainan air dalam pengembangan kawasan ini sebagai kawasan wisata sejarah. Disamping itu juga dapat menggunakan tanaman-tanaman yang toleran terhadap genangan. Upaya lainnya untuk mengatasi banjir yaitu dengan meningkatkan fungsi hutan sebagai sarana penyimpanan air. Dalam tapak, keberadaan hutan juga dapat berfungsi sebagai green belt untuk menghambat/memecah kekuatan gelombang tsunami. Selain perlindungan terhadap banjir, perlindungan terhadap bencana tsunami selain dengan hutan, juga dapat dilakukan dengan perlindungan pantai, seperti breakwater, dinding penahan gelombang, (sea wall), dan formasi pantai (coastal forest). Analisis topografi dan kemiringan lahan dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Analisis Topografi dan Kemiringan Lahan Data Kemiringan Lahan 0-10%
Analisis
Alternatif Perencanaan
Secara visual merupakan potensi karena obyek wisata utama berada kontur yang lebih tinggi dibandingkan sekitarnya.
Mempertahankan ketinggian lahan di sekitar obyek wisata.
Topografi relatif datar dan tingkat terjadinya erosi relatif rendah menimbulkan masalah drainase seperti penggenangan air dan banjir.
Memperbaiki sistem saluran drainase sehingga air tidak menggenang. Penggunaan alat pompa air dan mengarahkan pembuangan air ke saluran drainase primer Krueng Doy dan ke laut, bisa juga dengan membuat kolam, danau atau sumur resapan. Menggunakan tanaman-tanaman yang toleran terhadap genangan dan mampu menyerap air.
65
Gambar 30. Hasil Perhhitungan Topografi dan Kemiringan Lahan
66
Kenyamanan (iklim) Iklim merupakan hasil dari sejumlah faktor yang saling mempengaruhi. Faktor-faktor tersebut yaitu curah hujan (mm/hari atau mm/tahun), angin (km/jam, kecepatan, arah), suhu udara (ºC maks, min, rata-rata), kelembaban nisbi (%maks, min, rata-rata), radiasi matahari (%), dan kualitas udara. Berdasarkan kondisi iklim yang dipantau dari Stasiun BMG Blang Bintang Aceh Besar dengan posisi 05º05’LU dan 95º13’BT yang berada pada 20 m dari msl selama kurun waktu sepuluh tahun (1997-2006). Dari hasil tabulasi data iklim, menggambarkan bahwa suhu udara berkisar antara 25-27ºC, curah hujan bulanan berkisar antara 64-205 mm/bln, kecepatan angin berkisar antara 2,9-5,0 knot, kelembaban nisbi berkisar antara 73-83%, serta intensitas penyinaran matahari berkisar pada 42,974,9 % (Gambar 31). Berdasarkan data tersebut, maka dapat diketahui Derajat Kenyamanan (Thermal Humidity Index/THI) dengan menggunakan rumus : THI = 0,8 T + (RH x T) 500 dengan T = suhu udara (ºC), RH = kelembaban nisbi udara (%) Melalui perhitungan dengan menggunakan rumus THI, diketahui bahwa nilai kenyamanan pada tapak berkisar antara 26.5-28,4. Umumnya, masyarakat di daerah tropis akan merasa tidak nyaman pada THI yang lebih dari 27. Suhu udara pada pagi-sore dan siang hari sangat berbeda. Tapak pada pagi dan sore hari sangat nyaman. Angin juga berhembus dengan kencangnya. Hal ini terlihat dari pergerakan bendera yang berkibar. Berbeda kondisinya dengan pada pagi dan sore hari, suhu udara pada tapak akan terasa sangat terik pada siang hari. Selain itu angin juga berhembus sepoi-sepoi. Dengan demikian, sebagian besar pengunjung berdatangan ke lokasi ini pada sore hari.
67
Curah Hujan Rata-rata (1997-2006) 250 200 (mm/bln) 150 100 50 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
11
12
Bulan
Suhu Udara Rata-rata (1997-2006) 28 27.5 27 (C) 26.5 26 25.5 25 24.5 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Bulan
Intensitas Penyinaran Matahari Rata-rata (1997-2006) 80 70 60 (%) 50 40 30 20 10 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
11
12
Bulan
Kelembaban Rata-rata (1997-2006) 86 84 82 80 (%) 78 76 74 72 70 68 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Bulan
Gambar 31. Grafik Beberapa Unsur Iklim di Kecamatan Ulee Lheue dalam Kurun Waktu 1997-2006 (Sumber : Stasiun BMG Blang Bintang)
Beradasarkan hasil analisis, untuk meningkatkan kenyamanan pada tapak diperlukan adanya naungan baik berupa elemen soft material maupun hard material. Soft material dapat menggunakan tanaman sedangkan hardmaterial
68
dapat menggunakan bangunan shelter, gazebo, atau bangunan naungan lainnya. Untuk penggunaan elemen tanaman pada tapak lebih difungsikan sebagai peneduh dan tanaman yang akan digunakan merupakan tanaman yang toleran terhadap genangan dan mampu menyerap air. Bentuk-bentuk tajuk pohon dapat berbentuk kerucut, kolumnar, dome (kubah), bulat, piramidal, menjurai, atau menyebar (Gambar 32).
kerucut
kolumnar
kubah
bulat
piramidal
menjurai
menyebar
Gambar 32. Berbagai Bentuk Tajuk Pohon (Booth, 1983)
69
Kondisi Tanah Kondisi tanah di lokasi perncanaan menurut Ramos Kam dalam tesisnya yang berjudul Evaluasi Kualitas Lahan dan Arahan Konservasi pada Kawasan Pantai Kota Banda Aceh Pasca Tsunami, batuan penyusun di kawasan perencanaan umumnya merupakan aluvial sungai dan endapan aluvial pantai, yang tersusun dari kerikil, pasir, dan lempung. Jenis tanahnya adalah aluvial (Entisol) yang umumnya berwarna abu-abu hingga kecoklat-coklatan. Kedalaman efektif tanah diatas 100 cm dengan kondisi drainase sedang. Pada lahan ini kemungkinan terjadinya erosi sangat kecil. Selain itu, air tanah di kawasan ini dangkal dan terjadi intrusi air laut sehingga air tanah menjadi payau. Jenis tanaman yang umumnya tumbuh pada kondisi tanah dengan topografi relatif datar dan kondisi drainase yang kadang-kadang tergenang yaitu nipah, bakau, nangka (Artocarpus integra), albizia (Paraserianthes falcataria), Acacia vilosa, Indigofera galegoides, Dalbergia spp., mahoni (Swietenia spp.), jati (Tectonia grandis), ki hujan (Samanea saman), Thypa sp., dan lantoro (Leucanea glauca) (Manan, 1976). Tanaman kelapa dapat tumbuh pada lahan kawasan pantai dengan kondisi drainase yang baik (tidak pernah tergenang). Berdasarkan hasil analisis kondisi tanah pada tapak, terlihat bahwa daerahdaerah yang sering tergenang air tidak sesuai untuk didirikan bangunan di atasnya. Ini disebabkan oleh kondisi tanah yang labil dan ketidakmampuan tanah untuk menahan beban bangunan diatasnya (Gambar 33). Daerah-daerah yang tergenang ini lebih diarahkan sebagai area permainan air. Pembangunan fasilitas wisata yang berupa bangunan berupa bangunan semi permanen. Analisis yang dilakukan terhadap aspek pendukung menentukan kualitas dan kenyamanan kawasan wisata tersebut.
70
Gambar 33. Peta Kesesuaian Lahan terhadap Bangunan
71
Kondisi Sosial Masyarakat Lokal Dampak Tsunami terhadap Masyarakat Lokal Bencana alam gempa dan tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 telah menghancurkan sebagian besar wilayah pesisir Kota Banda Aceh. Sebagian besar masyarakat Aceh kehilangan anggota keluarganya. Pada saat itu perekonomian di Aceh sempat lumpuh. Karena sebagian besar perekonomian masyarakat digerakkan dari sektor perdagangan dan jasa. Kejadian tsunami ini tidak akan mudah dilupakan mengingat banyaknya jumlah korban jiwa yang meninggal. Masyarakat di Aceh biasanya akan ramai mengunjungi tempat-tempat bersejarah seperti ziarah ke pemakaman massal, mengunjungi kapal PLTD Apung, dan berbagai tempat lainnya. Hal ini akan berdampak berkelanjutan dan setiap tahun akan selalu dikenang. Jumlah penduduk di kecamatan Meuraxa pasca tsunami sekitar 30.296 orang dan 2520 orang di kecamatan Jaya Baru. Mayoritas masyarakat di dua kecamatan ini beragama Islam. Sebagian besar wilayah di Punge Blangcut merupakan kawasan pemukiman padat. Namun untuk kawasan yang akan direncanakan, beberapa penduduk yang kondisi rumahnya rusak berat tidak membangun kembali rumahnya. Kawasan kapal PLTD Apung merupakan kawasan pemukiman padat. Masyarakat di daerah tersebut biasanya menggunakan tapak untuk melakukan berbagai kegiatan aktifitas sehari-hari, misalnya sebagai tempat tinggal, berjualan, dan sebagai jalur sirkulasi dari daerah Kelurahan Sukaramai menuju ke kawasan Ulee Lheue. Untuk kegiatan perdagangan dan jasa sangat tepat jika hal ini dapat dikembangkan dengan lebih baik. Dengan adanya pengembangan kawasan ini sebagai kawasan wisata, masyarakat dapat ikut berperan dalam rangka kegiatan jual beli, seperti penjualan berbagai aksesoris dan souvenir khas Aceh. Dengan demikian, pengembangan kawasan wisata tsunami ini dapat meningkatkan pendapatan perekonomian penduduk setempat. Intensitas penggunaan pada tapak oleh masyarakat sekitar sedang. Umumnya mayarakat melakukan aktivitas pada pagi dan sore hari. Sebagian besar
72
aktivitas di sekitar kawasan kapal PLTD Apung dilakukan di bagian utara dan selatan tapak. Dalam rangka upaya melestarikan obyek sejarah, aktivitas masyarakat lokal secara intensif
hanya diperbolehkan berada
pada area
pelayanan. Berdasarkan dari hasil wawancara dengan beberapa narasumber, diketahui bahwa sebagian besar masyarakat setempat menyetujui adanya pembangunan kawasan wisata sejarah tsunami di daerah mereka. Dengan adanya pengembangan dan pembangunan di daerah ini diharapkan dapat memberikan peluang kesempatan kerja bagi masyarakat setempat, sehingga dapat meningkat taraf hidupnya.
Pengunjung Kawasan kapal PLTD Apung sampai saat ini digunakan oleh pengunjung sebagai salah satu obyek wisata yang memiliki nilai sejarah yaitu sejarah tsunami. Dengan adanya kapal ini, menjadi salah satu bukti nyata bahwa tsunami pernah terjadi di daerah Aceh. Hal ini menjadi peninggalan bagi generasi masa depan. Adanya kapal PLTD Apung mampu mengakomodasi keinginan masyarakat yang ingin menyaksikan benda bersejarah dan mengenang terjadinya peristiwa bencana alam tsunami. Beberapa aktivitas yang dapat dilakukan di kawasan sekitar kapal yaitu menikmati keindahan pemandangan kota Banda Aceh dari atas kapal,
foto
hunting yang umumnya berlatarkan kemegahan kapal PLTD Apung. Potensi ini dapat lebih dikembangkan dengan menyediakan beberapa fasilitas seperti teropong untuk menikmati pemandangan yang jauh jaraknya. Selain itu, di bagian selatan kapal berbatasan langsung dengan jalan yang intensitasnya cukup ramai dilalui oleh kendaraan baik masyarakat sekitar maupun pengunjung. Hal ini merupakan salah satu kendala yang dapat merusak nilai-nilai kesejarahan kapal tersebut karena berpotensi terjadinya vandalisme. Intensitas pengunjung mengunjungi kawasan wisata ini ramai, terutama pada sore hari dan pada hari-hari libur atau pada momen-momen tertentu. Aktivitas pengunjung lebih terpusat disekitar kapal PLTD Apung, terutama di atas kapal pada sore hari.
73
Untuk pengembangan kawasan PLTD Apung, berdasarkan hasil wawancara diperoleh bahwa sebagai pengunjung, masyarakat berharap adanya peningkatan penataan ruang dan fasilitas pendukung kegiatan wisata.
Konsep Perencanaan Konsep Dasar Perencanaan Mengkreasikan areal di sekitar Kapal PLTD Apung dalam kawasan wisata sejarah tsunami yang bersifat edukatif melalui media dan jalur interpretasi. Wisata yang akan dikembangkan di kawasan ini juga menghubungkan beberapa obyek wisata sejarah tsunami lainnya sebagai obyek wisata pendukung. Pengembangan wisata secara ekonomi juga diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat lokal, namun kepentingan pelestarian kesejarahan tetap lebih diutamakan.
Pengembangan Konsep Konsep Tata Ruang Kawasan Wisata Sejarah Tata Ruang Kawasan Wisata Sejarah merupakan salah satu upaya untuk menggambarkan suasana pada saat peristiwa tsunami 2004 melanda Aceh. Dengan adanya Kapal PLTD Apung sebagai obyek wisata sejarah utama, serta perumahan penduduk yang terkena bencana gelombang tsunami, dan jalur interpretasi, diharapkan pengunjung dapat mengingat kembali kejadian tsunami dan mampu mengantisipasi apabila kejadian yang sama terulang kembali. Dalam pengembangannya, tapak terbagi atas tiga zona, yaitu zona wisata utama, zona transisi dan zona pelayanan. Masing-masing zona tersebut memiliki ruang-ruang yang saling berkaitan (Gambar 34). Penerjemahan konsep tata ruang secara spasial dapat dilihat pada Gambar 35. Pengaturan ruang bertujuan untuk membatasi jumlah pengunjung masuk ke dalam zona wisata utama. Zona Wisata Utama merupakan zona yang didalamnya terdapat obyekobyek bersejarah tsunami yang berada dalam jalur pergerakan kapal PLTD Apung dari Perairan Ulee Lheue menuju kawasan pemukiman. Berdasarkan tingginya nilai sejarah, zona ini terbagi lagi menjadi dua ruang, yaitu ruang inti dan ruang penyangga.
74
Ruang inti yaitu ruang dimana obyek-obyek wisata utama sejarah tsunami berada. Obyek-obyek tersebut merupakan area dengan tingkat kepekaan yang tinggi dan tingkat penggunaan yang sangat rendah. Ruang inti ini memungkinkan peran manusia yang merugikan dapat terhindari, sehingga kealamian obyek bersejarah kapal PLTD Apung tetap lestari. Ruang penyangga, berfungsi untuk melindungi ruang inti dan merupakan bagian dari zona kesejarahan yang masih dapat digunakan dengan beberapa pertimbangan tertentu. Ruang ini dapat berupa area yang didalamnya tidak memungkinkan manusia melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengganggu kealamian obyek bersejarah tersebut. Ruang penyangga dapat berupa area atau hanya menggunakan pagar pembatas yang mampu melindungi obyek bersejarah dari gangguan aktivitas manusia. Area yang dijadikan sebagai penyangga dapat berupa area tambak, RTH kota, danau buatan atau kolam.
Zona wisata Pelayanan
Zona Transisi
Zona Wisata Utama
Zona Transisi
Zona Wisata Pelayanan
Batas zona
Gambar 34. Konsep Pengembangan Tata Ruang Kawasan Wisata Sejarah Tsunami
Zona Transisi merupakan zona yang terdiri dari berbagai aktivitas manusia yang bersifat edukatif. Pada zona wisata ini masih memiliki keterkaitan dengan bencana tsunami. Zona transisi merupakan zona dimana media interpretasi dan atraksi berada. Zona ini berperan untuk menjaga dan melindungi obyek bersejarah yang ada di dalam zona wisata utama.
75
Gambar 35. Konsep Ruang Wisata
76
Zona Pelayanan difungsikan untuk mengakomodasi berbagai fasilitas wisata untuk memudahkan pengunjung mendapatkan berbagai fasilitas selama berada di kawasan wisata. Fasilitas yang disediakan, seperti tempat makan, tempat parkir, dan berbagai fasilitas interpretasi wisata lainnya.
Konsep Obyek-obyek Sejarah Tsunami Dalam perencanaan kawasan wisata sejarah ini, terdapat obyek wisata sejarah utama dan media interpretasi yang tersedia pada jalur interpretasi. Obyekobyek wisata sejarah utama yaitu Perairan Ulee Lheue, Desa Lambung, Rumah Tsunami, Mesjid Subulussalam, Kapal PLTD Apung, Monumen Syuhada, dan Mesjid Baiturrahim. Sedangkan beberapa contoh media interpretasi tsunami (Gambar 36) yang digunakan dapat berupa sculpture, signboard, signate, peta wisata, leaflet, maupun obyek-obyek pendukung wisata lainnya, seperti ruang pameran, museum, dan galeri yang terletak di area penerimaan pada ruang pelayanan.
Keberadaan obyek-obyek wisata dalam tapak diketahui setelah
menelusuri sejarah pergerakan kapal PLTD Apung pada saat bencana tsunami terjadi.
(a) signboard
(b) amphitheater
(c) pusat informasi
(d) signage
Gambar 36. Contoh Media Interpretasi
77
Penentuan posisi obyek-obyek wisata berada pada ruang inti zona wisata utama ditentukan berdasarkan tingkat (kepentingan) nilai sejarahnya. Untuk media interpretasi umumnya berada pada zona transisi dan sebagian besar berada di sekitar areal kapal PLTD Apung. Media interpretasi yang juga sebagai obyek wisata pendukung seperti Coastal forest, Sirene Tower, Refuge Building Inventory, Museum Tsunami, Tsunami Interpreting Outdoor Playground, dan Amphitheater.
Konsep Sirkulasi Jalur pergerakan ini merupakan jalur interpretasi sejarah pergerakan kapal PLTD Apung. Jalur ini kemudian akan diaplikasikan sebagai jalur sirkulasi wisata dalam tapak. Sirkulasi utama dalam tapak secara umum berbentuk menyerupai huruf ‘U’. Hal ini terlihat dari adanya perbedaan akses masuk dan keluar tapak. Jalur ini mengakses seluruh ruang yang ada (Gambar 37). Dengan demikian, pengunjung dapat melihat seluruh obyek wisata yang ada. Jalur interpretasi atau jalur wisata menghubungkan obyek-obyek wisata sejarah utama, yaitu perairan Ulee Lheue, Desa Lambung, Rumah Tsunami, Mesjid Subulussalam, dan Kapal PLTD
Apung.
Selain
obyek-obyek
tersebut,
jalur
interpretasi
juga
menghubungkan beberapa obyek wisata pendukung. Obyek wisata Rumah Tsunami dan Mesjid Subulussalam merupakan obyek wisata alternatif. Artinya, pengunjung tidak diharuskan mengunjungi kedua obyek ini. Jika ingin mengetahui mengenai lokasi pemakaman korban bencana tsunami dan mesjid yang bersejarah, pengunjung dapat mengunjungi kedua obyek ini. Masuk-keluar tapak dapat melalui dua akses, terdapat di zona awal dan akhir kapal. Akan tetapi untuk memperkuat sejarah, pengunjung disarankan masuki tapak melalui lokasi awal kapal dan keluar tapak melalui lokasi akhir kapal. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan bagi pengunjung yang ingin memasuki kawasan ini melalui lokasi akhir kapal.
78
Zona wisata Pelayanan
Zona Transisi
Zona Wisata Utama
Zona Transisi
Batas zona Akses
Zona Wisata Pelayanan
Jalan tersier Jalan Sekunder Jalan Primer
Gambar 37. Konsep Pengembangan Jalur Sirkulasi
Pada zona wisata utama diperlukan akses yang minimal. Tingkat kebutuhannya tergantung dari tingkat kepekaan obyek tersebut. Semakin memasuki kedalam ruang inti, jalur sirkulasi semakin sedikit dan hanya berupa jalan tersier berbentuk trekking atau boardwalk. Hal ini dimaksudkan untuk membatasi jumlah pengunjung berada dalam ruang inti. Untuk zona transisi, jalur sirkulasi yang diperlukan jauh lebih panjang jika dibandingkan dengan zona sejarah. Pada zona ini terdapat jalan primer, jalan sekunder. Jalan primer merupakan jalan yang eksisting dan dapat dilalui oleh kendaraan sedangkan jalan sekunder merupakan jalan baru yang menghubungkan obyek wisata dan media interpretasi. Jalan ini hanya dapat diakses bagi para pengunjung wisata. Akses ke dalam zona ini tidak begitu dibatasi seperti halnya dalam zona wisata utama. Untuk pengunjung yang ingin mengelilingi keseluruhan obyek wisata yang ada, disediakan bis yang khusus melayani trayek di dalam kawasan wisata saja. Sirkulasi dalam zona pelayan berupa jalan sekunder yang menghubungkan beberapa jalan primer. Konsep Aktivitas Berbagai aktivitas yang dapat dilakukan, seperti melihat jalur interpretasi sejarah, piknik, bermain, bersantai, menikmati berbagai obyek wisata dan atraksi budaya masyarakat lokal, wisata berbelanja kerajinan masyarakat setempat serta wisata kuliner masakan Aceh.
79
Dalam pengembangan kawasan wisata sejarah, kawasan ini dibedakan menjadi tiga zona, yaitu zona pelayanan, zona tansisi, dan zona wisata utama. Pada zona pelayanan, pengunjung dapat melakukan berbagai aktivitas yang sifatnya rekreatif. Zona transisi merupakan penghubung antara zona pelayanan dan zona wisata utama. Di zona transisi, pengunjung dapat melakukan aktifitas rekreatif seperti bermain, foto hunting, berperahu, rekreasi, edukasi, hikking, tracking, jogging, dan shightsesing (Gambar 38). Perumahan masyarakat yang masih tersisa pasca tsunami berada pada zona ini. Zona wisata utama mencakup seluruh kawasan kesejarahan. Aktivitas yang dapat dilakukan seperti
foto
hunting, shightseeing, berdoa, dan tracking.
Gambar 38. Sightseeing
Konsep Infrastruktur Untuk mendukung berbagai kegiatan/aktifitas wisata sejarah di kawasan ini dikembangkan berbagai infrastruktur pendukung yang dapat meningkatkan kenyamanan pengunjung (Gambar 39). Bentukan-bentukan yang akan diterapkan pada infrastruktur di kawasan wisata sejarah ini diadopsi dari bentuk-bentuk bangunan adat dan motif-motif Aceh (Gambar 40).
80
Gambar 39. Suasana di Beberapa Infrastruktur Pendukung
a. Motif Pintu Aceh
b. Lonceng Cakradonya
c. Ilustrasi Bentuk Bangunan
Gambar 40. Contoh Motif dan Bentuk Bangunan (Hadjad, A. dkk. 1984)
PERENCANAAN KAWASAN WISATA SEJARAH TSUNAMI
Rencana Tata Ruang Tahap awal yang dilakukan adalah overlay peta kawasan wisata sejarah, dan kawasan wisata berdasarkan peruntukan kota, maka diperoleh hasil peruntukan tata ruang untuk kawasan wisata sejarah. Berbagai area yang terdapat pada kawasan ini yaitu area objek wisata tsunami, area rekreasi, area pertahanan bencana, area penerimaan, rest area, area pemukiman terbatas, area tambak, area green belt, dan area pertokoan souvenir (Gambar 41). Luas masing-masing area dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Luasan Area dalam Kawasan Wisata No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Jenis Area Area objek wisata tsunami Area rekreasi Area pertahanan bencana Area penerimaan Rest area Area pemukiman terbatas Area tambak Area green belt Area pertokoan souvenir Total
Luas Area (ha) 60,55 39,80 3 11,9 3,53 30,6 16,92 45,65 7,42 219,37
Persentase (%) 27,6 18,14 1,37 5,42 1,61 13,95 7,71 20,81 3,39 100
Objek-objek wisata sejarah tsunami berada di ruang inti pada zona utama wisata sejarah. Berdasarkan Tabel 8, luas area ini 60,55 ha atau sekitar 27,6 % dari luas total kawasan keseluruhan. Area ini merupakan area yang terluas bila dibandingkan area-area wisata lainnya. Area ini terdapat pada Desa Deah Glumpang, Desa Lambung, Desa Ulee Lheue, Desa Punge Ujong dan Desa Punge Blangcut. Area rekreasi terdapat di Desa Deah Glumpang dan Desa Punge Blangcut. Pada area ini terdapat objek pendukung wisata, seperti amphitheater, museum tsunami, dan Tsunami Interpreting Outdoor Playground. Selain itu, pada area rekreasi juga terdapat Kiddie Park. Tempat ini menyediakan berbagai permainan air yang dikhususkan bagi anak-anak berumur dibawah 12 tahun.
82
Gambar 41. Rencana Tata Ruang Wisata Tsunami
83
Area
pertahanan
bencana
dimaksudkan
sebagai
area
pelengkap
penyelamatan apabila terjadi bencana dari laut seperti tsunami. Pada area ini juga dilengkapi bagunan penyelamatan. Area pertahanan ini terdapat di dua desa yaitu Desa Deah Glumpang dan Desa Gampong Baro. Untuk mencapai keberhasilan dalam kepentingan dan pengelolaan interpretasi dibutuhkan berbagai fasilitas utama dan pendukung. Dua fasilitas utama yang harus tersedia adalah Pusat Informasi Wisata (Visitor Information Center, VIC) dan Pemandu Wisata (interprenter). Area penerimaan terdiri dari area parkir, VIC (Visitor Information Center) yang meliputi pusat informasi, toilet, mushalla; tempat berkumpul dan tempat pengambilan tiket (loket) masuk kawasan wisata. Area penerimaan berada di dua tempat, yaitu pada lokasi posisi awal dan posisi akhir pergerakan kapal. Area peristirahatan (rest area) merupakan area yang diperuntukkan bagi berbagai fasilitas seperti tempat makanan dan minuman, penginapan semi permanen, dan tempat duduk. Area peristirahatan ini berada di Desa Deah Glumpang. Area pemukiman terbatas merupakan kawasan pemukiman penduduk asli setempat yang merupakan bagian dari sejarah pergerakan kapal PLTD Apung. Penduduk setempat dapat menjadi guide dalam perencanaan ini. Penduduk pemukiman ini juga diharapkan dapat mendukung kegiatan kepariwisataan di kawasan ini dengan tidak hanya sebagai penyedia berbagai makanan dan minuman bagi para pengunjung serta sebagai pemasok barang-barang souvenir, tetapi juga turut mengontrol perkembangan kawasan wisata sejarah. Area tambak berada di Desa Lambung yang merupakan tambak yang dikelola oleh masyarakat setempat. Juga dapat berfungsi sebagai area resapan air dan mampu mencegah terjadinya banjir. Area green belt dimaksudkan sebagai pemecah gelombang tsunami dan melindungi pemukiman yang berada di dalamnya. Area ini terbagi menjadi Coastal Forest dan jalur hijau di sepanjang jalan utama. Panjang jalur hijau sekitar 2149,8 m. Area pertokoan souvenir merupakan area yang disediakan bagi penduduk setempat (home industry) untuk mendagangkan hasil-hasil kerajian khas Aceh,
84
baik yang merupakan barang (souvenir) maupun makanan. Area ini berada di perempatan jalan utama di bawah fly over.
Rencana Sirkulasi Setelah aktivitas-aktivitas dalam zona potensial kesejarahan diruangkan, maka selanjutnya adalah menentukan rencana sirkulasi berdasarkan konsep pembatasan pengunjung. Artinya akses dimodifikasi sedemikian rupa sehingga terjadi penyaringan pengunjung ke dalam areal wisata yang memang benar-benar berminat dan memiliki komitmen dalam pelestarian sejarah. Akses yang cukup banyak dan strategis mencapai pusat-pusat wisata. Dengan demikian, pengunjung dapat mengakses tapak dari dua pintu masuk, yaitu melalui Jalan Rama Setia atau melalui Jalan Sultan Iskandar Muda. Akan tetapi bagi pengunjung yang ingin mengetahui sejarah pergerakan kapal PLTD Apung dari sebelum tsunami melanda Aceh, disarankan untuk memasuki kawasan ini dari Jalan Rama Setia, yang akhirya terhubung dengan dermaga di perairan Ulee Lheue. Untuk sirkulasi jalan dalam kawasan wisata ini terbagi atas tiga jenis jalan, yaitu : Jalan Primer Jalan primer merupakan jalan yang eksisting dan dapat dilalui oleh kendaraan bermotor. Jalur primer dapat dijadikan sebagai jalan alternatif bagi pengunjung yang ingin menyaksikan obyek-obyek wisata tanpa harus melalui jalan sekunder. Untuk menyaksikan obyek wisata Monumen Syuhada dan Mesjid Baiturrahim yang berada di luar jalan sekunder dapat melalui jalan ini. Jalan primer dapat dilalui kendaraan bermotor hingga bis atau bisa juga dengan berjalan kaki. Jalan sekunder Jalan sekunder merupakan jalan baru yang menghubungkan obyek wisata dan media interpretasi. Jalan ini berupa broadwalk dan hanya dapat diakses bagi para pengunjung wisata. Untuk pengunjung yang ingin mengelilingi keseluruhan obyek wisata yang ada dan tidak mampu berjalan kaki dikarenakan jaraknya yang
85
cukup jauh, disediakan bis yang khusus melayani trayek di dalam kawasan wisata saja. Jalan Tersier Untuk menuju objek wisata sejarah yang terdapat dalam zona wisata utama dapat melalui jalan tersier. Jika dibandingkan dengan jalan primer dan jalan sekunder, jalan ini berupa trek dengan lebar sekitar 2 m. penyempitan lebar jalan ini dimaksudkan agar terjadi penyaringan pengunjung dan mencegah terjadinya penumpukan pengunjung di tiap-tiap objek wisata.
Rencana Kawasan Wisata Sejarah Tsunami Rencana areal kapal PLTD Apung sebagai kawasan wisata sejarah tsunami pada Gambar 42 memiliki beberapa objek wisata. Objek wisata ini tersebar dalam beberapa area, sebagian besar tergantung dari jalur interpretasi sejarah pergerakan kapal PLTD Apung pada saat bencana tsunami melanda Aceh 26 Desember 2004. Pada area perairan Ulee Lheue, pengunjung dapat melihat posisi awal kapal PLTD Apung pada saat sebelum tsunami melalui deck yang disediakan. Bagi pengunjung yang ingi menyaksikan secara langsung lokasi awal kapal, dapat mengakses tempat tersebut dengan menggunakan perahu. Setelah perairan Ulee Lheue, pengunjung diarahkan menuju Desa Lambung. Di desa ini, pengunjung dapat melihat kondisi bangunan yang telah hancur akibat tsunami, barang-barang yang berantakan, serta bentukan-bentukan patung abstrak manusia korban tsunami. Area ini dibuat kondisi yang serupa dengan kondisi daerah tersebut pasca tsunami. Dengan mengunjungi desa ini pengunjung diharapkan mampu merasakan suasana yang terjadi pada saat itu. Area souvenir merupakan lokasi bagi masyarakat setempat untuk menjual barang-barang atau souvenir khas Aceh dan barang-barang yang masih berkaitan dengan kapal PLTD Apung. Bagi pengunjung yang mengikuti jalur interpretasi wisata dapat menuju area pertokoan souvenir ini setelah mengunjungi area objek wisata kapal PLTD Apung. Lokasi pertokoan ini berada tepat dibawah fly over.
86
Gambar 42. Rencana Kawasan Wisata Sejarah Tsunami
87
Di area rekreasi terdapat berbagai jenis permainan anak. Permainan ini masih berkaitan dengan upaya pemberian pengetahuan kepada anak-anak usia dini untuk mengetahui bahaya yang dapat ditimbulkan dari bencana tsunami dan mengajarkan kepada mereka metode penyelamatan diri yang harus dilakukan apabila bencana tsunami datang kembali. Pengunjung yang ingin menyaksikan berbagai pertunjukan/atraksi seni tari tradisional Aceh dapat mengunjungi amphitheater. Pengunjung yang ingin menyaksikan pertunjukan ini dapat menyesuaikan waktunya dengan jadwal pertunjukan.
Rencana Jalur Wisata Jalur interpretasi sebagai jalur wisata yang digunakan menggambarkan berpindahnya kapal PLTD Apung dari perairan Ulee Lheue ke daratan akibat gelombang tsunami. Selain itu, jalur interpretasi juga menghubungkan titik-titik objek bersejarah. Jalur interpretasi atau jalur wisata menghubungkan tiap-tiap atraksi wisata dengan rute melingkar. Setiap jalur memiliki interpretasi sendiri yang memungkinkan pengunjung mengalami pengalaman yang berbeda. Tujuannya adalah untuk mendiversifikasikan pengunjung sehingga tidak menumpuk pada satu atraksi saja, tetapi menyebar ke atraksi lainnya. Selain itu juga untuk mengatur lama tinggal dan waktu perjalanan. Perencanaan jalur interpretasi wisata utama (Gambar 43) pada kawasan wisata sejarah tsunami terbagi menjadi tiga jalur yang dibedakan berdasarkan pengguna. Ketiga jalur itu adalah jalur yang diperuntukkan bagi anak-anak, pengunjung dewasa, dan para peneliti. Beberapa beberapa gambar potongan tampak pada tapak juga dapat dilihat pada Gambar 44 dan gambar ilustrasi aktivitas yang dapat ditemui pada tapak dapat dilihat pada Gambar 45, serta hubungan objek wisata dengan atraksi dan fasilitas wisata dapat dilihat pada Tabel 9.
88
Gambar 43. Rencana Jalur Wisata (Touring Plan)
89
Gambar 44. Potongan Tampak
90
Gambar 45. Ilustrasi Suasana di Kawasan Wisata Sejarah Tsunami
91
Jalur Anak-anak Jalur yang diperuntukkan bagi anak-anak lebih singkat dan berada di areal yang dekat dengan Kapal PLTD Apung. Dengan memperhatikan Gambar 43, dapat dilihat bahwa jalur yang diperuntukkan bagi anak-anak ditandai dengan keterangan nomor 7,8,10,11. Jalur Pengunjung Dewasa Untuk pengunjung dewasa, jalur wisata yang dilalui meliputi jalur pergerakan kapal PLTD Apung, mulai dari lautan dan berakhir di posisi terakhir kapal pasca tsunami. Jalur ini dimulai dari keterangan nomor 1,5,2,6, 8,9,10,11,12, dan diakhiri nomor 13. Jalur bagi Para peneliti Jalur wisata yang dapat digunakan oleh para peneliti sebagian besar hampir sama dengan jalur yang dilalui oleh pengunjung dewasa. Akan tetapi yang membedakan adalah hanya para peneliti yang diizinkan untuk mengunjungi dan masuk ke dalam bangunan sirene tower dan refuge building inventory (ruang penyelamatan terhadap bencana dari laut). Titik-titik area yang dilalui yaitu dari keterangan nomor 1,3,5,4,3,6,8,10,11,12, dan 13. Dengan perencanaan jalur ini, pengunjung dapat mengingat kembali dan merasakan dasyatnya peristiwa tsunami yang terjadi.
92
Tabel 9. Hubungan Objek Wisata dengan Atraksi dan Fasilitas Wisata
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Kapal PLTD Apung merupakan salah satu objek wisata sejarah tsunami yang ada di Banda Aceh. Areal di sekitar kapal ini layak dijadikan sebagai kawasan wisata tsunami di kota Banda Aceh. Kapal ini memiliki keunikan dimana pada saat terjadinya tsunami, kapal dengan bobot ribuan ton mampu berpindah posisi sejauh 4 km. Kejadian ini menunjukkan kedasyatan peristiwa tsunami yang melanda Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 yang lalu. Selain itu, kapal PLTD Apung juga menjadi salah satu bukti nyata bencana tsunami pernah melanda Aceh. Perencanaan areal di sekitarnya mampu melestarikan nilai-nilai sejarah yang terkandung di dalamnya, yaitu dengan adanya media dan jalur interpretasi. Perencanaan areal kapal PLTD Apung sebagai kawasan wisata sejarah tsunami juga didukung pemerintah daerah Kota Banda Aceh yang terdapat dalam RTRW Kota Banda Aceh 2006-2016. Jika melihat potensi sumber daya yang ada, luasan area yang diusulkan oleh Pemda kota Banda Aceh sebagai kawasan wisata tsunami, masih tergolong kecil. Hal ini dikarenakan ada beberapa obyek-obyek dan atraksi pendukung yang dapat dikembangkan di areal ini. Oleh karena itu diperlukan adanya perluasan area. Beberapa objek wisata utama yang dapat ditemui yaitu Perairan Ulee Lheue, Desa Lambung, Rumah Tsunami, Mesjid Subulussalam, Monumen Syuhada, dan Mesjid Baiturrahim. Selain itu pengunjung juga dapat menikmati berbagai media interpretasi seperti tsunami interpreting outdoor playground, museum tsunami, sirene tower, refuge building inventory (ruang penyelamatan terhadap bencana dari laut), amphitheater, coastal forest. Perencanaan jalur interpretasi wisata pada kawasan wisata sejarah tsunami terbagi menjadi tiga jalur yang dibedakan berdasarkan pengguna. Ketiga jalur itu adalah jalur yang diperuntukkan bagi anak-anak, pengunjung dewasa, dan para peneliti. jalur yang diperuntukkan bagi anak-anak lebih singkat dan berada di areal yang dekat dengan Kapal PLTD Apung. Untuk pengunjung dewasa, jalur wisata yang dilalui meliputi jalur pergerakan kapal PLTD Apung, mulai dari lautan dan berakhir di posisi terakhir kapal pasca tsunami. Jalur wisata yang dapat
94
digunakan oleh para peneliti sebagian besar hampir sama dengan jalur yang dilalui oleh pengunjung dewasa. Akan tetapi yang membedakan adalah hanya para peneliti yang diizinkan untuk mengunjungi dan masuk ke dalam bangunan sirene tower dan refuge building inventory (ruang penyelamatan terhadap bencana dari laut). Dengan perencanaan jalur ini, pengunjung dapat mengingat kembali dan merasakan dasyatnya peristiwa tsunami yang terjadi. Berbagai kegiatan atau aktivitas yang bersifat mendidik mengenai segala hal tentang tsunami dapat dijumpai di kawasan ini. Diantaranya, foto hunting, menyaksikan atraksi pendukung wisata sejarah tsunami dan kesenian tradisional lainnya, tracking, sightseeing, rekreasi, beribadah, mengenang kejadian tsunami, dan berdoa. Sedangkan fasilitas yang dapat dijumpai yaitu, parkiran, ticketing, museum, auditorium, amphitheater, sirene tower, refuge building inventory, shelter, boardwalk, signboard, signage, tempat makan, toilet, tempat bermain, dan tempat rekreasi.
Saran 1. Memberikan pengertian kepada masyarakat pentingnya melestarikan kawasan tersebut dan memberikan ganti rugi yang sesuai. 2. Relokasi masyarakat setempat ke area lain yang tidak mengganggu nilai-nilai kesejarahan dari objek wisata tsunami, serta mencegah terjadinya perubahan fungsi-fungsi tersebut dengan adanya kontrol dari pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta untuk mempertahankan nilai-nilai kesejarahannya. 3. Perlunya pengembangan kawasan ini dengan penempatan fasilitas dan ruangruang lebih mendetil.
DAFTAR PUSTAKA Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Banda Aceh. 2006. Rencana Struktur dan Pola Pemanfaatan Ruang Kota Banda Aceh. Jakarta. Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR). 2005. Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara. Jakarta. Berkmuller, K. 1981. Guidelines and Techniques for Environmental Interpretation. University of Michigan. Michigan 48109. USA. 100 p. Booth, N. K. 1983. Basic Elements of Landscape Architectural Design. Departement of Landscape Architecture Ohio State University. Waveland Press, Inc. USA. Departemen Kehutanan. 1988a. Pedoman Interpretasi Taman Nasional. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Direktorat Taman Nasional dan Hutan Wisata. Proyek Pembangunan Taman Nasional dan Hutan Wisata. Bogor. 107 hal. Dinas Perkotaan dan Permukiman. 2006. Revisi Rencana tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 20062016. Banda Aceh. Gold, S. M. 1980. Recreation Planning and Design. McGraw-Hill Book Co. New York. 332 p. Gunn, C. A. 1997. Vacationscape: Developing Tourist Area, Third Edition. Taylor dan Francis Publ. Washington. Hadjad, A. dkk. 1984. Arsitektur Tradisional Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Banda Aceh. Hall, C. M. 2000. Tourism Planning: Policies, Processes and Relationship. Pearson Education Asia (Pte) Ltd,. 236p. Knudson, D. M. 1980. Outdoor Recreation. Mac Millan Publ., Co,. Inc. New York. 332 p. Laurie, M. 1990. Pengantar kepada Arsitektur Pertamanan (terjemahan). Intermatra. Bandung. 130 hal. Muntasib, E. K. S. H. 2002. Teknik Interpretasi Lingkungan. Diktat Kuliah D3 KSH. Studio Rekreasi Alam. Institut Pertanian Bogor. 50 hal.
96
Nurisyah, S dan V. D. Damayanti. 2006. Pengembangan Interpretasi Wisata Pesisir Guna Mendukung Program Pendidikan Sumber Daya Pesisir Dan Kelautan dalam Kumpulan Riset Kelautan: Jalan Menuju Kejayaan Bahari. Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut, BAKOSURTANAL. Cibinong. Nurisyah, S. dan Q. Pramukanto. 1995. Perencanaan Lanskap (Penuntun Praktikum). Program Studi Arsitektur Pertamanan, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan). Bogor. 59 hal. ____________. 2001. Perencanaan Kawasan untuk Pelestarian Lanskap Sejarah dan Taman Sejarah. Bahan Perkuliahan Perencanaan Lanskap. Program Studi Arsitektur Lanskap. Jurusan Budidaya Pertanian. Institut Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan). Bogor. 53 hal. Rachman, Z. 1984. Proses Berpikir Lengkap Merencana dan Melaksana dalam Arsitektur Lanskap. Makalah Diskusi Festa VI - Himagron (tidak dipublikasikan). Bogor. Sharpe, G. W. 1982. Interpreting The Environment. John Wiley and Sons, Inc. New York. 694 p. Simonds, J. O. 340 p.
1978. Earthscape. Van Nonstrand Reinhold-Co. New York.
___________. 1983. Landscape Architecture. McGraw-Hill Book Co. New York. 331 p. Sufi, R dan Agus B.W. 2005. Menjelajah Jejak Gempa dan Tsunami; Guide Book to Aceh. Dinas Pariwisata Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Banda Aceh. 77 hal. Tilden, F. 1957. Interpreting Our Heritage Chapel Hill. The University of North Carolina Press. New York. Tim Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara. Pedoman Penggunaan Kerangka Peta dan Basis Data Aceh & Nias Versi 2.2. 2005. Jakarta : PT. Insan Hitawasana Sejahtera.
Lampiran 1. Form Kuisioner Penelitian Kuesioner Penelitian Perencanaan Areal Kapal PLTD Apung Sebagai Kawasan Wisata Sejarah Tsunami Di Kota Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam Kuisioner ini merupakan salah satu upaya mahasiswa untuk mengetahui tanggapan dan harapan masyarakat terhadap rencana pengembangan areal di sekitar kapal PLTD Apung sebagai kawasan wisata sejarah di wilayah Kota Banda Aceh. Karakteristik Responden Jenis Kelamin : Umur :…… tahun Pendidikan Terakhir : a. SD c. SLTA e. Perguruan Tinggi b. SLTP d. Akademi f. Lainnya……………… Pekerjaan : a. Pelajar e. Polisi/ABRI b. Mahasiswa f. Pensiunan c. Swasta g. Ibu rumah tangga d. Wiraswasta h. Lainnya……………….. 1. Di kawasan sekitar kapal PLTD Apung akan dibangun suatu kawasan wisata sejarah tsunami yang bertujuan melestarikan salah satu objek peninggalan tsunami, yaitu kapal PLTD Apung dan nilai sejarah yang terkandung didalamnya akibat peristiwa dasyat bencana tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 26 Desember 2004 yaitu dengan merencanakan suatu kawasan yang dapat mengingatkan setiap orang akan peristiwa tsunami. Bagaimana tanggapan anda : ……………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………….... 2. Batasan perencanaan kawasan wisata sejarah dalam mengembangannya sebaiknya: a) hanya di sekitar lokasi kapal b) mencakup daerah-daerah lainnya yang berpotensi menjadi kawasan wisata c) lainnya (sebutkan)……….. Alasannya: ....................................................................................................................... ....................................................................................................................... 3. Dalam menentukan jalur masuk kawasan wisata ini yang sesuai sebagai jalur interpretasi tunami sebaiknya diambil dari jalur : a) masuknya kapal ke daratan b) masuknya air laut ke daratan c) lainnya..........
98
4. Jika kawasan di sekitar kapal tersebut dikembangkan sebagai kawasan wisata dan jalur interpretasi sejarah tsunami, maka kegiatan apa saja yang ingin anda lakukan di lokasi tersebut? *) a. berfoto e. bermain b. melihat pertunjukan f. jalan santai c. duduk-duduk g. berjualan d. melihat-lihat objek h. lainnya wisata (sebutkan)................. 5. Jenis fasilitas apa saja yang anda inginkan untuk menunjang kegiatan tersebut?*) a. pusat informasi i. plaza j. tempat makan b. ampitheater c. mushala k. kios-kios cendramata d. tempat duduk l. parkiran m. museum tsunami e. shelter n. auditorium f. toilet o. lainnya g. gazebo (sebutkan)................. h. tempat bermain anakanak 6. Jika di tempat tersebut diadakan atraksi wisata, bagaimana pendapat anda? a. Setuju b. Tidak setuju c. Tidak tahu Alasannya: ........................................................................................................................ ....................................................................................................................... 7. Jenis atraksi apa yang anda inginkan untuk mengakomodasi suasana di lokasi tersebut? *) a. tarian tradisional Aceh b. pemutaran film tsunami c. lainnya(sebutkan)....................................... 8. Apa harapan anda sehubungan dengan adanya perencanaan kawasan wisata sejarah tsunami di sekitar kawasan kapal PLTD Apung tersebut ? ........................................................................................................................ ........................................................................................................................ ........................................................................................................................
*) jawaban boleh lebih dari satu
- Terima kasih atas perhatian dan kerjasamanya -