Edisi I Januari - Maret 2009
Perempuan Bergerak bersatu bersama lawan tirani
Perempuan Bergerak | Edisi Perdana |April - Juli 2008
1
Potret
Kehidupan Politik Perempuan
Dear Redaksi,
Saya tiap komentar di friendster selalu di akhiri dengan logo ini: http://www.kalyanamitra.or.id/web/images/com_ads manager/categories/1cat.jpg Untuk mengingatkan para perempuan kalo seks bebas bahaya. kalo udah hamil, laki2 belum tentu bertanggungjawab. Kalo menurut ibnux, jangan hanya mengkampanyekan ini http://images.kalyanamitra.multiply.com/logo/3
S
alam kenal dari labuhan batu, sumut...Saya ingin bergabung dengan kalyanamitra, karena di daerah
saya banyak sekali stereotype dan marginalisasi terhadap perempuan tapi selalu tak tertangani Terima kasih Fien Prasetyo Labuhan Batu, Sumut
Tapi kampanyekan juga anti perselingkuhan dan “wanita jangan mau jadi pelacur”. jika merunut dari tulisan ibnux tentang poligami, “lebih baik poligami dari pada selingkuh, zinah, atau maen pelacur” tapi lebih baik lagi jika tidak melakukan itu semua.
Redaksi:
Coz kalo cuma dianjurkan cukup 1 istri, tapi malah jadi selingkuh, kan berabe. Jangan lupa tulis juga artikel tentang “bagaimana agar suami tidak bosan dengan istri” jika belum ada, coz kejadian poligami, selingkuh, dll. karena sang suami bosan dengan istrinya.
khawatir, untuk mengobati keresahan kawan prasetyo
Terimakasih atas perhatiannya kepada kaum perempuan. Usulan anda untuk gabung dengan kalyanamitra bisa saja namun saat ini kalyanamitra belum punya program untuk pengembangan organisasi sampai ke daerah. Tapi jangan bisa dengan cara membuat jaringan organisasi di Labuhan Batu. Artinya kawan prasetyo membuat organisasi atau kelompok perempuan di labuhan batu kemudian bermitra dengan kalyanamitra.
segitu dulu deh semoga bermanfaat. Terima kasih
Ibnux – Bogor
Redaksi: Usul anda menarik juga dan akan kami pertimbangkan untuk edisi berikutnya.
Penanggung Jawab: Rena Herdiyani; Pemimpin Redaksi: Hegel Terome; Redaktur Pelaksana: Sulistiyono; Redaksi: Naning Ratningsih, Iha Sholihah, Listyowati, Nani Ekawaty, Rakhmayuni, Ika Agustina, Diana; Reportase: Wiwik (PMK); Tata Letak dan Desain sampul: Sulistiyono; Distribusi : Rakhmayuni Perempuan Bergerak merupakan media yang memuat pandangan-pandangan yang membangun kesadaran kritis kaum perempuan di seluruh Indonesia sehingga memberdayakan dan menguatkan mereka. Kekuatan bersama kaum perempuan yang terbangunkan itu merupakan sendi-sendi penting terdorongnya gerakan perempuan dan sosial umumnya untuk menuju masyarakat yang demokratis, setara, tidak diskriminatif dan tidak subordinatif. Redaksi menerima kritik, saran dan sumbangan berupa surat pembaca, artikel dan foto jurnalistik. Naskah, artikel dan foto jurnalistik yang diterima redaksi adalah yang tidak anti demokrasi, anti kerakyatan, diskriminatif dan bias gender. Naskah tulis diketik pada kertas A4, spasi satu, huruf Arial 12, maksimal 3 halaman dalam bentuk file atau print-out. Untuk pemasangan iklan di buletin, hubungi Redaksi perempuan. Telp
: 021-7902109
Fax
: 021-7902112
Email
:
[email protected]
Alamat Redaksi : Jl.Kaca Jendela II No.9 Rawajati-Kalibata, Jakarta Selatan 12750. Telp : 021-7902109; Fax : 0217902112; Email :
[email protected]; Website : www.kalyanamitra.or.id Untuk berlangganan Perempuan Bergerak secara rutin, kirimkan nama dan alamat lengkap ke redaksi. Redaksi menerima sumbangan pengganti biaya cetak Rp. 10.000,- dan biaya pengiriman di rekening sesuai kota tujuan. Transfer ke Rekening Bank Bukopin Cabang Kalibata, No. Rekening 0103-034652 a/n. Rena Herdiyani.
2
Perempuan Bergerak | Edisi I |Januari - Maret 2009
SALAM PEREMPUAN
Dear Redaksi,
REMBUG PEREMPUAN
PEREMPUAN PENENTU PERUBAHAN Hari terus bergulir hingga menjelang Pemilu 2009, namun posisi politik kaum perempuan jauh dari maksimal. Kaum perempuan berperan menentukan lolosnya partai-partai politik dalam verifikasi peserta Pemilu 2009. Kenyataannya, kaum perempuan dipakai sebagai alat keterwakilan kuota 30 persen, bukan untuk penentu keputusan. Sosok perempuan selama ini dipahami sebagai orang lemah, terbelenggu dan tergantung. Perempuan dipandang sebagai warga kelas dua yang harus di rumah dan dininabobokkan dengan konsumerisme dan hedonisme kapitalisme. Keterlibatan perempuan dalam dunia politik dengan kouta 30 persen hanya wacana kontroversial. Sebagian perempuan menyambut wacana tersebut dengan langkah maju dalam langgam politiknya. Walaupun keterwakilan perempuan sebesar 11.45 persen di parlemen, namun kouta 30 persen untuk perempuan di parlemen bernuansa pembatasan peran. Teriakan menggagas peran perempuan dalam pembangunan tidaklah semudah membalik telapak tangan. Secara bertahap terus- menerus mengoreksi peran bersama yang telah diusung dalam konteks persamaan derajat dan pemberian ruang bebas bagi aktualisasi manusia. Sebuah perbandingan yang cukup realistis untuk ditetapkan dalam undang-undang. Kesiapan perempuan maju secara berani mengambil inisiatif dalam segala kebijakan menyangkut hidupnya dan kebaikan masyarakatnya penting diartikulasikan. Penguatan masyarakat sipil sebagai bangunan kokoh tatanan negara selayaknya menjadi konsen para aktivis perempuan untuk mendampingi kalangan perempuan yang tertinggal. Karena kita tidak mungkin maju sendirian, sementara para perempuan yang lain masih tertinggal pengetahuannya dan terbelenggu oleh mitosnya sendiri. Hal itu harusnya menjadi pekerjaan partai-partai politik yang mengusung perempuan untuk menjadi Caleg. Namun, caleg perempuan hanya menjadi alas kaki bagi parpol untuk maju ke Pemilu 2009. Kuota 30 persen hanya bualan belaka. 87 juta suara disumbang oleh perempuan. Buletin Perempuan Bergerak Edisi I ini mengupas keharusan sejarah perempuan untuk berpolitik. Dalam Opini, dibahas peranan perempuan dalam politik. Rubrik Sosok membicarakan perempuan dalam perjuangan hak perempuan. Warta Perempuan membeberkan hasil wawancara dengan caleg perempuan Pemilu 2009. Tak kalah menariknya, dalam rubric Budaya Pop dikupas trend kampanye caleg Pemilu 2009 untuk meraup suara dan banyak lagi bahasan menarik… Selamat membaca! Jakarta 28 Maret 2009 Sulistiyono Redaktur Pelaksana
3
Perempuan Bergerak | Edisi I|Januari - Maret 2009
SOSOK
SUATU KEHARUSAN SEJARAH: Perempuan Indonesia Berpolitik!
“SAYA BUKAN AKTIVIS LHO!”: Potret Bu Sap
Menjelang abad 21, lebih dari seratus tahun setelah perempuan memperoleh hak suara di Selandia Baru, negara pertama yang mengakui hak politik perempuan, masalah partisipasi politik perempuan selalu menempati agenda internasional, nasional hingga daerah...
Baca Hal. 5
OPINI AGAR AFFIRMATIVE ACTION BERHASIL? OlehAni Soecjipto
“The personal is political”. Politik bagi perempuan sebetulnya erat berkaitan dengan masalah sehari-hari dan masalah pribadi, yang dihadapi perempuan di manapun. Urusan “dapur, kasur dan pupur”. Apa jadinya, jika keputusan politik yang dihasilkan tidak dirasakan manfaatnya oleh perempuan? Apa jadinya, bila masalah yang dihadapi perempuan tidak dipahami oleh pengambil kebijakan dan tidak menjadi pertimbangan dari kebijakan politik yang dibuat?
“Saya ini bukan aktivis lho.., hanya kadang-kadang saya disebut sebagai aktivis, padahal saya hanya ikutikutan saja ketika berada di Kajian wanita UI, di mana banyak teman di luar kampus yang datang dan saya berusaha membantu semampu saya saja” ungkap Prof. Dr.Saparinah Sadli...
Baca Hal. 14
PERSPEKTIF
“LIPSTIK” POLITIK
Oleh: Ikhaputri Widiantini
Tanggal 9 April 2009 akan menjadi catatan sejarah baru bagi Indonesia. Pemilihan yang akan diadakan pada tanggal tersebut akan menentukan arah baru bagi kehidupan politik dan bernegara di Indonesia. Ratusan partai berlomba mendaftar dan memastikan diri menjadi representasi suara rakyat...
Baca Hal. 16
BUDAYA POP Trend Kampanye Caleg Pemilu 2009 Rasanya Pemilu tahun 2009 lebih semarak dibandingkan Pemilu tahun 2004. Selain diramaikan oleh banyaknya perempuan yang berbondong-bondong mencalonkan diri menjadi kandidat/calon legislatif (caleg), cara mereka berkampanye menambah warna-warni tersendiri...
Baca Hal.18
Baca Hal. 8
PUSTAKARIA
WARTA PEREMPUAN
Bedah Buku
PEREMPUAN BERPOLITIK: Perjuangan Yang Tak Lekang Oleh Waktu Dalam referensi sejarah yang ada manapun, tampak jelas jarang ditemukan penyebutan kata perempuan dengan sangat menonjol. Mereka pasti selalu ditempatkan sebagai “pemeran figuran”. Mereka ”ada” dalam sejarah, namun tak dirasakan kehadirannya. Sering mereka tersembunyi dibalik tirai kekuasaan, keperkasaan, dan kepahlawanan laki-laki. Maka tidaklah mengherankan, bila laki-laki senantiasa mendominasi sejarah. Bahkan, muncul ungkapan bahwa sejarah adalah milik laki-laki...
Baca Hal.11
4
Perempuan Bergerak | Edisi I |Januari - Maret 2009
Potret Buram Parlemen Kita:
Wakil Partai yang Merampas Kedaulatan Rakyat...
Baca Hal.20
Bedah Film
Perjuangan BMI Menghapus SE 2258 di Hongkong ...
Baca Hal.22
PUISI PEREMPUAN Doa .... Perhitungan ....
Baca Hal.29
DAFTAR ISI
FOKUS UTAMA
Pengantar Menjelang abad 21, lebih dari seratus tahun setelah perempuan memperoleh hak suara di Selandia Baru, negara pertama yang mengakui hak politik perempuan, masalah partisipasi politik perempuan selalu menempati agenda internasional, nasional hingga daerah. Pada tahun 1995 saat Konferensi Perempuan Dunia menerapkan Program Aksi Beijing, 10 persen dari anggota badan legislatif nasional di seluruh dunia adalah perempuan. Kini persentase tersebut naik menjadi 12 persen. Peningkatan 2 persen selama kurun waktu 5 tahun tampaknya kecil. Namun seperti halnya mendaki gunung, setiap pencapaian ke dataran yang lebih tinggi tidak dapat dianggap hal remeh. Hak politik, sosial, ekonomi maupun hak budaya, tidaklah diperoleh dengan mudah oleh perempuan selama kurun waktu lebih dari 100 tahun terakhir, melainkan lewat perjuangan keras. Ketika laki-laki memimpin dan menentukan pembuatan keputusan, perempuan yang mengemukakan, merumuskan, melobi, dan bahkan terkadang harus melakukan protes untuk memperjuangkan hakhak mereka. Kesetaraan partisipasi perempuan dalam
kehidupan politik memainkan peran penting dalam keseluruhan proses memajukan perempuan. Kesetaraan partisipasi perempuan dalam pembuatan keputusan bukan sekadar tuntutan keadilan atau demokrasi, melainkan juga dapat dipandang sebagai kondisi yang diperlukan agar kepentingan perempuan dapat diperhitungkan. Tanpa partisipasi aktif perempuan dan penyatuan perspektif perempuan di semua tingkatan pembuatan keputusan, tujuan kesetaraan, pembangunan dan perdamaian tidak akan dapat dicapai. Rekomendasi penting adalah memulai langkahlangkah khusus yang dalam jangka pendek ditujukan untuk mencapai 30 persen dalam kedudukan pembuat keputusan di tingkat nasional, dan 50 persen dalam jangka panjang. Partisipasi perempuan dalam politik tidak dapat dipisahkan dari status sosial ekonomi mereka, terutama faktor-faktor sebagai berikut. Perempuan biasanya tidak mempunyai akses yang sama ke sarana partisipasi dibandingkan dengan laki-laki, misalnya, dalam hal keterampilan yang diperoleh dari pendidikan dan pelatihan atau pengendalian sarana produksi atau akses ke media informasi, terutama teknologi komunikasi terbaru. Perempuan juga sering tidak mempunyai
5
Perempuan Bergerak | Edisi I|Januari - Maret 2009
FOKUS UTAMA
SUATU KEHARUSAN SEJARAH: Perempuan Indonesia Berpolitik!
FOKUS UTAMA
kekuasaan untuk membuat keputusan dalam rumah tangga. Di banyak negara berkembang, hak milik perempuan, termasuk tanah dan jaminan lain, secara hukum menjadi milik suami, ayah atau anak laki-laki mereka. Oleh karena itu, mereka tidak dapat menghindari bias gender dan penghalang lain ke akses pembuatan putusan politik. Terlebih lagi, kecenderungan feminisasi kemiskinan di banyak negara, termasuk di negara-negara industri, menyebabkan kebutuhan perempuan semakin terabaikan. Bagaimana sesungguhnya peran dan posisi perempuan dalam peta percaturan politik Indonesia selama ini? Apakah kehadiran mereka dalam dunia politik Indonesia hanya sebatas pelengkap penderita perpolitikan laki-laki? Atau, sebagai pelaku sejarah yang menentukan arah kemajuan Indonesia itu sendiri? Tentu ada banyak telaah atau kajian yang sudah membahas hal itu dengan berbagai pendekatan maupun penguraian aspekaspeknya yang lebih khas. Dan hampir sebagian besar kajian sejarah memperlihatkan, bahwa keterlibatan perempuan dalam politik setua usia perpolitikan Indonesia itu sendiri. Hal itu berpangkal mula pada pergerakan politik di Indonesia, yakni pergerakan nasional. Pergerakan nasional ini ditandai dengan lahirnya Budi Utomo pada tahun 1908. Namun jauh sebelum munculnya pergerakan itu, hampir di sebagian besar Indonesia/nusantara, merebak perlawanan-perlawanan menentang
6
Perempuan Bergerak | Edisi I |Januari - Maret 2009
kekuasaan kolonial. Semua itu merupakan aksi politik, meskipun belum mempergunakan metode organisasi moderen. Dalam konteks itu, maka terdapat dua bangunan organisasi politik moderen Indonesia yang bisa dicermati kenyataannya, yakni: 1. Organisasi yang meniru pola Eropah Barat yang dimotori kaum cendekiawan. Organisasi seperti ini bersifat sekuler, dan karenanya tidak membedakan anggota menurut jenis kelamin. Dengan sendirinya perempuan juga terlibat di dalamnya. 2. Organisasi yang bertolak dari platform Islam, namun dikelola secara organisasi moderen (Eropah Barat) dengan cendekiawan dan ulama Islam sebagai penggerak. Dukungan perempuan cukup aktif, walaupun terpisah tidak menyatu dengan kaum lelaki. Dua bangunan organisasi politik moderen tersebut tidak dengan sendirinya memperlihatkan sikap politik yang tegas, apalagi menyangkut tindakan atau praktik politiknya. Jika hendak digolong-golongkan secara sederhana, maka ada kutub politik yang pro kolonial dan yang kontra kolonial. Kenyataan sejarah ini hingga kini juga menjadi darah dan daging ketubuhan organisasi politik kita. Dari Masa ke Masa Dari sejarah kita menyaksikan bahwa sejumlah kecil perempuan terdidik kelas
maraklah aksi-aksi politis menentang rejim Orde Baru. Pertengahan Mei 1998, tumbanglah rejim Orde Baru, dengan lengsernya Suharto. Orde Reformasi pun dimulai. Indonesia memasuki babak baru dalam sejarah demokrasinya. Kebebasan berekpresi dan mengemukakan pendapat menempati kursinya kembali. Kebebasan beorganisasi kian terbuka, sehingga memunculkan banyak partai politik dan ormas baru. Suatu fenomena politik yang menarik. Demikian pula dalam sistem pemilu, terjadi perubahan penting dengan mengadopsi sistem pemilihan presiden secara langsung. Jumlah perempuan di parlemen didorong pertambahan jumlahnya melalui ”affirmative action”, yakni sistem kuota 30%. Sekarang seiring dengan perkembangan zaman, tantangan perempuan Indonesia dalam dunia politik semakin meningkat. Hal itu searah dengan tuntutan kepentingan perempuan yang harus diaktualisasikan. Menjelang Pemilu 2009, kian marak caleg-caleg perempuan bersaing memperebutkan kursi di parlemen (DPR, DPRD I/II, DPD). Dengan UU parpol yang baru, diwajibkan semua partai mencadangkan 30% pengurusnya harus perempuan, dan caleg-calegnya. Keharusan demikian, memicu gejala politik baru, bahwa soal-soal kualitas caleg perempuan tidak lagi menjadi perhatian serius. Dapat dibayangkan akibatnya, kondisi tersebut barang tentu tidak akan menguntungkan perempuan dalam berpolitik, karena persaingan akan dengan mudah dimenangkan politisi laki-laki. Padahal kita tahu, dari pengalaman selama ini, para politisi laki-laki di parlemen tidak ada yang sensitif terhadap kepentingan strategis perempuan dan kebutuhan praktisnya. Kepekaan mereka akan keadilan gender sangatlah rendah. Politik ”macho” mereka justru begitu mengedepan, sehingga tak satupun aturan hukum, uu, kebijakan, keputusan politik, apapun namanya yang memihak perempuan. Oleh karena itu, perempuan Indonesia berpolitik adalah keharusan sejarah!***(HG)
7
Perempuan Bergerak | Edisi I|Januari - Maret 2009
FOKUS UTAMA
menengah terpelajar perkotaan cukup terlibat aktif dalam dunia politik pada masa kolonial. Sejumlah nama bisa kita temukan dalam kurun waktu tersebut. Mereka begitu antusias dalam menyuarakan masalah-masalah pokok yang dihadapi perempuan pribumi kala itu, seperti pendidikan, perkawinan dini, poligami, dan lainnya. Bagaimana dengan perempuan kelas bawah yang miskin, tidak terdidik, dan hidup di pedesaan? Hampir sebagian besar mereka tidak begitu peduli dengan kenyataan politik yang ada, bahkan tidak menyadari ketertindasan, yang begitu ditentang perempuan terpelajar tersebut. Mereka buta huruf dan tidak mengenyam pendidikan, sebagaimana perempuan kelas terpelajar. Eksploitasi di rumah tangga atau penindasan dalam keluarga mereka anggap hal yang alamiah, kodrat, dan nasib. Dengan sendirinya, mereka tidak perlu berpikir dan bekerja keras untuk menghapuskan kenyataan itu. Merekalah yang menjadi korban politik terbesar kekuasaan kolonial dan feodal kala itu. Dalam era Orde Lama, kemajuan perempuan dalam bidang politik kian meningkat. Meskipun dari segi jumlah tidak begitu banyak perempuan yang terjun kedunia politik, namun beberapa di antaranya telah menduduki posisi penting dalam pemerintahan, seperti menjadi menteri. Capaian ini setidaknya menerobos anggapan lama bahwa dunia politik bukan dunia perempuan. Dengan kata lain, dunia politik adalah milik laki-laki. Di sisi lain, terbukanya pendidikan bagi perempuan kian memperluas kesempatan mereka meraih pengetahuan dan keterampilan yang selama ini seakan menjadi monopoli laki-laki. Dalam era Orde Baru, dengan politiknya yang otoriter dan represif, maka peluang rakyat berpolitik juga sangat dibatasi. Semuanya serba sentralistik. Kebebasan mengemukakan pendapat pun tidak ada. Intervensi pemerintah begitu dominan, sehingga demokrasi yang sesungguhnya tidak dapat dipraktikan. Demikian pula keterlibatan perempuan dalam politik menjadi terbatas ruang geraknya. Paradigma pembangunan ala Orde Baru menempatkan perempuan dalam posisi korban pembangunan. Juga dalam politik, perempuan terjebak sebagai korban. Dengan makin menyesakannya situasi dan kondisi sosial politik dan ekonomi yang dialami rakyat kebanyakan, maka menjelang krisis keuangan pertengahan tahun 1997, makin
OPINI
AGAR AFFIRMATIVE ACTION BERHASIL? Oleh: Ani Soecipto “The personal is political”. Politik bagi perempuan sebetulnya erat berkaitan dengan masalah sehari-hari dan masalah pribadi, yang dihadapi perempuan di manapun. Urusan “dapur, kasur dan pupur”. Apa jadinya, jika keputusan politik yang dihasilkan tidak dirasakan manfaatnya oleh perempuan? Apa jadinya, bila masalah yang dihadapi perempuan tidak dipahami oleh pengambil kebijakan dan tidak menjadi pertimbangan dari kebijakan politik yang dibuat? Juga menjadi persoalan serius, apabila keputusan politik yang diambil bias dan tanpa perspektif pemihakan? Politik bagi perempuan tidak melihat pembedaan politik formal dan informal, tidak membedakan yang publik dan yang privat. Politik formal dan informal berkaitan satu sama lain dan keduanya saling mempengaruhi. Jika perempuan ingin kebijakan politik yang dihasilkan berpihak pada kepentingan dan kebutuhan mereka, maka mereka tidak bisa lagi hanya bersikap pasif dan menunggu sampai para pengambil kebijakan sadar atau mau berubah. Memang sangat disadari, bahwa keengganan perempuan terjun ke arena politik tidak selalu disebabkan dari sisi perempuan semata.
8
Perempuan Bergerak | Edisi I |Januari - Maret 2009
Ada banyak faktor di luar dirinya yang mempengaruhi, bisa tidaknya mereka ikutserta. Persoalan kendala kultural, keterbatasan pendidikan, masalah finansial atapun perlakuan diskriminatif di institusi politik seperti partai, juga turut berkontribusi menghalangi mereka untuk bisa berkiprah. Perjuangan untuk membawa perempuan agar aktif terlibat di arena politik gencar disuarakan gerakan perempuan sejak reformasi. Paling tidak sejak pemilu 2004 yang lalu, halangan struktural yang selama ini menghambat sedikit demi sedikit bisa dibuka. Kebijakan pro-aktif yang mendorong agar perempuan bisa cepat mengejar ketertinggalan diadopsi lewat undang-undang pemilu di tahun 2003 (UU 12/2003 Psl 65 ayat 1). Kita pun telah menyaksikan bagaimana perempuan berjuang untuk mengisi ruang yang telah dibuka oleh undang-undang pemilu dan undangundang partai politik. Kini di tahun 2009, apa yang bisa kita catat dari gegap gempita perjuangan perempuan di arena politik di Indonesia? Apa yang berubah? Apa yang bisa dilakukan berbagai pemangku kepentingan agar
Ruang politik yang lebih terbuka lebar Sebelum keputusan Mahkamah Konstitusi yang memporak porandakan perjuangan panjang gerakan perempuan lewat keputusan tanggal 23 Desember 2008, sebetulnya paket undang-undang politik (undang-undang pemilu, undang undang parpol, undang undang penyelenggara pemilu) yang baru mengadopsi kebijakan afirmatif yang lebih komprehensif dibandingkan dengan paket undangundang politik sebelumnya. Kebijakan afirmatif lewat mekanisme kuota perempuan bukan hanya diatur dalam pencalegan dalam pemilu, tetapi juga diintervensi di hulu. Sejak awal pembentukan partai dan pengaturan dalam kepengurusan partai di semua tingkatan yang menyertakan sekurang-kurangnya 30 % perempuan. Undang-undang pemilu pun mengadopsi ketentuan yang lebih maju bukan hanya mengatur pencalonan perempuan, melainkan juga penempatan caleg dalam daftar calon dengan mekanisme zypper system 3:1, serta peluang keterpilihan mereka lewat kombinasi ketentuan minimal 30 % BPP dan nomor urut. Peluang yang terbuka lebar menjadi daya pikat bagi banyak kalangan perempuan yang ingin berkiprah di lembaga politik terutama di institusi legislatif. Perempuan berasal dari segala profesi seperti artis, aktivis, pengusaha, pendidik, jurnalis, lebih banyak yang terlibat kali ini dibandingkan dengan situasi tahun 2004. Situasi itu sebetulnya menggembirakan. Di satu sisi, menggambarkan respon positif perempuan untuk mengisi ruang dan kesempatan yang tersedia, namun di sisi lain, gegap gempita keterlibatan mereka juga ditanggapi dengan sinis oleh berbagai kalangan laki-laki dan sebagian kalangan perempuan sendiri. Kritik pedas kerap muncul di media massa, yang mengungkapkan keraguan akan kesiapan dan kapasitas caleg perempuan tersebut. Kalangan lain juga menyoroti, pragmatisme dari caleg perempuan yang seolah-olah hadir hanya untuk memenuhi kuota. Memang selalu tidak mudah pada awalnya meyakinkan berbagai kalangan profesional apalagi publik biasa, bahwa kebijakan affirmative adalah salah satu instrumen kebijakan yang harus ditempuh-walaupun memang bukan satu-satunya--jika kita ingin mengakhiri diskriminasi yang berbasis gender atau diskriminasi rasial, misalnya dalam waktu yang tidak terlalu lama. Kebijakan afirmatif: bagaimana memaknainya? Membicarakan dan mendiskusikan persoalan “diskriminasi” tidak bisa hanya dipahami lewat satu cabang ilmu. Pemahaman yang utuh tentang konsep diskriminasi melintasi berbagai disiplin ilmu, yang bukan semata menyangkut persoalan legal-formal, seperti tafsir MK, tetapi pemahaman utuh seharusnya juga melintasi beragam disiplin ilmu seperti ekonomi-
sosiologi-psychology–gender studies-atau ethnic studies, misalnya. Membahas kebijakan affirmative lewat satu lensa pandang akan hanya terus menimbulkan pro-kontra seperti yang masih kita terus hadapi hingga hari ini, yang isinya hanya seputar perang opini tentang penyangkalan maupun justifikasi tentang kebijakan tersebut. Studi gender dan etnis, yang berbasis pengalaman individual perempuan atau pengalaman kaum etnis minoritas, lewat kasus-kasus empirik bisa membentangkan dan menjelaskan, tentang potret diskriminasi yang dihadapi baik yang berbasis gender atau ras, tetapi memang belum tentu sepenuhnya bisa menjelaskan secara utuh dan komprehensif, jika kita ingin mengabstraksikan pengalaman-pengalaman individual itu lewat teori yang lebih besar, yang bersifat multi-disipliner. Susan D Clayton dan Faye J Crosby, dalam bukunya “Justice, Gender and Affirmative Action” menawarkan satu teori “relative depriviation”--meminjam konsep dari cabang ilmu psikologi yang digunakan untuk menjelaskan dengan lebih komprehensif perlunya adopsi kebijakan afirmatif. ‘Relative depriviation’ secara sederhana diartikan “perasaan terpinggirkan, terdiskriminasi, dirugikan yang dirasakan secara relatif”. Maksudnya, seseorang belum tentu merasa dirugikan atau merasa kehilangan hak hanya karena kondisi objektif yang dihadapinya. Pengalaman diskriminasi dirasakan karena standar subyektif dan relatif yang diberlakukan dan dikenakan kepada mereka dibandingkan dengan kelompok yang lain. Contoh yang paling sederhana, seorang buruh perempuan yang gajinya tidak dibayar sama dengan buruh laki untuk pekerjaan yang sama, belum tentu mereka merasakan diskriminasi dan bahkan bersikap “denial of personal disadvantages”, jika ia membadingkan situasi dirinya dengan jutaan perempuan lain yang tidak memperoleh pekerjaan. Pemahaman kebijakan afirmatif yang dipahami selama ini oleh banyak kalangan hanya melihat, perlakuan yang terjadi pada buruh perempuan tersebut merepresentasikan gambaran umum keadaan perempuan pada umumnya. Tindakan terhadap buruh tersebut yang tidak bisa dibenarkan dan melanggar keadilan harus direspon lewat kebijakan afirmatif, sehingga ada perlakuan khusus, tidak peduli apakah buruh itu perlu afirmatif atau tidak. Ilustrasi yang sama adalah pemahaman kebijakan afirmatif terhadap perempuan yang seolah memberi perlakuan khusus kepada semua yang berjenis kelamin perempuan, tanpa memandang kategori jenis perempuan itu perlu atau tidak, mendapakan kebijakan khusus tersebut. Kategori perempuan dalam kebijakan afirmatif yang diperjuangkan di Indonesia bukan semata dilihat dari jenis kelamin dan memberi afirmatif kepada sembarang perempuan. Ada basis yang mendasari dan menjadi ukuran kapan afirmatif diberikan dan kapan
9
Perempuan Bergerak | Edisi I|Januari - Maret 2009
OPINI
jalan panjang yang telah diretas bisa berhasil dalam implementasinya?
OPINI
afirmatif tidak diperlukan oleh perempuan tertentu. Merujuk pada latar belakang caleg perempuan yang beragam, seorang Nurul Arifin atau Yasmin Muntaz, misalnya bukan perempuan yang butuh kebijakan khusus. Tapi lihatlah disamping Nurul Arifin, Yasmin Muntaz ada ratusan caleg perempuan yang lain yang sesungguhnya berpotensi, berpendidikan, berintegritas, tetapi nama-namanya tidak populer di mata publik dan pemilih. Jika mereka tidak dibantu lewat kebijakan khusus, sulit bagi mereka lolos dari ajang kompetisi pemilu yang berdasarkan aturan free competition. Tengok misalnya nama Dini Mentari, atau Apong Herlina, siapakah atau berapa banyak di antara pemilih atau publik yang mengenal nama-nama ini? Jika mengamati rekam jejak ketika mereka bekerja dalam gerakan masyarakat sipil, kita tidak meragukan, tetapi nama mereka tidak dikenali, dan tidak populer untuk media, padahal mereka punya integritas dan berpotensi. Lewat kebijakan afirmatif nama-nama inilah yang seharusnya “entitled” mendapat perlakuan khusus dalam nominasi, penempatan dan peluang keterpilihan yang diatur dalam undang-undang pemilu. Siapakah yang mengenal Eva Sundari, Badriyah Fayumi, Latifah Iskadar, Lena Mariana atau Maria Ulfah Anshor sebelum pemilu legislatif 2004? Mereka dicalonkan dan bisa terpilih karena afirmatif. Jika tidak ada kebijakan afirmatif kita tidak akan mengenal nama-nama mereka dipentas politik nasional di DPR RI saat ini, dan jika kita mengukur kapasitas mereka, siapa yang bisa mengatakan mereka lebih jelek dari banyak anggota laki-laki? Tanpa afirmatif, Indonesia menyia-nyiakan bakat potensi individual mereka yang tidak akan pernah terlihat dan teruji. Perjuangan afirmatif berbeda dengan gagasan equal opportunity yang melihat hanya dari sisi individual dan mengabaikan kriteria ras, jenis kelamin dalam promosi, dan recruitment. Perjuangan afirmatif bertujuan ganda, selain “mengobati” (remedial) juga bertujuan mencegah diskriminasi gender terjadi di masa mendatang. Kunci keberhasilan perjuangan afirmatif untuk penghapusan diskriminasi gender seharusnya bukan hanya menjadi tanggung jawab perempuan dan gerakan perempuan semata. Persoalan diskriminasi, ketimpangan baik yang terjadi di kalangan perempuan, etnis atau ras tertentu, harus menjadi perjuangan bersama dan tanggung jawab semua kalangan utamanya pemangku kepentingan di negara ini, kelompok masyarakat sipil, gerakan pro demokrasi maupun pendidikan maupun institusi demokrasi lain seperti partai politik,ormas, dan lainnya. Tanggung jawab yang sama juga berlaku bagi kalangan kelompok perempuan sendiri, yang secara internal juga harus melakukan “afirmasi” di dalam dirinya, sehingga kualifikasi dan kompetensi yang dipersyaratkan bagi kandidat perempuan yang
10
Perempuan Bergerak | Edisi I |Januari - Maret 2009
“entitled” untuk bisa mendapatkan perlakuan memenuhi kriteria yang dipersyaratkan . Tindakan pencegahan dan kebijakan ”remedial” (penyembuhan) harus melibatkan banyak kalangan masyarakat. Konsep kebijakan afirmatif dengan demikian adalah tindakan positif yang bertujuan mulia untuk meningkatkan derajat dan status di lapangan pendidikan, pekerjaan, karir dan kesempatan promosi bagi mereka yang selama ini terdepriviasi, baik itu dilihat dari kategori sosial gender, etnis, ras, afiliasi agama, maupun kategori yang bersifat sosial ekonomi. Konsep deprivasi melintasi gender, etnis, warna kulit ataupun golongan dan keyakinan. Konsep afirmatif harus dipahami secara komprehensif memperjuangkan bukan hanya perempuan, melainkan juga yang terjadi pada kelompok marjinal lainnya yang mengalami stereotipe negatif, deprivasi ekonomi dan peminggiran politis. Konsep afirmatif di Indonesia selama ini dipahami sepotong-sepotong, dan ditanggapi secara beragam yang intinya didasarkan atas ketidak-yakinan bahwa kebijakan mulia seperti ini adalah kebijakan yang paling ampuh, paling pas dan baik serta akan berhasil diterapkan di negara seperti Indonesia. Ada kalangan yang menyuarakan bahwa kebijakan afirmatif tidak diperlukan misalnya dalam konteks pemilu, tetapi boleh di arena pendidikan dan pekerjaan. Ada kalangan yang hanya melihat sisi negatifnya dan menganggap kebijakan ini sebagai retorika murahan, karena tidak mengubah apapun dari kondisi keterpurukan perempuan dan justru memperdaya perempuan Jika kita sepakat, bahwa kebijakan afirmatif bertujuan mulia untuk mengangkat harkat dan derajat kaum marjinal, seharusnya debat konstruktif yang lebih diutamakan yakni bagaimana membuat kebijakan ini bisa diimplementasikan secara efektif dan mencapai sasaran yang dicita-citakan.***
Dalam referensi sejarah yang ada manapun, tampak jelas jarang ditemukan penyebutan kata perempuan dengan sangat menonjol. Mereka pasti selalu ditempatkan sebagai “pemeran figuran”. Mereka ”ada” dalam sejarah, namun tak dirasakan kehadirannya. Sering mereka tersembunyi dibalik tirai kekuasaan, keperkasaan, dan kepahlawanan lakilaki. Maka tidaklah mengherankan, bila laki-laki senantiasa mendominasi sejarah. Bahkan, muncul ungkapan bahwa sejarah adalah milik laki-laki
D
alam referensi sejarah yang ada manapun, tampak jelas jarang ditemukan penyebutan kata perempuan dengan sangat menonjol. Mereka pasti selalu ditempatkan sebagai “pemeran figuran”. Mereka ”ada” dalam sejarah, namun tak dirasakan kehadirannya. Sering mereka tersembunyi dibalik tirai kekuasaan, keperkasaan, dan kepahlawanan laki-laki. Maka tidaklah mengherankan, bila laki-laki senantiasa mendominasi sejarah. Bahkan, muncul ungkapan bahwa sejarah adalah milik laki-laki. Dalam catatan sejarah Indonesia, perempuan Indonesia sedikit beruntung. Kisah perjuangan mereka sedikit banyak masih ada dalam sejarah negeri ini, meskipun terpinggirkan. Dalam acuan itu, kemunculan perempuan dalam kancah politik
dimulai oleh Ratu Shima dari kerajaan Kalingga, yang terkenal dengan kepemimpinannya yang adil dan bijaksana. Sejarah pun menunjukan bahwa kepemimpinan perempuan banyak bermunculan di beberapa daerah, seperti Nyi Ageng Serang di Banten, Cut Nyak Dhien di Aceh, Chistina Martha Tiahahu di Maluku dan banyak lagi. Perempuan-perempuan muda tersebut terlibat dalam perjuangan bersenjata melawan penjajah. Mulanya ada yang sebatas membantu suami, kemudian akhirnya sungguh-sungguh memimpin pasukannya sendiri. Yang menarik, kebanyakan para perempuan ini adalah kaum bangsawan, yang mempunyai status sosial yang tinggi. Ini bisa dipahami, karena beberapa memilih angkat
11
Perempuan Bergerak | Edisi I|Januari - Maret 2009
WARTA PEREMPUAN
PEREMPUAN BERPOLITIK: Perjuangan Yang Tak Lekang Oleh Waktu
WARTA PEREMPUAN
senjata sebab tanah-tanah keluarganya diserobot oleh penjajah. Menilik periodesasi sejarahnya, perjuangan perempuan pada abad 18 terpusat dalam perjuangannya melawan kolonial. Kemudian akhir abad ke-19, RA Kartini muncul dengan gagasan meningkatkan pendidikan bagi kaum perempuan, baik dari kalangan miskin maupun priyayi serta reformasi aturan perkawinan. Dalam hal itu, RA Kartini menolak poligami yang dianggap merendahkan kaum perempuan. RA Kartini adalah Sang Pemula, yang mengawali seluruh tradisi intelektual Gerakan Perempuan di Indonesia. Gerakan perempuan di Indonesia pada gilirannya berkembang pesat setelah ada Kongres Perempuan tahun 1928. Pada masa itu, isu-isu perempuan, nasionalisme dan politik mulai muncul. Kaum perempuan lebih jauh sudah memperjuangkan isu keterwakilannya di parlemen. Pada momen Pemilu tahun 1955, gerakan perempuan akhirnya berhasil menempatkan perempuan sebagai anggota parlemen. Pada masa ini, hak politik yang sama secara hukum telah dijamin dalam pasal 27 UUD 1945. Kemudian juga melalui UU nomor 80 tahun 1958, yang menjamin adanya prinsip pembayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama, perempuan dan laki-laki tidak dibedakan dalam sistem pengupahan. Kini seiring berjalannya waktu dan berkembangnya jaman, perjuangan perempuan dalam kancah politik mulai memasuki babak baru. Kalau dulu gerakan perempuan pernah memperjuangkan keterwakilan perempuan di parlemen tanpa memikirkan penetapan jumlah tertentu atau berapa prosentase perempuan yang seharusnya duduk di sana, kini gerakan perempuan abad 21 melihat perlunya sebuah kuota untuk keterwakilan perempuan di parlemen. Angka 30 % yang didesakan, diyakini sebagai critical number yang harus dicapai untuk memungkinkan sebuah perubahan terjadi. Dulu hanya tercatat nama Maria Ulfa dan SK Trimurti yang pernah terpilih menjadi menteri Sosial pada Kabinet Syahrir II (1946) dan menteri Perburuhan pada Kabinet Amir Sjarifuddin (19471948). Sekarang gerakan perempuan sedang memperjuangkan Maria Ulfa-Maria Ulfa dan
12
Perempuan Bergerak | Edisi I |Januari - Maret 2009
SK Trimurti-SK Trimurti yang lain untuk bisa menjadi wakil perempuan di parlemen. Pentingnya perempuan berpolitik Saat ini di tengah era kebebasan (reformasi), kaum perempuan tampaknya belum sepenuhnya menikmati euphoria kebebasan ini. Kaum perempuan masih belum sepenuhnya bebas menentukan arah dan langkahnya untuk bersaing dengan kaum lelaki. Kesempatan dan akses yang diperoleh perempuan masih dibatasi dan sering menemukan hambatan dari faktor budaya maupun agama. Walaupun jaman semakin maju dan berkembang, namun anggapan terhadap perempuan yang berkiprah di ruang publik (politik) masih sering dianggap tabu dan tidak pantas, bahkan untuk menjadi pemimpin sekalipun. Tidaklah heran apabila partisipasi perempuan di ruang publik (politik) sangat minim. Akibatnya, terjadi berbagai ketimpangan antara perempuan dan laki-laki dalam segala sektor. Ketimpangan-ketimpangan yang terjadi terhadap perempuan dalam berbagai bidang kehidupan dengan mudah bisa dikatakan sebagai hasil ketimpangan keterwakilan perempuan dalam pengambilan kebijakan. Selama ini, perempuan hanya ditempatkan sebatas sebagai korban kebijakan, tanpa memiliki akses dan kontrol untuk memberikan masukan dalam perubahan kebijakan yang ada. Untuk itulah, mengapa perempuan sangat penting berpolitik. Menurut Nur Iman Subono, peneliti dari Demos, perempuan penting berpolitik karena beberapa alasan, antara lain pertama, karena dalam banyak kasus kepentingan perempuan tidak bisa di wakili oleh laki-laki. “Pada persoalan isu-isu perempuan, saya sebagai lakilaki bisa memahami, tetapi belum tentu bisa mengerti. Saya bisa bicara, tapi yang paling bisa menghayati adalah perempuan sendir. Jadi tidak semua kepentingan perempuan bisa diwakili, untuk itu perempuan harus ada di sana” ujarnya. Kedua, persoalan kesetaraan dan keadilan. Menurutnya, populasi perempuan itu banyak namun kebijakan yang ada sering tidak ditentukan oleh mereka. Ketiga, perempuan yang ada dan eksis bisa dijadikan model oleh
Keterlibatan perempuan dalam politik memang sangat penting. Selain diharapkan mampu memperjuangkan hak dan kepentingan kaum perempuan, mereka pun dinilai akan mampu membuat kebijakan yang bisa membawa kemakmuran bagi rakyatnya. Dalam realitas yang ada selama ini, walaupun jumlah perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki namun jumlah keterwakilan perempuan di parlemen sangat tidak sebanding. Dalam Pemilu 2004 misalnya, jumlah pemilih perempuan mencapai 53%, namun hanya 11,6% keterwakilan mereka di DPR. Akibat ketidak-seimbangan ini, tentu kebijakan yang ada tidak mengakomodir kepentingan perempuan. Kebutuhan-kebutuhan perempuan hampir dipastikan luput dari kebijakan negara, karena masalah-masalah mereka hanya bisa “dititipkan“ pada wakil rakyat yang laki-laki, sehingga hasilnya dapat dipastikan, bahwa kebijakan yang lahir tidak pro perempuan. Saat perjuangan perempuan untuk kuota 30% mulai terakomodir, bagi sebagian kalangan hal tersebut masih saja dianggap sebagai diskriminasi. Mereka beranggapan bahwa kalau ingin bersaing dalam politik haruslah bersaing dengan fair dengan mekanisme yang ada. Padahal, kuota bukanlah sebuah diskriminasi. Itu merupakan kompensasi bagi kendala nyata yang dihadapi perempuan untuk secara adil bisa berpartisipasi dalam kehidupan politik.
elemen partai politik, juga hampir di seluruh elemen pemerintahan. Masih akan menjadi kendala bagi kaum perempuan untuk terjun ke dunia politik. “Makanya, penting kita mendorong keterwakilan perempuan di ranah-ranah strategis negara, termasuk di partai politik atau di lembaga-lembaga sosial (LSM). Jadi, gerakan secara masif, gerakan kultural dan gerakan struktural itu harus dibangun”, tegasnya. Harapan terhadap partisipasi perempuan dalam politik juga diungkapkan oleh sebagian warga masyarakat, terutama kalangan ibu-ibu. Mereka berharap dengan semakin banyaknya wakil rakyat perempuan, nasib bangsa semakin baik. Seperti yang diungkapkan oleh ibu Iping warga Prumpung: “…saya berharap dengan banyaknya perempuan yang menjadi anggota DPR, mereka bisa lebih mengerti, lebih paham dan lebih peduli pada nasib perempuan “, tegasnya. Dengan banyaknya perempuan yang sekarang terjun ke dalam dunia politik, tentu bukan semata-mata berasal dari hasil yang tanpa proses. Sejarah panjang perjuangan kaum perempuan dahulu, mulai dari perjuangan Ratu Shima, Cut Nyak Dhien, RA Kartini sampai SK Trimurti, jelaslah membawa semangat dan ilham tersendiri bagi munculnya kesadaran kaum perempuan sekarang untuk berpolitik. Kini ketika gerakan untuk memperjuangkan keterwakilan perempuan sudah di depan gerbang kemerdekaan karena Pemilu 2009 sebentar lagi akan kita jelang, tentu semangat perempuan untuk berpolitik jangan sampai memudar. Oleh karena, sampai kapan pun perempuan berpolitik adalah perjuangan yang harus tidak lekang oleh waktu. *** (NR,IH,NN,RK,WWK)
Tampaknya, perjuangan perempuan ke depan masih akan banyak menghadapi kendala. Dari hasil wawancara dengan Masru’hah, seorang aktivis perempuan, selain sistem politik yang masih patriarkhal, budaya in masih kuat di
13
Perempuan Bergerak | Edisi I|Januari - Maret 2009
WARTA PEREMPUAN
perempuan-perempuan lain untuk ikut juga berpolitik. Keempat, memang bukan zamannya lagi perempuan berada di belakang. Berbeda dengan Boni, Latifah Iskandar, politisi perempuan dari Fraksi PAN, lebih melihat pentingnya perempuan berpolitik dilihat dari kuantitasnya. Politisi asal Jogja ini menilai bahwa perempuan itu memang harus berpolitik, karena menurutnya jumlah perempuan yang ada di DPR saat ini sangat sedikit sehingga kepentingan-kepentingan perempuan masih belum banyak terwakili. Untuk itu, dia mengajak para perempuan untuk terjun ke dalam dunia politik.
SOSOK
“SAYA BUKAN AKTIVIS LHO!”: Potret Bu Sap
“Saya ini bukan aktivis lho.., hanya kadang-kadang saya disebut sebagai aktivis, padahal saya hanya ikut-ikutan saja ketika berada di Kajian wanita UI, di mana banyak teman di luar kampus yang datang dan saya berusaha membantu semampu saya saja” ungkap Prof. Dr.Saparinah Sadli, atau biasa dipanggil teman-temannya Bu Sap. Meskipun usianya sudah menginjak 82 tahun, namun keaktifan beliau dalam memperjuangkan hak-hak perempuan tetap konsisten sampai sekarang. Pusat Kajian Wanita UI, Convention Watch, dan Komnas Perempuan adalah nama-nama institusi kelompok kerja yang tidak pernah bisa dilepaskan dari peran dan keterlibatan Ibu Sap di dalamnya. Kerusuhan Mei 1998 adalah awal keterlibatannya secara langsung dengan isu-isu perempuan. Dimulai dari isu perempuanperempuan etnis tionghoa yang diperkosa saat itu, sekalipun banyak orang tidak percaya. Kemudian a d a temuan data dari tim relawan untuk kemanusiaan yang mengatakan, bahwa benar ada kasus perkosaan. Ibu Sap, yang saat itu menjabat sebagai wakil Ketua Komnas HAM, terus melakukan pencarian fakta tentang kasus tersebut. Ketika itu beliau tergabung dalam Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Bersama dengan anggota Komans HAM lainnya, yakni Prof. Charles (almarhum) yang kebetulan juga etnis China, pergi ke sebuah RS di Sunter dan bertemu dengan beberapa dokter. Beberapa dari mereka mengatakan bahwa benar ada korban perkosaan yang dirawat di RS tersebut. Ibu Sap sempat bertemu dengan beberapa korban yang sedang dirawat. Bersama dengan teman-temannya di Pusat Kajian Wanita UI, mereka membuat suatu pernyataan yang ditujukan kepada pemerintah yang antara lain berisi, bahwa pemerintah harus meminta maaf kepada korban kerusuhan termasuk korban perkosaan. Pernyataan ini kemudian disebarkan ke milis dan dalam waktu dua minggu langsung mendapatkan dukungan lebih dari 4000 orang (baik yang berada di dalam negeri maupun luar negeri). Ada beberapa hal yang menarik dari cerita beliau ketika beliau aktif untuk mengangkat kasus perkosaan Mei tahun 1998. Banyak teman Ibu Sap yang mangatakan, bahwa kasus perkosaan itu hanya satu dan tidak perlu diangkat.
14
Perempuan Bergerak | Edisi I |Januari - Maret 2009
Kemudian Ibu Sap hanya menjawab, “…aku gak ambil pusing tentang angka ketika akan mengangkat sebuah kasus perkosaan. Satu korban sudah cukup untuk diangkat sebagai sebuah kasus”. Saat itu Habibie sebagai Presiden RI bersedia bertemu dengan Ibu Sap dkk., untuk membicarakan hal tersebut di Istana Kepresidenan, meskipun awalnya ada penolakan para pejabat pemerintah. Ada tiga permintaan saat itu: 1. Permintaan maaf pemerintah kepada para korban kerusuhan, termasuk korban perkosaan; 2. TPGF harus mempunyai kajian tentang kasus-kasus perkosaan tersebut; 3. Usulan pendirian Komisi Nasional khusus tentang Perempuan. Setelah melalui berbagai diskusi dan desakan, akhirnya Presiden Habibie setuju untuk memenuhi ketiga permintaan tersebut. Pemerintah melalui media televisi menyampaikan permintaan maafnya kepada para korban dan menyetujui pendirian Komnas Perempuan melalui Surat Keputusan Presiden. “…80% hidup saya adalah di kampus, oleh karena itu saya lebih senang disebut sebagai akademisi”, ujar Bu Sap ketika bicara ketidak-aktifan beliau di dunia politik praktis. Meskipun demikian, pengamatan beliau terhadap kehidupan politik di Indonesia tidak berhenti. Bicara tentang kuota 30%, menurut istri Ekonom M.Sadli ini, bahwa sebenarnya sudah sejak dulu banyak perempuan di parlemen, tetapi kebanyakan mereka istri atau anak pejabat. Dan pada saat itu, tidak banyak yang bisa kita harapkan dari mereka. Adanya critical number jelas ini menjadi kesadaran baru. Kalau perempuan tidak ikut secara langsung dalam proses pengambilan keputusan-keputusan di tingkat nasional, maka dalam suasana di mana kebanyakan laki-laki tidak memperhatikan apakah peraturan tersebut memberikan pelindungan terhadap perempuan atau belum, mereka akan menganggap masalah perempua itu umum saja. Contoh, UU Kesehatan yang sekarang kita miliki, kurangnya
Bu Sap memang sampai saat ini aktif dalam upaya advokasi UU Kesehatan sejak masa pemerintahan Megawati. “Saya kesel banget dan patah semangat dengan keadaan ini, karena waktu Megawati jadi presiden, itu hampir gol. Tetapi karena tidak ada di atas meja dia, jadi sampai tidak tertandatangani olehnya.Dan karena parlemennya baru, jadi mulai dari depan lagi”, singkat Bu Sap. Saat ini, yang terpenting adalah melakukan pencegahan terhadap kasus-kasus kesehatan reproduksi yang buruk, seperti aborsi yang tidak aman, kematian ibu dan anak, pendidikan kesehatan terhadap perempuan, dll. Menurut saya, “…perjuangan apapun juga apalagi untuk perempuan membutuhkan ketabahan, kadang frustasinya banyak banget lho. Kalau kita menghadapi DPR mereka mengatakan kita banyak dipengaruhi barat. Mereka sudah memberikan label yang gakgak bahwa perempuan sekarang banyak dipengaruhi oleh barat. Tidak seperti perempuan dulu kata mereka”. Padahal, perempuan dulu dan sekarang berbeda. Perempuan dulu berjuang mendapatkan pendidikan saja sudah sulit, tetapi sekarang lebih kompleks masalahnya.
mengambil empat perempuan dalam kabinetnya. Kenapa harus dijatah? Kenapa tidak dikatakan, bahwa tiap perempuan yang mampu akan diperhatikan untuk bisa menjadi anggota kabinet? Jadi, hanya seperti kado saja. Menanggapai peluang perempuan saat ini untuk duduk di parlemen dengan kuota 30%, Bu Sap berpendapat bahwa secara politis kita berusaha mendapatkan 20% saja dulu atau 16%, tetapi harus tetap dipantau apa yang mereka perjuangkan untuk perempuan di parlemen. Selebihnya, kita tetap harus terus menyuarakan pencapaian 30%. Karena menurut beliau, untuk mengarahkan 30% itu adalah suatu utopia. Kuantitas tetap penting, terlebih ketika dalam rapat-rapat, tetapi tidak langsung 30%. Saat ini lebih dari 11% lebih baik, dan bagaimana bisa ditarik dari pinggiran ke tengah. Saya kira saat ini baru pada proses itu. Dan mudah-mudahan, yang terpilih nanti yang peduli terhadap isu-isu perempuan. Laki-laki juga tidak masalah. “Aku sekarang bertanya, apakah caleg yang nanti tidak terpilih, apakah mereka akan masih tetap aktif memperjuangkan isu-isu perempuan? Atau malah sebaliknya, apa mereka hanya ingin duduk di sana atau memang menganggap bahwa perlu ada di parlemen untuk suatu dukungan secara politis dalam memperjuangkan ide-ide bersama?”, ujar Bu Sap di antara kegelisahannya melihat kondisi politik saat ini. Caleg-caleg perempuan harus paham juga bahwa kita mengharapkan banyak dari mereka.
Perempuan saat ini sangat peka dengan apa yang terjadi di lingkungannya. Maka sebetulnya laki-laki yang terbelakang, mereka masih tetap seperti yang dulu. Perempuan yang berubah dan maju. Pikiran para laki-laki memberikan mereka kemantepan dan kemapanan, diladeni, dll. Jadi, untuk mengubah sikap dan perilaku mereka, kita harus menggoyahkan kemapanan mereka. Dan itu tidak mudah, karena mereka berada di tempattempat yang berkuasa.
Progres perkembangan politik perempuan itu ada, contoh dalam dunia pendidikan. Tetapi, bukan berarti masalah yang dihadapi perempuan itu sudah tidak ada. Masih harus dipahami sebagai isu yang sangat penting, seperti pendidikan perempuan yang masih tetap terbelakang. Yang diukur hanya mereka yang sekolah formal, yang tidak sekolah tidak diukur. Di sekolah, kita lihat makin tinggi tingkat pendidikan makin sedikit perempuannya. Dunia pendidikan adalah dunia laki-laki.
Ketika diskusi kami mengarah tentang kampanye yang mengatakan, bahwa politisi lebih baik perempuan, maka beliau mengatakan harusnya perempuan dan laki-laki sama-sama peduli terhadap masalah yang menjadi isu-isu perempuan. Memang politisi sedikit yang memahami isu-isu perempuan. Tapi tidak berarti, kalau nanti ada 15% perempuan yang duduk di DPR, maka isu-isu perempuan akan tertangani. Hal ini sangat tergantung pada siapa yang dipilih dan duduk di sana. “Sampai sekarang, saya mengikuti kampanye tidak ada yang ngomong tentang perempuan. Jadi, mereka anggap itu masalah yang sama antara perempuan dan lakilaki”, ungkap Bu Sap bersemangat.
Saya tidak menganggap diri saya ikut dalam dunia politik praktis, kebetulan saya dianggap aktivis karena diajak, dan melakukan apa yang bisa saya lakukan. Hal BU Sap lakukan ketika menjadi nyonya menteri. Beliau sama sekali tidak tertarik untuk ikut Dharma Wanita kala itu, karena mungkin keahliannya sebagai psikolog yang menganggap, kenapa perempuan harus ditata ini itu? Bu Sap termasuk orang yang tidak suka dipaksa. “Saya mendidik orang agar hal ini penting dilakukan”, singkat Bu Sap mengakhiri wawancara kami. ***(LS)
Kondisi sekarang memang perempuan dan lakilaki sama pintarnya, sama bisanya, sama mampunya, tetapi kesempatannya yang berbeda. Misalnya waktu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan akan
15
Perempuan Bergerak | Edisi I|Januari - Maret 2009
SOSOK
masalah kesehatan perempuan atau kesehatan reproduksi diatur didalamnya. Dan saat ini, masih diamandir. Sekalipun Menteri Kesehatan Indonesia seorang perempuan, hal itu tidak menjamin apa-apa. Yang penting, bukan hanya perempuannya, melainkan orang yang peduli terhadap kondisi perempuan. Jadi, bukan asal perempuan.
PERSPEKTIF
“LIPSTIK” POLITIK Oleh: Ikhaputri Widiantini
Tanggal 9 April 2009 akan menjadi catatan sejarah baru bagi Indonesia. Pemilihan yang akan diadakan pada tanggal tersebut akan menentukan arah baru bagi kehidupan politik dan bernegara di Indonesia. Ratusan partai berlomba mendaftar dan memastikan diri menjadi representasi suara rakyat. Pengajuan atas caleg pun menjadi perdebatan yang sangat menarik. Salah satunya isu mengenai keterwakilan perempuan dalam tataran legislatif. Euforia Pemilu 2009 pun memicu semangat banyak perempuan Indonesia untuk membuktikan diri ‘layak’ terlibat dalam kancah perpolitikan tersebut. Hal ini didukung oleh affirmative action yang ‘memaksakan’ kuota 30% bagi perempuan, sehingga dasar awal yang dibutuhkan – yakni kesempatan – telah dimiliki perempuan. Walaupun muncul berbagai persoalan yang cenderung tetap merugikan caleg perempuan, euforia ini telah berhasil memanas-manasi semangat politikus perempuan Indonesia ikut andil dalam pesta pemilihan besar ini. Usaha memanfaatkan secara maksimal kesempatan yang diberikan lewat jatah kuota digunakan oleh para caleg perempuan untuk mengkampanyekan visi, misi, dan program kepada masyarakat. Keuntungan bagi para caleg perempuan adalah adanya trend isu yang sedang ramai diangkat, yakni persoalan perempuan. Dari permasalahan TKW, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, hingga persoalan moral untuk perempuan. Dengan cerdas isu ini dijadikan bagian dari program mereka. “Janji” yang seringkali diberikan oleh caleg-caleg sebelumnya telah banyak diingkari dan mengecewakan banyak warga perempuan. Kecenderungan pola pikir maskulin masih merajalela dalam pembuatan program kerja legislatif, sehingga pada akhirnya terbukti hanya meninggalkan kekecewaan dan rasa tidak
16
Perempuan Bergerak | Edisi I |Januari - Maret 2009
percaya. Inilah problema yang harus diselesaikan oleh banyak caleg yang menjanjikan diri sebagai wakil rakyat, bagaimana merebut rasa percaya warga negara – terutama perempuan – dan merealisasikan program yang tentunya akan menjamin hak bernegara setiap warga. Simulakra Kampanye Kampanye yang telah berlangsung sampai pemilihan terjadi menunjukkan bahwa setiap caleg perempuan berusaha menarik hati masyarakat semaksimalnya. Mereka menyadari penuh bahwa tidak mudah untuk menimbulkan rasa percaya dalam sekejap. Lewat media banner, poster, iklan di media massa, bahkan media internet mereka lakukan. Iklan yang ditampilkan pun bukan lagi iklan ‘ala caleg’ yang kaku, melainkan sangat luwes mengikuti perkembangan jaman. Tembok yang selama ini cenderung membuat politik seakan jauh dari masyarakat dirubuhkan. Generasi muda pun terlibat penuh dalam perkancahan politik Indonesia. Para caleg telah meleburkan budaya populer dalam kampanye mereka. Bahkan banyak caleg yang meniru cara kampanye Obama, lewat media jaringan sosial yaitu Facebook. Keluwesan kampanye para caleg lewat Facebook ini menunjukkan adanya “hiperrealitas ” yang memotong batasan dunia nyata dan dunia maya. Kampanye secara langsung biasanya dilakukan di daerah-daerah, sedangkan untuk menyentuh masyarakat urban, dunia mayalah solusinya. Iklan kampanye pun harus mengikuti pakem dunia periklanan. Kemasan yang ditawarkan pun harus menarik agar tidak sekedar menjadi spam yang mudah dibuang setelah dilihat. Para caleg pun mulai mengenakan “lipstik” mereka. Permasalahannya adalah apakah “lipstik” yang digunakan ini memang hanya usaha mempercantik semata (sehingga mudah untuk
Politisasi Ruang Privat Perempuan Menanggapi pernyataan misoginis para anggota legislatif yang cenderung meragukan kemampuan politik perempuan, seharusnya para caleg perempuan memaksimalkan penggunaan “lipstik” mereka. Kemasan kampanye haruslah mengena pada usaha realisasi penyelesaian problem perempuan di Indonesia. Politik mereka adalah politik kebertubuhan, mengingat adanya perbedaan pengalaman yang dialami. Dunia politik telah terlalu lama dikuasai oleh sistem patriarki yang berdasarkan pengalaman maskulin. Mengutip pernyataan Chantal Mouffe bahwa dibutuhkan kontribusi nyata dari pemikiran perempuan (feminisme) untuk memberikan perubahan dalam dunia demokrasi (79), maka para caleg perempuan tidak dapat sekedar menjadi penghias ruangan legislatif melainkan memperjuangkan hak bagi kaum perempuan. Usaha ini disebutnya sebagai pertarungan warga negara merebut hak kesetaraan. Politik kebertubuhan yang sangat erat dengan kehidupan perempuan, merupakan dampak dari politisasi ruang privat perempuan. Pejuang politik perempuan Amerika, Alice Paul telah memberikan kontribusi nyata dan menginspirasi banyak perjuangan hak politik perempuan di berbagai negara. Perebutan hak pilih bagi perempuan pada akhirnya harus dikembangkan tak sekedar dapat memilih ataupun dipilih, melainkan juga hak terlibat dalam kehidupan bernegara. Perjuangan ini diperkuat oleh pergerakan feminisme radikal yang menunjukkan bahwa penindasan terhadap perempuan berawal dari penindasan terhadap tubuhnya. Ketika perempuan tidak lagi memiliki hak atas tubuhnya, maka ia pun kesulitan untuk mendapatkan akses pada hal-hal lainnya. Ketidakpahaman perempuan akan tubuhnya inilah yang membuat perempuan kemudian bergantung pada pemahaman yang diberikan oleh pihak lain diluar dirinya, dalam hal ini masyarakat patriarkal. Tubuh yang pada awalnya menempati ruang privat, pada akhirnya dipolitisasi. Inkonsistensi pola pikir patriarkal pada akhirnya menunjukkan argumen yang tidak kuat, karena politisasi tubuh tersebut (lewat berbagai pengaturan dalam ruang publik), ketika dipermasalahkan oleh banyak aktivis perempuan, hanya akan mendapat jawaban, “itu kan urusan pribadi, jangan dibawa-bawa ke ruang publik”.
Problem ini terlihat jelas ketika terjadi kekerasan dalam rumah tangga yang cenderung diselesaikan secara ‘kekeluargaan’ padahal telah memiliki jaminan legal. Padahal bagi kaum feminis sangat jelas terlihat bahwa permasalahan yang selama ini berada dalam ruang privat, juga merupakan bagian dari ruang publik (the personal is political ). Universalisasi konsep privat dan publik oleh kaum patriarki (Mouffe 81) sangat kabur batasannya. Hukum hanya menjamin kegiatan individu pada ruang publik, sedangkan pada kenyataannya banyak pula kegiatan dalam ruang privat yang justru merupakan efek dari pengaturan pada ruang publik. Pengalaman perempuan tidak lagi diperhitungkan karena efek dari pengikatan tersebut, hanya dibuka dua ruang yakni ruang publik dan ruang privat (Passerin 57), dan perempuan selalu ditempatkan di ruang privat. Kesan Estetik “Lipstik” Caleg Perempuan Menyadari persoalan yang seharusnya diangkat oleh para caleg perempuan adalah mengutamakan kualitas politiknya, maka pengemasan yang dilakukan tidak boleh sampai mudah dihapus begitu saja. Ada asumsi yang harus dilawan, yaitu anggapan remeh terhadap kehadiran perempuan dalam dunia politik. Bukan hal yang mudah untuk melakukan sebuah pendidikan politik secara instan. Kehadiran para anggota legislatif perempuan tidak boleh sekedar karena jenis kelamin, tetapi juga karena kesamaan perasaan dan perjuangan politik. Solidaritas merupakan landasan kuat yang harus dimiliki perempuan. Konsep warga negara yang selama ini dirumuskan oleh pemikiran patriarkal harus didobrak, salah satunya dengan mengembangkan kualitas perempuan. Perempuan yang terjun ke dalam dunia politik tidak boleh dikendalikan aturan patriarkal, karena bukan dengan menjadi laki-laki perempuan diakui, melainkan lewat kualitas perempuan mereka (Mouffe 80). Perbedaan jalur masuk (lewat partai) memang tidak dipungkiri cenderung membangun arogansi atas partai tersebut. Tetapi dengan solidaritas yang kuat dan melupakan segala kepentingan partai, program bagi perempuan yang dijanjikan di awal akan lebih mudah direalisasikan. Ini bukan usaha yang mudah. Ibarat jaring laba-laba, sudah terlalu banyak jaring yang mengikat perempuan. Maka demi perjuangan melawan penindasan perempuan, perlu ada usaha “membunuh” laba-laba tersebut. Satu perempuan bisa dibungkam, tetapi dengan solidaritas akan timbul rasa kebersamaan untuk berjuang. Dengan demikian lipstik sebagai kemasan tersebut walaupun sudah dihapuskan (karena kampanye sudah selesai) tetap akan meninggalkan kesan estetik bagi masyarakat, terutama bagi perempuan. *** Daftar Bacaan Mouffe, Chantal. The Return of The Political. New York: Vesco, 1993. Passerin, Maurizio (ed.). Public and Private. London: Routledge, 2000.
17
Perempuan Bergerak | Edisi I|Januari - Maret 2009
PERSPEKTIF
dihapus), atau justru berhasil meninggalkan kesan estetik bagi masyarakat? Lipstik sebagai salah satu alat mempercantik tubuh yang digunakan oleh banyak perempuan berada dalam posisi dualisme. Di satu sisi, ketika si pengguna telah menggunakan dengan tepat, maka akan menimbulkan kesan yang mendalam dalam diri setiap orang yang melihat. Di sisi lain, ketika kesan indah tersebut tidak didapatkan, dengan mudahnya lipstik itu dapat dihapus (dan mungkin dapat diganti dengan lipstik lain). Simulakra kampanye lewat media populer pun dapat mengalami problem yang sama seperti lipstik tersebut. Ramainya iklan kampanye tersebut telah menggugah masyarakat. Ada yang terkesan, ada yang mencemooh, bahkan ada yang sambil lalu, dan melupakan. Inilah tantangan para caleg. Tetapi pertanyaan yang muncul adalah, setelah melewati batasan real dan maya, apakah pada akhirnya kampanye tersebut hanya sekedar pepesan kosong tanpa ada jaminan realisasi di kemudian hari?
BUDAYA POP
TREND KAMPANYE CALEG PEMILU 2009 Rasanya Pemilu tahun 2009 lebih semarak dibandingkan Pemilu tahun 2004. Selain diramaikan oleh banyaknya perempuan yang berbondong-bondong mencalonkan diri menjadi kandidat/calon legislatif (caleg), cara mereka berkampanye menambah warna-warni tersendiri. Mulai dari kampanye yang serius, sampai yang narsis sifatnya. Sejak memasuki masa kampanye terbuka, bukan pemandangan aneh jika di jalan-jalan raya terdapat parade kendaraan umum dan pribadi yang dihiasi berbagai macam atribut partai, capres/cawapres yang diusung, beserta calon-calon legislatornya. Pemilu tahun 2009 juga diwarnai dengan sejumlah polemik di ranah hukum dan kebijakan, antara lain yang berkaitan dengan keterwakilan perempuan di parlemen.
Sejak direvisinya UU No. 2/2008 tentang Partai Politik, sebenarnya peluang perempuan untuk bepartisipasi dikancah perpolitikan Indonesia terbuka lebar. Hal ini diperkuat dengan disahkannya UU No. 10/2008 tentang Pemilu Legislatif yang menyatakan harus menyertakan sekurang-kurangnya 30% perempuan dalam kepengurusan di tingkat pusat. Kebijakan tersebut merupakan jaminan peluang bagi peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik. Dan hal tersebut menjadi tantangan serta peluang bagi perempuan untuk menyakinkan masyarakat, bahwa perempuan memiliki potensi yang sama dengan laki-laki untuk membangun bangsa. Perempuan makin terpicu untuk meningkatkan kualitas dan kapasitasnya agar dapat berkompetisi dengan laki-laki. Namun sejak pemberlakuan sistem suara terbanyak yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, secara pasti melemahkan kembali perjuangan perempuan untuk meraih posisi di parlemen. Kebijakan tersebut berdampak timbulnya persaingan bebas dan terbuka, di mana calon-calon legislator harus bekerja keras untuk mendulang suara rakyat. Nomor urut kini tidak berlaku lagi, karena baik nomor urut kecil atau besar sama-sama harus berjibaku meyakinkan pemilih, jika ingin melenggang ke Senayan. Tidak cukup dengan perbanyakan alat-alat peraga
18
Perempuan Bergerak | Edisi I |Januari - Maret 2009
kampanye, tetapi dituntut untuk terjun langsung ke lapangan. Sehingga, berdampak pula pada dana kampanye yang harus dipersiapkan caleg maupun partai. Menurut pemberitaan sejumlah media beberapa waktu yang lalu, sejak pemberlakuan sistem suara terbanyak, dana kampanye caleg meningkat sampai seratus persen. Hal ini membuktikan bahwa nomor urut tidak menjadi faktor keamanan seseorang untuk dapat dipilih. Dari situ diprediksi, bahwa caleg-caleg yang berpeluang besar duduk nyaman di kursi parlemen adalah yang, 1) memiliki kekuasaan besar, dalam hal ini memiliki dana kampanye yang besar. Sistem suara terbanyak jelas membuka peluang bahwa semakin sering ‘bercengkrama’ dengan pemilih maka semakin besar kemungkinannya di pilih. Mau tidak mau “memaksa” para caleg mengeluarkan dana yang cukup besar dalam perbanyakan alat peraga kampanye atau ketika “remeh temeh” dengan pemilih; 2) dirangkul parpol besar, asumsinya partai politik besar lebih mudah diterima oleh masyarakat ketimbang partai kecil, karena partai besar maka dana dan kekuasaannya juga besar; 3) memiliki ketokohan atau popularitas. Pemilu tahun ini diramaikan oleh selebritas yang berduyun-duyun mencalonkan diri menjadi wakil rakyat, baik yang “dilamar” partai politik maupun yang berinisiatif
Hal ini jelas melemahkan posisi caleg perempuan yang memiliki keterbatasan dana dan tidak populer. Kondisi seperti ini menambah persoalan baru bagi perempuan ditengah upaya gerakan perempuan dalam meningkatkan partisipasi perempuan di ruang politik. Belum selesai dengan persoalan budaya masyarakat yang memasung dan menghambat hak politik perempuan, kini perjuangan makin berat dengan adanya kebijakan yang menyudutkan perempuan. Dengan demikian, untuk bisa “survive”, maka perempuan dituntut untuk memiliki kualitas dan kuantitas yang kompetitif agar dapat mendobrak dominasi laki-laki. Ini perlu ditunjang dengan metode kampanye yang kreatif dan unik secara gagasan, program yang jelas, dan dapat diterima masyarakat. Jauh sebelum masa kampanye terbuka dimulai, banyak caleg yang “mengiklankan” dirinya di berbagai media untuk menarik simpati rakyat. Terpampang dalam berbagai alat kampanye seperti baliho, spanduk, bendera, kalender, banner, kerudung, dan selebaran. Berserakan di banyak tempat yang strategis, mulai di jalan-jalan protokol sampai di gang-gang sempit. Bahkan timbul julukan “calegbrities”. Tak sampai di situ, caleg maupun parpol juga berlomba-lomba membuat yang “lain daripada yang lain” untuk menarik simpati rakyat, seperti payung, helm, ikat kepala, sampai pada One way vision. One way vision ini sepertinya menjadi trend pada musim pemilu tahun ini. One way Vision adalah kaca film bergambar di kaca-kaca mobil yang memampang gambar caleg. Sarana narsis ini dinilai lebih murah ketimbang alat-alat kampanye lainnya. Bukan hanya mobil pribadi atau mobil dinas yang dipakai, melainkan beberapa kaca angkutan umum pun disulap mejadi One Way Vision dengan cara membuat perjanjian dengan pemiliknya. Tak ayal, kampanye persaingan bebas ini menjadi ladang rezeki bagi pebisnis alat-alat kampanye. Karena cara-cara kampanye seperti ini merupakan salah satu media untuk memperkenalkan profil diri, visi-misi, dan program. Namun, jika dicermati terlihat lebih dominan aspek promosi diri caleg yang terkesan narsis. Padahal, di tengah iklim politik yang kompetitif ini, seharusnya para caleg lebih menonjolkan gagasan yang membangun daripada memuat hal-hal yang membuat geli. Namun, kampanye-kampanye ini dinilai kurang efektif, karena selain membuat kumuh jalanan akibat spanduk dan baliho, jutaan atribut kampanye lainnya pun menambah semerawut suasana. Sehingga, hal itu tidak menciptakan ruang pendidikan yang baik bagi warga.
yang memanfaatkan media ini untuk berkampanye dan bersosialisasi kepada masyarakat, khususnya masyarakat yang melek internet di perkotaan. Dan, terlihat cukup efektif sebagai media sosialisasi untuk kalangan mahasiswa. Namun tetap saja, media ini hanya bisa di akses oleh kalangan menengah ke atas yang melek internet. Yang paling efektif, yakni terjun langsung ke masyarakat melakukan dialog langsung dengan para pemilih di daerat pemilihan (dapil) masing-masing. Karena melalui alat-alat kampanye yang tertanam di memori pemilih hanya simbol-simbol partai politik, bukan pribadi calegnya. Mubazir sekali apabila beratus-ratus juta bahkan milyaran rupiah dana kampanye dihamburkan untuk membuat ajang narsis para caleg. Sangat sedikit informasi yang diperoleh masyarakat mengenai program dan agenda para caleg. Yang terpajang besar-besar bukan agenda atau program yang diusung, melainkan foto diri atau nomor urut serta mendompleng sosok ketua partai politik di mana mereka bernaung. Dengan mengabaikan estetika, iklan-iklan caleg terkesan membosankan, bahkan sakit jiwa. Kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, maka harus diyakini para caleg, bahwa yang diperlukan adalah memberi keyakinan agar masyarakat mengenal progran dan agenda lima tahun ke depan yang riil dan rasional. Dengan demikian, tidak terkesan omong kosong belaka atau janji-janji menyesatkan. Terjun ke masyarakat, berdialog dengan para pemilih, dan debat terbuka adalah pilihan media yang efektif untuk menunjukan integritas dan kredibilitas sang caleg. Sehingga tidak hanya dapat menarik simpati rakyat, tetapi akan menumbuhkan kepercayaan rakyat. Menyambut pesta demokrasi tahun 2009 ini, kita dituntut bepartisipasi membangun bangsa. Kita harus jeli dan proaktif sebelum menentukan pilihan. Menjadi pemilih yang cerdas dan kritis harus tertanam dalam diri tiap individu. Akan tetapi, pemerintah tidak mengakomodir pendidikan kritis bagi para pemilih. Padahal hal itu sangat penting dalam mempengaruhi pengambilan keputusan. Dengan demikian, masyarakat akan dapat menentukan caleg mana yang benar-benar kompeten dan dapat berkontribusi besar dalam perubahan kehidupan bangsa serta mampu menyalurkan aspirasi rakyat demi kemajuan Indonesia. Dalam hal ini, terutama caleg yang dapat memperjuangkan hak-hak perempuan dan mendukung kesetaraan gender di Indonesia, dan berani bersikap untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan di masyarakat.***(IK)
Para caleg juga memanfaatkan teknologi informasi melalui media internet dan juga pesan singkat atau sms dalam berkampanye. Misalnya, jejaring sosial seperti Face book. Jika ditelusuri, banyak caleg
19
Perempuan Bergerak | Edisi I|Januari - Maret 2009
BUDAYA POP
“melamar” partai. Ketokohan dan popularitas ditengarai dapat berkontribusi besar membuka jalan dalam meraih suara. Sebab, pemilih cenderung akan memilih calon yang dikenalnya daripada calon yang baru dan belum atau tidak dikenal.
PUSTAKARIA
Judul : DPR Uncensored Penulis : Dati Fatimah dan Mail Sukribo Ilustrator : Mail Sukribo Penerbit : Bentang, Yogyakarta, cetakan I, Oktober 2008 165 + xviii hlm.
POTRET BURAM PARLEMEN KITA: Wakil Partai Yang Merampas Kedaulatan Rakyat Bagaimana jadinya bila anggota Parlemen (DPR) yang seharusnya menyuarakan aspirasi rakyat yang memilihnya, ternyata setelah duduk di kursi empuk Senayan berbalik menjadi lebih tertarik dengan kekuasaan, korup, memperkaya diri dan membela kepentingan partai daripada konstituennya? Mengapa bobroknya kepribadian anggota Legislatif kian meningkat seiring dengan mulai tampaknya kehidupan demokrasi di Indonesia? Mengapa anggota parlemen yang seharusnya mengawasi jalannya pemerintahan malah harus diawasi? Sederetan pertanyaan paradoks ini coba dipaparkan penulis buku ini dengan gaya yang unik, jenaka, dan apa adanya. Dengan gaya penulisan yang ngepop saat ini, yakni kupas tuntas, blak-blakan, dibawah judul “under cover” atau “uncensored” yang lagi ngetrend, tampak genre yang diusung penulis ini cukup sukses mengurai benang kusut masalah praksis politik yang rumit, menjadi paparan yang sederhana, mudah dimengerti pembacanya apalagi dikemas dalam kombinasi bahasa tulisan, gambar/ karikatur dan data-data faktual. Dengan begitu, target sasaran pembaca untuk semua kalangan sebagai bacaan ringan, tampaknya cukup tercapai. Dengan mengambil setting cerita 10 tahun terakhir, sejak bergulirnya Reformasi 1998 hingga kini, penulis dengan gamblang memaparkan potret perjalanan dan kinerja anggota Dewan terutama dalam menjalankan 3 fungsi dasarnya yakni: 1) Fungsi Legislasi (membentuk UU atau Perda bersama pemerintah), 2) Fungsi Pengawasan (mengawasi pelaksanaan UU dan aturan pelaksanaannya), dan 3) Fungsi Anggaran (menyusun dan menetapkan APBN/ APBD bersama pemerintah). Kinerja dewan dapat diukur dengan rendahnya jumlah produk UU yang dihasilkan (jauh dibawah target yang tercantum dalam Prolegnas). Program Legislasi Nasional 2005-2009 disepakati bahwa DPR dan pemerintah harus menyelesaikan 284 UU, namun target itu hanya 15% UU tentang Kesejahteraan Rakyat; 28% tentang Perekonomian;
20
Perempuan Bergerak | Edisi I |Januari - Maret 2009
dan 56% bidang Politik, Hukum dan Keamanan yang berhasil disusun. Itu pun mayoritas atas inisiatif pemerintah (eksekutif) (hal. 46). Dari segi kualitas, UU yang dihasilkan tidak memberi manfaat langsung bagi masyarakat. Selain itu, produk RUU yang dihasilkan hanya mengubah UU lama yang belum berlaku, misal RUU tentang Perubahan UU Ketenagakerjaan yang kontroversial (UU No. 13/ 2003). Kecenderungan lain di daerah, meningkat penjiplakan Perda suatu daerah dengan meniru Perda daerah lain, dan marak Perda penarikan retribusi dan pajak. Di daerah lainnya terjadi jual beli Perda dan pemalakan dilakukan DPRD terhadap Pemda saat pengesahan Perda. Bukan rahasia umum jika Pemda harus menyiapkan uang pelicin supaya Perda disahkan DPRD (hal. 51). Disamping itu, bermunculan Perda Syariah yang membawa implikasi merugikan bagi perempuan. Rendahnya kinerja legislasi disinyalir terjadi karena minimnya partisipasi publik dalam penyusunan produk perundang-undangan dan kapasitas SDM anggota Dewan. Sedangkan kinerja bidang Anggaran belum menyentuh kehidupan dan memberi manfaat
Kinerja pengawasan Legislatif adalah salah satu bentuk mekanisme check and balance dalam penyelenggaraan pemerintahan. Namun publik bisa melihat dengan jelas, bahwa fungsi pengawasan DPR menjadi mandul. Apalagi jika posisi partai segaris dengan pemerintah. Namun fraksi DPR akan garang bila posisi partainya sebagai oposisi pemerintah. Contoh, banyak dukungan partai di DPR atas kebijakan kenaikan harga BBM. Praktik korupsi secara berjemaah kronis menjangkiti anggota Dewan. Banyak modus korupsi dan pemborosan anggaran terjadi dalam pola mark-up, penggelembungan anggaran, menggandakan jenis penerimaan anggota dewan (membuat beberapa pos anggaran yang berbeda-beda untuk satu jenis pos yang sama), mengalokasikan pos di luar ketentuan UU (dana purna bhakti atau tali asih yang diberikan menjelang anggota Dewan mengakhiri jabatan), korupsi dalam pelaksanaan kegiatan dewan (pemalsuan tiket/ perjalanan dinas fiktif, dsb.), korupsi dalam kasus izin Konversi hutan atau gratifikasi dana BI untuk memuluskan UU Perbankan. Selain korupsi, pelanggaran moral dilakukan oleh anggota Dewan seperti perselingkuhan, pelecehan seksual, dan adegan mesum, poligami, dan lainnya. Walaupun kinerja Dewan rendah, kemajuan dalam beberapa UU harus diapresiasi, misalnya UU perlindungan perempuan, promosi demokratisasi dan HAM, seperti: UU No.23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; UU No. 11/ 2005 tentang Konvensi Hak Ekonomi Sosial dan Budaya; UU No.12/2005 tentang Konvensi Hak Sipil dan Politik; UU Perlindungan Saksi dan Korban, dan UU Penghapusan Tidak Pidana Perdagangan Orang.
politik justru “menjerumuskan” Indonesia ke taraf kesejahteraan yang begitu buruk? Terhadap pertanyaan kritis ini, penulis mengajukan tesis bahwa dalam 10 tahun reformasi, Indonesia kini masih dalam transisi demokratis, yaitu transisi politik dari rezim otoritarian menuju “sesuatu yang lain” yang sebenarnya mengandung ketidakpastian. Hal senada disampaikan Guillermo O’ Donnel dan Philippe Schimitter, bahwa transisi menuju demokrasi bisa menjadi pemulihan suatu demokrasi politik atau bisa menjadi restorasi bentuk baru-yang mungkin lebih buruk--dari rezim sebelumnya. Transisi politik tidak secara otomatis mengarah pada negara demokrasi, karena peluang mengarah pada konfrontasi yang meluas atau kondisi yang lebih buruk juga mungkin terjadi. Transisi politik akan menemukan wujud dan berakhir dalam kondisi yang demokratis, menurut Linz dan Stephan, adalah jika terdapat persetujuan yang memadai mengenai prosedur politik untuk menghasilkan suatu pemerintahan. Jika pemerintahan memegang suatu kekuasaan sebagai hasil langsung proses pemungutan suara yang bebas dan diikuti rakyat, dan pemerintahan ini secara de facto memiliki kewenangan untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan baru. Bila kalangan eksekutif, legislatif dan yudikatif yang dihasilkan melalui demokrasi baru itu tidak harus berbagi kekuasaan dengan badan-badan lain secara de jure, dengan kata lain, ketika terdapat kesepakatan antara segenap elemen bangsa tentang ke mana arah yang mau dituju. Dengan sangat jelas bahasan Dati Fatimah diillustrasi oleh Mas Kribo, yang makin mengonfirmasi DPR sebagai lembaga paradoks, yang berbahaya bagi proses reformasi yang masih belia ini. Buku ini menegaskan bahwa DPR yang seharusnya terhormat justru menjadi sarang koruptor. Tidak salah jika masyarakat masih melabelkan DPR sebagai trouble maker dan belum menjadi problem solver. Buku ini ibarat pisau bermata dua, bagi calon legislatif bisa menjadi bahan refleksi agar tidak terperosok di lubang yang sama. Sedangkan bagi rakyat yang akan memilih calon legislatif agar tidak salah pilih, karena salah memilih 5 menit di bilik suara, akan berdampak pada 5 tahun nasib bangsa kemudian. ***(RH)
Beberapa kemajuan bidang politik sejak era Reformasi 1998 hingga kini, bahkan sampai tingkat yang tak terbayangkan sebelumnya, dapat kita lihat. Namun saat yang bersamaan, muncul keraguan mengapa demokrasi dan kebebasan
21
Perempuan Bergerak | Edisi I|Januari - Maret 2009
PUSTAKARIA
langsung bagi masyarakat luas. Terbukti alokasi untuk pendidikan dan kesehatan jauh dari memadai. Sebaliknya, menyangkut alokasi anggaran untuk kepentingan dewan terkesan mudah diloloskan (gaji, tunjangan anggota Dewan, pengadaan mobil mewah, perjalanan dinas luar negeri, pengadaan mesin cuci dan laptop). Sedikit pun tak ada sense of crisis para anggota Dewan. Demikian pula di daerah, alokasi anggaran untuk pemenuhan hak dasar masyarakat belum diprioritaskan (pendidikan, kesehatan, perlindungan kelompok rentan) (hal. 67).
PUSTAKARIA
Judul Pemain Produksi
Waktu
: Bergerak (Move Forward) : Eni Lestari, Umi, Romlah Rosidah, Sri Utami : Missions for Migrant Women (MFMW)--Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI-HK) Hongkong--Center for Environtment, Gender, and Development (ENGENDER)--Women’s Empowerment in moslem (WEMC) : 27 menit
Perjuangan BMI Menghapuskan SE 2258 di Hongkong Inilah kisah tentang buruh migrant Indonesia di Hongkong. Kisah tentang kebangkitan mereka dan perjuangannya yang membuahkan kemenangan. Eni Lestari, Chair Person ATKI –HK, berkata bahwa buruh migrant Indonesia di Hongkong jumlahnya bertambah baru-baru ini. Sekarang jumlahnya lebih 120.000 orang. Mayoritasnya adalah perempuan. Dibandingkan dengan negara lainnya, kondisi pekerja perempuan Indonesia ini jauh lebih mengenaskan. Banyak di antara mereka yang dipaksa membayar beaya sangat mahal oleh agen yang merekrutnya. Sementara banyak juga dipotong gajinya secara illegal, yang akhirnya membuat mereka terpaksa menerima gaji setengahnya selama dua tahun masa bekerja mereka. Untuk kasus Hongkong, bagi yang dikirim ke Hongkong, mereka harus membayar HK$ 21.000, yang wajib dibayar dengan memotong gaji selama 5-7 bulan pertama. Potongan gaji berkisar antara 85%-100%. Bagi yang mendapatkan potongan 5 bulan mereka tidak akan menerima gaji sama sekali. Sementara bagi yang mendapatkan potongan 7 bulan gaji, mereka akan di potong 85%. Inilah skema yang di tetapkan pemerintah saat ini. Di Hongkong, skema ini sebenarnya melanggar hokum dan melanggar aturan tentang employment ordinance. Namun, mereka sangat paham mengakali ini di lapangan. Mereka tahu bagaimana mengelak dari hukum Hongkong. Apa yang mereka lakukan saat ini adalah untuk tidak mengorbankan kepentingan agency di Hongkong, yang mana mereka adalah partner dari agency di Indonesia. Mereka melibatkan perusahaan jasa keuangan, untuk di jadikan alasan bahwa para migrant Indonesia ini memiliki hutang yang harus di bayar. Dengan cara ini mereka mencoba menyembunyikan proses yang melanggar hukum dan uang rampasan. Pemerintah Indonesia mendapatkan uang dari agen tenaga kerja ini. Dan, selain dari dua masalah besar itu, terdapat beberapa persoalan lain, seperti penahanan paspor yang dialami oleh seluruh BMI, khususnya bagi mereka yang baru tiba di Hongkong.
22
Perempuan Bergerak | Edisi I |Januari - Maret 2009
Persoalan yang berkaitan dengan kontrak, seperti buruknya akomodasi dan tidak mendapatkan hak libur. Beberapa dari mereka hanya diberi dua kali libur. Dan, seharusnya setiap hari minggu, namun majikan dan agen mengatur mereka untuk hanya libur satu atau dua kali maksimum. Ini alasan kenapa dibandingkan negara lain, situasi pekerja Indonesia jauh lebih buruk. Umi, Wanodyah Indonesian Club member of PILAR, berkata bahwa saat ini kita memiliki isu terminal 3 dan over-charging bagi buruh migrant Indonesia. Saat kami kembali dari luar negeri dan masuk ke Indonesia, kami diwajibkan untuk masuk terminal 3, seluruh migrant terutama pembantu rumah tangga. Dalam terminal 3, kami harus mengalami banyak persoalan, yang sangat tidak adil bagi kami, seperti membayar sejumlah uang untuk mendapatkan kemudahan dan mengalami diskriminasi oleh pejabat pemerintah, terutama yang bertugas di terminal 3. Hal ini sangat menyebalkan dan tidak mengakui hak kami sebagai migran dan sebagai perempuan. Karena kami merasa sebagai BMI di Hongkong, kami sama sekali tidak memiliki hak, terutama oleh konsulat Indonesia. Mereka tidak membantu BMI, namun membantu agency di Hongkong dan PJTKI di Indonesia.
Tahun 2007 adalah tahun yang monumental bagi kami, karena kami memulai perjuangan atas hak kami, dan mengorganisir organisasi lainnya agar mereka sadar atas persoalannya sebagai BMI di Hongkong. Hal itu membuat kami sangat berkembang. Romlah Rosidah, GAMMI Chair person, menjelaskan bahwa GAMMI adalah aliansi dari 13 organisasi buruh migrant yang ada dI Hongkong. GAMMI berdiri pada 16 April 2006. Eni Lestari, Chair Person ATKI–HK, mengatakan bahwa ketika pertama kali memutuskan untuk memulai kampanye atas isu BMI, kami menghubungi beberapa organisasi berbeda. Salah satu kelompok yang sudah bekerja ketika itu, bahkan sebelum isu kampanye berkembang dan meluas, yakni Gabungan Migran Muslim Indonesia (GAMMI). GAMMI dalam perkembangannya sangat aktif dan mampu membuktikan kepada komunitas Indonesia yang mayoritas muslim, bahwa menjadi seorang muslim, bukan berarti mereka tidak bisa menggelar protes. Dan, mereka menjadi sangat aktif mengangkat isu ini.
Saat ini mayoritas anggota GAMMI adalah anggota PILAR. Dan melalui GAMMI, mereka merekrut lebih banyak anggota, kemudian akan dididik untuk dapat memahami isu dan persoalan BMI. Karena itu, GAMMI menjadi sangat dicintai di kalangan BMI muslim di Hongkong, karena mereka selalu mengadakan kegiatan dan pendidikan bagi organisasi BMI Muslim di Hongkong. Setelah itu, kami juga mengadakan forum. Forum konsultasi pertama dengan beberapa pimpinan organisasi lain membahas isu ini. Seluruhnya saat itu setuju dengan analisa kami. Dari pertemuan ini, seluruh yang hadir setuju untuk membentuk aliansi melawan over-charging yang kemudian dikenal dengan persatuan BMI anti over-charging atau PILAR. Sekarang, PILAR beranggotakan 23 organisasi. Ini adalah aliansi luas yang berfungsi sebagai kendaraan untuk memfasilitasi kampanye atas over-charging. PILAR masih berdiri hingga kini dan sangat aktif dalam mengekspos dan melawan kebijakan pemerintah Indonesia yang berkaitan dengan over-charging. Perkembangan dasar yang mudah kita tangkap ialah bangkitnya kesadaran di kalangan BMI. Kami sangat aktif mengadakan forum-forum terbuka, dialog dan diskusi kelompok di kalangan BMI untuk mmbuat mereka memahami masalah dan akar masalah overcharging. Banyak dari mereka yang saat ini menjadi sangat sadar dan yang melawan beaya penempatan yang mahal ini atau over-charging. Di antara kami juga dikembangkan tim konseling untuk membantu sesama ketika mereka mendapatkan masalah, karena banyak yang sudah berani untuk tidak membayar beaya agen. Jadi, ketika kami mendapatkan kesimpulan ini, kami mengajak BMI untuk tidak membayar agen
23
Perempuan Bergerak | Edisi I|Januari - Maret 2009
PUSTAKARIA
Karena itu kenapa kami menggandeng organisasi lain untuk bergabung dengan PILAR untuk memperkuat perjuangan. PILAR adalah persatuan BMI tolak overcharging. Pada tahun 2007, kami mendidik organisasi untuk memahami isu di BMI. Pendidikan agar kami mampu menyuarakan hak kami, melindungi hak, dan mengajarkan mereka bagaimana melakukan advokasi sebelum bergabung dengan PILAR. Kegiatan organisasi mereka hanya di seputar kebudayaan dan keagamaan. Namun, setelah mereka bergabung dengan PILAR, mereka berkembang dan paham bagaimana melindungi haknya.
PUSTAKARIA
lagi. Khususnya, ketika mereka merasa majikannya tidak baik. Dan lainnya yang terus berkembang, kami berhasil membangun aliansi dan jaringan dengan komunitas non BMI di Hongkong dan bahkan di Indonesia. Banyak kelompok yang mempelajari dan mengangkat isu over-charging dalam konteks persoalan buruh migrant hingga kami mampu membangun jaringan di Indonesia, yang dilakukan oleh ATKI di Jakarta, untuk melakukan kampanye atas over-charging. Namun tahun 2008, sesuatu menguji persatuan para perempuan migrant Indonesia ini. SE 2258 (Surat Edaran) adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia. Peraturan itu melarang BMI yang belum selesai kontrak dua tahun untuk dapat pindah agen. Ini adalah respon pemerintah Indonesia terhadap keluhan agen tenaga kerja. Banyak BMI yang berganti agen dan meninggalkan beaya yang belum seluruhnya terbayar. Eni Lestari, Chair Person ATKI –HK, menjelaskan kami mengetahui peraturan ini pada awal Januari 2008. Menurut beberapa sumber, kebijakan ini sudah ada sejak pertengahan Desember 2007. Namun konsulat tidak pernah memberi kami pemberitahuan. Namun ketika kebijakan dikeluarkan, itu diberitakan kepada agen, tidak kepada BMI. SE 2258 sulit diterima. Bila kita bertanya kenapa? Kenyataanya, kebijakan ini membantu agen di Hongkong dan agen di Indonesia untuk menarik lebih banyak uang dari kami, seperti yang dikatakan sebelumnya ketika banyak BMI yang memilih untuk tidak membayar tagihan agen dengan cara pindah ke agen lain. Ketika mereka di PHK oleh majikan, tentu banyak dari mereka yang tidak lagi meneruskan pembayaran, maka SE 2258 melindungi kepentingan para agen ini, untuk mengambil HK$ 21.000 uang kami. Mayoritas BMI menolak kehadiran SE 2258. Mereka sangat tidak senang karena merasa terancam, dengan dipaksa bergantung pada agen dan oleh konsulat. Banyak dari mereka yang protes melalui media, dan telepon yang masuk. Banyak BMI yang menolak SE 2258. Karena, ini menjadi ancaman bagi mereka, khususnya bagi yang baru atau kerja yang kedua kali di Hongkong. Romlah Rosidah, GAMMI Chair person, menjelaskan sekali lagi SE 2258 adalah suatu surat keputusan yang merebut hak yang paling utama bagi buruh migrant. Oleh karena SE 2258 adalah surat edaran dimana buruh migrant tidak boleh ganti agensi. Kenapa? karena kalau kita pindah agen dengan mudah, otomatis akan mencari agen yang lebih murah. Namun karena konsulat tidak mengijinkan untuk pindah agen, berarti konsulat justru menyulitkan BMI`sendiri. Sri Utami of IWHDI, menjelaskan beredarnya SE 2258, saya sangat sedih dan merasa jengkel. Karena menurut pendapat saya, SE 2258 itu belum betul-betul memihak BMI dan merugikannya. Dan
24
Perempuan Bergerak | Edisi I |Januari - Maret 2009
untuk menyikapi masalah ini, saya langsung dengan teman-teman seorganisasi membuat langkah-langkah bagaimana melawan kebijakan itu. Rendi of ATKI, menjelaskan sebetulnya dengan diterapkan SE 2258, kita sangat kecewa, terutama kaget kenapa tidak ada konsultasi dulu dengan buruh migrant. Ketika konsulat Indonesia menerapkan SE 2258, kita langsung mengadakan diskusi dengan kawan-kawan ATKI, sebelum rapat besar-besaran memanggil aliansi. Kita sangat kecewa. Setelah kita diskusi bersama kawan-kawan, akhirnya kita mengadakan seruan kepada seluruh buruh migrant untuk aksi ke KJRI, entah hari minggu atau hari biasa. Kita juga ada hari piket. Kita gencar setiap minggu ada aksi ke KJRI. Ketika mereka mengetahui hadirnya SE 2258 langsung menggelar kampanye. Victorian Park menjadi ruang terbuka untuk diskusi, selebaran dan forum. Tanggal 13 Januari-17 Februari 2008 BMI mengadakan aksi di Victorian park dan kegiatan kebudayaan, serta mendatangi konsulat Indonesia dengan membawa poster dan yel-yel. Poster dibawa oleh ATKI, GAMMI dan PILAR. Konsulat Indonesia tidak lagi memiliki pilihan selain mengumumkan pencabutan SE 2258. Kemenangan yang manis. Kemenangan yang bersejarah bagi buruh migrant Indonesia yang berjuang bersama atas sebuah kebijakan yang menindas.***(NE)
Gerakan yang di bangun oleh BMI melawan SE 2258 adalah salah satu yang berharga untuk di pelajari. Ini pertama kali dalam sejarah. Ini adalah terbesar dalam gerakan BMI. Ini menambah kekuatan bagi gerakan buruh migrant yang masih sangat muda, namun ini tidak berhenti sampai di sini. Kekuatan baru ini juga telah memberi inspirasi dan mendorong lahirnya gerakan Migran Internasional, Aliansi Migran Internasional, di mana Eni Lestari terpilih menjadi ketua. Dan, penguatan gerakan perempuan migrant Indonesia terus-menerus di tingkatkan. Bergerak!
LEMBAR ISIAN PEMBACA BULETIN PEREMPUAN BERGERAK Nama anda Organisasi anda Alamat lengkap
: : :
1. Sejak kapan anda menjadi pembaca bulletin Perempuan Bergerak? a. 2006 b. 2007 c. 2008 d. Lain-lain……………
Gunting disini
2. Bagaimana tanggapan anda terhadap perwajahan/penampilan Buletin Perempuan Bergerak? a. Sangat menarik b. Menarik c. Cukup menarik d. Tidak menarik e. Tidak tahu 3. Rubrik apa yang paling anda minati? Mengapa? a. Fokus Utama (……………………………………………………………………………) b. Opini (……………………………………………………………………………) c. Warta Perempuan (……………………………………………………………………………) d. Sosok (……………………………………………………………………………) e. Perspektif (……………………………………………………………………………) f. Budaya Pop (……………………………………………………………………………) g. Pustakaria (……………………………………………………………………………) h. Puisi Perempuan (……………………………………………………………………………) 4. Apa tanggapan anda terhadap bahasa yang dipergunakan dalam Buletin Perempuan Bergerak? a. Sulit dipahami b. Dapat dipahami c. Menarik d. Lain-lain………………………. 5. Menurut anda, bagaimana kualitas isi tulisan Buletin Perempuan Bergerak? a. Sangat bermutu b. Bermutu c. Cukup bermutu d. Tidak bermutu e. Tidak tahu 6. Dengan membaca Buletin Perempuan Bergerak, apakah anda semakin menyadari dan memahami persoalan atau isu-isu perempuan? (ham perempuan, feminisme, gender, diskriminasi, dll) a. Ya, sangat sadar b. Biasa saja c. Tidak tahu
25
Perempuan Bergerak | Edisi I|Januari - Maret 2009
7. Apakah dengan membaca Buletin Perempuan Bergerak anda semakin menyadari dan memahami persoalan sosial di sekitar anda? a. Ya, sangat sadar b. Biasa saja c. Tidak tahu 8. Apakah anda semakin tergerak, peduli, dan hendak terlibat dalam memperjuangkan hak-hak dan kepentingan perempuan? a. Ya, sangat tergerak b. Biasa saja c. Tidak tahu 9. Apakah anda mau menjadi pelanggan tetap Buletin Perempuan Bergerak?
10. Apa usul, saran, dan kritik anda terhadap perkembangan Buletin Perempuan Bergerak ke depan? ………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………….....
Harap lembar polling pendapat ini dikembalikan ke alamat berikut: Yayasan Kalyanamitra Jl. Kaca Jendela II No.9 Rawajati, Kalibata, Jakarta 12750, Indonesia Tel 62-21-7902109 Fax 62-21-7902112 E-mail:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Untuk kolom langganan, isilah formulir berikut: Nama Organisasi : Alamat lengkap :
:
Jumlah edisi dan eksemplar yang dibutuhkan
:
Ongkos cetak Rp.5000,- untuk wilayah Jabodetabek, Rp 10.000, diluar Jabodetabek, dikirimkan ke Bank BUKOPIN No. Rek: 0103034652 atas nama Rena Herdiyani
26
Perempuan Bergerak | Edisi I |Januari - Maret 2009
Gunting disini
a. Ya, mau jadi pelanggan tetap b. Tidak
DOA
Semua kami telah bersalah, Tuhan Kami tidak mampu belajar sejarah Kami lebih terpukau oleh sumpah Serakah dan nafsu-nafsu rendah Semua kami telah bersalah, Tuhan Kami telah mengorbankan Kemerdekaan Dalam seribu satu petualangan Kami telah merusak masa depan Bagi semua keturunan
Ampuninlah, Tuhan Tunjukkanlah kami jalan yang lurus Agar kami tidak lagi tersandung Dalam tetek bengek perpecahan Agar kami dapat melangkah dengan Tenteram menuju kedamaian Todung Mulya Lubis, 1999
PERHITUNGAN Hukum-hukum mekanika Merebah ruang Menyeret kaki ke balik langit Padang-padang temaran Itulah dunia Keramahan pergi sendiri Dalam jawab, jangan hiraukan Perhitungan selalu diluar dugaan Todung Mulya Lubis, 1999 (DN)
27
Perempuan Bergerak | Edisi I|Januari - Maret 2009
Perempuan Berpolitik adalah Keharusan Perempuan penentu Perubahan Banga 28
Perempuan Bergerak | Edisi I |Januari - Maret 2009