PERAN PERPUSTAKAAN SEBAGAI BAGIAN DARI PROSES PELAKSANAAN PEMBELAJARAN DI SEKOLAH INKLUSI Oleh: Safrudin Aziz Perpustakaan STAIN Purwokerto
Abstrak Pada tiap lembaga pendidikan formal, perpustakaan merupakan salah satu pusat sumber belajar yang memiliki peran vital. Lembaga perpustakaan ini terdiri atas kepala, staf, fasilitas dan layanan informasi yang mencerdaskan tiap siswa di sekolah tersebut. Peran perpustakaan dalam mencerdaskan anak bangsa tentunya tidak sebatas pada lingkup siswa normal semata, namun meluas pada anak berkebutuhan khusus yang mengikuti proses pembelajaran pada tiap sekolah inklusi. Tulisan ini secara singkat akan membahas mengenai peran perpustakaan terhadap proses pembelajaran di sekolah inklusi khususnya bagi siswa berkebutuhan khusus dan umumnya bagi siswa pada umumnya. Peran perpustakaan yang dimaksud tampak pada sebuah model pembelajaran berbasis perpustakaan yakni pembelajaran dengan tidak sekedar memanfaatkan perpustakaan sekolah sebagai sumber informasi dan pengetahuan, tetapi lebih jauh lagi melaksanakan proses pembelajaran di perpustakaan sekaligus melibatkan pustakawan dalam proses pembelajaran. Selain itu perpustakaan berperan membantu siswa agar mampu beradaptasi dan bersosialisasi dengan peserta didik lainnya sehingga tumbuh sikap, mental, emosional dan sosial secara baik. Sedangkan peran yang lain tampak bahwa perpustakaan menyediakan berbagai fasilitas dan sumber informasi berhuruf Braille, Telesensory, mikrokomputer dan sebagainya.
Kata Kunci: Perpustakaan Sekolah Inklusi, Sumber Informasi, Layanan. Pendahuluan Satuan pendidikan sebagai lembaga pendidikan merupakan wadah tempat berlangsungnya pembelajaran yang memiliki sistem yang kompleks dan dinamis. Dalam kegiatannya, satuan pendidikan bukan hanya tempat berkumpulnya warga sekolah, tetapi juga berada dalam suatu tataran sistem yang mempunyai unsur yang saling berkaitan. Satuan pendidikan sebagai suatu sistem yang memiliki tujuan yang jelas sekaligus melibatkan banyak sumber daya pendidikan untuk mencapai tujuan, baik tujuan individu maupun tujuan institusi. Dalam upaya mencapai tujuan itu berlaku ketentuan‐ketentuan yang mengatur hubungan unsur yang satu dengan unsur yang lainnya. Karena itu satuan pendidikan dipandang sebagai organisasi pembelajaran
yang
membutuhkan
pengelolaan
sumber
daya
pendidikan, termasuk perpustakaan sebagai sumber belajar, yang diharapkan menghasilkan lulusan yang bermutu tinggi. Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 butir 20 dinyatakan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan pusat sumber infomasi atau sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Dalam peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 42 dinyatakan bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki antara lain buku dan sumber belajar lainnya. Dari peraturan perundang‐undangan tersebut dapat dimaknai bahwa
disetiap satuan pendidikan formal, non formal maupun informal baik memiliki peserta didik normal ataupun berkebutuhan khusus yang diselenggarakan pemerintah maupun masyarakat harus menyediakan sumber informasi atau sumber belajar guna mendukung proses pembelajaran. Adapun pusat sumber informasi atau sumber belajar yang dimaksud adalah perpustakaan. Perpustakaan sebagai sumber belajar pada lembaga pendidikan sekolah perlu menyediakan berbagai koleksi sebagai sumber belajar yang relevan dengan kebutuhan peserta didik, serta dapat lebih mudah dimanfaatkan guna mendukung proses kegiatan pembelajaran di sekolah. Dengan demikian perpustakaan sekolah yang diselenggarakan oleh institusi yang bersangkutan harus berlandaskan pada kaidah‐ kaidah relevansi antara proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh pendidik dengan peserta didik serta koleksi berbentuk monograf dan digital yang disediakan oleh perpustakaan. Pendidikan tidak mungkin dapat terselenggara dengan baik bilamana para pendidik maupun para peserta didik tidak didukung oleh perpustakaan sebagai salah satu sumber belajar yang diperlukan guna mendukung penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar peserta didik. Hasil suatu sistem pembelajaran dikatakan bermutu, jika proses kegiatan pembelajaran berlangsung secara efektif dan bermakna, dengan ditunjang oleh perpustakaan yang lengkap. Dengan kata lain, proses pembelajaran yang berkualitas akan menghasilkan produk yang berkualitas pula. Berkenaan dengan situasi pembelajaran disekolah, antara lain ditemukan bahwa pembelajaran disekolah cenderung sangat
teoritik dan kurang terkait dengan berbagai informasi pada perpustakaan yang merupakan lingkungan dimana anak berada. Akibatnya anak tidak mampu menerapkan apa yang dipelajari disekolah guna memecahkan masalah kehidupan yang dihadapi sehari‐ hari (Ansemini, 1997: 68). Apalagi bagi anak berkebutuhan khusus selanjutnya ditulis ABK yang diharapkan dapat tumbuh sikap mandiri dan tidak selalu tergantung terhadap bantuan orang lain. Berpangkal dari hal tersebut, maka diperlukan upaya intervensi sistematis yang diberikan terhadap prosesnya sehingga pada gilirannya bisa memberikan jaminan kualitas pembelajaran yang diharapkan. Berbicara tentang perpustakaan sekolah dan intervensi sistematis yang perlu diberikan dalam proses pembelajaran, maka tidak lepas dengan apa yang dinamakan perpustakaan sebagai learning resource center dan selanjutnya dalam tulisan ini ditulis perpustakaan sekolah inklusi. Sebab kedua hal tersebut pada hakikatnya merupakan komponen dari kawasan yang sama, yaitu: pembelajaran dan penyampaian informasi. Peran perpustakaan pada sekolah inklusi bagi masyarakat sekolah perlu dikembangkan, disebarluaskan secara merata untuk membantu terselenggaranya dan meningkatnya kualitas pendidikan sesuai kebutuhan proses pendidikan. Disebarluaskan berarti mengindikasikan bahwa perpustakaan pada sekolah inklusi haruslah dimasyarakatkan. Pemasyarakatan yang dimaksud disini adalah menjadikan perpustakaan sekolah inklusi sebagai bagian yang integral dari suatu sistem pembelajaran. Khususnya dalam upaya pelaksanaan pembelajaran anak berkebutuhan khusus pada tiap‐tiap sekolah inklusi.
Perpustakaan pada sekolah inklusi berperan penting dalam upaya mencerdaskan anak bangsa dan membantu mereka untuk tidak sekedar menambah pengetahuan, pengalaman dan informasi, namun juga melatih ABK belajar mengembangkan diri, mengembangkan kreativitas, berfantasi, mandiri serta tidak selalu bergantung pada bantuan orang lain. Hal ini didasarkan bahwa ABK mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan yang sama dengan anak normal lainnya. Begitu pula dengan hak mendapatkan layanan informasi pada perpustakaan. Pernyataan tersebut sesuai dengan Undang‐Undang Sistem Pendidikan Nasional pasal 5 tentang hak dan kewajiban warga negara, bahwa setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat termasuk ABK. Oleh karena itu, perpustakaan sekolah inklusi seyogyanya mengakomodasi dan melayankan informasi terhadap semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosi, linguistik ataupun kondisi‐kondisi lainnya. Sehingga peserta didik dapat secara langsung memperoleh pengalaman belajar dan berhasil secara kualitas dan kuantitas. Dengan memperhatikan betapa strategisnya fungsi perpustakaan dalam proses pembelajaran peserta didik khususnya ABK pada sekolah inklusi, maka sudah barang tentu ia akan memberikan kontribusi yang sangat signifikan dalam proses pelaksanaan pembelajaran ataupun dalam lingkup yang lebih luas, yaitu pendidikan. Oleh karena itu, kehadiran perpustakaan tampaknya menjadi salah salah satu elemen penting bagi terciptanya masyarakat belajar (learning society) yang berkemampuan maju berkelanjutan. Hal ini logis mengingat pendidikan tidak mungkin terselenggara dengan baik dan berkelanjutan apabila
tidak didukung oleh perpustakaan yang representatif. Melalui peran perpustakaan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran di sekolah inklusi, maka perpustakaan tentunya juga berfungsi sebagai penggerak proses pembelajaran di satuan pendidikan guna pemberdayaan peserta didik. Dalam konteks sebagaimana diungkapkan di atas, maka tulisan ini secara khusus akan membahas tentang peran perpustakaan sebagai bagian dari proses pelaksanaan pembelajaran pada sekolah inklusi. Pembahasan akan diawali tentang masalah diskursus pengertian perpustakaan sekolah inklusi. Pembahasan kedua tentang fungsi perpustakaan sekolah inklusi. Pembahasan ketiga, faktor dan unsur‐ unsur penting dalam perpustakan sekolah inklusi. Keempat, pembelajaran pada sekolah inklusi. Serta kelima adalah peran perpustakaan terhadap kegiatan pembelajaran pada sekolah inklusi. Perpustakaan Sekolah Inklusi Apabila kita cermati definisi perpustakaan sekolah, maka jelas bahwa tujuan mendirikan perpustakaan pada institusi sekolah tidak lain adalah untuk melayani kebutuhan informasi sehingga pada akhirnya dapat mendukung keberhasilan proses kegiatan pembelajaran di sekolah. Pernyataan di atas terkandung maksud bahwa suatu institusi sekolah yang memberikan fasilitas pendidikan berupa perpustakaan yang berperan sebagai salah satu pusat sumber belajar tidak sekedar berfungsi sebagai tempat penyimpanan buku dan segala peralatan pembelajaran. Akan tetapi juga menyediakan pelayanan yang prima
dan
berkualitas,
khususnya
dalam
membantu
menciptakan
kenyamanan belajar, menelusur suatu informasi serta menyediakan media pendukung proses pembelajaran. Secara definitif, perpustakaan sekolah adalah perpustakaan yang tergabung pada sebuah sekolah, dikelola sepenuhnya oleh sekolah yang bersangkutan, dengan tujuan utama membantu sekolah untuk mencapai tujuan sekolah dan tujuan pendidikan pada umumnya (Sulistyo‐Basuki, 1993: 50). Perpustakaan sekolah sebagai salah satu sarana pendidikan penunjang kegiatan belajar siswa memegang peranan yang sangat penting dalam memacu tercapainya tujuan pendidikan disekolah. Menurut Undang‐Undang Sistem Pendidikan Nasional, perpustakaan merupakan salah satu sumber belajar disekolah guna terselenggaranya dengan baik para tenaga kependidikan maupun para peserta didik. Jika dilihat dari penjelasan tersebut, hakikat perpustakaan sekolah adalah sebagai pusat sumber belajar dan sumber informasi bagi pemakainya. Perpustakaan dapat pula di artikan sebagai tempat kumpulan buku‐buku atau tempat buku yang dihimpun dan diorganisasikan sebagai media belajar siswa. Bilamana dikaitkan dengan proses belajar mengajar disekolah, perpustakaan sekolah memberikan sumbangan yang berharga dalam upaya meningkatkan aktifitas siswa serta meningkatkan kualitas pendidikan dan pengajaran. Melalui penyediaan perpustakaan, siswa dapat berinteraksi dan terlibat langsung secara fisik maupun mental dalam proses belajar. Perpustakaan sekolah merupakan bagian integral dari program sekolah secara keseluruhan, dimana bersama‐sama dengan komponen
pendidikan lainnya turut menentukan keberhasilan proses pendidikan dan pengajaran. Melalui perpustakaan siswa dapat mendidik dirinya secara berkesinambungan. Melihat peran pentingnya perpustakaan sekolah sebagai jembatan antara guru dengan murid dalam melaksanakan proses belajar mengajar,
maka
perpustakaan
sekolah
sangat
diperlukan
keberadaannya dengan pertimbangan bahwa: pertama, perpustakaan sekolah merupakan sumber belajar dilingkungan sekolah. Kedua, perpustakaan sekolah merupakan salah satu komponen sistem pengajaran. Ketiga. Perpustakaan sekolah merupakan sumber untuk menunjang kualitas pendidikan dan pengajaran. Keempat, perpustakaan sekolah
berfungsi
pula
sebagai
laboratorium
belajar
yang
memungkinkan peserta didik dapat mempertajam dan memperluas kemampuan untuk membaca, menulis, berpikir dan berkomunikasi (Darmono, 2001: 3). Mencermati
beberapa
pengertian
di
atas,
perpustakaan
merupakan suatu unit kerja yang berada di dalam suatu institusi pendidikan dan pembelajaran. Melalui perpustakaan kegiatan pembelajaran di sekolah akan terlaksana secara kreatif, karena perpustakaan sekolah tidak hanya menyediakan koleksi monograf namun memberikan kemudahan pula kepada tiap siswa untuk mengakses sumber belajar dalam bentuk elektronik atau digital. Maka dari itu, berlandaskan dari beberapa pendapat di atas, yang dimaksud perpustakaan sekolah inklusi adalah suatu lembaga yang bertugas untuk berperan serta dalam meningkatkan efektivitas dan efisiensi kegiatan pembelajaran khususnya ABK melalui pengembangan
sistem pangkalan informasi dengan cara menyediakan berbagai macam pilihan sumber belajar bagi para peserta didik. Sumber belajar yang dimaksud dapat berupa buku, jurnal, ataupun bahan ajar serta media pembelajaran, seperti compact disk (CD) interaktif beserta perangkat media elektronik lainnya. Keberadaan perpustakaan sekolah inklusi dapat diartikan pula sebagai upaya guna menghasilkan proses pembelajaran yang menekankan pelibatan empat pilar belajar guna memasuki abad ke‐21 sebagaimanan yang disimpulkan Delors dalam Soedijarto (2000: 28) yaitu: pertama, learning to know, adalah bahwa peserta didik akan dapat memahami dan menghayati bagaimana suatu pengetahuan dapat diperoleh dari fenomena yang terdapat dalam lingkungan sekolahnya yakni di perpustakaan. Kedua, learning to do, adalah pembelajaran perlu dikemas sedemikian rupa misalnya menelusur informasi di perpustakaan agar peserta didik menghayati proses belajar dengan melakukan sesuatu yang bermakna bagi dirinya. Perihal ini adalah simbolisasi dari proses belajar secara mandiri dan kreatif. Ketiga, learning to be, adalah bahwa dalam proses pembelajaran hendaknya memungkinkan lahirnya manusia terdidik yang mandiri. Artinya melalui perpustakaan tiap siswa berusaha menemukan informasi secara mandiri dan tanpa harus meminta bantuan orang lain, dan keempat, learning to live together, yakni melalui pendekatan menemukan dan pendekatan menyelidiki sehingga memungkinkan peserta didik dapat menemukan kebahagiaan dalam belajar. Dengan harapan seperti itu berarti makin jelaslah bahwa betapa cukup besar peranan perpustakaan dalam turut berperan menghasilkan
kualitas pembelajaran. Tentunya diimbangi dengan memanfaatkan seoptimal mungkin unsur‐unsur maupun faktor dalam perpustakaan, sehingga tercipta kemudahan bagi peserta didik dalam belajar. Gagne (1985: 27) menguatkan bahwa belajar itu dapat dipandang sebagai pemrosesan informasi dan karena itu dipengaruhi oleh sejumlah kondisi yang ada diluar sibelajar. Berdasarkan teori ini maka diperlukan campur tangan yang sistemik bahwa dalam pembelajaran pada sekolah inklusi perlu dikembangkan suatu peristiwa yang salah satunya didukung oleh keberadaan perpustakaan yang dikelola secara terencana dan terprogram dengan baik. Fungsi Perpustakaan Sekolah Inklusi Secara umum perpustakaan sebagai salah satu pusat sumber belajar mempunyai tugas dan fungsi layanan yang sangat sederhana tetapi luas yaitu meliputi: layanan informasi, layanan konsultasi, layanan rekreasi dan layanan administrasi. Khusus tentang layanan konsultasi, ia memberi penjelasan bahwa layanan ini memberikan saran dan petunjuk praktis tentang masalah yang berkaitan dengan proses belajar setiap siswa di sekolah. Layanan ini penting bagi siswa yang tidak memiliki kepahaman dan pengalaman dalam mempergunakan jasa perpustakaan. Mencermati perihal di atas, maka perpustakaan sekolah hendaknya pertama, dapat memproduksi sarana penelusuran informasi yang
memudahkan.
Kedua,
dapat
menyebarkan
dan
mengkomunikasikan informasi yang tersedia pada perpustakaan secara aktif serta dapat menyediakan berbagai informasi yang menunjang atau
menjadi sumber pembelajaran dan pendidikan. Ketiga, dapat menyimpan dan mendokumentasikan secara profesional semua informasi yang dimiliki. Keempat, dapat melayani kebutuhan akan informasi, media, dan teknologi penunjang baik untuk pibadi maupun kelompok. Kelima, dapat meneliti, menseleksi dan mengevaluasi informasi serta memonitor berbagai informasi yang relatif sering dipergunakan (Rompas, 1993: 131). Selain itu, perpustakaan sekolah sebagai pusat sumber belajar juga mempunyai fungsi lain, yaitu melayani bahan belajar, seperti video, slide, foto, dan sebagainya termasuk menyediakan bahan belajar individual (Mernil&Drob, 1977: 53). Dari beberapa fungsi perpustakaan yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa: perpustakaan sekolah inklusi pada prinsipnya diadakan untuk memberikan kemudahan belajar mengajar yang lebih luas kepada sibelajar maupun kepada sipengajar. Selain itu, suatu perpustakaan sekolah hendaknya juga mempunyai pusat media yang memproduksi sarana penelusuran informasi yang memudahkan dan dapat menyediakan informasi, koleksi berupa bahan ajar cetak ataupun elektronik, mempunyai koleksi media audio visual dan juga bisa merupakan pusat kegiatan yang menfasilitasi tempat belajar individual, kelompok kecil/besar. Selanjutnya beberapa kriteria dari perpustakaan sekolah (termasuk sekolah inklusi) yang ideal yang dapat berfungsi sebagai sumber belajar siswa secara memadai sebagaimana diungkapkan Darmono (2007: 6) diantaranya: 1. Adanya status kelembagaan yang kuat dari perpustakaan,
2. Struktur organisasi perpustakaan jelas dan berjalan dengan baik, 3. Memiliki ruangan yang memadai sesuai dengan jumlah siswa, bersih, dan penyinaranya cukup 4. Memiliki tempat baca yang memadai, 5. Miliki perabot perpustakaan secara memadai, 6. Partisipasi pemakainya (siswa dan guru) baik dan aktif, 7. Jenis koleksinya mencerminkan komposisi yang baik antara buku teks dengan buku fiksi, yaitu 40% untuk buku teks, 30% buku‐buku pengayaan, dan 30% buku fiksi serta judul buku yang dimiliki bervariasi, 8. Koleksi yang dimiliki sesuai dengan kebutuhan kurikulum sekolah, 9. Memiliki tenaga pengelola dengan kompetensi yang memadai, 10. Mengorganisasian koleksinya teratur, 11. Didukung dengan teknologi informasi dan komunikasi 12. Administrasi perpustakaanya tertib yang meliputi administrasi keanggotaan, administrasi inventaris buku dan perabot, peminjaman, penyusutan, penambahan buku, statistik peminjaman, 13. Memiliki sarana penelusuran informasi yang baik 14. Memiliki peraturan perpustakaan, 15. Memiliki program pengembangan secara jelas dan terarah, 16. Memiliki program keberaksaraan informasi (literasi infomasi) 17. Memiliki program pengembangan minat membaca dikalangan siswa, 18. Memiliki program mitra perpustakaan, 19. Melakukan kegiatan promosi dan pemasyarakatan perpustakaan,
20. Kegiatan perpustakaan terintegrasi dengan kurikulum dan kegiatan belajar, 21. Memiliki anggaran perpustakaan secara tetap, 22. Adanya kerjasama dengan sekolah lain, 23. Pelayanannya menyenangkan, 24. Ada jam perpustakaan sekolah yang terintegrasi dalam kurikulum. Faktor dan Unsur Penting Perpustakaan Sekolah Inklusi Dalam tulisan ini dibedakan unsur dari faktor. Unsur adalah bagian dari perpustakaan yang dapat dikontrol. Sedangkan faktor adalah bagian dalam maupun luar dari perpustakaan yang tidak dapat dikontrol, tetapi hanya dapat dipengaruhi untuk dapat menunjang beroperasinya suatu lembaga secara optimal. Adapun isi perpustakaan pada dasarnya secara garis besar dapat diuraikan ke dalam unsur‐ unsur: gedung, koleksi dan pustakawan. Unsur‐unsur tersebut berinteraksi dalam suatu lingkaran jasa layanan yang merupakan faktor yang saling mempengaruhi. Sedangkan mutu pelayanan diperpustakaan akan ditentukan oleh kualitas proses antara unsur‐unsur tersebut. Diantara ketiga unsur yang diidentifikasikan dalam perpustakaan, pustakawan sebagai petugas dan pengelola berkedudukan lain dari unsur lainnya. Karena pustakawan pada institusi perpustakaan adalah unsur yang aktif dan juga menentukan kualitas perpustakaan. Sedangkan koleksi dan media penelusuran informasi perpustakaan merupakan titik orientasi yang mendukung keberhasilan proses pembelajaran secara bermakna.
Gedung Perpustakaan Yang dimaksud gedung perpustakaan dalam tulisan ini adalah unsur tata ruang, perabot dan perlengkapan perpustakaan sekolah. Perihal tersebut berarti bahwa suatu perpustakaan sekolah bukan hanya menyediakan ruang kemudian mengisinya dengan koleksi yang diatur berdasarkan suatu sistem tertentu serta siap dipinjamkan. Namun letak perpustakaan, bentuk ruang, penataan perabot dan perlengkapan, alur petugas dan pengguna, penerangan dan sebagainya perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan perpustakaan. Gedung perpustakaan merupakan bangunan yang sepenuhnya diperuntukan bagi seluruh aktifitas sebuah perpustakaan. Disebut gedung apabila merupakan bangunan besar dan permanen, terpisah dari gedung lain. Sedangkan apabila hanya menempati sebagian dari sebuah gedung atau hanya sebuah bangunan yang relatif kecil disebut ruangan perpustakaan. Adapun lokasi perpustakaan sekolah perlu ditentukan secara cermat, efektif, dan efisien, sehingga sisi pemanfaatannya dalam mendukung proses belajar mengajar dapat tercapai secara maksimal. Beberapa kriteria yang harus diperhatikan dalam menentukan lokasi gedung perpustakaan sekolah antara lain: pertama, berada ditempat yang luas tanahnya sehingga memungkinkan dilakukannya perluasan pada masa yang akan datang sesuai dengan perkembangan perpustakaan. Kedua, berada dalam lingkungan bangunan sekolah dan berkedudukan dipusat kegiatan sekolah. Ketiga, merupakan gedung utuh yang tidak bergabung dengan ruangan lain. Keempat, mudah dicapai oleh pemakai, sehingga pemakai tidak membuang‐buang waktu
secara sia‐sia. Kelima, cukup tenang dan aman untuk menghindari dari ganggunan suara keras dan kegaduhan. Agar seluruh kegiatan perpustakaan sekolah dapat terlaksana dengan rapi dan tertib, gedung perpustakaan hendaknya terbagi atas minimal empat macam ruangan yang dilengkapi dengan perabot dan peralatan perpustakaan. Keempat macam ruangan yang dimaksud adalah: 1) Ruang Koleksi Buku Ruang koleksi buku berisi kumpulan koleksi tercetak (buku) yang tersusun di dalam rak buku. Satu rak yang terdiri 2 sisi, 5 susun dan lebar 100 cm dapat memuat sekitar 200‐300 eksemplar dan jarak antara rak 100‐110 cm. Jadi dapat dihitung berapa kebutuhan luas ruang yang diperlukan untuk menempatkan rak dan dapat disesuaikan dengan bahan pustaka yang dimiliki. Hal inipun perlu dipertimbangkan untuk tahun‐tahun yang akan datang. Atau berdasarkan standar gedung dan perabot perpustakaan sekolah yang ditetapkan Perpusnas RI dengan rumus: Jumlah Buku x Jumlah Eksemplar Buku x 1 M2 Populasi Siswa 2) Ruang Baca Yakni ruangan yang dikhususkan sebagai tempat untuk membaca berbagai koleksi pada perpustakaan dari beberapa pedoman bahwa siswa yang diperkirakan memerlukan tempat 1
Meter persegi yang dapat secara keseluruhan diambil sekitar 20‐30 % populasi siswa. 3) Ruang Pengolahan bahan Perpustakaan dan Ruang Staf Untuk melakukan kegiatan pengadaan dan pengolahan koleksi, luas ruangan tergantung berapa jumlah pengelola perpustakaan diperkirakan setiap petugas memerlukan 2,5 Meter persegi. 4) Ruang Sirkulasi; ruangan ini dipergunakan untuk melayani siswa dalam peminjaman dan pengembalian buku. Adapun ruangan yang diperlukan minimal cukup untuk meletakan meja sirkulasi dan perlengkapan lainnya. Pada sisi lain, prinsip pembangunan dan pembagian ruang perpustakaan juga memperhatikan beberapa aspek, diantaranya: pertama, flexible; ruangan, penerangan, suhu dan lainnya dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan dapat dipindah‐pindah dengan mudah bila diperlukan. Kedua, accessible; mudah dijangkau baik dari luar maupun dari pintu masuk. Ketiga, compact; mudah untuk mobilitas (perpindahan) pembaca, staf ataupun koleksi. Keempat, extendible; dapat diperluas untuk keperluan yang akan datang tanpa banyak perubahan atau gangguan (tidak membongkar yang sudah ada). Kelima, varied; dapat menyediakan berbagai ruangan untuk berbagai koleksi dan berbagai jenis layanan. Keenam, organized; diatur dengan baik, sehingga memudahkan akses. Ketujuh, comfortable; menyenangkan, suasananya nyaman, tenang dan sebagainya. Kedelapan, constant in environment; memiliki temperatur yang tetap sebagai upaya melindungi koleksi. Kesembilan, secure; aman dari segala gangguan. Serta kesepuluh, economic; dapat dibangun dan
dipelihara
dengan
biaya
yang
seekonomis
mungkin
(www.cribd.com). Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa gedung dan ruangan perpustakaan beserta semua perlengkapannya harus diatur dan didesain sedemikian rupa dengan memperhatikan prinsip harmonis, estetis dan ekonomis, sehingga perpustakaan sekolah dapat menjadi tempat yang aman, nyaman dan menyenangkan. Unsur Koleksi Koleksi perpustakaan merupakan salah satu faktor utama dalam sebuah perpustakaan. Bahkan salah satu kriteria yang dipergunakan dalam melakukan penilaian tentang sebuah perpustakaan adalah dilihat dari aspek kepemilikan koleksi yang berkualitas. Koleksi perpustakaan merupakan semua bahan pustaka yang dikumpulkan, diolah, dan disimpan untuk disajikan kepada masyarakat guna memenuhi kebutuhan pengguna akan informasi. Menurut Ade Kohar (2003: 6) koleksi perpustakaan adalah berbagai format bahan yang sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan alternatif para pemakai perpustakaan terhadap media rekam informasi. Melihat pernyataan tersebut dapat ditarik benang merah bahwa yang dimaksud koleksi perpustakaan adalah semua bahan pustaka tercetak ataupun dalam format elektronik/digital yang berada pada suatu perpustakaan yang diadakan sesuai dengan kebutuhan seluruh sivitas akademika serta dipergunakan oleh pengguna perpustakaan tersebut. Secara umum, perpustakaan sekolah memiliki empat jenis koleksi, yaitu a) karya cetak; hasil pemikiran manusia yang dituangkan dalam bentuk tercetak, seperti: buku, terbitan berseri (jurnal, majalah, surat
kabar, laporan) dan sebagainya. b) karya non cetak; hasil pemikiran manusia yang dituangkan tidak dalam bentuk cetak melainkan dalam bentuk lain seperti rekaman suara, rekaman video, rekaman gambar, dan sebagainya. Istilah lain yang dipakai untuk pustaka ini adalah bahan non buku ataupun bahan pandang dengar. c) bentuk mikro; semua bahan pustaka yang menggunakan media film dan tidak dapat dibaca dengan mata biasa, melainkan harus memakai alat yang dinamakan microreader. Bahan pustaka ini digolongkan tersendiri, tidak dimasukan ke dalam bahan non cetak. Hal ini disebabkan informasi yang tercakup di dalamnya meliputi bahan tercetak, seperti majalah, surat kabar dan sebagainya. Ada tiga macam bentuk mikro yang sering menjadi koleksi perpustakaan yaitu: microfilm, microfis dan micropaque. d) karya dalam bentuk elektronik, yang tersimpan dalam media elektronik seperti pita magnetis, disc dan sebagainya. Sedangkan untuk membacanya diperlukan perangkat keras seperti komputer, CD‐ROM, Player dan sebagainya. Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa koleksi merupakan faktor utama sebuah perpustakaan sekolah, yang tidak hanya tersaji dalam bentuk tercetak, tetapi juga non cetak. Adapun koleksi non cetak hanya dapat dioperasikan dengan mempergunakan alat
bantu
khusus.
Sedangkan
koleksi
bentuk
mikro
cara
menggunakannya dengan memakai alat bantu yakni microreader, serta untuk koleksi dalam bentuk elektronik bisa menggunakan instrumen seperangkat komputer atau CD‐Rom dan player. Unsur Tenaga Perpustakaan
Untuk mencapai tujuan, perpustakaan sekolah inklusi perlu dikelola oleh pustakawan dengan tanggung jawab dan dedikasi yang tinggi terhadap layanan. Menurut Undang‐Undang nomor 43 tahun 2007 pada bab VIII pasal 29, pustakawan diistilahkan sebagai tenaga perpustakaan
yang
bertanggung
jawab
dalam
melaksanakan
pengelolaan sebuah perpustakaan. Selanjutnya pada pasal tersebut, pustakawan kompetensi
sebagai dan
tenaga
kualifikasi
perpustakaan sesuai
harus
dengan
mempunyai
standar
nasional
perpustakaan. Kompetensi berarti karakteristik yang membedakan karyawan yang sangat dan yang kurang berprestasi (M.R. Edwards&A.J. Ewen, 1996: tp). Sementara Kravetz Associaties memberikan definisi kompetensi dengan a competency is what a successful employee must be able to do to accomplish desired result an a job (www. Kravetz.com). Sedangkan menurut beberapa sumber, kompetensi merupakan sekumpulan pengetahuan, keterampilan, sikap dan kemampuan. Dengan demikian maka kompetensi pustakawan sebagai tenaga perpustakaan sekolah inklusi dapat diartikan sebagai kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh pustakawan berupa pengetahuan sehingga keterampilan, sikap dan perilaku pustakawan dalam pelaksanaan tugas jabatannya sebagai pengelola perpustakaan tersebut dapat terlaksana secara profesional, efektif dan efisien. Tahap berikutnya, pustakawan perlu memiliki standar kompetensi agar dapat melaksanakan pengelolaan secara baik dan efektif. Standar kompetensi tenaga perpustakaan sekolah merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai‐nilai dasar minimal yang
harus dimiliki oleh tenaga perpustakaan sekolah untuk memimpin dan mengelola tugas‐tugas profesional diperpustakaan sekolah. Standar kompetensi tenaga perpustakaan sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah antara lain: 1) kompetensi manajerial; melaksanakan kebijakan, perawatan koleksi dan melakukan pengolahan anggaran dan keuangan. 2) kompetensi informasi, terbagi atas: mengembangkan koleksi perpustakaan, melakukan pengorganisasian informasi, memberikan jasa dan sumber informasi, serta menerapkan teknologi informasi dan komunikasi. 3) kompetensi kependidikan; memiliki wawasan kependidikan, mengembangkan keterampilan memanfaatkan informasi, melakukan promosi perpustakaan dan memberikan bimbingan literasi informasi. 4)kompetensi kepribadian dan sosial; memiliki kegemaran membaca dan memiliki kemampuan berkomunikasi serta bekerja sama. 5) kompetensi pengembangan informasi terbagi lagi menjadi : mengembangkan profesi dan mengamalkan etika profesi. Sedangkan kualifikasi pustakawan sebagai tenaga perpustakaan sekolah adalah persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk memangku jabatan tertentu (Direktorat Tenaga Kependidikan, 1996: 30). Kualifikasi pustakawan dapat diperoleh melalui pelatihan dan pendidikan untuk memenuhi persyaratan kompetensi yang diharapkan. Standar kualifikasi tenaga perpustakaan sekolah merupakan persyaratan yang terdiri atas seperangkat pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam bidang perpustakaan yang diperoleh melalui pendidikan formal atau melalui pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang terakreditasi. Persyaratan tenaga perpustakaan sekolah
dikelompokan ke dalam persyaratan umum dan persyaratan khusus. Persyaratan umum terdiri atas persyaratan yang harus dipenuhi oleh tenaga perpustakaan sekolah, yaitu: beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, sehat jasmani dan rohani, tidak sedang menjalani
hukuman.
Sedangkan
persyaratan
khusus
tenaga
perpustakaan sekolah (pustakawan) adalah harus berijazah Ilmu Perpustakaan atau pernah mengikuti kursus atau pendidikan perpustakaan dalam bentuk pendidikan formal ataupun kursus ilmu perpustakaan. Mencermati standar kompetensi dan kualifikasi di atas, maka pustakawan berfungsi sebagai: pertama, perantara antara universum informasi dengan universum pemakai, dalam hal ini murid dan guru. Kedua, mengembangkan akses ke sumber informasi dengan tidak memandang format maupun media. Ketiga, menerapkan teknologi informasi diperpustakaan termasuk pengembangan perpustakaan digital. Keempat, mengembangkan perpustakaan sebagai pusat belajar. Kelima, mengembangkan keterampilan informasi sehingga terbentuk komunitas sekolah yang antusias terhadap informasi. Serta keenam, mengembangkan kebiasaan membaca sehingga pengunjung menjadi aktif sepanjang hayat. Pembelajaran Pada Sekolah Inklusi Pendidikan pada awalnya dirancang dan dikembangkan untuk manusia normal. Namun demikian, dalam perkembangannya bagi penyandang cacat mendapat perhatian dari pemerintah. Hal ini
ditegaskan dalam UU 1945 bahwa tiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan tanpa terkecuali. Hak untuk memperoleh pendidikan adalah hak dasar setiap manusia tanpa terkecuali dan hak untuk memperoleh pendidikan adalah hak dasar setiap manusia yang wajib dilindungi. Meskipun demikian, selama ini anak‐anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel) atau berkebutuhan khusus disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis difabelnya, yang disebut dengan sekolah luar biasa (SLB). Namun SLB belum dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat karena hanya berada di kota atau kabupaten. Disamping itu, secara tidak disadari, SLB telah membangun tembok eksekutif bagi anak‐anak yang berkebutuhan khusus. Tembok itu pula yang telah menghambat proses saling mengenal antara anak‐anak difabel dengan anak‐anak non difabel. Akibatnya, dalam interaksi sosial di masyarakat, kelompok difabel menjadi komunitas yang tereliminasi atau termarjinalkan dari dinamika sosial masyarakat. Seiring berkembangnya tuntutan kelompok difabel dalam menyuarakan hak, munculah konsep sekolah inklusi. Pendidikan inklusi adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan ABK belajar disekolah‐sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman‐teman seusianya (O’neil, 1994: 7‐11). Sekolah inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid dikelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid
maupun bentuk dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru, agar anak‐anak berhasil (Stainbackm, W.&Sianback, S., 1980: 112). Berdasarkan batasan tersebut pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan ABK belajar bersama‐sama dengan anak sebayanya disekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Semangat penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah memberikan kesempatan seluas‐seluasnya kepada semua anak untuk dapat mengikuti proses pembelajaran yang bermutu dan sesuai dengan kebutuhan individu peserta didik tanpa diskriminasi. Proses pembelajaran pada sekolah inklusi diperlukan akomodasi pembelajaran terhadap ABK. Artinya terdapat usaha dan perubahan yang dilakukan siswa berkebutuhan khusus dapat belajar di ruang kelas biasa. Atau dalam istilah lain, akomodasi merupakan perubahan berupa penyesuaian dan modifikasi yang diberikan untuk siswa berkebutuhan khusus sesuai dengan kapasitas kebutuhannya. Adapun akomodasi dalam pembelajaran yang diperuntukan ABK adalah keberhasilan yang disegerakan dan menghindari hal‐hal yang menyebabkan kegagalan pada anak (Cole&Chan, 1990: 14). Selanjutnya, metode pembelajaran ABK yang diterapkan pada kelas reguler dapat efektif apabila disesuaikan dengan kebutuhan anak. Hal tersebut juga terbukti pada program pembelajaran Moutessori yang dikembangkan dari pembelajaran anak tuna grahita dan sekarang ini banyak diadopsi dalam setting sekolah dasar maupun prasekolah. Cakupan akomodasi tersebut adalah sebagai berikut: a) materi dan cara
pengajaran. b) tugas dan penilaian di kelas. c) lingkungan belajar serta d) penggunaan sistem komunikasi khusus. ABK pada sekolah inklusi mempunyai berbagai masalah, seperti: tunanetra bermasalah dengan penglihatannya, tuna rungu bermasalah pada indera pendengarannya, tuna grahita atau autis serta anak berkesulitan belajar memiliki masalah dalam kognitif, memori dan bahasa dan sebagainya. Selain itu, permasalahan persepsi terkadang sering menyertai ABK sehingga informasi yang diterima sering kali disalahartikan. Kondisi tersebut menyebabkan penyerapan materi yang berbeda bahkan cenderung lebih lamban dari pada teman‐teman normal lainnya. Dengan kondisi penyerapan materi yang berbeda tersebut, mengakibatkan pula sistem pembelajaran yang berbeda. Khususnya terhadap sistem pengajaran yang dilaksanakan. Seiring dengan perihal tersebut, Swanson menemukan bentuk pengajaran yang efektif bagi ABK antara lain: 1) bertahap (misalnya latihan dibagi menjadi beberapa langkah). 2) drill; pengulangan dan praktik (latihan setiap hari, pengulangan latihan dan pembahasan bertahap). 3) pembagian (materi disampaikan dalam beberapa bagian kemudian digabung menjadi satu‐kesatuan. 4) pertanyaan dan jawaban langsung, misalnya: guru bertanya langsung kepada siswa pada saat proses pembelajaran. 5) kontrol tingkat kesulitan. 6) penggunaan teknologi (kalkulator, komputer dll). 7) pembelajaran pada kelompok kecil, dan 8) pemberian isyarat‐isyarat tertentu (Swanson, 1999: tp). Selanjutnya, dalam akomodasi pemberian tugas dan penilaian, Swanson (1999) juga mengemukakan bahwa kontrol tingkat kesulitan mempunyai efek paling besar dalam peningkatan kemampuan
akademik ABK. Tingkat kesulitan soal atau tugas diberikan secara bertahap. Guru memberikan bantuan saat anak mengerjakan tugas atau tugas diberikan mulai dari tingkat kesulitan yang rendah ke yang tinggi. Di samping itu, materi tes hendaknya diubah dengan tetap berpedoman bahwa tes tersebut mampu menunjukan kemampuan anak. Pembelajaran ABK pada sekolah inklusi diperlukan pula akomodasi dalam hal lingkungan belajar. Artinya guru hendaknya dapat membantu mengatasi permasalahan anak‐anak dengan pengaturan kelas yang sesuai (www.idonline.org/id indepth/teaching techniques/class‐manage). Lingkungan belajar yang diwarnai dengan kerja sama memungkinkan peningkatan motivasi yang berdampak pada peningkatan prestasi, terlebih terhadap siswa dengan kemampuan terbatas (Winkel, W.S., 2004: 325). Kerja sama ini dapat diwujudkan melalui tutor sebaya (peer tutoring). Tutor sebaya mempunyai posisi yang strategis dalam pembelajaran kelompok untuk membantu ABK. Anak‐anak normal dan atau berkemampuan tinggi disarankan lebih peka terhadap teman‐teman yang berkemampuan khusus. Disamping lebih peka, teman sebaya juga tidak merasa keberatan bagi anak normal dan lebih nyaman bagi ABK itu sendiri. Melihat pemaparan di atas, pembelajaran ABK pada sekolah inklusi merupakan amanah UUD 1945 serta UU Sistem Pendidikan Nasional No. 2 tahun 2003. Adapun pelaksanaan pembelajarannya dengan memperhatikan jenis kebutuhan atau ketunaan anak melalui sistem akomodasi (penyesuaian dan modifikasi yang diberikan untuk ABK sesuai dengan kapasitas dan kebutuhannya). Cakupan akomodasi
tersebut meliputi: materi dan cara pengajaran, tugas dan penilaian dikelas, lingkungan belajar serta penggunaan sistem komunikasi khusus. Peran
Perpustakaan
Sekolah
Inklusi
Terhadap
Kegiatan
Pembelajaran Pendekatan pembelajaran tradisional dengan sekedar menjejali pengetahuan yang dimiliki peserta didik sangat tidak menguntungkan bahkan membunuh kreativitas intelektual mereka. Intelektual peserta didik seolah dikebiri, tidak ada kebebasan apalagi penghargaan terhadap ekspresi sumbangan berpikir yang dimiliki mereka. Sehingga peserta didik Indonesia sejak dulu terkesan layu sebelum berkembang. Mengantisipasi keberlangsungan model pembelajaran tersebut di sekolah, maka sudah seharusnya lembaga pendidikan sekolah khususnya yang menyelenggarakan program inklusi merubah pola pembelajaran berpusat kreativitas dan kemandirian peserta didik (student centered) sesuai dengan tuntutan kurikulum pendidikan 2013. Salah
satunya
adalah
dengan model
pembelajaran
berbasis
perpustakaan. Artinya pembelajaran ini tidak sekedar memanfaatkan perpustakaan sekolah sebagai sumber informasi dan pengetahuan, tetapi lebih jauh lagi melaksanakan proses pembelajaran di perpustakaan sekaligus melibatkan pustakawan dalam proses pembelajaran (Retno Sayekti, 2007: 40). Maka dari itu pendekatan ini menuntut adanya kerjasama formal antara guru dengan pustakawan sebagai subjek pembelajar. Pada pembelajaran terhadap anak
berkebutuhan khusus pada sekolah inklusi, guru harus merencanakan pembelajaran secara sistematis dan terorganisir dengan merujukan setiap materi pembelajaran dengan sumber informasi yang tersedia di perpustakaan. Di sisi lain, pustakawan berperan mempersiapkan diri menjadi instruktur informasi, mempersiapkan ruangan dan fasilitas untuk kegiatan team learning bagi siswa normal dan berkebutuhan khusus, serta harus memastikan bahwa sumber informasi tersedia di perpustakaan untuk setiap materi pembelajaran baik dalam bentuk tercetak maupun digital. Dalam hal ini, perpustakaan pada prinsipnya memiliki peran untuk menjadi bagian yang integral dalam proses pembelajaran. Untuk itu perpustakaan sekolah sebagai sebuah organisasi perlu meninjau kembali kebijakan‐kebijakan yang selama ini berlaku, merubahnya dan bersikap tidak kaku serta akomodatif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi. Sedangkan bagi peserta didik normal perlu diberikan seperangkat pengetahuan tentang keterampilan untuk memperoleh dan menggunakan informasi. Hal ini sebagaimana diungkapkan Sayekti (2007: 44) dalam sebuah praktek yang dilakukan di perpustakaan sekolah di Amerika, kolaborasi guru dan pustakawan dalam
mengajarkan
keterampilan
informasi
ini
melahirkan
keberhasilan yang cukup dramatis. Beberapa hal terjadi ketika para guru dan pustakawan bergabung dalam sebuah tim untuk membuat rubrik yang mengukur materi pengetahuan, keterampilan informasi, kontribusi teknologi, dan sejumlah bahan bacaan yang telah diselesaikan. Datang ke perpustakaan tidak lagi dipandang sebagai pelarian dari ruang kelas, tetapi merupakan sebuah tempat dimana
para siswa lebih tertarik dan termotivasi, bahkan para siswa memandang diri mereka sendiri sebagai para penelusur informasi yang sukses. Mereka juga mulai menyadari ada banyak ha1 yang bisa ditemukan dengan keterampilan informasi, yakni para siswa lebih percaya diri dan berhasil, terutama bagi mereka yang mempunyai kemampuan membaca pada atau dibawah tingkat rata‐rata, mereka merasa mengalami banyak peningkatan. Selain model pembelajaran, proses pembelajaran di perpustakaan bagi peserta didik berkebutuhan khusus dapat mempersiapkan mereka agar dapat beradaptasi dan bersosialisasi dengan peserta didik normal lainnya sehingga tumbuh sikap, mental, emosional dan sosial secara baik. Pustakawan bagi anak berkebutuhan khusus dapat dianggap sebagai pengganti orang tua sekaligus sebagai pembimbing mereka dalam belajar di perpustakaan. Beberapa peserta didik berkebutuhan khusus pada sekolah inklusi kerap terlihat tidak malu meminta perhatian lebih bahkan meminta uang jajan sekalipun mereka lakukan kepada pustakawan serta cenderung bersikap manja. Dalam pada itu, pustakawan seharusnya mampu memahami dan menempatkan diri serta menyesuaikan dengan pemustaka yang sedang dilayaninya. Dalam pendekatan psikologi lebih dilekatkan pada kegiatan layanan bersifat humanis. Artinya bagaimana memberikan layanan yang memanusiakan atau dalam istilah jawa nguwongke kepada peserta didik berkebutuhan khusus secara profesional dan proporsional (Widiyastuti, 2013: 117). Selanjutnya seorang pustakawan tentunya juga di tuntut mampu berkomunikasi secara efektif kepada mereka dalam membantu memberikan layanan yang memudahkan akses informasi sehingga
koleksi perpustakaan aksesable bagi tiap peserta didik berkebutuhan khusus pada sekolah inklusi. Sedangkan peran penting perpustakaan dalam bidang fasilitas dan penyediaan sumber‐sumber informasi, misalnya pada perpustakaan sekolah inklusi tampak sudah menyediakan berbagai macam media seperti booklet (tulisan sederhana yang di dalamnya memberikan rambu‐rambu atau petunjuk praktis tentang suatu hal) serta sumber informasi lain berhuruf Braille, mikrokomputer sebagai alat bantu khusus yang dapat memberikan informasi secara visual bagi siswa tunarungu, hearing aids sebagai alat bantu dengar, serta media audiovisual lainnya. Simpulan Dengan memperhatikan perpustakaan sebagai bagian yang tidak terpisahkan pada proses kegiatan belajar mengajar pada sekolah inklusi, berarti bahwa keberadaan perpustakaan tersebut tidak mungkin dapat berjalan sendiri tanpa ada perencanaan, pelaksanaan, pengembangan, dan penilaian kinerja. Salah satu langkah yang perlu dilakukan guna meminimalisasi pemahaman tentang perpustakaan yang hanya sebatas berisi buku‐buku semata, maka perlu ada langkah‐langkah konkret dari lembaga sekolah inklusi tersebut. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan cara memasyarakatkan keberadaan perpustakaan di tiap sekolah inklusi dengan cara melakukan pembelajaran di perpustakaan di samping melalui iklan, pemasangan spanduk dan media lainnya
sehingga peran perpustakaan itu lebih dikenal oleh peserta didiknya sebagai masyarakat informasi. Adapun beberapa peran perpustakaan pada sekolah inklusi diantaranya perpustakaan sebagai sumber informasi dan pengetahuan serta tempat melaksanakan proses pembelajaran di perpustakaan sekaligus melibatkan pustakawan dalam proses pembelajaran. Selain itu proses pembelajaran di perpustakaan bagi peserta didik berkebutuhan khusus mampu menumbuhkan sikap, mental, emosional dan sosial dengan lebih baik. Serta perpustakaan berperan menyediakan berbagai macam media seperti booklet serta sumber informasi lain berhuruf Braille.
Sumber Rujukan Ansemini, V. 1997. Futuristics in Education. Innotech Seameo, Qezon City. Cole&Chan. 1990. Metods and Stategis for Special Education. Australis: Prentice Hall of Australis. Darmono. Pengembangan Perpustakaan Sekolah Sebagai Sumber Rujukan. Jurnal Perpustakaan Sekolah, Tahun 1 ‐ Nomor 1 ‐ April 2007. Darmono. 2001. Manajemen dan Tata Kerja Perpustakaan. Jakarta: Grasindo Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta. Gagne, Elen D. 1985. The Cognitive Psychology of School Learning. Boston: Little Brown and Company. Kelompok Kerja Tenaga Perpustakaan Sekolah. 2006. Standar Tentang Perpustakaan Sekolah: Kualifikasi dan Kompetensi. Jakarta: Direktorat Tenaga Kependidikan. Kohar, Ade. 2003. Pengembangan Koleksi Perpustakaan. Jakarta: UI (Tesis) Kravetz Associates. 1999. Building a cob competency database: What The Leader do. http//www.kravetz.com/artintro. Html. diakses 29 Desember 2009. M.R. Edwards and A.J. Ewen. 1996. 360 Derajat Feedback: The Powerfull New Model For Employe Assessment And Performance Improvement. New York: Amacom.
Merril, Irving R.,&Drob, Harold A. 1977. Criteria for Planning the College and University Learning Resources Centre. Association for Educational Communications and Technology, Washington DC. O’neil. 1994. Can Inclusion Work? A Conversation With James Kauffman and Mara Sapon‐Shevin. Educational Leadership, 52 (4) 7‐11. Sayekti, Retno. Pembelajaran Berbasis Perpustakaan: Sebuah Pemikiran Model Pembelajaran di Perguruan Tinggi Agama Islam. Analita Islamica, Vol. 2 No. I, 200. Hal. 37‐53. Rompas, Lili E.F. 1993. Redefinisi dan Reenginering Pusat Sumber Belajar: Suatu Tinjauan Makro, Meso dan Mikro Pendidikan, Makalah Temu Karya LSB. Swanson, L. 1999. Intervention Research For Student With Learning Disabilities: a Meta‐Analysis of Treatment Out Comes. University Of Clifornia:
www.
Idonline.
Org/id‐
indepth/teaching_techniques.html (21 November 2010). Soedijarto. 2000. Memantapkan Kinerja Sistem Pendidikan Nasional dalam Menyiapkan Manusia Abad ke‐21. Jakarta: tp. Stainbackm, W.&Sianback, S. 1980. Support Networks For Inclusive Schooling: Independent Integrated Educations. Baltimore: Paul H. Brooks. Stevens, S.H. 1997. Asjustment in Classroom Management: Excerpted Form Classroom
Success
www.idonline.org/id
for
the
LD
and
indepth/teaching
ADHD
dalam:
techniques/class‐
manage.html. Sulistyo‐Basuki, 1993. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Gramedia. Undang‐Undang nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan.
Winkel, W.S. 2004. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: Media Abad. www.cribd.com. Download. 13 Oktober 2013