PERBEDAAN SELF-REGULATED LEARNING ANTARA MAHASISWI YANG SUDAH MENIKAH DENGAN MAHASISWI YANG BELUM MENIKAH DI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA
OLEH R. IMAN ELGA FAJAR DHANAHISWARA 802009062
TUGAS AKHIR Diajukan kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi.
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
PERBEDAAN SELF-REGULATED LEARNING ANTARA MAHASISWI YANG SUDAH MENIKAH DENGAN MAHASISWI YANG BELUM MENIKAH DI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA
R. Iman Elga Fajar Dhanahiswara Ratriana Y.E. Kusumiati Enjang Wahyuningrum
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan self-regulated learning antara mahasiswi yang sudah menikah dengan mahasiswi yang belum menikah di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 93 mahasiswi yaitu 40 mahasiswi yang sudah menikah dan 53 mahasiswi yang belum menikah, yang berada di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik snowball sampling, yaitu jumlah sampel yang mula-mula kecil kemudian membesar. Pengumpulan data dalam bentuk angket (kuesioner) dengan menggunakan metode skala. Untuk analisis data yang digunakan adalah analisis data komparasi, yang disebut dengan uji t (T-test). Hasil menunjukkan dari Independent Sample T untuk self-regulated learning adalah 0,510 (p > 0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan self-regulated learning antara mahasiswi yang sudah menikah dengan mahasiswi yang belum menikah.
Kata kunci: Perbedaan self-regulated learning, Mahasiswi yang sudah menikah, Mahasiswi yang belum menikah
Abstract
This research aims to know is there any difference in self-regulated learning between married female students and unmarried female students at Satya Wacana Christian University, Salatiga. The samples in this study were 93 female students of Satya Wacana Christian University: 40 are married students and 53 are unmarried students. The sampling technique used in this study is the snowball sampling technique. Data collection was conducted in the form of a questionnaire (questionnaire) by using scale method. For data analysis, this study uses comparative data analysis called the T-test. Results shown from the Independent Sample T for self-regulated learning is 0.510 (p> 0.05). It indicates that there is no difference in self-regulated learning between married female students and unmarried female students at Satya Wacana Christian University, Salatiga.
Keywords: Differences in Self-regulated Learning, Married Female Students, Unmarried Female Students
PENDAHULUAN Dewasa ini sumber daya manusia yang berkualitas sangat penting artinya untuk mewujudkan tingkat kehidupan masyarakat yang lebih baik. Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan suatu bangsa sangat bergantung pada kualitas manusia yang ada di negara tersebut khususnya generasi muda. Salah satu jalur strategis yang dapat digunakan untuk mewujudkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas itu tentunya adalah jalur pendidikan (Ibrahim dalam Sulistyaningsih, 2005). Mahasiswa dapat dikatakan sebagai kelompok dari generasi muda yang sedang belajar atau menuntut ilmu di perguruan tinggi, dengan jurusan atau program tertentu. Aktivitas mereka adalah belajar. Belajar ilmu pengetahuan, belajar berorganisasi, belajar bermasyarakat dan belajar menjadi pemimpin. Kelompok ini menyandang sejumlah atribut di antaranya sebagai kelompok inti pemuda, kelompok cendekia, atau golongan intelektual, calon pemimpin masa depan, manusia idealis dan kritis karena di pundak mahasiswa sebagian besar nasib masa depan suatu bangsa dipertaruhkan (As’ari, 2007). Sebagai generasi muda, mahasiswa diharapkan mampu melakukan peran sebagai individu yang produktif. Tujuan dari mahasiswa secara umum adalah ketika nantinya mereka menyelesaikan studi, mereka dapat terjun dalam dunia kerja secara aktif. Perkembangan dunia kerja saat ini menuntut individu agar mampu meng embangkan kemampuannya. Peluang untuk mendapatkan pekerjaan akan lebih mudah bila seorang pencari kerja memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi. Oleh karena itu melalui pendidikan, individu dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia. pendidikan tinggi yang berkualitas yang dapat ditempuh melalui perguruan tinggi atau universitas diharapkan dapat menjadi sarana bagi individu yang ingin meningkatkan kualitas dirinya (Handianto & Johan, 2006). Dunia mahasiswa bukan lagi dunia sebagaimana layaknya di SMA dulu yang masih dibimbing orang tua atau guru. Dunia mahasiswa sudah menuntut individu untuk mandiri dalam segala hal. Di kampus, ketika ada tugas dosen hanya memberikan gambaran umum tentang tugas tersebut, selebihnya dikembalikan kepada mahasiswa atau ketika dosen menjelaskan pelajaran, mereka hanya memberikan jalan atau gambaran umum kepada mahasiswa. Berbeda dengan guru- guru ketika di SMA, mereka benar-benar membimbing (LDK Al-Uswah, 2010).
Sukadji (2010) mengungkapkan bahwa untuk meraih sukses dalam pendidikan dan berhasil menerapkan ilmu yang diperolehnya, mahasiswa harus menggunakan seluruh potensi yang dimilikinya serta mengatur setrategi belajar yang tepat. Ginting (2003) menambahkan bahwa untuk mendapatkan prestasi akademis yang memuaskan diperlukan adanya kesiapan belajar diperguruan tinggi yang mencakup kesiapan mental dan ketrampilan belajar. Salah satu keterampilan belajar yang memiliki peran penting dalam menentukan kesuksesan diperguruan tinggi adalah kemampuan meregulasi diri dalam belajar atau disebut juga dengan self regulated learning (Spitser, 2000).
Dari hasil
penelitian yang dilakukan Zimmerman (1990) mengenai self-regulated learning dan prestasi belajar diketahui bahwa self-regulated learning memiliki peranan penting dalam meningkatkan prestasi belajar individu. Zimmerman dan Martinez-Pons (1990) menjelaskan bahwa self-regulated learning merupakan sebuah konsep bagaimana seorang individu menjadi pengatur bagi proses belajarnya sendiri. Zimmerman (1990) menambahkan bahwa apabila seorang individu ingin mencapai tujuan belajar yang telah ditentukan maka ia memerlukan self-regulated learning dalam dirinya. Hasil penelitian yang dilakukan Zimmerman (1989) menemukan bahwa self-regulated learning berhubungan erat dengan prestasi belajar individu. Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa individu yang memiliki self- regulated learning akan memiliki prestasi akademik yang lebih tinggi dibandingkan individu yang tidak memiliki self-regulated learning. Weinstein & Mayer (dalam Fasikhah & Fatimah, 2013) menambahkan bahwa siswa yang mampu memberdayakan strategi-strategi self-regulated learning, khususnya strategi kognisi dan metakognisi akan menghasilkan prestasi akademik yang lebih tinggi dibandingkan siswa yang tidak mampu memberdayakannya. Blood (dalam Mukarromah & Nuqul, 2012) mengungkapkan bahwa mahasiswa yang telah menikah akan menghadapi tugas-tugas kerumah tanggaan sesuai dengan perannya sebagai suami atau istri, namun mahasiswa juga harus menjalankan perannya sebagai mahasiswa, yaitu menghadiri perkuliahan, mengerjakan tugas, mengikuti ujian, dan lain- lain. Demikian halnya dengan mahasiswi yang sudah menikah memiliki tanggung jawab lebih berat dibandingkan mahasiswi yang belum menikah. Mahasiswi yang harus dilakukan sebagai seorang istri, ibu ataupun sebagai mahasiswi itu sendiri, Oleh karena itu
agar kehidupan keluarga dan perkuliahan dapat berjalan dengan seimbang mahasiswi tersebut harus mampu memanejemen dirinya (Solichah, 2010). Yeni (2007) menjelaskan bahwa, dengan adanya aktivitas lain di luar kegiatan perkuliahan maka mahasiswa akan lalai melaksanakan tugas utamanya yakni belajar. Selanjutnya tujuan yang mereka miliki tidak berorientasi pada pembelajaran tetapi pada kesibukan kerja yang mereka jalani. Jika dibandingkan dengan mahasiswa yang bekerja, mahasiswa yang tidak bekerja lebih memiliki orientasi belajar sehingga mereka lebih dapat mengatur waktu belajarnya secara efektif. Senada dengan hal tersebut, Solichah (2010) menjelaskan bahwa mahasiswi yang telah menikah memiliki pola aktivitas yang berbeda dengan mahasiswi yang belum menikah. Mahasiswi yang sudah menikah memiliki aktivitas yang lebih bervariasi dan tanggung jawab yang besar daripada yang belum menikah. Zimmerman (1989) mengungkapkan bahwa individu yang memiliki self-regulared learning merupakan individu yang aktif secara metakognisi, motivasi, dan perilaku di dalam proses belajarnya. Mahasiswi yang sudah menikah dituntut untuk mencapai prestasi yang optimal dengan beban tugas dan tanggung jawab dua kali lipat dari mahasiswi yang belum menikah. Mahasiswi yang sudah menikah membutuhkan self-regulated learning agar dapat menjalankan perannya dengan baik terutama peran akademis (Najah 2012). Beberapa mahasiswi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) yang sudah menikah memiliki gambaran manajemen diri yang berbeda dengan mahasiswi yang belum menikah. Hasil wawancara awal dengan salah satu mahasiswi ya ng sudah menikah menemukan bahwa ia harus pintar-pintar membagi waktu agar kesibukan rumah tangga tidak mengganggu aktivitas belajar. Namun terkadang ia juga harus membolos kuliah untuk mengurusi anggota keluarga yang sakit atau sedang membutuhkan bantuannya. Mahasiswi lainnya yang sudah menikah mengemukakan bahwa ketika belum menikah dapat memfokuskan diri untuk belajar namun setelah menikah fokus perhatiannya menjadi terbagi untuk mengurusi rumah tangga dan untuk berkuliah. Masalah mengenai manajemen diri dan manajemen belajar tidak hanya dialami oleh mahasiswi yang sudah menikah akan tetapi mahasiswi yang belum menikah pun mengalami kesulitan dalam mengatur aktivitas belajarnya. Hal tersebut diakui banyak disebabkan karena beberapa kesibukan lain diluar kesibukan belajar yang juga harus dijalani.
Pada mahasiswa yang mempunyai kesibukan lain selain kesibukan perkuliahan menunjukkan tingkat stres yang lebih tinggi dibanding mahasiswa yang tidak terlibat dalam kesibukan-kesibukan lain selain kesibukan perkuliahan (Furr & Elling, 2000). Senada dengan hal tersebut penelitian yang di lakukan Najah (2012) adanya perbedaan self-regulated learning yang signifikan antara mahasiswi yang sudah menikah dan belum menikah, dimana mahasiswi yang belum menikah memiliki self-regulated learning yang lebih tinggi dari mahasiswi yang sudah menikah. Kedua penelitian tersebut bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan Ruscoe, Morgan
& Peebles (1996)
menunjukkan mahasiswa yang kuliah sambil melakukan aktivitas lain memiliki prestasi yang lebih tinggi dibanding mahasiswa yang hanya berkuliah tanpa memiliki kesibukan lain. Begitu juga dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Kusumaningtyas (1012) yang menunjukan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam selfregulated learning pada mahasiswa yang bekerja dan tidak bekerja. Berdasarkan paparan fenomena dan perbedaan hasil penelitan-penelitian terdahulu maka peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang perbedaan self regulated learning antara mahasiswi yang sudah menikah dengan mahasiswi yang belum menikah di Universitas Kristen Satya Wacana. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dalam bidang psikologi pendidikan dan psikologi perkembangan. Selain itu manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pentingnya self-regulated learning bagi mahasiswi yang sudah menikah, serta dapat meningkatkan kemampuan mahasiswi dalam mengatur aktivitas belajar.
Self Regulated-Learning Zimmerman (1989) mendefinisikan self regulated-learning sebagai derajat metakognisi, motivasional dan perilaku individu di dalam proses belajar yang dijalani untuk mencapai tujuan belajar. Self regulated-learning mencakup kemampuan strategi kognitif, belajar, teknik pembelajaran, dan belajar sepanjang masa. Zimmerman juga mengungkapkan bahwa peserta didik yang dapat dikatan sebagai self regulated-learner adalah peserta didik
yang secara metakognitif,
motivasional, dan behavioral aktif dan turut serta dalam proses belajar.
Aspek-Aspek Self Regulated-Learning Self-regulation merupakan fundamen dalam proses sosialisasi dan melibatkan perkembangan fisik, kognitif, dan emosi (Papalia, 2001). Self regulation yang diterapkan dalam self-regulation learning, mengharuskan siswa fokus pada proses pengaturan diri guna memperoleh kemampuan akademisnya. Zimmerman (1989) menyebutkan bahwa Self-Regulated Learning terdiri atas pengaturan dari tiga aspek umum pembelajaran akademis, yaitu kognisi, motivasi, dan perilaku. Wolters dkk (2003) menjelaskan secara rinci penerapan setrategi dalam setiap aspek self-regulated learning sebagai berikut: 1. Kognisi kognisi meliputi proses pemahaman akan kesadaran dan kewaspadaan diri serta pengetahuan dalam menentukan pendekatan pembelajaran sebagai salah satu cirri didalam proses berpikir. Kognisi dalam self-regulated learning adalah kemampuan individu dalam merencanakan, mengorganisasikan atau mengatur, menginstruksikan diri, memonitor dan melakukan evaluasi dalam aktivitas belajar. Strategi untuk mengontrol atau meregulasi kognisi meliputi macam- macam aktivitas kognitif dan metakognitif yang mengharuskan individu terlibat untuk mengadaptasi dan mengubah kognisinya. Strategi pengulangan (rehersal), elaborasi (elaboration), dan organisasi (organization) dapat digunakan untuk mengontrol kognisi dan proses belajarnya. 2. Motivasi Motivasi dalam self-regulated learning merupakan pendorong yang ada pada diri individu. Motivasi juga memiliki fungsi sebagai kebutuhan dasar untuk mengontrol dan berkaitan dengan perasaan kompetensi yang dimiliki setiap individu. Strategi untuk meregulasi motivasi melibatkan aktivitas yang penuh tujuan dalam memulai, mengatur atau menambah kemauan untuk memulai, mempersiapkan tugas berikutnya, atau menyelesaikan aktivitas tertentu atau sesuai tujuan. Regulasi motivasi adalah semua pemikiran, tindakan atau perilaku dimana siswa berusaha mempengaruhi pilihan, usaha, dan ketekunan tugas akademisnya. Regulasi motivasi meliputi mastery self-talk, extrinsic self-talk, relative ability self-talk, relevance enhancement, situasional interest enhancement, self-consequating, dan environment structuring. 3. Perilaku
Dalam self-regulated learning perilaku merupakan upaya individu untuk mengatur diri, menyeleksi, danmemanfaatkan lingkungan maupun menciptakan lingkungan yang mendukung aktivitas belajar. Strategi untuk meregulasi perilaku merupakan usaha individu untuk mengontrol sendiri perilaku yang Nampak. Sesuai penjelasan Bandura (Zimmerman, 1989) bahwa perlikau adalah aspek dari pribadi (person), walaupun bukan “self” internal yang dipresentasikan oleh kognisi, motivasi, afeksi. Meskipun begitu, individu dapat melakukan observasi, memonitor, dan berusaha mengontrol dan meregulasinya dan seperti pada umumnya aktivitas tersebut dapat dianggap selfregultory bagi individu. Regulasi perilaku meliputi regulasi usaha (effort regulation), waktu dan lingkungan (time/ study environment), dan pencarian bantuan (help-seeking).
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Self Regulated-Learning Zimmerman (dalam Boekaerts dkk, 200:13) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi self-regulated learning sebagagai berikut: 1. Faktor pribadi (Person). Dalam faktor pribadi diilustrasikan sebagai individu yang memiliki pengaruh pribadi seperti pengetahuan yang dimiliki peserta didik, tujuan sebagai hasil proses berpikir peserta didik, dan afeksi sebagai sebagai bentuk emosi yang dimiliki peserta didik. 2. Faktor perilaku (Behavior) Diilustrasikan sebagai tindakan peserta didik dalam memanipulasi lingkungan sebagai tindakan proaktif seperti meminimalisir gangguan berupa polusi suara (noise) bagi peserta didik yang gemar belajar dilingkungan yang sepi. Inisiasi lingkungan ini adalah salah satu formula yang mendukung keberhasilan self-regulated learning. 3. Faktor lingkungan (Environment) Dalam faktor ini diilustrasikan sebagai perilaku partisipasi aktif peserta didik yang muncul berdasarkan kolaborasi antara proses berpikir dan keadaan lingkungan yang saling mempengaruhi satu sama lain.
Pengertian Mahasiswi Mahasiswa menurut Salim dan Salim (dalam kamus umum bahasa Indonesia, 2002) adalah orang yang terdaftar dan menjalani pendidikan di perguruan tinggi. Basir (1992) menjelaskan bahwa mahasiswa secara psikis dan fisik telah mencapai tahap awal dewasa dan telah meninggalkan masa remajanya, sehingga perilakunya dengan lingkungan sekitar sudah terarah, mengakui dan memahami norma, serta nilai yang harus ditaatinya.
Pengertian Pe rkawinan Undang-undang No.1 Tahun 1974 menyatakan perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (dalam Walgito. 2004). Soemiyati (1999) menyatakan bahwa tujuan diselenggerakannya sebuah perkawinan sebagai ikatan lahir dan batin, cara memperoleh keturunan, pemenuhan kebutuhan biologis, memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan dan bila di pandang dari segi kemasyarakatan sebagai fungsi social keluarga. Mahasiswi Yang Sudah Menikah Mahasiswi telah menikah memiliki peran ganda dalam sesuai dengan masingmasing berdasarkan prioritas yang telah ditentukan, misalkan peran sebagai wanita yang mengurus rumah tangga ( Najah, 2012). Hemas (dalam Pudjiwati, 1997:35) menjelaskan bahwa wanita yang memiliki peran dalam mengurus rumah tangga yang bertanggung jawab secara terus menerus memperhatikan kesehatan rumah dan tata laksana rumah tangga, mengatur segala sesuatu didalam untuk meningkatkan mutu hidup. Mahasiswi Yang Belum Menikah Mahasiswi yang belum menikah yaitu individu yang berjenis kelamin perempuan yang terdaftar dan sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi tertentu serta aktif dalam semua kegiatan perkuliahan.
Mahasiswa di sini yaitu mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi dengan tujuan untuk sukses dalam perkuliahan. Kuliah dalam hal ini tidak sekedar pencapaian akademis saja tetapi ditandai dengan membina hubungan sosial (Papalia & Olds, 1995)
PERBEDAAN SELF- REGULATED LEARNING PADA MAHASISWI YANG SUDAH MENIKAH DAN BELUM MENIKAH Dengan perkembangan zaman, saat ini banyak dijumpai mahasiswi yang sudah menikah. Blood (dalam Mukarromah & Nuqul, 2012) mengungkapkan bahwa mahasiswa yang telah menikah akan menghadapi tugas-tugas kerumahtanggaan sesuai dengan perannya sebagai suami atau istri, namun mahasiswi juga harus menjalankan perannya sebagai mahasiswi, yaitu menghadiri perkuliahan, mengerjakan tugas, mengikuti ujian, dan lain- lain. Demikian halnya dengan mahasiswi yang sudah menikah memiliki tanggung jawab lebih berat dibandingkan mahasiswi yang belum menikah. Mahasiswi yang harus dilakukan sebagai seorang istri , ibu ataupun sebagai mahasis wi itu sendiri. Hal ini berbeda dengan mahasiswi yang belum menikah, dimana mahasiswi tersebut belum dituntut memiliki peran ganda sebagai ibu rumah tangga (Najah, 2012). Dengan adanya aktivitas lain di luar kegiatan perkuliahan maka mahasiswa akan lalai melaksanakan tugas utamanya yakni belajar (Yeni, 2007). Mahasiswi tersebut mengalami kesulitan dalam membagi waktu antara kuliah, mengurus rumah dan belajar. Hal ini juga didukung berdasarkan wawancara personal dengan seorang mahasiswi yang sudah menikah. Mahasiswi ini mengaku kesulitan membagi waktu antara kuliah, mengurus rumah, belajar dan urusan- urusan lain. Mahasiswi yang sudah menikah dan belum menikah dalam hal ini memiliki tujuan yang sama yaitu sukses dalam perkuliahan. Hal itu sesuai dengan Papalia dan Olds (dalam Suci, 2008) yang menyatakan bahwa tujuan dari mahasiswa kuliah adalah sukses dalam perkuliahan dimana ditentukan dengan pencapaian akademik dan mengembangkan kemampuan sosial. Pencapaian akademik merupakan suatu tingkat spesifik dari penguasaan dalam bidang pendidikan.
Sukadji (2010) mengungkapkan bahwa untuk meraih sukses dalam pendidikan dan berhasil menerapkan ilmu yang diperolehnya, mahasiswa harus menggunakan seluruh potensi yang dimilikinya serta mengatur setrategi belajar yang tepat. Ginting (2003) menambahkan bahwa untuk mendapatkan prestasi akademis yang memuaskan diperlukan adanya kesiapan belajar diperguruan tinggi yang mencakup kesiapan mental dan ketrampilan belajar. Berdasarkan penjelasan diatas, maka perlu adanya kemampuan meregulasi diri dalam belajar atau disebut dengan self-regulated learning. Zimmerman (1989) mendefinisikan self-regulated
learning
sebagai derajat
metakognisi, motivasional dan perilaku individu di dalam proses belajar yang dijalani untuk mencapai tujuan belajar. Berdasarkan definisi tersebut individu digambarkan sebagai pusat pengatur segala hal yang berhubungan dengan dirinya, dikaitkan dalam sebuah konteks realitas atau kenyataan. Artinya dalam definisi di atas disebutkan bahwa self-regulated learning tidak sekedar bagaimana melakukan pengelolaan terhadap diri secara menyeluruh (metakognisi, motivasional, perilaku), namun juga terkait dengan bagaimana seseorang menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan belajar agar sesuai dengan kebutuhan dirinya. Penelitian yang dilakukan Furr & Elling, (2000) mengungkapkan mahasiswa yang mempunyai kesibukan lain selain kesibukan perkuliahan menunjukkan tingkat stres yang lebih tinggi dibanding mahasiswa yang tidak terlibat dalam kesibukan-kesibukan lain selain kesibukan perkuliahan. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Najah (2013) dimana adanya perbedaan self-regulated learning yang signifikan antara mahasiswi yang sudah menikah dan belum menikah, dimana mahasiswi yang belum menikah memiliki self-regulated learning yang lebih tinggi dari mahasiswi yang sudah menikah. Penelitian yang dilakukan oleh Ruscoe, Morgan dan Peebles (1996) pada sejumlah mahasiswa yang berkuliah sambil memiliki aktivitas lain menunjukkan bahwa mahasiswa yang kuliah sambil melakukan aktivitas lain memiliki rata-rata indeks prestasi yang lebih tinggi yaitu 3.02 (dalam poin 4) dibandingkan mahasiswa yang tidak memiliki aktivitas lain yang hanya memiliki rata-rata indeks prestasi 2.98. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa mahasiswa yang memiliki aktivitas lain lebih disiplin, lebih tepat
waktu dalam perkuliahan dan memiliki inisiatif untuk berusaha mencari informasi di luar sumber-sumber sosial ketika mengerjakan tugas. Oleh karena itu berdasarkan beberapa penelitian di atas dapat diasumsikan bahwa terdapat perbedaan self-regulated learning antara mahasiswi yang sudah menikah dengan mahasiswi yang belum menikah.
Hipotesis Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah “terdapat perbedaan selfregulated learning yang signifikan antara mahasiswi yang sudah menikah dengan mahasiswi yang belum menikah di Universitas Kristen Satya Wacana”
METODE PENELITIAN Definisi Operasional Mahasiswi adalah individu yang berjenis kelamin perempuan berusia 18-25 tahun yang terdaftar dan sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi tertentu serta aktif dalam semua kegiatan perkuliahaan. Status pernikahan mahasiswi yang dimaksud da lam penelitian ini adalah mahasiswi yang sudah menikah dan yang belum menikah. Mahasiswi yang menikah adalah individu berjenis kelamin perempuan yang berusia antara 18-22 tahun dan sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi dan statusnya sudah menikah. Mahasiswi yang belum menikah adalah mahasiswi yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi dengan status belum menikah. Self-regulated learning adalah proses belajar dimana peserta didik mengaktifkan kognisi, tindakan dan perasaan secara sistematis untuk mencapai tujuan belajar yang telah ditetapkan. Proses tersebut dilandasi karena adanya keyakinan pada kemampuan sendiri untuk dapat mencapai komitmen belajar dan tugas-tugas akademis sehingga tujuan dari belajar dapat tercapai. Aspek-aspek self-regulated learning meliputi aspek strategi meregulasi kognisi, motivasi, dan perilaku yang dikembangkan oleh Wolters dkk (2003). Apabila perolehan skor Skala Self-regulated Learning semakin tinggi berarti subjek memiliki self-regulated learning yang semakin efektif. Sebaliknya,
apabila skor Skala Self-regulated learning semakin rendah berarti subjek memiliki selfregulated learning yang semakin tidak efektif.
Alat Ukur Penelitian Metode pengumpulan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode angket atau kuesioner. Metode ini adalah suatu metode penyelidikan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang berisi aspek-aspek yang hendak diukur. Angket adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan member seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk menjawabnya (Sugiyono, 2008). Pengumpulan data pada penelitian ini, penulis menggunakan satu skala yaitu skala self-regulated learning. Skala dalam penelitian ini memodifikasi dari skala assessing academic selfregulated learning yang di kembangkan oleh woltes dkk (2003), dengan blue print yang didasari dari aspek self regulated learning. Jumlah keseluruhan dari aitem adalah 42 aitem. Sebelum skala ini dipergunakan terlebih dahulu dilakukan uji coba (try out). Pada penelitian ini penulis menggunakn try out terpakai yaitu subjek yang digunakan untuk try out digunakan sekaligus untuk penelitian. Pengujian daya diskriminasi item alat ukur menggunakan patokan Azwar (2012) yang menyatakan semua korelasi item yang mencapai koefisien korelasi mencapai 0,30 daya bedanya dianggap memuaskan. Berdasarkan uji diskriminasi item pada angket selfregulated learning, dari 42 item terdapat 33 item valid dan 9 item yang gugur. Item- item yang gugur adalah item nomor 3, 4, 7, 12, 33, 34, 35, 36, 38. Item yang dinyatakan gugur tersebut adalah item yang memiliki koefisien korelasi total kurang daro 0,3. Salah satu ciri instrument ukur yang berkualitas baik adalah instrument ukur yang reliable, yaitu mampu menghasilkan skor yang cermat dengan eror pengukuran kecil. Pengujian reliabilitas alat ukur menggunakan parokan Azwar (2012) yang menyatakan bahwa koefisien reliabilitas berada dalam angka 0 sampai 1,00. Bila koefisien reliabilitas semakin tinggi mendekati anfka 1,00 berarti pengukuran semakin reliabel.
Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items .908
33
Subjek Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswi yang sedang menjalani pendidikan di Universitas Kristen Satya Wacana. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik snowball sampling. Subyek yang digunakan merupakan mahasiswi UKSW. Dalam pelaksanaannya, jumlah sampel yang didapat sebanyak 93 mahasiswi yang terdiri dari 40 mahasiswi yang sudah menikah dan 53 mahasiswi yang belum menikah. Prosedur Pengambilan Data Pengumpulan data dengan menyebarkan skala dilakukan oleh peneliti dari tanggal 20 September sampai 26 November 2014. Penyebaran skala melibatkan bantuan beberapa teman penulis untuk mendapatkan subjek yang sesuai dengan kriteria, yaitu mahasiswi UKSW khususnya mahasiswi yang sudah menikah dan mahasiswi yang belum menikah. Kemudian dari mahasiswi tersebut penulis mendapatkan informasi mengenai subjek yang memiliki kriteria yang sama, begitu seterusnya sampai skala yang terkumpul 100 skala. Namun kenyataan di lapangan penulis hanya bisa mengumpulkan 93 skala dikarenakan ada beberapa skala yang tidak kembali pada penulis. Rincian skala yang didapat penulis yaitu 53 skala mahasiswi yang be lum menikah dan 40 skala mahasiswi yang sudah menikah.
Teknik Analisis Data Untuk melihat perbedaan self-regulated learning ditinjau dari jenis kelamin pada mahasiswi UKSW penulis menggunakan t-tes untuk 2 sampel independent. Analisis data dilakukan dengan bantuan program bantu komputer yaitu SPSS 16.0 For Windows.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Uji Asumsi Tahap selanjutnya melakukan uji asumsi, yaitu uji normalitas yang bertujuan untuk mengetahui normal atau tidaknya distribusi data penelitian pada masing- masing variabel. Data dari variabel penelitian diuji normalitasnya menggunakan metode Kolmogorov-Smirnov Test dan untuk perhitungannya dibantu dengan program SPSS 16 for windows. Data dapat dikatakan berdistribusi normal apabila nilai p > 0,05. Hasil uji normalitas dapat dilihat pada tabel berikut:
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test BM N Normal Parameters
a
Mean Std. Deviation
Most Extreme Differences
SM 53
40
1.2545E2
1.2715E2
1.22137E1 1.23279E1
Absolute
.110
.130
Positive
.110
.130
Negative
-.062
-.101
Kolmogorov-Smirnov Z
.801
.821
Asymp. Sig. (2-tailed)
.543
.510
a.
Test distribution is normal
Berikutnya adalah uji homogenitas yang digunakan untuk mengetahui apakah sebuah data memiliki varian yang sama atau berbeda. Data dapat dikatakan homogeny apabila nilai probabilitas p > 0,05. Berikut ini adalah tabel hasil uji homogenitas:
Test of Homogeneity of Variances SRL Levene Statistic .072
df1
df2 1
Sig. 91
.790
Dari hasil uji homogenitas menggunakan Levene Test, menunjukan bahwa nilai koefisien Levense Test sebesar 0,072 dengan signifikansi sebesar 0,790. Oleh karena signifikansi memiliki nilai lebih dari 0,05 maka data tersebut dapat dikatakan homogeny. Analisis Deskriptif Untuk menentukan tinggi rendahnya variabel self-regulared learning pada mahasiswi yang sudah menikah dan belum menikah, maka digunakan 5 buah kategori pengelompokan, yaitu sangat tinggi, tinggi, rendah, rendah, dan sangat rendah. Variabel self-regulated learning memiliki item yang baik sebanyak 33 item, dengan skor berjenjang antara skor 1 hingga sskor 4 berdasarkan jenis item
favorable dan
unfavorable. Pembagian skor tertinggi dan terendah pada variabel self-regulated learning adalah sebagai berikut: a. Skor tertinggi
: 4 x 33 = 132
b. Skor terendah
: 1 x 33 = 33
Untuk dapat menentukan tinggi rendahnya hasil pengukuran variabel selfregulated learning seperti dijelaskan sebelumnya menggunakan 4 kategori, yaitu dengan mengurangi jumlah skor tertinggi dengan mengurangi jumlah skor tertinggi dengan jumlah skor terendah dan membaginya dengan jumlah kategori (Hadi, 2000)
Berdasarkan hasil tersebut, dapat ditentukan kategori pada self-regulated learning sebagai berikut:
Sangat Tinggi : Tinggi : Sedang : Rendah : Sangat Rendah :
112,2 92,4 72,6 52,8 33
≤ x ≤ 132 ≤ x < 112,2 ≤ x < 92,4 ≤ x < 72,6 ≤ x < 52,8
Tabel 1.1 Kategori skor self-regulated learning mahasiswi yang sudah me nikah dan belum menikah. No
1.
Interval
112,2
Kategori
≤ x≤
132
Frekuensi
Sangat
%
Mean
Frekuensi
yang belum
yang sudah
men ikah
men ikah
48
90,56%
125,45
%
Mean
38
95%
Tinggi 2.
92,4
≤ x<
112,2
Tinggi
5
9,43%
2
5%
3.
72,6
≤ x<
92,4
Sedang
0
0%
0
0%
4.
52,8
≤ x<
72,6
Rendah
0
0%
0
0%
5.
33
≤ x<
52,8
Sangat
0
0%
0
0%
53
100%
40
100%
Rendah Total
Tabel 1.2 Kategori skor self-regulated learning keseluruhan No Interval
Kategori
Frekuensi
%
Mean
86
92,47%
126,2
Perempuan
1.
112,2
≤ x≤
132
Sangat Tinggi
2.
92,4
≤ x<
112,2
Tinggi
7
7,52%
3.
72,6
≤ x<
92,4
Sedang
0
0%
4.
52,8
≤ x<
72,6
Rendah
0
0%
5.
33
≤ x<
52,8
Sangat
0
0%
93
100%
Rendah Total
127,15
Analisis Data Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan skala untuk mengukur selfregulated learning antara mahasiswi di UKSW yang dilakukan pada tanggal 20 September – 26 November 2014. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan selfregulated learning pada mahasiswi yang sudah menikah dan belum menikah di UKSW, maka digunakan rumus Independent Sampel Test dengan menggunakan SPSS 16 for windows. Setelah dilakukan analisis data mengenai perbedaan self-regulated learning antara mahasiswi yang sudah menikah dengan mahasiswi yang belum menikah di UKSW salatiga, maka diperoleh hasil sebagai berikut: T-Test Group Statistics mahasiswi
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
1
53
1.2545E2
12.21375
1.67769
2
40
1.2715E2
12.32789
1.94921
SRL
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the
Mean Sig. (2F SRL
Equal variances assumed Equal variances not assumed
.072
Sig.
t
.790 -.661
-.660
Df
tailed)
91 83.72 5
.510
.511
Differen Std. Error ce
Difference -
1.69717 1.69717
Difference Lower
Upper
2.56840
-6.79899
3.40465
2.57178
-6.81168
3.41734
Dari hasil perhitungan Independent Sample Test pada tabel di atas menunjukan bahwa nilai signifikansi untuk perbedaan self-regulated learning mahasiswi yang sudah menikah dan belum menikah (equal variance assumed) memiliki nilai t-test sebesar 0,661dengan signifikansi 0,510 atau p > 0,05 yang berarti tidak terdapat perbedaan selfregulated learning antara mahasiswi yang sudah menikah dan mahasiswi yang belum menikah di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian tentang perbedaan self-regulated learning antara mahasiswi yang sudah menikah dan mahasiswi yang belum menikah di Universitas Kristen Satya Wacana, didapatkan hasil perhitungan Independent Sample Test sebesar 0,661 dengan signifikansi 0,510 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis ditolak, artinya tidak ada perbedaan signifikan self-regulated learning antara mahasiswi yang sudah menikah dan mahasiswi yang belum menikah di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Penelitian ini senada dengan Kusumaningtyas (2012) yang tidak menemukan adanya pebedaan self-regulated learning pada mahasiswa yang kuliah dengan memiliki rutinitas lain seperti bekerja dan yang tidak bekerja. Mahasiswi yang belum menikah memiliki banyak waktu untuk belajar, istirahat dan melakukan aktivitas lainnya, sehingga mereka dapat menerapkan self-regulated learning dengan baik, sedangkan mahasiswi yang sudah menikah, kelompok ini hanya memiliki waktu luang yang lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok mahasiswi yang belum menikah , namun begitu mereka tetap meluangkan waktunya untuk belajar di selasela waktu luang mereka. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan Natakusuma (2003) bahwa mahasiswa yang bekerja part-time memiliki regulasi yang baik, mereka benar-benar
mengatur waktu belajar sendiri sesuai dengan kemampuan dan
kesibukannya, hal ini menurut penulis sesuai dengan kondisi mahasiswi yang sudah menikah. Tingginya self-regulated learning pada dua kelompok ini juga dapat dikaitkan dengan perkembangan kognitif masa dewasa awal yang semakin berkembang. Menurut Sinnot (dalam Dariyo 2004) individu pada masa dewasa awal memiliki kemampuan kognitif yang memungkinkan untuk melihat suatu masalah tidak hanya dari satu faktor, memiliki kemampuan berpikir untuk mencari berbagai alternatif solusi, tidak berpikir
kaku pada satu masalah saja, berpikir pragmatis atau mampu menyadari dan memilih beberapa solusi yang terbaik dalam memecahkan suatu masalah, berpikir praktis yang melahirkan pemecahan suatu masalah dengan benar mengenai sasaran atau tujuan, dapat mengambil keputusan yang terbaik. Sehingga dapat ditarik benang merah bahwa mahasiswi yang sudah menikah atau mahasisw yang belum menikah memiliki kemampuan kognitif yang setara yang memungkinkan mereka untuk melakukan selfregulated learning di tengah-tengah aktivitas mereka. Tidak adanya perbedaan self-regulated learningantara mahasiswi yang sudah menikah dan mahasiswi yang belum menikah bisa disebabkan karena ada faktor lain yang mempengaruhi. Cobb (2003) menyatakan bahwa self-regulated learning dipengaruhi oleh self efficacy, motivasi dan tujuan. Pada faktor tujuan Zimmerman (1990) menambahkan apabila seorang individu ingin mencapai tujuan belajar yang telah ditentukan maka ia memerlukan self-regulated learning dalam dirinya. Jika dilihat dari penggolongan kategori self-regulated learning pada mahasiswi yang sudah menikah diperoleh rata-rata 127,15, sedangkan mahasiswi yang belum menikah diperoleh rata-rata 125,45, hal tersebut menunjukan bahwa keduanya tergolong dalam kategori sangat tinggi. Kategori sangat tinggi dimiliki sebagian besar sampel menunjukkan self-regulated learning yang sangat tinggi. Self-regulated learning mahasiswi yang belum menikah memiliki banyak waktu untuk belajar, istirahat, dan melakukan aktivitas lainnya, sehingga mereka dapat menerapkan strategi-strategi self-regulated learning dengan baik, di lain sisi kelompok mahasiswi yang sudah menikah ini ha nya memiliki sedikit waktu luang, namun begitu mereka tetap
meluangkan waktunya untuk belajar dan
menyelesaikan tanggung jawab di perkuliahaan dalam sela-sela waktu luang mereka. Berdasarkan pembahasan ini, dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan selfregulated learning yang signifikan pada mahasiswi yang sudah menikah dan belum menikah di Universitas Kristen Satya Wacana, dengan rata-rata kategori self-regulated learning pada kategori sangat tinggi.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang perbedaan self-regulated learning antara mahasiswi yang sudah menikah dan mahasiswi yang belum menikah di Universitas Kristen Satya Wacana, maka dapat disimpulkan bahwa: a. Tidak ada perbedaan self-regulated learning yang signifikan antara mahasiswi yang sudah menikah dengan mahasiswi yang belum menikah. b. Sebagian besar subjek self-regulated learning pada mahasiswi yang sudah menikah dan belum menikah tergolong dalam kategori sangat tinggi. Untuk mahasiswi yang sudah menikah rata-rata sebesar 127,15 dan mahasiswi yang belum menikah rata-rata sebesar 125,45 Mengingat banyaknya keterbatasan penulis dalam melakukan penelitian, maka penulis mengajukan beberapa saran bagi mahasiswi yang sudah menikah maupun mahasiswi yang belum menikah diharapkan dapat mempertahankan pengaturan waktu belajarnya dengan baik. Kepada peneliti selanjutnya disarankan untuk menggunakan sampel yang lebih luas dan beragam. Selain itu, tema penelitian ini dapat diperdalam dengan mengaitkan dengan variabel- variabel lain misalnya jenis kelamin dan jenis kelompok mahasiswa (mahasiswa organisasi dan mahasiswa non organisasi).
DAFTAR PUSTAKA As’ari, D.K. (2007). Mengenal Mahasiswa dan Seputar Organisasinya. [on-line]. Tanggal akses: 5 Nopember 2010. Available FTP: pena-deni.com. Azwar, S. (2012). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Boekaerts, M., Pintrich, P. R., dan Zeidner, M. 2000. Handbook of Self Regulation. California: Academik Press Basir, B. (1992). Perguruan Tinggi Swasta Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara. Cobb,R. (2003). The relationship between self regulated learning behaviors and academic performance in web based courses. The Faculty of Virginia Polytechnic Institute and State University : Dissertatin Dariyo, A. (2004). Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor: Ghalia Indonesia Furr & Elling. (2000). The influence of work on college student development. NASPA Journal, 37, 454-470. Fasikhah, S.S. & Fatimah, S. (2013) Self Regulated Learning (SRL) Dalam Meningkatkan Prestasi Akademik Pada Mahasiswa. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, Vol. 01 No. 01, pp. 142-152. Ginting., & Cipta. (2003). Kiat belajar di perguruan tinggi (edisi kedua). Jakarta: PT. Grasindo. Hadi, S. (2002). Statistik. Jilid 2. Yogyakarta. Andi Ofset. Handianto, A., & Johan, R. T. (2006). Perbedaan tingkat stress antara mahasiswa yang bekerja dan yang tidak bekerja. Jakarta: Unika Atma Jaya Press. Kusumaningtyas, F. (2012). Perbedaan Self-Regulated Learning Pada Mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana Yang Bekerja Part-Time Dan Tidak Bekerja. (Skripsi tidak diterbitkan). Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Mukromah, R., & Nuqul, F. L. (2012). Pengambilan keputusan mahasiswa menikah saat kuliah pada mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Surabaya : Fakultas Psikologi Universitas Surabaya, 136-154. Najah, A. (2012). Self-regulated learning mahasiswi ditinjau dari status pernikahan. Educational Psychology Journal, 1, 17-24. Natakusuma, A. (2003). Perbedaan Model Self Regulated Learning Mahasiswa yang Kuliah Sambil Bekerja dengan Mahasiswa yang Kuliah Saja dan Pengaruhnya terhadap Prestasi Belajar (IPK). Skripsi. Jakarta : Unika Atma Jaya
Papalia, D.E, Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2001). Human Development (8th ed). New York : McGraw Hill. Papalia, D.E & Olds. S.W. (1995). Human Development. (8 th ed). New York: McGraw-Hill Companies, Inc. Pudjiwati, S. (1997). Peranan Wanita Dalam Perkembangan Masyarakat Desa. Jakarta: CV Rajawali. Ruscoe, G., Morgan, C. J., & Peebles, C. (1996). Student who work. Kentucky: FTP: http://scholar.lib.vt.vt.edu/ejournals/JVER/v25n4/stone.html. Tanggal akses 29 Agustus 2013 Salim, P., & Salim, Y. (2002). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Modern English Press. Soemiyati (1999). Hukum perkawinan islam dan undang-undang perkawinan Yogyakarta: Liberty. Solichah. (2012). Manajemen diri pada mahasiswa BPI yang telah berkeluarga di Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Skripsi tidak diterbitkan). Universitas Islam Negeri Sunan Kali Jaga, Yogyakarta. Suci, R.R. (2008). Perbedaan Self-Regulation pada Mahasiswa yang Bekerja dan Mahasiswa yang Tidak Bekerja. Skripsi. Jakarta: Universitas Paramadina Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Penerbit Alfabeta. Bandung Sukadji, dkk. (2001). Sukses di perguruan tinggi. Depok : Indonesia University Press. Sulistyaningsih, W. (2005). Kesiapan bersekolah ditinjau dari jenis pendidikan prasekolah anak dan tingkat pendidikan orangtua. Jurnal Psikologi, 1(1), 1-7. Walgito, B. (2004). Bimbingan dan konseling perkawinan. Yogyakarta: Andi Offset. Wolters, C.A. Pintrich, P.R. & Karabenick , S.A. (2003). Assessing academic Self Regulated Learning. Paper prepared for the conference on Indicator of Positive Development: Definitions, Measures, and Prospective Validity, National Institutes of Healt, March 2003 Yenni, D. (2007, Agustus 29). Kuliah sambil kerja: Why not?. Medan Bisnis. Zimmerman, B. J. (1989). A social cognitive view of self-regulated academic learning. Journal of Educational Psychology, 81, 329-339. (1990). Self- regulated learning and Educational Psychologist, 25(1), 3-17.
academic achievement: An
overview.
& Martinez-Pons, M. (1990). Construct validation of a strategy model of student self-regulated learning. Journal of Educational Psychology, 80, 284-290.