BAB V KARAKTERISTIK DAN PERMASALAHAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BOGOR
Ekonomi informal mengalami pertumbuhan sangat cepat di negara-negara berkembang dan semakin menarik perhatian akademisi, peneliti, aktivis pembangunan sosial dan perencana kebijakan. Secara umum diyakini bahwa pertumbuhan yang cepat pada sektor ini dipengaruhi oleh meningkatnya pengangguran di negara berkembang. Menurut ILO (2004), terbatasnya pekerjaan sektor formal dan terbatasnya keterampilan menyebabkan pertumbuhan sektor informal. Sektor informal terdiri dari aktivitas usaha skala kecil yang sebagian besar belum mendapatkan pengakuan, tidak tercatat dan tidak teregulasi, termasuk usaha kecil, usaha rumah tangga, sektor wiraswasta seperti PKL, pembersih, penyemir sepatu, pedagang asongan, penjaja makanan, dan lain sebagainya. Mengingat luasnya jenis usaha sektor informal, kajian terhadap semua jenis usaha sektor ini tentunya banyak membutuhkan waktu, biaya, dan tenaga. Untuk mendapatkan pemahaman lebih mendalam pada sektor ini, maka penelitian difokuskan pada jenis usaha PKL.
PKL merupakan jenis usaha yang umum
ditemukan pada sektor informal di kota, karena usaha ini relatif paling mudah dimasuki serta berhadapan langsung dengan kebijakan perkotaan. Aktivitas usaha PKL sangat beragam sehingga penelitian menyeluruh terhadap aktivitas PKL akan sangat kompleks, membutuhkan waktu, biaya, dan tenaga yang tidak sedikit.
Dengan pertimbangan ini, penelitian ini hanya
membahas tiga tipologi PKL yang umum ditemukan di kota Bogor yaitu pasar tumpah, pasar sayur malam, dan pasar kuliner. Namun demikian, karena aktivitas PKL juga berhubungan dengan sektor formal maka penelitian ini juga mengambil data pemasok dan pesaing bagi usaha PKL.
Pemasok dan pesaing umumnya adalah sektor formal berupa toko,
distributor atau pasar formal yang memasok kebutuhan barang dagangan PKL. Data dari pemasok digunakan untuk mengetahui pengaruh PKL terhadap rantai pasokan distribusi barang dan jasa, sedangkan data pesaing digunakan untuk
126
mengetahui kompetisi dengan usaha sejenis. Aktivitas PKL juga berhubungan dengan masyarakat sekitar sehingga penelitian ini juga menggunakan masyarakat sebagai responden untuk mengetahui persepsinya terhadap keberadaan PKL. 5.1. Distribusi Sampel dan Tipologi PKL Total responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah 180 responden yang terdiri dari 120 responden untuk pelaku PKL, 9 responden pesaing, 6 responden pemasok, dan 45 responden masyarakat sekitar.
Distribusi lokasi
pengambilan sampel penelitian (B11) disajikan pada Tabel 44. Tabel. 44. Distribusi Lokasi Pengambilan Sampel PKL No.
Lokasi
Responden
Persen
1.
Dewi Sartika
20
16,67
2.
Jembatan merah
2
1,67
3.
Mantarena
1
0,83
4.
Merdeka
35
29,17
5.
MA Salmun
6
5,00
7.
Pasar Bogor
3
2,50
8.
Pasar Anyar
25
20,83
9.
Pajajaran
2
1,67
10.
Pengadilan
1
0,83
11.
Surya Kencana
24
20,00
12.
Veteran
1
0,83
120
100
Total Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Data pada Tabel 44 menunjukkan bahwa mayoritas sampel diambil di tiga lokasi utama konsentrasi PKL sesuai dengan tipologi yang dikaji yaitu di Dewi Sartika (16,67 %), Merdeka (29,17 %) dan Pasar Anyar (20,83 %). Lokasi lain pada umumnya terdapat di sekitar ketiga lokasi utama tersebut, kecuali Jalan Pajajaran yang merupakan jalan utama di kota Bogor.
Responden di Jalan
Pajajaran nampak agak terpisah dilihat dari posisinya terhadap tiga lokasi konsentrasi. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa PKL bukan hanya terdapat di lokasi-lokasi khusus tetapi juga di lokasi-lokasi lainnya.
127
Berdasarkan tipologi PKL yang digunakan sebagai responden (B7), jumlah responden untuk tiap tipologi adalah 40 responden sehingga totalnya adalah 120 responden. Data mengenai pengelompokan tipologi ditunjukkan pada Tabel 45. Tabel 45 Tipologi Jenis Usaha PKL No.
Tipologi Jenis Usaha
Jumlah
Persen
1.
Pasar tumpah
40
33,33
2.
Pasar sayur mayur malam
40
33,33
3.
Usaha kuliner
40
33,33
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Menurut Mc. Gee dan Yeung (1977), jenis dagangan PKL sangat dipengaruhi oleh aktivitas yang ada di sekitar kawasan di mana PKL tersebut beraktivitas. Misalnya di suatu kawasan perdagangan, maka jenis dagangan yang ditawarkan akan beranekaragam, bisa berupa makanan/minuman, barang kelontong, pakaian, dan lain-lain. 5.2. Karakteristik Demografis Analisis demografis dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai karakteristik responden pelaku PKL. Analisis ini mencakup jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, pengeluaran per bulan, dan pekerjaan. Analisis ini berguna untuk mengetahui trend demografis pelaku PKL saat ini. 5.2.1. Jenis Kelamin (A3) Hasil perhitungan analisis demografis untuk jenis kelamin responden disajikan pada Tabel 46 yang menunjukkan bahwa responden yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 91,67 % (110 responden) sedangkan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 8,33 % (10 responden). Tabel 46. Jenis Kelamin Responden No. 1. Laki-laki 2.
Jenis Kelamin
Jumlah 110
Persen 91,67
Perempuan
10
8,33
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
128
Hasil ini nampak wajar mengingat bahwa pada umumnya laki-laki adalah kepala keluarga yang bertanggung jawab memberi nafkah keluarga. Perempuan yang bekerja sebagai PKL lebih bersifat membantu suami dalam mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. Dominasi responden berjenis kelamin laki-laki juga ditunjukkan pada ketiga tipologi PKL. Hasil analisis pada Tabel 47 menunjukkan bahwa responden lakilaki mendominasi setiap tipologi dibandingkan perempuan. Mayoritas responden pasar tumpah (90,00 %), pasar sayur malam (95,00 %), dan pasar kuliner (90,00 %) adalah laki-laki. Tabel 47. Jenis Kelamin Responden Menurut Tipologi Pasar Tumpah
Pasar Sayur Malam
Pasar Kuliner
Jenis Kelamin
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
1.
Laki-laki
36
90,00
38
95,00
36
90,00
2.
Perempuan
4
10,00
2
5,00
4
10,00
Total
40
100,00
40
100,00
40
100,00
No.
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
5.2.2. Umur (A4) Analisis demografis untuk umur responden dilakukan pada kelompok umur 17 sampai lebih dari 65 tahun. Kelompok umur ini merupakan kelompok umur produktif yang melakukan aktivitas usaha dalam mencukupi ekonomi keluarga. Hasil analisis demografis kelompok umur responden disajikan pada Tabel 48. Tabel 48. Kelompok Umur Responden No.
Kelompok Umur (tahun)
Jumlah
Persen
1.
≤ 20
5
4,17
2.
20 - 30
39
32,50
3.
31 - 45
57
47,50
4.
46 - 65
18
15,00
5.
> 65
1
0,83
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden berumur antara 3145 tahun sebesar 47,50 %. Urutan selanjutnya adalah kelompok umur 20-30
129
tahun (32,50 %), 46-65 tahun (15,00 %), ≤ 20 tahun (4,17 %), dan > 65 tahun (0,83 %). Hasil ini menunjukkan bahwa mayoritas responden adalah kelompok usia dewasa dan dipandang sudah memiliki pertimbangan yang rasional dalam berusaha. Kecenderungan serupa ditunjukkan dalam analisis kelompok umur responden menurut tipologinya. Untuk ketiga tipologi, kelompok umur antara 31-45 tahun mendominasi pasar tumpah (47,50 %), pasar sayur malam (55,00 %), dan pasar kuliner (40,00 %). Kelompok umur responden menurut tipologi disajikan pada Tabel 49. Tabel 49. Kelompok Umur Responden menurut tipologi No.
Kelompok Umur (tahun)
Tipologi Pasar Tumpah
Pasar Sayur Malam
Pasar Kuliner
Jml
%
Jml
%
Jml
%
1.
≤ 20
3
7,50
1
2,50
1
2,50
2.
20 - 30
14
35,00
12
30,00
13
32,50
3.
31 - 45
19
47,50
22
55,00
16
40,00
4.
46 - 65
4
10,00
5
12,50
9
22,50
5.
> 65
0
0,00
0
0,00
1
2,50
Total
40
100,00
40
100,00
40
100,00
Sumber : Data Primer 2011 (diolah)
5.2.3. Status Perkawinan Analisis demografis untuk status perkawinan responden disajikan pada Tabel 50. Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden sudah menikah (72,50 %) dan sisanya (27,50 %) belum menikah. Tabel 50. Status Perkawinan No.
Status Perkawinan
Jumlah
Persen
1.
Belum menikah
33
27,50
2.
Menikah
87
72,50
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Kecenderungan serupa juga ditunjukkan oleh ketiga tipologi dimana mayoritas responden adalah sudah menikah. Hasil ini nampak konsisten dengan
130
hasil pada kelompok umur responden dimana mayoritas responden adalah kelompok dewasa yang berada dalam usia pernikahan (Tabel 49). Hasil analisis status perkawinan responden menurut tipologinya disajikan pada Tabel 51. Tabel 51. Status Perkawinan menurut Tipologi PKL No. 1. 2.
Status Perkawinan Belum menikah Menikah Total
Pasar Tumpah Jml 15 25 40
% 37,50 62,50 100,00
Pasar Sayur Malam Jml % 8 20,00 32 80,00 40 100,00
Pasar Kuliner Jml 10 30 40
% 25,00 75,00 100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Dari Tabel 51 nampak bahwa untuk tipologi pasar tumpah, sebanyak 62,50 % sudah menikah, untuk pasar sayur malam sebanyak 80,00 % sudah menikah, dan untuk pasar kuliner sebanyak 75,00 % sudah menikah. 5.2.4. Tingkat Pendidikan (A6) Salah satu ciri dari sektor informal adalah rendahnya tingkat pendidikan para pelakunya. Analisis demografis untuk tingkat pendidikan responden disajikan pada Tabel 52. Tabel 52. Tingkat Pendidikan Responden No.
Tingkat Pendidikan
Jumlah
Persen
1.
SD/sederajat
67
55,83
2.
SMP/sederajat
37
30,83
3.
SMA/sederajat
13
10,83
4.
Akademi/sederajat
3
2,50
5.
Sarjana
0
0,00
6.
Pascasarjana
0
0,00
120
100,00
Total Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Tabel 52 menunjukkan bahwa mayoritas responden berpendidikan SD atau sederajat yaitu sebesar 55,83 %. Urutan selanjutnya adalah SMP atau sederajat (30,83 %), SMA atau sederajat (10,83 %), dan akademi atau sederajat (2,50 %). Tidak terdapat responden dengan tingkat pendidikan sarjana dan pascasarjana.
131
Tabel 53. Tingkat Pendidikan Responden menurut Tipologi PKL No
Pendidikan
Pasar tumpah Jml
%
Pasar Sayur Malam Jml %
Pasar Kuliner Jml
%
1
SD/sederajat
22
55,00
27
67,50
18
45,00
2
SMP/sederajat
12
30,00
13
32,50
12
30,00
3
SMA/sederajat
6
15,00
0
0,00
7
17,50
4
Akademi/sederajat
0
0,00
0
0,00
3
7,50
5
Sarjana
0
0,00
0
0,00
0
0,00
6
Pascasarjana
0
0,00
0
0,00
0
0,00
Total
40
100,00
40
100,00
40
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Berdasarkan tipologinya, dapat dilihat bahwa ketiga tipologi menunjukkan kecenderungan yang sama dimana tingkat pendidikan dasar (SD atau sederajat) mendominasi responden. Tingkat pendidikan untuk pasar kuliner lebih beragam dimana terdapat 7,50 % responden berpendidikan akademi atau sederajat yang kemungkinan disebabkan karena usaha kuliner membutuhkan skill khusus. Tingginya persentase tingkat pendidikan SD menunjukkan bahwa mayoritas responden pelaku PKL berpendidikan rendah. Hasil ini konsisten dengan hasil penelitian Timalsina (2011) bahwa aktivitas PKL didominasi oleh migran dari pedesaan dengan pendidikan dan skill rendah. Beberapa peneliti seperti Suharto (2003) dalam studi PKL di Bandung, Budi (2006) dalam studi PKL di Pemalang, Disperindagkop kota Bogor (2009) juga menunjukkan bahwa mayoritas PKL berpendidikan setara SD. 5.2.5. Asal Responden (A7) Analisis demografis asal responden dimaksudkan untuk mengetahui dampak migrasi tenaga kerja terhadap pertumbuhan PKL di kota Bogor. Hasil analisis asal kota responden disajikan pada Tabel 54. Tabel 54. Asal Kota Responden No. 1. 2.
Asal Kota Kota Bogor Luar kota Bogor Total
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Jumlah
Persen
82 38 120
68,33 31,67 100,00
132
Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden berasal dari kota Bogor (68,33 %) dan sisanya (31,67%) berasal dari luar kota Bogor. Hasil ini mengindikasikan bahwa banyak warga kota Bogor yang bekerja sebagai PKL untuk mendukung aktivitas perekonomiannya.
Meskipun hasil ini kurang
konklusif, tetapi menunjukkan bahwa profesi PKL bukan saja didominasi oleh pekerja migran tetapi warga lokal juga turut menjalankan aktivitas ini. Tabel 55. Asal Kota Responden menurut Tipologi PKL No.
Asal Kota
Pasar Tumpah Jml
%
Pasar Sayur Malam Jml %
Pasar Kuliner Jml %
1.
Kota Bogor
33
82,50
29
72,50
20
50,00
2.
Luar kota Bogor
7
17,50
11
27,50
20
50,00
Total
40
100,00
40
100,00
40
100,00
Sumber : Data Primer 2011 (diolah)
Hasil ini sejalan dengan temuan Disperindagkop (2010) dalam studi pemetaan lokasi PKL di kota Bogor dimana sebanyak 76 % PKL berasal dari kota Bogor. Hal ini menunjukkan bahwa mereka terlibat dalam usaha PKL karena adanya kedekatan dengan akses berjualan. 5.2.6. Suku Bangsa (A8) Hasil analisis demografis suku bangsa responden menunjukkan bahwa mayoritas responden adalah suku Sunda (79,17 %), diikuti oleh suku Jawa (15,83 %), Padang (3,33 %), dan suku lainnya (1,67 %). Hasil analisis suku bangsa responden disajikan pada Tabel 56. Tabel 56. Suku Bangsa Responden No
Suku Bangsa
Jumlah
Persen
1
Jawa
19
15,83
2
Sunda
95
79,17
3
Batak
0
0,00
4
Padang
4
3,33
5
Lainnya
2
1,67
120
100,00
Total Sumber : Data primer 2011 (diolah)
133
Berdasarkan
tipologinya,
suku
bangsa
responden
menunjukkan
kecenderungan yang sama yaitu didominasi oleh suku Sunda. Hasil ini nampak konsisten dengan Tabel 43 dimana mayoritas responden berasal dari kota Bogor (Sunda). Namun perlu dipahami bahwa suku bangsa tidak selalu berkorelasi dengan asal. Contoh, responden yang berasal dari kota Bogor tetapi suku bangsa Jawa karena dia keturunan Jawa yang orang tuanya sudah lama menetap di Bogor sehingga mempunyai KTP Bogor. Hasil analisis suku bangsa menurut tipologi disajikan pada Tabel 57. Tabel 57. Suku Bangsa Responden menurut Tipologi No
Suku Bangsa
Pasar tumpah
Pasar Sayur Malam
Pasar Kuliner
Jml
%
Jml
%
Jml
%
1
Jawa
4
10,00
1
2,50
14
35,00
2
Sunda
32
80,00
39
97,50
24
60,00
3
Batak
0
0,00
0
0,00
0
0,00
4
Padang
3
7,50
0
0,00
1
2,50
5
Lainnya
1
2,50
0
0,00
1
2,50
Total
40
100,00
40
100,00
40
100,00
Sumber : Data Primer 2011 (diolah)
5.2.7. Status dalam Keluarga (A9) Analisis demografis responden juga dilakukan terhadap status responden dalam keluarga. Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden adalah kepala rumah tangga (69,17 %). Hasil ini konsisten dengan Tabel 50 dimana mayoritas responden sudah menikah. Bila di-crosscheck antara responden yang belum menikah (33 responden) dengan status sebagai anggota keluarga, terlihat bahwa sebanyak 4 responden yang sudah menikah ternyata masih menjadi anggota keluarga. Hal ini disebabkan karena rumah tangga tersebut merupakan rumah tangga baru sehingga belum memiliki Kartu Keluarga sendiri dan masih menginduk pada orang tua. Hasil analisis status dalam keluarga disajikan pada Tabel 58 dan perbandingan menurut tipologinya disajikan pada Tabel 59.
134
Tabel 58. Status Responden Dalam Keluarga No.
Status dalam Keluarga
Jumlah
Persen
1.
Kepala rumah tangga
83
69,17
2.
Anggota keluarga
37
30,83
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Tabel 59. Status Responden Dalam Keluarga menurut Tipologi No.
Status dalam Keluarga
Pasar Tumpah Jml
%
Pasar Sayur Malam Jml %
Pasar Kuliner Jml %
1.
Kepala rumah tangga
24
60,00
30
75,00
29
72,50
2.
Anggota keluarga
16
40,00
10
25,00
11
27,50
Total
40
100,00
40
100,00
40
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
5.2.8. Tanggungan dalam Keluarga (A10) Responden bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dirinya sendiri tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Hasil analisis tanggungan dalam keluarga disajikan pada Tabel 60. Tabel 60. Tanggungan dalam Keluarga No.
Tanggungan
Jumlah
Persen
1.
Punya tanggungan
71
59,17
2.
Tidak punya tanggungan
49
40,83
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Tabel 60 menunjukkan bahwa mayoritas responden (59,17 %) memiliki tanggungan dalam keluarga. Jika di-crosschek dengan Tabel 46 maka terlihat bahwa sebagian responden yang berstatus sebagai anggota keluarga memiliki tanggungan keluarga. Tanggungan tersebut dapat berupa orang tua atau kerabat. Hasil analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa dari 71 responden yang menyatakan memiliki tanggungan, secara rata-rata responden menyatakan memiliki tanggungan lebih dari 3 orang (62,50 %). Hasil ini sedikit lebih rendah dibandingkan dengan temuan Disperindagkop (2010) bahwa rata-rata PKL kota Bogor memiliki
tanggungan sebanyak 4 orang. Jumlah tanggungan akan
berimplikasi kepada beban ekonomi. Semakin banyak tanggungan maka semakin
135
besar beban ekonomi yang harus dipenuhi. Hasil analisis jumlah tanggungan keluarga responden disajikan pada Tabel 61. Tabel 61. Jumlah Tanggungan dalam Keluarga No.
Tanggungan
Jumlah
Persen
1.
≤ 2 orang
39
54,93
2.
> 2 orang
32
45,07
Total
71
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
5.2.9. Pendidikan Tertinggi dalam Keluarga (A12) Analisis berikutnya diarahkan pada tingkat pendidikan tertinggi yang dicapai dalam keluarga responden. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 96 responden yang memberikan jawaban, mayoritas tingkat pendidikan tertinggi yang dicapai dalam keluarga adalah SMA atau sederajat (35,42 %). Sebanyak 23,96 % responden menyatakan dapat menyekolahkan tanggungannya sampai ke akademi atau sederajat, dan sebagian kecil (3,13 %) bahkan mampu menyekolahkan sampai tingkat sarjana. Tabel 62. Tingkat Pendidikan Tertinggi dalam Keluarga No.
Tingkat Pendidikan
Jumlah
Persen
1.
SD/sederajat
13
13,54
2.
SMP/sederajat
23
23,96
3.
SMA/sederajat
34
35,42
4.
Akademi/sederajat
23
23,96
5.
Sarjana
3
3,13
6.
Pascasarjana
0
0,00
Total
96
100,00
Sumber : Data Primer 2011 (diolah)
Hasil ini kontradiktif dengan temuan Suharto (2003) pada studi PKL di kota Bandung bahwa mayoritas (80 %) PKL masih dikategorikan miskin dan rentan, bahkan menurut pandangan umum pekerjaan PKL sebagai sektor inferior dibandingkan sektor formal dan seringkali dikaitkan dengan faktor kemiskinan perkotaan.
Faktanya, mereka mampu menyekolahkan anak pada pendidikan
menengah sampai tinggi sehingga mereka tidak dapat dikatakan miskin.
136
5.2.10. Kondisi Kesehatan (A13) Kondisi kesehatan keluarga PKL didekati dengan pertanyaan mengenai jumlah keluarga yang sakit selama tiga bulan terakhir.
Pertanyaan ini juga
digunakan untuk mengetahui kontribusi PKL terhadap pembangunan kota Bogor dalam analisis regresi pada bagian pembahasan berikutnya. Hasil analisis kondisi kesehatan keluarga PKL dalam tiga bulan terakhir disajikan pada Tabel 63. Tabel 63. Kondisi Kesehatan Keluarga PKL selama 3 bulan terakhir No.
Kondisi Kesehatan
Jumlah
Persen
1.
Ya
45
37,50
2.
Tidak
75
62,50
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan mayoritas responden (62,50 %) menyatakan bahwa selama tiga bulan terakhir tidak ada keluarga yang sakit dan 37,50 % menyatakan ada sebagian anggota keluarga yang sakit. Hasil ini menunjukkan bahwa tingkat kesehatan responden secara umum cukup baik. Perbandingan antar tipologi menunjukkan kecenderungan serupa dimana mayoritas responden menyatakan tidak ada keluarga yang sakit dalam tiga bulan terakhir.
Untuk tipologi pasar kuliner, mayoritas responden (55,00 %)
menyatakan bahwa terdapat keluarga yang sakit selama tiga bulan terakhir meski jumlahnya tidak jauh berbeda dengan yang menyatakan tidak ada keluarga yang sakit. Hasil analisis kondisi kesehatan keluarga menurut tipologi disajikan pada Tabel 64. Tabel 64. Kondisi Kesehatan Keluarga Menurut Tipologi No.
Keberadaan Anggota Keluarga yang Sakit
Pasar Tumpah Jml
%
Pasar Sayur Malam Jml %
Pasar Kuliner Jml %
1.
Ya
13
32,50
10
25,00
22
55,00
2.
Tidak
27
67,50
30
75,00
18
45,00
Total
40
100,00
40
100,00
40
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Tidak semua responden bersedia menyebutkan rata-rata pengeluaran kesehatan per bulan (A14). Sebanyak 40 responden memberikan respon terhadap
137
biaya pengobatan. Asumsi kisaran biaya pengobatan adalah sakit ringan ke dokter umum atau hanya membeli obat ringan ke apotik/toko adalah kurang dari Rp 30.000,-/bulan, sakit sedang antara Rp 30.000,- sampai Rp 100.000,-/bulan, dan sakit berat lebih dari Rp 100.000,-/bulan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa
mayoritas responden (47,50 %) mengeluarkan biaya pengobatan kurang dari Rp 30.000,-/bulan.
Hasil ini menunjukkan bahwa sakit yang dialami anggota
keluarga umumnya berupa sakit ringan seperti flu, pusing, demam, dan lain-lain yang hanya membutuhkan obat-obatan ringan.
Hasil analisis biaya berobat
disajikan pada Tabel 65. Tabel 65. Biaya Berobat Responden No.
Biaya Berobat (Rp)
Jumlah
Persen
1.
≤ 30.000
19
47,50
2.
30.000 - 100.000
15
37,50
3.
>100.000
6
15,00
Total
40
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Analisis lebih lanjut terhadap kondisi kesehatan keluarga responden diarahkan pada pertanyaan frekuensi sakit dalam tiga bulan terakhir (A15). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa frekuensi sakit per bulan rata-rata adalah 1,6. kali per keluarga. Merujuk pada hasil biaya berobat, sakit tersebut adalah sakit ringan dan dapat diobati dengan obat-obatan yang umum tersedia di pasar. 5.2.11. Kondisi Ekonomi (A16) Sektor informal seringkali dikaitkan dengan kemiskinan perkotaan sehingga pertanyaan berikutnya diarahkan pada salah satu indikator kemiskinan yang digunakan di Indonesia yaitu Bantuan Langsung Tunai (BLT).
BLT adalah
kompensasi berupa transfer cash akibat dicabutnya subsidi bahan bakar minyak bagi keluarga kurang mampu, yang diberikan per tiga bulan.
Meski banyak
diperdebatkan BLT tetap berjalan sesuai dengan kebijakan pemerintah.
BLT
menjadi salah satu indikator apakah suatu keluarga dikatakan kurang mampu atau tidak. Salah satu indikator penerima BLT adalah berpendapatan kurang dari Rp 600.000,- per bulan. Hasil analisis responden sebagai penerima BLT disajikan pada Tabel 66.
138
Tabel 66. Responden Penerima BLT No.
Mendapatkan BLT
Jumlah
Persen
7
5,83
1.
Ya
2.
Tidak
113
94,17
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa sebanyak 94,17% responden tidak menerima atau bukan penerima BLT. Hasil analisis tersebut mengejutkan dan kontradiktif dengan pandangan umum bahwa PKL berhubungan dengan kemiskinan. Suharto (2003) menemukan bahwa mayoritas (80%) PKL masih dikategorikan miskin dan rentan. Dengan referensi indikator manusia dan modal sosial, PKL dapat dikategorikan tidak ‘miskin’ karena memiliki pendidikan dasar mencukupi dan akses terhadap jasa kesehatan dan fasilitas perumahan, meski propensitas dalam aktivitas sosial rendah. Pendekatan dalam analisis ini digunakan dengan asumsi bahwa penerima BLT adalah keluarga miskin. 5.3. Karakteristik Usaha PKL sekarang bukan lagi sebagai pekerjaan sampingan tetapi sudah menjadi pekerjaan utama sebagian masyarakat. Untuk lebih mengetahui kondisi usaha PKL maka beberapa pertanyaan yang terkait dengan karakteristik usaha diajukan kepada responden. Pertanyaan tersebut adalah : usaha sebelum menjadi PKL (B1), motivasi menjadi PKL (B2), lama menjadi PKL (B3), pernah berusaha di tempat lain (B4), alasan pemilihan lokasi PKL (B5), jenis barang dagangan (B6), tipologi (B7), prasaranan usaha (B8), pengelompokan usaha (B9), waktu usaha (B10), lokasi nama jalan tempat usaha (B11), tempat usaha (B12), luas penggunaan tempat (B13), kondisi kebersihan lokasi usaha (B14), posisi lokasi usaha (B15), usaha serupa di tempat lain (B16), jumlah usaha di tempat lain (B17) dan registrasi usaha (B18). Untuk kepentingan pembahasan, pertanyaan tipologi (B7) dan lokasi nama jalan tempat usaha (B11) dibahas terpisah di bagian atas pada distribusi sampel dan tipologi PKL.
139
5.3.1. Usaha/Pekerjaan sebelum Menjadi PKL Usaha PKL menjadi alternatif bagi mereka yang tidak mendapatkan posisi pekerjaan di sektor formal. PKL sebagai bagian dari sektor informal muncul ke permukaan karena sektor formal tidak memberikan ruang lingkup yang cukup sehingga kegiatan ekonomi berlangsung di luar sektor yang terorganisir. Hasil analisis usaha responden sebelum menjadi PKL disajikan pada Tabel 67. Tabel 67. Usaha Sebelum menjadi PKL (B1) No.
Usaha sebelum PKL
Jumlah
Persen
1.
Tidak punya usaha
46
38,33
2.
Karyawan swasta
25
20,83
3.
Pedagang kios pasar
7
5,83
4.
Usaha di rumah
12
10,00
5.
Lainnya (kuli, asongan, sayur)
30
25,00
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden (38,33 %) menyatakan tidak mempunyai usaha sebelum menjadi PKL. Hasil analisis ini sejalan dengan pandangan Bromley (dalam Manning dan Effendi, 1996) yang menyatakan bahwa usaha PKL merupakan jenis pekerjaan yang penting dan relatif khas dalam sektor informal di kota. Kekhususan tersebut dikarenakan usaha ini relatif paling mudah dimasuki. Hasil analisis juga menunjukkan meski masih dikategorikan PKL, banyak responden memiliki usaha lain (25,00 %) berganti usaha ke tiga tipologi yang digunakan dalam analisis penelitian ini yang mungkin lebih menguntungkan dari sisi pendapatannya. Hasil ini mengindikasikan bahwa sebenarnya PKL sudah memiliki jiwa kewirausahaan sehingga sangat paham akan usahanya, jika dirasakan kurang menguntungkan akan berganti ke usaha PKL lain. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa sebanyak 20,83 % responden sebelumnya bekerja di sektor formal (karyawan swasta). Perpindahan menjadi PKL disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi secara masif selama krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 dan 1998.
Alasan lain
terkait dengan rendahnya upah bagi pekerja kelas buruh di Indonesia.
Upah
140
minimum regional untuk kota Bogor pada tahun 2011 tercatat sebesar Rp 1.172.060,-. Pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan Upah Minimum Regional dan Upah Minimum Propinsi tetapi dirasakan masih kurang mencukupi tuntutan kebutuhan ekonomi yang terus meningkat. Sebanyak 10 % responden memiliki usaha di rumah sebelum menjadi PKL. Karakteristik usaha di rumah sangat berbeda dengan usaha PKL yang langsung berhubungan dengan konsumen meski dari sisi tempat usaha lebih ada jaminan. Sebanyak 5,83 % responden menyatakan bekerja sebagai pedagang kios pasar sebelum menjadi PKL. Mereka menjadi PKL disebabkan oleh: Pertama, terjadi kebakaran Pasar Anyar sehingga banyak pedagang kios pasar yang kehilangan tempat usaha.
Kedua, meningkatnya biaya sewa kios pasar resmi sehingga
mereka tidak mampu menutup biaya sewa untuk usahanya.
Ketiga, semakin
longgarnya penertiban kawasan PKL yang dilakukan Pemerintah Kota Bogor. 5.3.2. Motivasi Menjadi PKL (B2) Beragam motif mendasari responden untuk menjadi PKL. Untuk mengetahui jawaban motivasi ini maka responden dapat memberikan lebih dari satu jawaban terhadap pertanyaan ini sehingga total diperoleh 123 jawaban.
Hasil analisis
menunjukkan bahwa mayoritas responden memilih bekerja sebagai PKL karena lebih menguntungkan (29,27 %) dibandingkan usaha lain yang dapat mereka lakukan. Tabel 68. Motivasi Menjadi PKL No.
Motivasi Menjadi PKL
Jumlah
Persen
1.
Menganggur
28
22,76
2.
PHK
7
5,69
3.
Usaha lebih menguntungkan
36
29,27
4.
Merintis usaha lebih besar
28
22,76
5.
Modal usaha ringan atau kecil
24
19,51
Total
123
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Tabel 68 juga menunjukkan bahwa sebanyak 22,76 % responden memiliki motivasi merintis usaha lebih besar. Ini menunjukkan bahwa mereka memiliki harapan untuk mengembangkan usaha dimana aktivitas PKL digunakan sebagai
141
batu loncatan. Hal ini dapat terwujud bila Pemerintah Kota lebih memperhatikan kapasitas mereka dalam berusaha. Banyak contoh PKL yang sekarang memiliki usaha lebih besar. Sebagian responden menjadi PKL karena menganggur (22,76 %) dan karena PHK (5,69 %). Hasil ini mengindikasikan bahwa PKL mampu menjadi pekerjaan alternatif bagi mereka yang tidak memiliki pekerjaan atau mereka yang terkena PHK di tempat kerjanya. Survei Disperindagkop (2010) menemukan bahwa mayoritas PKL memiliki keinginan berdagang dari diri sendiri (66 %), diajak keluarga (23 %), diajak teman (10 %), dan lainnya (1 %).
Dari sisi pajak dan regulasi, Schneider (2002)
menemukan bahwa orang menjalankan ekonomi informal dengan beragam alasan, di antara yang terpenting adalah tindakan pemerintah, terutama pajak dan regulasi. 5.3.3. Lama Menjadi PKL (B3) Berdasarkan lama menjadi PKL, mayoritas responden telah menggeluti usaha ini lebih dari 5 tahun (47,50 %). Sebanyak 52 responden (43,33 %) menyatakan bahwa mereka telah mulai membuka usaha kaki lima antara 1-5 tahun dan sebanyak 9,17 % responden menjalankan usahanya kurang dari setahun. Hasil ini mengindikasikan bahwa kegiatan usaha kaki lima bukan lagi menjadi pekerjaan sampingan tetapi alternatif mata pencaharian utama yang dapat menjaga kelangsungan hidup keluarga PKL. Hasil analisis lama menjadi PKL disajikan pada Tabel 69. Tabel 69. Lama Menjadi PKL No.
Lama Menjadi PKL
Jumlah
Persen
1.
≤ 1 tahun
11
9,17
2.
1 - 5 tahun
52
43,33
3.
>5 tahun
57
47,50
Total
120
100,00
Sumber : Data Primer 2011 (diolah)
Di satu sisi, lama menjadi PKL juga menunjukkan bahwa usaha PKL dapat memberikan pendapatan yang mencukupi bagi pelaku PKL dan di sisi lain mengindikasikan bahwa belum tersedia lapangan kerja yang lebih baik bagi pelaku PKL.
142
5.3.4. Keberadaan Usaha di Tempat Lain (B4) Eksplorasi lebih lanjut terhadap pernah-tidaknya responden berusaha atau berjualan di tempat lain menunjukkan bahwa mayoritas responden (55,00 %) pernah berjualan di tempat lain dan sisanya (45,00 %) belum pernah berusaha di tempat lain. Dengan kata lain mereka berpindah ke lokasi sekarang. Perpindahan ini karena penggusuran, lokasi yang lebih ramai dan menguntungkan, lebih dekat dengan tempat tinggal atau alasan-alasan lain. Hasil analisis pernah-tidaknya responden berusaha atau berjualan di tempat lain disajikan pada Tabel 70. Tabel 70. Pernah-Tidaknya Responden Berusaha atau Berjualan di Tempat Lain No.
Pernah Usaha di Tempat Lain
Jumlah
Persen
1.
Ya
66
55,00
2.
Tidak
54
45,00
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
5.3.5. Pemilihan Lokasi (B5) Keberhasilan usaha PKL sangat tergantung pada keputusan pemilihan lokasi. Untuk mengetahui kisaran jawaban yang lebih luas, maka responden dapat menjawab lebih dari satu jawaban.
Hasil analisis faktor pemilihan lokasi
disajikan pada Tabel 71. Tabel 71. Alasan Pemilihan Lokasi Seluruh Sampel No.
Alasan Memilih Lokasi
Jumlah
Persen
1.
Ramai/sering dikunjungi pembeli
80
44,44
2.
Pendapatan memuaskan
17
9,44
3.
Biaya transportasi murah/dekat rumah
33
18,33
4.
Berkumpul dengan usaha sejenis
10
5,56
5.
Tidak mampu beli kios
25
13,89
6.
Kios resmi penuh
3
1,67
7.
Lainnya
12
6,67
Total
180
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis pada Tabel 71 menunjukkan bahwa mayoritas responden (44,44 %) memilih lokasi dengan pertimbangan ramai atau sering dikunjungi pembeli. Urutan berikutnya adalah biaya transportasi murah/dekat rumah (18,33 %), tidak
143
mampu membeli kios (13,89 %), pendapatan memuaskan (9,44 %), pertimbangan lainnya (6,67 %), berkumpul dengan usaha sejenis (5,56 %), dan kios resmi penuh (1,67 %). Pertimbangan ramai atau sering dikunjungi pembeli paling banyak menjadi alasan responden. Hal ini berkaitan dengan salah satu fungsi pemasaran, yaitu mendekatkan komoditi pada konsumen (place utility). Dengan demikian, aktivitas kegiatan perdagangan sektor informal akan hadir di lokasi-lokasi keramaian seperti pada kawasan perdagangan, perkantoran, pendidikan, perumahan, dan lokasi-lokasi strategis lainnya. Bromley dalam Manning dan Effendi (1996) menggunakan studi pedagang sektor informal di Cali, Colombo, menyatakan bahwa para pedagang sektor informal dijumpai di semua sektor kota, terutama berpusat di tengah kota dan pusat-pusat hiburan lainnya ketika ada pertunjukan, sehingga menarik sejumlah besar penduduk. Kecenderungan penggunaan ruang kota bagi aktivitas usaha PKL tidak lepas dari keberadaan sektor formal di suatu lokasi. menyatakan
bahwa
pada
umumnya
PKL
McGee dan Yeung (1977) cenderung
berlokasi
secara
mengelompok pada area yang memiliki tingkat intensitas aktivitas yang tinggi, seperti pada simpul-simpul jalur transportasi atau lokasi-lokasi yang memiliki aktivitas hiburan, pasar, maupun ruang terbuka. Studi yang dilakukan oleh Joedo (1977) dalam Widjajanti (2000) menemukan bahwa lokasi yang diminati aktivitas perdagangan sektor informal, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1.
Terdapat akumulasi orang yang melakukan kegiatan bersama-sama pada waktu yang relatif sama sepanjang hari. Ciri ini bisa kita jumpai di lokasilokasi perdagangan, pendidikan, dan perkantoran.
2.
Berada pada kawasan tertentu yang merupakan pusat kegiatan perekonomian kota dan pusat non ekonomi perkotaan, tetapi sering
dikunjungi dalam
jumlah besar. Kondisi ini merupakan ciri dari lokasi-lokasi wisata atau ruangruang rekreatif kota, seperti taman kota dan lapangan olah raga yang biasa ramai di hari libur. 3.
Mempunyai kemudahan untuk terjadinya hubungan antara pedagang dengan calon pembeli, walaupun dilakukan dalam ruang yang relatif sempit.
144
4.
Tidak memerlukan ketersediaan fasilitas dan utilitas pelayanan umum. Transportasi murah/dekat rumah juga menjadi pertimbangan responden dalam
memilih lokasi usaha. Hasil penelitian Rachbini dan Hamid (1994) mengenai PKL di Jakarta dan Surabaya mengemukakan bahwa ada korelasi yang tinggi antara tingkat mobilitas tempat usaha dengan mobilitas tempat tinggal. Dengan kata lain mobilitas tempat tinggal terjadi karena mobilitas tempat usaha dan bukan sebaliknya. Massa pedagang dan jasa informal harus mengikuti dan bertempat tinggal di mana saja dan ke mana gerobak alat dagangannya akan dipangkalkan. Mereka harus dekat dengan tempat usaha. Jika tidak, mereka akan dililit oleh masalah ongkos transportasi dan kesulitan-kesulitan lain menyangkut cara membawa dan menyimpan alat-alat usahanya. Dalam teori lokasi yang mengemukakan tentang transportasi disebutkan bahwa penting untuk menentukan lokasi sehingga diperoleh biaya angkutan minimum (Djojodipuro, 1992). Hal ini berkaitan pula dengan ketersediaan sarana transportasi, baik
bagi
PKL
bersangkutan
maupun
bagi
pembeli/konsumen.
Aktivitas
perekonomian kota umumnya merupakan tempat yang mudah dijangkau oleh masyarakat dan pelaku kegiatan.
5.3.6. Jenis Barang Dagangan (B6) Jenis barang dagangan PKL sangat dipengaruhi oleh aktivitas yang ada di sekitar kawasan di mana pedagang tersebut beraktivitas. Misalnya di suatu kawasan perdagangan, maka jenis dagangan yang ditawarkan akan beranekaragam, bisa berupa makanan/minuman, barang kelontong, pakaian, dan lain-lain. Jenis dagangan yang ditawarkan oleh PKL dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok utama, yaitu : 1.
Makanan yang tidak dan belum diproses, termasuk di dalamnya makanan mentah seperti daging, buah-buahan, dan sayuran.
2.
Makanan siap saji, seperti nasi dan lauk-pauk serta minuman.
3.
Barang bukan makanan, mulai dari tekstil hingga obat-obatan.
4.
Jasa, yang terdiri dari beragam aktivitas, misalnya tukang potong rambut dan lain sebagainya. Hasil analisis jenis barang dagangan PKL untuk tiga tipologi PKL disajikan pada
Tabel 72.
145
Tabel 72. Jenis Barang Dagangan PKL No.
Jenis Barang Dagangan
Jumlah
Persen
1.
Sayur- mayur
51
42,50
2.
Makanan/lauk-ppauk mentah
11
9,17
3.
Bumbu dapur
4
3,33
4.
Makanan/minuman jadi
36
30,00
5.
Asesoris
1
0,83
6.
Lainnya
17
14,17
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas pedagang (42,50 %) memilih berdagang sayur-mayur, diikuti oleh makanan/minuman jadi (30,00 %), barang dagangan lainnya (14,17 %), makanan/lauk-pauk mentah (9,17 %), bumbu dapur (3,33 %), dan asesoris (0,83 %). Hasil ini konsisten dengan tipologi pedagang yang digunakan sebagai populasi penelitian yaitu pasar tumpah dengan jenis barang dagangan beragam (jenis barang dagangan lainnya), pasar sayur malam (jenis barang dagangan sayur-mayur), dan pasar kuliner (jenis barang dagangan makanan/lauk-pauk mentah dan makanan/minuman jadi). 5.3.7. Jenis Sarana Usaha yang Digunakan (B8) Bentuk sarana perdagangan yang digunakan oleh PKL dalam menjalankan aktivitasnya sangat bervariasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh McGee dan Yeung (1977) di kota-kota di Asia Tenggara menunjukkan bahwa pada umumnya bentuk sarana tersebut sangat sederhana dan biasanya mudah untuk dipindah atau dibawa dari satu tempat ke tempat lain dan dipengaruhi oleh jenis dagangan yang dijual. Hasil analisis terhadap tiga tipologi PKL (Tabel 73) menunjukkan bahwa mayoritas responden (49,17 %) menggunakan gelaran atau hamparan dalam berdagang. Gelaran atau alas tersebut berupa tikar, terpal, kain atau lainnya untuk menjajakan dagangan. Pedagang PKL tipe ini dapat dikategorikan dalam aktivitas semi permanen (semi static).
146
Tabel 73. Sarana Usaha yang Digunakan PKL No.
Sarana Usaha
Jumlah
Persen
1.
Warung tenda
23
19,17
2.
Gerobak/kereta dorong
30
25,00
3.
Pikulan/keranjang
6
5,00
4.
Gelaran/hamparan
59
49,17
5.
Kios
0
0,00
6.
Sementara
1
0,83
7.
Lainnya: mobil, sepeda, dan lain-lain
1
0,83
120
100,00
Total Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Sebanyak 25,00 % responden menggunakan gerobak atau kereta dorong . Bentuk sarana ini terdiri dari 2 macam, yaitu gerobak/kereta dorong tanpa atap dan gerobak/kereta dorong yang beratap untuk melindungi barang dagangan dari pengaruh cuaca. Bentuk ini dapat dikategorikan sebagai aktivitas PKL yang permanen (static) atau semi permanen (semi static), dan umumnya dijumpai pada PKL yang berjualan makanan, minuman, dan rokok.
Dikelompokkan permanen jika
gerobak/kereta dorong tersebut tidak dipindah-pindah atau menetap dan dikatakan semi permanen jika berpindah-pindah.
Warung tenda juga banyak digunakan sebagai sarana usaha (19,17 %). Gerobak/kereta dorong diatur sedemikian rupa secara berderet dan dilengkapi dengan kursi dan/atau meja. Bagian atap dan sekelilingnya biasanya ditutup dengan pelindung yang terbuat dari plastik, terpal atau lainnya yang tidak tembus air. Berdasarkan sarana usaha tersebut, PKL demikian dapat dikategorikan sebagai pedagang permanen (static) yang umumnya untuk jenis dagangan makanan dan minuman. Sebagian PKL (5,00 %) menggunakan pikulan/keranjang. Bentuk sarana perdagangan ini digunakan oleh PKL keliling (mobile hawkers) atau semi permanen (semi static), yang sering dijumpai pada PKL yang berjualan beragam jenis barang dan minuman. Bentuk ini dimaksudkan agar barang dagangan mudah dibawa atau dipindah tempat. Tidak terdapat PKL yang menggunakan sarana kios (0,00 %). Bentuk sarana PKL ini menggunakan papan-papan yang diatur sedemikian rupa sehingga
147
menyerupai sebuah bilik semi permanen dan si pedagang juga tinggal di tempat tersebut. PKL ini dapat dikategorikan sebagai pedagang menetap (static).
Sarana lain seperti mobil, sepeda, dan lain-lain juga digunakan oleh PKL (0,83 %). Bentuk sarana ini digunakan oleh PKL keliling (mobile hawkers) atau semi permanen (semi static) yang berpindah-pindah lokasi untuk mencari konsumen.
5.3.8. Pola Penyebaran PKL (B9) Berdasarkan pola penyebarannya, aktivitas PKL dapat dikelompokkan dalam 2 pola, yaitu berkelompok dengan usaha sejenis dan bercampur dengan usaha jenis lain. Hasil analisis pola penyebaran PKL disajikan pada Tabel 74.
Tabel 74. Pola Penyebaran PKL No.
Pengelompokan Dagangan
Jumlah
Persen
1.
Berkelompok dengan usaha sejenis
35
29,17
2.
Bercampur dengan usaha jenis lain
85
70,83
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden bercampur dengan usaha jenis lain (70,83 %). Pada umumnya pola penyebaran memanjang atau linier concentration terjadi di sepanjang atau di pinggir jalan utama atau pada jalan yang menghubungkan jalan utama. PKL tipe ini dapat ditemukan di sekitar Taman Topi, Merdeka, Pasar Bogor, Pasar Anyar dimana pola jaringan jalan menentukan aktivitas PKL. Pola kegiatan linier lebih banyak dipengaruhi oleh pertimbangan aksesibilitas yang tinggi pada lokasi yang bersangkutan. Dari sisi pangsa pasar, hal ini sangat menguntungkan, karena mempunyai peluang yang tinggi dalam maraih konsumen. Jenis komoditi yang biasa diperdagangkan adalah pakaian, sepatu, kelontong, dan sebagainya. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa PKL memiliki pola berkelompok dengan usaha sejenis (29,17 %). Pola penyebaran seperti ini biasanya banyak dipengaruhi oleh adanya pertimbangan aglomerasi, yaitu suatu pemusatan atau pengelompokan pedagang sejenis atau pedagang yang mempunyai sifat komoditas yang sama atau saling menunjang di suatu tempat. Dari tiga tipologi pedagang yang dianalisis, pola ini dapat ditemukan pada pasar sayur malam (Pasar Bogor, Pasar Anyar, Merdeka) dan pasar kuliner (Merdeka, depan Pusat Grosir Bogor, dan Jembatan Merah).
148
5.3.9. Waktu Operasi PKL (B10) McGee dan Yeung (1977) menyatakan bahwa pola aktivitas PKL menyesuaikan denganp irama ciri kehidupan masyarakat sehari-hari.
Penentuan periode waktu
kegiatan PKL didasarkan pula atau sesuai dengan perilaku kegiatan formal. Adapun perilaku kegiatan keduanya cenderung sejalan, walaupun pada saat tertentu kaitan aktivitas keduanya lemah atau tidak ada hubungan langsung antara keduanya. Hasil analisis waktu operasi PKL disajikan pada Tabel 75.
Tabel 75. Waktu Operasi PKL No.
Waktu Operasi
Jumlah
Persen
1.
Malam-Pagi
39
32,50
2.
Pagi-Malam
9
7,50
3.
Pagi-Siang
51
42,50
4.
Siang-Malam
21
17,50
120
100,00
Total Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Dalam penelitian ini, waktu operasi dibagi ke dalam 4 kelompok. Jika diamati, pengelompokan waktu operasi tersebut menunjukkan bahwa aktivitas operasi PKL di kota Bogor berlangsung penuh selama 24 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas PKL beroperasi pada waktu pagi-siang (42,50 %). Waktu operasi ini sesuai dengan aktivitas masyarakat umum yang umumnya berlangsung pagi-siang sehingga dengan waktu tersebut mereka dapat memperoleh konsumen secara maksimal. Kondisi ini dapat teramati di sekitar Pasar Anyar dan Merdeka dimana pada waktu pagi-siang PKL beroperasi penuh, sedangkan menjelang sore-malam kondisinya sangat sepi. Urutan waktu operasi berikutnya adalah malam-pagi (32,50 %). PKL tipe ini
umumnya adalah pasar sayur malam. Waktu operasi berikutnya adalah siangmalam (17,50 %) yang biasanya adalah PKL pasar kuliner, penjual kelontong dan penjual pakaian yang menggunakan tempat/kios kecil di tempat-tempat ramai . 5.3.10. Lama Waktu Operasi (C2) Hasil analisis data menunjukkan bahwa rata-rata PKL bekerja selama 10 jam (9,73 jam) per hari. Waktu operasi ini sedikit lebih tinggi bila dibandingkan jam kerja kantoran dari jam 08.00-16.00 yaitu sekitar 8 jam. Pengamatan lapangan
149
menunjukkan bahwa lama waktu operasi ini tergantung pada setiap PKL. Mereka cenderung berhenti bekerja jika barang dagangannya sudah cukup terjual. Tabel 76. Lama Waktu Operasi No.
Lama Kerja (jam)
Ya
Persen
1.
<=5
5
4,17
2.
5-10
77
64,17
3.
>10
38
31,67
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Dari sisi jumlah hari kerja dalam seminggu (C3), hasil analisis yang disajikan pada Tabel 77 menunjukkan bahwa mayoritas responden (75.00%) bekerja penuh selama seminggu tanpa memiliki hari libur. Kondisi ini mencirikan aktivitas usaha informal dimana mereka mengatur sendiri waktu liburnya. Mereka akan libur bila ada keperluan tertentu saja. Tabel 77. Lama Hari Kerja dalam Seminggu No.
Lama Kerja (Hari)
Ya
Persen
1.
5
5
4,17
2.
6
25
20,83
3.
7
90
75,00
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
5.3.11. Tempat Usaha (B12) Hasil analisis pemanfaatan ruang bagi usaha PKL disajikan pada Tabel 78. Hasil analisis untuk ketiga tipologi menunjukkan bahwa mayoritas PKL menempati badan jalan (48,33 %), trotoar (37,50 %), dan lahan parkir (14,17 %). Tabel 78. Tempat Usaha No.
Tempat Usaha
Jumlah
Persen
1.
Trotoar
45
37,50
2.
Lahan Parkir
17
14,17
3.
Badan Jalan
58
48,33
Total
90
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
150
Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa PKL menempati ruang publik dan ruang privat. Ruang publik
merupakan ruang
milik pemerintah yang
diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat luas, seperti taman atau hutan kota, trotoar, ruang terbuka hijau, lapangan, dan sebagainya, termasuk fasilitas atau sarana yang terdapat di dalamnya seperti halte, jembatan penyeberangan, dan sebagainya. Ruang privat atau pribadi adalah ruang yang dimiliki oleh individu atau kelompok tertentu, seperti lahan pribadi pemilik pertokoan, perkantoran, dan sebagainya. Penggunaan ruang-ruang inilah yang akhirnya menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest) antara Pemerintah Kota, PKL, masyarakat dan bahkan pemilik ruang privat yang lahannya dipakai untuk PKL. Bentuk penyelesaian konflik sangat kompleks. Dari sisi pelaku PKL (Tabel 79), penempatan usaha di ruang publik dan privat tersebut dipandang strategis (96,67 %). Dari sisi usaha, PKL akan memilih lokasi yang mendekati pasar atau pembeli. Mereka akan berusaha agar barang atau jasa yang dijual terlihat oleh pembeli. Tabel 79. Posisi Lokasi Usaha No.
Posisi Usaha
1.
Strategis
2.
Tidak Strategis
Jumlah
Persen
116
96,67
4
3,33
120
100,00
Total Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Dari aspek pemasaran, mereka akan memilih lokasi-lokasi yang strategis dan menguntungkan di pusat kota atau lokasi aktivitas masyarakat, seperti lokasi aktivitas perdagangan, pendidikan, perkantoran, dan aktivitas sosial masyarakat lainnya. Dalam teori lokasi disebutkan bahwa bagi pedagang terdapat kecenderungan
untuk
berorientasi kepada
konsentrasi konsumen
dalam
menentukan lokasi tempat usaha (Djojodipuro, 1992). Sesuai pula dengan yang dikatakan dalam ilmu manajemen bahwa salah satu kriteria dalam pemilihan lokasi adalah dekat dengan pasar ( Umar H, 2005). 5.3.12. Luas Tempat Usaha (B13) Analisis berikutnya diarahkan pada luas tempat (ruang) yang digunakan oleh PKL dalam menjalankan usaha (Tabel 80). Dari keseluruhan responden yang
151
dianalisis rata-rata pemanfaatan ruang PKL adalah 4 m2. Hasil ini lebih rendah dibandingkan hasil analisis Budi (2005) yang mengkaji penyebaran PKL di Tegal dimana rata-rata pemanfaatan ruang oleh PKL adalah lebih dari 5 m2. Perbedaan hasil ini terkait dengan perbedaan tipologi PKL yang dianalisis. Semakin besar luas ruang yang digunakan maka akan semakin banyak ruang publik atau privat yang terpakai. Dengan kata lain hasil ini berimplikasi strategis bagi pengaturan ruang yang dapat dipakai PKL dalam menjalankan usahanya. Tabel 80. Luas Ruang yang Digunakan PKL No.
Luas Lahan (m2)
Jumlah
Persen
1. 2. 3.
≤1 1-3 >3 Total
24 42 54 120
26,67 46,67 60,00 133,33
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa mayoritas responden menempati ruang lebih dari 3 m2 (60,00 %), menempati ruang 1 sampai 3 m2 (46,67 %), dan sisanya kurang dari 1 m2. Luas penggunaan ruang ini berhubungan erat dengan sarana dan prasarana PKL. Budi (2005) menemukan hubungan yang signifikan antara sarana dagang dengan luas ruang. Implikasinya adalah dalam peraturan daerah perlu diperhitungkan jenis sarana dagang dan luas tempat agar dapat dibatasi jumlah PKL yang menempati suatu lokasi. 5.3.13. Penilaian terhadap Kondisi Kebersihan (B14) Pemanfaatan ruang untuk aktivitas PKL berhubungan dengan kondisi kebersihan sekitarnya. Terdapat pandangan umum bahwa PKL menyebabkan lingkungan yang kotor dan mengurangi estetika wajah kota. Kondisi kebersihan juga berhubungan dengan rentan-tidaknya pelaku PKL terhadap penyakit. Untuk menguji pandangan ini maka dilakukan penilaian terhadap kondisi kebersihan untuk aktivitas PKL yang dilakukan oleh petugas survei dengan melakukan pengamatan kondisi sekitar usaha dan kondisi usaha PKL tanpa sepengatahuan PKL. Hasil analisis kondisi kebersihan aktivitas PKL disajikan pada Tabel 81.
152
Tabel 81. Kondisi Kebersihan No.
Kondisi Kebersihan
Jumlah
Persen
1.
Bersih
31
25,83
2.
Kotor
89
74,17
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas PKL dikategorikan kotor (74,17 %). Hasil ini berimplikasi penting bagi strategi penataan PKL yang membutuhkan keterlibatkan beberapa pihak secara langsung seperti Dinas Kebersihan dan Dinas Kesehatan terutama untuk memberikan pengarahan dan bimbingan terhadap masalah kebersihan dan kesehatan.
Dalam konteks ini, Mehrotra and Mario
(2002) menemukan bahwa masalah kesehatan PKL memerlukan intervensi publik yaitu perhatian dari otoritas kota untuk memberikan bimbingan kepada PKL. 5.3.14. Keberadaan Usaha di Tempat Lain Kepemilikan usaha PKL di tempat lain perlu juga dikaji. Pertanyaan ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi lebih lanjut jiwa kewirausahaan responden pelaku PKL.
Jika usahanya dipandang layak dan menguntungkan,
mereka akan membangun usaha sejenis di tempat lain.
biasanya
Pertanyaan ini juga
berimplikasi pada strategi pengelolaa PKL dimana perlu pengaturan batas maksimal usaha PKL yang dapat dimiliki seseorang. Dengan demikian maka jumlah PKL tidak melebihi ambang batas kapasitas maksimal yang dapat diterima di suatu tempat atau kota.
Berdasarkan Perda No. 13 Tahun 2005, terdapat
larangan bagi PKL untuk mempunyai tempat usaha di lebih dari satu tempat yang bertujuan untuk membatasi jumlah PKL. Tabel 82. Kepemilikan Usaha di Tempat Lain No.
Usaha di Tempat Lain
Jumlah
Persen
1.
Ya
14
11,67
2.
Tidak
106
88,33
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Sesuai tipologinya maka hasil analisis pada Tabel 82 menujukkan
bahwa
mayoritas PKL di kota Bogor tidak memiliki usaha sejenis di tempat lain
153
(88,33%) dan sisanya (11,67 %) memiliki usaha di tempat lain. Analisis lebih lanjut terhadap 14 responden (yang memiliki lapak di tempat lain) menunjukkan bahwa secara rata-rata mereka memiliki 2 lapak. Lapak yang satu biasanya dioperasikan oleh kerabat atau orang lain yang diberi upah. 5.3.15. Registrasi PKL (B18) Salah satu karakteristik sektor informal adalah tidak teregulasi atau tidak terdaftar dalam institusi resmi. Untuk menguji tesis ini, maka diajukan beberapa pertanyaan terkait dengan apakah responden terdaftar dalam institusi pajak, pemerintah lokal, koperasi, paguyuban atau ormas/LSM.
Pertanyaan tersebut
mempunyai implikasi kebijakan bagi pengelolaan PKL di kota Bogor. Hasil analisis disajikan pada Tabel 83 yang menunjukkan bahwa mayoritas respoden tidak terdaftar di kantor pajak (90,83 %), namun bukan berarti mereka menghindari pajak.
Richardson (1984) menyatakan bahwa motivasi utama
sebagai PKL adalah untuk mata pencaharian dan pendapatan dibandingkan keuntungan.
Schneider (2002) menyatakan hal sebaliknya dimana salah satu
motivasi dalam menjalankan PKL adalah pajak. Kedua pendapat di atas dapat saja benar karena inti permasalahannya adalah tidak atau belum terdaftar di kantor pajak sehingga sering disebut juga sebagai hidden economy. Timalsina (2011) menyatakan bahwa karena dipandang sebagai aktivitas non profit, maka PKL (atau lebih umumnya sektor informal) tidak berkontribusi dalam ekonomi nasional dalam sisi pajak. Implikasi kebijakannya adalah jika sektor ini ingin diformalkan maka kantor pajak atau pemerintah daerah/kota perlu melakukan pendataan pelaku sektor ini. Tabel 83. Registrasi PKL
1.
Terdaftar di Institusi Kantor pajak
2.
Pemerintah Daerah
4
3,33
105
87,50
11
9,17
120
3.
Koperasi
3
2,50
106
88,33
11
9,17
120
4.
Paguyuban
44
36,67
74
61,67
2
1,67
120
5.
Ormas/LSM
0
0,00
109
90,83
11
9,17
120
No.
%
Total
90,83
Tidak Tahu 10
8,33
120
Ya
%
Tidak
%
1
0,83
109
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
154
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa mayoritas respoden tidak terdaftar di pemerintahan daerah (87,50 %). Dalam penelitian ini yang dimaksud terdaftar adalah sudah diberi ijin penggunaan lokasi. Data Disperindagkop kota Bogor per 25 Nopember 2008 seperti tertera pada Tabel 84 menunjukkan jumlah PKL yang sudah terdaftar di Disperindag sangat kecil dibandingkan jumlah PKL yang ada di kota Bogor. Tabel 84. Rekapitulasi PKL yang Sudah Mendapatkan Ijin Penggunaan Lokasi PKL per 28 Nopember 2008 No.
Lokasi
Jumlah PKL berijin
1.
Jl. Pajajaran (samping Balitnak IPB)
32
2.
Gg. Selot (samping SMAN 1 Bogor)
30
3.
Seputar Air Mancur
30
4.
Jl. Pengadilan (samping DTKP)
40
5.
Jl. Pajajaran (samping Damkar)
21
6.
Jl. Otista
14
Jumlah
167
Sumber : Disperindagkop (2011)
Di sisi lain data yang didapatkan dari Disperindagkop hanya berisi daftar PKL tahun 2005. Belum terdapat update versi terbaru untuk data ini.
Dengan
metodologi yang kurang tepat dan jumlah sampel yang kurang representatif, pada tahun 2010 konsultan PT. Oxalis Subur (2010) melakukan penelitian untuk memetakan PKL dengan menggunakan GIS. Hasil penelitian tersebut ternyata semakin mengaburkan pemetaan PKL.
Hasil-hasil ini menunjukkan bahwa
diperlukan pendaftaran ulang secara detil, PKL di kota Bogor. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa mayoritas respoden tidak terdaftar di koperasi (88,33 %). Koperasi adalah organisasi otonom yang berada dalam lingkungan
sosial
ekonomi
dan
sistem
yang
memungkinkan
setiap
individu/kelompok orang merumuskan tujuan-tujuannya secara otonom dan mewujudkan tujuan itu melalui aktivitas ekonomi yang dilaksanakan secara bersama. Kegiatan koperasi dilandasiprinsip gerakan ekonomi rakyat berdasarkan asas kekeluargaan. Yang dimaksud koperasi dalam penelitian ini adalah koperasi hasil bentukan PKL atau Pemerintah Kota sebagai wadah organisasi PKL.
155
Dengan kata lain mayoritas PKL belum memiliki wadah yang dapat digunakan untuk menyalurkan aspirasinya. Mayoritas respoden tidak terdaftar di paguyuban (61,67%) namun cukup banyak yang terdaftar di paguyuban (36,67%). Paguyuban dapat diartikan sebagai perkumpulan yang bersifat kekeluargaan, didirikan oleh orang-orang yang sepaham (sedarah) untuk membina persatuan (kerukunan) di antara para anggotanya.
Dalam konteks PKL, paguyuban biasanya bersifat lokasional
(misalnya paguyuban PKL Pasar Anyar) atau asal daerah (paguyuban pedagang Minang, Batak). Paguyuban dapat digunakan untuk menyalurkan aspirasi politis bagi anggota, sebagaiwadah berkeluarga dan mengatasi kesulitan finansial anggotanya. Mayoritas respoden tidak terdaftar di LSM (90,83 %). Dikaitkan dengan paguyuban, maka
paguyuban lebih berperan sebagai wadah PKL dalam
menyalurkan aspirasinya. Hasil ini juga menunjukkan kurangnya peran LSM lokal dalam mewadahi atau memberdayakan PKL di kota Bogor. Peranserta LSM akan sangat membantu PKL dalam mengatasi kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi. 5.4. Pekerja dan Kompensasi Analisis lebih lanjut dilakukan terhadap pekerja dan kompensasi.
Analisis
ini diperlukan karena kegiatan usaha kaki lima mampu memberikan lapangan pekerjaan, tidak hanya bagi PKL tetapi juga bagi tenaga kerja yang membantu kegiatan PKL. Kompensasi yang dimaksud adalah imbalan bagi tenaga kerja, seperti gaji atau bonus keuntungan, tunjangan kesehatan atau hari raya. Ini perlu diketahui karena dapat menunjukkan absorbsi tenaga kerja dari aktivitas PKL. Hasil analisis yang disajikan pada Tabel 85 menunjukkan bahwa mayoritas PKL (80,83 %) tidak memiliki pegawai, artinya mereka sendiri bertindak sebagai pemilik dan sekaligus pekerja dalam usaha PKL. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa sebanyak 19,17 % PKL menggunakan pegawai untuk membantu aktivitas usaha. Ini menunjukkan bahwa usaha ini mampu berkontribusi dalam menyerap tenaga kerja yang tidak terserap sektor formal. Lapangan kerja sektor formal mensyaratkan skill dan latar belakang pendidikan tertentu yang sifatnya formal,
156
sehingga tenaga kerja yang tidak tertampung akan memilih sektor informal untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Tabel 85. Jumlah Responden yang Menggunakan Tenaga Kerja No.
Memiliki Pegawai
Ya
Persen
1.
Ya
23
19,17
2.
Tidak
97
80,83
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Kemampuan PKL dalam menyerap tenaga kerja juga berdimensi sosial. Effendy (2000) menyatakan bahwa ketidakmampuan sektor formal dalam menampung tenaga kerja dan kemampuan sektor informal sebagai pengaman antara pengangguran dan keterbatasan peluang kerja, menyebabkan sektor informal mampu meredam kemungkinan keresahan
sosial akibat langkanya
peluang kerja. Eksplorasi lebih lanjut terhadap responden yang menggunakan tenaga kerja (23 responden) menunjukkan bahwa mayoritas responden memberikan bonus bagi tenaga kerjanya (52,17 %). Ini menunjukkan bahwa mereka memahami arti reward bagi para pekerjanya. Dalam konteks ekonomi, rewards dapat berfungsi sebagai perangsang agar mereka berkinerja lebih baik, sekaligus retensi agar mereka tidak berpindah ke tempat lain. Tabel 86. Tunjangan dan Bonus bagi Pekerja No. 1. 2.
Bonus bagi Pekerja Ya Tidak Total
Ya
Persen
12 11 23
52,17 47,83 100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Tunjangan atau bonus yang diberikan dapat berupa tunjangan sakit, tunjangan hari raya, bonus keuntungan, dan bentuk-bentuk lain seperti lembur. Hasil analisis bentuk tunjangan atau bonus disajikan pada Tabel 87.
Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 12 responden yang memberikan bonus bagi pekerjanya, mayoritas (75,00 %) memberikan bonus atau tunjangan dalam bentuk tunjangan hari raya (THR). Sebagian memberikan tunjangan sakit (8,33 %), bonus keuntungan (8,33 %), dan tunjangan atau bonus bentuk lain
157
(8,339 %).
THR adalah bentuk tunjangan yang paling umum diberikan di
Indonesia sehingga seperti yang diduga menunjukkan hasil mayoritas. Tabel 87. Bentuk Tunjangan atau Bonus bagi Pekerja No.
Jenis Bonus
Ya
Persen
1.
Tunjangan sakit
1
8,33
2.
Tunjangan hari raya
9
75,00
3.
Bonus keuntungan
1
8,33
4.
Lainnya
1
8,33
Total
12
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
5.5. Aspek Keuangan dan Lain-Lain Menurut Sari (2003), salah satu ciri sektor informal dari aspek keuangan adalah modal, peralatan dan perlengkapan, serta omzet biasanya kecil dan diusahakan atas dasar hitungan harian. Untuk menguji pandangan ini maka penelitian diarahkan dengan memberikan pertanyaan terkait dengan jumlah modal awal, jumlah modal kerja harian, jumlah pendapatan (omzet), sumber modal dan kemampuan pengembalian modal. 5.5.1. Modal Awal
Hasil analisis pada Tabel 88 menunjukkan bahwa mayoritas responden (40,83 %) membutuhkan modal antara Rp 1.000.000,- sampai Rp 5.000.000,- untuk memulai usaha sebagai PKL. Urutan berikutnya adalah kebutuhan modal antara kurang dari Rp 500.000,- (37,50 %), antara Rp 500.000,- sampai Rp 1.000.000,(15,00 %), lebih dari Rp 5.000.000,- (3,33 %) dan tanpa modal (3,33 %). Hasil analisis ini sedikit berbeda dengan yang ditemukan oleh Budi (2005) bahwa mayoritas responden PKL mempunyai modal kurang dari Rp 1.000.000,-. Perbedaan ini terkait dengan tipologi PKL yang dianalisis dalam penelitian ini. Budi (2005) tidak memilah PKL menurut tipologi, sementara penelitian ini menggunakan tiga tipologi.. Hasil ini sejalan dengan temuan Disperindag (2010) bahwa rata-rata modal awal yang dikeluarkan PKL kota Bogor adalah Rp 1.566.629,-. Hasil analisis menemukan adanya PKL yang tidak menggunakan modal untuk memulai usaha sebagai PKL. Jika data yang diperoleh (Lampiran) dilihat lebih mendalam, maka responden yang tidak menggunakan modal
158
ditemukan pada tipologi pasar tumpah (2 responden) dan pasar sayur malam (2 responden). Tabel 88. Modal Awal yang Diperlukan dalam Memulai Usaha No.
Modal Awal
Ya
Persen
1.
Tanpa Modal
4
3,33
2.
<=500.000
45
37,50
3.
500.000-1.000.000
18
15,00
4.
1.000.000-5.000.000
49
40,83
5.
> 5.000.000
4
3,33
120
100,00
Total Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Modal mereka hanya tenaga karena mereka mengambil barang dari bos (distributor), menjualnya, dan melakukan setoran ke bos ketika jam operasinya selesai. Mereka memperoleh pendapatan dari selisih harga dari bos dengan harga jual. Berdasarkan
rata-rata
modal
awal
yang
digunakan,
hasil
analisis
menunjukkan bahwa tipologi pasar kuliner paling banyak membutuhkan modal awal (Rp 3.860.250,-). Hal ini karena pasar kuliner lebih banyak membutuhkan sarana dan prasarana usaha seperi tenda, kursi, meja, mangkok, piring, sendok dan lain sebagainya. Pasar tumpah rata-rata membutuhkan modal awal Rp 1.957.500,dan yang terkecil adalah pasar sayur malam (Rp 855.000,-). Hasil ini tentunya tidak konklusif atau tidak dapat digeneralisasi mengingat bahwa kebutuhan modal awal akan sejalan dengan skala usaha yang digunakan. Analisis modal awal mencirikan PKL di kota Bogor dalam konteks tipologi PKL. Secara keseluruhan, hasil survai modal awal tersebut menunjukkan bahwa usaha pada sektor informal terutama PKL merupakan usaha dengan modal relatif kecil dan merupakan unit usaha skala kecil yang sesuai dengan karakteristik sektor informal pada umumnya. 5.5.2. Jenis dan Sumber Modal
Modal usaha dapat berupa modal sendiri, modal sendiri ditambah sebagian pinjaman, dan seluruhnya pinjaman dari sumber-sumber modal. Hasil analisis pada Tabel 89 untuk 116 responden yang menggunakan modal menunjukkan
159
bahwa mayoritas responden menggunakan modal sendiri (81,90 %) dalam memulai usaha sebagai PKL. Hasil ini konsisten dengan Tabel 78 bahwa modal yang diperlukan untuk memulai usaha relatif kecil sehingga mayoritas responden tidak harus melakukan pinjaman. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa responden mengkombinasikan modal sendiri dan pinjaman (14,66 %) untuk memulai usaha dan sebagian kecil menggunakan modal yang seluruhnya pinjaman (3,45 %). Tabel 89. Sumber Modal PKL No.
Sumber Modal
Ya
Persen
1.
Modal sendiri
95
81,90
2.
Sebagian pinjaman
17
14,66
3.
Seluruhnya pinjaman
4
3,45
116
100,00
Total Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Beragam sumber penyedia modal tersedia di pasar seperti dari saudara, teman, perbankan atau lembaga keuangan pemerintah, rentenir atau bank keliling, dan sumber-sumber lainnya. Hasil analisis pada Tabel 90 menunjukkan bahwa dari 21 responden yang menggunakan modal sebagian pinjaman dan seluruhnya pinjaman (jumlah No. 2 dan 3 pada Tabel 89), mayoritas responden meminjam dari teman (47,62 %) untuk modal usaha. Urutan berikutnya adalah meminjam dari saudara sendiri (33,33 %), rentenir atau bank keliling (9,52 %), bank atau lembaga keuangan pemerintah (4,76 %), dan dari sumber lain (4,76 %). Tabel 90. Sumber Pinjaman Modal No.
Sumber Pinjaman Modal
Ya
Persen
1.
Saudara sendiri
7
33,33
2.
Teman
10
47,62
3.
Bank/lembaga keuangan pemerintah
1
4,76
4.
Rentenir/bank keliling
2
9,52
5.
Lainnya
1
4,76
Total
21
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
160
Hasil ini cukup menarik dicermati. Bank atau lembaga keuangan pemerintah belum banyak dimanfaatkan untuk mendapatkan dana pinjaman.
Hasil ini
mengkonfirmasi salah satu karakteristik sektor informal yang disebutkan oleh Sari (2003) yaitu kurang mengenal sistem perbankan, pembukuan, perkreditan, dan sebagainya. Mitullah (2003) dalam kajian empiris PKL di Kenya, Pantai Gading, Ghana, Zimbabwe, Uganda, dan Afrika Selatan juga menemukan bahwa PKL tidak memiliki akses terhadap pembiayaan formal, dan sebagian besar tergatung pada tabungan sendiri, pembiayaan dari teman dan kerabat. Kurangnya ketergantungan PKL terhadap sumber kredit formal tidak mencerminkan kemampuan PKL dalam melakukan pembayaran pinjaman. Untuk mengetahui
kemampuan
pengembalian
pertanyaan berapa lama mereka mampu
modal
pinjaman
melunasi pinjaman.
maka
diajukan
Hasil analisis
terhadap responden yang memberikan jawaban menunjukkan bahwa rata-rata mereka dapat mengembalikan pinjaman kurang dari 2 bulan. Ini menunjukkan bahwa mereka sebenarnya bankable yang berarti memiliki kemampuan dalam mengembalikan pinjaman. Kurangnya penggunaan lembaga bank karena kebanyakan bank mensyaratkan agunan, perijinan, atau kepastian usaha dimana PKL relatif tidak memilikinya.
Sebab lain adalah mereka tidak mau terlibat
dengan proses birokratis dalam melakukan pinjaman ke bank. 5.5.3. Modal Kerja dan Pendapatan Analisis lebih lanjut terhadap aspek keuangan dilakukan terhadap jumlah modal kerja/operasional dan pendapatan yang merupakan variabel ekonomi penting dalam mempengaruhi kinerja usaha PKL. Dengan sifat dari data survey, maka pengukuran modal kerja dilakukan secara harian. McGee (1975) dan McGee and Yeung (1977) mengukur modal kerja dan pendapatan usaha menggunakan nilai stok dan pendapatan harian. Nilai stok (didekati dengan harga barang) dipandang sebagai indikator terbaik karena umumnya mencerminkan modal kerja PKL. Dalam penelitian ini, pengukuran modal kerja dilakukan dengan menanyakan langsung pada responden dan tidak menggunakan pendekatan stok barang. Pendekatan ini dipilih karena lebih simpel tanpa harus mengestimasi stok barang. PKL juga membutuhkan modal kerja harian untuk menjalankan aktivitas
161
usahanya. Dalam analisis ini ukuran yang digunakan adalah nilai uang (Rp) per hari karena PKL umumnya mendasarkan perhitungan profit secara harian. Hasil analisis modal kerja harian disajikan pada Tabel 91. Tabel 91. Modal Kerja Harian No.
Modal Kerja Harian (Rp)
Ya
Persen
1.
Tanpa modal
4
3,33
2.
≤ 100.000
31
25,83
3.
100.000-500.000
67
55,83
4.
> 500.000
18
15,00
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil
analisis
menunjukkan
bahwa
mayoritas
responden
(55,83%)
membutuhkan modal kerja harian antara Rp 100.000,- sampai Rp 500.000,-. Urutan berikutnya adalah kurang dari atau sama dengan Rp 100.000,- (25,83 %), lebih dari Rp 500.000,- (15,00 %), dan tanpa modal (3,33 %). Hasil ini sejalan dengan temuan Suharto (2003) dalam kajian PKL di kota Bandung bahwa mayoritas penggunaan modal kerja harian sebesar kurang dari Rp 200.000,-. Hasil serupa juga ditemukan oleh Budi (2005) dimana mayoritas PKL menggunakan modal kurang dari Rp 500.000,-. Hasil analisis mengindikasikan bahwa usaha PKL membutuhkan modal kerja yang relatif tidak terlalu besar. Hasil ini mengkonfirmasi salah satu karakteristik PKL yaitu tidak membutuhkan modal kerja yang besar sehingga sektor ini dapat dengan mudah dimasuki oleh masyarakat umum. Untuk tujuan pragmatis, pendapatan kotor (omzet) dapat digunakan untuk mengidentifikasi pendapatan dari usaha PKL. Pendapatan kotor (pendapatan kotor harian sebelum dikurangi total biaya operasional perdagangan sehari-hari) diperoleh dengan bertanya langsung kepada responden. Untuk menghindari respon jawaban yang terlalu rendah, maka dapat dilakukan pengecekan jumlah stok atau display di lapak PKL. Karena sifat fluktuatif usaha PKL, maka jumlah penjualan untuk tiga tipologi PKL dibagi ke dalam tiga kelas yaitu minimum, rata-rata dan maksimum. Hasil analisis data menunjukkan bahwa tanpa membedakan tipologinya,
162
jumlah penjualan/pendapatan minimum adalah Rp 299.917,-/hari, jumlah penjualan/pendapatan
rata-rata
adalah
Rp
431.833,-/hari,
dan
jumlah
penjualan/pendapatan maksimum Rp 641.849,-/hari. Angka ini diperoleh dengan merata-ratakan penjualan atau pendapatan untuk semua responden. Tabel 92. Omzet Kotor Harian PKL menurut Tipologi. No
Tipologi
Pendapatan Harian (Rp) Minimum
Rata-rata
Maksimum
1
Pasar tumpah
473.750
673.750
980.000
2
Pasar sayur malam
203.625
305.000
448.625
3
Pasar kuliner
222.375
316.750
505.375
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Jika dilihat dari tipologinya,
pendapatan harian rata-rata tipologi pasar
tumpah (Rp 673.750,-) lebih tinggi dibandingkan pasar sayur malam (Rp 305.000,-) dan pasar kuliner (Rp 316.750,-). Dilihat dari gap antara pendapatan minimum, rata-rata, dan maksimum, nampak bahwa pasar tumpah lebih fluktuatif. Ini disebabkan karena pendapatan pada pasar tumpah sangat tergantung dari jumlah pengunjung. Jumlah pengunjung akan banyak pada hari-hari libur dan biasanya sepi pada hari biasa. Manajemen keuangan sangat penting bagi seorang pelaku usaha sehingga analisis berikutnya diarahkan pada jenis pembukuan yang dilakukan responden. Tabel 93. Jenis Pembukuan Pelaku PKL No.
Jenis Pembukuan
Ya
Persen
109
90,83
1.
Tidak ada pembukuan
2.
Pembukuan untuk kepentingan pribadi
8
6,67
3.
Pembukuan sederhana untuk pajak
1
0,83
4.
Pembukuan format yang rinci
1
0,83
5.
Lainnya
1
0,83
120
100,00
Total Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis pada Tabel 93 menunjukkan bahwa mayoritas responden tidak memiliki pembukuan (90,83 %) dan sebagian kecil memiliki pembukuan untuk kepentingan pribadi (6,67 %). Hanya satu responden yang menyatakan memiliki
163
pembukuan sederhana untuk pajak dan satu responden memiliki pembukuan format rinci. Responden yang memiliki tipe pembukuan format rinci adalah PKL waralaba yang memiliki format pembukuan dari pewaralabanya Hasil analisis pada Tabel 93 memiliki implikasi dari sisi pemberdayaan PKL, yaitu perlunya pelatihan pembukuan sederhana bagi pelaku PKL oleh dinas-dinas yang relevan. Pelatihan ini penting agar pelaku PKL dapat membedakan atau memilah pos-pos keuangan mereka dalam sistem akuntansi. Mereka seharusnya faham apa yang termasuk dalam komponen pendapatan, komponen pengeluaran, komponen hutang, piutang usaha, dan sebagainya. Yang sering terjadi mereka mencampur-adukkan keuangan keluarga dengan keuangan usaha sehingga keuntungan yang didapat terkadang merupakan keuntungan semu. 5.5.4. Sewa Lapak PKL memerlukan lokasi dalam memulai usaha. Pemilihan lokasi merupakan hal penting untuk mendapatkan konsumen yang pada gilirannya mempengaruhi keberhasilan usaha.
Beberapa lokasi membutuhkan biaya sewa (lapak) dan
beberapa lokasi lainnya tidak. Hasil analisis pada Tabel 94 menunjukkan bahwa mayoritas PKL membayar untuk mendapatkan tempat usaha (59,17 %), tidak membayar tempat usaha (32,50 %), dan tidak memberikan respon jawaban (8,33%). Tabel 94. Pembayaran Tempat Usaha No. 1. 2. 3.
Pembayaran Tempat Usaha Ya Tidak Tidak menjawab Total
Ya
Persen
71 39 10 120
59,17 32,50 8,33 100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Sebanyak 71 responden menyatakan mereka membayar untuk memperoleh tempat usaha, rata-rata sebesar Rp 126.693,- per bulan atau sekitar Rp 5.000,- per hari, suatu jumlah yang relatif kecil. Mayoritas responden (85,92 %) menyatakan bahwa sistem pembayaran umumnya harian (85,92 %), bulanan (9,86 %), dan tahunan (4,23 %).
164
Tabel 95. Jangka Waktu Pembayaran No.
Jangka Waktu Pembayaran
Ya
Persen
1.
Harian
61
85,92
2.
Mingguan
0
0,00
3.
Bulanan
7
9,86
4.
Tahunan
3
4,23
Total
71
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Untuk mengetahui apakah pembayaran tersebut masuk ke pendapatan asli daerah (PAD) yang dapat digunakan untuk kepentingan pembangunan maka diperlukan kajian terhadap penerima pembayaran sewa lapak tersebut.
Pihak
penerima pembayaran sewa lapak dapat berupa pihak resmi atau Pemerintah Kota, koperasi,
paguyuban, LSM/ormas dan oknum tertentu.
Hasil analisis pihak
penerima pembayaran menurut responden disajikan pada Tabel 96. Tabel 96. Pihak Penerima Pembayaran Sewa Lapak No.
Penerima Pembayaran
Ya
Persen
1.
Pemerintah (resmi)
5
7,04
2.
Koperasi
0
0,00
3.
Paguyuban
37
52,11
4.
LSM/ormas
0
0,00
5.
Oknum
29
40,85
Total
71
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa lebih setengah dari responden melakukan pembayaran pada paguyuban (52,11 %), diikuti oleh oknum tertentu (40,85 %), dan hanya 7,04 % yang melakukan pembayaran resmi pada pihak Pemerintah Kota Bogor. Hasil ini mengindikasikan bahwa sebagian besar pendapatan dari sewa lapak tidak masuk ke dalam PAD tetapi diterima organisasi pedagang itu sendiri dan oknum-oknum tertentu. Hasil analisis menunjukkan bahwa hanya sedikit PKL yang melakukan pembayaran resmi ke Pemerintah Kota Bogor. Kondisi ini berhubungan dengan masih banyaknya PKL yang belum berijin dalam menggunakan lokasi PKL. Berdasarkan Keputusan Walikota Bogor No. 511.23.45-23 tahun 2007, Kepala
165
Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi ditunjuk untuk memberikan ijin penggunaan lokasi, pembinaan dan penataan PKL.
Pemerintah Kota Bogor
mewajibkan pembayaran restribusi pemakaian kekayaan daerah, restribusi pelayanan sampah dan bagi PKL kuliner wajib membayar pajak restoran, tetapi tidak mewajibkan pembayaran lapak atau tempat usaha. 5.5.5. Fluktuasi Usaha Tingkat pendapatan PKL rata-rata per hari tergantung pada waktu. Pada harihari biasa, tingkat pendapatan mereka sangat minim, tetapi pada hari libur atau pada waktu ada keramaian, tingkat pendapatan mereka akan naik tajam. Untuk mengetahui fluktuasi kegiatan usaha PKL pada ketiga tipologi, responden diminta memberikan penilaian terhadap kegiatan usahanya selama 12 bulan terakhir (D11). Dalam penilaian ini, responden memberikan nilai 1 untuk bulan dengan minimum kegiatan, 2 untuk rata-rata dan 3 untuk kegiatan maksimal. Hasil analisis fluktuasi usaha disajikan pada Gambar 13.
Gambar 13. Fluktuasi Kegiatan PKL selama 12 Bulan Terakhir Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Dari Gambar 13 nampak bahwa kegiatan PKL sangat fluktuatif setiap bulannya.
Pada bulan Januari kegiatan berlangsung di atas rata-rata,
kemungkinan terkait dengan meningkatnya kebutuhan di awal tahun. Pada bulan Pebruari mengalami penurunan drastis dan mulai meningkat lagi sampai Mei dan puncaknya dicapai pada bulan Desember (akhir tahun). Analisis menggunakan regresi linier menghasilkan persamaan y = 0.004x + 2.002 (R2 = 0.057) dengan
166
nilai R2 = 0,057 (kecil) dan datar. Hal ini dapat diartikan bahwa sebenarnya kegiatan tersebut berada di sekitar angka rata-rata tertentu sepanjang tahun. 5.5.6. Pengeluaran Analisis lebih mendalam tentang kondisi keuangan dilakukan terhadap komponen pengeluaran yang terdiri dari biaya operasional, biaya resmi dan biaya tidak resmi. Penilaian dilakukan per hari dan dikonversi menjadi per bulan karena beberapa komponen dibayarkan bulanan. Selain itu juga dilakukan pembagian antara perhitungan yang menggunakan tenaga kerja (dan bonus) dengan yang tanpa biaya tenaga kerja (dan bonus). Pembedaan ini diperlukan terkait hasil pada Tabel 85, dimana hanya sebagian PKL yang menggunakan tenaga kerja, sementara mayoritas tidak menggunakan tenaga kerja. Bila PKL menggunakan tenaga kerja maka komponen bonus akan dimasukkan dan sebaliknya jika tidak. Hasil analisis rata-rata item pengeluaran responden disajikan pada Tabel 97. Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran PKL yang menggunakan tenaga kerja adalah Rp 4.601.342,- dan yang tidak menggunakan tenaga kerja sebesar Rp 2.525.820,-. Pada PKL yang menggunakan tenaga kerja, komponen terbesar pengeluaran adalah upah dan gaji pekerja yaitu sebesar 27,09 %, sedangkan pada PKL yang tidak menggunakan tenaga kerja komponen terbesar adalah kuli angkut yaitu 22,78 %. Pengamatan lebih mendalam menunjukkan bahwa komponen biaya resmi (kebersihan dan restribusi) lebih kecil dibandingkan biaya tidak resmi (keamanan). Hasil ini mengindikasikan bahwa banyak pihak luar yang mengambil keuntungan dari keberadaan PKL. Biaya keamanan yang dimasukkan ke dalam komponen tidak resmi dapat berupa biaya untuk preman, satpam setempat, oknum satpol PP, oknum desa atau kecamatan dan sebagainya. Istilah keamanan dapat merujuk pada pengertian keamanan dari pencurian, tindakan penggusuran dan sebagainya. Implikasi bagi kebijakan adalah seharusnya biaya tidak resmi dapat diturunkan atau dihilangkan agar PKL mendapat keuntungan yang layak dan jika perlu dikonversi ke biaya resmi sehingga pendapatan pemerintah lebih besar untuk tujuan pembangunan.
167
Tabel 97. Rata-rata Pengeluaran Bulanan Responden No.
Komponen Biaya
Dengan Tenaga dan Bonus (Rp)
%
Tanpa Tenaga dan Bonus (Rp)
%
-
-
Biaya Operasional 1.
Upah dan gaji pekerja
1.246.522
27,09
2.
615.000
13,37
3.
Jaminan sosial (asuransi yang berhubungan dengan pekerja, misalnya : jamsostek, asuransi jiwa dan kesehatan) jika ada Bonus pekerja
214.000
4,65
4.
Minyak tanah/LPG
243.172
5,28
243.172
9,63
5.
Air
98.333
2,14
98.333
3,89
6.
Listrik
78.696
1,71
78.696
3,12
7.
193.588
4,21
193.588
7,66
8.
Sewa tempat (lapak) dan peralatan Transportasi
357.807
7,78
357.807
14,17
9.
Makan
508.750
11,06
508.750
20,14
10.
Komunikasi (HP, telp.)
166.750
3,62
166.750
6,60
11.
Kuli angkut
575.455
12,51
575.455
22,78
12.
Biaya perbaikan dan pemeliharan fasilitas usaha
166.583
3,62
166.583
6,60
Biaya Resmi 13.
Kebersihan
46.686
1,01
46.686
1,85
14.
Retribusi
90.000
1,96
90.000
3,56
480.000
10,43
480.000
19,00
4.601.342
100,00
2.525.820
100,00
Biaya Tidak Resmi 15.
Keamanan Total
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Usaha PKL menjadi mata pencaharian utama bagi mereka yang terlibat di dalamnya.
Untuk mengetahui keuntungan/profit PKL maka responden diberi
pertanyaan mengenai berapa besar penghasilan yang dibawa pulang (D16), yang dalam konteks ekonomi dapat dikatakan sebagai net profit atau pendapatan bersih. Dengan kelemahan PKL yang tidak memiliki pembukuan yang jelas (Tabel 93) maka mereka tidak melakukan perhitungan profit bulanan, tetapi profit harian. Dengan demikian maka pengukuran terhadap pertanyaan tersebut adalah harian, yang hasil analisisnya disajikan pada Tabel 98.
168
Tabel 98. Penghasilan Yang dibawa Pulang Harian No.
Tipologi
Penghasilan Yang dibawa Pulang Harian Rata-rata (Rp) 85.132
1.
Pasar tumpah
2.
Pasar sayur malam
81.500
3.
Pasar kuliner
110.485
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Penghasilan yang dibawa pulang harian adalah saldo uang atau kas harian setelah dikurangi pengeluaran-pengeluaran dan modal operasional harian atau harga beli barang yang terjual (penghasilan harian yang dibawa kerumah). Analisis terhadap tiga tipologi yang dikaji menunjukkan tipologi pasar kuliner memiliki pendapatan bersih rata-rata tertinggi yaitu sebesar Rp 110.485,- diikuti oleh pasar tumpah Rp 85.132,- dan pasar sayur malam Rp 81.500,-. Hasil ini sedikit berbeda dengan hasil penelitian Suharto (2003) yang mengkaji sektor informal di Bandung, dimana sektor informal dibagi menjadi sektor pangan, barang dan jasa. Kisaran pendapatan yang digunakan adalah interval Rp 10.000,dari mulai kisaran terendah Rp 0,- sampai Rp 10.000,- hingga kisaran tertinggi lebih dari Rp 40.000,-. Suharto (2003) menemukan bahwa sektor barang (pasar tumpah dan sayur malam) memiliki pendapatan lebih tinggi dibandingkan sektor pangan (dalam hal ini pasar kuliner). Perbedaan ini terkait dengan perbedaan nilai uang tahun 2002 dan tahun 2011 dimana penelitian ini berlangsung. Penghasilan yang dibawa pulang harian rata-rata di atas tidak dapat diartikan bahwa tipologi pasar kuliner lebih menguntungkan dibandingkan dua tipologi lainnya. Hasil di atas bersifat deskriptif dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut terkait dengan kelayakan usaha menurut tipologi PKL. Studi kelayakan akan lebih baik jika memperhitungakan resiko dengan menggunakan analisis sensitivitas. Mengingat tidak adanya data yang valid dari Pemerintah Kota Bogor maka studi tersebut sebaiknya menggunakan data primer dengan jumlah sampel lebih besar. Sebagian besar penghasilan yang dibawa pulang digunakan untuk kebutuhan konsumsi dan pengeluaran rumah tangga lainnya.
Dalam penelitian ini
pengukuran pengeluaran rumah tangga didekati dengan kebutuhan konsumsi harian karena konsumsi merupakan komponen terbesar pengeluaran rumah
169
tangga. Hasil analisis pengeluaran rumah tangga (D17) disajikan pada Tabel 99. Tabel 99. Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (RT) Harian No.
Tipologi
Pengeluaran Konsumsi RT Harian Rata-rata (Rp) 36.711
1.
Pasar tumpah
2.
Pasar sayur malam
30.000
3.
Pasar kuliner
35.900
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa pengeluaran konsumsi harian rata-rata pasar tumpah (Rp 36.711,-) lebih besar dibandingkan pasar kuliner (Rp 30.000,-) dan pasar sayur malam (Rp 35.900,-). Namun demikian, jumlah pengeluaran konsumsi sebenarnya tergantung pada jumlah anggota keluarga. Semakin banyak tanggungan keluarga maka akan semakin besar pengeluaran konsumsi yang diperlukan. Kombinasi
Tabel 98 dan Tabel 99 menghasilkan
pendapatan bersih
(Penghasilan – Konsumsi RT) harian PKL di kota Bogor (Tabel 100). Tabel 100 menunjukkan bahwa pasar kuliner memiliki pendapatan bersih harian tertinggi (Rp 74.585,-) dibandingkan pasar sayur malam (Rp 51.500,-) dan pasar tumpah (Rp 48.421,-). Perhitungan ini masih kasar karena belum dikurangi pengeluaranpengeluaran lain, tetapi setidaknya mengindikasikan bahwa usaha PKL mampu memberikan pendapatan yang mencukupi bagi para pelakunya. Tabel 100. Pendapatan bersih PKL Harian Rata-rata
1.
Pasar tumpah
85.132
Rerata Konsumsi Rumah Tangga (Rp) 36.711
2.
Pasar sayur malam
81.500
30.000
51.500
3.
Pasar kuliner
110.485
35.900
74.585
No.
Tipologi
Rerata Pendapatan (Rp)
Net (Rp) 48.421
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
5.6. Permasalahan dan Prospek Beragam masalah dihadapi oleh PKL, antara lain masalah perlindungan sosial, rendahnya pendidikan, dan buruknya kesehatan (Mehrotra and Biggeri, 2002), miskin dan rentan (Suharto, 2003), bekerja dalam lingkungan yang keras
170
tanpa infrastruktur dan layanan dasar, serta masalah pasar dan investasi (Mitullah 2003), tata kota (Nitisudarmo, 2009), proteksi sosial dan legal (Henley et al, 2009), penggusuran dan kekerasan (Akharuzzama et al, 2010), dan kendala finansial (Takim, 2011). Untuk mengeksplorasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi PKL di kota Bogor maka dilakukan pertanyaan mengenai kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi. Pertanyaan ini memiliki implikasi kebijakan bagi pengelolaan PKL di masa datang. Hasil analisis disajikan pada Tabel 101. Tabel 101. Masalah/Kesulitan yang Dihadapi PKL No.
Permasalahan
Ya
Persen
1.
Pasokan bahan baku
21
7,92
2.
Penjualan produk – kekurangan pelanggan
23
8,68
3.
Penjualan produk – terlalu banyak pesaing
26
9,81
4.
Kesulitan keuangan
36
13,58
5.
Tempat usaha sempit
16
6,04
6.
Kekurangan perlengkapan
16
6,04
7.
Kesulitan mengatur usaha
13
4,91
8.
Terlalu banyak biaya resmi
11
4,15
9.
Terlalu banyak biaya tidak resmi
22
8,30
10.
Penggusuran
38
14,34
11.
Pendapatan kecil
31
11,70
12.
Ketidakamanan (preman, pencurian, dan lain-lain)
11
4,15
13.
Ketidak pastian tempat usaha
1
0,38
265
100,00
Total Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas PKL menghadapi kesulitan terkait dengan penggusuran (14,34 %). Selain itu mereka juga menghadapi kesulitan keuangan (13,58 %), pendapatan kecil (11,70 %), penjualan produk – terlalu banyak pesaing (9,81 %), penjualan produk – kekurangan pelanggan (8,68 %), terlalu banyak biaya tidak resmi (8,30 %) pasokan bahan baku (7,92 %), tempat usaha sempit (6,04 %), kekurangan perlengkapan (6,04 %), kesulitan mengatur usaha (4,91 %), terlalu banyak biaya resmi (4,15 %), ketidakamanan seperti preman dan pencurian (4,15 %), dan ketidak pastian tempat usaha (0,38 %).
Untuk mengatasi masalah di atas maka perlu ditanyakan harapan mereka
171
terkait dengan permasalahan yang mereka hadapi. Hasil analisis pada Tabel 102 menunjukkan bahwa mereka mengharapkan akses memperoleh pinjaman (18,87 %), bantuan memperoleh suplai (12,45 %), penataan usaha atau tempat (12,45%), pelatihan teknis (9,81 %), pelatihan manajemen dan keuangan (9,43 %), akses informasi pasar (9,43 %), pendaftaran usaha (6,04 %), dan iklan produk/layanan baru (1,13 %). Tabel 102. Bentuk Bantuan yang Diharapkan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Bentuk Bantuan yang Diharapkan Pelatihan teknis Pelatihan manajemen dan keuangan Bantuan memperoleh suplai Akses memperoleh pinjaman Akses informasi pasar Penataan usaha/tempat Pendaftaran usaha Iklan produk/layanan baru Lainnya Total
Ya
Persen
26 25 33 50 25 33 16 3 0 211
9,81 9,43 12,45 18,87 9,43 12,45 6,04 1,13 0,00 80,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
5.7. Persepsi PKL terhadap Penataan Eksplorasi lebih lanjut diarahkan pada pemahaman PKL terhadap peraturan yang ada. Di Bogor sudah terdapat Perda yang berhubungan dengan PKL yaitu Perda No. 13 Tahun 2005.
Yang perlu dikaji adalah apakah Perda ini sudah
disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat umum atau PKL, karena masih terdapat PKL yang menempati titik-titik yang peruntukannya bukan untuk PKL. Hasil analisis kesadaran responden PKL terhadap peraturan yang ada disajikan pada Tabel 93, yang menunjukkan bahwa mayoritas PKL (67,50 %) menyadari bahwa usaha mereka di ruang publik atau privat menyalahi atau melanggar aturan Pemerintah Kota.
Namun demikian
PKL yang tidak
mengetahui bahwa mereka melanggar aturan juga cukup besar (32,50 %). Hasil ini mengindikasikan dua hal, yaitu: • Sosialisasi Perda belum maksimal karena masih cukup banyak PKL yang tidak mengetahui.
172
• Perda belum mengakomodasi kepentingan PKL sehingga mereka cenderung mengabaikan peraturan yang ada. Kedua hal tersebut berimplikasi pada kebijakan atau strategi pengelolaan PKL di Kota Bogor. Tabel 103. Pemahaman Responden terhadap Aturan No.
Pemahaman terhadap Aturan
Ya
Persen
1.
Paham
81
67,50
2.
Tidak paham
39
32,50
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Eksplorasi lebih lanjut terhadap kesediaan PKL untuk ditata (Tabel 94) menunjukkan bahwa mayoritas responden (60,83 %) berkeinginan untuk ditata, sedangkan 39,17 % PKL tidak mau ditata. Tabel 104. Kemauan PKL untuk Ditata No.
Kemauan Ditata
Ya
Persen
1.
Bersedia
73
60,83
2.
Tidak bersedia
47
39,17
120
100,00
Total Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Bagi PKL yang mau ditata maka perlu dicarikan bentuk-bentuk pengelolaan yang selaras dengan Perda untuk mengakomodasi harapan atau keinginan mereka. Bagi mereka yang tidak mau ditata, diperlukan tindakan persuasif dari dinas-dinas yang relevan sehingga mereka mau berpartisipasi dalam pembangunan kota Bogor sesuai dengan visi dan misi kota Bogor. Tindakan persuasif diperlukan untuk menghindari konflik
antara PKL dengan
Pemkot
Bogor,
tetapi tetap
mengakomodasi kepentingan keduanya. Analisis lebih lanjut terhadap bentuk penataan yang diharapkan oleh mereka yang mau ditata (Tabel 95) menunjukkan bahwa dari 73 responden, mayoritas (60,27 %) mengharapkan tetap di tempat usaha sekarang tetapi lebih dikelola. Sebanyak 30,14 % menginginkan ditempatkan di pasar yang ada (mendapatkan lapak usaha), dan sebagian kecil (9,59 %) ingin ditempatkan di lokasi baru.
173
Tabel 105. Bentuk Penataan yang Diharapkan No.
Bentuk Penataan
Ya
Persen
1.
Ditempatkan di pasar yang telah ada
22
30,14
2.
Tetap di tempat sekarang dan diatur
44
60,27
3.
Direlokasi ke tempat baru
7
9,59
73
100,00
Total Sumber : Data Primer 2011 (diolah)
Bentuk-bentuk penataan ini membutuhkan biaya APBD Kota Bogor yang signifikan dan komitmen Pemkot untuk melakukan pengelolaan PKL. Untuk memberikan kontribusi positif bagi pembangunan kota Bogor, setiap lapak standar perlu dikenai pembayaran dengan sistem dan jumlah yang dapat diterima oleh PKL. Sistem pembayaran dapat bersifat harian, mingguan, bulanan, tahunan atau membeli kios-kios pasar milik pemerintah. Hasil analisis pada Tabel 96 menunjukkan bahwa mayoritas responden (90,41 %) menginginkan bentuk pembayaran harian, sebanyak 6,85 % menginginkan bentuk pembayaran bulanan dan 2,74 % menginginkan secara mingguan. Hasil ini sesuai dengan pendapatan PKL yang bersifat harian sehingga mereka dapat langsung menyisihkan sebagian pendapatan hariannya untuk membayar sewa lapak. Tabel 106. Sistem Pembayaran yang Diharapkan er Lapak Standar No.
Bentuk Penataan
Ya
Persen
1.
Harian
66
90,41
2.
Mingguan
2
2,74
3.
Bulanan
5
6,85
4.
Tahunan
0
0,00
5.
Beli permanen
0
0,00
73
100,00
Total Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Dari sisi jumlah uang yang harus dibayarkan, secara rata-rata responden mengharapkan besaran sewa lapak Rp 8.564 per hari atau jika dikonversi menjadi Rp 256.920,- per bulan.
Jumlah ini
cukup besar jika mampu dikelola oleh
Pemerintah Kota untuk kepentingan pembangunan.
Untuk memaksimalkan
174
kontribusi sewa lapak terhadap pembangunan diperlukan strategi lebih lanjut agar dana tersebut tidak dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu bagi kepentingan pribadi. 5.8. Persepsi Pesaing, Pemasok, dan Masyarakat terhadap Keberadaan PKL Persepsi pesaing, pemasok, dan masyarakat terhadap keberadaan PKL menjadi salah satu komponen penting dalam penelitian ini. Hal ini menjadi unsur yang membedakan bila dibandingkan dengan penelitian lain tentang PKL di Indonesia.
Suharto (2003) dalam penelitian PKL di kota Bandung, Jawa Barat
dan Brata (2008) di Yogyakarta tidak membahas persepsi masyarakat terhadap PKL. Budi (2006) dalam kajian lokasi PKL di kota Pemalang hanya menggunakan persepsi masyarakat umum terhadap keberadaan PKL. Dalam penelitian ini, jumlah responden yang digunakan adalah pemasok (9 responden), pesaing (6 responden) dan masyarakat umum (45 responden). Jumlah masyarakat lebih banyak mengingat mereka adalah pihak yang terkena dampak langsung dan tidak langsung dari keberadaan PKL. Usaha PKL (informal) tidak berlangsung tanpa kompetisi.
Mereka
berkompetisi dengan PKL sejenis dan toko-toko (formal) yang ada di sekitarnya. Walsh (2010) dan Timalsina
(2011) menyatakan bahwa PKL mampu
menyediakan harga produk lebih murah sehingga” menguntungkan” konsumen masyarakat umum tetapi menjadi pesaing bagi usaha toko-toko di sekitarnya. Dengan demikian maka perlu memasukkan persepsi pesaing dalam analisis. Hasil analisis yang disajikan pada Tabel 97 menunjukkan bahwa mayoritas pesaing (55,56 %) memandang bahwa keberadaan PKL tidak mengganggu mereka dalam berusaha, tetapi proporsi yang terganggu juga cukup besar yaitu 44,44 %. Hal ini mengindikasikan bahwa keberadaan PKL di sekitar warung/toko mereka dipandang sebagai pesaing bila barang yang dijual adalah barang sejenis. Tabel 107. Persepsi Gangguan PKL terhadap usaha Pesaing dan Pemasok No. 1. 2.
Gangguan Usaha Ya Tidak Total
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Pesaing Jumlah Persen 4 5 9
44,44 55,56 100,00
Pemasok Jumlah Persen 1 5 6
16,67 83,33 100,00
175
Dari sisi pemasok, mayoritas responden (83,33 %) menyatakan bahwa keberadaan PKL tidak mengganggu aktivitas usaha mereka. Pemasok adalah penyedia suplai PKL sehingga PKL bukan dipandang sebagai gangguan usaha. Eksplorasi lebih lanjut terhadap pesaing yang merasa terganggu menunjukkan bahwa mayoritas (23,08 %) mengalami penurunan omzet penjualan. Hal ini tekait dengan keberadaan PKL yang mengganggu parkir konsumen (15,38 %) dan menyebabkan tempat usaha kurang dapat dilihat konsumen (15,38 %). Tabel 108. Bentuk Gangguan usaha PKL terhadap Pesaing No.
Bentuk Gangguan usaha
Ya
Persen
1.
Menurunkan omzet penjualan
3
23,08
2.
Menyebabkan konsumen enggan berbelanja
1
7,69
3.
Mengganggu parkir konsumen
2
15,38
4.
Menyebabkan tempat usaha kurang bisa dilihat konsumen
2
15,38
5.
Lingkungan menjadi kotor dan kurang rapi
2
15,38
6.
Jalanan menjadi sesak dan macet
2
15,38
7.
Merasa kurang aman
1
7,69
8.
Lainnya
0
0,00
Jumlah jawaban
13
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Berdasarkan data Persepsi Pesaing (B3) menunjukkan bahwa adanya PKL sejenis dengan usaha pesaing menyebabkan penurunan omzet penjualan pesaing rata-rata sekitar Rp. 377.778,- per bulan. Angka ini sebaiknya diverifikasi lebih lanjut dengan sampel pesaing lebih banyak untuk memastikan
apakah
keberadaan PKL menyebabkan penurunan omzet pesaing atau toko di sekitarnya. PKL dipandang memberikan manfaat bagi pemasok. Mayoritas responden pemasok (83,33 %) menyatakan bahwa keberadaan PKL menambah rantai pemasaran dan sebagian kecil (16,67 %) menyatakan bahwa PKL memberikan manfaat lain seperti mitra usaha dan sebagainya.
176
Tabel 109. Manfaat Keberadaan PKL bagi Pemasok No.
Manfaat Keberadaan PKL
Ya
Persen
1.
Menambah rantai pemasaran
5
83,33
2.
Meningkatkan jumlah barang yang dipasok (diversifikasi produk) Lainnya
0
0,00
1
16,67
6
100,00
3.
Total Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Penelitian lebih lanjut diarahkan pada manfaat aktivitas PKL bagi pesaing, pemasok, dan masyarakat umum. Hasil analisis disajikan pada Tabel 110. Tabel 110. Manfaat Aktivitas PKL bagi Pesaing, Pemasok, dan Masyarakat Umum No.
Manfaat keberadaan PKL
Pesaing
Pemasok
Masyarakat
Jml
%
Jml
%
Jml
%
1.
Tidak Ada
2
11,76
0
0,00
2
3,39
2.
Lokasi menjadi lebih ramai Mudah mendapatkan kebutuhan Meningkatkan perekonomian masyarakat kecil Mengurangi pengangguran Lainnya
3
17,65
0
0,00
3
5,08
5
29,41
2
33,33
21
35,59
1
5,88
2
33,33
19
32,20
6
35,29
1
16,67
13
22,03
0
0,00
1
16,67
1
1,69
17
100,00
6
100,00
59
100,00
3. 4.
5. 6.
Total Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Mayoritas pesaing (35,29 %) menyatakan bahwa keberadaan PKL dapat menurunkan jumlah pengangguran di masyarakat. Mayoritas pemasok (33,33 %) dan masyarakat umum (35,59 %) menyatakan bahwa keberadaan PKL membuat mereka mudah mendapatkan kebutuhan.
Hasil untuk masyarakat ini sejalan
dengan temuan Budi (2005) pada kajian PKL di Pemalang bahwa aktivitas PKL memiliki manfaat yang bervariasi bagi konsumennya. Intinya adalah aktivitas PKL memberikan kemudahan karena keberadaan mereka yang cenderung dekat dengan aktivitas masyarakat.
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa rata-rata
177
frekuensi berbelanja masyarakat umum ke PKL adalah 14,33 (∼15) kali dalam sebulan. Ini menunjukkan ketergantungan masyarakat umum terhadap aktivitas PKL di sekitarnya. Ketergantungan masyarakat terhadap aktivitas PKL terkait dengan beberapa alasan. Alasan mereka berbelanja ke PKL sangat beragam. Hasil analisis alasan masyarakat memilih berbelanja/makan di lokasi PKL disajikan pada Tabel 111. Tabel 111. Alasan Masyarakat Berbelanja di PKL No.
Alasan Berbelanja
Ya
Persen
1.
Harga lebih murah dibanding yang lain
35
64,81
2.
Lokasinya dekat
14
25,93
3.
Suasana lebih santai
1
1,85
4.
Produk dan jasa yang ditawarkan beragam
3
5,56
5.
Kualitas produk/jasa sesuai
1
1,85
6.
Lainnya, sebutkan.............
0
0,00
54
100,00
Total Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Mayoritas responden (64,81 %) menyatakan bahwa mereka berbelanja karena harganya lebih murah dibandingkan yang lain. Alasan ini dapat dicontohkan dalam harga kran air. Harga level PKL adalah Rp 5.000,- sampai Rp 7.500,sedangkan harga level toko kelontong atau toko bangunan antara Rp 10.000,sampai Rp 15.000,-. Jika kualitas yang menjadi ukuran, barang di toko tentunya lebih bagus, namun ukuran yang digunakan masyarakat menengah ke bawah umumnya adalah adalah harga dibandingkan kualitas. Kedekatan lokasi juga menjadi pertimbangan utama konsumen (25,93 %), khususnya untuk kebutuhan-kebutuhan tertentu seperti rokok, sabun, shampo, dan sebagainya. Sebagai contoh, ketika seseorang ingin membeli rokok maka dia akan mencari warung terdekat yang menjual rokok yang biasanya adalah toko kelontong PKL. Meskipun bermanfaat bagi masyarakat, keberadaan PKL sering dianggap mengganggu kepentingan umum.
Untuk itu persepsi pemasok, pesaing dan
masyarakat terhadap gangguan aktivitas PKL perlu dikaji. Hasil analisis disajikan pada Tabel 112.
178
Tabel 112. Persepsi Keberadaan PKL untuk Kepentingan Umum Persepsi Keberadaan No. PKL untuk Kepentingan Umum 1. Tidak ada 2. 3. 4. 5. 6.
Pesaing
Pemasok
Masyarakat
Jml
%
Jml
%
Jml
%
3
18,75
0
0,00
6
9,09
Mengganggu aktivitas pejalan kaki Parkir menjadi sulit
1
6,25
0
0,00
12
18,18
2
12,50
2
33,33
5
7,58
Lingkungan menjadi kotor dan kurang rapi Jalanan menjadi sesak dan macet Merasa kurang aman
3
18,75
2
33,33
14
21,21
6
37,50
1
16,67
28
42,42
1
6,25
1
16,67
1
1,52
16
100,00
6
100,00
66
100,00
Total Jawaban Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Dari hasil analisis pada Tabel 112 terlihat bahwa persepsi pesaing dan pemasok menunjukkan hasil yang cenderung sama. Mayoritas pesaing (37,50 %) dan masyarakat (42,42 %) menyatakan bahwa PKL menyebabkan jalanan menjadi sesak dan macet. Banyak pesaing (18,75 %) dan masyarakat (21,21 %) menyatakan bahwa PKL menyebabkan lingkungan menjadi kotor dan kurang rapi. Bagi pemasok, PKL menyebabkan parkir menjadi sulit (33,33 %), lingkungan menjadi kotor dan kurang rapi (33,33 %). Jika hasil di atas dicermati,
baik pesaing, pemasok maupun masyarakat
sedikit sekali yang menyatakan bahwa keberadaan PKL membuat mereka menjadi kurang aman (masing-masing 1 %).
Terkait dengan hasil ini, Budi (2005)
menemukan bahwa mayoritas masyarakat berpendapat PKL menyebabkan gangguan sebagai berikut :
ketidaknyamanan pejalan kaki kerena sempitnya
trotoar (18 %), parkir menjadi sulit (10 %), lingkungan kotor (10 %), jalanan yang macet (18 %), merasa tidak aman (4 %), dan alasan lain (6 %). Yang dimaksud dengan gangguan lain adalah gangguan secara visual karena tampilan PKL yang tidak teratur dan tidak tertib. Sebanyak 18 % masyarakat menganggap bahwa kehadiran PKL tidak memberi gangguan yang berarti. Umumnya masyarakat yang berpendapat demikian adalah masyarakat yang lokasi aktivitasnya belum dipenuhi oleh aktivitas PKL sehingga mereka beranggapan bahwa aktivitas PKL yang ada belum terlalu mengganggu.
179
Analisis selanjutnya diarahkan pada persepsi terhadap perlunya pengaturan khusus untuk aktivitas PKL di Kota Bogor (Tabel 113).
Hasil analisis
menunjukkan bahwa mayoritas pesaing (88,89 %), pemasok (66,67 %) maupun masyarakat (84,44 %) menyatakan bahwa keberadaan PKL perlu diatur secara khusus. Tabel 113. Persepsi Pengaturan untuk Aktivitas PKL No.
Persepsi Penataan PKL
Pesaing
Pemasok
Masyarakat
Jml
%
Jml
%
Jml
%
1.
Ya
8
88,89
4
66,67
38
84,44
2.
Tidak
1
11,11
2
33,33
7
15,56
9
100,00
6
100,00
45
100,00
Total Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Beragam bentuk pengaturan bisa dilakukan seperti pengelompokan usaha, pengaturan sarana dan prasarana usaha, pengaturan waktu usaha, relokasi usaha, registrasi usaha, dan bentuk-bentuk pengaturan lainnya. Hasil analisis persepsi pesaing, pemasok, dan masyarakat terhadap bentuk pengaturan disajikan pada Tabel 114. Tabel 114. Persepsi terhadap Bentuk-Bentuk Pengaturan No.
Pesaing
Bentuk Pengaturan
Pemasok
Masyarakat
Jml 4
% 36,36
Jml 0
% 0,00
Jml 7
% 12,73
Sarana dan prasarana usaha
5
45,45
2
50,00
28
50,91
3.
Waktu usaha
0
0,00
0
0,00
4
7,27
4.
Relokasi usaha
1
9,09
2
50,00
14
25,45
5.
Registrasi usaha
1
9,09
0
0,00
2
3,64
11
100,00
4
100,00
55
100,00
1.
Pengelompokan usaha
2.
Total Jawaban Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa pesaing memandang perlunya pengaturan sarana dan prasarana usaha (45,45 %), pengelompokan usaha (36,36 %), relokasi usaha (1 %), dan registrasi usaha (1 %). Bagi pemasok, bentuk pengaturan yang perlu dilakukan adalah sarana dan prasarana usaha (50,00 %) dan relokasi usaha (50,00 %). Bagi masyarakat, hal yang paling perlu diatur adalah sarana dan
180
prasarana usaha (50,91 %), relokasi usaha (25,45 %), pengelompokan usaha (12,73 %), waktu usaha (7,27 %), dan registrasi usaha (3,64 %). Bentuk pengaturan sarana dan prasarana dapat dicontohkan di Blitar dimana pemerintah
menyediakan
tenda-tenda
dengan
warna
tertentu
sehingga
memberikan keunikan sendiri pada wajah kota. Tenda tersebut dapat dimiliki PKL dengan cara pembayaran angsuran yang besarannya disesuaiakan dengan kemampuan PKL. Dalam konteks pengaturan PKL, Pemerintah Kota Bogor sering melakukan penggusuran di lokasi-lokasi tertentu sehingga persepsi terhadap penggusuran perlu diketahui. Penggusuran pada dasarnya merupakan penerapan Perda, namun terkadang bersifat represif sehingga menimbulkan bentrok fisik antara PKL dan petugas (Satuan Polisi Pamong Praja, Polisi, Dinas Tata Kota, dan sebagainya). Hasil analisis persepsi pesaing, pemasok, dan masyarakat terhadap penggusuran disajikan pada Tabel 115. Tabel 115. Persepsi terhadap Penggusuran No.
Perlunya Penggusuran
Pesaing
Pemasok
Masyarakat
Jml
%
Jml
%
Jml
%
1.
Ya
7
87,50
4
66,67
30
68,18
2.
Tidak
1
12,50
2
33,33
14
31,82
8
100,00
6
100,00
44
100,00
Total Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa, baik pesaing (87,50 %), pemasok (66,67 %), dan masyarakat (68,18 %) memandang perlu dilakukan penggusuran pada lokasi-lokasi tertentu yang peruntukannya bukan untuk PKL. Agar penggusuran tidak menimbulkan bentrok fisik yang terkadang merenggut korban jiwa, diperlukan mekanisme yang tepat sehingga masing-masing pihak merasa tidak dirugikan.
Persepsi pesaing, pemasok, dan masyarakat terhadap mekanisme
penggusuran yang seharusnya, disajikan pada Tabel 116.
181
Tabel 116. Mekanisme Penggusuran No.
1. 2. 3.
4.
5.
Mekanisme Penggusuran
Pesaing
Pemasok
Masyarakat
Jml
%
Jml
%
Jml
%
Tanpa sosialisasi dan tanpa kompensasi Dengan sosialiasi tapi tanpa kompensasi Dengan sosialiasi, dengan kompensasi, tanpa relokasi Dengan sosialisasi, dengan kompensasi dan relokasi Lainnya
0
0,00
0
0,00
0
0,00
2
28,57
0
0,00
1
20,00
0
0,00
0
0,00
2
40,00
5
71,43
5
100,00
26
20,00
0
0,00
0
0,00
1
20,00
Total Jawaban
7
100,00
5
100,00
30
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa baik pesaing, pemasok, dan masyarakat mayoritas berpendapat bahwa sosialisasi, kompensasi, dan relokasi adalah mekanisme penggusuran yang sesuai. Mekanisme ini pernah dilakukan dalam pengaturan PKL di Solo, Jawa Tengah dimana Pemerintah Kota melakukan pemberitahuan
sebelumnya
(sosialisasi),
menyediakan
tempat
(relokasi),
menyediakan angkutan secara gratis ditambah modal awal untuk berusaha di lokasi baru (kompensasi). Bentuk pengaturan ini terbukti tidak menimbulkan konflik antara petugas dan PKL karena PKL secara sukarela bersedia pindah ke lokasi baru.