PERAN SENTRAL PENDIDIKAN DALAM MENGENTASKAN KEMISKINAN DI PEDESAAN DAN MENJAGA KETAHANAN PANGAN NASIONAL
Hilda L. Masniaritta Pohan
(Disampaikan pada acara Orasi Ilmiah Dies Natalis ke 62 Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan tanggal 27 Januari 2017 di Bandung) Para hadirin yang saya hormati, pada hari ini Jumat 27 Januari 2017 saya mendapat kesempatan untuk menyampaikan orasi ilmiah dalam rangka peringatan hari jadi Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan yang ke 62. Orasi berjudul “Peran Sentral Pendidikan dalam Mengentaskan Kemiskinan di Pedesaan dan Menjaga Ketahanan Pangan Nasional” saya susun dengan dilatarbelakangi oleh kesadaran tentang jamaknya kemiskinan dan kesenjangan antar wilayah di negeri ini. Pemilihan judul orasi juga dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa pendidikan memiliki potensi yang luar biasa dalam upaya pengentasan kemiskinan. Karena itu, berbagai langkah perlu disusun guna mendukung dan melengkapi strategi pengentasan kemiskinan melalui perbaikan pendidikan. Hadirin sekalian, menurut publikasi Bank Dunia PDB per kapita Indonesia telah mencapai $3.346,5 pada tahun 2015. Angka ini adalah sebuah peningkatan yang berarti dibandingkan dengan kondisi Indonesia pada dekade 1990-an saat PDB per kapita Indonesia baru bernilai sekitar $631. Pencapaian ini sejalan dengan beralihnya Indonesia dari kategori negara berpendapatan rendah ke dalam kategori negara berpendapatan menengah. Prestasi ekonomi Indonesia juga dikuatkan oleh bergabungnya Indonesia ke dalam kelompok G-20; sebuah organisasi internasional berisikan negaranegara yang dinilai memiliki peran dan posisi yang signifikan terhadap perekonomian global. Secara intuitif, pendapatan nasional akan berbanding terbalik dengan kemiskinan. Angka kemiskinan yang makin rendah seharusnya ditunjukkan oleh negara yang makin sejahtera. Kenyataannya, meski telah mencatat berbagai capaian ekonomi makro di atas keberhasilan Indonesia dalam pengentasan kemiskinan masih tertinggal dibandingkan dengan beberapa negara tetangga ASEAN dan negara berpendapatan menengah lainnya. Hal ini dapat ditunjukkan oleh pergerakan indikator kemiskinan di level nasional, yaitu persentase penduduk yang masuk ke dalam kategori miskin. Seperti yang disajikan dalam tabel 1, selama sepuluh tahun terakhir laju penurunan persentase penduduk miskin di Thailand mencapai lebih dari 16 poin. Bahkan, Kamboja mencatat laju penurunan
1
sebesar 32,5 poin. Proporsi penduduk miskin di Kolombia turun sebanyak lebih dari 17 poin sementara Indonesia baru mencatat laju penurunan persentase penduduk miskin sekitar 5 poin. Tabel 1. Perbandingan persentase penduduk miskin terhadap total populasi Negara
Tahun
Perubahan (poin)
2005
2010
2015
2005-2010
2010-2015
2005-2015
Malaysia
5,70
3,80
0,60
1,90
3,20
5,10
Kamboja
50,20
22,10
17,70
28,10
4,40
32,50
Thailand
26,80
16,40
10,50
10,40
5,90
16,30
Kolombia
45,00
37,20
27,80
7,80
9,40
17,20
Indonesia
16,00
13,30
11,30
2,70
2,00
4,70
El Savador
35,20
36,50
31,80
1,30
4,70
3,40
Filipina
24,90
26,27
25,23
1,37
1,04
0,33
Sumber: The World Bank, 2016; diolah Hadirin yang saya hormati, isu kemiskinan selalu relevan untuk dibahas terutama dalam kaitannya dengan proses pembangunan sebuah negara. Kemiskinan menghalangi seseorang untuk bisa memperoleh pendidikan yang baik maupun akses terhadap kesehatan yang layak. Kedua hal ini menyebabkan rendahnya produktivitas seseorang yang kemudian kembali membawanya ke dalam kondisi miskin. Hubungan timbal balik ini sering disebut sebagai lingkaran setan kemiskinan atau vicious cycle of poverty. Selain itu, kemiskinan juga merugikan negara karena dengan banyaknya orang yang masuk dalam kategori miskin akan semakin rendah pula kualitas sumber daya manusianya. Hal ini membuat produktivitas penduduk dan pendapatan nasional pun rendah. Seperti yang dilaporkan oleh Bank Dunia, buruknya kesehatan dan pendidikan selalu ditemui di negara-negara berpendapatan rendah dan dengan tingkat kemiskinan yang lebih mengkhawatirkan. Sebagai contoh, pendapatan per kapita di Burkina Faso adalah $522 per orang per tahun. Di sana, hanya terdapat 15% dari anak-anak yang mengenyam pendidikan dan hanya 17% penduduk saja yang memiliki akses terhadap sanitasi yang baik. Sebaliknya, di negara kaya seperti Denmark dan Swiss yang memiliki pendapatan per kapita sebesar $56.227 dan $ 65.790 per tahun penyediaan fasilitas di atas sudah mencapai 100% (Bank Dunia dalam Pohan, 2013). Kemiskinan juga memiliki aspek intergenerasi. Anak-anak yang lahir dari keluarga miskin biasanya mengalami kendala untuk memperoleh pendidikan dan perawatan kesehatan. Akibatnya anak-anak ini akan memiliki produktivitas yang rendah saat mereka dewasa dan berakhir menjadi orang-orang miskin pula. Pemikiran ini telah banyak dikonfirmasi secara empiri. Sebagai contoh, Fields (2003) melakukan penelitian yang melibatkan negara-negara dengan berbagai tingkat pendapatan, 2
yaitu: Spanyol, Venezuela, Indonesia, dan Afrika Selatan. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa pendapatan orang tua selalu berkorelasi positif dengan pendapatan anaknya. Hal serupa juga ditemukan oleh penelitan-penelitian karya Solon (1992) dan Jenkins (2000) yang masing-masing menggunakan data Amerika Serikat dan Inggris. Kemiskinan pada level makro lebih banyak ditemukan di pedesaan. Di Indonesia, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) mencatat terdapat 183 kabupaten di Indonesia yang masuk ke dalam kategori daerah tertinggal. Jika mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri tahun 2011 tentang penetapan wilayah administrasi, rata-rata kabupaten di Indonesia memiliki sedikitnya 168 desa. Artinya, terdapat hampir 31.000 desa di Indonesia yang masuk ke dalam kategori desa tertinggal. Desa-desa ini dihuni oleh hampir 18 juta jiwa, angka yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan angka kemiskinan di kota yang mencapai sekitar 11 juta jiwa (BPS, 2013). Dengan jamaknya kemiskinan di desa, ancaman vicious cycle of poverty lebih mengkhawatirkan di desa daripada di kota. Salah satu penyebabnya adalah dominasi sektor pertanian dalam aktivitas ekonomi penduduk desa. Kebergantungan yang tinggi pada alam serta jeda waktu yang panjang antara masa tanam dan masa panen membuat produksi pertanian sangat rentan terhadap kegagalan. Pada saat gagal panen terjadi, tidak jarang sebuah keluarga di desa terpaksa melepaskan aset yang mereka miliki atau menghentikan proses akumulasi modal guna menjaga ketahanan keuangan rumah tangga. Namun, hal ini memberikan dampak negatif pada produktivitas jangka panjang dan menjerumuskan mereka dalam jurang kemiskinan seperti yang ditampilkan pada gambar 1 (Taylor & Lybbert, 2012). Gambar 1. Jebakan kemiskinan masyarakat agraris 𝐴𝑡+1
𝐵
𝐴
𝑃𝑜𝑣𝑒𝑟𝑡𝑦 𝑡𝑟𝑎𝑝 𝑧𝑜𝑛𝑒
𝐴𝑡
3
Pada gambar di atas, sumbu datar mewakili jumlah aset yang dimiliki petani saat ini sedangkan sumbu tegak mewakili jumlah aset di periode berikutnya. Garis 45𝑜 menggambarkan kondisi di mana aset yang dimiliki oleh para petani selalu tetap baik di periode sekarang maupun di periode mendatang. Jika petani saat ini berada pada titik A, kondisi normal tanpa guncangan akan membuat aset yang dimiliki bernilai tetap. Apabila terjadi gagal panen yang berakibat pada pelepasan aset, maka pada masa tanam berikutnya petani akan memiliki modal kerja yang lebih sedikit. Secara grafis hal ini ditunjukkan oleh pergerakan dari titik A ke bawah. Dengan berkurangnya aset, maka produktivitas turun sehingga pendapatan pun berkurang yang berdampak pada pelepasan aset lainnya pada periode tersebut. Proses ini ditunjukkan oleh pergeseran ke sebelah kiri. Semakin lama, petani akan semakin tidak produktif sehingga menjadi semakin miskin. Mengingat dampak negatif yang muncul akibat kemiskinan bisa demikian destruktif, tidaklah mengherankan bahwa pengentasan kemiskinan telah menjadi sebuah agenda global yang diupayakan melalui berbagai cara. Salah satu jalur konvensional yang sering dipilih adalah industrialisasi. Industrialisasi dipercaya sebagai strategi pembangunan nasional yang tepat karena kemampuannya menggenjot pertumbuhan ekonomi. Dengan mendorong laju pertumbuhan sektor industri maka akan semakin banyak lapangan pekerjaan yang tercipta sehingga masyarakat bisa semakin kaya dan secara otomatis berarti juga mengatasi masalah kemiskinan. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Lewis (1972) sektor industri harus diberi prioritas dalam strategi pembangunan karena nilai tambahnya yang tinggi dibandingkan dengan sektor pertanian sehingga dapat dijadikan motor penggerak pembangunan. Selain itu, sektor industri juga memiliki tingkat ketidakpastian yang jauh lebih rendah dibandingkan sektor pertanian karena proses produksinya tidak bergantung pada alam dan tidak memiliki jeda waktu yang lama. Teori pertumbuhan ekonomi memahami industrialisasi sebagai sebuah proses yang akan terjadi secara alamiah seiring kemajuan sebuah negara. Implikasi logisnya, jumlah tenaga kerja yang diserap oleh sektor pertanian berkurang dan jumlah penduduk yang tinggal di daerah pedesaan pun akan turun. Publikasi badan internasional mengonfirmasi pemikiran tersebut. Organisasi pangan dunia FAO melaporkan bahwa lebih dari 54% penduduk dunia kini tinggal di perkotaan (FAO, 2015). Di Indonesia, kontribusi sektor industri terhadap PDB selalu berkisar antara 25-30% selama lebih dari 15 tahun terakhir. Penyerapan tenaga kerja oleh sektor industri pun selalu bergerak naik dari sekitar 8% di dekade 1980-an menjadi 13% di awal tahun 2016. Lebih jauh lagi, wilayah pedesaan kini tidak lagi identik dengan pertanian. Seperti yang disajikan dalam tabel 2 berikut, Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia menjabarkan berbagai sumber pendapatan masyarakat desa, baik yang bermata pencaharian sebagai petani maupun bukan. 4
Sekitar tiga dekade yang lalu, hampir 75% dari pendapatan rumah tangga buruh tani datang dari sektor pertanian. Namun kini buruh tani tidak lagi mengandalkan pertanian sebagai sumber utama pendapatannya. Hal ini dibuktikan oleh proporsi sumbangan upah pertanian terhadap total pendapatan rumah tangga petani yang hanya mencapai sekitar 44%. Artinya, sektor pertanian tidak lagi menjadi bagian yang substansial dalam kehidupan penduduk desa. Fenomena di atas pernah juga dipaparkan oleh Priyarsono, Daryanto, dan Herliana (2005) meski menggunakan teknik penghitungan yang berbeda. Dalam penelitiannya mereka menemukan bahwa di Indonesia lebih dari setengah pendapatan rumah tangga pertanian justru berasal dari kompensasi pekerja di sektor non pertanian. Gambaran kita tentang desa yang dipenuhi oleh hamparan tumbuhan hijau, para petani yang sedang menggarap sawah dan ladangnya, atau bunyi jangkrik di malam hari kini hanyalah sebatas nostalgia. Tabel 2. Distribusi Sumber Pendapatan Masyarakat Desa, Tahun 1985 – 2008 Sumber Pendapatan Upah dan Gaji Rumah Tangga
1985
74.64
Non Pertanian (%) 17.50
2.38
Non Pertanian (%) 5.48
1995
60.48
15.84
18.44
5.24
2008
43.80
36.18
15.65
4.37
1985
3.23
10.04
76.84
9.89
1995
4.18
17.07
64.13
14.62
2008
11.48
26.95
49.22
12.35
1985
4.25
53.09
6.09
36.57
1995
12.96
43.56
11.12
32.36
2008
7.24
48.04
12.88
31.84
1985
0.60
61.64
2.15
35.60
1995
1.72
55.12
24.50
18.65
2008
4.96
37.35
26.72
30.97
Pertanian (%) Buruh Tani
Pengusaha Pertanian
Non Pertanian Bawah
Non Pertanian Tinggi
Bukan Upah dan Gaji
Tahun Pertanian
Sumber: Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia; diolah Hadirin sekalian, dalam beberapa tahun belakangan pedesaan Indonesia telah menyaksikan proses industrialisasi yang sangat substansial. Salah satu wujudnya adalah dengan merambahnya berbagai sarana rekreasi dan pariwisata ke desa-desa. Meski secara makro industrialisasi memang memperbaiki kehidupan masyarakat desa, yang salah satunya ditunjukkan oleh perbaikan berbagai sarana dan prasarana publik, namun manfaat tersebut belum dapat diterjemahkan ke level mikro. 5
Hadirnya kegiatan bisnis secara intuitif harusnya menciptakan lapangan pekerjaan bagi penduduk desa. Akan tetapi nyatanya para pelaku bisnis tersebut lebih suka mempekerjakan karyawan dari kota daripada mempekerjakan penduduk setempat. Alasan klasik yang dikemukakan adalah tidak selarasnya kemampuan yang dimiliki oleh para pekerja lokal dengan kebutuhan sektor pariwisata. Sebagai contoh, pengelola Floating Market Lembang (salah satu lokasi wisata di Bandung Utara) dalam sebuah wawancara menyebutkan bahwa pegawai lokal yang dipekerjakan di tempat itu tidak lebih dari 10 persen saja. Itu pun hanya terbatas pada pekerjaan-pekerjaan minor seperti pramu saji, satpam, atau penjaga parkir. Informasi tesebut memberikan gambaran bahwa proses industrialisasi, setidaknya yang terjadi di desa-desa sekitar Bandung, tidak memberi dampak yang terlalu signifikan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Melalui gambar 2 saya menunjukkan bahwa fenomena yang paralel terjadi juga secara nasional. Dalam jangka waktu tiga dasawarsa tingkat kemiskinan secara umum memang berkurang. Hal ini sejalan dengan perbaikan ekonomi makro serta peningkatan kontribusi industri dalam perekonomian Indonesia. Saat perekonomian berada dalam kondisi baik jumlah penduduk miskin di pedesaan berkurang secara signifikan. Laju penurunannya bahkan lebih pesat daripada penurunan jumlah orang miskin di perkotaan. Walaupun demikian jumlah penduduk miskin di pedesaan tetap selalu lebih tinggi daripada di perkotaan. Sebaliknya, ketika terjadi guncangan negatif terhadap perekonomian nasional pedesaan pulalah yang lebih sensitif terhadap dampaknya. Saat kita mengalami krisis ekonomi pada tahun 1997-1998 dimana terjadi pelarian modal besarbesaran dari Indonesia, jumlah penduduk miskin di desa melesat lebih pesat daripada di kota. Gambar 2. Perbandingan jumlah penduduk miskin di desa dan di kota
Sumber: Biro Pusat Statistik (2013), diolah Uraian di atas mengonfirmasi berbagai temuan empiri yang berpendapat bahwa dalam banyak kasus strategi industrialisasi dianggap tidak pro poor atau berpihak pada kaum miskin. Tidak 6
banyak manfaat industrialisasi yang dapat dinikmati oleh masyarakat berpendapatan rendah, apalagi oleh masyarakat desa. Sebagai contoh, Yao dan Liu (1998) melaporkan bahwa ketimpangan pendapatan antar wilayah di Cina memburuk meskipun pertumbuhan ekonomi negeri tirai bambu tersebut melesat sebagai hasil proses industrialisasi. Hadirin yang saya hormati, berbagai fenomena ini memotivasi saya untuk berbicara tentang jalur alternatif yang dapat ditempuh guna mengentaskan kemiskinan di pedesaan. Perlu dipahami bahwa kemiskinan adalah sebuah isu yang kompleks, sehingga upaya memaparkan semua aspek yang terkait dengan kemiskinan dalam sebuah tulisan tentunya adalah sesuatu yang naif dan mustahil. Melalui orasi kali ini saya ingin berfokus pada pendidikan karena seiring berubahnya tatanan kehidupan masyarakat desa peran pendidikan justru menjadi semakin penting. Pendidikan dapat meningkatkan keterampilan dan produktivitas sehingga memperbaiki posisi tawar penduduk desa di pasar tenaga kerja. Strategi pembangunan yang mengedepankan investasi modal manusia dinilai superior dibandingkan dengan strategi pembangunan melalui industrialisasi. Dalam teori ekonomi, model pertumbuhan endogen karya Lucas (1988) dan Romer (1986) telah menggagas bahwa investasi modal manusia khususnya dalam bentuk pendidikan dan litbang akan meningkatkan laju pertumbuhan jangka panjang sebuah negara. Selain itu, pendidikan juga memiliki manfaat ganda karena dipercaya dapat membantu menjembatani jurang kemiskinan antar golongan penduduk dan juga antar wilayah karena memberi kesempatan kepada penduduk untuk berpartisipasi dan memperoleh manfaat dari aktivitas ekonomi yang berlangsung di wilayahnya (Pohan, 2013). Dengan menggunakan data tingkat rumah tangga di Indonesia penelitian disertasi saya pada tahun 2013 telah menemukan bahwa pendidikan memiliki peran yang demikian sentral dalam peningkatan kesejahteraan keluarga. Seperti yang ditampilkan dalam gambar 3 di bawah ini, peningkatan pendapatan individu karena peningkatan pendidikan tidak terjadi secara linier melainkan eksponensial. Artinya, peningkatan capaian pendidikan seseorang akan meningkatkan pendapatannya dengan akselerasi yang makin lama makin cepat. Secara rata-rata pekerja dengan pendidikan SMP akan memiliki pendapatan sekira 40% lebih tinggi dibandingkan pekerja dengan pendidikan SD. Pendidikan diploma menjanjikan peningkatan pendapatan sebesar 45% dibandingkan SMU. Pendidikan sarjana meningkatkan pendapatan seseorang lebih dari 55% dibandingkan para lulusan diploma.
7
Gambar 3. Pendapatan rata-rata penduduk Indonesia menurut tingkat pendidikan
Sumber: Pohan, 2013
Selain memengaruhi kompensasi kerja secara langsung, pendidikan juga memiliki dampak tidak langsung. Individu yang lebih terdidik ternyata secara empiri juga lebih sehat yang secara implisit berarti lebih produktif. Adriana Lleras-Muney, seorang ekonom yang karya-karyanya memiliki kontribusi yang demikian penting dalam bidang ekonomi kesehatan, pada tahun 2005 menemukan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara kesehatan dengan tingkat pendidikan. Penelitiannya menemukan bahwa di Amerika Serikat kebijakan wajib belajar yang digagas oleh pemerintah ternyata secara signifikan menurunkan angka mortalitas. Ia berargumen bahwa individu yang berpendidikan cenderung lebih bijaksana dalam mengambil keputusan dan karenanya mereka memahami betul manfaat pemeliharaan kesehatan. Hal ini mengonfirmasi apa yang sebelumnya telah ditemukan oleh Elo dan Preston (1996) yakni individu dengan pendidikan diploma ke atas memiliki angka mortalitas yang lebih rendah dibandingkan mereka yang hanya menyelesaikan sekolah menengah. Lebih lanjut lagi, berbagai penelitian juga telah menemukan bahwa pendidikan memiliki aspek dinamis. Jika kemiskinan memiliki aspek intergenerasi karena mewariskan keterbatasan akses terhadap pendidikan dan kesehatan dari satu generasi ke generasi lain, maka pendidikan memiliki aspek intergenerasi karena memengaruhi kecenderungan seseorang untuk terus menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Menurut Lavy (1996) secara rata-rata peluang seorang anak di pedesaan Ghana untuk terus mengenyam pendidikan lebih ditentukan oleh tingkat pendidikan dibandingkan oleh tingkat pendapatan orang tuanya. Penelitian di India yang dilakukan oleh Dréze dan Kingdon (2001) juga menemukan hal yang serupa. Penelitian disertasi saya menemukan bahwa peluang seorang anak di Indonesia untuk terus mengenyam sekolah akan naik setidak-tidaknya 2,3 kali lipat dibandingkan dengan rekan-rekannya jika ia memiliki orang tua yang berpendidikan tinggi; meskipun orang tua mereka memiliki pendapatan yang sama. Bahkan, peluang tersebut akan
8
melonjak menjadi 5,31 kali lipat seandainya seorang anak memiliki orang tua dengan pendidikan sarjana (Pohan, 2013). Hal ini bisa terjadi karena pendidikan dipercaya dapat mengubah cara berpikir seseorang sekaligus juga mengubah ekspektasi dan preferensinya (Ganzach, 2000 dalam Pohan, 2013). Individu-individu dengan pendidikan tinggi cenderung memiliki pola pikir jangka panjang, sehingga lebih bersedia menunda bekerja demi pendapatan yang lebih tinggi daripada segera bekerja tetapi dibayar dengan upah yang rendah. Dengan memberikan akses terhadap pendidikan pada seseorang, kita tidak hanya membuka peluang bagi yang bersangkutan untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi namun juga meningkatkan peluang generasi berikut untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi lagi sehingga pendapatan mereka pun terus meningkat. Inilah alasan utama mengapa isu pendidikan menjadi demikian sentral dalam agenda pembangunan ekonomi, sekaligus dalam strategi pengentasan kemiskinan. Terkait dengan upaya perbaikan pendidikan masyarakat desa, pemerintah kita sebetulnya sudah menggagas program wajib belajar 9 tahun sejak tahun 2008 berdasarkan PP No. 47 tahun 2008. Akan tetapi data di lapangan menunjukkan bahwa hal itu belum mampu menggenjot tingkat pendidikan pedesaan. Salah satu indikatornya adalah angka partisipasi murni (APM), yaitu sebuah angka yang menunjukkan persentase penduduk usia sekolah yang terus mengenyam pendidikan berdasarkan jenjang yang sesuai dengan usia tersebut. APM di pedesaan selalu lebih rendah daripada di perkotaan. Bahkan pada tahun 2014, enam tahun sesudah pemberlakuan program wajib belajar 9 tahun, angka partisipasi sekolah penduduk desa untuk tingkat pendidikan menengah masih berkisar di angka 65% (BPS, 2015). Para hadirin yang saya hormati, ilmu ekonomi percaya bahwa individu yang rasional akan melandaskan keputusannya pada pertimbangan marginal benefit dan marginal cost. Sebuah keputusan akan diambil apabila marginal benefit keputusan tersebut lebih tinggi atau setidaktidaknya sama dengan marginal cost-nya. Secara sederhana, konsep tersebut menyatakan bahwa sebuah tindakan diambil apabila pengorbanan yang harus ditanggung akibat tindakan tersebut tidak lebih banyak daripada manfaatnya. Prinsip tersebut berlaku juga dalam diskursus kita tentang pendidikan. Selama manfaat pendidikan tidak lebih besar daripada pengorbanannya, maka berbagai upaya mendorong angka partisipasi sekolah di pedesaan akan sulit dilakukan (jika tidak mustahil). Sejumlah langkah penunjang perlu dirancang guna membentuk support system yang akan berfungsi sebagai insentif bagi masyarakat pedesaan untuk mengenyam pendidikan. Apalagi program wajib belajar yang dicanangkan oleh pemerintah Indonesia tidaklah serepresif program wajib belajar di negara lain, seperti Amerika Serikat misalnya. Di sana, para orang tua yang tidak menyekolahkan anaknya akan kehilangan hak asuh mereka bahkan bisa menghadapi ancaman kurungan (Katz, 1976).
9
Aturan ini sudah berlaku bahkan sejak pertengahan abad 19. Karena itu, upaya untuk membuat marginal cost pendidikan turun atau marginal benefit pendidikan naik sangat dibutuhkan. Salah satu cara untuk mengurangi marginal cost pendidikan adalah melalui penyediaan infrastruktur; baik infrastruktur pendidikan seperti sekolah dan perpustakaan maupun infrastruktur transportasi seperti jalan. Hal ini perlu dilakukan agar akses menuju sekolah menjadi mudah dan pengorbanan yang harus dilakukan oleh para peserta didik tidak terlalu besar. Dari data BPS diperoleh informasi bahwa di Indonesia hanya terdapat sekitar 35.000 desa yang memiliki sekolah setingkat SMP dan 14.000 desa memiliki sekolah setingkat SMA. Jika dibandingkan dengan jumlah desa secara nasional, angka ini memberi gambaran bahwa di tingkat SMP, setiap sekolah melayani para peserta didik dari setidaknya dua desa. Angka ini sebetulnya tidak terlalu buruk. Namun, kondisi yang sangat berbeda terjadi pada tingkat SMA karena setiap sekolah harus melayani peserta didik dari setidaknya 5 desa. Rendahnya jumlah sekolah untuk penduduk desa mengindikasikan bahwa setiap peserta didik di desa harus menempuh jarak yang jauh untuk sampai ke sekolah. Hal ini tentu merupakan disinsentif bagi penduduk desa untuk bersekolah atau menyekolahkan putra/putri mereka. Pemikiran ini sudah terbukti secara empiris. Lavy (1996) melakukan penelitian di pedesaan Ghana dan ia menemukan bahwa sulitnya akses menuju sekolah secara signifikan mengurangi tingkat partisipasi sekolah. Sejalan dengan Lavy, Filmer pada tahun 2004 telah melakukan sebuah penelitian tentang berbagai faktor yang dapat memengaruhi angka partisipasi sekolah. Penelitian ini melibatkan 21 negara berpendapatan rendah yang mayoritas berada di benua Afrika. Ia menemukan bahwa waktu yang harus dihabiskan oleh seorang siswa dalam perjalanan menuju sekolahnya adalah salah satu faktor penentu keputusan bersekolah. Faktor jarak memainkan peran yang lebih besar lagi bagi siswa perempuan. Di Indonesia, penelitian disertasi saya kembali mengonfirmasi pemikiran tersebut. Sulitnya akses ke sekolah karena jarak yang jauh akan mengurangi probabilitas seorang anak untuk mencapai pendidikan yang lebih tinggi. Probabilitas seorang anak menempuh pendidikan yang lebih tinggi menjadi 0,99 kali lebih rendah akibat setiap tambahan kilometer dalam jarak tempuh ke sekolah (Pohan, 2013). Bentuk infrastruktur lain yang dapat mengurangi marginal cost pendidikan adalah penyediaan jaringan listrik meski umumnya listrik lebih banyak dikaitkan dengan kegiatan industri. Keterbatasan waktu tatap muka di kelas tentunya mengharuskan para peserta didik untuk melakukan kegiatan belajar mandiri di rumah. Namun, penerangan yang buruk sangat menyulitkan pelaksanaan aktivitas tersebut. Jika orang tua murid ingin anaknya belajar dengan penerangan yang baik maka ia harus mau mengeluarkan biaya ekstra guna menyediakan listrik; misalnya dengan membeli genset. Singkatnya, ketiadaan jaringan listrik membuat pengorbanan yang harus dilakukan guna mendapatkan ilmu pengetahuan menjadi semakin tinggi. Sebagai contoh, Desa Tampor Paloh di Kecamatan
10
Simpangjernih Aceh Timur hingga saat ini masih belum tersentuh program pengadaan listrik nasional. Ditemukan pula bahwa angka buta huruf di desa ini masih tinggi (Thamrin, 2016). Sekadar informasi, saat ini warga setempat menggantungkan harapannya pada proyek pengadaan listrik yang bersumber dari pengolahan pohon kedondong yang dilakukan sekelompok aktivis. Jika proyek tersebut berhasil, maka anak-anak mereka dapat melakukan berbagai aktivitas belajar di rumah sambil terus berharap masuknya listrik nasional ke wilayah mereka. Para hadirin yang saya hormati, seperti yang saya jelaskan di atas ada dua jalur yang dapat ditempuh agar penduduk desa termotivasi untuk mengenyam pendidikan, yaitu mengurangi marginal cost pendidikan atau meningkatkan marginal benefit pendidikan. Dengan mengurangi pengorbanan yang harus dilakukan dalam pelaksanaan kegiatan belajar, maka diharapkan pendidikan masyarakat desa bisa meningkat sehingga mereka bisa lebih berpartisipasi dan menuai manfaat dari kegiatan industri yang berlangsung di sekitarnya. Setelah saya menguraikan langkah-langkah yang dapat mengurangi marginal cost pendidikan, sekarang saya ingin memaparkan beberapa langkah yang dapat diambil agar marginal benefit pendidikan bagi masyarakat desa meningkat. Paparan tesebut selanjutnya akan saya coba kaitkan dengan kepentingan nasional untuk mengembalikan desa sebagai lumbung pangan sehingga Indonesia bisa mencapai ketahanan bahkan kedaulatan pangan. Merujuk pada teori ekonomi, pilihan untuk melakukan investasi modal manusia dalam bentuk pendidikan didorong oleh ekspektasi terhadap pendapatan yang akan diterima sebagai kompensasi investasi tersebut. Konsep ini sering juga disebut expected returns to education. Semakin tinggi ekspektasi seseorang maka semakin tinggi pula dorongan untuk bersekolah. Di sisi lain, besar atau kecilnya kompensasi tentu tidak dapat dilepaskan dari produktivitas karena produktivitas mencerminkan seberapa besar kontribusi seorang pekerja terhadap keseluruhan proses produksi. Secara umum, tingkat pendidikan memang berkorelasi positif dengan produktivitas. Namun secara spesifik jenjang pendidikan bukanlah satu-satunya aspek yang memengaruhi produktivitas. Jenis pendidikan yang kompatibel dengan proses produksi juga memiliki peran yang tidak dapat diabaikan. Jenis pendidikan yang tidak sesuai tentunya tidak akan banyak manfaatnya dalam proses produksi meski jenjangnya tinggi. Dengan kata lain, berbagai keterampilan yang diperoleh peserta didik melalui bangku sekolah harus dapat dimanfaatkan maksimal saat bekerja agar ekspektasi pendapatan meningkat dan penduduk desa termotivasi untuk mengenyam pendidikan. Membuat keterampilan penduduk desa setidaknya setara dengan di kota memang akan membantu mengatasi kemiskinan dengan membuka peluang yang lebih luas bagi mereka untuk bekerja di sektor non-pertanian yang kini banyak didapati di desa. Akan tetapi, tanpa disadari hal ini dapat membuat ketahanan pangan kita semakin terancam. Ketika penduduk desa yang bekerja di 11
sektor non pertanian semakin banyak, maka akan semakin banyak pulalah lahan pertanian yang tidak tergarap atau idle. Hal ini secara tidak langsung semakin mendorong terjadinya alih fungsi lahan karena lahan-lahan idle tersebut tentunya tidak memiliki nilai ekonomis. Akibatnya, pasokan pangan pun berkurang. Padahal, dengan jumlah penduduk yang mencapai 250 juta jiwa lebih pada tahun 2015 dan laju pertumbuhan penduduk sekitar 1,5% selama 3 dekade terakhir, Indonesia membutuhkan bahan pangan yang sangat banyak. Sebagai contoh, sebagai bahan pangan utama di Indonesia konsumsi beras dalam negeri mencapai sekitar 1,7kg per kapita per minggu (BPS, 2015). Artinya, Indonesia membutuhkan lebih dari 22 miliar ton beras setiap tahun! Ketidakmampuan pertanian lokal mengakomodasi kebutuhan penduduk ini terbukti oleh volume impor pangan kita yang semakin tahun semakin banyak. Impor pangan kita mengambil porsi lebih dari 20% dari total impor kategori barang konsumsi selama satu dasawarsa terakhir. Hal ini membuat kita bergantung pada negara lain bahkan untuk pemenuhan kebutuhan hidup yang paling mendasar. Kebergantungan pangan terhadap impor memiliki berbagai konsekuensi serius; baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun hankam. Karena itu, upaya menjaga desa untuk tetap berfungsi sebagai lumbung pangan dan membuat pertanian domestik menjadi lebih produktif jelas merupakan kepentingan nasional. Disinilah peran pendidikan yang kompatibel menjadi sangat krusial. Seperti yang sudah saya paparkan di atas, produksi pertanian adalah proses produksi yang unik. Implikasinya, sektor pertanian membutuhkan pekerja dengan keterampilan spesifik. Keterampilan ini muncul sebagai hasil dari pendidikan yang secara langsung terkait dengan pertanian. Salah satu cara yang dapat ditempuh guna mewujudkan hal ini adalah dengan menyediakan lebih banyak sekolah-sekolah kejuruan pertanian yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing daerah. Keunggulan utama sekolah kejuruan dibandingkan dengan sekolah umum adalah kurikulumnya yang dirancang untuk mempersiapkan para lulusan untuk langsung bekerja. Dengan demikian, para lulusan sekolah kejuruan pertanian ini dapat berkontribusi langsung pada proses produksi sehingga diharapkan menciptakan peningkatan produktivitas yang signifikan. Contoh-contoh sekolah kejuruan pertanian adalah SMK Agribisnis dan Perikanan di Tarakan – Kalimantan Utara dan SMK Perikanan di Luwuk – Sulawesi Tengah. Kedua sekolah kejuruan ini berdiri di daerah dimana pertanian dan perikanan menjadi sektor unggulan yang secara implisit menunjukkan korelasi antara produktivitas sektoral dengan jenis pendidikan yang disediakan. Meski disadari bahwa sekolah kejuruan memiliki manfaat yang sangat besar, fakta di lapangan menunjukkan bahwa sampai saat ini sebagian besar sekolah yang ada di Indonesia adalah sekolah umum. Data yang dipublikasikan oleh BPS mencatat bahwa sampai dengan tahun 2014 hanya terdapat sekitar 11.000 sekolah kejuruan di Indonesia. Angka tersebut sudah mencakup berbagai jenis sekolah
12
kejuruan; bukan hanya pertanian. Angka ini secara signifikan lebih rendah daripada sekolah menengah umum yang berjumlah lebih dari 19.000 sekolah. Di tambah lagi, sekolah-sekolah kejuruan ini lebih banyak terdapat di perkotaan. Dari sekitar 11.000 sekolah kejuruan di Indonesia, lebih dari 2.000 di antaranya berada di DKI Jakarta; sebuah provinsi yang sama sekali tidak memiliki wilayah pedesaan. Sebagian besar sekolah yang dibangun di wilayah pedesaan adalah SMU dengan kurikulum yang sama sekali tidak relevan dengan pertanian sehingga keterampilan yang mereka peroleh tidak dapat dimanfaatkan dalam proses produksi. Artinya, ekspektasi untuk menerima kompensasi kerja yang lebih tinggi setelah memperoleh pendidikan menjadi tidak berdasar. Kondisi ini membuat marginal benefit pendidikan bagi penduduk desa rendah sehingga penduduk desa tidak termotivasi untuk bersekolah. Lebih jauh lagi, keterampilan umum yang dimiliki oleh para lulusan SMU di pedesaan membuat mereka lebih tertarik untuk bekerja di kota di sektor-sektor non pertanian. Tentunya karena ekspektasi pendapatan yang lebih tinggi sebagai kompensasi pendidikan. Tanpa disadari hal ini akan kembali membuat desa kehilangan perannya sebagai sumber pangan dan membuat ketahanan pangan semakin sulit diwujudkan. Para hadirin yang terhormat, setelah menguraikan berbagai fenomena di atas saya tiba pada sebuah simpulan bahwa peningkatan pendidikan tetaplah metode yang dapat diandalkan untuk mengentaskan kemiskinan. Pemikiran ini didasarkan pada kemampuan pendidikan untuk bukan saja meningkatkan produktivitas namun juga kemampuannya untuk mentransformasi kehidupan sebuah rumah tangga melalui dimensi lintas generasi. Hal ini memungkinkan perbaikan kondisi sosio-ekonomi untuk terus berlangsung. Agar peningkatan pendidikan di desa bisa terjadi maka strategi pembangunan yang memotivasi penduduk desa untuk bersekolah atau menyekolahkan anaknya mutlak dibutuhkan. Berbagai alternatif kebijakan yang diambil sebaiknya ditujukan untuk membuat pendidikan di pedesaan murah dan mudah diakses serta sejalan dengan kebutuhan; baik kebutuhan nasional maupun kebutuhan masyarakat desa secara khusus. Seperti yang sudah saya jelaskan di awal presentasi saya, kemiskinan adalah sebuah isu yang kompleks. Karena itu perlu kiranya disadari bahwa perbaikan pendidikan bukanlah satu-satunya cara yang harus ditempuh guna mengentaskan kemiskinan. Proses produksi pertanian yang sarat dengan ketidakpastian sebetulnya sangat membutuhkan keterlibatan lembaga keuangan khususnya dalam bentuk asuransi dan koperasi. Seperti halnya asuransi pada umumnya, asuransi produk pertanian atau crop insurance melindungi para petani dari potensi guncangan pendapatan yang terlalu substansial hingga menyebabkan terjadinya jebakan kemiskinan. Di sisi lain, hadirnya koperasi akan membantu petani dalam banyak hal. Koperasi simpan-pinjam misalnya, akan membantu petani mengakses sumber pendanaan terutama di saat-saat genting dan darurat. Koperasi produksi dapat membantu
13
penyediaan input berupa bibit maupun pupuk dan obat-obatan yang dibutuhkan petani selama masa tanam. Dengan hadirnya lembaga-lembaga keuangan tersebut kondisi sosial ekonomi petani tentu akan terjaga. Konsekuensinya, pengentasan kemiskinan di desa bisa dicapai dengan tetap mempertahankan desa sebagai sentra pangan dan bukan dengan mengorbankan ketahanan pangan karena tergantikannya pertanian oleh industri. Sebelum saya mengakhiri orasi ini, saya ingin menyinggung secara singkat program Dana Desa yang digagas oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo. Merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/MK.07/2016, program tersebut hanya merincikan bahwa tingkat kemiskinan adalah faktor penentu jumlah dana yang akan diterima oleh sebuah desa. Semakin tinggi tingkat kemiskinan, maka dana desa yang diterima akan semakin banyak. Tidak ada acuan bagi pemerintah desa untuk menentukan prioritas pengalokasian dana. Padahal, jika kita mempelajari berbagai program pengentasan kemiskinan yang terjadi di berbagai negara, keterkaitan penyediaan dana dengan penentuan prioritas penggunaan dana adalah faktor yang secara krusial menentukan keberhasilan program tersebut. Sebagai contoh, Grameen Bank yang digagas oleh Muhammad Yunus di Bangladesh memfokuskan alokasi dana kepada perempuan sebagai kelompok yang menghadapi kendala lebih besar dalam mengakses layanan keuangan formal. Fokus pada perempuan juga dilandasi oleh pengamatan bahwa tambahan dana yang diperoleh perempuan cenderung dialokasikan pada pengeluaran-pengeluaran yang meningkatkan kesejahteraan keluarga seperti perbaikan gizi dan/atau pendidikan (Mainsah, Heuer, Kalra, & Zhang, 2004). Contoh lain, pada tahun 1997 pemerintah Meksiko menggagas program pengentasan kemiskinan bertajuk PROGRESA (Programa de Educación, Salud, y Alimentación). Melalui program ini pemerintah mengucurkan sejumlah dana yang secara spesifik diarahkan pada perempuan miskin yang hidup di wilayah pedesaan dengan dasar pertimbangan yang persis sama dengan Grameen Bank. Hasilnya, hanya dalam waktu satu tahun PROGRESA telah berhasil meningkatkan kualitas SDM di pedesaan. Asupan kalori anak-anak di pedesaan naik sebanyak 6,4% dan angka partisipasi sekolah naik sebanyak 11,1%. Kedua contoh ini memberikan gambaran bahwa penentuan target dan prioritas program tidak boleh diabaikan karena keduanya menentukan seberapa efektif sebuah program memperbaiki kualitas manusia yang pada akhirnya terkait dengan pendapatan (Taylor & Lybbert, 2012). Sejatinya, kemiskinan bukan sekadar masalah pendapatan melainkan masalah keterbatasan kapabilitas manusia (Sen, 1981 dalam Sarshar, 2010). Karena itu, upaya untuk mengentaskan kemiskinan seharusnya memang ditujukan untuk mengatasi keterbatasan kapabilitas ini dari berbagai sisi. Pendidikan sebagai aspek utama perlu disokong oleh berbagai skenario tambahan, salah satunya adalah dengan memprioritaskan alokasi dana desa untuk pendidikan. Hal ini ditempuh guna
14
memfasilitasi berlangsungnya proses peningkatan kapabilitas penduduk desa. Di sisi lain, keterlibatan lembaga keuangan akan membantu menjamin peningkatan kapabilitas masyarakat desa berlangsung sinambung; tanpa terganggu berbagai guncangan di sektor pertanian. Hadirin sekalian, kemiskinan dan pendidikan adalah dua komponen yang sangat erat kaitannya. Akan tetapi, keduanya juga merupakan variabel-variabel sosio-ekonomi yang sangat sulit dijelaskan mengingat banyaknya aspek yang terlibat di dalamnya. Pembahasan tentang kemiskinan dan pendidikan tidak akan tuntas bahkan jika kita berdiskusi selama sehari penuh. Harapan saya sederhana bahwa melalui orasi hari ini, kita sebagai pelaku pendidikan semakin menyadari bahwa profesi kita adalah profesi yang sungguh penting. Semoga kita semakin terinspirasi untuk melaksanakan penggilan kita yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Selamat merayakan hari jadi FE UNPAR. Selamat siang!
15
DAFTAR PUSTAKA
Biro Pusat Statistik. (2015a). Distribusi persentase produk domestik bruto triwulanan atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha, 2000-2014. Diunduh darihttps://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1206 Biro
Pusat Statistik. (2015b). Impor barang konsumsi https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1040
1989-2014.
Diunduh
dari
Biro Pusat Statistik. (2013). Jumlah penduduk miskin, persentase penduduk miskin, dan garis kemiskinan 1970-2013. Diunduh dari https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1494 Biro Pusat Statistik. (2015c). Jumlah sekolah, guru, dan dan murid sekolah kejuruan (SMK) di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menurut provinsi, 2011/2012-2013/2014. Diunduh dari https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1838 Biro Pusat Statistik. (2011). Kompilasi sistem neraca sosial ekonomi 1975-2008. Jakarta: Biro Pusat Statistik Biro Pusat Statistik. (2015d). Persentase penduduk berumur 5 tahun ke atas menurut golongan umur, daerah tempat tinggal, dan partisipasi sekolah 2000-2014. Diunduh dari https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1532 Dreze, J., & Kingdon, G. G. (2001). School participation in rural India. Review of Development Economics, 5(1), p. 1-24. Fields, G. S., Cichello, P. L., Freije, S., Menéndez, M., & Newhouse, D. (2003). Household income dynamics: a four-country story. The Journal of Development Studies, 40(2), p. 30-54. Filmer, D. (2004). If you build it, will they come? school availability and school enrollment in 21 poor countries. World Bank Policy Research Working Paper, 3340. Food and Agriculture Organization of The United Nations. (2015). Annual population. Retrieved from http://www.fao.org/faostat/en/#data/OA/visualize Jenkins, S. P. (2000). Modelling household income dynamics. Journal of Population Economics, 13(4), p. 529-567. Katz, M. S. (1976). The history of compulsory education laws. Bloomington: Phi Delta Kappa. Lavy, V. (1996). School supply constraints and children’s educational outcomes in rural Ghanai. Journal of Development Economicsi, 51(2), p. 291-314 Lewis, W. A. (1972). Development planning the essentials of economic policy. London and New York: Routledge. Lleras-Muney, A. (2005). The relationship between education and adult mortality in the United States. Review of Economic Studies, 72(1), p. 189-221. Lucas, R. E., Jr. (1988). On the mechanics of economic development. Journal of Monetary Economics, 22(1), p. 3-42. Menteri Keuangan Republik Indonesia. (2008). Peraturan menteri keuangan Republik Indonesia nomor 49/ PMK.07/2016. Pohan, M. (2013). How education breaks the cycle of poverty: An inter-regional study of Indonesian Households. Unpublished PhD dissertation, Oklahoma State University – Stillwater. Presiden Republik Indonesia. (2016). Peraturan pemerintah nomor 47 tahun 2008 tentang wajib belajar. Jakarta. 16
Priyarsono, D. S., Daryanto, S., & Herliana, L. (2011). Dapatkah pertanian menjadi mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia? Dari pertanian ke industri analisi pembangunan dalam perspektif ekonomi regional (pp.15-26). Bogor, Indonesia: IPB Press. Romer, P. M. (1986). Increasing returns and long run growth. The Journal of Political Economy, 94(5), pp.1002-1037. Sarshar, M. (2010). Amartya Sen’s theory of poverty, from the selected works of Mubashshir Sarshar. New Delhi: Selected Works. Solon, G. (1992). Intergenerational income mobility in the United State. The American Economic Review, 82(3), p. 393-408. Supriadi. (2013). Kebijakan dan strategi pengembangan kawasan tertinggal dalam mendukung upaya pemerataan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Presentasi pada focus group discussion Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET). Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal Republik Indonesia. Lombok, 26 Nopember 2013 Taylor, J. E., & Lybbert, T. (2012). Essentials of development economics. Berkeley: Rebel Text. Thamrin, M. Y. (2016, September). Terbit harapan di bukit seberang. Sisipan National Geographic Indonesia, 1. The World Bank. Povertyheadcount ratio at national poverty lines (% of population). Retrieved from http://data.worldbank.org/indicator/SI.POV.NAHC. Yao, S. & Liu, J. (1998). Economic reforms and regional segmentation in rural China. Regional Studies, 32(8), 735-746.
17