PERANAN TIM PENGAMAT PEMASYARAKATAN (TPP) DALAM PELAKSANAAN PEMBINAAN NARAPIDANA (Studi Pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung)
Oleh: Kurniawan Syarif, Diah Gustiniati M., Dona Raisa M. Email :
[email protected]
ABSTRAK
Ketentuan Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan merumuskan hak-hak yang dimiliki oleh narapidana yang seharusnya dijamin dan dilindungi. Untuk menjamin dan melindungi hak-hak narapidana tersebut selain diadakan Lembaga Pemasyarakatan yang secara langsung melaksanakan pembinaan, diadakan juga Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) yang bertugas memberikan saran mengenai program pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah peranan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dalam pelaksanaan pembinaan narapidana dan apakah yang menjadi faktor penghambat Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dalam pelaksanaan pembinaan narapidana. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Hasil penelitian dan pembahasan dalam skripsi ini menunjukan bahwa peranan TPP dalam pelaksanaan pembinaan narapidana meliputi peranan yang seharusnya dan peranan yang dianggap oleh diri sendiri. Peranan TPP yang seharusnya adalah TPP sebagai tim yang bertugas memberi pertimbangan kepada pimpinan dalam rangka tugas pengamatan terhadap pelaksanaan pembinaan WBP, sedangkan peranan yang dianggap oleh diri sendiri adalah TPP melaksanakan pembinaan bagi WBP. Sehingga melalui peranan yang seharusnya dan peranan yang dianggap oleh diri sendiri ini pihak TPP Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung telah melaksanakan pembinaan narapidana di setiap tahapan pembinaan. Faktor penghambat TPP dalam pelaksanaan pembinaan narapidana adalah: susunan keanggotaan TPP yang hanya diatur dalam Keputusan Menteri kurang mengikat bagi anggota lain di luar petugas lembaga pemasyarakatan; kurang optimalnya kerja sama dengan instansi yang terlibat dalam pelaksanaan pembinaan narapidana; serta keluarga narapidana jarang mengunjungi bahkan tidak pernah mengunjungi narapidana. Kata Kunci: Peranan, Tim Pengamat Pemasyarakatan, Pembinaan, Narapidana.
1
THE ROLE CORRECTIONAL SUPERVISING TEAM OF REHABILITATION IMPLEMENTATION FOR INMATES (Studies in Correctional Institution Class I Bandar Lampung)
By: Kurniawan Syarif, Diah Gustiniati M., Dona Raisa M. Email :
[email protected]
ABSTACT The provisions of Article 14 the act no. 12, paragraph 1 of 1995 regarding the correctional formulated rights owned by inmates who should be guaranteed and protected. In order to guarantee and protect the rights of these inmates are held in addition to Correctional Institution that directly conducting the rehabilitation and also the Correctional Supervising Team to give some advise about the rehabilitation program for Inmatess. As for the problems in this thesis is how the role Correctional Supervising Team of rehabilitation implementation for inmates and factors wether pursuing Correctional Supervising Team of rehabilitation implementation for inmates. This research is conducted with the normative law approach and empirical law approach. Result of research indicated that role Correctional Supervising Team of rehabilitation implementation for inmates consist of expected role and perceived role. The expected role of Correctional Supervising Team is a team assigned some tasks to make consideration to leaders in supervision of rehabilitation implementation for inmatess while the perceived role of Correctional Supervising Team is Correctional Supervising Team also implementing rehabilitation for Inmatess. Thus throught expected role and perceived role Correctional Supervising Team had implementing rehabilitation for inmates in each phases of rehabilitation. Factors wether pursuing Correctional Supervising Team of rehabilitation implementation for inmates is the membership structure of Correctional Supervising Team regulated in Law Minister Decree less binding some member external to correctional officials, less optimal cooperation with the agencies involved in the implementation of development inmates and inmate families rarely visited or never even visited the inmates. Keywords: Role, Correctional Supervising Team, Rehabilitation, Inmates.
2
I. PENDAHULUAN Lembaga pemasyarakatan adalah lembaga yang memiliki posisi sentral dan strategis dalam sistem peradilan pidana Indonesia, bertolak dari pandangan Sahardjo tentang hukum sebagai pengayoman, hal ini membuka jalan bagi perlakuan terhadap narapidana dengan cara pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara. Konsep pemasyarakatan tersebut kemudian disempurnakan oleh Konferensi Dinas Para Pimpinan Kepenjaraan Pada tanggal 27 April 1964 yang memutuskan bahwa pelaksanaan pidana penjara di Indonesia dilakukan dengan sistem Pemasyarakatan, suatu pernyataan di samping sebagai arah tujuan, pidana penjara dapat juga menjadi cara untuk membimbing dan membina. Dalam usaha untuk melakukan pembinaan yang baik, UndangUndang No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengamanatkan tentang prinsip-prinsip dasar dalam membina itu tercantum di dalam Pasal 5 Undang-Undang tersebut yang disebutkan bahwa Sistem Pembinaan Pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas: a. Pengayoman; b. Persamaan perlakuan dan pelayanan; c. Pendidikan; d. Pembimbingan; e. Penghormatan harkat dan martabat manusia; f. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu satunya penderitaan; dan g. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.
Selain itu juga dalam usahanya mewujudkan dan memantapkan peran pembinaan yang baik maka dibentuklah Tim Pengamat Pemasyarakatan (untuk selanjutnya disebut dengan TPP) yang bertugas memberikan saran mengenai program pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). Dasar hukumnya tercantum di dalam Pasal 45 ayat 4 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang mempunyai tugas: a. Memberi saran mengenai bentuk dan program pembinaan dan pembimbingan dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan; b. Membuat penilaian atas pelaksanaan program pembinaan dan pembimbingan; atau c. Menerima keluhan dan pngaduan dari Warga Binaan Pemasyarakatan. Berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat 4 Undang-Undang No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan tersebut maka lahirlah Keputusan Menteri Kehakiman Nomor: M.02.PR.08.03 Tahun 1995 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pmasyarakatan Dan Tim Pengamat Pemasyarakatan. Menurut keputusan menteri tersebut dalam Bab III Bagian Pertama, Pasal 12 menentukan bahwa: a. TPP pusat berada di Direktorat jenderal Pemasyarakatan dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan; b. TPP wilayah berada di Kantor Wilayah Departemen 3
Hukum dan Perundangundangan dan bertanggung jawab kepada kepala kantor wilayah; c. TPP daerah berada di unit pelaksana teknis pemasyarakatan dan bertanggung jawab kepada masing-masing unit kepala teknis pemasyarakatan Pembinaan narapidana adalah suatu sistem, sebagai suatu sistem, maka maka pembinaan narapidana mempunyai beberapa komponen yang bekerja saling berkaitan untuk mencapai satu tujuan. Dalam sistem pemasyarakatan di Indonesia terdapat 3 (tiga) unsur yang sangat berperanan dalam proses pembinaan narapidana. Ketiga unsur tersebut adalah petugas lembaga, narapidana, dan masyarakat yang mana ketiga unsur tersebut merupakan suatu hubungan kesatuan yang tidak dapat dilepaskan satu sama lain. 1 Salah satu bentuk perwujudan kerja sama pada proses pembinaan narapidana dalam sistem pemasyarakatan yaitu dibentuknya TPP baik di tingkat Pusat, Wilayah maupun Daerah/Unit Pelaksana Teknis. Adapun permasalahan penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah peranan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dalam pelaksanaan pembinaan narapidana. (2) Apakah faktor-faktor penghambat Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dalam pelaksanaan pembinaan narapidana. Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis 1
R. Achmad S. Soema Dipradja dan Romli Atmasasmita, Sistim Pemasyarakatan di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1979, hlm. 24.
normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dimaksudkan sebagai upaya mencari kebenaran dengan mempelajari azasazas, peraturan-peraturan, teori-teori dan juga menelaah permasalahan dengan bersandarkan pada data lapangan atau kajian ilmu hukum, sedangkan pendekatan yuridis empiris dimaksudkan untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan dalam penelitian berdasarkan realitas yang ada. 2 Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung melalui penelitian yang dilakukan dilapangan dan hasil wawancara dengan pihak Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung, sedangkan data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai bahan hukum yang berhubungan dengan penelitian ini yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. II. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Peranan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Dalam Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Selama proses pemasyarakatan berjalan, narapidana menjalani berbagai pembinaan. Pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung proses pembinaan dimulai sejak tahap penerimaan dan seterusnya sampai narapidana lepas dari lembaga baik karena 2
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Pres, Jakarta, 1986, hlm. 51.
4
mendapatkan pelepasan bersyarat, cuti menjelang bebas, ataupun karena masa pidananya telah habis dijalani. Penanggung jawab dari proses pembinaan di lembaga pemasyarakatan adalah sebuah tim yang disebut Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) yang menggantikan fungsi dan kedudukan Dewan Pembina Pemasyarakatan (DPP) berdasarkan surat edaran tanggal 5 Oktober 1989 Nomor W.10.PK.04.10.10.1369 tentang penyesuaian istilah dari Dewan Pembina Pemasyarakatan atau DPP menjadi Tim Pengamat Pemasyarakatan atau TPP. Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dalam menjalankan tugas dan wewenangnya mengadakan sidangnya satu bulan sekali. Melalui sidang TPP inilah segala hal ikhwal tentang narapidana dan pembinaannya dibahas dan diputuskan, sehingga tidak berlebihan jika ditegaskan bahwa sidang TPP merupakan salah satu proses terpenting dalam rangka pembinaan narapidana. Pelaksanaan program pembinaan pada lembaga ini berdasarkan dua hal yaitu: a. Pembinaan secara umum Program pembinaan secara umum terhadap narapidana ini meliputi: 1. Pembinaan keagamaan 2. Pembinaan kepribadian dan budipekerti 3. Pendidikan umum 4. Pendidikan dan pembinaan ketrampilan 5. Pembinaan olah raga dan kesenian b. Pembinaan secara khusus
Pembinaan secara khusus ini pelaksanaannya dilalaui dengan empat tahap berdasarkan surat edaran No. K.P.10.13/3/1 tanggal 8 Februari 1965. Tahap pertama disebut tahap admisi orientasi, dimulai sejak narapidana masuk di dalam lembaga pemasyarakatan yang selanjutnya diadakan pengecekan ulang oleh petugas lembaga yang menerima. Pengecekan meliputi vonis hakim terhadap narapidana yang bersangkutan, apakah orang tersebut benar-benar orang yang mendapatkan pidana, pemeriksaan kesehatan, kemudian terhadap narapidana diadakan observasi yang menyeluruh mengenai hal ikhwal perihal sebab-sebab ia melakukan pelanggaran. Selanjutnya diadakan pengenalan terhadap narapidana tentang situasi dan lingkungan di dalam lembaga pemasyarakatan, termasuk penjelasan mengenai tata tertib, disiplin yang berlaku dalam lembaga, tata cara dan prosedur pengajuan keluhan dari narapidana. Pada tahap ini akan ditunjuk wali bagi narapidana yang bersangkutan, wali adalah pegawai lembaga yang ditunjuk oleh kepala lembaga. Untuk selanjutnya wali inilah yang menjadi pengawas dalam melakukan admisi orientasi, dimana ia bertugas untuk mencari keterangan dari narapidana tentang permasalahan narapidana selama di lembaga, mengenalkan narapidana dengan tempat/ lingkungan, menampung keluhan dan harapan narapidana serta melaporkan apa yang diperoleh dalam sidang TPP guna menentukan program pembinaan berikutnya. Tahap ini dijalani narapidana setelah menjalani 0-1/3 masa hukumannya. Tahap ini 5
merupakan dasar bagi pembinaan narapidana untuk selanjutnya, dalam arti kalau mereka (narapidana) bisa memanfaatkan dengan sebaikbaiknya masa ini dan sudah menunjukkan perilaku yang baik, maka untuk selanjutnya (tahap berikutnya) mereka tidak lagi terus menerus mendapatkan pengawasan dan pengamatan yang begitu ketat. Tahap kedua disebut tahap pembinaan diberikan setelah narapidana menjalani tahap pengenalan. Dalam tahap ini narapidana sudah diikutkan dalam kegiatan yang sudah ditentukan oleh petugas lembaga, tahap pembinaan diperoleh setelah narapidana sudah menjalani 1/3–1/2 dari masa hukumannya. Dalam tahap ini program pembinaannya lebih ditingkatkan lagi. Terhadap narapidana yang sudah menunjukkan cukup kemajuan, keinsyafan, perbaikan, disiplin dan patuh pada peraturan tata tertib yang berlaku, maka sistem penjagaan sudah bersifat medium security. Narapidana juga telah dapat diperbantukan untuk menyelesaikan tugas di lembaga sehari-hari, untuk dapat memasuki tahap pembinaan kedua ini disamping syarat lamanya masa tahanan yang sudah dijalani juga disyaratkan berkelakuan baik. Baik terhadap sesama narapidana maupun terhadap petugas di dalam lembaga. Tahap ke tiga disebut tahap asimilasi. Tahap ini diberikan kepada narapidana yang sudah menjalani 1/2 dari masa pidananya dan mendapatkan penilaian yang baik, maka atas persetujuan TPP pembinaan narapidana ditingkatkan lagi. Tahap asimilasi merupakan tahap pembauran, maksudnya tahap
ini diberikan kepada narapidana yang sudah siap mengadakan pembauran dengan masyarakat, narapidana mulai dikenalkan dengan kehidupan masyarakat di luar tembok lembaga, agar nantinya sudah terbiasa dengan masyarakat luar dan tidak terputus hubungannya. Bentuk asimilasi ini biasanya berupa memperkerjakan narapidana pada suatu perusahaan tertentu sesuai dengan ketrampilan yang dimiliki oleh narapidana yang didapatkan semasa dalam pembinaan. Bentuk asimilasi yang lain misalnya narapidana diperkenankan berolah raga dengan masyarakat luar atau mengizinkan melakukan ibadah di luar tembok lembaga seperti sholat Jum’at bagi yang beragama Islam, diikutsertakan dalam kegiatan sosial lainnya atau pemberian cuti. Namun untuk melakukan semua kegiatan ini narapidana masih tetap dalam pengawasan dan juga tetap diwajibkan kembali ke dalam lembaga pemasyarakatan setelah kegiatan selesai. Pemberian asimilasi ini dimaksudkan untuk nantinya saat narapidana selesai menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan dapat menjadi anggota masyarakat yang baik dan tidak lagi mengulangi perbuatannya yang pernah dilakukan. Tahap ke empat yaitu integrasi, tahap ini merupakan tahap terakhir dari proses pembinaan. Diberikan apabila narapidana telah menjalani 2/3 dari masa pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya dari 9 bulan, maka narapidana yang bersangkutan dapat diberikan lepas bersyarat apabila proses berjalan dengan baik dan lancar dan usulan lepas bersyarat disetujui oleh TPP. Pada tahap ini wadah atau tempat proses pembinaan berupa masyarakat luar yang luas, 6
sedangkan pengawasan dan bimbingan menjadi kurang sehingga akhirnya narapidana yang bersangkutan dapat hidup dalam keadaan yang telah menjadi positif dan merupakan suatu keutuhan, suatu integrasi. Tugas dan fungsi TPP yang sangat penting dan mendasar adalah sebagai faktor pendukung berjalannya proses pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan. TPP sebagai faktor pendukung berjalannya proses pembinaan memiliki kedudukan yang sangat penting. Kedudukan tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah, yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban tadi merupakan suatu peranan atau role dalam menjalankan tugas dan fungsinya bagi pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Menurut Soerjono Soekanto, suatu peranan tertentu dapat dijabarkan ke dalam unsurunsur sebagai berikut:3 1. Peranan yang ideal (ideal role). 2. Peranan yang seharusnya (expected role). 3. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role). 4. Peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role). Menurut Heru Suprijowinadi, peranan TPP dalam pelaksanaan pembinaan narapidana tergolong peranan yang seharusnya (expected role). Peranan TPP yang seharusnya adalah memberikan saran atau
pertimbangan pengamatan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan dalam rangka tugas pengamatan terhadap pelaksanaan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan . Adapun peranan ideal (ideal role) TPP dalam pelaksananaan pembinaan narapidana yaitu sebagai faktor pendukung berjalannya proses pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan belum tercapai karena pada kenyataannya TPP dalam melaksanakan tugas dan fungsinya banyak mendapat 4 hambatan. Berdasarkan wawancara penulis dengan Ahmad Sihabudin, mengatakan bahwa disamping melaksanakan peranan yang seharusnya (expected role), TPP Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung juga melaksanakan peranan yang diharapkan (perceived role). Peranan yang diharapkan dari TPP adalah melaksanakan pembinaan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan dengan cara: 5 1. Melakukan pengamatan terhadap pelaksanaan pemasyarakatan. 2. Melakukan pengawasan terhadap: a. Pemberian makanan narapidana. b. Ketahanan narapidana. c. Kebersihan terhadap tempat atau sel narapidana. d. Pemberian pakaian narapidana. 4
5
3
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hlm. 20.
Wawancara dengan Heru Suprijowinardi, Kabid Pembinaan dan Ketua TPP pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung. Pada tanggal 14 November 2012. Wawancara dengan Ahmad Sihabudin, Kasi Bimkes dan Sekretaris TPP pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung. Pada tanggal 14 November 2012.
7
e. Mengadakan rekreasi bagi narapidana. 3. Melakukan pengamatan terhadap keterampilan yang diberikan. Berdasarkan kedua pendapat di atas, penulis menganalisis bahwa peranan TPP dalam pelaksanaan pembinaan narapidana meliputi peranan yang seharusnya (expected role) dan peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role). Peranan TPP yang seharusnya adalah TPP sebagai tim yang bertugas memberi pertimbangan kepada pimpinan dalam rangka tugas pengamatan terhadap pelaksanaan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan sedangkan peranan yang dianggap oleh diri sendiri adalah TPP melaksanakan pembinaan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). B. Faktor-Faktor Penghambat Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dalam Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Nomor: M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan pada dasarnya telah memberikan landasan berpijak yang cukup kuat bagi TPP untuk berperan dalam pelaksanaan pembinaan. Namun pada kenyataannya dalam melaksanakan tugas dan fungsinya TPP pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung banyak mendapat hambatan. Hambatanhambatan tersebut antara lain:
1. Faktor Undang-Undang Bahwa semakin baik suatu peraturan hukum akan semakin memungkinkan penegakannya, sebaliknya semakin tidak baik suatu peraturan hukum akan semakin tidak efektif pula penegakannya. Secara umum, peraturan yang baik adalah peraturan hukum yang berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofis. Dalam kenyataannya di lapangan faktor perundang-undangan menjadi landasan atau dasar hukum bagi aparat penegak hukum dalam melakukan penerapan hukum. Menurut Heru Suprijowinardi, susunan keanggotaan TPP yang hanya diatur dalam Keputusan Menteri dirasa kurang mengikat bagi anggota lain diluar petugas pemasyarakatan sehingga anggota lain diluar petugas pemasyarakatan tersebut kurang memahami bahkan tidak merasa memiliki peran dalam proses pembinaan narapidana. Hakim Pengawas dan Pengamat atau yang disingkat dengan Hakim Wasmat selama ini tidak pernah melaksanakan tugas pengawasan dan pengamatan pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung sebagaimana yang diamanatkan dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana dalam Pasal 277 sampai dengan Pasal 283. Tidak aktifnya Hakim Wasmat tersebut membuat pihak Lembaga Pemasyarakatan tidak mencantumkan Hakim Wasmat dalam pembuatan Surat Keputusan TPP.6 6
Wawancara dengan Heru Suprijowinardi, Kabid Pembinaan dan Ketua TPP pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung. Pada tanggal 14 November 2012.
8
2. Faktor Penegak Hukum
3. Faktor Masyarakat
Negara hukum yang hanya dikonstruksikan sebagai bangunan hukum perlu dijadilan lebih lengkap dan utuh, untuk itu maka diperlukan struktur politik. Hukum hanya merupakan sebuah teks mati jika tidak ada lembaga yang menegakkan. Oleh karena itu, dibentuklah penegak hukum yang bersangkutan untuk menerapkan hukum.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dengan berbagai macam suku, adat dan agama. Masyarakat Indonesia yang bersifat non kooperatif dikarenakan adanya sikap yang kurang peduli dan acuh, rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya sosialisasi peraturan perundang-undangan dalam masyarakat.
Menurut Heru Suprijowinardi, salah satu faktor penghambat TPP Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung dalam melaksanakan tugas dan fungsinya adalah kurangnya koordinasi dengan instansi terkait. Hal ini dapat dilihat dengan adanya keterlambatan vonis dari pengadilan, keterlambatan surat keterangan dari Kejaksaan yang menyatakan bahwa narapidana yang bersangkutan tidak tersangkut perkara lain, serta kurangnya pemahaman Aparat Kelurahan/Desa tentang membuat Surat Pernyataan dan Surat Jaminan dari Keluarga Narapidana yang diketahui oleh Lurah/Kepala Desa setempat. Pengawasan dan bimbingan terhadap narapidana sebenarnya juga dilaksanakan oleh Petugas Balai Pemasyarakatan. Namun karena wilayah kerja Balai Pemasyarakatan terlalu luas, maka pengawasan dan bimbingan terhadap narapidana yang menjalani program integrasi tidak dapat dilakukan secara intensif. 7
Menurut Ahmad Walid ada beberapa narapidana yang jarang atau bahkan tidak pernah dikunjungi keluarganya sehingga istilah yang lazim disebut dengan anak hilang. Narapidana tidak diperhatikan lagi oleh keluarganya, sehingga syarat administratif berupa surat pernyataan kesanggupan tidak terpenuhi. Selain itu terdapat pihak keluarga ataupun masyarakat yang tidak mau menerima narapidana untuk sementara waktu dan menganggap lebih baik narapidana tersebut lebih lama di Lembaga Pemasyarakatan, hal yang demikian membuat kami harus berpikir bagaimana agar narapidana tersebut ada penjaminnya. 8
7
Wawancara dengan Heru Suprijowinardi, Kabid Pembinaan dan Ketua TPP pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung. Pada tanggal 14 November 2012.
Berdasarkan ketiga faktor di atas penulis menganalisis bahwa faktor penghambat TPP dalam pelaksanaan pembinaan narapidana terdiri dari 3 (tiga) faktor yaitu faktor hukumnya sendiri (Perundang-Undangan), faktor penegak hukum dan faktor masyarakat. Faktor hukumnya sendiri (Perundang-Undangan) yaitu susunan keanggotaan TPP yang 8
Wawancara dengan Ahmad Walid, Pembimbing Kemasyarakatan pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung. Pada tanggal 15 November 2012.
9
hanya diatur dalam Keputusan Menteri kurang mengikat bagi anggota lain di luar petugas lembaga pemasyarakatan, faktor penegak hukum yaitu kurang optimalnya kerja sama dengan instansi terkait, serta faktor masyarakat yaitu keluarga narapidana jarang mengunjungi bahkan tidak pernah mengunjungi narapidana sehingga syarat administratif tidak terpenuhi. III. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Peranan TPP dalam pelaksanaan pembinaan narapidana meliputi peranan yang seharusnya dan peranan yang dianggap oleh diri sendiri. Peranan TPP yang seharusnya adalah TPP sebagai tim yang bertugas memberi pertimbangan kepada pimpinan dalam rangka tugas pengamatan terhadap pelaksanaan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan sedangkan peranan yang dianggap oleh diri sendiri adalah TPP disamping memberikan saran mengenai program pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan di setiap Unit Pelaksana Teknis yang berhubungan dengan tahap pembinaan dan kepentingan lain, TPP juga melaksanakan pembinaan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan
a. Faktor hukumnya sendiri (Perundang-Undangan) yaitu susunan keanggotaan TPP yang hanya diatur dalam Keputusan Menteri kurang mengikat bagi anggota lain di luar petugas lembaga pemasyarakatan. b. Faktor penegak hukum yaitu kurang optimalnya kerja sama dengan instansi terkait. c. Faktor Masyarakat yaitu keluarga narapidana jarang mengunjungi bahkan tidak pernah mengunjungi narapidana sehingga syarat administratif tidak terpenuhi. Setelah melakukan pembahasan, maka saran-saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut: a. Diharapkan demi terwujudnya susunan anggota TPP yang utuh maka pengaturannya dimasukan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang nantinya dapat mengikat dan mengharuskan semua pihak untuk ikut aktif berperan dalam pelaksanaan pembinaan narapidana. b. Diharapkan demi terlaksananya pembinaan berdasarkan sistem pemasyarakatan maka hendaknya saran yang dibuat TPP adalah merupakan saran yang memang dapat dipertanggungjawabkan tidak hanya sekedar untuk memenuhi persyaratan suatu keputusan Kepala Lembaga Pemasyarakatan semata.
b. Faktor penghambat TPP dalam pelaksanaan pembinaan narapidana (Studi pada Lemabaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung) adalah sebagai berikut:
10
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Literatur Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia. Jakarta. . 2011. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali Pers. Jakarta. Soema di Pradja, R. Achmad S. dan Romli Atmasasmita. 1979. Sistem Pemasyarakatan di Indonesia. Binacipta. B. Perundang-Undangan Undang-Undang. Nomor 12 Tahun 1995. tentang Pemasyarakatan. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.01.PK.04.10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara. Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan RI Nomor: M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan.
11