HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PENYESUAIAN SOSIAL PADA SISWA KELAS AKSELERASI TINGKAT SMP DI KOTA AMBON
OLEH DENSY DAYANA PATTIRUHU 802010016
TUGAS AKHIR DiajukanKepadaFakultasPsikologiGunaMemenuhiSebagian Dari PersyaratanUntukMencapaiGelarSarjanaPsikologi
Program StudiPsikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2014
ii
ii
ii
ii
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PENYESUAIAN SOSIAL PADA SISWA KELAS AKSELERASI TINGKAT SMP DI KOTA AMBON
Densy Dayana Pattiruhu Chr. Hari Soetjiningsih Enjang Wahyuningrum
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2014
ii
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian sosial pada siswa kelas akselerasi tingkat SMP di kota Ambon. Sebanyak 70 siswa kelas akselerasi pada SMP Negeri 1 dan SMP Negeri 6 Ambon diambil sebagai sampel yang dilakukan dengan mengunakan teknik sampel jenuh. Pengumpulan data kecerdasan emosional dilakukan dengan skala emotional intelligence dan skala penyesuaian sosial. Teknik analisa data yang dipakai adalah teknik korelasi product moment dengan menggunakan bantuan SPSS 20 for windows. Dari hasil analisa data diperoleh koefisien korelasi (r) 0.447 dengan signifikansi 0,000 (p < 0,05) yang berarti ada hubungan positif dan signifikan antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian sosial siswa kelas akselerasi. Hal ini bermakna bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional yang dimiliki oleh siswa kelas akselerasi maka semakin tinggi pula penyesuaian sosialnya.
Kata Kunci: Kecerdasan emosional, penyesuaian sosial, siswa akselerasi.
i
ABSTRACT
The purpose of this research is to find out the relationship between emotional intelligence and social adjustment of Junior High School students in the accelerated classes in Ambon. The sampling technique used in this research is saturated sampling technique with 70 students of the accelerated classes in SMP Negeri 1 and SMP Negeri 6 in Ambon. The data collection of emotional intelligence is done by applying the scale of emotional intelligence and the scale of social adjustment. The technique of data analysis utilized in this research is the correlation technique of product moment assisted by SPSS 20 for Windows. The result of the data analysis shows that there is a correlation coefficient (r) 0,447 with significance = 0, 000 (p < 0.05) which means that there is a positive and significant relationship between emotional intelligence and social adjustment of the students in the accelerated classes. It means that the higher the emotional intelligence of the students in the accelerated classes, the higher the social adjustment.
Key Words : Emotional Intelligence, Social Adjustment, Accelerated Students.
ii
1
PENDAHULUAN Setiap anak yang mengikuti pendidikan di sekolah kemampuannya sangat bervariasi. Kemampuan mereka ada yang di bawah rata-rata, rata-rata, dan di atas ratarata. Pendidikan bagi anak yang membutuhkan pendidikan khusus tidak sama dengan anak-anak yang normal. Munandar (1992) menyebutkan bahwa bagi anak-anak yang menyimpang ke atas (anak berbakat) maupun anak-anak yang menyimpang ke bawah (anak yang dalam keadaan kurang atau cacat) membutuhkan pendidikan khusus agar kemampuan-kemampuannya dapat dikembangkan sepenuhnya. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Wandasari (2004) agar potensi dan kebutuhannya dapat berkembang secara optimal perlu diadakan layanan pendidikan khusus bagi remaja yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Salah satu program bagi anak-anak tersebut adalah percepatan belajar atau program akselerasi. Hawadi (2004) menjelaskan bahwa dengan adanya kelas akselerasi dapat mencegah rasa bosan terhadap iklim kelas yang kurang mendukung berkembangnya potensi siswa dan memacu siswa meningkatkan kecerdasan spiritual dan emosional secara seimbang. Southern dan Jones (dalam Hawadi, 2004) menjelaskan bahwa terdapat beberapa keuntungan yang potensial dari pelaksanaan akselerasi antara lain, peningkatan
efisiensi,
peningkatan
efektivitas,
peningkatan
waktu
untuk
mempersiapkan masa depan, peningkatan produktivitas dan keuntungan ekonomis. Selain memberikan dampak positif, program akselerasi juga memberikan dampak negatif terhadap penyesuaian sosial dan penyesuaian emosional remaja. Menurut pengamat pendidikan Darmaningtyas (dalam Primasari, 2008) bahwa kelas akselerasi hanya mempercepat perkembangan kognitif peserta didik tetapi tidak mempercepat sisi afektif dan psikomotorik. Dengan kata lain bahwa kelas akselerasi hanya berorientasi
2
pada tataran kognitif saja. Hal ini membuat siswa akselerasi mengalami berbagai permasalahan salah satunya masalah penyesuaian sosial. Seperti yang dikemukakan oleh Maimunah (2009), dari hasil penelitiannya yang menemukan bahwa tidak semua siswa akslerasi di SMPN 1 dan MAN 1 Malang memiliki penyesuaian sosial yang baik. Hasil analisa data menunjukkan bahwa siswa akselerasi memiliki kemampuan penyesuaian terhadap emosi yang lebih baik dibandingkan dengan penyesuaian sosialnya. Adapun dampak yang dirasakan para siswa tersebut selama mereka menjadi siswa akselerasi bahwa waktu istirahat dan bermainnya kurang, temannya sedikit, dikucilkan oleh teman lain atau dimusuhi oleh kakak kelasnya, dianggap sok dan tidak bisa bebas mengikuti kegiatan ekstrakulikuler. Selain itu, dampak secara emosi yang dirasakan adalah kekhawatiran atau takut bila mendapatkan nilai buruk dan merasa malu jika nilainya lebih jelek jika dibandingkan dengan teman-temannya yang berada di kelas reguler. Hasil penelitian Anggoro (2008) juga menunjukkan bahwa siswa akselerasi cenderung mengalami masalah-masalah terkait masalah pribadi, hubungan sosial, kebiasaan belajar, penyesuaian terhadap sekolah atau kurikulum, penggunanaan waktu luang dan masa depan yang berhubungan dengan jabatan. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa masih banyak permasalahan yang dihadapi oleh siswa kelas akselerasi yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Hal ini juga diperkuat dengan pernyataan Gibson (1980) mengatakan bahwa kelemahan utama program akselerasi adalah menyangkut penyesuaian sosial. Richardson dan Benbow (1990) juga berpendapat sama, bahwa dampak negatif dari program akselerasi adalah perkembangan sosial dan emosional siswa.
3
Permasalahan terkait penyesuaian sosial juga terjadi pada siswa kelas akselerasi SMP di kota Ambon. Berdasarkan fenomena yang penulis dapatkan dari hasil observasi dan wawancara dengan guru dan siswa pada SMP Negeri 6 dan SMP Negeri 1 Ambon menunjukkan bahwa sebagian siswa kelas akselerasi mengalami kesulitan dalam melakukan penyesuaian sosial. Dari hasil wawancara kepada beberapa siswa kelas akselerasi di SMP Negeri 1 Ambon pada 11 November 2013, mengatakan bahwa ada beberapa siswa kelas akselerasi yang suka menyendiri, teman mereka terbatas dan jarang berteman dengan yang lain. Hal ini juga diperkuat dengan pendapat wali kelasnya bahwa ada beberapa anak kelas akselerasi yang terlibat berselisih paham dengan anak lain dan tidak bergaul dengan siswa dari kelas reguler. Selain itu, menurut salah satu siswa kelas akselerasi SMP Negeri 6 Ambon yang diwawancarai pada 23 Desember 2013, penulis mendapat gambaran bahwa di dalam kelas ada anak yang saling bermusuhan dan ada juga anak yang saat belajar senang mengganggu anak lain. Menurut penjelasan salah satu guru, siswa kelas akselerasi terkadang tidak menghormati orang lain khususnya pada guru-guru baru yang sedang praktik di sekolah tersebut. Mereka sering membuat kegaduhan saat di kelas, tidak memperhatikan dan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang sulit sehingga guru-guru tersebut tidak mampu menjawabnya. Selain itu, dari hasil pengamatan seorang siswa kelas akselerasi di rumah, siswa tersebut sering bertengkar dengan saudara yang usianya terpaut tiga tahun lebih tua darinya dan menunjukkan sikap keras kepala pada orangtuanya. Siswa tersebut lebih senang bermain dengan teman-temannya atau pergi bersama teman dibanding membantu orangtua di rumah.
4
Menurut Dharamvir, Tali dan Goel (2011) sekolah merupakan salah satu tempat penting di mana anak-anak dapat melakukan kontak dengan teman sebaya, membentuk persahabatan dan berpartisipasi dalam kelompok sosial dengan anak lain. Namun, berdasarkan wawancara pada guru, tidak semua anak-anak kelas akselerasi pada kedua sekolah terlibat aktif dalam kegiatan organisasi maupun ekstrakulikuler. Bahkan ada siswa yang sama sekali tidak terlibat dalam kegiatan ekstrakulikuler. Waktu mereka banyak tersita untuk belajar dan mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru. Hal ini sesuai dengan salah satu indikator dari penyesuaian sosial yan dikemukakan oleh Schneiders (1964) terkait penyesuaian di sekolah. Selain itu, para siswa kelas akselerasi menghabiskan waktu belajar rata-rata 9 jam ke atas dan tekadang waktu istirahat juga digunakam siswa untuk membaca materi pelajaran berikutnya atau mengerjakan tugas di dalam kelas daripada berinteraksi dengan teman-temannya. Aktivitas yang padat tersebut membuat mereka menjadi berkurang kesempatannya untuk bergaul dan berinteraksi dengan teman-temannya karena dituntut untuk selalu belajar. Baker dan Siryk (dalam Cohon & Guliano, 1999) mengatakan bahwa penyesuaian sosial berhubungan dengan bagaimana hubungan seseorang dengan orang-orang di sekitarnya terutama lingkungan sekolah, dan bagaimana dia berhasil untuk mengikuti kegiatan sosial dan berfungsi baik di lingkungan sosialnya. Penyesuaian sosial sangat diperlukan siswa akselerasi untuk mampu berinteraksi dan menjalin hubungan sehat dan akrab dengan lingkungannya. Kepadatan materi yang diberikan pada siswa akselerasi akan mengurangi aktivitas sosialnya terutama berkaitan dengan tugas perkembangan usianya. Hal ini akan mempengaruhi keberhasilan dirinya dalam menjalin hubungan sosial dengan
5
masyarakat luas atau dengan kata lain siswa tersebut rentan memiliki tingkat penyesuaian sosial yang rendah (Primasari, 2008). Individu yang sukses dalam perkembangan sosial biasanya memiliki kepandaian bergaul, pandai mencari teman, dan mampu menjaga perasaan orang-orang yang menjadi
temannya. Kegagalan
dalam
tugas
perkembangan
ini
menyebabkan
unhappiness atau ketidakbahagiaan. Selain itu, pada masa remaja juga berkembang kognisi sosial yaitu kemampuan memahami orang lain sebagai individu yang unik, baik menyangkut sifat-sifat pribadi, minat, nilai-nilai maupun perasaannya. Pemahaman ini mendorong remaja untuk menjalin hubungan sosial yang lebih akrab dengan sebayanya (Yusuf, 2009). Untuk itu, remaja dituntut untuk memiliki kemampuan penyesuaian sosial yang baik dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Papalia, dkk. (2004) mengatakan bahwa salah satu poin ciri masa remaja (13-17 tahun) adalah memiliki masalah yang berhubungan dengan keadaan jasmaninya, kebebasannya, nilai-nilai yang dianutnya, peranan pria dan wanita dewasa, lawan jenis, masyarakat dan kemampuan mengerjakan sesuatu yang terkadang sukar untuk diselesaikan karena menganggap orangtua dan guru terlalu tua untuk mengerti pikiran dan perasaannya. Gunarsa (2000) juga menyebutkan bahwa, karena kurang baiknya penguasaan tugas-tugas perkembangan menimbulkan tidak sedikitnya remaja yang berperilaku antisosial maupun asusila. Menjadi tugas remaja untuk mengatasi masalah tersebut, agar menimbulkan kebahagian pelaksanaan tugas perkembangan selanjutnya. Gunarsa (2000) menyimpulkan tugas perkembangan remaja yang amat penting adalah mampu menerima keadaan dirinya, memahami peran seks atau jenis kelamin, mengembangkan
6
kemandirian, mengembangkan tanggung jawab pribadi dan sosial, menginternalisasikan nilai-nilai moral, dan merencanakan masa depan. Kecerdasan emosional adalah hal yang esensial yang perlu dimiliki untuk dapat suskes dalam melakukan penyesuaian (Adeyemo, 2006). Penyesuaian sosial dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah kecerdasan emosional seperti yang diungkapkan Engelberg dan Sjoberg (2004) bahwa kecerdasan emosional merupakan salah satu fakor yang dapat menentukan keberhasilan penyesuaian sosial seseorang. Selain kecerdasan emosional, ada beberapa faktor lain yang turut mempengaruhi penyesuaian sosial seperti yang dikemukakan oleh Ketsetzis, Ryan dan Adams (1998) bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial seseorang yaitu proses dalam keluarga, interaksi orang tua dan anak, dan karakteristik anak akan mempengaruhi penyesuaian sosialnya. Kecerdasan emosional ini terlihat dalam beberapa hal seperti bagaimana remaja mampu menilai ekspresi emosi yang dutunjukan orang lain maupun diri sendiri, mampu mengatur emosi dan dapat memanfaatkan emosi dalam menyelesaikan masalah (Salovey & Mayer, 1990). Remaja yang telah memiliki kecerdasan emosi akan lebih terampil dalam menenangkan dirinya. Menurut Gottman (1997) remaja yang belajar mengenali dan menguasai emosinya akan menjadi lebih percaya diri, lebih sehat fisik dan psikis, dan cenderung akan menjadi orang yang sehat secara emosi. Siswa kelas akselerasi tingkat SMP termasuk ke dalam kategori remaja awal. Shouthern dan Jones (dalam Hawadi, 2004) menjelaskan bahwa siswa akselerasi akan mudah frustasi dengan adanya tekanan dan tuntutan berprestasi serta akan mengalami social maladjustment karena siswa akselerasi kekurangan waktu beraktivitas dengan teman sebayanya. Namun, bila anak-anak telah memiliki kecerdasan emosional, mereka
7
dapat mengatasi dampak negatif terhadap penyesuaian sosial yang mereka rasakan dari diadakannya program akselerasi. Dari hasi penelitian yang dilakukan oleh Punia dan Sangwan (2011) mengemukakan bahwa siswa yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi menunjukkan penyesuaian sosial yang baik juga. Adeyemo (2006) mengemukakan bahwa ada hubungan yang signifikan diantara kecerdasan emosional dengan penyesuaian diri, selain itu kecerdasan emosional juga memiliki kontribusi pada penyesuaian sosial dan penyesuaian akademik siswa SMP. Eksperimen yang dilakukan Jdaitawi, Ishak dan Mustafa (2011) pada mahasiswa baru di North Jordan menunjukkan bahwa kecerdasan emosional memiliki pengaruh pada penyesuaian sosial dan akademis mahasiswa baru. Meskipun dalam penelitian tersebut tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol pada penyesuaian sosial dan akademis mereka. Penelitian Engelberg dan Sjoberg (2004) mendapati hasil bahwa kecerdasan emosional memiliki hubungan dengan penyesuaian sosial. Studi yang dilakukan oleh Mestre, Guil, Lopes dan Olarte, (2006) pada 127 remaja Spanyol mendukung hipotesis yang menyatakan bahwa kecerdasan emosional memiliki hubungan positif dengan indikator dari penyesuaian sosial dan akademis di sekolah. Dari penjelasan di atas, penulis melihat masih kurangnya penelitian yang mengambil subjek siswa yang memiliki keberbakatan di kelas akselerasi. Hal inilah yang mendasari penulis melakukan penelitian mengenai hubungan antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian sosial pada siswa kelas akselerasi tingkat SMP di kota Ambon.
8
Penyesuaian Sosial Penyesuaian sosial penting di miliki setiap individu khususnya remaja, agar dapat diterima di lingkungan sosialnya. Menurut Schneiders (1964) penyesuaian sosial adalah suatu kemampuan untuk mereaksi secara tepat terhadap realitas sosial, situasi dan relasi. Penyesuaian ini dilakukan individu terhadap lingkungan di luar dirinya, seperti lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat. Baker dan Siryk (dalam Cohorn & Guliano, 1999) mendefinisikan penyesuaian sosial sebagai kemampuan individu untuk berhubungan dan terlibat dengan aktivitas sosial dalam kelompok di sekolah dan keberhasilan hubungan interpersonal individu. Penyesuaian sosial tersebut berhubungan dengan bagaimana hubungan seseorang dengan orang-orang di sekitarnya terutama lingkungan sekolah, dan bagaimana dia berhasil untuk mengikuti kegiatan sosial dan berfungsi baik di lingkungan sosialnya. Menurut Schneiders (1964) penyesuaian sosial seseorang dapat dilihat pada 3 situasi berikut, yaitu : a. Penyesuaian di rumah dan keluarga Penyesuaian di rumah dan keluarga ditunjukkan oleh individu melalui kemampuan menjalin hubungan baik dengan anggota keluarga, mampu menerima otoritas orangtua, menerima tanggung jawab dan batasan-batasan dalam keluarga, membantu keluarga sebagai individu maupun kelompok dalam mencapai tujuan, memiliki kebebasan secara bertahap dan tumbuh kemandirian pada individu dalam keluarga. b. Penyesuaian di sekolah Penyesuaian sosial yang baik juga ditunjukkan individu di lingkungan sekolah melalui kemampuan untuk menghormati dan mau menerima peraturan sekolah,
9
berpartisipasi dalam kegiatan sekolah, memiliki hubungan yang ramah dengan teman-teman, guru dan pembimbing, bersedia menerima batasan dan tanggung jawab sebagai siswa di sekolah dan mampu membantu sekolah dalam mencapai tujuan-tujuannya. c. Penyesuaian di masyarakat Penyesuaian sosial ditunjukkan individu melalui kebutuhan untuk mengakui dan menghormati
hak-hak
orang
lain,
individu
mampu
memelihara
jalinan
persahabatan dengan orang lain, memiliki minat dan simpati pada kesejahteraan orang lain, mampu merealisasikan minat dan simpati tersebut lewat amal dan sikap altruisme, mampu menghormati nilai-nilai hukum, tradisi dan kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Menurut Schneiders (1964) buruknya penyesuaian di rumah akan diikuti dengan sulitnya melakukan penyesuaian sosial di sekolah atau di masyarakat dan sebaliknya, ketika individu tidak mampu menempatkan diri di lingkungan sosial mungkin akan mengganggu penyesuaian individu di rumah.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Sosial Penyesuaian individu tidak dapat lepas dari pengaruh dalam diri maupun luar dirinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial adalah sebagai berikut. Ketsetzis, Ryan dan Adams (1998) menyebutkan ada tiga faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial seseorang yaitu proses dalam keluarga, interaksi orang tua dan anak, dan karakteristik anak akan mempengaruhi penyesuaian sosialnya. Faktor lain yang turun mempengaruhi penyesuaian sosial seseorang adalah kecerdasan emosional seperti yang dikemukan oleh Adeyemo (2006) bahwa kecerdasan
10
emosional turut mempengaruhi penyesuaian sosial. Penelitian lain yang juga mengatakan bahwa kecerdasan emosional dapat mempengaruhi penyesuaian sosial individu adalah seperti penelitian yang dilakukan oleh Punia dan Sangwan (2011), Jdaitawi, Ishak dan Mustafa (2011), Engelberg dan Sjoberg (2004), Mestre et al, (2006), sehingga dapat disimpulkan bahwa salah satu faktor yang turut mempengaruhi penyesuaian sosial seseorang adalah kecerdasan emosional. Selain itu, faktor budaya juga diprediksi ikut andil terhadap penyesuaian sosial individu, sebab latar belakang budaya akan mempengaruhi pembentukan sikap, nilai, dan norma seseorang (Schneiders, 1964). Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor–faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial adalah proses dalam keluarga dan interaksi orangtua-anak, karakteristik seseorang, kecerdasan emosional, dan kebudayaan seseorang berpengaruh terhadap penyesuaian sosial. Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosi merupakan hal yang perlu dimiliki oleh individu selain kecerdasan intelektual. Salovey dan Mayer (1990) menjelaskan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan seseorang untuk memonitor emosi diri dan orang lain, mampu membedakan emosi tersebut serta menggunakannya sebagai informasi untuk menuntun pikiran dan perilaku individu. Dari perspektif ini, ada tiga aspek utama yaitu penilaian ekspresi emosi, pengaturan emosi dan pemanfaatan emosi dalam menyelesaikan masalah. Salovey dan Mayer (1990) menjelaskan bahwa ketiga aspek tersebut meliputi: a. Penilaian ekspresi emosi (appraisal and expression of emotion) Merupakan kemampuan untuk mengenali emosi diri sendiri secara verbal maupun nonverbal dan kemampuan untuk mengenali emosi orang lain melalu persepsi emosi
11
secara nonverbal dan mampu berempati merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. b. Pengaturan emosi (regulation of emotional) Merupakan kemampuan individu untuk memonitor, mengevaluasi dan mengatur emosi dalam diri sendiri dan juga mampu mengatur dan mengubah sikap orang lain. c. Pemanfaatan emosi dalam penyelesaian masalah (utilization emotions in solving problems) Merupakan kemampuan individu untuk memanfaatkan emosi mereka sendiri untuk memecahkan masalah dengan perencanaan yang fleksibel, mampu berpikir kreatif, memiliki fokus pada masalah yang ada meskipun emosi yang kuat terjadi serta mampu menggunakan suasana hati untuk memotivasi diri sendiri. Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dengan Penyesuaian Sosial pada Siswa Kelas Akselerasi Tingkat SMP di Kota Ambon Siswa akselerasi memiliki potensi yang lebih tinggi dari siswa biasa, terutama di bidang akademik. Oleh karena itu siswa akselerasi mendapatkan wadah khusus agar dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya agar dapat berkembang dengan baik. Menurut Southern dan Jones (dalam Hawadi, 2004) selain memberikan dampak positif, program akselerasi juga memberikan dampak negatif terhadap penyesuaian sosial dan penyesuaian emosionalnya. Dalam kelas akselerasi, siswa akan didorong untuk berprestasi dalam bidang akademiknya sehingga mereka kekurangan waktu beraktivitas dengan teman sebayanya. Menurut Soemantri (2006) karakteristik kognitif yang tinggi pada anak berbakat belum tentu disertai dengan terjadinya perkembangan emosi yang tinggi pula. Maimunah (2009) menemukan bahwa anak-anak ini memiliki intelegensi
12
yang tinggi namun mereka sering menghadapi permasalahan emosional, baik yang bersumber dari diri mereka maupun dari dalam diri mereka. Kecerdasan emosional adalah hal yang esensial yang perlu dimiliki untuk dapat suskes dalam melakukan penyesuaian (Adeyemo, 2006). Penyesuaian sosial dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah kecerdasan emosional seperti yang diungkapkan Engelberg dan Sjoberg (2004) bahwa kecerdasan emosional merupakan salah satu fakor yang dapat menentukan keberhasilan penyesuaian sosial seseorang. Shouthern dan Jones (dalam Hawadi, 2004) menjelaskan bahwa siswa akselerasi akan mudah frustasi dengan adanya tekanan dan tuntutan berprestasi serta akan mengalami social maladjustment karena siswa akselerasi kekurangan waktu beraktivitas dengan teman sebayanya. Namun, bila anak-anak telah memiliki kecerdasan emosional, mereka dapat mengatasi dampak negatif terhadap penyesuaian sosial dan penyesuaian emosional yang mereka rasakan dari diadakannya program akselerasi. Dari hasi penelitian yang dilakukan oleh Punia dan Sangwan (2011) mengemukakan bahwa siswa yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi menunjukkan penyesuaian sosial yang baik juga. Adeyemo (2006) mengemukakan bahwa ada hubungan yang signifikan diantara kecerdasan emosional dengan penyesuaian diri, selain itu kecerdasan emosional juga memiliki kontribusi pada penyesuaian sosial dan penyesuaian akademik siswa SMP. Eksperimen yang dilakukan Jdaitawi, Ishak dan Mustafa (2011) pada mahasiswa baru di North Jordan menunjukkan bahwa kecerdasan emosional memiliki pengaruh pada penyesuaian sosial dan akademis mahasiswa baru. Meskipun dalam penelitian tersebut tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol pada penyesuaian sosial dan akademis mereka.
13
Penelitian Engelberg dan Sjoberg (2004) mendapati hasil bahwa kecerdasan emosional memiliki hubungan dengan penyesuaian sosial. Studi yang dilakukan oleh Mestre et al, (2006) pada 127 remaja Spanyol mendukung hipotesis yang menyatakan bahwa kecerdasan emosional memiliki hubungan positif dengan indikator dari penyesuaian sosial dan akademis di sekolah. Dari penelitian-penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kecerdasan emosional memiliki hubungan dengan penyesuaian sosial, namun penulis melihat masih kurangnya penelitian yang mengambil subjek siswa yang memiliki keberbakatan di kelas akselerasi. Hal inilah yang mendasari penulis melakukan penelitian mengenai hubungan antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian sosial pada siswa kelas akselerasi tingkat SMP di kota Ambon. Hipotesis Statistik H0 : Tidak ada hubungan positif dan signifikan antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian sosial pada siswa kelas akselerasi tingkat SMP di kota Ambon. H1 : Ada hubungan positif dan signifikan antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian sosial pada siswa kelas akselerasi tingkat SMP di kota Ambon. METODE PENELITIAN Partisipan Partisipan dalam penelitian ini adalah siswa kelas akselerasi tingkat SMP di dua sekolah berbeda yaitu SMP Negeri 1 dan SMP Negeri 6 Ambon. Siswa kelas akselerasi di SMP Negeri 1 Ambon berjumlah 18 siswa. Pada SMP Negeri 6 Ambon kelas dibagi menjadi dua kelas yang masing-masing kelasnya berisi 26 siswa, sehingga jumlah siswa kelas akselerasi sebanyak 52 siswa, sehingga jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah sebanyak 70 siswa kelas akselerasi.
14
Prosedur Sampling Dalam penelitian ini menggunakan teknik sampling jenuh yang artinya semua populasi dijadikan sampel penelitian. Pengukuran Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua alat ukur berupa skala kecerdasan emosional dan skala penyesuaian sosial. Dalam skala kecerdasan emosional, penulis memodifikasi skala tersebut dengan cara menerjemahkan skala asli ke dalam Bahasa Indonesia terlebih dahulu kemudian penulis juga mengubah kalimat yang sulit dipahami menjadi kalimat yang lebih jelas dimengerti untuk siswa SMP. Skala kecerdasan emosional disusun oleh Schutte et al. (1998) yang terdiri atas 33 aitem dan disusun berdasarkan teori kecerdasan emosional yang dikemukakan oleh Salovey dan Mayer (1990) yang meliputi tiga aspek yaitu penilaian ekspresi emosi, pengaturan emosi dan pemanfaatan emosi dalam penyelesaian masalah. Berdasarkan hasil seleksi aitem didapatkan hasil dengan pengujian daya diskriminasi dan reliabilitas sebesar 0,840 dengan 8 aitem gugur dan sisa 25 aitem yang valid dari 33 aitem. Skala kedua yaitu skala penyesuaian sosial yang disusun oleh penulis berdasarkan aspek yang dikemukakan oleh Schneiders (1964). Berdasarkan hasil seleksi aitem didapatkan hasil dengan pengujian daya diskriminasi dan reliabilitas sebesar 0,854 dengan 12 aitem gugur dan sisa 27 aitem yang valid dari 39 aitem. Penentuan-penentuan aitem valid menggunakan ketentuan dari Azwar (2012) yang menyatakan bahwa aitem pada skala pengukuran dapat dikatakan valid apabila ≥ 0,30 namun, karena aitem yang lolos jauh dari jumlah yang diinginkan maka batas kriteria koefisien korelasi yang dipakai dalam penelitian ini adalah ≥ 0,25.
15
Skala yang digunakan adalah skala likert. Salah satu contoh item skala kecerdasan emosional yang diambil dari item nomor 1 sebagai berikut: saya tahu kapan harus berbicara tentang masalah pribadi saya kepada orang lain. Salah satu contoh item skala penyesuaian sosial yang diambil dari item nomor 1 sebagai berikut: saya sering berselisih paham dengan saudara saya. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dan pengumpulan data dimulai pada tanggal 15 Oktober 2014 di SMP Negeri 6 Ambon kemudian pada tanggal 20 Oktober 2014 di SMP Negeri 1 Ambon dengan cara, penulis langsung ke sekolah SMP Negeri 6 dan SMP Negeri 1 Ambon untuk bertemu dengan subjek penelitian sebanyak 70 subjek siswa kelas akselerasi. Pada SMP Negeri 6 Ambon, kelas akselerasi A berjumlah 26 siswa, dan kelas akselerasi B berjumlah 26 siswa. Sedangkan pada SMP Negeri 1 Ambon, kelas akselerasi VII berjumlah 18 siswa. Angket yang disebar oleh peneliti kepada subjek penelitian sebanyak 70 angket. Sebelumnya, terlebih dahulu peneliti memperkenalkan diri dan memberikan penjelasan mengenai maksud dan tujuan peneliti melakukan penelitian kepada para siswa dan meminta partisipasi siswa untuk berperan serta dalam penelitian ini dengan mengisi angket yang disebarkan kepada mereka. Selama pengisian angket, siswa diperkenankan bertanya jika ada materi yang terdapat di dalam skala dianggap sulit dipahami atau tidak jelas. Selama pengisian angket, peneliti berada di dalam kelas untuk memberikan penjelasan jika terdapat persoalan yang tidak dimengerti siswa. Setelah pengisian angket selesai, angket langsung diberikan kepada peneliti dan peneliti langsung mengecek angket yang telah diisi oleh siswa. Selama pelaksanaan penelitian
16
subjek-subjek dapat bekerjasama dengan baik dan cenderung menjawab setiap pernyataan dengan baik. Pada penelitian ini, sebelumnya penulis telah melakukan try out pada siswa SMP dengan menguji bahasa dari aitem-aitem pada kedua skala. Dari hasil uji coba, kebanyakan subjek tidak mengerti pertanyaan pada skala kecerdasan emosional seperti pertanyaan nomor dua: ketika saya dihadapkan dengan masalah, saya ingat ketika saya menghadapi masalah yang serupa dan saya mampu mengatasinya. Penulis kemudian merevisi bahasa yang digunakan sehingga pertanyaan nomor dua berbunyi : saya mampu mengatasi masalah yang pernah saya alami sebelumnya. Begitu pula dengan item-item lainnya pada skala kecerdasan emosional. Data yang diperoleh dalam penelitian kemudian diolah menggunakan bantuan program komputer SPSS 20 for windows. Hasil Uji Normalitas Berdasarkan hasil dari uji normalitas Kolmogrov-Smirnov, variabel kecerdasan emosional memiliki nilai K-S-Z sebesar 0,063 dengan signifikansi sebesar p = 0,200 (p > 0,05). Penyesuaian sosial siswa kelas akselerasi menghasilkan nilai K-S-Z sebesar 0,066 dengan signifikansi sebesar p = 0,200 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa sebaran data kecerdasan emosional dan penyesuaian sosial siswa kelas akselerasi merupakan sebaran data yang berdistribusi normal. Uji Linearitas Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel bebas berhubungan secara linear dengan variabel terikat atau tidak. Dari hasil uji linearitas diperoleh nilai
17
Fbeda sebesar 1,216 dengan sig.= 0,283 (p > 0,05) yang menunjukkan hubungan antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian sosial adalah linear. Analisis Deskriptif Tabel 1. Kategorisasi pengukuran skala kecerdasan emosional No Interval Kategori Mean N Presentase 105 ≤ x ≤ 125 Sangat 14 20% 1 Tinggi 95,19 45 85 ≤ x < 105 Tinggi 64,28% 2 14,29% 65 ≤ x < 85 Sedang 10 3 45 ≤ x < 65 Rendah 1 1,42% 4 25 ≤ x < 45 Sangat 0 0% 5 Rendah Jumlah 70 100% SD = 10,867 Min = 62 Max = 119 Berdasarkan Tabel di atas, dapat dilihat bahwa tidak ada siswa kelas akselerasi yang memiliki skor kecerdasan emosional yang berada pada kategori sangat rendah dengan presentase 0%, 1 siswa kelas akselerasi memiliki skor kecerdasan emosional yang berada pada kategori rendah dengan presentase 1,42%, 10 siswa memiliki skor kecerdasan emosional yang berada pada kategori sedang dengan presentase 14,29%, 45 siswa kelas akselerasi memiliki skor kecerdasan emosional yang berada pada kategori tinggi dengan presentase 64,28%, dan 14 siswa kelas akselerasi memiliki skor kecerdasan emosional yang berada pada kategori sangat tinggi dengan presentase 20%. Mean (rata-rata) sebesar 95,19, dapat dikatakan bahwa rata-rata kecerdasan emosional siswa kelas akselerasi berada pada kategori tinggi. Skor yang diperoleh subjek bergerak dari skor minimum sebesar 62 dan maksimum sebesar 119 dengan standar deviasi (SD) sebesar 10,867.
18
Tabel. 2 Kategorisasi pengukuran skala penyesuaian sosial siswa kelas akselerasi No Interval Kategori Mean N Presentase 113,4 ≤ x ≤ 135 Sangat 21 30% 1 Tinggi 106,96 43 61,43% 91,8 ≤ x < 113,4 Tinggi 2 70,2 ≤ x < 91,8 Sedang 6 8,57% 3 48,6 ≤ x < 70,2 Rendah 0 0% 4 27 ≤ x < 48,6 Sangat 0 0% 5 Rendah Jumlah 70 100% SD = 11,566 Min = 83 Max = 132 Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa 21 siswa akselerasi memiliki skor penyesuaian sosial yang berada pada kategori sangat tinggi dengan presentase 30%, 43 siswa akselerasi memiliki skor penyesuaian sosial yang berada pada kategori tinggi dengan presentase 61,43%, 6 siswa kelas akselerasi memiliki skor penyesuaian sosial yang berada pada kategori sedang dengan presentase 8,57% dan tidak ada siswa kelas akselerasi yang memiliki skor penyesuaian sosial yang rendah maupun sangat rendah dengan presentase 0%. Berdasarkan rata-rata sebesar 95,19 dapat dikatakan bahwa rata-rata penyesuaian sosial siswa kelas akselerasi berada pada kategori tinggi. Skor yang diperoleh subjek bergerak dari skor minimum sebesar 83 sampai skor maksimum sebesar 132 dengan standar deviasi sebesar 11,566.
19
Analisis Korelasi Tabel 3. Hasil Uji Korelasi antara Kecerdasan Emosional dengan Penyesuaian Sosial Correlations
Pearson Correlation KE
PS
KE 1
Sig. (1-tailed)
PS ** .447 .000
N Pearson Correlation
70 ** .447
Sig. (1-tailed)
.000
N 70 **. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
70 1 70
Berdasarkan hasil perhitungan uji korelasi diperoleh koefisien korelasi antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian sosial sebesar 0,447 dengan sig. = 0,000 (p < 0.05) yang berarti ada hubungan yang positif dan signifikan antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian sosial siswa kelas akselerasi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional, maka akan semakin tinggi pula penyesuaian sosial siswa akselerasi. Pembahasan Berdasarkan penelitian mengenai hubungan antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian sosial siswa kelas akselerasi pada tingkat SMP di kota Ambon, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian sosial pada siswa kelas akselerasi tingkat SMP di kota Ambon. Hal ini ditunjukkan dengan koefisien korelasi sebesar 0,447 dengan signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05). Artinya bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional siswa kelas akselerasi maka semakin tinggi penyesuaian sosial siswa tersebut dan sebaliknya, semakin rendah kecerdasan emosional maka semakin rendah penyesuaian sosial siswa kelas akselerasi. Ada beberapa kemungkinan kecerdasan emosional dan penyesuaian sosial memiliki hubungan positif yang signifikan. Ditinjau dari aspek-aspek kecerdasan
20
emosional yaitu penilaian ekpsresi emosi, pengaturan emosi dan pemanfaatan emosi dalam menyelesaikan masalah, ditemukan bahwa ketika seseorang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi akan memiliki penyesuaian sosial yang baik. Hal ini sesuai dengan pendapat
Engelberg dan Sjoberg (2004) mengatakan bahwa kecerdasan
emosional memiliki hubungan dengan penyesuaian sosial. Pertama, indikator pada aspek penilaian ekspresi emosi meliputi mengenali emosi diri sendiri secara verbal maupun non-verbal, mengenali emosi orang lain secara verbal maupun non-verbal, dan empati akan membuat individu dapat melakukan penyesuaian sosial. Emosi non-verbal tersebut terlihat pada ekspresi wajah seseorang. Ketika seseorang mampu mengenali ekpresi wajah orang lain maupun diri sendiri dengan baik akan membantu individu dalam melakukan penyesuaian dengan lingkungan sosialnya. McArthur dan Baron, (1983) mengatakan bahwa informasi yang diterima dari ekspresi wajah orang lain dapat meningkatkan perilaku interpersonal yang dapat menolong untuk meningkatkan kemampuan sosial seseorang. Informasi yang didapat melalui ekspresi wajah berkaitan juga dengan verbal terkait komunikasi yang dilakukan seperti nada suara dan gerakan badan yang ditunjukkan seseorang. Misalnya, perkataan yang positif harus juga diikuti dengan ekspresi wajah yang positif pula. Hal ini dapat diaplikasikan dalam melakukan penyesuaian sosial baik di lingkungan keluarga ketika berbicara dengan orang tua, maupun ketika berada di lingkungan sekolah dan masyarakat. Selanjutnya, Nagle dan Anand (2012) mengatakan bahwa empati juga memberikan kontribusi yang besar dalam melakukan penyesuaian pada remaja. Empati adalah mampu merasakan yang dirasakan oleh orang lain, remaja yang memiliki empati terlihat lebih mampu memiliki interaksi yang baik dengan teman mereka sehingga
21
mereka memiliki penyesuaian sosial yang baik. Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa ketika seseorang memiliki penilaian ekspresi emosi yang baik maka individu tersebut dapat bersosialisasi, membina hubungan dengan orang lain yang baik sehingga dapat melakukan penyesuaian sosial dengan orang lain di sekitarnya. Kedua, pengaturan emosi atau regulasi emosi, mengacu pada bagaimana individu mampu memonitor, mengevaluasi diri dan mengatur emosi dalam diri sendiri. Penyesuaian sosial merupakan kemampuan individu untuk mampu bersosialisasi dan mampu membina hubungan dengan orang lain, maupun dengan lingkungan sekitar. Untuk menampilkan hal tersebut, seseorang harus mampu mengendalikan dirinya sebaik mungkin dalam bersosialisasi, sehingga mereka mampu melakukan penyesuaian sosial yang maksimal. Hal ini dapat terlihat dari kemampuan pengaturan emosi yang dimiliki oleh individu. Pengaturan emosi atau regulasi emosi memiliki peran yang penting dalam penyesuaian sosial. Individu yang memiliki pengaturan emosi yang baik memiliki pengendalian diri yang kuat untuk tidak meluapkan emosinya ketika berhadapan dengan orang lain atau saat berada di lingkungan sosialnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Gottman (1997) yang mengatakan bahwa remaja yang belajar mengenali dan menguasai emosinya cenderung akan menjadi orang yang sehat secara emosi. Aspek ke tiga yaitu pemanfaatan emosi dalam menyelesaikan masalah melalui perencanaan yang fleksibel, berpikir kreatif, memiliki fokus pada masalah meskipun emosi yang kuat terjadi dan mampu memotivasi diri sendiri juga dapat mendukung terjadinya penyesuaian sosial yang baik. Menurut Denham, Izard dan Trentacosta (dalam Izard, Stark, Trenacosta & Schultz, 2008), pengetahuan mengenai emosi dapat memfasilitasi seseorang untuk memanfaatkan emosi yang dialami. Informasi emosi
22
yang diterima dapat mengarahkan pada pengetahuan emosi yang lebih akurat, yang berkontribusi pada pemanfaatan emosi sehingga tercipta interaksi interpersonal yang baik, perkembangan perilaku sosial yang adaptif. Ketika individu mampu memiliki pengendalian diri atas emosi yang terjadi maka individu tersebut dapat menggunakan cara-cara di atas untuk mengatasi emosi tersebut. Hal ini membuat individu menjadi orang yang lebih dapat diterima di lingkungannya karena tidak meluapkan emosinya pada orang lain, sehingga memiliki penyesuaian sosial yang baik. Dari uraian di atas, penulis dapat mengatakan bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional seseorang, maka tinggi pula penyesuaian sosialnya, sehingga individu tersebut mampu beradaptasi atau bersosialisasi dengan sekitarnya baik itu di keluarga, sekolah maupun dalam masyarakat. Berdasarkan hasil analisis deskriptif dalam penelitian ini, diperoleh data bahwa kecerdasan emosional siswa kelas akselerasi berada pada kategori tinggi sebesar 64,29%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar siswa-siswi kelas akselerasi tingkat SMP memiliki kecerdasan emosional yang baik. Begitu pula dengan penyesuaian sosial siswa kelas akselerasi yang berada pada kategori tinggi sebesar 61,43%. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar siswa-siswi kelas akselerasi memiliki kemampuan penyesuaian sosial yang baik. Selain itu, Jika dilihat sumbangan efektif yang diberikan kecerdasan emosional terhadap penyesuaian sosial, kecerdasan emosional memberikan kontribusi sebesar 19,98% dan sebanyak 80,02% dipengaruhi oleh faktor lain di luar kecerdasan emosi yang dapat berpengaruh terhadap penyesuaian sosial. Misalnya seperti faktor dari lingkungan seperti budaya yang menurut Schneiders (1964) dapat mempengaruhi pembentukan sikap, nilai dan norma seseorang dalam melakukan penyesuaian social,
23
selain itu faktor dari dalam diri seperti karakteristik individu juga dapat mempengaruhi penyesuaian sosial seseorang. Ketsetzis, Ryan dan Adams (1998), juga menyebutkan bahwa proses dalam keluarga seperti interaksi orang tua dengan anak juga turut berpengaruh dalam mengembangkan kemampuan penyesuaian sosial anak. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional memberikan kontribusi terhadap penyesuaian sosial siswa kelas akselerasi, sehingga nampak jelas bahwa kecerdasan emosional mempunyai hubungan positif yang signifikan dengan penyesuaian sosial siswa kelas akselerasi.
PENUTUP KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan uraian yang telah disampaikan, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagi berikut: 1. Ada hubungan positif yang signifikansi antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian sosial pada siswa kelas akselerasi tingkat SMP di kota Ambon. Semakin tinggi kecerdasan emosional siswa maka semakin tinggi pula penyesuaian sosial siswa kelas akselerasi. 2. Besarnya sumbangan efektif kecerdasan emosional sebesar 19,98%. Hal ini menunjukkan bahwa kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor yang memiliki pengaruh terhadap penyesuaian sosial pada siswa akselerasi tingkat SMP di kota Ambon.
24
3. Kecerdasan emosional sebagian besar siswa kelas akselerasi (64,29%) berada pada ketegori tinggi dan penyesuaian sosial sebagian besar siswa kelas akselerasi (61,43%) yang juga berada pada kategori tinggi. SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang ada, maka peneliti mengajukan saran kepada beberapa pihak, sebagai berikut: 1. Bagi siswa kelas akselerasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyesuaian sosial siswa kelas akselerasi tingkat SMP berada pada kategori tinggi. Para siswa disarankan dapat mempertahankan bahkan bisa mengembangkan lagi diri mereka. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan diri siswa kelas akselerasi, yaitu dengan cara meningkatkan kecerdasan emosional pada diri masing-masing siswa, seperti siswa disarankan mengikuti training atau pelatihan yang kemudian didesain khusus untuk anak usia remaja. Siswa juga diharapkan untuk terlibat aktif dalam kegiatan di luar kegiatan belajar seperti berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakulikuler yang ada. 2. Bagi sekolah dan guru. Di sekolah, guru yang memegang peranan penting dalam mendidik para siswa. Maka kepada pihak sekolah khususnya guru sebagai seorang fasilitator di sekolah, disarankan lebih untuk tidak hanya mengejar materi dan hal-hal terkait akademis siswa namun juga memperhatikan sisi psikologis terkait afektif para siswa. Selain itu, meningkatkan kualitas mendidik dan mengajar siswa khususnya siswa kelas akselerasi dengan menambah kelas BK, sehingga siswa kelas akselerasi ini mampu meningkatkan kecerdasan emosional mereka untuk dapat melakukan penyesuaian
25
sosial yang lebih baik lagi saat berada di lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah. 2. Bagi peneliti selanjutnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masih ada faktor lain di luar kecerdasan emosional yang memengaruhi keaktifan siswa dalam proses pembelajaran sebesar 80,02%. Pengaruh yang sangat besar berasal dari variabel lain selain kecerdasan emosional yang hanya berkontribusi 19,98% terhadap penyesuaian sosial. Diharapkan peneliti selanjutnya dapat meneliti lebih lanjut penelitian ini dengan mengembangkan variabel-variabel lain yang dapat digunakan dengan metode penelitian yang berbeda, sehingga terungkap faktor-faktor yang memengaruhi penyesuaian sosial siswa akselerasi terutama pada tingkat SMP di kota Ambon seperti budaya, proses dalam keluarga, interaksi orang tua dan anak, dan karakteristik anak akan mempengaruhi penyesuaian sosialnya seperti kepribadian, jenis kelamin, inteligensi, dan konsep diri. Selain itu, penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini terdapat kelemahan dari penelitian yang dilakukan oleh penulis seperti penentuan sampel yang tidak maksimal karena pada saat melakukan penelitian di SMP Negeri 1 Ambon, kelas yang diwakilkan dalam penelitian ini hanya 1 kelas yaitu kelas VII sehingga nampak keterlibatan kelas VIII dalam penelitian ini tidak ada.
26
Daftar Pustaka Adeyemo, D. A. (2006). The buffering effect of emotional intelligence on the adjustment of secondary school students in transition. Electronic Journal in Educational Psychology, 6(2), 79-90. Retrieved August 4, 2014, from EBSCOhost. Anggoro, P. I. (2008). Masalah-masalah yang dihadapi dan harapan bantuan pemecahannya pada siswa kelas akselerasi dan siswa kelas reguler SMP Negeri di kota Malang. (Skripsi tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas Negeri Malang, Malang. Azwar, S. (2012). Penyusunan skala psikologi (Edisi 2). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cohorn, C. A., & Giuliano, T. A. (1999). Predictors of adjustment institutional attachment in 1st-year college students. Psi Chi Journal of Undergraduate Research, 4(2), 47-56. Dharamvir., Tali, D. B., & Goel, A. (2011). A comparative study on anxiety and emotional maturity among adolescents of coeducational and unieducational schools. ACADEMICA, 1(3), 2249-7137. Retrieved from http://www.saarj.com Engelberg, E., & Sjoberg, L. (2004). Emotional intelligence, affect intensity, and social adjustment. Personality & Individual Diferencces, 37, 533-542. Gibson, J. T. (1980). Psychology for the classroom (2th ed.). Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Gottman, J. (2001). Kiat-kiat membesarkan anak yang memiliki kecerdasan emosional (terjemahan). Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Gunarsa, S. D. (2000). Psikologi praktis: Anak, remaja, dan keluarga. Jakarta: Gunung Mulia. Hawadi, R. A. (2004). Akselerasi a-z informasi program percepatan belajar dan anak berbakat intelektual. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana. Izard, C., Stark, K., Trentacosta, C., & Schultz, D. (2008). Beyond emotion regulation: Emotion utilization and adaptive functioning. Child Development Perspectives, 2(3), 156-163.
27
Jdaitawi, M. T., Ishak, N. A., & Mustafa, F. T. (2011). Emotional intelligence in modifying social and adjustment among first year university student in North Jordan. International Journal of Psychological Studies, 3(2), 1-7. doi:10.5539/ijps.v3n2p135 Maimunah, S. (2012). Gambaran penyesuaian sosial dan emosi siswa program akselerasi. Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Konaspi CI+BI, 34-46. Diunduh pada tanggal 20 agustus 2013, dari http://report.umm.ac.id/index.php/researchreport/article/viewFile/373/484_umm _scientific_journal.pdf McArthur, L. Z., & Baron, R. M. (1983). Toward an ecological theory of social perception. Psychological Review, 90, 215-238. Mestre, J. M., Guil, R., Lopes, P. N., Salovey, P., & Gil-Olarte, P. (2006). Emotional intelligence and social and academic adaptation to school. Psicothema, 18, 112117. Retrieved from http://www.psicothema.com Munandar, U. (1992). Mengembangkan bakat dan kreativitas anak sekolah. Jakarta: PT. Gramedia. Nagle, Y. K., & Anand, K. (2012). Empathy and personality traits as predictors of adjustment in Indian youth [Abstract]. Industrial Psychiatry Journal, 21(2). Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2004). Human development 9th edition. New York: McGraw Hill Inc. Primasari, A. (2008, Oktober 12). Menilik kembali akselerasi. http://ardiprimasari.blogspot.com/2008/10/menilik-kembali-akselerasi.html Punia, S., & Sangwan, S. (2011). Emotional intelligence and social adaptation of school children. J Psychology, 2(2), 83-87. Richardson, T. M. & Benbow, C. P. (1990). Long-term effects of acceleration on the social-emotional adjustment of mathematically precocious youths. Journal of Educational Psychology, 8(3), 464-470. Rifayanti, R. (2006). Permasalahan dan strategi coping siswa akselerasi studi di SMU N 1 Samarinda (Tesis tidak diterbitkan). Universitas Muhammadiyah Malang, Malang. Salovey, P., & Mayer, J. D. (1990). Emotional intelligence (pp. 185-211). New Haven: Baywood Publishing Co., Inc.
28
Schneiders, A. A. (1964). Personal adjustment and mental health. New York, USA. Schutte, N.S., Malouff, J. M., Hall, L. E., Haggerty, D. J., Cooper, J. T., Golden, C. J. & Dornheim, L. (1998). Development and validation of a measure of emotional intelligence. Personality and Individual Differences, 25, 167-177. Somantri, S. T. (2006). Psikologi anak luar biasa. Bandung: PT. Refika Aditama. Yusuf, S. (2009). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Bandung: Remaja Rosda Karya. Wandasari, Y. (2004). Peran dukungan orangtua dan guru terhadap penyesuaian sosial anak berbakat intelektual. Provitae, 1(1), 29-42.