PERBEDAAN KOMPETENSI SOSIAL MAHASISWA DITINJAU DARI PARTISIPASI MAHASISWA DALAM LEMBAGA KEMAHASISWAAN UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA OLEH MICHAEL KRISNADI 802010035 TUGAS AKHIR Diajukan kepada Fakultas Psikologi guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2014
PERBEDAAN KOMPETENSI SOSIAL MAHASISWA DITINJAU DARI PARTISIPASI MAHASISWA DALAM LEMBAGA KEMAHASISWAAN UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA Michael Krisnadi Berta Esti A. Prasetya Enjang Wahyuningrum Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2014
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu perbedaan kompetensi sosial mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) ditinjau dari partisipasi mahasiswa di dalam Lembaga Kemahasiswaan (LK) UKSW. Populasi penelitian ini adalah mahasiswa angkatan 2011 UKSW dimana terdapat tiga jenis partisipasi mahasiswa dalam Lembaga Kemahasiswaan yang menjadi dasar pembagian populasi penelitian, yaitu tidak berpartisipasi (populasi mahasiswa non-LK, diwakili dengan 226 orang sampel), berpartisipasi sebagai anggota (populasi mahasiswa non-pimpinan/anggota LK diwakili dengan 63 sampel), dan berpartisipasi sebagai pimpinan (populasi mahasiswa pimpinan LK diwakili dengan 63 sampel). Penelitian ini dilakukan di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga dengan jumlah total 352 mahasiswa sebagai sampel penelitian. Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan cluster sampling berdasarkan 14 Fakultas yang ada di UKSW. Pengumpulan data dilakukan dengan Angket Kompetensi Sosial yang dikembangkan sendiri oleh peneliti berdasarkan enam aspek kompetensi sosial menurut Anme, et al. (2011). Analisa data Analysis of Variance (ANOVA) dengan menggunakan SPSS 16.0 menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,000 dengan kriteria penerimaan hipotesis penelitian adalah P > 0,05 dengan α = 5%. Artinya ditemukan perbedaan kompetensi sosial yang signifikan di antara mahasiswa non-LK, mahasiswa yang pernah menjadi anggota LK, dan mahasiswa yang pernah menjadi pimpinan LK. Lebih lanjut, post-hoc test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kompetensi sosial yang signifikan di antara mahasiswa mantan pimpinan LK dan mahasiswa non-LK (MD = 20,202 dan Sig. = 0,000) serta di antara mahasiswa mantan anggota LK dan mahasiswa non-LK (MD = 16,821 dan Sig. = 0,000) dimana kompetensi sosial mahasiswa mantan pimpinan LK lebih tinggi daripada mahasiswa mantan anggota LK dan kompetensi sosial mahasiswa mantan anggota LK lebih tinggi daripada mahasiswa non-LK. Meski demikian, tidak ditemukan perbedaan kompetensi sosial yang signifikan di antara mahasiswa mantan pimpinan LK dan mahasiswa mantan anggota LK (MD = 3,381 dan Sig. = 0,402). Kata kunci: Kompetensi sosial, mahasiswa, organisasi mahasiswa, partisipasi.
i
Abstract The aim of the study is to investigate social competency difference among Satya Wacana Christian University (SWCU) students in terms of their participation on Student Organization of Satya Wacana Christian University. The population of the study is year 2011 SWCU students where there is three types of participation on Student Organization that divided the population into three groups of population: non-participant (was never participate, represented by 226 samples), organization member (former member of Student Organization, represented by 63 samples), and organization head (former head of Student Organization, represented by 63 samples). The study was implemented at Satya Wacana Christian University with a grand total of 352 students as participants. Cluster sampling based on 14 Faculty of SWCU was used as a sampling method. A self-developed Social Competence Quistionnaire based on six aspects of Social Competence according to Anme, et al. (2011) used to measure the participants social competence. Analysis of Variance with SPSS 16.0 shows that the significance score of the test is 0,000 (P > 0,05; α = 5%). Thus a conclusion could be taken that there is a significant difference in social competence among non-participant students, former member of Student Organization, and former organization head of Student Organization. Furthermore, the post-hoc test shows that there is a significant social competence difference between former organization head of Student Organization and non-participant students of SWCU (MD = 20,202 dan Sig. = 0,000) and between former member of Student Organization and non-participant student of SWCU (MD = 16,821 dan Sig. = 0,000). Thus, it is found that the former head of Student Organization had higher social competence than former member of Student Organization where the former member of Student Organization also had higher social competence than nonparticipant students. However, there is no significant social competence difference between former organization head of Student Organization and former member of Student Organization of SWCU (MD = 3,381 dan Sig. = 0,402). Keyword: Social Competence, students, undergraduate, student organization, participation.
ii
1
Pendahuluan Berdasarkan UU No.2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
pasal 16 ayat (1), perguruan tinggi memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mempersiapkan generasi muda untuk terjun ke dalam masyarakat dan meningkatkan taraf hidup masyarakat tempatnya berada dengan bekal ilmu dan keterampilan dimiliki. Dalam hal ini Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) juga mengemban tugas tersebut, sesuai dengan pernyataan Titaley (2013) bahwa Satya Wacana adalah tempat pembinaan yang mempersiapkan sekelompok orang dari masyarakat tertentu untuk bisa hidup di dalam suatu masyarakat menurut pola-pola kebudayaan masyarakat tersebut. Generasi muda yang dimaksud disini tentu saja adalah mahasiswa. Dalam rangka mempersiapkan mahasiswa untuk dapat menjadi bagian dari masyarakat dan lebih jauh dapat berkontribusi mengembangkan masyarakat tersebut, perkembangan kompetensi sosial menjadi penting untuk diperhatikan karena individu memerlukan kompetensi sosial yang baik untuk dapat berfungsi dalam dalam kehidupan sosial dengan tepat (Wandono, 2013) dimana orang yang memiliki kompetensi sosial yang buruk dapat mengalami masalah dalam partisipasinya di dalam komunitasnya (Ruegg, 2003). Kompetensi sosial adalah kemampuan untuk memahami orang lain dalam konteks interaksi sosial untuk melakukan komunikasi yang halus/lancar dengan orang lain (Anme et al., 2011). Kompetensi sosial memiliki enam aspek, yaitu: 1. Expressivity Adalah kemampuan dalam menyampaikan pemikiran dan perasaan dengan tepat. Individu dengan expressivity yang baik biasanya menunjukkan keberanian dalam menyampaikan gagasan, ide, maupun pendapat dihadapan orang lain. 2. Assertiveness Merupakan kemampuan untuk menempatkan diri dan pendapat dengan baik terhadap orang lain. Selain itu kemampuan ini juga ditunjukkan dengan adanya inisiatif. Misalnya bertanya tentang suatu
2
informasi kepada orang lain, memperkenalkan seseorang, dan memberikan respons terhadap tindakan orang lain. 3. Sensitivity Adalah kemampuan untuk menyadari, membaca dan memahami pemikiran dan perasaan orang lain secara tepat. Kemampuan ini biasanya ditunjukkan dengan kemampuan untuk menempatkan diri dalam situasi tertentu dengan tepat. 4. Acceptance Adalah kemampuan individu untuk menerima, memahami dan menghormati pendapat serta keberadaan orang lain, meskipun orang tersebut tidak atau kurang disukai oleh individu tersebut. 5. Regulation of interpersonal relationship Adalah kemampuan dalam mengatur diri sendiri dan bekerja sama dengan orang lain untuk mengembangkan hubungan yang baik. 6. Self-control Merupakan kemampuan untuk mengendalikan emosi dan perilaku. Selain itu, pengendalian diri dalam hal ini juga mencakup perilaku yang muncul ketika menghadapi konflik seperti respons yang tepat terhadap ancaman atau gangguan, serta perilaku yang muncul pada saat situasi nonkonflik, seperti proses pengambilan keputusan dan kompromi. Kompetensi sosial menjadi aspek perkembangan yang penting dalam kehidupan manusia karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang selalu hidup bersama dengan manusia lain (Purnomo dalam Wiloso dkk., 2012) dan membutuhkan orang lain untuk hidup (Bouman dalam Wiloso dkk., 2012). Disamping itu, manusia memiliki kebutuhan untuk berhubungan dan berinteraksi dengan orang lain (Saputro, 2010) yang membuatnya menjadi mampu dalam menjalankan kehidupannya (Purnomo dalam Wiloso dkk., 2012). Dalam konteks masyarakat dan lingkungan, para ahli telah menyatakan bahwa kompetensi sosial memiliki peran yang signifikan pada kehidupan seorang individu di dalam suatu masyarakat. Hair, Jager, & Garett (2001) menyatakan bahwa manusia membutuhkan kompetensi sosial untuk dapat
berhubungan
3
dengan baik di dalam kelompok atau masyarakat, dimana individu yang memiliki kompetensi sosial akan dapat memanfaatkan lingkungan dan diri pribadi sebagai sumber untuk meraih hasil yang optimal dalam hubungan interpersonal (Waters & Sroufe dalam Gullota, Adam, & Markstrom, 1999). Sejalan dengan pernyataan tersebut, Knapp (2001) juga menyatakan bahwa seberapa baik seorang individu dapat berinteraksi dengan orang lain dapat dilihat dari kompetensi sosialnya. Selain itu kompetensi sosial juga berhubungan erat dengan penyesuaian sosial seseorang dalam lingkungannya (Adam, dalam Wardani & Apollo, 2010). Dengan demikian, kesimpulan yang dapat ditarik adalah dengan interaksi serta penyesuaian sosial yang baik, individu akan memiliki hubungan yang baik dalam lingkungan tempatnya berada dan dengan demikian dapat menjadi anggota masyarakat yang baik. Selain memiliki peran signifikan dalam interaksi sosial serta hubungan dalam masyarakat, kompetensi sosial juga berperan signifikan dalam aspek-aspek lain dalam kehidupan individu. Kompetensi sosial memainkan peran integral dalam seberapa baik seorang muda beralih pada kedewasaan (Ruegg, 2003). Tanpa kompetensi sosial yang adekuat, seseorang dapat mengalami permasalahan dalam ketenagakerjaan, keterampilan hidup sehari-hari, hidup mandiri, serta dalam berpartisipasi dalam komunitasnya (Ruegg, 2003). Amri (dalam Wandono, 2012) menemukan bahwa remaja putri yang memiliki kompetensi sosial yang rendah akan merasa minder dan kurang mampu untuk membangun interaksi sosial yang luas. Lebih jauh lagi, penelitian Bryan (dalam Ruegg, 2003) menemukan bahwa hubungan dengan teman sebaya yang buruk serta keterampilan sosial yang rendah telah ditemukan berhubungan dengan drop out, kenakalan remaja, pemecatan, kontak dengan polisi, bahkan hingga pemberhentian tidak terhormat dalam karir militer serta bunuh diri. Melihat peran penting kompetensi sosial, maka individu harus mengembangkan kompetensi sosial yang baik dalam kehidupannya, terlebih lagi pada masa-masa pendidikannya di perkuliahan. Pengembangan kompetensi sosial mahasiswa menjadi penting untuk dilakukan oleh Universitas (dalam hal ini, UKSW) untuk mewujudkan terciptanya lulusan-lulusan yang mampu menjadi
4
anggota masyarakat yang baik serta memberikan kontribusi terhadap masyarakat. Melalui kesimpulan ini, peneliti mengadakan penelitian pendahuluan untuk melihat kondisi kompetensi sosial mahasiswa UKSW. Penelitian pendahuluan dilakukan dengan dua metode. Metode pertama adalah mewawancarai 15 orang dosen dari beberapa Fakultas di UKSW mengenai kompetensi sosial mahasiswa yang ditunjukkan dari perilaku mahasiswa di kelas. Metode kedua adalah dengan memberikan survey sederhana kepada 40 orang mahasiswa UKSW dari berbagai Fakultas. Dalam kedua riset awal ini, baik wawancara maupun survey dirancang berdasarkan aspek-aspek kompetensi sosial menurut Anme et al. (2011) yaitu expressivity, assertiveness, sensitivity, acceptance, regulation of interpersonal relationship, serta self control. Hasil wawancara dengan 15 orang dosen UKSW pada tanggal 10, 11, dan 12 Oktober 2013 menghasilkan kesimpulan bahwa kebanyakan dosen merasa bahwa mahasiswa yang menunjukkan kompetensi sosial yang baik jumlahnya tidak mencapai 30% dari seluruh mahasiswa di dalam kelas yang mereka ampu. Selanjutnya, hasil survey terhadap 40 orang mahasiswa UKSW pada tanggal 10 hingga 16 Oktober 2014 menunjukkan bahwa mahasiswa yang memiliki perilaku yang sesuai dengan aspek-aspek kompetensi sosial yang baik jumlahnya tidak mencapai 45% dengan rata-rata per aspek sebanyak 33,75%. Berdasarkan kedua riset pendahuluan, dapat disimpulkan bahwa kompetensi sosial mahasiswa UKSW saat ini masih jauh dari apa yang ideal dan diharapkan. Melihat hal ini, sarana yang tepat untuk dapat mengembangkan kompetensi sosial mahasiswa dalam masa-masa perkuliahan menjadi suatu hal yang penting untuk meningkatkan kompetensi sosial mahasiswa, sehingga mahasiswa yang lulus dari UKSW siap untuk menjadi bagian masyarakat yang dapat berkontribusi kepada lingkungannya. Dalam hal ini, Lembaga Kemahasiswaan (LK) UKSW merupakan salah satu sarana yang dapat meningkatkan kompetensi sosial mahasiswa. Berdasarkan Ketentuan Umum Keluarga Mahasiswa UKSW 2011 (Selanjutnya disebut sebagai KUKM) dapat disimpulkan bahwa LK UKSW merupakan salah satu sarana UKSW untuk menyiapkan lulusan yang sesuai dengan profil lulusan UKSW.
5
Dalam peran tersebut, LK UKSW memiliki program-program kerja dan mekanisme yang dirancang sesuai dengan Visi dan Misi UKSW yang tertuang di dalam Skenario Pola Pembinaan Mahasiswa UKSW 2012 (SPPM UKSW 2012, selanjutnya disebut sebagai SPPM). Namun di samping program-program kerja itu sendiri, proses dan dinamika yang terjadi di internal LK dalam membuat suatu program yang dapat menjawab Visi dan Misi UKSW sekaligus kebutuhan mahasiswa juga memberikan kontribusi terhadap perkembangan individu-individu yang menjadi pengurus LK, terutama dalam hal perkembangan kompetensi sosial. Pengalaman di Lembaga Kemahasiswaan dapat meningkatkan kompetensi sosial karena Lembaga Kemahasiswaan adalah sebuah organisasi formal intrakampus. Organisasi formal, menurut Scott (dalam Wijono, 2010) adalah sistem aktifitas terkoordinasi sekelompok orang yang bekerja bersama-sama menuju kepada tujuan bersama, yang memiliki sistem otoritas dan kepemimpinan. Untuk mewujudkan koordinasi di dalam sebuah kelompok, interaksi sosial yang intens dan efektif mutlak diperlukan, tidak terkecuali di dalam LK UKSW. Dalam usahausaha untuk mewujudkan komunikasi yang efektif untuk mencapai tujuannya, fungsionaris LK UKSW secara langsung berlatih melakukan interaksi yang efektif dengan lingkungannya, atau dengan kata lain berlatih meningkatkan kompetensi sosial. Banyaknya kesempatan untuk menggunakan kompetensi sosial adalah salah satu dari 5 faktor yang dapat membentuk kompetensi sosial menurut Hurlock (dalam Durkin, 1994). Dengan demikian, maka dapat diambil kesimpulan bahwa individu yang pernah menjadi fungsionaris LK UKSW memiliki banyak kesempatan untuk menggunakan kompetensi sosial dan akan cenderung memiliki kompetensi sosial yang lebih baik. Teori-teori dan hasil penelitian yang sudah dilakukan juga mendukung kesimpulan tersebut. Pertama, Berk (2000) mengemukakan bahwa dampak kehidupan perkuliahan terhadap perkembangan seorang individu sangat ditentukan oleh keterlibatan individu di dalam kegiatan-kegiatan akademik maupun non-akademik yang diikuti oleh individu. Selanjutnya, penelitianpenelitian dan teori-teori yang ada juga menegaskan bahwa keikutsertaan
6
mahasiswa di dalam organisasi non-akademik akan memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk berinteraksi dalam suasana non-formal (di luar kelas) serta meningkatkan keterampilan komunikasi (Hegedus & Knight, 2002), yang juga tercakup oleh kompetensi sosial (Semrud-Clikeman, 2007). Lebih spesifik lagi, penelitian yang dilakukan oleh McKinley, Birkenholz & Stewart (1993) di University of Missouri, Columbia menyatakan bahwa keterampilan komunikasi mahasiswa di sana meningkat melalui partisipasi mereka di dalam organisasi mahasiswa. Meskipun demikian, perlu diperhatikan bahwa karena penelitianpenelitian tersebut hanya membahas komponen-komponen dari kompetensi sosial, hasil-hasil penelitian tersebut belum memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai interaksi antara variabel keterlibatan organisasi dan variabel kompetensi sosial secara lengkap. Penelitian Widiastuti dan Anggraini (dalam Apollo, 2010) memberikan dukungan teoritis yang jauh lebih spesifik, dimana penelitian mereka menunjukkan adanya perbedaan kompetensi interpersonal antara mahasiswa yang aktif dan tidak aktif dalam organisasi mahasiswa. Mahasiswa yang aktif dalam berorganisasi ditemukan mempunyai kompetensi interpersonal yang lebih tinggi daripada mahasiswa yang tidak aktif dalam berorganisasi (Widiastuti & Anggraini dalam Apollo, 2010). Pengalaman-pengalaman fungsionaris LK dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab mereka memberikan mereka kesempatan untuk menggunakan dan mengembangkan kompetensi sosial. Berdasarkan wawancara non-terstruktur terhadap 20 orang mantan fungsionaris LK pada berbagai Fakultas di UKSW yang dilakukan pada tanggal 17-19 Oktober 2013, sebanyak 17 dari 20 mantan anggota LK yang diwawancara merasakan adanya perbedaan dalam diri mereka setelah mereka terlibat dalam keanggotaan LK UKSW. Menurut mereka, perubahan diri mereka ini disebabkan karena adanya tanggung jawab yang diperoleh saat berpartisipasi di LK UKSW. Pendataan lebih lanjut menunjukkan bahwa perubahan yang dirasakan secara garis besar terdiri dari 11 poin utama, dimana peneliti menemukan bahwa 9 dari 11 poin utama tersebut sesuai dengan aspek-aspek kompetensi sosial menurut
7
Anme et al. (2011). Artinya, sebagian besar (9 dari 11 poin) dari perubahan yang dirasakan merupakan perubahan dalam hal kompetensi sosial. Proses inquiry dalam wawancara ini memberikan gambaran mengenai bagaimana pengalaman menjadi fungsionaris LK dapat memberikan kesempatan pada individu untuk menggunakan kompetensi sosial. Menurut para mantan fungsionaris LK yang menjadi subjek wawancara, seorang fungsionaris LK utamanya dilatih untuk mampu berpikir dengan sistematis dan menyampaikan pendapatnya dengan baik melalui rapat-rapat dalam berbagai aras. Di dalam rapatrapat ini pula, fungsionaris LK belajar untuk menghargai pendapat dan pemikiran orang lain serta dapat memberikan respons yang yang tepat pada waktu yang tepat pula. Menurut para subjek wawancara LK tidak pernah terlepas dari konflik, baik konflik internal maupun konflik eksternal organisasi. Dalam menghadapi konflik fungsionaris LK juga dilatih untuk mengendalikan diri serta memahami emosi, perasaan, dan pemikiran orang lain. Pengalaman bekerja dalam organisasi juga memberikan kesempatan bagi fungsionaris LK untuk belajar bekerjasama dengan orang lain dan mengembangkan komunikasi yang efektif untuk berkoordinasi dalam tim. Hal-hal inilah yang membuat fungsionaris LK mendapatkan kesempatan untuk menggunakan dan mengembangkan kompetensi sosialnya. Dari wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa partisipasi mahasiswa dalam LK UKSW dapat memengaruhi secara positif berbagai aspek perkembangan mahasiswa, khususnya dalam bidang kompetensi sosial. Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan oleh Echols & Shadily (2000) dan Sumaryadi (2010), partisipasi adalah keikutsertaan dan keterlibatan mental, pikiran, emosi, dan perasaan seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan pikiran, tenaga, waktu, keahlian, maupun materi kepada kelompok dalam usaha untuk mencapai tujuan serta turut bertanggung jawab terhadap usaha tersebut. Sementara berdasarkan pendapat Budiman (dalam Hidayat, 2011) dan Sarwono (1978), mahasiswa UKSW adalah individu yang secara resmi terdaftar untuk mengikuti pelajaran di UKSW yang mempersiapkan dirinya bagi suatu keahlian tingkat sarjana.
8
Menurut Ketentuan Umum Keluarga Mahasiswa UKSW 2011 (KUKM UKSW 2011, selanjutnya disebut KUKM), pasal 1 ayat 7, Lembaga Kemahasiswaan UKSW (LK UKSW) adalah wadah keluarga mahasiswa untuk melaksanakan fungsi dan peranannya di dalam UKSW. LK adalah satu-satunya wadah resmi di dalam penyaluran aspirasi mahasiswa dan wadah di dalam pembinaan kekeluargaan guna tercapainya visi dan misi UKSW (Titaley, 2010). Di dalam Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) baik aras Fakultas maupun Universitas, susunan BPM terdiri dari pimpinan dan anggota komisi. Yang disebut sebagai pimpinan BPM adalah seorang ketua, seorang sekretaris dan beberapa ketua komisi. Sedangkan yang disebut anggota merupakan personalia dari komisikomisi yang dibentuk (KUKM pasal 14 dan pasal 32). Di dalam Senat Mahasiswa baik aras Fakultas maupun Universitas, susunan Senat Mahasiswa terdiri juga atas pimpinan dan anggota. Dalam Senat Mahasiswa, yang disebut pimpinan adalah seorang ketua, sekretaris, bendahara dan beberapa ketua bidang. Sedangkan yang disebut anggota juga merupakan personalia masing-masing bidang yang dibentuk (KUKM pasal 23 dan pasal 41). Dalam hal ini, fungsionaris LK adalah pimpinan dan anggota LK (KUKM pasal 14, pasal 23, pasal 32, dan pasal 41). Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa fungsionaris LK yang bukan pimpinan adalah anggota LK. Masa kerja mahasiswa yang menjadi fungsionaris LK disebut periodisasi. Menurut Peraturan Periodisasi Lembaga Kemahasiswaan UKSW 2013 (selanjutnya disebut Peraturan Periodisasi), yang disebut periodisasi adalah masa kerja fungsionaris yang jangka waktunya juga diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Periodisasi UKSW 2013. Periodisasi LK UKSW biasanya dimulai pada bulan Juni/Juli dan berakhir juga pada bulan Juni/Juli tahun berikutnya, sehingga masa kerja fungsionaris LK UKSW berjalan selama kurang lebih 1 (satu) tahun. Perlu diperhatikan bahwa pengalaman dalam menggunakan kompetensi sosial yang dialami seorang pimpinan LK berbeda dengan pengalaman yang dialami oleh fungsionaris LK yang tidak menjabat sebagai pimpinan. Pimpinan LK, menurut KUKM pasal 14, 23, 32, dan 41 terbagi menjadi 2, yaitu pimpinan Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) dan pimpinan Senat Mahasiswa. Pimpinan
9
BPM adalah seorang ketua, sekretaris, dan beberapa ketua komisi. Sedangkan pimpinan Senat Mahasiswa adalah seorang ketua, sekretaris, bendahara, dan beberapa ketua bidang. Berdasarkan hasil wawancara terhadap 20 orang mantan fungsionaris LK UKSW pada tanggal 17-19 Oktober 2013, letak perbedaan penggunaan kompetensi sosial di kalangan pimpinan LK disebabkan oleh perbedaan tanggung jawab, fungsi, dan peran pimpinan LK di dalam organisasi. Pimpinan LK bertanggungjawab atas terlaksananya program-program dan agenda-agenda kerja LK serta wajib mempertanggungjawabkannya di hadapan mahasiswa dan Universitas. Oleh karena itu, pimpinan LK secara aktif memastikan kelancaran setiap program dan agenda kerja yang sudah ditetapkan. Hal tersebut dilakukan dengan mengkoordinir anggota LK dalam menjalankan tugas dan memimpin rapat-rapat di dalam organisasi, dimana hal tersebut memberikan kesempatan lebih banyak bagi pimpinan LK untuk menggunakan kompetensi sosial. Seorang pimpinan LK juga lebih banyak berhubungan dengan pihak luar LK baik untuk keperluan koordinasi maupun pertanggungjawaban. Apabila ada konflik, pimpinan LK harus dapat melakukan langkah-langkah manajemen konflik melalui komunikasi yang baik dalam rangka menyelesaikan konflik. Perbedaan peran, fungsi dan tanggung jawab inilah yang membuat penggunaan kompetensi sosial pimpinan LK berbeda dengan fungsionaris LK yang bukan pimpinan. Pimpinan LK dituntut untuk lebih sering menggunakan kompetensi sosialnya dalam menjalankan tugas. Secara teoritis kita dapat kembali pada teori Hurlock (dalam Durkin, 1994) bahwa banyaknya kesempatan seseorang untuk menggunakan kompetensi sosial merupakan salah satu faktor terbentuknya kompetensi sosial. Dengan demikian, secara teoritis perkembangan kompetensi sosial pimpinan LK akan berbeda dengan perkembangan kompetensi sosial fungsionaris LK yang bukan pimpinan. Dengan demikian, maka ada 3 (tiga) jenis partisipasi mahasiswa dalam Lembaga Kemahasiswaan UKSW. Ketiga jenis partisipasi tersebut adalah: (a) mahasiswa yang pernah menjadi anggota LK UKSW, (b) mahasiswa yang pernah
10
menjadi pimpinan LK, dan (c) mahasiswa yang belum pernah menjadi fungsionaris LK. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah walaupun pengalaman di LK dapat meningkatkan aspek-aspek kompetensi sosial, namun perlu diingat bahwa tidak semua fungsionaris LK mendapatkan perubahan-perubahan tersebut dalam diri. Hasil wawancara lebih lanjut menunjukkan bahwa perkembangan akan muncul bila individu sendiri menyadari dan mengambil kesempatan untuk berkembang. Menurut pendapat para subjek wawancara, ada pula fungsionaris yang pribadinya tidak berkembang yang biasanya diiringi dengan buruknya performa individu tersebut di LK atau perkuliahan. Berdasarkan hal-hal tersebut, keterlibatan mahasiswa di dalam LK belum tentu dapat mengembangkan kompetensi sosial mahasiswa. Walaupun
hasil
wawancara
non-terstruktur
dan
kajian
teoritis
mengungkapkan bahwa masa kerja sebagai fungsionaris LK UKSW dapat memberikan pengalaman yang dapat meningkatkan kompetensi sosial, hingga saat ini belum ada bukti kongkret bahwa pengalaman di LK UKSW dapat meningkatkan kompetensi sosial mahasiswa UKSW. Berdasarkan seluruh paparan di atas, masalah penelitian yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah: “Apakah ada perbedaan tingkat kompetensi sosial yang signifikan di antara mahasiswa yang pernah menjadi anggota LK UKSW, mahasiswa yang tidak pernah menjadi anggota LK UKSW, serta mahasiswa yang pernah menjadi pimpinan LK UKSW?”
11
Metodologi Penelitian Identifikasi variabel penelitian dan definisi operasional variabel penelitian Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kompetensi sosial mahasiswa UKSW. Definisi operasional yang digunakan adalah definisi kompetensi sosial menurut Anme, et al. (2011) yang menyatakan bahwa kompetensi sosial adalah kemampuan untuk memahami orang lain dalam konteks interaksi sosial untuk melakukan komunikasi yang halus/lancar dengan mereka. Adapun alat ukur yang dipakai untuk mengukur kompetensi sosial dalam penelitian ini adalah Angket Kompetensi Sosial yang disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikembangkan oleh Anme et al. (2011) mencakup enam aspek, yaitu expressivity, assertiveness, sensitivity, acceptance, regulation of interpersonal relationship, dan self-control. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah partisipasi mahasiswa UKSW dalam LK UKSW. Definisi partisipasi adalah kesimpulan dari definisi partisipasi menurut Echols & Shadily (2000), Sumaryadi (2010), dan Davis (1962), yaitu keikutsertaan dan keterlibatan mental, pikiran, emosi, dan perasaan seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan pikiran, tenaga, waktu, keahlian, maupun materi kepada kelompok dalam usaha untuk mencapai tujuan serta turut bertanggungjawab terhadap usaha tersebut. Dalam penelitian ini partisipasi mahasiswa dalam Lembaga Kemahasiswaan UKSW dipersempit pada partisipasi mahasiswa dalam LK UKSW periode 20132014 untuk mengurangi variabel-variabel sekunder yang dapat memengaruhi hasil penelitian. Partisipasi dalam LK UKSW ditunjukkan dari status mahasiswa tersebut sebagai fungsionaris LK UKSW. Status serta jabatan fungsionaris tersebut dapat dipastikan melalui Surat Keputusan (SK) Akhir Periode yang dikeluarkan oleh Rektor UKSW (untuk fungsionaris LK Universitas) dan Senat Mahasiswa Universitas (untuk fungsionaris LK Fakultas), dimana nama-nama fungsionaris yang selesai menjabat dicantumkan dalam SK tersebut. Berdasarkan latar belakang dan kajian teoritis penelitian ini, kelompok penelitian dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga, yaitu:
12
1. Kelompok mahasiswa yang pernah menjadi anggota LK UKSW Mahasiswa UKSW yang pernah menjadi anggota LK UKSW adalah mahasiswa UKSW yang sudah pernah menjabat sebagai anggota LK UKSW periode 2013-2014 selama 1 (satu) periodisasi Lembaga Kemahasiswaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Periodisasi 2013, dibuktikan dengan SK Akhir Periode. 2. Kelompok mahasiswa yang pernah menjadi pimpinan LK UKSW Mahasiswa yang pernah menjadi pimpinan LK UKSW adalah mahasiswa UKSW yang sudah pernah menjabat sebagai pimpinan LK UKSW periode 2013-2014 selama 1 (satu) periodisasi Lembaga Kemahasiswaan, dibuktikan dengan SK Akhir Periode. 3. Kelompok mahasiswa yang belum pernah menjadi fungsionaris LK UKSW Mahasiswa UKSW yang belum pernah menjadi fungsionaris LK UKSW adalah mahasiswa UKSW yang belum pernah menjabat sebagai fungsionaris
LK
UKSW
selama
1
(satu)
periodisasi
Lembaga
Kemahasiswaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Periodisasi 2013. Populasi dan sampel penelitian Berdasarkan latar belakang penelitian ini, populasi penelitian ini terdiri atas tiga kelompok populasi. Populasi pertama adalah seluruh mahasiswa UKSW angkatan 2011 yang pernah menjadi anggota LK UKSW periode 2013-2014, berjumlah 114 orang. Populasi kedua adalah seluruh mahasiswa UKSW angkatan 2011 yang pernah menjadi pimpinan LK UKSW periode 2013-2014, berjumlah 117 orang. Populasi ketiga adalah seluruh mahasiswa angkatan 2011 UKSW yang belum pernah menjadi fungsionaris LK UKSW, berjumlah 2261 orang. Pengambilan satu angkatan saja sebagai subjek penelitian bertujuan untuk mengurangi banyaknya variabel sekunder seperti usia, angkatan, perbedaan budaya organisasi, dan lain-lain. Angkatan 2011 diambil sebagai subjek karena angkatan 2011 memiliki jumlah fungsionaris LK yang paling banyak pada saat pengambilan data dilakukan, baik sebagai anggota maupun pimpinan LK.
13
Sugiarto (2003) menyatakan bahwa sampel adalah bagian dari populasi yang dijadikan subjek penelitian dan dipilih menggunakan prosedur tertentu sehingga diharapkan dapat mewakili populasinya. Sampel juga dapat diartikan sebagai bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2010). Dalam penelitian ini, pengambilan sampel pada ketiga populasi dilakukan dengan quota sampling dimana pembagian sub-kategori populasi dilakukan dengan membagi ketiga populasi berdasarkan 14 Fakultas yang ada di UKSW. Pada populasi pertama, pengambilan sampel dilakukan pada seluruh Fakultas dengan jumlah sampel 10% dari seluruh mahasiswa angkatan 2011 pada Fakultas yang bersangkutan, sesuai dengan jumlah sampel yang dianggap layak untuk mewakili sebuah populasi menurut Azwar (2010). Jumlah sampel populasi mahasiswa yang belum pernah menjadi fungsionaris LK UKSW berjumlah 226 mahasiswa Pada populasi kelompok mahasiswa yang pernah menjadi anggota LK UKSW serta kelompok mahasiswa yang pernah menjadi pimpinan LK UKSW, pengambilan sampel dilakukan pada seluruh Fakultas dengan jumlah sampel 50% dari setiap Fakultas yang bersangkutan, sehingga kedua populasi tersebut diwakili oleh 63 individu dari masing-masing populasi. Hal ini sudah sesuai dengan saran Roscoe (dalam Sugiyono, 2010) bahwa ukuran sampel yang layak apabila populasi dibagi menjadi beberapa kategori adalah minimal 30 sampel. Teknik pengambilan data dan analisis data Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuisioner self report dengan asumsi bahwa subjek adalah merupakan orang yang paling tahu tentang dirinya sendiri (Hadi, 2004). Kuisioner yang digunakan untuk pengambilan data disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan enam aspek kompetensi sosial menurut Anme et al. (2011) serta menggunakan skala Likert dengan enam pilihan jawaban untuk mengukur kompetensi sosial. Kuisioner tersebut terdiri atas 36 item dimana masing-masing aspek diwakili dengan 4 item favorable dan 2 item unfavorable (sehingga setiap aspek diwakili oleh 6 item pernyataan).
14
Sebelum alat ukur digunakan untuk mengambil data penelitian, terlebih dahulu dilakukan pengujian alat ukur dengan metode uji diskriminasi item serta uji reliabilitas alat ukur. Pengujian dilakukan dengan menggunakan alat bantu SPSS 16.0. Setelah dilakukan 3 putaran pengujian, sebanyak 4 dari 60 item awal dinyatakan gugur karena tidak mencapai nilai corrected item-total correlation sebesar 0,3 (standar untuk sebuah item dapat dikatakan valid menurut Azwar, 1999). Selanjutnya, 36 item yang memiliki nilai corrected item-total correlation tertinggi dari 56 item yang tersisa dipilih berdasarkan blueprint alat ukur yang telah dirancang sebelumnya dan diuji kembali daya diskriminasinya. Dengan demikian, diperoleh 36 item terbaik yang memiliki corrected item-total correlation di atas 0,3. Uji reliabilitas alat ukur menggunakan SPSS 16.0 dengan 36 item yang telah diseleksi memiliki koefisien reliabilitas Cronbach’s alpha yang dapat dianggap memuaskan menurut Azwar (2005) dengan α = 0,944. Dengan demikian, kuisioner ini dapat dikatakan reliabel dalam mengukur kompetensi sosial mahasiswa UKSW. Setelah pengambilan data dilakukan, uji asumsi dilakukan untuk memutuskan teknik analisis statistik mana yang akan digunakan untuk menganalisis data penelitian. Apabila asumsi yang dibutuhkan terpenuhi, analisis data akan dilakukan dengan pengujian statistik one-way ANOVA disertai dengan post-hoc test untuk menarik kesimpulan dari data yang telah diperoleh.
15
Hasil Penelitian Statistik deskriptif Pada penelitian ini terdapat tiga kelompok sampel penelitian berdasarkan tiga kelompok populasi. Kelompok pertama adalah kelompok mahasiswa angkatan 2011 yang pernah menjadi pimpinan LK periode 2013-2014 (selanjutnya disebut kelompok pimpinan LK), kelompok kedua adalah kelompok mahasiswa angkatan 2011 yang pernah menjadi anggota LK periode 2013-2014 (selanjutnya disebut kelompok non-pimpinan LK), dan kelompok ketiga adalah kelompok mahasiswa angkatan 2011 yang tidak pernah menjadi fungsionaris LK (selanjutnya disebut kelompok non-LK). Berikut adalah perhitungan statistik deskriptif dengan menggunakan SPSS 16.0: TABEL 1. STATISTIK DESKRIPTIF Social_Competence 95% Confidence Interval for Mean Std. N
Mean
Deviation Std. Error
Lower
Upper
Bound
Bound
Minimum Maximum
Pimpinan
63
147.56
15.200
1.915
143.73
151.38
109
174
Non-pimpinan
63
144.17
13.368
1.684
140.81
147.54
110
179
Non-LK
229
127.35
14.944
.988
125.41
129.30
84
172
Total
355
133.92
17.184
.912
132.13
135.72
84
179
Kelompok pimpinan LK (N = 63) memeroleh skor mean (rata-rata) sebesar 147,56 (SD = 15,2 dan Std. Error = 1,915) dengan skor paling rendah sebesar 109 dan skor tertinggi sebesar 174. Kelompok non-pimpinan LK memeroleh skor mean sebesar 144,17 (SD = 13,368 dan Std. Error = 1,684) dengan skor paling rendah sebesar 110 dan skor tertinggi sebesar 179. Sedangkan, kelompok non-LK memeroleh skor mean sebesar 127,35 (SD = 14,944 dan Std. Error 0,988) dengan skor paling rendah sebesar 84 dan skor tertinggi sebesar 172.
16
Secara keseluruhan, jumlah subjek sebanyak 355 subjek menghasilkan skor mean kompetensi sosial sebesar 133,92 (SD = 17,184 dan Std. Error = 0,912) dengan skor paling rendah sebesar 84 dan skor tertinggi sebesar 179. Uji asumsi Sebelum melakukan statistik inferensial untuk menganalisis data penelitian, peneliti terlebih dahulu melakukan pengujian asumsi pada data yang telah diperoleh untuk menentukan metode statistik yang akan digunakan untuk analisis data. Adapun pengujian asumsi yang dilakukan adalah uji normalitas data dan uji homogenitas varians. Hasil pengujian asumsi adalah sebagai berikut: Uji normalitas data bertujuan untuk mengukur apakah data yang dihasilkan melalui kuisioner memiliki distribusi yang normal atau tidak. Dimana data yang berdistribusi normal merupakan syarat penggunaan statistik parametrik. Uji normalitas data dalam penelitian ini dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov (K-S) dengan kriteria sebagai berikut: 1. Apabila skor signifikansi yang diperoleh sebesar p>0,05, maka data dapat dikatakan berdistribusi normal. 2. Apabila skor signifikansi yang diperoleh sebesar p<0,05, maka data dapat dikatakan tidak memiliki distribusi yang normal. Hasil uji normalitas data adalah sebagai berikut. Data kompetensi sosial kelompok pimpinan LK dengan N = 63 menunjukkan skor Z K-S sebesar 0,672 dengan skor Sig. = 0,757. Data kompetensi sosial kelompok anggota LK dengan N = 63 menunjukkan skor Z K-S sebesar 0,533 dengan skor Sig. = 0,939. Sedangkan data kompetensi sosial kelompok mahasiswa yang tidak pernah berpartisipasi dalam LK dengan N = 229 menunjukkan skor Z K-S sebesar 0,952 dengan skor Sig. = 0,325. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa data kompetensi sosial pada ketiga kelompok sampel memiliki distribusi normal. Uji homogenitas varians bertujuan untuk mengukur apakah data yang dihasilkan pada kelompok-kelompok sampel memiliki varians yang berbeda atau tidak. Dimana varians data yang homogen merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk menggunakan pengujian statistik Analysis of Variance (ANOVA). Uji
17
homogenitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Levene’s test, dengan kriteria pengambilan kesimpulan sebagai berikut: 1. Apabila skor signifikansi yang diperoleh sebesar p>0,05, maka data pada tiga kelompok sampel bersifat homogen. 2. Apabila skor signifikansi yang diperoleh sebesar p<0,05, maka data pada tiga kelompok sampel bersifat heterogen. Hasil uji homogenitas varians menunjukkan bahwa nilai signifikansi yang diperoleh adalah sebesar 0,587. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa data yang diperoleh pada ketiga kelompok sampel bersifat homogen. Pengujian hipotesis penelitian Berdasarkan hasil uji asumsi yang menunjukkan bahwa distribusi data bersifat normal dan variansnya homogen, pengujian one-way ANOVA dilaksanakan untuk menguji hipotesis penelitian. Adapun kriteria penerimaan hipotesis penelitian dengan α = 5% adalah P < 0,05. Perhitungan one-way ANOVA dengan bantuan SPSS 16.0 sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2 menunjukkan nilai Sig. yang diperoleh adalah sebesar 0,000. Karena nilai Sig. yang diperoleh lebih kecil dari 0,05, maka dapat diputuskan secara statistik bahwa hipotesis penelitian diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan kompetensi sosial yang signifikan di antara mahasiswa yang tidak pernah menjadi fungsionaris LK UKSW, mahasiswa yang pernah menjadi anggota LK UKSW, dan mahasiswa yang pernah menjadi pimpinan LK UKSW. TABEL 2. HASIL PENGUJIAN ANOVA Social_Competence Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
28211.962
2
14105.981
Within Groups
76318.984
352
216.815
104530.946
354
Total
F 65.060
Sig. .000
Karena ditemukan perbedaan yang signifikan, analisis statistik dapat dilanjutkan dengan melakukan post-hoc test untuk melihat perbandingan skor kompetensi sosial di antara ketiga kelompok penelitian. Dalam post-hoc test
18
dengan α = 5%, apabila nilai signifikansi yang diperoleh di bawah 0,05 (sig. < 0,05) dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat perbedaan signifikan di antara kedua kelompok. Post-hoc test dengan rumus Tukey’s post-hoc test memberikan hasil sebagai berikut: TABEL 3. HASIL POST-HOC TEST Social_Competence Tukey HSD 95% Confidence Interval
Mean Difference (I) Partisipasi
(J) Partisipasi
Pimpinan
Non-pimpinan
Std. Error
Sig.
Lower Bound Upper Bound
3.381
2.624
.402
-2.79
9.56
20.202*
2.095
.000
15.27
25.13
-3.381
2.624
.402
-9.56
2.79
16.821*
2.095
.000
11.89
21.75
Pimpinan
-20.202*
2.095
.000
-25.13
-15.27
Non-pimpinan
-16.821*
2.095
.000
-21.75
-11.89
Non-LK Non-pimpinan Pimpinan Non-LK Non-LK
(I-J)
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Post-hoc test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan skor kompetensi sosial yang signifikan di antara kelompok pimpinan LK dan kelompok mahasiswa non-LK (MD = 20,202 dan Sig. = 0,000). Terdapat pula perbedaan kompetensi sosial yang signifikan antara kelompok mahasiswa yang pernah menjadi anggota (non-pimpinan) LK dengan kelompok mahasiswa non-LK (MD = 16,821 dan Sig. = 0,000). Meski demikian, tidak ditemukan perbedaan kompetensi sosial yang signifikan di antara kelompok mahasiswa yang pernah menjadi pimpinan LK dan mahasiswa yang pernah menjadi anggota (non-pimpinan) LK (MD = 3,381 dan Sig. = 0,402). Berdasarkan Mean Difference (MD) yang diperoleh dapat diambil kesimpulan bahwa kelompok pimpinan LK memiliki rata-rata kompetensi sosial paling tinggi di antara ketiga kelompok, diikuti oleh kelompok non-pimpinan LK, dan rata-rata kompetensi sosial paling rendah diperoleh oleh kelompok mahasiswa non-LK.
19
Pembahasan Berdasarkan analisis statistik diperoleh kesimpulan bahwa terdapat perbedaan kompetensi sosial yang signifikan di antara mahasiswa yang tidak pernah menjadi fungsionaris LK UKSW, mahasiswa yang pernah menjadi anggota LK UKSW, dan mahasiswa yang pernah menjadi pimpinan LK UKSW (Sig. = 0,000). Hasil penelitian ini memberikan bukti bahwa kompetensi sosial mahasiswa yang pernah berpartisipasi sebagai fungsionaris LK memiliki kompetensi sosial yang berbeda dengan
mahasiswa yang tidak pernah
berpartisipasi sebagai fungsionaris LK. Lebih jauh, dari post-hoc test ditemukan bahwa mahasiswa yang pernah menjadi anggota LK memiliki kompetensi sosial yang lebih tinggi daripada mahasiswa yang tidak pernah menjadi fungsionaris LK dengan Mean Difference sebesar 16,821. Ditemukan pula bahwa kompetensi sosial mahasiswa yang pernah menjadi pimpinan LK lebih tinggi daripada mahasiswa yang tidak pernah menjadi fungsionaris LK (MD = 20,202). Artinya, mahasiswa yang pernah menjadi fungsionaris LK, baik sebagai pimpinan maupun anggota memiliki kompetensi sosial yang lebih tinggi daripada mahasiswa yang tidak pernah menjadi fungsionaris LK. Kompetensi sosial adalah kemampuan untuk memahami orang lain dalam konteks interaksi sosial untuk melakukan komunikasi yang halus/lancar dengan mereka (Anme et al., 2011). Selain itu Rubin & Rose-Krasnor (dalam Katz, 2004) mendefinisikan kompetensi sosial sebagai kemampuan untuk mencapai tujuan personal pada interaksi sosial sambil tetap secara terus-menerus mempertahankan hubungan positif dengan orang lain sepanjang waktu dan pada berbagai kondisi. Kompetensi sosial dapat dipengaruhi banyak faktor, namun ahli psikologi perkembangan Hurlock (dalam Durkin, 1994) menyatakan bahwa banyaknya kesempatan menggunakan kompetensi sosial dapat memengaruhi terbentuknya kompetensi sosial seseorang. Salah satu kesempatan yang baik untuk menggunakan kompetensi sosial adalah dengan berpartisipasi dengan Lembaga Kemahasiswaan karena di dalam LK yang merupakan organisasi formal, koordinasi amat diperlukan untuk mencapai tujuan organisasi. Untuk mewujudkan
20
koordinasi yang baik, diperlukan interaksi yang efektif dan intens sehingga fungsionaris LK terus menerus menggunakan kompetensi sosial dalam masa jabatannya sebagai fungsionaris LK. Oleh karena hal inilah kompetensi sosial mahasiswa yang pernah menjadi fungsionaris LK memiliki kompetensi sosial yang lebih tinggi daripada mahasiswa yang tidak pernah menjadi fungsionaris LK. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Hegedus & Knight (2002) serta McKinley, Birkenholz & Stewart (1993) menyatakan bahwa keterampilan komunikasi (salah satu bagian dari kompetensi sosial menurut Semrud-Clikeman, 2007) meningkat melalui organisasi nonakademik, khususnya organisasi mahasiswa. Penelitian Widiastuti dan Anggraini (dalam Apollo, 2010) juga menemukan adanya perbedaan kompetensi sosial antara mahasiswa yang aktif dan tidak aktif dalam organisasi mahasiswa, dimana mahasiswa yang aktif berorganisasi ditemukan memiliki kompetensi sosial yang lebih tinggi daripada mahasiswa yang tidak aktif berorganisasi. Pengalaman-pengalaman yang dialami oleh seorang fungsionaris LK membuat seorang fungsionaris dapat menggunakan kompetensi sosial lebih banyak daripada mahasiswa lain. Untuk mengetahui pengalaman apa yang dialami oleh para fungsionaris LK, peneliti melakukan wawancara lanjutan kepada 20 orang subjek penelitian yang telah mengisi angket penelitian ini untuk mengetahui pengalaman-pengalaman yang dialami seorang fungsionaris selama menjadi fungsionaris LK. Wawancara dilaksanakan pada tanggal 7 hingga 26 November 2014 dan dilakukan berdasarkan aspek-aspek kompetensi sosial menurut Anme et al (2011) dan menghasilkan data statistik deskriptif berupa pengalamanpengalaman apa saja yang dapat memengaruhi kompetensi sosial fungsionaris selama menjabat sebagai fungsionaris LK. Berikut adalah hasil wawancara tersebut: 1. Expressivity: kemampuan untuk menyampaikan pemikiran dan perasaan dengan tepat digunakan dan dilatih karena ketika seorang individu menjadi fungsionaris LK, seorang individu belajar untuk menyampaikan pemikiran dan argumennya dalam forum-forum rapat. Hal ini disebabkan karena untuk berkontribusi dalam rapat, individu harus dapat menyampaikan
21
aspirasinya dengan tepat. Selanjutnya, karena terbiasa menyampaikan pendapat di LK, keberanian individu dalam menyampaikan pendapat di luar LK juga meningkat. 2. Assertiveness: terdapat dua hal yang merupakan kesempatan untuk menggunakan aspek assertiveness. Pertama, fungsionaris LK dituntut untuk memahami peran sebagai fungsionaris dan apa yang diharapkan lingkungan terhadap dirinya. Dengan demikian, seorang individu akan belajar untuk menempatkan diri dalam kehidupan sosialnya. Kedua, dalam memenuhi
tuntutan
sebagai
fungsionaris
LK,
seorang
individu
membutuhkan pengetahuan dan keterampilan tertentu terkait dengan tugas dan kewajibannya. Pada masa awal jabatan, fungsionaris LK akan banyak bertanya kepada senior dan atasan untuk memenuhi tuntutan tugasnya. Hal inilah yang menjadi kesempatan seorang fungsionaris dalam menggunakan aspek assertiveness. 3. Sensitivity: dalam melaksanakan tugasnya, fungsionaris LK terlibat dengan banyak diskusi dan negosiasi. Dalam kedua hal tersebut, kemampuan untuk menyadari dan memahami pemikiran dan perasaan orang lain diperlukan untuk berdiskusi serta bernegosiasi dengan baik. Karena hal inilah aspek sensitivity fungsionaris LK dapat digunakan dan dilatih. 4. Acceptance: budaya LK UKSW yang ada hingga saat ini adalah sikap profesional dalam setiap rapat dan konflik. Rasa tidak suka pribadi tidak boleh dibawa kedalam rapat dan diskusi. Diskusi harus berpusat pada logika dan kejelasan argumen, sehingga fungsionaris LK dilatih untuk menghormati semua orang yang berpendapat. Karena itulah fungsionaris LK menjadi lebih terbiasa untuk menerima dan menghormati pendapat orang lain. 5. Regulation of interpersonal relationship: Dalam LK, seorang fungsionaris akan menggunakan kompetensi sosial untuk tetap mempertahankan hubungan baik dengan orang yang berkonflik dengannya di dalam organisasi. Hal tersebut membuat fungsionaris LK mengatur diri serta
22
bekerjasama dengan orang lain untuk mengembangkan hubungan yang baik. 6. Self-control: seperti telah dijelaskan sebelumnya, fungsionaris LK akan menghadapi berbagai macam konflik dan kendala. Untuk menghadapi konflik dan kendala yang ada, seorang fungsionaris harus memiliki kontrol emosi dan perilaku yang baik untuk menghadapi setiap situasi-situasi tersebut dengan tenang dan logis. Dengan demikian, seorang fungsionaris memeroleh kesempatan untuk menggunakan aspek self-control. Pengalaman-pengalaman tersebut adalah pengalaman-pengalaman yang berdasarkan penuturan para subjek penelitian, dapat membuat seorang fungsionaris LK lebih banyak menggunakan kompetensi sosial selama bekerja di LK UKSW dan membuat kompetensi sosial fungsionaris LK lebih tinggi daripada kompetensi sosial mahasiswa yang tidak ber-LK. Meski demikian, hasil post-hoc test menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok mahasiswa yang pernah menjadi anggota LK dan kelompok mahasiswa yang pernah menjadi pimpinan LK. Meskipun memang kelompok mahasiswa yang pernah menjadi pimpinan LK memiliki rata-rata kompetensi sosial yang lebih tinggi daripada kelompok mahasiswa yang pernah menjadi anggota LK dengan MD = 3,381, namun perbedaan tersebut tidak cukup signifikan secara statistik. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan tanggung jawab, fungsi dan peran seorang pimpinan LK bukan merupakan faktor yang signifikan dalam perkembangan kompetensi sosial mahasiswa. Meski tugas dan tanggung jawabnya berbeda, jumlah penggunaan kompetensi sosial antara anggota dan pimpinan kemungkinan besar tidak berbeda secara signifikan. Artinya, sesuai dengan pendapat Hurlock (dalam Durkin, 1994), jumlah penggunaan kompetensi sosial akan memengaruhi terbentuknya kompetensi sosial seseorang, dan karena jumlah penggunaannya tidak berbeda secara signifikan, maka perkembangan kompetensi sosial yang diperoleh juga tidak berbeda secara signifikan. Dalam hal ini, artinya pengalaman sebagai pimpinan maupun anggota LK memberikan kesempatan yang sama untuk mengembangkan kompetensi sosial.
23
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik beberapa kesimpulan. Meski demikian, kesimpulan-kesimpulan ini hanya berlaku pada penelitian ini karena dalam pengambilan sampel, peneliti menggunakan metode quota sampling yang merupakan teknik sampling non-probabilitas. Untuk dapat digeneralisir, penelitian ini harus dilakukan kembali dengan menggunakan teknik sampling probabilitas. Kesimpulan-kesimpulan tersebut adalah: 1. Terdapat perbedaan kompetensi sosial yang signifikan di antara mahasiswa angkatan 2011 yang tidak pernah menjadi fungsionaris LK UKSW, mahasiswa angkatan 2011 yang pernah menjadi anggota LK UKSW, dan mahasiswa angkatan 2011 yang pernah menjadi pimpinan LK UKSW. 2. Terdapat perbedaan kompetensi sosial yang signifikan di antara mahasiswa angkatan 2011 yang tidak pernah menjadi fungsionaris LK UKSW dan mahasiswa angkatan 2011 yang pernah menjadi fungsionaris LK UKSW, baik sebagai pimpinan maupun anggota, dimana rata-rata kompetensi sosial mahasiswa angkatan 2011 yang pernah menjadi fungsionaris LK UKSW lebih tinggi daripada mahasiswa angkatan 2011 yang tidak pernah menjadi fungsionaris LK UKSW. 3. Meskipun kompetensi sosial mahasiswa angkatan 2011 yang pernah menjadi pimpinan LK sedikit lebih tinggi daripada mahasiswa angkatan 2011 yang pernah menjadi anggota LK non-pimpinan, namun perbedaan tersebut tidak signifikan secara statistik.
24
Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti dapat memberikan beberapa saran dalam hal teoritis maupun praktis. Bagi mahasiswa UKSW, penelitian ini memberikan bukti bahwa partisipasi dalam LK UKSW dapat membuat kompetensi sosial seorang individu lebih tinggi daripada individu yang tidak berpartisipasi dalam LK. Dengan demikian, mahasiswa UKSW dapat bergabung dengan LK UKSW dalam rangka mengembangkan kompetensi sosial yang amat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat. Bagi fungsionaris LK UKSW, hasil penelitian ini dapat menjadi alat yang baik dalam meningkatkan ketertarikan mahasiswa untuk berpartisipasi dalam LK UKSW, dimana partisipasi dalam LK UKSW sudah terbukti membuat kompetensi sosial fungsionaris LK lebih tinggi daripada kompetensi sosial mahasiswa yang tidak pernah berpartisipasi dalam LK UKSW. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi wawasan bagi fungsionaris LK UKSW untuk menimba pengalaman bersosialisasi sebanyak-banyaknya, yang hanya dapat diperoleh dari partisipasi dalam LK UKSW. Bagi peneliti-peneliti selanjutnya, baik hasil penelitian maupun alat ukur yang terdapat dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai landasan dan/atau acuan penelitian lain dalam hal psikologi organisasi, perkembangan dan pendidikan, terutama dalam penelitian mengenai dampak-dampak psikologis yang diperoleh mahasiswa dari pengalaman berpartisipasi dalam organisasi mahasiswa. Penelitian kualitatif yang meneliti dinamika dan pengalaman yang dialami selama menjadi fungsionaris Lembaga Kemahasiswaan sangat menarik untuk diteliti dengan penelitian ini sebagai dasarnya. Peneliti selanjutnya juga dapat meneliti pengaruh tinggi rendahnya kompetensi sosial lulusan Universitas Kristen Satya Wacana dalam dunia kerja, lingkungan sosial dan masyarakat. Selain itu, peneliti juga dapat meneliti bagaimana mahasiswa UKSW mengembangkan kompetensi sosial di luar Lembaga Kemahasiswaan, untuk melihat kondisi perkembangan kompetensi sosial mahasiswa UKSW dan bagaimana mahasiswa UKSW mengembangkan kompetensi sosial.
25
Di samping potensi untuk melakukan penelitian-penelitian lanjutan, penelitian ini masih dapat disempurnakan dengan melakukan penelitian serupa namun menggunakan metode sampling probabilitas, sehingga hasil penelitian ini dapat digeneralisir kepada seluruh mahasiswa UKSW. Penelitian ini juga masih dapat dikembangkan dengan melakukan pengambilan subjek yang menyeluruh berdasarkan kategorisasi mahasiswa seperti angkatan, jenis kelamin, usia, dan lain-lain untuk mengurangi pengaruh variabel sekunder yang dapat memengaruhi hasil penelitian. Terakhir, validitas dan reliabilitas alat ukur penelitian ini dapat ditingkatkan dengan metode pembakuan lebih lanjut untuk dapat digunakan dalam penelitian-penelitian selanjutnya yang juga meneliti perkembangan kompetensi sosial mahasiswa.
26
Daftar Pustaka Anme, T. , Watanabe, T. , Tokutake, K. , Tomisaki, E. , Mochizuki Y. , Tanaka E. , Wu, B. , Nanba, M. , Shinohara, R. , Sugisawa, Y. 2011. A Pilot Study of Social Competence Assessment Using Interaction Rating Scale Advanced. International Scholarly Research Network, Article ID 272913. Apollo. 2010. Hubungan Antara Peran Jenis dan Kompetensi Interpersonal Pada Remaja. Widya Warta No. 1 Tahun XXXIV. Diakses dari http://portal.widyamandala.ac.id/jurnal/index.php/warta/article/downl oad/118/128. Azwar, S. 1999. Reliabilitas dan Validitas: Seri Pengukuran Psikologi. Yogyakarta: Sigma Alpha. Azwar, S. 2005. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, S. 2010. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Davis, K. 1962. Human Relation at Work. New York: McGraw Hill. Durkin, K. 1994. Developmental Social Psychology From Infancy to Old Age. Combridge: Blackwell Publisher. Inc. Echols, J. M. , Shadily, H. 2000. English-Indonesian Dictionary. USA: Cornell University Press. Gullota, T. P. , Adams, G.R. , & Markstrom, C. A. 1999. The Adolescent Experience, Fourth Edition. Waltham, Massachusets: Academic Press. Hadi, S. 2004. Metodologi Research. Yogyakarta: ANDI OFFSET. Hair, E. C. , Jager, J. , Garrett, S. 2001. Background for Community-Level Work on Social Competency in Adolescence: Reviewing the Literature on Contributing Factors. Trend Child Journal. Diakses dari http://www.childtrens.org/files/social.pdf pada tanggal 24 Oktober 2013. Hegedus, C. M. , Knight, J. 2002. Student Participation in Collegiate Organizations – Expanding the Boundaries. Laporan penelitian. Diakses dari (http://www.leadershipeducators.org/Resources/Documents/Conferences/L exington/Hegedus.pdf pada tanggal 12 November 2013. Hidayat, Z. 2011. Tugas dan Tanggung Jawab Mahasiswa. Diakses dari https://www.academia.edu/1177553/Tugas_dan_Tanggung_Jawab_M ahasiswa pada tanggal 29 Oktober 2013.
27
Knapp, K. 2001. Definitions and Assesment of Social Competence. CEP 900: Research Interest Portfolio. Diakses dari https://www.msu.edu/~dwong/StudentWorkArchive/CEP900F01RIP/Knapp-SocialCompetence.htm pada tanggal 23 Oktober 2003. Komisi Organisasi BPMU Periode 2013-2014. Peraturan Periodisasi Lembaga Kemahasiswaan Universitas Kristen Satya Wacana 2013. 2013. Salatiga: Badan Perwakilan Mahasiswa Universitas, Universitas Kristen Satya Wacana. Lang, N. C. 2010. Group Work Practice to Advance Social Competence: A Specialized Methodology for Social Work. New York Chichester: Columbia University Press. Leny , Suyasa, P. T. Y. S. 2006. Keaktifan Berorganisasi dan Kompetensi Interpersonal. Phronesis, 8 (1). McKinley, B. , Birkenholz, R. , Stewart, B. 1993. Characteristics and experiences related to the leadership skills of agriculture students in college. Journal of Agricultural Education, 34 (3), p.76-83. Rissy, Y. Y. W. , Rorimpandey, Ferry R. , Rupidara, N. , Kundhani, Eranus Y. , Karwur, F. , Manginbulude, J. , Litaay, T. , Tanaamah, Andeka R. , Maslebu, G. , Kakerissa, I. , Nikidjuluw, G. 2012. Skenario Pola Pembinaan Mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana 2012. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana. Ruegg, E. 2003. Social Competence, Transition Plans and Children with Learning Disabilities. Oakland: Oakland University. Diakses dari https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&c d=1&cad=rja&ved=0CDwQFjAA&url=http%3A%2F%2Fwww.usca.edu %2Fessays%2Fvol72003%2Freugg.pdf&ei=EuwAU4_ONYmmrQekgIG ACA&usg=AFQjCNHZKe_rrsUUnSWWQxcQwFjFOohcww&sig2=XaI G5pZYe0_8fZPKg9EbPg&bvm=bv.61535280,d.bmk pada tanggal 23 Oktober 2013. Saputro, A. P. A. 2010. Perbedaan Tingkat Interaksi Sosial Ditinjau Dari Intensitas Bermain Game Online. Skripsi. Salatiga: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana. Sarwono, S. W. 1978. Perbedaan antara Pemimpin dan Aktivis dalam Gerakan Protes Mahasiswa. Jakarta: Bulan Bintang.
28
Schneider, B. H. , Attili, G. , Nadel, J. , Weissberg, R. P. 1989. Social Competence in Developmental Perspective. AA Dordrecht, The Netherlands: Kluwer Academic Publishers. Diakses dari http://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=pbDrFmdpPdQC&oi =fnd&pg=PR9&dq=Social+Competence+in+Developmental+Perspective &ots=CxLIU9FY_V&sig=KWgb4BE4k3JX-WWteU0O4W6Ecs&redir_esc=y#v=onepage&q=Social%20Competence%20in%20Deve lopmental%20Perspective&f=false pada tanggal 23 Oktober 2013. Semrud-Clikeman, M. 2007. Social Competence in Children. New York: Springer Science+Business Media, LLC. Sugiarto. 2003. Teknik Sampling. Jakarta: PT Gramedia. Sugiyono. 2010. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Penerbit Alfabeta. Sumaryadi, I. N. 2010. Sosiologi Pemerintahan dari Perspektif Pelayanan, Pemberdayaan, Interaksi, dan Sistem Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia. Tim Ad Hoc Amandemen KUKM BPMU 2010/2011. 2011. Ketentuan Umum Keluarga Mahasiswa. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana. Titaley, J. 2013. Pilihan-Pilihan Satya Wacana: Renungan Idealisme UKSW. Salatiga: Satya Wacana University Press. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. 2012. Jakarta: PT. Armas Duta Jaya. Wandono, Mei. 2012. Perbedaan Kompetensi Sosial Siswa Sekolah Menengah Atas Sedes Sapientiae Bedono Ditinjau Dari Tempat Tinggal Siswa. Skripsi. Salatiga: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana. Wardani, R. , Apollo. 2010. Hubungan antara Kompetensi Sosial dengan Penyesuaian Sosial pada Remaja. Widya Warta No. 1. ISSN 0854-1981. Wijono, S. 2010. Psikologi Industri dan Organisasi: Dalam suatu Bidang Gerak Psikologi Sumber Daya Manusia. Jakarta: Kencana 2010. Wiloso, P. G. , Suwartiningsih, S. , Purnomo, D. , Sulasmono, B. S. , Wiratmoko, N. T. , Adi, S. , Sampurno, Sari, K. D. , Setyaningrahayu, I. , Hariyanti, R. , Ramania, S. , Untung, R. M. , Endarini, E. , Susanti, A. T. 2012. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD). Salatiga: Fiskom Press UKSW.