PERAN PENDIDIKAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP KESIAPAN TENAGA KERJA Yahdi Kusnadi Bina Sarana Informatika Jl. Margonda Raya No. 18 Depok Email :
[email protected]
Abstract Education and the workplace are the two things that can not be separated and become part of a mutually supportive of each other. A good education will give a good briefing with the expectation that its graduates are able to compete in the workforce with the skills they have. As known, the country faces such a complex educational problems. UNESCO puts Indonesia in the Human Development Index (HDI) in order to-112 among 174 countries studied. On the other hand, the Political and Economics Risk Consultancy (PERC), based in Hong Kong has put the education system in Indonesia in order to 12th among 12 countries studied. This shows that the quality of education in this country is still low. To solve the problem of education is required extra effort from all parties hard in synergy, among others, by constantly making changes and development of curricula adapted to the conditions that required the working world today. Keywords: Education, World of Work, Curriculum
I. 1.
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Permasalahan di bidang ketenagakerjaan dan ketersediaan lapangan kerja yang memadai di Indonesia tidak dipungkiri masih menjadi sebuah masalah. Walaupun kondisi dunia usaha, ekonomi dan investasi sering diberitakan kondusif, namun pada kenyataannya tingkat pengangguran di Indonesia masih tetap tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik per Februari 2010 jumlah pengangguran di Indonesia kini mencapai 8,59 juta orang atau 7,41 persen dari total angkatan kerja di nusantara sebanyak 116 juta orang. Angkatan kerja tersebut didominasi lulusan sekolah dasar (SD) ke bawah yaitu sekitar 55,31 juta orang atau 51,50 persen sedangkan pekerja dengan pendidikan diploma sebesar 2,89 juta orang atau sekitar 2,69 persen dan pekerja dengan pendidikan sarjana sebesar 4,94 juta orang atau 4,50 persen, sehingga apabila terdapat sepuluh orang pencari kerja hanya tersedia tiga lowongan pekerjaan dan dari tiga lowongan itu hanya dua yang bisa diisi, sementara satu lagi tidak bisa dipenuhi akibat tidak memiliki keterampilan. Dari segi persaingan internasional hasil survei "World Economic Forum 2010" menunjukkan Indonesia berada pada peringkat 54 dari 133 negara yang disurvei. Dibanding dengan negara tetangga seperti Singapura yang menempati peringkat ketiga, Malaysia ke-24, Brunei Darussalam ke-32
dan Thailand ke-36, sehingga kondisi ketenagakerjaan di Indonesia sangat parah. Masalah ketenagakerjaan merupakan salah satu masalah serius yang erat kaitannya dengan kemajuan dan kemakmuran suatu Negara. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh seorang ekonom terkenal asal India, Mahbub UlHaq, yaitu ”Let us take care of employment, employment will take care of growth.” Pengangguran memberikan problematika tersendiri bagi negara. Pengangguran dapat mempengaruhi daya beli masyarakat. Karena tidak adanya pendapatan yang diterima, pengeluaran untuk membiayai kehidupan sehari-hari pun menjadi terganggu. Hal ini kemudian akan membuat masyarakat menjadi miskin atau semakin miskin. Selain itu, meningkatnya pengangguran terbuka sebagai akibat tidak terkelolanya ketenagakerjaan dengan baik dapat memberikan dampak serius, seperti meningkatnya kriminalitas yang selanjutnya dapat menganggu stabilitas negara. makin tinggi jenjang pendidikan si penganggur, akan semakin berbahaya bagi negara. Pendidikan merupakan hal yang amat penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Kualitas SDM yang baik diharapkan dapat mengisi lapangan-lapangan pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya dan selanjutnya dapat memajukan negara. Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat berharap banyak dengan mengenyam pendidikan tinggi, yakni untuk
mendapatkan pekerjaan yang didambakan dan kemudian meningkatkan taraf hidup mereka. Namun demikian, kendala terbatasnya ketersediaan lapangan pekerjaan menyebabkan tak terserapnya tenaga kerja yang berpendidikan tinggi oleh pasar tenaga kerja. Hal ini akan memberikan stimulus kekecewaan dan selanjutnya menanamkan sifat ketidakpercayaan atau kekurangpercayaan terhadap lembaga pendidikan. Selain itu, kesempatan kerja yang terbatas telah membuat kompetisi semakin ketat antar pencari kerja dan seringkali mereka melamar dan menerima pekerjaan apa saja meskipun tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikannya. 2.
Identifikasi Masalah Upaya peningkatan mutu pendidikan dipengaruhi oleh faktor majemuk. Faktor yang satu saling berpengaruh terhadap faktor yang lainnya. Namun demikian, faktor yang paling penting adalah guru, karena hitamputihnya proses belajar mengajar di dalam kelas banyak dipengaruhi oleh mutu gurunya. Guru dikenal sebagai 'hidden curriculum' atau kurikulum tersembunyi, karena sikap dan tingkah laku, penampilan profesional, kemampuan individual, dan apa saja yang melekat pada pribadi sang guru, akan diterima oleh peserta didiknya sebagai rambu-rambu untuk diteladani atau dijadikan bahan pembelajaran. Bagi sebagian besar orangtua siswa, sosok pendidik atau guru masih dipandang sebagai wakil orangtua ketika anak-anaknya tidak berada di dalam keluarga. Fasilitas pendidikan berupa buku sudah demikian canggih disusun. Bahkan banyak bahan ajar yang kini telah disusun dalam bentuk CD ROM, bukan buku yang tebal dan biasanya disusun tidak semenarik komik atau majalah. Dengan demikian peserta didik memiliki pilihan lain berupa sumber informasi yang tinggal 'ngeklik' di komputer pribadinya. Sumber informasi dengan mudah dicari dengan cara 'surfing' melalui bahan ajar virtual melalui internet. Nah, dalam kondisi seperti itu, apakah peran pendidik masih diperlukan lagi? Pada era teknologi informasi, guru memang tidak lagi dapat berperan sebagai satu-satunya sumber informasi dan ilmu pengetahuan. Peran guru telah berubah lebih menjadi fasilitator, motivator, dan dinamisator bagi peserta didik. Dalam era teknologi informasi peserta didik dengan mudah dapat mengakses informasi apa saja yang tersedia melalui internet. Dalam
kondisi seperti itu, maka guru diharapkan dapat memberikan peran yang lebih besar untuk memberikan rambu-rambu etika dan moral dalam memilih informasi yang diperlukan. Dengan kata lain, peran pendidik tidak dapat digantikan oleh apa dan siapa, serta dalam era apa saja. Untuk dapat melaksanakan peran tersebut secara efektif dalam proses pendidikan, pendidik dan tenaga kependidikan harus ditingkatkan mutunya dengan skenario yang jelas. Proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam proses belajar mengajar tersirat adanya satu kesatuan kegiatan yang tak terpisahkan antara siswa yang belajar dan guru yang mengajar. Agar proses pembelajaran dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien, maka guru mempunyai tugas dan peranan yang penting dalam mengantarkan peserta didiknya mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu, sudah selayaknya guru mempunyai berbagai kompetensi yang berkaitan dengan tugas dan tanggungjawabnya. Dengan kompetensi tersebut, maka akan menjadikan guru profesional, baik secara akademis maupun non akademis. Masalah kompetensi guru merupakan hal urgen yang harus dimiliki oleh setiap guru dalam jenjang pendidikan apapun. Guru yang terampil mengajar tentu harus pula memiliki pribadi yang baik dan mampu melakukan social adjustment dalam masyarakat. Kompetensi guru sangat penting dalam rangka penyusunan kurikulum. Ini dikarenakan kurikulum pendidikan haruslah disusun berdasarkan kompetensi yang dimiliki oleh guru. Tujuan, program pendidikan, sistem penyampaian, evaluasi, dan sebagainya, hendaknya direncanakan sedemikian rupa agar relevan dengan tuntutan kompetensi guru secara umum. Dengan demikian diharapkan guru tersebut mampu menjalankan tugas dan tanggung jawab sebaik mungkin. Dalam hubungan dengan kegiatan dan hasil belajar siswa, kompetensi guru berperan penting. Proses belajar mengajar dan hasil belajar para siswa bukan saja ditentukan oleh sekolah, pola, struktur dan isi kurikulumnya, akan tetapi sebagian besar ditentukan oleh kompetensi guru yang mengajar dan membimbing para siswa. Guru yang berkompeten akan lebih mampu
mengelola kelasnya, sehingga belajar para siswa berada pada tingkat optimal. Agar tujuan pendidikan tercapai, yang dimulai dengan lingkungan belajar yang kondusif dan efektif, maka guru harus melengkapi dan meningkatkan kompetensinya. Di antara kriteria-kriteria kompetensi guru yang harus dimiliki meliputi: 1) Kompetensi kognitif, yaitu kompetensi yang berkaitan dengan intelektual. 2) Kompetensi afektif, yaitu kompetensi atau kemampuan bidang sikap, menghargai pekerjaan dan sikap dalam menghargai hal-hal yang berkenaan dengan tugas dan profesinya. 3) Kompetensi psikomotorik, yaitu kemampuan guru dalam berbagai keterampilan atau berperilaku. 3.
Strategi Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh guru sebagai tenaga kependidikan, maka profesi guru harus memiliki dan menguasai perencanaan kegiatan belajar mengajar, melaksanakan kegiatan yang direncanakan dan melakukan penilaian terhadap hasil dari proses belajar mengajar. Kemampuan guru dalam merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran merupakan faktor utama dalam mencapai tujuan pengajaran. Keterampilan merencanakan dan melaksanakan proses belajar mengajar ini sesuatu yang erat kaitannya dengan tugas dan tanggung jawab guru sebagai pengajar yang mendidik. Guru sebagai pendidik mengandung arti yang sangat luas, tidak sebatas memberikan bahan-bahan pengajaran tetapi menjangkau etika dan estetika perilaku dalam menghadapi tantangan kehidupan di masyarakat. Sebagai pengajar, guru hendaknya memiliki perencanaan (planing) pengajaran yang cukup matang. Perencanaan pengajaran tersebut erat kaitannya dengan berbagai unsur seperti tujuan pengajaran, bahan pengajaran, kegiatan belajar, metode mengajar, dan evaluasi. Unsur-unsur tersebut merupakan bagian integral dari keseluruhan tanggung jawab guru dalam proses pembelajaran. Secara umum terdapat beberapa langkah strategi yang dapat diimplementasikan dalam lingkungan kependidikan dengan tujuan bahwa peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan akan behasil melalui strategi- strategi berikut ini:
1)
Evaluasi diri (self assessment) Evaluasi diri sebagai langkah awal bagi setiap sekolah yang ingin, atau merencanakan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Kegiatan ini dimulai dengan curah pendapat brainstorming yang diikuti oleh kepala sekolah, guru, dan seluruh staf, dan diikuti juga anggota komite sekolah. Kegiatan evalusi diri ini bertujuan untuk mengetahui kondisi sekolah saat ini dalam segala aspeknya (seluruh komponen sekolah), kemajuan yang telah dicapai, maupun masalah-masalah yang dihadapi ataupun kelemahan yang dialami. Kegiatan evaluasi diri ini juga merupakan refleksi/mawas diri, untuk membangkitkan kesadaran / keprihatinan akan penting dan perlunya pendidikan yang bermutu, sehingga timbul komitmen bersama untuk meningkatkan mutu sense of quality, serta merumuskan titik tolak point of departure bagi sekolah/madrasah yang ingin atau akan mengembangkan diri terutama dalam hal mutu. 2) Perumusan visi, misi, dan tujuan Bagi pihak sekolah yang baru berdiri atau baru didirikan, perumusan visi dan misi serta tujuan merupakan langkah awal / pertama yang harus dilakukan yang menjelaskan kemana arah pendidikan yang ingin dituju oleh para pendiri/ penyelenggara pendidikan. Dalam kasus sekolah/madrasah negeri kepala sekolah bersama guru mewakili pemerintah kab/kota sebagai pendiri dan bersama wakil masyarakat setempat ataupun orang tua siswa harus merumuskan kemana sekolah kemasa depan akan dibawa, sejauh tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional seperti tercantum dalam UU Nomor 23 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 3) Perencanaan Perencanaan pada tingkat sekolah adalah kegiatan yang ditujukan untuk menjawab : apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannnya untuk mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan / disepakati pada sekolah yang bersangkutan, termasuk anggaran yang diperlukan untuk membiayai kegiatan yang direncanakan. 4) Pelaksanaan Apabila kita bertitik tolak dari fungsifungsi manajemen yang umumnya kita kenal sebagai fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan/penggerakkan atau pemimpinan dan kontrol/pengawasan serta evaluasi, maka langkah pertama sampai
dengan ketiga dapat digabungkan fungsi perencanaan yang secara keseluruhan (untuk sekolah) sudah dibahas. Didalam pelaksanaan tentu masih ada kegiatan perencanaan-perencanaan yang lebih mikro (kecil) baik yang terkait dengan penggalan waktu (bulanan,semesteran, bahkan mingguan), atau yang terkait erat dengan kegiatan khusus, misalnya menghadapi lomba bidang studi, atau kegiatan lainnya. II.
LANDASAN TEORI (KAJIAN PUSTAKA) Bagaimanapun sederhananya peradaban suatu masyarakat, di dalamnya terjadi atau berlangsung suatu proses pendidikan. Karena itulah sering dinyatakan pendidikan telah ada sepanjang peradaban umat manusia. Pendidikan menjadikan sumber daya manusia lebih cepat mengerti dan siap dalam menghadapi perubahan di lingkungan kerja. Oleh karena itu tidaklah heran apabila negara yang memiliki penduduk dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang pesat. a. Pengertian Tenaga Kerja Menurut Payaman Simanjuntak (2006 : 2) Adalah mencakup penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari pekerjaan dan yang melakukan kegiatan lain seperti bersekolah dan mengurus runah tangga Menurut Undang-undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Bab 1 Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 2 : Adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. b. Pengertian Pendidikan Manusia merupakan makhluk yang bergelut secara intens dengan pendidikan. Itulah manusia dijuluki sebagai animal educandum dan animal educandus sekaligus yaitu sebagai makhluk yang dididik dan makhluk yang mendidik. Dengan kata lain, manusia adalah makhluk yang senantiasa terlibat dalam proses pendidikan, baik yang dilakukan terhadap orang lain maupun terhadap dirinya sendiri. Dalam arti inilah organisasi pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (Unesco) sebagai badan internasional yang menangani tentang masalah pendidikan dan kebudayaan, mencanangkan konsep ”Pendidikan
Sepanjang Hayat” (Life Long Education) yang berlangsung sejak dari buaian hingga ke liang lahat (from The Candle to The Grave). (Sukardjo, 2009:1) Untuk memahami hakekat pendidikan, ada dua istilah yang dapat mengarahkan pada pemahaman hakekat pendidikan yaitu kata paedagogie dan paedagogiek (Purwanto, Ngalim M,2003:3). Paedagogie bermakna pendidikan dan paedagogiek bermakna ilmu pendidikan. c. Hubungan Pendidikan dengan Tenaga Kerja Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam UU No.20 Tahun 2003 (Sisdiknas, pasal 3). Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa serta mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Hal ini harus dibarengi dengan pengingkatan mutu tenaga pendidik dan pendidikan dalam segi rekruitmen, kompetensi dan manejemen pengembangan sumber daya manusianya. Salah satu contoh nyata yang terjadi dalam era reformasi, yaitu sebagian besar keberhasilan agenda reformasi di bidang pendidikan pada akhirnya ditentukan oleh unsur yang berada di front terdepan, yaitu tenaga pendidik. Hak-hak tenaga pendidik sebagai pribadi, pemangku profesi keguruan, anggota masyarakat dan warga negara yang selama ini terabaikan, perlu mendapat prioritas dalam era pasca reformasi kini. Selama ini berbagai pandangan dan pemikiran kurang terpusat pada guru sebagai andalan utama pelaksana acara kurikuler. Para ahli lebih sering membahas kurikulum sebagai pokok permasalahan pendidikan di sekolah. Para ahli di bidang pendidikan, secara terus terang mengakui bahwa pokok persoalan pendidikan yang sering dibahas dalam berbagai kesempatan selama ini lebih terfokus kepada masalah kurikulum ketimbang dengan masalah pendidik (Kompas, 28 Februari 2006). Padahal, telah menjadi pemahaman umum bahwa masalah pendidik jauh lebih penting daripada masalah kurikulum dan komponen pendidikan lain. Pernyataan tersebut memberikan gambaran bahwa masalah
pendidik atau guru memang belum sepenuhnya mendapatkan perhatian yang memadai oleh para praktisi pendidikan, apalagi oleh pengambil kebijakan pendidikan. Sebagaimana diketahui, negeri ini menghadapi masalah pendidikan yang demikian rumit. UNESCO meletakkan Indonesia dengan Human Development Index (HDI) pada urutan ke-112 di antara 174 negara yang diteliti. Di lain pihak, The Political dan Economics Risk Consultancy (PERC) yang berpusat di Hongkong telah meletakkan sistem pendidikan di Indonesia pada urutan ke-12 di antara 12 negara yang diteliti. Pendek kata, kondisi bangsa ini menang sedang tidak nyaman, termasuk dunia pendidikannya. Ahmad Sjafii Maarif, ketua umum Persyarikatan Muhammadiyah, sebagai contoh, menyebut masalah pendidikan sebagai 'wajah bopeng pendidikan kita' (Republika, 9 Mei 2005). Singkat kata, mutu pendidikan di negeri ini memang masih rendah. Untuk memecahkan masalah pendidikan tersebut diperlukan usaha ekstra keras dari semua pihak secara sinergis. Tidak ada kata putus ada bagi orang yang masih percaya kepada kekuasaan-Nya. Saat ini, dalam segi kurikulum salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan adalah dengan memberlakukan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Yang paling penting dalam hal ini adalah faktor guru. Sebab secanggih apapun suatu kurikulum dan sehebat apapun sistem pendidikan, tanpa kualitas guru yang baik, maka semua itu tidak akan membuahkan hasil yang maksimal. Oleh karena itu, guru diharapkan memiliki kompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara efektif dan efisien. Kompetensi merupakan salah satu kualifikasi guru yang terpenting. Bila kompetensi ini tidak ada pada diri seorang guru, maka ia tidak akan berkompeten dalam melakukan tugasnya dan hasilnya pun tidak akan optimal. Dengan komptensi yang dimiliki, selain menguasai materi dan dapat mengolah program belajar mengajar, guru juga dituntut dapat melaksanakan evaluasi dan pengadministrasiannya. Kemampuan guru dalam melakukan evaluasi merupakan kompetensi guru yang sangat penting. Evaluasi dipandang sebagai masukan yang diperoleh dari proses pembelajaran yang dapat dipergunakan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan berbagai komponen
yang terdapat dalam suatu proses belajar mengajar. Sedemikian pentingnya evaluasi ini sehingga kelas yang baik tidak cukup hanya didukung oleh perencanaan pembelajaran, kemampuan guru mengembangkan proses pembelajaran serta penguasaannya terhadap bahan ajar, dan juga tidak cukup dengan kemampuan guru dalam menguasai kelas, tanpa diimbangi dengan kemampuan melakukan evaluasi terhadap perencanaan kompetensi siswa yang sangat menentukan dalam konteks perencanaan berikutnya, atau kebijakan perlakuan terhadap siswa terkait dengan konsep belajar tuntas.3 Atau dengan kata lain tidak ada satupun usaha untuk memperbaiki mutu proses belajar mengajar yang dapat dilakukan dengan baik tanpa disertai langkah evaluasi. Guru harus mampu mengukur kompetensi yang telah dicapai oleh siswa dari setiap proses pembelajaran atau setelah beberapa unit pelajaran, sehingga guru dapat menentukan keputusan atau perlakuan terhadap siswa tersebut. Apakah perlu diadakannya perbaikan atau penguatan, serta menentukan rencana pembelajaran berikutnya baik dari segi materi maupun rencana strateginya. Oleh karena itu, guru setidaknya mampu menyusun instrumen tes maupun non tes, mampu membuat keputusan bagi posisi siswa-siswanya, apakah telah dicapai harapan penguasaannya secara optimal atau belum. Kemampuan yang harus dimiliki oleh guru yang kemudian menjadi suatu kegiatan rutin yaitu membuat tes, melakukan pengukuran, dan mengevaluasi dari kompetensi siswa-siswanya sehingga mampu menetapkan kebijakan pembelajaran selanjutnya. III. PEMBAHASAN Masalah ketenagakerjaan merupakan salah satu masalah serius yang erat kaitannya dengan kemajuan dan kemakmuran suatu Negara. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh seorang ekonom terkenal asal India, Mahbub UlHaq, yaitu ”Let us take care of employment, employment will take care of growth.” Kutipan tersebut mempertegas betapa ketenagakerjaan sangat mempengaruhi sendi-sendi pertumbuhan suatu negara. Karena ketenagakerjaan meliputi dimensi politik, sosial, ekonomi, dan kemasyarakatan. Pada bulan Februari 2009, angkatan kerja Indonesia adalah sebesar 113,7 juta
orang dengan 104,5 juta orang bekerja dan 9,3 juta orang pengagguran terbuka.Menurut BPS pengangguran terbuka merupakan bagian dari angkatan kerja yang tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan (baik bagi mereka yang belum pernah bekerja sama sekali maupun yang sudah penah
berkerja), atau sedang mempersiapkan suatu usaha, mereka yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin untuk mendapatkan pekerjaan dan mereka yang sudah memiliki pekerjaan tetapi belum mulai bekerja.
Gambar 1. keadaan ketenagakerjaan di Indonesia periode 2004 sampai 2009 Pengangguran memberikan problematika tersendiri bagi negara. Pengangguran dapat mempengaruhi daya beli masyarakat. Karena tidak adanya pendapatan yang diterima, pengeluaran untuk membiayai kehidupan sehari-hari pun menjadi terganggu. Hal ini kemudian akan membuat masyarakat menjadi miskin atau semakin miskin. Selain itu, meningkatnya pengangguran terbuka sebagai akibat tidak terkelolanya ketenagakerjaan dengan baik dapat memberikan dampak serius, seperti meningkatnya kriminalitas yang selanjutnya dapat mengganggu stabilitas negara. Makin tinggi jenjang pendidikan si penganggur, akan semakin berbahaya bagi negara. 1.
Permasalahan Pendidikan dan Pengangguran Pendidikan merupakan hal yang amat penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Kualitas SDM yang baik diharapkan dapat mengisi lapangan-lapangan pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya dan selanjutnya dapat memajukan negara. Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat berharap banyak dengan
mengenyam pendidikan tinggi, yakni untuk mendapatkan pekerjaan yang didambakan dan kemudian meningkatkan taraf hidup mereka. Namun demikian, kendala terbatasnya ketersediaan lapangan pekerjaan menyebabkan tak terserapnya tenaga kerja yang berpendidikan tinggi oleh pasar tenaga kerja. Hal ini akan memberikan stimulus kekecewaan dan selanjutnya menanamkan sifat ketidak percayaan atau kekurang percayaan terhadap lembaga pendidikan. Selain itu, kesempatan kerja yang terbatas telah membuat kompetisi semakin ketat antar pencari kerja dan seringkali mereka melamar dan menerima pekerjaan apa saja meskipun tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikannya. Pengangguran berpendidikan tinggi, baik diploma maupun sarjana, selama periode 2004-2009 bertambah 529.662 jiwa, yaitu dari 585.358 jiwa pada tahun 2004 menjadi 1.115.020 jiwa pada tahun 2009. Jika diratakan, maka setiap tahun pengangguran berpendidikan tinggi bertambah hampir 106.000 jiwa. Sementara grafik berikut menjunjukkan bahwa pada tahun 2008 sebanyak 23,80 persen penganggur adalah mereka yang memiliki
ijazah pendidikan tinggi (diploma/sarjana). Angka tersebut naik menjadi 26,74 persen
pada
tahun
2009.
Gambar 2. Tingkat pengangguran terbuka berdasarkan jenjang pendidikan Grafik di atas juga menunjukkan bahwa pengangguran di Indonesia cenderung memiliki jenjang pendidikan yang cukup tinggi, sehingga dapat diartikan bahwa pendidikan formal tidak serta merta dapat menurunkan tingkat pengangguran. Bahkan ada kesan (orang yang pesimis) bahwa jenjang pendidikan hanya akan mencetak pengangguran-pengangguran di masa depan karena lulusan melebihi batas kesempatan kerja. Selain itu, grafik di atas menggambarkan pula bahwa pengangguran yang paling tinggi terjadi pada penduduk dengan jenjang pendidikan tertinggi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Padahal sebenarnya konsep SMK sangat baik, dimana pelajar dididik untuk siap bekerja dan dibekali pula dengan kemandirian. Di satu pihak, SMK diklaim menjadi salah satu solusi dalam mengurangi pengangguran yang berpendidikan. Namun, pihak lain menilai bahwa pola pembentukan SMK di Indonesia lebih berbasis pada kuantitas dan kurang memperhatikan mutu atau kualitasnya. Jika demikian, maka gejala ini tentu perlu segera diperbaiki agar tidak semakin mengakar, dan lulusan SMK benarbenar siap bekerja, dan kalau bisa bekerja
mandiri atau menciptakan lapangan kerja baru. Saat ini, banyak perusahaan yang cenderung lebih senang merekrut lulusan SMA karena lulusan SMA dianggap lebih memiliki kreativitas. Lulusan SMK memang dapat bekerja dengan baik selama 1-3 tahun pertama, tetapi kualitas kerja mereka menurun pada tahun ke-4. Sebaliknya kinerja lulusan SMA justru lemah pada dua tahun pertama, tetapi membaik setelah tahun ke-3 bekerja. Hal ini kemudian membuat lulusan SMK justru kalah bersaing dengan lulusan SMA. Dalam mengatasi masalah tersebut, diperlukan penyelenggaraan pusat-pusat keunggulan keahlian untuk memetakan lulusan SMK agar lulusan SMK lebih bermutu dan berdaya saing. Disamping itu, upaya sosialisasi SMK sekarang ini, perlu diimbangi pula dengan peningkatan kualitas dan bertumpu pada lulusan yang bermutu. Kesan bahwa SMK merupakan pelarian bagi mereka yang tidak diterima di SMA, juga dapat dihapuskan dengan perbaikan kualitas tersebut. Dengan demikian SMK dapat berperan sebagaimana mestinya, yakni mengurangi pengangguran berpendidikan.
Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Industri Besar Dan Sedang Menurut Sub Sektor, 2004-2009
Subsektor
2004
2005
2006
2007
2008
15 Makanan dan Minuman
732,945
636,625
784,129
748,155
721,457
16 Tembakau
258,678
272,343
316,991
334,194
346,042
17 Tekstil
545,507
567,042
572,710
558,766
484,732
18 Pakaian jadi
444,904
451,975
583,634
523,118
495,518
19 Kulit dan barang dari kulit
222,932
208,723
237,626
210,854
219,792
20 Kayu, barang dari kayu, dan anyaman
347,962
312,193
299,278
279,622
241,226
21 Kertas dan barang dari kertas
117,871
119,469
126,430
134,305
126,883
50,735
49,371
65,561
58,519
59,065
4,162
5,203
5,853
9,018
6,727
24 Kimia dan barang-barang dari bahan kimia
204,234
208,621
208,406
213,095
199,990
25 Karet dan barang-barang dari plastik
339,546
334,345
348,405
343,155
360,181
26 Barang galian selain logam
165,352
165,056
190,630
177,304
176,459
129 925
59,044
56,411
65,069
64,233
64,099
51 881
126,523
123,349
111,388
129,577
147,330
66 899
77,268
78,847
106,321
83,714
87,192
2,619
3,698
1,477
3,427
3,009
31 Mesin listrik lainnya dan perlengkapannya
77,233
81,251
79,996
82,764
77,094
32 Radio, televisi, dan peralatan komunikasi
133,082
139,715
141,672
147,283
117,274
33 Peralatan kedokteran, alat ukur, navigasi, optik, dan jam
13,784
17,521
20,275
23,412
25,071
34 Kendaraan bermotor
72,585
72,382
86,066
79,216
86,928
58 864
35 Alat angkutan lainnya
61,969
58,923
72,474
85,925
91,136
80 795
263,008
260,766
325,362
326,785
313,656
3,036
2,743
5,950
8,496
7,071
22 Penerbitan, percetakan, dan reproduksi 23 Batu bara, minyak dan gas bumi, dan bahan bakar dari nuklir
27 Logam dasar 28 Barang-barang dari logam dan peralatannya 29 Mesin dan perlengkapannya 30 Peralatan kantor, akuntansi, dan pengolahan data
36 Furniture dan industri pengolahan lainnya 37 Daur ulang Jumlah
2009 e)
834 305 450 917 366 441 384 101 185 108 269 604 112 909 43 621 3 665 157 811 526 199
61 905 9 814 63 886 182 031 21 020
338 503 5 439
4,324,979 4,226,572 4,755,703 4,624,937 4,457,932 4 405 643
Sumber : BPS Jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Agustus 2010 mencapai 116,5 juta orang, bertambah sekitar 530 ribu orang dibanding angkatan kerja Februari 2010 yang sebesar 116,0 juta orang atau bertambah 2,7 juta orang dibanding Agustus 2009 yang sebesar 113,8 juta orang. Jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia pada Agustus 2010 mencapai 108,2 juta orang, bertambah sekitar 800 ribu orang dibanding keadaan pada Februari 2010 yang sebesar 107,4 juta orang atau bertambah 3,3 juta orang dibanding keadaan Agustus 2009 yang sebesar 104,9 juta orang. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia pada Agustus 2010 mencapai 7,14 persen, mengalami penurunan dibanding TPT Februari 2010 yang sebesar
7,41 persen dan TPT Agustus 2009 yang sebesar 7,87 persen. Setahun terakhir (Agustus 2009―Agustus 2010), hampir semua sektor mengalami kenaikan jumlah pekerja, kecuali Sektor Pertanian dan Sektor Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi, masingmasing mengalami penurunan jumlah pekerja sekitar 117 ribu orang (0,28 persen) dan 500 ribu orang (8,16 persen). Sektor Pertanian, Perdagangan, Jasa Kemasyarakatan dan Sektor Industri secara berurutan menjadi penyumbang terbesar penyerapan tenaga kerja pada bulan Agustus 2010. Pada Agustus 2010, jumlah penduduk yang bekerja sebagai buruh/karyawan sebesar 32,5 juta orang (30,05 persen), berusaha dibantu buruh tidak tetap sebesar
21,7 juta orang (20,04 persen) dan berusaha sendiri sejumlah 21,0 juta orang (19,44 persen). Berdasarkan jumlah jam kerja pada Agustus 2010, sebesar 74,9 juta orang (69,25 persen) bekerja diatas 35 jam per minggu, sedangkan pekerja dengan jumlah jam kerja kurang dari 8 jam hanya sekitar 1,2 juta orang (1,11 persen). Pada Agustus 2010, pekerja pada jenjang pendidikan SD ke bawah masih tetap mendominasi yaitu sekitar 54,5 juta orang (50,38 persen), sedangkan pekerja dengan pendidikan Diploma sekitar 3,0 juta orang (2,79 persen) dan pekerja dengan pendidikan Sarjana hanya sebesar 5,2 juta orang (4,85 persen). (Sumber BPS 2010) 2.
Link and Match dan Kewirausahaan Sampai saat ini dinilai belum terjadi atau belum sepenuhnya terjadi link and match (keterkaitan dan kecocokan) antara dunia pendidikan dengan dunia usaha. Dengan kata lain belum terjadi sinkronisasi antara lembaga penyelenggara pendidikan dengan perkembangan lapangan pekerjaan. Dampaknya adalah banyak lulusannya yang kemudian tidak terserap oleh pasar kerja, sehingga menimbulkan atau bahkan menambah tingginya tingkat pengangguran. Lembaga penyelenggara pendidikan pada umumnya lebih terfokus pada lulusan berkualitas, namun kurang memperhatikan kebutuhan pasar itu sendiri. Melihat keadaan ini memang sangat diperlukan perencanaan yang matang dan juga analisis kebutuhan peluang-peluang kerja yang ada, dan yang diproyeksikan akan besar kebutuhannya. Analisis tersebut kemudian disinkronkan dengan pendidikan. Sebagai contoh adalah ketika Sarjana Ekonomi sudah begitu banyak namun kesempatan kerja untuk lulusannya tidak berubah, maka institusi pendidikan perlu mengurangi kuota mahasiswa dalam jurusan Ekonomi tersebut. Sebaliknya, ketika sarjana komputer/multimedia yang akan banyak dibutuhkan, maka institusi pendidikan perlu menambah kuota mahasiswa dalam jurusan tersebut. Dengan demikian, terciptalah link and match antara pendidikan dan ketenagakerjaan, yang selanjutnya dapat menghindar dari pemborosan sumber daya pendidikan. Penanggulangan yang lain untuk mengurangi pengangguran adalah dengan menanamkan, mensosialisasikan, dan mendukung kewirausahaan. Namun, seperti tercatat dalam Sensus Ketenagakerjaan
Nasional 2007, hanya 5 persen dari jumlah angkatan kerja Indonesia yang berminat pada kewirausahaan. Selebihnya lebih memilih menjadi karyawan maupun pegawai yang bekerja dengan mendapatkan gaji atau upah. Sebagaimana diketahui bahwa kewirausahaan tak diragukan lagi merupakan salah satu solusi terbaik dalam menghadapi pengangguran dimasa seperti sekarang ini. Selain menciptakan pekerjaan bagi diri sendiri, kewirausahaan juga membuka kesempatan kerja bagi orang lain. Namun kewirausahaan sangat membutuhkan dukungan dari pemerintah, termasuk dukungan modal, sarana dan prasarana. Selain itu, kewirausahaan biasanya tumbuh dan berkembang diantara mereka yang memiliki keluarga dan lingkungan yang sudah melakukan kegiatan wirausaha. Dengan demikian wirausaha sudah menjadi budaya mereka sejak kanak-kanak. Untuk kelompok ini, pemerintah tidak perlu menumbuhkan budaya wirausaha lagi. Bagi mereka, yang penting pemerintah dapat memberikan iklim usaha yang sehat. Oleh karena itu, instansi terkait perlu menumbuhkan kelembagaan budaya wirausaha melalui usaha-usaha pendidikan dan kegiatan-kegiatan lainnya, menciptakan iklim usaha yang kondusif, kepastian usaha, stabilitas ekonomi dan politik sehingga dapat menarik dan menggiatkan kewirausahaan yang selanjutnya membuka lapangan pekerjaan yang lebih besar. Lapangan pekerjaan inilah yang sangat dibutuhkan dalam meminimalisir pengangguran, baik yang terdidik maupun yang tidak terdidik. Manajemen ketenagakerjaan memang bukan hal yang mudah. Namun apabila didukung oleh perencanaan pendidikan dan analisis kesempatan kerja yang akurat, serta iklim yang kondusif bagi wirausahawan, tentu pengurangan tingkat pengangguran akan dapat terealisasi. 3. Kebijakan Pemerintah di Bidang Pendidikan dalam Menghadapi Pengangguran Adanya mismatch antara yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja menjadi perhatian serius pemerintah saat ini. Keseriusan tersebut tercermin dalam program unggulan 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2. Pada program 100 hari, khususnya program pendidikan, akan dirumuskan mekanisme, policy, dan action
plan dalam menangani mismatch tersebut. Dalam rangka meningkatan kualitas terhadap lulusan SMK, Depdiknas akan memperbanyak simulasi-simulasi industri di masing-masing SMK. Simulasi industri dimaksud ditujukan agar para siswa SMK mendapatkan pengetahuan tentang budaya kerja, kondisi riil di industri, dan penguasaan teknologi. Pengembangan pola kemitraan juga akan dilakukan sebagai rencana aksi pemerintah. Kemitraan tersebut akan dijalin antara SMK, pendidikan tinggi vokasi, dan pelatihan keterampilan dengan dunia industri, termasuk industri kreatif. Hal ini dilakukan dalam rangka memperkuat intermediasi dan kesempatan pemagangan serta kesesuaian pendidikan/ pelatihan dengan dunia kerja. Upaya yang direncanakan dalam Program Aksi 100 hari lainnya dalam bidang pendidikan adalah: Pertama: peningkatan pelayanan pendidikan dasar 9 tahun yang bermutu dan terjangkau. Konsep Pendidikan Dasar 9 tahun sesuai dengan konsep Pendidikan Dasar 9 tahun yang tertera pada UU Sisdiknas 2003, yakni dimaksudkan untuk memberikan peluang kepada siswa yang tidak dapat meneruskan pendidikan ke jenjang pendidikan menengah (SLTA). Disamping itu, untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja kasar/teknisi yang banyak dibutuhkan pada saat itu, yang dengan pendidikan 6 tahun dianggap tidak memadai. Pendidikan dasar 9 tahun juga merupakan pondasi dari kualitas pendidikan. Dengan demikian, masyarakat haruslah mendapat kemudahan dalam mengakses pendidikan 9 tahun dengan mutu yang baik dan biaya seminimal mungkin. Kedua: peningkatan profesionalisme dan pemerataan distribusi guru. Seperti diketahui, guru merupakan pangkal dari keberhasilan pendidikan. Dengan meningkatkan profesionalisme guru berarti akan memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia. Hal inilah yang kemudian membuahkan SDM-SDM yang bermutu dan kemudian dapat bersaing dengan SDM luar negeri. Dengan demikian akan terbuka kesempatan kerja yang lebih luas karena tak hanya terbatas di dalam negeri saja. Ketiga: peningkatan daya saing pendidikan tinggi. Rencana aksi dari program ini adalah dengan memberikan beasiswa PTN untuk 20.000 siswa SMA/SMK berprestasi dan kurang mampu. Selain itu, dengan mengembangkan
kewirausahaan, termasuk technopreneur (enterpreneur di bidang IT) bagi dosen dan mahasiswa melalui kerjasama antar institusi pendidikan dengan dunia usaha. Perlu pula diketahui bahwa pada akhir-akhir ini memang banyak perguruan tinggi yang telah memasukkan mata kuliah kewirausahaan sebagai mata kuliah wajib. Melalui berbagai upaya sebagaimana diuraikan diatas, diharapkan akan tercipta link and match antara pendidikan dan ketenagakerjaan yang dibutuhkan pasar tenaga kerja, serta selanjutnya dapat menurunkan tingkat pengangguran ke level yang terendah IV. PENUTUP 1. Simpulan Berdasarkan isi penulisan yang telah disampaikan pada bahasan sebelumnya didapatkanlah beberapa simpulan sebagai berikut: a. Peningkatan mutu dan kualitas pendidikan dengan tenaga kerja yang dihasilkan merupakan dua hal yang mempunyai hubungan sangat erat, baik dimasa lampau maupun dimasa yang akan datang. b. Sudah seharusnya dunia pendidikan mampu menyediakan kebutuhan tenaga kerja terampil dan siap pakai untuk mengurangi tingkat pegangguran dikalangan berpendidikan. c. Link and Match yang baik antara dunia pendidikan dan ketenagakerjaan diharapkan mampu menurunkan tingkat pengangguran secara signifikan. d. Tingkat keberhasilan dunia pendidikan dalam menghasilkan tenaga kerja yang potensial mempunyai kaitan yang sangat erat dengan adanya proses pembelajaran yang baik dan guru yang professional. 2.
a.
b.
Saran/Rekomendasi Saran atau rekomendasi dari hasil penulisan makalah ini adalah : Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) harus membantu dunia pendidikan dengan memberikan pengarahan dan sosialisasi akan pentingnya perubahan kurikulum berbasis kompetensi dalam rangka mempersiapkan lulusan yang potensial kala memasuki dunia kerja dan dunia industry (DUDI). Dunia pendidikan harus secara rutin dan berkelanjutan memperbaiki kurikulum pendidikannya agar
c.
senantiasa dapat memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja ahli sesuai bidangnya. Pengembangan Sekolah Menengah Kejuruan yang dicanangkan pemerintah harus terus dilaksanakan karena diharapkan dapat menyediakan lulusan yang potensial dan tidak asing dalam melakukan pekerjaannya saat lulus dan tidak terpaku pada mencari pekerjaan namun juga dapat menciptakan lapangan pekerjaan sendiri dalam bentuk wirausaha.
REFERENSI: Buku: Danim, Sudarwan. 2010. Kepemimpinan Pendidikan. Kepemimpinan Jenius (IQ+EQ), Etika, Perilaku Motivasional, dan Mitos. Bandung: Alfabeta Hasibuan, Lias. 2010. Kurikulum dan Pemikiran Pendidikan. Jakarta: Gaung Persada Pers. Handoko, Hani, T. 1989. Manajemen. Yogyakarta: BPFE.
Ni.am, Asrorun. 2006. Membangun Profesionalitas Guru. Jakarta : eLSAS. Purwanto, Ngalim. 1984. Psikologi Pendidikan. Bandung: CV. Remaja Karya. Rosyada,Dede. 2004. Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Prenada Media. Sukardjo, M dan Ukim Komarudin. 2009. Landasan Pendidikan. Konsep dan Aplikasinya. Jakarta: Rajawali Pers. Sukmadinata, Nana S dkk. 2006. Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Menengah (Konsep, Prinsip dan Instrumen). Bandung: Refika Aditama. Simanjutak, Payaman. 2006. Pengantar Ekonomi Surnber Daya Manusia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Tim
Harris, Ben, C., Kemmeth E. Mc. Intyre, C., Littleton, Jr., Daniel, F. Long. 1979. Personnel administration in education: Leadership for instructional improvement. Boston: Allyn Bacon,Inc. Herbert, T., Tbeodore. 1981. Dimensions of organizational behavior. New York: Mc. Millan Publishing, Co. Inc. Hennerson, M.E., Morris, L.L., & Fotz, Gibson, C.T., 1978. How to measure attitude. London: Sage Publication Beiurley-Hill. Hamalik, Oemar. 2006. Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Jakarta: Bumi Aksara. Kunandar. 2007. Guru Profesional:Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidkan Dan Sukses Dalam Sertifikasi Guru Jakarta: Raja Grafindo persada. Mitchell, R., Terence & Larson, Jr. Jemas. R. 1987. People in organization: An introduction to organizational behavior. New York: Mc.Graw-Hill, Inc.
Redaksi Nuansa Aulia. 2008. Himpunan Peraturan Perundangundangan Republik Indonesia Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Bandung: Nuansa Aulia.
Jurnal : Pigay, Natalis. 2008. Otonomi Pendidikan Dalam Konteks Ketenagakerjaan. Jurnal Ketenagakerjaan. Volume 3 No. 1. Januari-Juni 2008. Purba, Saut. 1993. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan performansi mengajar guru STM Negeri Kotamadya Medan. Malang: Program Pasca Sarjana IKIP. Sudianto, Mungit. 2006. Optimalisasi Pembelajaran Muatan Lokal Dan Relevansinya Dengan Kebutuhan Lapangan Kerja Pada Pendidikan Dasar 9 Tahun. Surabaya: Jurnal Pendidikan Dasar Vol.7, No.2, 2006: 109-113. Surjiman. 1980. Peningkatan Mutu Pendidikan kejuruan melalui pembinaan jiwa wiraswasta.Analisis Pendidikan tahun I nomor 2. Jakarta: Depdikbud
Turin, La Ode. 2008. Hubungan Tingkat Pendidikan Pengalaman Penataran Dan Motivasi Kerja Dengan Performansi
Mengajar Guru-Guru Smu Negeri 3 Kendari Sulawesi Tenggara.