Tempat Kejadian Perkara (TKP) Dalam Mengungkap Suaru Tindak Pidana Oleh Sudarmadji Abstraksi Tindakan yang dilakukan penyidik di tempat kejadian perkara adalah usaha awal yang paling penting untuk menyidik lebih lanjut tindak pidana itu, yang antara tindakan yang satu dan dengan lainnya tidak terpisahkan. Tujuan tindakan di tempat kejadian perkara adalah agar tindakan-tindakan penanganan TKP itu dapat dilaksanakan dengan tertib, lancar, aman dan untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup. Sehingga kemampuan dan penguasaan teknik dan taktik penanganan TKP sangat diperlukan bagi setiap petugas Polri guna memungkinkan berhasilnya penyidikan selanjutnya. Berhasil tidaknya usaha tidakan pertama di tempat kejadian perkara itu adalah terantung dari pengolahan TKP yang dilakukan dengan teliti dan lengkap sebagai salah satu aspek dalam penyidikan yang penting dari seluruh proses penyidikan. Tempat kejadian perkara sangat berguna dalam proses penyidikan untuk mengungkap suatu tindak pidana, terutama adalah sebagai tempat dimana dapat diketemukannya bukti-buti yang penting dalam mencari keterangan dan mengumpulkan barang bukti yang perlu diolah untuk membuat terang tindak pidana itu A. Latar Belakang Permasalahan Dengan adanya kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, kejahatan pada saat ini pun cenderung meningkat. Dengan semakin pintarnya manusia serta ditunjang dengan peralatan yang modern, cara-cara kejahatanpun cenderung mengalami peningkatan sehingga penanganan kasus-kasus kejahatan banyak sekali mengalami hambatan-hambatan di dalam proses penyelidikannya guna mengungkap kasus kejahatan tersebut. Perkembangan kejahatan ini tidak hanya terjadi di negara-negara lain, tetapi juga terjadi di Negara kita. Hal ini sangat berbahaya sekali dan kita perlu untuk selalu bersikap waspada. Seperti banyak kita baca atau lihat baik di media cetak maupun di media elektronika banyak sekali kasus-kasus kejahatan yang tidak ataupun belum terungkap karena tidak ada atau kurangnya bukti-bukti yang didapatkan. Sebagai salah satu contoh adalah banyak di dalam kasus pembunuhan si pelaku menghabisi nyawa korbannya bukan ditempat korban ditemukan melainkan ditempat lain. Disini pelaku bermaksud untuk menghilangkan jejak dengan harapan dia dapat lolos dari perbuatan yang dilakukannya. Hal ini menghambat penyelidikan karena bukti-bukti yang terdapat di tempt korban diketemukan kurang atau tidak dapat mendukung pihak penyelidik untuk mengungkap kasus tersebut dikarenakan tempat terjadinya perkara bukan di tempat korban diketemukan. Sehubungan dengan persoalan di atas, maka di sini dapat kita pahami bahwa untuk mengungkap suatu kasus kejahatan adalah tidak mudah dan diperlukan banyak hal, salah
satunya adalah harus benar-benar diketahui dimana tempat terjadinya perkara tersebut, karena dengan diketahuinya tempat kejadian perkara secara tepat, maka memudahkan didapatkannya bukti-bukti yang diperlukan untuk melakukan penyelidikan. Di negara kita tugas penyelidikan dilakukan oleh aparat penegak hukum yaitu aparat Kepolisian, ini sesuai dengan ketentuan pasal 4 jo. Pasal 6 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) bahwa Polisi Negara yang bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan disebut sebagai Polisi Kehakiman.
1
Pasal 4 KUHAP berbunyi : ”Penyelidik adalah setiap pejabat Polisi Negara Republik Indonesia”. Pasal 6 KUHAP berbunyi : (1). Penyidik adalah : c. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia d. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusu oleh undang-undang (1)
Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud pejabat dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Pada hakekatnya tugas kepolisian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu : a. Tugas Preventif (mencegah), yaitu melaksanakan segala usaha, pekerjaan dan kegiatan dalam rangka menyelenggarakan, melindungi negara dan badan hukumnya, kesejahteraan, kesentosaan, keamanan dan ketertiban umum, orangorang dan harta bendanya terhadap serangan dan bahaya dengan jalan mencegah terjadinya tindak pidana dan perbuatan-perbuatan lain yang walaupun tidak diancam dengan pidana, akan tetapi dapat mengakibatkan terganggunya keamanan dan ketertiban umum. b. Tugas Represif (memberantas), yaitu kewajiban melakukan segala usaha, pekerjaan dan kegiatan untuk membantu tugas kehakiman guna memberantas perbuatanperbuatan yang dapat dipidana yang telah dilakukan, secara penyidikan, menangkap dan menahan yang berbuat salah, memeriksa, menggeledah dan membuat berita acara pemeriksaan pendahuluan serta mengajukan lepada jaksa untuk dituntut pidana di muka hakim.
1 2
2
Martiman Prodjohamidjojo, Penyelidikan dan Penyidikan, Ghalia Indonesia, 1982, hal. 21
Hari Sasangka et. al., Penyidikan, Penahanan, Penuntutan dan Praperadilan, Drama Surya Berlina, Surabaya, 1990, hal 14
Memperhatikan keadaan di atas, maka penulis ingin mencoba membahas persoalan tersebut dengan membuat karya ilmiah yang menyangkut masalah Tempat Kejadian Perkara (TKP), dengan latar belakang sebagai berikut : 1. Di dalam prakteknya tempat kejadian perkara sering belum diketahui secara pasti dan di dalam mengungkap suatu kasus / tindak pidana tempat kejadian perkara dinilai sangat efektif. 2. Di dalam teori tempat kejadian perkara mempunyai arti penting / berguna untuk menerapkan suatu perundang-undangan dalam suatu kasus. Prof. Reisz, seorang ahli kriminalistik berpendapat bahwa pada umumnya paling sedikit lingkaran dengan garis tengah 50 meter sebagai tempat kejadian perkara, harus disidik dan tidak boleh diinjak-injak orang.
33
B. Perumusan Masalah Dari latar belakang tersebut di atas, maka dalam prakteknya tempat kejadian perkara sering ditemui dalam keadaan belum diketahui dengan pasti, sehingga timbul permasalahan sebagai berikut : Apa arti penting tempat kejadian perkara dalam usaha untuk mengungkap suatu kasus dalam perkara pidana, Bagaimana menentukan kewenangan pihak kepolisian yang mengurus perkara dalam proses penyelidikan bila wilayah tempat kejadian perkara berlainan dengan wilayah tempat ditemukannya korban atau hasil kejahatan serta Bagaimana usaha-usaha yang dilakukan penyidik bila tempat kejadian perkara belum diketahui secara pasti?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah ingin didapatkan gambaran yang jelas dari kepolisian sebagai penyidik terutama dalam masalah tempat kejadian perkara dalam hubungannya dengan teknik-teknik penyidikan yang dilakukan, dan juga berbagai masalah yang menyangkut kewenangan pihak kepolisian yang akan menangani perkara pidana tersebut seperti : Untuk mengetahui pentingnya tempat kejadian perkara dalam usaha untuk mengungkap suatu kasus dalam perkara pidana, Untuk Mengetahui kewenangan pihak kepolisian yang mengurus perkara dalam proses penyelidikan bila wilayah tempat kejadian perkara berlainan dengan wilayah tempat ditemukannya korban atau hasil kejahatan dan
3
R. Soesilo, Kriminalistik (Ilmu Penyidikan kejahatan), Politea, Bogor, 2006, hal 19
Untuk Mengetahui usaha-usaha yang dilakukan penyidik bila tempat kejadian perkara belum diketahui secara pasti.
D. Metode Penelitian 1. Tahap pengumpulan data Guna mendapatkan data-data yang diperlukan untuk penulisan karya ilmiah, maka dilakukan hal-hal sebagai berikut: a. Studi Kepustakaan, yaitu pengumpulan bahan-bahan yang diperlukan untuk dipelajari dan membaca buku-buku literatur, kemudian mencari konsepsi, teori atau pandangan-pandangan berkaitan dengan permasalahan yang akan ditulis. b. Studi lapangan, yaitu tahap turun ke lapangan guna mendapatkan gambaran yang nyata dalam rangka menunjang adanya pengumpulan data dengan menggunakan metode sebagai berikut : metode interview atau wawancara, yaitu, ”Proses tanya 4
jawab secara lisan dimana dua orang atau lebih berhadapan secara fisik”. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan keterangan secara lisan sebagai pelengkap data yan ada hubungannya dengan permasalahan yang akan ditulis. Di dalam interview atau wawancara selalu ada dua pihak yang masing-masing mempunyai kedudukan yang berbeda, yaitu: 1. Interviewer
sebagai
pengejar
informasi
(information
hunter),
yang
mengajukan pertanyaan-pertanyaan, meminta penjelasan, dan menggali keterangan-keterangan yan lebih mendalam terhadap jawaban yang diberikan kemudian interviewer menilai, menafsirkan, dan mencatatnya. 2. Interviewee sebagai pemberi informasi (irformation suplyer, respondent). Hubungan yang terjadi bukan hubungan timbal balik seperti dalam diskusi atau freetalk (pembicaraan bebas). 2. Tahap pengolahan data Untuk melengkapi data-data tersebut maka dilakukan pengolahan data dengan metode deskriptif analistis, yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. memusatkan pada pemecahan masalah-masalah yang aktual. b. data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisa.
4 71
Ronny Hanintijo soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hal
Dalam pengadaan data yang menggunakan metode deskriptif analistis ini berarti setelah data dikumpulkan maka data tersebut tidak hanya dideskripsikan saja akan tetapi harus dianalisa yaitu dengan memberi komentar/tanggapan / pendapat, yang kemudian dikonstruksikan. Analisa dan konstruksi nantinya akan dilakukan secara metodologis, sistimatis dan konsisten.
E. Pengertian Tempat Kejadian Perkara Sebelum diuraikan lebih lanjut, untuk lebih jelasnya perlu diketahui dahulu mengenai pengertian tempat kejadian perkara. Dapat dijelaskan bahwa tempat kejadian perkara itu tidak hanya mempunyai pengertian sebagai tempat dimana kejahatan itu terjadi. Menurut R. Soesilo tempat kejadian perkara itu adalah ”semua tempat kejadian peristiwa baik yang berupa kejahatan, pelanggaran, maupun kecelakaan biasa yang lazim menjadi urusan polisi”.
5
Di samping pengertian tempat kejadian perkara tersebut di atas, berikut ini akan penulis berikan beberapa pendapat mengenai pengertian tempat kejadian perkara. Pengertian tempat kejadian perkara menurut Bambang Poernomo adalah ”tempat dimana seharusnya perbuatan 6
dilakukan”. Begitu pula menurut Gerson W. Bawengan yang memberikan pengertian tempat kejadian perkara adalah ”tempat dimana pembuat telah melakukan segala sesuatu yang kemudian mengakibatkan terjadinya tindak pidana”.
7
Sedangkan pengertian tempat kejadian perkara menurut John Z. Loudoe yang menyebutnya sebagai locus delicti (tempat terjadinya tindak pidana), dimana semula berpatokan pada ajaran tentang perbuatan fisik adalah”tempat dimana seseorang melakukan secara fisik suatu tindak pidana”.
8
Pengertian tempat kejadian perkara yang dibahas oleh Moeljatno adalah menurut teorinya locus delicti terbagi menjadi dua aliran yaitu : (1) Aliran yang menentukan di satu tempat, yaitu tempat dimana terdakwa berbuat.
5 6
R. Soesilo, Op. Cit, hal 18 Bambang Poenomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta, 2006, hal 119
7
Gerson W. Bawengan , Hukum Pidana di Dalam Teori dan Praktek, Pradnya Paramita, Yakarta, 1999, hal 45
8
John Z. Loudoe, Beberapa Aspek Hukum Materiil dan Hukum Acara Dalam Praktek, Bina Aksara, 1988, hal. 55
(2) Aliran yang menentukan di beberapa tempat, yaitu mungkin tempat kelakuan dan mungkin tempat akibat.
9
Akan tetapi pengertian tempat kejadian perkara menurut Petunjuk Pelaksanaan No. Pol : JUKLAK/04/II/1982 Kepolisian R.I. disebutkan bahwa:Tempat kejadian perkara (TKP) adalah tempat dimana suatu tindak pidana dilakukan / terjadi dan tempat-tempat lain di mana tersangka dan atau korban dan atau barang-barang bukti yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut, dapat ditemukan.
10
Dari pengertian tempat kejadian perkara di atas pada
intinya mengarah kepada praktek pelaksanaan di tempat terjadinya tindak pidana serta tujuan dari tempat kejadian perkara yang sebenarnya. Maka dari itu, tempat kejadian perkara merupakan salah satu sumber keterangan yang penting dan di dalamnya terdapat bukti-bukti yang harus diolah dalam usaha untuk mengungkapkan tindak pidana, sehingga kemampuan dan penguasaan teknik serta taktik penanganan tempat kejadian perkara sangat diperlukan bagi setiap petugas Polri guna memungkinkan berhasilnya penyidikan selanjutnya. Menurut M. Karjadi bahwa” berhasil tidaknya penyidikan lebih lanjut itu, sebagian besar tergantung dari usaha tindakan dan kewajiban pertama dari petugas yang sedang melakukan usaha pekerjaan itu di TKP”.
11
Mengingat dewasa ini sering timbul masalah-masalah dalam tugas-tugas penyelidikan oleh petugas Polri itu sendiri, khususnya dalam hal penyelidikan di tempat kejadian perkara, maka untuk itu ada hal-hal yang perlu diperhatikan oleh penyidik atau penyidik pembantu sebelum melakukan pemeriksaan di tempat kejadian perkara menurut pendapat Charles O’Hara, adalah sebagai berikut : 1. Identifikasi, dan bila perlu melakukan penahanan untuk keperluan pemeriksaan; 2. Menentukan siapa pelakunya dengan cara tanya jawab atau segera mengadakan observasi bila identifikasi telah jelas; 3. Menahan orang-orang tertentu yang ternyata hadir pada peristiwa pidana; 4. Menunjuk asisten, apabila diperlukan; 5. Menjaga daerah dengan mengeluarkan perintah dan isolasi secara fisik;
9
Moeljatno. Azas-azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Yakarta, 1998, hal. 79
10
H. Hadiman, et., al., Alamanak Kepolisian Republik Indonesia 1984-1986, P.T. Dutarindo Adv., Yakarta, 1984, hal 240
11
M. Karjadi, Tindakan dan Penyidikan Pertamadi Tempat Kejadian Perkara, Politea, Bogor, 2001, hal 1
6. Hanya mengijinkan orang-orang yang berwenang atau pejabat tertentu untuk memasuki tempat peristiwa pidana; 7. Meneliti saksi-saksi dan memisah-misahkan agar tidak berhubungan antara satu dengan yang lain; 8. Jangan menyentuh atau memindahkan suatu obyek penyidikan; 9. Menentukan tugas masing-masing untuk mulai mengadakan penyelidikan / penyidikan jika pembantu-pembantu telah tiba.
12
Selanjutnya mengingat bergunanya tempat kejadian perkara (TKP) dalam melakukan penyidikan atau pemeriksaan untuk mendapatkan bukti-bukti, maka penulis kemukakan contoh kongkrit, yaitu : a. Jika mayat korban itu terdapat di kamar, maka tidak hanya kamar itu saja yang dipandang sebagai TKP, tetapi paling sedikit harus ditetapkan seluruh luas rumah itu sebagai TKP, malahan jika perlu seluruh rumah berikut pekarangan harus dipandang sebagai TKP. b. Jika terdapat mayat mengapung (hanyut) di sungai, maka harus dicari tempat kemungkinan korban itu tergelincir atau mulai menemui malapetaka, pada pokoknya tempat dimana si korban jatuh di air. c. Mayat yang terdapat di atas rel kereta api,maka harus dicari tempat dimana si korban terbentur kereta api atau dengan sengaja dilemparkan di atas rel. d. Kejadian-kejadian besar tidak jarang yang dipandang sebagai TKP bukan tempat yang sempit, tetapi meliputi seluruh kompleks, lingkaran yang bergaris tengah berpuluhpuluh (ratus-ratus) meter. Mengingat begitu bergunanya tempat kejadian perkara, maka seorang penyidik / petugas pengusutan haruslah bertindak secermat mungkin, sehingga dalam hal ini sangat diperlukan pemusatan pikiran dan pengerahan tenaga. Oleh karena itu seorang petugas perlu dibekali dengan ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang di butuhkan agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan efisien.
F. Tindakan dalam penyidikan di tempat kejadian perkara
12
G.W Bawengan, Penyidikan Perkara Pidana dan teknik Interogasi, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1989, hal.30
Penanganan tempat kejadian perkara adalah suatu rangkaian dari tindakan penyelidik atau penyidik yang dilakukan di tempat kejadian perkara yang menyelenggarakan kegiatan. Sedangkan tindakan pihak kepolisian yang dilakukan di tempat kejadian perkara terdiri dari : a. Tindakan pertama di tempat kejadian perkara. Dalam hal terjadinya suatu peristiwa pidana misalnya, maka tindakan pertama yang dilakukan di tempat kejadian perkara merupakan kewajiban mutlak bagi tiaptiap petugas kepolisian, terutama anggota polisi yang melakukan tugas rondaan, seperti pada pos-pos penjagaan. Hal itu disebabkan, setiap anggota polisi dianggap sebagai orang yang mengetahui bahkan mengerti tentang terjadinya tindak pidana. Oleh karena itu, setiap anggota kepolisian harus memiliki kemampuan dan ketrampilan dalam menjalankan tugas terutama dalam melakukan penyidikan.Apabila tidak demikian, mereka itu akan banyak berbuat kesalahan yang akibatnya akan menyulitkan untuk mengadakan penyidikan perkara selanjutnya. Sebab bukti-bukti yang ada pada tempat terjadinya peristiwa pidana tersebut mungkin menjadi rusak, hilang bahkan berubah. Sebaliknya apabila dalam tindakan-tindakan yang dilakukan dengan tepat, maka menghasilkan pemeriksaan yang sukses. Adapun yang ditunjuk sebagai petugas yang berkewajiban menangani TKP dapat digolongkan sebagai berikut : a. Setiap petugas Polri, baik dalam dinas maupun luar dinas apabila dilaporkan kepadanya, atau mendengar dan atau mengetahui sendiri adnya suatu peristiwa dimana diduga tindak pidana, berkewajiban untuk : (1). Segera mendatangi TKP dan melakukan tindakan pertama di TKP tersebut. (2). Memberitahukan adanya tindak pidana tersebut pada kesatuan Polri terdekat dengan menggunakan alat komunikasi yang ada. b. Pamapta (Perwira Samapta), setelah menerima laporan / pengaduan tentang adanya tindak pidana berkewajiban untuk : (1). Membuat laporan polisi serta mencatat dalam buku mutasi, (2). Melakukan persiapan segala sesuatunya yang diperlukan sebelum berangkat ke TKP, (3). Mendatangi dan melakukan tindakan pertama di TKP, (4). Membuat Berita Acara Pemeriksaan di TKP. c. Reserse, setelah menerima pemberitahuan dari Pamapta berkewajiban untuk segera :
(1). Mempersiapkan anggota dan peralatan yang diperlukan untuk pengolahan TKP, (2). Melakukan pengolahan TKP, (3). Terhadap kasus tertentu yang membutuhkan pemeriksaan teknis di TKP, maka dimintakan bantuan dari Dokter Kriminologi dan ahli-ahli lainnya. (4). Membuat Berita Acara Pengolahan TKP sebagai pertanggung jawaban dan bahan bagi kegiatan penyelidikan selanjutnya. d. Kapolsekta (Kepala Kepolisian Sektor Kota). (1). Melakukan tindakan-tindakan seperti yang dilakukan oleh Pamapta dan Reserse, (2). Dalam peristiwa-peristiwa tertentu yang memerlukan bantuan, segera menghubungi kesatuan di atasnya atau yang sejajar. Keempat unsur tersebut di atas, tingkat kewajibannya dalam penanganan TKP tidak sama, karena dibatasi oleh prosedur yang berlaku dalam organisasi Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) maupun kemampuan teknis dan peralatan yang dimiliki oleh tiap-tiap unsur. Disamping itu tindakan yang harus dilakukan oleh pejabat yang pertama-tama datang ke TKP, adalah: 1. Hendaknya ia membatasi dan menjaga keutuhan (status quo) dari TKP, dalam arti ia menutup dan menjaga tempat itu, jangan sampai keadaannya menjadi berubah dan agar supaya penyidikan perkara selanjutnya dapat dilakukan dengan sempurna. Sebab penambahan, perubahan atau hilangnya bekas-bekas di TKP dapat mengacaukan atau mempersulit penyidikan itu. Jadi semuanya harus dibiarkan tetap dalam keadaan semula. 2. Menyampaikan pemberitahuan kepada kepala-kepala bagian kantor Polisi yang bersangkutan tentang terjadinya tindak pidana. Pemberitahuan sebaiknya menggunakan alat komunikasi yang ada, bila tidak dapat diminta bantuan dari seorang penduduk yang dapat dipercaya untuk menyampaikan surat singkat yang terang, tanpa mengabaikan keamanan TKP dan harus melaporkan segala sesuatunya yang telah dikerjakan. 3. Melakukan tindakan-tindakan lainya, seperti: a. Jika di TKP masih ada korban yang masih hidup, maka dengan tanpa mengorbankan hal-hal yang penulis kemukakan di point 1 (satu) di atas, maka kewajiban pertama adalah memberikan pertolongan pertama kepada korban
baik kalau mungkin memberikan pertolongan sendiri maupun memanggil petugas PPPK (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan) terdekat, dokter atau bilamana diperlukan membawa korban ke Rumah Sakit terdekat dan sedapat mungkin memberitahukan keluarga korban (kalau ada). Dalam hal ini, jangan dilupakan menandai pada tempat bekas letak korban, bagaimana posisi dan arah berbaringnya dan kemudian dibuatkan gambar bagan sementara. b. Apabila diduga bahwa tersangkanya masih ada di TKP, maka pegawai polisi harus waspada atau berjaga-jaga agar jangan sampai tersangka itu berusaha menghilangkan bekas-bekas atau mengacaukan pemeriksaan serta jika dapat berupaya untuk menangkapnya dan penjagaan di TKP dapat diserahkan kepada pegawai polisi rekan kerjanya atau orang lain yang ada dan dapat dipercaya. c. Jika barang-barang bukti mungkin akan rusak, berubah atau hapus, maka barang-barang bukti itu harus dilindungi, caranya dengan menutupi agar jangan sampai terkena air hujan, atau barang-barang itu dipindahkan ke tempat lain yang lebih aman akan tetapi harus: 1. Menandai tempat-tempat bekas letak barang itu dengan patok, batu dan lain sebagainya; 2. Mencatat rupa dan keadaan barang bukti tersebut; 3. Cara memindahkan barang bukti tersebut harus sedemikian rupa jangan sampai ada kemungkinan adanya bekas-bekas itu menjadi rusak atau bertambah, berubah atau hapus; 4. Bila ada kemungkinan, dipotret terlebih dahulu; 5. Barang-barang yang licin atau diduga ada sidik jari, seperti gelas, botol, pecahan kaca, kursi, meja, bola lampu listrik, pisau belati dan lain sebagainya, dilarang dipegang oleh tangan, hendaknya digunakan tali, tongkat dan lain-lain; 6. Telapak kaki bekas darah dan sebagainya dapat dilindungi dengan meja, kursi, papan, plastik, bakul dan lain-lain ditutupkan di atasnya.
13
d. Jika terdapat saksi-saksi di TKP, maka semua orang yang berada di sekitarnya di larang meninggalkan tempat itu dan disuruh menunggu kedatangan 13
R.Soesilo, Op.Cit, hal 32
penyidik (pasal 7 ayat 1 KUHAP) atau penyidik pembantu (pasal 11 KUHAP) yang ditunjuk oleh pihak yang berwenang untuk menyidik perkara yang bersangkutan. Hal ini dilakukan, apabila yang melakukan tindakan pertama di TKP bukanlah penyidik atau penyidik pembantu yang dimaksud. Lalu kalau diantara mereka, dengan alasan-alasan yang dapat diterima, misalnya sakit dan lain-lain perlu meninggalkan tempat itu, maka orang-orang tersebut dapat diperkenankan pergi, tetapi dicatat dulu nama dan alamatnya. e. Setelah pejabat (pegawai polisi) tadi selesai dalam mengadakan tindakan pertama di TKP, selanjutnya dia harus membuat berita acara pemeriksaan dari apa yang di dapat di TKP. Adapun isi dari berita acara pemeriksaan tersebut adalah : 1. Nama jawatan atau kantor dan tempat kedudukan pegawai itu; 2. Keterangan bagaimana peristiwa itu diketahui (dari menerima laporan orang lain, memergoki sendiri pada waktu meronda dan lain sebagainya); 3. Bagaimana keadaan tempat peristiwa itu terjadi. Hanya dalam garis besarnya saja, tidak perlu sampai hal-hal yang sekecil-kecilnya, oleh karena hal yang sekecil-kecilnya ini nantinya akan disebutkan sendiri oleh pegawai penyidik yang mengusut kemudian; 4. Apakah keadaan TKP sampai waktu kedatangan pegawai penyidik yang berwenang tetap sebagai semula, atau ada perubahan-perubahan terjadi, bila ada harus disebutkan dalam BAP itu; 5. Sebutkan nama-nama dan alamat dari orang-orang yang kedapatan di TKP tersebut; 6. Keterangan-keterangan lain yang sekiranya yang diperlukan oleh pegawai penyidik tersebut; 7. Hari tanggal pembuatan dan penutupan BAP; 8. Tanda tangan Pemberita Acara.
14
Tugas-tugas sebagaimana telah diutarakan di atas, yaitu mengenai tindakan-tindakan pertama di TKP adalah merupakan tugas dari pegawai atau pejabat yang pertama-tama tiba di TKP dan selanjutnya adalah tugas dari penyidik atau penyidik pembantu pemeriksaan perkara, atau khusus di Kepolisian adalah Perwira Kepolisian yang pertama-tama menerima
14
R.Soesilo, Op.Cit, hal 24
laporan (Inspektur Dinas) beserta para anggotanya atau pegawai-pegawai bagian penyidikan yang memeriksa atau mengolah tempat terjadinya tindak pidana. Dengan keberhasilan yang didapat dalam pemeriksaan menjadi seutuhnya tergantung kepada tindakan-tindakan pendahuluan yang dilakukan oleh pegawai polisi yang pertama kali datang di TKP. Tetapi tindakan yang dilakukan ini terkadang mengalami kendala yang justru timbul dari masyarakat sekitarnya, yaitu sering barang bukti menjadi tidak lengkap karena dihilangkan oleh masyarakat yang kurang memahami arti arti penting barang bukti sehingga penyidikan yang dilakukan di TKP menjadi terhambat. Suatu barang bukti sudah dikatakan lengkap jika barang bukti tersebut sudah memenuhi syarat baik keadaan materiil maupun prosedurnya. Sebagaimana dikatakan oleh Soesetio Pramoesinto bahwa ”tidak ada barang bukti di TKP yang boleh dipindahkan, kecuali jika mutlak perlu untuk suatu alasan, karena TKP harus sejauh mungkin tetap dalam keadaan semula pada waktu penyidik tida di tempat”.
15
Untuk mengatasi kendala tersebut dapat dicegah dengan jalan memberikan penerangan kepada masyarakat melalui penyuluhan-penyuluhan hukum dan juga kepada aparat-aparat hukum itu sediri serta instansi-instansi yang terkait. Adapun kegiatan yang dilakukan oleh pihak kepolisian sehubungan dengan tindakan pertama di TKP itu merupakan langka awal sebagai usaha dalam rangka pengungkapan suatu kasus perkara pidana yang terjadi seperti : a. Pengolahan tempat kejadian perkara Yang dimaksud dengan pengolahan tempat kejadian perkara adalah tindakan atau kegiatan-kegiatan setelah adanya tindakan pertama di tempat kejadian perkara, dilakukan
dengan
maksud
untuk
mencari,
mengumpulkan,
menganalisa,
mengevaluasi petunjuk-petunjuk, keterangan dan bukti serta identitas tersangka menurut teori bukti segitiga, yakni adanya korban, barang bukti dan tersangka guna memberi arah pada penyidikan selanjutnya. Kemampuan mengolah TKP, merupakan kemampuan khas para petugas Reskrim yang baru dapat membuahkan hasil yang diharapkan bila dilaksanakan oleh petugas yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang cara-cara mengolah suatu TKP serta memiliki kecermatan dan keuletan. b. Kemampuan dan ketrampilan petugas penyelidik serta diperlukan kerjasama antara penyidik, petugas-petugas laboratorium, dan para ahli forensik. Pada hakekatnya 15
Soesilo Pramoesinto, Kriminalistik, Komando Pengembangan Pendidikan dan latihan Polri, Jakarta, 1983, hal 47
kemampuan dapat diperoleh dari pendidikan-pendidikan formal, sedangkan ketrampilan sering didapatkan dari pengalaman mengikuti penyidik lain yang sudah senior dan berpengalaman selama bertahun-tahun. c. Dukungan peralatan sesuai dengan perkembangan teknologi dewasa ini. Dalam pengolahan TKP diperlukan beberapa peralatan yang diantaranya Daktiloskopi (alat untuk meneliti sidik jari), alat fotografi, alat pengukur, kendaraan dan lain-lain. d. Bantuan ahli yang memenuhi persyaratan. Dalam beberapa kasus tertentu diperlukan bantuan seorang ahli karena jika tidak dapat mengacaukan bahkan merusak beberapa barang bukti penting di TKP. Terutama dalam kasus-kasus pembunuhan atau bunuh diri atau mati keracunan, sangat dibutuhkan bantuan seorang ahli forensik untuk menentukan sebab-sebab kematian. e. Tambahan keterangan saksi atau korban tentang kasus yang teradi. Di sini diperlukan tambahan keterangan dari saksi atau korban itu sendiri guna melengkapi bukti-bukti untuk memperlancar penyidikan. f. Persiapan pemeriksaan terhadap tersangka dan saksi. Dalam proses penyidikan pemeriksaan terhadap tersangka adalah masalah yang terpenting karena sebelum meningkat pada proses selanjutnya harus diadakan persiapan-persiapan yang matang dan lengkap.
G. Tempat kejadian perkara dengan rekonstruksi kejadian perkara Setelah kita mengetahui apa yang dimaksud dengan TKP kemudian penulis akan mengutarakan hubungan TKP dengan rekonstruksi suatu perkara pidana. Sebagaimana kita ketahui bahwa TKP atau istilah hukumnya disebut locus delicti diartikan sebagai tempat dimana kejahatan atau pelanggaran itu terjadi, yang apabila dihubungkan dengan pelaksanaan rekonstruksi akan berpengaruh pula pada proses penyelesaian penyidikan tindak pidana. Sebelum kita menguraikan lebih lanjut, maka sebaiknya penulis mengemukakan terlebih dahulu pengertian rekonstruksi. Adapun pengertian rekonstruksi menurut Andi Hamzah : Rekonstuksi berasal dari bahasa inggris yaitu reconstruction yang artinya penyusunan kembali, jadi rekonstuksi adalah usaha memeriksa kembali kejadian terjadinya delik dengan mengulangi peragaan seperti kejadian yang sebenarnya. Ini di lakukan baik oleh penyidik maupun oleh hakim, untuk memperoleh keyakinan.
16
16
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, jakarta, 1984, hal 502
Jadi untuk lebih meyakinkan kepada pemeriksa dalam rangkaian penyidikan, dilakukan rekonstruksi oleh penyidik guna memberikan gambaran yang jelas tentang terjadinya suatu tindak pidana dengan jalan memperagakan kembali cara tersangka melakukan perbuatannya. Perbuatan yang dilakukan tersangka di tempat kejadian perkara merupakan kunci pokok untuk mengetahui suatu kejahatan yang telah dilakukan dan paling tidak ada petunjuk di tempat kejadian perkara dengan tidak mengabaikan tujuan diadakannya rekonstruksi yakni untuk mendapatkan kebenaran materiil yang diperlukan dalam rangka penyidikan serta di persidangan. Adapun pelaksanaan rekonstruksi itu idealnya memang harus dilakukan di TKP yang sebenarnya, karena dengan dilakukannya di tempat sebenarnya akan lebih memudahkan pemeriksaan. Namun tidak jarang rekonstruksi tidak dilakukan diTKP sebenarnya, sehingga pelaksanaan rekonstruksinya dilakukan di tempat yang nantinya ditentukan oleh penyidik. Biasanya hal ini terjadi pada kasus-kasus besar yang bisa meresahkan masyarakat, dikarenakan adanya hambatan dari masyarakat yang belum reda emosinya akibat kasus yang terjadi dilingkungannya. Dalam pelaksanaan rekonstruksi itu adalah upaya yang dilakukan pihak kepolisian untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang terjadinya suatu peristiwa pidana dengan jalan memperagakan kembali cara tersangka dalam melakukan tindakannya. Rekonstruksi merupakan salah satu bentuk kegiatan pemeriksaan dalam rangka pengungkapan perkara pidana yang dilakukan tersangka. Dengan diperagakannya kembali maka disini akan diketahui benar tidaknya keterangan yang telah diberikan tersangka kepada penyidik, sehingga dapat pula diketahui apakah tersangka benar-benar pelakunya atau bukan.
H. Kegunaan tempat kejadian perkara dalam proses penyidikan untuk mengungkap suatu tindak pidana Sebelum membahas lebih lanjut mengenai seberapa jauh kegunaan tempat kejadian perkara dalam proses penyidikan untuk mengungkap suatu tindak pidana, terlebih dahulu akan penulis berikan batasan mengenai arti kegunaan yang berkaitan dengan judul di atas. AdapunpPengertian kegunaan berasal dari kata guna, yang mempunyai arti sebagai berikut: ”1. faedah, manfaat; 2. kepentingan; dalam hal penggunaan proses , perbuatan, cara mempergunakan sesuatu, pemakaian”. 21
21
Departemen pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka,1989, hal 286
Dari pengertian tersebut di atas jelaslah bahwa kata kegunaan mempunyai pengertian sebagai manfaat dalam hal penggunaan suatu proses. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, penulis mengartikan kata kegunaan tersebut sebagai fungsi, yaitu dalam fungsinya tempat kejadian perkara sebagai salah satu alat yang paling penting dalam proses penyidikan, khususnya dalam penyidikan tindak pidana. Pada dasarnya di dalam kegiatan penyidikan suatu tindak pidana
terdapat beberapa teknik atau kegiatan antara lain penyelidikan,
pemeriksaan serta penyelesaian dan penyerahan berkas perkara. Bekas-bekas dan barang-barang bukti lainnya dicari dengan teliti, yang diketemukan dipotret dan dicatat, dimana dan bagaimana diketemukan, dibeslah, dikumpulkan, di bungkus yang rapi dan diberi catatan-catatan seperlunya agar jangan keliru dan agar mudah untuk diketahui, jika perlu disegel agar tidak tertukar. Pencarian, pengumpulan, penyimpanan, pengiriman, bekas-bekas dan bukti-bukti tersebut harus betul-betul dikerjakan menurut tehnik ilmiah yang telah ditentukan, jangan bertindak gegabah untuk menghindarkan segala macam kesalahan-kasalahan, oleh karena itu nilai kebenaran dari bukti-bukti fisik untuk dapat dipercaya tergantung dari prosedur : 1. cara penemuannya, 2. cara pengambilannya, 3. cara pengumpulannya, 4. cara pembungkusannya, 5. cara pengirimannya ke laboratorium, 6. cara pemeriksaannya di labolatorium dan 7. cara penyimpanannya sebelum perkara di sidangkan. Sehubungan dengan hal-hal yang telah diutarakan di atas, perlu penulis kemukakan bahwa fakta-fakta kebenaran seperti keterangan-keterangan dan bukti-bukti yang telah dapat dikumpulkan oleh penyidik atau penyidik pembantu tersebut dalam usahanya untuk mendapatkan barang-barang bukti secukupnya. Oleh sebab itu , setelah fakta-fakta kebenaran seperti bukti-bukti telah terkumpul, maka mulailah ia menyusun berbagai kemungkinan untuk menggambarkan tindak pidana yang terjadi dan usaha untuk menemukan pelakunya. Untuk itu penyidik dan atau penyidik bantuan harus mempunyai daya fantasi tertentu, dalam arti mempunyai pikiran yang kreatif dan logis, karena ia harus dapat memahami akibat-akibat dari sesuatu perbuatan, keadaan dan kejadian serta dapat mengerti pula sebab-sebab dari perbuatan, keadaan dan kejadian itu . Selanjutnya secara singkat, bahwa segala hasil pengolahan di TKP yaitu semua yang dilihat, didengar dan diketemukan serta segala tindakan-tindakan yang telah diambil oleh
penyidik dan atau penyidik pembantu di tempat kejadian perkara tersebut, segera dituangkan dalam sebuah Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang antara lain dalam garis besarnya berisi hal-hal sebagai berikut : 1. Umum 2. Tanggal pembuatan berita acara. 3. Petugas yang menangani TKP. 4. Sumber laporan. 5. Tugas yang dilakukan. 2. Hasil-hasil yang diketemukan di TKP harus memuat hal-hal sebagai berikut: A. Situasi umum TKP (TKP dalam arti luas). a. Apakah TKP yang berupa rumah tinggal, tempat-tempat yang umum, gudang atau tempat yang terbuka dan sebagainya. b. Batas-batas TKP artinya apakah TKP merupakan sebuah rumah yang dipagari, dengan apa saja rumah itu berbatasan. c. Keadaan cuaca TKP artinya misalnya sewaktu TKP didatangi cuaca cerah, tapi tanah lembab diduga akibat hujan pada malam harinya dan sebagainya. B. Situasi khusus TKP (TKP dalam arti sempit) a. Keadaan TKP, penguraian situasi TKP dalam pandangan yang lebih dekat. b. Letak atau posisi korban uraikan secermat mungkin. 3. Tindakan-tindakan yang telah diambil harus memuat hal-hal sebagai berikut: 1. Tindakan pertama di TKP berupa apa dan siapa yang melakukan. Bila tindakan pertama tersebut di atas disempurnakan catat kegiatan tersebut serta siapa yang melakukan. 2. Sebagai kelengkapan Berita Acara, terdapat lampiran antara lain : a. Sketsa tempat kejadian perkara yang dibuat diatas kertas milimeter. b. Album foto hasil pemotretan TKP (cukup berupa potret-potret TKP yang ditempelkan di atas kertas folio dengan data pemotretan lengkap). c. Dalam hal di TKP ditemukannya korban mati, dianjurkan membuat sketsa keadaan korban. Menenai berita acara, maka yang membuat BAP tersebut adalah penyidik yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 8 KUHAP ayat (1) yang berbunyi ”Penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 75 dengan tidak mengurangi ketentuan lain dalam undang-undang ini”. Sedangkan bunyi pasal 75 KUHAP adalah
(1). Berita Acara dibuat untuk setiap tindakan tentang: a. Pemeriksaan tersangka; b. Penangkapan; c. Penahanan; d. Penggeledahan; e. Pemasukan rumah; f. Penyitaan benda; g. Pemeriksaan surat; h. Pemeriksaan saksi; i. Pemeriksaan Tempat Kejadian Perkara; j. Pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan; k. Pelaksanaan tindakan lainsesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini. (2). Berita Acara dibuat oleh pejabat yang bersangkutan dalam melakukan tindakan trsebut pada ayat (1) dan dinuat atas kekuatan sumpah jabatan. (3). Berita acara tersebut selain ditanda tangani oleh pejabat tersebut pada ayat (2) ditanda tangani pula oleh semua pihak yang terlibat dalam tindakan tersebut pada ayat (1). Hal-hal yang diuraikan di atas, adalah apabila pemeriksaan di TKP dapat mencapai hasil yang memuaskan, dalam arti bisa mendapatkan barang-barang bukti secukupnya, maka mudah untuk mengungkap suatu tindakan pidana yang terjadi. Sebab dengan pengolahan TKPyang baik atau teliti akan mudah mengungkapkan suatu kasus secara keseluruhan. Kalau TKP-nya rusak atau sulit untuk dipastikan maka jalannya penyidikan juga akan mengalami hambatan karena TKP merupakan langkah awal dariproses penyidikan. Atas dasar uraian di atas, jelaslah bahwa TKP itu sangat berguna seperti yang dikatakan oleh Aiptu Adi Sunarto bahwa ”Kegunaan TKP itu sangat penting mengingatdi TKP nantinya akan diketemukan keterangan-keterangan atau bukti-bukti penting yang perlu diolah dalam mengungkap kasus yang terjadi, adapun kegunaan itu sebatas kegiatan penyelidikan dalam proses penyidikan”. Selanjutnya kegunaan TKP seperti yang dikatakan adalah: ”Bahwa TKP berguna di dalam poses penyidikan tindak pidana, karena TKP dapat digunakan: 1. Sebagai alat bukti; 2. Sumber keterangan untuk mencari saksi; 3. Sebagai sumber untuk mencari barang bukti; 4. Sebagai suber untuk mencari pelaku”.
Dengan itu maka TKP mutlak diperlukan, karena dengan barang-barang dan buktibukti yang dikumpulkan di TKP itu, penyidik melakukan langkah awal guna mengungkap suatu kasus. Dari sini dapat dikatakan bahwa tempat kejadian perkarampunyai kegunaan sebagai tempat yang dapat memberikan petunjuk mengenai suatu tindak pidana yang terjadi. Dengan kata lain dapat pula disebutkan bahwa kegunaan TKP adalah sebagai salah satu sumber keterangan dan bukti-bukti penting yang harus diolah dalam usaha mengungkap tindak pidana yang terjadi. Tempat kejadian perkara merupakan kunci pemecahan, di dalam usaha pengungkapan suatu tindak pidana dan sebagai langkah awal suatu kegiatan pengungkapan kejahatan, sehingga nilai TKP dalam upaya mengungkap suatu tindak pidana tidaklah diragukan lagi. TKP selain menyajikan bukti-bukti obyektif (obyek mati) sebagai akibat dari perubahan-perubahan pada alam sekitar akibat adanya suatu tindak pidana, menyajikan juga bukti-bukti subyektif yang berupa keterangan-keterangan saksi, maupun informasi-informasi lainnya yang diperlukan bagi kegiatan penyidikan untuk mengungkap suatu tindak pidana.
I. Kewenangan kepolisian dalam penyidikan pada tempat kejadian perkara berlainan dengan wilayah tempat diketemukannya korban atau hasil kejahatan Banyak kejahatan yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Ini merupakan tugas yang berat bagi aparat kepolisian di dalam usahanya untuk menuntaskan semua tindak pidana. Di sisi lain masyarakat selalu menuntut aparat kepolisian untuk segera dapat menyelesaikan perkara-perkara tersebut. Oleh sebab itu pihak kepolisian telah mencoba mencari jalan keluarnya agar setiap perkara pidana yang terjadi dapat langsung segera ditangani. Berlainannya tempat kejadian perkara dengan tempat diketemukannya korban atau hasil kejahatan ini seringkali terjadi dikarenakan pelaku ingin mengaburkan bukti-bukti sehingga ia sulit untuk ditangkap. Dapat kita ambil contoh misalnya pada kasus pembunuhan, diketemukannya mayat di Tulungagung, setelah diselidiki oleh pihak kepolisian Tulungagung ternyata pembunuhannya dilakukan di Sidoarjo dan diperkirakan pelakunya berada di Sidoarjo. Di sini pihak Kepolisian Tulungagung harus bekerjasama dengan pihak kepolisian Sidoarjo dalam usahanya untuk mengungkapkan perkara pidana tersebut, hal ini disebabkan karena wilayah tempat kedudukannya korban pembunuhan berlainan tempat dengan peristiwa terjadinya. Peltu Kosnan mengatakan bahwa ”dalam kasus seperti ini pada prakteknya terdapat perbedaan pelaksanaan antara penyidikan dan penyelidikan
yakni dalam hal
penyelidikan pihak kepolisian yang berkepentingan bisa masuk ke wilayah mana saja di
seluruh Indonesia, hanya saja harus lapor dahulu atau datang lapor kepada pihak kepolisian yang dimasuki wilayahnya dan penyelidik harus dilengkapi dengan surat jalan dan surat tugas, sedangkan dalam hal penyidikan apabila dalam pengembangan penyidikan diketemukan TKP-nya berada di lain tempat atau diluar wilayahnya, maka berkas-berkas hasil pemeriksaan dan hasil-hasil penyidikan lainnya dikirimkan ke wilayah hukum yang bersangkutan disertai surat pengantar”. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa meskipun terjadi perbedaan wilayah antara tempat kejadian perkara dengan wilayah tempat diketemukannya korban atau hasil kejahatan tidaklah menghalangi pihak kepolisian untuk mengungkap perkara pidana tersebut, karena walaupun terjadi perbedaan wilayah pihak kepolisian masih tetap bisa saling bekerjasama antara satu dengan yang lainnya.
J. Usaha-usaha bila tempat kejadian perkara belum diketahui secara pasti Pertama-tama yang perlu kita ketahui adalah bahwa usaha untuk menuju suatu keberhasilan tidak selalu melalui jalan yang mulus seperti yang kita harapkan. Kadangkadang usaha untuk menuju suatu keberhasilan itu kita capai dengan pengorbanan. Namun itulah kenyataan yang sering kita jumpai dalam kehidupan di dunia ini. Begitu juga usahausaha yang dilakukan pihak kepolisian dalam upaya untuk mengungkap suatu perkara pidana seringkali mengalami hambatan-hambatan dalam praktek pelaksanaannya. Sebagaimana telah diketahui, bahwa TKP itu merupakan kunci awal atau tempat utama dalam langkah untuk mencari dan mengumpulkan barang bukti guna membuat terang perkara pidana, yang mana dengan bukti-bukti terebut dapat diungkap pelakunya serta dapat dilakukannya pemeriksaan terhadap suatu kasus pidana. Atas dasar itu, dapat dijelaskan bahwa langkah pertama dalam penyidikan perkara pidana adalah mengumpulkan dan mencatat sebanyak mungkin keterangan-keterangan, hal-hal yang bersangkutan, data-data atau fakta-fakta yang benar mengenai tindak pidana yang terjadi. Berdasarkan atas hal-hal yang disebutkan di atas itulah kemudian dicoba membuat gambaran kembali apa yang telah terjadi. Fakta-fakta yang masih kurang harus terus dicari untuk melengkapinya, sehingga akan lengkap di dalam mendapatkan gambaran peristiwa yang terjadi. Nantinya diharapkan suatu perkara pidana akan dapat terungkap dan pelakunya akan dapat ditangkap. Akan tetapi pada kenyataannya tidaklah semudah atau sama seperti yang dibayangkan. Sebab dalam kehidupan masyarakat tidak sedikit tindak pidana yang terjadi, yang mana dalam proses penyidikannya mengalami berbagai kesulitan sehingga menemui jalan buntu, dan akhirnya perkara pidana tersebut tidak dapat terungkap atau diselesaikan.
Terhadap pendapat di atas dapat disadari, sebab dengan diketahuinya tersangka berarti identitasnya si pelaku telah jelas, sehingga untuk menangkapnya tidaklah sulit walaupun juga tidak mudah. Demikian juga dapat disadari, bahwa untuk menemukan tersangkanya, pada umumnya harus menjawab pertanyaan-pertanyaan itu semua. Dalam hal ini berhasil terjawabnya yaitu siapa pelakunya (yang sebelumnya tidak diketahui), menurut penulis adalah tergantung dari dapat dicari atau dikumpulkannya barang-barang bukti dan dari situ dapat dilakukan pemeriksaan terhadap barang bukti, misalnya ada sidik jari yang masih tertinggal, sehingga pelakunya dapat ditangkap. Adapun barang-barang bukti yang dimaksud, pada umumnya terdapat di TKP. Dikatakan pada umumnya karena pada kenyataannya bisa terjadi di TKP ternyata tidak didapat bukti-bukti yang cukup atau TKP nya berlainan tempat dengan diketemukannya korban (tidak pasti) sehingga mempersulit jalannya penyidikan dan pelakunya tidak dapat diketemukan, maka dari itu usaha penyidik bagaimanapun juga TKP harus dicari sedapat mungkin, karena TKP itu tidak hanya di satu tempat saja, bahkan tempattempat lain yang sekiranya berhubungan harus juga dilacak sehubungan dengan adanya tindak pidana yang terjadi. Dengan kata lain dapat ditelusuri secara cermat sehingga dapat diketemukan karena dengan diketemukannya TKP ini langkah-langkah pengusutan selanjutnya dapat dilanjutkan. Hal ini didasarkan bahwa yang dicari dalam peristiwa kriminal adalah tempatnya yakni TKP, yang mana belum diketahui oleh penyidik dan harus diketemukan disamping itu TKP berguna untuk memperlancar jalannya penyidikan, tetapi pada prakteknya TKP bukan faktor yang dominan untuk mengungkap suatu kasus, apabila TKP itu tidak pasti atau tidak menghasilkan barang bukti yang diperlukan, maka penyidikan dilakukan dengan cara interogasi kepada pelapor kejadian dan mendengarkan keterangan dari saksi penderita, saksi ahli dan saksi-saksi yang pertama kali mengetahui perkara dan dari barang bukti yang dihasilkan, dengan demikian penyidikan dapat terus dilanjutkan”.
K. Kesimpulan Tindakan yang dilakukan penyidik di tempat kejadian perkara adalah usaha awal yang paling penting untuk menyidik lebih lanjut tindak pidana itu, yang antara tindakan yang satu dan dengan lainnya tidak terpisahkan. Tujuan tindakan di tempat kejadian perkara adalah agar tindakan-tindakan penanganan TKP itu dapat dilaksanakan dengan tertib, lancar, aman dan untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup. Sehingga kemampuan dan penguasaan teknik dan taktik penanganan TKP sangat diperlukan bagi setiap petugas Polri guna memungkinkan berhasilnya penyidikan selanjutnya. Berhasil tidaknya usaha tidakan pertama di tempat kejadian perkara itu adalah terantung dari pengolahan TKP yang dilakukan dengan
teliti dan lengkap sebagai salah satu aspek dalam penyidikan yang penting dari seluruh proses penyidikan. Tempat kejadian perkara sangat berguna dalam proses penyidikan untuk mengungkap suatu tindak pidana, terutama adalah sebagai tempat dimana dapat diketemukannya bukti-buti yang penting dalam mencari keterangan dan mengumpulkan barang bukti yang perlu diolah untuk membuat terang tindak pidana itu.
B. Saran-saran Mengingat bahwa TKP adalah merupakan tempat yang penting untuk mendapatkan bukti-bukti dan keterangan-keterangan, maka penyidik dan atau penyidik penyidik pembantu yang datang pertam kali di TKP, hendaknya harus betul-betul menjaga keaslian kondisi TKP supaya bukti-bukti yang ada padanya tidak hilang, rusak, berubah atau bertambah untuk memperlancar pemeriksaan selanjutnya. Perlu ditingkatkan fasilitas-fasilitas yang telah ada guna menunjang kelancaran tugas-tugas aparat Polri baik itu di kota maupun di daerah-daerah terpencil. Guna berhasilnya proses penyidikan suatu kasus tindak pidana, maka di dalam mengolah TKP sebaiknya pejabat yang berwenang harus memiliki ketelitian agar tidak terjadi kesalahan yang berakibat fatal dalam proses penyidikan selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah, Pengusutan Perkara Kriminil Melalui Sarana Teknik dan Sarana Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998 ......................., Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984 Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indoesia, Yogyakarta, 2006 Departemen Pendidikan dan Keudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN Balai Pusaka, Jakarta 1989 Gerson W. Bawengan, Hukum Pidana dalam Teori dan Praktek, Pradna Paramita, Jakarta, 1999 ......................, Penyidikan Perkara Pidana dan Teknik Interogasi, Pradnya Paramita, Jakarta 1989 H. Hadiman: R. Mulyatno, U Hutapea, Soeparmin, Maislan Sharif, Almanak Kepolisian Republik Indonesia, P.T Dutarindo Adv, Jakarta, 1985 Hari Sasangka: Lily Rosita, Auust M., Penyidikan, Penahanan, Penuntutan dan Praperadilan. Dharma Surya Berlian, Surabaya, 1990 John Z. Loude, Beberapa Aspek Hukum Materiil dan Hukum Acara dalam Praktek, Bina Aksara, Jakarta, 1988 Karjadi M, Tindakan dan Penyidikan Pertama di Tempat Kejadian Perkara, Politea, Bogor, 2001 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana No. 8 tahun 1981, Aneka Ilmu, Semarang, 1984 Martiman Prodjohamidjojo, Penyelidikan dan Penyidikan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982 Marzuki, Metodologi Riset, Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi, UII, Yogyakarta, 1982 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1998 Ronny Hanintijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983 Soedjono Dirdjosisworo, Kriinalistik dan Ilmu Forensik, Bandung, 1976 Soerjono Soekanto, Tata Cara Penyusunan Karya Tulis Ilmiah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983
Soesetio Pramoesinto, Kriminalistik, Komando Pengembangan Pendidikan dan Latian Polri, Jakarta, 1983 Soesilo R., Kriminalistik (Ilmu Penyidikan Kejahatan), Politea, Bogor, 2006 ................, KUHP serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politea, Bogor, 1981 Soesilo Yuwono, Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP, Sistem dan Prosedur, Alumni, Bandung, 1989