ANALISIS KEUNTUNGAN PEDAGANG MARTABAK MANIS KAKI LIMA DI KOTA BOGOR
SKRIPSI
SYUKRON A14105612
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN SYUKRON. Analisis Keuntungan Pedagang Martabak Manis Kaki Lima di Kota Bogor. Skripsi. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan ETRIYA). Pedagang martabak di kota Bogor dapat dikategorikan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah pedagang martabak yang memiliki ijin usaha atau disebut dengan Usaha Kecil Menengah (UKM). Kelompok kedua adalah pedagang martabak yang sering disebut dengan pedagang kaki lima. Pedagang kaki lima atau disingkat (PKL) adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah PKL juga digunakan untuk pedagang di jalanan pada umumnya Pedagang martabak adalah salah satu bagian dari pedagang jajanan yang memiliki omzet cukup besar. Pada database PKL yang dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi kota Bogor tahun 2005 pedagang martabak berjumlah 30 orang dengan rata-rata omzet sebesar Rp 120.000 per malam. Keberadaan martabak sebagai jajanan yang mengenyangkan, tidak lepas dari persaingan, baik dari usaha sejenis maupun dari usaha makanan lainnya yang sifatnya tradisional ataupun modern. Kenaikan semua harga bahan baku dan khususnya harga tepung terigu yang terjadi saat ini mempengaruhi pendapatan dan keuntungan yang didapatkan pedagang martabak manis kaki lima. Pada bulan Oktober-November tahun 2007 harga terigu berada dikisaran Rp 4.000- Rp 4.500 per kg, sedangkan pada bulan Oktober-November tahun 2008 harga tepung terigu berada dikisaran Rp 7.000-Rp 7.500 per kg. Peningkatan harga tepung terigu tersebut diduga mempengaruhi keuntungan pedagang martabak. Tujuan penelitian ini, antara lain (1) Menganalisis keuntungan usaha pedagang martabak manis (PKL) sebelum kenaikan harga bahan baku khususnya tepung terigu ; (2) Menganalisis keuntungan usaha pedagang martabak manis (PKL) setelah kenaikan harga bahan baku khususnya tepung terigu. Proses pengumpulan data dilakukan pada bulan Oktober hingga November 2008. Responden dalam penelitian ini diperoleh dengan metode convinience sampling. Responden yang digunakan berjumlah 30 orang pedagang martabak manis kaki lima. Pendekatan yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian yaitu menggunakan analisis keuntungan, rasio R/C dan rasio ∏/C. Rasio penerimaan terhadap pengeluaran dibedakan sebagai rasio atas biaya total dan tunai. R/C rasio sebelum terjadinya kenaikan harga tepung terigu masing-masing yaitu 1,564 dan 1,573, dan R/C rasio setelah terjadinya kenaikan harga tepung terigu masing-masing yaitu 1,334 dan 1,341. Hal ini menjelaskan bahwa pedagang martabak manis sebelum kenaikkan tepung terigu menerima 1,564 rupiah dari total biaya yang dikeluarkan, sementara pedagang pedagang martabak manis setelah kenaikkan tepung terigu hanya menerima sebesar 1,334 rupiah dari setiap biaya input yang dikeluarkan. Apabila dilihat dari biaya tunai usaha, pedagang martabak manis sebelum kenaikkan terigu akan menerima sebesar 1.573 rupiah sementara pedagang martabak manis setelah kenaikkan
terigu hanya menerima sebesar 1.341 rupiah dari setiap satu rupiah yang dikeluarkan dalam usaha. Secara umum dapat dikatakan bahwa usaha martabak manis kaki lima di lokasi penelitian mampu memberikan manfaat finansial bagi pedagang baik sebelum atau sesudah terjadinya kenaikan harga tepung terigu, karena secara ekonomi masing-masing usaha martabak tersebut memiliki nilai R/C ratio atas biaya tunai dan biaya total lebih besar daripada 1 (R/C ratio > 1). Saran yang dapat diajukan antara lain pedagang martabak manis kaki lima harus lebih aktif berinovasi mengembangkan produk baru yang lebih variatif dan mengikuti program pelatihan usaha yang diadakan oleh pemerintah untuk mengetahui solusi dalam memberdayakan usaha kecil menengah, agar bisa mengelola dan mengembangkan usaha martabaknya menjadi lebih baik.
ANALISIS KEUNTUGAN PEDAGANG MARTABAK MANIS KAKI LIMA DI KOTA BOGOR
SKRIPSI
SYUKRON A14105612
Skripsi ini merupakan Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul
:
Nama Nrp
: :
Analisis Keuntungan Pedagang Martabak Manis Kaki Lima di Kota Bogor Syukron A14105612
Menyetujui: Dosen Pembimbing
Etriya, SP. MM NIP. 132 310 809
Mengetahui: Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus Ujian:
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul ”Analisis Keuntungan Pedagang Martabak Manis Kaki Lima di Kota Bogor” adalah karya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, April 2009
Syukron A14105612
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 09 Oktober 1982, putera dari keluarga Bapak H. Djaelani Ahmad dan Ibu Hj. Ameh Hamidah. Penulis merupakan putera pertama dari enam bersaudara. Penulis memulai pendidikan dasar di SD Negeri Sukadamai III pada tahun 1989 hingga lulus pada tahun 1995. Penulis melanjutkan pendidikan di Madrasah Tsanawiah Manba'ul 'Ulum Asshiddiqiyah Cengkareng, Jakarta pada tahun yang sama hingga lulus pada tahun 1998. Sekolah Menengah Umum Negeri 2 Bogor merupakan tempat dimana penulis menempuh pendidikan selama tiga tahun. Tahun 2001 penulis lulus kemudian diterima sebagai mahasiwa pada Program Studi Teknik Informatika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor melalui jalur test dan lulus pada tahun 2004. Penulis pernah bekerja 14 bulan di PT Sinar Sosro KP Bogor sampai bulan Desember 2005. Di tahun yang sama penulis melanjutkan studi di Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Keuntungan Pedagang Martabak Manis Kaki Lima di Kota Bogor”. Skripsi ini disusun sebagai syarat penyelesaian pendidikan pada program sarjana (S1) Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Perkembangan pedagang martabak yang semakin pesat di kota Bogor, menyebabkan usaha ini menjadi sumber orang dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Setiap pedagang berusaha untuk menciptakan berbagai macam martabak dengan berbagai macam rasa dan variasi. Banyaknya orang yang bergerak di usaha ini baik perusahaan dengan martabak bermerek ataupun perorangan dengan martabak kaki limanya sangat membantu konsumen dalam pemenuhan kebutuhan akan makanan, khususnya makanan jajanan yang mengenyangkan. Penelitian ini ini dilakukan untuk menganalisis cabang usaha martabak manis pedagang kaki lima di kota Bogor. Penulis menyadari bahwa laporan penelitian ini masih banyak kekurangan. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun ke arah penyempurnaan pada skripsi ini sehingga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, April 2009
Syukron A14105612
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis sangat bersyukur atas bantuan berbagai pihak selama kegiatan penelitian dilaksanakan hingga laporan penelitian ini ditulis. Penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Orang tua tercinta H. Djaelani Ahmad dan Hj. Ameh Hamidah dan adik-adik serta semua saudara sepupu yang telah banyak memberikan dukungan doa dan dorongan selama penelitian. 2. Etriya, SP. MM selaku dosen pembimbing yang secara tulus dan bijaksana meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga dalam memberikan bimbingan dan pengarahan sejak perencanaan penulisan proposal, pelaksanaan penelitian hingga penulisan skripsi ini. 3. Ir. Netty Tinaprilla, MM selaku dosen penguji utama yang telah banyak memberikan saran dan masukan yang sangat berharga untuk perbaikan skripsi ini. 4. Dra. Yusalina, MSi selaku dosen penguji komdik atas kritik dan saran yang sangat berharga untuk perbaikan skripsi ini. 5. Neng Masrianti, sahabat, orang terdekat, pemicu semangat. 6. Seluruh staf Program Ekstensi Manajemen Agribisnis yang telah memberikan kemudahan dalam pengurusan administrasi. 7. Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kota Bogor, Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bogor, atas segala bantuan dan dukungan informasi yang diberikan selama penelitian. 8. Pedagang martabak manis yang telah bersedia menjadi responden atas segala bantuan, diskusi dan informasi yang diberikan. 9. Seluruh teman seperjuangan Rita Damayanty, Rhininta Yuriandhini, Bayu Sumbara, atas segala dukungan, kritik, saran yang telah diberikan. 10. Teman diskusi di Wisma Palladium Dramaga, Akbar Zamani, Abdi Haris, Yudistira Marfianda, Kholid Jalu, dan Pak guru Eko Hendrawanto atas bimbingannya. 11. Teman diskusi di Riau dan Bangka, Moamar Khadafi, Hendri Maulana, Roy Roni dan I Putu Danda Darnika atas pinjaman laptopnya.
12. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.
Bogor, April 2009
Syukron A14105612
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................... DAFTAR GAMBAR ................................................................................ DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xiii xiv xv
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1.2. Perumusan Masalah ......................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................... 1.4. Manfaat Penelitian .........................................................................
1 5 7 7
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Martabak .......................................................................... 2.2. Bahan Baku Martabak ..................................................................... 2.3. Peralatan Martabak Manis ............................................................. 2.4. Penelitian Tentang Martabak ......................................................... 2.5 Penelitian Tentang Usaha Kecil Menengah (UKM) di Bidang Makanan ........................................................................ 2.6 Penelitian Tentang Analisis Pendapatan ..........................................
8 9 11 13 14 16
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Usaha Kecil di Sektor Informal ........................................... 3.1.2. Kewirausahaan ................................................................... 3.1.3. Analisis Keuntungan............................................................ 3.1.4. Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C Rasio) ...... 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ...................................................
19 23 24 25 27
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................... 4.2. Jenis dan Sumber Data .................................................................. 4.3. Metode Pengambilan Responden .................................................... 4.4. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ................................... 4.4.1. Analisis Deskriptif .............................................................. 4.4.2. Analisis Keuntungan Usaha martabak Manis Kaki Lima .... 4.5. Definisi Operasional ......................................................................
30 30 30 31 31 31 33
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Keadaan Umum Kota Bogor .......................................................... 5.2. Karakteristik Responden ................................................................ 5.2.1. Umur Responden ............................................................... 5.2.2. Tingkat Pendidikan ............................................................ 5.2.3. Pengalaman Responden ..................................................... 5.2.4. Status Kepemilikan Tempat ............................................... 5.2.5. Sifat Usaha ........................................................................
35 36 36 37 38 39 40
5.2.6. Jumlah Pungutan ................................................................ 5.2.7. Penerima Pungutan ............................................................ VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Kondisi Usaha Martabak Manis Kaki Lima di Kota Bogor ............ 6.2. Analisis Keuntungan Usaha Martabak Manis Kaki Lima di Kota Bogor ................................................................................ 6.2.1. Penerimaan Usaha Martabak Manis Kaki Lima di Kota Bogor ..................................................................... 6.2.2. Biaya Usaha Martabak Manis ............................................ 6.2.3. Keuntungan Usaha Martabak Manis ...................................
40 41
43 45 46 47 51
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan .................................................................................... 7.2. Saran ..............................................................................................
54 54
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
56
LAMPIRAN ...............................................................................................
58
DAFTAR TABEL Halaman
Nomor 1.
Zona Khusus Pedagang Kaki Lima Di Kota Bogor Tahun 2008 .......
2
2.
Jumlah Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Jenis Usaha Dominan Di Kota Bogor pada Tahun 2005 ....................................................
4
3.
Ringkasan Penelitian Terdahulu ......................................................
18
4.
Persentase PDRB Kota Bogor dan Penduduk yang Bekerja Menurut lapangan Pekerjaan Utama Tahun 2008 .............................
36
Penerimaan Per Hari Usaha Martabak Manis Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga Tepung Terigu di Kota Bogor ..................
47
Biaya-Biaya Per Hari Usaha Martabak Manis Sebelum Terjadinya Kenaikan Harga Tepung Terigu Per Hari Tahun 2007 ....
48
Biaya-Biaya Per Hari Usaha Martabak Manis Setelah Terjadinya Kenaikan Harga Tepung Terigu Per Hari Tahun 2008 ....................
49
Analisis Keuntungan Usaha Martabak Manis Sebelum Dan Setelah Kenaikan Harga Tepung Terigu Di Kota Bogor .................
52
5.
6.
7.
8.
DAFTAR GAMBAR Halaman
Nomor 1.
Alat-Alat Dapur Martabak ...............................................................
12
2.
Kurva Biaya Total, Biaya Marjinal dan Biaya Rata-Rata ................
26
3.
Kerangka Pemikiran Operasional ....................................................
29
4.
Distribusi Responden Berdasarkan Umur..........................................
37
5.
Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ....................
38
6.
Distribusi Responden Berdasarkan Pengalaman Berusaha.................
39
7.
Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Pungutan........................
41
8.
Distribusi Responden Berdasarkan Orang atau Instansi yang Menerima Pungutan/Uang Sewa .......................................................
42
Rata-Rata Penggunaan Bahan Baku Oleh Pedagang Untum Pembuatan Martabak Manis Di Kota Bogor......................................
45
9.
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Nomor 1. Data Responden dan Faktor Produksi PKL Martabak Manis di Kota Bogor.......................................................................................
59
2.
60
Penyusutan Peralatan Pedagagang Martabak Manis Kaki Lima .........
I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Pada umumnya usaha terbagi menjadi dua bagian yaitu sektor formal dan
sektor informal. Sektor informal dianggap lebih mampu bertahan hidup dibandingkan sektor formal. Hal ini disebabkan sektor informal relatif lebih mandiri dan tidak tergantung pada pihak lain, khususnya menyangkut permodalan dan lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan usahanya (Korompis, 2005). Salah satu sektor informal adalah pedagang kaki lima (PKL). PKL sebagai wirausahawan adalah aset negara yang harus diperhatikan dan dikembangkan potensinya. Selain untuk menyediakan kebutuhan masyarakat golongan menengah ke bawah, PKL membantu pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan melalui penyerapan tenaga kerja secara mandiri bagi tenaga kerja yang memasuki pasar kerja. PKL tersebar merata di seluruh kota di Indonesia, salah satunya adalah kota Bogor. Pemerintah kota Bogor
melalui tim yang terdiri dari Dinas
Perindustrian Perdagangan dan Koperasi, Satpol PP, DLLAJ, Dinas Tata Kota dan Pertamanan, Bagian Hukum, Bagian Ekonomi yang bekejasama dengan kecamatan terkait melakukan penataan PKL (zoning) agar teratur dan tidak merusak tata ruang dan keindahan kota. Sampai dengan tahun 2008 pemerintah kota Bogor telah menetapkan 18 lokasi penataan PKL yang tersebar di berbagai tempat di kota Bogor. Zoning PKL di kota Bogor sampai dengan tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 1. Penataan PKL di kota Bogor berdasarkan jenis usaha yang dominan pada masing-masing tempat dibagi menjadi tiga jenis usaha yaitu jajanan, warung makan dan tanaman hias semuanya berjumlah 495 pedagang. PKL yang berjualan jajanan sebanyak 267 pedagang tersebar di sembilan tempat di kota Bogor yaitu Jalan Bangbarung Raya, Jalan Siliwangi, Jalan Papandayan, Jalan Batutulis, Jalan Bina Marga, Jalan Abdulah Bin Nuh (Yasmin), Jalan Samping Dinas Tata Kota dan Pertamanan, Gang Selot (samping SMPN 1 Bogor) dan seputar Bundaran Air Mancur. Tabel.1 menunjukkan zona khusus penataan PKL di kota Bogor.
Tabel 1. Zona Khusus Pedagang Kaki Lima Di Kota Bogor Tahun 2008 No Lokasi Jenis usaha Jumlah dominan (Orang) 1 Jln Bangbarung Raya Jajanan 15 2 Jln Pajajaran (Saras) Warung makan 32 3 Jln Sukasari III Warung makan 22 4 Jln Dadali Tanaman hias 48 5 Jln Siliwangi Jajanan 22 6 Jln Cidangiang Bawah Warung makan 10 7 Jln Papandayan Jajanan 13 8 Jln Batutulis Jajanan 32 9 Jln Bina Marga Jajanan 41 10 Jln Pejagalan Warung makan 20 11 Jln Ahmad Yani Tanaman hias 11 12 Jln Abdullah Bin Nuh Jajanan 44 13 Jln Samping DTKP Jajanan 40 14 Gang Selot Jajanan 30 15 Jln Otista Tanaman hias 32 16 Jln Pajajaran (Balitnak) Tanaman hias 32 17 Jln Pajajaran (Damkar) Tanaman hias 21 18 Seputar Air Mancur Jajanan 30 Sumber : Dinas Deperindag dan Koperasi Kota Bogor, 2008
PKL terbanyak berada di Jalan Abdulah Bin Nuh sebanyak 44 pedagang yang berada di depan ruko sepanjang jalan. Pedagang berjualan malam hari dimulai setelah magrib sampai dengan selesai. Hal ini disebabkan tempat yang dipakai untuk berjualan adalah lahan parkir di siang hari. PKL di wilayah ini melayani kebutuhan masyarakat perumahan Yasmin dan sekitarnya. PKL yang berdagang warung makan di kota Bogor tersebar di empat lokasi penataan dengan jumlah sebanyak 84 pedagang yaitu Jalan Pajajaran (pertigaan Vila Duta sampai Bale Binarum), Jalan Sukasari III, Jalan Cidangiang Bawah dan Jalan Pejagalan. Tempat berjualan warung makan yang paling ramai adalah di Jalan Pajajaran (pertigaan Vila Duta sampai Bale Binarum), hal ini disebabkan karena zona ini terletak di jalan protokol dan terletak di tengah kota. Usaha kaki lima lainnya yang telah ditata oleh pemerintah kota Bogor adalah usaha tanaman hias. Zona tanaman hias yang telah ditata berjumlah lima lokasi binaan yaitu berlokasi di Jalan Dadali, Jalan Ahmad Yani, Jalan Otista, Jalan Pajajaran (depan Balitnak sampai dengan LRPI).dan Jalan Pajajaran depan Dinas Pemadam Kebakaran. Jumlah pedagang tanaman hias yang telah ditata dan
dikelola oleh pemerintah kota Bogor melalui Deperindag dan Koperasi berjumlah 144 pedagang. Lokasi binaan pedagang tanaman hias dengan jumlah pedagang terbanyak terletak di Jalan Dadali dengan jumlah 48 pedagang, sebaliknya lokasi binaan pedagang tanaman hias dengan jumlah pedagang paling sedikit terletak di Jalan Ahmad Yani. Pemilihan lokasi berdagang yang dilakukan oleh pedagang tanaman hias harus strategis dan harus berada di ruang terbuka agar tanaman mendapatkan sinar matahari yang cukup. Salah satu alasan yang digunakan oleh pemerintah kota Bogor di dalam menempatkan pedagang tanaman hias di jalan-jalan protokol, strategis dan di tengah kota karena pedagang tanaman hias tidak merusak pemandangan, sebaliknya makin membuat jalan-jalan protokol lebih indah dan rapi. Hal ini dilakukan dengan syarat pedagang harus tetap menyediakan trotoar untuk pejalan kaki. Pertimbangan yang digunakan oleh pemerintah kota Bogor dalam menata PKL diantaranya adalah pedagang sudah lama berada di lokasi tersebut dan tidak membuat lokasi baru. PKL tidak terlalu mengganggu ketertiban umum dan adanya pengaturan waktu berjualan bagi para PKL yang berada di lokasi-lokasi tertentu seperti lahan parkir. Perkembangan PKL di kota Bogor meningkat cukup signifikan, yaitu sekitar 10 hingga 20 persen per tahunnya. Pada tahun 2008 diperkirakan jumlah PKL di kota Bogor mencapai 15.000 orang, meningkat sekitar 150 persen dari pendataan terakhir pada tahun 2005 sebesar 6.239 orang1. PKL di kota Bogor oleh Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi diklasifikasikan menjadi beberapa jenis usaha yaitu pedagang warung makan, pedagang sayuran atau buah, pedagang jajanan dan lainnya. Jenis usaha PKL di kota Bogor didominasi oleh pedagang jajanan sebanyak 3.120 orang atau 50,01 persen dari total jenis usaha dengan omzet rata-rata perhari sebesar Rp 97.500. Pedagang jajanan diantaranya adalah pedagang baso, mie ayam, siomay, batagor, bubur dan martabak. Beberapa usaha lainnya seperti tambal ban, bensin eceran, 1
Bogor.
Aep Saefudin. 2008. Kepala Seksi KUKM dan PKL Deperindag dan Koperasi Kota
aksesoris, reparasi elektronik, tanaman hias dan lain-lainnya berada di urutan kedua dengan persentase sebesar 30,25 persen. Omzet rata-rata perhari dari usaha ini adalah yang terkecil dari jenis usaha PKL lainnya yaitu sebesar Rp 75.000. Pedagang sayuran dan buah menempati urutan ketiga dari total PKL yang ada di kota Bogor sebanyak 635 orang dengan omzet rata-rata perhari sebesar Rp 150.000 yang merupakan omzet kedua terbesar dari rata-rata omzet PKL lainnya. Jenis usaha warung makan adalah jenis usaha kaki lima dengan omzet terbesar yaitu sebesar Rp 250.000 per hari, tapi merupakan jenis usaha yang paling sedikit diusahakan oleh PKL dengan jumlah sebanyak 597 orang atau setara dengan 9,57 persen dari total PKL yang ada di kota Bogor. Hal ini disebabkan karena untuk memulai jenis usaha ini memerlukan madal awal yang cukup besar (Tabel. 2).
Tabel 2. Jumlah Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Jenis Usaha Dominan di Kota Bogor pada Tahun 2005 Jenis Usaha
Jumlah (Orang)
Rata-rata Omzet (Rp)
Persentase jenis usaha (%)
Warung makan
597
250.000
9,57
Sayuran / Buah
635
150.000
10,18
3.120 1.887 6.239
97.500 75.000 143.125
50,01 30,25 100,00
Jajanan Usaha lainnya Jumlah
Sumber : Dinas Deperindag dan Koperasi Kota Bogor, 2005
Pedagang martabak adalah salah satu bagian dari pedagang jajanan yang memiliki omzet cukup besar. Pada database PKL yang dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi kota Bogor tahun 2005 pedagang martabak berjumlah 30 orang dengan rata-rata omzet sebesar Rp 120.000 per malam. Keberadaan martabak sebagai jajanan yang mengenyangkan, tidak lepas dari persaingan, baik dari usaha sejenis maupun dari usaha makanan lainnya yang sifatnya tradisional ataupun modern. Pedagang martabak di kota Bogor dapat dikategorikan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah pedagang martabak yang memiliki ijin usaha atau disebut dengan Usaha Kecil Menengah (UKM). Menurut Keputusan Presiden RI No. 99 tahun 1998 pengertian usaha kecil adalah kegiatan ekonomi
rakyat yang berskala kecil dengan bidang usaha yang secara mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat. Kriteria usaha kecil menurut UU No. 9 tahun 1995 adalah sebagai berikut: (1). Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha (2). Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (Satu Milyar Rupiah) (3). milik warga negara Indonesia (4). Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang tidak dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar (5). Berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi. Persaingan yang ketat mengharuskan pedagang martabak membangun dan mempertahankan loyalitas konsumen yang telah didapatkan. Berkembangnya usaha ini dapat dilihat dari banyaknya pelaku, baik itu bersifat perorangan atau PKL yang berjualan di pinggir-pinggir jalan, emperan toko, terminal, stasiun dan pasar. Pedagang yang memiliki modal cukup, lebih memilih berdagang menetap di suatu tempat dengan tampilan tempat yang lebih baik, menarik dan bersih. Para pengusaha lebih berfokus pada kualitas, cita rasa tinggi, eksklusif (unik), pilihan yang beragam dan pelayanan yang memuaskan untuk menarik konsumen sekaligus pembeda dari usaha-usaha sejenis yang berada di pinggir-pinggir jalan.
1.2
Perumusan Masalah Perkembangan usaha martabak yang semakin pesat di kota Bogor,
menyebabkan usaha ini menjadi sumber orang dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Setiap pedagang berusaha untuk menciptakan berbagai macam martabak dengan berbagai macam rasa dan variasi. Banyaknya orang yang bergerak di usaha ini baik perusahaan dengan martabak bermerek ataupun perorangan dengan martabak kaki limanya sangat membantu konsumen dalam pemenuhan kebutuhan akan makanan, khususnya makanan jajanan yang mengenyangkan.
Pedagang martabak (PKL) khususnya martabak manis, merupakan pedagang yang menggunakan tepung terigu sebagai bahan utama dari produknya. Terjadinya kenaikan harga tepung terigu karena naiknya harga bahan baku tepung terigu yaitu gandum dipasaran dunia, selain itu stok gandum internasional sangat minim karena beberapa negara penghasil gandum seperti Australia, China dan Argentina gagal panen. Ditambah lagi dengan kebijakan proyek biofuel di Amerika Serikat, dimana harga jagung tiba-tiba meningkat karena dipakai sebagai bahan biofuel, mengakibatkan banyak petani gandung di USA mengalihkan tanamannya, dari menanam gandum beralih menanam jagung. Kenaikan semua harga bahan baku dan khususnya harga tepung terigu yang terjadi saat ini mempengaruhi penerimaan dan keuntungan yang didapatkan. Pada bulan Oktober-November tahun 2007 harga terigu berada dikisaran Rp 4.000-
Rp 4.500 per kg, sedangkan pada bulan Oktober-November tahun 2008
harga tepung terigu berada dikisaran Rp 7.000-Rp 7.500 per kg. Peningkatan harga tepung terigu tersebut diduga mempengaruhi keuntungan pedagang martabak. Perhitungan mengenai analisis keuntungan dari pengusahaan martabak manis perlu dilakukan agar dapat memberikan gambaran kepada pedagang mengenai keuntungan yang akan didapatkan dari masing-masing pengusahaan martabak manis sebelum dan sesudah kenaikan harga bahan baku terutama tepung terigu dan diharapkan hasil dari perhitungan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk tetap berdagang martabak manis dengan variasi martabak yang lama atau berinovasi dengan martabak baru yang lebih variatif. Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka permasalahan yang akan diteliti adalah : 1. Bagaimana tingkat keuntungan usaha pedagang martabak manis (PKL) sebelum kenaikan harga bahan baku khususnya tepung terigu ? 2. Bagaimana tingkat keuntungan usaha pedagang martabak manis (PKL) setelah kenaikan harga bahan baku khususnya tepung terigu ?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah disebutkan,
maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Menganalisis keuntungan usaha pedagang martabak manis (PKL) sebelum kenaikan harga bahan baku khususnya tepung terigu. 2. Menganalisis keuntungan usaha pedagang martabak manis (PKL) setelah kenaikan harga bahan baku khususnya tepung terigu.
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi :
1. Pengusaha martabak, penelitian ini diharapkan dapat menjadi gambaran untuk mengetahui penerimaan dan keuntungan yang didapatkan baik sebelum dan sesudah kenaikan harga bahan baku khususnya tepung terigu . 2. Penulis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan wawasan, dan pengetahuan dalam usaha martabak. 3. Kalangan akademisi, sebagai bahan referensi atau sumber informasi untuk penelitian selanjutnya terutama dalam penyempurnaan dari penelitian ini.
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Martabak Martabak adalah salah satu makanan ringan yang sangat pesat
perkembangannya di Kota Bogor. Pelaku usaha ini sangat beragam, dari pelaku pinggir jalan sampai dengan pelaku usaha yang mempunyai tempat yang tetap, bagus dan mewah. Martabak menurut Dean (2005) adalah makanan khas dari India yang terbuat dari telur. Bahan dasar Martabak adalah campuran telur bebek (atau telur ayam) dengan irisan daun bawang dan daging cincang (daging sapi atau daging kambing) yang sebelumnya sudah diberi bumbu, yang dibungkus dengan adonan kulit yang dibuat dari tepung terigu, air dan minyak goreng. Martabak digoreng di atas penggorengan datar dengan minyak yang banyak sambil dibolak-balik, sehingga adonan kulit menjadi garing dan renyah. Martabak dimakan dengan saus encer berwarna coklat tua yang merupakan campuran air dengan cuka, gula jawa dan gula pasir. Sebagai pelengkap biasanya juga disertakan acar ketimun dan cabe rawit. Martabak adalah sejenis makanan khas dari negeri India yang sudah dikenal sejak dahulu hingga sekarang. Di Indonesia ada dua jenis martabak, pertama adalah martabak telur, yang kedua adalah martabak terang bulan atau biasa disebut martabak manis. Martabak terang bulan/martabak manis merupakan jenis martabak khas Indonesia yang tidak ditemukan di negara lain. Martabak manis berasal dari daerah Lebaksiu, Kecamatan Tegal, ditemukan pada sekitar awal tahun 1930-an oleh seorang pengusaha martabak asal India bernama Abdullah bersama dengan beberapa pemuda setempat. Pengembangan variasi lain dari martabak telur ini diberi nama martabak manis atau martabak terang bulan.. Martabak terang bulan atau martabak manis disebut terang bulan, karena bentuknya bulat seperti bulan purnama. Martabak manis ini dibuat dengan berbahan dasar adonan tepung terigu, gula, telur, dan lain-lain. Adonan tersebut dicetak dengan menggunakan cetakan piring seng dengan ukuran kurang lebih 20 cm dan dipasang tangkai pipa besi. Dipanggang dan digoyangkan diatas bara api, arang kayu, atau kompor minyak. Isi atau topping yang terdapat pada martabak
manis adalah olesan mentega/margarine, susu, selai pepaya, selai nanas, meises, kacang dan lain-lain. 2.2
Bahan Baku Martabak Tahap awal dalam menjalankan usaha martabak dimulai dengan
pemahaman terhadap berbagai jenis bahan yang akan digunakan dan pemilihan serta kepandaian dalam berbelanja bahan. Bahan-bahan martabak manis adalah sebagai berikut (Dean, 2005) : 1. Tepung terigu Martabak manis dapat menggunakan tepung terigu dengan kandungan protein sedang atau tinggi. Kualitas martabak yang tinggi selain karena jenis tepung terigu yang digunakan, pedagang juga harus menguleni adonan dengan baik sehingga menjadi adonan yang kental/kenyal. Adonan diistirahatkan minimal selama satu jam. Adonan yang diistirahatkan kurang dari waktu yang telah ditentukan akan membuat hasil menjadi kurang lembut. 2. Telur Telur berfungsi memberi nutrisi, memperkaya rasa, memberi warna coklat alami dan keempukan pada martabak karena mengandung pengempuk alami. Pedagang dapat menggunakan putih maupun kuning telur, atau hanya kuningnya saja agar mendapatkan hasil yang lebih lembut.. 3. Gula Pasir Selain memberi rasa manis, gula juga memberi warna coklat alami pada kulit martabak, selain itu kulit bagian tepi lingkaran akan berwana putih dan akan mudah lepas dari loyang Jika kekurangan gula, kulit martabak akan pucat dan tebal. Sebaliknya jika menggunakan terlalu banyak gula, kulit martabak akan menjadi cepat coklat, kurang matang di bagian tengah dan lengket di loyang.
4. Air Air berfungsi melarutkan bahan-bahan kering dan memungkinkan terjadinya pembentukan gluten saat waktu menguleni dan melemaskan adonan. Air juga berfungsi mengatur kekentalan adonan martabak. 5. Garam Garam berfungsi memberi rasa gurih pada martabak. Tanpa garam martabak hanya akan terasa manis saja. Pedagang dapat menggunakan garam yang bersih dan tidak menggumpal. 6. Vanili Putih telur dan kuningnya digunakan dalam pembuatan adonan martabak. Supaya adonan martabak tidak berbau amis, pedagang menambahkan vanili secukupnya ke dalam adonan. Vanili yang digunakan harus berkualitas baik karena pemakaiannya lebih sedikit dari vanili biasa dan tidak meninggalkan rasa pahit dan getir. 7. Soda Kue Untuk mendapatkan bentuk fisik martabak yang diinginkan, pedagang menambahkan soda kue untuk membuat martabak menjadi `bersarang` atau berlubang-lubang. Akan tetapi jika terlalu banyak menggunakan soda kue, martabak akan tidak enak dan kulit martabak menjadi liat pada saat dingin. Penggunaan soda kue ada dua cara, pertama dicampurkan pada saat menguleni adonan dan yang kedua pada saat menuangkan adonan pada loyang martabak. Cara pertama adalah cara yang paling sering digunakan oleh para pedagang. Selain soda kue ada juga pedagang yang menggunakan double acting baking powder dengan jumlah yang lebih sedikit dibanding dengan soda kue. 8. Margarin Cara ekonomis jika ingin mendapatkan hasil martabak yang beraroma butter adalah dengan menggunakan margarin yang beraroma butter. Ada juga yang beraroma susu atau netral. Margarin dengan aroma demikian sangat sulit ditemui di pasar tradisional. Untuk mendapatkan bahan tersebut pedagang
biasanya membelinya di toko kue yang lengkap atau langsung datang ke suplier margarin. 9. Mentega Mentega adalah bahan isian atau olesan pada martabak manis yang harganya sangat mahal. Mentega terbuat dari lemak susu hewan dengan menggunakan mentega, martabak akan tetap empuk walaupun dalam keadaan dingin. Hal ini disebabkan karena mentega memiliki titik leleh yang rendah sehingga dalam suhu ruangan tidak akan mengeras. Artinya martabak tidak akan cepat kaku. 10. Coklat Beras Rice chocolate/coklat beras atau meises adalah bahan isian dari martabak manis yang banyak disukai. Ada berbagai macam jenis merek yang dijual di pasaran. Mulai harga yang murah sampai yang mahal. Coklat yang bagus akan membuat martabak lebih berkualitas dan rasa coklatnya lebih pekat 11. Keju Keju (proceed cheese) adalah bahan isian martabak yang sangat mahal. Keju dijual dengan berbagai macam merek dan kualitas. Keju yang berkualitas baik adalah keju yang tidak mudah hancur sewaktu diparut.
2.3
Peralatan Martabak Manis Pedagang martabak di dalam menjajakan dagangannya memerlukan
beberapa peralatan pokok untuk mendukung keberhasilan usahanya. Beberapa peralatan penting tersebut diantaranya adalah sebagai berikut (Dean, 2005):
Gambar 1. Alat-alat dapur martabak (Dean. 2005).
1. Gerobak Gerobak atau counter apapun bisa digunakan. Gerobak sebagai meja kerja harus nyaman digunakan. Meja gerobak sebaiknya tidak terlalu tinggi dan sempit atau sebaliknya terlalu pendek, lebar dan panjang. Gerobak biasanya terbuat dari bahan alumunium dan kaca, atap atau bagian atasnya memakai kanopi tebal. 2. Loyang Loyang terbuat dari besi cor dan memiliki berbagai macam ukuran. Ukuran loyang martabak sangat beragam, mulai ukuran 18/20 cm, 20/22 cm, 22/24 cm, 24/26 cm, 26/28 cm, 28/30 cm. Ukuran 24-26 cm berarti diameter dasar bagian dalam loyang 24 cm dan diameter atas bagian dalam loyang 26 cm. Loyang harus selalu bersih dan kering agar tidak berkarat dan selalu halus.
3. Kompor Pedagang menggunakan kompor sebagai alat untuk memanggang martabak. Ada tiga jenis kompor yang biasanya digunakan pedagang yaitu : kompor minyak tanah, kompor gas dan kompor tungku dari arang. Bagi yang belum terbiasa menggunakan kompor minyak tanah, resiko martabak berbau minyak tanah dan berbau asap kemungkinan besar bisa terjadi. Sebaliknya jika menggunakan tungku arang, aroma kue sangat alami dan enak, bagi yang belum terbiasa resikonya adalah abu kayu yang masuk ke dalam martabak. Kompor yang baik adalah kompor yang bisa memberikan panas secara merata dengan api yang tidak terlalu besar tetapi stabil. 4. Gerobak Kompor Gerobak kompor sangat sulit dibeli dalam keadaan siap pakai. Pedagang biasanya memesan gerobak kompor pada tukang las. Fungsi alat ini adalah menjaga api kompor agar tidak tertiup angin sehingga api dan panas loyang tetap stabil. Posisi gerobak harus benar-benar datar. Gerobak harus dibuat sedemikian rupa sehingga jarak ujung api kompor tidak terlalu dekat atau terlalu jauh dengan bagian bawah loyang. Jika terlalu dekat, loyang terlalu cepat panas. Jika terlalu jauh loyang akan lama panas dan butuh api yang lebih besar sehingga akan memboroskan bahan bakar. 5. Tabung Gas Sebagai bahan bakar, gas adalah pilihan kebanyakan pedagang martabak. Gas tidak menyebabkan bau asap, tidak menimbulkan bau minyak tanah seperti minyak tanah. Gas juga tidak menyebabkan abu seperti tungku arang. Untuk memastikan keamanannya, regulator harus terpasang dengan benar pada tabung gas dan tabung gas dijauahkan atau diberi jarak aman dari kompor panggang. 2.4
Penelitian Tentang Martabak Penelitian tentang martabak pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya.
Beberapa yang relevan dengan penelitian ini yaitu penelitian mengenai perilaku konsumen di Martabak Air Mancur (MAM) Kota bogor, baik itu berlokasi di
jalan Pajajaran ataupun di jalan Sudirman dilakukan oleh Sary (2006), yang berjudul "Analisis
Perilaku
Konsumen
Martabak
Air
Mancur
Bogor"
menggunakan alat analisis deskriptif untuk melihat karakteristik konsumen dan proses keputusan pembelian, analisis angka ideal untuk mengetahui sikap konsumen dan importance performance analysis untuk mengetahui tingkat kepuasan konsumen terhadap atribut produk dan layanan MAM. Berdasarkan penelitian tersebut dihasilkan bahwa MAM sebagai makanan hiburan dan sekedar hobi. Rasa yang enak dan posisi sebagai makanan selingan adalah alasan yang dipilih konsumen. Atribut yang harus ditingkatkan ke depannya adalah kecepatan penyajian, gizi, rasa, higienis, harga, ketebalan, aroma, warna, kemasan dan variasi menu. Sebagian besar atribut MAM berada pada kuadran dua, perbedaan yang muncul untuk dua cabang tersebut adalah terdapat atribut kemasan, variasi menu dan aroma. Selain itu Sary (2006), menyarankan agar MAM lebih baik menaikkan harga jual daripada mengurangi bahan yang digunakan. Perbedaaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah waktu, topik penelitian serta alat analisis yang berbeda, serta status hukum dari tempat penelitian yang berbeda pula. Sary (2006) meneliti tentang prilaku konsumen terhadap martabak air mancur Bogor dengan menggunakan alat analisis yaitu analisis deskriptif, analisis angka ideal dan importance performane analysis, sedangkan penulis meneliti keuntungan pedagang martabak manis kaki lima di kota Bogor menggunakan analisis keuntungan.
2.5
Penelitian Tentang Usaha Kecil Menengah (UKM) Di Bidang Makanan Penelitian tentang usaha kecil menengah (UKM) telah banyak dilakukan
oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Beberapa yang relevan dengan penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Jati (2005), dengan judul "Analisis Pendapatan Dan Nilai Tambah Industri Kecil Keripik Dan Sale Hasil Produksi Olahan Pisang" dilakukan pada industri kecil keripik dan sale pisang di Desa Sawarna Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak Banten.
Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) menganalisis pendapatan yang diperoleh industri kecil keripik dan sale pisang bagi pengusahanya, (2) menganalisis kontribusi besarnya nilai tambah yang diperoleh dari usaha pengolahan keripik dan sale pisang bagi peningkatan pendapatan pengusahanya. Analisis data ierdiri atas analisis pendapatan, R/C dan nilai tambah. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa rata-rata penerimaan pengrajin keripik perbulan sebesar Rp 20.670.000 dengan kapasitas produksi sebesar 1.950 kg keripik dan total rata-rata pengeluaran
pengrajin Rp 17.237.630 sehingga
pendapatan pengrajin keripik perbulan sebesar Rp 3.432.370. Rata-rata penerimaan pengrajin sale pisang perbulan sebesar Rp 4.561.440 dengan kapasitas produksi sebesar 1.788,9 kg sale dan total rata-rata pengeluaran pengrajin perbulan Rp 3.922.249-, sehingga pendapatan pengrajin sale perbulan sebesar Rp 771.970. Pada pengolahan keripik R/C rasio atas biaya tunai sebesar 1,22 dan R/C rasio atas biaya total sebesar 1,17 persen. Pada pengolahan sale R/C rasio atas biaya tunai sebesar 1,3 dan R/C rasio atas biaya total sebesar 1,2 persen. Pendapatan pengrajin keripik dapat ditingkatkan dengan meningkatkan produksi dari rata-rata 13 kali produksi menjadi 20 kali dalam sebulan dan mencari alternatif harga yang lebih tinggi dengan cara perluasan pemasaran. Pendapatan pengrajin sale dapat ditingkatkan dengan meningkatkan produksi dari rata-rata 6 kali produksi menjadi 10 kali dalm sebulan. Pendapatan juga dapat ditingkatkan dengan penggunaan teknologi dalam pengeringan sale, dengan oven misalnya. Rosmayati (2008), dengan judul "Pengaruh Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak Terhadap Pendapatan UKM, Kasus : UKM Kerupuk Di Kecamatan Cikoneng Kabupaten Ciamis". Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh kenaikan harga BBM terhadap pendapatan, keragaan UKM kerupuk dan efisiensi faktor-faktor produksi sebelum dan sesudah kenaikan BBM. Alat analisis yang digunakan adalah analisis imbangan penerimaan dan biaya, uji beda dua rataan dan fungsi cobb douglas untuk melihat efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keuntungan UKM semakin berkurang setelah adanya kenaikan BBM. Kenaikan harga BBM berpengaruh
positif terhadap jumlah input produksi (tepung, garam, minyak tanah, kayu bakar dan tenaga kerja), pengeluaran untuk semua input produksi, jumlah output, total biaya produksi dan penerimaan hasil penjualan. Namun berpengaruh negatif terhadap jumlah input produksi ( bawang putih, penyedap rasa, dan bahan baku pembantu), dan pendapatan bersih UKM. Variabel bahan baku dan kayu bakar sebelum kenaikan BBM berpengaruh nyata terhadap output yang dihasilkan. Sedangkan setelah kenaikan BBM semua variabel bebas berpengaruh nyata terhadap output yang dihasilkan. Sebelum kenaikan BBM rasio NPM dan BKM bahan baku dan kayu bakar kurang dari satu, setelah kenaikan BBM rasio NPM dan BKM bahan baku kurang dari satu, sedangkan minyak tanah, kayu bakar dan tenaga kerja lebih dari satu. Perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan dengan Rosmayati (2008) terletak pada waktu, tempat dan objek penelitiannya. Rosmayati (2008) meneliti pengaruh kenaikan BBM terhadap UKM kerupuk di Ciamis, sedangkan penulis melakukan penelitian di Bogor dengan objek penelitian pedagang martabak manis kaki lima dan dengan alat analisis yang berbeda pula.
2.6
Penelitian Tentang Analisis Pendapatan Hadaina (2005), dengan judul "Analisis Pendapatan Dan Industri Kecil
Aci Kirai, Studi Kasus Di Kelurahan Tanah Baru Kecamatan Bogor Utara Kota Bogor". Penelitian ini bertujuan (1) mengkaji karakteristik industri aci kirai di kelurahan tersebut (2) menganalisis pendapatan pengusaha dan pekerja industri aci kirai (3) menganalisis industri aci kirai dengan R/C, titik impas dan nilai tambah. Analisis data yang digunakan terdiri atas analisis pendapatan usaha, pendapatan RT pemilik dan pekerja, R/C rasio, titik impas dan nilai tambah. Pendapatan usaha atas biaya total rata-rata sebesar Rp 58.679.200 dan pendapatan usaha atas biaya tunai rata-rata sebesar Rp 55.040.200. Hasil penelitian menunjukkan bahwa R/C rasio atas biaya total sebesar 1,31 yang artinya setiap rupiah pengeluaran total, mampu menghasilkan penerimaan 1,31 rupiah. R/C rasio atas biaya tunai sebesar 1,34 yang artinya setiap rupiah pengeluaran tunai, mampu menghasilkan penerimaan 1,34 rupiah.
Dari hasil analisis R/C rasio atas biaya total dan R/C rasio atas biaya tunai, usaha ini dapat memberikan keuntungan. Industri aci kirai di kelurahan tersebut mencapai impas setelah memproduksi 10.527, 26 kg produk untuk memperoleh penerimaan sebesar Rp 18.384,113. Industri pengolahan aci kirai mampu memberikan nilai tambah sebesar Rp 150,26 perhari, dengan rata-rata margin adalah Rp 166,667 per kg.. Anggraini (2006), dengan judul "Analisis Pendapatan Dan Strategi Pemasaran Usaha Warung Tenda Pecel Lele Di Sepanjang Jalan Pajajaran Bogor". Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi profil dan karakteristik pedagang, menganalisis pendapatan usaha dan memformulasi strategi pemasaran yang dapat diterapkan pada usaha warung tenda pecel lele. Pendapatan usaha rata-rata yang didapat oleh pemilik warung tenda pecel lele selam sebulan adalah Rp 50.950.000 sedangkan total biaya rata-rata yang dikeluarkan adalah Rp 5.090.800 dan keuntungan rata-rata sebesar Rp 12.078.600. Hasil R/C rasio sebesar 1,31 menunjukkan bahwa setiap rupiah pengeluaran, mampu menghasilkan penerimaan 1,31 rupiah. Berdasarkan kombinasi nilai matrik IFE dan EFE, posisi usaha berada pada sel V dan strategi yan sesuai adalah hold and maintain. Strategi yang dapat diterapkan adalah penetrasi pasar dan pengembangan produk. Berdasarkan matrik SWOT diperoleh strategi yaitu meningkatkan kualitas produk dan mengembangkan fasilitas pesan antar, promosi yang lebih baik lagi, mempertahankan hubungan yang baik dengan pemasok bahan baku untuk menjaga kontinyuitas bahan baku dan mempermudah akses pinjaman modal sangat diharapkan selain mengembangkan kemampuan manajerial bagi pemilik usaha. Perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan terletak pada objek penelitian, waktu serta tempat penelitian yang berbeda. Jati (2005) dan Hadaina (2005) dalam penelitiannya juga menggunakan alat analisis nilai tambah, sedangkan dalam penelitian ini penulis hanya menggunakan alat analisis keuntungan (R/C rasio dan
C
rasio ) usaha.
Tabel 3. Ringkasan Penelitian Terdahulu Nama San Sary (2006)
Judul Analisis Perilaku Konsumen Martabak Air Mancur Bogor
Elmi Sipta Analisis Jati (2005) Pendapatan Dan Nilai Tambah Industri Kecil Keripik Dan Sale Hasil Produksi Olahan Pisang Maya Pengaruh Rosmayati Kenaikan Harga (2008) Bahan Bakar Minyak Terhadap Pendapatan UKM, Kasus : UKM Kerupuk Di Kecamatan Cikoneng Kabupaten Ciamis Hasni Analisis Hadaina Pendapatan Dan (2005) Industri Kecil Aci Kirai, Studi Kasus Di Kelurahan Tanah Baru Kecamatan Bogor Utara Kota Bogor Dian Analisis Anggraini Pendapatan Dan (2006) Strategi Pemasaran Usaha Warung Tenda Pecel Lele Di Sepanjang Jalan Pajajaran Bogor
Alat Analisis Analisis Deskriptif Analisis Angka Ideal Importance Performane Analysis
Hasil MAM sebagai makanan hiburan dan sekedar hobi. Rasa enak, sebagai makanan selingan Atribut yang ditingkatkan kecepatan penyajian, gizi, rasa, higienis, harga, ketebalan, aroma, warna, kemasan dan variasi menu
Analisis Pendapatan Analisis R/C Analisis Nilai Tambah
Pada pengolahan keripik R/C rasio atas biaya tunai sebesar 1,22 dan R/C rasio atas biaya total sebesar 1,17 persen. Pada pengolahan sale R/C rasio atas biaya tunai sebesar 1,3 dan R/C rasio atas biaya total sebesar 1,2 persen.
Analisis Imbangan Penerimaan Dan Biaya Uji Beda Dua Rataan Fungsi Cobb Douglas
Analisis Pendapatan Usaha, R/C Rasio Titik Impas Dan Nilai Tambah
IFE EFE SWOT
keuntungan UKM semakin berkurang setelah adanya kenaikan BBM. Sebelum kenaikan BBM rasio NPM dan BKM bahan baku dan kayu bakar kurang dari satu, setelah kenaikan BBM rasio NPM dan BKM bahan baku kurang dari satu, sedangkan minyak tanah, kayu bakar dan tenaga kerja lebih dari satu.
Penelitian menunjukkan bahwa R/C rasio atas biaya total sebesar 1,31 yang artinya setiap rupiah pengeluaran total, mampu menghasilkan penerimaan 1,31 rupiah. R/C rasio atas biaya tunai sebesar 1,34 yang artinya setiap rupiah pengeluaran tunai, mampu menghasilkan penerimaan 1,34 rupiah. Berdasarkan matrik IFE dan EFE, posisi usaha berada pada sel V dan strategi yan sesuai adalah hold and maintain. Strategi yang dapat diterapkan adalah penetrasi pasar dan pengembangan produk. Berdasarkan matrik SWOT diperoleh strategi yaitu meningkatkan kualitas produk, fasilitas pesan antar, promosi yang lebih baik lagi, hubungan yang baik dengan pemasok
III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1
Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1 Usaha Kecil di Sektor Informal ILO dalam Korompis (2005), mendefinisikan sektor informal sebagai sektor yang mudah dimasuki oleh pengusaha pendatang baru, menggunakan sumber-sumber ekonomi dalam negeri, dimiliki oleh keluarga berskala kecil, menggunakan teknologi padat karya dan teknologi yang disesuaikan dengan keterampilan yang dibutuhkan, tidak diatur oleh pemerintah dan bergerak dalam pasar penuh persaingan. Hutajulu dalam Korompis (2005), memberikan batasan tentang sektor informal, adalah suatu bidang kegiatan ekonomi yang untuk memasukinya tidak selalu memerlukan pendidikan formal dan keterampilan yang tinggi, dan memerlukan surat-surat izin serta modal yang besar untuk memproduksi barang dan jasa. Selanjutnya Sethurahman dalam Korompis (2005), memberi batasan sektor informal ini sebagai unit-unit usaha berskala kecil yang terlibat dalam proses produksi dan distribusi barang-barang, dimasuki oleh penduduk Kota terutama bertujuan untuk mencari kesempatan kerja dan pendapatan dari pada memperoleh keuntungan. Sedangkan menurut Moser dalam Korompis (2005), bahwa sektor informal merupakan kegiatan ekonomi yang selama ini lolos dari pencacahan, pengaturan dan perlindungan pemerintah, tetapi mempunyai makna ekonomi dengan karakteristik kompetitif, padat karya, memakai input dan teknologi lokal, serta beroperasi atas dasar pemilikan sendiri oleh masyarakat lokal, serta beroperasi atas dasar pemilikan sendiri oleh masyarakat. Menurut Rachbini dan Hamid dalam Korompis (2005), sektor informal berfungsi sebagai penyedia barang dan jasa terutama bagi masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah yang tinggal dikota -kota. Pelaku sektor ini pada umumnya berasal dari desa-desa dengan tingkat pendidikan dan keterampilan rendah serta sumber-sumber terbatas. Pada dasarnya suatu kegiatan sektor informal harus memiliki lokasi yang tepat agar memperoleh keuntungan (profit) yang lebih banyak dari tempat lain dan
untuk mencapai keuntungan yang maksimal, suatu kegiatan harus seefisien mungkin. Richardson dalam Korompis (2005), berpendapat bahwa keputusankeputusan penentuan lokasi yang memaksimumkan penerimaan biasanya diambil bila memenuhi kriteria-kriteria pokok : 1. Tempat yang memberi kemungkinan pertumbuhan jangka panjang yang menghasilkan keuntungan yang layak. 2. Tempat yang luas lingkupnya untuk kemungkinan perluasan unit produksi. Jadi jelasnya bahwa pengertian sektor informal mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, artinya bahwa kegiatan yang paling besar dijalankan oleh penduduk berpendapatan rendah. Menurut Hidayat dalam Korompis (2005), di Indonesia ada kesepakatan tentang 11 ciri pokok sektor informal sebagai berikut : 1. Kegiatan usaha tidak terorganisasi dengan baik karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal. 2. Pada umumnya unit usaha tidak mempunyai ijin usaha. 3. Pola kegiatan usaha tidak teratur baik lokasi maupun jam kerja. 4. Pada umumnya kebijaksanaan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi tidak sampai ke pedagang kaki lima. 5. Unit usaha mudah keluar masuk dari satu sub-sektor ke lain sub-sektor. 6. Teknologi yang digunakan bersifat sederhana. 7. Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasi juga relatif kecil. 8. Pendidikan yang diperlukan untuk menjalankan usaha tidak memerlukan pendidikan formal karena pendidikan yang diperoleh dari pengalaman sambil bekerja. 9. Pada umumnya unit usaha termasuk golongan one-man enterprise dan menggunakan tenaga kerja yang berasal dari dalam keluarga. 10. Sumber dana untuk modal usaha umumnya berasal dari tabungan sendiri atau lembaga keuangan yang tidak resmi.
11. Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsi oleh golongan masyarakat desa-kota berpenghasilan rendah dan menengah. Secara umum, pedagang diartikan sebagai penyalur barang dan jasa-jasa perkotaan (Rais dalam Umboh, 1990). Adapun menurut McGee yang dikutip Young (1977) mendefinisikan pedagang kaki lima adalah “The People who offer goods or services for sale from public places, primarily streets and pavement”. Sedangkan Manning dan Effendi (1985) menyebutkan bahwa pedagang kaki lima adalah salah satu pekerjaan yang paling nyata dan penting di banyak kota di Afrika, Asia, Timur Tengah dan Amerika Latin. Menurut Breman dalam Korompis (2005), pedagang kaki lima merupakan usaha kecil yang dilakukan oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah dan mempunyai modal yang terbatas. Dalam bidang ekonomi, pedagang kecil ini termasuk dalam sektor informal, PKL merupakan pekerjaan yang tidak tetap dan tidak terampil serta golongan-golongan yang tidak terikat pada aturan hukum, hidup susah dan semi kriminal pada batas-batas tertentu. Dari pengertian/batasan tentang pedagang kaki lima seperti dikemukakan beberapa ahli tersebut, dapat dipahami bahwa pedagang kaki lima merupakan bagian dari kelompok usaha kecil yang bergerak di sektor informal. Secara khusus, pedagang kaki lima dapat diartikan sebagai distribusi barang dan jasa yang belum memiliki ijin usaha dan biasanya berpindah-pindah. Menurut Sethurahman dalam Korompis (2005), istilah pedagang kaki lima biasanya digunakan untuk menunjukkan sejumlah kegiatan ekonomi yang berskala kecil. Pengertian ini akan menjadi berbeda apabila disebut dengan “perusahaan” berskala kecil dikarenakan beberapa alasan, antara lain : 1. Mereka yang terlibat dalam sektor ini pada umumnya miskin dan berpendidikan rendah (kebanyakan para migran). PKL bukan kapitalis yang mencari investasi yang menguntungkan dan juga bukan pengusaha pada umumnya. 2. Motivasi kerja PKL terbatas pada pengadaan kesempatan kerja dan menghasilkan pendapatan yang langsung untuk diri sendiri. 3. Pedagang kaki lima di kota-kota, harus dipandang sebagai unit-unit berskala kecil yang terlibat dalam produksi dan distribusi barang-barang yang
masih dalam proses evaluasi, daripada dianggap sebagai perusahaan yang berskala kecil dengan input modal dan pengolahan yang besar. Berdasarkan definisi International Labour Organization (ILO), pedagang kaki lima didefinisikan sebagai sektor yang mudah dimasuki oleh pendatang baru (struktur pasar = pasar persaingan terbuka), menggunakan sumber-sumber ekonomi dalam negeri, dimiliki oleh keluarga berskala kecil, menggunakan teknologi padat karya, keterampilan yang dibutuhkan diperoleh di luar bangku sekolah, tidak dapat diatur oleh pemerintah dan bergerak dalam pasar persaingan penuh (Ali dalam Korompis(2005) ). Menurut Wirosardjono dalam Korompis (2005) pengertian pedagang kaki lima adalah kegiatan sektor marginal yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1. Pola kegiatan tidak teratur, baik dalam hal waktu, permodalan maupun penerimaannya. 2. Tidak tersentuh oleh peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah sehingga kegiatannya sering dikategorikan ilegal. 3. Modal, peralatan dan perlengkapan maupun omzetnya biasanya kecil dan diusahakan berdasarkan hitungan harian. 4. Pendapatan mereka rendah dan tidak menentu. 5. Tidak mempunyai tempat tetap atau keterikatan dengan usaha-usaha yang lain. 6. Umumnya dilakukan oleh dan melayani golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. 7. Tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus sehingga dapat menyerap bermacam-macam tingkatan tenaga kerja. 8. Umumnya setiap satuan usaha mempekerjakan tenaga yang sedikit dan berasal lingkungan keluarga, kerabat atau berasal dari daerah yang sama. 9. Tidak mengenal sistem perbankan, pembukuan, perkreditan dan sebagainya. Sebagai saluran arus barang dan jasa, pedagang kaki lima merupakan mata rantai akhir sebelum mencapai konsumen dari satu mata rantai yang panjang dari sumber utamanya yaitu produsen.
Berdasarkan barang atau jasa yang diperdagangkan, menurut Karafi dalam Korompis (2005), pedagang kaki lima dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1). Pedagang minuman; 2). Pedagang makanan; 3). Pedagang buah-buahan; 4). Pedagang sayur-sayuran; 5). Pedagang daging dan ikan; 6). Pedagang rokok dan obat-obatan; 7). Pedagang buku, majalah dan surat kabar; 8). Pedagang tekstil dan pakaian; 9). Pedagang kelontong; 10). Pedagang loak; 11). Pedagang onderdil kendaraan, bensin dan minyak tanah; 12). Pedagang ayam, kambing, burung dan 13). Pedagang beras serta; 14). Penjual jasa.
3.1.2 Kewirausahaan Kata wiraswasta muncul sekitar pertengahan tahun tujuh puluhan untuk mencari padanan kata entrepreneur. Sumahawijaya dalam Wijandi dan Sarma (2002), menyebutkan
wiraswasta adalah sifat keberanian, keutamaan dan
keteladanan dalam mengambil resiko yang bersumber pada kemandirian. Istilah wirausaha muncul kemudian dan sebagai padanan kata wiraswasta yang sejak awal sebagian orang kurang setuju dengan kata swasta. Persepsi tentang wirausaha sama dengan wiraswasta sebagai padanan entrepreneur. Perbedaannya terletak pada penekanan kemandirian (swasta) pada wiraswasta dan pada usaha atau bisnis pada wirausaha. Menurut Meredith dalam Wijandi dan Sarma (2002), wirausahawan adalah orang yang mempunyai kemampuan melihat dan menilai peluang bisnis, mengumpulkan sumberdaya yang dibutuhkan guna mengambil keuntungan darinya dan bertindak tepat untuk memastikan sukses. wirausahawan adalah individu yang berorientasikan pada tindakan dan bermotivasi tinggi serta berani mengambil resiko dalam mengejar tujuannya. Wirausahawan harus mampu mengahadapi tantangan ketidakpastian dan harus
berinovasi
pada
situasi
kondisi
yang
penuh
persaingan
serya
ketidaksempurnaan informasi. Inovasi akan memberikan perubahan dengan konsekuensi ketidakpastian, namun akan memberikan kemajuan sebagai dampak positif.
Seorang wirausahawan memasuki dunia bisnis atas prakarsa sendiri dengan alasan (Wijandi dan Sarma, 2002) : 1. Terdesak oleh beban hidup atau daripada menganggur. 2. Ingin mandiri, yaitu mampu memperoleh penghasilan sendiri dan lepas dari ketergantungan orang tua atau orang lain. 3. Ingin lepas dari ketergantungan pada orang lain 4. Ingin hidup lebih kreatif, bebas, tidak lagi terikat atau diperintah, jenuh mengikuti prosedur/rutinitas, merasa seperti robot, ingin menjadi majikan atas memiliki bisnis sendiri. 5. Ingin menikmati jerih payah dari bisnis sendiri. 6. Kesetaraan gender, bahwa perempuan juga dapat berbisnis dan menghasilkan uang 7. Ingin beramal sholih untuk orang lain (memberi lapangan kerja), dan sebagainya.
3.1.3 Analisis Keuntungan Keuntungan usaha martabak manis merupakan selisih antara penerimaan dan semua biaya. Pendapatan usaha martabak manis dapat digambarkan sebagai balas jasa dari kerjasama faktor-faktor produksi lahan, tenaga kerja, modal dan jasa pengelolaan (manajemen). Besarnya keuntungan usaha martabak manis tergantung pada besarnya penerimaan dan pengeluaran selama jangka waktu yang ditetapkan. Rasio keuntungan adalah ukuran untuk mengetahui seberapa jauh efektivitas manajemen (pedagang) dalam mengelola usahanya. Efektivitas manajemen meliputi kegiatan fungsional
manajemen,
seperti keuangan,
pemasaran, sumber daya manusia dan operasional. Banyak sekali faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas yang kemudian meningkatkan atau menurunkan laba atau keuntungan. Meskipun demikian, analisis rasio keuntungan dapat memberikan gambaran keuntungan yang akan diperoleh pedagang (Rangkuti, 2000). Ada dua keterangan pokok yang diperlukan dalam analisis keuntungan usaha martabak manis agar mempunyai arti praktis, yaitu keadaan penerimaan dan
pengeluaran dalam batasan waktu tertentu, misalnya satu musim atau satu tahun. Keuntungan yang diperoleh dari suatu usaha martabak manis dapat dilihat dari penerimaan dan pengeluaran dalam batas waktu tertentu. Penerimaan usaha martabak manis adalah hasil perkalian dari jumlah produksi total dan harga satuan atau harga jual. Penerimaan usaha martabak manis dapat diwujudkan dalam tiga hal, yaitu : hasil penjualan produksi, produk yang dikonsumsi selama melakukan kegiatan dan kenaikan nilai inventaris. Sedangkan pengeluaran atau biaya usaha martabak manis adalah nilai penggunaan sarana produksi, upah dan lain-lain yang dibebankan pada proses produksi yang bersangkutan. Konsep analisis keuntungan usaha martabak manis mengadopsi konsep analisis pendapatan usahatani. Pada usaha matabak manis, faktor produksi yang digunakan tidak berbeda dengan faktor produksi pada usahatani seperti faktor lahan, modal, tenaga kerja dan manajemen. Perbedaanya terletak pada bentuk fisik dari faktor lahan dalam usaha martabak manis yaitu tempat atau alat untuk berjualan (gerobak), sedangkan lahan pada usahatani dapat berupa lahan pekarangan, tegalan sawah, kolam dan sebagainya. Perbedaan lainnya terletak pada waktu untuk usaha. Pada usahatani, waktu untuk berusaha berupa musiman dan tahunan, sedangkan pada usaha martabak manis tidak ada waktu tertentu, tetapi dalam kasus ini peneliti menentukan batasan waktu analisis keuntungan usaha martabak manis dalam satuan hari/malam.
3.1.4 Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C rasio) Analisis imbangan penerimaan dan biaya digunakan untuk mengetahui tingkat keuntungan relatif dari suatu kegiatan usaha martabak manis berdasarkan perhitungan finansial. Menurut Lipsey at. al (1995), biaya total usaha (total cost) adalah biaya total untuk menghasilkan tingkat output tertentu. Biaya total dibagi menjadi dua bagian menjadi biaya tetap total (total fixed cost) dan biaya variabel total (total variabel cost). Biaya tetap adalah biaya yang tidak berubah meskipun output berubah. Biaya ini seringkali disebut biaya overhead atau biaya yang tidak dapat dihindari (unavoidable cost). Biaya yang berkaitan langsung dengan output, yang
bertambah besar dengan meningkatnya produksi dan berkurang dengan menurunnya produksi, disebut biaya variabel (variable cost), atau disebut juga biaya langsung atau biaya yang dapat dihindari (avoidable cost). Biaya total ratarata (average total cost), juga disebut biaya rata-rata (average cost) adalah biaya total untuk menghasilkan jumlah output tertentu digai dengan jumlah output tersebut. Biaya total rata-rata dapat dibagi menjadi biaya tetap rata-rata (average fixed cost) dan biaya variabel rata-rata (average variable cost). Biaya marjinal (marginal costa) adalah kenaikan biaya total yang disebabkan oleh meningkatnya laju produksi sebesar satu unit (Gambar 2).
Sumber : Lipsey et al. 1995 Gambar 2. Kurva Biaya Total, Biaya Marjinal dan Biaya Rata-rata
Konsep penerimaan usaha dikemukakan oleh Hernanto (1989), sebagai hasil perkalian antara harga jual dengan output produksi. Konsep tersebut secara matematis sebagai berikut :
TR i Yi PYi
Y = Produksi usaha Py = Harga Y
Pendapatan yang besar tidak selalu menunjukan efisiensi yang tinggi, karena ada kemungkinan pendapatan yang besar itu diperoleh dari investasi yang berlebih-lebihan. Oleh karena itu analisis pendapatan selalu diikuti dengan pengukuran efisiensi. Salah satu ukuran efisiensi adalah penerimaan untuk rupiah yang dikeluarkan (revenue cost ratio atau R/C ratio). Rasio R/C atau return cost ratio adalah perbandingan (nisbah) antara penerimaan dan biaya. Rasio R/C secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut : R
C
TR R Py Y ; C FC VC TC
Nilai R/C total menunjukkan pendapatan kotor yang diterima untuk setiap rupiah yang dikeluarkan untuk berproduksi. Nilai R/C tidak mempunyai satuan. Kriteria analisis R/C yaitu rasio R/C = 1, secara teoritis tidak terjadi keuntungan maupun kerugian pada usaha. Suatu usaha dikatakan menguntungkan jika rasio R/C lebih besar dari satu (R/C > 1). Apabila Rasio R/C lebih kecil dari satu (R/C < 1) menandakan bahwa usaha tersebut tidak menguntungkan. Nilai R/C yang lebih besar dari satu menunjukkan bahwa penambahan satu rupiah biaya akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar dari satu. Semakin besar nilai R/C maka semakin baik kedudukan ekonomi usaha martabak manis tersebut. Kedudukan ekonomi tersebut penting, karena dapat dijadikan penilaian dalam mengambil keputusan (Hernanto, 1989).
3.2 Kerangka Pemikiran Operational Banyaknya merek martabak yang ada di Kota Bogor mengakibatkan konsumen memiliki banyak pilihan untuk memilih merek apa yang akan dipakai. Konsumen memilih merek yang dianggap paling bisa memuaskan, merek yang memiliki ekuitas yang tinggi akan menjadi pilihan utama konsumen dalam membeli martabak. Bermunculannya pedagang martabak baru secara perorangan di setiap tempat yang strategis di kota Bogor secara tidak langsung mengurangi pelanggan dari pengusaha martabak yang telah berdiri lebih dahulu. Adanya merek-merek martabak jalanan yang berkembang di Bogor menjadikan masyarakat mempunyai
pilihan yang beragam dalam mengkonsumsi martabak. Masing-masing martabak berkembang dan mempunyai penggemarnya masing-masing, yang membedakan adalah kemampuan berproduksi dan tingkat keuntungannya, tenaga kerja, faktor produksi dan lokasi berusaha. Meningkatnya harga tepung terigu pada awal tahun 2008, menyebabkan pedagang martabak menaikkan harga jual produknya. Terjadinya kenaikan harga tepung terigu sebagai bahan baku utama dari martabak manis, membuat pedagang martabak menaikkan harga jual martabak antara Rp 2.000 s/d Rp 3.000. Penelitian dilakukan tahun 2008 pada bulan Oktober sampai dengan November 2008. Saat itu harga terigu berada pada kisaran Rp 7.000 s/d Rp 7.500 per kilogram. Pada bulan yang sama di tahun 2007 harga terigu berada pada kisaran harga Rp 4.000 s/d Rp 4.500. Perhitungan mengenai analisis keuntungan (R/C rasio dan
π/C
rasio)
sebelum dan sesudah kenaikan harga terigu dari pengusahaan martabak perlu dilakukan agar dapat memberikan gambaran kepada pedagang mengenai keuntungan yang akan didapatkan dari masing-masing kondisi tersebut dan diharapkan hasil dari perhitungan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pedagang untuk tetap berdagang martabak dengan variasi produk yang lama atau berinovasi dengan variasi-variasi martabak baru. Berdasarkan uraian diatas maka kerangka pemikiran operasional penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.
Pedagang Martabak di Kota Bogor
Pedagang Martabak Manis Kaki Lima
Naiknya harga bahan baku tepung terigu sebagai bahan baku utama martabak manis
Naiknya harga jual martabak
Keuntungan Usaha Sebelum Kenaikan Harga Terigu
Keuntungan Usaha Setelah Kenaikan Harga Terigu
Analisis Keuntungan
Analisis Keuntungan
R/C Rasio Rasio C
R/C Rasio Rasio C
Gambaran keuntungan pedagang martabak manis kaki lima
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Operasional
IV METODE PENELITIAN 4.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan terhadap pedagang martabak manis kaki lima
(PKL) di kota Bogor. Penentuan objek penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa martabak manis adalah salah satu usaha pedagang kaki lima bidang makanan yang cukup pesat perkembangannya dan memiliki persaingan yang ketat baik dengan sesama pedagang martabak manis ataupun dengan pedagang makanan kaki lima lainnya, hal ini karena 50 persen PKL di kota Bogor adalah PKL pedagang jajanan (Tabel 2). Pengambilan data untuk kepentingan penelitian dilakukan pada bulan Oktober-November 2008.
4.2
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung, wawancara dengan para pedagang dan jawaban kuesioner yang didapat dari pedagang pada saat wawancara berlangsung yaitu pada malam hari. Sedangkan data sekunder merupakan pelengkap dari data primer, diperoleh melalui buku, inatansi-instansi terkait dan berbagai kepustakaan lainnya, seperti penelitian terdahulu yang relevan dengan topik penelitian dan internet.
4.3
Metode Pengambilan Responden Jumlah responden pada penelitian ini yaitu sebanyak 30 orang pedagang
martabak. Jumlah responden diambil berdasarkan data PKL yang mengusahakan martabak di kota Bogor yang terdaftar pada database PKL Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor pada tahun 2005. Responden tersebut berjualan di pusat-pusat keramaian dan pusat aktivitas masyarakat di kota Bogor seperti di depan Jambu Dua Plaza 5 pedagang, Putaran Air Mancur 5 pedagang, Pertigaan Rumah Sakit Salak 3 pedagang, Terminal Baranang Siang 5 pedagang, Stasiun Bogor 5 pedagang, Jln Kebon Pedes 3 pedagang dan Jln Baru Sholeh Iskandar 4 pedagang. Pengambilan responden dalam penelitian ini dilakukan secara sengaja
menggunakan teknik convinience sampling, artinya semua pedagang martabak manis kaki lima didatangi satu persatu. Pedagang dapat menjadi responden jika bersedia menjadi responden. Pedagang yang menjadi responden harus memiliki karakteristik usaha sebagai berikut ;1) pedagang martabak telah berusaha minimal 5 tahun, 2) omzet per hari minimal Rp.200.000,00.
4.4
Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data Pengumpulan data dilakukan pada bulan Oktober-November 2008 melalui
penyebaran kuesioner kepada pedagang martabak sebagai responden. Kuesioner terdiri dari pertanyaan tertutup dan terbuka, dimana dalam pertanyaan tertutup alternatif jawaban telah disediakan dan responden hanya memilih jawaban yang paling sesuai menurutnya.
4.4.1 Analisis Deskriptif Pengukuran
karakteristik
responden
martabak
dilakukan
dengan
menggunakan analisis deskriptif. Data tentang identitas dan karakteristik konsumen
responden
dikelompokkan
berdasarkan
jawaban
yang
sama,
ditabulasikan kemudian dipersentasikan. Persentase terbesar merupakan faktorfaktor yang dominan dari masing-masing atribut yang dimiliki.
4.4.2 Analisisi Keuntungan Usaha Martabak Manis Kaki Lima Analisis keuntungan merupakan hasil pengurangan antara total penerimaan dengan total biaya yang dikeluarkan. Analisis keuntungan dilakukan dengan mencatat seluruh penerimaan dan pengeluaran usaha martabak sesuai dengan kapasitas produksi martabak per malam. Keuntungan dibagi menjadi keuntungan atas biaya tunai dan keuntungan atas biaya total. Penerimaan total adalah nilai produk total dalam jangka waktu tertentu. Pengeluaran total adalah nilai semua input yang dikeluarkan dalam proses produksi. Pengeluaran total dibagi menjadi dua bagian, yaitu biaya variabel dan biaya tetap. Biaya variabel adalah biaya yang dikeluarkan secara tunai dan berubah sesuai banyaknya output yang dihasilkan, sedangkan biaya tetap mencakup biaya yang tidak langsung dikeluarkan pedagang
seperti biaya sewa, listrik, pajak dan biaya penyusutan. Dalam penelitian ini analisis keuntungan dilakukan atas biaya total saja. Perhitungan keuntungan usaha atas biaya total secara matematis adalah sebagai berikut :
π Total = TR-TB dimana :
π
= keuntungan total
TR
= penerimaan total usaha
TB
= total biaya (total biaya variabel dan total biaya tetap)
Menurut Hernanto (1989), analisis keuntungan usaha selalu disertai dengan pengukuran efisiensi. Untuk mengetahui efisiensi suatu usaha terhadap penggunaan satu unit input dapat digambarkan oleh nilai rasio penerimaan dan biaya yang merupakan perbandingan antara penerimaan kotor yang diterima usaha martabak manis dari setiap rupiah yang dikeluarkan dalam proses produksi.
R/C rasio atas biaya total = Total Penerimaan (TR) Total Biaya Dimana : Jika R/C > 1 maka usaha martabak manis tersebut menguntungkan untuk diusahakan. Jika R/C < 1 maka usaha martabak manis tersebut tidak menguntungkan untuk diusahakan
Selain dengan R/C rasio, Untuk mengetahui efisiensi suatu usaha terhadap penggunaan satu unit input dapat digambarkan juga oleh nilai rasio keuntungan dan biaya yang merupakan perbandingan antara keuntungan yang diterima usaha martabak manis dari setiap rupiah yang dikeluarkan dalam proses produksi.
Rasio keuntungan =
Keuntungan (TR-TB) Total Biaya (TB)
Dimana :
TR = penerimaan total usaha TB = total biaya (total biaya variabel dan total biaya tetap)
4.5
Definisi Operasional Faktor produksi yang diamati merupakan data dan informasi mengenai
usaha martabak manis kaki lima yang diusahakan baik individu maupun kelompok. Untuk menyamakan pengertian mengenai istilah-istilah atau variabel yang digunakan, maka berikut ini didefinisikan sejumlah istilah : 1. Bahan baku utama adalah input dengan volume terbesar yang digunakan untuk membuat martabak manis. 2. Bahan baku penolong adalah input yang digunakan untuk membuat martabak manis selain bahan baku utama yang jumlahnya sedikit. 3. Hasil produksi adalah output martabak yang dihasilkan per malam dan diukur dalam satuan loyang per malam untuk semua jenis martabak. 4. Tepung terigu, jumlah tepung terigu adalah banyaknya terung terigu yang digunakan dalam produksi martabak per malam. Jumlah tepung terigu tersebut diukur dalam satuan Kg. 5. Telur, jumlah telur adalah banyaknya telur yang digunakan dalam produksi martabak per malam. Jumlah telur tersebut diukur dalam satuan Kg. 6. Margarin, jumlah margarin adalah banyaknya margarin yang digunakan dalam produksi martabak per malam. Jumlah margarin tersebut diukur dalam satuan Kg. 7. Tenaga kerja, jumlah tenaga kerja adalah banyaknya tenaga kerja yang dipekerjakan dalam produksi martabak per malam. Jumlah tenaga kerja tersebut diukur dalam satuan orang. 8. Kacang, jumlah kacang adalah banyaknya kacang yang digunakan dalam produksi martabak per malam. Jumlah kacang tersebut diukur dalam satuan Kg. 9. Coklat, jumlah coklat adalah banyaknya coklat yang digunakan dalam produksi martabak per malam. Jumlah coklat tersebut diukur dalam satuan Kg. 10. Keju, jumlah keju adalah banyaknya keju yang digunakan dalam produksi
martabak per malam. Jumlah keju tersebut diukur dalam satuan Kg. 11. Susu kental manis, jumlah susu adalah banyaknya susu yang digunakan dalam produksi martabak per malam. Jumlah susu tersebut diukur dalam satuan kaleng. 12. Gula, jumlah gula adalah banyaknya gula yang digunakan dalam produksi martabak per malam. Jumlah gula tersebut diukur dalam satuan kaleng. 13. Loyang martabak, dalam penelitian ini pegadang menggunakan loyang dengan ukuran Ukuran 24-26 cm berarti diameter dasar bagian dalam loyang 24 cm dan diameter atas bagian dalam loyang 26 cm.
V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1
Keadaan Umum Wilayah Kota Bogor Kota
Bogor merupakan salah satu kota
dalam wilayah Jabotabek.
Berjarak 54 km dari Jakarta dengan akses yang tinggi melalui jalan tol Jagorawi. Secara geografis kota Bogor terletak diantara 106’48’ BT dan 6’26 LS, kedudukan geografis kota Bogor serta lokasinya sangat dekat dengan ibukota negara, merupakan potensi yang strategis bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dan jasa, pusat kegiatan nasional untuk industri, perdagangan, transportasi, komunikasi, dan pariwisata. Luas wilayah Kota Bogor sebesar 11.850 Ha terdiri dari 6 kecamatan dengan 68 kelurahan. Pada akhir tahun 2007 penduduk Kota Bogor 905.132 jiwa dengan kepadatan rata-rata 70 jiwa/ha. Kota Bogor merupakan salah satu simpul penting perdagangan regional, karena kota Bogor merupakan kota pemukiman dan terdapat banyak perguruan tinggi, maka sangat wajar kalau SDM warga Bogor sangat potensial, mulai dari pengusaha, pakar, intelekual, aktivis LSM, politikus, budayawan, ulama, teknokrat sampai birokrat yang kapasitasnya bertaraf nasional, bahkan internasional. Kota Bogor merupakan kota dengan indeks pendidikan dan indeks prestasi manusia tertinggi di Jawa Barat. Sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor vital karena merupakan salah satu sektor yang menyediakan lapangan pekerjaan utama bagi penduduk kota Bogor. Pada tahun 2008 sektor ini merupakan penyumbang terbesar pada PDRB kota Bogor yaitu sebesar 30,04 persen dari total PDRB. Subsektor perdagangan merupakan gabungan usaha sektor formal dan non formal. Usaha pedagang kaki lima termasuk salah satu usaha di bidang non formal, khususnya pedagang martabak manis kaki lima merupakan salah satu usaha yang perkembangannya sangat pesat, hai ini dapat dilihat dari keberadaannya yang cukup merata di tiap titik keramaian dan pusat aktivitas masyarakat di kota Bogor. Penduduk kota Bogor yang bekerja di sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 29,56 persen. Jumlah ini merupaka terbesar kedua penyumbang tenaga kerja di kota Bogor setelah sektor jasa-jasa sebesar 36,11 persen. Data
selengkapnya tentang lapangan kerja utama di kota Bogor dan kontribusinya terhadap PDRB dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel. 4. Persentase PDRB Kota Bogor dan Penduduk Yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Tahun 2008 Lapangan Pekerjaan Utama Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Listrik, Gas, Air Minum Bangunan atau Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Transportasi dan Komunikasi Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya Jasa-jasa Jumlah
PDRB Kota Bogor (%) 0,32 0,00 28,07 3,19 7,18 30,04 9,83 13,97 7,40 100,00
Penduduk Yang Bekerja (%) 2,59 1,00 16,07 0,33 4,24 29,56 6,91 3,19 36,11 100,00
Sumber : BPS Kota Bogor 2008
5.2
Karakteristik Responden Faktor yang mempengaruhi keberhasilan usaha, antara lain adalah faktor
internal usaha tersebut. Faktor internal suatu usaha antara lain pengelola dan tenaga kerja. Menurut Hernanto (1989), tenaga kerja mempunyai kemampuan kerja yang dipengaruhi oleh pendidikan, umur, keterampilan, pengalaman berusaha dan tingkat kesehatan. Karakteristik responden yang dikaji dalam penelitian ini meliputi umur, tingkat pendidikan, status kepemilikan tempat berjualan, pengalaman, harga sewa tempat, keanggotaan dan orang atau instansi yang menerima pungutan/uang sewa.
5.2.1 Umur Responden Faktor umur pedagang martabak berkaitan dengan pengalaman dan kemampuan fisik untuk bekerja. Cara pengelolaan usaha martabak tentu dipengaruhi oleh pengalaman yang dimiliki pedagang martabak. Semakin tua umur, pengalaman yang dimiliki pedagang martabak semakin matang dan diharapkan memiliki kemampuan pengelolaan yang lebih baik.
Umur Pedagang (Thn)
>50 3% 41-50 27%
20-30 30%
31-40 40%
Gambar 4. Distribusi Responden Berdasarkan Umur
Sebaran umur responden berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 4. Usia responden berkisar antara 20 tahun hingga >50 tahun. Umur responden dibedakan menjadi empat kategori dengan rentang usia pada setiap kelas adalah 10 tahun. Responden yang berusia antara 31 hingga 40 tahun adalah yang terbanyak mencapai 40 persen dari total responden. Persentase responden yang berusia 20 hingga 30 tahun sebanyak 30 persen sedangkan 27 persen adalah responden yang berusia antara 41 hingga 50 tahun. Responden dengan usia di atas 50 tahun adalah yang paling kecil dengan persentase sebanyak 3 persen. Berdasarkan sebaran umur responden dapat diketahui bahwa usaha martabak manis, khususnya PKL dilakukan oleh pedagang yang berada pada rentang umur produktif, yaitu antara umur 20 sampai dengan 40 tahun. Hal ini terlihat dari persentase masing-masing yang tidak berbeda jauh jumlahnya.
5.2.2 Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan pedagang mempunyai pengaruh yang hampir sama dengan pengalaman usaha yang dimiliki. Keadaan tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap cara pengelolaan usaha. Tingkat pendidikan pedagang yang semakin tinggi diharapkan berpengaruh positif terhadap pengelolaan usaha yang dilakukan. Kemampuan pengelolaan yang lebih baik tersebut disebabkan oleh wawasan dan pengetahuan yang dimiliki pedagang semakin luas dan semakin terbuka terhadap inovasi yang dianjurkan.
Tingkat pendidikan responden berkisar antara SD hingga SMA. Responden yang mempunyai pendidikan terakhir tingkat SD sebanyak 21 orang atau 70 persen dari total responden, sementara 9 orang responden lainnya menempuh pendidikan SMP dan SMA. Tingkat pendidikan terakhir yang dominan yaitu SD. Hal ini disebabkan mayoritas responden berasal dari kalangan ekonomi menengah kebawah yang tidak dapat melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi dikarenakan keterbatasan biaya. Sekolah Dasar (SD) merupakan tingkat pendidikan yang dominan, hal ini menyebabkan kemampuan pedagang martabak untuk memajukan usaha, menerima informasi dan melakukan perbaikan usaha terbatas. Persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan terakhir yang pernah ditempuh pedagang dapat dilihat pada Gambar 5.
SMA 13%
SMP 17%
SD 70%
Gambar 5. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
5.2.3 Pengalaman Responden Pedagang sebagai pengelola usaha dituntut untuk mempunyai kemampuan menentukan, mengorganisir dan mengkoordinasikan semua faktor-faktor produksi yang dikuasai sehingga produksi dapat diperoleh sesuai dengan harapan (Hernanto, 1989). Kemampuan mengelola usaha tentu dipengaruhi oleh pengalaman setiap individu. Pedagang mempunyai pemahaman yang lebih baik
terhadap usaha yang dikelola karena belajar dari pengalaman yang diperoleh dari usaha tersebut. Pengalaman berdagang martabak dibagi menjadi tiga kategori dengan rentang 10 tahun. Persentase terbesar pengalaman berdagang martabak terdapat pada rentang 11-20 tahun yaitu sebesar 50 persen. Responden yang memiliki pengalaman antara 5-10 tahun dimiliki oleh 12 orang dengan persentase sebanyak 40 persen. Persentase terkecil pengalaman berdagang martabak terdapat pada rentang 21-30 tahun yaitu sebesar 3 persen. Semua pedagang martabak yang menjadi responden dalam penelitian ini mempunyai pengalaman berjualan antara 5-30 tahun. Hal ini menandakan bahwa responden adalah pedagang yang setia terhadap martabak dan menganggap usaha martabak adalah usaha utama untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Secara terperinci penggolongan responden berdasarkan pengalaman usaha martabak manis dapat dilihat pada Gambar 6.
Pengalaman Berjualan (Thn)
21-30 10% 5-10 40%
11-20 50%
Gambar 6. Distribusi Responden Berdasarkan Pengalaman Berusaha
5.2.4 Status Kepemilikan Tempat Tempat berjualan yang ditempati para pedagang keseluruhannya adalah berstatus sewa. Hal ini dikarenakan pedagang adalah pedagang kaki lima yang
berjualan di tempat milik orang lain atau tempat yang tidak berizin, umumnya berjualan malam hari di emperan toko, pinggir jalan, pertigaan, trotoar jalan, pusat aktivitas dan keramaian. Tempat berjualan yang digunakan pedagang martabak rata-rata berukuran empat sampai dengan enam meter persegi.
5.2.5 Sifat Usaha Responden sebagian besar merupakan kepala keluarga yang harus bertanggung jawab terhadap kesejahteraan dan hidup keluarganya. Hasil dari berjualan martabak dapat dipergunakan setiap hari untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, sehingga sebagaian besar responden menganggap berjualan martabak sebagai sumber pendapatan utama. Sebagian kecil responden mempunyai mata pencaharian lain selain berjualan martabak. Pekerjaan sampingan yang dominan adalah membuka warung kecil dirumah dan ojeg. Jenis pekerjaan tersebut dilakukan pada siang hari sehingga kegiatan berjualan tidak terganggu.
5.2.6 Jumlah Pungutan / Sewa Tempat Penjual martabak sebagai pedagang kaki lima adalah sektor usaha informal yang rentan terhadap pungutan liar, baik oleh para preman ataupun oknumoknum instansi terkait. Pungutan liar tersebut oleh para pedagang martabak di asumsikan sebagai uang sewa atas tempat berjualan yang mereka tempati. Jumlah pungutan liar dibagi menjadi tiga kategori. Persentase terbesar berada pada kisaran Rp 2.000 - Rp 5.000 yaitu sebesar 63 persen. Responden yang membayar pungutan pada rentang harga antara Rp 5.001 – Rp 7.500 sebanyak 17 persen. Untuk sisanya yang di atas Rp 7.500 sebanyak 20 persen. Pungutan liar yang dikeluarkan merupakan kewajiban yang harus selalu dibayar pedagang setiap malam. Pungutan liar tersebut merupakan balas jasa pedagang untuk keamanan, kebersihan dan uang listrik yang mereka dapatkan pada saat berdagang. Pungutan liar tersebut tidak memberatkan pedagang, dengan membayar pungutan tersebut pedagang merasa tenang berjualan. Persentase pungutan liar atau uang sewa tempat yang dikeluarkan pedagang martabak manis per malamnya dapat di lihat pada Gambar 7.
Harga Sew a Tem pat
>7500 20%
5001-7500 17%
2000-5000 63%
Gambar 7. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Pungutan
5.2.7 Penerima Pungutan Sebagai usaha di sektor informal, pedagang martabak manis kaki lima selalu membayar pungutan atau retribusi liar untuk kelancaran usahanya. Retribusi atau pungutan yang dikeluarkan responden berjumlah antara Rp 2.000 s/d Rp 12.500. Responen membedakan penerima pungutan menjadi tiga kategori. Pungutan terbesar dilakukan oleh para preman yang menguasai lokasi-lokasi tertentu tempat pedagang martabak berjualan dengan persentase 54 persen. Kategori kedua dan ketiga yaitu pungutan yang dilakukan oleh pengurus lingkungan sekitar dan oknum instansi terkait memiliki persentase yang sama yaitu sebesar tujuh persen. Penerima pungutan liar yang dikeluarkan oleh pedagang martabak manis khususnya, dan pedagang kaki lima lainnya adalah orang tertentu atau oknum yang tidak bertanggung jawab yang mengambil keuntungan untuk pribadi atau golongannya masing-masing2. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 8.
2
Bogor.
Bugi Setianto. 2008. Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Satuan Polisi Pamong Praja Kota
Penerima Pungutan
rt 23%
punya tempat 23%
preman 54%
Gambar 8. Distribusi Responden Berdasarkan Orang Atau Instansi Yang Menerima Pungutan/Uang Sewa
VI HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1
Kondisi Usaha Martabak Manis Kaki Lima di Kota Bogor Perkembangan usaha atau industri martabak di Kota Bogor saat ini cukup
baik. Banyaknya pedagang martabak manis kaki lima secara tidak langsung mengurangi pengangguran yang ada di kota Bogor. Akan tetapi, ada beberapa permasalahan yang dihadapi oleh para pelaku usaha di bidang ini, diantaranya kesulitan modal untuk pengembangan usaha, lokasi usaha yang rentan terhadap penggusuran dan penertiban, pungutan liar baik oleh para oknum terkait ataupun oleh preman yang menguasai lokasi usaha tempat pedagang berjualan. Pedagang martabak manis di kota Bogor pada dasarnya bermacam-macam. Etnis Jawa adalah suku yang terbanyak Pedagang martabak manis di Bogor yang berasal dari daerah lain menamakan produk martabaknya sesuai dengan asal daeranya, seperti martabak Bandung, martabak Bangka, martabak Kubang dan sebagainya. Perbedaan antara setiap merek martabak biasanya terletak pada cara pengolahannya saja. Martabak manis mempunyai banyak rasa dan macam, ada martabak manis isi coklat dan kacang, coklat keju dan sebagainya. Perubahan selera masyarakat yang
terus
berubah
menyebabkan
pedagang
martabak
terus
berinovasi
mengembangkan rasa dan jenis produknya. Martabak isi buah adalah salah satu hasil inovasi pedagang yang banyak disukai konsumen. Berdasarkan penelitian, pedagang martabak manis kaki lima di kota Bogor mulai berjualan pada waktu sore hari sekitar jam 5 sore hingga jam 12 malam. Pedagang martabak berjualan setiap hari, dan hanya libur jika ada kepentingan yang tidak bisa ditinggalkan seperti urusan keluarga. Pada saaat pedagang tersebut libur biasanya ada pedagang lain yang menggantikan tempatnya berjualan, dan hasil penjualannya untuk pedagang yang menggantikan tersebut. Konsumen yang membeli martabak sangat beragam dan datang dari berbagai kalangan, mulai dari ekonomi kelas bawah sampai dengan ekonomi kelas atas. Konsumen menengah keatas terbiasa membeli martabak dengan rasa yang
komplit ataupun spesial, sebaliknya konsumen kelas bawah membeli martabak dengan rasa yang biasa. Pedagang biasanya menjual langsung martabaknya ke konsumen, tetapi ada juga pedagang yang bekerjasama denagan pengusaha katering dalam menjual produknya. Hal tersebut terjadi jika ada acara-acara tertentu saja seperti acara pernikahan, selamatan dan acara-acara kantor seperti seminar, rapat dan lain lain. Berdasarkan hasil wawancara dengan pedagang martabak, rata-rata produk martabak manis yang paling digemari adalah produk dengan harga dan rasa biasa, seperti mertabak isi kacang dan coklat, sedangkan martabak dengan rasa lengkap atau istimewa jarang pembelinya. Berbeda dengan martabak manis, martabak telur dengan isi yang lebih banyak lebih digemari walaupun harganya lebih mahal. Terjadinya kenaikan harga tepung terigu sebagai bahan baku utama martabak manis diduga mempengaruhi penjualan martabak. Sebagai solusinya, pedagang melakukan beberapa cara ada yang menaikkan harga jual martabak perloyangnya,
ada
juga
pedagang
yang
mengurangi
barang
dagangan
martabaknya. Solusi terbanyak yang dipakai pedagang adalah menaikkan harga jual martabaknya. Berbeda dengan pedagang martabak, pedagang yang berbahan baku tepung terigu lainnya seperti roti dan mie instan lebih memilih untuk mengurangi ukuran produknya agar tidak kehilangan pelanggan yang merasa produknya terlalu mahal. Berdasarkan Gambar 9 dapat diketahui rata-rata penggunaan bahan baku untuk berjualan martabak manis per hari, yang dilakukan oleh pedagang di kota Bogor. Rata-rata pedagang martabak manis kaki lima di kota Bogor menggunakan 31 persen terigu dari total bahan baku yang digunakan. Persentase penggunaan bahan baku terigu merupakan yang terbesar, karena terigu adalah bahan baku dengan volume pemakaian terbesar. Susu dan gula merupakan bahan baku yang menempati persentase terbesar kedua dan ketiga yaitu sebesar 13 persen dan 12 persen.
Rata-rata penggunaan bahan baku per malam
Susu 13% Terigu 31%
Gula 12%
Keju 5% Coklat 7% Kacang 8%
Telor 9% TK 5%
Margarin 10%
Gambar 9. Rata-rata penggunaan bahan baku oleh pedagang untuk pembuatan martabak manis di kota Bogor.
Bahan baku lainnya seperti keju, coklat dan kacang masing-masing lima persen, tujuh persen dan delapan persen. Tenaga kerja, margarin dan telur masingmasing sebesar lima persen, 10 persen dan sembilan persen. Keju adalah bahan baku yang volume penggunaannya memiliki kontribusi yang paling kecil terhadap total bahan baku yaitu sebesar lima persen. Berdasarkan struktur biaya, keju adalah bahan baku utama karena persentase biayanya adalah yang terbesar untuk setiap pedagang yaitu sebesar 23 persen dari total biaya yang dikeluarkan.
6.2
Analisis Keuntungan Usaha Martabak Manis Kaki Lima di Kota Bogor Kegiatan usaha martabak manis pada akhirnya akan dinilai berdasarkan
keuntungannya yang merupakan selisih antara penerimaan usaha martabak manis dengan biaya-biaya usaha martabak manis yang dikeluarkan. Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam analisis keuntungan martabak manis dapat digolongkan menjadi dua yaitu biaya variabel dan biaya tetap atau biaya yang diperhitungkan. Biaya variabel adalah biaya yang dikeluarkan pedagang untuk membeli bahan
baku martabak dan membayar tenaga kerja per malamnya. Sedangkan biaya tetap atau biaya tidak tunai adalah biaya yang tidak diperhitungkan pedagang sebagai biaya yang mereka keluarkan seperti biaya penyusutan alat-alat. Ukuran tingkat keuntungan atas biaya tunai menggambarkan besarnya keuntungan pedagang dari usaha martabak manis yang dikelolanya setelah dikurangi dengan biaya tunai yang dikeluarkannya. Keuntungan atas biaya tunai belum menggambarkan keuntungan yang sebenarnya. Hal ini dikarenakan masih ada komponen-komponen lain milik sendiri yang perlu diperhitungkan, oleh karena itu diperlukan juga keuntungan atas biaya total. Biaya total adalah penjumlahan antara biaya variabel dan biaya tetap atau biaya tidak tunai. Pada penelitian ini, analisis pendapatan martabak manis dibagi menjadi dua bagian yaitu analisis pendapatan martabak manis sebelum terjadi kenaikan harga tepung terigu dan analisis pendapatan martabak manis setelah terjadinya kenaikan harga tepung terigu.
6.2.1 Penerimaan Usaha Martabak Manis Kaki Lima di Kota Bogor Penghitungan analisis pendapatan dimulai dengan menghitung penerimaan usaha martabak manis. Penerimaan yang diperoleh pedagang merupakan nilai dari total produksi usaha martabak manis yang dikelolanya. Hasil penjualan martabak manis yang merupakan output dalam usaha martabak manis merupakan pendapatan kotor sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang digunakan dalam usaha martabak manis. Pada analisis penerimaan ini peneliti menggunakan asumsi bahwa martabak manis yang dihasilkan oleh pedagang seluruhnya dijual dan tidak menjadi konsumsi pedagang itu sendiri. Para pedagang martabak manis sebelum kenaikan harga tepung terigu per malamnya rata-rata menghasilkan 35,43 loyang martabak manis. Setelah terjadinya kenaikan harga tepung terigu, produktivitas pedagang martabak manis mengalami penurunan sebesar 13,99 persen menjadi 30,47 loyang. Sebelum terjadinya kenaikan harga tepung terigu, pedagang martabak manis menjual martabak manis dengan harga rata-rata per loyang sebesar Rp 15.662 sedangkan untuk martabak manis setelah terjadinya kenaikan harga tepung terigu dihargai Rp 17.593 per loyangnya. Harga martabak manis sesudah kenaikan harga tepung
terigu lebih tinggi dibandingkan dengan harga martabak manis sebelum kenaikan harga tepung terigu. Hal ini disebabkan tidak hanya harga tepung terigu saja yang meningkat tetapi harga dari faktor-faktor produksi lainnya juga mengalami peningkatan seperti harga keju, telur, margarin dan lain-lain. Dari Tabel 5 dapat diketahui bahwa penerimaan yang diperoleh pedagang martabak manis selama penelitian sebelum terjadinya kenaikan harga tepung terigu adalah sebesar Rp 560.000 sedangkan penerimaan pedagang martabak manis setelah terjadi kenaikan harga tepung terigu yaitu sebesar Rp 536.000 .Perbedaan penerimaan ini disebabkan oleh penurunan penjualan martabak manis setelah terjadi kenaikan harga tepung terigu, walaupun harga martabak telah dinaikkan. Tabel. 5. Penerimaan Per Hari Usaha Martabak Manis Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga Tepung Terigu di Kota Bogor Harga Nilai Komponen Jumlah Satuan Satuan (Rp) (Rp/mlm) Martabak manis sebelum kenaikan 35,43 Loyang 15.662 560.000 Martabak manis sesudah kenaikan 30,47 Loyang 17.593 536.000
6.2.2 Biaya Usaha Martabak Manis Biaya total yang dikeluarkan pedagang martabak manis sebelum kenaikan harga tepung terigu dalam satu kali produksi yaitu sebesar Rp 358.017/malam. Biaya tersebut merupakan hasil penjumlahan dari total penggunaan biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Tabel. 6 menunjukan bahwa biaya tunai memiliki proporsi biaya yang jauh lebih besar bila dibandingkan dengan biaya diperhitungkan. Biaya variabel yang dikeluarkan oleh pedagang sebesar Rp 35.001/malam atau sebesar 98,3 persen dari total biaya yang dikeluarkan dalam satu kali produksi, sedangkan biaya tetap hanya sebesar Rp 6.016/malam atau sebesar 1,7 persen dari total biaya yang dikeluarkan dalam satu kali produksi usaha martabak manis. Biaya-biaya yang dikeluarkan per hari oleh pedagang martabak manis sebelum kenaikan harga tepung terigu di Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 6. Biaya-Biaya Per Hari Usaha Martabak Manis Sebelum Terjadinya Kenaikan Harga Tepung Terigu Per Hari/Malam Tahun 2007. Harga Jml/Mlm Biaya No. Uraian Satuan Jmlh (Rp) (Rp) (%) Loyang 35,43 15.662 560.000 A Total Penerimaan Komponen Biaya: B Biaya Variabel 1 Terigu Kg 8,37 4.290 35.893 10,0 2 Telur Kg 2,50 14.780 36.950 10,3 3 Margarin Kg 2,68 18.500 49.642 13,9 4 Tenaga kerja Org 1,40 25.000 35.000 9,8 5 Kacang Kg 2,15 12.373 26.603 7,4 6 Coklat Kg 1,83 16.102 29.520 8,2 7 Keju Kg 1,33 65.480 87.307 24,4 8 Susu Kaleng 3,50 5.480 19.180 5,4 9 Gula Kg 3,10 5.447 16.885 4,7 10 Bahan bakar Kg 3,02 4.980 15.023 4,2 352.001 98,3 Total Biaya Variabel C Biaya Tetap 1 Penyusutan alat-alat 2.066 0,6 2 Sewa tempat M2 4,63 3.950 1,1 6.016 Total Biaya Tetap 358.017 100,0 D Total biaya (B+C) R/C atas biaya total (A/D) 1,564 Total biaya yang dikeluarkan pedagang martabak manis setelah terjadi kenaikan harga tepung terigu dalam satu kali produksi lebih besar daripada total biaya yang dikeluarkan pedagang sebelum terjadi kenaikan harga tepung terigu yaitu sebesar Rp 401.678/malam. Hal ini dikarenakan tidak hanya harga tepung terigu saja yang meningkat tetapi harga dari faktor-faktor produksi lainnya juga mengalami peningkatan seperti harga keju, telur, margarin dan lain-lain. Seperti halnya pada kasus sebelum kenaikan harga tepung terigu, biaya variabel setelah kenaikan harga tepung terigu juga memiliki proporsi biaya variabel yang lebih besar bila dibandingkan dengan biaya tetap. Biaya variabel yang dikeluarkan oleh pedagang sebesar Rp 395.662/malam atau sebesar 98,5 persen dari total biaya yang dikeluarkan dalam satu kali produksi, sedangkan
biaya tetap hanya sebesar Rp 6.016/malam atau sebesar 1,5 persen dari total biaya yang dikeluarkan dalam satu kali produksi. Tabel 7. Biaya-Biaya Per Hari Usaha Martabak Manis Setelah Terjadinya Kenaikan Harga Tepung Terigu Per Hari Tahun 2008. Harga Jml/Mlm Biaya No. Uraian Satuan Jumlah (Rp) (Rp) (%) Loyang 30,47 17.593 536.000 A Total Penerimaan Komponen Biaya: B Biaya Variabel 1 Terigu kg 8,37 7.112 59.501 14,8 2 Telur kg 2,50 16.077 40.192 10,0 3 Margarin kg 2,68 20.572 55.201 13,7 4 Tenaga kerja Org 1,40 24.800 34.720 8,6 5 Kacang kg 2,15 13.172 28.319 7,1 6 Coklat kg 1,83 17.175 31.488 7,8 7 Keju kg 1,33 69.222 92.296 23,0 8 Susu kaleng 3,50 6.070 21.245 5,3 9 Gula kg 3,08 6.057 18.675 4,6 10 Bahan bakar kg 2,82 4.980 14.027 3,5 395.662 98,5 Total Biaya Variabel C Biaya Tetap 1 Penyusutan alat-alat Rp 2.066 0,5 2 Sewa tempat 4,63 3.950 1,0 m2 6.016 Total Biaya Tetap 401.678 100,0 D Total biaya (B+C) R/C atas biaya total (A/D) 1,334 Penggunaan biaya-biaya dalam usaha martabak manis sebelum kenaikan harga tepung terigu sebagian besar dialokasikan untuk membeli bahan baku produksi. Begitu halnya dengan usaha martabak manis setelah kenaikan harga tepung terigu, sebagian besar biaya dialokasikan untuk membeli bahan baku produksi. Proporsi terbesar untuk biaya pada usaha martabak manis sebelum kenaikan harga tepung terigu adalah biaya untuk pembelian keju, yaitu sebesar Rp 87.307 (24,4 persen). Begitu halnya pada usaha martabak manis setelah kenaikan harga tepung terigu, proporsi biaya terbesarnya terdapat pada biaya untuk
pembelian keju yaitu sebesar Rp 92.296 (23 persen). Hal ini terjadi karena keju adalah faktor produksi yang mempunyai harga termahal. Sebelum adanya kenaikan harga, tepung terigu menempati urutan ke empat dalam persentase biaya. Tepung terigu memiliki persentase sebesar 10 persen dari total biaya yang dikeluarkan atau sebesar Rp 35.893. Setelah terjadinya kenaikan harga, tepung terigu menempati urutan terbesar kedua dalam usaha martabak manis. Tepung terigu menjadi salah satu biaya terbesar disebabkan karena tepung terigu adalah bahan baku utama dalam membuat martabak manis, hampir 80 persen martabak adalah terbuat dari terigu dan 20 persen sisanya adalah bahan pelengkap atau topping yang menjadi penghias sehingga martabak menjadi lebih enak untuk dinikmati. Persentase tepung terigu sebesar 14,8 persen atau sebesar Rp 59.501. Telur digunakan sebagai pencampur adonan utama. Fungsi telur bagi martabak selain membuat gurih adalah membuat martabak menjadi lebih mengembang. Itulah sebabnya sebelum kenaikan harga tepung terigu, telur menempati urutan biaya terbesar ke tiga setelah keju dan margarin. Persentase untuk telur adalah sebesar 10,3 persen dari total biaya yang dikeluarkan atau sebesar Rp 36.950. Setelah kenaikan harga tepung terigu, telur menempati proporsi biaya terbesar ke empat, dengan persentase sebesar 10 persen dari total biaya yang dikeluarkan atau sebesar Rp 40.192. Pengeluaran biaya terbesar kedua dalam usaha martabak manis sebelum kenaikan harga tepung terigu adalah margarin. Margarin menjadi salah satu biaya terbesar karena margarin dibutuhkan dalam jumlah banyak untuk membuat martabak menjadi lebih gurih. Margarin digunakan dua kali pada saat setengah matang dan dioleskan pada saat martabak dimasukkan ke dalam bungkusan. Persentase margarin sebesar 13,9 persen atau sebesar Rp 49.642. Setelah kenaikan harga tepung terigu, margarin memiliki proporsi biaya terbesar ketiga dengan persentasi 13,7 persen atau setara dengan Rp 55.201. Tenaga kerja menjadi faktor terpenting dalam usaha ini, karena kualitas dan cita rasa yang dihasilkan martabak tergantung dari pengalaman tenaga kerja itu sendiri. Tenaga kerja dalam usaha martabak memperoleh proporsi 9,8 persen setara dengan Rp 35.000 dari total biaya yang dikeluarkan. Setelah kenaikan harga
tepung terigu, tenaga kerja yang dikeluarkan setara dengan 8,6 persen atau Rp 34.720 dari total biaya yang dikeluarkan. Rata-rata upah tenaga kerja setelah kenaikan harga tepung terigu mengalami penurunan sebesar 0,8 persen atau Rp 200 dari Rp 25.000 menjadi Rp 24.800. Hal tersebut terjadi karena pedagang mengalami penurunan pendapatan, sehingga menurunkan upah pekerjanya. Sebelum terjadi kenaikkan harga tepung terigu besaran biaya yang dikeluarkan untuk faktor produksi lainnya seperti kacang adalah 7,4 persen atau setara Rp 26.603 coklat sebesar 8,2 persen setara Rp 29.520 susu dengan persentase 5,4 persen atau Rp 19.180 dan gula sebesar 4,7 persen setara dengan Rp 16.885. Bahan bakar sebagai bahan baku yang tidak kalah penting memiliki persentase dari biaya total sebesar Rp 15.023 atau setara dengan 4,2 persen. Setelah terjadi kenaikkan harga tepung terigu proporsi faktor produksi lainnya secara berurutan seperti kacang adalah 7 persen atau Rp 28.319 coklat sebesar 7,8 persen atau Rp 31.488 susu dengan persentase 5,3 persen atau Rp 21.245 dan gula sebesar 4,6 persen setara dengan Rp 18.675 dan bahan bakar memiliki persentase dari biaya total sebesar Rp 14,027 atau setara dengan 3,5 persen (Tabel 7). Peralatan-peralatan yang dibutuhkan dalam usaha martabak manis adalah gerobak, loyang, kompor gas dan alat-alat dapur. Alat-alat dapur dalam usaha martabak manis diantaranya adalah pisau stainless, sendok stainless kecil, garpu stainless yang sudah dihilangkan mata tengahnya, sendok makan stainless, sendok melamin, parutan stainless dan wadah alumunium untuk menaburkan gula pasir. Metode penyusutan yang dipakai adalah metode garis lurus (Straight Line Method) karena umur alat yang dimiliki pedagang relatif seragam. Nilai rata-rata penyusutan peralatan untuk usaha martabak manis sebelum dan setelah terjadi kenaikkan harga tepung terigu per hari adalah sama yaitu sebesar Rp 2.066. Perbedaanya terletak pada proporsi atas biaya, yaitu sebesar 0,6 persen dari total biaya sebelum kenaikkan harga tepung terigu, dan 0,5 persen setelah terjadi kenaikkan harga tepung terigu. 6.2.3 Keuntungan Usaha Martabak Manis Keuntungan usaha martabak manis dianalisis menggunakan konsep keuntungan atas biaya total. Keuntungan atas biaya total diperoleh dari
penerimaan pedagang yang dikurangkan dengan seluruh biaya yang telah dikeluarkan dalam usahanya, termasuk biaya tetap Penerimaan usaha martabak manis sebelum terjadi kenaikkan harga tepung terigu memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan penerimaan usaha martabak manis setelah terjadi kenaikkan harga tepung terigu. Usaha martabak manis sebelum terjadi kenaikkan harga tepung terigu menghasilkan penerimaan rata-rata perhari sebesar Rp 560.000, sementara usaha martabak manis setelah terjadi kenaikkan harga tepung terigu menghasilkan penerimaan rata-rata sebesar Rp 536.000,-. Perbedaan penerimaan antara usaha martabak manis sebelum dan sesudah terjadi kenaikkan harga tepung terigu disebabkan oleh perbedaan tingkat produktivitas dan perbedaan harga jual. Tabel. 8 memperlihatkan bahwa keuntungan usaha martabak manis sebelum terjadi kenaikkan harga tepung terigu lebih tinggi dibandingkan dengan usaha martabak manis setelah terjadi kenaikkan harga tepung terigu. Hal ini dikarenakan penerimaan yang diperoleh dalam usaha martabak manis sebelum terjadi kenaikkan harga tepung terigu lebih besar daripada usaha martabak manis setelah terjadi kenaikkan harga tepung terigu.
Tabel 8. Analisis Keuntungan Usaha Martabak Manis Sebelum dan Setelah Kenaikan Harga Tepung Terigu di Kota Bogor Usaha Martabak Usaha Martabak Sebelum Kenaikkan Setelah Kenaikkan Ket % % Harga Terigu Harga Terigu Nilai (Rp) Nilai (Rp) Penerimaan Usaha 560.000 536.000 352.001 98,3 395.662 98,5 Biaya Variabel 6.016 1,7 6.016 1,5 Biaya Tetap Jumlah biaya 358.017 100,0 401.678 100,0 total 201.983 134.322 Keuntungan R/C rasio atas biaya total 1,564 1,334 Rasio keuntungan (π/C)
0,564
0,334
Analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C) serta analisis keuntungan dilakukan untuk melihat apakah biaya yang telah dikeluarkan menghasilkan cukup penerimaan untuk memperoleh keuntungan, serta untuk menilai efisiensi biaya yang telah dikeluarkan. Efisiensi usaha yang aktual diperlihatkan oleh nilai R/C ratio atas biaya total. Tabel 8 memperlihatkan bahwa nilai R/C ratio atas penggunaan biaya total usaha martabak manis sebelum terjadi kenaikkan harga tepung terigu (1,564) lebih besar daripada usaha martabak manis setelah terjadi kenaikkan harga tepung terigu (1,334). Hal ini menjelaskan bahwa pedagang martabak manis sebelum kenaikkan terigu menerima 1,564 rupiah dari setiap satu rupiah total biaya yang dikeluarkan, sementara pedagang pedagang martabak manis setelah kenaikkan terigu hanya menerima sebesar 1,334 rupiah dari setiap biaya input yang dikeluarkan. Rasio keuntungan atas penggunaan biaya total usaha martabak manis sebelum terjadi kenaikkan harga tepung terigu (0,564) lebih besar daripada usaha martabak manis setelah terjadi kenaikkan harga tepung terigu (0,334). Hal ini menjelaskan bahwa pedagang martabak manis sebelum kenaikkan terigu menerima keuntungan 0,564 rupiah dari setiap satu rupiah biaya total yang dikeluarkan, sementara pedagang pedagang martabak manis setelah kenaikkan terigu hanya menerima keuntungan sebesar 0,334 rupiah dari setiap biaya input yang dikeluarkan. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa secara keseluruhan kedua usaha martabak manis yang diteliti merupakan usaha yang menguntungkan secara ekonomi karena masing-masing usaha martabak tersebut memiliki nilai R/C ratio atas biaya total lebih besar daripada 1 (R/C ratio > 1) dan rasio keuntungan atas biaya total yang positif.
VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1
Kesimpulan Analisis keuntungan usaha martabak manis sebelum terjadinya kenaikkan
harga tepung terigu menunjukkan keuntungan yang cukup baik. Rasio R/C atas biaya total sebesar 1,564 artinya untuk sekali berdagang per malam pedagang mendapatkan penerimaan 1,564 kali dari satu rupiah biaya total yang dikeluarkan. Terjadinya kenaikan harga tepung terigu menyebabkan perubahan pada analisis keuntungan pedagang martabak manis yaitu Rasio R/C atas biaya total mengalami penurunan menjadi sebesar 1,334 yang artinya untuk sekali berdagang per malam pedagang mendapatkan penerimaan 1,334 kali dari satu rupiah biaya total yang dikeluarkan. Nilai keuntungan atas penggunaan biaya total usaha martabak manis sebelum terjadi kenaikkan harga tepung terigu (0,564) lebih besar daripada usaha martabak manis setelah terjadi kenaikkan harga tepung terigu (0,334). Hal ini menjelaskan bahwa pedagang martabak manis sebelum kenaikkan terigu menerima keuntungan 0,564 rupiah dari setiap satu rupiah total biaya yang dikeluarkan, sementara pedagang pedagang martabak manis setelah kenaikkan terigu hanya menerima keuntungan sebesar 0,334 rupiah dari setiap biaya input yang dikeluarkan. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa secara keseluruhan kedua usaha martabak manis yang diteliti merupakan usaha yang menguntungkan secara ekonomi karena masing-masing usaha martabak tersebut memiliki nilai R/C ratio atas biaya total lebih besar daripada 1 (R/C ratio > 1) dan rasio keuntungan atas biaya total yang positif.
7.2
Saran 1. Keuntungan pedagang martabak setelah terjadinya kenaikan harga bahan baku khususnya tepung terigu mengalami penurunan. Oleh karena itu pedagang martabak manis kaki lima harus lebih aktif berinovasi
mengembangkan jenis martabak baru yang lebih sedikit menggunakan tepung terigu sebagai bahan baku utamanya. 2. Pedagang martabak diharapkan mampu mensubstitusi tepung terigu sebagai bahan baku utama martabak manis dengan bahan baku lainnya yang sama atau lebih baik kualitasnya tetapi lebih murah agar memperkecil biaya produksi per harinya. 3. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai efisiensi faktor-faktor produksi agar dapat diketahui kombinasi optimal dari penggunaan faktorfaktor produksi sehingga usaha martabak menjadi optimal dan pendapatan pedagang dapat ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA Anggraini, D. 2006. Analisis Pendapatan Dan Strategi Pemasaran Usaha Warung Tenda Pecel Lele Di Sepanjang Jalan Pajajaran Bogor [skripsi]. Bogor: Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. BPS Kota Bogor. 2008. Kota Bogor Dalam Angka 2008. BPS Kota Bogor. Kota Bogor. Dean, J. 2005. Rahasia Sukses Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Martabak Manis, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Dinas Perindustrian Perdagangan Dan Koperasi Kota Bogor. 2005. Database PKL Tahun 2005. Dinas Perindustrian Perdagangan Dan Koperasi Kota Bogor. Bogor. Hadaina, H. 2005. Analisis Pendapatan Dan Industri Kecil Aci Kirai (Studi Kasus DI Kelurahan Tanah Baru Kecamatan Bogor Utara Kota Bogor) [skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Hernanto, F. 1989. Ilmu Usahatani. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Asosoasi Pedagang Martabak dan Jajanan seluruh Indonesia, http : // www.almarjan Indonesia.com/asal usul martabak 12 Oktober 2008 Asosoasi Pedagang Martabak dan Jajanan seluruh Indonesia, http : // www.almarjan Indonesia.com /martabak. 12 Oktober 2008 Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Republik Indonesia, http : // www.depkop.go.id/Download-document/ukm 12 Oktober 2008 Jati, ES. 2005. Analisis Pendapatan Dan Nilai Tambah Industri Kecil Keripik Dan Sale Hasil Produksi Olahan Pisang (Kasus Industri Kecil Keripik dan Sale Pisang di Desa Sawarna Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Banten) [skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Korompis, F. 2005. Pemberdayaan Sektor Informal : Studi Tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima dan Kontribusinya Terhadap Penerimaan PAD di
Kota Manado [tesis}. Manado. Program Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi. Lipsey RG, Courant PN, Purvis DD, Steiner PO. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Ed ke-10. Jakarta: PT Binarupa Aksara. Rangkuti, F. 2000. Analisis Swot Teknik Membedah Kasus Bisnis: Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis Untuk Menghadapi Abad 21. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Rosmayati, M. 2008. Pengaruh Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak Terhadap Pendapatan Usaha Kecil dan Menengah (Kasus : UKM Kerupuk di Kecamatan Cikoneng, Kabupaten Ciamis, Jabar) [skripsi]. Bogor. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi Dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Sary, S. 2006. Analisis Perilaku Konsumen Martabak Air Mancur Bogor [skripsi]. Bogor: Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Wijandi, S dan Sarma, M. 2002. Sekilas Kewirausahaan Tantangan Mandiri. Bogor. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan. Institut Pertanian Bogor.
Lampiran 1. Data Responden dan Faktor Produksi PKL Martabak Manis di Kota Bogor No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Responden Suwandi Asep Dani Amin Husin Ujang Iwan Daus Budi Andi Jono Holid Maman Nana Basar Mamat Rusdi Rusal Anen Hendra Gimin Yanto Surya Tomo Endang Akri Aris Jarwo Tedi
Umur
Terigu
(Thn)
Kg 15 5 6 4 7 5 9 7 8 6 10 11 12 11 7 8 8 7 5 9 9 6 10 11 8 10 8 10 7
35 25 37 50 36 28
34 45 23 22 33 31
35 30 41 43 20 29 45 50 36 40 52 50 43 33 26 29 38
Telor
Margarin
Tenaga kerja
Kacang
Coklat
Kg
Kg
Orang
Kg
Kg
3 2 2 2 2 2 2 2 3 2 3 3 4 3 2 2 2 2 1 3 3 2 3 4 3 3 2 3 2
5 2 2 1 3 2 3 2 2 2 3 3 4 4 2 2 2 2 2 2.5 2 3 4 3 2 4 3 3 3
2 1 1 1 1 1 2 1 1 1 2 2 2 2 1 1 1 1 1 2 2 1 2 2 1 2 1 1 1
3 0.5 2 1 2 1 2 3 2 1 2 3 3 3 2 1 1 2 1 3 2 3 3 3 2 3 2 3 2
3 0.5 1 1 1 1 1.5 2 0.5 2 2 2 3 2 1 1.5 2 2 0.5 2 1.5 1.5 3 3 2 3 2 3 1.5
Keju Gula Kg 1.5 0.5 1 0.5 0.5 0.5 2 1 1 1 2 2 3 2 1 0.5 0.5 0.5 0.5 1 1.5 1 1.5 1.5 2 2.5 1.5 2 1
Kg 10 2 7 1 3 2 3 2 2 2 3 5 5 4 2 2 2 2 2 2.5 4 3 4 3 2 4 3 2 3
Susu Kaleng 7 3 3 2 2 4 5 3 2 2 4 5 6 5 2 2 2 2 3 3 3 2 5 4 3 5 4 2 2
Martabak Sebelum Setelah Loyang 40 35 35 30 35 30 35 30 35 30 40 35 37 32 40 35 30 25 35 30 40 35 35 30 40 35 37 32 30 25 30 25 32 28 30 25 30 25 40 35 40 36 35 30 35 32 40 35 30 25 37 32 30 25 35 30 35 30
30 Marno Rata-rata
37
36
12 8.37
3 2.50
4 2.72
2 1.40
Lampiran 2. Penyusutan Peralatan Pedagagang Martabak Manis Kaki Lima Harga Beli Jumlah Umur ekonomis Nilai Penyusutan Nama Alat (Rp) (Buah) (tahun) (Rp) Gerobak 2,275,000.00 1 5 455,000.00 Loyang 336,666.67 2 5 134,666.67 Kompor Gas 343,333.33 1 5 68,666.67 Alat Dapur * 85,333.33 1 1 85,333.33 3,040,333.33 5 743,666.67 * : Pisau, Kape, Sendok makan, Parutan, Sutil Besar, Irus Besar.
3 2.15
3 1.83
3 1.33
4 3.18
5 3.40
40 35.43
32 30.47