Edisi III SEPTEMBER - DESEMBER 2008
Perempuan Bergerak bersatu bersama lawan tirani
Perempuan Bergerak | Edisi Perdana |April - Juli 2008
1
S
Dear Redaksi,
aya sangat tertarik dengan isi Perempuan Bergerak, namun boleh gak saya usul agar redaksi tidak hanya mengangkat isu yang lagi “in”, tapi bisa mengangkat
W
ah, congratulation untuk Kalyanamitra yang kembali menampilkan wajah baru bulletinnya, berikut nama
dan tim redaksinya.
“Perempuan Bergerak” menjadi
isu perempuan dari sisi lain, seperti kelompok penyandang
nama baru bagi Buletin Kalyanamitra. Pergerakan dan
cacat, lingkungan, anak-anak termarjinalkan…banyak hal yang
perjuangan Kalyanamitra sebagai sebuah lembaga yang
bisa dibahas dan diperjuangkan lewat Perempuan Bergerak.
‘concern’ pada isu kekerasan dan perempuan menjadi
Sehingga, Perempuan Bergerak bukan bulletin biasa,
inspirasi tersendiri bagi pembacanya dalam upaya
melainkan bulletin yang berbobot dan memberikan wacana
membangun penyadaran. Namun, sebagai salah satu
dan pembelajaran bagi pembacanya donk…Oh ya, sediakan
pembaca Buletin Kalyanamitra, ijinkan saya memberikan
juga donk dalam Perempuan Bergerak dalam bentuk on-line,
masukkan agar bulletin Kalyanamitra tersebut dapat lebih
sehingga kami yang tunanetra juga bisa membacanya.
didistribusikan ke seluruh elemen masyarakat di Indonesia dan tidak berfokus pada kalangan LSM semata. Mungkin
Mimi – Jakarta
Kalyanamitra bisa menjualnya di Toko buku yang tersebar di seluruh Indonesia, sehingga perjuangan Kalyanamitra
Redaksi: usul anda menarik juga dan akan kami pertimbangkan
dalam mengadvokasi tidak berhenti di Jakarta dan
untuk edisi berikutnya.
Kalangan LSM saja. Saran Kedua, kegiatan Kalyanamitra pun makin marak dan beragam apalagi dengan isu yang lagi “trend”… tapi boleh donk…muat juga kegiatan internal Kalyanamitra juga mitra-mitranya serta profil staf, orang-orang yang ada di balik ‘kejayaan’ Kalyanamitra dan Perempuan Bergerak agar pembaca bisa lebih mengenal dekat mereka. Dan, bisa berkontribusi dalam perjuangan Kalyanamitra. Sukses selalu! Ditta – Jakarta Redaksi: kami akan mempertimbangkan usulan anda di edisi berikutnya.
Penanggung Jawab: Rena Herdiyani; Pemimpin Redaksi: Hegel Terome; Redaktur Pelaksana: Sulistiyono; Redaksi: Naning Ratningsih, Iha Sholihah, Listyowati, Nani Ekawaty, Rakhmayuni, Ika Agustina, Diana; Reportase: Wiwik (PMK); Tata Letak dan Desain sampul: Sulistiyono; Distribusi : Rakhmayuni Perempuan Bergerak merupakan media yang memuat pandangan-pandangan yang membangun kesadaran kritis kaum perempuan di seluruh Indonesia sehingga memberdayakan dan menguatkan mereka. Kekuatan bersama kaum perempuan yang terbangunkan itu merupakan sendi-sendi penting terdorongnya gerakan perempuan dan sosial umumnya untuk menuju masyarakat yang demokratis, setara, tidak diskriminatif dan tidak subordinatif. Redaksi menerima kritik, saran dan sumbangan berupa surat pembaca, artikel dan foto jurnalistik. Naskah, artikel dan foto jurnalistik yang diterima redaksi adalah yang tidak anti demokrasi, anti kerakyatan, diskriminatif dan bias gender. Naskah tulis diketik pada kertas A4, spasi satu, huruf Arial 12, maksimal 3 halaman dalam bentuk file atau print-out. Untuk pemasangan iklan di buletin, hubungi Redaksi perempuan. Telp
: 021-7902109
Fax
: 021-7902112
Email
:
[email protected]
Alamat Redaksi : Jl.Kaca Jendela II No.9 Rawajati-Kalibata, Jakarta Selatan 12750. Telp : 021-7902109; Fax : 0217902112; Email :
[email protected]; Website : www.kalyanamitra.or.id Untuk berlangganan Perempuan Bergerak secara rutin, kirimkan nama dan alamat lengkap ke redaksi. Redaksi menerima sumbangan pengganti biaya cetak Rp. 10.000,- dan biaya pengiriman di rekening sesuai kota tujuan. Transfer ke Rekening Bank Bukopin Cabang Kalibata, No. Rekening 0103-034652 a/n. Rena Herdiyani.
2
Perempuan Bergerak | Edisi III |September - Desember 2008
SALAM PEREMPUAN
Dear Redaksi,
REMBUG PEREMPUAN
Menggugat Negara Dalam Penanggulangan Bencana Upaya Negara RI untuk melindungi segenap warga Indonesia merupakan kewajiban yang utama, yang harus dilaksanakan. Negara wajib menjamin perlindungan kehidupan dan penghidupan warganya, termasuk pelindungan atas bencana. Dalam rangka, mewujudkan kesejahteraan umum yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, diamanatkan bagi Negara untuk sungguh-sungguh melakukannya tanpa diskriminasi. Ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penanggulangan bencana yang ada selama ini di Indonesia belum bisa dijadikan landasan hukum yang kuat dan menyeluruh serta tidak sesuai dengan perkembangan keadaan masyarakat dan kebutuhan bangsa Indonesia, sehingga menghambat upaya penanggulangan bencana secara sistematis, terencana, terkoordinasi, dan terpadu. Penanggulangan bencana yang ada selama ini jauh dari harapan dan kinerja yang optimal. Pemerintah begitu lambat dan merespon penanggulangan bencana. Hal ini menjadi fakta bahwa upaya pemerintah masih sangat parsial, sektoral dan bagi-bagi. Demikian pula perhatian serius pemerintah pada peran dan posisi perempuan dalam penanggulangan bencana tidak jelas. Akibatnya, pra dan pasca bencana perempuan lebih banyak menjadi korban daripada ditempatkan sebagai aktor penanggulangan. Perangkat UU dan peraturan lainnya hampir tidak mengakomodasi perspektif gender dalam penanggulangan bencana. Jadi, bias gender! Pelajaran penting selama ini dalam merespons bencana yakni perlu kebijakan dasar yang tepat dalam mengatur fungsi dan peran masing-masing pihak dalam penanggulangan bencana, sehingga tidak tumpang tindih. Pemerintah harus transparan dan akuntabel dalam penanggulangan bencana. Dalam buletin”Perempuan Bergerak” kali ini mengambil topik “Bencana dan Perempuan”. Dalam topik ini disajikan Fokus Utama, Opini dan Warta Perempuan. Di rubrik Sosok dikupas kisah korban bencana alam. Dalam bedah buku dan bedah film juga dibahas tentang bencana. Tak ketinggalan di rubrik Puisi disemangati perempuan untuk bergerak menghadapi bencana. Dalam rubrik Budaya POP dibahas “Bencana di Balik Mitos Kecantikan”. Untuk lebih mantapnya, kami ajak kawan-kawan membaca bulletin Perempuan Bergerak ini. Selamat membaca!
Jakarta, 15 Desembar 2008
Sulistiyono Redaktur Pelaksana
3
Perempuan Bergerak | Edisi III|September - Desember 2008
PERSPEKTIF
Terjebak Derita: Perempuan Dan Bencana
Mencermati Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Yang Memiskinkan Perempuan Oleh: Nisa Anisa*) Globalisasi dan kapitalisme yang mendera dunia memberi dampak besar bagi kehidupan masyarakat Indonesia, terutama perempuan. Dua hal itu membutakan mata pemerintah Indonesia, sehingga membuat kebijakankebijakan yang menelantarkan masyarakat dan berpihak pada pengusaha... Hal. 13
Masih segar dalam ingatan kita, beberapa tahun belakangan ini, Indonesia menjadi langganan bencana alam dan bencana sosial. Pada penghujung tahun 2004, dua wilayah di ujung Sumatera, Aceh dan Nias, disapu bersih Tsunami. Ribuan rumah lenyap tak berbekas,
BUDAYA POP Bencana Di Balik Mitos Kecantikan
OPINI
Cantik (beauty), kata yang begitu memukai para perempuan dan lelaki di seluruh dunia sejak dulu sampai kini. Bukan hanya itu, melainkan sangat dipuja dan digandrungi. Hal ini sungguh dilekatkan pada perempuan. Menjadi cantik adalah dambaan tiap perempuan... Hal.17
Menghentikan Penderitaan Perempuan dalam Bencana
PUSTAKARIA
termasuk harta benda lainnya...
Hal. 5
Oleh Eko Bambang Subiyantoro*) Sudah jatuh tertimpa tangga. Itu ungkapan yang selalu saya sampaikan ketika harus berbicara mengenai situasi perempuan dalam suatu bencana, baik yang terjadi karena faktor-faktor alam maupun bencana dalam pengertian konflik...
Hal. 7
Mengenal Isu Aktual Feminisme Kini... Hal.21 Perempuan Dalam Tanggap Darurat ... Hal.22 Rumah Perempuan... Hal.25 Membangun Usaha Perempuan Korban Bencana...
hal.26
PUISI PEREMPUAN Bencana Gempa Bumi dan Gunung Merapi...
Bencana Peradaban...
WARTA PEREMPUAN
Hal.29 Hal.30
Di Mana Posisi Perempuan dalam Sistem Penanggulangan Bencana Kita?
Indonesia adalah negara yang sangat rawan bencana. Kita ketahui hampir setiap tahun Indonesia mengalami bencana, seperit banjir, gempa bumi, tanah longsor, kebakaran hutan, kekeringan, badai tropis, bahkan tsunami. Bencana tsunami di Aceh dan Nias menjadi titik awal keprihatinan...
Hal.10
De ptember -
Edisi III | Se
rsama
SOSOK
bersatu be
“FAUZI BOWO: MANA JANJIMU?”
tapi rumah
Jakarta selalu menjadi magnet bagi siapa saja, termasuk Bu Mistinah. Perempuan 39 tahun ini rela meninggalkan Surabaya demi kehidupan yang lebih baik di ibu kota. Kini, hampir 28 tahun dia meninggalkan kampung halaman dan memutuskan untuk tinggal bersama empat anak dan suaminya. “Walaupun tinggal di pinggir kali, saya senang karena bisa punya sendiri, gak ngontrak lagi “, tuturnya....
Hal. 12
4
-
Perempuan Bergerak | Edisi III |September - Desember 2008
Edisi III | Septe
mber - De-
bersatu be
rsama
DAFTAR ISI
FOKUS UTAMA
M
asih segar dalam ingatan kita, beberapa tahun belakangan ini, Indonesia menjadi langganan bencana alam dan bencana sosial. Pada penghujung tahun 2004, dua wilayah di ujung Sumatera, Aceh dan Nias, disapu bersih Tsunami. Ribuan rumah lenyap tak berbekas, termasuk harta benda lainnya. Tsunami merenggut jutaan korban jiwa, tak pandang bulu: laki-laki, perempuan, anakanak; tua maupun muda. Kita yang menyaksikannya tercekam pilu. Tak ada kata yang mampu melukiskan betapa dahsyatnya bencana alam itu. Air mata kita pun terkuras habis karenanya. Masalahnya, meskipun Indonesia kerap dilanda bencana, namun pemerintah kita sepertinya tak pernah belajar dari pengalaman sebelumnya. Bencana alam: banjir, badai, tanah longsor, gempa bumi, letusan gunung merapi, tsunami; semuanya pernah hadir. Badan penanggulangan bencana dan sistemnya tak mampu mempersiapkan masyarakat kita menjadi ”sadar bencana”. Ketika bencana datang, semua kita tersentak sadar. Namun, kesadaran itu akan hapus seiring berlalunya waktu. Ada yang mengatakan, bahwa masyarakat kita sangat pelupa terhadap hal-hal yang membahayakan hidupnya, namun pendendam untuk hal-hal yang tak perlu (kekerasan, dll.). Bencana alam meskipun tidak selalu mampu kita atasi, namun kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memampukan kita memprediksi kemungkinan terjadinya serta mengurangi resikonya.
Dan beberapa bencana alam kerap bersumber dari perilaku buruk manusia, seperti: penghancuran hutan, perusakan lingkungan hidup, perilaku konsumtif. Penggundulan hutan mengakibatkan longsor dan banjir mudah terjadi, bahkan kebakaran hutan yang memicu peningkatan panas bumi. Akan tetapi, tetap saja segelintir orang atau oknum berlagak masa bodoh. Pemerintah pun diam seribu bahasa ketika hutan kita berganti fungsi menjadi zona industri, perumahan, lapangan golf, dan sebagainya. Begitu pula ketika laut kita dirusak, pemerintah tak peduli. Lalu, siapa yang bertanggung jawab terhadap tindakan pelanggaran hukum tersebut? Dalam peristiwa bencana selama ini, perempuan dan anak-anak menjadi korban terbesar. Itu terjadi selama dan pasca bencana. Pada pasca bencana perempuan kerap diabaikan. Penanganan dan pemulihannya kebanyakan tidak melibatkan partisipasi mereka, mulai dari jajak kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasannya. Dengan demikian, bukan hal aneh apabila dalam pemenuhan kebutuhan perempuan, selalu salah sasaran. Pemerintah dan badan-badan penanggulangan bencana atau lembaga-lembaga lainnya tidak memiliki ”kepekaan gender” dalam kegiatannya. Banyak kegiatan, program maupun projek, tidak dibangun atas dasar kebutuhan praktis dan kepentingan strategis perempuan korban bencana. Akibatnya, korban perempuan menjadi
5
Perempuan Bergerak | Edisi III|September - Desember 2008
FOKUS UTAMA
TERJEBAK DERITA: PEREMPUAN DAN BENCANA
FOKUS UTAMA
”korban” baru dari aktivitas pemulihan bencana yang ada selama ini. Pe n y e d i a a n k e b u t u h a n p r a k t i s p e r e m p u a n korban bencana misalnya pangan, sandang, bahkan perumahan. Dalam pemberian pangan, banyak perempuan menjadi orang terakhir yang menerimanya. Begitu pun untuk kebutuhan sandang dan perumahan, perempuan korban tidak dimintai pandangan dan keputusannya seperti apa. Kasus perumahan di Aceh dan Nias yang tidak memenuhi kepentingan perempuan adalah contoh jelas betapa abainya banyak pihak terhadap kebutuhan mereka. Layanan kesehatan dasar untuk perempuan (termasuk yang hamil dan melahirkan), jarang terpikirkan. Kekerasan, perkosaan, pelecehan, dan perdagangan manusia, biasanya dialami perempuan. Pasca bencana, perempuan sesungguhnya harus mendapatkan perhatian serius pemerintah dan berbagai pihak lainnya, yang dianggap bertanggung jawab terhadap hal itu. Mengapa? Karena masa ini mereka sangat rawan terhadap bentuk-bentuk eksploitasi baru oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab. Perempuan yang susah dan menderita sangat mudah ditipu untuk diperdagangkan menjadi pelacur. Untuk berusaha, mereka tidak memiliki akses ekonomi, karena tindakan diskriminasi lembagalembaga pemberi kredit (bank-bank, dll.). Dalam kondisi sulit tersebut, sebagian besar perempuan korban biasanya harus bertindak sebagai pencari nafkah keluarganya. Beban mereka menjadi berlipat kali ganda. Pemerintah kita meskipun sudah membentuk badan baru penanggulangan bencana nasional untuk menggantikan badan yang ada sebelumnya, namun efektivitas dan efisiensi kinerjanya masih harus
6
Perempuan Bergerak | Edisi III |September - Desember 2008
dibuktikan di tingkat lapangan. Realitasnya terlalu banyak kepentingan yang tak jelas diakomodasi pemerintah dalam praktiknya selama ini. Apalagi menyangkut jumlah dana yang besar (sumbangan dan pinjaman donor asing), praktik korupsi bukan rahasia lagi. Banyak orang kaya baru muncul ketika bencana merebak. Ini realitas yang tak masuk akal karena di tengah-tengah banyak perempuan korban merasakan pilu, ada orang yang mengambil keuntungan dari derita mereka. Apakah pemerintah menghukum orangorang atau pihak-pihak yang melanggar hukum dan ham tersebut? Perempuan harus dilibatkan dalam perencanaan pra dan pasca penanggulangan bencana. Input-input mereka harus dipastikan terekomendasi dalam daftar kebutuhan pihak-pihak yang melakukan pemulihan bencana. Pemerintah dan para pihak tersebut hendaknya memiliki sistem dan aparat pelaksana yang ”peka gender”, sehingga perilakunya tidak diskriminatif terhadap perempuan. Pemerintah harus menjamin keamanan mereka, keberlanjutan pendidikan bagi anak-anak perempuan, ketersediaan akses kesehatan yang memadai, makanan yang bergizi, penghidupan yang layak, akses ekonomi, dan perlindungan ham. Ini juga berlaku bagi para pihak yang terlibat dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana di seluruh Indonesia saat ini dan mendatang. Semoga! (HG)
Oleh Eko Bambang Subiyantoro*)
Sudah jatuh tertimpa tangga. Itu ungkapan yang selalu saya sampaikan ketika harus berbicara mengenai situasi perempuan dalam suatu bencana, baik yang terjadi karena faktor-faktor alam maupun bencana dalam pengertian konflik.
M
engapa demikian? Situasi bencana/ konflik, adalah masa-masa yang paling sulit bagi perempuan. Derita perempuan dalam situasi ini hampir selalu ada dalam dua periode bencana/konflik yang terjadi. Pertama, dalam periode saat bencana/konflik itu berlangsung, dan kedua, ketika bencana/ konflik itu berlalu (masa recovery). Pada saat terjadinya bencana/konflik, situasi perempuan tidak diuntungkan karena posisinya sebagai perempuan. Bencana Alam di Aceh 4 tahun silam misalkan, masih terbayangkan oleh saya bagaimana b a n y a k p e re m p u a n d a n a n a k - a n a k y a n g menjadi korban keganasan tsunami. Hampir sebagian besar korban tewas perempuan tidak terpisahkan dengan korban anak-anak yang masih kecil atau dalam posisi masih mendekap anak-anaknya.
Wa w a n c a r a J u r n a l Perempuan terhadap sejumlah saksi/korban tsunami mengkonfirmasikan bahwa, mengapa banyak perempuan yang menjadi korban dan disertai oleh anak-anak karena perempuan tidak bisa berlari cepat/meninggalkan rumah dengan cepat tanpa kepastian apakah anak-anaknya s u d a h s e l a m a t a t a u b e l u m . Pe r e m p u a n tidak hanya memikirkan bagaimana dia selamat tetapi juga bagaimana dia harus menyelamatkan anak-anaknya. Menurut sejumlah saksi mata, perempuan tidak kuasa untuk berlari secara cepat karena dia harus menggendong anaknya atau
Doc. Foto: www.ogrish.com-Tsunami Aceh
7
Perempuan Bergerak | Edisi III|September - Desember 2008
OPINI
Menghentikan Penderitaan Perempuan dalam Bencana
OPINI
menggandeng anaknya, sementara kecepatan air bah tsunami melebihi kecepatan ibu berlari. Begitu pula dalam situasi konflik politik. Di Aceh misalkan, selama operasi militer berlangsung perempuan harus menanggung derita yang berkepanjangan. Komnas Perempuan pada tahun 2002 melaporkan bahwa perempuan d a l am konflik Aceh yang be rke panj a n g a n telah menjadi korban dalam berbagai bentuk, misalkan perempuan dijadikan sandera karena suami/atau saudara laki-laki/ayahnya terlibat dalam konflik, perempuan mengalami perkosaan dan kekerasan dan lain sebagainya. Derita perempuan tidak hanya sampai ketika bencana/konflik berhenti. Derita perempuan berlanjut ketika ia harus tinggal di pengungsian-pengungsian dan proses pemulihan dirinya. Derita perempuan di sini terkait dengan pemenuhan kebutuhan perempuan yang banyak mengalami diskriminasi. Perempuan dalam situasi ini tidak dilihat sebagai pihak yang mempunyai kebutuhan khusus. Akibatnya, sejumlah kebutuhan perempuan tidak terpenuhi. Di sinilah awal penderitaan baru yang harus dihadapi perempuan.
8
Perempuan Bergerak | Edisi III |September - Desember 2008
Jurnal Perempuan melaporkan ada sejumlah persoalan yang dapat terungkap ketika perempuan harus berada di pengungsian yang terkait dengan posisinya sebagai perempuan. Beberapa kebutuhan khusus itu seperti pembalut perempuan, susu bayi, ketersediaan air bersih, MCK yang tidak aman bagi perempuan dan sebagainya. Perempuan juga tidak terlepas dari persoalan kekerasan, pelecehan seksual dan rentan untuk mengalami perdagangan perempuan. Menurut laporan Jurnal Perempuan, hampir seluruh bantuan yang datang merupakan bantuan yang umum seperti mie instan, roti, makanan kering dan sebagainya. Memang sangat diperlukan, tetapi belum bisa memberikan pemenuhan secara khusus pada perempuan. Sejumlah persoalan perempuan dalam situasi bencana, khususnya pemenuhan kebutuah perempuan ini juga terjadi di sejumlah bencana alam yang terjadi di Indonesia, seperti di Nias dan di Bantul Yogyakarta. Pe r t a n y a a n n y a k e m u d i a n , m e n g a p a perempuan lebih panjang deritanya dalam situasi bencana/konflik yang seharusnya justru mendapat perhatian khusus?
Persoalan bantuan pengungsi yang tidak menjangkau kebutuhan perempuan misalnya, hal ini karena perempuan dalam proses pendataan kebutuhan tidak dilibatkan. Hampir sebagian besar para pengambil keputusan atau orang-orang yang terlibat dalam penentuan ini adalah laki-laki yang hanya berpikir secara umum tidak memikirkan aspek-aspek yang lebih detail. Kebutuhan pengungsi dianggap sama semua, padahal dalam kenyataanya sangat berbeda antara kebutuhan laki-laki dan perempuan. Sejumlah persoalan yang terjadi pada perempuan dalam situasi bencana ini tidak terlepas dari pola penanganan bencana dan pasca bencana yang tidak bekerja secara komprehensif. Penanganan bencana selalu mengutamakan aspek-aspek yang dianggap utama dan prioritas, sementara pemahaman utama dan prioritas ini tidak menjadikan perempuan sebagai bagian yang penting dan utama. Akibatnya, kebutuhan perempuan yang secara spesifik tidak tersedia.
menjadi keharusan karena beberapa sebab. Pertama, perempuan dalam situasi bencana mempunyai beban bertambah dan lebih berat, sehingga jika tidak didukung oleh satu pola/sistem penanganan yang baik akan memperpanjang penderitaan yang dialami perempuan. Kedua, kebutuhan perempuan secara spesifik yang sangat melekat pada perempuan sejauh ini belum mendapat perhatian, sehingga kebutuhan-kebutuhan itu terabaikan. Ketiga, paradigma pelaksana penanganan bencana masih belum mempunyai perspektif gender secara baik, sehingga adanya kebijakan pola penanganan bencana yang lebih responsif gender dapat membantu pelaksana penanganan bencana untuk lebih mempertimbangkan keadilan gender. Melalui satu kebijakan pola penanganan bencana yang lebih berperspektif perempuan ini diharapkan tidak ada lagi penderitaan panjang perempuan dalam satu situasi bencana. Sejauh ini setiap kali terjadi bencana, selalu saja persoalannya tetap sama, kebutuhan perempuan terabaikan. Akankah hal ini dibiarkan terus berulang? Semoga tidak dan pemerintah harus lebih serius memperhatikan masalah ini. ----------
* Aktivis Pokja Perempuan
Pemahaman komprehensif dalam hal ini adalah bagaimana setiap aspek kebijakan yang akan diambil telah mempertimbangkan aspek kesetaraan gender. Pengarusutamaan gender bukan lagi menjadi bagian terpisah, tetapi menjadi satu dalam satu kerangka analisis perumusan dan pengambilan kebijakan. Jika penanganan bencana ini terbangun secara komprehensif, dalam situasi apapun termasuk dalam situasi darurat, kebutuhan perempuan wajib terpenuhi, tidak perlu harus menunggu sampai beberapa waktu untuk dapat pemenuhan kebutuhannya. Dalam kerangka inilah, pola penangulangan bencana yang berperspektif perempuan
9
Perempuan Bergerak | Edisi III|September - Desember 2008
OPINI
Tentu saja, persoalan ini muncul tidak terlepas dari posisi perempuan secara umum di Indonesia. Dalam ranah politik, sosial, hukum, tafsir agama dan juga kultur masyarakat, perempuan masih belum dilihat sebagai bagian penting. Posisi ini tentu saja merugikan perempuan, tidak saja dalam kehidupan sehari-hari, namun juga dalam situasi-situasi yang sangat genting.
WARTA PEREMPUAN
Di Mana Posisi Perempuan dalam Sistem Penanggulangan Bencana Kita? Indonesia adalah negara yang sangat rawan bencana. Kita ketahui hampir setiap tahun Indonesia mengalami bencana, seperit banjir, gempa bumi, tanah longsor, kebakaran hutan, kekeringan, badai tropis, bahkan tsunami. Bencana tsunami di Aceh dan Nias menjadi titik awal keprihatinan dan keterhenyakkan kita semua akan posisi geografis Indonesia yang rawan bencana (berada di atas dua lempengan bumi/dasar laut yang selalu bergerak). Ini seharusnya sudah diantisipasi sejak awal dan menjadi perhatian serius pemerintah dalam upaya mengurangi resiko akibat bencana. Sistem penanggulangan bencana yang dikembangkan dan diupayakan pemerintah selama ini, oleh banyak kalangan, terlihat belum komprehensif. Artinya, masih ada unsurunsur yang terlupakan oleh pemerintah dalam mengatasi bencana khususnya untuk para korban
Perempuan dan anak-anak merupakan kelompok masyarakat yang rentan mengalami masalah baru ketika bencana terjadi. Sebut saja, karena suami hilang atau meninggal dunia dalam bencana, maka perempuan harus menjadi kepala keluarga untuk menghidupi keluarganya. Kerentanan perempuan
perempuan.
terhadap segala bentuk kekerasan di pengungsian, peran ganda mengurus anak dan memasak, serta terkadang harus mencari pekerjaan lain.
Data statistik keterpilahan laki-laki dan perempuan memang tersedia, namun dalam proses penanganan bencana, kaum perempuan jarang dilibatkan. Tentu ini mengakibatkan penanganan korban bencana, khususnya perempuan, menjadi tidak maksimal. Seperti yang terjadi di Aceh selama ini, dalam proses rehabilitasi dan rekontruksi keterlibatan perempuan sangat minim, bahkan di beberapa tempat tidak melibatkan perempuan. Contohnya, pembangunan rumah tidak ada dapurnya, padahal bagi perempuan Aceh dapur adalah tempat utama sebuah rumah. Atau, pemulihan kegiatan perekonomian masyarakat, jarang program pemerintah yang mengikut-sertakan perempuan sebagai pelaku ekonomi. Banyak perempuan telah menjadi kepala keluarga (single parent’s) dan harus bekerja untuk menghidupi keluarga mereka.
10
Perempuan Bergerak | Edisi III |September - Desember 2008
Beberapa kajian singkat memperlihatkan adanya peningkatan kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan seksual pasca bencana alam. Tak kalah pentingnya adalah soal penanganan kesehatan perempuan (kesehatan reproduksi dan seksual). Kita ketahui bersama bahwa ini hampir tidak menjadi perhatian pemerintah, karena dianggap hal sepele. Ini adalah komponen kunci dalam upaya pemberian bantuan pasca bencana. Perempuan mengalami penderitaan yang tidak sebanding dengan hasilnya. Kondisi ketidak-tersediaan bidan untuk membantu proses persalinan atau pemeriksaan kehamilan, padahal di lokasi pengungsian beberapa perempuan mungkin sedang mengandung. Apakah tidak
Hal serupa juga terjadi di Yogyakarta, ketika gempa bumi melanda daerah itu. Menurut p e n g a m a t a n E n d a n g R o h j i a n i 1, k e t e r l i b a t a n perempuan dalam penanganan pasca bencana, dari 79 responden yang dikaji yang tersebar di empat Kabupaten (Gunung Kidul, Bantul, Kulon Progo, Klaten), memang tersedia data keterpilahan lakilaki dan perempuan dan data tentang kebutuhan fisik masyarakat. Tetapi, data rinci kebutuhan perempuan tidak tersedia. Apakah perempuan juga dilibatkan dalam pananganan bencana itu? Bisa dibayangkan, bagaimana pemenuhan kebutuhan perempuannya? Padahal, perempuan memiliki kebutuhan khusus dan berbeda dengan laki-laki. Ini harus menjadi perhatian yang serius oleh semua pihak. Pe r i s t i w a t e r s e b u t m e n e g a s k a n b a h w a perempuan hampir tidak pernah menjadi prioritas dan perhatian pembuat program rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana di Indonesia. Penanganan bencana sering tidak peka gender dan mengabaikan kelompok yang rentan. Tsunami di Aceh dan Nias menjadi titik tolak pemikiran pemerintah atau negara Indonesia bahwa Indonesia selama ini belum mempunyai kebijakan atau payung hukum yang jelas tentang penanggulangan bencana secara komprehensif. “…setelah kejadian Aceh tahun 2004, kita baru sadar bahwa kita tidak punya sistem yang handal untuk menanggulangi bencana selama ini“, ungkap Ir. Bernardus Wisnu Widjaja, M.Sc., Direktur Pengurangan Resiko Bencana BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). Hal senada juga diungkapkan Aisyah Hamid Badlowi dari Fraksi Golkar (pernah menjabat sebagai Ketua Pansus RUU Penanggulangan Bencana). Hal ini kemudian melatar-belakangi disusun dan disyahkannya UU No. 24/th 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Melalui UU ini, dibentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai pengganti dari Bakornas. Menurut UU tersebut, dalam proses penanggulangan bencana, perempuan secara 1
Staf Rumpun Tjoet Njak Dien, Yogyakarta.
umum dimasukkan dalam kategori salah satu kelompok rentan (ibu yang menyusui dan mengandung). Tidak ada upaya atau tindakan khusus untuk kelompok perempuan korban bencana, terlebih bagi mereka yang tidak sedang mengandung atau menyusui. M e n u r u t H e n i n g Pa r l a n , K o o r d i n a t o r Humanitarian Forum Indonesia yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Koordinator Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI) mengatakan bahwa: “Hak perlindungan perempuan pada saat bencana atau pasca bencana secara de jure ada dalam UUPB, yaitu dikelompokan dalam kelompok rentan seperti ibu menyusui, manula, dan anak anak. Di dalam UU, perlindungan secara khusus untuk perempuan belum ada, dan ini pun secara de facto belum terealisasi”. Tiap manusia dilahirkan dengan hak yang sama baik laki-laki maupun perempuan. Begitu pula ketika bencana terjadi. Seharusnya, tidak ada pembedaan perlakuan bagi perempuan dan laki-laki sebagai korban. Penanggulangan atau penanganan bencana selama ini terlihat l e b i h fok u s p a d a p e rb a i k k a n i n fra s t ru k t u r tanpa melihat aspek sosial yang terjadi pada perempuan. Menurut Ir. Budi Andono Mcp, Asdep Urusan Bencana Kementrian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat: “Hak-hak perempuan dalam penaggulangan bencana dan pasca bencana belum terakomodir secara maksimal, belum sepenuhnya terlaksana karena dana yang terbatas di Kesra. Selama ini yang utama adalah untuk rehabilitasi dan rekonstruksi infrastruktur; prioritasnya untuk rumah, fasilitas umum dan ekonomi, sosial yang menghubungkan sentra produksi dan pasar, seperti jalan, jembatan, baru kemudian sekolah, mesjid, gedung pemerintahan, jadi belum ada khusus untuk perempuan”. Pemenuhan hak perempuan sesuai dengan yang diamanatkan UU No.7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan wajib dilakukan negara.
Bersambung ke Hal. 16
11
Perempuan Bergerak | Edisi III|September - Desember 2008
WRATA PERMPUAN
terpikirkan bahwa di pengungsian kehidupan berjalan seperti biasa? Seperti di rumah-rumah selama ini?
SOSOK
“FAUZI BOWO: MANA JANJIMU?”
Jakarta selalu menjadi magnet bagi siapa saja, termasuk Bu Mistinah. Perempuan 39 tahun ini rela meninggalkan Surabaya demi kehidupan yang lebih baik di ibu kota. Kini, hampir 28 tahun dia meninggalkan kampung halaman dan memutuskan untuk tinggal bersama empat anak dan suaminya. “Walaupun tinggal di pinggir kali, tapi saya senang karena bisa punya rumah sendiri, gak ngontrak lagi “, tuturnya.
Ti n g g a l d i p i n g g i r sungai Ciliwung memang bukan tanpa resiko. Setidaknya itu dirasakan Bu Mistinah. Setiap musim hujan tiba, bantaran sungai Ciliwung pasti meluap, a k i b a t n y a rumahnya menjadi korban. “…saya sekarang sudah terbiasa dengan banjir, sejak saya tinggal di sini” , jelasnya.
Sebagai korban banjir setiap tahun, Bu Mistinah hapal siapa yang memberikan bantuan untuk korban banjir. Menurutnya, salah satu partai Islam memang selalu mendirikan posko dan memberikan bantuan, seperti sembako dan makanan. Menurutnya, pihak pemerintah juga pernah memberikan bantuan. Perwakilan pemerintah hanya meninjau dari kejauhan, hingga tidak bisa memastikan mereka berasal dari mana. “…yang saya tau ada juga kalo banjir. Katanya itu dari pemerintah tapi mereka tidak pernah turun melihat ke sini”. Bantuannya seperti sembako (hanya makanan dan biskuit untuk anak-anak), tidak pernah ada yang peduli dengan kebutuhan kaum perempuan (pembalut atau pakaian dalam). Sekali waktu perwakilan partai Islam tersebut memberinya kebutuhan pakaian dalam: “…waktu banjir kemarin, ada juga yang memberi bantuan pakaian dalam buat ibu-ibu dan anak-anak kecil, itu bantuan partai Islam “, ujarnya.
Banjir di Jakarta menjadi masalah yang sampai kini tidak mampu diatasi pemerintah DKI Jakarta. Belakangan, setiap tahun ibu ta kota negara ini menjadi wilayah Meskipun Bu Mistinah g p e n ti n g a n g g o n a y … “ l a n g g a n a n b a n j i r. B a g i B u m e ngaku betah tinggal di la m a t se a y sa a rg a lu Mistinah, keadaan ini tampaknya rumah pinggiran kali, namun ke a dirinya berharap suatu hari rg a rh e b tak lagi menakutkan. Baginya, t ra su d a n su ra tasal anggota keluarganya selamat, banjir tidak pernah terjadi ut “ ti d a k ik u t h a n y tak peduli harta benda terhanyut lagi. Sebagai orang yang bersama banjir yang melanda. menetap lama di Jakarta, “…yang penting anggota keluarga Bu Mistinah sangat berharap saya selamat dan surat-surat berharga Gubernur Fauzi Bowo bisa merealisasai janjinya tidak ikut hanyut “, terangnya. untuk membuat Jakarta bebas banjir, seperti janji dalam kampanyenya dulu. “…sebagai orang Pe r i s t i w a b a n j i r t a h u n 2 0 0 7 b u a t B u kecil, saya sih hanya ingin Fauzi Bowo memenuhi Mistinah adalah paling mengerikan. Air hampir janjinya. Dulu katanya akan membuat Jakarta menenggelamkan rumahnya, dan semua perabotan bebas banjir tapi sampai sekarang kok masih saja rumah ikut hanyut terbawa arus banjir.”Saya banjir “, tegasnya. sudah terbiasa sebenarnya dengan banjir, wong hujan ga gede aja pasti banjir kok, apalagi kalo Harapan Bu Mistinah mungkin menjadi harapan hujannya gede. Tapi yang paling menakutkan jutaan warga Jakarta lainnya. Meskipun mereka waktu taun 2007 itu, tapi untunglah ada posko penduduk pendatang, namun mereka harus banjir , jadi saya bisa ada tempat tinggal, ga diperhatikan segala kebutuhannya, termasuk kebanjiran lagi” ungkapnya. harapan bebas dari banjir. (NR)
12
Perempuan Bergerak | Edisi III |September - Desember 2008
Oleh: Nisa Anisa*)
Pengantar Globalisasi dan kapitalisme yang mendera dunia memberi dampak besar bagi kehidupan masyarakat Indonesia, terutama perempuan. Dua hal itu membutakan mata pemerintah Indonesia, sehingga membuat kebijakan-kebijakan yang menelantarkan masyarakat dan berpihak pada pengusaha. Indonesia sebenarnya memiliki banyak sumberdaya alam (air, hutan, tanah, flora, fauna,udara, mineral) yang bila digunakan dengan arif mampu mencukupi kebutuhan masyarakat dan mensejahterakan mereka. Ironisnya kekayaan alam Indonesia saat ini terus menipis, karena dimonopoli dan dieksploitasi kelompokkelompok pengusaha dan birokrat pemerintah. Untuk mendukung aksinya dalam mengeksploitasi sumberdaya alam, pengusaha bekerja sama dengan oknum pemerintah membuat dan mengesahkan kebijakan-kebijakan (undang-undang) yang dapat melindungi pengusaha untuk merampas sumber daya alam dengan leluasa. Hal ini menyebabkan Indonesia banyak memproduksi kebijakan-kebijakan yang merugikan masyarakat, terutama perempuan. Perempuan adalah elemen masyarakat yang rentan terhadap kebijakan-kebijakan yang ‘salah’ tersebut. Salah satunya kebijakan terkait sumberdaya alam. Oleh karena, perempuanlah yang selama ini menjaga, merawat, dan bersentuhan dengan alam. Bila terjadi degradasi pada alam dan perusakan lingkungan lainnya, maka perempuan menjadi mahluk pertama yang terkena dampak buruknya. Pembangunan Indonesia dewasa ini yang diagungagungkan ternyata menyumbangkan dampak negatif pada lingkungan dan masyarakatnya. Pembangunan yang dilakukan sejak Orde Baru sampai Orde SBY-JK adalah untuk kebutuhan pihak-pihak tertentu, bukan untuk kebutuhan masyarakat. Di mana pun proyekproyek pembangunan dilaksanakan, pembangunan akan merampas tanah dan memutus ikatan batin antara masyarakat dan tanah. 1 Tanah bagi kapitalisme Ecofeminisme: Perspektif Gerakan Perempuan dan Lingkungan, Vandana Shiva & Maria Mies, hal. 115
sekarang hanya dianggap sesuatu yang dapat diperjual belikan. Padahal bagi masyarakat yang sudah bertahuntahun hidup di atas tanah tersebut, menganggap tanah memiliki nilai budaya dan spiritual. Jadi, bukan hanya memiliki nilai produksi semata. Tanah merupakan rahim yang tak hanya untuk reproduksi kehidupan biologis, tetapi juga kehidupan kultural dan spiritual; tanah melambangkan seluruh kelangsungan hidup mereka.2
UUPA yang Ambigu! Salah satu UU yang dalam implementasinya belum berpihak pada perempuan adalah UUPA No.5 tahun 1960. Sejak awal substansi UUPA ini tidak berusaha mensejahterakan masyarakat. Seiring berjalannya waktu, UUPA ini malah tetap dijadikan sebagai pedoman dalam persoalan pembaruan agraria. Padahal beberapa pasal dalam UUPA tersebut terkesan ambigu, sehingga dapat dijadikan celah oleh pengusaha dan birokrat pemerintah untuk mengeruk keuntungan. Salah satu contohnya adalah kalimat ”kepentingan umum atau kepentingan negara”, yang tertera di beberapa pasal UUPA 1960. Dalam implementasinya, kalimat itu diartikan bahwa kepentingan umum atau kepentingan negara adalah kepentingan pemilik modal (pengusaha). Berikut beberapa pasal yang memuat pernyataan tersebut: • Pasal 2 ayat (4): “Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakatmasyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.” • Pasal 3: “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak-ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakatmasyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa
1
2
Ibid, hal. 117-118
13
Perempuan Bergerak | Edisi III|September - Desember 2008
PERSPEKTIF
Mencermati Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Yang Memiskinkan Perempuan
PERSPEKTIF
serta tidak boleh bertentangan dengan undangundang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.” • Pasal 5: “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.” • Pasal 18: “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undangundang.” Pasal-pasal tersebut memungkinkan para pengusaha berkolaborasi dengan oknum pemerintah untuk melakukan usaha-usaha yang dapat menguntungkan mereka dan memiskinkan masyarakat. Dalam implementasinya; bumi, air, atau angkasa, dan lainnya yang digunakan untuk kepentingan masyarakat dapat diambil dengan mudah oleh pemerintah dengan dalih untuk kepentingan nasional. Padahal, sumberdaya alam itu dikelola oleh para pengusaha hanya untuk kepentingan sekelompok mereka. Salah satu elemen bumi yang digunakan masyarakat untuk melakukan mata pencaharian adalah tanah. Tanah merupakan kehidupan bagi seluruh masyarakat di dunia ini. Tanah dapat digunakan sebagai tempat bermukim dan tempat untuk mendapatkan penghasilan untuk dapat bertahan hidup. Bila tanah-tanah yang menjadi sumber penghidupan ini diambil untuk “kepentingan negara” atau ”kepentingan pengusaha”, maka negara telah melanggar konvensi yang sudah diratifikasinya sendiri, yaitu: Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination Of All Form of Discrimination Against Woman/CEDAW), atau UU No.7 Tahun 1984 pasal 14 ayat 2 yang menyatakan bahwa: “Negara-negara peserta wajib membuat peraturanperaturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di daerah pedesaan, dan menjamin bahwa mereka ikutserta dalam dan
14
Perempuan Bergerak | Edisi III |September - Desember 2008
mengecap manfaat dari pembangunan pedesaan atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan, khususnya menjamin kepada perempuan pedesaan hak: (g) Untuk dapat memperoleh kredit dan pinjaman pertanian, fasilitas pemasaran, tehnologi tepat-guna, serta perlakuan sama pada landreform dan urusanurusan pertanahan termasuk pengaturan-pengaturan tanah pemukiman;” Berdasarkan Konvensi ini, perempuan memiliki hak mengenai landreform dan urusan pertanahan termasuk pengaturan tanah permukiman. Selama ini urusan pertanahan dianggap sebagai urusan laki-laki, sedangkan perempuan dianggap tidak berhubungan dengan tanah. Inilah yang menjadi salah satu alasan perempuan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan mengenai urusan pertanahan. Padahal petani perempuan di desa menggantungkan hidup mereka pada tanah. Perempuan memiliki pemikiranpemikiran kreatif terhadap tanah, daripada laki-laki. Petani perempuan di Pelabuhan Ratu menanam sayuran dan kacang-kacangan di sepanjang jalan rumah menuju sawah, tujuannya adalah memudahkan mereka untuk mengambil sayuran dan kacang-kacang tersebut, agar bisa menjadi “teman” untuk nasi untuk keluarga mereka. Begitu juga tanah untuk permukiman, perempuan memiliki andil yang sangat besar terhadap tanah yang digunakan tempat bermukim. Para perempuan ini menghabiskan banyak waktunya untuk mengurus rumah, melakukan kegiatan-kegiatan domestik yang selama ini terstigma menjadi pekerjaaan mereka. Bila tanah-tanah tersebut diambil oleh negara dengan dalih untuk kepentingan negara, maka sama saja negara telah mengambil hak perempuan untuk hidup, bekerja, dan berkarya. Dengan diambilnya tanah masyarakat, maka hilang pula sumber penghasilan mereka Perempuan pun banyak yang menjadi pengganguran, dan semakin terdomestifikasi. Perempuan kehilangan peluang untuk mengelola tanah. Bisa dikatakan bahwa negara dianggap tidak mengakui dan melindungi hak masyarakat yang mengunakan tanah tersebut untuk mencari nafkah. Kalau pun tanah tersebut memang harus diambil, maka negara harusnya menyediakan fasilitas lain, seperti program pelatihan dan dana untuk memajukan keadaan ekonomi dan sosial serta mensejahterakan masyarakat, terutama perempuan.
Hilangnya akses masyarakat atau perempuan terhadap tanah, mengakibatkan kemiskinan yang akut. Dalam satu keluarga ada berapa anak yang tidak dapat melanjutkan pendidikan mereka. Ada berapa perempuan dan anak yang memililiki kesehatan yang buruk karena kemiskinan yang semakin menjerat leher mereka? Perempuan dan anak-anak yang terjerat kemiskinan dapat dengan mudahnya terjerumus dalam pekerjaan-pekerjaan yang mengeksploitasi mereka. Eksplotasi yang mereka alami, misalnya: 1. Eksplotasi ekonomi, yakni jumlah gaji yang tidak sesuai dengan Upah Minimum Rata-rata (UMR), dan tidak seimbang dengan tingkat kesulitan jenis pekerjaan, dan tidak mendapat jaminan sosial bila terjadi kecelakaan di tempat kerja. Contohnya, anak di bawah usia 15 tahun yang sudah mencari emas di tempat-tempat yang sulit diakses, atau membawa beban yang sangat berat, perempuan-perempuan yang terpaksa menggantungkan hidupnya dengan melakukan prostitusi, perempuan yang bekerja sebagai buruh perkebunan yang biasanya upahnya lebih rendah dari laki-laki. Padahal dalam CEDAW pasal 11 ayat 1 (d) dikatakan bahwa: “Negara-negara peserta wajib membuat peraturanperaturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dilapangan pekerjaan guna menjamin hak-hak yang sama atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan, khususnya: (d) Hak untuk menerima upah yang sama, termasuk tunjangan-tunjangan, baik untuk perlakuan yang sama sehubungan dengan pekerjaan dengan nilai yang sama, maupun persamaan perlakuan dalam penilaian kualitas pekerjaan;” 2. Eksploitasi sosial, yakni hilangnya masa muda yang seharusnya digunakan untuk belajar dan bersosialisasi dengan teman-teman sebaya. Anak-anak yang usia muda seharusnya berada di bangku sekolah untuk menikmati pendidikan, terpaksa harus bekerja keras untuk bertahan hidup. Sedangkan perempuan yang memiliki anak, semakin sulit untuk berinteraksi dengan keluarga mereka, karena jadwal bekerja yang demikian ketat untuk dapat menghidupi keluarga. Selain itu, dengan padatnya jam kerja membuat para ibu tidak dapat terus memonitor anak-anak mereka yang masih balita. Sedangkan dalam CEDAW pasal 11 ayat 2 dikatakan: “Untuk mencegah diskriminasi terhadap perempuan
atas dasar perkawinan atau kehamilan dan untuk menjamin hak efektif mereka untuk bekerja, negaranegara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat:(c) Untuk menganjurkan pengadaan pelayanan sosial yang perlu guna memungkinkan para orang tua menggabungkan kewajiban-kewajiban keluarga dengan tanggungjawab pekerjaan dan partisipasi dalam kehidupan masyarakat, khususnya dengan meningkatkan pembentukan dan pengembangan suatu jaringan tempat-tempat penitipan anak;” 3. Ekspoitasi fisik, yakni dengan melakukan pekerjaan berat, sehingga badan/fisik mereka tereksploitasi. Contohnya, perempuan muda yang terjerumus dalam dunia prostitusi, terpaksa memfungsikan organ reproduksi mereka sebelum waktunya untuk dapat menghidupi keluarga mereka. Buruh-buruh perempuan yang bekerja di pabrik dan perkebunan juga mengalami eksploitasi fisik. Mereka terpaksa tetap bekerja walau keadaan fisik mereka sedang tidak sehat karena menstruasi atau karena hamil. Situasi ini berkontradisksi dengan CEDAW, pasal 11, ayat 1 yang mengatakan: “Negara-negara peserta wajib membuat peraturanperaturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dilapangan pekerjaan guna menjamin hak-hak yang sama atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan, khususnya: f) Hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan keria, termasuk usaha perlindungan terhadap fungsi melanjutkan keturunan.” Dan ayat 2 yang mengatakan bahwa: “Untuk mencegah diskriminasi terhadap perempuan atas dasar perkawinan atau kehamilan dan untuk menjamin hak efektif mereka untuk bekerja, negaranegara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat: (d) Untuk memberi perlindungan khusus kepada kaum perempuan selama kehamilan pada jenis pekerjaan yang terbukti berbahaya bagi mereka.” 4. Eksploitasi psikologis, anak-anak dan perempuan harus bekerja keras dengan usia yang sangat muda, dipaksa untuk berpikir dewasa, dipaksa untuk berpikir bagaimana harus bertahan hidup, membuat hilangnya keceriaan masa muda mereka. Perempuan tereksploitasi secara psikologis karena memiliki beban ganda. Perempuan terbagi pikirannya
15
Perempuan Bergerak | Edisi III|September - Desember 2008
PERSPEKTIF
Dampak Pengusuran Tanah Terhadap Perempuan
PERSEPKTIF
bagaimana mendapatkan uang, dan di sisi lain bagaimana menjaga keharmonisan keluarga.
Apa yang Harus Pemerintah Laksanakan? Bila dihitung, maka sudah 48 tahun UUPA tersebut berlaku di Indonesia. Sudah selayaknya UUPA ini diperbaiki, atau direvisi dengan substansi pasal yang mensejahterakan masyarakat, terutama perempuan. Rekomendasi kita untuk perbaikan UUPA 1960 agar lebih pro pada masyarakat, terutama perempuan, yakni: • Definisi kepentingan negara atau kepentingan umum harus diperjelas, jadi tidak menimbulkan multi interpretasi, sehingga dapat digunakan oknum pemerintah dan pengusaha untuk menggunakan air, bumi, dan angkasa demi kepentingan pribadi dan
mengorbankan hak-hak masyarakat sekitar, khususnya perempuan. • Dibentuknya tim pengawas yang terdiri dari masyarakat, LSM dan akademisi untuk memonitoring pengalihan tanah masyarakat menjadi kepentingan nasional atau kepentingan umum. • Pemerintah wajib bertanggungjawab pada masyarakat atau individu, termasuk perempuan yang tanahnya digunakan untuk tujuan kepentingan umum, dengan memberikan ganti rugi materil (uang ganti rugi) dan non materil (pelatihan memfasilitasi masyarakat untuk mendapatkan mata pencaharian lain, setelah tanah mereka diambil alih. *)Project Officer Lembaga Alam Tropika Indonesia, Bogor.
Sambungan dari Hal. 11 Negara harus menjamin pemenuhan hak-hak tersebut, antara lain hak atas kesehatan dan hak untuk terbebas dari segala bentuk diskriminasi. Beberapa hal yang harus menjadi perhatian atau landasan pemerintah dalam upaya membangun sistem penanggulangan bencana secara komprehensif (bentuk implementasi dari UU No. 24 Th 2007), yakni pertama; menggunakan perspektif kesetaraan gender; kedua, penanggulangan bencana tidak hanya bersifat responsif; ketiga, pengurangan resiko bencana (adaptasi) lebih baik daripada mengatasi resiko bencana. Dalam proses penanggulangan bencana, kerjasama, keterlibatan, dan peran serta masyarakat sangat dibutuhkan. Artinya, ketika bencana terjadi masyarakat yang pertama kali harus mengatasinya sebelum bantuan datang. Oleh karena itu, kebutuhan informasi dan pendidikan bagi masyarakat mengenai bencana sangat dibutuhkan. Seperti diutarakan Aisyah Hamid Badlowi (anggota DPR RI dari Fraksi Golkar): “…tugas BNPB inilah untuk melatih ke daerah, dan daerah melatih penduduknya untuk dapat siaga seandainya terjadi bencana. Dan masyarakat sebetulnya jangan membuang sampah sembarangan agar tidak banjir, dan jangan menebang pohon yang mengakibatkan longsor dan sebagainya. Intinya, pemerintah harus memberikan informasi dan pelatihan menghadapi bencana agar mengurangi resiko atau korban”. Termasuk keterlibatan perempuan di dalam hal itu. Banyak peran dapat dilakukan perempuan dalam upaya penaggulangan bencana, misalnya kampanye mengenai kesiap-siagaan bencana. Ini bisa dilakukan melalui berbagai kegiatan kelompok-kelompok perempuan di kampung-kampung, seperti: pengajian, PKK, arisan, dll. Dan penting pula keterlibatan perempuan dalam proses-proses diskusi dan pengambilan keputusan masalah penanggulangan bencana di tingkat pemerintahan lokal. Kearifan lokal masyarakat seperti budaya gotong-royong dapat menjadi sumber kekuatan dalam menghadapi bencana, seperti pengalaman yang dituturkan korban banjir sungai Ciliwung, Ibu Nailah: “…menghadapi kebanjiran ada sedihnya dan ada senangnya. Senangnya bisa kumpul dengan warga yang lain yang terkena banjir, sama merasakan, sambil bersenda gurau, sedihnya seandainya banjir itu datang pada saat malam hari tidak ada orang lain tidak ada yang membantu menghadapi itu untuk menyelamatkan apa yang harus di bawa, seandainya tidak bisa hanya seadanya saja yang dibawa yang lain ditinggal begitu saja”. (LS/WK)
16
Perempuan Bergerak | Edisi III |September - Desember 2008
Cantik (beauty), kata yang begitu memukai para perempuan dan lelaki di seluruh dunia sejak dulu sampai kini. Bukan hanya itu, melainkan sangat dipuja dan digandrungi. Hal ini sungguh dilekatkan pada perempuan. Menjadi cantik adalah dambaan tiap perempuan. Masalahnya, cantik selama ini dipahami secara fisikal (ragawi). Tentu ini dikaitkan erat dengan peran kosmetika. Kita mengenalnya dengan trilogy mitos: cantik, fisik, dan kosmetika. Mereka membentuk kesatuan representasi kesempurnaan atau idealitas mengenai perempuan.
C
antik adalah berkulit putih mulus, rambut indah, perawakan langsing seksi montok, sehingga ketika berjalan di muka umum maka “tiap mata tertuju padanya”—(meminjam slogan kontes kecantikan di salah satu stasiun televise). Setidaknya, itulah prototipe cantik yang sekarang menjamur dan berakar dalam benak perempuan Indonesia, baik remaja maupun dewasa. Dampaknya, perempuan merasakan kesenjangan antara idealitas kecantikan dengan tampilan tubuh yang nyata, sehingga cenderung mengalami emosi negatif: kecewa, sedih, putus asa, jengkel, cemas, marah (Buss, Psychological Dimension of the Self, 2001). Pada akhirnya, ini berpotensi memicu para remaja maupun perempuan dewasa kearah rasa kurang percaya diri dan perilaku konsumtif. Tidak heran, jika pusat-pusat kebugaran, salon-salon, sampai klinik kecantikan tumbuh subur di tanah air kita. Laris? Tentu saja. Media massa, dalam hal ini sedemikian rupa terkontaminasi budaya Barat. Mereka berperan aktif dalam memprovokasi pembentukan paradigma ideal kecantikan tersebut. Dapat kita temui di berbagai iklan, promosi, produk jasa maupun industri, pariwisata sampai layanan informasi di berbagai media cetak maupun televisi; semua itu menampilkan perempuan cantik sebagai ikon. Ini meneguhkan mitos tentang kecantikan dalam masyarakat Indonesia, khususnya tentang perempuan. Padahal, perempuan model di dalam berbagai media promosi tersebut hanya korban industri kapitalis. Mereka secara visual dijadikan komoditi untuk menarik konsumen. Yang terpenting, ini bisa meningkatkan angka keuntungan bagi pemilik modal. Luar biasa besar efek negatif
sebuah iklan, sehingga mampu menumpulkan daya kritis masyarakat, khususnya para perempuan yang merupakan target pasar. Gencarnya provokasi, mengakibatkan para remaja perempuan dan wanita dewasa bahkan ibu-ibu rumah tangga berlomba-lomba mengejar idealitas kecantikan—ibaratnya kacamata yang enggan untuk dilepas. Oleh karena pencitraan cantik yang demikian tentu berimplikasi pada paradigma kaum lelaki terhadap perempuan. Dengan demikian, kata “cantik” bagi perempuan berkembang menjadi semacam senjata andalan untuk menarik perhatian jenis kelamin laki-laki. Alhasil, berapa banyak perempuan yang rela memboroskan uang mereka untuk menggunakan jasa-jasa yang dapat merealisasikan idealitas itu. Kalau mau ekstrem, perempuan Indonesia rela melakukan apa saja demi menjadi cantik dan putih. Padahal, beaya sekali kunjung ke klinik kecantikan tidaklah murah, dan sering kunjungan pertama akan merangsang kunjungan-kunjungan berikutnya. Mengutip pepatah lama, ‘tidak ada rotan, akar pun jadi’, maka tidak bisa ke klinik kecantikan, pakai kosmetika pemutih pun tidak apa-apa. Kosmetika berperan dalam mewujudkan representasi sekaligus realisasi kecantikan. Demi mempercantik diri, maka jalan apapun ditempuh, sehingga mengakibatkan peredaran produk kosmetik yang menawarkan efek memutihkan menjadi laris manis. Faktor kesehatannya belum jelas, bahkan bisa beresiko dan berbahaya untuk kulit pemakainya. Contohnya, akhir November 2008, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) kembali menemukan
17
Perempuan Bergerak | Edisi III|September - Desember 2008
BUDAYA POP
BENCANA DI BALIK MITOS KECANTIKAN
BUDAYA POP
peredaran kosmetika yang mengandung bahan kimia berbahaya yang beredar di pasaran. Kosmetika, yang sebagian produk impor tersebut, mengandung merkuri (Hg), asam retinoat (retinoat acid), zat pewarna tekstil rhodamin (merah K.10 dan merak K.3). Berikut daftar kosmetika berbahaya yang dilarang peredarannya oleh pemerintah: 1
Doctor Kayama Whitening 14 Day,
2
Doctor Kayama Whitening 15 Night,
3
MRC Putri Salju Cream,
16
4
MRC PS Crystal Cream,
17
5
Blossom Day Cream,
18
6
Blossom Night Cream,
19
CRESSIDA Eye Shadow,
7
Cream Malam Lily Cosmetics,
20
KAI Eye Shadow & Blush On,
8
Day Cream Vit E Herbal,
21
MEIXUE YIZU Eye Shadow,
9
Locos Anti Fleck Vit E & Herbal,
22
NUOBEIER Blusher,
10
Night Cream Vit E Herbal, 23
NUOBEIER Blush On,
11
Kosmetik Ibu Sari,
24
NUOBEIER Pro-make up & Blusher No.5,
12
Krim Malam,
25
SUT SYU Eye Shadow,
13
MEEI YUNG putih,
26
New rody special putih,
27
New rodi special kuning.
MEEI YUNG kuning, SHEE NA Whitening Pearl Cream, AILY Cake 2 in 1 Eye Shadow 01, BAOLISHI Eye Shadow, CAMEO Make Up Vit 3 in 1 Two Way Cake & Multi Eyes Shadow & Blush,
*Sumber : Poskota, Edisi Kamis 27 November 2008 Hal. 1
Efek buruk yang ditimbulkan dengan pemakaian kosmetika berbahaya tersebut tidak tanggungtanggung, yakni: 1) Merkuri (Hg) atau Air Raksa termasuk logam berat berbahaya, yang dalam konsentrasi kecil pun dapat bersifat racun. Pemakaian Merkuri (Hg) dalam krim pemutih dapat menimbulkan berbagai hal, mulai dari perubahan warna kulit kemudian menyebabkan bintik-bintik hitam pada kulit, alergi, iritasi kulit. Pemakaian dengan dosis tinggi dapat menyebabkan kerusakan permanen otak, ginjal, dan gangguan perkembangan janin, bahkan paparan jangka pendek dalam dosis tinggi dapat mengakibatkan muntah-muntah, diare dan kerusakan paru-paru serta merupakan zat karsinogenik (dapat menyebabkan kanker) pada manusia; 2) Hidroquinon termasuk golongan obat keras yang hanya dapat digunakan berdasarkan resep dokter. Bahaya pemakaian obat keras ini tanpa pengawasan dokter yakni iritasi kulit: kulit menjadi merah dan rasa terbakar juga dapat menyebabkan kelainan pada ginjal (nephropathy), kanker darah (leukemia) dan kanker sel hati
18
Perempuan Bergerak | Edisi III |September - Desember 2008
(hepatocelluler adenoma); 3) Bahan pewarna Merah K.10 (Rhodamin B) dan Merah K.3 (CI Pigment Red 53 : D&C Red No. 8 : 15585) merupakan zat warna sintetis yang umumnya digunakan sebagai zat warna kertas, tekstil atau tinta. Zat warna ini dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan dan merupakan zat karsinogenik (dapat menyebabkan kanker) serta Rhodamin dalam konsentrasi tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada hati. Dari daftar kosmetika tersebut, tidak semua merek kosmetika berbahaya itu kelas murahan. Harganya berkisar ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Doktor Kayama, misalnya, harganya di atas Rp 1 juta (perpaket dijual Rp 2,5 juta), yang selama ini banyak digunakan kalangan selebritis. Saat uji sample, krim pemutih Doktor Kayama mengandung logam berat beracun dan merkuri atau air raksa. Lain lagi dengan produk blossom yang diedarkan melalui sistem penjualan berjenjang atau MLM, namun produk tersebut dinyatakan tidak terdaftar di BPOM. Sebagian besar produk kosmetika itu positif mengandung merkuri dan zat pewarna rhodamine yang berbahaya. Sebenarnya peredaran kosmetika berbahaya sudah bukan hal asing lagi. Pemerintah pun mengambil langkah antisipasi melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI No.445/ MENKES/ PER/ V/1998 Tentang Bahan, Zat Warna, Substratum, Zat Pengawet dan Tabir Surya pada Kosmetik dan Keputusan Kepala Badan POM No. HK.00.05.4.1745 Tentang Kosmetik. Melalui liputan investigasi di salah satu televisi, ditemukan fakta bahwa produk kosmetika tersebut justru diproduksi dalam industri rumahan (home industry). Jadi tidak dilakukan dengan alat dan menggunakan teknologi yang canggih seperti yang kita bayangkan. Bahkan kosmetika sekelas Doktor Kayama pun, masih diragukan lisensinya. Fakta terus bermunculan, hasrat dan obsesi perempuan menjadi cantik dimanfaatkan sebagian orang untuk meraih keuntungan tanpa mempedulikan efek buruk bagi konsumennya. Sebagai contoh, ditemukan di daerah Karawang, Jawa Barat, pembuatan kosmetik oplosan dengan bahan baku zat pewarna tepung, zat pemutih dicampur pewangi. Kemudian kosmetika oplosan tersebut dikemas dalam botol kecil dan diberi label. Lalu, dilepas ke pasar dengan harga relatif murah, yakni berkisar Rp 75 ribu per lusin.
Kulit adalah bagian tubuh yang terluas dan terberat pada tubuh kita. Fungsinya sebagai perlindungan terhadap bakteri, sinar Ultra Violet, rekasi kimia dan perlindungan mekanis. Selain itu, kulit juga pengontrol suhu tubuh, alat sensor tubuh, dan tempat proses pembuatan Vitamin D. Apa , jika kulit sebagai penyandang tugas penting dalam organ tubuh, menjadi korban keganasan bahan-bahan kimia yang terkandung dalam kosmetika. Ketebalan kulit rata-rata sekitar 4 mm sehingga apabila dimasuki bahan-bahan asing yang merusak kesehatan, maka akan mengganggu pula fungsi organ-organ lain.
Maraknya industri kosmetika di Indonesia tidak lepas persepsi bahwa tubuh atau fisik adalah sumber hasrat seksualitas dan sensualitas. Kosmetika menjadi suatu yang tampak dominan dilekatkan pada tubuh perempuan, mulai dari ujung kaki hingga ujung rambut. Tubuh perempuan hampir tak lepas dari perawatan kosmetika untuk menciptakan suatu nilai, yakni kecantikan. Kosmetika justru merebut keindahan sesungguhnya yang alamiah yang dimiliki tubuh para perempuan secara individual. Menilik ke belakang pada 1965, model Inggris, Twiggy, menjadi representasi pembebasan perempuan
Dalam dialog dalam salah satu acara berita di salah satu stasiun televisi, Titi Moertolo, dokter spesialis kulit dan kelamin, mengatakan bahwa persoalannya saat ini adalah para produsen kosmetika makin pintar. Mereka (para produsen), menambahkan sesuatu yang mampu membuat reaksi awal seperti gatal-gatal pada kulit hilang, padahal sebenarnya tetap saja berbahaya. Selain itu, menggunakan produk kosmetika bermerkuri dapat menimbulkan ketergantungan, sehingga saat berhenti pemakaian akan terasa gatalgatal dan kulit kembali menjadi gelap. Dan yang paling fatal, zat merkuri dalam kosmetik akan terserap kulit, masuk ke aliran darah dan sistem saraf, sehingga efeknya akan pusing-pusing, marah-marah, susah tidur, dan gemetaran, dan menimbulkan kerusakan pada ginjal.
19
Perempuan Bergerak | Edisi III|September - Desember 2008
BUDAYA POP
Efek kosmetik semacam ini untuk kesehatan tidak dapat dipertanggungjawabkan dan bisa menimbulkan aneka jenis kerusakan pada tubuh, baik ringan maupun berat.
Mencengangkan bukan? Dampak kata “cantik” serta prototipenya turut memperngaruhi kerangka berpikir masyarakat kita. Logika berpikir telah tercemari oleh sistem kapitalis. Padahal, cantik hanyalah mitos, suatu keyakinan yang beredar luas dan belum tentu sah kebenarannya. Demikian dengan image cantik yang beredar, sebenarnya lebih merupakan hasil konstruksi masyarakat; hasil pencitraan masyarakat. Tragisnya, secara tidak sadar kita masih memelihara mitos tersebut dan diwariskan secara turun-temurun. Jika digambarkan, citra perempuan Indonesia sekarang tak jauh dari citra yang kerap muncul di Barat, yakni: tubuh langsing, rambut panjang dan lurus, wajah putih mulus, bola mata yang indah. Kalau kita telusuri lebih jauh, definisi cantik bersifat relatif dan dinamis, berubah terus-menerus dari masa ke masa, dari suatu tempat ke tempat lain.
BUDAYA POP
dari mitos kecantikan yang abad-abad sebelumnya dikaitkan dengan fungsi reproduktif. Maksudnya, fungsi reproduktif yakni perempuan cantik dan seksi adalah mereka yang punya perut dan panggul yang besar serta dada yang montok. Ini bagian tubuh yang berkait dengan fungsi reproduksi. Menurut feminis Naomi Wolf, apa yang dilakukan dunia mode lewat Twiggy saat itu adalah upaya dekonstruksi citra montok dan sintal sebelumnya. Era modern, tubuh perempuan dibentuk oleh citra yang direproduksi sistem kapitalisme. Nilai-nilai yang dilekatkan adalah konstruksi bahasa ekonomi politik produsen berupa kosmetika. Maka tidak mengherankan, industri kecantikan merupakan bisnis profit tinggi. Tubuh perempuan pun dijadikan lahan eksploitasi komoditi yang bernilai jual tinggi. Kemudian terjadi kontrak dengan media massa yang menjadi wahana penyebaran untuk menggoda para perempuan Indonesia. Dengan demikina, terekonstruksi tubuh mereka melalui produk-produk industri kecantikan, demi tercapainya suatu citraan kecantikan yang hanya menjadi mitos modern. Kalangan feminis menilai bahwa kecantikan adalah mitos yang dianggap sebagai bentuk dominasi sistem partriakhal. Ironis memang. Maraknya kosmetika berbahaya (terjadi di tahun-tahun sebelumnya), membuktikan bahwa akses informasi perempuan masih sangat terbatas. Perempuan senantiasa dirayu oleh industri kecantikan untuk memenuhi konsep kecantikan semu. Obsesi kecantikan yang harus dibayar sangatlah mahal, yakni fisik maupun psikis. Tubuh perempuan dijadikan objek oleh diri mereka sendiri dan para pelaku industri kecantikan. Perempuan secara tidak langsung turut memelihara sistem patriarkhal. Pendidikan kritis bagi kalangan perempuan remaja dan dewasa sangat mendesak untuk dilakukan. Pendidikan itu harus dilaksanakan sejak usia belia, bahkan lebih bagus jika ‘menjadi pribadi yang kritis’ sebagai tujuan sistem pendidikan di Indonesia. Hal itu berguna kelak jika dewasa dalam menangkal berbagai paham yang melanggekan sistem patriarkhal, termasuk derasnya arus industri kecantikan racikan kapitalis. (IK)
20
Perempuan Bergerak | Edisi III |September - Desember 2008
Referensi: 1. 27 Kosmetik Berbahaya . Harian Poskota. Edisi Kamis 27 November 2008. 2. Balai POM Sweeping Kosmetik Berbahaya. Koran Tempo Edisi Kamis 27 November 2008. 3. Haynes, Alison. 1994. Di Balik Wajah Cantik: Fakta tentang Manfaat dan Risiko Kosmetik. Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) 4. http://dewialessandrapurnamasari.blogsome. com/2008/08/23/hasrat-tubuh-kosmetikkecantikan-perempuan-sebagai-kosmos-dankonsumen-citraan/ 5. Cantik Tak Harus Putih. http://www.liputan6. com/news/?id=169003. 30 November 2008 6. Pakar: Waspada Tawaran Kulit Putih Instan. http://www.liputan6.com/news/?id=169025. 30 November 2008 7. Kosmetik Oplosan Sangat Berbahaya. http://www. liputan6.com/news/?id=169429&c_id=3 07 Desember 2008 8. Cantik itu Mitos. http://duniabuku.net/index. php?option=com_content&task=view&id=399 9. Iswara, dana. Cantik = Pe de. Harian Kompas. Edisi Senin 15 Maret 2004. 10. A g u s t i a n , E k a . Ta h u k a h A n d a X . h t t p : / / chemistrywan.blogspot.com/2008/04/tahukahanda-x.html. 02 April 2008
: : : : : :
PUSTAKARIA
Judul Pengarang Penerbit Tahun Kolasi ISBN
Feminism: Issues and Arguments Jennifer Mather Saul Oxford University Press cetakan 1, 2003 viii+311 hlm; 21x13,5 cm 0-19-924947-4
MENGENAL ISU AKTUAL FEMINISME KINI
T
idak semua orang di Indonesia akrab dengan istilah ”feminisme”. Kalau boleh dikata hanya segelintir aktivis perempuan dan laki-laki serta akademisi saja yang mengerti soal ini. Apalagi masyarakat luas, mereka hampir dikata tak mengerti tentang feminisme. Di Jakarta, mungkin di beberapa kota besar lainnya di Indonesia, bahan bacaan mengenai feminisme mungkin sedikit tersedia, entah di pusat-pusat kajian perempuan di beberapa universitas maupun di beberapa tokoh buku. Namun, semua itu disasarkan pada mereka yang sudah memiliki pemahaman dasar mengenai feminisme. Bagi kalangan awam, sangat jarang tersedia bacaan populer mengenai feminisme. Tentu saja, ini akan menghambat perkembangan ide-ide feminisme di Indonesia. Feminisme sebagai pandangan dunia, metode berpikir, dan gerakan sosial sesungguhnya berperan besar dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia, khususnya pergerakan perempuan. Sejak Kartini dan pemimpin perempuan lainnya mengadopsi ide-ide feminisme Barat, bahkan beberapa pemimpin nasional laki-laki seperti Soekarno, dalam bukunya berjudul ”Sarinah”, jelas-jelas mengadopsi pemikiran kaum feminisme Barat. Hasilnya, kini kaum perempuan Indonesia bisa menikmati buah-buah perjuangan itu: boleh sekolah, boleh berpolitik, dan sebagainya. Buku Feminisme: Issues and Arguments ini membahas sejumlah isu aktual di dalam
feminisme, seperti: politik kerja dan keluarga, pelecehan seksual, pornografi, aborsi, tampilan femininitas, perubahan bahasa, representasi perempuan, ilmu pengetahuan dan gender, feminisme dan budaya. Buku setebal 300-an halaman ini ditulis dalam bahasa Inggris yang mudah dipahami, singkat, jelas dan padat. Di akhir tiap topik bahasan, disediakan pula bacaan rujukan yang bisa dilacak pembaca apabila hendak memahami hal-hal tertentu di dalam topik terkait. Di bagian akhir buku tersedia Indeks, yang dapat dipergunakan pembaca untuk menelusuri konsep-konsep atau istilah-istilah tertentu. Dengan menyoroti perkembangan aktual feminisme di Amerika Serikat ini, kita di Indonesia akan mendapat banyak pelajaran berharga, apalagi bagi kaum perempuan. (HG)
21
Perempuan Bergerak | Edisi III|September - Desember 2008
PUSTAKARIA
Judul Editor Penerbit Tahun Kolasi ISBN
: : : : : :
Women and Emergencies Bridget Walker Oxfam UK Press 1994 62 halaman, 24,5x18,5 cm 0 85598 2667
PEREMPUAN DALAM TANGGAP DARURAT
B
uku ini merupakan kumpulan tulisan jurnalis, ahli, aktifis, dan staf OXFAM yang bekerja dan berpengalaman dalam program penanganan bencana di Zaire, India, Zambia, Kenya, dan Uganda. 1 Buku dalam bahasa Inggris dan diterbitkan OXFAM UK ini sangat menarik untuk dibaca berbagai kalangan karena kaya akan pengalaman para penulis dari perspektif perempuan. Para penulis menggali berbagai masalah dalam perencanaan dan implementasi program tanggap darurat dan merekam pengalaman perempuan dalam situasi krisis, kerawanan dan kebutuhan, serta kapasitas dan kekuatan perempuan. Para penulis menyatakan bahwa hampir di semua negara, perspektif gender masih jarang diterapkan dalam merespon bencana dan tanggap darurat, serta jarang diteliti dan didokumentasikan. Untuk beberapa lembaga donor dan organisasi, integrasi perspektif gender dalam program-program bantuan dianggap tidak relevan, dan tidak menjadi perhatian utama dalam perencanaan dan implementasi program bantuan. Beberapa persoalan yang dihadapi perempuan dalam situasi bencana, seperti: ketakutan, kesehatan, sanitasi lingkungan, kelangkaan air bersih, perempuan dan janda miskin, ketidakpastian masa depan anak, pengangguran, kepercayaan dan ketakutan-ketakutan akan bencana. Masalah sosial yang serius berupa ancaman terhadap keamanan perempuan. Kekerasan terhadap perempuan, perkosaan, dan pelecehan seksual juga masalah yang 1
Penulisnya: Mary B Anderson, Pamela Greet, Mary Myers, Deborah Eade dan Suzanne Williams, Wilfred Tichagwa, Trans. Amby Hussein, Isobel Birch, Eileen Maybin, Manisha Tokle, Yasmin Ahmed, Joy Morgan, Gawher Nayeem Wahra, dan Tina Wallace.
22
Perempuan Bergerak | Edisi III |September - Desember 2008
krusial. Perempuan menjadi kelompok yang sangat rentan dalam situasi bencana. Kerentanan perempuan bukan hanya akibat bencana, melainkan selama ini mereka secara umum lebih miskin daripada laki-laki. Kemiskinan perempuan ini akibat pembatasan peran perempuan di masyarakat bagi akses dan kontrol terhadap sumber daya. Perempuan banyak bekerja di sektor-sektor ekonomi non formal yang upahnya rendah, bahkan tidak diberi upah. Tradisi dan hukum waris, perkawinan, sistem perbankan dan pola-pola sosial yang mendorong perempuan menjadi tergantung pada ayah, suami, dan anak laki-laki, menjadikan mereka kurang memiliki akses terhadap sumber daya dan kekuatan untuk mengubah relasi gender yang tidak adil. Kesehatan perempuan yang buruk akibat melahirkan berkali-kali menghambat pekerjaan dan berpengaruh pada rendahnya produktivitas mereka. Pandangan tradisional dan tanggungjawab domestik membatasi mobilitas dan kesempatan perempuan untuk terlibat dalam politik, mendapatkan pendidikan yang tinggi, dan akses terhadap informasi, pasar, dan sumber-sumber daya lain. Hal ini berkontribusi pada lingkaran kerentanan perempuan. Dalam pemahaman analisa gender, kerentanan perempuan ini bukan karena kelemahan mereka secara fisik, melainkan
Di satu sisi, perempuan memang kelompok yang paling rentan, tetapi disisi lain, mereka adalah survivor yang kuat dan memiliki kemampuan (strong and capable). Perempuanlah yang mengelola dan mempertahankan kehidupan keluarga dalam kondisi bencana yang paling menyedihkan sekalipun. Mereka pula yang selama ini perhatian terhadap kebutuhan dasar manusia, seperti: menyiapkan makanan, air bersih, mengelola
rumah, menjaga keluarga dan lingkungan tempat tinggal agar tetap bersih dan sehat. Kemudian mereka menjadi pengelola emosi (emotional manager) dalam keluarga karena situasi bencana yang mudah memicu stress, menyediakan keamanan untuk anak-anak mereka, dan mendukung suami-suami mereka. Ketika bencana terjadi, perempuan tidak hanya dapat mempertahankan
diri secara fisik dan emosional dalam situasi krisis, tetapi dapat mendukung keluarga mereka secara fisik dan psikologis. Dalam merancang program bantuan bencana baik bantuan emergensi atau pun program jangka panjang, kesadaran gender menjadi hal yang sentral. Kebutuhan perempuan harus diperhitungkan mengingat mereka menanggung beban ganda dalam setiap krisis (bencana, situasi konflik, penggusuran, dan pengungsian). Dalam melakukan assesment awal, penting untuk mendapatkan informasi tentang siapa saja kelompok yang terkena dampak bencana dan informasi demografi yang tepat dengan data yang terpilah (perempuan dan laki-laki). Selain itu, penting juga untuk mendiskusikan apa dampak bencana terhadap perempuan, kebutuhan perempuan, serta melibatkan perempuan korban bencana dalam perencanaan atau pengambilan keputusan. Organisasi lokal setempat yang memiliki perspektf gender penting dilibatkan dalam proses perencanaan dan implementasi p r o g r a m . Ke p e d u l i a n t e r h a d a p k e b u t u h a n perempuan saja juga tidak cukup. Ini harus didukung melalui kebijakan. Kebijakan tersebut harus dapat diimplementasikan dan di monitor dan evaluasi. Perempuan menjadi pemain kunci (key players) dalam proses jajak kebutuhan dan evaluasi. Penting juga memberikan pelatihan gender kepada tim kerja yang akan turun ke lapangan untuk memperkuat perspektif gender dalam pelaksanaan program agar sesuai dengan target dan memenuhi kebutuhan perempuan. Berdasarkan Panduan UN (UN Manual: UNDP/ UNDRO 1992) terdapat 9 komponen kerangka kerja strategis penangan bencana yang saling berhubungan, yakni: jajak kerentanan korban bencana, perencanaan, kerangka kerja institusional, sistem informasi, identifikasi sumber daya, sistem peringatan dini bencana (early warning system), mekanisme respon, pelatihan dan pendidikan publik, serta praktik langsung (rehearsal). Dalam setiap komponen itu, harus mempertimbangkan kebutuhan khas perempuan, seperti fasilitas dan perlindungan kesehatan reproduksi (pelayanan kesehatan ibu hamil dan Keluarga Berencana). Dengan melibatkan perempuan sejak tahap awal, maka perencana program dapat lebih mudah
23
Perempuan Bergerak | Edisi III|September - Desember 2008
PUSTAKARIA
akibat konstruksi masyarakat yang berdampak pada kemiskinan, marginalisasi secara politik, dan ketergantungan terhadap laki-laki. Oleh karena itu, dalam strategi pengentasan kemiskinan (termasuk akibat bencana), perempuan (juga sebagai kepala keluarga) harus menjadi perhatian utama.
PUSTAKARIA
mengintegrasikan gender dalam bantuan darurat dan program jangka panjang. Ada 8 prinsip-prinsip dasar program bantuan emergensi dan program pengembangan jangka panjang, yakni: (1) People-centredness; harus selalu berdasarkan bagaimana intervensi tersebut berdampak (bermanfaat) bagi kehidupan masyarakat korban; (2) Human rights; bantuan emergensi dan program pengembangan harus mempromosikan Hak Asasi Manusia (HAM) termasuk hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya; (3) Empowerment; perempuan dan laki-laki menjadi berdaya dan survive atas upaya mereka sendiri; (4) Partisipasi; partisipasi yang efektif berarti hak tiap orang untuk membuat keputusan atas hidup mereka. Program harus berupaya menguatkan kapasitas
orang untuk berpartisipasi aktif dalam perubahan social; (5) Interdependence; masyarakat bergantung pada relasi antara perempuan, laki-laki, dan anak yang memiliki kepentingan berbeda-beda serta faktor budaya, politik, dan ekonomi. Target intervensi harus berdampak tidak hanya pada sekelompok orang, tetapi juga bagi kehidupan dan kesejahteraan setiap orang yang berelasi dengan kelompok tersebut; (6) Perubahan; program harus mempertimbangkan tujuan perubahan sosial yang lebih luas; (7) Keberlanjutan; untuk keberlanjutan, proses perubahan harus mempromosikan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki; (8) Resiko; organisasi-organisasi yang bekerja di wilayah bencana berhadapan dengan tantangan merespon kebutuhan tanggap darurat yang harus dikerjakan dengan serba cepat dan mempertimbangkan resiko yang berdampak pada laki-laki serta perempuan. Dalam situasi bencana, bantuan cenderung diberikan dengan menggunakan pola dari atas ke bawah (top down), tanpa mendiskusikannya dengan masyarakat yang terkena dampak, dan secara khusus melihat kebutuhan gender. Hal ini mengakibatkan bantuan yang diberikan tidak tepat sasaran. Perempuan tidak memiliki akses untuk mendiskusikan kebutuhan mereka. Mereka jarang terlibat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan. Padahal masyarakat yang paling kena dampak bencana adalah perempuan dan anak-anak. Walaupun telah mempertimbangkan kebutuhan gender, namun dalam praktiknya tidak diperhitungkan. Sebagai contoh, UNHCR telah mengembangkan kebijakan
24
Perempuan Bergerak | Edisi III |September - Desember 2008
dan pedoman perlindungan untuk pengungsi perempuan, dan materi pelatihan untuk orangorang yang bekerja untuk pengungsi. Tetapi, perempuan di pengungsian masih mengalami pelecehan dan penganiayaan. Hal penting yang perlu dipahami yakni bagaimana bencana tak hanya berdampak pada peran reproduksi perempuan, tetapi juga posisi mereka sebagai ”produsen dan provider”. Dalam banyak studi kasus, perempuan kehilangan kemampuan untuk menghasilkan pendapatan. Mereka kuatir karena menganggur dan hanya menerima sedikit pendapatan. Hal yang menjadi masalah ialah ketika tidak ada dukungan laki-laki terhadap perempuan dalam mengelola rumah tangga dalam situasi bencana, seperti pengalaman di Afrika Selatan. Di Kenya, mekanisme distribusi pangan didesain untuk kelestarian praktik budaya dan mendukung perempuan dalam perannya sebagai penyedia makanan (food provider). Di Uganda, perempuan aktif terlibat dalam mendesain dan memelihara proyek emergensi air. Hal ini menunjukkan pentingnya pelatihan untuk perempuan dalam situasi emergensi dan normal. Di Zambia, penting sekali membangun hubungan dengan komunitas selama melaksanakan program pengembangan jangka panjang. Hal ini penting karena program bantuan dan pemulihan pembangunan sebaiknya didesain untuk membangun proses demokratisasi di tingkat akar rumput, di mana laki-laki dan perempuan memiliki peranan yang penting. Bencana adalah hal yang ekstrim dalam pengalaman hidup manusia di seluruh dunia. Buku ini dengan jelas menunjukkan bahwa pemahaman tentang relasi gender adalah hal yang fundamental dalam merespon bencana secara efektif. Suatu program penanggulangan bencana harus dievaluasi sehingga terlihat apakah posisi perempuan semakin meningkat atau hilang. (RH)
: : : : :
PUSTAKARIA
Judul Pemain Penerbit Executive Produser Durasi
Peugeot (Build) Ratna Fitri, Nurleli, Hendon Pekka Nani Zulminami 10 menit
Rumah Perempuan
F
ilm dokumenter ini berlatarbelakang kejadian gempa bumi dan tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004, dengan korban meninggal mencapai 172.161 orang, ribuan orang kehilangan rumah, harta benda dan sumber pendapatan lainnya. Diawali dengan kunjungan Ratna Fitri yang b e r t u g a s s e b a g a i p e k e r j a l a p a n g a n Pr o g r a m Pe m b e r d a y a a n Pe r e m p u a n Ke p a l a Ke l u a r g a (Pekka)) di barak pengungsi. Kemudian ia bertemu dengan pengurus kelompok untuk melihat langsung dan mendiskusikan tentang apa yang dibutuhkan ibu-ibu kelompok yang merupakan lanjutan musyawarah sebelumnya tentang kebutuhan perumahan. Juga ia menanyakan kebutuhan lain yang di perlukan, karena mereka selama ini tinggal di barak dan ternyata mereka sangat tidak menikmati hidupnya dengan wajar. Ratna Fitri menanyakan jika ada dana untuk membuat rumah, bagaimana mengelolanya? Ibu-ibu kelompok berkata: “…bahwa kita akan mendiskusikan dengan beberapa anggota kelompok dan pengurus kelompok”. Ratna Fitri dalam melakukan tugas ini dibantu oleh kader lokal dan pengurus kelompok lain yang bisa diajak bekerjasama dengan pengurus desa Lancang. Ke m u d i a n d i d i s k u s i k a n t e n t a n g b a g a i m a n a mengelola pengadaan rumah; siapa yang mengatur pengadaan barang atau material? Siapa yang akan mengatur pengawasan proyek? Siapa yang mencari tukang-tukang yang bisa diajak kerjasama dan dianggap jujur oleh ibu-ibu kelompok? Setelah ibu-ibu kelompok memperoleh tukangtukang bangunan yang mereka inginkan, mulailah mereka merencanakan besar luasnya rumah, yakni 6x7 m dan semi permanen. Mereka mengumpulkan data-data tentang apa yang dibutuhkan untuk membangun rumah, dengan menanyakan kepada tukang seperti berapa banyak kusen jendela yang di perlukan untuk rumah, berapa banyak batu bata yang di perlukan dan lainnya. Menurut Nurleli, yang merupakan kader lokal, banyak kendala yang terjadi dalam melakukan
tugas seperti pertanyaan kenapa pekerjaan ini diberikan kepada perempuan? Mengapa tidak diberikan kepada laki-laki, seperti pak Keuchik? Nurleli menjelaskan, bahwa itu milik perempuan. Dan dar Seknas Pekka mengatakan, bahwa rumah ini untuk perempuan dan bukan untuk laki-laki. Dengan demikian, ibu-ibu kelompok Pekka yang mengelola semua pengadaan material untuk pembangunan rumah, sedangkan aparat desa ingin semua pengadaan bahan untuk pembangunan rumah, mereka yang lakukan. Mereka tidak mempercayai perempuan yang selama ini tinggal di rumah dan mengurus rumah untuk melakukan proses ini. Ratna Fitri mengatakan: “…bahwa di sinilah kita belajar, jadi perempuan semua yang mengatur”. Selama ini, di Aceh penggunaan kayu untuk bahan bangunan lokal dilarang. Jadi, untuk menghindari pertanyaan aparat desa yang ada di kecamatan Jeunib, Ratna Fitri dan ibu-ibu kelompok memesan kayu untuk membangun rumah dari Pangkung atau dari penjualan kayu di desa di kecamatan Jeunib. Dalam film ini dikisahkan pula pengalaman salah satu ibu kelompok yang bernama Hendon, janda dengan lima yang anak tinggal di desa Lancang. Setelah suaminya meninggal dunia,
Bersambung hal. 31
25
Perempuan Bergerak | Edisi III|September - Desember 2008
PUSTAKARIA
Judul Pemain Penerbit Executive Produser Durasi
: : : : :
Beudeoeh Ratna Fitri, Aisyah Sabi, Iskandar, Erni Pekka Nani Zulminami 10 menit
Membangun Usaha Perempuan Korban Bencana Gempa bumi berkekuatan 8,9 Richter yang terjadi di Samudera Hindia menyapu bersih pasar Aceh. Lembagalembaga PBB dan keuangan ingin memberikan bantuan uang sebesar US $ 675 juta. Gelombang Tsunami menerpa sebagian kota Meulaboh. Sejak akhir tahun 2001, Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) dilaksanakan di 5 Kabupaten di Nanggoro Aceh Darussalam (NAD), yakni: Aceh Timur, Bireuen, Pidie, Aceh Besar, dan Aceh Barat Daya. Lebih dari 1000 perempuan kepala keluarga di wilayah ini telah mengorganisir dirinya, berjuang keras melawan kemiskinan akibat konflik yang berkepanjangan. Mereka mengembangkan berbagai kegiatan sosial dan ekonomi. Namun keganasan gempa tektonik dan Tsunami yang memporakporandakan Aceh pada 26 Desember 2004, telah merenggut 8 jiwa anggota Pekka, menghilangkan ratusan rumah mereka dan menghancurkan sumber penghidupan. Yang tersisa hanyalah semangat untuk kembali bangkit berjuang dalam ketidakpastian ini. Dan sebagian wilayah Pekka terkena dampak langsung bencana gempa tektonik dan tsunami ini. Dengan kejadian bencana ini, Pekka merasa perlu untuk melakukan assessment untuk melihat secara langsung kebutuhan dan juga memikirkan bagaimana proses bantuan untuk emergency dan pemulihan jangka panjang bisa dilakukan dengan lebih efektif dengan sumber daya yang terbatas. Setelah melihat langsung di lapangan, memang parah dampaknya
26
Perempuan Bergerak | Edisi III |September - Desember 2008
di banyak wilayah dan juga persoalan-persoalan muncul, seperti hilangnya seorang jiwa, kehilangan harta, benda seperti rumah, sumber kehidupan, usaha-usaha mereka seperti alat-alat produksi dan masyarakat. Ada desa yang rusak berat, sehingga penduduk desa tersebut kehilangan suatu sistem komunitasnya, khususnya untuk perempuan-perempuan yang menjadi kepala keluarga. Dalam menghadapi musibah itu, mereka benar-benar sendiri bersama anaknya. Perasaan kesedihan, kesendirian, dan trauma yang tidak dapat terbagi dengan orang lain, menjadi lebih berat secara psikologis untuk mereka. Mungkin ketika rumahnya masih ada, ketika harus membersihkan, menata kembali kerusakan-kerusakan yang mereka juga mengalami kesulitan karena anaknya masih kecil dan tidak ada orang yang membantu, persoalan ini tidak dialami oleh perempuan lain yang mempunyai suami dan mempunyai anggota keluarga lainnya. Di film ini, diceritakan pengalaman salah seorang ibu kelompok yang bernama Aisyah Sabi. Nani Zulminarni dari Pekka, yang bertugas di Aceh bertemu dengan Aisyah Sabi kira-kira 2 tahun lalu dan baru saja bergabung dengan Pekka. Aisyah seorang janda yang suaminya tertembak pada masa konflik dan tinggal dengan 2 orang anaknya. Anak pertamanya sudah SMP. Usaha Aisyah sehari-hari membuka warung di depan rumahnya yang terletak di daerah pinggir pantai. Sebelum tsunami, Aisyah memperoleh bantuan sebesar 4 juta dari program Pekka. Hasil pinjamannya dia belikan bahan-bahan usahanya, tetapi ketika tsunami datang semuanya tersapu habis, yang tersisa hanya sebotol lemon squash, dan rumah juga sudah rata dengan tanah. Aisyah menuturkan kejadian tersebut dan tidak tahu rencananya ke depan mau kemana? Mau pulang ke rumah sudah tidak ada lagi tempat tinggal. Yang ada, Aisyah kebingungan mau usaha apa lagi? “Anak
Bersambung ke hal. 31
LEMBAR ISIAN PEMBACA BULETIN PEREMPUAN BERGERAK
Gunting disini
Nama anda : Organisasi anda Alamat lengkap
: :
1.
Berapa sering Anda membaca bulletin Kalyanamitra sebelumnya?
2.
Apa nama bulletin Kalyanamitra sebelumnya? Apakah anda pernah berlangganan?
3.
Secara umum, bagaimana pendapat Anda mengenai bulletin Kalyanamitra ini?
4.
Informasi apa yang menurut Anda penting diperoleh dari bulletin Kalyanamitra?
5.
Menurut anda, apakah isu yang digarap dalam bulletin ini menarik dan aktual?
6.
Apakah bulletin ini benar-benar bermanfaat bagi Anda?
7.
Beri penilaian berikut: • keseluruhan isi: • keseluruhan layout dan desain: • panjang tiap artikel: • kemudahan konsep yang disampaikan: • keseluruhan ilustrasi/foto-foto:
8.
Menurut Anda, apa topik menarik ke depan yang perlu dibahas bulletin Perempuan Bergerak?
9. Berapa usia anda?
27
Perempuan Bergerak | Edisi III|September - Desember 2008
10. Dalam bidang apa lembaga Anda bergerak?
11. Apakah Anda ingin berlangganan?
Untuk kolom langganan, isilah formulir berikut: Nama Organisasi
:
:
Jumlah edisi dan eksemplar yang dibutuhkan
:
Ongkos cetak dikirimkan ke Bank BUKOPIN No. Rek: 0103034652 atas nama Rena Herdiyani
Harap lembar isian pembaca buletin Perempuan Bergerak ini dikembali ke alamat berikut: Kalyanamitra Jl. Kaca Jendela II No.9 Rawajati, Kalibata, Jakar ta 12750, Indonesia Atau Faksimili (021) 7902112
28
Perempuan Bergerak | Edisi III |September - Desember 2008
Gunting disini
Alamat lengkap :
PUISI PEREMPUAN
Bencana Gempa Bumi dan Gunung Merapi Mereka tak menduga mala petaka menimpa meratap pedih kehilangan segala yang mereka punya jiwa keluarga kerja sanak-keluarga harta benda? pabila ada seorang perempuan lari, tak sempat membawa yang ia miliki kecuali dalam pelukan gendongan seorang anak satu-satunya, bagai biji-mata ibu-bapak Kini tlah terjadi apa yang dipikiri penyembuhan diri penguatan hati pikir dulu hari ini Harapan ‘tuk Penguasa Negara bantuan dari beberapa negara yang tiba terima dengan tangan terbuka bijak - tepat - cepat pelaksanaan mulia tak pandang bulu
tak pandang suku tuk kepentingan mereka yang sedang pilu bagai diiris dengan sembilu Pabila mereka pulang ke kampung halaman anak-anak bisa bermain riang dengan harapan ada tempat berteduh ‘tuk hidup kerja mereka butuh Semoga Semua keluarga yang tertimpa musibah cepat sembuh jasmani - rohani tabahkan hati naluri anak ibu Pertiwi. (Inah, Assen--Belanda, dibacakan dalam acara Solidaritas Kemanusiaan Untuk Korban Bencana Alam di Amsterdam, 10 Juni 2006)
29
Perempuan Bergerak | Edisi III|September - Desember 2008
PUISI PEREMPUAN
S
Bencana Peradaban
ekali lagi bencana merenggut korban Setelah Tsunami, Banjir, Longsor serta semua letusan Perih hati melihat manusia bergelimpangan Peristiwa memilukan, derita yang tak kunjung terbalaskan Tuhan, Apakah benar bencana adalah azab dari kenistaan kami serta cobaan tanpa henti Apakah benar bangsa ini memang sudah lama berpaling darimu dan penuh dengki Mengapa selalu korban terbanyak adalah kami yang tak berpunya dan merana Mengapa selalu saja pihak yang disalahkan rakyat yang tak bertahta dan tak berdosa
antek militerisi berlagak polisi Pengamanan, Diriku selalu ingin bertanya pada dirimu yang tegap dan bersenjata lengkap Kegiatan bisnis, berpolitik, membuat konflik dan melanggar HAM dianggap sebagai peran Darimu aku menduga banyak darah tumpah dalam sejarah yang tak terungkap Kendati kerap saja kalian selalu merasa berasal dari rakyat dan mengaku para pahlawan, akhirnya jadi nama jalan
Pemimpin, Setelah kau ku pilih tak pernah lagi merealisasikan janji Saat ku membutuhkanmu kau tak pernah mau peduli Ketika kami hanya berharap padamu, dirimu laksana besi jeruji Kesangsian salah memilihmu hilang saat 5 tahun lagi kembali kau berlagak suci
Agamawan, Kalian hamba Tuhan yang kami segani Kumpulan merpati yang suka peduli pada kami Tetapi merasa ikut memecahkan masalah dengan tampil di tivi Tentu juga suka mendekatkan diri dengan penguasa dan jadi alat pelegitimasi Pemodal Global tanpa akhiran -an, Tak pernah ku duga badanmu begitu menggurita Tak juga ku sangka tentakelmu mampu menghisap jiwa manusia Seluruh budaya dan nafas alam ini telah kau rasuki gayamu melalui nilai-nilai Semua kehidupan sudah kau kuasai dan kami pun mempercayai
Dewan, Kalian berlagak sebagai penyelamat namun ternyata hewan Kami kau wakili berlagak teman ternyata untuk kolusi menikmati korupsi Meski kami selalu kau selingkuhi dan sakiti tak pernah sedikit berani kami melawan Memaafkan diri kami sendiri salah mempercayai dianggap sebagai langkah terpuji
Teman, Apakah memang hidup ini tidak adil sekali dan penuh kreasi basi Apakah keserakahan dan nafsu amarah menjadi prioritas tertinggi Mengapa penghisapan, penindasan dan eksploitasi dianggap ekspresi manusiawi Mengapa akhirnya kami hanya menjadi kuli di negeri sendiri
Peradilan, Rasa cemas melihat berbagai kasus kau masukkan di peti kemas Tanpa sekalipun daku melihat keadilan telah ditegakkan Ragam kepalsuan kau tampilkan agar tampak beres Tapi kebusukan tubuh dan hatimu telah kau kembangbiakkan
Kawan, Bangsa ini katanya sabar walau menderita penyakit sektarian yang parah dan kronis Nusantara ini sumber dayanya kau biarkan dirampas tanpa kompensasi dan sudah mulai habis Keberagaman kami ditelan sadis budaya kapitalis dan sudah terkikis Kebersamaan dan toleransi tak lagi digubris oleh ciri individualistis, kami pun akhirnya jadi pengemis
Preman, Sudah kau tunjukkan bahwa kau memang berani dan memiliki nyali Mewakili ikatan primordialis, agamis, seksis, rasis, dan memang fasis Siapa saja yang memiliki nurani kau habisi dengan dalil illahi Melindungi yang membeli, menjadi milisi dan
30
Perempuan Bergerak | Edisi III |September - Desember 2008
(Dhant, 9 Juni 2006) (IH)
Sambungan dari hal. 25 ia membuat usaha garam yang semuanya rusak terkena gempa bumi dan tsunami. Selang waktu dua bulan, ia tidak membuat garam lagi. Penduduk di desa Lancang rata-rata adalah petani garam. Dua minggu setelah gempa bumi dan tsunami, mereka memulai lagi membuat rumah garam. Beberapa ibu kelompok Pekka memperoleh modal usaha dengan jumlah sekitar Rp 250.000300.000 untuk memulai membuat rumah garam dan membeli kayu untuk bahan bakar garam. Hendon bercerita semua rumah dan harta benda hilang dan habis tersapu oleh tsunami, termasuk rumahnya yang hancur kena gempa bumi. Dia menjelaskan keinginannya untuk membuat rumah di tempat sebelumnya. Masih tersisa barangbarang di dalamnya yang kemudian dicuci dan di
keringkan .Ketika ada kabar tentang pembangunan kembali rumah yang telah hancur, Hendon senang mendengarnya. Selain Hendon, ada Mursidah, Maryani, Suryani yang merupakan sebagian dari anggota kelompok, yang juga mengungkapkan terima kasih dan rasa senang atas pembangunan kembali rumah mereka yang telah hancur. Ibu-ibu kelompok Pekka ingin membuktikan bahwa perempuan mampu membuat rumah dan mengumpulkan barang-barang untuk membuat rumah. Tidak seperti yang dikatakan laki-laki selama ini, bahwa perempuan tidak bisa apa-apa. (NE)
Sambungan dari hal. 26 saya minta jajan, ingin sekolah tapi tidak ada baju sekolah”, tuturnya. Keinginannya kalau membuka kedai di tempat adiknya karena Aisyah hanya berpikir bagaimana dia harus bertahan hidup kembali. Untuk membuat warungnya, Aisyah pagi-pagi sehabis sembahyang rajin mengumpulkan kayu-kayu sisa yang berada di sekitar rumahnya. Untuk masalah pendidikan, perlu perhatian khusus. Dengan kejadian gempa bumi dan tsunami, anakanak sekarang terbengkalai karena tidak bisa bersekolah akibat keperluan sekolah hilang dan proses belajar mengajar yang tidak dapat terjadi karena sekolah rusak dan guru-guru meninggal. Ikhsan seorang pelajar menginginkan fasilitas sekolah ada seperti dulu agar belajar lancar tidak terhambat. Seorang Kepala Sekolah SMUN 1 Lambang Tanjung Aceh, Bapak Iskandar, menghimbau kepada semua siswa untuk belajar seperti biasa. Bantuan yang diusahakan saat ini adalah atribut sekolah dan perangkat-perangkat sekolah, seperti buku, baju, dan lain-lain untuk sementara diabaikan dulu. Dan akan mencari solusi yang terbaik untuk memberikan bantuan pada siswa-siswa yang masih bersekolah di sini. Pekka melihat begitu banyak bantuan ke Banda Aceh, khususnya di Bandara sampai ribuan ton yang tertumpuk di sana, tapi masyarakat, kelompok maupun individu ada yang mengambil bantuannya sendiri ada juga yang diantar langsung ketempat para korban tsunami. Tapi pembagian bantuan tersebut tidak tersebar rata ke daerah-daerah yang terkena bencana seperti orang-orang yang mengungsi di rumah-rumah mereka tidak mendapatkan bantuan, padahal yang mereka tampung adalah saudaranya sendiri. Dengan kejadian gempa bumi dan tsunami harus ada proses untuk mengatasi trauma, rasa takut, kesedihan yang mendalam, rasa kesendirian dengan mulai memberikan informasi-informasi yang benar tentang bencana ini karena yang terjadi sekarang informasi yang diperoleh tidak berkaitan langsung dengan fenomena alam, namun yang kita lihat lebih dari hukuman yang diberikan dari Tuhan atas segala kesalahan mereka. Tetapi, dengan adanya banyak bimbingan rohani rasa takut mereka hilang. Pekka menaruh harapan besar pada mereka untuk menjadi motor dalam melakukan program rehabilitasi di wilayah masing-masing. Karena mereka sudah berpengalaman mengelola sendiri usahanya, dengan sumber daya sedikit. Dengan banyak orang dikelompoknya, melalui usaha simpan pinjam, melalui pengelolaan bantuan langsung masyarakat, mereka bisa dipercaya selama ini dengan adanya sistem transparansi yang berkembang di kelompok, dan dengan sistem pencatatan serta pertanggungjawabannya. (RK)
31
Perempuan Bergerak | Edisi III|September - Desember 2008
Menggugat Negara Dalam Penanggulangan Bencana 32
Perempuan Bergerak | Edisi III |September - Desember 2008