Seminar Nasional Peternakan don Veteriner 1997
PERBANDINGAN PERFORMAN "FEEDERSTOCK" EKS-IMPOR DAN LOKAL PADA KONDISI "FEEDLOT" PETRUS SITEPU
Balai Penelitian Ternak, P .O . Box 221, Bogor 16002
RIN GKASAN Keberhasilan pembangwkvl selama PJPT I memberi dampak terhadap peningkatan pendapatan masyarakat yang pada taliun 1996 mencapai US$ 1000. Peningkatan pendapatan tersebut secara langsung berpengaruh terhadap poly konsulnsi masyarakat antara lain peningkatan pemdntaan terltitdap caging sapi. Kondisi tersebut telah inemacu perkeinbangan usaha penggemukan sapi potong komersial . Salah satu mas
fedlot, eks impor 329
Seminar Nasional Peternakan don Veteriner 199-7
PENDAHULUAN Selama PJPT I subsektor peternaka» mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan baik dalam kaitan aspek ekonomi maupun teknis . Untuk mass yang akan datang (PJPT II) tuntutan terhadap perkembangan akan semakin kompleks disebabkan karena bertambahnya permintaan serta keterbatasan sumber dana . Permintaan terhadap daging sapi yang pada akhir Pelita V adalah sebesar 269 .100 ton akan meningkat menjadi 322.400 ton pada akhir Pelita VI dengan rata-rata laju permintaan sebesar 3,64 °/dtahun . Peningkatan terhadap daging berkualitas (impor) menunjukkan peningkatan yang cukup pesat dari 1 .483 ton (1988) menjadi 5 .532 ton pada tahun 1991 (BAHARSYAIi, 1993 ; SOEHADA, 1993). Peningkatan permintaan terhadap daging sapi tersebut, berakibat langsung terhadap jumlah pemotongan yang diperkirakan akan mengalami kenaikan sebesar 5,30 % per tahun. Peningkatan jumlah pemotongan tersebut, tenivata lebih bestir bila dibandingkan dengan kenaikan populasi sapi yang diperkirakan 3.2 % per taliun (SOEHADJI,1993) . Di bidang usaha sapi potong komersial, selama kurun waktu 5 tahun terakhir terlihat perkembangan yang cukup pesat. Pergeseran dari sistem usaha tradisional yang mengarah ke bentuk usalia komersial, telah terjadi terutama di Pulau Jawa, Propinsi Lampung dan Sulsel (SOEHADJI, 1993). Meskipun ditinjau dari permintaan cukup prospektif, "feedlot" tersebut mempunyai kendala yang cukup serius dalain penyediaan "feederstock" lokal. Hal tersebut, disebabkan karena belum adanya usaha komersial di bidang breeding sapi potong . Bakalan yang tersedia sangat terbatas dan tersebar luas sehingga kurang ekonomis bila dikumpulkan dalam jumlah besar. Diperkirakan dari ± 35 perusahaan penggemukan sapi potong, sebanyak ± 80% mengandalkan sapi bakalan eksimpor (Personal komunikasi dengan Apfindo, 1996) . Pada talum 1993 jumlah sapi bakalan yang diimpor dari Australia adalah sebesar ± 88 .800 ekor . Angka tersebut mengalami kenaikan menjadi 94 .000 ekor pada tahun 1994 . Ketergantungan terhadap bakalan impor mengakibatkan suatu keadaan yang rawan pada industri sapi potong,. Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan harga sapi bakalan di Australia yang menunjukkan kencenderungan kenaikan harga sapi bakalan yakni dari US $ 1 .24/kg berat badan CIF, pada awal 1993 menjadi US $ 1.58 pada bulan November 1994 . Berdasarkan analisa "supply and demand" (DITJEN PETERNAKAN, 1995), "total demand" untuk komoditi tersebut adalah sebesar 332.270 ton. Total produksi sapi potong pada tahun yang sama diperkirakan sebesar 1,9 juta ekor . Agar tidak terjadi pengurasan populasi maka jumlah sapi yang siap dipotong diperkirakan sebesar 1 .444 .046 ekor yang setara dengan jumlah daging sebanyak 313 .699 ton . Dalam kondisi suplai tersebut diperkirakan terjadi kekurangan sapi potong sebesar 170.000 ekor yang pengadaannya dilakukan dengan cara impor dari Australia (DITJEN PETERNAKAN, 1995). Pada kenyataannya, selarna periode 1995 . realisasi impor sapi potong dari Australia adalah sebanyak 224 .000 ekor (32% lebili tinggi dari prediksi semula) dengan total nilai sebesar US $ 120.000 .000 . (AMLC, 1996). Berpedoman pada angka realisasi impor selama periode Januari s/d Maret masing-masing pada tahun 1994, 1995 dan 1996, impor sapi potong selama tahun 1996 akan mencapai 350.000 ekor (senilai US $ 200.000 .000) Jumlah tersebut setara nyata akan menjadi beban ekonomi Nasional, karena pengurasan devisa .
33 0
Seminar Nasional Peternakan don Veteriner 1997
Informasi yang diperolehl dari peternakan sapi potong komersial menunjukkan bahwa breed sapi eks-impor yang di pelihara pada umumnya adalah Brahman Cross, Shorthorn Cross, Hereford, Angus. Sedangkan untuk penggemukan sapi bakalan lokal (PO, SO, Madura, Bali dan FH) secara komersial masih dalam jumlah yang sangat terbatas . Secara genetis breed impor tersebut mempunyai karakteristik tersendiri, yang direfleksikan antara lain dalam performan produksi yang meliputi kemampuan mengkonversi pakan menjadi jaringan yang didepositkan dalam bentuk pertumbuhan/penggemukan. Informasi dari beberapa perusahaan penggemukan memberi indikasi bahawa sapi-sapi eks-impor tersebut pada umumnya adalah "crossbred" . Pada kondisi "feedlot", produktivitasnya cukup baik. Secara teoritis hal tersebut memang sangat memungkinkan karena Secara teoritis dengan memanfaatkan genetik dari Brahman, serta sapi-sapi subtropis diharapkan akan diperoleh "crossbred" yang memiliki "heterosis" . kualitas daging cukup baik serta kemampuan beradaptasi dengan kondisi tropis (LASLEY . 1972 ; WARWICK et al., 1983) . Sapi Ongole (O) dan Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu breed sapi potong yang telah dikenal lugs di Indonesia (ATMADILAGA, 1993) . Populasi kedua breed ini adalah sebesar 70.6% dari total populasi sapi di Indonesia yang jumlahnya 11,6 juta ekor (1995) . Kedua breed ini banyak disenangi karena ukuran tubuhnya serta kemampuan kerjanya yang relatif lebih besar dibandingkan dengan breed sapi potong lainnya (Bali, Madura, Aceh, Grati). Performan sapi PO dan Ongole sebagai sapi bakalan serta performannya dibandingkan dengan sapi bakalan eks-impor masih sangat terbatas (SYAMSUDIN dan BUSTAMI, 1989, SITEPU et al. . 1992) . SUMADI et al . (1983) melaporkan bahwa dalam kondisi sedang (tidak optimal), tidak terpadat perbedaan ADG yang nyata antara breed lokal (PO) dengan eks-impor (BX). Hasil yang berbeda dilaporkan oleh ABOENAWAN dan LILY (1986), yang mengemukakan bahwa sapi BX memerukan ADG 23 % lebill tinggi dibandingkan dengan sapi lokal dengan ransum jerami ditambah dengan konsentrat. Pada penelitian yang dilakukan pads PIR-Sapi potong di lampung (SITEPU et a/., 1996) diperoleh informasi bahwa sapi PO yang diberi pakan kulit nenas dan konsentrat ternyata mampu menghasilkan ADG sebesar 1 kg, akan tetapi berdasarkan informasi yang diperoleh dari konsumen, sapi yang diberi pakan tersebut menghasilkan daging yang sedikit kurang disenangi Suatu rekomendasi breed untuk usaha ternak potong komersial, memerlukan data teknis dan perhitungan ekonomis . Penelitian ini dirancang untuk memperoleh informasi, potensi sapi lokal (SO dan FH) dibandingkan dengan sapi eks-impor jenis Brahman Cross (BX) dan Shorthorn (SHR) sebagai "feederstock" . Penelitian ini dirancang untuk memberIdingkan performan sapi lokal dibandingkan dengan sapi bakalan eks-impor pads kondisi "feedlot" . MATERI DAN METODE Penelitian Desember 1995 breed ex-impor Brahman Cross
ini dilakukan di kandang percobaan Balai Penelitian Ternak, Ciawi dari bulan s/d April 1996 menggunakan 46 ekor sapi yang dipilih secara random terdiri dari 2 dan 2 breed lokal dengan jumlah masing-masing sbb : Shorthorn (SHR) 14 ekor, (BX) 14 ekor, Ongole (SO) 10 ekor dan Holstein Lokal (FH) 8 ekor, dengan rataan
33 1
Seminar Nosional Peternakan don Y'eteriner 1997
bobot badan awal penelitian 350,9; 326,9; 322,0 ; dan 285,0 kg untuk masing-masing breed secara berturut-tuna . Sapi-sapi selama 14 hari mengalami "reconditioning periode" dan diamati kesehatannya sebelum ditempatkan pada kandang individu . Selama periode pengamatan, semua sapi penelitian diberi pakan "king-grass" yang telah dipotong-potong sepanjang ± 10 cm, dan konsentrat yang sama dengan konsentrat yang diberikan oieh perusahaan komersial (PT. Kariyana Gita Utama, Cicurug) . Masing-masing breed dikelompokkan menjadi 2 kelompok kemudian ditempatkan pada kandang individu dan diberi perlakuan sbb : Kelompok A : Konsentrat 8 kg/ekor/hari + "King grass" ad libitum dan Kelompok B : Konsentrat 5 kg/ekor/hari + "King grass" ad libitum. Perlakuan pemberian konsentrat didasarkan pada sistem pemberian pakan pada "feedlot". Pemberian pakan dilakukan 2 kali sehari pagi jam 9 .00 dan sore jam 15.00 dengan memberikan konsentrat terlebih dahulu, kemudian disusul dengan pemberian rumput. Air minum disediakan setiap saat. Pengumpulan data Pengainatan dan pengntmpulan data dilakukan sbb : Hh Pengumpulan data dilakukan dengan metode Sohli. Sampel darah sebanyak 5 cc diambil pada pagi hari (8.30 - 9.30) diambil melalui "vena jugularis" . Sampel darah tersebut kemudian dimasukkan kedalam pipet "Haemometer" swnpai pada tanda garis (standar), kemudian diniasukkan ke dalarn tabung yang berisi HCl 0,1 N, kemudian dikocok sampai hamogen . Sampel darah dibiarkan selama 3 menit, kemudian diencerkan dengan aquades sampai warnanya sama dengan warns standar . PCV Sampel darah yang telah dicampur anti koagulan, dimasukkan ke dalam tabung "Haematocrit" . Salah sate ujung tabung ujung tabung kemudian ditutup dengan dempul penutup . Sampel tersebut kemudian diputar selama 3 menit . Pembacaan PCV dilakukan dengan alai pengukur yang hasilnya langsung dibaca dalam persen (%). Pengambilan sampel darah dilakukan pada awal (H-1) dan akhir penelitian (H-66) . Berat badan Untuk mengurangi kennmgkinan adanya stress yang berlebihan maka penimbangan berat badan sapi penelitian dilakukan setiap 2 minggu sekali, pada pagi hari antara 8.30 s/d 10.30 WIB, sebelum sapi diberi makan . Penimbangan dilakukan dengan menggunakan timbangan sapi "electronic Tnie Test"- buatan Australia . Sampel pakan Pengumpulan sampel pakan dilakukan 2 kali dalam 1 minggu. Sampel hijauan dan konsentrat diambil secara terpisah, masing-masing sebanyak 2 sampel . Sampel kemudian ditimbang untuk mendapatkan berat basah, kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven
332
Seminar Nasional Peternakan don Veteriner 1997
dengan temperatur 80 ° C, untuk memperoleh berat kering (%). Selanjutnya analisa "proksimat" dilakukan di laboratorium Balitnak . Feed intake Pengumpulan data feed intake dilakukan secara individu dengan frekuensi sekali dalam seminggu . Data diperoleh dengan mengukur jumlah pakan diberikan serta sisa pakan pads hari berikutnya (setelah 24 jam) . Rata-rata pertambahan berat badan perhari (ADG) Perhitungan ADG dilakukan sbb: ADG =
BP-BS Hr
BP = Berat pada waktu penimbangan BS = Berat pada penimbangan sebelumnya Hr = Jumlah hari antara BP dengan BS Persentase karkas Persentase karkas diukur pada saat sapi tersebut dipotong di PT.Samphico Adhi, Bekasi atau di RPH Bahtnak-Ciawi. Karkas yang diukur adalah "Hot-Carcass". Data klimatologi Pengtikuran nieliputi temperatur niangan (kandang) dan kelembaban diukur dengan menggunakan "BARD-Germany" . Pengukuran dilakukan pada pagi, siang dan malam hari . Analisa statistik Semtia hasil yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan program "MSUSTAT" dengan menggunakan model test Multiple factor ANOVA dan LSD test . HASIL DAN PEMBAHASAN Level Hb dan PCV darah Salah satu fungsi Hb adalah dalam transportasi oksigen dan COZ dalam tubuh yang sangat penting dalam proses metabolisme . Hb &dwu dart PCV darah dapat dipakai sebagai indikator adanya anemia yang terjadi karena kehilangan darah, kehilangan cairan tubuh, kerusakan darah karena penyakit atau karena kurangnya produksi darah (BLOOD et al., 1976 ; HUGHES, 1979). 1 . Hb Hasil pengujian sampel darah menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P< 0,05) antara sapi FH dibandingkan dengan ketiga breed lainnya (SHR, BX dan SO) (label 1), sedangkan
33 3
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1997
bila dibandingkan antara awal dan akhir penelitian, terlihat kecenderungan peningkatan Hb darah pada breed SHR dan BX sedangkan pada breed SO dan FH. terlihat sedikit penurunan . Tabcl 1. Level Hb dan PCV pada masing-masing breed Breed Shorthorn (SHR)
Bralunan Cross (Bx)
011gole
(SO)
Holstein (FH)
n X ± Sd Min Max n X ± Sd Min Max 11
X ± Sd Min Max n X ± Sd Min Max
Hb awal 14 11,7 Aa t 1,41 9,2 14,4 14 11,4 Az± 1,2 9,4 13,4 10 12,2 A,+ 1,4 111,6 15,6 8 1 I ,tl I± 0,9 9,6 12,4
Hb aklrir 13 13, l Aa ± 2,31 10,4 20 14 15,5 Aa ± 1,6 9,8 16 9 11,7 A°± 1,0 12,2 13,4 7 10,7 aa ± 0,8 9 .2 11,8
PCV awal 14 38,2 x"[JS I ] ± 6,9 22 47,5 14 40,2 x"± 6,6 29 52 10 40 x "± 5,1 31 52 8 31,9Yx ± 3,7 28 39
Catatan : Rataan pada masing-massing hiur dengan hurufbesar berbeda menunjukkan perbedaan (P < 0,05)
PCV akhir 13 43,4x"+5,0 35 50 14 42,5 x"± 5,0 35 52 9 40,1 x " t 5,7 30 50 7 32,3
Yx
26 40
t 5,0
Ralaan pada masing-masing baris dengan huruf kecil berbeda menmliukkan perbedaan (P--0,05)
2. Pack cell voluin (PCV) Sama dengan level HB, pengt1jian PCV pada masing-masing breed pada awal penelitian juga menunjukkan adanya perbedaan PCV yang nyata (P <- 0.05), dimana sapi FH cenderung memiliki rata-rata PCV yang lebih rendah dibandingkan dengan ketiga breed lainnya (Tabel 1). Pada akhir penelitian. PCV menugjukkan kenaikan, akan tetapi perbedaan tersebut tidak nyata . Sapi FH, dibandingkan dengan ketiga breed lainnya cenderung memiliki PCV yang lebih rendah . Meskipun terdapat perbedaan level HB dan PCV antara rAasing-masing breed, klmsusnya antara FH dengan ketiga breed lainnya, secara umum level FIB dan PCV tersebut dalanr batas normal yakni 8 - 16 uniuk Hb dan 24 - 46 untuk PCV . BLOOD el al. (1976) mengeniukakan bahwa batasan nilai normal dari PCV sangat tergantung dari umur, dan species ternak . Mengingat unuir ternak yang dipakai dalanr penelitian ini relatif sarna diantara masing-masing breed, maka perbedaan rata-rata PCV pada masing-masing breed yang diteliti cendening disebabkan karena perbedaan breed . Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa ternak yang dipakai dalanr penelitian ini berada dalanrn kondisi selrat, baik pada awal maupun akhir peneltian .
Secara unurm terdapat perbedaan rata-rata berat badan dan masing-masing breed yang diteliti, perbedaan tersebut, disebabkan karena terbatasnya materi penelitian serta adanya variasi berat rata-rata antar breed, karena pada peneltian ini, batasan umur (16 - 20 ) bulan dipakai sebagai pertimbangan utarna .
334
SeminarNasional Peternakan dan Veteriner 1997
Mempertimbangkan adanya perbedaan berat badan awal dari masing-masing kelompok ternak, maka uji performans dalam penelitian diutamakan pada pertambahan berat badan (ADG), Feed efisiensi atau feed conversi serta perhitungan ekonomis . 1 . Pertambahan berat badan akumulatif Pertambahan berat badan akumulatif selama penelitian dapat dipakai sebagai indikator apakah keempat breed sapi yang menunjukkan pertambahan berat badan yang normal atau tidak . Data yang disajikan dalam Tabel 2 . menunjukkan bahwa, secara umtmt keempat breed menuijukkan peningkatan berat badan yang normal, meskipun terdapat perbedaan diantara breed pada periode waktu tertentu. Khusus pada minggu ke-4 (penimbangan tanggal 18 Februari), relatif lebih rendah dibandingkan dengan periode penimbangan lainnya . Kondisi tersebut diduga berkaitan dengan kondisi penyediaan hijauan pada periode tersebut (14 s/d 21 Feb). Sebagian besar karyawan yang bertugas di kandang dan kebun rumput, mengambil cuti lebaran pada periode tersebut, sehingga penyediaan pakan ternak kliususnya hijauan pada periode tersebut dilakukan sekaligus untuk kepentingan 1 minggu. Penumpukan tersebut diduga mempengaruhi palatabilitas maupun kualitas pakan. Tabel 2. Berat badan akumulatif selama peneltian Breed Shorthorn SHR
n
Parameter
x
sd
Min
Bralunan Cross (BX) Ongole (SO)
Holstein (FH)
Max n x sd
Min
Max n x sd Min
Max 11
is sd
Min Max
Berat awal 7/1
Berat
Berat
14 350,9 30,6 299 406 14 326,9 19,4 298 372
6/2 14 359,5 35,1 309 414 14 342,0 17,4 303 370
18/2 14 364,7 32,1 324 408 14 350,0 17,5 320 " 375
322,0 19,2 292 356 8 285,0 37,1 206 336
335,5 23,6 293 379 8 304,8 39,6 213 355
340,5 22,8 293 379 8 308,1 36,1 224 350
10
10
10
Berat
5/3 14 374,0 32,2 330 417 14 362,0 18,5 330 393
10
353,0 24 ;8 298 394 --~8 324 ;0 38,5 237 372
Berat
19/3 14 382 31,0 338 420 14 376,0 20,3 339 409
10
Berat akhir 3/4 14 390,5 30,8 342 426 14 _386,6 20,5 348 428
361,0 24,9 307'-----L398 8 334 36,6 246 380
10
370,6 22,4 326 8 344,5 40,6 249 391
Hasil pemantauan bagian pelayanan kesehatan ternak Balitnak juga menunjukkan bahwa secara umum sampai dengan akhir penelitian, ternak dalam kondisi sehat, kecuali satu ekor (FH) yang mengalami infeksi/peradangan pada preputitun .
335
Seminar Nasional Peternakan don Veteriner 1997
2. Pertambahan berat badan perhari (ADG) Rata-rata ADG masing-masing breed disajikan dalam Tabel 3. Secara umum terdapat perbedaan yang nyata antara keempat breed (P _< .0,01) . Dibandingkan dengan ketiga breed lainnya, hasil penelitian menunjidd(an bah%va sapi lokal jenis FH mempunyai ADG yang tertinggi (0,90 t 0,08 kg), kemudian diikuti dengan sapi eks-impor BX (0,87 ± 0,05) . Sapi PO mempunyai ADG yang lebih tinggi dibandingkan sapi SHR (P<0,05) . Tabel 3. Rata-rata Pertambahan Berat Badan per hari (ADG) Breed SHR-A SHR-B Rataan SHR
Treatment 8 kg konsent . 5 kg konsent .
n 7 7 14
Mean t SE (kg) 0,59 ± 0,09 0,55 t 0,12 0,578 t 0,07
BX-A BX-B Rataan BX
8 kg konsent . 5 kg konsent .
7 7 14
0,91 t 0,08 0,84 ± 0,06 0;87 `t 0,05
SO-A SO-B Rataan SO
8 kg konsent . 5 kg konsent .
5 5 10
0,75 ± 0,04 0;72 ± 0,06 0,74 b±0,03
FH-A FH-B Rataan FH
8 kg konsent . 5 Kg.konsent.
4 4 8
1,03 ± 0,08 0,76 ± 0,12 0,90 `± 0,08
Level treatment
8 kg konsent . 5 kg konsent .
23 23
0,80 ± 0,06 0,71 ± 0,05
Catatan : Rawm pada kolom yang sama dengan superscrit~berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P _ 0,05)
Untuk sapi BC, ADG yang diperoleh dalam penelitian ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh SumADI et al. (1994) yang memperoleh ADG sebesar 0,77 dengan pemberian pakan nimput gajah (30%) dengan konsentrat (70%). Untuk SO, ADG yang diperoleh pada penelitian ini hampir sama (0,75) dengan yang dilaporkan sebelumnya (SumADI et al., 1983). Tingkat pemberian konsentrat tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap ADG. Feed intake Pertambahan berat badan pada sapi yang digemukkan sangat tergantung pada kuantitas serta kualitas pakan yang dimakan oleh ternak, serta kemampuan ternak tersebut memanfaatkan pakan tersebut dalam bentuk deposit jaringan tubuh. Selama penelitian ternak memperoleh 8 clan 5 kg konsentrat clan dimmbah dengan rumput gajah yang diberikan secara ad-libitum setelah konsentrat dikonsumsi keselunthan. Rataan .feed intake adalah seperti terlihat pada Tabel 4.
336
SemmorNastonal Peternakan don Veteriner 199'
Perbedaan yang nyata pads jumlah rumput yang dimakan teriihat antara kelompok sapi yang menerima perlakuan 5 clan 8 kg konsentrat dimana sapi yang menerima konsentrat 5 kg memakan rumput lebih banyak dibandingkan dengan sapi yang menerima 8 kg konsentrat (P<0,05). Tabel 4 . Rataan feed intakelekorlhari Breed
Group
Feed intake Rumput (kg)
Feed intake Konsentrat (kg)
Total (kg DM)
Total clari (% BB)
SHR
A B
10,6 `± 0,1 14,1 8 ± 1,3
8 5
8,61 6,60
2,3 1,8
BX
A B
9,7`±0,7 14,5 e± 0,9
8 5
8,84 6,66
2,5 2,0
SO
A B
11,2 c± 0,5 15,9 8±0,7
8 5
8,70 6;9
2,6 2,1
FH
A B
9,5 `± 2,0 12,7 A± 0,3
8 5
8,43 6,37
2,8 2,3
Catatan : I . 2. 3.
Rataan dengan hurufyang berbeda pads lajur yang sama menunjukkan berbeda nyats (P50,05) A = Perlakuan konsentrat 8 kg + rumput adlib B = Perlakuan konsentrat 5 kg + rumput ad. lib DM intake dihitung berdasarkan DM rumput 16 %clan DM konsentrat 86
Perbandingan diantara keempat breed yang diteliti menunjukkan bahwa sapi FH mengkonsumsi nunput lebih rendah bila dibandingkan dengan ketiga breed lainnya (SHR, BX clan SO). Hal ini disebabkan sapi FH mempunyai BB yang lebih rendah dibandingkan BB ketia breed lainnya . Rataan feed intake (DM), masih sedikit lebih rendah dari kemampuan total feed intake sapi potong yang berkisar antara 2,5 s/d 3% dari berat badan . Untuk sapi Ongole dengan rataan berat 395,7 kg yang diberi makan dengan konsentrat secara ad. libitum, rataan feed intake (DM) adalah sebesar 6,42 kg/ekor/ltari clan untuk sapi Grati dengan rataan best 425,4 kg sebesar 8,85 kg/ekor/hari (MORAN, 1978). SuMADI et a/. (1994) melaporkan bahwa feed intake sapi BC adalah berkisar antara 9,19 s/d 8,75 pada pemberian pakan 70% konsentrat. Dari informasi tersebut dapat disimpulkvt bahwa rataan feed intake pada penelitian ini masill dalam batas normal yang secara teorif s sapi potong dapat mengkonsumsi pakan sebesar 3% dari berat badannya Feed efsiensi clan feed konversi Feed conversi yang dihitung berdasarkan jundah pakan yang dimakan (DM-Feed intake) dibandingkan dengan ADG yang diperoleh, sedangkan feed efisiensi adalah persentase antara ADG dibandingkan dengan totalfeed intake. Tabel 5 menunjukkan bahwa dengan penambahan 8 kg konsentrat sapi FH lebih efisien dalam pemanfaatan pakan untuk pertarnbahan berat badan (gain), dibandingkan dengan ketiga breed lainnya . Dari keempat breed yang dievaluasi ternyata sapi FH clan BX mempunyai 337
Seminar Nasional Peternakon dan Vetertner 199 .'
kemampuan pemanfaatan yang lebih efisien dibandingkan dengan kedua breed lainnya (SO dan SHR). Suatu hal yang menarik adanya pengaruh level konsentrat terhadapfeed efisiensi khususnya pada sapi SHR, BX dan SO. Pada ketiga breed ini, feed efisiensi lebih tinggi pada pemberian konsentrat 5 kg/ekor/hari . Sebaliknya sapi FH menunjukkan kenaikan feed efisiensi dengan kenaikan jumlah konsentrat yang diberikan. Tabel 5 . Feed efisiensi dart feed conversi Breed
Group
ADG (KG)
Total intake (kg DM)
Total dari (% BB)
Feed efisiensi (%)
Feed conversi (kg/lkg ADG)
SHR
A B
0,59 0,55
8,61 6,60
2,3 1,8
6,85 8,33
14,59 12,00
BX
A B
0,91 0,84
8,84 6,66
2,5 2,0
10,29 12,61
9,71 7,93
SO
A B
0,75 0,72
8,70 6,9
2,6 2,1
8,62 10,43
11,60 9,58
FH
A B
1 .03 0 .76
8,43 6,37
2,8 2,3
12,22 11,93
8,18 8,38
Catatan :
Mean pada masing-masing parameter dalam kolom yang sama dengan superskrip berbeda menunjukkan perbedaan (P=0,05)
Rataan ADG sapi FH lebili tinggi dibandingkan dengan sapi BX dan ternyata sapi FH memiliki kemampuan yang lebili baik dalam mengkonversikan pakan menjadi pertambahan berat. Feed konversi sapi lokal juga telah dilaporkan (MORAN, 1978), untuk sapi lokal yakni sebesar 8,56 (SO) dan 8,85 (FH). Untuk sapi FH,,feed conversi yang diperoleh relatif sama, akan tetapi, untuk sapi SO angka yang diperoleh pada penelitian ini ternyata lebih tinggi . Perbedaan tersebut kemungkinan disebabkan karena perbedaan jenis pakan yang diberikan . Pada penelitian yang dilakukan MORAN (1978), sapi diberi konsentrat yang terdiri dari polard (50%) dan jagung giling (40%) ditambah dengan bahan-bahan lainnya dan diberi secara ad libitum . Feed konversi untuk sapi BC pernah diteliti oleh SumAm et al. (1994) dengan menggunakan konsentrat sebanyak 70% dari ransum dan memperoleh feed conversi berkisar antara 9,91 - 10,63 tergantung dari kualitas hijauan yang diberikan . Analisa karkas Rataan karkas sapi FH adalah 50,0%, sedangkan ketiga breed lainnya uantuk sapi Ongole, Shorthorn dan Brahman cross secara berturut-turut 52,8%; 51,2 % dan 51,1% (label 6). Persentase karkas pada penelitian ini untuk sapi lokal (SO) lebih rendah dibandingkan yang dilaporkan MORAN (1978) akan tetapi tidak berbeda nyata dengan parameter teknis yang dikeluarkan oleh Direktorat Bina Program,_dan PT. Tippindo pada bulan Juni 1994 (label 7).
33 8
SeminarNastonalPeternakan don Letertner 1997
Tabel 6. Berat dan persentase karkas Breed
11
SHR BX SO FH
2 4 3 8
Berat Badan 385 +0,0 386 .2+8,6 8,6 393 _+ 16,3 369,7+21,4
Berat Karkas 197,2+ 1,6 197,5+9,8 207,5+7,3 184,6+9,8
% Karkas 51,2 51,1 52,8 50,0
Berat Kulit 30,9 31,1 31,6 23,4
% Kulit 8,0 8,0 8,5 6,3
Berat hati 4,8 5,2 3,1 5,5
Hati 1,2 1,4 0,8 1,5
Tabel 7. Parameter teknik sapi potong Parameter Berat hidup Karkas Kulit Hati
Sapi Lokal kg 300 156,4 20,0 2,3
Sapi import Persen 52,1 6,7 0,8
kg 420 226,4 24,0 5,0
Persen 53,9 5,7 1,2
Sumber : DIREKTORAT BINA PROGRAM, Drr7ENAK, 1994 dan PT .TIPPiNDo, 1994
Rataan persentase karkas yang diperoleh untuk sapi SHR dan BX masing-masing 2,2 dan 2,7% lebih rendah dari standar tersebut di atas (Tabel 7) . Bila dibandingkan dengan laporan sebelumnya (SUMADI et al., 1994) persentase karkas khususnya sapi BC pada penelitian ini ternyata lebili rendah . Persentase karkas pada ternak sapi potong dipengarul i oleh banyak faktor antara lain : nutrisi, umur, jenis kelamin serta breed (PRESTON dale WILLIS, 1979) . Pada penelitian ini, faktor nutrisi, umur serta jenis kelamin, dianggap swna pada keempat breed yang diteliti sellingga dapat disimpulkan adanya perbedaan pada persentase karkas lebill didominasi oleh perbedaan breed ternak tersebut . Rendahnya persentase karkas sapi FH (50,0%) dibandingkan dengan ketiga breed lainnya, adalah suatu hal wajar, karena pada umumnya breed sapi potong mempunyai persentase karkas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan breed sapi perah (PRESTON dan WILLIS, 1979) . Faktor lain yang mempenganilu persentase karkas adalah komposisi genetik dari sapi. Sapisapi crossbred, tenltama yang diperoleh melalui persilangan dengan Brahman, cendenmg akan meningkatkan persentase karkas . Peningkatan darah Brahman 25 - 100% terhadap Shorthorn akan meningkatkan persentase karkas antara 2 - 4%, hal tersebut dikaitkan dengan kecenderungan berkurangnya volume viscera pada sapi-sapi Brahman cross (CARPENTER, 1961 yang disitasi oleh PRESTON dan WILLIS, 1979) . Persentase yang diperoleh pada sapi SO, cenderung mendukung pernyataan tersebut di atas, karena secara genetis, sapi SO sangat mirip dengan sapi Brahman (sama-sama dikategorikan Bos-indicus) . Persentase berat Wit pada keempat breed yang diteliti menwljukkan bahwa sapi SO mempunyai kulit yang paling tebal (8,5% dari berat badan), sedangkan sapi FH memiliki kulit yang tertipis (6,3%) . Perbedaan tersebut disebabkan karena perbedaan breed seperti yang dilaporkan oleh PRESTON dan WILLIS (1979) bahwa sapi-sapi Bos indicus cendenmg memiliki kulit yang lebih 33 9
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1997
tebal dibandingkan dengan Bos taurus . Dibandingkan dengan parameter teknis (Tabel 7), kecuali untuk FH, pada umumnya persentase kulit ketiga breed lainnya lebih tinggi . Perbedaan tersebut diduga berkaitan dengan rata-rata berat potong yang masih < 400 kg. Sapi SO. menipunyai persentase berat hati yang relatif kecil (0.8%) dibandingkan dengan breed lailulya yang teasing-musing 1,2 (SHR); 1,4 (BX) dan 1,5 (FH). Persentase berat hati tersebut, untuk sapi lokal (SO) masih mendekati pada parameter teknis (Tabel 7), sedangkan untuk sapi BX persentase berat hati yang diperoleh pada penelitian ini sedikit di atas berat rata-rata yakni 1,2%. Untuk sapi FH, persentase yang diperoleh relatif tinggi yakni 1,5 %. Analisis ekonomis Analisis ekononns dengan menghitung "total input" dan "output" per hari untuk masingmasing breed disajikan dalam Tabel 8. Ditilljau dari analisis ekononli ternyata sapi jenis SHR memberikan "margin" yang terendah dibandingkan dengan breed lainnya . Pada kondisi pemberian pakan dengan 8 kg konsentrat, sapi SHR cendentng memberi "margin" negatif (rugi) walaupun ADG yang diperoleh lebih tinggi bila dibandingkan dengan sapi yang diberi konsentrat sebesar 5 kg. Sapi BX, memberikan margin yang terbesar. Pada kondisi ketersediaan rumput yang cukup, pemberian konsentrat sebesar 5 kg termvata lebill menguntungkan dibandingkan dengan pemberian konsentrat 8 kg . Tabel 8. Estiniasi biaya input dan output per ekor untuk masing-masing breed Breed
Perlakuan
Feed intake Rumput (kg)
Feed intake Konsentrat (kf,)
Biaya Pakan / hari
Input/ ekor / hari
Output/ ekor / hari
Gross Margin
8 5
2212 1532
2712 2032
2360 2200
-352 168
A B
10.6 14.1
BX
A B
9,7 14,6
8 5
219-1 1542
2693 2042
3640 3360
946 1318
SO
A B
11 .2 15,9
8 5
2224 1588
2724 2068
3075 2952
351 884
FH
A B
9.5 12 .7
8 5
2190 1504
2690 2004,
3862 2850
1172 846
SHR
C'alatan : 1 2. 3.
1
Harga Rumput Rp . 20/kg: Konsentrat Rp . 250/kg Tenaga kerja.overhead R depressiasi kandang Rp. 500/ekor/hari Fann Gate price : SH R k BX - Rp. 4000 ; SC) - RpA 100 dan FH - Rp . 3750 /kg hidup
Meskipun tidak dapat menghasilkan "margin" sebesar sapi BX, ternyata penggemukan sapi lokal dapat mcniberi "margin" yang cukup besar terutama untuk breed FH jantan, yang diberi perlakuan 8 kg konsentrat dan rumput ad libitunt.
1
340
Seininar Nasional Peternakan don Veteriner 1997
Sama seperti sapi BX, ternyata sapi SO memberikan "margin" yang lebih tinggi pada pemberian konsentrat 5 kg, meskipun ADG yang diperoleh pada pemberian konsentrat 8 kg lebih tinggi yakni 0,91 dan 0,75 untuk masing-masing breed BX dan SO. Berdasarkan perhitungan ekonomis tersebut di atas, terlihat bahwa penggemukan dengan menggunakan sapi bakalan "Brahman cross" dengan level pemberian konsentrat 5 kg/ekor/hari, akan memperoleh "margin" yang paling tinggi dibandingkan dengan breed lainnya . Penggemukan dengan menggunakan sapi bakalan FH dengan tingkat pemberian konsentrat sebanyak 8 kg/ ekor/hari juga memberikan "margin" yang relatif cukup tinggi akan tetapi masih lebih rendah dibandingkan dengan sapi BX Pada umumnya lama penggemukan dilakukan adalah 60 - 90 hari (sesuai dengan ketentuan Ditjen Peternakan khususnya untuk sapi bakalan eks-impor . Untuk kurun waktu tersebut, terlihat bahwa pemeliharaan sapi BX-B, memberikan "margin" yang paling dibandingkan cengan breed lainnya. Kesalahan dalam pemilihan breed, misalnya SHR bukan hanya menyebabkan berkurang6ya keuntungan, malahan akan mengakibatkan kerugian. KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sbb : Meskipun masih dalam batas normal (tidak menun ukkan gejala anemia) terdapat perbedaan Hb dan PCV di antara breed yang diteliti .Analisa statistik menunjukkan bahwa perbedaan yang nyata hanya diperoleh antara FH dengan ketiga breed lainnya . Performan biologis menwjiukkan bahwa sapi lokal (FH) dengan pemberian konsentrat sebanyak 8 kg/ekor/hari menghasilkan ADG yang tertinggi dibandingkan dengan ketiga bred lainnya. Pada level pemberian konsentrat sebanyak 5 kg/ekor/hari sapi eks-impor (BX) memberikan ADG yang tertinggi selama 66 hari penelitian . Sapi lokal lainnya (SO) menghasilkan ADG lebih rendah dari FH dan BX tetapi lebih tinggi dari sapi eks-impor (SHR) . Meskipun peningkatan tingkat konsentrat dari 5 menjadi 8 kg/ekor/hari dapat meningkatkan ADG sebesar 0,09 kg, akan tetapi perbedaan tersebut secara statistik tidak nyata . Feed Efisiensi (FE) tertinggi diliasilkan oleh sapi FH pada pemberian konsentrat 8 kg, akan tetapi pada pemberian konsentrat 5 kg, FE tertinggi diliasilkan oleh sapi BX, sehingga strategi pakan untuk usaha penggemukan sapi potong sangat tergantung pada breed dari sapi bakalan . Meskipun ADG sapi SO lebili rendah dibandingkan sapi FH dan BX, dari segi persentase karkas sapi SO lebili unggul dibandingkan dengan ketiga breed lainnya . Analisis ekonomis menunjukkan bahwa tingkat ADG yang diperoleh tidak identik dengan grossmargin yang diperoleh . Dibandingkan dengan ketiga breed lainnya, sapi BX yang memperoleh perlakuan 5 kg konsentrat memberikan "margin" yang tertinggi, disusul dengan sapi lokal (FH) yang memperoleh perlakuan 8 kg konsentrat . Sapi impor (SHR) pada pemberian konsentrat 8 kg akan menyebabkan kenigian yang cukup besar. Sapi SO, meskipun masih memberikan "margin" positif, ternyata tidak dapat bersaing dengan sapi BX dan FH. Grossinatgin dari feedlot sangat ditentukan oleh breed sapi bakalan yang dipelihara. Meskipun tidak sebesar "margin" yang diperoleh dari sapi BX, sapi lokal khususnya FH jantan menunjukkan performan yang yang cukup baik sebagai feederstock
34 1
SeminarNasional Peternakan dan Yeteriner 1997
Dari hasil penelitian ini disarankan beberapa hal sbb: Mengingat bahwa biaya pakan khususnya"konsentrat merupakan kontributor terbesar dalam biaya produksi pada feedlot, disarankan untuk melanjutkan penelitian tingkat konsentrat yang optimum untuk breed BX dan FH. DAFTAR PUSTAKA ABOENAwAN dan LILY . 1986 . Penggemukan sapi Brahman Cross, PO, Madura dengan ransum kombinasi rumput lapang dengan penguat serta jerami padi dengan penguat selama 6 bulan. Laporan Kerjasama PT . Bina Mulia Ternak dengan Fakultas Peternakan UGM. ATMADJLAGA, D. 1993 . Ruminansia Besar dalain Prespektif Sistem Pembangunan Peternakan di Indonesia. Proceedings: Pertemuan 11miah Ruminansia Besar. Puslitbang Peternakan . AUSTRALIAN MEAT and LIVESTOCK COORP. 1996. Livestock Marketing, AMLC . Sydney, Australia. BAHARsYAH, S. 1993 . Kebijaksanaan sektor pertanian sebagai salah satu usaha memenuhi kebutuhan pangan bergizi. Paper disampaikan pada Seminar perbaikan gizi melalui protein hewani . RIA Pembangunan & Aprosando, Jakarta. Hal: 1 - 20 . y Medicine. Fifth Edition, Me Millan BLOOD, D.C ., J.A . HENDERSON, dan O.M . RADoSnTS . 1976 . Veterinar Publishing Co . Inc., New york . DITJEN PETERNAKAN . 1995 . Pokok-pokok Pemikiran Reorientasi Pembangunan Peternakan menghadapi Era Globalisasi . Ditjen . Peternakan, Dep. Pertanian . Paper disampaikan pada Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Bogor 7 November 1995 . LAsLEY, J.E. 1972 . Genetic ofLivestock Improvement. Prentice Hall . Inc.Eaglewood, New York. C. 1979 . Lecture notes on Haematology. Third Edition, Blackwell:Sientific Publications, Oxford, London, Edinburgh, Melbourne.
HUGHES, N.
MORAN, J.B . 1978 . Perbandingan "Performans" jenis sapi potong Indonesia. Proceedings: Seminar Ruminansia, Direktorat Jenderal Peternakan,Pusat Penelitian danPengembangan Peteinakan (Pr4) dan IPB, Bogor_ PRESTON, T.R . dan M.B . WiLLis. 1979 . Intensive BeefProduction, Second Edition, Pergamon Press, Oxford. SANTOSO, T. CHAN1AGo dan T. PANGGABEAN . 1996 . Evaluasi Produktivitas Temak Sapi Potong dalam Usaha Tani Tanaman Pangan . Paper pads Lokakarya Temu Ihniah hasil-hasil Penelitian Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor 9-11 Januari 1996 .
SITEPU, P.,
SOEHADJi . 1993 . Potensi suplai dan permintaan daging sapi dalam Pelita VI . Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian. SumAm, P.A ., SUPIYONo dan H. MuLYADI. 1983 . Produktiivitas Sapi Ongole, Bali dan Brahman Cross di ladang ternak Bila River Ranch, Sulsel . Prosiding :Pertemuan Rmiah Ruminansia Besar, Puslitbang Peternakan . SumADi, SoEPARNo dan B. SANToso. 1994 . Potongan retail karkas sapi Brahman cross jantan yang digemukkan dengan rumput gajah, jerami padi-Biofad dan silase rumput gajah. Prosiding : Perternuan Nasional pengolahan dan komunikasi hasil-hasil Penelitian, sub-Balai Penelitian Temak, Klepu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan . SYAMSuDiN, R. D. dan M. BUSTAMI. 1989 . Efisiensi penggunaan makanan pada sapi lokal sedang tumbuh yang mendapatkan berbagai tingkat suplementasi konsentrat dengan rumput gadjah . Proceedings: Pertemuan ilmiah Ruminansia. Puslitbang Peternakan, Bogor.
342
Senunar h'usionul Peternakan dun l"e(ernner 199' WARWICK, E. J., J .M . ASTuTI
Yogyakarta .
dan
W. HARDJOSOEBROTO,
1983 .
Pemuliaan Ternak . Univ, Gadjah Mada,
TANYA JAWAB
M. Winugroho : Berapa lama program cross breeding dapat mengatasi program pengadaan sapi bakalan .
Petrus Sitepu : Permasalahannya untuk pengadaan sangat komplek. Diantaranya adalah : aspek kualitatif (infrastruktur biasa), kuantitatif (performan kurang) . Untuk waklu sekarang pertanyaan belum dapat dijawab .