PERANAN POLISI SEBAGAI PENYIDIK DALAM MELAKUKAN PENANGANAN TEMPAT KEJADIAN PERKARA
Ayudistra Nur Indah dan Meutia Megah Shinta
Abstract The Objective of this research is to find out the police’s role as an investigators in handling the crime scenes. This research used the normative law with the statute approaches. Its data were secondary ones in the form of primary legal materials. They were gathered through the library research by identifying the laws and the legal issues. Technical analysis of the data/legal materials based on the principle of logical consistency between legal principles related raw research problems. The result of the research indicated that the police’s rule are to enforce the law, to protect, guidance and services. It also came to the scene to carry out security checks and place the offense and closed all the roads from the people, and doing examinations and searches, if there is an evidence which they can used it to arrest the suspect. All of the actions taken by the law and not simply receive reports or complaints. Keywords : Police, Investigator, Crime Scenes Abstrak Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui peranan polisi sebagai penyidik dalam melakukan penanganan tempat kejadian perkara. Sumber data penelitian ini ialah data sekunder berupa bahan hukum primer. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dengan pendekatan perundang-undangan. Sumber data penelitian ini ialah data sekunder berupa bahan hukum primer. Teknik pengumpulan data ialah studi pustaka berupa identifikasi hukum dan isu hukum. Teknik analisis data/ bahan hukum didasarkan pada prinsip konsistensi logis antara asas-asas hukum baku terkait permasalahan penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan polisi sebagai penyidik adalah menegakkan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan. Selain itu juga untuk mendatangi tempat kejadian perkara melakukan pengamanan dan pemeriksaan ditempat kejadian tindak pidana serta menutup semua jalan-jalan keluar masuk orang dan kendaraan serta diikuti dengan tindakan melakukan pemeriksaan dan penggeledahan, bila ditemukan bukti dapat segera dilakukan penangkapan. Sehingga agar semua tindakan yang dilakukan berdasarkan hukum dan tidak begitu saja menerima laporan atau pengaduan. Kata Kunci : Polisi, Penyidikan, Tempat Kejadian Perkara
1
A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia adalah negara berdasarkan hukum yang demokratis, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bukan berdasarkan atas kekuasaan semata-mata. Muhammad Kusnardi dan Bintan Saragih berpendapat bahwa : “negara hukum menentukan alat-alat perlengkapan yang bertindak menurut dan terikat kepada peraturan-peraturan yang ditentukan terlebih dahulu oleh alat-alat perlengkapan yang dikuasakan untuk mengadakan peraturan-peraturan itu, adapun ciri-ciri khas bagi suatu negara hukum adalah : 1. Pengakuan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia; 2. Peradilan yang bebas dari pengaruh sesuatu kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak; 3. Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya” (Andi Hamzah, 1986: 13) Sebagai bentuk dari perwujudan Indonesia merupakan negara hukum maka dibuatlah peraturan perundang-undangan yang salah satu dari perundang-undangan tersebut adalah Kitab undang-undang hukum acara pidana yang mengatur bagaimana cara beracara dalam hukum pidana. Yang mana menurut buku pedoman pelaksanaan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa “tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerpakan ketentuan hukum secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya minta pemeriksaan dan putusan pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”. (Waluyadi, 1995: 15) Hal tersebut berdasarkan pemikiran bahwa dalam praktek hukum / praktek penegakan hukum ternyata bahwa pejabat penyidik pada saat mulai mengayunkan langkah pertamanya dalam melakukan penyidikan maka secara otomatis dan secara langsung sudah terikat dengan ketentuan-ketentuan
2
pembuktian yang diatur dalam KUHAP. Bahkan yang menjadi target penting dalam kegiatan penyidikan adalah upaya mengumpulkan alat-alat pembuktian untuk membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi. Demikian pula dalam hal penyidik menentukan seseorang berstatus tersangka, setidak-tidaknya penyidik harus sudah menguasai alat pembuktian yang disebut sebagai bukti permulaan, selanjutnya apabila penyidik sudah melakukan upaya paksa, misalnya penahanan terhadap orang yang dianggap sebagai pelaku tindak pidana maka tindakan penyidik tersebut paling kurang harus didasarkan pada bukti yang cukup. Jadi, meskipun kegiatan upaya pembuktian yang paling penting dan menentukan itu adalah pada tingkat pemeriksaan perkara dimuka sidang pengadilan namun upaya pengumpulan sarana pembuktian itu sudah berperan dan berfungsi pada saat penyidik mulai melakukan tindakan penyidikan. Sehingga apabila pejabat penyidik dalam melakukan penyidikan kurang memahami atau tidak memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan sarana pembuktian maka tindakan penyidik yang dilakukan akan mengalami kegagalan (HMA Kuffal, 2008: 13-14). Jika dilihat dari tujuan hukum acara pidana tersebut diatas, maka yang dicari adalah kebenaran yang materiil yakni kebenaran yang hakiki atau yang sebenar-benarnya dan terbukti bersalah yang didapat berdasarkan buktibukti yang ada dan selengkap-lengkapnya dan bukan dari sekedar formil apalagi hanya dengan pengakuan dari tersangka/terdakwa yang tidak didasarkan bukti-bukti yang lain karena bisa saja yang mengaku tersebut bukan merupakan pelaku yang sebenarnya dan jika dikaitkan dengan penulisan yang disusun oleh penulis tentang peranan polisi sebagai penyidik dalam mencari bukti pada proses penanganan tempat kejadian perkara untuk mencari kebenaran materil itu harus didapat dari bukti-bukti yang ada pada tempat kejadian perkara yang merupakan tempat terjadinya suatu tindak pidana yang mana dalam hal ini polisi sebagai penyidiklah yang berkewajiban untuk mencari dan menemukan bukti-bukti sehingga menjadi terang tentang suatu peristiwa yang diduga merupakan suatu tindak pidana.
3
Namun dengan perkembangan kemajuan jaman yang semakin terus berkembang begitu juga dengan tindakan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan, guna menghilangkan perbuatannya. Tentulah semakin canggih
pula
tindakan
pelaku
kejahatan
untuk
mengaburkan
atau
menghilangkan benda-benda atau bukti yang digunakan oleh pelaku kejahatan dalam melakukan suatu tindak pidana sehingga pelaku kejahatan dapat terbebas dari jeratan hukum, dari hal demikian maka bagi penyidik untuk mencari dan menemukan apakah telah terjadi suatu tindak pidana pada suatu peristiwa yang diduga merupakan suatu tindak pidana tersebut diperlukan ketelitian dan kecermatan. Adapun hal yang menarik tentang peranan penyidik dalam mencari bukti pada proses penanganan tempat kejadian perkara adalah banyaknya selama ini tindakan kejahatan yang sulit untuk diungkapkan sehingga dibutuhkan suatu upaya untuk mengungkapkan tindakan kejahatan tersebut, sehingga bagaimana upaya penyidik untuk mengetahui serta menemukan bukti tersebut dan salah satu upaya dari penyidik adalah dengan cara pengolahan tempat kejadian perkara yang merupakan bagian dari suatu proses penanganan tempat kejadian perkara. Sebagai contoh : telah terjadi suatu peristiwa yang diduga merupakan suatu pembunuhan, yang mana pada saat kejadian pembunuhan tersebut tidak ada saksi yang melihat, ataupun mendengar kejadian tersebut, dan kejadian tersebut baru diketahui setelah beberapa saat oleh masyarakat dan kemudian masyarakat melaporkan kejadian tersebut ke polisi, sesampainya ditempat kejadian perkara penyidik hanya menemukan korban yang telah menjadi mayat dengan tubuh penuh dengan luka tikaman dan lebam-lebam dengan jejak-jejak kaki yang diduga merupakan jejak kaki dari pelaku. Dengan ketiadaan saksi yang melihat kejadian tersebut tentulah menyulitkan bagi pihak kepolisian untuk segera mencari dan menangkap pelakunya, sehingga untuk memecahkan masalah tersebut, dibutuhkan suatu proses pengolahan tempat kejadian perkara guna mencari dan menemukan
4
bukti-bukti yang ada kaitannya dengan kejadian tersebut dan merupakan langkah awal dari penyidikan, sehingga dengan adanya bukti tersebut dapat mengarahkan penyidik untuk menyidik kejadian pembunuhan agar menjadi terang sehingga dapat menemukan pelakunya beserta cara dan maksud dari pelaku melakukan pembunuhan tersebut. Guna kepentingan penyidikan, yang mana dari hasil bukti-bukti yang didapat di lapangan, dapat diketahui apakah pembunuhan tersebut merupakan pembunuhan biasa ataupun pembunuhan yang telah direncanakan sehingga akan menentukan pasal apakah yang nantinya akan dipergunakan oleh penuntut umum dalam menuntut terdakwa. Sehingga dengan dilakukannya penanganan tempat kejadian perkara oleh penyidik diharapkan dapat menentukan suatu peristiwa yang diduga suatu tindak pidana menjadi terang yakni apakah memang benar peristiwa tersebut merupakan suatu tindak pidana ataupun bukan merupakan suatu tindak pidana yang mana dapat dibuktikan dari hasil penyidikan yang ditemukan pada waktu proses penanganan tempat kejadian perkara. Dimana sewaktu perkara tersebut telah dilimpahkan kepada pihak kejaksaan, perkara tersebut telah memenuhi bukti yang cukup dan menjadikan bukti yang didapat dari hasil pengolahan tempat kejadian perkara tersebut yang akan menguatkan keyakinan hakim dipersidangan untuk menjatuhkan vonis bersalah kepada terdakwa sebagaimana yang terdapat dalam pasal 183 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut : “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Dan apabila dari hasil penyidikan tersebut tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka jika diajukan kedepan pengadilan. Atas dasar kesimpulan ketidakcukupan bukti inilah penyidik berwenang untuk menghentikan penyidikan. Ataupun apabila dari hasil penyidikan dan pemeriksaan, penyidik berpendapat apa yang disangkakan
5
terhadap tersangka bukan merupakan perbuatan melanggar dan kejahatan, dalam hal ini berwenang untuk menghentikan penyidikan (M. Yahya Harahap, 2009: 151). Sebagaimana berdasarkan pasal 109 ayat (2) KUHAP tentang alasan penghentian penyidikan yakni : “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.” Dengan melihat begitu pentingnya suatu alat bukti yang nantinya akan menentukan apakah seseorang bersalah atau tidak dihadapan persidangan maka penanganan tempat kejadian perkara sangat dibutuhkan pada suatu tindak pidana agar tidak terjadi kekeliruan ataupun kesalahan dari mulai penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai putusan.
B. Dasar Hukum Penyidik Untuk Melakukan Penanganan Tempat Kejadian Perkara Setiap dalam melakukan tugasnya polisi (dalam hal ini adalah penyidik) harus selalu bertindak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga tidak boleh melakukan sesuatu hanya dengan sewenang-wenang saja dan tidak boleh melanggar hak asasi manusia, sebagaimana yang tercantum didalam pasal 1 ayat (1) KUHP menyatakan “tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah ada terlebih dahulu daripada perbuatannya itu sendiri”. (P.A.F. Lamintang, 2001: 123) Oleh karena itu dalam melakukan penanganan tempat kejadian perkara guna mencari dan mengumpulkan bukti-bukti yang ada ditempat kejadian perkara penyidik juga harus berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku seperti pasal 7 dan 111 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yakni Pasal 7 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa : (1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang :
6
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; 2. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian; 3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; 4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; 5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; 6. Mengambil sidik jari dan memotret orang; 7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; 8. Mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; 9. Mengadakan penghentian penyidikan; 10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Pasal 111 KUHAP menyatakan bahwa : 1. Dalam hal tertangkap tangan setiap orang berhak, sedangkan setiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketentraman dan keamanan umum wajib menangkap tersangka guna diserahkan beserta atau tanpa barang bukti kepada penyelidik atau penyidik. 2. Setelah menerima penyerahan tersangka sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penyelidik wajib segera melakukan pemeriksaan dan tindakan lain dalam rangka penyidikan. 3. Penyelidik dan penyidik yang telah menerima laporan tersebut segera datang ketempat
kejadian
dapat
melarang
setiap
orang untuk
meninggalkan tempat itu selama pemeriksaan diatas belum selesai. 4. Pelanggar larangan tersebut dapat dipaksa tinggal di tempat itu sampai pemeriksaan dimaksud diatas selesai. Di dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pasal 15 ayat (1) menyebutkan bahwa dalam
7
rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang : 1. Menerima laporan dan/atau pengaduan; 2. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum; 3. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; 4. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; 5. Mengeluarkan
peraturan
kepolisian
dalam
lingkup
kewenangan
administratif kepolisian; 6. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; 7. Melakukan tindakan pertama ditempat kejadian; 8. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; 9. Mencari keterangan dan barang bukti. Serta pada pasal 16 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia
menyatakan
dalam
rangka
menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 dan 14 yaitu: 1. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; 2. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; 3. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; 4. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; 5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; 6. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; 7. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; 8. Mengadakan penghentian penyidikan;
8
9. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; 10. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menyangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; 11. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Serta guna melindungi penyidik dari jeratan pidana dalam menjalankan tugas dan kewajibannya yang berdasarkan perundang-undangan yang berlaku maka pada pasal 50 KUHP menyatakan “barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan perundang-undangan, tidak dipidana”, dan pasal 51 ayat (1) KUHP “barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang wenang, tidak dipidana” serta pada pasal 51 ayat 2 KUHP menyatakan “perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wenang dan pelaksananya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya”. Untuk dapat melepas orang yang diperinteh dari tanggung jawab atas perbuatannya menurut ayat tersebut ada 2 syarat. Pertama : yang subjektif, yaitu dalam batin orang yang diperintah harus mengira bahwa perintahnya adalah sah, baik dilihat dari segi pejabat yang mengeluarkan perintah, maupun dari segi macamnya perintah. Tentu saja kesimpulan kearah ini harus berdasarkan atas fakta-fakta yang masuk akal sebab
meskipun terdakwa mengatakan dia mengira bahwa perintah
adalah sah, tetapi kalau hal itu dengan wajar tidak dapat disimpulkan dari fakta-fakta yang ada maka disitu unsur dengan itikad baik tidak ada. Kedua : kalau ada fakta – fakta yang ada, adalah masuk akal jika terdakwa mengira bahwa perintah adalah sah, atau wewenang maka apa yang diperintahkan itu secara objektif yaitu dalam kenyataannya harus masuk
9
dalam lingkungan pekerjaannya (Moeljatno, 2008: 163). Untuk melaksanakan perintah yang diamanatkan didalam peraturan perundang-undangan tersebut diatas serta berdasarkan pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara republik Indonesia yakni “kapolri menetapkan, menyelenggarakan dan mengendalikan kebijakan teknis kepolisian” sehingga kapolri sebagai pimpinan tertinggi di dalam institusi polri dalam melakukan tugas dan wewenangnya dapat mengeluarkan surat keputusan kapolri. Dari surat keputusan kapolri tersebutlah aparat polisi yang ada di bawah jajarannya melakukan tugas dan kewajibannya berdasarkan instruksi yang ada. Adapun tentang proses penyidikan tindak pidana masih menggunakan Surat Keputusan Kapolri No. Pol : Skep/1205/IX/2000 tanggal 11 September 2000 tentang
Bujuklap,
Bujuknis,
dan
Bujukadministrasi
tentang
Proses
Penyidikan Tindak Podana yang menggantikan Surat Keputusan Kapolri No. Pol : Juklak dan Kunis/04/II/1982 tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana sebagai buku petunjuk dan teknis penyidikan dalam melakukan penyidikan dan salah satu bagiannya mengatur tentang proses penanganan tempat kejadian perkara.
C. Penanganan Tempat Kejadian Perkara sebagai Bagian dari Tahap Penyidikan Tempat kejadian perkara disingkap TKP merupakan bagian pokok dari pangkal pengungkapan perkara pidana karena ditempat kejadian perkara dapat ditemukan interaksi antara pelaku kejahatan (tersangka) alat bukti yang digunakan dan saksi / korban kejahatan, pada saat terjadinya peristiwa pidana (Surat Keputusan Kapolri, 2000:77) sehingga diperlukan suatu proses pemeriksaan tempat kejadian perkara yang merupakan bagian dari tahap penyidikan. Pasal 7 ayat (1) huruf b KUHAP mengatakan bahwa penyidik berwenang melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian perkara. Dimana menurut P.A.F. Lamintang yang dimaksud dengan melakukan tindakan pertama ditempat kejadian adalah melakukan segala macam tindakan yang oleh penyidik dipandang perlu untuk :
10
1. Menyelamatkan nyawa korban atau harta kekayaan orang; 2. Menangkap pelakunya apabila pelaku tersebut masih berada dalam jangkauan penyidik untuk segera ditangkap; 3. Menutup tempat kejadian bagi siapapun yang kehadirannya disitu tidak diperlukan untuk menyelamatkan korban, untuk menyelamatkan harta kekayaan orang atau untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan dengan maksud agar tempat kejadian itu tetap berada dalam keadaan yang asli untuk memudahkan penyelidikan dan penyidikan; 4. Menemukan, menyelamatkan, mengumpulkan dan mengambil barang-barang bukti serta bekas-bekas yang dapat membantu penyidik untuk mendapatkan petunjuk tentang identitas pelaku, tentang cara dan alat yang telah digunakan oleh pelakunya dan untuk melemahkan alibi yang mungkin saja akan dikemukakan oleh tersangka apabila ia kemudian berhasil ditangkap; 5. Menemukan saksi-saksi yang diharapkan dapat membantu penyidik untuk memecahkan persoalan yang sedang ia hadapi, dan memisahkan saksi-saksi tersebut agar mereka itu tidak dapat berbicara satu dengan yang lain, dan lain-lain. (P.A.F. Lamintang, 2010: 75-76) Serta menurut P.A.F. Lamintang yang dimaksud dengan tempat kejadian itu ialah tempat dimana telah dilakukan sesuatu tindak pidana, lebih lanjut beliau menyatakan pula dalam melakukan tindakan pertama ditempat kejadian penyidik perlu menyadari akan pentingnya beberapa hal berikut : 1. Bahwa bukti-bukti dan berkas-berkas ditempat kejadian perkara sangat mudah hilang dan rusak, karena terinjak kedalam tanah, tertendang oleh kaki ketempat-tempat yang tidak disangkasangka, tersentuh oleh tangan atau benda-benda lain; 2. Bahwa sudah dapat dipastikan para pelaku sesuatu tindak pidana itu akan meninggalkan bukti-bukti dan bekas-bekas ditempat kejadian perkara, karena itu mereka tidak mungkin dapat
11
menghilangkan semua bekas yang telah mereka buat ditempat kejadian perkara karena ingin lekas meninggalkan tempat tersebut, kecuali apabila tindak pidana yang mereka lakukan itu telah direncanakan secara sempurna sekali; 3. Bahwa tidak ada satupun barang bukti atau bekas yang terdapat ditempat kejadian itu yang tidak berguna untuk mengungkapkan peristiwa yang telah terjadi dan untuk menyelidiki siapa pelakunya; 4. Bahwa berhasil tidaknya seorang penyidik mengunkap peristiwa yang telah terjadi atau dapat mengetahui siapa pelaku tindak pidana yang telah terjadi itu tergantung pada berhasil tidaknya penyidik
tersebut
menemukan,
mengumpulkan
dan
mengamankan barang-barang bukti atau bekas yang telah ditinggalkan oleh pelakunya ditempat kejadian perkara; 5. Bahwa harus dijaga agar tidak satupun benda yang terdapat di tempat kejadian perkara itu disentuh, dipindahkan atau diangkat dari tempatnya semula oleh siapapun sebelum benda-benda itu dipotret, digambar dalam satu sketsa mengenai tempat dimana benda tersebut dijumpai, dicatat mengenai tempat ditemukannya benda tersebut, letaknya, keadaannya, dan lain-lain untuk memudahkan pembuatan berita acara mengenai penemuan itu sendiri; 6. Bahwa pada semua benda yang ditemukan ditempat kejadian itu harus diberikan tanda-tanda tertentu dan pemberian tanda-tanda itu harus dicatat oleh penyidik dan diusahakan agar pemberian tanda-tanda itu jangan sampai merusak tanda-tanda atau bekasbekas yang telah ada pada benda-benda tersebut. (Harun M. Husein, 1991: 105-106) Andi Hamzah mengingatkan tentang tempat kejadian perkara sebagai berikut “ penyidik waktu melakukan pemeriksaan pertama kali ditempat kejadian perkara sedapat mungkin tidak mengubah, merusak
12
keadaan ditempat kejadian agar bukti-bukti idak hilang atau menjadi kabur. Hal ini dimaksudkan agar sidik jari begitu pula bukti-bukti yang lain seperti jejak kaki, bercak darah, air mani, rambut, dan sebagainya tidak hapus atau hilang.” Sebagai contoh perubahan ditempat kejadian perkara merugikan usaha penyidik, Andi Hamzah mengemukakan kejadian sebagai berikut : suatu kejadian yang menggemparkan terjadi di Jakarta yakni pembunuhan Nyonya Sari Dewi Hadiati di siang hari di Hotel Sahid Jaya pada tanggal 4 April 1983, pemeriksaan ditempat kejadian perkara kurang membawa titik terang terungkapnya pembunuhan itu karena petugas keamanan hotel tersebut telah memindahkan barang-barang bukti sehingga sidik jari pelaku terhapus. Mengingat pentingnya penanganan tempat kejadian perkara tindakan tersebut dalam penyidikan. Dalam praktek biasanya penanganan tempat kejadian perkara melibatkan team dari unsur-unsur sabhara, reserse, dokumentasi/fotografi dan dactiloscopy. Bahkan terkadang melibatkan pula unsur diluar dari kepolisian seperti dokter dan para medis (Harun M. Husein, 1991: 108). Adapun tujuan dari penanganan tempat kejadian perkara sebagai bagian dari tahap penyidikan adalah : 1. Menjaga agar tempat kejadian perkara tetap utuh/tidak berubah sebagaimana pada saat dilihat dan diketemukan petugas yang melakukan tindakan pertama ditempat kejadian perkara. 2. Untuk
memberikan
pertolongan/perlindungan
kepada
korban/anggota masyarakat yang memerlukan, sambil menunggu tindakan pengolahan tempat kejadian perkara. 3. Untuk melindungi agar barang bukti dan jejak yang ada tidak hilang, rusak atau terjadi penambangan/pengurangan dan berubah letaknya, yang berakibat menyulitkan/mengaburkan pengolahan
tempat
kejadian
perkara
dalam
melakukan
penyelidikan secara ilmiah.
13
4. Untuk memperoleh keterangan dan fakta sebagai bahan penyidikan lebih lanjut dalam mencari, menemukan dan menentukan pelaku, korban, saksi-saksi, barang bukti, modus operandi,
dan
alat
yang
dipergunakan
dalam
upaya
pengungkapan tindak pidana.
D. Peranan Penyidik dalam melakukan Penanganan Tempat Kejadian Perkara Fungsi utama dari polisi adalah menegakkan hukum dan melayani kepentingan masyarakat umum, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tugas polisi adalah melakukan pencegahan terhadap kejahatan dan memberikan perlindungan kepada masyarakat, selain itu juga, secara formal tugas polisi memainkan peranan penting dalam mekanisme sistem peradilan pidana, yaitu dengan memproses tersangka pelaku kejahatan, dan mengajukan ke proses penuntutan di pengadilan. Secara umum peranan polisi sebagaimana yang terdapat pada pasal 13 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah 1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, 2. Menegakkan hukum, 3. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat. Sehubungan dalam hal menegakkan hukum sebagai salah satu pelaksanaan dari tugas pokok tersebut yaitu ketika menjalankan tugasnya sebagai penyidik selain tugas lain yang berkaitan dengan memberikan pelayanan masyarakat sesuai dengan kepentingan dalam ruang lingkup tugas kepolisian. Sebagai penyidik, polisi berperan untuk melakukan penyidikan yakni sebagaimana yang terdapat pada pasal 1 ayat (2) KUHAP bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Sehingga kaitannya dalam melakukan penanganan tempat kejadian perkara adalah penyidik berperan untuk melakukan
14
penyidikan yang dalam penyidikan tersebut berguna untuk mencari bukti dan membuat terang terhadap suatu tindak pidana. Dan untuk dapat menemukan dan mencari peristiwa yang diduga tindak pidana dan untuk dilakukan tindakan penyidikan. Setelah dilakukan tindakan penyelidikan dan memang benar tindakan tersebut adalah suatu tindak pidana maka statusnya ditingkatkan menjadi penyidikan. Dari tindakan tersebut maka dapat diketahui korban, pelaku dan barang bukti dari tindak pidana yang terjadi. Dimulai suatu penyidikan yang dilakukan oleh penyidik yakni karena terjadinya suatu tindak pidana, dan diketahuinya suatu tindak pidana salah satunya berdasarkan laporan atau pengaduan dari seseorang ataupun kejadian tersebut diketahui sendiri oleh penyidik. Sebelum dibahas lebih dalam, ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu perbedaan laporan dengan pengaduan. Istilah laporan menurut pasal pasal 1 butir 24 KUHAP adalah “suatu pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak dan kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah ada sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana”. Menurut KUHAP laporan harus disampaikan kepada polisi, selaku penyidik yang mempunyai dua bentuk yakni : 1. Lisan, yaitu laporan yang disampaikan secara lisan dicatat oleh penyidik, setelah laporan itu selesai dicatat, penyidik lalu membacakannya atau menyuruh baca pelapor dan setelah disetujui oleh pelapor lalu ditandatangani oleh pelapor dan penyidik. Untuk itu penyidik wajib memberikan surat tanda penerimaan laporan kepada pelapor (pasal 108 auay (6) KUHAP) 2. Tertulis, yaitu laporan yang disampaikan secara tertulis kepada penyidik dan untuk itu penyidik mengagendakannya dan selanjutnya kepada pelapor diberikan oleh penyidik surat tanda penerimaan laporan tersebut.
15
E. Penutup 1. Kesimpulan Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa suatu laporan adalah suatu pemberitahuan secara resmi kepada penyidik baik secara lisan maupun tertulis tentang telah, sedang, atau akan terjadinya suatu tindak pidana. Sedangkan istilah pengaduan adalah pemberitahuan baik lisan maupun tertulis disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seseorang yang telah melakukan peristiwa pidana. Dalam hal dimulainya suatu penyidikan berdasarkan dari laporan atau pengaduan dari seseorang, setelah menerima laporan atau pengaduan tentang telah terjadinya suatu tindak pidana, peranan polisi sebagai penyidik selanjutnya guna menegakkan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan adalah seketika itu juga untuk mendatangi tempat kejadian perkara melakukan pengamanan dan pemeriksaan ditempat terjadinya tindak pidana serta menutup semua jalan-jalan keluar masuk orang dan kendaraan serta diikuti dengan tindakan melakukan pemeriksaan dan penggeledahan, bila ditemukan bukti dapat segera dilakukan penangkapan. Sehingga agar semua tindakan yang dilakukan tersebut diatas berdasarkan hukum dan tidak begitu saja menerima laporan atau pengaduan dan setelah mendatangi tempat kejadian tindak pidana dengan melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut: 1. Melakukan pengamanan tempat kejadian perkara tindak pidana dengan memasang police line (garis polisi) yang berfungsi melarang siapapun yang kedalam police line kecuali penyidik. 2. Tim penyidik mencari dan menemukan barang bukti yang berada ditempat kejadian perkara serta mengumpulkan barang bukti sesuai dengan petunjuk teknis pengumpulan bukti yang berada di dalam tempat kejadian perkara.
16
3. Melakukan pemotretan pada tempat kejadian perkara terhadap barang bukti yang masih belum dipindahkan, korban bila sudah mati sesuai dengan ketentuan teknis pemotretan ditempat kejadian perkara. 4. Meminta
keterangan
kepada
orang-orang
yang
melihat,
mendengar dan mengalami sendiri terjadinya peristiwa tindak pidana. 5. Melakukan penangkapan tersangka bila terdapat ditempat kejadian perkara. Peranan penyidik dalam melakukan penyidikan dalam penanganan setelah melakukan hal-hal tersebut diatas, dan untuk mengakhiri proses penanganan tempat kejadian perkara adalah membuat berita acara yang berkaitan dengan apa saja yang dilakukan oleh penyidik dalam mencari bukti ditempat kejadian perkara dan meneruskan hasil tersebut guna proses penyidikan selanjutnya. 2. Saran a. Sebaiknya dilakukan penyuluhan terhadap masyarakat secara berkala akan pentingnya penanganan tempat kejadian perkara sehingga masyarakat
dapat
bekerjasama dengan pihak penyidik untuk
memperoleh hasil yang maksimal dalam proses penanganan tempat kejadian perkara. b. Melakukan pendidikan tentang penanganan tempat kejadian perkara bagi penyidik dan memenuhi sarana dan prasarana dalam melakukan penanganan tempat kejadian perkara dengan demikian diharapkan akan dapat mengurangi kendala penyidik dalam mencari bukti dan membuat terang terjadinya suatu tindak pidana melalui proses penyidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
17
Hamzah, Andi. 1986. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta : Ghalia Indonesia. _____________. 2008. Terminologi Hukum Pidana. Jakarta : Sinar Grafika Harun M. Husein. 1991. Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana. Jakarta : Rineka Cipta HMA. Kuffal. 2008. Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum. Malang : UMM. Press KUHP dan Penjelasannya KUHAP dan Penjelasannya Marzuki, Peter Mahmud. 2013. Penelitian Hukum (edisi revisi). Jakarta : Prenada Media Group. Moeljanto. 2008. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Rineka Cipta P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang. 2010. Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi. Jakarta : Sinar Grafika Surat Keputusan Kapolri No. Pol : Skep/1205/IX/2000 tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana. Waluyadi. 1999. Pengetahuan Dasar Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta : Ghalia Indonesia
Korespondensi : 1. Nama
: Ayu Distra Nur Indah
Alamat
: Kagokan RT 02/RW 11 Pajang Laweyan Surakarta
E-mail
:
[email protected]
No. Telp
: 085741881829
2. Nama
: Meutia Megah Shinta
Alamat
: Jagalan RT 02/RW 05 Bumi Laweyan Surakarta
E-mail
:
[email protected]
No. Telp
: 082137053613
18