PERANAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (TRAFICKING) Windy Astria, Mahasiswa Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Email:
[email protected], Erna Dewi, Eko Raharjo, Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung Jalan Soemantri Brojonegoro Nomor 1 Bandar Lampung 35145. Abstrak Jaksa pada dasarnya merupakan pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Jaksa Penuntut Umum memiliki peran penting dalam penanganan tindak pidana, termasuk tindak pidana perdagangan orang. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah peranan jaksa penuntut umum dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan orang (traficking)? (2) Apakah faktor-faktor yang menghambat peranan jaksa penuntut umum dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan orang (traficking)? Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Peranan jaksa penuntut umum dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan orang (traficking) pada dasarnya sama dengan jenis tindak pidana lainnya, yaitu melaksanakan penuntutan setelah menerima berkas atau hasil penyidikan dari penyidik kepolisian. Kejaksaan menunjuk seorang jaksa untuk mempelajari dan menelitinya yang kemudian hasil penelitiannya diajukan kepada Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari). Hasil penyidikan yang telah lengkap dan dapat diajukan ke pengadilan Negeri. Dalam hal ini Kajari menerbitkan surat penunjukan Penuntutan Umum. Penuntut umum membuat surat dakwaan dan setelah surat dakwaan selesai kemudian dibuatkan surat pelimpahan perkara yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri. (2) Faktor-faktor yang menghambat peranan jaksa penuntut umum dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan orang (traficking) adalah: a) Faktor aparat penegak hukum, yaitu masih kurangnya optimalnya pelaksanaan tugas kejaksaan disebabkan karena berkas penyidikan tindak pidana perdagangan orang (traficking) dari pihak kepolisian yang belum lengkap sehingga harus menunggu kelengkapan berkas dari pihak kepolisian. b) Faktor Sarana dan Prasarana, yaitu belum tersedianya program jaringan komputer antar Kejaksaaan Tinggi yang berisi database tindak pidana perdagangan orang (traficking) c) Faktor Masyarakat, yaitu adanya ketakutan atau keengganan masyarakat untuk menjadi saksi dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang (traficking). Kata Kunci: Peranan, Jaksa Penuntut Umum, Perdagangan Orang
THE ROLE OF PUBLIC PROSECUTOR IN HANDLING TRAFFICKING CRIME CASE
Abstract Attorney is basically a functional official authorized by law to act as a public prosecutor and the implementation of court decisions that have permanent legal force and other powers under the legislation. Attorney General has an important role in the handling of criminal offenses, including human trafficking crime. The problem in this study were: (1) How is the role of the public prosecutor in handling trafficking criminal cases? (2) What factors are inhibiting the role of the public prosecutor in handling trafficking criminal cases? Research results and discussion indicate: (1) The role of the public prosecutor in handling criminal cases of trafficking is basically the same as other types of criminal offenses, which carry out the prosecution after receiving the file or the results of the investigation of the police investigators. Attorney to appoint a prosecutor to examine the study and then study the results submitted to the Chief State Attorney or prosecutor's office. The results of the investigation are complete and can be submitted to the District Court. In this case the district attorney issued a letter designation of Public Prosecutions. The public prosecutor indicted and after the indictment is completed then made the transfer case letter addressed to the District Court. (2) The factors that inhibit the role of the public prosecutor in handling criminal cases of trafficking are: a) factors law enforcement officers, which is still a lack of optimal implementation of the prosecutor's duties due to file criminal investigations of human trafficking of the police are not yet complete so that have to wait completeness of the police. b) Infrastructures factors, namely the unavailability of computer networking programs between High Prosecutor's Office that contains a database of human trafficking c) Factors Society, which is the fear or reluctance of people to be witnesses in the process of law enforcement against human trafficking.
Keywords: Roles, Public Prosecutor, Trafficking
I. Pendahuluan Perdagangan orang (traficking) terutama terhadap perempuan dan anak merupakan pengingkaran terhadap kedudukan setiap orang sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat yang mulia sekaligus melanggar hak asasi manusia, sehingga harus dicegah. Traficking terhadap perempuan dan anak telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan telah mengancam tatanan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta norma-norma yang telah dilandasi dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Perdagangan orang merupakan jenis tindak pidana yang melanggar harkat dan martabat kemanusiaan, oleh karena itu aparat penegak hukum melaksanakan peran dan fungsinya masing-masing dalam sistem peradilan pidana untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila
dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang memiliki peranan yang besar dalam penyelengaraan kehidupan berbangsa dan bernegara untuk menjamin kepentingan mayoritas masyarakat atau warga negara, terjaminnya kepastian hukum sehingga berbagai perilaku kriminal dan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan anggota masyarakat atas anggota masyarakat lainnya akan dapat dihindarkan. Penegakan hukum dapat mengantisipasi berbagai penyelewengan pada anggota masyarakat dan adanya pegangan yang pasti bagi masyarakat dalam menaati dan melaksanakan hukum dan merupakan keharusan untuk melihat penegakan hukum dalam suatu sistem peradilan pidana. Aparat penegak hukum dalam hal ini melaksanakan peran dan fungsinya masing-masing dalam sistem peradilan pidana untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan pelaku kejahatan untuk tidak mengulangi lagi kejahatannya. Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian
kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Penyelenggaan penegakan hukum pidana melibatkan badan-badan yang masingmasing memiliki fungsi sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sitematik ini tindakan badan yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya. Setiap instansi tersebut menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya. Pandangan penyelenggaran tata hukum pidana di Indonesia merupakan alur yang tidak terputus, yaitu dilaksanakan oleh polisi dengan penyidikan dan meneruskan perkaranya ke kejaksaan dan kejaksaan melakukan penuntutan di muka pengadilan. Hal di atas adalah bagianbagian dari kegiatan dalam rangka penegakan hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut crime control suatu prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa tindakan-tindakan itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. 1 Salah satu komponen aparat penegak hukum yang melaksanakan upaya penanggulangan tindak pidana korupsi adalah Kejaksaan. Hal ini sesuai dengan salah satu substansi penting Amandemen UUD 1945 yaitu mempertegas Undang1
Mardjono Reksodiputro. Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi. Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum. Jakarta.1994. hlm.76
Undang Nomor 4 Tahun 2004 jo Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 38 yang menyatakan bahwa badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, salah satunya adalah Kejaksaan Republik Indonesia. Dasar hukum mengenai keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan). Menurut ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kejaksaan, disebutkan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dipahami bahwa Kejaksaan adalah suatu lembaga, badan, institusi pemerintah yang menjalankan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan kewenangan lain. Sementara orang yang melakukan tugas, fungsi, dan kewenangan itu disebut Jaksa. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) UU Kejaksaan yaitu, “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang”. Dengan demikian maka Jaksa selain tugasnya di bidang penuntutan, juga diberi kewenangan lain oleh undang-undang misalnya sebagai Jaksa Pengacara Negara, Eksekutor putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sebagai penyelidik tindak pidana tertentu, dan lain-lain. Seorang Jaksa dalam menjalankan tugasnya harus
tunduk dan patuh pada tugas, fungsi, dan wewenang yang telah ditentukan dalam UU Kejaksaan. Secara khusus dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan orang, Jaksa melaksanakan peran yang diatur dalam Pasal 1 ayat 6a Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan bahwa sebagai pejabat fungsional yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain berdasarkan undang- undang. Peran Jaksa dalam peradilan pidana sangat luas meliputi seluruh tahap penanganan perkara pidana yaitu tahap penyidikan, tahap penuntutan, tahap pemeriksaan di sidang pengadilan,tahap upaya hukum dan tahap eksekusi. Dalam tahap penyidikan, untuk tindak pidana umum jaksa berperan melakukan kegiatan prapenuntutan terhadap hasil kegiatan yang dilakukan oleh penyidik kepolisian dan penyidik lainnya, untuk tindak pidana khusus jaksa berperan sebagai penyidik. Dalam tahap penuntutan jaksa berperan melimpahkan berkas perkara ke pengadilan negeri yang disertai dengan surat dakwaan sebagai dasar pemeriksaan di persidangan. Dalam tahap pemeriksaan di sidang pengadilan jaksa berperan membuktikan dakwaannya terhadap terdakwa. Dalam tahap upaya hukum biasa baik banding maupun kasasi jaksa berperan menyusun memori dan atau kontra memori banding, kasasi, sedangkan dalam tahap upaya hukum luar biasa jaksa berperan menyiapkan bahan- bahan (alasan-alasan mengajukan kasasi demi kepentingan hukum) yang digunakan oleh Jaksa Agung untuk menempuh upaya hukum kasasi demi
kepentingan hukum. Dalam upaya hukum peninjauan kembali (PK) jaksa berperan menghadiri sidang PK untuk menyampaikan pendapat berkaitan dengan pengajuan permohonan PK yang diajukan oleh pemohon (si terpidana dan atau ahli warisnya). Dalam tahap eksekusi jaksa berperan dalam mengeksekusi seluruh putusan perkara pidana. Permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah peranan jaksa penuntut umum dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan orang (traficking)? 2. Apakah faktor-faktor yang menghambat peranan jaksa penuntut umum dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan orang (traficking)? Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui peranan jaksa penuntut umum dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan orang (traficking) b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat peranan jaksa penuntut umum dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan orang (traficking) Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris, dengan narasumber penelitian yaitu Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan. Data selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
II. Pembahasan
A. Peranan Jaksa Penuntut Umum dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Perdagangan orang (Traficking) Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada dasarnya adalah seseorang yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan pelaksanaan penetapan hakim. Berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, seorang jaksa penuntut umum dalam pelaksanaan tugas dan wewenang: (1) Bertindak untuk dan atas nama negara, bertanggungjawab sesuai saluran hirarki; (2) Demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, melakukan penuntutan dengan keyakinan berdasar alat bukti yang sah; (3) Senantiasa bertindak berdasar hukum, mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan; (4) Wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya. Kejaksaan dalam melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan
dilakukan secara merdeka, dimana dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab itu seorang jaksa harus terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Hal ini berdasarkan Pasal 2 UU tersebut. Selanjutnya dalam Pasal 37 ayat (1) disebutkan bahwa Jaksa Agung bertanggungjawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Tugas dan kewenangan jaksa dalam bidang pidana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) UU Kejaksaan antara lain: (1) Melakukan penuntutan; (1) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; (2) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; (3) Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; (4) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Sesuai dengan penjelasan di atas maka diketahui tugas dan kewenangan jaksa adalah sebagai penuntut umum dan pelaksana (eksekutor) putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam perkara pidana. Untuk perkara perdata, pelaksana putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap adalah juru sita dan panitera dipimpin oleh ketua pengadilan sebagaimana diatur Pasal 54 ayat [2] UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hasil wawancara dengan Yuni Kusumardiatiningsih, menyatakan bahwa bahwa Kejaksaan merupakaan lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan. Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya dibidang penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum melaksanakan peran dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Di dalam UU Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan RI sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh
kekuasaan lainnya (Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004). Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana. Selain berperan dalam perkara pidana, Kejaksaan juga memiliki peran lain dalam Hukum Perdata dan Tata Usaha Negara, yaitu dapat mewakili Pemerintah dalam Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara sebagai Jaksa Pengacara Negara. Jaksa sebagai pelaksana kewenangan tersebut diberi wewenang sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan, dan wewenang lain berdasarkan UndangUndang. Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya di bidang penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Dalam melaksanakan
kekuasaan negara di bidang penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Kejaksaan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa, karena Kejaksaan berada di poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai pelaksana penetapan dan putusan pengadilan. Dengan begitu Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus/perkara dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Kejaksaan selain melakukan penuntutan, melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, juga memiliki tugas dan wewenang dalam bidang pidana lainnya yakni melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Peranan Jaksa Penuntut Umum dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan orang (trafficking) mengacu pada Pasal 1 butir 1 UU
Kejaksaan bahwa Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Pasal 1 butir 2 menyatakan bahwa Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Hal tersebut juga di atur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang kerap di sebut dengan KUHAP yakni dalam Pasal 1 butir 6 huruf a dan b Jo. Pasal 13 dengan begitu telah jelas bahwa penuntut umum sudah pasti adalah seorang jaksa, sedangkan jaksa belum tentu seorang penuntut umum. Bila melihat uraian di atas, dapat dikatakan bahwa peran jaksa selaku penuntut umum dalam penegakan hukum tentu berada dalam koridor tindakan penuntutan. Berdasarkan penjelasan Anyk Kurniasih selaku Jaksa maka diketahui bahwa dalam rangka persiapan tindakan penuntutan atau kerap dikenal dengan tahap Pra Penuntutan, dapat diperinci mengenai peranan Jaksa Penuntut Umum dalam tindak pidana perdagangan orang sebagai berikut: a. Berdasarkan Pasal 109 ayat (1) KUHAP, jaksa menerima pemberitahuan dari penyidik atau penyidik PNS dan penyidik pembantu dalam hal telah dimulai penyidikan atas suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana yang biasa disebut dengan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan).
b. Berdasarkan pasal 110 ayat (1) KUHAP, penyidik dalam hal telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara pada penuntut umum. Selanjutnya apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 138 ayat (1) KUHAP penuntut umum segera mempelajari dan meneliti berkas perkara tersebut yakni: 1) Mempelajari adalah apakah tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka telah memenuhi unsur-unsur dan telah memenuhi syarat pembuktian. Jadi yang diperiksa adalah materi perkaranya. 2) Meneliti adalah apakah semua persyaratan formal telah dipenuhi oleh penyidik dalam membuat berkas perkara, yang antara lain perihal identitas tersangka, locus dan tempus tindak pidana serta kelengkapan administrasi semua tindakan yang dilakukan oleh penyidik pada saat penyidikan. 3) Mengadakan Prapenuntutan sesuai pasal 14 huruf b KUHAP dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4) serta ketentuan Pasal 138 ayat (1) dan (2) KUHAP. Apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan kurang lengkap (P-18), penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi (P-19). Dalam hal ini penyidik wajib segera melakukan penyidikan
tambahan sebagaimana petunjuk penuntut umum tersebut sesuai Pasal 110 ayat (2) dan (3) KUHAP. 4) Bila berkas perkara telah dilengkapi sebagaimana petunjuk, maka menurut ketentuan Pasal 139 KUHAP, penuntut umum segera menentukan sikap apakah suatu berkas perkara tersebut telah memenuhi persyaratan atau tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan (P-21). 5) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab selaku penuntut umum sesuai Pasal 14 huruf I KUHAP. Menurut Penjelasan pasal tersebut yang dimaksud dengan “tindakan lain” adalah antara lain meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan melihat secara tegas batas wewenang dan fungsi antara penyidik, penuntut umum dan pengadilan. c. Berdasarkan Pasal 140 ayat (1) KUHAP, penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyelidikan dapat dilakukan penuntutan, maka penuntutan umum secepatnya membuat surat dakwaan untuk segera melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan untuk diadili. d. Berdasarkan Pasal 8 ayat (3) huruf b KUHAP, penuntut umum menerima penyerahan tanggung jawab atas berkas perkara, tersangka serta barang bukti. Bahwa proses serah terima tanggung jawab tersangka disini sering disebut Tahap 2, dimana di dalamnya penuntut umum melakukan pemeriksaan terhadap
tersangka baik identitas maupun tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka, dapat melakukan penahanan/penahanan lanjutan terhadap tesangka sebagaimana Pasal 20 ayat (2) KUHAP dan dapat pula melakukan penangguhan penahanan serta dapat mencabutnya kembali. Peranan Jaksa Penuntut Umum dalam poses penuntutan tindak pidana perdagangan orang adalah sebagai berikut: a. Berdasarkan Pasal 143 ayat (1) KUHAP penuntut umum melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan. b. Melakukan pembuktian atas surat dakwaan yang dibuat, yakni dengan alat bukti yang sah sebagaimana Pasal 184 ayat (1) KUHAP, dalam hal itu penuntut umum berkewajiban menghadirkan terdakwa berikut saksi-saksi, ahli serta barang bukti di depan persidangan untuk dilakukan pemeriksaan. c. Berdasarkan Pasal 182 ayat (1) huruf a, setelah pemeriksaan dinyatakan selesai penuntut umum Mengajukan tuntutan pidana, meskipun sebenarnya yang lebih tepat yang diajukan adalah tuntutan (requisitoir),karena tidak menutup peluang selain dari tuntutan pidana atas diri terdakwa, penuntut umum dapat menuntut bebas diri terdakwa. d. Bahwa bila atas tuntutan terhadap terdakwa dan berdasarkan alat bukti yang sah majelis hakim berkeyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, maka majelis hakim
menjatuhkan putusan, dimana bila terdakwa dan penuntut umum kemudian menerima, putusan tersebut kemudian berkekuatan hukum tetap (inkracht), maka berdasarkan Pasal 270 KUHAP jaksa melaksanakan putusan (eksekusi) tersebut. e. Terkait poin d tersebut di atas, apabila terdakwa maupun penuntut umum tidak menerima putusan tersebut maka terdakwa maupun penuntut umum dapat melakukan upaya hokum, upaya hukum banding berdasarkan Pasal 233 KUHAP, dan/atau upaya hukum kasasi berdasarkan Pasal 244 KUHAP. f. Bahwa selain hal tersebut, berdasarkan Pasal 140 ayat (2) KUHAP, penuntut umum dapat memutuskan untuk menghentikan penuntutan dengan mengelarkan SKPP (Surat Ketetapan Peghentian Penuntutan) dikarenakan alasan bahwa perkara tersebut tidak terdapat cukup bukti, peristiwanya bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum. SKPP tersebut diberitahukan kepada tersangka dan apabila ditahan tersangka harus segera dikeluarkan. Turunan surat tersebut wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarganya, penasehat hukum, pejabat RUTAN, penyidik dan hakim. Bila kemudian ditemukan alasan baru, penuntut umum dapat menuntut tersangka, alasan baru tersebut adalah novum (bukti baru). Selain tindakan-tindakan tersebut, Jaksa Agung secara khusus mempunyai tugas dan wewenang menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang
lingkup tugas dan wewenang kejaksaan; mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undangundang; mengesampingkan perkara demi kepentingan umum; mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa semua tindakan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum baik dalam proses pra penuntutan maupun penuntutan sesungguhnya dilakukan atas dasar keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Penegakan hukum demi keadilan tersebut tentu juga mencakup adil bagi terdakwa, adil bagi masyarakat yang terkena dampak akibat perbuatan terdakwa dan adil di mata hukum, dengan begitu dengan sendirinya apa yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum dalam rangka penegakan hukum adalah untuk mencapai tujuan hukum yakni kepastian hukum, menjembatani rasa keadilan dan kemanfaatan hukum bagi para pencari keadilan.
1. Faktor Aparat Penegak Hukum Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat serta harus diaktualisasikan Faktor penegak hukum yang menghambat peranan Jaksa Penuntut Umum dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan orang (traficking) adalah masih kurangnya optimalnya pelaksanaan tugas kejaksaan disebabkan karena berkas penyidikan tindak pidana perdagangan orang (traficking) dari pihak kepolisian yang belum lengkap sehingga harus menunggu kelengkapan berkas dari pihak kepolisian. 2. Faktor Sarana dan Prasarana
B. Faktor-Faktor Yang Menghambat Peranan Jaksa Penuntut Umum dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Perdagangan orang (Traficking) Berdasarkan hasil penelitian maka diketahui bahwa faktor-faktor yang menghambat peranan Jaksa Penuntut Umum dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan orang (traficking) adalah sebagai berikut:
Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup berbagai fasilitas dan peralatan yang memadai. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranannya sebagaimana mestinya. Faktor sarana dan prasarana yang menghambat peranan Jaksa Penuntut Umum dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan orang (traficking) belum tersedianya program jaringan komputer antar Kejaksaaan Tinggi yang
berisi database tindak pidana perdagangan orang (traficking) dapat menghubungkan Kejaksaan dengan berbagai institusi penegak hukum lainnya untuk bekerjasama dan berbagi informasi dalam penanggulangan tindak pidana perdagangan orang (traficking). Sarana dan prasarana kejaksaan dalam melaksanakan proses pengumpulan data untuk mengungkap tindak pidana perdagangan orang masih kurang optimal sehingga perlu ditingkatkan. 3. Faktor Masyarakat Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum. Sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Faktor masyarakat yang menghambat peranan Jaksa Penuntut Umum dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan orang (traficking) adalah adanya ketakutan atau keengganan masyarakat untuk menjadi saksi dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang (traficking). Ketakutan tersebut dapat disebabkan oleh adanya ancaman dari para pelaku tindak pidana perdagangan orang (traficking) yang tidak segansegan melakukan kekerasan terhadap masyarakat yang menyaksikan perbuatan mereka, terlebih para pelaku ini umumnya adalah jaringan perdagangan orang (traficking) yang terorganisir. Akibatnya masyarakat tidak melaporkan adanya tindak pidana perdagangan orang (traficking) ini kepada aparat penegak hukum, sehingga dapat menghambat
penanggulangan tindak perdagangan orang (traficking)
III.
pidana
Simpulan
1. Peranan jaksa penuntut umum dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan orang (traficking) adalah melaksanakan penuntutan setelah menerima berkas atau hasil penyidikan dari penyidik kepolisian. Kejaksaan menunjuk seorang jaksa untuk mempelajari dan menelitinya yang kemudian hasil penelitiannya diajukan kepada Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari). Hasil penyidikan yang telah lengkap dan dapat diajukan ke pengadilan Negeri. Dalam hal ini Kajari menerbitkan surat penunjukan Penuntutan Umum. Penuntut umum membuat surat dakwaan dan setelah surat dakwaan selesai kemudian dibuatkan surat pelimpahan perkara yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri. 2. Faktor-faktor yang menghambat peranan jaksa penuntut umum dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan orang (traficking) adalah: a. Faktor aparat penegak hukum, yaitu masih kurangnya optimalnya pelaksanaan tugas kejaksaan disebabkan karena berkas penyidikan tindak pidana perdagangan orang (traficking) dari pihak kepolisian yang belum lengkap sehingga harus menunggu kelengkapan berkas dari pihak kepolisian. b. Faktor Sarana dan Prasarana, yaitu belum tersedianya program jaringan komputer antar
Kejaksaaan Tinggi yang berisi database tindak pidana perdagangan orang (traficking) c. Faktor Masyarakat, yaitu adanya ketakutan atau keengganan masyarakat untuk menjadi saksi dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang (traficking).
Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. 1993. __________ Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993. P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung. 1996.
Daftar Pustaka Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta. 2001. ……….., Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta. 2001. Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. ……….., Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001 Boediono. Ekonomi Moneter. BPFE. Yogyakarta. 1990. Leden Marpaung. Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika. Jakarta.1992. Mardjono Reksodiputro. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam BatasBatas Toleransi) Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum UI. Jakarta. 1994.
Reksodiputro, Mardjono. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam BatasBatas Toleransi) Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum UI. Jakarta. 1994. Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press.Jakarta. 1983. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana