STRATEGI PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI JALAN DEWI SARTIKA KOTA BOGOR
RUDY MASHUDI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
2
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Penataan Pedagang Kaki Lima di Jalan Dewi Sartika Kota Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, 31 Oktober 2014
Rudy Mashudi NIM H252110065
3
RINGKASAN RUDY MASHUDI. Strategi Penataan Pedagang Kaki Lima di Jalan Dewi Sartika Kota Bogor. Dibimbing oleh M. PARULIAN HUTAGAOL dan SRI HARTOYO. Dinamika pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dunia tidak hanya dipengaruhi oleh sektor formal, namun juga dipengaruhi oleh sektor informal. Sektor informal turut berkontribusi dalam kegiatan ekonomi, terutama di negara-negara berkembang di dunia (Loayza, 1997 : 1). Indonesia menjadi salah satu negara yang juga mengalami perkembangan sektor informal, terutama setelah masa krisis ekonomi tahun 1997 dan 2008/2009 (Mubarok, 2012 : 1). Fenomena perkotaan tersebut juga dialami oleh Kota Bogor yaitu penanganan Pedagang Kaki Lima (PKL). Beberapa hasil pendataan dan penelitian terdahulu, menunjukkan bahwa jumlah PKL di Kota Bogor semakin besar dari tahun ke tahun, dari 2.140 PKL di tahun 1996 menjadi 9.710 di tahun 2012. Lokasi PKL tersebar di 51 titik kota, dengan 3 kawasan prioritas yaitu Jalan MA Salmun, Jalan Nyi Raja Permas, dan Jalan Dewi Sartika. 2 tiitk kawasan prioritas telah dibenahi yaitu di Jalan MA Salmun dan Nyi Raja Permas, sedangkan Jalan Dewi Sartika masih dipenuhi PKL. Jumlah PKL di Jalan Dewi Sartika (Taman Topi) sebanyak 323 PKL (Kantor KUMKM, 2014). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan alternatif strategi terhadap penataan PKL di Kota Bogor yang akan berdampak pada efektivitas penataan PKL, dengan cara mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik PKL di Jalan Dewi Sartika (Sekitar Taman Topi), mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal yang berpengaruh terhadap pembinaan PKL di Jalan Dewi Sartika serta merumuskan alternatif-alternatif strategi dan program dalam penataan PKL di Jalan Dewi Sartika. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif, dengan mengambil 50 sampel responden untuk PKL di Jalan Dewi Sartika untuk mendapat gambaran karakteristik PKL dan 50 sampel pembeli/masyarakat untuk mendapat gambaran preferensi masyarakat tentang PKL. Selain itu penetapan startegi penataan PKL menggunakan analisa SWOT dan Analitical Hierarchy Process (AHP). Hasil penelitian menggambarkan karakteristik umum PKL yang rata-rata berpendidikan rendah (54%) dan bermodal kecil (32%). PKL memiliki motivasi berdagang karena akibat PHK (34%). Sementara itu, masyarakat membutuhkan keberadaan PKL, namun merasa terganggu akibat banyak ruang publik yang digunakan sehingga tidak nyaman (40%). Dari hasil identifikasi faktor internal dan eksternal terhadap penataan PKL, yang kemudian dianalisis dengan Internal Factor Evaluation (IFE) dan Eksternal Factor Evaluation (EFE) dan analisis SWOT, dihasilkan empat strategi alternatif dalam penataan PKL antara lain : tinjau ulang Kebijakan tentang PKL, Meningkatkan Kemitraan Pemerintah dengan PKL, Memfasilitasi Ruang Usaha dan Rasa Aman Berusaha, dan Mengoptimalkan Sarana Prasarana Kota. Empat alternatif strategi tersebut kemudian dianalisis menggunakan Analitical Hierarchy Process (AHP) dengan menggunakan matrik yang memperhatikan aspek fokus, faktor, aktor, tujuan, dan alternatif strategi. Dengan perhitungan AHP menggunakan Expert Choice 10, dihasilkan bahwa secara
4
berurutan strategi yang diprioritaskan dalam penataan PKL di Kota Bogor adalah Review Kebijakan tentang PKL (0.350), meningkatkan Kemitraan Pemerintah dengan PKL (0.267), memfasilitasi Ruang Usaha dan Rasa Aman Berusaha (0.218), dan mengoptimalkan Sarana Prasarana Kota (0.165). Penataan PKL menjadi agenda prioritas di Kota Bogor untuk dilaksanakan dengan pendekatan regulasi dan teknis yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Keberadaan PKL harus menjadi potensi ekonomi kota, tanpa menurunkan nilai esetika kota. Perlu kemitraan yang berkelanjutan antara Pemerintah, PKL, masyarakat, swasta, dan akademisi.
Kata kunci: PKL, Penataan PKL, Strategi dan Kebijakan.
5
SUMMARY RUDY MASHUDI. Street vendor structuring strategy on Dewi Sartika Street Bogor City. Supervisor by M. PARULIAN HUTAGAOL and SRI HARTOYO. Tehe dynamic of world economic development is not only influenced by the formal sectors but also influenced by the informal sectors. The informal sectors contrbute the economic growth, mainly in developing countries in the world (Loayza, 1997). Indonesia has become one of the country wich has growth in informal sectors, especially after economic crisis in 1997 and 2008/2009 (Mubarok, 2012). Those city phenomena also happened to Bogor City in handling street vendors. Some data result and former research showed that street vendors in Bogor City became more and more in years, started from 2.140 street vendors in 1996 become 9.710 in 2012. They spread in 51 locations or place, with 3 priority locations wich are MA Salmun Street, Nyi Raja Permas Street, and Dewi Sartika Street. Two priority locations were structured in MA Salmun and Nyi Raja Permas streets. While Dewi sartika street still placed by the street vendors. The amount of street vendors in Dewi Sartika Street are 323 Street Vendors (KUMKM, 2014) This research aimed to get the alternative strategy in structuring street vendor in Bogor city wich will imply to the effectivity of structuring sreet vendor, by indentifying and analyzing the cararcterisic of street vendor on Dewi sartika street (around Taman Topi), identify and analyze internal and external factors to make influence street vendor contruction in Dewi Sartika ang also to formulate the alternatives program and strategy in structuring street vendors in Dewi Sartika street. The research uses quantitative method, with 50 respondents form the street vendors on Dewi Sartika Street to get the characteristic description of street vendors 50 respondents from the buyers/ people to get preference people about street vendor. Beside that, determining of street vendor structuring strategy uses SWOT anlysis and Analitical Hierarchy Process (AHP). The research result describes the general characteristic of street vendor has low education (54%) and small capital (32%). They have motivation to selling because retired (34%). Meanwhile, people need them even sometimes they feeldisturb because there are so many public places used in order they feel uncomfortable (40%). The result from identification of internal and external factors toward street vendor managed have been to analysis with Internal Factor Evaluation (IFE) and External Factor Evaluation (EFE) and also SWOT analysis, we have got 4 alternative strategy in structuring street vendor. Review the street vendor policy, increase government government partnership with them, facilitate the trade space and safety trading, optimize city infrastructure. Moreover those 4 alternative strategy was analyzed using AHP matrix by looking at focus aspect, factor, actor, goals, and alternative strategy. With AHP measurements with Expert Choice 10, we have got sequencely strategy wich focused in structuring street vendors in Bogor city are reviewing policy about them (0.350), increasing government partnership with them (0.267), facilitate trade space and safety trading (0.218), and optimize city infrastucture (0.165). Structuring street vendor has become priority program in Bogor wich is to be done with regulation technique and approach involved by policy makers. Street
6
vendor existency must become economic potential in this city without any decreasing an art value in this city. Needs continuing partnership between government, street vendors, community, private, and academician. Key words : Street vendor, structuring street vendor, Strategy and Policy.
7
©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
8
STRATEGI PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI JALAN DEWI SARTIKA KOTA BOGOR
RUDY MASHUDI
Tugas Akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
9
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Ma‟mun Sarma, MS. M.Ec
10
Judul Tugas Akhir
: Strategi Penataan Pedagang Kaki Lima di Jalan Dewi Sartika Kota Bogor
Nama
: Rudy Mashudi
NIM
: H252110065
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS. Ketua
Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS Anggota
Diketahui oleh Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Ma‟mun Sarma, MS. M.Ec
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 31 Oktober 2014
Tanggal Lulus:
11
PRAKATA Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat, nikmat, dan karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.Tema yang dipilih dalam tesis ini adalah Strategi Penataan Pedagang Kaki Lima di Jalan Dewi Sartika Kota Bogor. Tesis ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr.Ir. Manuntun Parulian Hutagaol,MS dan Bapak Dr. Ir. Sri Hartoyo selaku pembimbing. Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada : 1. Istri saya, Riastuti Kusuma Wardani, SKM, MKM dan anak-anak saya Muhammad Danish Hafuza, Hasna Adzkia Shalihah, dan Muhammad Dzaki Muta‟aali yang selalu memberikan dorongan, do‟a, dan semangat. 2. Bapak dan Ibu Mertua, Bapak Supriyono dan Ibu Tiningsih atas do‟a dan kebaikan-kebaikannya. 3. Keluarga Besar Bapak Usman Johan, atas bantuan dan dukungannya. 4. Bapak Dr. Ir. Ma‟mun Sarma, MS, M.Ec selaku Ketua Program Studi beserta seluruh civitas akademika Program Magister Profesional Manajemen Pembangunan Daerah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 5. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah angkatan XIII yang telah bersama dalam perkuliahan dan memberikan sumbangsih pemikiran, semangat serta motivasi sehingga kajian ini dapat diselesaikan. Akhirnya, dengan mengharap ridha Allah SWT semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, 31 Oktober 2014
Rudy Mashudi
12
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Kajian Kegunaan Kajian Ruang Lingkup 2 TINJAUAN PUSTAKA Sektor Informal Pedagang Kaki Lima Pemberdayaan PKL Manajemen Strategis Analisis SWOT Analytic Hierarchy Process (AHP) Hasil Penelitian Terdahulu 3 METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Lokasi dan Waktu Peneltian Jenis dan Sumber Data Metode Pengumpulan Sampel Metode Analisis Data Keterbatasan Kajian 4 GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR Konidis Geografis dan Administrasi Kependudukan dan Sumber Daya Manusia Perekonomian Kota 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik PKL di Jalan Dewi Sartika Kota Bogor Preferensi Masyarakat Terhadap PKL di Jalan Dewi Sartika Strategi Penataan PKL di Jalan Dewi Sartika Identifikasi Faktor Internal Identifikasi Faktor Eksternal Analisis SWOT Internal Factor Evaluation (IFE) Eksternal Factor Evalution (EFE) Matriks SWOT Analitical Hierarchy Process (AHP) 6 RANCANGAN PROGRAM PENATAAN PKL Rancangan Program 7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
1 3 4 4 4 5 6 7 10 13 14 16 19 21 21 23 24 30 30 31 33 38 39 39 39 43 46 46 47 49 51
55 61
13
Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
61 62 66 87
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Data PKL di Kota Bogor Matrik SWOT Matrik Perencanaan Strategis Kuantitatif Skala Banding Secara Berpasangan dalam AHP Penelitian Terdahulu Metode Pengumpulan Data Aspek Yang diteliti, Variabel, Sumber Data Penentuan Nilai Bobot Faktor Strategis Internal Penentuan Nilai Bobot Faktor Strategis Internal Luas Wilayah Menurut Kecamatan Luas Wilayah, Jumlah RT/RW, Jumlah Penduduk Jumlah Kelahiran dan Kematian di Kota Bogor Perkembangan Kontribusi Sektor dalam PDRB Tahun 2009 s.d 2013 Atas Dasar Harga Berlaku (HK) Kota Bogor Nilai Dan Kontribusi Sektor dalam PDRB Kota Bogor Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2010 s.d 2013 Nilai inflasi Kota Bogor Tahun 2009-2013 PDRB Per kapita Atas Dasar harga konstan Tahun 2000 Tahun 2008 s.d 2012 Kota Bogor
Prosentase Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan di Kota Bogor Jumlah Perkiraan Distribusi Angkatan Kerja Yang Bekerja Menurut Tingkat Pendidikan Indikator--‐indikator Utama Ketenagakerjaan Jumlah Angkatan Kerja Yang Bekerja Menurut Lapangan Kerja Matrik hasil perhitungan Internal Factor Evaluation Matrik hasil perhitungan Eksternal Factor Evaluation Matrik analisis SWOT Rancangan Program Penataan PKL
2 13 14 16 17 22 23 26 26 30 31 31 34 35 36 36 37 37 38 38 47 48 50 60
14
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Manajemen Strategis Kerangka Pemikiran Indikator Faktor Internal dan Eksternal Strategi Penataan PKL Struktur Hirarki AHP Struktur Hirarki Penataan PKL di Kota Bogor Hasil Perhitungan AHP pada aspek Faktor Hasil Perhitungan AHP pada aspek Aktor Hasil Perhitungan AHP pada aspek Tujuan Hasil Perhitungan AHP pada aspek Alternatif Strategi Dinamik Analisis Sensitivitas Struktur Hirarki Strategi Penataan PKL di Kota Bogor Konsep penataan PKL Yang diusulkan PKL Kondisi Eksisting PKL Jalan Dewi Sartika Rencana Penataan Alternatif 1
12 21 25 28 29 52 52 53 53 54 54 56 59 59
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5
Kuesioner Karakteristik PKL Kuesioner Preferensi Masyarakat Kuesioner Penentuan Bobot dan Rating Faktor Strategis Internal dan Eksternal Yang Mempengaruhi Penataan PKL di Kota Bogor Kuesioner Analytical Hierarchy Process (AHP) Foto Survey dan Nara Sumber
66 67 68 70 85
15
I PENDAHULUAN Latar Belakang Dinamika pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dunia tidak hanya dipengaruhi oleh sektor formal, namun juga dipengaruhi oleh sektor informal. Sektor informal turut berkontribusi dalam kegiatan ekonomi, terutama di negara-negara berkembang di dunia (Loayza, 1997). Indonesia sebagai salah satu negara berkembang menjadi salah satu negara yang juga mengalami perkembangan sektor informal, terutama setelah masa krisis ekonomi tahun 1997 dan 2008/2009 (Mubarok, 2012). Sektor informal di Indonesia sudah sejak lama menjadi tumpuan harapan banyak warga. Mereka memilih (baik dengan sukarela maupun terpaksa) masuk ke sektor informal karena karakteristik sektor ini relatif lebih sederhana. Para pekerja sektor informal tidak pernah dituntut harus memiliki tingkat pendidikan dan keahlian tertentu, asalkan mereka memiliki semangat dan ketekunan yang cukup besar untuk menjalankan usaha yang umumnya berskala kecil. Sektor informal adalah sektor yang tidak terorganisir (unorganized), tidak teratur (unregulated), dan kebanyakan legal namun tidak terdaftar (unregistered) (Bappenas, 2009). Salah satu kegiatan sektor informal yang penuh dinamika di Indonesia adalah aktivitas yang dilakukan oleh Pedagang Kaki Lima (selanjutnya disebut PKL). Menurut Bappenas (2009) tumbuhnya usaha kecil-kecilan di perkotaan seperti PKL, pedagang asongan, penjual bakso dan sebagainya akibat dari proses migrasi tenaga kerja dari desa ke kota. Sejak dekade 1970-an Indonesia mengalami era pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta terjadi pula pergeseran struktur yang cepat dari sektor pertanian ke sektor non pertanian. Oleh karena umumnya sektor pertanian terdapat di desa sedangkan industri terdapat di kota, maka migrasi desa ke kota merupakan arah perpindahan tenaga kerja yang pada umumnya terjadi dalam proses industrialisasi. Hal yang menarik dari fenomena tersebut adalah banyaknya tenaga kerja yang bersifat swakarya dan swadaya, sehingga membentuk usaha-usaha informal, salah satunya PKL. PKL merupakan kegiatan urban yang perkembangannya sangat fenomenal karena keberadaannya semakin tampak memenuhi ruang kota. Kegiatan ini dipahami sebagai kegiatan yang belum terwadahi, sehingga ruang publik menjadi satu-satunya tempat untuk melakukan kegiatan tersebut. Penggunaan ruang publik telah menjadi suatu karakteristik yang identik dengan eksistensi PKL di kota-kota Indonesia (Siahaan, 2000) Fenomena perkembangan PKL di Kota-kota Indonesia tersebut, menarik perhatian Pemerintah Pusat melalui Kementerian Dalam Negeri. Hal ini karena PKL tidak saja menjadi suatu kekuatan ekonomi riil yang harus ditata dan diberdayakan, namun disisi lain juga menimbulkan dampak negatif seperti terganggunya kelancaran lalu lintas, estetika dan kebersihan serta fungsi prasarana kawasan perkotaan. Oleh karena pertimbangan tersebut, Kementerian Dalam Negeri menerbitkan dan menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 41 tahun 2012 tentang Pedoman Penataan Dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Dimas (2008) bahwa PKL dapat dipandang dari 2 sisi, yaitu satu sisi sebagai masalah kota, sementara satu sisi yang lain PKL merupakan potensi ekonomi kota. Dengan hadirnya Permendagri tersebut, diharapkan
16
Pemerintah Daerah dapat mengantisipasi berkembangnya PKL disetiap Kota/Kabupaten. Fenomena perkotaan tersebut juga dialami oleh Kota Bogor. Kota dengan jumlah penduduk 1.004.831 jiwa (BPS,2013), menghadapi problematika penanganan sektor informal yaitu Pedagang Kaki Lima (PKL). Dalam dokumen Rencana Strategis Kota Bogor 2005 – 2009 dan RPJMD 2010 – 2014, penanganan PKL menjadi salah satu dari empat prioritas pembangunan di Kota Bogor. Namun, hingga awal tahun 2014 penanganan PKL belum menampakkan hasil sesuai rencana. Beberapa hasil pendataan dan penelitian terdahulu, menunjukkan bahwa jumlah PKL di Kota Bogor semakin besar dari tahun ke tahun (Disperindag; PINBUK; Ruhiyana, 2010; Mubarok : 2012; Rakhmawati, 2007). Terjadi peningkatan jumlah PKL dalam kurun waktu 15 tahun terakhir (data lihat pada Tabel 1). Hal ini terjadi karena adanya pengaruh krisis ekonomi yang mengakibatkan semakin tingginya angka pengangguran akibat PHK dan sulitnya lapangan kerja formal, sehingga menjadi PKL merupakan pilihan untuk tetap mendapatkan penghasilan (Ruhyana, 2010 dan Rakhmawati, 2007). Tabel 1 Data PKL di Kota Bogor No Tahun Jumlah PKL Sumber 1 1996 2.140 Pemkot Bogor 2 1999 6.340 Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK) 3 2002 10.350 Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Disperindag) Kota Bogor 4 2004 12.000 Renstra Kota Bogor 2005 - 2009 5 2009 7.782 LKPJ AMJ Walikota Bogor 2005-2009 6 2012 9.710 Kantor Koperasi dan UMKM Kota Bogor Sumber : Kantor Koperasi dan UMKM Kota Bogor (2012). Menurut Mubarok (2012) dan Ruhyana (2010), tipologi karakter PKL di Kota Bogor penyebarannya mengikuti pola jaringan jalan dan beraglomerasi pada pusatpusat kegiatan ekonomi seperti pasar, pertokoan, dan juga stasiun atau terminal. Menurut Rakhmawati (2007), cara berjualan PKL terbagi menjadi 3 kelompok yaitu : menggunakan badan jalan/ pasar tumpah, menggunakan selasar kios, dan juga menggunakan bangunan terlantar. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh aspek keterjangkauan atau aksesibilitas berdagang dengan calon pembeli. Tipologi ini menyebabkan ruang prasarana kota seperti trotoar, taman, bahkan badan jalan menjadi berubah fungsi dan membuat kesemrawutan kota. Langkah-langkah penataan PKL di Kota Bogor terus dilakukan setiap tahun oleh Pemerintah. Namun hasilnya hingga saat ini belum memuaskan. 3 (tiga) langkah yang dilakukan oleh Pemerintah Kota dalam penataan seperti penertiban PKL, relokasi dan lokalisir lokasi PKL, serta penentuan zona PKL belum tercapai. Belum terlihat tahapan dan fokus pembinaan PKL yang memberikan dampak terhadap penataan PKL dan dapat dijadikan tolak ukur keberhasilan.
17
Kondisi di lapangan justru menampakkan kesan semakin tidak tertangani, walaupun sudah ditetapkan perangkat kebijakan berupa Peraturan Daerah (Perda) nomor 13 tahun 2005 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima. Dalam keputusan tersebut telah ditetapkan 3 lokasi prioritas penataan yaitu di Jalan MA Salmun, Nyi Raja Permas, dan Jalan Dewi Sartika. Dari 3 (tiga) lokasi tersebut, 2 lokasi telah mendapatkan intervensi penataan yaitu di Jalan MA Salmun dan Nyi Raja Permas, namun di Jalan Dewi Sartika belum dilakukan penataan. PKL masih menempati trotoar, saluran drainase, dan sebagian badan jalan. Lokasi Jalan Dewi Sartika merupakan lokasi strategis karena berada diantara Pasar Kebon Kembang, Plaza Kapten Muslihat, pusat perkantoran dan Stasiun Kereta Api Bogor Untuk itu, diperlukan strategi dalam penataan PKL di Kota Bogor, yang menyentuh kebutuhan PKL dan dapat menjadi solusi terhadap permasalahan PKL. Keberhasilan Kota Solo dalam memberikan pembinaan kepada PKL dan menata ruang publik kota, dapat menjadi inspirasi Pemerintah Kota Bogor dalam penataan PKL. Perumusan Masalah Sebagai bagian dari penggerak ekonomi kota, saat ini keberadaan PKL menjadi dilematis bagi pemerintah Kota Bogor. Karena disisi yang lain keberadaannya telah menimbulkan ketidaknyamanan, terutama pada ruang-ruang publik di Kota Bogor (LKPJ Walikota, 2012). Berbagai langkah telah diambil dan terus dikerjakan dalam upaya penataan dan pemberdayaan PKL, namun belum seluruhnya menampakkan hasil yang bisa menyelesaikan masalah PKL. Satu hal yang menjadi kunci dari keberhasilan penataan adalah mengetahui tentang data dan karakteristik PKL. Dalam proses penataan di Jalan Dewi Sartika diperlukan data yang akurat terkait karakteristik PKL yang berada di lokasi tersebut. Untuk itu, yang menjadi permasalahan pertama dalam penelitian ini adalah bagaimana karakteristik PKL di Jalan Dewi Sartika, ditinjau dari motivasi menjadi PKL, lama berjualan dilokasi tersebut, dan yang terkait dengan karakter usaha yang dilakukan di lokasi tersebut? Pelaksanaan penataan PKL yang telah dan sedang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor, tidak terlepas dari arah kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya dalam bentuk regulasi atau Peraturan Daerah maupun Peraturan Walikota. Beberapa program dan kegiatan telah dilaksanakan, mulai dari penertiban, relokasi maupun penetapan zona-zona berdagang bagi PKL. Namun, hingga saat ini lokasi-lokasi prioritas penataan masih ditempati oleh PKL. Selain itu dalam kurun waktu pelaksanaan penataan dan pembinaan PKL telah menggunakan anggaran yang tidak sedikit. Dalam 10 tahun terakhir, hampir kurang lebih Rp. 10 Miliyar anggaran yang telah digunakan (Ruhyana : 2010). Dengan kondisi adanya potensi dan masalah dalam pembinaan tersebut, perlu diindentifikasi faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan secara internal, maupun faktor-faktor yang menjadi tantangan dan harapan dalam mengembangkan penataan dan pembinaan PKL di lokasi prioritas. Perlu dilakukan perumusan konsep yang fokus terhadap pembinaan PKL. Untuk itu, permasalahan kedua yang perlu dirumuskan dalam penelitian ini adalah apa saja faktor-faktor internal dan eksternal yang berpengaruh dalam penataan PKL di Jalan Dewi Sartika? Keberhasilan beberapa kota di dunia maupun di Indonesia dalam penataan PKL, tidak terlepas dari kajian strategis yang tepat dalam penanganan permasalahan
18
dan pelibatan para pemangku kepentingan dalam pelaksanaannya. Pembinaan PKL dilokasi prioritas perlu strategi yang tepat agar sesuai dengan sasaran dan tujuan pembinaan PKL. Pembinaan PKL perlu dilakukan secara terencana, terinci, terpadu, dan berkelanjutan agar dapat dilaksanakan dengan program-program yang jelas dan tepat sasaran. Pelaksanaan program pembinaan PKL perlu redesign agar menghasilkan strategi dan program yang tepat bagi pembinaan PKL. Untuk itu, permasalahan ketiga yang perlu dirumuskan adalah apa strategi yang harus dilaksanakan Pemerintah Kota Bogor dalam penataan dan pemberdayaan PKL di Jalan Dewi Sartika? Dalam pelaksanaan strategi perlu diturunkan pada program-program operasional yang akan menjadi agenda pelaksanaan penataan PKL di Jalan Dewi Sartika. Sehingga strategi yang telah dirumuskan akan dapat dilaksanakan dan menjadi keberhasilan dalam menata PKL. Untuk itu, permasalahan keempat yang perlu disusun adalah apa program-program penataan PKL di Jalan Dewi Sartika, dikaitkan dengan startegi yang telah dirumuskan ? Tujuan Kajian Kajian ini bertujuan untuk mendapatkan alternatif strategi terhadap penataan PKL di Kota Bogor yang akan berdampak pada efektivitas penataan PKL. Sedangkan tujuan khusus dari kajian ini, antara lain : 1. Mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik PKL di Jalan Dewi Sartika (Sekitar Taman Topi). 2. Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal yang berpengaruh terhadap penataan PKL di Jalan Dewi Sartika. 3. Merumuskan alternatif-alternatif strategi dalam penataan PKL di Jalan Dewi Sartika dan menentukan strategi alternatif terbaik, dan 4. Menyusun Program-program yang dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Bogor dalam melakukan penataan dan pemberdayaan PKL.
Kegunaan Kajian Kajian ini diharapkan memberikan manfaat dan kegunaan bagi para pihak yang terlibat dalam penataan dan pemberdayaan PKL. Secara khusus, antara lain : 1. Bagi pemerintah, diharapkan berguna menjadi alternatif dalam penataan PKL. Sehingga program dan rencana penanganan PKL dapat tercapai dan ruang kota semakin nyaman. 2. Bagi PKL, kajian ini memberikan gambaran tempat berdagang yang sesuai dengan karakteristik PKL, selain memberikan jaminan keamanan dalam berdagang sehingga tidak selalu dihantui oleh program penertiban dari pemerintah. 3. Bagi penulis, dapat berkontribusi dalam pemecahan masalah kota. Selain itu dapat menyelesaikan masa studi.
19
Ruang Lingkup Batasan Kajian Besarnya jumlah PKL dan banyaknya titik PKL di Kota Bogor, maka kajian ini dibatasi untuk lokasi di kawasan prioritas penataan PKL yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Beberapa pertimbangan antara lain : 1. Lokasi tersebut menjadi lokasi prioritas sejak Perda nomor 13 tahun 2005 tentang penataan PKL, namun hingga saat ini belum tertangani. 2. Terdapat jumlah PKL yang cukup besar di lokasi tersebut. Menurut hasil pemetaan dari Kantor Koperasi dan UMKM Kota Bogor tahun 2014, jumlah PKL sebanyak 323 PKL. 3. Lokasi berada di pusat kota, sehingga dapat mencerminkan wajah kota.
2 TINJAUAN PUSTAKA Sektor Informal Pembahasan sektor informal tidak dapat dipisahkan dari pembahasan sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Usaha dalam skala ini berkembang pesat khususnya di negara-negara berkembang seperti di Indonesia karena keterbatasan lapangan kerja di sektor formal (Mubarok, 2012). Tinjauan mengenai sektor informal diawali dari dikotomi pemahaman antara ekonomi informal versus ekonomi formal (economy) yang telah banyak mendapatkan kritikan. Hal ini terutama disebabkan karena adanya kesulitan dalam membuat batasan yang jelas antar kedua tipe ekonomi ini. “Sektor informal” bukanlah benar-benar suatu 'sektor' seperti yang lazimnya dipahami dalam konteks formal (seperti sektor pertanian, finansial, manufakturing dan sebagainya), bahkan aktivitas informal terdapat pada beberapa sektor ekonomi. Oleh karenanya, istilah “ekonomi informal” semakin banyak digunakan dibandingkan istilah sektor informal. Banyak pakar yang mengemukakan definisi sektor informal dan secara sederhana sektor informal adalah kegiatan ekonomi yang berskala kecil, modal kecil, dan berusaha dengan pola yang sangat sederhana. Sethuraman (1978) menyebutkan bahwa, “kebanyakan kegiatan sektor informal sifatnya masih sub sistem, oleh karena itu sektor informal dapat diartikan sebagai unit-unit usaha berskala kecil yang menghasilkan dan mendistribusikan barang dan jasa dengan tujuan pokok menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi diri sendiri. Sehingga mereka dihadapkan pada kendala seperti modal fisik, faktor pengetahuan dan faktor ketrampilan”. Selanjutnya Sarjono (2005:15) mengatakan bahwa : “penelitian tentang sektor informal mengenai pelaku migran sirkuler sektor informal di kota dan dampaknya terhadap intensitas migrasi desa-kota menyebutkan bahwa kelompok migran ke kota bekerja di sektor informal karena ada daya dorong untuk kebutuhan atau aspirasi yang tidak dapat dipenudi di desa. Pengungkapan perasaan tidak menyenangkan di daerah asal dipandang sebagai faktor pendorong dan ”kesempatan kerja sempit”. Selain itu, Sarjono (2005) dalam penelitiannya tentang pergulatan pedagang kaki lima di perkotaan, menyimpulkan bahwa :
20
(1) terjadi transformasi sosial di sektor informal khususnya Pedagang Kaki Lima pada arus individu maupun kelompok, mengakibatkan perubahan yang mendasar dan sekaligus gradual dalam sistem sosial sektor informal pedagang kaki lima. (2) bahwa pada sektor atau pelaku perubahan yang terlibat atau subyek pada transformasi sektor informal pedagang kaki lima, berlangsung perubahan secara kelindan dengan kompleksitas permasalahan ekonomi seperti pertumbuhan pendapatan, dan segi-segi sosial seperti posisi dan status sosial pelaku dalam sistem sosial. (3) bahwa perubahan atau transformasi sosial pada sektor pedagang kaki lima terjadi secara unik dalam sebuah kontitum dalam arti ganda yakni pada satu sisi mengalami perubahan atau transformasi per atau inter karakteristik baik dengan perluasan maupun pengambil alihanan. Pada sisi lainnya meninggalkan atau menguatkan karakteristik perubahan itu sendiri atau pemapanan. Kenyataan transformatif menunjukkan keduanya dapat terjadi secara bersamaan atau tidak sendiri-sendiri. Pedagang Kaki Lima Pemahaman PKL saat ini telah berkembang dan dilihat dari berbagai sudut pandang. Dalam pandangan pemerintah disebutkan bahwa PKL adalah pelaku usaha yang melakukan usaha perdagangan dengan menggunakan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan dan bangunan milik pemerintah dan/atau swasta yang bersifat sementara/tidak menetap (Permendagri nomor 41/2012 pasal 1). Pengertian Pedagang Kaki Lima menurut ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Kelima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga (kaki) gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Dari beberapa pandangan tersebut dapat diambil satu benang merahnya bahwa yang dimaksud dengan PKL adalah mereka yang berjualan di tempat-tempat umum yang sifatnya tidak permanen, bermodal kecil dan dilakukan secara pribadi atau berkelompok. Pedagang Kaki Lima juga memiliki karakteristik tersendiri. Ramli (1992:58) melihat karateristik PKL dari pola daganganya yaitu : (1) Kebanyakan PKL menjual barang dagangnya dengan harga luncur (sliding price system); (2) terdapat proses tawar menawar yang merefleksikan penetapan harga secara perkiraan saja dan tanpa pembukuan yang ketat; (3) berusaha mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dari jual beli yang dilakukan dan bukan untuk mencari langganan tetap; (4) ada mekanisme utang-mengutang kepada grosir atau kreditor. Disamping itu menurut Kurniadi dan Tangkilisan (2003) lebih merinci lagi karakteristik dari PKL yaitu : (1) Kelompok ini merupakan pedagang yang kadang-kadang juga berarti produsen sekaligus; (2) Peralatan kaki lima yang memberikan konotasi, bahwa mereka pada umumnya menjajakan barang-barang dagangan pada tikar di pinggir jalan, atau dimuka toko yang dianggap strategis
21
(3) Pedagang kaki lima umumnya bermodal kecil, bahkan tidak jarang mereka hanya merupakan ”alat” bagi pemilik modal dengan mendapatkan sekedar komisi sebagai imbalan jerih payah; (4) Pada umumnya kelompok Pedagang Kaki Lima ini merupakan kelompok marginal, bahkanada pula yang tergolong pada kelompok sub marginal; (5) Pada umumnya kualitas barang yang diperdagangkan oleh para pedagang kaki lima yang mengkhususkan diri dalam hal penjualan barang-barang cacat sedikit dengan harga yang jauh lebih murah. (6) Omset pedagang kaki lima ini pada umumnya memang tidak besar; (7) Para pembeli umumnya para pembeli yang mempunyai daya beli rendah (berasal dari apa yang dinamakan lower income pockets); (8) Kasus dimana pedagang kaki lima berhasil secara ekonomi, sehingga akhirnya dapat menaiki tangga dalam jenjang hierarki pedagang yang sukses, agak langka; (9) Pada umumnya usaha para pedagang kaki lima merupakan famili enterprise, atau malah one man enterprise; (10) Barang yang ditawarkan pedagang kaki lima biasanya tidak standar, dan shifting jenis barang yang diperdagangkan para pedagang seringkali terjadi; (11) Tawar menawar antar pedagang dan pembeli merupakan ciri khas usaha perdagangan pedagang kaki lima (12) Terdapat jiwa kewirausahaan yang kuat pada para pedagang kaki lima. Pemberdayaan PKL Konsep Pemberdayaan PKL Konsep pemberdayaan merupakan alternatif pemecahan terhadap dilemadilema pembangunan yang dihadapi. Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people-centered, participatory, emporing, and sustainable” (Kartasasmita, 1996). Pemberdayaan memiliki tujuan 2 arah, pertama, melepaskan belenggu kemiskinan, dan kedua memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur ekonomi dan kekuasaan. Secara konseptual, pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Pemberdayaan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pemberdayaan sektor informal, khususnya kelompok PKL sebagai bagian dari masyarakat yang membutuhkan penanganan atau pengelolaan tersendiri dari pihak pemerintah yang berkaitan dengan sumberdaya yang mereka miliki, yang diharapkan mampu mendorong peningkatan pendapatan usaha dan penataan usaha PKL itu sendiri. Dalam ketentuan umum Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 41 tahun 2012 tentang pedoman penataan dan pemberdayaan pedagang kaki lima, Pemberdayaan PKL didefinisikan sebagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat secara sinergis dalam bentuk penumbuhan iklim usaha dan pengembangan usaha terhadap PKL sehingga mampu tumbuh dan berkembang baik kualitas maupun kuantitas usahanya.
22
Pelaksanaan Penataan dan Pemberdayaan PKL Kota Bogor Upaya penataan dan pemberdayaan PKL di Kota Bogor tetap dilakukan dengan mempertimbangkan aspek kebutuhan ekonomi masyarakat, baik bagi pelaku PKL maupun bagi masyarakat konsumennya, disamping aspek ketertiban, keindahan, dan kenyamanan publik, sehingga dengan demikian upaya penanganan didasarkan pada konsep pembinaan, penataan dan penertiban. Penataan dan penertiban PKL senantiasa berlandasakan kepada peraturan yang telah ditetapkan antara lain : 1) Perda Kota Bogor Nomor 13 Tahun 2005 tentang Penataan PKL. 2) Perda Kota Bogor nomor 8 tahun 2006 tentang Ketertiban Umum. 3) Peraturan Walikota Bogor Nomor 25 Tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Kota Bogor Nomor 13 Tahun 2005 tentang Penataan PKL. 4) Keputusan Walikota Bogor Nomor 511.23.45-146 tahun 2008 tentang Penunjukan Lokasi Pembinaan dan Penataan Usaha PKL sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Walikota Bogor Nomor 511.23.45.-63 Tahun 2010 tanggal 4 Pebruari 2010. Tujuan dari penataan PKL adalah mewujudkan Kota Bogor yang bersih, indah dan nyaman dengan PKL yang tertib dan teratur berdasarkan peraturan dan perundang-undangan. Sedangkan sasaran penataan PKL adalah Kota Bogor Bersih, bebas macet dan kumuh akibat PKL serta tertatanya PKL yang tidak mengganggu ketertiban umum. Sesuai dengan RPJMD Kota Bogor tahun 2010 – 2014, strategi secara umum dalam penataan Pedagang Kaki Lima (sektor informal) adalah mengalokasikan ruang untuk kegiatan sektor informal dengan strategi sebagai berikut : 1. Menata ruang kegiatan sektor informal yang ada 2. Mengalokasikan ruang baru untuk sektor informal 3. Melibatkan masyarakat dalam pengendalian ruang sektor informal. Rencana penataan PKL dilaksanakan melalui : 1. Menempatkan sektor informal di lokasi yang direncanakan 2. Menata kawasan yang dimanfaatkan untuk kegiatan sektor informal 3. Membatasi pemanfaatan ruang terbuka publik untuk kegiatan sektor informal dengan pembatasan area dan pengaturan waktu berdagang 4. Mengoptimalkan fungsi pasar untuk mengakomodir kebutuhan ruang sektor informal 5. Mengintegrasikan kegiatan sektor formal dan sektor informal 6. Melibatkan pemangku kepentingan dalam menjaga fasilitas publik agar tidak digunakan untuk kegiatan sektor informal 7. Mewajibkan setiap pengembang perumahan untuk mengalokasikan ruang bagi kegiatan sektor informal Sedangkan strategi yang ditempuh dalam penanganan PKL tahun 2010-2014 difokuskan pada : 1. Penataan Lokasi PKL a. Penegasan titik lokasi PKL, berikut dengan pengaturan jenis komoditas, model desain berjualan, dan waktu berjualan. b. Mewajibkan pengembang menyediakan pasar tradisional skala lingkungan di perumahan-perumahan
23
c. Mewajibkan pusat perbelanjaan modern menyediakan ruang untuk PKL khususnya makanan dengan insentif yang menarik d. Meredesain pasar yang ada agar nyaman bagi penjual dan pembeli khususnya komoditas hasil pertanian e. Pendataan regristrasi PKL untuk pengendalian jumlah PKL, dengan memberikan tanda khusus resmi 2. Penertiban PKL a. Penertiban PKL yang lebih tegas diluar lokasi titik PKL (strickly forbidden area) khususnya di jalan arteri dan kolektor b. Target penertiban PKL yakni 6 titik lokasi 3. Pembinaan PKL a. Pembinaan dan penyuluhan peningkatan disiplin PKL b. Pembinaan dan pemantauan kebersihan, keamanan dari komoditas yang dijual PKL dengan target 300 PKL c. Kelembagaan pengelolaan Perlu dibentuk tim kerja khusus penanganan PKL Rencana kerja serta monitoring evaluasi yang terjadwal dan terukur. Pemantauan dan penertiban PKL dilaksanakan bekerjasama dengan seluruh elemen masyarakat. Perlu ada peninjauan kembali terhadap Perda Nomor 13 Tahun 2005, khususnya mengenai kebijakan dan kriteria lokasi PKL. Program penataan PKL di Kota Bogor dilakukan secara lintas sektoral dan terpadu dengan SKPD terkait yaitu Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kantor Koperasi dan UMKM, SatPol PP, Dinas Pengawasan Bangunan dan Permukiman, Dinas Bina Marga dan SDA, Dinas lalu Lintas dan Angkutan Jalan, PD. Pasar Pakuan Jaya, Kantor Kesbang dan Politik serta Kecamatan dan Kelurahan yang tentunya disesuaikan dengan tupoksi masing – masing. Program – program tersebut dijabarkan melalui kegiatan – kegiatan yang ada di SKPD masing – masing. Dalam upaya mendapatkan formulasi terbaik untuk menata PKL, Kantor Koperasi dan UMKM juga telah melaksanakan kegiatan Kajian Penataan PKL Kota Bogor yang telah selesai dilaksanakan pada bulan Desember 2012 yang diharapkan dapat menghasilkan konsep penataan PKL berdasar pada aspirasi berbagai stakeholder seperti pemerintah kota, PKL dan warga masyarakat. Kegiatan ini difokuskan dalam mencari solusi terbaik tentang langkah penataan PKL dengan fokus yang direkomendasikan antara lain yaitu : 1. Penataan PKL dalam bentuk relokasi dengan 3 (tiga) tahap penangann yaitu : Jangka pendek dengan pola infil (dimasukkan) pada ruas jalan tertentu sekitar lokasi semula dengan persyaratan tertentu; Jangka menengah dengan memanfaatkan lahan/ruang di sekitar lokasi eksisting Jangka panjang dengan relokasi PKL ke zona yang diperuntukkan untuk kawasan penataan PKL, sesuai dengan RTRW yaitu Wilayah Pengembangan (WP) B dengan lokasi Bubulak-Sindangbarang, WP C dengan lokasi YasminPasar TU Kemang, WP D lokasi Tajur dan sekitar rencana akses tol CiawiSukabumi Inner Ring Road. Penetapan lokasi berdasarkan pada kesamaan/karakteristik kesesuaian alam dan sosial ekonomi, batasan fisik, batasan administrasi, batasan kesatuan cakupan pelayanan, jumlah penduduk yang dilayani, posisi dalan struktur kota dan kesamaan tipologi penanganan
24
2. Pembentukan kantong-kantong PKL bagi PKL yang memiliki kesamaan komoditas yang diperjualbelikan yang diarahkan pada penggunaan asset pemkot dan sesuai rencana tata ruang; 3. Kerjasama pembangunan kios di komplek tempat hiburan, obyek wisata, pusat perbelanjaan dan lingkungan tempat pendidikan; 4. Pemberdayaan paguyuban PKL sebagai sarana komunikasi; 5. Pembentukan Koperasi PKL; 6. Pembinaan usaha dan pembinaan mental wirausaha; 7. Penertiban dan penegakan perda. Hasil nyata dari pelaksanaan penataan dan penertiban PKL di Kota Bogor selama tahun 2012 antara lain : 1. Kesepakatan dengan PKL di sekitar Suryakencana dengan melakukan pergeseran dan penataan PKL malam hari di 3 lokasi antara lain di Jalan Otista, Jalan Lawang Saketeng dan Jalan Roda sehingga fungsi pedestrian dan jalan di wilayah Suryakencana dapat berjalan dengan baik pada malam hari. Hal ini dilaksanakan dalam upaya membuka akses jalan Suryakencana pada malam hari dan PKL dapat tetap mencari nafkah sampai Kota Bogor memiliki fasilitas penampungan PKL yang representatif. 2. Pemeliharaan jalan Pajajaran sebagai etalase Kota Bogor agar tetap bebas dari PKL 3. Kerjasama dengan Kementerian Koperasi dan UMKM dalam rangka penataan PKL di Jalan Roda, Papandayan, Tegal Gundil dan Gang Selot melalui kegiatan penataan, pelatihan dan perbaikan sarana prasarana PKL. 4. Kerjasama dengan PT. KAI melalui kegiatan penataan 200 PKL di sepanjang Jalan Nyi Raja Permas dengan membuat pedestrian yang nyaman untuk pejalan kaki dan penempatan PKL di dalam pusat jajanan PKL yang dilewati oleh pejalan kaki yang menuju ke Stasiun Besar Kota Bogor. Dalam pelaksanaan pemberdayaan PKL beberapa startegi yang dilakukan di Kota Bogor (Kantor Koperasi dan UKM, 2013), antara lain : 1. Peningkatan kemampuan berusaha 2. Fasilitasi akses permodalan 3. Fasilitasi bantuan sarana dagang 4. Penguatan kelembagaan 5. Fasilitasi peningkatan produksi 6. Pengolahan, pengembangan jaringan dan promosi, dan 7. Pembinaan dan bimbingan teknis. Manajemen Strategis Manajemen strategis dapat didefinisikan sebagai seni dan pengetahuan untuk merumuskan, mengimplementasikan dan mengevaluasi keputusan lintas fungsional yang membuat organisasi mampu mencapai objektivittas. Delapan istilah kunci dalam manajemen strategis yaitu : perencanaan strategi, pernyataan visi dan misi, peluang dan ancaman, kekuatan dan kelemahan, tujuan jangka panjang, strategi, sasaran dan kebijakan (David, 2004). Konsep strategis berkembang mulai dari sekedar alat untuk mencapai tujuan, kemudian berkembang menjadi alat menciptakan keunggulan bersaing dan selanjutnya menjadi landasan untuk memberi respon terhadap kekuatan-kekuatan
25
internal dan eksternal. Sehingga menjadi alat untuk memberikan kekuatan, motivasi kepada stakeholder agar perusahaan tersebut dapat memberikan kontribusi secara optimal (Rangkuti, 2004). Tugas utama dari manajemen strategis adalah memberikan secara menyeluruh misi dari suatu bisnis, artinya mengajukan pertanyaan “apa bisnis kita ?” pertanyaan ini mengiring pada penetapan objektif, pengembangan strategi dan membuat keputusan sekarang untuk hasil dimasa depan, lebih lanjut mengemukakan bahwa proses manajemen strategis terdiri dari tiga tahap : perumusan strategi, implementasi strategi dan evaluasi strategi (David, 2004). Perumusan strategi termasuk mengembangkan misi bisnis, mengenali peluang dan ancaman eksternal perusahaan, menetapkan kekuatan dan kelemahan internal, menetapkan objektif jangka panjang, menghasilkan strategi alternatif dan memilih strategi tertentu untuk dilaksanakan. Implementasi strategi menuntut perusahaan untuk menetapkan objektif tahunan, melengkapi dengan kebijakan, memotivasi karyawan dan mengalokasikan sumber daya sehingga strategi yang dirumuskan untuk dilaksanakan. Hal ini termasuk mengembangkan budaya mendukung strategi, menciptakan struktur organisasi yang efektif, mengubah arah usaha pemasaran, menyiapkan anggaran, mengembangkan dan memanfaatkan sistem informasi dan menghubungkan kompensasi dengan prestasi organisasi, implementasi strategi tersebut sering disebut tahap tindakan manajemen strategis. Evaluasi strategis adalah tahap akhir dalam manajemen strategis. Semua strategi dapat dimodifikasi dimasa depan karena faktor-faktor eksternal dan internal selalu berubah. Ada tiga macam aktivitas mendasar untuk mengevaluasi strategi yaitu : (1) meninjau faktor-faktor ekternal dan internal yang menjadi dasar strategi (2) mengukur prestasi, dan (3) mengambil tindakan korektif. Evaluasi strategi diperlukan karena keberhasilan hari ini bukan merupakan jaminan keberhasilan dimasa depan. Mengenai misi, sasaran dan strategi organisasi yang sudah ada merupakan titik awan yang logis untuk manajemen strategis karena situasi dan kondisi perusahaan saat ini mungkin menghalangi strategi tertentu dan mungkin bahkan mendikte tindakan tertentu. Proses manajemen strategis bersifat dinamis dan berkelanjutan. Apapun yang akan terjadi, keputusan strategis mempunyai konsekuensi berbagai fungsi utama dan pengaruh jangka panjang. Pada suatu organisasi, proses manajemen strategi terdiri dari tiga tahap, yaitu : perumusan strategi, implementasi strategi, dan evaluasi strategi. Sasaran jangka panjang berarti lebih dari satu tahun, dapat ditentukan sebagai hasil spesifik yang ingin dicapai sebuah organisasi dengan melaksanakan misi dasarnya. Sasaran perlu untuk keberhasilan organisasi karena menyatakan arah, mambantu dalam evaluasi, menciptakan sinergi, mengungkapkan prioritas, memfokuskan koordinasi dan menyediakan dasar untuk perencanaan, pengorganisasian, memotivasi dan mengendalikan aktivitas secara efektif. Sasaran tahunan adalah patokan jangka pendek yang harus dicapai oleh organisasi dalam rangka mencapai sasaran jangka panjang, harus dapat diukur, kuantitatif, menantang, realistik, konsisten dan mempunyai prioritas. Peluang eksternal dan ancaman eksternal merujuk pada keadaan ekonomi, sosial, budaya, demografi lingkungan, politik, hukum, pemerintah, teknologi dan kecenderungan persaingan serta peristiwa yang dapat menguntungkan atau merugikan suatu organisasi secara signifikan dimasa depan. Peluang dan ancaman sebagian besar diluar kendali organisasi yang disebut dengan eksternal. Ajaran
26
mendasar dari manajemen strategi adalah bahwa perusahaan perlu merumuskan strategi untuk memanfaatkan peluang eksternal dan menghindari atau mengurangi dampak ancaman ekternal untuk sukses merupakan hal yang penting dilaksanakan dengan pengumpulan serta memahami informasi eksternal yang disebut dengan mengamati lingkungan (environmental scanning) atau evaluasi industri. Kekuatan internal dan kelemahan internal adalah aktivitas dalam kendali organisasi yang prestasinya luar biasa baik atau buruk. Kekuatan dan kelemahan muncul dalam aktivitas manajemen, pemasaran, keuangan/akutansi, produksi/operasi, penelitian dan pengembangan dan sistem informasi komputer serta bisnis, mengenali dan mengevaluasi kekuatan dan kelemahan organisasi dalam berbagai bidang fungsional dari bisnis adalah aktivitas manajemen strategis. Diagram manajemen strategis dapat dilihat pada Gambar 1. Umpan Balik Melakukan Analisa Eksternal
Penetapan Visi dan Misi
Penetapan Tujuan Jangka panjang
Pemilihan dan Penetapan Strategi
Penetapan Kebijakan dan Tujuan Tahunan
Pengaloka sian Sumber Daya
Implementasi
Mengukur dan Mengevaluasi Kinerja
Melakukan Analisa Eksternal
Gambar 1 Manajemen Strategis
David (2004), menyatakan bahwa manajemen strategis menawarkan manfaat berikut ini : 1. Memungkinkan mengenali, menetapkan prioritas dan memanfaatkan berbagai peluang. 2. Menyediakan pandangan objektif mengenai masalah manajemen. 3. Menjadi kerangka kerja untuk memperbaiki koordinasi dan pengendalian aktivitas. 4. Meminimalkan pengaruh kondisi dan perubahan yang merugikan. 5. Memungkinkan keputusan utama yang lebih baik mendukung sasaran yang telah ditetapkan. 6. Memungkinkan alokasi waktu dan sumber daya yang lebih efektif untuk mengenali peluang. 7. Memungkinkan sumber daya yang lebih kecil dan waktu lebih sedikit dicurahkan untuk mengoreksi kesalahan atau keputusan. 8. Menciptakan kerangka kerja untuk berkomunikasi internal diantara staf. 9. Membantu memadukan tingkah laku individual menjadi total 10. Menyediakan dasar untuk penjelasan tanggung jawab individu.
27
11. Memberikan dorongan untuk pemikiran ke depan. 12. Menyediakan pendekatan kerjasama terpadu dan antusias dalam menangani berbagai masalah dan peluang. 13. Mendorong tingkat disiplin dan formalitas yang tepat pada manajemen dari suatu bisnis. Analisis SWOT Analisis SWOT digunakan untuk mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan kendala (ancaman) yang dimiliki oleh objek yang diteliti di Kota Bogor. Rangkuti (1997) menyatakan bahwa matrik SWOT dipakai untuk menyusun faktorfaktor strategi perusahaan. Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal yaitu peluang dan ancaman dengan faktor internal yaitu kekuatan dan kelemahan sehingga dari analisis tersebut dapat diambil suatu keputusan strategi. Adapun matriks SWOT disajikan pada Tabel 2 Tabel 2 Matriks SWOT
Faktor
Stengths – S Tentukan faktor-faktor kekuatan internal
Weakness – W Tentukan faktor-faktor kelemahan internal
Opportunities – O Tentukan faktor-faktor peluang eksternal
Strategi S – O Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang
Strategi W – O Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang
Threats – T Tentukan faktor-faktor ancaman eksternal
Strategis S – T Strategi W – O Ciptakan strategi yang Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan meminimalkan untuk mengatasi ancaman kelemahan dan menghindari ancaman
Internal Faktor Eksternal
Sumber : Rangkuti (2000) Dalam analisis SWOT, Rangkuti (2000) menggunakan matriks yang akan menghasilkan 4 (empat) set kemungkinan alternatif dari suatu strategi, yaitu : 1. Strategi SO : strategi yang dibuat dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang yang sebesar-besarnya. 2. Strategi ST : strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman yang mungkin timbul. 3. Strategi WO : strategi yang diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan meminimalkan kelemahan yang ada. 4. Strategi WT : strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensive dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.
28
Tabel 3 Matriks perencanaan strategis kuantitatif
Faktor-Faktor Kunci
Bobot
Alternatif-alternatif Strategi AS TAS AS TAS (Strategi 1) (Strategi 1) (Strategi 2) (Strategi 2)
Peluang 1. 2. Dst Ancaman 1. 2. Dst Kekuatan 1. 2. Dst Kelemahan 1. 2. Dst Jumlah Total Keterangan : AS (Attract Score) TAS (Total Attract Score)
Sumber : David (2004)
Analytic Hierarchy Process (AHP) Analytic Hierarchy Process (AHP) pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli matematika dari University of Pittsburg pada tahun 1970-an. AHP pada dasarnya didesain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan erat dengan permasalahan tertentu melalui prosedur yang didesain untuk sampai pada skala preferensi diantara berbagai set alternatif (Falatehan,2011:1). AHP adalah salah satu bentuk pengambilan keputusan yang pada dasarnya berusaha menutupi semua kekurangan dari model-model sebelumnya. Peralatan utama dari model ini adalah sebuah hirarki fungsional dengan input utamanya persepsi manusia. Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dan tidak terstruktur dipecah dalam kelompok-kelompoknya, kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki. AHP dapat menyelesaikan masalah multikriteria yang kompleks menjadi suatu hirarki. Masalah yang kompleks dapat di artikan bahwa kriteria dari suatu masalah yang begitu banyak (multikriteria),struktur masalah yang belum jelas, ketidakpastian pendapat dari pengambil keputusan, pengambil keputusan lebih dari satu orang, serta ketidakakuratan data yang tersedia. Menurut Saaty, hirarki
29
didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level dimana level pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, sub kriteria, dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif. Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompoknya yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan akan tampak. Analytic Hierarchy Process (AHP) mempunyai landasan aksiomatik yang terdiri dari : 1. Reciprocal Comparison, yang mengandung arti si pengambil keputusan harus bisa membuat perbandingan dan menyatakan preferensinya. Preferensinya itu sendiri harus memenuhi syarat resiprokal yaitu kalau A lebih disukai dari B dengan skala x, maka B lebih disukai dari A dengan skala. 2. Homogenity, yang mengandung arti preferensi seseorang harus dapat dinyatakan dalam skala terbatas atau dengan kata lain elemen-elemennya dapat dibandingkan satu sama lain. Kalau aksioma ini tidak dapat dipenuhi maka elemen-elemen yang dibandingkan tersebut tidak homogenous dan harus dibentuk suatu‟cluster‟ (kelompok elemen-elemen) yang baru. 3. Independence, yang berarti preferensi dinyatakan dengan mengasumsikan bahwa kriteria tidak dipengaruhi oleh alternatif-alternatif yang ada melainkan oleh objektif secara keseluruhan. Ini menunjukkan bahwa pola ketergantungan atau pengaruh dalam model AHP adalah searah keatas, Artinya perbandingan antara elemen-elemen dalam satu level dipengaruhi atau tergantung oleh elemenelemen dalam level di atasnya. 4. Expectations, artinya untuk tujuan pengambilan keputusan, struktur hirarki diasumsikan lengkap. Apabila asumsi ini tidak dipenuhi maka si pengambil keputusan tidak memakai seluruh kriteria dan atau objektif yang tersedia atau diperlukan sehingga keputusan yang diambil dianggap tidak lengkap. Dalam memecahkan persoalan dengan analisis logis eksplisit, ada tiga prinsip: prinsip menyusun hirarki, prinsip menetapkan prioritas dan prinsip konsistensi. a. Menyusun Hirarki Ialah menggambarkan dan menguraikan secara hirarki, yaitu memecah persoalan menjadi unsur-unsur yang terpisah. b. Menentukan Prioritas Penentuan prioritas ini berdasarkan atas perbedaan prioritas dan sintesis, yaitu menentukan peringkat elemen-elemen menurut relatif tingkat kepentingannya. c. Konsistensi Logis Ialah menjamin bahwa semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkat secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis. Dalam model AHP digunakan batas 1 sampai 9 yang dianggap cukup mewakili persepsi manusia. Perbandingan antar elemen satu dengan yang lain digunakan untuk memperoleh gambaran pengaruh relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan (elemen yang lain) setingkat di atasnya. Perbandingan didasarkan pada penilaian (judgment) dan para pengambil keputusan dengan memberikan penilaian tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya dengan kriteria sebagaimana Tabel Perbandingan sesuai tingkat kepentingan secara berpasangan dilakukan dengan kuantifikasi atas data kualitatif pada materi wawancara atau melalui kuesioner dengan nilai komparasi/pembobotan antara nilai 1
30
sampai 9 (Falatehan,2011). Tabel 4 Skala banding secara berpasangan dalam AHP Intensitas 1 3 5 7 9 2, 4, 6, 8
Keterangan Kedua elemen sama pentingnya Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lainnya Elemen yang satu lebih penting daripada elemen yang lain Elemen sang satu jelas lebih penting daripada elemen yang lain. Elemen yang satu mutlak lebih penting daripada elemen yang lain Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan Jika untuk aktivitas ke-i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas ke-j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i. Hasil Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan penataan dan pemberdayaan PKL memberikan gambaran tentang karakteristik PKL, peran pemerintah dan upaya solusi yang direkomendasikan. Beberapa fokus penyelesaian nampaknya masih perlu beberapa pendekatan yang mendekatkan pada solusi nyata bagi pemberdayaan PKL. Lemahnya penegakan aturan dan pendekatan solusi kreatif masih menjadi masalah bagi penataan PKL. Hasil penelitian Mubarak (2012) dengan pendekatan analisis regresi dan AWOT menyimpulkan bahwa strategi pendekatan pemberdayaan PKL di Kota Bogor perlu dilakukan dengan beberapa tahapan. Dimulai dari proses pendataan dan pemetaan, dialog antara pemerintah dan PKL, menyiapkan ruang relokasi bagi PKL, pembatasan jumlah pedagang dan kerjasama dengan swasta dalam penyiapan ruang bagi PKL. Penelitian Akliyah (2008) tentang kajian penataan PKL di Tasikmalaya dengan pendekatan partisipatif, menyimpulkan 2 alternatif penataan PKL antara lain: Alternatif pertama, relokasi in-situ yaitu berupa pengaturan lapak, penyeragaman sarana berjualan (gerobak, bangku/jongko), pengaturan jenis dagangan, dan pengaturan waktu berdagang. Alternatif kedua, relokasi eks-situ, yaitu memindahkan PKL di jalan-jalan ke suatu tempat yang dikhususkan untuk menampung PKL. Agustinus (2010), dengan pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP) pada penelitian strategi penataan PKL di Jakarta Utara, menyimpulkan bahwa secara keseluruhan alternatif dengan prioritas tertinggi adalah penentuan lokasi strategis tempat usaha bagi PKL, yang merupakan variabel dari aspek ekonomi. Penelitian Nazir (2010), Dewi Suci, dkk (2008), Winarti (2012), dan Iswanto (2007) telah memberikan gambaran mengenai karater PKL dari aspek pendapatan, penggunaan ruang publik dalam berdagang, faktor modal PKL, pengorganisasian PKL, dan upaya rancang ulang desain ruang untuk PKL. Beberapa hasil kajian terdahulu, disajikan dalam Tabel 5 dibawah ini.
31
Tabel 5 Penelitian terdahulu N O 1
2
3
JUDUL Karakteristik Dan Permasalahan Pedagang Kaki Lima (Pkl) Serta Strategi Penataan Dan Pemberdayaanny a Dalam Kaitan Dengan Pembangunan Ekonomi Wilayah Kota Bogor
NAMA & TAHUN Ahmad Mubarak, 2012 Disertasi, IPB
Kajian Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Tasikmalaya Secara Partisipatif
Leli Syiddatul Akliyah, 2008
Strategi Penanganan Pedagang Kaki
Tumpal Hasiholan Agustinus,
Tesis, IPB
METODOLOGI
HASIL
Analisis deskriptif digunakan untuk mengkarakteristik kan PKL dan persepsi masyarakat, pemasok dan pesaing mengenai keberadaan PKL. Analisis regresi dilakukan terhadap faktorfaktor yang mempengaruhi pendapatan PKL Untuk menganalisis strategi penataan dan pemberdayaan PKL digunakan metode hibrid AWOT
Beberapa strategi dirumuskan yaitu : (a) Registrasi dan pembuatan database PKL, (b) Pemberdayaan ekonomi pelaku PKL, (c) Menyatukan persepi dalam pengelolaan PKL, (d) Penundaan penggusuran & dialog dengan pemda, (e) Pembatasan jumlah pedagang dalam satu lokasi and (f) mensyaratkan setiap pengelola gedung/pabrik/komple ks perumahan untuk menyediakan lokasi tertentu bagi PKL, serta melakukan Penataan lokasi PKL Alternatif model dari hasil penelitian ini ada 2 alternatif penataan PKL. Alternatif pertama, relokasi insitu yaitu berupa pengaturan lapak, penyeragaman sarana berjualan (gerobak, bangku/jongko), pengaturan jenis dagangan, dan pengaturan waktu berdagang. Alternatif kedua, relokasi eks-situ, yaitu memindahkan PKL di jalan-jalan ke suatu tempat yang dikhususkan untuk menampung PKL. Secara keseluruhan alternatif dengan prioritas tertinggi
Analisis RankSpearman untuk analisis keterkaitan karakteristik PKL Analisis Deskriptif untuk tinjauan karakteristik PKL, Kebijakan Tata Ruang Tasikmalaya, dan aspirasi masyarakat tentang PKL. Peta tematik berbasis GIS
Dengan menggunakan pendekatan
32
Lima Di Kota Administrasi Jakarta Utara
2010
4
Analisis Determinan Pendapatan Pedagang Kaki Lima Di Kabupaten Aceh Utara
Nazir, 2010
4
Penataan Fungsi Dan Fisik Arsitektural Ruang Terbuka Kota Akibat Pedagang Kaki Lima Studi Kasus; Kawasan Manahan Surakarta
Dwi Suci Sri Lestari dan Djumiko, 2008
Tesis, UI
Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Tunas Pembangunan
Analytical Hierarchy Process (AHP)
penelitian deskriptif kuantitatif serta sifat penelitiannya adalah eksplanasi. Metode analisis data yang digunakan adalah Multiple Regrssion Linear (Analisis Regresi Berganda)
adalah penentuan lokasi strategis tempat usaha bagi PKL, yang merupakan variabel dari aspek ekonomi.
Hasil analisis hipotesis pertama menunjukkan bahwa secara simultan modal kerja, jam usaha, pengalaman dan jenis barang dagangan (produk) berpengaruh sangatsangat signifikan terhadap pendapatan pedagang kaki lima di Kabupaten Aceh Utara, dan secara parsial modal kerja sebagai variabel yang paling dominan. Metode analisis data hipotesis kedua yang digunakan adalah Chi Square. Hasil hipotesis kedua menunjukkan bahwa ada perbedaan pendapatan pedagang kaki lima yang berdagang di bawah jam usaha ratarata dengan yang berdagang di atas jam usaha rata-rata di Kabupaten Aceh Utara. Metode penelitian, Hasilnya design guidependekatan lines penataan deskriptik analitik Kawasan Manahan perpaduan antara melalui penataan PKL pendekatan kualitatif pada kelompok lokasi: induktif-deduktif seputar Lapangan dengan naturalistik Manahan, sebelah selatan rel KA (penggal timur dan barat Jl Hasanuddin), dan seputar Lapangan Kota Barat. Sebagian
33
(FT-UTP) Surakarta.
5
6
Analisa Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima Dari Perspektif Kebijakan Deliberatif
Winarti, 2012
Tinjauan Keberadaan Pedagang Kaki Lima (Pkl), Aspek Pedestrian Area, Dan Parkir Di Kawasan Solo Grand Mall (SGM)
Danoe Iswanto, 2007
Jurnal Ilmiah
pendekatan kualitatif. dianalisa seperti apa yang dikemukakan oleh Strauss dan Corbin (1990:46) dalam Grounded theory .
Analisa kualitatif dengan pendekatan skenario planning
Jurnal Ilmiah Perancangan Kota dan Permukiman ENCLOSUR E Volume 6 No. 2. Juni 2007
diusulkan bershelter terbuka permanen, lainnya bertenda bongkarpasang Keberadaan suatu organisasi masih lebih banyak berfungsi sebagai mengorganisir dan mengatur keberadaan pedagang kaki lima, sehingga dalam kondisi yang sangat diperlukan ( seperti saat krisis ekonomi) organisasi yang ada tidak mampu melakukan pemberdayaan (empowerment) para anggotanya. Beberapa hal yang terkait adalah mengenai jalur pedestrian, parkir, dan alternatif bagi ruang pedagang kaki lima. Keberadaan tiga hal tersebut cukup penting, karena termasuk aspek dalam perancangan kawasan.
3 METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 70% ditopang oleh sektor informal (Gusman, 2013). Salah satu bentuk kegiatan sektor informal adalah tumbuh dan berkembangnya kegiatan pedagang kaki lima (PKL) di perkotaan, termasuk didalamnya adalah Kota Bogor. Kota Bogor merupakan salah satu dari kawasan Jabodetabekpunjur, secara regional menjadi kawasan yang strategis. Pola hubungan Jakarta – Bogor memberikan peluang tumbuhnya PKL terutama di pusat-pusat kegiatan seperti terminal dan stasiun. Selain itu, Kota Bogor yang berada di tengah wilayah Kabupaten Bogor menambah peluang perkembangan tersebut semakin besar. Keberadaan PKL di Kota Bogor memiliki 2 sisi pandangan. Dari sisi positif, bahwa PKL merupakan upaya masyarakat untuk dapat berkontribusi dalam ekonomi. Aliran barang dan uang memberikan kontribusi terhadap dinamika ekonomi kota,
34
walaupun belum ada data yang menunjukkan besaran kontribusinya. Selain itu, PKL telah menjadi bagian dari masalah pengangguran yang dihadapi Kota Bogor. PKL banyak menyerap tenaga kerja. Namun disisi yang lain, karakter PKL yang berjualan di ruang-ruang publik seperti trotoar, taman, maupun badan jalan telah menimbulkan efek negatif terhadap estetika kota. Selain itu, akibat tidak tertatanya lapak-lapak PKL yang berjualan menampakkan kekumuhan. Belum lagi, ruang milik jalan yang seharusnya digunakan oleh pengendara menjadi lebih sempit, yang berdampak terhadap kemacetan lalu lintas. Melihat adanya potensi dan masalah yang ditimbulkan oleh keberadaan PKL, maka Pemerintah Kota telah mengeluarkan kebijakan mengenai penataan PKL berupa Peraturan Daerah nomor 13 tahun 2005 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima. Namun setelah 9 tahun kebijakan tersebut dikeluarkan hingga saat ini belum menunjukkan hasil, terutama di kawasan prioritas penanganan. Tentunya hal ini memerlukan keterlibatan berbagai pihak untuk dapat berkontribusi terhadap penataan dan pemberdayaan PKL. Pendekatan-pendekatan yang telah dilakukan selama ini perlu di evaluasi untuk mendapatkan gambaran efektivitas penanganan. Selain itu, perlu dilakukan pemetaan yang didasarkan pada kondisi riil di lapangan agar diketahui secara lebih detail tentang karakteristik PKL dimasing-masing lokasi, terutama lokasi prioritas penanganan PKL. Kondisi karakteristik dilapangan dan efktivitas kebijakan yang telah dilaksanakan, dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam penataan PKL di Kota Bogor. Langkah yang telah diambil oleh Pemerintah Kota Bogor selama ini (LKPJ Walikota Bogor, 2012), antara lain : 1. Penataan Lokasi PKL a. Penegasan titik lokasi PKL, berikut dengan pengaturan jenis komoditas, model desain berjualan, dan waktu berjualan. b. Mewajibkan pengembang menyediakan pasar tradisional skala lingkungan di perumahan-perumahan c. Mewajibkan pusat perbelanjaan modern menyediakan ruang untuk PKL khususnya makanan dengan insentif yang menarik d. Meredesain pasar yang ada agar nyaman bagi penjual dan pembeli khususnya komoditas hasil pertanian e. Pendataan regristrasi PKL untuk pengendalian jumlah PKL, dengan memberikan tanda khusus resmi 2. Penertiban PKL a. Penertiban PKL yang lebih tegas diluar lokasi titik PKL (strickly forbidden area) khususnya di jalan arteri dan kolektor b. Target penertiban PKL yakni 6 titik lokasi 5) Pembinaan PKL a. Pembinaan dan penyuluhan peningkatan disiplin PKL b. Pembinaan dan pemantauan kebersihan, keamanan dari komoditas yang dijual PKL dengan target 300 PKL Berdasarkan uraian diatas, kerangka pemikiran kajian disusun sebagaimana Gambar 2.
35
Perkembangan Ekonomi Kota Bogor Sektor Informal
Analisis Deskriptif Karakter PKL Persepsi Masyarakat
Indentifikasi FaktorFaktor Eksternal
Sektor Formal Pedagang Kaki Lima (PKL) Kota Bogor
Penataan PKL Di Kota BogoR
Matriks EFE
Indentifikasi FaktorFaktor Internal Matriks IFE
Analisis SWOT Alternatif Strategi Penataan PKL
Analytic Hierarchy Process (AHP)
Strategi Penataan PKL Di Kota Bogor Program Penataan & Pemberdayaan PKL Di BogorPemikiran gambar Kota Kerangka
Gambar 2 Kerangka Pemikiran Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilaksanakan di lokasi prioritas pembinaan PKL di Kota Bogor, sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kota Bogor nomor 13 tahun 2005 tentang Penataan PKL, salah satunya yaitu di Jalan Dewi Sartika Bogor. Pemilihan dilakukan secara purposif sesuai dengan maksud dan tujuan kajian ini. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni sampai September 2014. Kegiatan yang dilakukan meliputi persiapan penelitian, pengumpulan data dan informasi, pengolahan data dan analisis data, serta penulisan dan konsultasi. Jenis dan Sumber Data Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan penelitian survei, yaitu penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data utama. Menurut Durianto et al (2001), penelitian survei
36
adalah metode penelitian deskriptif yaitu metode penelitian untuk membuat gambaran suatu kejadian. Metode survei dilakukan bila data yang dicari sebenarnya sudah ada di lapangan atau obyek penelitiannya telah jelas. Data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif, yaitu: a. Data Primer. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan mengenai kondisi riil PKL dan hasil pengisian kuesioner dari responden penelitian. Data primer yang digunakan berupa pemberian kuesioner kepada subyek penelitian dengan wawancara secara intensif dan mendalam (in-depth interview). b. Data Sekunder. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait yaitu Kantor Koperasi dan UMKM Kota Bogor, Satpol PP Kota Bogor, PD Pasar Pakuan Jaya, dan pihak-pihak lain yang relevan dengan penelitian. Data sekunder yang digunakan berupa Kota Bogor dalam Angka, kajian dan pemetaan PKL di Kota Bogor, Masterplan Penataan PKL dan data penunjang lainnya.
No 1
2
Tabel 6 Metode pengumpulan data Metode Jenis Data Pengumpulan Data Data Primer a. Jumlah PKL di lokasi b. Pemetaan Jenis Usaha c. Keuangan PKL d. Organisasi PKL e. Aspirasi Penataan PKL Data Sekunder a. Kondisi Umum Kota Bogor b. Data PKL Kota Bogor c. Rencana Tata Ruang Wilayah d. Peraturan/Kebijakan tentang PKL e. Peta f. Kajian/Studi PKL
Sumber
Survey Lokasi Kuesioner Kuesioner Kuesioner
PKL PKL PKL PKL PKL & Masyarakat
Studi Pustaka Studi Pustaka Studi Pustaka
BPS dan Bappeda Kantor Koperasi & UMKM Bappeda
Studi Pustaka Bagian Hukum GIS Studi Pustaka
Bappeda Kantor Koperasi & UMKM
Data/informasi yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh dengan beberapa cara di bawah ini : a. Observasi, yaitu pengamatan kondisi lapangan secara langsung. b. Studi literatur, yaitu mendalami berbagai informasi penting seperti literatur dan teori yang berkaitan budaya kerja, organisasi, manajemen sumberdaya manusia, dan hasil-hasil penelitian terdahulu. c. Wawancara dan pengisian kuesioner, yaitu pengumpulan fakta dan data dengan cara melakukan Wawancara dan pengisian kuesioner secara intensif dan mendalam, terstruktur dan sistematis.
37
Tabel 7 Aspek yang diteliti, variabel, sumber data, dan teknik pengumpulan data N Aspek o
Variabel
Sumber Data
1
Kondisi lapangan, Kantor Koperasi UMKM,Bappeda, PKL
2
3
Sosial Ekonomi PKL
Jumlah PKL Jenis Usaha Keuangan PKL Kelembagaan PKL Lokasi Penempatan Regulasi/Kebija Rencana Tata Ruang kan Pemerintah Rencana Strategis Kota Rencana Penataan PKL Prioritas dan Pandangan PKL Strategi Pandangan Pembinaan PKL Pemerintah Pandangan DPRD Pandangan Masyarakat Pandangan Akademisi/Pengama t
Teknik Pengumpulan Data Studi Pustaka dan Kuesioner
Bappeda, Kantor Koperasi dan UMKM, Satpol PP
Studi Pustaka, Wawancara
PKL, Bappeda, Kantor Koperasi dan UMKM, DPRD, Masyarakat, Adkademisi
Kuesioner
Metode Pengambilan Sampel Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif untuk identifikasi karakter PKL dan persepsi masyarakat, metode SWOT untuk identifikasi dan analisis faktor-faktor internal dan eksternal, dan metode Analitycal Hirarki Process (AHP) untuk analisis alternatif strategi. Untuk analisis deskriptif tentang karakteristik PKL di Jalan Dewi Sartika, populasi PKL yang dipilih antara lain pedagang di Jalan Dewi Sartika sebanyak 50 PKL dari jumlah 323 PKL (Kantor Koperasi dan UMKM, 2014). Sedangkan untuk masyarakat dipilih 50 orang secara acak. Sementara untuk analisis SWOT dan AHP, sampel ditentukan sebanyak 7 orang yang terdiri dari : 1. Unsur anggota DPRD Kota Bogor 2. Asisten Walikota Bidang Pembangunan dan Kemasyarakatan 3. Bappeda Kota Bogor 4. Kantor Satpol PP 5. Kantor Koperasi dan UMKM 6. Koordinator Paguyuban PKL Kota Bogor 7. Koordinator PKL Jalan Dewi Sartika
38
Pada pengambilan sampel dilakukan 2 kali dengan aktor yang sama untuk informasi yang terkait analisis SWOT dan untuk analisis AHP. Metode Analisis Data Analisis Deskriptif Karakteristik PKL di Jalan Dewi Sartika Analisis deskriptif tentang karakteristik PKL didapatkan dari pengolahan data yang didapat dari hasil kuesioner yang telah didapat dari hasil pengisian oleh 50 PKL di Jalan Dewi Sartika. Pengolahan data deskriptif menggunakan perangkat lunak SPSS versi 10. Analisis deskriptif karakteristik PKL sangat diperlukan untuk mengetahui gambaran tentang profil PKL di Jalan Dewi Sartika, pola berdagang, permodalan dan saran terhadap penataan PKL oleh pemerintah. Gambaran tentang PKL ini akan membantu pada pola pendekatan terhadap penataan PKL di Jalan Dewi Sartika. Analisis Deskriptif Persepsi Masyarakat tentang PKL di Jalan Dewi Sartika Analisis deskriptif tentang persepsi masyarakat terhadap PKL didapatkan dari pengolahan data yang didapat dari hasil kuesioner yang telah didapat dari hasil pengisian oleh 50 masyarakat yang memandang berkembangnya PKL di Jalan Dewi Sartika. Pengolahan data deskriptif menggunakan perangkat lunak SPSS versi 10. Analisis deskriptif terhadap persepsi masyarakat sangat diperlukan untuk mengetahui gambaran tentang tanggapan masyarakat terhadap keberadaan PKL di Jalan Dewi Sartika, harapan dan saran terhadap penataan PKL oleh pemerintah. Penentuan Indikator Faktor-Faktor Internal dan Faktor-Faktor Eksternal Agar penelitian lebih terfokus dan tepat dalam pengidentifikasian faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan pengidentifikasian faktor-faktor eksternal (peluang dan ancaman) harus ditentukan dahulu indikator yang termasuk dalam faktor internal dan eksternal. Dalam penelitian yang mengkaji strategi penataan PKL di Jalan Dewi Sartika Kota Bogor, yang menjadi faktor internal adalah pemangku kepentingan dalam pengambilan kebijakan tentang keberadaan PKL di Kota Bogor yaitu Pemerintah Kota Bogor, yang didalamnya terdapat beberapa SKPD yang memiliki Tupoksi penanganan PKL, aspek pembiayaan atau pengaanggaran, aspek regulasi atau kebijakan. Sedangkan yang menjadi faktor eksternal adalah pemangku kepentingan yang langsung bersentuhan dengan aktivitas PKL yaitu pedagang atau PKL itu sendiri, paguyuban atau komunitas PKL, masyarakat sebagai pembeli yang berinteraksi dengan PKL, dan aktor-aktor pada sistem yang berlangsung dalam perkembangan PKL di Kota Bogor. Indikator internal dan eksternal dapat dilihat pada Gambar 3.
39
Faktor Internal Pemerintah Kota Bogor (SKPDSKPD)
Faktor Eksternal 1. PKL 2. Paguyuban/ Komunitas PKL 3. Masyarakat 4. Aktor-aktor pada sistem PKL
Gambar 3 Indikator Faktor Internal dan Eksternal Strategi Pemberdayaan PKL di Kota Bogor Analisis Matriks IFE (Internal Factor Evaluation) dan EFE (External Factor Evaluation) Matriks IFE bertujuan untuk mengidentifikasi faktor lingkungan internal dan mengukur sejauh mana kekuatan dan kelemahan yang dimiliki dalam mengembangkan pembinaan PKL di Kota Bogor, sedangkan matriks EFE bertujuan untuk mengidentifikasi faktor lingkungan eksternal dan mengukur sejauh mana peluang dan ancaman yang di hadapi dalam mengembangkan pembinaan PKL di Kota Bogor. Tahap-tahap yang dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor kunci dalam matriks IFE dan EFE adalah sebagai berikut : a. Identifikasi Faktor – Faktor Internal dan Eksternal Langkah awal yang dilakukan adalah mengidentifikasi faktor internal yaitu mendaftarkan semua kekuatan dan kelemahan yang dimiliki dalam pembinaan PKL di Kota Bogor. Daftarkan kekuatan terlebih dahulu, baru kemudian kelemahan. Identifikasikan faktor eksternal dengan melakukan pendaftaran semua peluang dan ancaman dalam pembinaan PKL di Kota Bogor. Daftarkan peluang terlebih dahulu baru kemudian ancaman. Daftar harus spesifik dengan menggunakan persentase, rasio atau angka perbandingan. Hasil kedua identifikasi faktor – faktor diatas menjadi faktor penentu eksternal dan internal yang selanjutnya akan diberi bobot. b. Penentuan Nilai Bobot Variable Pemberian bobot setiap faktor dimulai dengan hasil survey dari responden dengan skala mulai dari 1 (tidak penting/kelemahan utama), 2 (kurang penting/kelemahan kecil), 3 (penting/kekuatan kecil), dan 4 (sangat penting/kekuatan utama) terhadap faktor-faktor internal dan dan skala dari 1 (tidak penting/tidak berpengaruh), 2 (kurang penting/kurang berpengaruh) 3 (penting/kuat pengaruhnya), dan 4 (sangat penting/sangat kuat pengaruhnya). Terhadap faktor-faktor eksternal yang sudah didaftarkan. Kemudian Penentuan bobot akan dilakukan dengan menjumlahkan nilai skala dengan jumlah responden yang telah memilih skala tersebut. Setelah jumlah didapat dibagi dengan jumlah responden sehingga didapat angka rata-rata nilai dan kemudian dibagi total bobot faktor-faktor internal dan total bobot faktor-faktor eksternal untuk mendapatkan nilai bobot. Bentuk penilaian pembobotan dapat dilihat pada Tabel 8 dan Tabel 9
40
Tabel 8 Penentuan nilai bobot faktor strategis internal No.
Faktor Strategis Internal
Bobot 1
2
3
4
RataN Jumlah rata
Nilai Bobot
Jumlah Tabel 9 Penentuan nilai bobot faktor strategis eksternal No.
Faktor Strategis Eksternal
1
2
Bobot Rata- Nilai 3 4 N Jumlah rata Bobot
Jumlah c. Penentuan Rating Penentuan rating yang dilakukan oleh masing-masing responden, selanjutnya akan disatukan dalam matriks gabungan IFE dan EFE. Untuk memperoleh nilai rating pada matriks gabungan dilakukan dengan menggunakan metode rata-rata dan setiap hasil yang memiliki nilai desimal akan dibulatkan. Adapun ketentuan pembulatan dalam matriks gabungan ini adalah jika pecahan desimal berada pada kisaran dibawah 0,5 (<0,5) dibulatkan kebawah, jika hasil rating diperoleh hasil desimal dengan nilai sama atau diatas 0,5 (>0,5) dibulatkan keatas. Pembulatan ini tentunya tidak akan mempengaruhi hasil perhitungan secara signifikan. Selanjutnya dilakukan penjumlahan dari pembobotan yang dikalikan dengan rating pada tiap faktor untuk memperoleh skor pembobotan. Jumlah skor pembobotan berkisar antara 1,0 – 4,0 dengan rata-rata 2,5. Jika jumlah skor pembobotan IFE dibawah 2,5 maka kondisi internal pembinaan PKL di Kota Bogor lemah. Untuk jumlah skor faktor eksternal berkisar 1,0 – 4,0 dengan ratarata 2,5. Jika jumlah skor pembobotan EFE 1,0 menunjukkan pembinaan PKL di Kota Bogor tidak dapat memanfaatkan peluang dan mengatasi ancaman yang ada. Jumlah skor 4,0 menunjukkan pembinaan PKL di Kota Bogor merespon peluang maupun ancaman yang dihadapinya dengan baik. Analisis Matriks SWOT SWOT adalah singkatan dari kekuatan (Strengths) dan kelemahan (Weaknesses) lingkungan internal suatu daerah serta peluang (Opportinities) dan ancaman (Threats) lingkungan ekternal yang dihadapi daerah. Analisis SWOT merupakan alat untuk memaksimalkan peranan faktor yang bersifat positif, meminimalisasi kelemahan yang terdapat dalam tubuh organisasi dan menekan dampak ancaman yang timbul. Hasil analisis SWOT berupa sebuah matriks yang terdiri dari empat kuadran. Masing-masing kuadran merupakan perpaduan strategi
41
antar faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman). Faktor-faktor strategis eksternal dan internal merupakan pembentukan matriks SWOT. Matriks SWOT merupakan alat pencocokan yang penting untuk membantu pemerintah dalam hal ini mengembangkan empat tipe strategi. Matriks SWOT terdiri dari sembilan sel, yaitu empat sel faktor (S,W,O dan T), empat sel alternatif strategi dan satu sel kosong. Terdapat delapan tahapan dalam membentuk matriks SWOT, yaitu : 1) Tentukan faktor-faktor peluang eksternal daerah 2) Tentukan faktor-faktor ancaman eksternal daerah 3) Tentukan faktor-faktor kekuatan internal daerah 4) Tentukan faktor-faktor kelemahan internal daerah 5) Sesuaikan kekuatan internal dengan peluang eksternal untuk mendapatkan strategi S-O 6) Sesuaikan kelemahan internal dengan peluang eksternal untuk mendapatkan strategi W-O 7) Sesuaikan kekuatan internal dengan ancaman eksternal untuk mendapatkan strategi S-T 8) Sesuaikan kelemahan internal dengan ancaman eksternal untuk mendapatkan strategi W-T Analytical Hierarchy Process(AHP) Perumusan strategi pembinaan PKL dilokasi prioritas penanganan dilakukan dengan metode Analytical Hierarchy Process(AHP). AHP merupakan salah satu model untuk pengambilan keputusan yang dapat membantu kerangka berpikir manusia. Metode ini dikembangkan oleh Thomas L., Saaty ahli matematika yang dipublikasikan pertama kali dalam bukunya The Analytical Hierarchy Process tahun 1980. AHP merupakan alat pengambil keputusan yang menguraikan suatu permasalahan kompleks dalam struktur hirarki dengan banyak tingkatan yang terdiri dari tujuan, kriteria, dan alternatif. Peralatan utama dari model ini adalah sebuah hirarki fungsional dengan persepsi manusia sebagai input utamanya. Aksioma-aksioma pada model AHP: 1. Resiprocal Comparison, artinya pengambil keputusan harus dapat membuat perbandingan dan menyatakan preferensinya. Preferensi tersebut harus memenuhi syarat resiprocal yaitu kalau A lebih disukai daripada B dengan skala x, maka B lebih disukai daripada A dengan skala 1/x. 2. Homogenity, artinya preferensi seseorang harus dapat dinyatakan dalam skala terbatas atau dengan kata lain elemen-elemennya dapat dibandingkan satu sama lain. Kalau aksioma ini tidak terpenuhi maka elemen-elemen yang dibandingkan tersebut tidak homogeneity dan harus dibentuk suatu „cluster‟ (kelompok elemenelemen) yang baru. 3. Independence, artinya preferensi dinyatakan dengan mengasumsikan bahwa kriteria tidak dipengaruhi oleh alternatif-alternatif yang ada melainkan oleh obyektif keseluruhan. Ini menunjukkan bahwa pola ketergantungan dalam AHP adalah searah ke atas, artinya perbandingan antara elemen-elemen pada tingkat di atasnya. 4. Expectation, artinya untuk tujuan pengambilan keputusan, struktur hirarki diasumsikan lengkap. Apabila asumsi ini tidak dipenuhi maka pengambil
42
keputusan. Memutuskan tidak memakai seluruh kriteria dan atau obyektif yang tersedia atau diperlukan sehingga keputusan yang diambil dianggap tidak lengkap. Dasar berpikir metode AHP adalah proses membentuk skor secara numerik untuk menyusun rangking setiap alternatif keputusan berbasis pada bagaimana sebaiknya alternatif itu dicocokkan dengan kriteria pembuat keputusan. Adapun struktur hirarki AHP ditampilkan pada Gambar 4 dibawah ini. Sasaran
Kriteria 1
Kriteria 2
Kriteria 3
Kriteria ke n
Alternatif 1
Alternatif 2
Alternatif 3
Alternatif ke m m
Gambar 4 Struktur hirarki AHP AHP digunakan untuk menentukan alternatif strategi sesuai dengan faktor penentu, pelaku, dan tujuan yang ingin dicapai dalam pembinaan PKL. AHP juga digunakan untuk menilai tindakan yang dikaitkan dengan perbandingan bobot kepentingan antara faktor serta perbandingan beberapa alternatif pilihan. AHP pada penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor strategis dalam pembinaan PKL berdasarkan hasil analisis terhadap pelaksanaan pembinaan PKL, intervensi pemerintah, dan persepsi PKL itu sendiri. Langkah-langkah dalam metode AHP meliputi: 1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan. 2. Membuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan subtujuan-subtujuan, kriteria-kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan kriteria paling bawah. 3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria yang setingkat di atasnya. 4. Melakukan perbandingan berpasangan sehingga diperoleh judgement seluruhnya sebanyak n x [(n-1)/2] buah, dengan n adalah banyaknya elemen yang dibandingkan. 5. Menghitung nilai eigen dan menguji konsistensinya, jika tidak konsisten maka pengambilan data diulangi. 6. Mengulangi langkah 3, 4, dan 5 untuk seluruh tingkat hirarki. 7. Menghitung vektor eigen dari setiap matriks perbandingan berpasangan. Nilai eigen merupakan bobot setiap elemen. Langkah ini untuk menyintesis judgement dalam penentuan prioritas elemen-elemen pada tingkat hirarki terendah sampai
43
pencapaian tujuan. Memeriksa konsistensi hirarki, jika nilainya kurang dari 10 persen maka penilaian judgement harus diperbaiki. Narasumber untuk pengisian kuesioner AHP ada 7 orang, yaitu: 1. Asisten Walikota Bidang Pembangunan dan Kemasyarakatan Kota Bogor 2. Kepala Bidang Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bogor 3. Kepala Bidang Keamanan dan Ketertiban Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bogor 4. Kepala Kantor Koperasi dan UKM 5. Ketua Paguyuban PKL Kota Bogor 6. Koordinator PKL Jalan Dewi Sartika 7. Angota DPRD Kota Bogor Untuk memudahkan perumusan strategi penataan PKL di Kota Bogor, dibuat struktur hirarki AHP guna pembahasan strategi pemberdayaan PKL sebagaimana disajikan pada Gambar 5. Strategi Penataan PKL di Kota Bogor
Fokus
Faktor
Aktor
Tujuan
Alternatif Strategi
Kebijakan Pemerintah
Sosial Ekonomi
Pemerintah
Peningkatan Penegakan Peraturan
Review Kebijakan tentang PKL
Estetika Kota
PKL
Masyarakat
Peningkatan Kesempatan Berusaha & Kesejahteraan
Meningkatkan Kemitraan Pemerintah dengan PKL
Ketertiban Umum
Pengendalian Tata Ruang Kota
Memfasilitasi Ruang Usaha dan Rasa Aman Berusaha
Mengoptimalkan Sarana Prasarana Kota
Gambar 5 Struktur hirarki strategi pemberdayaan PKL di Kota Bogor
44
Keterbatasan Kajian Penelitian PKL di suatu perkotaan sangat kompleks karena melibatkan banyak stakeholder, membutuhkan banyak biaya, waktu dan tenaga. Dengan demikian, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yaitu: 1. Hanya melakukan kajian di titik prioritas PKL sebagai perwakilan PKL sehingga tidak sepenuhnya dapat mewakili semua tipologi PKL yang ada di kota Bogor. 2. Terbatasnya ruang kota dan dana pembangunan perkotaan yang membatasi opsiopsi strategisnya yang dapat dirumuskan. 3. Kompleknya permasalahan PKL karena melibatkan banyak stakeholder dan banyak kepentingan yang pada gilirannya membatasi penyelesaian masalah PKL.
4 GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR Kondisi Geografis dan Administrasi Kota Bogor secara geografis terletak pada 106º 43‟30‟‟ – 106051‟00 Bujur Timur dan 6º30‟30‟‟ – 6041‟00‟‟ Lintang Selatan. Kedudukan Kota Bogor berada di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor dan hanya jarak ± 56 Km dari Ibu Kota Jakarta. Hal ini menjadi potensi yang startaegis bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi, jasa, perdagangan, transportasi, komunikasi, dan pariwisata. Wilayah Administrasi Kota Bogor terdiri atas 6 kecamatan dan 68 kelurahan, dengan luas wilayah keseluruhan 11.850 Ha. Secara administratif, wilayah Kota Bogor berbatasan langsung dengan : Sebelah Utara : berbatasan dengan Kecamatan Kemang, Bojong Gede, dan Kecamatan Sukaraja Kabupaten Bogor. Sebelah Timur : berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor. Sebelah Barat : berbatasan dengan Kecamatan Darmaga dan Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor. Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor. Tabel 10 Luas wilayah menurut kecamatan NO 1 2 3 4 5 6
KECAMATAN Bogor Selatan Bogor Timur Bogor Utara Bogor Tengah Bogor Barat Tanah Sareal Jumlah
Sumber : BPS Kota Bogor (2014)
LUAS WILAYAH (HA) 3.081 1.015 1.772 813 3.285 1.884 11.850
45
Kependudukan dan Pembangunan Sumberdaya Manusia Jumlah dan Perkembangan Penduduk Penduduk Kota Bogor pada tahun 2012 terdapat sebanyak 1.004.831 jiwa yang terdiri atas 510.884 orang laki-laki dan sebanyak 493.947 orang perempuan. Dibandingkan dengan tahun 2011 jumlah penduduk Kota Bogor pada tahun 2012 bertambah sebanyak 37.433 orang atau meningkat sebanyak 3,87 persen. Dengan luas wilayah 118,50 kilometer persegi, kepadatan penduduk di Kota Bogor pada tahun 2012 mencapai 8.480 jiwa per kilometer persegi. Jumlah Rumah Tangga di Kota Bogor sebanyak 243.665 Rumah Tangga dengan rata-rata anggota rumah tangga sebanyak empat orang.Kecamatan dengan jumlah penduduk tertinggi adalah Kecamatan Bogor Barat dengan jumlah penduduk 223.168 jiwa. Sedangkan jumlah penduduk tertinggi sesuai golongan umur di Kota Bogor pada tahun 2012 berada dikisaran 25-29 tahun. Tabel 11 Luas Wilayah, Jumlah RT/RW, Jumlah Penduduk, Jumlah Rumah Tangga dan Kepadatan Penduduk per Kecamatan di Kota Bogor
N O
1 2 3 4 5 6
KECAMATAN
Bogor Selatan Bogor Timur Bogor Utara Bogor Tengah Bogor Barat Tanah Sareal
LUAS WILAY AH (KM3)
30,81 10,15 17,72 8,13 32,85 18,84
BANYAKN YA
JUMLAH PENDUDUK
RT
RW
LAKILAKI
PEREM PUAN
JUMLA H
769 318 527 431 800 634
190 59 108 98 197 128
97.698 50.553 91.874 52.720 113.373 194.666
92.837 49.430 88.973 51.550 109.795 101.362
190.535 99.983 180.847 104.270 223.168 206.028
RUMAH TANGGA
KEPADA TAN (PER KM2)
45.714 24.052 44.218 26.404 53.656 49.621
6.184 9.851 10.206 12.825 6.794 10.936
Sumber : BPS Kota Bogor (2014). Di tahun 2012 jumlah kelahiran lebih banyak dibandingkan dengan jumlah kematian. Jumlah kelahiran yaitu 9.763 jiwa dengan laki-laki sebanyak 5.229 jiwa dan perempuan sebanyak 4.534 jiwa. Sedangkan untuk jumlah kematian, 4.496 jiwa meninggal dengan jumlah laki-laki sebanyak 2.578 jiwa dan perempuan sebanyak 1.918 jiwa. Kecamatan Bogor Barat menjadi kecamatan dengan jumlah kelahiran dan kematian tertinggi di Kota Bogor. Tabel 12 Jumlah Kelahiran dan Kematian di Kota Bogor LAHIR KECAMATAN Bogor Selatan Bogor Timur Bogor Utara Bogor Tengah Bogor Barat Tanah Sareal Jumalah 2012 2011
LAKILAKI 1,082 624 378 594 1.641 910 5.229 5.131
MENINGGAL
PEREMPUAN
L+P
980 495 314 540 1.384 821
2.062 1.119 692 1.134 3.025 1.731
LAKILAKI 616 230 184 377 769 402
4.534 4.704
9.763 9.835
2.578 2.264
Sumber : BPS Kota Bogor (2014)
PEREMPUAN
L+P
452 161 150 311 570 274
1.068 391 334 688 1.339 676
1.918 1.748
4.496 4.012
46
Pendidikan Pembangunan pendidikan dapat dilihat dari beberapa indikator pendidikan antara lain Angka Melek Huruf, Angka Rata-Rata Lama Sekolah, Partisipasi Murni, Angka Putus Sekolah dan Angka Pendidikan yang ditamatkan. Kondisi makro Kota Bogor dari sisi pendidikan semakin membaik namun belum ada peningkatan yang cukup signifikan dari tahun lalu. Angka Melek Huruf (AMH) pada tahun 2012 naik menjadi 98,97 persen dibandingkan dengan tahun 2011 yang tercatat hanya 98,79 persen. Bila diterjemahkan maka setiap 100 orang penduduk di Kota Bogor pada tahun 2012 masih ada satu orang yang tidak bisa membaca. Di Kota Bogor pada tahun 2012 tercatat memliki 706.618 jiwa penduduk pada kelompok usia 15 tahun keatas yang dapat membaca dan menulis. Angka ini meningkat 9.740 jiwa daripada tahun sebelumnya yang hanya mencapai 696.878 jiwa. Angka Rata-Rata Lama Sekolah untuk pendidikan wajib belajar sembilan tahun cenderung tetap dengan angka berkisar 9,9 tahun. Artinya penduduk di Kota Bogor umumnya bersekolah hanya sampai dengan kelas satu tingkat Sekolah Menengah Atas (Kelas X). Angka Partisipasi Kasar sekolah di Kota Bogor untuk tingkat pendidikan SD/MI mengalami penurunan dari 119,27 persen pada tahun 2012 menjadi 114,4 persen pada tahun 2013. Hal ini dapat dilihat dari menurunnya jumlah siswa yang bersekolah pada jenjang pendidikan SD/MI di Kota Bogor dari 125.454 jiwa pada 2012 kemudian turun menjadi 124.339 jiwa. Angka Partisipasi Kasar untuk tingkat pendidikan SMP/MTs pun mengalami penurunan yang signifikan. Pada 2012 tercatat Angka Partisipasi Sekolah-nya mencapai 117,51 persen kemudian turun signifikan menjadi 104,66 persen. Hal ini disebabkan oleh menurunnya jumlah siswa yang bersekolah di jenjang penddikan SMP/MTs dari 60.494 jiwa pada tahun 2012 kemudian tercatat hanya 55.086 jiwa pada tahun 2013. Peningkatan yang cukup signifikan pada angka partisipasi kasar ternyata justru terjadi pada jenjang pendidikan SMA/MA/SMK. Pada 2013 tercatat APK SMA/MA/SMK mencapai 129 persen. Angka ini melonjak signifikan dari tahun 2012 yang tercatat 116,46 persen. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya jumlah siswa yang berpartisipasi bersekolah pada jenjang tersebut yang tercatat mencapai 66.453 jiwa pada tahun 2013 padahal di tahun 2012 tercatat hanya 60.057 jiwa. Perkembangan angka pendidikan yang ditamatkan pada tahun 2013 pada penduduk usia 15 tahun keatas tidak mengalami perubahan yang signifikan bahkan cenderung tetap dibandingkan tahun 2012 untuk jenjang SMA/SMK dan SMP/MTs. Untuk jenjang pendidikan SMA/SMK pada tahun 2013 mengalami perkembangan 1,72 persen dibandingkan tahun 2012 yang mengalami pertumbuhan 1,7 persen, sedangkan untuk jenjang SMP/MTs mengalami perkembangan sebesar 1,67 persen pada tahun 2013 dari 1,6 persen pada tahun 2012. Perkembangan angka pendidikan yang ditamatkan pada tahun 2012 untuk jenjang pendidikan perguruan tinggi mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan tahun 2011. Pada tahun 2012 tercatat 11,32 persen sedangkan pada tahun 2011 hanya tercatat 10,92 persen. Maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar penduduk usia produktif (usia 15 tahun ke atas) yang tersedia di Kota Bogor umumnya memiliki tingkat pendidikan tertinggi sampai dengan Perguruan Tinggi. Angka Partisipasi Murni merupakan indikator yang digunakan untuk menentukan tingkat partisipasi murni penduduk usia sekolah. APM menunjukkan perbandingan antara jumlah siswa yang berasal dari Kota Bogor dengan jumlah
47
penduduk Kota Bogor pada usia sekolah. Realisasi APM SD/MI di kota Bogor pada tahun 2013 tercatat sebesar 97,18. Jika membandingkan dengan tahun lalu jumlah ini mengalami penurunan sebesar 5,88 poin, pada tahun 2012 nilai APM mencapai 103,06. Penurunan angka ini disebabkan oleh penurunan jumlah siswa kelompok usia 7-12 tahun yang bersekolah di jenjang pendidikan SD/MI yaitu penurunan sebanyak 1,791 siswa dimana pada tahun 2012 sebanyak 108,407 siswa pada tahun 2013 turun menjadi 106,616 siswa. Realisasi APM SMP/MTs di Kota Bogor pada tahun 2013 mencapai angka 89,60, jika dibandingkan dengan tahun lalu penurunan ini cukup signifikan karena pada tahun 2012 nilai APM SMP/MTs mencapai 128,40. Penurunan ini disebabkan berkurangnya jumlah siswa kelompok usia 13-15 tahun yang bersekolah di jenjang pendidikan SMP/MTs yang tahun 2012 berjumlah 51,480 siswa, pada tahun 2013 hanya 47,159 siswa. Capaian APM SMA/MA/SMK di Kota Bogor pada tahun 2013 mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari tahun sebelumnya dimana pada tahun 2012 hanya mencapai nilai 78,56, pada tahun 2013 APM SMA/MA/SMK Kota Bogor mencapai angka 89,60. Kesehatan Kesehatan merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap kualitas sumberdaya manusia. Tujuan dari pembangunan kesehatan adalah terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum. Beberapa indikator kesehatan antara lain : angka harapan hidup, angka kelangsungan hidup bayi dan persentase balita gizi buruk. Angka Harapan Hidup (AHH) merupakan rata-rata perkiraan banyaknya tahun yang dapat ditempuh seseorang selama hidupnya. Indikator ini sering digunakan untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk khususnya di bidang kesehatan. Berdasarkan sumber IPM Kota Bogor Tahun 2012, AHH di Kota Bogor dalam kurun waktu 2007-2011 menunjukkan peningkatan, dimana pada tahun 2010 AHH penduduk Kota Bogor mencapai 68,87 tahun dan pada tahun 2011 meningkat sebesar 0,09 menjadi 68,96 tahun. Angka Kelangsungan Hidup Bayi (AKHB) pada tahun 2013 di Kota Bogor sebesar 997 menggambarkan peluang bayi yang hidup usia di bawah 1 tahun diantara 1.000 bayi yang lahir adalah sebanyak 997 bayi. Persentase balita gizi buruk adalah persentase balita dalam kondisi gizi buruk terhadap jumlah balita. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Jumlah balita yang menderita gizi buruk di Kota Bogor pada tahun 2013 tercatat sebanyak 378 kasus, dimana angka balita gizi buruk paling banyak berasal dari Kecamatan Bogor Utara yakni sebanyak 94 kasus. Perekonomian Kota Pertumbuhan PDRB Kondisi perekonomian Kota Bogor dapat dikatakan membaik, hal ini dapat dilihat dari laju pertumbuhan PDRB konstan dalam empat tahun terakhir yang mengalami pertumbuhan positif. PDRB atas dasar harga berlaku konstan tahun 2000 (Hk) mengalami peningkatan yang signifikan dari 4.508,70 miliar rupiah pada tahun 2009 menjadi 5.394,16 miliar rupiah pada tahun 2010. Selama tahun 2009-2010, sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran memberikan kontribusi terbesar dalam
48
pembentukan PDRB atas dasar harga konstan dengan perkembangan nilai dari 1.331,87 miliar rupiah pada tahun 2009 meningkat menjadi 1.550,22 miliar rupiah pada tahun 2012, kemudian diikuti oleh sektor Industri Pengolahan dengan nilai 1.273,76 miliar rupiah pada tahun 2009 menjadi 1.527,42 miliar rupiah pada tahun 2013, Keuangan, Sewa, dan Jasa. Perusahaan dan Pengangkutan dan Komunikasi tumbuh dari nilai 453,55 miliar rupiah pada tahun 2009 kemudian meningkat menjadi 827,01 miliar rupiah pada tahun 2012. Tabel 13 Perkembangan kontribusi sektor dalam PDRB tahun 2009 s.d 2013 atas dasar harga berlaku (HB)
NO
1 2 3 4 5 6
7
8 9
SEKTOR
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Kontruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Sewa dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa PDRB
2010 HB HK % % 7.95 3.22
HB % 8.49
2011 HK % 2.84
HB % 7.69
2012 HK % 2.22
2013 HB HK % % 7.67 2.22
8.02
1.53
-2
-9.47
-2.57
-9.2
-2.57
-9.2
19.72
6.38
14.12
6.2
14.59
6.14
14.59
6.14
14.74
6.95
10.25
6.99
12.23
7.02
12.23
7.02
13.87
4.12
7.45
4.15
9.18
4.02
9.18
4.02
13.67
4.98
10.26
5.28
10.58
5.31
10.58
5.331
25.57
6.55
9.66
8.09
10.1
7.03
10.1
7.03
13.59
8.36
13.64
8.47
13.94
8.48
13.94
8.48
10.87 16.84
5.36 6.14
9.9 11.35
5.42 6.19
9.93 11.86
5.22 6.15
9.93 11.86
5.22 6.15
Sumber : Bappeda Kota Bogor (2014)
Pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan pada tahun 2013 mengalami pertumbuhan sebesar 6,15 persen. Sektor-sektor yang berkontribusi cukup besar terhadap pertumbuhan PDRB ini antara lain sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan yang tumbuh sebesar 8.48 persen. Sektor lainnya adalah sektor Listrik, Gas dan Air bersih serta Pengangkutan dan Komunikasi yang masing-masing berkontribusi sebesar 7,02 dan 7,03 persen terhadap pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan. Sektor yang mengalami pertumbuhan negatif yaitu sektor Pertambangan dan Penggalian pada PDRB atas dasar harga berlaku, nilai pertumbuhannya minus 2,57 persen sedangkan atas dasar harga konstan tahun 2000 nilai pertumbuhannya mencapai minus 9,20 persen. Hal ini disebabkan oleh penurunan kuantitas sektor yang bergerak di sektor ini pada tahun 2012. Dengan melihat perkembangan PDRB atas dasar harga berlaku dan harga konstan tahun 2000 dapat menjelaskan bahwa dalam kurun waktu empat tahhun terakhir ini telah terjadi
49
peningkatan yang cukup signifikan. Peningkatan ini bukan hanya terjadi karena kenaikan harga atau inflasi tetapi juga terjadi karena adanya peningkatan kapasitas produksi sektoral. Tabel 14 Nilai dan kontribusi sektor dalam PDRB atas dasar harga konstan 2009 tahun 2011 s.d 2013 NO
SEKTOR
1
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Kontruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Sewa dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa PDRB Atas Dasar Harga Konstan
2 3 4 5 6 7 8 9
2011 (RP) juta 14,372.41
% 0,28
2012 (RP) juta 14,629.08
% 0,27
2013 (RP) juta 15,018.24
% 0.26
112.12
0,002
101.81
0,001
92,44
0.00
1,439,103.05
28,32
1,527,428,91
28,32
1,621,213.05
28.31
167,329.84
3,29
179,083.37
3,32
191,655.02
3.35
338,436.87
6,66
352,056.83
6,53
366,209.51
6.40
1,472,079.82
28,97
1,550,221.93
28,74
1,632,538.71
28.51
522,364.70
10,28
559,085.23
10,36
598,388.92
10.45
762,347.03
15,00
827,007.55
15,33
897,137.79
15.67
365,336.85
7,19
384,413.63
7,13
404,480.02
7.06
5,081,482.69
100
5,394,161.34
100
5,725,902.26
100
Sumber : Bappeda Kota Bogor (2014) Laju Inflasi Laju inflasi merupakan ukuran untuk menggambarkan kenaikan atau penurunan harga dari sekelompok barang dan jasa yang berpengaruh terhadap kemampuan daya beli masyarakat. Laju inflasi tahun kalender di Kota Bogor pada tahun 2013 berada pada angka 8,55 persen. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya yang tercatat hanya 4,06 persen. Rata-rata pertumbuhan inflasi di Kota Bogor hanya sebesar 0,41 persen. Laju inflasi Kota Bogor ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan laju inflasi Provinsi Jawa Barat yang pada tahun 2012, laju inflasi Provinsi Jawa Barat hanya sebesar 3,53 persen dengan rata-rata pertumbuhannya mencapai 0,14 persen. Selama empat tahun terakhir penyumbang terbesar bagi inflasi adalah kelompok bahan makanan dan makanan jadi. Pada tahun 2010 saja besarannya mencapai 17,10 persen yang dipicu oleh kenaikan beberapa harga komoditi bumbubumbuan naik tajam pada saat itu. Penyumbang inflasi selanjutnya diikuti oleh kelompok pengeluaran makanan jadi, rokok dan tembakau sebesar 2,49 persen, sedangkan penyumbang inflasi yang terkecil masih pada kelompok pengeluaran Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan sebesar 0,42 persen. Berdasarkan pengalaman tingginya inflasi pada tahun 2010, pemerintah kemudian melakukan upaya penekanan laju inflasi menjadi 2,85 persen pada tahun 2011. Laju inflasi kemudian meningkat kembali pada tahun 2012 yang lajunya mencapai 4,06 persen. Kelompok pengeluaran yang paling banyak masih di kelompok bahan makanan dan kelompok makanan jadi masih memberikan andil yang cukup besar terhadap besaran angka inflasi Kota Bogor, masing-masing sebesar 9,96 persen dan 4,13 persen.
50
Tahun
Tabel 15 Nilai inflasi tahun 2009-2013 2009 2010 2011 2012 2013
Inflasi Kota 2.16 6.57 2.85 Bogor Sumber : BPS Kota Bogor (2014)
4.06
8.55
Rata-rata Pertumbuha n 0.41
PDRB perkapita dan Indeks Gini PDRB per Kapita merupakan salah satu indikator produktivitas penduduk dihitung dengan cara membagi PDRB dengan jumlah penduduk. PDRB per Kapita dapat dihitung atas dasar harga berlaku dan harga konstan. PDRB per Kapita Kota Bogor selama empat tahun terakhir menunjukkan peningkatan baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar konstan. Pada tahun 2008 jumlah PDRB per Kapita atas dasar harga berlaku hingga tahun 2012 Kota Bogor mengalami pertumbuhan yang cukup baik yaitu dari 11,08 juta rupiah pada tahun 2008 kemudian meningkat menjadi 17,34 juta rupiah pada tahun 2012. PDRB per Kapita atas dasar harga konstan mengalami peningkatan yang cukup pesat selama periode 2008-2012 yaitu sebesar 4,67 juta rupiah pada tahun 2008 menjadi 5,37 juta rupiah pada tahun 2012. Rata-rata pertumbuhan PDRB per Kapita 3.38 persen per tahun. Tabel 16 PDRB per kapita atas dasar harga konstan tahun 2000 tahun 2008 s.d 2012 Uraian 2008 2009 2010 2011 201 2 PDRB Per kapita Atas Dasar Harga Berlaku 11,08 12,58 14,64 16,01 (Rp.juta/jiwa) PDRB per kapita Atas dasar Harga Konstan Tahun 4,67 4,77 5,04 5,25 2000 (Rp.juta /jiwa) Sumber : Bappeda Kota Bogor (2014)
17,2 4 5,37
PDRB per kapita Kota Bogor mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sejalan dengan pertumbuhan PDRB, hanya saja pertumbuhan tersebut tidak diikuti dengan pemerataan. Hal tersebutditunjukkan dari nilai Indeks Gini Kota Bogor. Indeks Gini merupakan gambaran tingkat pemerataan distribusi pendapatan masyarakat. Indeks Gini Kota Bogor sebesar 0,3403 ini artinya pemerataan pendapatan di Kota Bogor mencapai level rendah. Indeks Gini adalah ukuran ketimpangan ekonomi dalam distribusi pendapatan yang ditentukan dengan Koefisien Gini Rasio antara 0-1 (>0 dan <1), semakin rendah Koefisien Gini maka pendapatan suatu wilayah/ daerah semakin merata. Kategori ketimpangan tinggi apabila Indeks Gini lebih besar dari 0,5 dan kategori rendah dengan Indeks Gini dibawah 0,5 (tinggi > 0,5 dan rendah < 0,5). Kemiskinan Persentase penduduk di atas garis kemiskinan di Kota Bogor mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Di banding tahun 2008 yaitu dari 9,72 persen atau
51
dari 97.710 jiwa penduduk miskin menjadi 9,16 persen atau 88.900 jiwa penduduk miskin pada tahun 2011. Pada tahun 2010 persentase penduduk miskin Kota Bogor mencapai 9,24 persen ini artinya ada sebanyak 90.200 jiwa penduduk miskin yang ada di Kota Bogor. Persentase ini jauh lebih rendah daripada persentase penduduk miskin Provinsi Jawa Barat yang mencapai 10,31 persen. Garis kemiskinan adalah nilai rupiah pengeluaran per kapita setiap bulan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan-kebutuhan konsumsi pangan dan non pangan yang dibutuhkan oleh individu untuk hidup layak. Garis Kemiskinan di Kota Bogor pada tahun 2011 tercatat 305.870 rupiah per bulan. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2010 yang hanya mencapai 278.530 rupiah per bulan. Garis kemiskinan Kota Bogor ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Garis Kemiskinan Provinsi Jawa Barat yang hanya sebesar 230.445 rupiah per bulan. Tabel 17 Prosentase penduduk miskin dan garis kemiskinan No Tahun Jumlah Penduduk Persentase Garis Miskin (Jiwa) Penduduk Kemiskinan Miskin (%) (Rupiah/bulan) 1 2008 97.710 9,72 223.218 2 2009 91.710 8,82 256.414 3 2010 90.200 9,24 278.530 4 2011 88.900 9,16 305.870 Sumber : Bappeda Kota Bogor (2014) Ketenagakerjaan dan Pengangguran Berdasarkan hasil survei angkatan kerja nasional, jumlah penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) pada tahun 2012 terdapat sebanyak 710.307 orang. Dari seluruh penduduk usia kerja sebanyak 422.528 orang termasuk kedalam kelompok angkatan kerja. Sebanyak 383.111 orang diantaranya adalah penduduk yang bekerja dan sisanya sebanyak 39.417 orang adalah pengangguran yang sedang mencari pekerjaan. Penduduk yang bekerja di Kota Bogor menurut pendidikan terdapat sebanyak 62.377 berpendidikan SLTP, sebanyak 141.240 orang berpendidikan SLTA dan sebanyak 75.892 orang berpendidikan akademi dan universitas. Lebih jelasnya mengenai distribusi angkatan kerja yang bekerja menurut tingkat pendidikan terdapat pada Tabel Tabel 18 Jumlah perkiraan distribusi angkatan kerja yang bekerja menurut tingkat pendidikan Tingkat Pendidikan Tidak/belum tamat sekolah Sekolah Dasar SLTP SLTA Diploma/Akademi/Universitas Jumlah Sumber : BPS Kota Bogor (2014)
Laki-laki Perempuan Jumlah 16.046 13.342 29.388 52.606 21.608 74.214 40.025 22.352 62.377 106.753 34.487 141.240 46.100 29.792 75.892 261.530 121.58 383.111
52
Indikator-indikator ketenagakerjaan di Kota Bogor pada tahun 2012 memiliki lima perincian yang terdiri dari Penduduk Usia Kerja (PUK) sebesar 710.307 jiwa, angkatan kerja yang bekerja sebanyak 422.528 jiwa, angkatan kerja yang mencari pekerjaan sebanyak 39.417 jiwa, tingkat pengangguran di Kota Bogor sebanyak 9,33 persen, dan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) sebesar 59,49 persen. Perubahan besarnya indikator-indikator utama ketenagakerjaan setiap tahunnya telah tersaji pada Tabel Tabel 19 Indikator-indikator utama ketenagakerjaan Perincian Penduduk Usia Kerja (PUK) Angkatan Kerja Bekerja Mencari Kerja Bukan Angkatan Kerja (BAK) Tingkat Pengangguran (%) Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) % Sumber : BPS Kota Bogor, 2013.
2009 772.433 431.255 415.549 15.706 341.178 3,64 55,83
2010 916.106 511.470 492.842 18.628 404.637 3,64 55,83
2011 704.431 436.206 391.221 44.985 268.225 10,31 61,92
2012 710.307 422.528 383.111 39.417 287.779 9,33 59,49
Pada umumnya penduduk yang bekerja di Kota Bogor terserap pada lapangan pekerjaan Perdagangan dan Jasa. Dengan rincian sebanyak 115.406 orang bekerja pada lapangan pekerjaan sektor Perdagangan, Rumah Makan dan Hotel, sedangkan yang bekerja pada lapangan pekerjaan sektor Jasa terdapat sebanyak 113.108 orang. Tabel 20 Jumlah angkatan kerja yang bekerja menurut lapangan kerja Lapangan Kerja
2009
Pertanian 12.137 Industri Pengolahan 68.605 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 111.737 Jasa 96.022 Lain-lain 96.987 Jumlah 385.488 Sumber : Bappeda Kota Bogor (2014)
2010
2011
2012
6.920 63.597 108.820 99.091 68.359 346.727
4.709 60.857 112.774 113.697 99.109 391.226
6.198 67.674 115.406 113.108 90.725 383.111
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik PKL di Jalan Dewi Sartika Kota Bogor Berdasarkan hasil pengolahan data primer yang didapat dari hasil kuisioner, mendapatkan gambaran karakteristik PKL di Jalan Dewi Sartika. PKL di Jalan Dewi Sartika lebih banyak berjenis kelamin laki-laki (84%) dan berumur diatas 25 tahun (86%) serta berkedudukan sebagai Kepala rumah tangga (80%), dengan tingkat pendidikan rata-rata SMA kebawah (54%). Alasan mereka menjadi PKL karena
53
terkena dampak PHK (34%) akibat krisis moneter antara tahun 1998. Mayoritas (54%) telah menjadi PKL diatas 10 tahun. Dari sisi komoditi, jenis dagangan yang paling banyak didagangkan antara lain sepatu sandal (22%) dan aksesoris elektronik (38%). Mereka memilih berdagang di Jalan Dewi Sartika dengan alasan ramai pembeli (20%) dan tidak mampu membeli kios resmi (20%). Waktu berjualan dari pukul 7.00 WIB sampai pukul 18.00 WIB (78%). Lokasi di Jalan Dewi Sartika pada malam hari digunakan oleh PKL yang menjajakan VCD/DVD bajakan. Gambaran umum karakteristik PKL di Jalan Dewi Sartika hampir sama dengan gambaran umum PKL pada penelitian-penelitian sebelumnya (Rakhmawati, 2007; Susilo, 2012; Mubarok 2012). Bahwa PKL cenderung berasal dari kelas pendidikan menengah bawah, berjualan akibat terkena dampak PHK, dan memiliki modal relatif kecil. Preferensi Masyarakat Terhadap Keberadaan PKL di Jalan Dewi Sartika Preferensi masyarakat dapat digambarkan dari hasil pengolahan data primer yang bersumber dari kuesioner masyarakat. Masyarakat banyak yang berbelanja di PKL Jalan Dewi Sartika karena alasan lokasinya mudah dijangkau (49%) dan harganya murah (24,5%). Hal lain yang terungkap dari analisis persepsi masyarakat adalah keberadaan PKL menganggu aktivitas pejalan kaki (40.8%) dan menyebabkan lingkungan tidak rapi/semrawut (24.5%). Hal ini memiliki kesamaan dengan hasil Litbang Kompas tentang PKL di DKI Jakarta (Kompas, 1 September 2014 hal 27). Selain itu, masyarakat menginginkan ada penataan terhadap PKL (98%) dengan melakukan relokasi (50%) dan penataan tempat usaha (29.2%). Strategi Penataan PKL di Jalan Dewi Sartika Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal Untuk mengetahui faktor-faktor strategi yang berpengaruh terhadap penataan PKL di Kota Bogor, khususnya di Jalan Dewi Sartika (seputar Taman Topi) digunakan analisis faktor internal eksternal. Tahap awal analisis ini adalah mengidentifikasi terlebih dahulu indikator faktor internal yaitu kekuatan dan kelemahan dan indikator faktor eksternal yaitu peluang dan ancaman dalam penataan PKL di Kota Bogor. Faktor internal dan eksternal ditentukan oleh peneliti melalui studi pustaka, wawancara dengan pihak dinas/instansi yang terkait, anggota legislatif, koordinator PKL, masyarakat dan juga dengan pengalaman penulis sebagai bagian dari Pemerintah Kota Bogor. Identifikasi Faktor Internal Dalam mengidentifikasi faktor internal, maka dijabarkan dalam aspek kekuatan dan kelemahan dalam menjalankan penataan PKL di Kota Bogor. Identifikasi faktor-faktor tersebut, antara lain :
54
Kekuatan (Strenght) 1. Penataan PKL Menjadi Prioritas Pembangunan Kota (RPJMD) Selama kurun waktu 10 tahun terakhir, penataan PKL menjadi salah satu prioritas pembangunan di Kota Bogor. Dokumen Rencana Strategis Kota Bogor 2004-2009 dan Rencana Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Bogor 20102014, menentapkan penataan PKL menjadi salah satu dari 4 prioritas pembangunan Kota Bogor. RPJMD Kota Bogor tahun 2010 – 2014, strategi secara umum dalam penataan Pedagang Kaki Lima (sektor informal) adalah mengalokasikan ruang untuk kegiatan sektor informal dengan strategi sebagai berikut : 4. Menata ruang kegiatan sektor informal yang ada 5. Mengalokasikan ruang baru untuk sektor informal 6. Melibatkan masyarakat dalam pengendalian ruang sektor informal. Dalam Rancangan RPJMD Kota Bogor 2015-2019, Penataan dan Pemberdayaan PKL kembali menjadi salah satu dari 5 prioritas pembangunan. Kondisi ini memberi ruang yang besar bagi pemerintah Kota Bogor untuk dapat secara sungguh-sungguh melakukan penataan dan pemberdayaan PKL. Kondisi beberapa lokasi PKL yang belum tertata, termasuk didalamnya ruas Jalan Dewi Sartika (seputar Taman Topi) dapat dilaksanakan dalam kurun waktu 5 tahun kedepan. Perlu dilakukan langkah-langkah nyata dalam penataan PKL, sehingga kenyamanaan Kota dapat terus ditingkatkan. 2. Terdapat Peraturan Daerah tentang PKL Pemerintah Kota Bogor telah memiliki peraturan yang berhubungan dengan keberadaan PKL yaitu Peraturan Daerah Nomor 13 tahun 2005 tentang penataan PKL. Perda tersebut antara lain mengatur tentang penertiban, penataan dan pengaturan lokasi PKL di Kota Bogor. Dalam Perda tersebut juga menyebutkan bahwa lokasi PKL ditentukan oleh Walikota atau pejabat yang ditunjuk, kecuali untuk lokasi di dalam lingkungan instansi pemerintah, lingkungan sekolah, lingkungan tempat peribadatan, sekitar lokasi pasar, parit dan tanggul, taman kota dan jalur hijau, monumen dan taman pahlawan, di sekeliling Kebun Raya dan Istana Bogor, dan di seluruh badan jalan. Selain itu, ditetapkan bahwa setiap orang dilarang melakukan transaksi perdagangan dengan PKL pada lokasi yang dilarang untuk digunakan PKL. Dalam Perda tersebut, terdapat 3 lokasi prioritas yang harus ditata yaitu, Jalan MA Salmun, Jalan Nyi raja Permas, dan Jalan Dewi Sartika. Kondisi saat ini, Jalan MA Salmun dan Nyi Raja Permas telah dilakukan penataan, sedangkan di Jalan Dewi Sartika belum dilakukan penataan. 3. Alokasi Anggaran untuk PKL Seiring dengan program prioritas pembangunan kota, alokasi anggaran untuk penataan PKL dari APBD Kota Bogor sudah cukup besar. Selama kurun waktu 10 tahun terakhir, alokasi anggaran sudah melebihi angka 10 milyar rupiah. Alokasi anggaran ini terdistribusi pada beberapa SKPD yang terlibat didalam penataan PKL, seperti Kantor UMKM, Dinas Bina Marga, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Satpol PP, dan Dinas Pengawasan Bangunan dan Permukiman. Alokasi anggaran untuk PKL dalam 5 tahun kedepan akan tetap dialokasikan dalam APBD. Bahkan berdasarkan rencana Pemerintah Kota Bogor pada
55
anggaran perubahan 2014, sisa anggaran (Silpa) akan dialokasi untuk penataan PKL sebesar 100 Milyar untuk membeli lahan sebagai tempat relokasi PKL. 4. Terdapat Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Menangani PKL Pada tahun 2014, Pemerintah Kota Bogor telah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah kepada DPRD Kota Bogor dan telah disahkan yaitu tentang perubahan Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Salah satu perombakan organisasi adalah meningkatkan OPD yang menangani PKL dari Kantor (setaraf eselon III) menjadi Dinas (setaraf eselon 2), yaitu Dinas UMKM dan Koperasi. Organisasi ini akan efektif diberlakukan pada awal tahun 2015. Dengan demikian, faktor keberadaan OPD dinas UMKM dan Koperasi akan memberi penguatan pada penataan dan pemberdayaan PKL di Kota Bogor. 5. Memiliki Lokasi Pasar dan Aset Lahan di Tengah Kota Lokasi-lokasi yang menjadi prioritas penataan PKL berada di tengah Kota, yang langsung bersentuhan dengan kawasan strategis ekonomi. Dalam RTRW Kota Bogor 2011-2031, salah satu kawasan strategis ekonomi adalah kawasan Pasar Kebon Kembang, Taman Topi, dan Sekitar Stasiun Kereta Api. Saat ini, pasar Kebon Kembang (Pasar Anyar) dikelola oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yaitu Perusahaan Daerah Pakuan Jaya. Masih terdapat alokasi ruang untuk penempatan pedagang di dalam pasar. Saat ini pasar sedang dilakukan revitalisasi. Selain keberadaan pasar Kebon Kembang, salah satu lokasi potensial yang dapat dimanfaatkan untuk penataan PKL adalah Plaza Kapten Muslihat (Taman Topi dan Taman Ade Irma Suryani). Lahan seluas 1,8 hektar pada tahun 2018 akan habis masa pengelolaannya oleh PT. Eksotika dan akan diserahkan kepada Pemerintah Kota Bogor. Untuk itu, perlu dilakukan proses perencanaan yang terintegrasi dalam memanfaatkan lahan tersebut, agar beberapa masalah kota seperti ketersediaan ruang publik dan penataan PKL dapat diselesaikan. Kelemahan (Weakness) 1. Lemahnya Penegakan Hukum Hingga saat ini, penataan PKL masih menjadi pekerjaan rumah bagi Pemerintah Kota Bogor. Pada tahun 2007 dan 2009, telah dilaksanakan proses implementasi Perda melalui penggusuran dan relokasi (LKPJ Walikota Bogor 2007 dan 2009), namun belum mencapai hasil optimal dan tidak ada tindak lanjut dalam hal pemantauan PKL untuk tidak kembali ke lokasi yang sudah ditertibakan. Tindakan penggusuran pada dasarnya bukan merupakan solusi yang efektif meski tindakan tersebut dibenarkan oleh Perda. Lemahnya pengawasan memberi efek pada lemahnya penegakan Perda tersebut. Keterbatasan personil Pol PP menjadi salah satu alasan yang mengemuka untuk melakukan pengawasan di lokasi-lokasi PKL. Jumlah Satpol PP pada tahun 2014 sebanyak 270 personil (Kantor Satpol PP, 2014). Data tersebut menunjukkan belum idealnya jumlah personil Satpol PP dibandingkan jumlah penduduk. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 73 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Evaluasi Kinerja Penyelenggaran Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa 1 orang Satpol PP melayani 400 orang penduduk. Dari ketentuan tersebut terlihat bahwa jumlah personil Satpol PP di kota Bogor masih belum ideal. Pada
56
tahun 2014 nilai rasio hanya mencapai 0,027 atau satu orang personil Satpol PP melayani 3.722 penduduk. 2. Koordinasi lintas Organisasi Perangkat Daerah (OPD) masih belum Maksimal Penanganan penataan PKL dilakukan oleh lintas sektor yang dijalankan oleh masing-masing OPD. Secara struktural dan kewenangan serta tugas pokok dan fungsi, penataan PKL di Kota Bogor menjadi tanggung jawab Kantor Koperasi dan UMKM. Dalam pelaksanaan penataan dan pemberdayaan PKL, KUMKM berkoordinasi dengan dinas teknis lainnya, seperti Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air, Dinas Pengawasan Bangunan dan Permukiman, Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Kantor Satpol PP, dan Bagian Perekonomian Setda Bogor. Dalam pelaksanaan penataan PKL di Kota Bogor, langkah-langkah koordinasi terlihat belum maksimal. Dukungan terhadap penataan PKL masih bersifat kegiatan yang bersifat sementara, bukan yang bersifat keterpaduan program atau kegiatan sehingga seringkali penataan PKL berjalan tidak permanen tetapi hanya sesaat atau sementara, sehingga hasilnya adalah beberapa kali lokasi penataan PKL kembali dipenuhi PKL hanya dalam waktu singkat setelah penertiban. Penataan PKL memerlukan koordinasi lebih maksimal terkait dengan penegakan aturan lalu lintas, penggunaan badan jalan, penggunaan trotoar, penggunaan taman, dan kondisi kebersihan lingkungan serta penggunaan aset daerah. 3. Efektivitas Penggunaan Anggaran Dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir, pemanfaatan anggaran belanja daerah untuk penataan PKL sudah diatas 10 Milyar rupiah, namun belum menunjukkan hasil penataan yang signifikan. Lokasi Jalan Dewi Sartika pernah ditertibkan pada tahun 2007 dan 2009, namun saat ini di lokasi ini masih menjadi tempat berjualan PKL. Penataan trotoar dan drainase yang telah dilakukan seolah menjadi bagian dari penyediaan lahan atau ruang berusaha bagi PKL. Alokasi anggaran penataan PKL, harus diarahkan pada kegiatan yang secara permanen mampu menjawab permasalahan PKL seperti penyediaan tempat relokasi ruang berusaha. Contoh kasus Kota Solo yang menganggarkan pembiayaan PKL dengan membangun tempat usaha atau sentra PKL yang permanen menunjukkan hasil penataan yang dapat menjadi contoh keberhasilan. 4. Belum Terdapat Validitas Data Dasar PKL dan Perencanaan Hal yang klasik dari permasalahan penataan PKL adalah mengenai data akurat mengenai jumlah dan karakteristik PKL, termasuk didalamnya PKL di ruas Jalan Dewi Sartika (seputar Taman Topi). Perubahan jumlah PKL, terutama penambahan sering kali terjadi. Untuk di Jalan Dewi Sartika, data jumlah PKL sebanyak 323 orang. Data ini dinyatakan masih sementara, karena dikhawatirkan ada penambahan jumlah dari PKL yang berada di Jalan Nyi Raja Permas. Pelibatan paguyuban PKL dalam pendataan seharusnya dilakukan, agar data riil dilapangan dapat dibantu sesuai kondisi eksisiting. Tidak akuratnya data PKL menyebabkan pada perencanaan PKL yang kurang komprehensif. Pendekatan perencanaan penataan selama ini lebih banyak menggunakan pendekatan penertiban dengan penggusuran. Rumusan perencanaan disamping aspek ketertiban, keindahan, dan kenyamanan publik, penanganan PKL yang dilakukan harus tetap mempertimbangkan aspek kebutuhan ekonomi
57
masyarakat, baik kepentingan pelaku PKL maupun kepentingan masyarakat konsumen. 5. Kurangnya kerjasama dengan swasta, akademisi, dan Masyarakat Dalam kurun waktu 10 tahun kebelakang, penanganan penataan PKL seolah hanya menjadi kewajiban pemerintah saja. Indikasi dukungan kepada penataan PKL, baik dari pemerintah, swasta maupun LSM, umumnya masih bersifat parsial (case-by-case). Skala dukungan juga tidak sebanding dengan skala permasalahan yang luar biasa besar sehingga kebijakan yang disusun belum menyentuh akar permasalahan yang dihadapi PKL. Potensi keterlibatan swasta dengan penyediaan ruang-ruang usaha atau program Corporate Social Responsibility (CSR) masih belum diusahakan secara optimal. Selain itu, sumbangan konsep penataan dari akademisi belum disentuh untuk mendapat masukan yang terintegrasi. Pendekatan perencanaan penataan masih bersifat proyek, belum kearah pengambilan solusi secara bertahap dan berkesinambungan. Identifikasi faktor Eksternal Peluang 1. Kebijakan Pusat yang mendorong penataan dan pemberdayaan PKL Dalam penataan PKL Pemerintah Kota Bogor mengacu pada Perda nomor 13 tahun 2005 tentang penataan kaki lima. Secara umum substansi Perda tersebut mengatur tentang penataan dan pengaturan yang terdiri dari penunjukkan lokasi, jenis komoditi, bangunan dan jenis usaha dan waktu berjualan. Selain itu diatur pula mengenai mekanisme perizinan, pajak dan retribusi, hak dan kewajiban, larangan, dan sanksi. Arah kebijakan yang dominan adalah mengenai pendekatan penertiban, walaupun dalam substansi yang diatur adalah mengenai bentuk pembinaan, pemeberdayaan, dan pengembangan. Seiring dengan semakin kompleksnya masalah PKL di perkotaan, Pemerintah pusat merasa perlu mengeluarkan kebijakan untuk penataan dan pemberdayaan PKL di daerah. Melalui Peraturan Presiden nomor 125 tahun 2012 tentang Penataan dan pemberdayaan Pedagang Kaki Lima dan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 41 tahun 2012 tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima, pemerintah pusat berharap bahwa pelaksanaan penataan dan pembinaan PKL dapat terencana dengan sistematis dengan memasukkannya dalam dokumen RPJMD. Selain itu beberapa tujuan penataan dan pemberdayaan antara lain : a. Memberikan kesempatan berusaha bagi PKL melalui penetapan lokasi sesuai dengan peruntukkannya; b. Menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan usaha PKL menjadi usaha ekonomi mikro yang tangguh dan mandiri; dan c. Untuk mewujudkan kota yang bersih, indah, tertib dan aman dengan sarana dan prasarana perkotaab yang memadai dan berwawasan lingkungan. Pada kebijakan yang baru ini, pemerintah pusat memberikan penguatan pada beberapa hal, antara lain mengenai pendataan, perencanaan penyediaan ruang bagi kegiatan sektor informal, fasilitasi akses permodalan, penguatan kelembagaan, pembinaan dan bimbingan teknis, fasilitasi kerjasama antar daerah, dan mengembangkan kemitraan dengan dunia usaha. Beberapa substansi ini menjadi peluang bagi Pemerintah Kota Bogor untuk menyesuaikan kebijakan dengan
58
arahan pemerintah pusat, agar pelaksanaan penataan dan pemberdayaan PKL dapat berhasil secara optimal. 2. Perkembangan Wisata Kota Bogor Beragamnya pengembangan ekonomi kreatif di Kota Bogor turut andil dalam perkembangan wisata Kota Bogor. Walaupun memiliki destinasi wisata yang relatif lebih sedikit dibanding Kabupaten Bogor, peningkatan jumlah wisatawan didukung oleh kelengkapan sarana prasarana, aksesibilitas, akomodasi, dan keragaman kuliner Bogor. Data dinas kebudayaan dan pariwisata, pada tahun 2013 jumlah kunjungan wisatawan ke Kota Bogor sebanyak 3.619.217 orang, yang terdiri dari 3.452.211 wisatawan domestik dan 167.006 wisatawan mancanegara. Jumlah wisatawan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun menjadi peluang bagi perkembangan PKL yang terbina dengan konsep penjualan komoditi khas Bogor. Sebagai contoh yang dapat diajadikan referensi adalah aktivitas PKL di China Town Singapura. Aktivitas PKL diwadahi dalam satu area ruang berjualan yang tertata dengan koridor pejalan kaki yang nyaman. Aglomerasi PKL seperti ini memungkinkan setiap wisatawan mengunjungi area berjualan PKL dengan nyaman dan menjadi salah satu daya tarik wisata kota. 3. Masih terdapat potensi lokasi milik swasta untuk di beli sebagai alternatif relokasi bagi PKL di dalam Kota Bogor Untuk penyediaan ruang usaha yang layak untuk PKL disekitar Bogor tengah, termasuk didalamnya PKL jalan Dewi Sartika, selain terdapat aset Pemerintah yaitu Plaza Kapten Muslihat, juga terdapat bangunan milik swasta yaitu gedung Muria Plaza. Gedung 5 lantai ini, saat ini terbengkalai tidak digunakan. Posisinya yang berada di kawasan stasiun Kereta Api (depan pintu masuk stasiun di Jalan Mayor Oking), menjadikan posisinya sangat strategis. Dengan luas keseluruhan 6000 meter persegi, lokasi ini akan dapat menampung PKL yang saat ini berada di Jalan Dewi Sartika, Mayor Oking, Paledang, dan Jembatan Merah. Berdasarkan informasi yang didapat, bahwa pemilik gedung akan menjual dengan harga 65 Milyar rupiah. Peluang investasi ini menjadi strategis karena lokasi berada di tengah kota dan berdekatan dengan pusat kegiatan seperti Stasiun, pasar, dan perdagangan jasa. Pemilihan lokasi alternatif bagi PKL yang diletakkan jauh dari pusat kegiatan, sudah secara nyata mengalami kegagalan. Alokasi ruang untuk PKL di Pasar Teknik Umum Kemang yang berlokasi di Cibadak, saat ini lapak-lapaknya dalam keadaan kosong. Demikian juga lokasi alternatif di Pasar Yasmin, yang saat ini tidak terisi sepenuhnya. 4. Kondisi keamanan yang terjamin Kota Bogor menjadi salah satu kota dengan kondisi keamanan yang baik. Tidak pernah ada kerusuhan atau perusakan yang bersifat masif. Nilai-nilai dan budaya saling menghormati dan kebersamaan antar warga terjalin baik. Beberapa even kultural sudah menjadi agenda warga kota, seperti perayaan Cap Go Meh dan Maulid nabi di habib Empang, sehingga memperlihatkan kerukunan warga. Sama halnya dengan proses-proses penataan PKL di Kota Bogor. Sangat jarang diwarnai oleh bentrok fisik yang besar, seperti terjadi di Kota-kota lain. Sebagai contoh terakhir adalah penataan PKL di Jalan MA Salmun yang
59
dilakukan 3 Agustus 2014, dengan tema Bogor Bebersih. Dengan gerakan bersama, maka pengananan PKL berjalan secara aman dan kondusif. 5. Keterlibatan Swasta, Akademisi, dan Masyarakat Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, penataan PKL seakan menjadi tanggung jawab Pemerintah saja. Ruang keterlibatan swasta, akademisi, dan masyarakat hampir tidak terlihat, padahal peluang tersebut sangat terbuka lebar. Gerakan Bogor Bebersih dan Jum‟at bersih mencerminkan bahwa keterlibatan masyarakat, swasta dan akademisi dalam penataan PKL bisa dilakukan secara bersama. Masing-masing berperan sesuai dengan potensi yang ada pada lembaga atau perorangan. Dalam bogor bebersih dalam penataan PKL Jalan MA Salmun, peneliti bertemu dengan berbagai elemen masyarakat seperti Paguyuban Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Bogor Tengah, Koalisi Pejalan Kaki Bogor (KPKb), Bogor Sahabat, unsur Kodim, Polres, OPD, ormas Merah Putih, KNPI, dan sebagainya. Ini menunjukkan potensi yang dapat dijalin secara simultan dari seluruh pemangku kepentingan untuk penataan PKL di lokasi lainnya. Ancaman 1. Meningkatnya Pertumbuhan Angka Pengangguran Penataan PKL yang hanya berorientasi pada penertiban atau penggusuran tanpa memperhatikan kesempatan berusaha bagi PKL akan berdampak pada roda ekonomi kota secara langsung. Angka PKL Kota Bogor pada 2012 mencapai sekitar 12.000 PKL, dengan tersebar di 51 titik (Kantor Koperasi dan UMKM, 2013). Apabila pendekatan penertiban yang dikedepankan tanpa memberi ruang usaha, maka akan berdampak pada kehilangan pekerjaan sekitar 12.000 orang. Hal ini memberi peningkatan pada angka pengangguran yang tahun 2012 di Kota Bogor sudah mencapai 9,33% (Bogor Dalam Angka, BPS 2013). 2. Menurunnya Estetika Tata Ruang Kota (Kekumuhan) Keberadaan PKL yang menempati ruang-ruang publik, trotoar dan badan jalan, apabila tidak diberikan perhatian untuk penataan maka akan berdampak pada menurunnya estetika kota yaitu berupa kekumuhan. PKL yang menempati Jalan Dewi Sartika, mayoritas menggunakan saluran, trotoar dan badan jalan untuk berjualan. Kondisi ini diperparah dengan bentuk-bentuk lapak yang kurang bersih dan tidak beraturan. Bangunan semi permanen yang ada saat ini terdiri dari bahan triplek dengan penghubung antar lapak berupa terpal plastik. Kondisi ini sangat mencolok mata karena berada di tengah kota dan diantara pusat kegiatan perdagangan jasa dan stasiun Kereta Api. 3. Menambah titik Kemacetan Lalu Lintas Berdasarkan data DLLAJ Kota Bogor 2014, terdapat 14 titik kemacetan. Penggunaan fasilitas jalan oleh PKL secara nyata memberikan kontribusi pada penambahan titik kemacetan lalu lintas. Hambatan samping yang ditimbulkan oleh aktivitas berjualan PKL membuat tahanan pada laju arus kendaraan. Hal ini diperparah dengan tidak disiplinnya sopir angkot yang mencari dan menurunkan penumpang di lokasi tersebut. Di Jalan Dewi Sartika menjadi salah satu titik
60
kemacetan terutama dipertigaan Masjid Agung Bogor. Berbaurnya aktivitas PKL dengan mobilitas angkot dan becak menjadi akar utama masalah. . 4. Munculnya oknum/premanisme dalam Sistem PKL Sistem pasar telah melahirkan aktor-aktor yang berada didalamnya. Berdasarkan amatan peneliti dan wawancara dengan PKL di Jalan Dewi Sartika, terdapat oknum yang menjadikan PKL sebagai ladang untuk mendapat keuntungan. Dengan dalih uang keamanan, setiap PKL harus memberikan pungutan liar antara sebesar 2.000 rupiah sampai dengan 5.000 rupiah. Hal ini memberikan gambaran bahwa dalam sistem PKL yang tidak tertata, akan memunculkan oknum/premanisme. 5. Hilangnya Potensi Pendapatan Daerah Saat ini, PKL di Kota Bogor tidak dipungut retribusi oleh Pemerintah Kota. Hasil wawancara dengan koordinator Paguyuban PKL Jalan Dewi Sartika, bahwa apabila mereka difasilitasi sarana berdagang maka mereka bersedia dan sanggup membayar retribusi sebesar 5000 rupiah per hari. Jumlah PKL yang terdata di Jalan Dewi Sartika sebanyak 323 PKL. Jika potensi tersebut dijadikan masukan bagi Kas Daerah, maka akan terkumpul dana sebesar 48.450.000., rupiah dalam sebulan dan 581.400.000., dalam setahun. Jika potensi ini dilihat secara lebih besar lagi dengan angka total jumlah PKL di Kota Bogor, yang kurang lebih sebanyak 12.000 PKL maka potensi retribusi yang akan didapat sebesar 21.600.000.000., rupiah. Jumlah besar ini akan dapat digunakan sebagai bagian dari penataan dan pemberdayaan PKL di Kota Bogor. Anggaran PKL dikembalikan untuk penataan dan pemberdayaan PKL. Analisis SWOT Untuk melakukan analisis terhadap faktor-faktor strategis yang mempengaruhi penataan PKL di Jalan Dewi Sartika Kota Bogor digunakan matriks Internal Factor Evaluation (IFE) untuk faktor internal dan matriks External Factor Evaluation (EFE) untuk faktor eksternal. Tujuan menggunakan matriks IFE dan matriks EFE ini untuk mengetahui seberapa besar pengaruh faktor-faktor strategis internal dan eksternal terhadap keberhasilan penataan PKL di Jalan Dewi Sartika Kota Bogor. Internal Factor Evaluation (IFE) Faktor- faktor strategis internal yang mempengaruhi penataan PKL di Jalan Dewi Sartika setelah diperoleh dari pengumpulan data kuisioner tujuh orang responden untuk penelitian bobot dan rating maka diperoleh hasil perhitungannya pada Tabel 21 Faktor-faktor strategis yang mempengaruhi penataan PKL di Jalan Dewi Sartika berdasarkan hasil perhitungan bobot dan rating, diketahui bahwa faktor internal yang strategis adalah penataan PKL masuk dalam rencana prioritas pembangunan (RPJMD) dengan nilai sebesar 0.44 dan terdapat Peraturan Daerah tentang penataan PKL dengan nilai 0.44. Faktor ini mempunyai peringkat sebesar 4 yang berarti faktor tersebut merupakan kekuatan utama dibandingkan dengan faktor lain yang dimiliki bagi penataan PKL di Jalan Dewi Sartika.
61
Selain mengidentifikasi kekuatan internal, matriks IFE juga menunjukkan berbagai kelemahan dalam strategi penataan PKL di Jalan Dewi Sartika. Faktor internal yang memiliki nilai kelemahan terbesar adalah lemahnya penegakan hukum dan koordinasi lintas OPD yang masih belum maksimal, yang memiliki nilai sebesar 0.20. Hal ini menunjukkan bahwa dalam penataan PKL di Kota Bogor harus memperkuat faktor penegakan hukum dan penguataan koordinasi kelembagaan di Pemerintah Kota Bogor yang terkait dalam penataan PKL. Tabel 21 Matrik hasil perhitungan internal factor evaluation No
Faktor Strategis
Bobot
Rating
Bobot x Rating
KEKUATAN : 1 Penataan PKL menjadi Prioritas pembangunan Kota (RPJMD)
0,11
2 Terdapat Peraturan Daerah tentang PKL
0,11
4
0,44
3 Alokasi Anggaran Untuk Penataan PKL
0,10
4
0,40
4 Terdapat Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Menangani PKL
0,10
4
0,10
3
5 Memiliki Lokasi Pasar dan Aset Lahan di tengah Kota JUMLAH
4
0,40 0,30 1,98
0,52 KELEMAHAN: 6 Lemahnya Penegakan Hukum 7 Koordinatasi lintas OPD masih belum maksimal 8 Efektivitas Penggunaan Anggaran 9 Data Dasar PKL dan Perencanaan Penataan PKL 10 Kurangnya kerjasama dengan swasta, akademisi dan masyarakat JUMLAH TOTAL Sumber : Hasil pengolahan data (2014)
0,44
0,10
2
0,20
0,10
2
0,20
0,10
1
0,10
0,09
1
0,09
0,09
1
0,09
0,48 1,00
0,68 2,66
Eksternal Factor Evaluation (EFE) Faktor- faktor strategis eksternal yang mempengaruhi penataan PKL di Jalan Dewi Sartika diperoleh hasil perhitungannya pada Tabel 22. Berdasarkan hasil identifikasi faktor strategis eksternal yang mempengaruhi penataan PKL di Jalan Dewi Sartika yang terdiri dari peluang dan ancaman, kemudian dilanjutkan dengan evaluasi faktor eksternal menggunakan matriks EFE (Eksternal Factor Evaluation). Bobot yang diperoleh menentukan tingkat
62
kepentingan relatif satu faktor eksternal terhadap faktor eksternal lainnya yang berpengaruh pada penataan PKL di Jalan Dewi Sartika. Berdasarkan analisis EFE diketahui bahwa faktor-faktor kunci eksternal yang memberikan peluang terbesar dalam penataan PKL di Jalan Dewi sartika adalah adanya keterlibatan swasta, akademisi, dan masyarakat dalam proses penataan PKL. Peluang ini mendorong seluruh pemangku kepentingan di Kota Bogor terlibat dalam agenda kota yaitu penataan PKL. Nilai skor terbesar yang dimiliki faktor kunci eksternal ini yaitu sebesar 0,33 dengan bobot 0,11 dan rating sebesar 3. Tabel 22 Matrik hasil perhitungan eksternal factor evaluation Bobot x No Faktor Strategis Bobot Rating Rating PELUANG : 1 Kebijakan Pusat yang mendorong 0,10 3 0,3 penataan dan pemberdayaan PKL 2 0,10 3 0,30 Perkembangan Wisata Kota Bogor 3 Masih terdapat potensi lokasi milik
4 5
6 7 8 9 10
swasta untuk di beli sebagai alternatif relokasi bagi PKL di dalam Kota Bogor Kondisi keamanan yang terjamin Keterlibatan Swasta, Akademisi, dan Masyarakat JUMLAH ANCAMAN: Meningkatnya Pertumbuhan Angka Pengangguran Menurunnya Estetika Tata Ruang Kota (Kekumuhan) Menambah titik Kemacetan Lalu Lintas Munculnya oknum/premanisme dalam Sistem PKL Hilangnya Potensi Pendapatan Daerah
JUMLAH TOTAL Sumber : Hasil pengolahan data (2014)
0,10
3
0,30
0,10
3
0,30
0,11
3
0,33
0,51
1,53
0,10
3
0,30
0,10
3
0,30
0,10
3
0,30
0,09
3
0,27
0,10
3
0,30
0,49 1,00
1,47 3,00
Faktor eksternal yang memberikan ancaman terbesar bagi penataan PKL di Jalan Dewi sartika adalah menurunnya estetika tata ruang kota, menambah titik kemacetan, dan hilangnya potensi PAD yang ditunjukkan dengan bobot 0,10 dan rating 3 sehingga skornya menjadi 0.30. Hal ini menunjukkan bahwa dalam penataan PKL harus memperhatikan aspek esetetika kota, jumlah pengangguran, dan PAD Kota Bogor.
63
Matriks SWOT Formulasi alternatif strategi penataan PKL di Jalan Dewi Sartika Kota Bogor di peroleh dengan pendekatan analisis SWOT. Analisis SWOT merupakan langkah selanjutnya setelah dilakukan analisis IFE dan EFE, yakni dengan mencocokkan faktor-faktor internal berupa kekuatan dan kelemahan dengan faktor-faktor eksternal berupa peluang dan ancaman untuk mendapat alternatif strategi S-O, strategi W-O, strategi S-T dan strategi W-T dalam penataan PKL di Jalan Dewi Sartika Kota Bogor. Matriks SWOT tersebut digambarkan pada Tabel 23. Berdasarkan hasil analisis SWOT, diperoleh 4 (empat) alternatif strategi yang dapat digunakan dalam penataan PKL di Jalan Dewi Sartika Kota Bogor. 1. Strategi S-O merupakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang dalam penataan PKL. Alternatif strategi yang dihasilkan yaitu perlu dilakukan Meninjau ulang (review) Kebijakan PKL di Kota Bogor. Meninjau ulang atau review kebijakan PKL dimaksudkan dengan menelaah kembali substansi yang terdapat dalam Perda 13 tahun 2005 tentang Penataan PKL. Tinjau ulang ini dikarenakan beberapa hal yang diatur dalam Perda tersebut sudah tidak sesuai dengan kondisi lapangan dan belum terpadu dengan Perpres 125 tahun 2012 dan Permendagri 41 tahun 2012 tentang Pedoman Penataan PKL. Kebijakan yang akan menjadi payung hukum dan pedoman perencanaan dan pelaksanaan penataan PKL di Kota Bogor. 2. Strategi S-T adalah strategi yang menggunakan kekuatan untuk menghindari ancaman yang ada dalam penataan PKL di Jalan Dewi Sartika. Kombinasi kekuatan dan ancaman itu menghasilkan alternatif strategi memfasilitasi Ruang Usaha dan Rasa Aman Berusaha. Pendekatan represif tidak akan dapat menyelesaikan permasalahan PKL, tetapi justru akan menimbulkan masalah baru berupa hilangnya potensi ekonomi. Langkah persuasif perlu diambil untuk penyelesaian masalah yang lebih komprehensif. Penyediaan ruang usaha bagi PKL dapat menjadi salah satu solusi dalam penataan PKL. Contoh Kota Solo dan Jakarta dapat dijadikan rujukan dalam penyediaan ruang usaha bagi PKL. Selain mendapatkan ruang usaha yang baik, penyediaan ruang tersebut akan mendatangkan rasa aman berusaha bagi PKL, yang akan berdampak pada peningkatan produktivitas PKL dalam berusaha. Penempatan ruang usaha dan rasa aman berpengaruh juga pada kenyamanan dan menjadi daya tarik bagi masyarakat dan pembeli. 3. Strategi W-O adalah strategi yang mengatasi kelemahan dengan memanfaatkan peluang yang ada dalam penataan PKL di Jalan Dewi Sartika Kota Bogor. Strategi tersebut menghasilkan alternatif strategi meningkatkan kemitraan pemerintah dengan PKL. Pelaksanaan penataan PKL yang diangap hanya sebagai tugas pemerintah saja, terbukti tidak cukup optimal untuk menyelesaikannya. Sebaliknya, kolaborasi atau kemitraan antara pemerintah dan PKL serta masyarakat memberikan hasil baik bagi penataan PKL. Dialog antar pemerintah sebagai regulator dan fasilitator dengan PKL sebagai pelaku sangat penting. Joko Widodo ketika menjadi Walikota Solo sampai harus berdialog 56 kali dengan PKL, hingga akhirnya dapat bersepakat tentang penataan. Prosesi kirab budaya kepindahan atau
64
relokasi PKL di Solo pada saat itu, menjadi catatan bukti keberhasilan bahwa kemitraan Pemerintah dan PKL akan membuahkan hasil penataan yang optimal. Tabel 23 Matrik SWOT Kekuatan (S) Faktor Internal 1. Penataan PKL menjadi Prioritas Pembangunan Kota (RPJMD) 2. Terdapat Peraturan Daerah tentang PKL 3. Alokasi Anggaran Untuk Penataan PKL 4. Terdapat Organisasi Faktor Eksernal Perangkat Daerah (OPD) Menangani PKL 5. Memiliki Lokasi Pasar dan Aset Lahan di tengah Kota Peluang (O) 1. Kebijakan Pusat yang mendorong penataan dan pemberdayaan PKL 2. Perkembangan Wisata Kota Bogor 3. Masih terdapat potensi lokasi milik swasta untuk di beli sebagai alternatif relokasi bagi PKL di dalam Kota Bogor 4. Kondisi keamanan yang terjamin 5. Keterlibatan Swasta, Akademisi, dan Masyarakat Ancaman (T) 1. Meningkatnya Pertumbuhan Angka Pengangguran 2. Menurunnya Estetika Tata Ruang Kota 3. Menambah titik Kemacetan Lalu Lintas 4. Munculnya oknum/premanisme dalam Sistem PKL 5. Hilangnya Potensi Pendapatan Daerah
Strategi S-O
Kelemahan (W) 1. Lemahnya Penegakan Hukum 2. Koordinatasi lintas OPD masih belum maksimal 3. Efektivitas Penggunaan Anggaran 4. Data Dasar PKL dan Perencanaan Penataan PKL 5. Kurangnya kerjasama Pemerintah Kota Bogor dengan swasta, akademisi dan masyarakat Strategi W-O
Meninjau Ulang Kebijakan Tentang PKL di Kota Bogor (S1, S2, S4, S4, O1, O5)
Meningkatkan Kemitraan Pemerintah dengan PKL ( W1, W2, W4, O1, O2)
Strategi S-T
Strategi W-T
Memfasilitasi Ruang Usaha dan Rasa Aman Berusaha (S1, S3, S5, T1, T2, T4)
Mengoptimalkan Sarana Prasarana Kota (W2, W3, W4, T2,T3)
65
4. Strategi W-T adalah strategi yang didasarkan pada kegiatan yang bersifat bertahan dan ditujukan untuk meminimalisasi kelemahan yang ada serta menghindari ancaman dalam penataan PKL di Jalan Dewi Sartika Kota Bogor. Berdasarkan analisis strategi alternatif yang dapat di lakukan adalah mengoptimalkan sarana prasana kota sesuai peruntukkannya. Strategi defensif atau bertahan pada penataan PKL yaitu dengan optimalisasi sarana prasarana kota yang tersedia sesuai peruntukkannya. Tentunya strategi ini merupakan strategi jangka pendek agar kondisi penataan PKL tidak lebih parah dan perlu tetap dicarikan solusi jangka panjang yang akan berdampak luas terhadap pembangunan kota. Analitical Hierarchy Process (AHP) Perumusan strategi penataan PKL di Kota Bogor melalui kasus penataan PKL di Jalan Dewi Sartika memerlukan arah dan fokus strategi agar tahapan-tahapan penatan dapat berjalan secara konsisten dan berkesinambungan. Hingga saat ini Pemerintah Kota Bogor belum secara konsisten melaksanakan program dan kegiatan yang berhubungan dengan penataan PKL. Dalam penelitian ini, perumusan strategi prioritas dalam penataan PKL menggunakan metode Analitical Hierarchy Process (AHP) dengan melibatkan unsur Faktor, Aktor, Tujuan, dan Alternatif Strategi. Faktor Dalam penelitian ini, faktor-faktor yang mendukung proses penataan PKL di Jalan Dewi Sartika meliputi faktor kebijakan pemerintah Kota Bogor, Sosial ekonomi, estetika, dan ketertiban umum. Hasil perhitungan AHP dengan metode expert choice bahwa faktor yang paling berpengaruh menurut responden dalam penataan PKL adalah kebijakan pemerintah terhadap penataan PKL (0.474). faktor penting lainnya secara berurutan adalah faktor sosial ekonomi (0.208), faktor ketertiban umum (0.181), dan faktor estetika kota (0.136). Kebijakan pemerintah dalam penataan menjadi pedoman dan payung hukum dalam tahapan pelaksanaan penataan PKL. Dalam koridor perencanaan pembangunan, maka penataan PKL harus masuk dalam RPJMD Kota Bogor. Jika merujuk pada rancangan RPJMD 2015-2019 Kota Bogor, Program penataan PKL telah masuk kedalam urusan UMKM. Bahkan menjadi salah satu dari enam prioritas pembangunan. Ini menjadi faktor yang mendukung bagi penataan PKL. Selain itu, keberadaan Perda tentang PKL menjadi payung hukum dalam pembinaan dan penataan PKL di Kota Bogor.
66
Gambar 6 Hasil perhitungan AHP pada aspek faktor Aktor Aktor dalam penataan PKL ditentukan oleh tiga pihak, yaitu Pemerintah, PKL, dan Masyarakat. Pemerintah sebagai regulator dan fasilitator dalam proses kebijakan dan pelaksanaan penataan PKL. PKL sebagai pelaku penting dari proses penataan dan pemberdayaan. Sementara masyarakat sebagai salah satu pemangku kepentingan yang berinteraksi dan terkena dampak dari keberadaan PKL di Kota Bogor. Dari hasil perhitungan AHP, bobot keterlibatan pemerintah, PKL dan masyarakat cukup berbeda. Pemerintah dianggap memiliki peranan yang sangat penting bagi penataan PKL (0.438), diikuti Masyarakat (0.416), dan PKL (0.146)
Gambar 7 Hasil perhitungan pada aspek aktor Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peranan pemerintah menjadi sangat penting untuk proses penataan PKL di Kota Bogor, hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan dalam menata kota untuk sektor informal yang terorganisir (Winarso, 2008). Peran penting ini harus diiringi dengan konsistensi dalam pelaksanaan perencanaan penataan PKL dan juga komitmen untuk melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam penataan PKL di Kota Bogor. Tujuan Tujuan yang menjadi arahan dalam penataan PKL dalam penelitian ini antara lain meliputi peningkatan penegakan peraturan, peningkatan kesempatan berusaha dan kesejahteraan, dan pengendalian tata ruang kota. Dari hasil perhitungan AHP, responden memilih peningkatan penegakan peraturan menjadi sangat penting untuk proses penataan PKL di Kota Bogor (0.503), kemudian diikuti oleh tujuan
67
pengendalian ruang (0.257) kesejehateraan (0.240).
dan
peningkatan
kesempatan
berusaha
dan
Gambar 8 hasil perhitungan AHP pada aspek tujuan Penelitian mengungkapkan bahwa konsistensi pelaksanaan peraturan daerah dalam penataan PKL menjadi harapan besar. Keberadaan Perda nomor 13 tahun 2005, belum sepenuhnya ditegakkan. Hal ini karena masih banyak lokasi PKL yang tidak tertata, salah satunya adalah di Jalan Dewi Sartika. Penegakkan peraturan terutama pada aspek pengawasan dan pengendalian di lokasi-lokasi PKL. Kondisi ini sejalan dengan pendapat penelitian PKL yang menyatakan bahwa lemahnya penegakkan Perda akan berdampak pada semakin menjamurnya PKL di Kota Bogor (Rakhmawati, 2007 dan Ruhyana, 2010). Alternatif Strategi Strategi adalah suatu cara yang dijalankan secara cermat untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Beberapa strategi yang dirumuskan melalui analisa SWOT, dipertanyakan kembali kepada responden untuk mendapatkan hasil srategi prioritas dalam penataan PKL di Kota Bogor. Alternatif strategi tersebut meliputi meninjau ulang substansi kebijakan penataan PKL agar lebih dapat dilaksanakan, meningkatkan kemitraan Pemerintah dengan PKL dan pemangku kepentingan lainnya, memfaslitasi ruang usaha dan rasa aman berusaha, serta mengoptimalkan sarana prasarana kota. Berdasarkan hasil perhitungan AHP dengan menggunakan expert choice, didapatkan hasil bahwa strategi meninjau ulang (review) terhadap kebijakan penataan PKL memiliki nilai tertinggi (0.350), selanjutnya diikuti oleh strategi meningkatkan kemitraan Pemerintah dengan PKL dan pemangku kepentingan lainnya (0.267), memfaslitasi ruang usaha dan rasa aman berusaha (0.218), serta mengoptimalkan sarana prasarana kota (0.165).
Gambar 9 Hasil perhitungan AHP pada aspek alternatif Strategi
68
Strategi meninjau ulang (review) terhadap kebijakan penataan penataan PKL, secara substansi harus memiliki pendekatan dan proses yang lebih baik dalam penataan PKL di Kota Bogor. Substansi kebijakan harus mengatur hal-hal penting yang belum ada dalam kebijakan sebelumnya seperti pendataan secara periodik dengan sistem data base yang valid, mekanisme perencanaan yang merujuk pada asas SMART (Spesifik, Measurable, Realistic, and timebound), alokasi ruang yang tepat, dan pola pemberdayaan PKL yang baik. Pada tahap analisis dilakukan juga analisis sensitivitas terhadap pilihan alternatif kebijakan. Hasil analisis sensitivitas ditunjukkan pada gambar
Gambar 10 Dinamik untuk analisis sensitivitas Berdasarkan gambaran diatas, struktur hiraraki AHP untuk penataan PKL di Kota Bogor dalam kasus Jalan Dewi Sartika tersaji dalam gambar Strategi Penataan PKL di Kota Bogor
Fokus
Faktor
PKL (0.146)
Tujuan
Peningkatan Penegakan Peraturan (0.503)
Meninjau ulang Kebijakan tentang PKL (0.350)
Ketertiban Umum (0.181)
Estetika Kota (0.136)
Sosial Ekonomi (0.208)
Pemerintah (0.438)
Aktor
Alternatif Strategi
Kebijakan Pemerintah (0.474)
Masyarakat (0.416)
Peningkatan Kesempatan Berusaha & Kesejahteraan (0.240)
Meningkatkan Kemitraan Pemerintah dengan PKL (0.267)
Pengendalian Tata Ruang Kota (0.257)
Memfasilitasi Ruang Usaha dan Rasa Aman Berusaha (0.218)
Gambar 11 Struktur hirarki strategi penataan PKL di Kota Bogor
Mengoptimalkan Sarana Prasarana Kota (0.165)
69
6 RANCANGAN PROGRAM PENATAAN PKL Rancangan Program Berdasarkan alternatif strategi yang didapat dari proses analisis AHP, maka diperlukan penjabaran dari strategi berupa program yang dapat menjadi bagian dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan penataan PKL di Kota Bogor. Program-program tersebut, disertai indikasi waktu dan organisasi pelaksanan. Hal ini penting, agar pelaksanaan program dapat terukur dan mudah untuk melakukan koordinasi pelaksanaan program. Rancangan program penataan PKL di Kota Bogor disusun dalam kurun waktu 5 tahun, sejak 2015 – 2019. Adapun program yang direncanakan antara lain : 1. Program Legislasi Daerah Program legislasi daearah yang direncanakan dilaksanakan pada tahun 2015-2016. Program ini adalah bagian dari meninjau ulang Perda 13 tahun 2005 tentang penataan PKL. Beberapa kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka program ini antara lain : a. Penyusunan Naskah Akademis Pada kegiatan ini perlu dilakukan telaahan dan perencanaan terhadap konsep penataan PKL di Kota Bogor, yang didalamnya meninjau kawasan prioritas seperti Jalan Dewi Sartika. Substansi naskah akademis dapat mengacu pada pokok-pokok aturan yang telah diatur dalam Perpres 125 tahun 2012 dan Permendagri 41 tahun 2012, meliputi : 1. Pendataan 2. perencanaan penyediaan ruang bagi kegiatan sektor informal; 3. fasilitasi akses permodalan; 4. penguatan kelembagaan; 5. pembinaan dan bimbingan teknis; 6. fasilitasi kerjasama antar daerah; dan 7. mengembangkan kemitraan dengan dunia usaha. Selain itu, perlu dimasukkan hal-hal yang terkait dengan substansi yang berdasarkan pada kearifan lokal khas Kota Bogor dengan berdasar pada nilai budaya masyarakat dan aspirasi PKL. b. Konsultasi Publik Rancangan naskah akademis dan rancangan Perda harus dilakukan uji publik pada pemangku kepentingan. Hal ini untuk memberi ruang aspirasi dan partisipasi bagi pemangku kepentingan di Kota Bogor, khususnya PKL. Konsultasi publik perlu dirancang tidak hanya bersifaat formal seperti seminar atau lokakarya, tetapi perlu juga dilakukan secara informal seperti dengan mengadakan Focus Group Discussion (FGD) dengan suasana non formal dan santai. Kombinasi pendekatan ini agar didapat produk legislasi yang partisipatif. c. Sosialisasi Perda Agar diketahui oleh seluruh pemangku kepentingan di Kota Bogor, apabila sudah berbentuk Perda maka Perda tersebut harus disosialisasikan. Berbagai media sosialisasi perlu digunakan, mulai media tatap muka langsung (seminar, diskusi publik, bedah Perda), media cetak (koran, majalah, dan buletin), media
70
elektronik (televisi lokal dan radio), dan media internet (website pemerintah Kota Bogor). 2. Program Forum PKL Dalam rangka meningkatkan kemitraan Pemerintah dengan PKL dan pemangku kepentingan lainnya di Kota Bogor, diperlukan satu wadah komunikasi dan dialog yang dapat dijadikan sarana mencari solusi tentang penataan PKL. Pembentukan forum PKL dirasa sangat penting untuk menjembatani antara rencana penataan PKL oleh pemerintah dengan kebutuhan PKL. Konsultasi dan koordinasi dapat dilakukan dalam forum ini untuk mendapatkan solusi-solusi kreatif dan inovatif dalam penataan PKL. Secara informal, sesungguhnya PKL memiliki kelembagaan. Hal ini didapat dari survey lapangan penulis, bahwa untuk di Jalan Dewi Sartika sekitar taman topi terdapat paguyuban PKL dengan koordinator yang telah ditunjuk. Walaupun tidak ada pertemuan regular yang rutin, namun dalam beberapa hal isu mereka dapat berdialog dalam wadah paguyuban tersebut. Bahkan penulis mendapat data bahwa PKL telah memiliki konsep penataan, berupa konsep konstruksi bangunan PKL di Jalan Dewi Sartika. Hal ini sangat memungkinkan untuk dijembatani dalam wadah forum PKL yang mempertemukan ide penataan PKL antar semua pemangku kepentingan.
Gambar 12 Konsep penataan PKL yang diusulkan oleh PKL melalui koordinator PKL jalan Dewi Sartika
71
3. Program Pendataan PKL Program ini sangat penting dilaksanakan agar mendapat data yang akurat mengenai jumlah PKL. Tidak hanya jumlah, pendataan ini harus mendapatkan karakteristik ekonomi dan sosial PKL agar memudahkan peta kondisi PKL dan pendekataan penataan yang akan dilaksanakan. Data minimal yang harus dimiliki terkait keberadaan PKL meliputi identitas PKL, lokasi PKL, jenis tempat usaha, bidang usaha, dan modal usaha. Data ini digunakan untuk penataan dan pemberdayaan PKL. 4. Program Advokasi CSR Dalam proses penataan PKL, pemerintah dapat mengadvokasi pendanaan atau bantuan dalam bentuk lain dari pengusaha yang ada di Kota Bogor melalui program Coorporate Social Responsibility (CSR). Dalam program ini dapat juga diinisiasi kegiatan Bapak angkat dari pengusaha besar ke PKL. Berbagai kegiatan CSR yang dapat diambil peluangnya meliputi penyediaan ruang usaha di Mall, Pabrik, atau tempat komersial besar lainnya; penyediaan sarana berdagang seperti gerobak atau revitalisasi tempat berdagang yang eksisting; dan juga akses terhadap modal usaha dan pasar bagi produk PKL. Program ini dapat dipadukan dengan program pembiayaan pemberdayaan PKL yang dialokasikan di dinas yang menangani PKL. 5. Program Festival PKL Untuk meningkatkan usaha dan mengangkat citra PKL sebagai bagian dari perkembangan ekonomi kota, direncanakan dibuat momen tematik yang mengambil tema festival PKL. Kota Solo, Bandung dan Jakarta telah memulai program ini dan berdampak positif bagi pemberdayaan PKL. Langkah ini patut juga dicontoh oleh Pemerintah Kota Bogor untuk dapat mengembangkan festival PKL di Jalan Dewi Sartika. Lokasi yang strategis dan beraneka ragamnya jenis dagangan yang ada akan menjadi potensi daya tarik wisata baru bagi Kota Bogor. Festival ini dapat dilakukan satu bulan sekali dengan agenda tahunan alam berupa acara puncak festival pada rangkaian hari jadi Bogor. 6. Program Penataan Zoning PKL Penataan zoning PKL dapat dilakukan dengan membagi berdasarkan jenis komoditas dagangan PKL atau dapat juga didasarkan pada lokasi berjualan PKL. Pendekatan zoning PKL berdasarkan jenis komoditi agar terdapat aglomerasi jenis dagangan yang akan berdampak pada peningkatan omset PKL. Untuk PKL di Jalan Dewi Sartika dapat dibagi menjadi beberapa zoning berdasarkan komoditas, meliputi zoning sepatu sandal, zoning tas, zoning elektronik, dan zoning makanan minuman. Penataan zoning PKL ini memerlukan perencanaan dan sosialisasi yang matang agar dapat diterima oleh semua pihak. Berkaca pada pengalaman Kota Solo saat melaksanakan penataan zoning PKL, diperlukan dialog hampir 56 kali antara pemerintah dengan PKL. Hal ini membuahkan hasil pada saat PKL dipindahkan ke zoning PKL, dilakukan secara bersama dan penuh suka cita dalam kirab PKL. Tidak dengan pendekatan represif.
72
7. Program Revitalisasi Pasar Tradisonal Program revitalisasi pasar tradisional perlu terus dilakukan di Kota Bogor untuk dapat memberi ruang usaha yang layak bagi pedagang, sekaligus merubah citra pasar tardisional yang kumuh dan kotor. Pendekatan revitalisasi harus membawa perubahan pada kondisi pasar yang bersih dan nyaman, sehingga para pedagang mau masuk kedalam pasar dan pembeli merasa aman dan nyaman berbelanja. Revitalisasi yang saat ini dilakukan oleh PD Pasar Pakuan Jaya, perlu mempertimbangkan pula aspek keterjangkauan biaya sewa los/kios. Hal ini agar pedagang kecil memiliki kemampuan untuk mendapat los/kios di Pasar Tradiosional. 8. Program Pembangunan dan Pengembangan Sentra PKL Taman Topi Sebuah potensi besar dalam alokasi penataan PKL adalah lokasi Plaza Kapten Muslihat atau biasa dikenal dengan Taman Topi. Lahan seluas 1,8 hektar tersebut adalah milik Pemerintah Kota Bogor yang saat ini masih dikelola oleh PT. Exotica dengan masa pengelolaan 30 tahun. Masa konsesi tersebut akan habis pada tahun 2018. Peluang besar untuk membuat sebuah perencanaan kawasan yang terintegrasi antara kebutuhan ruang publik berupa taman dan plaza dan juga solusi penataan PKL di lokasi Jalan Dewi Sartika. Kurun waktu dari saat ini sampai dengan tahun 2018, adalah waktu penyusunan rencana penataan kawasan dan penguatan kelembagaan PKL yang ada di Jalan Dewi Sartika. Perencanaan kawasan tersebut perlu melibatkan beberapa dinas yang memiliki kepentingan kawasan dan tentunya PKL Jalan Dewi Sartika. Integrasi perencanaan kawasan ini harus sampai detail fungsi masing-masing ruang yang ada. Keberadaan Stasiun Bogor, Pasar Kebon Kembang, dan Masjid Agung menjadi elemen penting dalam perencanaan kawasan tersebut dan akan menjadikan kawasan terpadu yang tertata dengan baik. Alternatif pertama, perencanaan kawasan Taman Topi akan dijadikan Plaza dan ruang terbuka hijau. Sebagai pelengkap kawasan akan dibuat lokal untuk penataan PKL. Pada konsep ini penempatan PKL Jalan Dewi Sartika, akan dimasukkan dalam lokasi Taman Topi bagian utara yang akan terintegrasi dengan pintu masuk stasiun. Diketahui bahwa jumlah penumpang harian rata-rata di Stasiun Bogor sudah diatas 60 ribu orang. Ini sebuah peluang potensi yang dapat disinerginakan dengan keberadaan PKL. Alternatif kedua, perencanan kawasan Taman Topi akan dibuat 2 lantai, yaitu dengan membuat ruang bawah tanah (under ground). Lahan yang diatas akan difungsikan sebagai ruang terbuka hijau dan plaza ruang publik, sementara di lantai bawah akan difungsikan sebagai tempat penataan PKL Jalan Dewi Sartika dan Parkir. Konsep ini di Indoensia sudah dilaksanakan di Kota Makasar, yaitu di lokasi lapangan Karebosi. Diatas tetap difungsikan lapangan, sementara dibawah difungsikan sebagai kawasan perdagangan. Konsep ini perlu terus dimatangkan dan direncanakan secara terpadu dengan pendekatan pastisipatif, agar dapat berhasil dan menyelesaikan masalah penataan PKL di Kawasan Jalan Dewi Sartika.
73
Gambar 13 Kondisi Eksisting PKL Jalan Dewi Sartika
gambar 14 Rencana Penataan Alternatif 1
74
Tabel 24 Rancangan program penataan PKL N o 1
2
Kebijakan Review Kebijakan PKL
Program Program Legislasi Daerah, dengan Kegiatan a. Penyusunan Naskah Akademis b. Konsultasi Publik c. Sosialisasi Perda
Meningkatka Forum PKL n Kemitraan Pemerintah dan PKL Pendataan PKL Advokasi CSR
Festival PKL
3
Memfasilitas i Ruang Usaha dan Rasa Aman Berusaha
Penataan Zoning PKL (Permanen & Spasio Temporal)
Revitalisasi Tradisional 4
Mengoptimal kan Sarana Prasarana Kota
Pasar
Pembangunan dan Pengembangan Sentra PKL
Sumber : Rencana Program, 2014.
Tahun 2015
2016
2017
2018
2019
SKPD PJ
Dinas KUMKM Pemkot & DPRD Dinas KUMKM & Bag Hukum Tim Koordinasi PKL Dinas KUMKM Dinas KUMKM & Bag Perekonom ian Dinas KUMKM, Dinas Pariwisata Dinas KUMKM, Dinas Wasbangki m PD Pasar Pakuan Jaya Dinas KUMKM, BPKAD, DKP, dan DLLAJ
75
7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Beberapa simpulan dari hasil analisis penelitian antara lain : 1. Karakteristik PKL di Jalan Dewi Sartika Kota Bogor didominasi oleh laki-laki yang merupakan Kepala Rumah Tangga, dengan rata-rata telah berjualan di lokasi tersebut diatas 10 tahun. Tingkat pendidikan relatif rendah dan menjadi PKL akibat terkena dampak PHK saat krisis moneter. Memiliki waktu usaha rata-rata selama 10 jam, antara jam 7 sampai jam 18.00 WIB. Alasan berjualan di Jalan Dewi Sartika karena banyak pembeli yang melalui jalan tersebut dan tidak mampu membeli kios resmi. Masyarakat masih membutuhkan PKL, namun diperlukan penataan agar tidak mengganggu akses pejalan kaki dan tidak menimbulkan kesemrawutan kota. Penyediaan lokasi yang tertata bagi PKL merupakan harapan masyarakat agar Kota Bogor menjadi nyaman. 2. Faktor internal yang memiliki kekuatan utama adalah bahwa penataan PKL masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan telah terdapat Peraturan Daerah yang mengatur penataan PKL. Sedangkan faktor internal yang memiliki kelemahan utama adalah lemahnya penegakan peraturan dan koordinasi lintas OPD yang tidak maksimal. Untuk faktor eksternal, yang memiliki peluang terbesar adalah keterlibatan masyarakat, swasta, dan akademisi dalam penataan PKL. Sedangkan ancaman terbesar adalah menurunnya estetika kota dan peningkatan jumlah penganguran di Kota Bogor 3. Alternatif kebijakan yang menjadi arahan dalam penataan PKL di Kota Bogor, meliputi: a. Meninjau ulang Kebijakan tentang PKL b. Meningkatkan Kemitraan Pemerintah dengan PKL c. Mengoptimalkan Sarana Prasarana Kota d. Memfasilitasi Ruang Usaha dan Rasa Aman Berusaha 4. Pelaksanaan penataan PKL harus dijalankan secara konsisten sesuai dengan program-program yang telah dirumuskan dan direncanakan. Program tersebut meliputi : a. Program Legislasi Daerah b. Program Pembentukan Forum PKL c. Program Pendataan PKL d. Program Advokasi CSR e. Program Festival PKL f. Program Penataan Zonig PKL g. Program revitalisasi Pasar Tradisional h. Program Pembangunan dan Pengembangan Sentra PKL Saran 1. Pemerintah Kota Bogor harus melakukan review terhadap kebijakan penataan PKL, yaitu dengan mereview Perda 13 tahun 2005 tentang PKL. Hal ini dikarenakan substansi Perda sudah tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. 3
76
(tiga) kawasan prioritas, salah satunya Jalan Dewi Sartika yang harus ditata dengan target tahun 2007, hingga saat ini masih belum tertangani. Selain itu terdapat kebijakan Pemerintah pusat yang mendorong proses penataan dan pemberdayaan PKL melalui Perpres 125 tahun 2014 dan Permendagri nomor 41 tahun 2012. 2. Penguatan kelembagaan organisasi perangkat daerah yang menangani urusan PKL dari Kantor Koperasi dan UMKM menjadi Dinas Koperasi dan UMKM pada perubahan OPD 2015, perlu diiringi dengan konsep perencanaan yang terintegrasi antar beberapa aspek yang terkait dengan penataan dan pemberdayaan PKL. Hal ini agar program penataan PKL yang masuk dalam program prioritas pembangunan (RPJMD) 2014-2019 dapat berjalan secara efektif. 3. Perlu pembentukan forum PKL, agar aspirasi dan ide PKL dapat didengar dan menjadi bagian dari pengambil keputusan dalam penataan PKL. 4. Pemerintah perlu melibatkan PKL, masyarakat, dan akademisi dalam mempersiapkan konsep penataan kawasan Plaza Kapten Muslihat (Taman Topi dan Taman Ade Irma Suryani) yang akan diserahterimakan dari pihak swasta kepada Pemerintah Kota Bogor pada tahun 2018 dengan konsep integrasi penyediaan ruang publik dan ruang usaha untuk PKL di sekitar Jalan Dewi Sartika.
DAFTAR PUSTAKA Agustinus.2010. Strategi Penanganan Pedagang Kaki Lima Di Kota Administrasi Jakarta Utara. Tesis, Universitas Indonesia. Depok. Bappeda Kota Bogor. 2014. Rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Bogor 2015-2019. Bappenas. 2009. Kajian Evaluasi Pembangunan Sektoral : Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan. Deputi Evaluasi Kinerja Pembangunan. Jakarta. BPS Kota Bogor. 2014. Bogor Dalam Angka 2013. Kerjasama Bappeda Kota Bogor dengan BPS Kota Bogor. David, R.2004. Manajemen Strategis Konsep. PT. INDEKS, Jakarta Dimas, Harlan. 2008. Street Vendors : “Urban Problem and Economic Potential”. Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran. Bandung. Dunn, N William. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua. Cetakan Kelima. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Falatehan. 2011. Teknik Pengambilan Keputusan Menggunakan Analityc Hierarcy Process (AHP). IPB. Bogor. Firdaus M, Harmini, Farid. 2011. Aplikasi Metode Kuantitatif Untuk Manajemen dan Bisnis. PT. Penerbit IPB Press. Kota Bogor.
77
Gibson, Bill dan Bruce Kelley. 1994. A clasical theory of The Informal Sector. Journal The Manchaster School Vol LXII no 1, Hal 81 – 96. Cambridge. USA. Hidayati, Tuti. 2007. Pekerja Sektor Informal Dan Pengembangan Wilayah Di Kota Binjai. WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.3, No.1, Agustus 2007 halaman 19-28. Iswanto, Danoe. 2007. Tinjauan Keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL), Aspek Pedestrian Area Dan Parkir Di Kawasan Solo Grand Mall (SGM). Jurnal Ilmiah Perancangan Kota dan Permukiman ENCLOSURE Volume 6 No. 2. Juni 2007. Joaquim, Marselino. 2009. Strategi Penguatan Kapasitas Paguyuban Pedagang Jasa Tradisional Dago (PPJTD) Dalam Memperjuangkan Lokasi Pedagang Kaki Lima (Studi Kasus Di Kelurahan Citarum Kecamatan Bandung Wetan Kota Bandung Propinsi Jawa Barat). Program Studi Pengembangan Masyarakat. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Tesis. Bogor. Kantor Koperasi dan UKM Kota Bogor. 2013. Masterplan Penataan PKL Kota Bogor. Laporan Akhir. Bogor Loayza, Norman. 1997. Policy Research Working Paper 1727 : The Economics of The Informal Sector. Macroeconomics and Growth Division, World Bank. Washington DC. Mubarok, Ahmad. 2012. Karakteristik Dan Permasalahan Pedagang Kaki Lima (PKL) Serta Strategi Penataan Dan Pemberdayaannya Dalam Kaitan Dengan Pembangunan Ekonomi Wilayah Kota Bogor. Disertasi IPB. Bogor. Mulyana, Mumuh. 2012. Faktor-Faktor Yang Membentuk Intensi Berwirausaha Serta Pengaruhnya Terhadap Perilaku Dan Kinerja Pedagang Kaki Lima Di Kota Bogor. Sekolah Pasca sarjana IPB. Tesis. Bogor. Nugroho, Radika Pinto. 2003. Studi Kesesuaian Ruang Aktivitas Pedagang Kaki Lima di Kawasan Kampung Kali Semarang (Karakteristik PKL, Kebijakan Pemerintah, dan Dukungan Masyarakat. Tugas Akhir. Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro. Semarang. Pemerintah Kota Bogor. 2013. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) Walikota Bogor Tahun 2013. Bogor.
78
Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor nomor 13 tahun 2005 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2012 tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Rakhmawati. 2007. Penataan Pedagang Kaki Lima (Studi Kasus Pengawasan dan Pengendalian Pedagang Kaki Lima Pasca Penataan di Jl. M.A Salmun – Jl. Dewi Sartika dan Jl. Nyi Raja Permas Kota Bogor). Pasca Sarjana Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, Konsentrasi Pembangunan Sosial, FISIP Unversitas Indonesia. Depok. Rachbini, Didik. 2011. Evaluasi Ekonomi Tengah Tahun 2011: Beberapa Catatan Penting. Jurnal Politika Vol 7 No.2 hal 32-39. Ramli MS, Rusli.1992. Sektor Informal Perkotaan Pedagang Kaki Lima, Ind-Hil.co,. Jakarta. Rangkuti, F. 2004. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Ruhiyana, Dadang. 2010. Strategi Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Bogor. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Tesis. Bogor. Rustiandi, Ernan dkk. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Edisi kedua. Yayasan Pustaka Obor dan Crestpent Press IPB. Jakarta. Setia M, Resmi. 2008. Ekonomi Informal Perkotaan : Sebuah Kasus Tentang Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung. Akatiga. Bandung. Siahaan, Febe Riyanti. 2000. Penataan Ruang Publik Untuk Menampung Pedagang Kaki Lima (Studi Kasus: Daerah Komersil Blok M, Jakarta Selatan). Tesis. SAPPK ITB. Bandung. Soekartawi. 1990. Prinsip Dasar Perencanaan Pembangunan Dengan Pokok Bahasan Khusus Perencanaan Pembangunan Daerah. Rajawali Press. Jakarta. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuntitatif dan Kualitatif. CV. Alfabeta. Bandung Suradi. 2011. Jurnal Informasi. Peranan Sektor Informal dalam Penanggulangan Kemiskinan. Vol 16 no 3 halaman 221 - 234. Puslitbang Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial. Jakarta. Susilo, Agus. 2011. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pedagang Kaki Lima (PKL) Menempati Bahu Jalan di Kota Bogor (Studi Kasus Pedagang Sembako di Jalan Dewi Sartika Utara). Tesis. Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik. Universitas Indonesia. Depok.
79
Sutrisno, Budi dkk. 2007. Pola Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) Di Kota Surakarta Berdasar Paduan Kepentingan PKL, Warga Masyarakat, dan Pemerintah Kota. Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 8, No. 2, 2007: 166-175. Surakarta. Syiddatul Akliyah, Leli. 2008. Kajian Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Tasikmalaya secara Partisipatif. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor. Winarso, Haryo. 2008. Sektor Informal yang Teroganisasi : Menata Kota untuk Sektor Informal. Buletin Tata Ruang Edisi November-Desember 2008 Kategori Wacana. Kementerian PU. Jakarta. Wahyuni, Daru. 2005. Jurnal Economia, Kajian ilmiah ekonomi dan bisnis, volume 1 nomor 1. Program Studi Pendidikan Ekonomi Koperasi, Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta. Yeti, Sarjono. 2005. Pergulatan Pedagang Kaki Lima di Perkotaan (pendekatan kualitatif), MUP-UNS. Solo.
80
LAMPIRAN Lampiran 1 Kuisioner untuk PKL KUISIONER DATA UMUM PKL DI KOTA BOGOR A. IDENTIFIKASI RESPONDEN A.1. Nama Responden : ……………………………………………… A.2. Alamat : ……………………………………………… A.3. Jenis Kelamin : 1 Laki-laki 2 Perempuan A.4. Umur Bapak/Ibu : ………….Tahun A.5. Status Perkawinan 1 Belum menikah 2 Sudah menikah A.6. Pendidikan terakhir Bapak/Ibu : 1 SD atau sederajat 2 SMP atau sederajat 3 SMA atau sederajat 5 Sarjana 6 Pascasarjana 4 Akademi atau sederajat A.7. Tempat asal : 1 Kota Bogor 2 Luar Kota Bogor A.8. Suku Bangsa : 1 Jawa 2 Sunda 3 Batak 4 Padang 5 Lainnya : ……. A.9. Status dalam Keluarga 1 Kepala Keluarga 2 Anggota keluarga A.10. Apa usaha/pekerjaan anda sebelum menjadi PKL ? 1 Tidak Punya usaha 2 Karyawan swasta 3 Pedagang kios pasar 4 Usaha dirumah 5 Lainnya, sebutkan ............... A.11 Apakah penyebab atau dorongan ( motivasi) terhadap anda untuk menjadi PKL? 1 Karena menganggur 2 Karena PHK 3 Karena Usaha yang lebih menguntungkan 4 merintis usaha lebih besar 5 Modal usaha ringan atau kecil 5 Lainnya, sebutkan ............... A.12 Berapa lama sudah menjadi PKL ?........................tahun B. KARAKTERISTIK USAHA B.1. Sudah berapa lama anda berdagang ditempati ini ? ...............tahun B.2. Apakah sebelum ditempat ini anda sudah berusaha/ berjualan ditempat lain? 1 Ya 2 Tidak B.3. Apakah alasan Anda untuk memilih lokasi ini sebagai tempat berdagang ? 1 Ramai / sering dikunjungi pembeli 2 Pendapatan memuaskan 3 Biaya transportasi murah/dekat rumah 4 Berkumpul dengan usaha sejenis 5 Tidak mampu beli kios 6 Kios resmi Penuh 7 Lainnya, sebutkan : ………………. B.4. Apa jenis barang dagangan anda ? 1 Sayur- mayur 2 Sepatu/Sandal 3 Pakaian 4 Makanan/ Minuman jadi 5 Acessories 6 Lain-lain : ...............................
81
B.5. Jenis sarana usaha yang anda gunakan : 1 Warung Tenda 2 Gerobak/kereta dorong 3 Pikulan/keranjang 4 Gelaran/hamparan 5 Kios 7 Lainnya, sebutkan : ………………………… B.6. Waktu berjualan mulai pukul : ..................... s.d. pukul ...................... B.7. Tempat usaha : 1 Trotoar 2 Lahan Parkir 3 Badan Jalan 4 Lainnya, sebutkan : ……………… B.8. Berapa luas tempat yang Anda gunakan untuk berdagang? 2
……………..……m B.9. Berapa Modal yang digunakan untuk usaha PKL sekarang? 1. Lebih kecil dari 500ribu rupiah 2. 500 ribu – 1 juta 3. 1 juta-2 juta 4. diatas 2 juta B.10 dari mana modal usaha anda? 2. Pinjaman Orang Lain 3. Pinjaman Koperasi 1. modal sendiri 4. Pinjaman Paguyuban PKL 5. Lainnya.................... C. KELEMBAGAAN PKL C.1 Apa anda bergabung dalam Paguyuban PKL di lokasi saat ini? 1. Ya 2. Tidak C.2 Jika Ya, apa manfaat bergabung dengan Paguyuban PKL di lokasi saat ini ? 1. saling membantu 2. Keamanan berdagang 3. Lainnya.....................................
---------------------------------------------terima kasih-----------------------------------------
Lampiran 2 Kuisioner Masyarakat KUISIONER PREFERENSI MASYARAKAT TERHADAP PKL Nama Responden : .............................. Tempat Tinggal : .............................. A,1. Seberapa sering bapak/ibu berbelanja di PKL dalam sebulan ? ..................kali A.2. Apa alasan Bapak/Ibu memilih berbelanja di lokasi PKL : 2 Mudah dijangkau lokasinya 3 Suasana lebih 1 Harganya lebih murah santai 4 Produk/jasa beragam 6. Lokasinya dekat pasar/Stasiun 7 Harga dapat ditawar 8 Lainnya, sebutkan : ………. A.3. Menurut Bapak/ibu, apa manfaat aktivitas PKL di sekitar anda :
82
1 Tidak Ada 2 Lokasi menjadi lebih ramai 3 Mudah kebutuhan 4 Meningkatkan perekonomian masyarakat kecil pengangguran 6 Lainnya, sebutkan : ………………………
mendapatkan 5 Mengurangi
A.4. Keberadaan PKL sering dianggap mengganggu kepentingan umum. Permasalahan apa yang bapak/ibu rasakan dengan adanya aktivitas PKL ? 1 Tidak Ada 2 Mengganggu aktivitas pejalan kaki 3 Parkir menjadi sulit 4 Lingkungan menjadi kotor dan kurang rapi 5 Jalanan menjadi sesak 6 Merasa kurang aman dan macet 7 Lainnya, sebutkan : ……………………………… A.5 Menurut bapak/ibu, apakah perlu dilakukan pengaturan khusus untuk aktivitas PKL ?. 2 Tidak 1 Ya
A.6. Jika “Ya”, hal-hal apa saja yang menurut bapak/ibu perlu diatur untuk aktivitas PKL ? . 1 Pengelompokan Usaha 2 Sarana dan Prasarana Usaha 3 Waktu usaha 4 Relokasi usaha 5 Registrasi usaha 6 Lainnya, sebutkan : ……………………… B.7. Menurut bapak/ibu, apakah pemda perlu melakukan tindakan penataan pada lokasi PKL Jl. Dewi Sartika (sekitar Taman Topi) yang peruntukannya memang bukan untuk aktivitas PKL ? 1 Ya 2 Tidak B.8. Jika “Ya” bagaimana mekanisme yang seharusnya ? 2 Dengan sosialiasi tapi 1 Tanpa sosialisasi dan tanpa kompensasi tanpa kompensasi 3 Dengan sosialiasi, dengan kompensasi, tanpa relokasi 4 Dengan sosialisasi, dengan kompensasi dan relokasi 5 Lainnya : …………………….
Lampiran 3 KUISIONER 3 PENENTUAN BOBOT DAN RATING FAKTOR STRATEGIS INTERNAL DAN EKSTERNAL YANG MEMPENGARUHI PENATAAN PKL DI KOTA BOGOR Nama Responden Pekerjaan/Jabatan Responden Petunjuk Umum :
: :
83
1. Pengisian kuisioner dilakukan secara tertulis oleh responden pada tabel yang telah disediakan 2. Jawaban merupakan pendapat pribadi 3. Dalam pengisian kuisioner, responden diharapkan melakukannya secara sekaligus atau tidak menunda untuk menghindari inkonsistensi jawaban 4. Untuk factor kekuatan dan kelemahan, responden mengisi dengan memberi tanda √ (cek) pada kolom yang telah disediakan dengan keterangan sebagai berikut : Nilai 1 Nilai 2 Nilai 3 Nilai 4
= = = =
Tidak penting Kurang penting Penting Sangat penting
Pertanyaan : 1.
Menurut Bapak/Ibu bagaimana peringkat faktor strategis internal dalam Penataan PKL di Kota Bogor, khususnya Panataan PKL di Jalan Dewi Sartika :
No
Faktor Strategis Internal Kekuatan :
1. 2. 3. 4. 5.
7. 8. 9. 10.
1 (tidak penting)
2 3 4 (kurang (penting) (sangat penting) penting)
1 (tidak penting)
2 3 4 (kurang (penting) (sangat penting) penting)
Penataan PKL menjadi Prioritas Pembangunan Kota (RPJMD) Terdapat Peraturan Daerah tentang PKL Alokasi Anggaran Untuk Penataan PKL Terdapat Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Menangani PKL Memiliki Lokasi Pasar dan Aset Lahan di tengah Kota Kelemahan :
6.
Peringkat
Lemahnya Penegakan Hukum Koordinatasi lintas OPD masih belum maksimal Efektivitas Penggunaan Anggaran Data Dasar PKL dan Perencanaan Penataan PKL Kurangnya kerjasama dengan swasta, akademisi dan masyarakat
84
2. menurut Bapak/Ibu bagaimana peringkat faktor strategis eksternal dalam penataan PKL di Kota Bogor, khususnya di Jalan Dewi Sartika : No
Faktor Strategis Eksternal Peluang :
1. 2.
3.
4. 5.
Peringkat 1 (tidak penting)
2 (kurang penting)
3 (penting)
4 (sangat penting)
1 (tidak penting)
2 (kurang penting)
3 (penting)
4 (sangat penting)
Kebijakan Pusat yang mendorong penataan dan pemberdayaan PKL Perkembangan Wisata Kota Bogor Masih terdapat potensi lokasi milik swasta untuk di beli sebagai alternatif relokasi bagi PKL di dalam Kota Bogor Kondisi keamanan yang terjamin Keterlibatan Swasta, Akademisi, dan Masyarakat Ancaman :
Meningkatnya Pertumbuhan Angka Pengangguran Menurunnya Estetika Tata 7. Ruang Kota (Kekumuhan) Menambah titik Kemacetan 8. Lalu Lintas Munculnya oknum/premanisme 9. dalam Sistem PKL Hilangnya Potensi Pendapatan 10. Daerah 6.
Lampiran 4 Kuisioner 4 Kuesioner Analytical Hierarchy Process (AHP) (Diisi oleh pejabat Asisten Tata Praja Kota Bogor, Anggota DPRD, Bappeda Kota Bogor, Kantor UMKM, Satpol PP, dan Koordinator PKL Dewi Sartika) Identitas Responden 1. Nama : 2. Jabatan : 3. Alamat Kantor :
................................................................................... ................................................................................... ...................................................................................
85
4.
No.Telp
:
...................................................................................
5. 6.
Jenis Kelamin : A. Laki-laki Latar belakang Pendidikan : [ ] SMU/SMK [ ] Sarjana
B. Perempuan [ ] D3/D4 [ ] Pasca Sarjana (S2/S3)
Pengantar Sejak periode tahun 2004 hingga tahun 2014, bahkan dilanjutkan pada periode 2014-2019, Pemerintah Kota Bogor telah menjadikan penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) menjadi prioritas pembangunan Kota. Dalam rentang kurun waktu tersebut, sumber daya dan sumber dana telah disalurkan untuk proses pemberdayaan dan penataan PKL, dengan harapan akan menumbuhkan perekonomian kota dan menjaga estetika ruang kota. Kebijakan pemerintah tersebut didukung oleh penetapan Peraturan Daerah nomor 13 tahun 2005 tentang penataan Pedagang Kaki Lima, yang didalamnya terdapat penetapan daerah prioritas penanganan PKL seperti di Jalan MA Salmun, Nyi Raja Permas, dan Jalan Dewi Sartika. Berbagai upaya telah dilakukan untuk proses penataan, namun masih belum menunjukkan hasil yang maksimal. Keberadaan PKL diarahkan untuk dapat ditata dan dibina, agar dapat memaksimalkan potensi ekonomi dan sisi lain meminimalkan dampak negatif keberadaannya seperti kesemrawutan kota, kemacetan, ketertiban, dan okupasi ruang publik (jalan, trotoar, dan RTH). Saat ini, dari 3 lokasi prioritas telah terlihat progress penataan pada ruas Jalan MA Salmun dan Nyi Raja Permas, namun masih menyisakan pekerjaan rumah pada ruas Jalan Dewi Sartika. Begitu strategisnya lokasi ini karena berada di sekitar kawasan strategis ekonomi yang terhubung antara Pasar Kebon Kembang, Plaza Taman Topi, dan Stasiun Kereta Api. Sejarah panjang keberadaan PKL di lokasi tersebut memerlukan penerapan pengelolaan yang baik untuk penataannya. Petunjuk Pengisian: 1. Dibawah ini tersedia beberapa pilihan untuk diberikan tanda silang (X) pada jawaban yang paling sesuai berdasarkan peringkat pembobotan yang ditentukan oleh responden. 2. Pilihan berupa pasangan yang saling dibandingkan pada tingkat yang sama (sesuai gambar pohon AHP) 3. Sistem pembobotan dengan cara merangking terhadap pasangan pilihan yang dibandingkan 4. Pilihan nilai rangking untuk isian berdasarkan intensitas kepentingan sebagai berikut:
86
Intensitas Definisi Kepentingan Equal Importance 1 Nilai kompromi 2 3 4 5 6 7 8 9
Penjelasan
Kedua elemen sama pentingnya Nilai kedua elemen di antara 1 dan 3 Elemen yang satu sedikit lebih penting Moderate Importance daripada elemen yang lain Nilai kompromi Nilai kedua elemen di antara 3 dan 5 Elemen yang satu sangat penting Strong Importance daripada elemen yang lain Nilai kompromi Nilai kedua elemen di antara 5 dan 7 Very Strong Importance Satu elemen jelas (significant) lebih penting daripada elemen lain Nilai kompromi Nilai kedua elemen di antara 7 dan 9 Extreme Importance Satu elemen mutlak lebih penting daripada elemen lain
Contoh pengisian: a. Struktur dan manajemen organisasi lebih penting daripada sistem operasional manajemen Lebih Penting Struktur dan manajemen organisasi
b.
Lebih Penting
Sistem 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 operasional manajemen
atau sebaliknya (nilai inverse) Struktur dan manajemen organisasi kurang penting daripada Sistem operasional manajemen Lebih Penting
Struktur dan manajemen organisasi
Lebih Penting
Sistem 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 operasional manajemen
87
Struktur Hirarki Strategi Pemberdayaan PKL di Kota Bogor
Strategi Penataan PKL di Kota Bogor
Fokus
Faktor
Aktor
Tujuan
Alternatif Strategi
1.
Kebijakan Pemerintah
Sosial Ekonomi
Pemerintah
PKL
Peningkatan Penegakan Peraturan
Review Kebijakan tentang PKL
Estetika Kota
Masyarakat
Peningkatan Kesempatan Berusaha & Kesejahteraan
Meningkatkan Kemitraan Pemerintah dengan PKL
Ketertiban Umum
Pengendalian Tata Ruang Kota
Memfasilitasi Ruang Usaha dan Rasa Aman Berusaha
Mengoptimalkan Sarana Prasarana Kota
Perbandingan antara elemen Faktor terhadap Fokus Strategi Penataan PKL di Kota Bogor
Fokus
Faktor
Kebijakan Pemerintah
Sosial Ekonomi
Estetika Kota
Ketertiban Umum
Tujuan utama dalam pengisian proses hirarki ini adalah menentukan bobot prioritas antar-Faktor (F) yang berpengaruh terhadap fokus Strategi Penataan PKL di Kota Bogor. Faktor yang berkepentingan/berpengaruh terhadap pencapaian strategi tersebut terdiri dari:
88
1. 2. 3. 4.
Kebijakan Pemerintah (F1). Sosial Ekonomi (F2). Estetika Kota (F3). Ketertiban Umum (F4).
Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan/pengaruh relatif antara satu faktor dengan faktor lainnya (besarnya pengaruh faktor) terhadap fokus, yaitu Strategi Penataan PKL. Lebih Penting F1 9 F1 9 F1 9 F2 9 F2 9 F3 9 F4 9 Keterangan:
8 8 8 8 8 8 8
7 7 7 7 7 7 7
Lebih Penting 6 6 6 6 6 6 6
5 5 5 5 5 5 5
4 4 4 4 4 4 4
3 3 3 3 3 3 3
2 2 2 2 2 2 2
1 1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2 2 2
3 3 3 3 3 3 3
4 4 4 4 4 4 4
5 5 5 5 5 5 5
6 6 6 6 6 6 6
7 7 7 7 7 7 7
8 8 8 8 8 8 8
9 9 9 9 9 9 9
F2 F3 F4 F3 F4 F4 F5
Nilai 1 = sama penting; 3 = sedikit lebih penting; 5 = jelas lebih penting; 7 = sangat jelas lebih penting; 9 = mutlak lebih penting; nilai 2, 4, 6, 8 adalah nilainilai di antaranya. 2.
Perbandingan Aktor terhadap Faktor Tujuan utama dalam pengisian proses hirarki ini adalah menentukan bobot prioritas antar-Aktor (A) yang berpengaruh terhadap Faktor. Aktor yang berkepentingan/berpengaruh terhadap Faktor, yaitu: a. Pemerintah (A1). b. Pedagang Kaki Lima (A2). c. Masyarakat (A3). d. a. Perbandingan antar aktor terhadap faktor Kebijakan pemerintah
Faktor
Aktor
Kebijakan Pemerintah
Pemerintah
Sosial Ekonomi
Estetika Kota
PKL
Ketertiban Umum
Masyarakat
Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan/pengaruh relatif antara satu aktor dengan aktor lainnya (besarnya pengaruh aktor) terhadap faktor Kebijakan Pemerintah.
89
Lebih Penting
Lebih Penting
A1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A2 A1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A3 A2 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A3 Keterangan: Nilai 1 = sama penting; 3 = sedikit lebih penting; 5 = jelas lebih penting; 7 = sangat jelas lebih penting; 9 = mutlak lebih penting; nilai 2, 4, 6, 8 adalah nilai-nilai di antaranya.
b. Perbandingan antara aktor terhadap faktor sosial ekonomi Faktor
Aktor
Kebijakan Pemerintah
Pemerintah
Sosial Ekonomi
Estetika Kota
PKL
Ketertiban Umum
Masyarakat
Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan/pengaruh relatif antara satu aktor dengan aktor lainnya (besarnya pengaruh aktor) terhadap faktor Sosial Ekonomi. Lebih Penting
Lebih Penting
A1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A2 A1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A3 A2 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A3 Keterangan: Nilai 1 = sama penting; 3 = sedikit lebih penting; 5 = jelas lebih penting; 7 = sangat jelas lebih penting; 9 = mutlak lebih penting; nilai 2, 4, 6, 8 adalah nilai-nilai di antaranya.
c. Perbandingan antara aktor terhadap faktor Estetika Kota Faktor
Aktor
Kebijakan Pemerintah
Pemerintah
Sosial Ekonomi
Estetika Kota
PKL
Ketertiban Umum
Masyarakat
Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan/pengaruh relatif antara satu aktor dengan aktor lainnya (besarnya pengaruh aktor) terhadap faktor Estetika Kota.
90
Lebih Penting
Lebih Penting
A1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A2 A1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A3 A2 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A3 Keterangan: Nilai 1 = sama penting; 3 = sedikit lebih penting; 5 = jelas lebih penting; 7 = sangat jelas lebih penting; 9 = mutlak lebih penting; nilai 2, 4, 6, 8 adalah nilai-nilai di antaranya.
d. Perbandingan antar aktor terhadap faktor ketertiban umum Faktor
Aktor
Kebijakan Pemerintah
Pemerintah
Sosial Ekonomi
Estetika Kota
PKL
Ketertiban Umum
Masyarakat
Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan/pengaruh relatif antara satu aktor dengan aktor lainnya (besarnya pengaruh aktor) terhadap faktor Ketertiban Umum. Lebih Penting
Lebih Penting
A1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A2 A1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A3 A2 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A3 Keterangan: Nilai 1 = sama penting; 3 = sedikit lebih penting; 5 = jelas lebih penting; 7 = sangat jelas lebih penting; 9 = mutlak lebih penting; nilai 2, 4, 6, 8 adalah nilai-nilai di antaranya.
3. Perbandingan Tujuan terhadap Aktor dalam Faktor Kebijakan Pemerintah Tujuan utama dalam pengisian proses hirarki ini adalah menentukan bobot prioritas antar-Tujuan (T) yang berpengaruh terhadap faktor.Elemen tujuan terdiri dari: a. Peningkatan Penegakan Peraturan (T1). b. Peningkatan Kesempatan Berusaha dan Kesejahteraan (T2). c. Pengendalian Tata Ruang Kota (T3).
91
a. Perbandingan antar tujuan terhadap aktor Pemerintah
Aktor
Tujuan
Pemerintah
Peningkatan Penegakan Peraturan
PKL
Masyarakat
Peningkatan Kesempatan Berusaha & Kesejahteraan
Pengendalian Tata Ruang Kota
Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan/pengaruh relatif antara satu tujuan dengan tujuan lainnya (besarnya pengaruh tujuan) terhadap aktor Pemerintah. Lebih Penting
Lebih Penting
T1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 T2 T1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 T3 T2 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 T3 Keterangan: Nilai 1 = sama penting; 3 = sedikit lebih penting; 5 = jelas lebih penting; 7 = sangat jelas lebih penting; 9 = mutlak lebih penting; nilai 2, 4, 6, 8 adalah nilai-nilai di antaranya.
b. Perbandingan antar tujuan terhadap aktor PKL
Aktor
Tujuan
Pemerintah
Peningkatan Penegakan Peraturan
PKL
Masyarakat
Peningkatan Kesempatan Berusaha & Kesejahteraan
Pengendalian Tata Ruang Kota
Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan/pengaruh relatif antara satu tujuan dengan tujuan lainnya (besarnya pengaruh tujuan) terhadap aktor PKL. Lebih Penting
Lebih Penting
T1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 T2 T1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 T3 T2 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 T3 Keterangan: Nilai 1 = sama penting; 3 = sedikit lebih penting; 5 = jelas lebih penting; 7 = sangat jelas lebih penting; 9 = mutlak lebih penting; nilai 2, 4, 6, 8 adalah nilai-nilai di antaranya.
92
c. Perbandingan antar tujuan terhadap aktor Masyarakat
Aktor
Tujuan
Pemerintah
Peningkatan Penegakan Peraturan
PKL
Masyarakat
Peningkatan Kesempatan Berusaha & Kesejahteraan
Pengendalian Tata Ruang Kota
Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan/pengaruh relatif antara satu tujuan dengan tujuan lainnya (besarnya pengaruh tujuan) terhadap aktor Masyarakat. Lebih Penting
Lebih Penting
T1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 T2 T1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 T3 T2 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 T3 Keterangan: Nilai 1 = sama penting; 3 = sedikit lebih penting; 5 = jelas lebih penting; 7 = sangat jelas lebih penting; 9 = mutlak lebih penting; nilai 2, 4, 6, 8 adalah nilai-nilai di antaranya.
4. Perbandingan Tujuan terhadap Aktor dalam Faktor Sosial Ekonomi Tujuan utama dalam pengisian proses hirarki ini adalah menentukan bobot prioritas antar-Tujuan (T) yang berpengaruh terhadap faktor.Elemen tujuan terdiri dari: a. Peningkatan Penegakan Peraturan (T1). b. Peningkatan Kesempatan Berusaha dan Kesejahteraan (T2). c. Pengendalian Tata Ruang Kota (T3). a. Perbandingan antar tujuan terhadap aktor Pemerintah
Aktor
Tujuan
Pemerintah
Peningkatan Penegakan Peraturan
PKL
Peningkatan Kesempatan Berusaha & Kesejahteraan
Masyarakat
Pengendalian Tata Ruang Kota
Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan/pengaruh relatif antara satu tujuan dengan tujuan lainnya (besarnya pengaruh tujuan) terhadap aktor Pemerintah.
93
Lebih Penting
Lebih Penting
T1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 T2 T1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 T3 T2 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 T3 Keterangan: Nilai 1 = sama penting; 3 = sedikit lebih penting; 5 = jelas lebih penting; 7 = sangat jelas lebih penting; 9 = mutlak lebih penting; nilai 2, 4, 6, 8 adalah nilai-nilai di antaranya.
b. Perbandingan antar tujuan terhadap aktor PKL
Aktor
Tujuan
Pemerintah
Peningkatan Penegakan Peraturan
PKL
Masyarakat
Peningkatan Kesempatan Berusaha & Kesejahteraan
Pengendalian Tata Ruang Kota
Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan/pengaruh relatif antara satu tujuan dengan tujuan lainnya (besarnya pengaruh tujuan) terhadap aktor PKL. Lebih Penting
Lebih Penting
T1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 T2 T1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 T3 T2 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 T3 Keterangan: Nilai 1 = sama penting; 3 = sedikit lebih penting; 5 = jelas lebih penting; 7 = sangat jelas lebih penting; 9 = mutlak lebih penting; nilai 2, 4, 6, 8 adalah nilai-nilai di antaranya.
c. Perbandingan antar tujuan terhadap aktor Masyarakat
Aktor
Tujuan
Pemerintah
Peningkatan Penegakan Peraturan
PKL
Peningkatan Kesempatan Berusaha & Kesejahteraan
Masyarakat
Pengendalian Tata Ruang Kota
Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan/pengaruh relatif antara satu tujuan dengan tujuan lainnya (besarnya pengaruh tujuan) terhadap aktor Masyarakat.
94
5. Perbandingan Tujuan terhadap Aktor dalam Faktor Estetika Kota Tujuan utama dalam pengisian proses hirarki ini adalah menentukan bobot prioritas antar-Tujuan (T) yang berpengaruh terhadap faktor.Elemen tujuan terdiri dari: d. Peningkatan Penegakan Peraturan (T1). e. Peningkatan Kesempatan Berusaha dan Kesejahteraan (T2). f. Pengendalian Tata Ruang Kota (T3). a. Perbandingan antar tujuan terhadap aktor Pemerintah
Aktor
Tujuan
Pemerintah
Peningkatan Penegakan Peraturan
PKL
Masyarakat
Peningkatan Kesempatan Berusaha & Kesejahteraan
Pengendalian Tata Ruang Kota
Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan/pengaruh relatif antara satu tujuan dengan tujuan lainnya (besarnya pengaruh tujuan) terhadap aktor Pemerintah.
Lebih Penting
Lebih Penting
T1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 T2 T1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 T3 T2 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 T3 Keterangan: Nilai 1 = sama penting; 3 = sedikit lebih penting; 5 = jelas lebih penting; 7 = sangat jelas lebih penting; 9 = mutlak lebih penting; nilai 2, 4, 6, 8 adalah nilai-nilai di antaranya.
b. Perbandingan antar tujuan terhadap aktor PKL
Aktor
Tujuan
Pemerintah
Peningkatan Penegakan Peraturan
PKL
Peningkatan Kesempatan Berusaha & Kesejahteraan
Masyarakat
Pengendalian Tata Ruang Kota
Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan/pengaruh relatif antara satu tujuan dengan tujuan lainnya (besarnya pengaruh tujuan) terhadap aktor PKL.
95
Lebih Penting
Lebih Penting
T1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 T2 T1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 T3 T2 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 T3 Keterangan: Nilai 1 = sama penting; 3 = sedikit lebih penting; 5 = jelas lebih penting; 7 = sangat jelas lebih penting; 9 = mutlak lebih penting; nilai 2, 4, 6, 8 adalah nilai-nilai di antaranya.
c. Perbandingan antar tujuan terhadap aktor Masyarakat
Aktor
Tujuan
Pemerintah
Peningkatan Penegakan Peraturan
PKL
Peningkatan Kesempatan Berusaha & Kesejahteraan
Masyarakat
Pengendalian Tata Ruang Kota
Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan/pengaruh relatif antara satu tujuan dengan tujuan lainnya (besarnya pengaruh tujuan) terhadap aktor Masyarakat. 6. Perbandingan Tujuan terhadap Aktor dalam Faktor Ketertiban Umum Tujuan utama dalam pengisian proses hirarki ini adalah menentukan bobot prioritas antar-Tujuan (T) yang berpengaruh terhadap faktor.Elemen tujuan terdiri dari: g. Peningkatan Penegakan Peraturan (T1). h. Peningkatan Kesempatan Berusaha dan Kesejahteraan (T2). i. Pengendalian Tata Ruang Kota (T3). a. Perbandingan antar tujuan terhadap aktor Pemerintah
Aktor
Tujuan
Pemerintah
Peningkatan Penegakan Peraturan
PKL
Peningkatan Kesempatan Berusaha & Kesejahteraan
Masyarakat
Pengendalian Tata Ruang Kota
Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan/pengaruh relatif antara satu tujuan dengan tujuan lainnya (besarnya pengaruh tujuan) terhadap aktor Pemerintah.
96
Lebih Penting
Lebih Penting
T1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 T2 T1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 T3 T2 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 T3 Keterangan: Nilai 1 = sama penting; 3 = sedikit lebih penting; 5 = jelas lebih penting; 7 = sangat jelas lebih penting; 9 = mutlak lebih penting; nilai 2, 4, 6, 8 adalah nilai-nilai di antaranya.
b. Perbandingan antar tujuan terhadap aktor PKL Pemerintah
Aktor
PKL
Peningkatan Penegakan Peraturan
Tujuan
Masyarakat
Peningkatan Kesempatan Berusaha & Kesejahteraan
Pengendalian Tata Ruang Kota
Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan/pengaruh relatif antara satu tujuan dengan tujuan lainnya (besarnya pengaruh tujuan) terhadap aktor PKL. Lebih Penting T1 T1 T2
9 9 9
8 8 8
Lebih Penting 7 7 7
6 6 6
5 5 5
4 4 4
3 3 3
2 2 2
1 1 1
2 2 2
3 3 3
4 4 4
5 5 5
6 6 6
7 7 7
8 8 8
9 9 9
T2 T3 T3
Keterangan: Nilai 1 = sama penting; 3 = sedikit lebih penting; 5 = jelas lebih penting; 7 = sangat jelas lebih penting; 9 = mutlak lebih penting; nilai 2, 4, 6, 8 adalah nilai-nilai di antaranya.
c. Perbandingan antar tujuan terhadap aktor Masyarakat
Aktor
Tujuan
Pemerintah
Peningkatan Penegakan Peraturan
PKL
Peningkatan Kesempatan Berusaha & Kesejahteraan
Masyarakat
Pengendalian Tata Ruang Kota
97
Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan/pengaruh relatif antara satu tujuan dengan tujuan lainnya (besarnya pengaruh tujuan) terhadap aktor Masyarakat. 7. Perbandingan Strategi Alternatif terhadap Tujuan Tujuan utama dalam pengisian proses hirarki ini adalah menentukan bobot prioritas antar-strategi alternatif (T) yang berpengaruh terhadap Tujuan. Elemen Strategi Alternatif terdiri dari: a. Review Kebijakan tentang PKL (SA1). b. Meningkatkan Kemitraan Pemerintah dengan PKL (SA2). c. Memfasilitasi Ruang Usaha dan Rasa Aman Berusaha (SA3). d. Mengoptimalkan Sarana Prasarana Kota (SA4). a. Perbandingan antar-Strategi Alternatif terhadap tujuan Peningkatan Penegakan Peraturan. Tujuan
Alternatif Strategi
Peningkatan Penegakan Peraturan
Review Kebijakan tentang PKL
Peningkatan Kesempatan Berusaha & Kesejahteraan
Meningkatkan Kemitraan Pemerintah dengan PKL
Pengendalian Tata Ruang Kota
Memfasilitasi Ruang Usaha dan Rasa Aman Berusaha
Mengoptimalkan Sarana Prasarana Kota
Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan/pengaruh relatif antara satu strategi alternatif dengan strategi alternatif lainnya (besarnya pengaruh strategi alternatif) terhadap tujuan Peningkatan Penegakan Peraturan. Lebih Penting
Lebih Penting
SA1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 SA2 SA1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 SA3 SA1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 SA4 SA2 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 SA3 SA2 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 SA4 SA3 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 SA4 Keterangan: Nilai 1 = sama penting; 3 = sedikit lebih penting; 5 = jelas lebih penting; 7 = sangat jelas lebih penting; 9 = mutlak lebih penting; nilai 2, 4, 6, 8 adalah nilai-nilai di antaranya.
98
b. Perbandingan antar-Strategi Alternatif terhadap tujuan Peningkatan Kesempatan Berusaha dan Kesejahteraan Tujuan
Alternatif Strategi
Peningkatan Penegakan Peraturan
Review Kebijakan tentang PKL
Peningkatan Kesempatan Berusaha & Kesejahteraan
Meningkatkan Kemitraan Pemerintah dengan PKL
Pengendalian Tata Ruang Kota
Memfasilitasi Ruang Usaha dan Rasa Aman Berusaha
Mengoptimalkan Sarana Prasarana Kota
Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan/pengaruh relatif antara satu strategi alternatif dengan strategi alternatif lainnya (besarnya pengaruh strategi alternatif) terhadap tujuan Peningkatan Kesempatan Berusaha dan Kesejahteraan . Lebih Penting
Lebih Penting
SA1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 SA2 SA1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 SA3 SA1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 SA4 SA2 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 SA3 SA2 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 SA4 SA3 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 SA4 Keterangan: Nilai 1 = sama penting; 3 = sedikit lebih penting; 5 = jelas lebih penting; 7 = sangat jelas lebih penting; 9 = mutlak lebih penting; nilai 2, 4, 6, 8 adalah nilainilai di antaranya.
c. Perbandingan antar-Strategi Alternatif terhadap tujuan Pengendalian Tata Ruang Kota Tujuan
Alternatif Strategi
Peningkatan Penegakan Peraturan
Review Kebijakan tentang PKL
Peningkatan Kesempatan Berusaha & Kesejahteraan
Meningkatkan Kemitraan Pemerintah dengan PKL
Pengendalian Tata Ruang Kota
Memfasilitasi Ruang Usaha dan Rasa Aman Berusaha
Mengoptimalkan Sarana Prasarana Kota
99
Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan/pengaruh relatif antara satu strategi alternatif dengan strategi alternatif lainnya (besarnya pengaruh strategi alternatif) terhadap tujuan Pengendalian Tata Ruang Kota. . Lebih Penting
Lebih Penting
SA1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 SA2 SA1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 SA3 SA1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 SA4 SA2 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 SA3 SA2 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 SA4 SA3 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 SA4 Keterangan: Nilai 1 = sama penting; 3 = sedikit lebih penting; 5 = jelas lebih penting; 7 = sangat jelas lebih penting; 9 = mutlak lebih penting; nilai 2, 4, 6, 8 adalah nilai-nilai di antaranya
--------------------------------terima kasih atas partisipasinya------------------------
Lampiran 5 Foto Survey dan Foto Narasumber
100
101
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Bogor pada tanggal 6 Juli 1977 dari ayah Usman (Alm) dan Ibu Kulsum (almh). Penulis adalah putra kelima dari lima bersaudara. Tahun 1996 penulis lulus dari SMA Negeri 6 Kota Bogor dan pada tahun yang sama melanjutkan ke Fakultas Teknik Sipil Perencanaan, Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Indonesia dan lulus Tahun 2002. Setelah lulus Pada Tahun 2002 penulis bekerja pada konsultan pengembangan bandara PT. Tridaya Pamurtya pada divisi Planologi. Tahun 2006 penulis diterima sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil sebagai staf Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bogor. Pada tahun 2010 penulis dipercaya sebagai Kepala Sub Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup pada Bappeda Kota Bogor. Pada tahun 2012 penulis berpindah menjadi Kepala Sub Bidang Pemeriksaan Berkas Perizinan Fisik pada Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPPTPM) Kota Bogor dan pada Maret 2014, penulis berpindah menjadi Kepala Seksi Aplikasi Telematika dan Pengelolaan Data Elektronik pada Kantor Komunikasi dan Informatika Kota Bogor. Penulis diberi izin belajar dari Pemerintah Daerah Kota Bogor pada akhir tahun 2011. Penulis diterima pada Program Magister Profesional Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah.