PERAN PIMPINAN ORMAS ISLAM DALAM PENGUATAN KERUKUNAN DI SUMATERA UTARA Hasnah Nasution1 Abstrak Disebabkan penelitian ini hendak mengungkapkan sistem makna yang melandasi argumen pimpinan ormas Islam tentang wacana penguatan kerukunan antarumat beragama maka metode pengumpulan data yang tepat adalah dengan menggunakan wawancara (interview). Temuan penelitian menunjukkan bahwa peran pimpinan organisasi masyarakat Islam di Sumatera Utara yaitu antara Nahdatul Ulama (NU) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam hal penguatan kerukunan antarumat beragama cukup berbeda. NU mempunyai program dan kegiatan pembinaan kerukunan antarumat beragama, dan mendukung peraturan pemerintah tentang kerukunan dan kebebasan bereagama. Sehingga kelihatan lebih intensif NU dalam melakukan penguatan kerukunan antarumat beragama di Sumatera Utara.
Kata Kunci: Pimpinan, Ormas, Islam, Kerukunan A. Latar Belakang Masalah Dari kajian-kajian yang telah dilakukan, seringkali potensi konflik bermula dari masalah kecil dan tidak terkait dengan etnisitas ataupun agama. Namun, setelah etnisitas dan agama masuk menjadi bagian dari pertentangan yang ada, konflik yang terjadi semakin mengental dan sulit untuk dibendung. Sebagai faktor utama maupun faktor ikutan, mau tak mau agama dan etnisitas menjadi faktor yang sangat efektif bekerja memperkeruh konflik. Potensi konflik ada di semua daerah, termasuk di Sumatera Utara. Bahkan, ketika mendeskripsikan satu daerah sebagai daerah damai, deskripsi tersebut perlu lebih jauh didetailkan turunannya. Ada dua kategori damai dalam hal ini, yaitu damai positif dan damai negatif. Dalam konteks sosiologis di mana ketimpangan pranata sosial-politik masih mendominasi, maka daerah yang dianggap damai di Sumatera Utara masuk kategori damai laten. Dalam kategori ini terdapat konflik laten yang suatu saat bisa muncul ke permukaan. Untuk itu antisipasi awal melalui dialog cukup efektif menggali informasi potensi konflik dan gangguan kerukunan, untuk sesegera mungkin dicarikan solusinya demi kelanggengan suasana kondusif. Provinsi Sumatera Utara memiliki karakter khusus dibanding dengan daerah lain di Indonesia, dimana daerah ini masih tetap menjadi barometer nasional dalam hal penguatan kerukunan. Hal ini membawa berbagai keunikan pada daerah tersebut. Kendatipun di satu sisi keunikan itu membawa berbagai keuntungan bagi kehidupan masyarakat dan di sisi lain hal itu juga dapat menimbulkan sumber pemicu ketegangan sosial dan konflik. Disinilah strategisnya kesadaran dan 1
Dosen Ushuluddin UIN-SU
partisipasi tokoh dan peran pimpinan organisasi keagamaan, khususnya ormas Islam dalam upaya pembinaan dan penguatan kerukunan hidup umat beragama untuk menyukseskan pembangunan dalam bidang agama. Memahami konstelasi umat beragama tersebut, maka potensi konflik di Sumatera Utara sangat rentan sekali jika tidak dipelihara dengan baik dalam semangat kebersamaan dan kerukunan. Untuk itu menjadi signifikan diadakan satu penelitian tentang peran pimpinan ormas Islam dalam pembinaan dan penguatan kerukunan antarumat beragama di Sumatera Utara. B. Fokus Masalah Pimpinan organisasi masyarakat Islam di Sumatera Utara cukup banyak, oleh karenanya untuk memfokuskan penelitian ini, maka peneliti mengambil sampel dua ormas saja, yaitu Nahdatul Ulama (NU) dan Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) tingkat Provinsi Sumatera Uatara. Fokus masalah yang hendak diungkap melalui penelitian ini adalah dalam bentuk pertanyaan berikut: (1) Bagaimana pandangan pimpinan organisasi masyarakat Islam tentang kerukunan antarumat beragama di Sumatera Utara? (2) Bagaimana peran pimpinan organisasi masyarakat Islam dalam penguatan kerukunan antarumat beragama di Sumatera Utara?. C. Tujuan Penelitian Merujuk fokos masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah mengetahui pandangan pimpinan organisasi masyarakat Islam tentang kerukunan antarumat beragama, dan sejauhmana peran pimpinan organisasi masyarakat Islam dalam penguatan kerukunan antarumat beragama di Sumatera Utara. Di samping itu juga untuk mengungkapkan dasar pemikiran, konstruk pengetahuan keagamaan, dan sosial pimpinan ormas Islam Sumatera Utara dalam penguatan dan pemeliharaan kerukunan antarumat beragama, khususnya terkait dengan masalah hubungan antarumat beragama dan kebebasan beragama. D. Urgensi Penelitian Penelitian dangan tema kerukunan antarumat beragama ini menurut hemat peneliti punya nilai penting. Beberapa alasan yang dapat dikemukan adalah: pertama, wacana kebebasan beragama atau berkepercayaan suka tidak suka telah menjadi bagian tak terpisahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, adanya jaminan kebebasan beragama atau berkepercayaan dalam konstitusi dan undang-undang mengingatkan segenap masyarakat untuk ikut serta menaatinya. Kedua, masih adanya anggapan negatif bahwa negara Indonesia—termasuk di dalamnya uamt Islam—belum memberikan apresiasi yang memadai terhadap kebebasan beragama atau berkepercayaan. Ini ditandai dengan masih ditemukannya kasus pelarangan pendirian rumah ibadat, pembatasan terhadap kegiatan penyiaran agama, dan pelabelan sesat terhadap kelompok umat beragama minoritas atau aliran semalan. Ketiga, Di lain pihak ada pula umat Islam yang melakukan pembelaan terhadap kelompok-kelompok minoritas tersebut atas dasar bahwa kebebasan beragama atau berkepercayaan merupakan hak yang tidak bisa dikurangi.
Adanya dua pandangan yang bertolak belakang di atas menjadikan penelitian ini penting, setidaknya dalam upaya mengetahui dasar pemikiran, konstruk pengetahuan, dan sosial pimpinan ormas Islam tersebut dalam upaya penguatan kerukunan antarumat beragama dan menyikapi wacana kebebasan beragama. Dengan diketahuinya masalahmasalah di atas maka akan terkumpul seperangkat informasi penting tentang pandangan pimpinan ormas Islam mengenai kebebasan beragama atau berkepercayaan dan apa saja yang diklakukan dalam memelihara dan penguatan kerukunan. Urgensinya bagi pemerintah, informasi itu sudah barang tentu sangat penting, sebab dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan merumuskan kebijakan-kebijakan pembinaan dan penguatan kerukunan kehidupan beragama secara lebih komprehensif dan sesuai kebutuhan di lapangan. E. Kerangka Konseptual Agama yang mendapatkan pengakuan resmi adalah: Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Budhha dan kemudian menyusul Konghucu. Kelompok mayoritas dan minoritas agama memiliki hak dan kewajiban yang sama. Negara menjadikan hari libur 6 agama tersebut di atas sebagai hari libur nasional, dan memberikan pendidikan agama di sekolah untuk anak pemeluk 6 agama tersebut. Seperti ekspresi kebebasan di bidang-bidang lain, ekspresi kebebasan beragama pun diperlukan batasan-batasannya (pasal 28J UUD 1945), baik dalam hal pemahaman maupun ekspresi untuk mewujudkan ketertiban, keamananan serta untuk menghindari penodaan agama dan konflik antar pemeluk agama. Hal itu diperlukan agar kerukunan antarumat beragama tetap terpelihara dengan baik. Pada era reformasi ini terbit Peraturan Bersama (PBM) Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri No. 9/2006 dan No. 8/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah. Di antara persoalan yang muncul di atas dapat menjadi pemicu konflik jika tidak segera diselesaikan secara arif dan konstitusional. Gejala yang menunjukkan ancaman itu muncul dalam berbagai bentuk seperti terjadinya konflik horizontal di beberapa tempat, yang dikaitkan dengan faktor ekonomi, politik dan budaya. Di samping itu, barangkali juga disebabkan oleh ketidaktahuan dan ketidakpatuhan umat beragama terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006. Konflik ini semakin massif ketika sentimen keagamaan ikut mewarnai berbagai peristiwa. Pertikaian antarkelompok dalam masyarakat, pada gilirannya dapat menjadi ancaman bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Akan tetapi, khusus di Sumatera Utara, meski masyarakatnya sangat majemuk, kerukunan dan dialog antarumat beragama berlangsung dengan baik. Perlu diberikan batasan kerangka konseptual tentang kerukunan antarumat beragama, yaitu:
• Sikap saling mengakui dan memahami eksistensi keberagamaan orang lain merupakan sikap yang diperlukan masyarakat agama yang majemuk • Pluralitas harus disadari sebagai suatu keharusan bagi kesempurnaan alam yang merupakan kehendak Tuhan yang tidak dapat dinafikan oleh siapa pun; • Perbedaan doktrinal teologis tidak harus menghilangkan adanya persamaan pesan ajaran agama untuk saling mengakui eksistensi agama lain dan hidup berdampingan secara damai. • Toleransi beragama merupakan kelanjutan dari sikap pengakuan para penganut agama terhadap agama yang ada di luar keyakinannya. • Sikap toleransi antarumat beragama sudah mulai dilakukan masyarakat beragama dalam bentuk dialog-dialog yang menghasilkan beberapa kesepakatan penting dalam kaitannya dengan hubungan antarumat beragama. • Saling bekerjasama antar penganut dan kelompok agama merupakan puncak dari sikap saling mengakui dan saling menghormati antar pemeluk agama yang diwujudkan dalam kerjasama saling menguntungkan antarumat beragama. • Kerjasama sebagai aktualissai dari kerukunan umat beragama tentu sangat tergantung pada political will dari umat beragama. F. Pendekatan dan Metode Penelitian Sebagaimana tampak pada elaborasi di atas, penguatan kerukunan antarumat beragama merupakan subyek kajian yang unik. Ia bukan benda fisik yang dengan mudah ditera. Ia sebuah konsep, subuah kumpulan pernyataan, atau sebuah wacana (discourse). Wacana dapat didefinisikan sebagai kumpulan pernyataan yang termasuk dalam satu sistem informasi tertentu; berbicara tentang wacana penguatan kerukunan antarumat beragama, baik yang menerima atau pun menolak, dianggap sebagai kumpulan pernyataan yang perlu dianalisis secara lebih lanjut. Disebabkan penelitian ini hendak mengungkapkan sistem makna yang melandasi argumen pimpinan ormas Islam tentang wacana penguatan kerukunan antarumat beragama maka metode pengumpulan data yang tepat adalah dengan menggunakan wawancara (interview). Sebab, sebagai motode Ilmiah, wawancara lazim digunakan untuk melacak berbagai gejala tertentu dari perspektif orang-orang yang terlibat (the actors own perspective). Seperti dikatakan oleh Lindlof dalam Pawito (2008), dengan menggunakan metode interview peneliti dapat to learn about things that cannot be abserved directly by other means (dapat mempelajari hal-hal yang tampaknya memang tidak dapat dilacak dengan menggunakan cara atau metode lain). Disini orang-orang yang diwawancarai (informan interviewees) lalu berfungsi sebagai pengamat yang kemudian melaporkan kepada peneliti (dengan memberikan jawaban atas
pertanyaan peneliti) mengenai gejala-gejala yang sedang diteliti, sebagaimana tertuang dalam pertanyaan-pertanyaan. Selain informan yang bersangkutan dalam kepengurusan organisasi, peneliti juga menyadari tentang pentingnya informan non pimpinan tetapi dianggap sebagai orang yang diakaui ketokohannya dalam organisasi yang bersangkutan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini informan yang akan diwawancarai dapat dibagi dua, yaitu mereka (tokoh) ormas Islam yang tercantum sebagai pimpinan organisasi dan mereka (tokoh) ormas Islam yang tidak tercantum sebagai pengurus. Pemilihan terhadap dua posisi ini, didasarkan pada pertimbangan bahwa biasanya ada perbedaan sudut pandang seseorang ketika dia masih dalam kepengurusan biasanya cenderung hati-hati dan penuh pertimbangan, kerena mereka tengah menjadi pimpinan yang setiap ucapannya akan diperhatikan anggotanya atau masyarakat. Dalam mencari informan non-pimpinan ini, peneliti akan bertanya secara acak kepada para pengurus dan masyarakat tentang siapa-siapa tokoh yang dimaksud. Nama yang paling sering disebut itulah yang dijadikan sebagai informan. Salah satu pertimbangan untuk menentukan informan adalah juga faktor umur, tingkat dan latar belakang pendidikan (agama dan non agama). Dalam penelitian ini akan dibagi sedimikian rupa agar pemilihan dan pemilahan informan berdasarkan umur, tingkat dan latar belakang pendidikan dapat dilakukan secara proposional. Keragaman karakteristik informan tersebut diharapkan dapat membantu persebaran informasi terkait masalah pokok penelitian secara lebih beragam pula. Dalam melakukan wawancara, peneliti melakukan dengan dua cara, yaitu mempertanyakan masalah yang telah disiapkan terlebih dahulu daftar pertanyaan dan pertanyaan spontan berdasarkan isu-isu yang mencuat saat wawancara dilakukan.2 Ormas Islam yang dipilih yang dipilih dalam penelitian ini adalah mereka yang sudah diduga sebelumnya berdasarkan penelitian mempunyai spektrum pemikiran yang tidak seragam. Dalam hal ini dipilih ormas Islam yang cenderung mempunyai pemikiran moderat seperti Nahdatul Ulama (NU), dan mereka yang cenderung mempunyai pemikiran radikal dan tradisional; yaitu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Prosedur analisis data dilakukan baik dalam pengumpulan data maupun setelah pengumpulan data selesai. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis interaktif Miles dan Huberman (1994). Teknik analisis ini pada dasarnya terdiri dari tiga komponen: reduksi data (data reduction), Penyajian data (data display) dan penarikan serta pengujian kesimpulan. Reduksi data bukan asal membuang data yang tidak diperlukan, melainkan merupakan upaya yang dilakukan oleh peneliti selama analisis data dilakukan dan merupakan langkah yang tak perpisahkan dari analisis data. Pada penarikan data pengujian kesimpulan, peneliti pada dasarnya mengimplementasikan prinsip induktif dengan mempertimbangkan pola-pola data yang ada dan atau kecenderungan dari display data yang telah dibuat. Ada kalanya kesimpulan telah 2 Adal
tiga wawancara: (a) wawancara percakapan informal (the informal conversational intrview), (b) wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide), dan (c) wawancara dengan menggunakan open-ended standard.
tergambar sejak awal, namun kesimpulan final tidak pernah dapat dirumuskan secara memadai tanpa peneliti menyelesaikan analisis seluruh data yang ada. Penelitian dalam kaitan ini masih harus mengonfirmasi, mempertajam, atau mungkin merevisi kesimpulankesimpulan yang telah dibuat untuk sampai pada kesimpulan final berupa proporsi-proporsi ilmiah mengenai gejala atau realitas yang diteliti. G. Temuan Penelitian 1. Kondisi Objektif Kerukunan di Sumatera Utara Dalam era globalisasi sekat-sekat antara bangsa dan budaya menjadi semakin tipis, bahkan dalam hal tertentu sirna. Sehingga gangguan-gangguan terhadap persatuan dan kesatuan bangsa dapat menerpa secara tidak terduga, bila bangsa ini tidak dalam siaga dan waspada. Dalam pandangan keagamaan, tantangan ke depan antara lain sosial kerukunan, persatuan dan kesatuan, harus tetap dipertahankan sebagai salah satu hal yang sangat penting dan yang menempati posisi utama. Organisasi kerukunan antar umat beragama sangat penting dalam menjaga kerukunan antar umat beragama ini. Para tokoh agama merupakan pilar dari kerukunan, karena itu tatap muka dan dialog antara tokoh umat beragama menjadi demikian penting untuk melaksanakan secara berkesinambungan agar tercipta suasana yang sejuk dalam tata kehidupan umat beragama. Masalah sosial, ekonomi dan politik yang menjadikan agama sebagai kenderaan juga dapat memicu konflik intern antar umat beragama, sehingga menimbulkan perpecahan bangsa, kerusuhan, keamanan yang terganggu. Kalau agama disalahgunakan untuk kepentingan politik, maka agama yang seharusnya dapat menciptakan suasana sejuk dan damai, akan berubah menjadi ajang pertentangan dan menjadi latar belakang ketidak rukunan umat beragama. Di samping itu faktor ketidakpahaman umat beragama terhadap ajaran agamanya, juga menjadi faktor konflik, di mana orang dengan mudah melakukan pelecehan dan menodaan kesucian agama, dan atau pembangkangan terhadap regulasi yang ada serta memaksakan kehendak, sehingga berbagai inseden dan gangguan kerukunan terjadi di Sumatera Utara. Begitu banyak konflik kepentingan publik akhir-akhir ini yang dipengaruhi keragaman cara pandang, yang bersumber dari agama-agama. Agama yang seharusnya menciptakan kedamaian justru mengacaukan kehidupan. Agama yang seharusnya menyumbang inspirasi spiritual justru hadir meladeni kebobrokan moral dan kerap tampil jadi mesin perusak yang mengerikan. Agama seharusnya menjadi oase kesejukan bathin justru kini menjadi bahaya laten paling merusak. Menjadi sarang-sarang narsisme berlebihan para penindas sesama manusia. Dan akibat ulah sekelompok oknum ekstremis agama bukan saja mengganggu kelompok lain, tetapi turut serta menghancurkan hakekat agama itu sendiri. Secara umum kondisi kerukunan intern dan antar umat beragama di Sumatera Utara tetap kondusif dan terkendali, kendatipun di beberapa daerah terjadi inseden dan konflik yang segera mendapat perhatian dan penyelesaian. Namun sebagian lagi masih dalam proses penyelesaian yang apabila dibiarkan atau tidak cepat dicarikan solusinya akan dapat
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Sejak tahun 2008 Propinsi Sumatera sampai sekarang cukup bervariasi pertikaian dan potensi konflik yang terjadi di tengah masyarakat antaragama sebagai gangguan kerukunan lima tahun terakhir, antara lain : 1. Pembangunan Gereja GKPS di Desa Buntu Pane Kecamatan Buntu Pane Kabupaten Asahan. Adanya keresahan masyarakat di Desa Buntu Pane Kecamatan Buntu Pane Kabupaten Asahan karena adanya kegiatan pembangunan Gereja GKPS yang tidak memenuhi persyaratan administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 14, 15 dan 16 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 dan surat permohonan pendirian rumah ibadat belum diterima instansi terkait. 2. Pembangunan Gereja GBKP di Desa Gung Pinto Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo. Adanya keberatan warga atas pembangunan Gereja GBKP di Desa Gung Pinto Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo. 3. Pembangunan Vihara Meitreya Jaya di Kelurahan Tebing Kisaran Kecamatan Kota Kisaran Barat, Kabupaten Asahan. Adanya surat penolakan dari MUI Kabupaten Asahan dikarenakan pendirian Vihara ini berdekatan dengan Mesjid Agung Kisaran. 4. Rumah yang dijadikan rumah ibadat Gereja GBI Antiokhia di Komplek Perumahan Tebing Indah Permai di Link. 02 Kel. Bandar Utama Kec. Tebing Kota, Tebing Tinggi. Adanya warga masyarakat Komplek Perumahan Tebing Indah Permai di Link. 02 Kel. Bandar Utama Kec. Tebing Kota, Tebing Tinggi yang merasa keberatan terhadap kegiatan dan keberadaan GBI Antiokhia. FKUB Kota Tebing Tinggi telah melakukan dialog dengan perwakilan warga masyarakat Komplek Perumahan Tebing Indah Permai dan penelitian di lapangan serta menerima konfirmasi dari Kepala Kelurahan Bandar Utama. 5. Pendirian rumah ibadat Gereja HKBP Resort Binjai Baru Kota Binjai. Adanya keberatan warga Lingkungan II Kelurahan Jati Makmur Kota Binjai atas pendirian rumah ibadat Gereja HKBP. permasalahan ini diserahkan kepada pemerintah Kota Binjai. 6. Balai pengobatan yang berfungsi sebagai Vihara di Kota Tanjung Balai. Adanya keberatan masyarakat dikarenakan izin pendirian bangunan sebagai balai pengobatan tetapi dijadikan rumah ibadat. Permasalahan ini masih dalam proses penyelesaian. 7. Terbakarnya rumah ibadat dan rumah umat Kristiani di Sibuhuan Kecamatan Barumun Kabupaten Padang Lawas. Adanya keberatan masyarakat atas pembangunan Gereja yang berada di Lingkungan VI Kelurahan Pasar Sibuhuan Kecamatan Barumun Kabupaten Padang Lawas. Warga beramai-ramai mendatangi lokasi pendirian rumah ibadat dan secara cepat terjadi kebakaran 1 (satu) unit rumah ibadat dan 2 (dua) unit rumah warga umat Kristiani. Permasalahan ini sudah dapat diselesaikan oleh Muspida Plus Kabupaten Padang Lawas dan Pemerintah memfasilitasi kebebasan beribadah bagi umat Kristiani dan mencari lokasi yang lebih
tepat dan layak serta dapat diterima oleh masyarakat dengan memenuhi prosedur yang berlaku. 8. Pendirian rumah ibadat Kuil Balaji Venkateshwara di jalan Bunga Wijaya Kusuma No. 25 A Kel. Padang Bulan Selayang II Kota Medan. Adanya warga yang keberatan atas pendirian Kuil Balaji Venkateshwara di jalan Bunga Wijaya Kusuma No. 25 A Kel. Padang Bulan Selayang II Kota Medan. 9. Potensi konflik yang cukup rentan adalah insiden yang dilakukan masa pendukung Propinsi Tapanuli (Protap) tahun 2009 di Gedung DPRD Sumatera utara yang berakibat meninggalnya ketua DPRD Sumut. Pimpinan organisasi keagamaan dan kemasyarakatan Sumatera Utara dengan sigap dan segera waktu itu adalah berkumpul dan berdialog dengan para pimpinan majelis agama-agama untuk menyatakan sikap dan kesepakatan bersama bahwa peristiwa tersebut bukanlah masalah antaragama, melainkan tindakan kriminal. 10. Renovasi Gereja HKBP di Dusun III Jalan Sukarela Timur Desa Laut Dendang Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Adanya keberatan warga atas renovasi Gereja HKBP di Dusun III Jalan Sukarela Timur Desa Laudendang Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. 11. Pembangunan patung Amithaba di Vihara Tri Ratna di Tanjung Balai. Masyarakat menuntut agar penempatannya dipindahkan, semula Dirjen Bimas Buddha telah setuju dengan suratnya Nomor : DJ.VI/3/BA.02/604/2010, kemudian surat tersebut dicabut kembali dengan surat Nomor : DJ.VI/3/BA.02/680/2010 tanggal 23 Juni 2010, seterusnya menyerahkan kebijakan Kanwil Kementerian Sumatera Utara dan pemerintah kota Tanjung Balai. 12. Pemuatan gambar Dewa Ganesha dan Krisna di Sandal yang beredar di Kota Medan, mendapat protes dari masyarakat Hindu dan PHDI. Sampai saat ini belum ada penyelesaiannya 13. Pelemparan mesjid yang berakibat terbakarnya kios merangkap bengkel sepeda motor milik warga yang bernama Parlindungan Nababan di Bandarpulau Asahan. Telah diselesaikan oleh Pemda setempat bersama pimpinan organisasi keagamaan namun pelaku pelemparan masih dalam urusan yang berwajib. 14. Penyerangan yang dilakukan sekitar 300 orang terhadap umat Islam di Kampung Melayu Selambo Desa Amplas Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang dan melempari Masjid al-Barokah, serta membakar 7 unit rumah dan merusak lima unit lainnya, serta merusak tanaman masyarakat, pada tanggal 30 Oktober 2010. 15. Pembakaran mesjid di Lumbanlobu Toba Samosir. Percobaan pembakaran telah berkali-kali, terakhir pembakaran pada tanggal 27 Juli 2010.
16. Penggunaan ruko dan plaza sebagai tempat ibadat yang tidak mempunyai izin, banyak terjadi di kota-kota yang mengabaikan PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. 17. Penyebaran buku yang bernuansa pelecehan dan penodaan suatu agama di Medan dan Kabupaten Labuhan Batu. Salah seorang diantara pelaku sudah diatangkap. 18. Terbakarnya dua buah Masjid di Desa Aek Loba Kecamatan Aek Kuasan Kabupaten Asahan, pada tanggal 30 Maret 2011. 19. Terebakarnya rumah yang dijadikan rumah ibadah Kristen di Desa Sibuhuan Kecamatan Barumun Kabupaten Padang Lawas, penduduk muslim 99 % dan beberapa orang pegawai negeri dan aparat beragama Kristen. Tanggal 3 Peberuari 2010 Tim FKUB Provinsi Sumatera Utara melaporkan hasil musyawarah kepada gubernur, dimana pemerintah setempat memfasilitasi tempat beribadah bagi umat Naasrani dan mencarikan lokasi yang lebih tepat dan layak serta dapat diterima masyarakat dengan memenuhi prosedur yang berlaku. Saat ini sedang pencarian lokasi yang tepat untuk tempat mendirikan Gereja HKBP dan tidak ada permasalahan yang timbul di kalangan masyarakat. 20. Penolakan terhadap pendirian masjid al-Munawwar Sarulla Kecamatan Pahae Jae Kabupaten Tapanuli Utara sejak tahun 2010 sampai sekarang belum bisa didirikan walaupun sudah ditempuh melalui peraturan dan prosedur yang belaku, namun izin mendirikan bangunan tidak dikeluarkan dengan alasan masyarakat menolak dan tidak kondusif. Sebagian sudah diselesaikan dengan baik dan sebagian lagi masih dalam proses penyelesaian yang harus segera dicarikan solusinya. Di antara persoalan yang muncul di atas adalah adanya bahaya disintegrasi. Gejala yang menunjukkan ancaman itu muncul dalam berbagai bentuk seperti terjadinya konflik horizontal di beberapa tempat, yang dikaitkan dengan faktor ekonomi, politik dan budaya. Di samping itu, barangkali juga disebabkan oleh ketidaktahuan dan ketidakpatuhan umat beragama terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006. Konflik ini semakin massif ketika sentimen keagamaan ikut mewarnai berbagai peristiwa. Pertikaian antarkelompok dalam masyarakat, pada gilirannya dapat menjadi ancaman bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian potensi konflik antarumat beragama di Sumatera Utara disebabkan banyak faktor, dan sampai sekarang masih ada walaupun bersifat laten. Jika potensi konflik tersebut tidak segera disikapi dengan arif dan bijaksana, bisa menjadi ancaman bagi kondusifitas dan mengusik kedamaian di daerah ini. Salah satu cara untuk mengetahui potensi konflik dan berusaha melakukan antisifatif adalah dengan mengintensifkan dialog antarumat beragama. Provinsi Sumatera Utara memiliki karakter khusus dan keunikan tersendiri jika dibanding dengan daerah lain di Indonesia. Di satu sisi keunikan itu membawa berbagai keuntungan bagi kehidupan masyarakat dan di sisi lain hal itu juga dapat
menimbulkan sumber pemicu ketegangan sosial dan konflik. Disinilah strategisnya kesadaran dan partispasi tokoh dan umat beragama dalam upaya pembinaan kerukunan hidup beragama untuk menyukseskan pembangunan dalam bidang agama. Namun, masalah dan hambatan pelestarian kerukunan di Sumatera Utara masih tetap menjadi perhatian, antara lain; Kurangnya wawasan tokoh agama dan peserta dialog mengenai agama lain Pemahaman yg menganggap hanya aliran/ mazhabnya sendiri yg benar dan menyalahkan yg lain, seperti pemahaman agama yg ekstrim, sempit dan eksklusif. Kurang efektifnya sosialisasi dan pelaksanaan regulasi, baik karena status hukumnya yg dipersoalkan, kurang pemahaman sebagian aparat negara. Adanya paham radikal di sebagian kecil kelompok agama. Kurangnya pengembangan model/sistem pencegahan konflik secara dini. Isu pemurtadan dan pendangkalan akidah, yakni penyiaran agama kepada orang yang sudah menganut agama tertentu dengan imbalan materi dan perkawinan. Persoalan pendirian rumah ibadah atau cara penyiaran/penyebaran agama yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan penistaan atau penodaan agama Adanya salah faham/informasi di antara pemeluk agama., termasuk yang dipicu oleh pemberitaan sebagian media yang tidak berorientasi pada jurnalisme damai. Kurangnya kesadaran pluralitas, dan bukan pluralisme yang menyamakan semua agama, sehingga munculnya sikap penolakan terhadap regulasi kerukunan. Tingginya kesadaran masyarakat, pemuka dan tokoh agama di Sumatera Utara untuk memelihara kerukunan menjadi kunci terpenting dalam usaha memajukan kesejaheraan rakyat. Pluralitas masyarakat dan semangat toleransi yang tinggi, harus menjadi modal untuk melaksanakan pembangunan. Daya tahan yang tinggi dalam menjaga kerukunan umat beragama di Sumatera Utara, membuat provokator tidak berkutik, walaupun beberapa tahun yang lalu Sumut mendapat cobaan dengan ledakan bom di beberapa tempat, penodaan dan pelecehan terhadap suatu agama, perusakan dan pembakaran rumah ibadah. Masyarakat Sumatera Utara begitu sadar bahwa tidak seorangpun yang diuntungkan atau merasa beruntung dari konflik antarumat beragama, kecuali provokator itu sendiri. Jika kita semua menyadaari hal itu, maka Sumut tidak akan mungkin jatuh ke dalam percobaan sebagaimana terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Sebaliknya, Sumut tetap menjadi primadona dan barometer atau contoh bagi kerukunan, toleransi dan persatuan anak bangsa ke depan. Hal ini didukung oleh beberapa hal, antara lain : • Respon Kitab Suci dari masing-masing agama yang menganjurkan untuk hidup berdampingan, berkasih sayang, dan saling menghormati antarumat beragama.
Teknologi Informatika dan kemudahan komunikasi untuk segera dilakukan pencegahan dini. Realitas Heterogenitas sebagai keniscayaan yang harus disikapi sebagai pemberian Tuhan Yang Kuasa. Revitalisasi Kearifan lokal (local wisdom) sebagai perekat anak bangsa dalam bingkai NKRI. Reaktualisasi dan revitalisasi Pancasila sebagai media pemersatu di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Dukungan pemerintah, baik secara moril maupun materil dalam upaya mengintensifkan dialog dan sosialisasi regulasi kerukunan. Pola pemahaman agama yang moderat bernuansa toleransi, dan tidak diarahkan pada sikap radikalisme atau ekstrim. 2. Peran Pimpinan NU Sumatera Utara. Nahdlatul Ulama (NU) berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 di Jawa Timur. Organisasi ini merupakan wadah para ulama di dalam tugas memimpin Islam menuju cita-cita Izzul Islam Muslimin (kejayaan Islam dan umatnya). Nahdlatul Ulama (NU) dapat berkembang dengan cepat sebagai organisasi Islam yang berskala nasional. Hal itu ditunjang oleh kenyataan bahwa NU lahir di Jawa Timur yang selama berabad-abad menjadi pusat perkembangan pesantren dan tarekat di Indonesia. Banyak para ulama besar dari berbagai daerah yang berasal dari pesantren di Jawa Timur. Mereka memiliki rasa persaudaraan seperguruan dengan pemimpin pesantren yang terdapat di Jawa Timur. Para kader tersebut menyebar ke berbagai daerah di Indonesia, termasuk diu Provinsi Sumate4ra Utara. Sesuai hasil Konferensi Wilayah (Konferwil) XVI NU Sumatera Utara memilih secara aklamasi Syekh H Mahmuddin Pasaribu sebagai Rais Syuriyah PWNU Sumut, dan H Ashari Tambunan juga kembali terpilih secara aklamasi sebagai ketua tanfidziyah periode 2012-2017, di Asrama Haji Pangkalan Masyhur Medan. M.Hatta Siregar menjelaskan bahwa Ketua PWNU Sumut H Ashari Tambunan, menyampaikan, peran NU di tengah-tengah umat diharapkan sesuai dengan keinginan para pendiri dan ulama dalam mempertahankan ajaran Ahlus Sunnah Waljamaah (Aswaja). Ashari menyadari, bahwa tugas PWNU ke depan semakin berat ketimbang periode lalu, terutama dalam era tranparansi dan demokrasi di tengah pluralitas bangsa. Ketika ditanya tentang kehadiran agama-agama di Indonesia, M. Hatta Siregar mengatakan bahwa kehadiran agama-agama besar yang diawali oleh agama Hindu dan Budha, kemudian Islam, Katolik dan Kristen Protestan, menjadikan perbedaan antar agama semakin kompleks, terutama karena agama-agama itu telah memainkan peran sangat menentukan dalam berbagai lapangan kehidupan masyarakat di Sumatera Utara. Bagi masyarakat Sumatera Utara, yang memiliki keanekaragaman
agama dan budaya, kerukunan umat beragama merupakan suatu sarana yang penting diwujudkan untuk terciptanya persatuan dan kesatuan nasional. Aspek kerukunan merupakan nilai yang dapat ditemukan dalam ajaran setiap agama maupun dalam aktifitas sosialnya, sebagai potensi umat beragama untuk mewujudkan kerukunan dan kerjasama membangun budaya damai dalam keragaman. Lanjut beliau, seluruh agama yang diakui secara nasional terdapat di Sumatera Utara. Agama yang pertama kali berkembang adalah Hindu dan Budha yang ditandai dengan adanya candi-candi khususnya di Tapanuli Selatan yang sampai sekarang masih kokoh berdiri. Namun penganut dua agama ini berangsur-angsur hilang dan kemudian masuklah agama Islam dari Sumatera Barat. Tema penyampaian ajaran agama lebih banyak yang berdimensi pendekatan normatif, maka pada masa yang lalu terdapat sedikit ketegangan antarumat beragama. Salah satu derah di Sumatera Utara yang cukup intens penyebaran agama Islam maupun Kristen adalah Kabupaten Tapanuli Selatan, yaitu di Kecamatan Sipirok. Oleh karenanya, masyarakat Sumatera Utara memandang daerah Sipirok sebagai simbol kerukunan antarumat beragama sejak abad ke-19 M. Tidak jauh berbeda dengan penjelasan yang dikemukakan oleh Maratua Simanjuntak (penasehat NU Sumatera Utara) bahwa komitmen, emosi, dan pengalaman keagamaan merupakan elemen yang inheren dalam kehidupan beragama. Setiap orang memiliki keyakinan terhadap ajaran agama tertentu akan merasakan keterikatan emosional dengan sistem keyakinan tersebut. Akan tetapi emosi, perasaan dan pengalaman keagamaan ini lebih mudah dirasakan dari pada digambarkan. Pembicaraan tentang hal ini akan lebih mudah ketika diarahkan kepada objek yang dapat menimbulkan emosi dan perasaan keagamaan seperti simbol-simbol yang bernilai sakral dalam pandangan penganut agama tertentu. Maratua Simanjuntak memperkuat pandangan dengan mengatakan bahwa Alquran memerintah umat Islam agar memberikan perlindungan terhadap orang musyrik yang membutuhkan. Allah berfirman : “Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.”3 Lanjut beliau, Ayat di atas menunjukkan kebesaran jiwa Islam dalam menghadapi orang-orang musyrik. Sekiranya orang musyrik datang meminta perlindungan kepada umat Islam, maka tak ada pilihan kecuali bahwa perlindungan itu harus diberikan. Pada saat itu, umat Islam boleh memperdengarkan atau persisnya mengenalkan Islam. Jika dia mau menerima dan kemudian masuk Islam, maka itu baik. Namun, sekiranya dia tetap dengan pilihan keyakinannya, maka umat 3
Q.S. al-Taubah/9: 6.
Islam diperintahkan mengembalikan orang musyrik tersebut ke suatu tempat yang aman bagi si Musyrik. Meskipun pada saat itu umat Islam mayoritas dan berkuasa, namun sikap perlindungan terhadap jiwa mereka menjadi komitmen keberagamaannya. Di Sumatera Utara misalnya, agama Islam merupakan populasi terbesar penganutnya (+ 65,45%), terdiri dari berbagai golongan dan mempunyai kecenderungan paham keagamaan yang bervariasi. Secara garis besar, umat Islam di daerah ini dapat dikelompokan atas beberapa tipe, antara lain; tipe keberagaman yang tradisional, tipe keberagaman yang cenderung mengamalkan tradisi-tradisi beragama yang diajarkan oleh para ulama masa lalu. Menurut Abdullah MT (Wakil Ketua PW NU Sumut) bahwa Islam berkomitmen bahwa pada prinsipnya setiap agama mengakui, meyakini dan menerima kenyataan pluralitas religius karena hal tersebut merupakan pesan dari kitab suci, sebagaimana ditegaskan Alquran : “Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ? (QS. Yunus/10:99)”. Islam mengajarkan bahwa agama Tuhan adalah universal, karena Tuhan telah mengutus Rasul-Nya kepada setiap umat. Kepada umat Islam diperintahkan untuk menjaga hubungan yang baik dengan orang-orang beragama lain, khususnya para penganut kitab suci (ahl al-kitâb). Prinsip ini membawa akibat yang sangat logis, yaitu tidak boleh ada paksaan dalam agama. Komitmen ini perlu dikemukakan, karena sampai sekarang kesalahpahaman atau kekurangpercayaan pihak lain terhadap prinsip Islam, sunguh tidak beralasan. Abdullah MT melanjutkan pandangannya; Setidaknya ada dua kemungkinan mengapa umat Islam berkomitmen terhadap nilai universal ajaran agamanya. Pertama, para informan, tokoh organisasi keagamaan, belum bisa melepaskan subjektifnya ketika memberikan gambaran tentang gejala emosi keagamaan umatnya. Kemudian, ia bisa memberikan gambaran dengan refleksi dan penilaian personal tentang emosi keagamaan yang sedang dibicarakan. Pada umumnya perbedaan lebih jelas terlihat pada level grassroot, sementara pada level elit perbedaan tersebut lebih tersamar. Kedua, telah terjadi pergeseran pemahaman, pemaknaan dan perasaan keagamaan pada kalangan umat Islam di Sumatera Utara ke arah yang lebih universal dengan tidak terlalu mempersoalkan kekhasan dan karakteristik kelompok masingmasing. Lanjut beliau, tidak ada alasan bagi seorang Muslim membenci orang lain karena ia bukan sekeyakinan. Membiarkan orang lain tetap memeluk agama nonIslam adalah bagian dari perintah Islam. Bahkan toleransi yang ditunjukkan Islam demikian kuat, sehingga umat Islam dilarang memaki sesembahan orang-orang
Musyrik. Sebab jika umat Islam melakukannya, maka orang Musyrik akan melakukan hal yang sama pada Tuhan umat Islam. Islam berkomitmen bahwa kepercayaan seseorang terhadap suatu agama harus dilindungi, dan perbedaan ekspresi berkeyakinan atau berketuhanan tidak membenarkan seseorang mengganggu yang lain. M. Hatta Siregar (Wakil ketua PW NU Sumuta), ketika ditanya tentang peran pimpinan NU dalam penguatan kerukunan di Sumatera Utara, yaitu dengan mengintensifkan dialog lintas tokoh agama, karena hal itu akan memperkecil jurang pemisah dan memperluas wawasan terhadap ajaran agama lain, sehingga memungkinkan untuk saling memahami dan menghargai satu sama lain. Dialog tersebut tidak hanya pada tataran formalitas, tetapi yang diharapkan adalah dialog misi kemanusiaan global dan dialog karya membangun peradaban masa depan bersama yang lebih baik. Menurutnya, ada dua komitmen penting yang harus dipegang oleh dialog, yaitu sikap toleransi dan sikap pluralisme. Toleransi adalah upaya untuk menahan diri agar potensi konflik dapat ditekan. Adapun yang dimaksud dengan pluralisme adalah tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, namun adanya keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan, dalam kebhinekaan. Paling tidak, seorang pluralis akan menghindari sikap absolutisme yang menonjolkan keunggulannya terhadap pihak lain. Pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut. Sumatera Utara terdapat beragam tradisi, salah satu ekspresinya adalah adat istiadat dan budaya masyarakat. Hal ini merupakan satu instrumen sosial yang penting untuk ditelaah dalam kaitannya dengan efektifitas hubungan antarumat beragama. Adat istiadat di daerah ini merupakan khazanah sosial yang memiliki nilai positif dalam masyarakat heterogen. Dengan kata lain, adat istiadat dan budaya tertentu bukanlah monopoli suatu masa lalu, tetapi juga tetap relevan bagi masyarakat modern. Bahkan, sebagian masyarakat Sumatera Utara tidak memandang adanya klasifikasi adat istiadat berdasarkan rentang waktu, kendatipun telah terjadi pergeseran secara relatif. Kelihatannya, di daerah ini adat istiadat telah dijadikan secara efektif menjadi alasan komunikasi sosial dan sekaligus sebagai perekat antar individu dan antar kelompok masyarakat. Efektivitas tradisonal di Sumatera Utara, misalnya dalam masyarakat Batak, yang tetap intens dan aksentuatif menganggap penting marga sebagai identitas pribadi dan keluarga. Hubungan primordial berdasarkan marga tersebut menjadi warga marga di mana saja, pada lapisan sosial dan agama apapun, merasa adanya hubungan emosional dan ikatan persaudaraan yang erat. Persaudaraan marga menjadi masyarakat Batak tidak terpecah
disebabkan oleh perbedaan agama yang dianut. Cermin budaya itu menggambarkan bahwa nilai-nilai tradisional masyarakat dapat tetap aktual dan secara efektif menjadikan hubungan antar sesama manusia yang berbeda agama dan kepercayaan tetap saja harmonis dalam satu ikatan persaudaraan. Ikatan-ikatan primordial seperti ini merupakan realitas nilai-nilai tradisonal yang tetap aktual dan efektif menjadi benteng pertahanan kekuatan sosial dan penguatan keruiunan. Hemat peneliti, memang keaneka entitas etnik baik dari segi agama, bahasa dan budaya merupakan asset yang berharga untuk meningkatkan kreatifitas masyarakat Sumatera Utara, baik secara parsial maupun komunal. Keanekaragaman itu mengandung dinamika sosial yang disikapi secara arif akan menjadi kekuatan membangun budaya dialogis dan konstukritf. Kelihatannya, masyarakat Sumatera Utara telah sejak lama merasakan pentingnya membangun semangat kerukunan, mengingat heterogenitas masyarakatnya sangat kentara. Oleh karena itu maka kalangan pemuka agama, cendikiawan, birokrat hendaknya mengambil prakarya untuk melakukan intervensi dalam penyusunan peta konsep rekayasa penyelesaian konflik partisipatif membangun kerukunan masa depan. Di samping mengintensifkan dialog, kata Abdullah MT (wakil Ketua PW NU Sumut), satu hal yang menjadi kekuatan dialog kerukunan di Sumatera Utara juga adanya sistem kekrabatan yang termodifikasi dalam hubungan perkawinan. Inti dari sistem kekerabatan masyarakat Mandailing misalnya, bertumpu pada konsep dalihan natolu yang menegaskan bahwa semua orang dalam satu kampung, yang disebut huta, berada dalam satu ikatan kekerabatan yang besar. Kendatipun konsep dalihan natolu itu seseorang tidaklah permanen berada pada satu posisi, tetapi akan sangat tergantung di lingkungan marga apa ia sedang berada. Hal ini dapat mendorong munculnya sikap egaliter dalam memandang stratifikasi sosial. Dalam lingkup yang lebih jauh hal ini akan membangun semangat toleransi dan saling menghargai sesama manusia sekalipun berbeda etnis maupun agama. Lanjutnya beliau, bahwa peran yang dilakukan oleh pimpinan PW NU Sumut sebagai organisasi keagamaan adalah membangun solidaritas umat beragama dan adanya pergaulan yang akrab antara pemuka agama. Para ulama berkunjung dan berdialog dengan berbagai pemuka agama, demikian juga sebaliknya kalangan pemuka agama Kristen baik dari Pastor maupun Pendeta telah terbiasa mengunjungi pemuka Islam dalam hari besar keagamaan. Pemuka Islam ikut menyampaikan pidato pada perayaan ulang tahun organisasi keagamaan, dan sebagainya. Sehingga suasana toleransi antarumat beragama telah menjadi tradisi pada sebagian besar di daerah ini. Disini kelihatan adanya kesadaran kesadaran baru di antara para tokoh agama di Sumatera Utara, yaitu semangat pluralitas membangun sikap toleransi dan saling menghargai pada setiap karakteristik dan realitas kebudayaan yang ada, merupakan nilai aksiologis yang sangat penting. Keunggulan hanya ada dalam diri Tuhan sebagai Khalik, Yang Menciptakan makhluk-Nya. Dalam dimensi apapun dualitas antara yang Tunggal dan yang majemuk pada satu sisi sebenarnya bisa dipisahkan dalam kapasitas fungsi dan bentuknya, namun pada
dimensi yang lain antara keduanya bisa saling memiliki keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan sama sekali. Oleh karena itu, seluruh elemen masyarakat Sumut agar menjaga kerukunan yang sudah terjalin selama ini, di samping tantangan yang berkaitan dengan pembangunan, teknologi, dan peningkatan kualitas kehidupan, ada kecenderungan akibat globalisasi dan demokrasi benturan antar nilai dan kelompok masyarakat sangat rentan terhadap perpecahan. Di sinilah urgensinya pertemuan yang kita laksanakan, sebagai wahana dialog dan komuniasi interaktif untuk menampung aspirasi serta mendapatkan informasi tentang partisipasi masyarakat dalam memelihara kerukunan. Untuk itu perlu solusi dan upaya-upaya pelestarian kerukunan di Sumatera Utara, antara lain; Agama semestinya tidak dijadikan sebagai faktor pemecah belah (disintegratif), tetapi menjadi faktor pemersatu (integratif) dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat Sumatera Utara adalah masyarakat religius, masyarakatnya penuh toleransi tanpa memandang perbedaan, dan peran pemuka agama, tokoh masyarakat serta pemuda cukup besar. Agama semestinya tidak dipahami secara eksklusif dan ekstrim. Agama perlu dipahami dengan memperhatikan pula konteks dan kondisi obyektif masyarakat Sumatera Utara yang majemuk (multi-kultural, multi-agama dan multi-etnis). Pemahaman keagamaan semestinya bersifat moderat, dengan tanpa mengorbankan ajaran-ajaran dasar agama. Pemahaman semacam ini akan menghasilkan ajaran agama yang mengedepankan kasih sayang (rahmah), perdamaian (salâm), toleransi (tasâmuh) dalam hubungan antar-manusia. Penguatan kerukunan dan pencegahan konflik antar umat beragama perlu juga disertai dengan penguatan akhlak (etika-moral) dan karakter bangsa. Oleh karenanya, penguatan akhlak dan karakter ini menjadi keniscayaan, baik di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat maupun kerja/profesi, melalui “gerakan penguatan akhlak dan karakter bangsa”, yang disertai dengan contoh-contoh keteladanan para pemimpin. Gerakan itu perlu juga diarahkan ke dalam bidang-bidang aktivitas warga yang lebih spesifik, sehingga akan muncul penguatan “etika birokrasi”, “etika politik”, “etika bisnis”, “etika penegakan hukum”, dan sebagainya. Untuk memperkuat kerukunan dan mencegah terjadinya konflik diperlukan upaya-upaya yang terus menerus, baik melalui pendekatan teologis maupun sosiologis (kultural), terutama kearifan lokal (local wisdom). Misalnya, bagi etnis Mandailing dalihan na tolu, di Batak Marsiadapari, di Karo Aron dan deliken sitelu, di Minang tiga tungku sejarangan, dan lain-lain. Pengefektifan pelaksanaan regulasi melalui upaya peningkatan sosialiasasi kepada seluruh aparat pemerintah, pimpinan organisasi keagamaan, pemuda, pemuka agama dan masyarakat.
Antisipasi terhadap potensi atau kemungkinan terjadinya konflik oleh pihak keamanan, sehingga tidak berkembang menjadi konflik dan kekerasan. Mengurangi ketimpangan ekonomi, politik dan sosial di antara kelompokikelompok umat beragama. Mengintensifkan dialog dan peningkatan kerjasama antarumat beragama, baik di bidang ekonomi maupun sosial. Dari penjelasan di atas dapatlah disimpulkan bahwa penguatan kerukunan yang dilakukan oleh pimpinan organisasi masyarakat yang bersifat keagamaan, seperti Nahdatul Ulama (NU) dilakukan dengan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan melalui musyawarah dengan tokoh dan pemuka agama, dialog secara intensif yang melibatkan para tokoh agama bersama-sama pejabat terkait yang difalisitasi pemerintah setempat, melalui proses hukum dengan menyerahkan kasus tersebut kepada pihak yang berwenang. C. Peran Pimpinan Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir didirikan sebagai organisasi Islam yang bertujuan mengembalikan kaum muslim untuk kembali taat ke hukum Islam, memperbaiki sistem perundangan dan hukum negara yang dinilai kufur agar sesuai tuntunan syariat, serta membebaskan dari gaya hidup dan pengaruh negara barat. Hizbut Tahrir juga bertujuan untuk membangun kembali pemerintahan Khilafah Islamiyah di dunia, sehingga hukum Islam dapat diberlakukan kembali. Irwan Said Batubara (pimpinan HTI Sumatera Utara), mengatakan bahwa berdirinya Hizbut Tahrir, sebagaimana telah disebutkan, adalah dalam rangka memenuhi seruan Allah, “Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat.” Dalam ayat ini, sesungguhnya Allah telah memerintahkan umat Islam agar di antara mereka ada suatu jamaah (kelompok) yang terorganisasi. Kelompok ini memiliki dua tugas: (1) mengajak pada al-Khayr, yakni mengajak pada al-Islâm; (2) memerintahkan kebajikan (melaksanakan syariat) dan mencegah kemungkaran (mencegah pelanggaran terhadap syariat). Menurut Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia Ustadz Ismail Yusanto bahwa dakwah model Hizbut Tahrir memang lambat di awal. Untuk menjadikan matang, satu halaqah yang biasanya diikuti oleh kurang lebih 5 orang, misalnya, diperlukan waktu bertahun-tahun. Mengapa waktu yang diperlukan begitu panjang? Karena kitab atau buku pembinaan yang harus dikaji cukup banyak. Belum lagi metode pangkajian kitab yang aslinya ditulis dalam bahasa Arab, yang harus dibaca paragraf demi paragraf, kemudian dijelaskan isi dan pengertiannya oleh musyrif (pembina halaqah), yang membuat halaqah memang tidak mungkin diselenggarakan secara kilat. Belum lagi waktu untuk menjawab tuntas pertanyaanpertanyaan dari para peserta halaqah. Ditambah dengan nasyrah-nasyrah (selebaran) yang merupakan materi lepas, tetapi dianggap penting untuk disampaikan kepada para peserta, membuat materi dalam halaqah menjadi semakin banyak. Walhasil, waktu yang diperlukan juga menjadi semakin panjang sehingga pertumbuhan jumlah kader yang dihasilkan juga
menjadi sangat lambat. Percaya atau tidak, 10 tahun pertama dakwah HT di Indonesia hanya dihasilkan 17 orang kader. Itu artinya, satu tahun dihasilkan 1,7 kader. Ini tentu jumlah yang amat sangat sedikit, dan merupakan pencapaian dakwah yang amat lambat. Namun, seiring dengan waktu, perkembangan dakwah makin lama makin cepat karena efek duplikasi. Jika 10 tahun pertama hanya dihasilkan 17 orang, 10 tahun kedua - jika perkembangannya linier - mestinya hanya menghasilkan 34 orang, tetapi ternyata tidak seperti itu. Perkembangan dakwah HTI tumbuh secara eksponensial. Dakwah yang semula hanya berkutat di satu atau beberapa kota dengan hasil belasan kader, pada 10 tahun kedua ternyata sudah berkembang di seluruh Indonesia. Sekarang, di pertengahan 10 tahun ketiga, dakwah HTI sudah tersebar di 33 propinsi, di lebih 300 kota dan kabupaten. Bahkan sebagiannya telah merambah jauh hingga ke pelosok. Wallahu a’lam. Perintah untuk membentuk suatu jamaah yang terorganisasi di sini memang sekadar menunjukkan adanya sebuah tuntutan (thalab) dari Allah. Namun demikian, terdapat qarînah (indikator) lain yang menunjukkan bahwa tuntutan tersebut adalah suatu keniscayaan. Oleh karena itu, aktivitas yang telah ditentukan oleh ayat ini yang harus dilaksanakan oleh kelompok yang terorganisasi tersebut --yakni mendakwahkan Islam dan melaksanakan amar makruf nahi mungkar-- adalah kewajiban yang harus ditegakkan oleh seluruh umat Islam. Kewajiban ini telah diperkuat oleh banyak ayat lain dan sejumlah hadis Rasulullah saw. Rasulullah saw., misalnya, bersabda, “Demi Zat Yang diriku berada di tangan-Nya, sungguh kalian (mempunyai dua pilihan): melaksanakan amar makruf nahi mungkar ataukah Allah benar-benar akan menimpakan siksaan dari sisi-Nya. Kemudian, setelah itu kalian berdoa, tetapi doa kalian itu tidak akan dikabulkan.” (H.R. At-Turmudzî, hadis no. 2259). Hadis di atas merupakan salah satu qarînah (indikator) yang menunjukkan bahwa thalab (tuntutan) tersebut bersifat tegas dan perintah yang terkandung di dalamnya hukumnya adalah wajib. Jamaah terorganisasi yang dimaksud haruslah berbentuk partai politik. Kesimpulan ini dapat dilihat dari segi: (1) ayat di atas telah memerintahkan kepada umat Islam agar di antara mereka ada sekelompok orang yang membentuk suatu jamaah; (2) ayat di atas juga telah membatasi aktivitas jamaah yang dimaksud, yaitu mendakwahkan Islam dan melaksanakan amar makruf nahyi munkar. Oleh karena itu, tidak dibolehkan organisasi-organisasi/partai-partai politik yang ada di tengah-tengah umat Islam berdiri di atas dasar selain Islam, baik dari segi fikrah (ide dasar) maupun tharîqah (metode)-nya. Hal ini, di samping karena Allah telah memerintahkan demikian, juga karena Islam adalah satu-satunya mabda’ (ideologi) yang benar dan layak di muka bumi ini. Islam adalah mabda’ yang bersifat universal, sesuai dengan fitrah manusia, dan dapat memberikan jalan pemecahan kepada manusia (atas berbagai problematikan mereka, penerj.) secara manusiawi. Oleh karena itu, Islam telah mengarahkan potensi hidup manusia—berupa gharâ’iz (nalurinaluri) dan h ajât ‘udhawiyyah (tuntutan jasmani), mengaturnya, dan mengatur pemecahannya dengan suatu tatanan yang benar; tidak mengekang dan tidak pula melepaskannya sama sekali; tidak ada saling mendominasi antara
satu gharîzah (naluri) atas gharîzah (naluri) yang lain. Islam adalah ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Allah telah mewajibkan umat Islam agar selalu terikat dengan hukum-hukum Islam secara keseluruhan, baik menyangkut hubungannya dengan Pencipta mereka, seperti hukumhukum yang mengatur masalah akidah dan ibadah; menyangkut hubungannya dengan dirinya sendiri, seperti hukum-hukum yang mengatur masalah akhlak, makanan, pakaian, dan lainlain; ataupun menyangkut hubungannya dengan sesama manusia, seperti hukum-hukum yang mengatur masalah muamalat dan perundang-undangan. Allah juga telah mewajibkan umat Islam agar menerapkan Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan mereka, menjalankan pemerintahan Islam, serta menjadikan hukum-hukum syariat yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah RasulNya sebagai konstitusi dan sistem perundang-undangan mereka. Allah berfirman : Putuskanlah perkara di antara manusia berdasarkan wahyu yang telah Allah turunkan dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran (hukum Allah) yang telah datang kepada kalian.(QS al-Mâ’idah [5]: 48). Hendaklah kalian memutuskan perkara di antara manusia berdasarkan wahyu yang telah Allah turunkan dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah kalian terhadap mereka, jangan sampai mereka memalingkan kalian dari sebagian wahyu yang telah Allah turunkan kepada kalian. (QS al-Mâ’idah [5]: 49). Oleh karena itu, Islam memandang bahwa tidak menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum Islam merupakan sebuah tindakan kekufuran, sebagaimana firmanNya: Siapa saja yang tidak memutuskan perkara (menjalankan urusan pemerintahan) berdasarkan wahyu yang telah diturunkan Allah, berarti mereka itulah orang-orang kafir. (QS al-Mâ’idah [5]: 44). Semua mabda’ (ideologi) selain Islam, seperti kapitalisme dan sosialisme (termasuk di dalamnya komunisme), tidak lain merupakan ideologi-ideologi destruktif dan bertentangan dengan fitrah kemanusiaan. Ideologi-ideologi tersebut adalah buatan manusia yang sudah nyata kerusakannya dan telah terbukti cacat-celanya. Semua ideologi yang ada selain Islam tersebut bertentangan dengan Islam dan hukumhukumnya. Oleh karena itu, upaya mengambil dan meyebarluaskannya serta dan membentuk organisasi/partai berdasarkan ideologi-ideologi tersebut adalah termasuk tindakan yang diharamkan oleh Islam. Dengan demikian, organisasi/partai umat Islam wajib berdasarkan Islam semata, baik ide maupun metodenya. Umat Islam haram membentuk organisasi/partai atas dasar kapitalisme, komunisme, sosialisme, nasionalisme, patriotisme, primordialisme (sektarianisme), aristokrasi, atau freemasonry. Umat Islam juga haram menjadi anggota ataupun simpatisan partai-partai di atas karena semuanya merupakan partai-partai kufur yang mengajak kepada kekufuran. Padahal Allah telah berfirman: Barangsiapa yang mencari agama (cara hidup) selain Islam, niscaya tidak akan diterima, sementara di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi. (QS Ali Imran [3]: 85). Allah juga berfirman dalam ayat yang kami jadikan patokan di sini, yaitu, mengajak kepada kebaikan, yang dapat diartikan dengan mengajak pada Islam.
Sementara itu, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalperbuatan yang bukan termasuk urusan kami, berarti amal-perbuatan itu tertolak.” (H.R. Muslim, hadis no. 1718). Rasulullah saw. juga bersabda, “Barangsiapa yang mengajak orang pada ashabiyah (primordialisme, sektarianisme) tidaklah termasuk golongan kami.” (H.R. Abû Dâwud, hadis no. 5121). Berkaitan dengan hal di atas, upaya untuk membangkitkan umat dari kemerosotan yang dideritanya; membebaskan mereka dari ide-ide, sistem, dan hukum-hukum kufur; serta melepaskan mereka dari kekuasaan dan dominasi negara-negara kafir, sesungguhnya dapat ditempuh dengan jalan meningkatkan taraf berfikir mereka. Upaya riilnya adalah dengan melakukan reformasi total dan fundamental atas ide-ide dan persepsipersepsi yang telah menyebabkan kemerosotan mereka. Setelah itu, ditanamkan di dalam benak umat ide-ide dan pemahaman-pemahaman Islam yang benar. Upaya demikian diharapkan dapat menciptakan perilaku umat dalam kehidupan ini yang sesuai dengan ide-ide dan hukum-hukum Islam. Hizbut Tahrir memiliki dua tujuan: (1) melangsungkan kehidupan Islam; (2) mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Tujuan ini berarti mengajak umat Islam agar kembali hidup secara Islami di dâr al-Islam dan di dalam lingkungan masyarakat Islam. Tujuan ini berarti pula menjadikan seluruh aktivitas kehidupan diatur sesuai dengan hukumhukum syariat serta menjadikan seluruh pandangan hidup dilandaskan pada standar halal dan haram di bawah naungan dawlah Islam. Dawlah ini adalah dawlah-khilâfah yang dipimpin oleh seorang khalifah yang diangkat dan dibaiat oleh umat Islam untuk didengar dan ditaati. Khalifah yang telah diangkat berkewajiban untuk menjalankan pemerintahan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya serta mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad. Hizbut Tahrir menerima anggota dari kalangan umat Islam, baik pria maupun wanita, tanpa memperhatikan lagi apakah mereka keturunan Arab atau bukan dan dari suku apapun. Hizbut Tahrir adalah sebuah partai untuk seluruh umat Islam. Partai ini menyerukan kepada umat untuk mengemban dakwah Islam serta mengambil dan menetapkan seluruh aturanaturannya tanpa memandang lagi ras-ras kebangsaan, warna kulit, maupun mazhab-mazhab mereka. Hizbut Tahrir melihat semuanya dari pandangan Islam. Para anggota dan aktivis Hizbut Tahrir dipersatukan dan diikat oleh akidah Islam, kematangan mereka dalam penguasaan ide-ide (Islam) yang diemban oleh Hizbut Tahrir, serta komitmen mereka untuk mengadopsi ide-ide dan pendapat-pendapat Hizbut Tahrir. Mereka sendirilah yang mengharuskan dirinya menjadi anggota Hizbut Tahrir, setelah sebelumnya ia terlibat secara intens dengan Hizb; berinteraksi langsung dengan dakwah bersama Hizb; serta mengadopsi ide-ide dan pendapat-pendapat Hizb. Dengan kata lain, ikatan yang mengikat para anggota dan aktivis Hizbut Tahrir adalah akidah Islam dan tsaqâfah (ide-ide) Hizb yang sepenuhnya diambil dari dari akidah ini. Halaqah-halaqah atau pembinaan wanita di dalam tubuh Hizbut Tahrir terpisah deri halaqah-halaqah pria. Yang memimpin halaqah-halaqah wanita adalah para suami, para muhrimnya, atau sesama wanita itu sendiri .
Aktivitas Hizbut Tahrir adalah mengemban dakwah Islam dalam rangka melakukan transformasi sosial di tengah-tengah situasi masyarakat yang rusak sehingga diubah menjadi masyarakat Islam. Upaya ini ditempuh dengan tiga cara: 1. Mengubah ide-ide yang ada saat ini menjadi ide-ide Islam. Dengan begitu, ide-ide Islam diharapkan dapat menjadi opini umum di tengah-tengah masyarakat, sekaligus menjadi persepsi mereka yang akan mendorong mereka untuk merealisasikan dan mengaplikasikan ide-ide tersebut sesuai dengan tuntutan Islam. 2. Mengubah perasaan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat menjadi perasaan Islam. Dengan begitu, mereka diharapkan dapat bersikap ridha terhadap semua perkara yang diridhai Allah, dan sebaliknya, marah dan benci terhadap semua hal yang dimurkai dan dibenci oleh Allah. 3. Mengubah interaksi-interaksi yang terjadi di tengah masyarakat menjadi interaksiinteraksi yang Islami, yang berjalan sesuai dengan hukum-hukum Islam dan pemecahan-pemecahannya. Seluruh aktivitas atau upaya yang dilakukan Hizbut Tahrir di atas adalah aktivitas atau upaya yang bersifat politis—dalam makna yang sesungguhnya. Artinya, Hizbut Tahrir menyelesaikan urusan-urusan masyarakat sesuai dengan hukum-hukum serta pemecahannya secara syar‘î. Sebab, secara syar‘î, politik tidak lain mengurus dan memelihara urusan-urusan masyarakat (umat) sesuai dengan hukumhukum Islam dan pemecahannya. Aktivitas-aktivitas Hizbut Tahrir yang bersifat politik ini tampak jelas dalam upayanya mendidik dan membina umat dengan tsaqâfah (ide-ide) Islam agar umat meleburkan dirinya dengan Islam; membebaskan umat dari dominasi akidah-akidah yang destruktif, pemikiranpemikiran yang salah, dan persepsi-persepsi yang keliru; serta menyelamatkan umat dari pengaruh ide-ide dan pandangan-pandangan yang kufur. Aktivitas politik Hizbut Tahrir ini juga tampak dalam upayanya melakukan pergolakan pemikiran dan perjuangan politiknya. Pergolakan pemikiran Hizbut Tahrir ini dapat terlihat dalam upayanya untuk senantiasa melakukan perlawanan terhadap ide-ide dan aturan-aturan kufur serta penentangannya terhadap ideide yang salah, akidah-akidah yang rusak, atau pemahaman-pemahaman yang keliru. Semua itu dilakukan dengan berupaya membongkar kerusakannya, menampakkan kekeliruannya, dan menjelaskan solusi hukum-hukum Islam dalam masalah tersebut. Sementara itu, perjuangan politik Hizbut Tahrir dapat terlihat dalam upayanya menentang orang-orang kafir imperialis dalam rangka melepaskan umat Islam dari belenggu kekuasaan mereka, membebaskan umat Islam dari tekanan dan pengaruhnya,serta mencabut akar-akar pemikiran, kebudayaan, politik, ekonomi, maupun militer dari seluruh negeri-negeri Islam. Perjuangan politik Hizbut Tahrir juga tampak jelas dalam upayanya menentang para penguasa; membongkar pengkhianatan dan persekongkolan mereka terhadap umat Islam;
serta melancarkan kritik, kontrol, dan koreksi terhadap mereka. Hizbut Tahrir berusaha mengubah para penguasa apabila mereka melanggar hak-hak umat atau mereka tidak menjalankan kewajibannya terhadap umat, juga apabila mereka melalaikan salah satu urusan umat atau mereka menyalahi hukum-hukum Islam. Dengan demikian, aktivitas Hizbut Tahrir secara keseluruhan merupakan aktivitas yang bersifat politik, baik di lingkungan sistem kekuasaan yang tidak Islami ataupun di dalam naungan sistem pemerintahan Islam. Artinya, aktivitas Hizbut Tahrir tidak hanya terbatas pada aspek pendidikan. Hizbut Tahrir bukanlah madrasah atau sekolahan. Aktivitas partai ini juga tidak terfokus pada seruan-seruan dan nasihatnasihat yang bersifat umum. Akan tetapi, aktivitasnya secara keseluruhan bersifat politis; Hizbut Tahrir berupaya menyampaikan ide-ide dan hukum-hukum Islam untuk direalisasikan, diemban, dan diwujudkan dalam realitas kehidupan umat dan negara. Hizbut Tahrir mengemban dakwah Islam agar Islam dapat diterapkan dalam realitas kehidupan; agar akidah Islam menjadi dasar negara dan sekaligus landasan konstitusi dan undang-undang. Sebab, akidah Islam adalah akidah yang bersifat rasional (‘aqîdah ‘aqliyyah) dan sekaligus akidah yang bersifat politis (‘aqîdah siyâsiyah); akidah yang telah menderivasikan (menurunkan) aturan-aturan yang mampu menjadi solusi atas segenap problematika yang dihadapi manusia secara keseluruhan, baik di bidang politik, ekonomi, pendidikan, sosial, dan lain-lain. Hizbut Tahrir selama ini melakukan serangkaian pengkajian, penelitian, dan studi terhadap keadaan umat dan kemerosotan yang dideritanya. Pada saat yang sama, Hizbut Tahrir juga melakukan serangkaian penelaahan - sebagai perbandingan, penerjemah terhadap situasi masa Rasulullah saw., masa Khulafaur Rasyidin, dan masa tâbi‘în. Upaya ini dilakukan dengan senantiasa merujuk pada Sirah Rasulullah saw. dan metode beliau dalam mengemban dakwah (sejak awal hingga beliau berhasil mendirikan Daulah Islam di Madinah), serta dengan melakukan studi tentang bagaimana perjalanan hidup beliau di Madinah. Upaya ini juga dilakukan dengan senantiasa merujuk pada Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya, serta apa yang ditunjukkan oleh keduanya, yakni Ijma Sahabat dan Qiyas, di samping merujuk pula pada berbagai pendapat para imam mujtahid. Setelah melakukan serangkaian upaya di atas, Hizbut Tahrir lalu memilih dan menetapkan ide-ide, pendapat-pendapat, dan hukum-hukum; baik secara konseptual (fikrah) maupun metode operasionalnya (thariqah). Semua itu merupakan ide-ide, pendapatpendapat, dan hukum-hukum Islam semata; tidak ada satu pun yang tidak Islami; tidak pula dipengaruhi oleh sesuatu yang tidak bersumber dari Islam. Semuanya bersumber secara utuh dan murni dari Islam, tidak bersandar pada dasardasar selain Islam dan nash-nash syariatnya. Selain itu, partai ini senantiasa bersandar pada pemikiran (akal sehat) dalam menetapakan semua itu. Hizbut Tahrir telah memilih dan menetapkan ide-ide, pendapat-pendapat, dan hukum-hukum tersebut sesuai dengan ketentuan yang diperlukan dalam perjuangannya. Semua itu adalah dalam rangka melangsungkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia, dengan cara mendirikan kembali dawlah-khilafah dan mengangkat seorang khalifah.
Berkenaan dengan konsep dan program toleransi antarumat beragama, menurut Irwan Said Batubara, pimpinan HTI Sumatera Utara, bahwa dalam Islam tidak ada istilah toleransi. Toleransi adalah istilah yang dibangun oleh pemerintah untuk kepentingan umat lain. Dibangunnya konsep toleransi hanya akan menguntungkan pihak di luar Islam. Dan kalaupun harus menggunakan istilah toleran, yang toleran hanya umat Islam, umat agama lain toleransinya semu dan cenderung tak toleran. Dalam komunitas Islam, Islam menganut istilah umat, diluar Islam adalah non muslim. Umat Islam memang bisa hidup berdampingan dengan masyarakat non muslim. Bagi Islam seluruh tatanan kehidupan harus sesuai dengan syariat (ajaran Islam), maka umat Islam hanya dapat hidup berdampingan dengan umat lain selagi umat lain tersebut mengikuti aturan Islam. Lanjut beliau, kerukunan juga tidak ada istilah tersebut dalam Islam. Yang dilakukan Islam adalah membangun kesadaran umat Islam. HTI tidak punya program tentang pembinaan kerukunan. Kerukunan adalah bahasa yang bersumber dari kapitalis sekuler. Kerukunan tercipta ketika Islam diterapkan, dan untuk membangun kerukunan, maka tugas umat Islam menjelaskan kepada orang lain tentang kesempurnaan Islam dalam berbagai segi. Program kerukunan yang beragama. Sejalan dengan pendapat Ustaz Irwan Said, pimpinan lain, yakni Ustaz Musdar Syahban menyatakan bahwa, Hizbut Tahrir lalu memilih dan menetapkan ide-ide, pendapatpendapat, dan hukum-hukum; baik secara konseptual (fikrah) maupun metode operasionalnya (thariqah). satu pun yang tidak Islami; tidak pula dipengaruhi oleh sesuatu yang tidak bersumber dari Islam. Semuanya bersumber secara utuh dan murni dari Islam, tidak bersandar pada dasardasar selain Islam dan nash-nash syariatnya. Selain itu, partai ini senantiasa bersandar pada pemikiran (akal sehat) dalam menetapakan semua itu. Hizbut Tahrir telah memilih dan menetapkan ide-ide, pendapat-pendapat, dan hukum-hukum tersebut sesuai dengan ketentuan yang diperlukan dalam perjuangannya. Semua itu adalah dalam rangka melangsungkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia, dengan cara mendirikan kembali dawlah-khilafah dan mengangkat seorang khalifah. Lebih lanjut Ustaz Musdar Syahban ketika menelaskan tentang membangun kerukunan antar umat beragama Ustaz Musdar bertanya, “Apa bisa dirukunkan?”, yang dijawab oleh beliau sendiri, “Tidak bisa dirukunkan.” “Karena setiap agama memiliki keyakinan, dan masing-masing memiliki keyakinannya sendiri, dan masing-masing berbeda. Dalam Islam ada aqidah dan ibadah yang berbeda dengan agama lain”. Ketika kerukunan antar umat beragama ini dihubungkan dengan masalah sosial dan bukan masalah aqidah atau ibadah, Ustaz Musdar menjelaskan, bahwa konsep kerukunan yang dihubungkan dengan hubungan sosial, HTI tidak memilikinya. Bagi HTI, walau tanpa adanya konsep kerukunan, jika syari’at Islam telah berjalan, maka kemaslahatan antar umat akan berjalan.
Pendapat yang tak jauh beda juga disampaikan oleh Syaiful Rahman, pimpinan HTI Sumatera Utara, dalam membangun kehidupan sosial, HTI tidak mengenal konsep membangun atau menguatkan kerukunan. Dalam hubungan antar umat beragama Islam mengenal umat Islam, dan umat di luar Islam, yang disebut “kafir gama Islam mengenal umat Islam, dan umat di luar Islam, yang disebut “kafir zhimmi”, dan Islam memberi perlindungan terhadap mereka. Dari penjelasan di atas dalam penguatan kerukunan HTI memiliki pemahaman tersendiri. Bagi HTI tidak ada program penguatan kerukunan yang bersifat ekternal, yang di bangun adalah kerukunan internal. Jika umat Islam telah menjalankan ajaran Islam secara keseluruhan (kaffah), maka akan tercipta kerukunan. Analisis Sumatera Utara, dalam pembinaan kerukunan memiliki hambatan, antara lain adanya trauma penyebaran agama dan isu seputar Kristenisasi dan Islamisasi. Isu ini masih sering muncul di permukaan yang kemudian berkembang kepada implikasi pengertian mayoritas dan minoritas. Hal ini bermula dari gerakan-gerakan yang dilakukan oleh sebagian penganut Kristen yang begitu gencar melakukan kegiatan misionari itu. Demikian pula sikap yang ditunjukkan oleh sebagian penceramah-penceramah muslim yang begitu gencar terkesan membuka ruang konflik dengan penganut agama lain. Semangat proselit, yaitu pindahnya seseorang dari iman yang lama kepada iman yang baru dirasakan sebagai faktor penghambat dalam merajut keharmonisan antarumat beragama di daerah ini, sekaligus sebagai kelemahan jalannya dialog lintas iman. Meningkatnya ketegangan antara umat Islam dan umat Kristen yang dipicu oleh perpindahan agama secara massal ke agama Kristen pada awal Orde Baru bukan saja memaksa pemerintah Indonesia menyelenggarakan Musyawarah Antaragama tahun 1967 dengan tujuan untuk meredam gejolak yang mungkin merisaukan itu, tetapi juga mengilhami Dewan Gereja se dunia untuk meyelenggarakan dialog antarumat beragama, yang dimulai tahun 1970. Memang tidak dapat dihindari bahwa baik Islam maupun Kristen, keduanya sama-sama merupakan agama dakwah. Islam sebagai agama dakwah adalah konsekuensi logis atau perwujudan dari doktrin dasar bahwa agama itu membawa kebenaran, menghantarkan umat ke jalan yang diridhai Allah Swt, maka ia harus didakwahkan, dengan tujuan agar seseorang bisa terhindar dari hidup sesat, baik sesama masih di dunia maupun di akhirat kelak. Tetapi ciri agama mionaris ternyata tidak hanya dimiliki oleh Islam. Kristen juga mempunyai ciri yang sama, yakni sebagai agama yang harus disebarkan kepada orang lain, dengan penyelamatan atau pembebasan dosa yang dilakukannya melalui Yesus, seperti tersebut dalam Injil Matius 28:19-20, yang memerintahkan murid-murid Yesus untuk mencari murid dari seluruh bangsa. Selain itu, kebijakan pemerintah yang kurang terarah atau tumpang tindihnya peraturan dan perundang-undangan kerukunan hidup umat beragama juga menjadi faktor lemahnya
dialog. Rapuhnya jaminan konstitusi kebebasan beragama tidak saja diakibatkan oleh kurang terimplementasinya undang-undang dimaksud, lebih dari itu kerapuhan tersebut disebabkan pula oleh penafsiran yang kerap kali dipersempit pada undang-undang turunannya. Pada gilirannya kondisi ini melahirkan hukum yang saling tumpang tindih, bahkan kontradiktif antara hukum yang satu dengan hukum yang lainnya. Kebijakan pemerintah yang kurang terarah atau tumpang tindihnya peraturan dan perundang-undangan kerukunan, antara lain; Undang-Undang no. 1/PNPS/1965 pasal 1 yang menyebutkan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah; Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Peraturan itu tumpang tindih dan kontradiktif dengan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/BA.012/95 tertanggal 18 Nopember 1978 yang menyatakan bahwa agama yang diakui pemerintah ada lima; Islam, Kristen, Katolik Hindu dan Budha. Walaupun kemudin pada masa pemerintahan Abdurahman Wahid, dengan penjelasan Departemen Agama tentang status agama Khonghucu tertanggal 21 Juli 1999, dan Keputusan Presiden RI No. 6 Tahun 2000 , bahwa agama Khonghucu diakui kembali sebagai agama yang dipeluk di Indonesia.4 Saat ini pemerintah menjamin kebebasan beragama dan melaksanakan ajarannya bagi tiap-tiap umat. Umat beragama beroleh kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan kehidupan mereka. Tetapi hal itu harus dilakukan dengan tidak mengganggu dan merugikan umat beragama lain. Terganggunya hubungan antara pemeluk berbagai agama akan membawa akibat yang menggoyahkan bangsa. Pemerintah mengambil kebijaksanaan tidak membenarkan bagi agama mana pun untuk menjadikan umat yang telah beragama menjadi sasaran penyebaran agama. Hal ini tertuang dalam PP No. 1 Tahun 1965 dan SKB 2 Menteri No. 70 Tahun 1978, dan SKB 2 Menteri No. 1 Tahun 1979. Namun sebagian umat beragama mengganggap bahwa terbitnya peraturan itu menghambat lajunya pertumbuhan umat beragama. Dalam kenyataannya hal ini telah mengusik serta membelenggu kebebasan beragama dan hak asasi manusia, di samping tidak ada kejelasan sanksi apa yang diberikan kepada yang melanggar peraturan tersebut. Di samping beberapa faktor di atas yang menyebabkan terganggunya kerukunan antarumat beragama di Sumatera Utara. Kurangnya perhatian dan dukungan dari Pemerintah daerah juga menjadi faktor lemahnya intensitas dan kualitas dialog dijalankan. Artinya, Pemerintah daerah terkesan setengah hati memberikan dukungan, baik moril maupun materil. Hal itu dibuktikan dengan sebagian Kabupaten/Kota belum mengalokasikan anggaran pembinaan kerukunan umat beragama secara permanen dalam APBD. Padahal kerukunan dan hormonitas merupakan modal dasar pembangunan di segala bidang, semestinya anggaran untuk pembinaan kerukunan baik secara substansial maupun institusional dialokasikan tersendiri dan permanen dalam APBD, misalnya anggaran untuk kegiatan FKUB Propinsi Sumatera Utara. 4 Lihat, Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Hidup Umat Beragama, Edisi Kedelapan, Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Beragama, Jakarta, 2006. Baca, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga MATAKIN, dan Kumpulan Peraturan Perundangan Tentang Pelayanan Untuk Umat dan Kelembagaan Agama Khonghucu Indonesia, (Jakarta : MATAIN, 2009), h. 39-42.
Kemudian peran Perguruan Tinggi yang ada di Sumatera Utara dalam mensosialisasikan dan membina kerukunan antarumat beragama di tengah masyarakat belum maksimal. Hal ini dibuktikan hampir seluruh Perguruan Tinggi di Sumatera Utara, baik negeri maupun swasta, belum memiliki satu lembaga khususnya yang menanggani masalah kerukunan dan hubungan antarumat beragama. Kalaupun ada, kegiatannya kurang kelihatan karena belum mendapat dukungan yang optimal dari perguruan tinggi yang bersangkutan. Padahal perguruan tinggi sebagai lembaga akademis yang mencetak para sarjana sangat strategis dan kontributif dalam pembinaan kerukunan melalui dialog intensif. Dari penjelasan tentang di atas, dapatlah dipahami bahwa ada beberapa faktor penghambat atau gangguan kerukunan di Sumatera Utara, yaitu kedangkalan pengetahuan dan pemahaman umat beragama terhadap ajaran agamanya sendiri. Minimnya kaderisasi kerukunan dan krisis kepercayaan kepada tokoh agama juga menjadi faktor, di mana mereka kehilangan kredibilitas dan hampir tidak ada lagi tokoh yang dipercayai, sehingga nasehat dan petunjuknya tidak dipatuhi. Selain itu, adanya trauma penyebaran agama yang dilakukan secara agresif dan saporadis, dan kurang terarahnya perturan pemerintah atau masih terjadinya konsensus yang tumpang tindih, sehingga memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran yang mengarah kepada konflik. Di samping itu juga disebabkan oleh setengah hatinya pemerintah dan kurangnya perhatian perguruan tinggi terhadap pembinaan kerukunn tersebut. Kesimpulan Temuan penelitian menunjukkan bahwa peran pimpinan organisasi masyarakat Islam di Sumatera Utara yaitu antara Nahdatul Ulama (NU) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam hal penguatan kerukunan antarumat beragama cukup berbeda. NU mempunyai program dan kegiatan pembinaan kerukunan antarumat beragama, dan mendukung peraturan pemerintah tentang kerukunan dan kebebasan bereagama. Sehingga kelihatan lebih intensif NU dalam melakukan penguatan kerukunan antarumat beragama di Sumatera Utara. Sedangkan HTI tidak mempunyai program pembinaan dan penguatan kerukunan antarumat beragama. Malah, HTI tidak mengenal istilah toleransi dan kerukunan, sebab istilah tersebut berasal dari kapitalis sekuler. Jika umat ini maupun rukun dan damai dengan siapapun, yang perlu dibina adalah umat Islam sendiri. Apabila umat Islam ini mantap pengamalan Islamnya, maka kerukunan antarumat beragama pasti terjadi, sebab Islam itu agama rahmatan lil ’alamin. Dalam hal ini HTI sebenarnya memiliki program penguatan membangun kerukunan secara internal umat Islam, namun tidak kepada di luar umat Islam. HTI juga tidak mendukung program perintah tentang kerukunan, karena hal itu akan berakibat pada penyamaan semua agama.
DAFTAR PUSTAKA
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga MATAKIN, dan Kumpulan Peraturan Perundangan Tentang Pelayanan Untuk Umat dan Kelembagaan Agama Khonghucu Indonesia, (Jakarta : MATAIN, 2009) Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Hidup Umat Beragama, Edisi Kedelapan, Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Beragama, Jakarta, 2006.