HUBUNGAN POLA ASUH PERMISIF DENGAN SCHOOL REFUSAL PADA SISWA DI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN KRISTEN SALATIGA
OLEH BAYU YOGI STYAJI 802011601
TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi Program StudiPsikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
HUBUNGAN POLA ASUH PERMISIF DENGAN SCHOOL REFUSAL PADA SISWA DI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN KRISTEN SALATIGA
Bayu Yogi Styaji Ratriana Y.E.Kusumiati
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan yang positif dan signifikan antara pola asuh permisif dengan school refusal siswa di Sekolah Menengah Kejuruan Kristen Salatiga. Penelitian ini dilakukan di Sekolah Menengah Kejuruan Kristen dengan subjek pelajar akktif. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teknik purposive sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan pengkhususan batasan tertentu. Selanjutnya, sampel penelitian berkisar 90 orang dengan pertimbangan bahwa jumlah sampel merupakan merupakan siswa yang berada di kelas 2. Untuk mengukur school refusal akan diukur menggunakan pengukuran menurut Setzer & Salzhauer (2001) yaitu menghindari objek atau situasi yang berhubungan dengan sekolah, menghindari situasi yang mendatangkan rasa tidak nyaman dalam berinteraksi dengan teman sebaya, mencari perhatian dari luar sekolah, dan mengejar kesenangan di luar sekolah. Sementara untuk mengukur pola asuh permisif (dalam Kang & Moore, 2011) yang mencakup rendahnya tutuan terhadap anak dan kecendrungan menuruti keinginan anak. Dari penelitian ini diperoleh hasil korelasi sebesar r it = 0,629 (p > 0,05). Hal tersebut menunjukan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara pola asuh permisif dan school refusal siswa di Sekolah Menengah Kejuruan Kristen Salatiga. Kata kunci: Pola asuh permisif, School Refusal
Abstact The objective of the study is to observe the relationship between permisif parenting and school refusal among Christian Vocation High School students Salatiga. The research is conducted in Chirstian Vocation High School, while the respondents are the active students. The sample of the research use purposive sampling, in which determine the sample according to certain characteristics. Furthermore, sample of the study are 90 of 2nd grade students. School refusal schale use school refusal scale according to Setzer & Salzhauer (2001) such as; object or situation related to school avoidance, avoid the situation which encourage uncomfortable feeling in establishing relationship withe peers, seeking attention outside school, and pursuit of pleasure outside school. While to measure permisif parenting used permisif parenting scale (Kang & Moore, 2011) including: the low demand to children and and i nclined to grant the wishes of children. The result of the study shows that correlation value rit = 0,629 (p > 0,05). It measn that there is a positive significant relationship between permisif parenting and school refusal among Christian Vocation High School students Salatiga. Key Words: Permisif Parenting, School Refusal
1 PENDAHULUAN Sekolah
sebagai
institusi
pendidikan
secara
berkesinambungan
berupaya
mengembangkan serta menumbuhkembangkan sifat pengendalian diri pada diri siswa, sehingga perbuatan siswa selalu berada dalam koridor disiplin dan tata tertib sekolah. Sebagai salah satu lembaga pendidikan formal di kota Salatiga, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) juga memiliki peran memajukan pendidikan bagi masyarakat di kota Salatiga dan sekitarnya juga (seperti wilayah kabupaten Semarang) dengan berlandaskan iman Kristiani. Namun dalam upaya memajukan pendidikan tersebut, terjadi beberapa kendala di SMK Kristen Salatiga. Berdasarkan wawancara terhadap kepala sekolah dan guru bimbingan konseling serta pengamatan penulis yang dilakukan secara nonformal pada awal tahun 2014, maka diketahui bahwa ada beberapa konotasi yang beredar terkait dengan tingkat kedisiplinan sekolah menengah kejuruan yang kurang mendapat perhatian dibandingkan sekolah menengah umum, sehingga untuk mencapai siswa yang berkualitas menjadi kurang maksimal. Fenomena kedisiplinan yang minim sangat mungkin terjadi jika proses pendidikan tanpa dukungan dari lingkungan yaitu keluarga, masyarakat, sekolah, dan kelompok teman sebaya meskipun di sekolah telah ada tata tertib yang mengajarkan untuk berdisiplin, tetapi masih saja ada siswa yang melanggarnya. Hurlock (2008) mengatakan bahwa disiplin merupakan cara masyarakat mengajar anak berperilaku moral yang disetujui kelompok. Adapun fungsi atau manfaat disiplin menurut Hurlock (2008) diantaranya: 1) untuk mengajar anak bahwa perilaku tertentu selalu diikuti hukuman, namun yang lain akan diikuti pujian, 2) untuk mengajar anak suatu tingkatan penyesuaian yang wajar tanpa menuntut konformitas yang berlebihan, 3) membantu anak mengendalikan diri dan pengarahan diri sehingga mereka dapat mengembangkan hati nurani untuk membimbing tindakan mereka. Terkait dengan penegakan disiplin, ada suatu permasalahan yang telah ada dan berkembang sejak beberapa dekade terakhir ini, salah satunya adalah school refusal yang telah menjadi tradisi di kalangan pelajar. Fenomena ini terlihat saat banyak pelajar yang dijumpai di luar kelas saat jam pelajaran. Bukan hanya berada di lingkungan sekolah saja, namun bahkan sampai ada yang meninggalkan sekolah. Menurut Kearney (2006) anak usia sekolah dapat mengalami school refusal jika: sama sekali meninggalkan sekolah (absen terus‐menerus); masuk sekolah tetapi kemudian meninggalkan sekolah sebelum jam sekolah usai; mengalami perilaku bermasalah yang berat setiap pagi saat menjelang pergi ke sekolah,
2 misalnya mengamuk (tantrum); pergi ke sekolah dengan kecemasan yang luar biasa dan di sekolah berulang kali mengalami masalah (misalnya pusing, ke toilet, berkeringat dingin). Kasus school refusal pada remaja umumnya dilatarbelakangi oleh kondisi kejiwaan yang memicu. Pada penelitan terkait maka diketahui bahwa ada hubungan antara school refusal dengan kemiskinan, ukuran keluarga, hidup dengan orang tua tiri, orang tua tanpa ijazah sekolah tinggi atau menganggur, tinggal di berbahaya lingkungan, gaya pengasuhan atau konflik, depresi ibu, atau orang tua dengan riwayat keyakinan pidana (Egger,dkk., 2003). Selain itu, munculnya school refusal biasanya dikaitkan dengan faktor keluarga yang di antaranya adalah: pola interaksi yang kurang sehat di dalam keluarga, misalnya adanya ketergantungan yang berlebihan antar anggota keluarga, masalah komunikasi serta masalah pembagian peran dalam keluarga (Fremont, 2003; Hogan, 2006). Sementara perilaku school refusal juga dipengaruhi pola interaksi dalam keluarga (Kearney & Silverman, 1995). Pada penelitianya Kearney & Silverman (2002) juga mengungkapkan bahwa kurangnya kendali orang tua atas fungsi kebebasan atau penjaringan yang minim berpotensi menimbulkan perilaku school refusal. Selain itu, dalam penelitiannya Manurung (2012) menemukan bahwa school refusal pada anak sekolah dasar disebabkan oleh pengalaman sebelumnya dari individu yang bersangkutan. Sementara, fenomena school refusal di sekolah pada akhir-akhir ini juga terbawa dan nampak hingga dewasa, yang terlihat pada kalangan pemerintahan seperti pada para pegawai negeri maupun wakil rakyat yang seharusnya menjalankan tugas dan kewajibannya secara optimal, dan masih banyak peristiwa lainnya. Selanjutnya, sebagaimana diungkapkan oleh Bernstein, dkk (2001) bahwa secara umum perilaku school refusal di antara anak laki-laki dan perempuan seimbang namun perilkau School Refusal pada anak perempuan mungkin didasarkan oleh rasa cemas dan takut, sementara perilaku school refusal pada anak laki-laki mungkin lebih didasarkan untuk keinginan yang kuat untuk memberontak atau melakukan perlawanan. Akhirnya melalui fenomena-fenomena tersebut serta penelitian terdahulu maka diketahui bahwa peran pola asuh orang tua dalam menegakan kedisiplinan berperan aktif terhadap terbentuknya perilaku suatu individu. Dengan kasus-kasus yang telah ada di atas dan fenomena yang terjadi di kalangan remaja mengenai school refusal khususnya di lingkungan sekolah menengah atas, maka penulis tertarik untuk meneliti apakah ada hubungan antara pola asuh permisif dengan school refusal remaja pada para siswa Sekolah Menegah Kejuruan (SMK) Kristen di Salatiga.
3 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diajukan rumusan masalah yaitu apakah ada hubungan antara pola asuh permisif dengan school refusal siswa di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kristen di Salatiga? TINJAUAN PUSTAKA Definisi School Refusal School refusal dapat diartikan sebagai perilaku menghindari sekolah karena adanya tekanan emosi, perasaan takut dan cemas menghadapi sekolah. Mereka biasanya merasa bersalah dengan meninggalkan sekolah dan rasa bersalah ini membuat mereka semakin tertekan (Wenar, 1994; Fremont, 2003). Meskipun, Gelfand & Drew (2003) berpendapat bahwa kini semakin sulit untuk membedakan kedua bentuk di atas karena semakin banyak bukti bahwa anak ternyata bisa saja mengalami gangguan kecemasan (yang berasosiasi dengan school phobia) dan gangguan perilaku agresif (yang berasosiasi dengan truancy) secara bersamaan. Selanjutnya, Kearney (2006) menambahkan bahwa anak usia sekolah dapat mengalami school refusal jika: sama sekali meninggalkan sekolah (absen terus‐menerus); masuk sekolah tetapi kemudian meninggalkan sekolah sebelum jam sekolah usai; mengalami perilaku bermasalah yang berat setiap pagi saat menjelang pergi ke sekolah, misalnya mengamuk (tantrum); pergi ke sekolah dengan kecemasan yang luar biasa dan di sekolah berulang kali mengalami masalah (misalnya pusing, ke toilet, berkeringat dingin). School refusal pada remaja umumnya dilatarbelakangi oleh kondisi kejiwaan yang memicu seperti: kemiskinan, ukuran keluarga, hidup dengan orang tua tiri, orang tua tanpa ijazah sekolah tinggi atau menganggur, tinggal di berbahaya lingkungan, gaya pengasuhan atau konflik, depresi ibu, atau orang tua dengan riwayat keyakinan pidana (Egger et al., 2003). Jenis School Refusal Menurut Gelfand & Drew (2003) school refusal terbagi menjadi dua jenis yaitu: (1) Jenis I (tipe akut), tipe ini puncaknya terjadi pada anak sekitar umur 5‐8 tahun. School refusal akut terjadi dalam kurun waktu antara 2 minggu sampai satu tahun. Tipe ini memiliki prognosis yang lebih bagus (2) Jenis II (kronis), yang terjadi selama 2 tahun ajaran atau lebih. Tipe ini puncaknya terjadi pada anak tingkat SLTP atau SLTA dan memperlihatkan kesulitan yang lebih serius. Tipe ini memiliki prognosis yang kurang bagus. Onset school refusal biasanya
4 mengikuti suatu pola yang cukup universal. Gangguan biasanya mulai timbul saat bangun pagi. Saat harus bersiap‐siap untuk berangkat ke sekolah, anak akan mengalami berbagai simtom seperti mual, muntah, sakit perut, diare, pusing, dan sebagainya. Hal‐hal kecil membuatnya marah (Wenar, 1994; Gelfand & Drew, 2003).
Indikator School Refusal School refusal bervariasi, namun secara umum Setzer & Salzhauer (2001) menyebutkan empat indikator untuk menghindari sekolah yaitu: (1) Menghindari objek‐objek atau situasi yang berhubungan dengan sekolah yang mendatangkan distress (2) Melarikan diri dari situasi yang mendatangkan rasa tidak nyaman baik dalam interaksi dengan sebaya atau dalam kegiatan akademik (3) Mencari perhatian dari pihak pihak terkait di luar sekolah (4) Mengejar penghargaan atas perilaku mencari kesenangan di luar sekolah.
Munculnya school refusal biasanya dikaitkan dengan faktor keluarga. Terjadinya school refusal pada anak telah ditemukan berhubungan dengan berbagai pola interaksi yang kurang sehat di dalam keluarga, misalnya adanya ketergantungan yang berlebihan antar anggota keluarga, masalah komunikasi serta masalah pembagian peran dalam keluarga (Fremont, 2003; Hogan, 2006). Pola Asuh Permisif Menurut Hurlock (2008) pada hakikatnya pola asuh merupakan upaya untuk mendidik serta mempersiapkan anak agar dapat menyesuaikan diri dan diterima oleh lingkungan sosial. Selanjutnya, Baumrind (1991) mendefinisikan pola asuh permisif sebagai parental control (kontrol orang tua terhadap anak-anaknya) yang disertai sikap orang tua yang terlampau bermurah atau berbaik hati dalam mendidik anak-anaknya dan terkadang lebih cenderung untuk memenuhi permintaan anak-anak. Pada pola asuh permisif, orang tua menganggap serta memperlakukan sebagai teman bagi anak-anaknnya sehingga sangat jarang menerapkan pendisiplinan kepada anak-anaknya karena mereka memiliki harapan kematangan dan pengontrolan diri yang relatif rendah, bahkan pola asuh seperti ini mendorong orang tua untuk lebih responsif dibandingkan dengan menuntut perilaku tertentu dari anak-anak mereka. Baumrind (dalam Mussen, 1989) mengatakan bahwa pola asuh permisif merupakan pola asuh yang tidak mengendalikan, tidak menuntut dan hangat, mereka tidak terorganisasi
5 dengan baik. Atau tidak efektif dalam menjalankan rumah tangga, lemah dalam mendisiplinkan dan mengajar remaja, hanya menutup sedikit perilaku dewasa dan hanya sedikit memberi perhatian dalam melatih kemandirian dan kepercayaan diri. Orang tua dengan gaya pengasuh permisif memberikan sedikit tuntutan dan menekankan sedikit disiplin. Orang tua yang menerapkan pola asuh permisif akan memiliki tingkat kontrol yang rendah dan tingkat responsif yang tinggi (Bornstein & Bornstein, 2007). Mereka seringkali lebih menerima dan menyetujui perilaku-perlaku anak-anak mereka dan percaya terhadap pendekatan tanpa pemberian hukuman. Mereka seringkali menghindari konfrontasi dan tidak menutut adanya ketaatan (Baumrind, 1991). Selanjutnya Baumrind (dalam Kang & Moore, 2011) Pola Asuh Permisif sebagai pola asuh dengan karakteristik orang tua yang tidak terlalu menuntut anak dan cenderung menuruti keingianan anak. Kebebasan diberikan secara penuh dan remaja diijinkan membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Tanpa peraturan orang tua dan boleh berkelakuan menurut apa yang diinginkannya tanpa adanya kontrol dari oran tua. Dari beberapa pendapat tersebut maka diketahui, bahwa pola asuh yang tepat merupakan faktor yang penting dalam pendidikan anak. Berdasarkan hasil penelitian, maka diketahui bahwa anak-anak yang dididik dengan pola asuh permisif akan cenderung memiliki tingkat kematangan serta dorongan untuk melakukan kontrol diri yang rendah (Cummings, Braungart-Rieker, & Du Rocher-Schudlich, 2003) .
Ciri Pola Asuh Permisif Pola asuh permisif ini memiliki beberapa karakteristik seperti: orang tua memberikan kebebasan seluas mungkin kepada anak. Orang tua (ayah maupun ibu) memberikan kasih sayang yang banyak dan bersikap sangat longgar. Dengan kata lain anak tidak dituntut untuk belajar bertanggung jawab, anak diberi hak yang sama dengan orang dewasa. Anak diberi kebebasan yang seluas-luasnya untuk mengatur dirinya sendiri. Orang tua tidak banyak campur tangan dalam mengatur dan mengontrol anak-anaknnya serta diberi kesempatan untuk mandiri dengan menyeimbangkan kontrol internalnya sendiri (Baumrind, 1971). Baumrind (dikutip Mahmud 2003), mengungkapkan ciri-ciri pola asuh permisif: a. Orang tua kurang sekali terlibat dalam mengontrol remaja b. Orang tua tidak menerapkan hukuman pada remaja. c. Orang tua tidak membentuk peran remaja dalam keluarga d. Orang tua kurang menggunakan haknya untuk membuat aturan kepada remaja.
6 Sementara Hurlock (2008), menyebutkan ciri-ciri pola asuh permisif, antara lain: tidak ada pengendalian atau kontrol serta tuntutan orang tua kepada anak, komunitas kurang hangat karena orang tua bersifat masa bodoh, disiplin yang bersifat permisif sehingga tidak membimbing anak ke arah pola perilaku yang disetujui secara sosial, juga tidak adanya hukuman atau hadiah. Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pola asuh permisif adalah pola asuh yang tidak menggunakan aturan-aturan yang ketat, bimbingan jarang diberikan sehingga tidak ada pengendalian, pengontrolan serta tuntutan kepada anak.
Remaja Tengah Menurut Hurlock (2000), remaja berasal dari kata latin adolescere (kata bendanya adolescentra yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa yang mengalami kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Jadi masa remaja adalah usia di mana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia di mana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua, melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Selanjutnya Hurlock (2000) menyatakan 13-18 tahun untuk remaja wanita dan 14-18 tahun untuk remaja pria, dan apabila remaja itu bersekolah mereka adalah duduk di sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah umum (SMU). Sedangkan menurut Monks (2002) batasan usia remaja antara 12-21 tahun, dan masa remaja dikelompokan menjadi 3 kelompok, yaitu: a. Masa remaja awal
: 12-15 tahun
b. Masa remaja tengah
: 15-18 tahun
c. Masa remaja akhir
: 18-21 tahun
Dari beberapa pendapat penulis mengacu pada pendapat yang dikemukakan oleh Monks (2002), yaitu bahwa batasan usia remaja tengah adalah dimulai dari umur 15-18 tahun. Menurut Hurlock (2000) masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan perilaku sebelum dan selanjutnya. Ciri-ciri tersebut akan dijelaskan secara singkat di bawah ini: a. Masa remaja sebagai periode yang penting Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat, terutama pada awal masa remaja, semua
7 perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai, dan minat baru. b. Masa remaja sebagai periode peralihan Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang terjadi sebelumnya, melainkan lebih-lebih sejumlah peralihan dari satu terhadap perkembangan ke tahap berikutnya. Artinya apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekasnya pada apa yang terjadi sekarang dan akan datang. c. Masa remaja sebagai periode perubahan Selama awal masa remaja, ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat maka perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung cepat. d. Masa remaja sebagai masa mencari identitas Identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa peranan dalam masyarakat. Hubungan Pola Asuh Permisif dengan School Refusal siswa Remaja yang kurang mendapat pemenuhan kebutuhan psikis dari lingkungannya dapat mengakibatkan remaja bersangkutan tumbuh dalam kesepian dan depresi, lebih mudah marah dan susah tidur, lebih gugup dan agresif (Shapiro dalam Sari, 2005). Pada kondisi ini, remaja menjadi rentan untuk terlibat pada kasus-kasus kriminalitas akibat pengaruh kekuatan yang tidak baik dalam lingkungan sosialnya, seperti tidak bertanggung jawab pada diri dan pemenuhan tugas serta kewajibannya (Gottman & DeClaire dalam Sari, 2005). Agar seseorang berperilaku baik tentu saja harus didasari adanya kemampuan untuk menyesuaikan dirinya dengan keadaan lingkungan tempat ia tinggal, sedangkan bila seseorang gagal dalam mengadakan penyesuaian diri akan dimanifestasi dalam kelainan tingkah laku yang dimunculkan dalam bentuk tingkah laku keinginan melanggar peraturan dan norma yang berlaku di lingkungan sosialnya (Daradjat, 1985). Pola asuh permisif sangatlah berpengaruh bagi perilaku, karena Pola asuh orang tua permisif bersikap terlalu lunak, tidak berdaya, memberi kebebasan terhadap anak tanpa adanya norma-norma yang harus diikuti oleh mereka. Sedikit banyak orang tua perpendapat bahwa pengasuhan yang sangat melongarkan anaknya akan mempengaruhi kedewasaan anaknya dengan baik, tetapi kadang orang tua juga salah, karena dampak dari pola asuh permisif yang mereka terapkan itulah seorang anak, kususnya remaja akan berbalik dengan perilaku agresif. Anak tersebut akan merasa sangat bebas bertindak dengan tidak adanya
8 tekanan yang diberikan orang tuanya. Dengan adanya pola asuh permisif yang bersifat bebas tersebut, seorang anak akan terbiasa merasa tidak ada halangan supaya dia dapat bertindak sesukanya tanpa adanya hukuman atau sangsi, karena orang tua sendiri tidak memberlakukan hukuman atau sangsi dan ketegasan. Melalui pola asuh permisif ini, maka seorang siswa atau siswi juga memberanikan diri untuk menampilkan perilaku school refusal, di mana individu yang bersangkutan berupaya menghindari tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelajar di sekolah. Pada prinsipnya perilaku school refusal berkepanjangan akhirnya akan berdampak prestasi akademik (Egger, Costello, & Angold, 2003). Oleh karena
itu, maka perilaku school refusal
ini, perlu
mendapatkan perhatian dan penanganan yang khusus dari pihak orang tua dan sekolah. Dari pola asuh permisif yang diterapkan itulah seorang remaja akan terbiasa melakukan proses yang semaunya sendiri dan menjadikan dirinya sebagai pemberontak dan menjadi sangat agresif di dalam lingkungannya, salah satunya adalah pertengkaran, perkelahian, atau perbuatan kriminal yang bila mana orang tua dapat mengontrolnya akan dapat di tanggulanginya. Hipotesis Berdasarkan landasan teori yang ada, maka rumusan hipotesis yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah adanya hubungan antara pola asuh permisif dengan school refusal pada para siswa SMK Kristen Salatiga.
METODOLOGI PENELITIAN Variabel Penelitian Adapun variabel-variabel dalam penelitian ini adalah : 1. Variabel terikat
: School refusal
Penelitian skala school refusal menurut Setzer & Salzhauer (2001) yaitu: (1) Menghindari objek‐objek atau situasi yang berhubungan dengan sekolah yang mendatangkan distress (2) Menghindar dari situasi yang mendatangkan rasa tidak nyaman baik dalam interaksi dengan sebaya atau dalam kegiatan akademik (3) Mencari perhatian dari significant others di luar sekolah (4) Mengejar kesenangan di luar sekolah.
9 2. Variabel bebas
: Pola asuh permisif
Selanjutnya, pengukuran pola asuh menggunakan skala pola asuh menurut Baumrind (dalam Kang & Moore, 2011) yaitu rendahnya tuntutan terhadap anak dan cenderung menuruti keingianan anak.
Populasi dan Sampel Populasi Populasi adalah semua individu atau sejumlah individu yang paling sedikit mempunyai sifat dan ciri yang sama sehingga kenyataan yang akan diperoleh tersebut akan dapat digeneralisasikan. Generalisasi ini berarti dapat diasumsikan ciri sifat atau karakteristik kelompok yang bersangkutan dapat mewakili sifat-sifat individu secara umum (Hadi, 1991). Dalam penelitian ini sebagai populasi adalah 300 siswa dan siswi remaja tengah yang bersekolah di sekolah menengah kejuruan SMK Kristen Salatiga. Adapun pemilihan subjek ini dikarenakan subjek masuk dalam kategori remaja tengah (usia antara 15-18) tahun. Selain itu fenomena school refusal secara umum lebih sering terjadi di sekolah kejuruan di bandingkan dengan sekolah menengah atas pada umumnya.
Sampel Sampel adalah bagian yang hendak dipelajari serta diselidiki dari penelitian dan minimal memiliki satu pengkhususan. Terkait dengan pengumpulan data, maka penelitian yang dikembangkan oleh penulis menggunakan teknik pengambilan sampel yang dilakukan dengan teknik Purposive Sampling, yaitu teknik pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu. Hal ini berarti subyek penelitian diperoleh peneliti melalui pengkhususan dengan batasan-batasan tertentu hingga jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi (Hadi, 1991). Karakteristik sampel yang diambil oleh penulis, yaitu: Subjek merupakan remaja tengah yang berusia antara 15-18 tahun. Pada penelitian ini penulis menggunakan sampel sebanyak 90 siswa dan siswi Sekolah Menengah Kejuruan Kristen Salatiga.
Metode Pengumpulan Data Penelitian mengenai hubungan antara pola asuh permisif dengan school refusal pada para siswa di Sekolah Menegah Kejuruan (SMK) Kristen Salatiga yang penulis lakukan menggunakan angket. Metode angket merupakan suatu metode penyelidikan yang menggunakan daftar pertanyaan yang berisi aspek-aspek yang hendak diukur dan yang harus dijawab atau dikerjakan oleh orang-orang yang menjadi subjek penelitian (Suryabrata, 2003).
10 Menurut Warsito (1995), mengatakan bahwa angket bertujuan untuk mendapatkan informasi yang lengkap mengenai suatu masalah. Angket yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah angket yang bersifat langsung. Nawawi (1995) menyatakan bahwa angket yang bersifat langsung adalah angket yang langsung diberikan kepada responden. Selain itu, angket yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket tertutup. Arikunto (2002) menyatakan bahwa angket tertutup adalah angket yang disajikan dalam bentuk sedemikian rupa, sehingga responden tinggal memberikan tanda centang (√) pada kolom atau tempat yang sesuai.
Uji Validitas dan uji reliabialitas Uji Validitas Validitas mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Pengujian alat ukur ini menggunakan teknik Product Moment dari Karl Pearson dengan rumus sebagai berikut :
rit
Ni
N it i t 2
t
2
Ni
2
t
2
keterangan :
rit = koefisien korelasi antara skor item dan skor total i = jumlah skor masing-masing item t = jumlah skor seluruh item total it = jumlah nilai hasil kali skor item dan skor total N = jumlah subjek yang diteliti Kriteria validitas item didasarkan pada besarnya korelasi yang diperoleh.
Menurut Azwar (2000) yaitu suatu item dikatakan valid jika koefisien korelasinya ≥ 0,25.
Uji Reliabilitas Reliabilitas alat ukur menyatakan seberapa hasil pengukuran dengan alat tersebut dapat dipercaya. Reliabilitas alat ukur menunjuk kepada sejauh mana perbedaan-perbedaan skor perolehan itu mencerminkan perbedaan-perbedaan atribut yang sebenarnya (Suryabrata, 2000). Penentuan reliabilitas pada penelitian ini menggunakan teknik Alpha Cronbach. Perhitungan teknik analisis varians menggunakan bantuan komputer paket SPSS for windows versi 17, dengan rumus : 2 2 N S Si S2 N 1 Keterangan
11
koefisien Alpha Cronbach N jumlah item pada kuisioner S 2 varians seluruh skor tes Si 2 varians tiap item Uji reliabilitas dalam penelitian ini mengikuti standar yang dikemukan oleh Awar (2000): α < 0.7
= tidak reliabel
0.7 < α < 0.8
= cukup
0.8 < α < 0.9
= bagus
0.9 < α < 1
= sangat bagus
Analisa Data Dalam penelitian ini metode analisis data yang digunakan teknik korelasi Product Moment dari Pearson yang berfungsi untuk mencari korelasi antara dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat yang masing-masing bergejala interval atau rasio (Sugiyono, 2009). Untuk menentukan signifikansi koefisien korelasi peneliti menggunakan program SPSS for windows versi 12.Rumus : 𝑟𝑥𝑦 =
𝑁 ∑𝑥𝑦 − ∑𝑥 . ∑𝑦 𝑁 . ∑𝑥 2 − ∑𝑥
2
. 𝑁 . ∑𝑦 2 − ∑ 𝑦
Keterangan : 𝑟𝑥𝑦
= Koefisien korelasi antara x dan y
∑𝑥
= Jumlah skor
∑𝑦
= Jumlah skor Produktivitas kerja
∑𝑥 2 = Jumlah kuadrat skor ∑𝑦 2 = Jumlah kuadrat skor variabel y ∑𝑥𝑦 = Jumlah hasil perkalian skor variabel x dengan skor variabel y 𝑁
HASIL
= Jumlah subjek
2
12 Analisis Deskriptif Analisa deskriptif dilakukan untuk melihat hasil penelitian berdasarkan rata-rata (mean), standart deviasi, nilai maksimal dan minimal. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka didapat rata-rata dari masing-masing variabel, sebagai berikut:
a. Pola Asuh Permisif Berdasarkan angket Pola Asuh Permisif terdapat 26 item valid. Berdasarkan hasil analisa dari angket Pola Asuh Permisif di dapat skor tertinggi adalah 104 dan skor terendah adalah 27 Berikut adalah rumus pengkategorian tinggi rendahnya atau interval Pola Asuh Permisif:
Interval
Jml skor tertinngi Jml skor terendah Jml Kategori 104 26 = 15,6 5 Tabel 4.2 Pola Asuh Permisif
Skor Kriteria 26 ≤ x < 41,6 Sangat rendah 41,6 ≤ x < 57,2 Rendah 57,2 ≤ x < 72,8 Sedang 72,8 ≤ x < 88,4 Tinggi 88,4 ≤ x ≤ 104 Sangat tinggi Jumlah
F 4 43 23 14 6
% 4,44% 47,78% 25,56% 15,56% 6,67% 100
Min 27
Max
Mean
60,3778 104 SD = 15,40435
Dari tabel di atas, diketahui bahwa sebanyak 20 siswa beranggapan bahwa mereka tumbuh dan berkembang dalam Pola Asuh Permisif. Sedangkan sebanyak 47 siswa menganggap mereka tidak diasuh dalam Pola Asuh Permisif. Skor tertinggi pada kategori sangat tinggi dan skor terendah berada pada kategori sangat rendah. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel di atas.
b. Perilaku School Refusal Angket Perilaku School Refusal disusun berdasarkan 33 item skala school refusal menurut Setzer & Salzhauer (2001). Pengkategorian tinggi rendahnya Perilaku School Refusal berdasarkan skor tertinggi dari penilaian Perilaku School Refusal adalah 98 dan skor
13 terendahnya adalah 37, dengan 5 kategori yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah. Berikut adalah tabel hasil pengkategorian:
Tabel 4.3 Interval Perilaku School Refusal Skor Kriteria 27 ≤ X < 43,2 Sangat rendah 43,2 ≤ X <59,4 Rendah 59,4 ≤ X < 75,6 Sedang 75,6 ≤ X < 91,8 Tinggi 91,8 ≤ X ≤ 108 Sangat tinggi Jumlah
F 3 49 22 11 5
% 3,33% 54,44% 24,44% 12,22% 5,56% 100
Min 37
Max
Mean
61,8778 98 SD = 14,24728
x = Perilaku School Refusal
Dari tabel di atas, diketahui bahwa rata-rata responden Perilaku School Refusalnya berada pada kategori sedang. Nilai tertinggi berada pada kategori sangat tinggi dan nilai terendah pada kategori sangat rendah. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel di atas.
Uji Asumsi Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji one sampleKolmogrov Smirnov. Uji normalitas hanya dilakukan pada angket Pola Asuh Permisif. Hasil uji normalitas terhadap sampel yang berasal dari siswa SMK Kristen Salatiga, didapat nilai Kolmogrov Smirnov angket Pola Asuh Permisif 1,885 (p < 0,05) sedangkan nilai Kolmogrov Smirnov angket Perilaku School Refusal sebesar 1,757 (p < 0,05). Syarat data normal adalah p > 0,05. Hal ini berarti data responden tidak berdistribusi normal. Hasil uji normalitas dan grafik uji normalitas dapat dilihat pada lampiran. Uji Linearitas Uji linearitas dilakukan untuk melihat data linear atau tidak. Uji linearitas dilakukan dengan melihat nilai F. Nilai F = .1,751 (p < 0,05), hal ini berarti uji linearitas tidak terpenuhi. Uji Korelasi Dari hasi uji normalitas dan uji linearitas data, didapat hasil data tidak berdistribusi normal dan data tidak linear. Jadi, perhitungan korelasi yang dilakukan adalah menggunakan korelasi sperman rho. Berdasarkan pada perhitungan Uji
14 korelasi sperman rho dari output SPSS terlihat bahwa nilai r = 0,629 (p < 0,05). Melihat hasil perhitungan tersebut Hi diterima dan H0 ditolak. Ini berarti disimpulkan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara Pola Asuh Permisif dengan Perilaku School Refusal siswa SMK Kristen Salatiga. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran.
PEMBAHASAN Dari hasil penelitian korelasi sperman rho sebesar 0,629 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara pola asuh permisif dan perilaku School refusal siswa SMK Kristen Salatiga. Adapun temuan ini dimungkinkan terjadi, karena remaja yang berada dalam lingkungan dengan pola asuh permisif cenderung mendapatkan kebebasan bersikap dan berperilaku tanpa adanya kontrol dan evaluasi atas sikap nya akan berperilaku school refusal bersikap dan berperilaku. Pada pola asuh permisif orang tua lebih mengutamakan pengembangan aplikasi kompetensi yang dimilikinya. Hasil temuan tersebut juga mengindikasikan bahwa secara umum bahwa agar seseorang bersikap dan berperilaku sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelajar tentu saja harus didasari adanya kemampuan untuk menyesuaikan dirinya dengan keadaan lingkungan sekolahnya baik dalam belajar maupun dalam bersosialisasi, sedangkan bila seseorang gagal dalam mengadakan penyesuaian diri akan dimanifestasi dalam sikap dan tingkah laku melanggar peraturan dan norma yang berlaku di lingkungan sekolahnya. Pada hakikatnya pola asuh permisif sangatlah berpengaruh bagi perilaku, karena Pola asuh orang tua permisif bersikap terlalu lunak, tidak berdaya, memberi kebebasan terhadap anak tanpa adanya norma-norma yang harus diikuti oleh mereka. Dengan adanya pola asuh permisif yang bersifat bebas tersebut, seorang anak akan terbiasa merasa tidak ada halangan supaya dia dapat bertindak sesukanya tanpa adanya hukuman atau sangsi, karena orang tua sendiri tidak memberlakukan hukuman atau sangsi dan ketegasan. Melalui pola asuh permisif ini, maka seorang siswa atau siswi juga memberanikan diri untuk menampilkan perilaku school refusal, di mana individu yang bersangkutan berupaya menghindari tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelajar di sekolah. Pada prinsipnya perilaku school refusal berkepanjangan akhirnya akan berdampak prestasi akademik (Egger, Costello, & Angold, 2003).
15 Penelitian ini sesuai dengan pendapat yang diungkapkan Hurlock (2008) bahwa melalui pola asuh yang merupakan upaya untuk mendidik serta mempersiapkan anak agar dapat menyesuaikan diri dan diterima oleh lingkungan sosial. Namun upaya tersebut tidak dapat memenuhi tujuan pendidikan dasar dalalm keluarga, karena adanya kontrol dari orang tua yang minim. Seperti diungkapkan Baumrind (1991) bahwa melalui pola asuh permisif sebagai parental control (kontrol orang tua teerhadap anak-anaknya) yang disertai sikap orang tua yang terlampau bermurah atau berbaik hati dalam mendidik anak-anaknya dan terkadang lebih cenderung untuk memenuhi permintaan anak-anak, berakibat pada pendisiplinan yang rendah dengan kematangan dan pengontrolan diri yang relatif rendah, bahkan pola asuh seperti ini mendorong orang tua untuk lebih responsif dibandingkan dengan menuntut perilaku tertentu dari anak- anak mereka. Secara umum melalaui pola asuh permisif dengan karakteristik pemberian kebebasan seluas mungkin kepada anak, memberi kasih sayang yang banyak dan bersikap sangat longgar maka mengakibatkan seorang remaja menjadi pribadi yang tidak dituntut untuk belajar bertanggung jawab. Sementara berdasarkan besarnya korelasi / nilai r maka diketahui bahwa pola asuh permisif memilki sumbangan efektif sebesar 0,395 terhadap perilaku school refusal, dimana melalui pola asuh permisif dengan karakteristik sikap terlalu lunak, tidak berdaya, memberi kebebasan terhadap remaja tanpa adanya norma-norma yang harus diikuti oleh remaja yang bersangkutan dapat memicu remaja utuk mengutamakan kebebasan dalam bertindak dengan tidak adanya tekanan yang diberikan orang tuanya. Selain itu remaja yang bersangkutan juga terbiasa merasa tidak ada halangan dalam bertindak sesukanya tanpa adanya hukuman atau sangsi, meskipun menampilkan perilaku school refusal, di mana individu yang bersangkutan berupaya menghindari tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelajar di sekolah. Jadi secara umum dapat disimpulkan bahwa pola asuh permisif berhubungan dengan Perilaku School Refusal.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisa data penelitian, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Ada hubungan positif dan signifikan antara pola asuh permisif dengan school refusal siswa di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kristen di Salatiga. Hal tersebut berarti semakin tinggi pola asuh permisif maka semakin tinggi perilaku school refusal remaja. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah pola asuh permisif dengan school
16 refusal semakin rendah pula perilaku school refusal siswa di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kristen di Salatiga 2. Alat ukur perilaku school refusal memiliki nilai rata-rata sebesar 61,8778 sehingga dapat dikatkan bahwa perilaku school refusal siswa di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kristen di Salatiga Salatiga termasuk dalam kategori sedang. 3. Alat ukur pola permisif memiliki rata-rata sebesar 60,3778 yang menunjukan bahwa siswa di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kristen di Salatiga berada dalam keluarga dengan pola asuh permisif dalam kategori sedang. 4. Sumbangan efektif pola suh permisif terhadap perilaku school refusal sebesar 0,395 %
B. Saran Dengan hasil penelitian di atas, maka peneliti mengajukan saran bagi beberapa pihak sebagai berikut : 1. Bagi Keluarga a.
Dapat memperbaiki pola asuh terhadap remaja dan menyesuaikan dengan karakteristik anak sehingga para remaja dapat lebih memahami tugas dan tanggungjawab sebagai seorang individu (baik sebagai pelajar maupun anak di dalam keluarga, dan anggota masyarakat).
b.
Lebih memantau sikap dan perilaku anak dan memberikan kontrol serta feedback terhadap sikap dan perilaku yang ditampilkan anak.
c.
Memantau kegiatan akademis remaja dan evaluasi terhadap sikap dan perilaku siswa baik di lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah, sehingga menciptakan
situasi
dan
kondisi
yang
lebih
kondusif
dalam
upaya
mengembangkan tanggung jawab remaja.
2. Bagi Siswa a.
Mengembangkan kompetensi dan keahlian akademis dan non akademis secara lebih maksimal agar dapat mencapai target hasil atau output dari proses belajar secara maksimal.
b.
Lebih menjaga pergaulan baik di dalam lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah yang memiliki peran penting dalam membentuk kebiasaan untuk berperilaku di kalangan remaja.
c.
Memilih kegiatan ekstra kulikuler atau tambahan di sekolah yang dapat mengembangkan kompetensi sisiwa secara akademis maupun non akademis.
17 d.
Terlibat aktif dalam kegiatan masyarakat (karang taruna) dan komunitas (perkumpulan keagamaan).
3. Bagi Peneliti Selanjutnya Bagi penelitian selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan meneliti faktor-faktor lain yang memiliki hubungan yang erat dengan perilaku school refusal siswa di Sekolah selain pola asuh permisif. Faktor-faktor tersebut seperti: faktor komponen metode tugas dalam belajar, lingkungan sosial, orientasi siswa yang bersangkutan dalam belajar, latar belakang keluarga (sosial, ekonomi dan pendidikan), dan lain sebagainya
18 DAFTAR PUSTAKA
Arikunto. (2002). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Azwar. (2000). Reliabilitas dan Validitas (edisi ketiga). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Baumrind (1991). The Influence of Parenting Style on Adolescent Competence and Substance Use. Journal of Early Adolescence. 11(1), 56-95. Bernstein, Borchardt, C., Perwien, A., Crosby, R., Kushner, M., Thuras, P., Last, C. (2001). Imipramine plus cognitive-behavioral therapy in the treatment of school refusal. Journal of the American Academy of Child & Adolescent Psychiatry, 39(3), 276-283. Dodge, K. A., & Frame, C. L. (1982). Social cognitive biases and deficits in aggressive boys. Child Development. 53, 620–632. Egger, Costello, & Angold. (2003). The Development Epidemiology of Anxiety Disorder: Phenomenology, Prevalence, and Comorbidity. Journal. 14 (631-648). Adolescent Psychiatric Clinic of North America. Fremont (2003). School refusal in children and adolescents. American Family Physician, 68, 1555–1560, 1563–1564. Gelfand, D. M. & Drew, C, J. (2003). Understanding Child Behavior Disorders. 4th edition. Australia: Thomson Wadsworth. Ghozali. I. (2006). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. (edisi ke 4). Semarang: Badan Penerbit Unversitas Diponegoro Hadi, S. (1991). Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM. Hadi, S. (1995). Analisis Regresi. Yogyakarta: Andi Offset. Hogan, M. (2006). School Phobia. Diambil dari www.school phobia.htm, pada 10 November 2014. Hurlock, E. B. (2008). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Terjemahan (sedisi ke 5). Jakarta: Erlangga. Kang, Y. & Moore, J. (2011). ‘Parenting style and adolescents’ school performance in mainland China’. US–China Education Review, B (1), 133–138. Kearney& Silverman (1995). Functionally-based prescriptive and nonprescriptive treatment for children and adolescents with school refusal behavior. Behavior Therapy, 30, 673−695.
19 _________________ (2002) School refusal behavior. In R. B. Mennuti, A. Freeman, & R. W. Christner (Eds.), Cognitive–behavioral interventions in educational settings: A handbook for practice (hlm. 89−105). New York: Brunner-Routledge. Kearney, C.A. 2006. Casebook in Child Behavior Disorders. 3rd edition. Australia: Thomson Wadsworth. Medinnus, G.R., & Johnson, R.C. (1976). Child & Adolescent Psychology, 2nd edition. Canada: John Wiley & Sons, Inc Monks, dkk, (2002). Psikologi Perkembangan, Yogyakarta:Gadjah Mada University Press. Nawawi. H. (1995). Metode Penelitian Bidang Sosial. Jogjakarta: Universitas Gajah Mada Press Papalia, D., dkk. (2001). Human Develompment. New York: Mc Graw Hill. Santrock, J. (2002). Life-Span Development : Perkembangan Masa Hidup, edisi 5, jilid 1. Jakarta : Erlangga. Sears, D, O. Freedman, J, L & Peplau, L, A. (1985). Psikologi sosial. edisi kelima, jilid 1. Jakarta: Erlangga. Setzer, N. & Salzhauer, A. (2001). Understanding School Refusal. NYU Child Study Center Source: Journal of Youth and Adolescence, February (2009). (diterjemahkan dari http://news.yahoo.com/s/nm/20081126/tv_nm/us_teen_violence;_ylt=AgOmYvjngUx DmT8yin3LuObLLJ94) Soemantrie. H. (2010). Perkembangan Kurikulum Sekolah Madrasah Aliyah di Indonesia: Suatu Perspektif Historis dari Masa ke Masa. (edisi pertama). Jakarta: Kementrian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum Sukadji. (1988). Keluarga dan Keberhasilan Pendidikan. Diambil tanggal 3 April 2010 dari http://one.indoskripsi.com/content/faktor-penyebab-perilaku-agresi. Sumadi, S. (2003). Metode Penelitian. Jakarta: Rajawali Sumadi, S. (2000). Metode Penelitian. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Suryabrata, S. (2003). Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Trijono, Lambang. 2001, Keluar dari Kemelut Maluku. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Warsito. H. (1995). Pengantar etodologi Penelitian. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Winkel, W. S. (2004). Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
20
http://psikologi-unissula.com/article/88565/agresivitas-anak--suatu-studi-kasus.html Orgs/Rts (2002,July 18).siswi SMU 82 Lapor ke Polisi karena Dianiaya Senior.Kompas diambil dari: http://www.Kompas.com Seminar Nasional Fungsionalisasi Lembaga Pendidikan sebagai Upaya Penanggulangan Kenakalan Remaja. Wawasan. 2001. Koran Jawa Tengah. Tanggal 9 Februari