PERDAGANG KAKI LIMA SEBAGAI DAMPAK SOSIAL DARI PENINGKATAN JUMLAH PENGANGGURAN DI KOTA BOGOR
SURIATMI
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) SEBAGAI DAMPAK SOSIAL DARI PENINGKATAN JUMLAH PENGANGGURAN DI KOTA BOGOR
ABSTRACT: Street trading one of the informal business form Pasar Anyar, Pasar Merdeka, Pasar Jambu Dua and Pasar Bogor. Research into this show management and operation of PKL that all. Also identify economic crisis impact existence of them whereas their business that all two aspects moreover, research into this also discuss the effort some organization enforce this PKL economic crisis. Research into to entangle 200 PKL use interview to fill Questionnaire. Method analyzes data cover, analysis of regression, correlation, t-test, and descriptive analysis. Result research into this show economic crisis impact can influence existence of business of PKL. This Symptom prove from result survive, even below/under condition of crisis. Strength of Effort for PKL town of Bogor become alternative of effort without existence of construction so that PKL look dirty and do not in control. Pendahuluan Dualisme kota dan desa yang terdapat di Indonesia, seperti negara-negara berkembang lainnya telah mengakibatkan munculnya sektor formal dan sektor informal dalam kegiatan perekonomian. Urbanisasi sebagai gejala yang sangat menonjol di Indonesia, tidak hanya mendatangkan hal-hal positif, tetapi juga hal-hal negatif. Sebagian para urban telah tertampung di sektor formal, namun sebagian urban lainnya tanpa bekal ketrampilan yang dibutuhkan di kota tidak dapat tertampung dalam lapangan kerja formal yang tersedia. Para urban yang tidak tertampung di sektor formal pada umumnya tetap berstatus mencari pekerjaan dan melakukan pekerjaan apa saja untuk menopang hidupnya. Sektor informal muncul dalam kegiatan perdagangan yang bersifat kompleks oleh karena menyangkut jenis barang, tata ruang, dan waktu. Berkebalikan dengan sektor formal yang umumnya menggunakan teknologi maju, bersifat padat modal, dan mendapat perlindungan pemerintah, sektor informal lebih banyak ditangani oleh masyarakat golongan bawah. Sektor informal dikenal juga dengan 'ekonomi bawah tanah' (underground economy). Sektor ini diartikan sebagai unit-unit usaha yang tidak atau sedikit sekali menerima proteksi ekonomi secara resmi dari pemerintah (Hidayat, 1978). Sektor informal ini umumnya berupa usaha berskala kecil, dengan modal, ruang lingkup, dan pengembangan yang terbatas. Sektor informal sering dijadikan kambing hitam dari penyebab 'kesemrawutan lalu lintas' maupun 'tidak bersihnya lingkungan'. Meskipun demikian sektor informal sangat membantu kepentingan masyarakat dalam menyediakan lapangan pekerjaan dengan penyerapan tenaga kerja secara mandiri atau menjadi safety belt bagi tenaga kerja yang memasuki pasar kerja, selain untuk menyediakan kebutuhan masyarakat golongan menengah ke bawah. Pada umumnya sektor informal sering dianggap lebih mampu bertahan hidup 'survive' dibandingkan sektor usaha yang lain. Hal tersebut dapat terjadi karena sektor informal relatif lebih independent atau tidak tergantung pada pihak lain, khususnya menyangkut permodalan dan lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan usahanya. Dalam situasi krisis ekonomi dewasa ini, setiap usaha di sektor informal dituntut memiliki daya adaptasi yang tinggi secara cepat dan usaha antisipasi perkembangan dalam
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005 lingkungan usaha agar usaha di sektor informal tersebut dapat bertahan dalam keadaan yang sulit sekalipun. Di balik era perubahan yang terus-menerus terjadi, tentunya ada peluang usaha yang dapat dimanfaatkan secara lebih optimal. Dalam hal ini usaha di sektor informal diharapkan mampu mengidentifikasi peluang yang muncul akibat adanya perubahan tersebut. Kerangka Pemikiran PKL termasuk persoalan serius dan komplek, pemerintah kota dituntut harus mampu membuat konsep penanganan PKL (PKL). Permasalahan mengenai PKL mungkin dapat diatasi dengan lahan alternatif yang lebih ramai pengunjungnya, bisa mencontoh PKL di kota bandung yang sudah tertata dengan baik seperti dikawasan: Cihampelas, Cibaduyut, Kepatihan, Cikapundung dan pasar baru yang meyediakan beragam produk. Pengangguran
PKL
• • •
Kemacetan Lalu Lintas Menggangu Pejalan Kaki Mengurangi Keindahan Kota
•
•
• •
Memberi pelayanan dan kesejahteraan kepada masyarakat kelas menengah kebawah Mengurangi Tingkat Pengangguran
Menyediakan lahan alternatif yang ramai Pembinaan PKL menjadi Obyek Wisata
= Dampak Negatif = Dampak Positif = Solusi Gambar 1 : Kerangka Pemikiran Latar Belakang PKL PKL (street trading/street hawker) adalah salah satu usaha dalam perdagangan dan salah satu wujud sektor informal. PKL adalah orang yang dengan modal yang relatif sedikit berusaha di bidang produksi dan penjualan barang-barang (jasa-jasa) untuk memenuhi kebutuhan kelompok tertentu di dalam masyarakat, usaha tersebut dilaksanakan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
2
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005 pada tempat-tempat yang dianggap strategis dalam suasana lingkungan yang informal (Winardi dalam Haryono, 1989). PKL pada umumnya adalah self-employed, artinya mayoritas PKL hanya terdiri dari satu tenaga kerja. Modal yang dimiliki relatif tidak terlalu besar, dan terbagi atas modal tetap, berupa peralatan, dan modal kerja. Dana tersebut jarang sekali dipenuhi dari lembaga keuangan resmi, biasanya berasal dari sumber dana illegal atau dari supplier yang memasok barang dagangan. Sedangkan sumber dana yang berasal dari tabungan sendiri sangat sedikit. Ini berarti hanya sedikit dari mereka yang dapat menyisihkan hasil usahanya, dikarenakan rendahnya tingkat keuntungan dan cara pengelolaan uang. Sehingga kemungkinan untuk mengadakan investasi modal maupun ekspansi usaha sangat kecil (Hidayat, 1978). Mereka yang masuk dalam kategori PKL ini mayoritas berada dalam usia kerja utama (prime-age) (Soemadi, 1993). Tingkat pendidikan yang rendah dan tidak adanya keahlian tertentu menyebabkan mereka sulit menembus sektor formal. Bidang informal berupa PKL menjadi satu-satunya pilihan untuk tetap mempertahankan hidup. Walaupun upah yang diterima dari usaha PKL ini di bawah tingkat minimum, tapi masih jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaan mereka di tempat asalnya. Lokasi PKL sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan kelangsungan usaha para PKL, yang pada gilirannya akan mempengaruhi pula volume penjualan dan tingkat keuntungan. Secara garis besar kesulitan yang dihadapi oleh para PKL berkisar antara peraturan pemerintah mengenai penataan PKL belum bersifat membangun/konstruktif, kekurangan modal, kekurangan fasilitas pemasaran, dan belum adanya bantuan kredit (Hidayat, 1978). Dalam praktek, PKL sering menawarkan barang-barang dan jasa dengan harga bersaing atau bahkan relatif tinggi, bahkan terkesan menjurus ke arah penipuan. Hal ini tentu saja menimbulkan citra yang negatif tentang PKL. Adanya tawar-menawar (bargaining) antara penjual dan pembeli inilah yang menjadikan situasi unik dalam usaha PKL. Pada umumnya PKL kurang memperhatikan masalah lingkungan dan faktor hygiene sebagai produk sampingan yang negatif. Masalah lingkungan berkaitan erat dengan kepadatan, misalnya kepadatan lalu lintas maupun kepadatan tempat. Permasalahan Bertitik tolak dari uraian di atas, penelitian ini mencoba meneliti hal-hal yang berhubungan dengan aspek manajemen dan aspek pengelolaan modal pada PKL di Kota Bogor sebagai salah satu bentuk usaha sektor informal. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Bagaimana manajemen usaha yang dilakukan oleh PKL di Kota Bogor? (2) Bagaimanakah kondisi PKL di kota bogor? (3) Bagaimanakah jumlah PKL dapat meningkatkan jumlah PKL di kota bogor? Tujuan Penelitian Dalam penelitian ini mempunyai tujuan utama, yaitu: (1) Manajemen usaha PKL, (2) Mengetahui kondisi PKL dikota bogor. Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
3
(3)
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005 Mengetahui jumlah pengangguran dapat pengaruh pada peningkatan jumlah pedagang kaki di kota bogor.
Penelitian survei ini menggunakan kuisioner yang diisi melalui wawancara kepada 200 PKL yang berdagang di Kota Bogor sebagai responden penelitian. Metode analisis data yang digunakan adalah metode persentase, pengujian perbedaan dengan metode regresi dan korelasi dan uji-t untuk melihat ada atau tidaknya dampak krisis ekonomi terhadap manajemen usaha dan pengelolaan modal usaha ditinjau dari berbagai aspek. A. Manajemen Usaha PKL Kota Bogor Manajemen usaha PKL mencakup asal barang dagangan, penentu harga barang dagangan, kelayakan harga barang dagangan, sikap terhadap pembeli, pengelolaan hasil usaha, waktu berjualan sekarang. Sedangkan pengelolaan modal usaha PKL mencakup sumber modal usaha, asal modal usaha, jumlah modal usaha awal, taksiran nilai barang dagangan dan peralatan, pendapatan bersih rata-rata per bulan, banyaknya kebutuhan dari penggunaan pendapatan bersih rata-rata per bulan, dan hambatan pengelolaan modal usaha. Asal barang dagangan yang diperdagangkan oleh PKL di Kota Bogor sebagian besar membeli dari orang lain dan adanya pemasok tetap. Harga barang dagangan sebagian besar ditentukan oleh penjual, berarti penjual masih mempunyai 'kekuatan' dalam manajemen usahanya, khususnya menyangkut penentuan harga jual. Namun demikian penentu harga barang dagangan berikutnya adalah penjual dan pembeli. Dalam hal ini harga ditentukan melalui proses tawar-menawar di antara kedua belah pihak, sampai tercapai harga keseimbangan (equilibrium) yang disepakati keduanya. Tawar-menawar di antara penjual dan pembeli merupakan ciri relasi yang khas dalam usaha perdagangan para PKL. Tabel 1 Keadaan PKL Kota Bogor tahun 2005 No 1
2 3
4
Keterangan Jumlah Modal Awal Rp. 1.600.000,Rp. 1.500.000,Rp. 1.300.000,Rp. 1.200.000,Rp. 1.000.000,Sumber Permodalan Modal Sendiri Modal Patungan Jml Tenaga Kerja 2 orang 3 orang lebih dari tiga Pendapatan Perhari Rp. 300.000,Rp. 250.000,Rp. 230.000,Rp. 200.000,-
PKL Jl. Merdeka (dalam %)
PKL Psr Bogor (dalam %)
PKL Psr Anyar (dalam %)
PKL Wrg Jambu (dalam %)
Rata – Rata (dalam %)
69 14 17
66 34 -
59 27 14
76 24% -
14,75 59,5 3,5 14,5 7,75
77 23
74 26
79 21
80 20
77,5 22.,5
27 73 -
40 60 -
60 40 -
31 56 13
39,5 57,25 3,25
100 -
57 32 11
49 35 16
63 37
12,25 63,75 8 16
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
4
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005 5
6
7
8
Asal Daerah Kota Bogor Kab. Bogor Lainnya Waktu Berjualan 1-3 hari 4 hari 5 hari 6 hari 7 hari Rendidikan Terakhir SD Kebawah SLTP SLTA Perguruan Tinggi Alasan Jadi PKL Terpaksa/menganggur Suka
56 31 13
73 13 14
48 23 29
61 27 12
59,5 23,5 17
33 17 44 6 -
35 17 48
100
31 42 27
8,25 20,75 11 16,25 43,75
12 23 60 5
13 20 62 5
17 28 46 9
10 28 48 14
13 24,75 54 8,25
100 -
100 -
100 -
100 -
100 -
Sumber : Hasil Wawancara dengan PKL Juli 2005 di Kota Bogor
Harga barang dagangan yang berlaku saat ini masih dianggap layak. Kelayakan harga jual barang dagangan ini menjadi faktor penting bagi PKL untuk tetap bertahan dalam pekerjaan tersebut. Meskipun demikian tidak tertutup kemungkinan harga yang diberikan kepada pembeli terlalu tinggi, sehingga terkesan menipu pembeli. Hasil usaha pada umumnya dikelola sendiri (self-employed), cukup dengan satu orang tenaga kerja, artinya PKL cenderung tidak tergantung pada bantuan pihak lain. Kemandirian PKL ini sebenarnya salah satu ciri sektor informal di perkotaan. Hanya sebagian kecil hasil usaha yang dikelola bersama orang lain. Bukti di lapangan ini menunjukkan PKL menunjukkan sifat-sifat khas "one-man enterprise" dan "family enterprise". Dari data tersebut dapat dilihat pengaruh PKL terhadap kenaikan jumlah PKL di Kota Bogor dari 200 responden yang diteliti, alasan mereka menjadi pedagang kaki lima karena tidak memiliki pekerjaan lain atau menganggur. Jumlah modal awal yang dimiliki para PKL relatif kecil yaitu berkisar antara Rp. 1.000.000 hingga Rp. 1.600.000 dan umumnya berupa modal sendiri dengan pendapatan perharinya rata-rata Rp. 250.000. Latar belakang pendidikan para PKL juga bervariasi. Namun lebih banyak yang berpendidikan Lanjutan Atas (SLTA). Selain itu diketahui bahwa dari hasil penelitian dilapangan sebagian besar PKL berasal dari wilayah Bogor. Modal yang relatif kecil dan keuntungan yang lumayan menjadi salah satu faktor pendorong bagi banyak orang untuk menggeluti sektor ekonomi informal PKL. Terlepas dari pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh adanya PKL, peran serta sektor informal ini terhadap masalah ketenagakerjaan sangat membantu Pemerintah Daerah kota Bogor dalam menanggulangi tingkat pengangguran. Dari Hasil wawancara dengan pihak Dinas Tenaga Kerja Bogor, umumnya mereka setuju dengan keberadaan PKL, menurut mereka PKL bukan untuk digusur tetapi harus dibina dan diarahkan.. Dari data tersebut di ketahui bahwa PKL merupakan tenaga kerja terdidik. Ini membuktikan bahwa PKL yang berpendidikan menengah keatas akan tetapi pada saat angkatan kerja terdidik meningkat lapangan kerja masih didominasi sektor ekonomi Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur 5
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005 yang tidak membutuhkan tenaga kerja terdidik. Hal ini menjadi masukan bagi pemerintah kota Bogor untuk menata dan membina PKL menjadi wadah perekonomian yang sehat dan meningkatkan pedapatan daerah sekaligus menjadi objek wisata bagi kota Bogor. B. Kondisi Pengangguran di Kota Bogor Minimnya sektor ekonomi formal yang mampu menampung tenaga kerja mengakibatkan PKL dari tahun ke tahun semakin tinggi.
Tabel 3 Kondisi pengangguran Kota Bogor No 1 2 3 4 5
Tahun
Jumlah Pengangguran
SD
2000 2001 2002 2003 2004
4.353 1299 4.840 1410 5.267 1391 5.851 1331 11.410 2088 ∑ 31.721 7519 Rata-rata 6.344,20 1503,8 Sumber : Dinas kependudukan Kota Bogor
SLTP
SLTA
1325 1459 1624 1951 3248 9607 1921,9
1578 1685 1855 2017 4864 11999 2399,8
Akademi/ Perguruan Tinggi 151 286 397 553 1210 2597 519,4
X2
Y2
XY
18,948,609 23,425,600 27,741,289 34,234,201 130,188,100 234,537,799
35,046,400 40,195,600 72,590,400 107,122,500 252,810,000 507,764,900
25,769,760 30,685,600 44,874,840 60,557,850 181,419,000 343,307,050
Tabel 4 Pembantu untuk perhitungan Regresi dan Korelasi Tahun
Pengangguran (X)
2000 4.353 2001 4.840 2002 5.267 2003 5.851 2004 11.410 Jumlah 31.721 Sumber : data diolah
Pedagang Kaki Lima (Y) 5.920 6340 8.520 10.350 15.900 47.030
C. Pengaruh jumlah pengangguran terhadap peningkatan jumlah PKL Dari tabel diatas dapat digunakan sebagin koefisien variabel yang akan penulis korelasikan antara variabel pengangguran (X) dan variabel PKL (Y) untuk mengetahui sejauhmana peranan kedua variabel saling mempengaruhi, diolah dengan menggunakan analisa Regresi Linier Sederhana dan Koefisien Korelasi Produk Moment (Pearson) untuk menguji ada tidaknya hubungan antara kedua variabel. Rumus yang digunakan apabila dilakukan secara manual adalah sebagai berikut: Analisis Regresi Linier Sederhana Y = a + bX Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
6
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005 Keterangan: X a b Y
: Variabel independen (pengangguran) : Konstanta : Koefisien Regresi : Variabel dependen (PKL)
Selanjutnya dipergunakan rumus Korelasi Produk Moment (Pearson) dimana perhitungan korelasi adalah sebagai berikut: r=
n.∑ XY − (∑ X )(∑ Y )
(n.(∑ X
2
)(
− (∑ X ) n.∑ Y 2 − (∑ Y ) 2
2
)
Berdasarkan variabel yang dibutuhkan dalam menghitung regreasi dan korelasi tersebut dapat penulis diskriptifkan pada tabel dibawah ini pengangguran dapat berpengaruh pada meningkatnya jumlah PKL. Diduga adanya hubungan yang kuat dan signifikan. Adapun pengolahan data hasil kuisioner kedua variabel dengan mengunakan pengolahan data SPSS Versi 12 adalah sebagai berikut: Descriptive Statistics
Pengangguran
N 5
Minimum 4353.00
Maximum 11410.00
Mean 6344.2000
Std. Deviation 2885.02300
PKL
5
5920.00
15900.00
9406.0000
4043.53558
Valid N (listwise)
5 Correlations Pengangguran
Pengangguran
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
PKL
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
PKL
1
.963(**)
.
.008
5
5
.963(**)
1
.008
.
5
5
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Model Summary Adjusted R Square R R Square .963(a) .927 .903 a Predictors: (Constant), Pengangguran
Model 1
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
Std. Error of the Estimate 1257.22200
7
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005 ANOVA (b)
Model 1
Sum of Squares 60658898.559
1
Mean Square 60658898.559
4741821.441
3
1580607.147
Total 65400720.000 a Predictors: (Constant), Pengangguran b Dependent Variable: PKL
4
Regression Residual
df
F 38.377
Sig. .008(a)
Coefficients (a) Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients t
1
(Constant) Pengangguran
B 842.627
Std. Error 1492.293
1.350
.218
Sig.
Beta .963
.565
.612
6.195
.008
a Dependent Variable: PKL
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan metode regresi dan korelasi menurut Produk Moment (Pearson) dengan menggunakan SPSS versi 12 maka diketahui persamaan regresi yaitu Y = 842,627+1,350X hubungan pengangguran dengan jumlah PKL, dengan menggunakan α = 0,05 dan sampel yang diambil (n = 200). Maka diperoleh hasil r hitung = 0,963 sedangkan r tabel = 0,138; jadi r hitung < r tabel (0,963 > 0,281), diputuskan bahwa H1 diterima. Dengan Demikian maka terdapat suatu korelasi positif yang sangat kuat antara pengangguran dengan jumlah PKL, dan tingkat signifikan dimana thitung > ttabel (6,195 > 1,96). Dengan hasil tersebut pengangguran berpengaruh yang signifikan pada peningkatan jumlah PKL. Upaya pemberdayaan PKL di Kota Bogor pada masa krisis ekonomi kurang mampu dilakukan, sehingga keterlibatan pihak-pihak terkait diperlukan dalam mengantisipasi dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pembinaan manajemen usaha dan pengelolaan modal, seperti strategi penetapan harga barang dagangan, strategi menjual produk, dan kiat-kiat pendanaan usaha. Akses ke lembaga-lembaga keuangan dapat pula diupayakan untuk membantu PKL yang mengalami kesulitan permodalan usaha, atau mencari terobosanterobosan baru untuk mendapatkan sumber pendanaan untuk mengembangkan usaha, seperti dana Jaringan Pengaman Sosial (JPS). Pada akhirnya diperlukan pendekatan yang lebih manusiawi dalam mengatur keberadaan PKL di Kota Bogor, mengingat pekerjaan PKL dapat menjadi safety belt karena kemampuannya dalam penyediaan lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja yang tidak tertampung di sektor formal.
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
8
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005 Referensi Handoyo, (1989). Manajemen Modal Kerja, Yogyakarta, Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Hidayat, (1978). "Peranan Sektor Informal dalam Perekonomian Indonesia", Ekonomi
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
9