Peran Pastoral Gereja Masehi Injili Di Timor(GMIT) Getsemani Asam Tiga Terhadap Pengungsi Timor Leste Yang Mengalami Trauma Pasca Referendum 1999
OLEH ARIF MENDEL DJARA 712011038
TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Teologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Teologi
Program Studi Teologi
FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2016 1
PERAN PASTORAL GEREJA MASEHI INJILI DI TIMOR (GMIT) GETSEMANI ASAM TIGATERHADAP PENGUNGSI TIMOR LESTE YANG MENGALAMI TRAUMA PASCA REFERENDUM 1999 712011038 - ARIF MENDEL DJARA Abstrak Tulisan ini memiliki tujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisa peranan pastoral Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Getsemani Asam Tiga terhadap pengungsi Timor Leste yang mengalami trauma pasca referendum 1999. GMIT Getsemani Asam Tiga merupakan salah satu jemaat yang memiliki kuantitas warga “pengungsi” dari Timor Leste yang cukup tinggi. Para “pengungsi” dari Timor Leste pasca referendum mengalami gangguan psikologis dan trauma karena mengalami depresi penolakan, rasa bersalah, dan kegelisahan. Dalam upaya mencapai tujuan penulisan ini maka metode penelitian yang dipakai ialah metode deskriptif kualitatif yang diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi langsung. Informan sebagai sumber data dalam penelitian ini yaitu GMIT Asam Tiga yang terdiri dari pelayan maupun para jemaat yang notabene adalah “pengungsi” dari Timor Leste dan beberapa orang yang tinggal di pos-pos pengungsi di Naibonat Kupang Nusa Tenggara Timur. Keadaan yang dialami para “pengungsi” pasca konflik di Timor Leste menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan oleh berbagai pihak, salah satunya oleh gereja sebagai lembaga keagamaan. Jemaat GMIT Getsemani Asam Tiga melihat adanya suatu kebutuhan yang perlu dilakukan bagi jemaat “pengungsi” yaitu melalui perkunjungan pastoral. Peran pastoral dapat menolong para “pengungsi” yang secara psikis mengalami traumatik bahkan melalui berbagai pelayanan seperti memberikan sembako (diakonia), serta menunjukan rasa penerimaan terhadap orang-orang Timor Leste.
Kata Kunci: Peran Pastoral Gereja, Trauma, Timor Leste
2
PERAN PASTORAL GEREJA MASEHI INJILI DI TIMOR (GMIT) GETSEMANI ASAM TIGATERHADAP PENGUNGSI TIMOR LESTE YANG MENGALAMI TRAUMA PASCA REFERENDUM 1999
I.
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Konflik merupakan pergumulan kekuasaan atas berbagai perbedaan, sehingga konflik didefinisikan sebagai keadaan-keadaan baik emosional maupun subtansi yang dapat dihasilkan oleh adanya berbagai perbedaan antara pihak-pihak yang karena alasan apapun berada dalam hubungan yang tegang satu dengan yang lainnya.1 Ralf Dahrendorf berpendapat bahwa semua perubahan merupakan hasil dari konflik kelas di masyarakat.2 Menurut pandangannya, prinsip dasar teori konflik sosial dan perubahan sosial, selalu melekat dalam struktur masyarakat. Menurut teori ini, konflik berasal dari pertentangan kelas masyarakat antara kelompok tertindas dengan kelompok penguasa, sehingga akan mengarah pada perubahan sosial. Konflik kelas sosial memberikan dampak perubahan sosial terhadap sisi psikologi pihak yang menjadi korban, seperti melakukan tindakan kriminal yaitu membunuh seseorang yang dicurigai, mencuri serta menjarah bahkan membunuh diri dengan cara membakar diri sendiri dan mengalami gangguan stress pasca trauma atau yang dikenal Pasca-traumatic stress disorder (PTSD) yang adalah gangguan kecemasan yang didiagnosis ketika seseorang mengalami, menyaksikan atau berhadapan dengan suatu peristiwa atau peristiwa yang melibatkan kematian aktual atau terancam atau serius cedera, atau ancaman bagi integritas fisik diri atau lainnya dan respon orang terlibat
1 2
J.D. Engel, M.Si, Gereja dan Masalah Sosial,(Salatiga:Tisara Grafika,2007).105 Ralf Dahrendrof, Class Conflict In Industrial Society,(California:Stanford University Press,1959).8
3
ketakutan, ketidakberdayaan atau horor.3 Sehingga di dalam konseling pastoral tetap menggunakan konsep-konsep psikologi konseling atau psikoterapi pada umumnya, seperti hubungan pertolongan (helping rela-tionship) atau relasi terapeutik. Sepanjang sejarahnya, konseling pastoral terinspirasi secara variatif oleh berbagai pendekatan teoretis maupun praktis dalam psikologi, seperti (1) Psikoanalisis Sigmund Freud (yang menekankan ketidaksadaran; yang menurut sejumlah ahli dapat sejalan dengan konsepteologis imoralitas), (2) Psikoanalisis Carl Gustav Jung (yang menekankan pentingnya kenyataan spiritual dalam kepribadian), (3) Psikoterapi interper-sonal (yang berfokus pada dinamika pengalaman dan kualitas relasi,kelekatan dan kehilangan, komunikasi dan konflik), (4) Psikologi kognitif (yang menekankan fungsi dan asumsiasumsi kognitif).4 Dilihat adanya keterikatan antara konflik, psikologi, dan pastoral oleh sebab itu menurut, Howard C. Pastoral dapat dan sepantasnya terjadi dalam semua fungsi pelayanan, termasuk di dalamnya gangguan emosional.5 Orang-orang yang mengalami gangguan emosional sebagai hasil dari berbagai persoalan di dalam rumah tangga yang terpengaruh dalam tubuh, pikiran, jiwa dan kehidupan sosial mereka juga terganggu. Mereka
membutuhkan dukungan dan
penyembuhan karena psikologis yang kompleks dari gangguan emosional yang sering ada di dalam diri mereka. Sigmund Freud mengatakan,telah menjadi sebuah anggapan umum bahwa orang-orang yang menderita dari kemalangan psikologis dapat dibantu dengan berbicara tentang hal tersebut. Jika akar penyebab dapat disingkapkan dan diakui, hal tersebut dapat menangani korban dari emosi dan dampak dari masalah-masalah yang dihadapi termasuk masalah trauma.6 Menurut Harvey, “trauma is a specific term referring to extreme psychological and psychological reactions to major losses, such as the death of close other”, yang 3
Bilal,Muhammad Sami, Rana Mowadat Hussain, Ullah Khan,Cool Safi,Qayyum Rashid, Eficacy of Eye movement Desensitization and Reprocessing Beyond Complex Post Traumatic Strees Disorder: A Case Study of EMDR in Pakistan, Professional Medical Journal, 2015, Vol 22 Issue 4,p514-521.8p. 4 Nasib Sembiring dan Yosef Dedy Pradipto, Psikologi Konseling Pastoral,(Yogyakarta: Kanisius,2013), halaman pengantar editor ahli - V 5 Howard Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), halaman 32 6 Davies, Petronella J.; Dreyer, Yolanda, A pastoral psychological approach to domestic violence in South Africa, Hervormde Teologiese Studies. 2014, Vol. 70 Issue 3, p1-8. 8p.
4
berarti bahwa “trauma adalah salah satu konsep yang spesifik yang mengarah kepada suatu kondisi psikologis yang berujung kepada suatu kehilangan kesadaran yang di akibatkan oleh kematian dan hal-hal lain sebagainya.” 7 Perasaan yang ditimbulkan oleh pengalaman traumatik tersebut dapat mengakibatkan reaksi yang cukup ekstrim baik pada fisik maupun psikis seseorang. Ini merupakan tanda bahwa trauma adalah sebuah kejadian yang tidak biasa yang mungkin bisa terjadi akibat peristiwa kehilangan yang mendalam, seperti kematian dari keluarga, pasangan atau orang-orang yang mempunyai hubungan cukup erat dengannya. Saat seseorang mengalami peristiwa yang menyebabkan trauma, ia akan mengalami berbagai dampak dari pengalaman traumatic tersebut. Dampaknya seperti perasaan tergoncang, kekacauan dalam hidup, merasa adanya penolakan, depresi, rasa bersalah, kegelisahan hingga perasaan diserang. Merupakan hal yang sering terjadi apabila seseorang yang mengalami atau menyaksikan kejadian mengerikan seperti bencana alam, kecelakaan, terorisme, perang, atau kematian seseorang yang dicintai akan mengalami trauma, seperti yang terjadi dan dialami oleh para pengungsi Timor Leste yang berada di Nusa Tenggara Timur, beberapa mungkin sudah mengalami kesembuhan dan kembali beraktivitas normal, namun masih ada dan masih banyak yang mengalami trauma berkelanjutan sehingga mengembangkan gangguan stress pasca trauma. Pasca referendum Timor Leste pada tahun 1999, yang mengakibatkan lepasnya Timor Leste dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, menimbulkan masalah baru yaitu pengungsi merupakan salah satu masalah yang timbul pasca jajak pendapat 1999. Mereka adalah para pengungsi yang mengalami gangguan psikologis dan trauma karena mengalami
depresi
penolakan,
rasa
bersalah,
dan
kegelisahan.
Hal
tersebut
mengakibatkan terjadinya arus pengungsi Timor Leste yang ke Provensi Nusa Tenggara Timur pada tahun 1999, sekitar 250.000 orang, sebagian besar dari mereka tinggal di pos –pos pengungsian yang tersebar di Kabupaten Belu, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan dan Kupang, laporan lain mengatakan bahwa para pengungsi kembali ke Timor Leste dari waktu ke waktu dan berdasarkan pada informasi tahun 2001, terdapat 120.000 pengungsi Timor Leste di NTT. Dari kabupaten Timor Tengah Utara mereka diberitahu
7
John H. Harvey, Perspectives on loss and trauma assaults on the self, (California: Sage Publication, 2002), halaman 23
5
bahwa karena intimidasi tanpa henti, beberapa para pengungsi kembali ke Timor Leste tanpa memberitahu koordinator perkemahan mereka.8 Di sisi lain, warga Timor Leste prointegrasi pun dengan sadar diungsikan karena mereka telah memilih berintegrasi dengan Indonesia. Bagi mereka, integrasi adalah jalan terbaik untuk membangun kehidupan dan masa depan. Mereka ingin tetap bernaung dalam satu rumah dengan kerabat dan warga sebangsa serta budaya di Timor Barat, meski harus siap dibenci dan terusir dari kampung halamannya. Bertahan di Timor Leste dengan kebencian yang membara dari kelompok prokemerdekaan dan kelak dibebani dendam masa lalu merupakan pilihan yang amat sulit.9 Warga di Nusa Tenggara Timur di sekitar pos-pos pengungsian harus harus ikhlas berbagi makanan setiap hari, menyisihkan air untuk mandi, membiarkan ladang dan halaman rumahnya untuk digarap atau sekedar di jadikan tempat berteduh para pengungsi. Beban sosial dan tekanan psikologis-emosional pun tidak terbayangkan, di saat ribuan pengungsi itu dilanda kesedihan dan bahkan stres/depresi akibat tercabut dari keluarga, rumah, harta milik, dan lingkungan sosial-budayanya.10 Dampak negatif lainnya sebagai dampak kehadiran para pengungsi di kawasan pengungsian di Nusa Tenggara Timur terlihat dari beberapa aksi premanisme di perbatasan Atambua. Ketika dendam dan amarah masih melekat dalam hati dan kebutuhan begitu menghimpit hidup mereka dalam kondisi serba kekurangan, tindakan kejahatan seperti itu dapat dengan mudah tersulut.11 Pada 6 September 2000, Kantor Perwakilan UNHCR (United Nation High Commissioner for Refugees) di Atambua di serang sejumlah warga. Diliputi kemarahan luar biasa,mereka mengobrak-abrik kantor UNHCR,tiga petugas UNHCR, semuanya warga negara asing yang berada di dalam kantor itu dipukuli hingga tewas. Sebuah mobil milik UNHCR pun ikut hangus dibakar. Selain itu, seorang petugas asal Brasil juga dipukul hingga terluka parah.12 Oleh karena hal tersebut mengakibatkan semua LSM international dan PBB termasuk UNHCR harus
8
Eaast Timor and Indonesia Action Network (ETAN: 2002), di akses dari www.etan.org, pada tanggal 10 November 2014 9 Kiki Syahnakri, Timor Timur The Untold Story,(Jakarta:Buku Kompas, 2013), halaman 270 10 Kiki Syahnakri, 2013, halaman 272 11 Kiki Syahnakri, 2013, halaman 282 12 Kiki Syahnakri, 2013, halaman 295
6
menarik diri dari kabupaten Belu dan menghentikan bantuan mereka terhadap para pengungsi, dan sejak peristiwa tersebut kehidupan para pengungsi semakin sulit. Berdasarkan latar belakang di atas penulis mengangkat judul Tugas Akhir “Peran Pastoral Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Getsemani Asam Tiga Terhadap Pengungsi Timor Leste Yang Mengalami Trauma Pasca Referendum 1999”.
1.1. Rumusan Masalah Berdasarkan apa yang telah di uraikan di dalam latar belakang masalah, rumusan permasalahan dalam penelitian ini yaitu : bagaimana peran pastoral Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Getsemani Asam Tiga terhadap pengungsi Timor Leste yang mengalami trauma pasca referendum 1999?
1.2. Tujuan Penelitian Sesuai dengan perumusan masalah, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : Mendeskripsikan dan menganalisa peranan pastoral Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Getsemani Asam Tiga terhadap pengungsi Timor Leste yang mengalam trauma pasca referendum 1999.
1.3. Manfaat Penelitian Tugas Gereja yang memperkenalkan Allah kepada manusia. Gereja memanggil manusia untuk kembali mengenal dirinya, merasa memiliki dirinya, menghormati dirinya dan memberikan dirinya untuk pelayanan manusia.13 Manfaat secara teoritis ialah peran pastoral merupakan tindakan pendampingan yang dilakukan oleh masyarakat kepada anggota kelompoknya yang sedang mengalami masalah di dalam rumah tangga dan lingkungan sosisal, mengalami trauma pasca konflik yang berkepanjangan,dan berduka karena kematian. Pemakaian kata “pastoral” dimaksudkan untuk menjelaskan sifat dan tujuan tindakan masyarakat ketika terjadi kedukaan di dalam kelompoknya dengan
13
Eben Nuban Timo, Anak Matahari Teologi Rakyat Bolelebo Tentang Pembangunan, (Maumere:Ledalero,2004) halaman 79
7
melaksanakan pendampingan. Manfaat secara praksis ialah penulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi gereja di dalam pelayanan pastoral agar gereja mampu memberikan pelayanan pastoral yang tidak terbatas kepada jemaat gereja; tetapi juga kepada setiap lapisan masyarakat yang mengalami bencana alam, konflik yang berkepanjangan khususnya pengungsi Timor Leste yang mengalami depresi dan trauma pasca referendum 1999.
1.4. Metode Penelitian Metode penelitian yang di gunakan adalah metode deskriptif dan jenis penelitian kualitatif. Metode penelitian deskriptif berarti menggambarkan atau melukiskan sesuatu hal. Menggambarkan atau melukiskan dalam hal ini dapat di dukung dengan memberikan foto-foto yang di dapati di lapangan atau menjelaskan hasil penelitian dengan gambargambar dan dapat pula menjelaskan dengan kata-kata. Dapat juga di artikan responden menjadi objek dan subjek penelitian dan kegiatan, kejadian yang di teliti serta konteks tempat penelitian dilaporkan dengan cara deskriptif.14 Jenis penelitian kualitatif adalah penelitian yang lebih mengutamakan penghayatan serta berusaha memahami dan menafsirkan makna dari suatu peristiwa interaksi dan tingkah laku manusia dalam situasi tertentu menurut perspektif peneliti sendiri sehingga hal ini mengharuskan peneliti terjun sendiri ke lapangan secara aktif.15 Wawancara berarti teknik perolehan informasi melalui tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung.16 Wawancara dilakukan dengan pelayan dan majelis jemaat di Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Getsemani Asam Tiga, Klasis Kupang Timur dengan para pengungsi Timor Leste di daerah-daerah pengungsian. Lokasi yang dipilih adalah daerah-daerah yang menjadi pos-pos pengungsian di wilayah Timor Barat seperti Naibonat, karena daerah ini yang memiliki jumlah pengungsi yang tergolong tinggi dan masih tinggal di dalam depresi, kemiskinan dan ketelantaran. Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian ini adalah selama 2 minggu.
14
Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial,(Jakarta: Bumi Aksara,2008). Halaman 129 15 Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, 2008, halaman 78. 16 Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbra, 2008, halaman 53.
8
1.5. Sistematika Penulisan Berkaitan dengan penulisan ini, maka akan dibagi dalam beberapa bagian yaitu pertama, penulis akan memaparkan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Kedua, penulis akan menguraikan tentang teori Trauma Healing dan Teori Pastoral. Ketiga, penulis memberikan gambaran umum tentang GMIT Getsemani Asam Tiga, hasil data lapangan dan penelitian di jemaat GMIT Getsemani Asam Tiga. Menganalisa tentang peran Konseling Pastoral dalam kehidupan para pengungsi Timor Leste di Nusa Tenggara Timur berdasarkan teori trauma healing dan teori pastoral, Keempat penulis akan memberikan kesimpulan dan saran.
II.
TRAUMA DAN PERAN PASTORAL GEREJA
Untuk mendukung penulisan tugas akhir ini, maka perlu dikemukakan teori yang berkaitan dengan permasalahan dan ruang lingkup pembahasan sebagai landasan dalam pembuatan tugas akhir ini yaitu teori Trauma Healing dan Peran Konseling Pastoral. Oleh sebab itu penulis akan memulai dengan pengertian Trauma Healing manfaat Trauma Healing dan selanjutnya mengenai Teori Konseling Pastoral. Judith Herman mengatakan bahwa menyembuhkan trauma (trauma healing) sebagai upaya untuk menggerakan tiga hal yaitu, dari perasaan bahaya pada perasaan nyaman dan aman, dari perasaan menolak kondisi pada penerimaan kondisi, dan dari perasaan terisolasi pada kemampuan membangun hubungan sosial.17 Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa trauma healing adalah usaha untuk kembali menyembuhkan seseorang dari trauma untuk kembali menerima kondisi dan mampu bangkit kembali baik secara kejiwaan atau kehidupan sosial. Selanjutnya, akan dijelaskan tentang pengertian trauma healing dan pastoral.
17
Judith Herman, Trauma and RecoveryI,(New York: Basic Books,1997) halaman 13
9
2.1 Pengertian Trauma Healing Secara etimologi, Healing artinya menyembuhkan. Dalam konteks trauma healing dapat diartikan sebagai usaha menyembuhkan seseorang dari trauma. Trauma healing berhubungan erat dalam upaya mendamaikan. Hal ini berkaitan membangun atau memperbaiki hubungan manusia dengan mengurangi perasaan kesepian, memperbaiki kondisi kejiwaan, mengerti tentang arti kedamaian, mengurangi perasaan terisolasi, kebencian, dan bahaya yang terjadi dalam hubungan antar pribadi.18 Trauma dalam istilah psikologis untuk menunjukkan kondisi yang shok dan tertekan oleh suatu peristiwa yang membekas relatif lama pada korban. Beberapa kondisi yang berpotensi menjadi peristiwa traumatis antara lain bencana, konflik, menjadi korban kriminal, kehilangan orang yang dicintai, kehilangan harta benda. Peristiwa traumatis juga dapat terjadi pada saat bencana atau konflik perang saudara terjadi hingga bencana atapun konflik yang telah berlalu, dalam kondisi terakhir ini yang disebut post traumatic stress disorder (PTSD).19 Trauma healing adalah suatu kegiatan atau tindakan yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan trauma yang dialami. Di sisi lain, trauma healing adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk membantu orang lain yang sedang mengalami gangguan psikologis yang diakibatkan shok atau trauma.20 Cara pandang seseorang yang mengalami trauma menjadi hal utama yang harus dibangun. Seseorang harus mampu merubah cara pandang terhadap peristiwa yang terjadi, dari cara pandang tersebut dapat menumbuhkan keyakinan, harapan untuk masa depan. Selanjutnya adalah lingkungan sosial bahwa manusia adalah makhluk yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam konteks trauma healing, lingkungan sosial menjadi salah satu faktor dalam membantu seseorang dari trauma. Dukungan, dorongan sangat dibutuhkan dan hal ini dapat terwujud ketika seseorang mampu membangun komunikasi sosial yang pada akhirnya akan mehilangkan perasaan sepi, terasing, terisolasi dan sebagainya. Proses pemulihan trauma tergantung pada faktor internal individu sendiri yang berupa 18
William Steele. Caelan Kuban, Winter 2014, Healing Trauma, Building Resilience : SITCAP in Action ,Volume 22 issue 4,p18-20,3p. 19 Amelia Van der Merwe,Leslie Swartz.2015, Living in two narratives: Psychis splitting in South African Surivors of Chronic Trauma, Soth African Journal of Psychology , Vol.45 Issue 3,p361-373.13p 20 Raymond M. Scurfield, Katherine T. Platoni, Healing war Trauma, (New York:Routledge,2013) halaman 289
10
persepsi, keyakinan dan faktor eksternal yaitu lingkungan sekitar individu dapat berupa dukungan, aktivitas, dan lain-lain.21
2.2 Manfaat Trauma Healing Berbagai organisasi yang telah memberikan bantuan kepada korban konflik atau bencana alam, seperti bantuan makanan, penampungan, baju dan bantuan-bantuan lain yang terbilang penting. Selain itu, para korban juga membutuhkan bantuan kesehatan mental karena trauma yang timbul dari konflik yang dialami. Trauma healing menjadi cara atau metode yang digunakan bagi korban bencana alam, konflik berkepanjangan atau mengalami trauma dan ketakutan yang berlebihan saat mendengar suara-suara; yang menyerupai gaung, getaran, atau semacamnya. Trauma healing sendiri diutamakan kepada anak-anak dan lansia, yang biasanya mengalami trauma paling kuat, baik stres maupun depresi.22 Trauma healing dapat dilakukan secara teratur agar dapat membangun kembali mental para korban. Terhadap anak-anak, misalnya program trauma healing dapat dilakukan dengan membangun kelompok bermain yang diikutkan ke dalam kelas, atau kegiatan-kegiatan bermain, belajar, membaca buku, kegiatan kesenian seperti tari-tarian, musik, dan melukis, atau bahkan kegiatan beragama. Trauma healing yang diberikan pada anak-anak bertujuan agar mereka mampu melupakan kejadian-kejadian yang terjadi pada masa lalu, sehingga dapat membuat mereka lebih siap apabila konflik datang kembali. Kegiatan-kegiatan trauma healing yang diberikan pada anak-anak berbeda pada orang dewasa. Pada orang dewasa, program yang lebih tepat berupa konseling. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah pembangunan kembali wilayah, atau penempatan korban di wilayah baru. Dengan hal tersebut, ingatan tentang konflik di dalam benak dan pikiran mereka bisa terhapus, dan kehidupan baru dapat dimulai.23
21
Joshua Pederson, Speak Trauma : Toward a Revised Understanding of Litercary Trauma Theory,Copyright 2014 by The Ohio State University, Narrative, Vol 22 issue 3, p333-353,21p. 22 William Steele. Caelan Kuban, Winter 2014, Healing Trauma, Building Resilience : SITCAP in Action ,Volume 22 issue 4,p18-20,3p. 23 Amra Delic;Mevludin Hasanovic;Esmina Avdibegovic;Alexsandar Dimitrijevic;Camellia Hancheva;Carmen Scher;Tatjana Stefanovic-Stanojevic;Annette Streeck-Fischer; Andreas Hamburger, Academic model of trauma healing in post-war societies,Acta Medica Academica may2014,Vol 43, issue 1, p 76-80.5p
11
2.3 Peran Pastoral Dalam Trauma Healing. Seward Hiltner berpendapat bahwa pelayanan pastoral haruslah dipandang dari perspektif penggembalaan yaitu penyembuhan, pemeliharaan dan pembimbingan. Penyembuhan berarti membalut luka seperti cerita orang Samaria yang baik hati. Pemeliharaan berarti menghibur, menguatkan atau bersehati dengan orang yang menderita. Pembimbingan berarti membantu menemukan jalan.24 Fungsi peran pastoral adalah menyembuhkan (Healing), mendukung (Sustaining), membimbing (Guiding), memulihkan (Reconciling), dan memelihara atau mengasuh (Nurturing).25 Oleh sebab itu, tujuan konseling pastoral adalah melaksanakan fungsi-fungsi dari pastoral, yang diharapkan setiap korban yang mengalami trauma pasca konflik yang berkepanjangan mendapatkan penyembuhan, pemulihan, pengasuhan,dukungan dan bimbingan. Menyembuhkan (Healing), adalah fungsi pastoral yang ditujukan untuk memperbaiki orang menuju keutuhan dan membimbingnya ke arah kemajuan melebihi kondisi yang sebelumnya.26 Luka yang terjadi dalam hubungan terbuka antara seseorang dengan orang lain, biasanya akan mendorong orang tersebut untuk menarik diri secara fisik maupun menarik diri secara emosional. Penarikan diri secara fisik akan terjadi ketika orang yang terluka pergi meninggalkan ruangan atau sengaja menghindar setiap kali bertemu dengan pihak lain dengan siapa ia terlibat dalam konflik. Sedangkan penarikan diri secara emosional terjadi ketika orang yang terluka masuk ke dalam relung batinnya yang paling dalam untuk membuat penilaian tentang situasi konflik yang ia hadapi.27 Proses penyembuhan juga didefinisikan sebagai kemampuan untuk membangun hubungan yang sehat,tetapi yang memerlukan kemampuan untuk bersama-sama di dalam proses pastoral mampu berpikir dan merasakan bersama-sama agar bisa masuk kedalam proses penyembuhan dalam beberapa cara dan juga untuk dapat mengenali berbagai emosi-emosi. Dengan kata lain, hubungan sehat memerlukan kemampuan untuk
24
Tjard G. Hommes dan E. Gerrit Singgih (editor), Teologi dan Praksis Pastoral, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), halaman 139. 25 Howard Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, (Yogyakarta : Kanisius,2002), halaman 53-54 26 Howard Clinebell,2002, halaman 53 27 Lee Hayward Butler Jr,1997,African-American pastoral psychology in the twenty-first century will be more than sensual healing, Journal of Religious Thoght, vol 53/54 issue 2/1, p113.p8.1chart
12
memahami masalah dengan serangkaian emosi-emosi.28 Didalam Konseling Pastoral, fungsi penyembuhan ini penting dalam arti bahwa melalui Konseling Pastoral yang berisi kasih sayang, rela mendengarkan segala keluhan batin, dan kepedulian yang tinggi akan membuat jemaat yang dipastoralkan yang sedang menderita mengalami rasa aman dan kelegaan sebagai pintu masuk kearah penyembuhan yang sebenarnya. Fungsi ini dapat diterapkan kepada pribadi atau jemaat yang mengalami dukacita dan luka batin akibat kehilangan atau terbuang, biasanya berakibat kepada penyakit psikosomatis, suatu penyakit secara langsung atau tidak langsung yang disebbakan oleh tekanan mental yang paling berat.29 Mendukung (Sustaining) adalah fungsi pastoral yang ditujukan untuk menolong orang yang sakit (terluka) agar dapat bertahan dan mengatasi luka yang terjadi pada waktu lampau. Hal ini berkaitan dengan perbaikan atau penyembuhan atas penyakitnya tidak mungkin lagi disembuhkan. Dalam situasi yang demikian orang yang sakit (terluka) tersebut dapat beroleh pengharapan.30 Peran pastoral mendukung dan dapat juga dilakukan bila orang yang didampingi tidak mungkin kembali ke keadaan semula, misalnya kematian orang yang dikasihi. Fungsi mendukung dipakai untuk membantu orang yang didampingi menerima keadaan sekarang sebagaimana adanya, kematian adalah tetap
kematian,
untuk
dapat bertumbuh secara penuh dan utuh. Kehadiran
pendamping dalam dukacita merupakan dukungan kepada mereka untuk dapat bertahan dalam situasi krisis yang bagaimanapun beratnya. Peran pastoral mendukung juga adalah fungsi yang paling penting dari gereja kristen awal, dukungan ini dapat dilihat dalam empat bagian: 1. Pelestarian. Ini adalah tugas pertama memegang garis terhadap ancaman lain atau kerugian lebih lanjut. Membantu yang berduka untuk melakukan sesuatu meskipun di dalam keadaan yang mengalami kehilangan. Mendukung orang-
28
Barbara J McClure,2010,The Social Construction of Emotions : A New Direction in the Pastoral work of Healing, pastoral psychology, vol.59 issue 6 , p799-812, 14p 29 Guillaume H. Smith,2015, Patoral Ministry in a missional age: Towards a practical theological understanding of missional pastoral care, Verbum et Ecclesia, vol.36 issue 1,p1-8.8p 30 Howard Clinebell,2002, halaman 53
13
orang yang putus asa menghadapi permasalahan dengan memberikan sentuhan melalui kata-kata yang menguatkan. 2. Penghiburan. Bertujuan untuk meringankan penderitaan yang dirasakan dan menawarkan harapan di setiap saat. 3. Konsolidasi. Bertujuan untuk memberdayakan penderita di dalam menyikapi berbagai macam hambatan dan kerugian. Penderitaan dimasukkan ke dalam perspektif sebagai penderita yang tidak hanya merasa sendiri di dalam menghadapi setiap permasalahan tetapi membantu setiap orang yang bermasalah merekonstruksi hidupnya. 4. Penebusan. Bertujuan membantu seseorang yang mengalami trauma konflik dan permasalahan dukacita mulai membangun kembali kehidupan yang berkelanjutan. Tidak terus hidup di dalam tekanan psikis dan itu akan menjadi pelayanan penyembuhan. Sikap positif terhadap kehidupan yang dialami seperti sesorang janda dapat menjadi ibu dan ayah bagi anak-anaknya.31 Dukungan ini akan membantu mengurangi penderitaan mereka melalui perkunjungan pastoral yang seringkali didapati jemaat yang mengalami perasaan kehilangan,kematian orangorang yang dikasihi dan dukacita, yang mengakibatkan pada saat tersebut jemaat tidak dapat melakukan apa-apa, dalam hal inilah peran pastoral dapat dilaksanakan melalui kehadiran dan pendampingan, jemaat dibantu untuk bertahan dalam situasi yang bagaimanapun beratnya. Dukungan berupa kehadiran dan sapaan yang meneduhkan dan sikap yang terbuka, akan mengurangi penderitaan jemaat.32 Membimbing (Guiding), fungsi pastoral yang ditujukan untuk membantu orang yang berada di dalam kebimbangan untuk mengambil keputusan di antara berbagai pikiran dan tindakan pilihan yang dipandang mempengaruhi keadaan jiawa mereka baik sekarang dan pada waktu yang akan datang.33 Membimbing berarti memberikan arahan kepada orang yang didampingi untuk menemukan jalan yang benar.Pendamping 31
Lucie Bardiau Huys,2014,Sustaining Pastoral Minnitry: Denominations must assume their responsibilities,JEPTA: Journal of the European Pentascostal Theological Association, vol 34 issue 1, p61-76,16p 32 Guillaume H. Smith,2015, Patoral Ministry in a missional age: Towards a practical theological understanding of missional pastoral care, Verbum et Ecclesia, vol.36 issue 1,p1-8.8p 33 Howard Clinebell,2002,halaman 54
14
menolong orang yang didampingi untuk memilih/mengambil keputusan secara mandiri tentang apa yang akan ditempuh atau apayang menjadi masa depannya.Pendamping juga
dapat
menolong
orang
yang didampingi
untuk
melihat:
kelemahan (internal) serta kesempatan dan tantangan (eksternal).
34
kekuatan
dan
Pemberian nasihat
juga dapat dimasukkan dalam fungsi membimbing. Fungsi bimbingan ini di dalam proses konseling pastoral sangatlah penting karena jemaat hidup ditengah-tengah dunia di mana terjadi banyak perubahan-perubahan yang membawa pengaruh atas kehidupan manusia di dalam berbagai aspek kehidupan, dan untuk menghadapi perubahanperubahan ini jemaat di tuntut untuk mencari jalan keluar yang benar, yang sesuai dengan norma-norma dan dalam hal ini jemaat sering menemui kesulitan. Untuk mengatasi kesulitan tersebut peran pastoral sangat dibutuhkan untuk menolong, membimbing, setiap pribadi atau jemaat agar tidak mudah jatuh di tengah-tengah perubahan dunia.35 Memulihkan (Reconciling) adalah fungsi pastoral yang ditujukan untuk membangun kembali hubungan-hubungan yang rusak di antara manusia dengan sesama manusia dan di antara manusia dengan Allah.36 Apabila hubungan sosial dengan orang lain terganggu, maka terjadilah penderitaan yang berpengaruh pada masalah emosional. Konflik sosial yang berkepanjangan akan berpengaruh terhadap fisik. Pendampingan berfungsi
sebagai
perantara
untuk
memperbaiki
terganggu. Pendamping menjadi mediator/penengah
hubungan
yang
rusak dan
yang netral dan bijaksana.37
Disinilah perananan pastoral menjadi sangat diutamakan, karena gereja diharapkan mampu memulihkan hubungan yang rusak antara jemaat dengan Allah. Salah satu kebutuhan manusia adalah adanya hubungan yang baik di antara manusia dengan Allah dan dengan sesama, oleh sebab itu manusia disebut makhluk sosial. Apabila hubungan tersebut terganggu maka terjadilah penderitaan yang berepengaruh kepada masalah emosional, dan terkadang orang tersebut tidak sadar pada posisi mana dia berdiri 34
Jennifer B .Gray,2011, Theory Guding Communication Campaign Raxis : A Qualitative Elicitation Study Comparing Exesice Beliefs of overweight and Healty weight college students, Qualitative Research Reports in Communication 2011, vol 12. Issue 1,p34-42 9p 35 J. L. Ch. Abineno, Pelayanan Pastoral (Jakarta:BPK,1967), 107-108 36 Howard Clinebell,2002,halaman 54 37 Rebecca Hutten;Glenys D. Parry; Thomas Ricketts; Jo Cooke, 2015, Squaring the circle: a priority-setting method for evidence-based service development, reconciling research with multiple stakeholder views,BMC Health Services Research, Aug2015,vol15 Issue 1,p1-11p. 1 Diagram, 5 Chats
15
sehingga memerlukan orang ketiga yang melihat secara objektif posisi tersebut.38 Banyak hal yang dialami oleh jemaat dan melalui pelayanan pastoral dapat menganalisa hubungan, menganalisa hal yang dapat mengancam suatu hubungan dan pada akhirnya mencari alternative untuk dapat memperbaiki hubungan tersebut, sehingga kehidupan jemaat atau pribadi yang mengalami trauma dipulihkan dengan Allah maupun dengan sesama.39 Memelihara atau mengasuh (Nurturing), fungsi pastoral yang ditujukan unutk memampukan orang mengembangkan potensi-potensi yang diberikan Allah kepada manusia, disepanjang perjalanan hidup manusia.40 Memelihara atau mengasuh adalah fungsi pelayanan pastoral yang seringkali dilupakan, hidup berarti bertumbuh dan berkembang, perkembangan tersebut meliputi aspek emosional, cara berpikir, motivasi dan kemauan, tingkah laku, kehidupan rohani dan dalam interaksi.41 Melalui pelayanan pastoral, dapat diperhatikan potensi-potensi apa saja yang dapat menumbuhkan dan mengembangkan kehidupan jemaat atau korban konflik sebagai kekuatan yang dapat di andalkan untuk tetap melanjutkan kehidupan, pelayan pastoral harus meonolong jemaat untuk berkembang,oleh karena itu diperlukan pengasuhan kearah pertumbuhan melalui proses pelayanan pastoral.42 Manusia yang diciptakan sebagai gambar Allah pada dirinya dikaruniakan potensi, dan dengan potensi itu manusia akan dapat bertumbuh baik secara jasamani maupun rohani, namun karena kelemahan manusia, dosa dan persoalanpersoalan kehidupan yang dihadapi manusia menyebabkan manusia tidak mampu mengembangkan potensi yang dimiliki. Oleh karena itu dibutuhkan peran pastoral agar manusia
dapat
mengenali
dirinya
dengan
segala
persoalannya,
kemudian
mengembangkan potensi yang dimiliki.43
38
Philip Reley,Jun 2013, Attacment theory, teacher motivation dan pastoral care : a challenge for teachers and academics, Pastoral Care Education, vol 31 issue 2, p112-129,18p. 39 Christoffel H. Thesnaar,2014, Seeking feasible reconciliation : A transdiciplineary contextual approach to reconciliation, Hervormde Teologise Studies2014, vol 70 Issue 2,p1-8.8p 40 Howard Clinebell,2002,halaman 54 41 Tony Leach,2009, Maybe I can fly: nurturing personal and collective learning in professionallearning communities,Pastoral car in Education, Dec2009, Vol.27 Issue 4,p313-323,11p.2 Diagrams 42 Richard Shields,2008, Nurturing spirituality and vocation : A Catholic Approach to New Teacher Induction, Catholic Education : A Journal of inquiry and practice.Dec2008, vol 12 issue 3 p 160-175.16p 43 Gary Collins,Growth Conseling, Helping People Growth (California: Vission House,1980) halaman 88
16
III.
HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN DAN ANALISA 3.1 Sejarah Gereja Masehi Injili di Timor Jemaat Getsemani Asam Tiga Pada awalnya sebagian dari warga jemaat Getsemani Asam Tiga berjemaat di
Jemaat Syalom Oeboboa dan Jemaat Efrata Oelamasi, dikarenakan belum adanya tempat beribadah di wilayah Asam Tiga karena masih berupa hutan. Kemudian pada tahun 1985 atas permintaan dari Bapak Vitalis Djawa (Almarhum), kepala panti SPA ( sekarang Panti PSBR Naibonat ) kepada Bapak Yorhans Y. Ullu, salah seorang tokoh jemaat di Syalom Oeboboa agar membangun sebuah tempat beribadah “Kapela” untuk memudahkan jemat beribadah karena jarak yang terlalu jauh, tiga tahun kemudian yakni tahun 1988 permintaan tersebut akhirnya terealisasi. Pada tanggal 1 Juni 1988, terjadi musyawarah antara tokoh-tokoh jemaat Oeboboa dan Oelamasi untuk mendirikan sebuah gedung gereja darurat (Kapela) bertempat di Oelamasi-Asam Tiga, dengan kerjasama dan sumbangan dari jemaat Oeboboa dan Oelamasi-Asam Tiga. Bapak Yorhans Ullu dipilih sebagai ketua pembangunan. Pekerjaan pembangunan tempat beribadah/kapela tersebut dimulai dari tanggal 4 Juli 1988 dengan penggalian dan berakhir pada tanggal 10 Agustus 1988 dengan pemasangan atap dan penyelesaian pemasangan dinding.Pembangunan Gedung “ KAPELA “ di atas tanah ukuran 25 M X 200 M atas Hibah Tanah Milik dari Bapak Abraham Ndaumanu Almarhum. Dari awal pembangunan beberapa jemaat juga sudah mulai menyumbang bahan-bahan yang diperlukan, dikarenakan keinginan mereka untuk penyelesaian “Kapela” cepat terlaksana sehingga dapat digunakan. Setelah penyelesaian pemasangan dinding “Kapela”, maka ketua pembangunan menjalankan undangan secara lisan kepada tokoh-tokoh jemaat Oeboboa, Oelamasi, dan Penanggungjawab Jemaat Syalom Oeboboa (Bapak.Benyamin Ndaumanu) untuk membicarakan rencana kebaktian Natal Perdana di “Kapela” Asam Tiga (Gedung Gereja Darurat) yang telah selesai dibangun. Pada tanggal 15 Januari 1989 tokoh-tokoh jemaat berkumpul untuk bermusyawarah bersama untuk menggunakan bangunan Gereja Darurat/Kapela sebagai Rumah Ibadah. Dan dari musyawarah tersebut, diputuskanlah bahwa pada tanggal 29 Januari 1989 bangunan Gereja Darurat/Kapela jemaat harus sudah digunakan sebagai Rumah ibadah sebagaimana mestinya. 17
Karena itu pada tanggal 19 Januari 1989 dibuatlah surat Permohonan Membuka Tempat Ibadah /Tempat Kebaktian Baru di Asam Tiga, KM 37,-. Pada tanggal 23 Januari 1989, ketua pembangunan bersama jemaat yang membangun Kapela mendapat surat dari Majelis Jemaat Wilayah Kependetaan Pukdale, dengan perihal “ Panggilan dan Jawaban Atas Permohonan Membuka Tempat Ibadah/Kebaktian Baru Di Asam Tiga, KM 37,Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa Majelis Jemaat Kependetaan Pukdale tidak menolak permohonan kelompok aggota jemaat Oeboboa yang berdomisili di Asam Tiga/Km 37 untuk membuka tempat kebaktian baru pada tanggal 29 Januari 1989, melainkan menolak penentuan waktu secara sepihak dari kelompok yakni tanggal 29 Januari 1989. Oleh karena itu untuk merealisasikan maksud baik untuk membuka tempat ibadah baru di Asam Tiga yang sebenarnya telah tertuang dalam Program Majelis Jem. Wil. Kependetaan Pukdale. Oleh karena itu pada tanggal 29 Januari 1989, B.P.K mengutus pendeta Wilayah Kependetaan Pukdale yakni Bpk. Pdt. Ch. Nggadas untuk melihat kesiapan dari kelompok jemaat Oeboboa yang berdomisili di Asam Tiga. Dan melihat kesiapan kelompok telah memenuhi persyaratan, maka ketika pertemuan tanggal 29 Januari 1989, disepakatilah tanggal untuk peletakan batu pertama, yaitu tanggal 19 Pebruari 1989. Gedung gereja getsemani Asam Tiga dibangun diatas Tanah seluas 25 M x 200 M atas dasar Hibah Tanah dari Bapak Abraham Ndaomanu Peletakan batu pertama dihadiri oleh 200 jiwa, yaitu anak-anak 57 orang dan dewasa 143 orang. Kebaktian peletakan batu pertama dipimpin oleh B.P.K yakni Pdt. M. Anone, dan GETSEMANI Asam Tiga adalah nama yang dipilih sebagai nama Jemaat dengan alasan karena jemaat ini ada setelah pergumulan yang berat. Karena belum ada Majelis yang terbentuk, maka Hak kebaktian diserahkan kepada Penanggung Jawab Oeboboa yaitu Bpk. B. Ndaumanu. Namun setelah terjadi perhadapan Majelis antar waktu pada tanggal 16 April 1989, dan pembentukan panitia pembangunan serta kategorial Perempuan GMIT dan seksi-seksinya, maka dipilihlah Bapak. Th. D. Kilasaduk sebagai PenanggungJawab yang baru, dari tahun 1989-1999. Dan pdt Ch. Nggadas sebagai pendeta Wilayah dari tahun 1989 sampai dengan tahun 1991.Ada beberapa kepala keluarga dari Jemat Efrata dan berapa jemaat dari Betel yang juga bergabung menjadi jemaat Getsemani Asam Tiga pada waktu itu,awalnya Getesemani Asam Tiga masuk dalam Wilayah Kependetaan 18
Pukdale, namun karena Jemaat Getsemani Asam Tiga berada dalam Wilayah Kependetaan Naibonat, akhirnya diputuskalah agar Jemaat Getsemani Asam Tiga ada dalam bagian dari wilayah Kependetaan Naibonat.44
3.2 Peran Pastoral di dalam kehidupan para pengungsi Timor Leste GMIT Jemaat Asam Tiga di Naibonat Kupang, pada awal kedatangan orang Timor Leste yang tepatnya ketika pasca referendum 1999, mereka sering menimbulkan konflik dengan warga asli di Naibonat, akibatnya beberapa kondisi seperti konflik pasca referendum yang mengharuskan mereka kehilangan orang yang mereka kasihi dan kehilangan harta benda mereka sehingga menimbulkan trauma. Menurut Ibu AS seorang warga jemaat yang melihat dan melakukan pelayanan pastoral “ Ketika pasca referendum 1999 banyak orang Timor Timur yang datang ke sini mereka datang di malam hari, ketika mereka datang dan tinggal di awal-awal mereka sering mengalami percekcokan dengan orang-orang di sini, kami dari gereja ingin sekali membantu tetapi kami terkendala bahasa, dan ternyata ada beberapa orang Timor Timur yang merupakan warga Gereja Kristen di Timor Timur yang mencari GMIT pada waktu itu tetapi tidak mengetahui yang mana GMIT karena banyak gereja di NTT khususnya di Kabupaten Kupang, sekitar beberapa bulan setelah referendum keadaan masih mencekam tetapi ada beberapa orang Timor Timur yang datang kegereja GMIT Getsemani Asam Tiga dan menanyakan gereja Induk mereka dari GKTT (Gereja Kristen di Timor-Timur), karena kami sudah mengetahui ternyata ada juga orang-orang protestan kami melakukan pelayanan pastoral, kami merangkul mereka dan membantu mereka di dalam kehidupan mereka seperti memberikan sembako seadanya, sampai saat ini juga masih kami melakukan perkunjungan pastoral yang umumnya dilakukan karena kami sudah tidak membedakan pengungsi dan orang asli kupang mereka dianggap sebagai jemaat yang sama dengan kita”.45
44
Data diperoleh dari sekretariat GMIT Getsemani Asam Tiga Klasis Kupang Timur Wawancara dengan ibu AS (inisial), yang adalah warga jemaat GMIT Getsemani Asam Tiga, pada hari Jumat tanggal 23 Oktober 2015 pukul 19.20 wit. 45
19
Menurut Bapak IA, seorang pengungsi Timor Leste “Gereja sudah sangat membantu kami semenjak kami keluar dari Timor Leste dan datang ke Atambua disana sudah ada GMIT yang juga bekerjasama dengan LSM , kami mendapatkan bantuan secara jasmani seperti makanan minuman pakaian dan tempat istirahat dan juga pelayanan rohani seperti kebaktian bersama. Kami bersyukur karena ketika kami datang ada gereja yang menerima kami, meskipun kami di dalam keadaan trauma gereja membantu kami pulih dan bisa kuat kembali. Sekarang di GMIT Getsemani Asam Tiga masih memerhatikan jemaat yang ada di pengungsian seperti di ibadah rayon kami juga bebas untuk menyampaikannya di dalam bahasa Tetun Portu”46 Menurut Bapak LM, seorang pengungsi Timor Leste “ Ketika kami memutuskan dari Atambua untuk pindah ke Kupang karena tidak ingin di pengaruhi teman-teman yang ingin kembali ke Timor Leste, kami di Kupang selama satu tahun hidup kami susah hanya mendapat makanan ketika siang hari saja dan malam harinya kami tidur , sampai kami mencari gereja yang sama dengan gereja kami dari Timor Leste yaitu gereja yang seas as dengan GKTT ,Ketika mendapatkan gereja yang seasas, gereja menerima kami, dan banyak melakukan pelayanan pastoral serta banyak melibatkan kami, seperti saya di angkat menjadi majelis di dalam pelayanan rayon tenaga saya bisa digunakan untuk menyampaikan Firman Tuhan di dalam bahasa Tetun Portu atau menjadi penerjemah ke dalam bahasa Tetun Portu, banyak dari kami juga dilibatkan di dalam pelayanan Pemuda dan PAR”.47 Dengan pendapat yang hampir sama Bapak Pdt. Saturlino Coreia STh adalah seorang mantan pendeta GKTT(Gereja Kristen di Timor Timur) yang termasuk di dalam para pengungsi Timor Timur yang datang ke Kupang juga merasakan pelayanan Pastoral yang dilakukan oleh GMIT dan juga ikut terlibat di dalam pelayanan Pastoral sampai saat ini di gereja. Ketika Pasca Referendum 1999 , bapak Saturlino Coreia beserta istri dan jemaat keluar dari Timor Leste dan datang ke Indonesia “Atambua” karena mendapatkan berita bahwa Timor Leste akan dibumi-hanguskan seperti Hirosima dan Nagasaki, “ 46
Wawancara dengan Bapak IA (Inisial), yang adalah pengungsi Timor Leste dan warga jemaat GMIT Getsemani Asam Tiga, pada hari Sabtu 24 Oktober 2015 11.28 wit. 47 Wawancara dengan Bapak LM (inisial), yang adalah pengungsi Timor Leste dan warga jemaat GMIT Getsemani Asam Tiga, Sabtu tanggal 24 Oktober pukul 10.43 wit
20
Sebenarnya kami ini tidak ada niat untuk keluar dari sana, tetapi kami ditakut-takuti dari tentara bahwa Timor Leste akan dibumi-hanguskan seperti Hirosima dan Nagasaki, Waktu itu saya menjadi Pendeta Jemaat di Kabupaten Ailiu, dan
Timor Timur
mengumumkan hasil referendum bahwa otonomi kalah dan pro kemerdekaan menang, jemaat saya yang ada di desa-desa, kecamatan-kecamatan lari semua masuk di kota kabupaten di Ailiu, dan ada warga jemaat yang mengatakan kita dengar keputusan dari pak pendeta saja, kita mau keluar dari Timor Leste, kita keluar ,tidak kita tidak keluar, dan saya mengatakan tidak kita tetap di Timor Leste tetapi dulu ada juga warga jemaat saya yang merupakan Dandim TNI orang Batak, beliau mengatakan saya sudah menyiapkan kendaraan untuk bapa dan jemaat , bapa harus keluar ke Atambua karena Timor Leste akan di bumi hanguskan, akhirnya kami dengan keadaan panik, kami mengambil keputusan lagi untuk keluar dari Timor Leste dengan menggunakan truk jalan darat ada yang dengan kapal Very, tetapi ketika sampai di Atambua keadaan di Atambua sama mencekam seperti di Dili, karena ternyata yang keluar dari Timor Leste bukan saja yang pro otonom tetapi yang pro kemerdekaan karena ditakuti isu Timor Leste akan di bumi hanguskan, sehingga kami melanjutkan perjalanan ke Kupang, sesampai di Kupang saya dan istri kembali lagi ke atambua karena di atambua sudah ada Sinode GMIT dan UNKRIS yang telah menyediakan posko untuk membantu para pengungsi yang merupakan warga jemaat GKTT. Kami dibantu, kami di berikan makanan, fasilitas dan kendaraan untuk masuk ke Dili menjemput beberapa pengungsi yang masih tersisa dan sampai saat ini ada yang masih menetap di Indonesia dan ada juga yang sudah kembali ke Timor Leste dengan berbagai alasan, saat ini ada beberapa jemaat yang awalnya sebagai anggota jemaat GMIT berpindah ke gereja yang beraliran Kharismatik dengan alasan gereja kharismatik lebih menjamin kebutuhan kehidupan ekonomi mereka, sehingga kebutuhan ekonomi juga merupakan kebutuhan dasar jemaat yang harus diperhatikan oleh Gereja 48. Menurut Ibu Pendeta Meliana Radja Tuka, S.Si.Teol sebagai pendeta jemaat di GMIT Getsemani Asam Tiga periode tahun 2010-2015, pelayanan pastoral yang di 48
Wawancara dnegan Bapak Pdt. Saturlino Coreia STh, yang adalah warga jemaat GMIT Getsemani Asam Tiga dan juga pendeta dari GKTT (Gereja Kristen di Timor Timur) sekarang berganti nama Igreja Protestan de Timor Lorosae hari sabtu tanggal 24 Oktober 2015 pukul 15.00 wit di rumah beliau.
21
lakukan oleh gereja sudah dilakukan dan memberikan hasil yang memuaskan di kalangan jemaat khususnya kepada para pengungsi Timor Leste. “Sudah ada tiga rayon yang berada di pondok (tempat yang di tinggal oleh parah pengungsi),dan kami mengangkat beberapa saudara-saudara dari pondok yang bisa berbahasa Indonesia dengan baik menjadi penatua, diaken,dan majelis, kami juga sudah menikahkan masal 5 pasangan nikah dari para pengungsi dan salah satu pasangan yang baru dipulihkan dari trauma sehingga mau untuk menikah massal di mana beliau sudah memiliki anak dan cucu tetapi belum menikah sah secara agama dan dari pasca referendum hingga beberapa minggu sebelum nikah masal beliau masih hidup di dalam trauma, kami juga bekerjasama dengan beberapa panti sosial untuk melakukan pelayanan pastoral yang tidak hanya kepada beberapa anggota jemaat tetapi juga sebagian besar para pengungsi timor leste yang sekarang mereka sudah tidak ingin di sebut pengungsi karena mereka adalah bagian dari kami dan saudara-saudara kami.”49 Menurut Penatua Bapak Dominggus De Jesus, pelayanan pastoral sudah di lakukan oleh pihak gereja seperti baptisan, sidi, nikah, dan juga ketika ada kematian, kami juga ikut dilibatkan di dalam melakukan pelayanan pastoral dengan saudara-saudara kami di pondok pengungsian, kami sangat mengharapkan tidak adanya perbedaan di dalam melakukan pelayanan pastoral serta kami ingin hidup bersama tanpa adanya batasan-batasan tertentu dan itu yang sekarang sudah dilakukan oleh pihak gereja. “Awalnya kami seolah-olah didiskriminasi seperti halnya ketika kami menginginkan pelayanan pastoral kedukaan, karena berbagai tata aturan gereja kami selalu di sulitkan,saya sangat kewalahan untuk mengatur bagaimana kami mendapatkan pelayanan pastoral, awalnya seperti itu dengan adanya komitmen saya untuk berani membuka pemahaman gereja melalui pelayan dan badan harian gereja di dalam melakukan pelayanan pastoral sekarang sudah tidak ada lagi perbedaan di antara kami di dalam hal pelayanan.”50
49
Wawancara dengan Ibu Pendeta Meliana Radja Tuka, yang adalah pelayan di GMIT Jemaat Getesemani Asam Tiga, pada hari Rabu tanggal 21 Oktober 2015 pukul 18.30 50 Wawancara dengan Bapak Penatua Dominggus de Jesus yaitu yang dituakan di pondok pengungsian Asam Tiga Naibonat, Minggu 25 Oktober 2015 pukul 12.15 wit
22
Berdasarkan hasil data di atas GMIT sangat berpartisipasih dalam membantu pengungsi-pengungsi yang berasal dari Timor Timur seperti waktu di Atambua, GMIT bekerjasama dengan LSM, sehingga pengungsi banyak mendapatkan bantuan secarah jasmani seperti makanan, minuman, pakaian, tempat beristirahat dan juga pelayanan rohani seperti kebaktian bersama, hal tersebut yang membuat pengungsi merasa gereja GMIT dapat menerima mereka,walaupun waktu itu mereka masih dalam keadaan trauma. Begitupun dengan gereja Getsemani Asam Tiga yang merupakan salah satu gereja di bawah naungan Sinode GMIT, yang juga memperhatikan jemaat yang berasal dari Timor Leste. Dengan melakukan pelayanan pastoral, seperti mengadahkan ibadah rayon dengan memberi kebebasan dalam menggunakan bahasa Tetun Portu, memberikan kesempatan kepada jemaat yang berasal dari Timor Leste untuk diangkat menjadi penatua, diaken, majelis maupun melayani dalam bidang kategorial lain seperti kategorial Pemuda dan PAR, jemaat Getsemani Asam Tiga pun sudah mendapatkan pelayanan pastoral oleh pihak gereja seperti baptisan, sidi, nikah, dan juga ketika ada kematian, mereka juga ikut dilibatkan di dalam melakukan pelayanan pastoral dengan saudarasaudara mereka di pondok pengungsian. Menurut pandangan Seward Hiltner bahwa pelayanan
pastoral
haruslah
dipandang
dari
perspektif
penggembalaan
yaitu
Penyembuhan, Dukungan, Pembimbingan, Memulihkan, dan Pemeliharaan. Bentukbentuk pendampingan pastoral tersebut yang memberikan nilai positif sehingga tidak adanya lagi perbedaan antara jemaat asli gereja Getsemani Asam Tiga dan jemaat yang berasal dari Timor Leste, ini menujukan bahwa fungsi-fungsi pastoral di gereja Getsemani Asam Tiga terealisasikan dengan baik, dan juga pendampingan pastoral semakin efektik karena sebelumnya sudah ada ikatan gereja seasas yaitu kebanyakan para pengungsi adalah jemaat Gereja Kristen Timor-Timur yang sekarang sudah berganti nama menjadi Igreja Protestan De Timor Lorosae, sehingga mereka merasa tidak lagi di negeri asing tetapi seperti di rumah sendiri.
23
3.3 Peran Pastoral Jemaat Getsemani Asam Tiga terhadap Pengungsi Timor Leste yang mengalami Trauma
Gereja dilihat sebagai kumpulan atau jemaat pilihan, yaitu mereka yang dipanggil oleh Allah keluar dari dunia, pergi dari dosa dan masuk kedalam wilayah anugerah51,oleh sebab itu gereja sebagai Tubuh Kristus dipanggil ditengah dunia untuk membawa umat semakin bertumbuh kearah Kristus sebagai kepala gereja. Gereja bukan merupakan organisasi, tetapi suatu organisme, yaitu gereja terdiri dari anggota-anggota yang hidup seperti tubuh manusia yang disusun untuk berfungsi di dalam kesatuan dengan bekerja sama dan saling bergantung di antara anggota yang satu dengan yang lain, demikian pula halnya dengan Gereja sebagai tubuh yang memperlihatkan kesatuan dan keragaman.52 Gereja harus membawa jemaatnya semakin mengalami pertumbuhan iman lewat pelayanan-pelayanan yang dilakukan dan di sinilah peranan pastoral sangatlah dibutuhkan. Pastoral mencakup pelayanan yang saling menyembuhkan dan menumbuhkan di dalam suatu jemaat dan komunitasnya sepanjang perjalanan hidup mereka.53 Peran Pastoral Sinode GMIT melalui Klasis dan Gereja-gereja yang berada di wilayah pengungsian khususnya GMIT Getsemani Asam Tiga di Naibonat juga dilakukan. Judith Herman mengatakan bahwa menyembuhkan trauma (trauma healing) sebagai upaya untuk menggerakan tiga hal yaitu, dari perasaan bahaya pada perasaan nyaman dan aman, dari perasaan menolak kondisi pada penerimaan kondisi, dan dari perasaan terisolasi pada kemampuan membangun hubungan sosial.54 Trauma healing adalah usaha untuk kembali menyembuhkan seseorang dari trauma untuk kembali menerima kondisi dan mampu bangkit kembali baik secara kejiwaan atau kehidupan sosial. Trauma dalam istilah psikologis untuk menunjukkan kondisi yang shok dan tertekan oleh suatu peristiwa yang membekas relatif lama pada korban. Beberapa
51
R.C.Sproul,Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen, (Malang : SAAT,2000) halaman 285 Tonu Lehtsaar;Maire Ivanova, December 2011, Oppurtunites for church related pastoral counseling in Estonian Evangelical Churches, International Journal of practical Theology, Vol 15 Issue 2, P279-292.14p 53 Howard Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral (Yogyakarta: Kanisius,2002) hal.32 54 Judith Herman, Trauma and RecoveryI,(New York: Basic Books,1997) halaman 13 52
24
kondisi yang berpotensi menjadi peristiwa traumatis antara lain bencana, konflik, menjadi korban kriminal, kehilangan orang yang dicintai, kehilangan harta benda.55 Cara pandang seseorang yang mengalami trauma menjadi hal utama yang harus dibangun. Seseorang harus mampu merubah cara pandang terhadap peristiwa yang terjadi, dari cara pandang tersebut dapat menumbuhkan keyakinan, harapan untuk masa depan. Selanjutnya adalah lingkungan sosial. Dalam konteks trauma healing, lingkunga sosial menjadi salah satu faktor dalam membantu seseorang dari trauma. Dukungan, dorongan sangat dibutuhkan dan hal ini dapat terwujud ketika seseorang mampu membangun komunikasi sosial.56 Trauma healing dapat dilakukan secara teratur agar dapat membangun kembali mental para korban, dengan hal tersebut, ingatan tentang konflik di dalam benak dan pikiran mereka bisa terhapus, dan kehidupan baru dapat dimulai.57 Konflik berkepanjangan pasca referendum 1999 yang memberikan dampak arus pengungsian masyarakat Timor Leste masuk ke Indonesia tepatnya di Provensi Nusa Tenggara Timur dan menciptakan banyak kekacauan, oleh karena depresi,bahkan trauma terpisah bahkan kehilangan orang-orang terdekat dan harta benda, tetapi dengan adanya lembaga agama yaitu gereja GMIT Getsemani Asam Tiga di Naibonat yang bersedia melakukan perkunjungan pelayanan pastoral maupun memberikan sembako seadanya serta menunjukan rasa penerimaan terhadap orang-orang Timor Leste dengan tidak membedakan mereka dan jemaat asli kupang sehingga membantu menyembuhkan trauma bagi orang Timor Leste yang berada di GMIT Jemaat Getsemani Asam Tiga.
55
Raymond M. Scurfield, Katherine T. Platoni, Healing war Trauma, (New York:Routledge,2013) halaman 289 Joshua Pederson, Speak Trauma : Toward a Revised Understanding of Litercary Trauma Theory,Copyright 2014 by The Ohio State University, Narrative, Vol 22 issue 3, p333-353,21p. 57 Amra Delic;Mevludin Hasanovic;Esmina Avdibegovic;Alexsandar Dimitrijevic;Camellia Hancheva;Carmen Scher;Tatjana Stefanovic-Stanojevic;Annette Streeck-Fischer; Andreas Hamburger, Academic model of trauma healing in post-war societies,Acta Medica Academica may2014,Vol 43, issue 1, p 76-80.5p 56
25
IV.
KESIMPULAN DAN SARAN Dari uraian yang telah penulis jabarkan,dapat disimpulkan bahwa peran pastoral gereja menjadi satu hal yang penting yang harus dilakukan dalam membantu seseorang keluar dari keterpurukan dirinya ketika sedang mengalami berbagai masalah yang dianggap sudah tidak ada harapan lagi, kesadaran akan pentingnya Peran Pastoral yang baik membawa seseorang kepada tahap pemahaman Kasih dan selanjutnya kepada tahap penerapan. Peran Pastoral yang baik tidaklah berguna ketika hanya berada pada batasan teori, Peran Pastoral yang baik memang sama seperti iman, yang harus ditindaklanjuti dalam kehidupan nyata. GMIT Getsemani Asam Tiga memang telah mengetahui dengan baik apa itu peran pastoral, namun seiring dengan perkembangan pelayanan peran pastoral dalam gereja, ada banyak pemahaman jemaat mengenai apa itu peran pastoral, siapa yang dapat melakukannya, bagaimana melakukan peran pastoral, apakah isi peran pastoral, siapakah yang harus dikunjungi didalam melaksanakan peran pastoral dan masih banyak lagi pertanyaan yang mengarah kepada pemahaman mengenai peran pastoral. Peran Pastoral adalah tugas yang permanen dalam kehidupan seseorang,karena Yesus sendiri sangat menjunjung tinggi tugas pelaksanaan peran pastoral di dalam penggembalaan, dan GMIT Getsemani Asam Tiga seharusnya memberikan perhatian yang baik kepada pentingnya peran pastoral. Bukan saja sebatas ketika ada di dalam program kerja gereja tetapi hal ini juga tidaklah terputus tetapi merupakan satu kesinambungan. Peran Pastoral yang hanya dilakukan ketika mengikuti program kerja gereja tersebut tidaklah dapat membantu secarah penuh kepada jemaat yang mengalami berbagai kondisi, khususnya sebagian besar jemaat yang merupakan korban konflik Timor Timur, karena para pengungsi hanya diberikan peran pastoral ketika ada kegiatan gereja tetapi tidak diperhatikan berkelanjutan,sehingga ada beberapa jemaat pengungsi Timor Leste yang berpindah ke gereja beraliran lain.Untuk menunjang keberhasilan peran pastoral, maka setiap komisi dan segala komponen GMIT Getsemani Asam Tiga harus turut aktif memberlakukan, mendukung, dan memberi perhatian khusus pada peran pastoral yang dilakukan. 26
Jemaat Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Getsemani Asam Tiga sebagai persekutuan “Tubuh Krsitus” , dapat memahami perlunya perkunjungan rutin kepada setiap anggota jemaat dijalankan, karena perkunjungan pastoral sebagai salah satu bentuk penggembalaan bagi anggota tubuh Kristus yaitu anggota jemaat dengan tujuan memelihara dan menumbuhkan iman jemaat di dalam Krsitus belum berjalan secara optimal, yang dimaksudkan belum berjalan secara optimal ialah karena peran pastoral hanya dilakukan ketika ada kasus atau masalah. Ada beberapa saran sehubungan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan di antaranya : a) Kepada Sinode GMIT
Sinode dapat mempersiapkan konsep mengenai teori dan praktek peran pastoral supaya dapat menjadi pedoman atau acuan bagi pendeta dan majelis jemaat untuk melakukan peran pastoral yang sesuai dengan konteks masing-masing gereja.
Sinode bila dimungkinkan dapat memberikan informasi kepada setiap klasis untuk memberikan pemahaman tentang Gereja Kristen TimorTimur, sehingga setiap gereja yang ada di bawah naungan sinode dapat melihat dan memahami hubungan antara Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) dan Gereja Kristen di Timor-Timur (GKTT) sekarang berganti nama menjadi Igreja Protestan de Timor Lorosae yang merupakan gereja seasas dan dapat turut terlibat dalam peran pastoral terhadap para pengungsi Timor Leste yang merupakan bagian dari GMIT.
b) Kepada GMIT Getsemani Asam Tiga
Majelis jemaat dan pendeta, agar dapat menentukan waktu tertentu untuk mengadakan seminar, ceramah, dan sebagainya, yang ingin dicapai untuk memperlengkapi jemaat, pengurus rayon, majelis dengan pemahaman pelaksanaan atau praktek dalam pelayanan pastoral, gereja juga perlu menyediakan bahan-bahan bacaan atau buku-buku yang berhubungan 27
dengan pastoral sebagai sarana penunjang didalam mengembangkan dan meningkatkan pelayanan pastoral gereja.
Gereja dapat juga melakukan kegiatan-kegiatan oikumene dengan gerejagereja lain sehingga tetap menjalin hubungan pastoral yang tidak hanya sebatas ruang lingkup gereja, klasis, dan sinode.
28
DAFTAR PUSTAKA BUKU Abineno,J.L.Ch, 1967, Pelayanan Pastoral, Jakarta: BPK Bons-Storm, M. 2011.Apakah Penggembalaan Itu ?. Jakarta: BPK Gunung Mulia Brownliee, Malcolm. 2004, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan, Jakarta: BPK Gunung Mulia Chinebell,Howard, 2002, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, Yogyakarta:Kanisius Clinebell, Howard. 2002. Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral. Yogyakarta: Kanisius Collins Garry, 1980, Helping People Growth,California:Vission House Dahrendorf, Ralf. 1959. Class Confiict in Industrial Society.California: Stanford University Press Engel, J.D, 2007, Gereja dan Masalah Sosial. Salatiga: Tisara Grafika Feist, Jess dan Feist, J,.G.2013, Teori Kepribadian. Jakarta: Salemba Humanika Harvey, J.H, 2002, “Perspective on Loss and Trauma Assaults on the self”. California : Sage Publication Herman,Judith,1997, Trauma and Recovery,New York:Basic Books Hommes,Tjard G dan Singgih,E.G,1994, Teologi dan Praksis Pastoral, Yogyakarta:Kanisius Scurfield,R.M,Platoni,K.T,2013, Hearing war Trauma,New York:Routledge Sembiring Nasib, dan Yosef D. Pradipto, 2013, Psikologi Konseling Pastoral, Yogyakarta: Kanisius Sproul,R.C.,2000, Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen, Malang: SAAT Syahnakri, Kiki. 2013, Timor Timur Untold Story, Jakarta: Buku Kompas Timo, E.N, 2004, Anak Matahari Teologi Rakyat Bolelebo Tentang Pembangunan, Maumere: Ledalero Usman, Husaini dan Purnomo S. Akbar. 2008, Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara
29
JURNAL Bardiau-Huys, “Sustaining pastoral ministry: Denominations must assume their responsibilities, JEPTA: Journal of the European Pentecostal Theological Association, 2014 Vol 34 Issue 1, p61-76.16p Butler Jr,Lee Hayward, “African-American pastoral psychology in the twenty-first century will be more than sensual healing”, Journal of Religious Thought 1997, Vol 53/54 Issue 2/1, p113.18p Davies, Petronella J, Dreyer, Yolanda. 2014. “A Pastoral Psychological Approach to Domestic Violence in South Africa”, Hervormde Teologiese Studies, Vol. 70 Issue 3, p1-8. 8p. Delic,Amra;Hasanovic,Mevludin;Avdibegovic,Esmina;Dimitrijevic,Alexsander;Hancheva,Camelia;Scher,Carmen;S tanojevic-Stefanovic,Ttajana;Fischer-Streeck,Annette;Hamburger,Andreas, “Academic model of trauma healing in post-war societies”,Acta Medica Academica 2014,Vol.43 Issue 1, p76-80.5p Gray Jennifer B, “Theory Guilding Communication Campaign Raxis : A Qualitative Elicitation Study Comparing Exercise Beliefs of Overwight and Healty Weight College Student”, Qualititave Research Reperts in Communication 2011, Vol12. Issue 1, p34-42 9p Hutten,Rebecca; Parry Glenys; Ricketts,Thomas; Cooke,Jo. “Squaring the circle : A Priority-Setting method for evidence-base service development, reconciling research with multiple stakeholder views.” BMC Healt Service Research, Aug 2015, vol.15 Issue 1, p1-11p. 1 Diagram,5 Charts Leach,Tony. “Maybe I Can Fly : Nurturing personal and collective learning in professional learning communities” Pastoral Care in Education.´Dec 2009, Vol.27 Issue 4, p313-323,11p.2 Diagrams Lehtsaar,Tonu; Ivanova,Maire. “Oppurtunites for Church related pastoral counseling in Estonia Evangelical Churches”.International Journal of practical Theology. Dec2011, Vol.15 Issue 2, p279-292.14p McClure,Barbara J, “The Social Construction of Emotions : A New Direction in the Pastoral work of healing”, Pastoral psychology, Dec2010, vol.59 Issue 6, p 799-812,14p Pederson,Joshua,2014,”Speak Trauma: Toward a Revised Understanding of Litercary Trauma Theory”, Vol.22 Issue 3, p333-353,21p Reley,Philp, “Attachment theory, teacher motivation and pastoral care : a challenge for teachers and academics”, Pastoral care education Jun 2013, Vol 31 Issue 2, p112-129,18p Sami,B.M., Husain,R.M., Khan,Ullah., Safi,Cool.,Rashid,Q (2015). “Efficacy of Eye Movement Desensitazion and Reprocessing Beyond Complex Post Traumatic Stress Disorder A Case Study of EMDR in Pakistan”, Professional Medical Journal, Vol. 22. Issue 4, p514-521.8p
30
Shields, Richard. “Nurturing Spirituality and Vocation: A Catholic Approach to New Teacher Induction” Chatolic Education : A Journal of Inquiry and Practice. Dec 2008, vol.12 Issue 3 p 160-175.16p Smith,Gullaume H, “Pastoral ministry in a missional age: Towards a practical theological understanding of missional pastoral care”, Verbum et Ecclesia 2015, Vol.36 Issue 1,p1-8.8p Steele,William;Kuban,Caelan.Winter2014,”Healing Trauma,Building Resilience:SITCAP in Act,Volume 22 Issue 4, p18-20,3p Thesnaar,Christoffel H. “Seeking feasible reconciliation : A transdisciplianary contextual approach to reconciliation” Hervormde Teologiese Studies. 2014, Vol 70 issue 2,p1-8.8p Van der merwe,Amelia;Swartz,Leslie. “Living in two narratives:psychic spilitting in south African survivors of chronic trauma” South African Journal of Psychology. Sep2015, Vol 45 Issue 3,p361-373.13p
31