Seminar Nasional Peternakan Netenner 199'
STUDI'POTENSI SAM BAKALAN LOKAL UNTUK USAHA PENGGEMUKAN KOMERSIL (FEEDLOT) PETRus
SrrEPu, K.
T. PANooASEAN, R. MAToNDANG, I .G. Puru dan A. SuPARYANTO
DtwyANro,
N.SUPRIYATNA,
Balai Penelition Ternak; P. O. Box 221, Bogor 16002 ABSTRAK Keberhasilan pembangtuian selama PJPT I memberi dampak terhadap peningkatan pendapatan masyarakat yang pada tahun 1997 diperkirakan akan mencapai US $ 1 .200. Peningkatan tersebut berpengaruh terhadap pola konsumsi masyarakat antara lain terjadi peningkatan permintaan terhadap .komoditi daging sapi. Kondisi tersebut memberi peluang yang kondusif pada pertumbuhan usaha penggemukan sapi potong, yang jumlahnya mencapai 40 perusahaan pada tahun 1996, yang sebagian besar (71%) diantaranya berlokasi di Indonesia Bagian Barat (Lampung, Jabar, Jateng dan Jatim) . Jumlah sapi bakalan yang dialokasikan pada feedlot diperkirakan 285.000 ekor (untuk tahun 1996), yang hampir keselunthannya diimpor dari Australia . Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui potensi pengadaan sapi bakalan lokal yang memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Feedlotters . Hasil penelitian menunjukkan bahwa Brahman cross (BX) dan Australian Commercial Cross (ACC) mentpakan breed utama pads feedlot, dengan berat antara 326 - 390kg, umur 1,6 - 2,5 talmn, sex jantan atau jantan kastrasi dan kondisi sedang . Hasil penelitian di 13 pasar hewan di Jawa tengah memberi gambaran bahwa jumlah sapi bakalan pada setiap hari pasar hanya berkisar 20% dari total populasi, atau rata-rata lianya sebanyak 139 ± 83 ekor pada setiap pasar . . Harga sapi bakalan eks-impor serta biaya transportasi dari pasar ternak ke lokasi feedlot maka dapat disimpulkan bahwa sapi bakalan lokal pada kondisi sekarang ini tidak kompetitif dibandingkan dengan sapi bakalan eks-impor . Analisa berdasarkan lokasi feedlot dan potensi ketersediaan sapi bakalan lokal, menunjukkan bahwa 66% dari feedlot yang beroperasi saat ini berada pada daerah yang populasi sapi lokalnya tidak mendukung . Pengembangan feedlot baik dalam segi jumlah maupun kapasitasnya pada daerah tersebut akan memberi konsekuensi peningkatan impor sapi bakalan . Penelitian ini jugs menyimpulkan bahwa pada kondisi sekarang ini ketergantungan terhadap sapi bakalan impor akan semakin tinggi, kecuali pengembangan usaha feedlot disertai dengan usaha breeding melalui program PIR dimana perusahaan feedlot juga berperan sebagai inti. Kata kunci : Sapi lokal,; penggemukan PENDAHULUAN Sebagai dampak dari perkembangan ekonomi nasional maka terjadi . perubahan dalam pola konsumsi masyarakat, hal tersebut dapat dilihat dari peningkatan permintaan yang cukup pesat terhadap komoditi basil peternakan klmsusnya daging sapi. Sebagai antisipasi terhadap kondisi tersebut, maka dalam PJPT 11 orientasi pembangunan pertanian/peternakan akan mengalami pentbahan dari orientasi produksi menjadi orientasi bisais . Salah satu ciri khas dalam bisnis adalah pengembangan usaha dalam skala komersil .
Seminar Nasional Peternakan Veteriner 1997
Berdasarkan analisa suplay dan demand (DrriEN PETERNAKAN, 1995), total demand untuk komoditi tersebut adalah sebesar 332 .270 ton . Total produksi sapi potong pada tahun yang sama diperkirakan sebesar 1,9 juta ekor. Agar tidak terjadi pengurasan populasi maka junlah sapi yang siap dipotong diperkirakan sebesar 1 .444 .046 ekor yang setara dengan jumlah daging sebanyak 313 .699 ton . Dalam kondisi suplai tersebut diperkirakan terjadi kekurangan sapi potong sebesar 170 .000 ekor yang pengadaannya dilakukan dengan impor dari Australia (DITJEN PETERNAKAN, 1995). Dibidang usaha sapi potong komersil, selama kurun waktu 5 tahtui'terakhir terlihat perkembangan yang cukup pesat. Pergeseran dari sistem usaha tradisional yang mengarah ke bentuk usaha komersil, telah terjadi terutama di Pulau . Jawa, Prop. Lampung dan Sulsel (SOEHADJI, 1993) . Meskipun, ditinjau dari permintaan cukup prospektif, usaha penggemukan (feedlotter) tersebut mempunyai kendala yang cukup serius dalam penyediaan ` sapi bakalan' (feederstock) lokal. Hal tersebut, disebabkan karena belum adanya usaha komersil dibidang breeding sapi potong . Bakalan yang tersedia sangat terbatas dan tersebar luas sehingga kurang ekonomis bila . dikumpulkan dalam jumlah besar. Diperkirakan dari _+39 perusahaan penggemukan sapi potong, sebanyak _+ 80% menghandalkan sapi bakalan eks-impor (Personal komunikasi dengan Apfindo, 1996) . lmpor sapi bakalan selama 6 tahun terakhir berkembang dengan pesat yakni dari 12 .290 ekor (1991) menjadi 285, .000 ekor (1996) (AMLC, 1996; DITJEN PETERNAKAN,1996). Ketergantungan terhadap bakalan impor tersebut, akan mengakibatkan suatu keadaan yang cukup rawan pada industri sapi potong, . Hal tersebut dapat dililiat dari perkembangan harga sapi bakalan di Australia yang selama 2 tahun terakhir menunjukkan,kencenderungan kenaikan harga sapi bakalan yakni dari US $ 1,24/kg berat badan CIF, pada awal 1993 menjadi US $ 1,45 pada bulan November 1996 (Komunikasi langsung dengan Australian Meat and livestock Corporation) . Untuk mengantisipasi perkembangan usaha temak potong tersebut, dirasakan sangat mendesak untuk menjajaki potensi lokasi di luar Jawa, khususnya sebagai penghasil Feeder stocks._ Sapi Ongole (O) dan Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu breed sapi potong yang telah dikenal luas di Indonesia (ATMADILAGA, 1983). Populasi kedua breed ini adalah sebesar 70,6% dari total populasi sapi di Indonesia yang jumlahnya 11,6 juta ekor.- Secara teoritis, dengan populasi tersebut, Indonesia mempunyai peluang dalam upaya mensuplai sebagian sapi bakalan yang dibutulikan perusahaan feedlot . Penggunaan sapi bakalan lokal bagi perusahaan komersil ; dipengaruhi oleh banyak faktor ekonomis . Melalui penelitian ini dicoba untuk menganalisa ketersediaan sapi bakalan untuk menunjang usaha -penggemukan komersil . MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan pads perusahaan penggemukan sapi potong komersil dan di lokasi sumber bibit khsusnya di Jawa tengah dari_ bulan November 1995 s/d April 1996. Pengumpulan data dilakukan secara bertahap sbb . : Tahap .,1
Meliputi profil usaha peternakan komersil
Pengumpulan data pada perusahaan feedlot dilakukan dengan melakukan pengisian kuesioner serta wawancara langsung pads 13 perusahaan feedlot yang dipilih secara proporsional di beberapa propinsi utama yakni Lampung, Jabar dan Jatim meliputi : kapasitas produksi, anal sapi bakalan, 528
Seminar NasionalPeternakan Peteriner 1997
spesifikasi teknis sapi yang dipeliliara, "breed preference", perkembangan harga dan jumlah kebutuhan per tahun . Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan wawancara langsung dengan narasumber . meliputi Instansi Pemerintah, Asosiasi serta Supplier sapi bakalan Tahap II : Pengumnulan data di lapangan, pada 6 pasar ternak terbesar di Jawa Tengah dan Jatim Pengukuran dilakukan pada setiap pasar yang dipilih dua kali pada periode waktu yang berbeda yakni, bulan Nov .- Desember 1995 dan bulan Feb . - Maret 1996. Parameter yang diamati meliputi : struktur populasi ternak yang diperdagangkan, harga, biava transpor ke feedlot, ketersediaan sepanjang tahun, data perkmbangan (bila fasilitas memungkinkan) . Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan Nvawancara langsung dengan narasumber meliputi lnstansi Pemerintah, Asosiasi serta Supplier sapi bakalan Analisa data yang diperoleh dari pasar ternak dilakukan dengan menghitung nilai rata-rata, range serta standard deviasi dari masing-masing parameter yang diukur. Untuk data potensi pengadaan sapi bakalan, analisa data dilakukan dengan melakukan simulasi dengan menggunakan asumsi baku (DiTJENNAK, 1995) antara lain : jumlah pemotongan, natural increase (16,4%) . "Feederstock preference" pada peternakan komersil dilakukan dengan menghitung score pada masing-masing parameter, dengan batasan nilai tertinggi pada priontas utama kemudian dan terendah pada penoritas teraklur sbb. : breed (4-1); sex (4-1), umur (4-1); berat (5-1) dan kondisi sapi (3-1). HASIL DAN PEMBAHASAN a. Profil usaha penggemukan komersil (Feedlotters) Perusahaan penggemukan sapi potong di Indonesia berkembang pesat sejak 5 tahun terakhir. Pada saat ini jumlah feedlotters di Indonesia adalah sebanyak 39 perusahaan (APFINDO, 1996) dengan penyebaran lokasi sebagai dalam Gambar 1 . Sebahagian besar penuahaan feedlot (74%) berbda di Propinsi Lampung, Jabar, Jateng dan Jatim. Hasil pengamatan terhadap 14 perusahaan, memberikan informasi sbb. (a) Kapasitas produksi sangat bervariasi dengan range antara 1084-40 .000 ekor/tahun (1995), dengan rata-rata 14 .736 ekor/thn . Bila dibandingkan dengan sebelumnya,'rata-rata kapasitas produksi tersebut mengalarni kenaikan sebesar 53 %, yakrti dari 9634 (1994) menjadi 14736 ekor (1995) . (b) Sistem pemeliharaan pada umumnya sangat intensif, dengan sisteni pemberian pakan yang cenderung memanfaatkan konsentrat lebih banyak dibandingkan dengan hijauan . Lama pemeliharaan bervariasi antara 40 - 90 hari. (c) Pemasaran pada umumnya dalam bentuk sapi hidup siap potong, kecuali beberapa perusahaan yang telah melakukan pemasaran dalam bentuk "cutting" (Tippindo, Kariyana Gita Utama, PT. Sunctory dan PT. Sekar) . Pada saat ini sumber sapi bakalan hampir keseluruhannya dan Austalia .
Seminar Nasional Aeternakan Vereriner 1997
8
Gambar, 1. Penyebaran feedlotter di beberapa propinsi di Indonesia b. Preferensi sapi bakalan Breed Hasil pengamatan pada 13 perusahaan, penggemukan sapi potong (feedlotter) menunjukkan bahwa breed sapi bakalan yang paling disenangi oleh perusahaan berturut-turut adalah Brahman cross (BX), Australian Commercial cross (ACC), Shorthorn cross (SX) dan breed lainnya (label 1) . Tabel 1. Breed dan sex preference sapi bakalan pada feedlot Perioritas Breed
Score
'
Sex
(rata-rata)
Score
Unrur
Score
(-U-rata)
Best
Score
Kondisi
Score
(kg)
I
Brahman Cros (BX)
2,86
Jantan
3,63
1,6-2,5
3,6
326-350
6,17
Sedang
2,91
11
Australian Commercial Cross (ACC)
2,36
Jantan (Kastrasi)
3,63
2,6-3,5
3,0
301-325
6,0
Gernuk
2,25
III
Shorthorn Cross (SX)
1,0
Betina (Spayed)
2,75
1,0-1,5
2,25
276300
5,25
Kurus
1,50
IV
Breed lainnya.
Segala tunur
2,0
250-275
5,0
Betina
>376
4,33
Pemilihan breed yang tepat sangat menunuukan keberhasilan dalam usaha feedlot khUsusnya di daerah tropis . Masing-masing breed memiliki karakteristik tersendiri khususnya pada 530
Seminar National Patemakan'Weriner 1997
adaptabilitas dan aklimatisasi . Brahman cross yang merupakan pilihan lttama berkaitan iengan kemampuan adaptabilitas nya yang sangat tinggi (YEATES, 1974) .. Sapi Brahman secara lugs telah dimanfaatkan untuk mengl lkanbreed komersil antara lain : Brangus, Droughmaster, Greyman, Charbay, Beefmaster, Braford, dll . (LASLEY, 1987 ; SITEPU 1996) Crossbred tersebut memberikan performans yang cukup bark, terutama -karma ti-mbulnya heterosis. Hasil penelitian (SrrEPU et al, 1996) juga menunjukkan bahwa Btalam cross meoghasilkan pertambahan bobot hidup yang jauh l" tinggi bila dibandingkan deggan~ghorthorn, dan sapi lokal, terutama dalam kondisi intensif. Kcberadaan darah aapi brabrrtan pada breed -sapi potong (25 - 100%) ternyata juga sangat mempengaruhi terhadap persentase -karkas sebesar 2- 4 % (CARPENTER, 1961 yang disitasi oleh PRESTON dan WILLS, 1979) . Sex Selain faktor breed, faktor sex merupakan salah satu faktor yang sangat dipertimbangkan dalam pemilihan sapi bakalan . Sapi bakalan jantan (yang dikastrasi maupun tidak) merupakan pilihan utama, sedangkan saps bettna (fresh }naupun spayed) mentpakan pilihan kedua. Hal tersebut, .menurut para pengusaha karena pengalaman dalam pemeliharaan (penggemukan) serta rata-rata persentase karkas yang relatif lebih tinggi . Hasil penelitian menunjukkan bahwa sex jantan merupakan pilihan utarna pada perusahaan penggemukan (Feedlotters) . Secara general sex, mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perUumbuhan (ADG) (PRESTON dan WII .ts, 1979) . Selain hal tersebut ternyata sapi jantan cenderung memiliki efisiensi pakan yang lebih tinggi, serta cenderung memiliki persentase fat yang lebih rendah dibandingkan dengan sapi betina (YEATES, 1974) . Hasil penelitian di Australia juga menunjukkan bahwa ADG pada sapi jantan yang dikastrasi dan tidak, ternyata tidak berbeda nyata, akan tetapi persentase lemak pads sapi yang dikastrasi cenderung lebih tinggi . Sapi yang dikastrasi juga oendenuig lebih mudah untuk dihandle . Melihat bahwa pasar di Indonesia belum begitu menuntut, kualitas daging tertentu (spesifik), maka kiranya pemilihan sex jantan oleh' part perusahaan feodlotter merupakan suatu keputusan yang sangat didasarkan pads pertimbangan ekonomis khususnya potensial ADG dan persentase karkas yang lebih tinggi . Umur Rata-rata umur sapi bakalan juga merupakan salah satu faktor yang dipertimbangkan dalam pemilihan sapi bakalan . Seperti yang disajikan dalam (label 1) maka umur sapi. bakalan yang menyrakan perioritas utama adalah antara 1,6-2,5 tahun . Umur tersebut berkaitan dengan lama pemeliharaan yakni penggemukan . Menurut part pengusaha umur ideal untuk penggemukan adalah sapi yang telah dewasa tetapi belum begitu tut. Diperkirakan pada waktu panen umur sapi tersebut tidak akan melebihi 3 tahun . Secara ilmiah hal tersebut dapat diterima . Pada umumnya berdasarkan "sexual maturity-nya sapi potong dapat dikategorikan menjadi dua yakni : (a) "early" dan , (b) "late maturity" . Sapi yang iergolong early maturity adalah sapi yang mempunyai ukuran tubuh relatif besar (umumnya sapi temperate). Sapi tersebut dapat mencapai umur dewasa kelamin pada umur 8 - 10 bulan (YEATES, 1974 ; ALLEN dan KILKENNY, 1980). Sapi Brahman dikategorikan pada sapi yang mencapai umur dewasa kelamin lebih lambat (12 - 14 bulan). Umur dewasa kelamin tersebut berkaitan erg dengan pemilihan umur sapi bakalan pada usaha feedlot . Sepem dikemukakan oleh (ALLEN dan Kn.KENNY, 1980) bahwa sects normal penumbulian/perkembangan karkas, merupakan utter&w beberapa phase sbb : pertuinborhan tulang, otot dan lentak . Pada awalnya pertumbuhan terutama akan dipusatkan pada perlurnbuhan tulang, kemudian pertumbuhan 531
SeminarNastonal Peternakan Veteriner 1997
otot (muscle) dan diakhiri dengan deposito lemak. Pemilihan umur sapi bakalan 1,6 - 2,5 tahun pada perusahaan penggemukan kemungkinan besar dengan pertimbangan memperoleh kesempatansebesar-besarnya dalam pembentukan daging/otot, dan pads waktu sapi dipanen/jual deposito lemak tidak akan terlalu tinggi. Rata-rata berat badan Feederstock dengan berat 326 - 390 merupakan pilihan utama. hal tersebut dikaitkan dengan lama pemeliharaan (penggemukan) yang berkisar antara 40 - 90 hari, serta disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah tentang izin import sapi bakalan yakni _ berat rata-rata 350 kg dan latna pemeliharaan minimal 60 hari. Diperkirakan dengan berat tersebut sapi tersebut akan dapat dipasarkan pada berat seknar 400 kg, yang merupakan berat ideal, ditinjau dari persentase karkas, biaya transport serta biaya potong . Fedeerstock dengan berat badan 326 - 390 kg diduga juga berkaitan dengan preferensi untur 1,6 - 2,5 tahun . Kondisi sapi Kondisi sapi yang lebih diinginkan adalah sapi dengan kondisi sedang, yang menurut para pengusaha lebih mudah untuk digemukkan. Hasil pengamatan di lapangan juga menunjukkan bah%va tingginya persentase "fat" ternyata merupakan salah satu kendala dalam pemasaran sapi bakalan eks-impor . c. Manajemen pemeliharaan feedlot Sebagian besar dari feedlot di Indonesia melakukan penggemukan selama 61 - 90 hari . Hanya sebagian kecil (25%) dari perusahaan yang diteliti memelihara tenak mereka > 91 hari. Sistem pemeliharaan sangat intensif. hal tersebut tidak terlepas dari lokasi perusahaan yang sebagian bestir berada di Lampung. Jawa Barat dan Jawa tengah. Khusus untuk lokasi Jawa Barat masalah ketersediaan tanali menjadi masalah yang sangat serius, mengingat harga yang cukup tinggi dan areal yang terbatas . Pada kondisi tersebut pemanfaatan konsentrat menjadi sangat dominan . Pemanfaatan limbah .pertanian/perkebunan sebagai pakan hijauan masih sangat terbatas. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian yang 86% mencoba memanfaatkan rumput gajah/raja sebagai pakan hijauan . Hanya 17% yang masih memperoleh kesempatan memanfaatkan rumput lapangan dan jerami padi. Dari seluruh perusahaan yang diamati hanya satu perusahaan yang memanfaatkan batting tebu sebagai pakan hijauan . Batang tebu tersebut diperoleh melalui program PIR pakan . Dan perusahaan yang diamati ; 1 perusahaan ntemanfaatkan batting jagung sebagai hijauan utama. Sebagian bestir perushian (93%o) menyusun/mencampur sendiri konsentrat yang dibutultkan, sedangkan sisanya memproleh konsentrat dengan membeli. d. Sapi bakalan Ketersediaan sapi bakalan dalant penelitian ini diperkirakan dari populasi ternak serta potensi pengadaan sapi bakalan dari pasar ternak .
532
'
SeminarNasional Peternakan Velerrner 1997
1. Ketersediaan sapi bakalan Data yang diperoleh dari 13 pasar ternak di Jawa Tengah diperoleh gambaran sebagai padaTabel 2. Tabel . 2. Komposisi sapi potong pada pasar ternak di Jawa, Tengah Parameter
Jumlah
Sapi Induk
Pedet
Siap Potong
Bakalan Jantan .
Bakalan Betina,
19295 100 28
3.736 19,36 29 133 115 1 420
8 .383 43,57 29 289 163 32 653
1330 6,90 28 46 39 1 133
3904 20,23 29 139 83 12 312
1942 10,06 28 67 46 3 202
Jumlah populasi n - Pasar X / Pasar Std Min Max
Pasar ternak di Jawa tengah pads umumnya didominir oleh pellet yang mencapai 43% dari populasi atau sebanyak 289 ± 163 ekor dengan range 32 s/d 653 ekor . Populasi sapi bakalan (feederstock) pada setiap hari pasar hanya berkisar 20,17% atau sebanyak 139 ekor dengan variasi antara 12 s/d 312 ekor tergantung dari kapasitas pasar . Transaksi yang tegadi di pasar ternak ratarata sebanyak 48;6% dari total sapi yang dibawa ke pasar. 2. Harga sapi bakalan Harga sapi siap potong Potong sangat bervariasi di setiap lokasi berkisar antara Rp 3939 - 4825/kg berat hidup dan Rp 4000 - 5250/kg, masing masing wituk Jawa Timur darn Jawa Tengah. Perbedaan harga yang cukup tinggi tersebut disebabkan karena ltampir sebagian besar pasar ternak di lokasi tersebut tidak mengoperasikan timbangan ternak . Penaksiran berat hanya berdasarkan perkiraan secara visual . Harga sapi bakalan rata-rata Rp 3966/kg best hidup, berkisar antara Rp 3666 - 4200; tergantung pada exterior, kondisi serta asal dari ternak (Tabel 3) . Tabel 3 . Rata-rata harga sapi potong di Jawa Timur dan Jawa Tengali Jenis Sapi Sapi Bakalan (Jantanj Sapi Siap Potong
Bakalan Betina Rata-rata transaksi sapi di pasar _
Jawa Timur (Rp)
Jawa Tengah (Rp/Kg)
1 .025.000/eko r
3966/kg berat hidup (3666 - 4200) 4424/kg berat hidup (4000 - 5250/kg)
4,825 /kg best hidup(Pacitan) 4.000/kg berat hidup(Banyuwangi 3.539/kg berat hidup(Bondowoso) 1 .950.000/ekor (Nganjuk) 900.000/ekor(Pasuruan) 53,5%
48,6 (27,3 - 69,7 %~
Seminar Nasional Perernakan Verenner 1997
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa harga sapi bakalan lokal tersebutternyata untuk saat ini tidak dapat bersaing dengan sapi eks-impor yang harganya hanya berkisar antara US$ 1,44/kg berat hidup (CIF), yang equivalent dengan Rp 3900; (farm gate price). Selain harga tersebut, pada umumnya pembelian sapi dari Australia oleh perusahaan dengan fasilitas Usance L/C, 180 days yang berarti pembayaran akan dilakukan 180 hari sejak saapi tersebut diterima si pembeli . e. Estimasi kebutuban sapi bakalan untuk feedlot Berdasar informasi yang diperoleh dari APFINDO (1995) dan DITJEN PETERNAKAN (1996) diperkirakan kebutuhan sapi bakalan untuk tahun 1996 adalah sebesar 285.000 ekor dengan perincian padaTabel 6. . Perhitungan alokasi tersebut untuk tahun 1996, dalam realisasinya akan lebih tinggi . Pada tahun 1995 alokasi sapi import adalah sebesar 170 .000 ekor akan tetapi kenyataannya 33% lebih tinggi (56 .395 ekor). Hal tersebut berkaitan dengan izin khusus yang dikeluarkan pemerintah untuk menghadapi lebaran 1996. Berdasarkan lokasi perusahaan feedlot di Indonesia secara umum terfokus di 4 propinsi yakni Lampung, Jabar, Jateng dan Jatim dengan jumlah perusahaan sebanyak 24 perusahaan (75%) dari jumlah perusahaan komersil yang mengajukan import sapi bakalan . Data alokasi impor sapi bakalan untuk tahun menunjukkan bahwa ketiga propinsi tersebut diatas akan membutuhkan sapi bakalan sebanyak 217 .400 ekor:yang berarti 74% dari total impor sedangkan 24% lainnya tersebar 9 propinsi lainnya . Tabel 4. Kebutuhan sapi bakalan untuk tahun 1996 No. Propinsi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Lampung Riau Jawa Barat Jateng DIY Jatim Kaltim Kalsel NTB Sulsel Sulut Irian Jaya Cadangan T OTAL
Impor 1994 (Realisasi) 46.933 1 .192 42.169 17 .933 0 4 .201 2.047 3 .877 1200 0 0 0 0 118 .552
Impor 1995 (Realisasi) 52.600 2 .400 113 .395 22 .000 3.600 16.000 5.000 4 .000 2:400 5.000 0 0 0 226 .395
Su+nber : APFINlJC ,, 1994,1995,1996; DmEN PETERNAKAN 1996, AMLC, 1996.
534
Impor 1996 (Usulan) 114 .300 7.200 147 .400 53 .900 25.000 51 .500 0 15.00o . 7 .500 4.000 30.000 11 .700 468 .300
, Alokasi 1996 68 .000 3 .600 97 .800 34.000 3.600 17.600 - 4.800 7.600 0 3.600 3.600 3 .600 39.500 285 .000
SeminarNasional Peternakan Yetenner 1997
f. Kendala penyediaan sapi bakalan Berdasarkan stimulasi perhitungan (berdasarkan calving rate, jumlah pemotongan IOW, populasi sapi di Indonesia diperkirakan sebanyak 11,5 juta door. Tedihat bahwa sebaltagian besar dari feedlot berlokasi di daerah dimana populasi sapi (peternakan rakyat) tidak dapat mendukung kebutuhan . feederstock yang dibutuhkan. -Sebagai -contoh Prnpinsi Lampung, Jawa Barat clan Jawa Tengah (Gambar 2). Berdasarkan perhitungan biologis, diperkirakan pada kondisi peternakan saat ini hanya 3 propinsi yang berpotensi sebagai supplier sapi bakalan yakni Jatim, NTB clan NTT dengan total per tahun sebasar 74.803 door. Jumlah tersebut tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan sapi bakalan potvsalw feedlot yang berada di kc 4 propinsi utama (Lampung, Jabar, Jateng clan Jatim) -yang total kebututtianrtya untuk tahun 1996 diperkirakan akan mencapai 217 .400 ekor. DITJEN PETE RNAKAN, 1996)
Bila dilihat dari lokasi feedlot khususnya yang berada di Jawa Barat clan Lempung, meka pengadaan sapi bakalan dari Jawa Timur atau lokasi yang secra-biologis cukup potensil (NIT clan NTB) ternyata ketersediaan clan biaya angkutan akan menjadi kendala yang sangat besar . . Sebagai contoli hasil pemantauan di lapangan, biaya transport tcrnak dari Pati ke Jakarta dengan menggiinakan truk Fuso akan mencapai antara Rp 120 - 140/kg BB . Biaya tersebut akan menjadi jauh lebih tinggi untuk transportasi dari Jatim atau NTT ke Jakarta, Bandung atau ke Lampung . Kendala lain dalam pemanfaatan sapi bakalan lokal sebagai feederstock selain dipengaruhi oleli struktur harga jugs sangat diteniukann oleli ketersediaan dalam jumlah yang banyak. Bila rata-rata sapi bakalan yang dapat diperoleh pada setiap hari pasar adalah sebanyak 139 ekor maka untuk memperoleh jumlah bakalan sebanyak 1200 ekor/bulan hares dilakukan pengumpulan minimal dari 7 pasar dengan ukuran menengah (kapasitas t 700 ekor) . Pengumpulan tersebut akan menambah biaya extra bagi perusahaan . 40000 20000
a
0
Oa
-20000
Y
H d
u
Y
-40000 -60000 -80000 -100000 Propin si
Gambar 2. Estimasi ketersediaan clan kebutuhan sapi bakalan di boberapa propinsi 53 5
Seminar Nasional Peternakan Veteriner 1997
Persyaratan perusahaan terhadap kualitas sapi bakalan juga merupakan kendala dalam pengadaaf sapi bakalan lokal. Pengadaan sapi bakalan dari peternakan rakyat cenderung memberi konsekuensi tingginva variasi, baik dalam berat, breed, urnur serta kondisi ternak . Variasi tersebut tentunya akan sangat berpengaruh dalam feeding manajemen serta penanganan kesehatan ternak, yang bagi perusahaan mungkin akan memberikan tambahan biaya . KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian daliat disimpulkan sbb : Perkembangan usaha penggemukan sapi potong (feedlot) selama 5 tahun terakhir sangat cepat, dan sebagian besar (66%) berlokasi di daerah yang populasi sapinya relatif kecil sehingga secara biologis tidak dapat mendukung kebutuhan sapi bakalan perusahaan tersebut. Perusahaan feedlot dalam pemilihan sapi bakalan, lebih mengutamakn breed sapi Brahman atau Brahman cross, dengan unnlr 1,6 - 2,5 tahun dan berat 326 - 390 kg. Juga diperoleh informasi bahwa sapi jantan atau steer lebih disukai dibandingkan dengan sapi betina . Pasar ternak yang diduga merupakan sumber bakalan sapi potong, ternyata hanya mampu menyediakan sapi bakalan sangat terbatas yakni 20% dari populasi di pasar . Diperkirakan jumlah bakalan yang tersedia hanya 139 + 83 ekor pada setiap pasar . Informasi harga serta biaya transpor dari lokasi pasar di Jawa Tengah dan Jawa timur, merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan sapi bakalan lokal kurang kompetitif dibandingkan dengan sapi bakalan eks-impor . Amalisa keberadaan usaha penggemukan dengan daya dukung sapi bakalan lokal menunjukkan' bahwa, Propinsi Jatim, Sulsel, Sulut, NTB serta NTT, merupakan daerah yang paling potensil . Pengembangan usaha feedlot di luar daerah tersebut . otomatis akan meningkatkan ketergantungan terhadap imporiasi sapi bakalan . Dalam kondisi saat ini . import feederstock, masih merupakan alternatif untuk memenuhi kebutuhan feedlotters . Untuk mengurangi ketergantungan terhadap sapi bakalan eks-impor disarankan untuk Meningkatkan efisiensi reproduksi sapi potong lokal yang tersedia melalui intensifikasi program IB, serta peningkatan mute genetik dengan program "crossbreeding" khususnya di lokasi yang dekat dengan feedlot. Perlu dikaji pengembangan breeding program yang dikonsentrasikan di sekitar lokasi keberadaan feedlot, dengan pola PIR-Breeding, dimana perusahan feedlotjuga berperan sebagai inti. DAFTAR PUSTAKA ALLEN, D .
APFINDo .
dan B.
1996 .
KILKENNY . 1980 .
Planned BetfProduction . Granada, London.
Daftar usulan Import Sapi Bakalan dari Perusahaan .
ATMADILAGA, D. 1993 . Ruminansia Besar dalam Prespektif Sistem Pembangtman Peternakan di Indonesia . Proceedings : Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar . Puslitbang Petemakan . Bogor . AUSTRALIAN MEAT and LIVESTOCK COORP (AMLC). 536
1996 .
Livestock Marketing, AMLC: Sydney, Australia .
SeminarNasional Peternakan Veteriner 1997
Kebijaksanaan sektor pertanian sebagai salah satu usaha memenuhi kebutuhati~Vattgan bergizi. Paper disampaikan pada Seninar perbaikan gizi melalui protein hewani . RIA Peml3a tgunan & Aprosando, Jakarta. Hal: 1 - 20 .
BAHARsYAH, S. 1993 .
DITJEN PETERNAKAN . 1995 . Pokok-pokok Petnikiran Reorientasi Pembangunan Petemakan mengbodapi. Era Globalisasi . Ditjen . Peternakan, Dep. Pertanian. Paper disampaikan pads -Seminar Nasi6MI Peternakan dan Veteriner, Bogor 7 November 1995 . LAsizy,
J. E.
1972 .
Genetic ofLivestock Improvement.Prantice Hall . Inc. Eaglewood, New York .
PRESTON, T.R . danM.B . Wua is . 1979 . Intensive BeefProduction, Soaond Edition, Pergamon Press, Oxford. SImpu, P., SANToso, T. CHAmAGO dan T. PAN(3oABSAN . 1996 . Evaluasi Produktivitas Ternak Sapi Potong dalam Usaha Tani Tanaman Pangan. Prosiding Lokakarya Temu Ilmiah hasil-hasil Penelitian Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor 9-11 Januari 1996 . Puslitbang Peternakan, Bogor . SITEPu, P., K. DIwyANfo., 1. G . PuTu, T. PANCiGABEAN, 1. K. PUSTAKA, H. PuRwANTo dan SoERYoNo. 1996 . Perbandingan Keunggulan Genetis Feederstock Ex-import dan Lokal pada Kondisi Feedlot. Laporan Penelitian Balitnak, APBN 1995/1996. SoEHADii . 1993 . Potensi suplai dan pennintaan daging sapi dalam Pelita V1 . Direktomt Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian. YEATEs,'N.T.M . 1974 . Beef Cattle Production . Butterworths PTY Ltd. Brisbane,`Australia.