Peran Mingguan Chiao Hsing Dalam Menangani Masalah Tionghoa Indonesia Shi Xueqin1 Mingguan Chiao Hsing (Majalah SADAR) adalah majalah yang didirikan oleh Siauw Giok Tjhan, tokoh politik peranakan Tionghoa. Sebuah majalah berbahasa Tionghoa yang berusaha memberikan pencerahan pandangan politik pada Tionghoa Indonesia. Ia mulai diterbitkan pada tahun 1954 dan di larang terbit pada tahun 1959. Sekalipun hanya terbit dalam waktu 6 tahunan, tetapi majalah ini telah memainkan peran besar dalam pencerahan pandangan politik untuk Tionghoa Indonesia, mendorong perubahan pemikiran politik Tionghoa Indonesia dan menjernihkan pengertian pada Tionghoa dalam melihat Indonesia. Ia berusaha menghilangkan pandangan rasisme, mendorong pembangunan Nasion Indonesia yang harmonis, melindungi hak politik warganegara Tionghoa Indonesia, dan berperan dalam upaya mempererat Persahabatan Tiongkok dan Indonesia. Mingguan Chiao Hsing yang didirikan Siauw Giok Tjhan pada tahun 50-an ini, telah berperan dalam mendidik Tionghoa Indonesia untuk memiliki kesadaran politik dan menjadi penerang politik bagi Tionghoa Indonesia. Ia menempati posisi yang paling penting dalam sejarah perjuangan politik, khususnya editorial –editorial Mingguan Chiao Hsing dan berbagai tulisan komentar analisa politik yang dimuat di dalamnya. Tidak bisa diragukan bahwa dari editorial dan analisa-analisa politik tersebut, orang bisa mengerti situasi politik internasional ketika itu, situasi politik Indonesia dan sumbangsih Tionghoa di Indonesia. Selain masalah internasional, fokus utama para analisa politik tersebut adalah perkembangan politik Indonesia dan masa depan Tionghoa di Indonesia. Tulisan-tulisan ini menampilkan keteguhan prinsip dan visi politik jauh ke depan. Analisa-analisa-nya objektif dan bijaksana. Jelas menunjukkan wawasan luas Siauw Giok Tjhan. Isi Mingguan Chiao Hsing sangat padat mencakup banyak bidang terdiri dari
1
Shi Xue Qin adalah seorang profesor dari Universitas Xia Men dan wakil ketua Akademi Penelitian Pasifik
Selatan
1
editorial, dalam negeri (Indonesia), komentar, Internasional, ulasan politik dalam negeri, masalah pemuda (menyiarkan tulisan dan opini pemuda Tionghoa), kebudayaan Indonesia (penulisan Cerpen dan sajak), sejarah dan ilmu bumi Indonesia, pelajaran bahasa Indonesia, informasi tentang Industri Indonesia, ekonomi dan politik, Laporan tentang Tiongkok dan masalah Tionghoa Indonesia dan lain-lainnya. Sampul majalah lebih banyak berbentuk karikatur politik, sedangkan sampul belakang seringkali memuat lagu-lagu rakyat Indonesia atau lagu-lagu revolusioner Indonesia. Isinya sangat kaya.
Layak untuk dibaca untuk memahami masalah
Tionghoa Indonesia dan politik internasional, ekonomi politik Indonesia, sejarah dan bumi Indonesia, tradisi budaya dan usaha mempererat hubungan persahabatan Tiongkok-Indonesia secara komprehensif. Mingguan Chiao Hsing disambut hangat oleh masyarakat Tionghoa Indonesia. Jumlah pelanggan banyak, tidak hanya di Jakarta tapi juga tidak sedikit pelanggan dari berbagai pulau di luar Jawa. Untuk mempercepat jangkauan ke luar Jawa, sejak tahun 1958, Mingguan Chiao Hsing dikirim dengan Pos-Udara. Sehubungan peringatan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan, saya gembira mengetahui Huakiao asal Indonesia di Hongkong menyelenggarakan Seminar dan gembira memperoleh kehormatan untuk ikut menghadiri dan mengajukan sebuah pemikiran dangkal. Makalah ini berusaha menelusuri dan menganalisa Editorial Mingguan Chiao Hsing pada tahun 1958. Mengapa saya memilih Chiao Hsing tahun 1958? Pertama, keterbatasan waktu dan syarat objektif di mana Mingguan Chiao Hsing yang berada di perpustakaan Universitas Xia Men Akademi South Pasifik tidak lengkap. Kedua, tahun 1958 adalah tahun menentukan setelah Indonesia Merdeka. Indonesia
sedang menghadapi
pemberontakan separatisme, intervensi luar negeri, menghadapi tantangan serius mempertahankan kedaulatan wilayah negara. Melalui editorial tahun 1958 yang mencerminkan pandangan Siauw Giok Tjhan dalam perjuangan mempertahankan kedaulatan; melawan intervensi luar negeri; pembangunan nasion Indonesia; mempererat hubungan Tiongkok Indonesia dan penyelesaian masalah Tionghoa di Indonesia, diharap diikuti bersama di dalam seminar ini.
Dalam waktu bersamaan, saya ingin menyatakan rasa hormat dan
2
kagum sedalam-dalamnya pada visi politik bung Siauw Giok Tjhan yang memiliki visi jauh ke depan dan melampaui zaman. Ada 42 tulisan yang berbentuk editorial di dalam majalah Chiao Hsing yang terbit pada tahun 1958. Daftarnya sebagai berikut (No 30 dan no 49 tidak ada): No. Majalah
Judul Editorial
1/1958
“Menyambut Tahun Baru 1958”
2/1958
“Perjuangan Persatuan Rakyat Indonesia dan Rakyat Asia-Afrika”
3/1958
“Rumor Pembentukan Negara Sumatera”
4/1958
“Perjalanan KSAD di Sumatera dan Negara Sumatera”
5/1958
“Mendorong Sekuat Tenaga Gerakan Menguasai Bahasa Indonesia”
6/1958
“Bantuan Yang Tulus Tanpa Pamrih”
7-8/1958
“Pemberontak Jalan Ke mana? Menghitung Nasib Ahmad Husein”
9/1958
“Pemerintah Revolusioner Tenggelam dalam Defensif”
10/1958
“Jalan Perundingan Menemui Jalan Buntu”
11/1958
“Mengalahkan Siasat Intervensi Dalam Negeri lebih lanjut AS”
12/1958
“Menyoroti Peristiwa Militer Medan”
13/1958
“Harus Mengambil Sikap dan Tindakan Tegas terhadap Klik KMT-Chiang Kai Sek”
14/1958
“Kutuk Klik KMT/Chiang”
15/1958
“Menjawab Tantangan Jaman”
16-20/1958
“Lahirnya Pancasila Dasar Negara”
21-26/1958
“Pekerjaan Kabinet Setelah di Perkuat”
27/1958
“Menjadi Warga Indonesia Yang Mulia”
28/1958
“Perkokoh Persatuan Bangsa: Laporan Siauw Giok Tjhan Di depan Kongres ke-5 BAPERKI”
29/1958
“Menentang Tentara AS Mengagresi Libanon”
31/1958
“Pemilihan Umum Dan Komunitas Tionghoa”
32/1958
“Memperbincangkan Mulai Dari Terbentuknya Partai Politk Indonesia”
33/1958
“13 Tahun RI : Tahap Baru Memperjuangkan Masyarakat Adil Dan Makmur, Melancarkan Rehabilitasi dan Konstruksi”
34/1958
“Menghadapi Tahun Yang Penuh Tantangan”
35/1958
“Dengan Tuntas Membersihkan Klik KMT-Chiang”
36/1958
‘Masalah Investasi Modal Asing”
37/1958
“Mendukung Perjuangan Adil Rakyat Tiongkok”
38/1958
“Pemerintah menempuh jalan Avonturis”
39/1958
“Memperbincangkan Pemerintah Menunda Pemilu”
40/1958
“Hormat Pada Seluruh Prajurit-Perwira Angkatan Darat, Laut dan Udara”
41/1958
“Panglima Tertinggi Inspeksi Ketiga Angkatan”
3
42/1958
“Rakyat Negara Kita Menentang Keras Kompromi”
43/1958
“Beberapa Masalah Gerakan Perdamaian Negeri Kita”
44/1958
“Demokrasi Terpimpin Atau Diktatur Militer”
45/1958
“Ada Kesalahan Dikoreksi, Waspada Jika Tidak ada Salah”
46/1958
“Warisi Tekad Juang Pahlawan, Menyelesaikan Perjuangan Revolusi Bangsa”
47/1958
“Memperbincangkan Memperpanjang Peperangan Dan SOB”
48/1958
“Masalah Modal Tionghoa”
50/1958
“Sumbangan Demi Perdamaian Dunia”
51/1958
“Pelajaran Nyata”
52/1958
“Perkokoh Persahabatan Rakyat Indonesia Dan Yugoslavia”
Para Editorial yang menganalisa masalah politik dalam dan luar negeri yang dihadapi Indonesia, pada pokoknya mengajukan beberapa hal: 1. Dengan teguh mempertahankan Kesatuan Wilayah Indonesia, melindungi persatuan bangsa Indonesia, menentang pemberontakan bersenjata dan gerakan separatisme, menentang subversi kekuatan Barat terhadap dalam negeri Indonesia yang didalangi AS. 2. Memperhatikan masalah demokrasi di Indonesia, mendukung Pancasila Dasar Negara Indonesia, mendukung sistem politik “Demokrasi Terpimpin” Soekarno dalam pembangunan masyarakat adil dan makmur. 3. Fokus pada integrasi Tionghoa, naturalisasi dan masalah partisipasi politik, konsekwen menentang diskriminasi rasial, melindungi hak suku minoritas dan mendorong maju persatuan besar bangsa Indonesia. 4. Mendesak Pemerintah Indonesia mendukung Republik Rakyat Tiongkok dan menentang klik Chiang Kai Sek di Taiwan. Mengutuk klik Chiang Kai Sek yang memberi dukungan dan membantu Pemberontakan Sumatera Utara. 5. Mendorong Persatuan Asia-Afrika, menentang kolonialisme dan Imperialisme dalam
agresi
militer
terhadap
negara-negara
Asia-Afrika,
melindungi
perdamaian dunia. Mengingat keterbatasan waktu, makalah ini menyoroti analisa tentang masalah Tionghoa Indonesia yang ada pada Editorial “Mingguan Chiao Hsing” tahun 1958 untuk dipertimbangkan. Ada 5 editorial yang secara khusus memperbincangkan masalah politik, ekonomi dan pendidikan Tionghoa Indonesia dan peranakannya. Editorial No.1/1958 “Menyambut Tahun Baru 1958”, mengharapkan Tionghoa Indonesia dengan menyatakan: “Peranakan Tionghoa Indonesia adalah salah satu suku minoritas dalam
4
bangsa Indonesia, sedangkan Huakiao adalah warga perantau Tionghoa Republik Rakyat Tiongkok. Kita yang tergolong keturunan berdarah Tionghoa, baik warga peranakan Tionghoa maupun Huakiao, tidak peduli sebagai suku bangsa Indonesia maupun sebagai warga Diaspora, memiliki kepentingan bersama di Indonesia. Kita semua mengharapkan Indonesia bisa mengikis habis sisa kolonialisme dan berhasil mendapatkan posisi penting di dunia Internasional. Nasib Indonesia berkaitan erat dengan kepentingan kita masing-masing, oleh karenanya kita semua harus memperhatikan dan peduli akan keadaan dan hari depan Indonesia, harus menyumbangkan
tenaga
dalam
mempertahankan
kemerdekaan
Indonesia,
perjuangan mencapai demokrasi dan pembangunan masyarakat adil dan makmur.” (1/1958, Hal.2) Pernyataan Editorial “Menyambut Tahun Baru” ini, mendapatkan sambutan positif politikus Indonesia. Wakil Ketua DPR Indonesia,
Zainul Arifin di Edisi Khusus
Tahun Baru “Mingguan Chiao Hsing”, dalam kata sambutan Menyongsong Tahun Baru menyatakan: “Melalui Mingguan Chiao Hsing, saya mengharapkan seluruh warga Indonesia keturunan Tionghoa, sebagaimana diutarakan dalam
Manifes
Politik bisa menjadi patriotik sejati, dengan penuh kesadaran ikut memberikan sumbangan pikiran dan tenaga dalam perjuangan bangsa dan memecahkan masalah yang dihadapi.” (Hal.3) Ketua Badan Intelejen Indonesia, Sudibyo menganggap: “Khususnya keunggulan, kemampuan, ketrampilan dan pengalaman komunitas Tionghoa di bidang ekonomi dan perdagangan, bisa dikembangkan dan berperan lebih penting dalam tugas pembangunan.” (Hal.4) Gubernur DKI Jakarta, Soediro juga menyatakan: “Menurut pendapat saya, yang dihadapi bangsa kita sekarang ini, terutama yang dihadapi pendukung dan pembaca setia Mingguan Chiao Hsing, pintu terbuka lebar bagi kalian untuk menggunakan dana, pikiran dan tenaga ikut serta aktif dan berpartisipasi dalam perjuangan membebaskan Irian, membuktikan kehangatan dan kesetiaan kalian pada Bangsa dan Tanah air Indonesia!” Sebagai warga Indonesia biasa, seorang pembaca menulis: “menyatakan kesediaan ikut bersama rakyat Indonesia dalam perjuangan merebut kembali Irian Barat!” Siauw dalam editorial “Menyambut Tahun Baru” itu, juga menyerukan: ”Kita
5
semua mengharapkan dipercepatnya proses persatuan bangsa. Di dalam persatuan bangsa itu hanya ada satu hak dan kewajiban yang sama dan adil bagi semua warga negara. Seandainya saja dalam kehidupan sehari-hari kita semua bisa mewujudkan semangat “Bhinneka Tunggal Ika”, maka proses mempercepat kesatuan Bangsa akan terjadi. Setiap warga harus bisa konsekwen untuk tidak mengutamakan
etnis
keturunan
darah,
tetapi
setiap
saat
mengutamakan
kepentingan Rakyat Indonesia secara keseluruhan. Setiap warga bisa bebas dari pertengkaran mendahulukan keinginan sendiri, bisa mempererat kesungguhan kerjasama, mempercepat pembangunan bangsa tanpa rasisme, tidak saling menyisihkan satu sama lain, hidup bersama dalam masyarakat tanpa rasa takut disingkirkan dan bebas dari kemiskinan” (1/1958, Hal.10). Sepenggal kalimat yang memanifestasikan pandangan politik Siauw Giok Tjhan untuk persatuan bangsa dan kesederajatan bangsa yang adil. Kesederajatan bangsa yang dianjurkan Siauw Giok Tjhan, tidak hanya sederajat bangsa dalam hak politik, tetapi juga kesederajatan budaya untuk setiap suku-bangsa. Menghadapi sementara Tionghoa yang umumnya beranggapan bahwa kebudayaan Tionghoa lebih unggul ketimbang kebudayaan Indonesia, atau nilai kebudayaan Tionghoa lebih tinggi ketimbang kebudayaan Indonesia, Mingguan Chiao Hsing No.5/1958 mengeluarkan editorial berjudul “Sekuat Tenaga Mendorong Gerakan Menguasai Bahasa Indonesia”. Editorial ini berlatar belakang menghadapi keputusan Pemerintah melarang anak-anak Warganegara Indonesia bersekolah di Sekolah Tionghoa. Mereka diharuskan bersekolah di sekolah Nasional Indonesia. Banyak Tionghoa menganggap keputusan ini terlalu tergesa-gesa tanpa perhitungan masak. Sangat tidak masuk akal dalam pelaksanaan, sehingga tidak sedikit orang-tua murid warga negara Indonesia menentang dan mengajukan protes keras. Editorial Mingguan Chiao Hsing memberikan analisa objektif tentang arti penting menguasai bahasa Indonesia, “Mengapa anak-anak peranakan Tionghoa tidak tertarik masuk sekolah Indonesia, disebabkan karena mereka beranggapan kebudayaan Indonesia lebih rendah dari kebudayaan Tionghoa, sehingga lebih baik sekolah Tionghoa ketimbang sekolah Indonesia. Pandangan demikian tidak hanya ada di kalangan Huakiao, tetapi juga di kalangan peranakan Tionghoa yang Warganegara Indonesia”.
6
Editorial itu secara tegas menentang pemikiran teori Keunggulan Budayaan ini. Sanggahnya: “Sebagai Huakiao dan peranakan Tionghoa, tentu saja boleh menekankan kebudayaan dan bahasa Tionghoa dari bangsa Tionghoa. Sikap demikian
ini
sedikitpun
tidak
bertentangan
dengan
upaya
pemahaman
kebudayaan dan bahasa Indonesia”. Kita harus sepenuhnya mendukung pandangan Siauw Giok Tjhan dan kelompok progresif lainnya, berjuang melindungi kebudayaan suku Tionghoa dan memberikan hak yang adil untuk mempertahankan dan mendidik kebudayaan mereka sendiri. Tetapi kita tidak boleh karena keputusan Departemen Pendidikan dianggap tidak masuk akal lalu menentangnya dengan mengabaikan arti penting belajar bahasa Indonesia hanya karena ingin mempertahankan kebudayaan dan bahasa Tionghoa. Editorial lebih lanjut menunjukkan arti penting bagi Peranakan Tionghoa dan Huakiao menguasai bahasa Indonesia, pertama “Menguasai bahasa Indonesia sesuai dengan
kepentingan
vital
kita
semua.
Karena
penguasaan
bahasa
akan
memudahkan bagi kita menyesuaikan diri dengan lingkungan. Setelah menguasai bahasa Indonesia dengan baik kita semua bisa langsung membaca koran Indonesia dan mengerti dengan baik ketentuan, peraturan hukum yang dikeluarkan Pemerintah, dan menjadi seirama dengan dinamika bangsa Indonesia. Dengan demikian kita juga bisa lebih mudah dan erat berkomunikasi dengan orang Indonesia dan peranakan Tionghoa yang sudah tidak lagi bisa bahasa Tionghoa, dan yang lebih penting bisa mengurangi kemungkinan adanya kesalah-pahaman dan kecurigaan.” Kedua, “Dengan menguasai baik bahasa Indonesia kita bisa lebih mudah ikut mendorong hubungan
persahabatan
Indonesia-Tiongkok.
Di
Indonesia,
seandainya
peranakan Tionghoa dan Huakiao bisa mengembangkan kemampuan baik
yang
akan
bermanfaat
untuk
usaha
memperkokoh
saja
dengan
persahabatan
Indonesia-Tiongkok. Peranakan Tionghoa dan Huakiao harus belajar dan menguasai dengan baik bahasa Indonesia.” Terakhir, Editorial menganjurkan bahwa gerakan belajar bahasa Indonesia akan sangat berperan untuk hari depan peranakan Tionghoa dan Huakiao.. Ia menandaskan bahwa mengabaikan belajar bahasa Indonesia adalah sebuah kesalahan serius. “Perkembangan setahun terakhir ini membuktikan keadaan peranakan Tionghoa dan Huakiao di Indonesia sangat serius. Kalau kita tidak mengubah sikap dalam hubungan kita dengan bangsa Indonesia secara cepat dan efektif, sulit dibayangkan apa yang akan terjadi dengan hari depan kita. Untuk
7
menyesuaikan diri dengan perkembangan, kita harus membuat rencana bertahap, bahkan segera melaksanakan serentetan tugas. Salah satu langkah yang sangat penting dan berarti adalah mendorong sebisanya gerakan belajar bahasa Indonesia. Kita semua harus mengembangkan gerakan belajar bahasa Indonesia secara massal di kalangan masyarakat peranakan Tionghoa dan Huakiao.” (5/1958, Hal.1) Dari sini kita bisa lihat bahwa Mingguan Chiao Hsing adalah penggerak utama gerakan belajar bahasa Indonesia. Sejak akhir tahun 1957 Mingguan Chiao Hsing sudah mulai dengan melangsungkan seksi pelajaran bahasa Indonesia. Seksi ini dibagi dalam 3 bagian: terjemahan berita aktual, istilah dan penelitian terjemahan dan tata bahasa Indonesia. Isi pokok seksi ini dengan sendirinya sangat berguna dalam usaha mendorong agar peranakan Tionghoa dan Huakiao belajar menguasai bahasa Indonesia. Siauw Giok Tjhan selalu dengan teguh mendorong Tionghoa Indonesia menjadi Warganegara Indonesia dan di atas dasar persatuan Bangsa mendapatkan perlakuan adil dan sederajat. Dengan judul “Berusaha Menjadi Warganegara Indonesia yang terhormat” Editorial menulis: “... Untuk orang-orang yang tidak bisa kembali ke Tiongkok karena berbagai alasan atau yang ingin tinggal di Indonesia untuk jangka panjang, menjadi warganegara Indonesia adalah jalan yang paling sesuai dengan kepentingan jangka panjang maupun kepentingan diri sendiri. Tindakan ini juga menguntungkan persahabatan Indonesia Tiongkok.” Untuk Tionghoa yang naturalisasi menjadi Warganegara Indonesia, editorial juga tegas mengharapkan: “Huakiao yang sudah menjadi warganegara Indonesia dan juga Peranakan Tionghoa yang menetap tinggal di Indonesia, jangan memisahkan nasib hidupnya dengan rakyat luas Indonesia, … kita sudah seharusnya berjuang di atas jalan yang sama, bersama-sama dengan rakyat Indonesia menciptakan masyarakat yang membawakan kehidupan bahagia dan keindahan bagi kita semua dan diri sendiri. Sebaliknya juga tidak ada alasan untuk menuntut “perlakuan istimewa”. Sebagai seorang warga negara Indonesia, kita tidak bisa mengulurkan tangan “meminta” pada Republik Indonesia, tapi bersikap “memberi”. Sebaliknya juga tidak bisa bersikap hanya “memberi” tapi tidak “meminta”. Dengan kata lain, kita tidak bisa semata-mata hanya menuntut Hak tapi tidak melaksanakan kewajiban, juga tidak bisa dituntut kewajibannya saja tanpa diberikan hak yang adil”. Editorial menambahkan: “Oleh karena itu untuk menjadi seorang warganegara
8
Indonesia yang baik, disamping harus mentaati ketentuan aturan kewarganegaraan juga harus siap hidup senasib dengan Rakyat Indonesia, berat sama dipikul ringan sama dijinjing, bersama-sama berjuang mengatasi masalah yang dihadapi dan menjadikan aspirasi rakyat aspirasi kita sendiri. Kita harus melepaskan segenap kehendak diperlakukan istimewa. Kita tidak boleh menganggap naturalisasi sebagai formalitas saja. Sikap demikian adalah sebuah kesalahan besar. Hanya dengan demikian kita bisa menyesuaikan sikap dengan kepentingan pribadi, menguntungkan usaha mendorong maju persahabatan Indonesia-Tiongkok, menguntungkan Republik Indonesia.” Inilah kata-kata tulus yang tak perlu diragukan lagi berdampak positif pada naturalisasi politik dan identitas Tionghoa Indonesia. (27/1958, Hal.2) Patut diajukan bahwa Mingguan Chiao Hsing dengan tegas menyatakan prinsip Tionghoa berintegrasi dengan rakyat Indonesia. Dasar pemecahan masalah Tionghoa
Indonesia
adalah
membasmi
diskriminasi
rasial
dan
chauvinisme/nasionalisme yang cupat. Di dalam satu tulisan yang berjudul “Resolusi Masalah Tionghoa Indonesia” di edisi 41/1958, menghadapi Sidang Pleno ke 2 Kongres Ekonomi Nasional Indonesia (KENSI) yang menyatakan kekuatan ekonomi Tionghoa Indonesia lebih kuat dari pribumi. KENSI menyodorkan ketentuan “masa peralihan panjang” dengan meneruskan diskriminasi terhadap Tionghoa. Ia
mengajukan pula pandangan absurd agar
“Kelompok Tionghoa bisa secara sadar menyesuaikan kehidupan bersama Bangsa Indonesia”. Mingguan Chiao Hsing menanggapinya: “Mendasarkan definisi ekonomi kuat dan lemah atas dasar keturunan dan mengaitkannya dengan hak politik warga negara adalah sangat tidak adil dan tidak pantas.” Di samping itu, tulisan di Chiao Hsing ini menyatakan bahwa mengabaikan adanya keaneka-ragaman budaya dan tradisi suku yang berbeda dan juga kepercayaan agama yang beraneka ragam sambil bisa
secara
sadar
menyesuaikan
kehidupan
menuntut “Kelompok Tionghoa bersama
Bangsa
Indonesia”,
bertentangan dengan tradisi politik dan kebudayaan Indonesia yang berdasarkan “Bhinneka Tunggal Ika”. Tulisan lebih lanjut menyerukan: “Demi mempertahankan persatuan Bangsa Indonesia, kita semua harus belajar lebih keras, berani mengoreksi kesalahan pikiran sendiri, kesalahan langgam hidup dan berusaha keras menyesuaikan diri dengan keadaan objektif di Indonesia; Di lain pihak harus bersatu padu, secara aktif
9
menentang pandangan diskriminasi rasial, di dalam satu barisan menentang pikiran chauvinisme,
memblejeti,
menyingkap
dan
membasmi
secara
menyeluruh
pandangan diskriminasi-rasial dan chauvinisme, membangun cita-cita perjuangan Revolusi Agustus 1945 dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur”. Keterlibatan Tionghoa Indonesia di bidang politik adalah langkah integrasi yang harus dilalui Tionghoa Indonesia dan Huakiao yang naturalisasi dan juga merupakan keharusan untuk melindungi hak. Editorial Mingguan Chiao Hsing No. 31/1958 yang berjudul “Pemilu dan Warga peranakan Tionghoa Indonesia” membicarakan arti penting ikut sertanya Tionghoa Indonesia dalam pemilu, mendesak warga peranakan Tionghoa memperhatikan dan dengan aktif
ikut serta dalam pemilihan umum. Editorial menyatakan: “Warga
peranakan Tionghoa harus menyadari pentingnya
pemilu…, hak memilih tidak
hanya semata-mata merupakan hak politik, tapi juga merupakan kewajiban politik yang sakral. Hanya dengan demikian, kita baru bisa secara tepat mengikuti dinamika pemilu, dan bisa memilih pimpinan yang benar-benar mewakili kepentingan rakyat. … Warga peranakan Tionghoa harus berhati-hati, berani dan tepat menentukan pilihan, menampilkan Partai dan tokoh yang bisa mewakili dan memperjuangkan kepentingan bangsa Indonesia.” (31/1958, Hal.1) Editorial ini dengan menunjukkan bahwa ia mendorong Tionghoa Indonesia terlibat
dalam
politik,
berusaha
mengubah
pandangan
Tionghoa
untuk
menggunakan jalur hukum dan politik memperjuangkan tuntutan dan melindungi hak warga Tionghoa yang sah. Editorial Mingguan Chiao Hsing kerap menyinggung masalah ekonomi yang berkaitan dengan posisi Tionghoa.
Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa
Tionghoa unggul dalam bidang perdagangan dan memainkan peran besar dalam perkembangan ekonomi. Hal ini menyebabkan sementara pejabat pemerintah kanan setelah kemerdekaan bertindak untuk mendiskriminasikan pedagang Tionghoa, demi memperkecil perannya, dengan tujuan menyisihkan pedagang Tionghoa untuk diganti dengan pedagang-pedagang pribumi. Ada dua editorial pada tahun 1958 yang khusus menyinggung masalah ekonomi berjudul: “Ada Kesalahan dikoreksi, Waspadalah kalau tidak ada” dan “Masalah Modal Huakiao”.
10
Yang pertama memperingatkan warga Tionghoa untuk menyimak komentar i Kolonel Tahir, KODAM teritorial I DKI Jakarta Raya, yang di hadapan wartawan Antara tentang tuntutan Tionghoa mencapai persamaan hak. Kolonel Taher mengkritik: “Kesamaan Hak yang dituntut warga Tionghoa hanya di bidang ekonomi, sedang di bidang lain sedikit bahkan tidak hendak disamakan. Pertama harus diingat, bahwa setiap warga negara Indonesia mempunyai kewajiban yang sama. Misalnya, boleh dikata sedikit atau bahkan tidak ada terdengar warga Tionghoa bersedia menyumbangkan
tenaga
mereka
dalam
Barisan
Keamanan
Kampung,
berkecimpung dalam berbagai kegiatan ketertiban, dll.” Editorial juga menyatakan: “Golongan Tionghoa harus merenungkan perkataan Kolonel Taher itu, dan menganggapnya sebagai sebuah “obat pahit mujarab” atau “kata-kata mutiara”, … Dia tidak menentang tuntutan Tionghoa mencapai persamaan hak dengan warga Indonesia umumnya, tapi yang ia kelukan adalah tuntutan warga keturunan asing berat yang berfokus kepada kesamaan hak dalam bidang ekonomi saja, dan tidak di semua bidang lain. Oleh karena itu Kol. Taher menganggap warga keturunan asing Indonesia hanya bisa “Meminta”, tapi tidak “memberi”. Editorial ini secara positif mendukung ajakan Kol. Taher, “sebagai seruan pada warga Tionghoa Indonesia untuk lebih aktif dalam segala kegiatan politik dan kegiatan masyarakat lainnya. Dan karena ketika itu masyarakat Indonesia sedang bersiaga mengangkat senjata melindungi keamanan dan kedaulatan tanah air, dengan sendirinya warga Tionghoa seharusnya menggunakan kesempatan untuk menunjukkan loyalitas dan kesetiaan pada tanah airnya Indonesia ,….” Editorial akhirnya menandaskan: “sadarlah kalian, di masyarakat Indonesia masih ada sementara orang yang dengki dan rasis terhadap golongan Tionghoa. Oleh karenanya kita harus lebih keras menuntut pada diri sendiri dan selalu introspeksi, jadikanlah kata-kata yang menyindir dan kritik pedas sebagai cermin cerah melihat kesalahan sendiri. Selalu bersikap positif, “ada Kesalahan dikoreksi, Waspadalah kalau tidak ada”. Sikap demikian tidak merugikan orang lain sebaliknya menguntungkan diri sendiri.” Editorial ini menunjukkan bahwa masalah paling mendasar pada waktu itu yaitu diprioritaskannya masalah ekonomi, tapi mengabaikan keterlibatan dalam politik dan kegiatan
masyarakat
lainnya.
Ia
mendorong
komunitas
Tionghoa
untuk
memperhatikan perjuangan politik Indonesia dan usaha menciptakan kesejahteraan sosial masyarakat, sehingga hari depan warga Tionghoa-pun lebih baik. Editorial ini dengan jitu menunjukkan penyakit kronis yang ada dengan kata-kata yang
11
membangun. Editorial yang kedua: “Masalah Modal Huakiao” (48/1958) menganalisa perbedaan sikap masyarakat terhadap modal Tionghoa dan jalan keluar di Indonesia. Editorial beranggapan bahwa ada 2 pandangan yang berbeda. Pertama, “Komprador
yang
mewakili
kepentingan
kapitalisme
dan
imperialisme,
berpandangan modal Tionghoa harus disingkirkan. Mereka berusaha keras untuk menggantikan dan mengambil alih berbagai perusahaan yang dikelola Tionghoa untuk kemudian dijadikan milik kapitalis Indonesia nasionalis. Bersamaan dengan itu berusaha keras membatasi bahkan menghilangkan jumlah pengusaha Tionghoa di Indonesia, mengurangi pesaing pengusaha Indonesia nasionalis dalam menjalankan usaha.” Editorial lebih lanjut menyatakan “sekelompok orang ini di satu pihak mewakili kepentingan imperialisme dan selalu berusaha membangkitkan gerakan kerusuhan anti-Tionghoa sebagai tujuan politiknya. Di pihak lain hendak menggunakan berbagai ketentuan pemerintah untuk mengembangkan kekuatan sendiri, meraih keuntungan ekonomi lebih besar lagi.” Editorial juga menganalisa pandangan golongan yang mewakili kepentingan rakyat banyak dalam memandang modal Tionghoa, yang beranggapan: “Masalah pokok dan yang harus diutamakan dewasa ini adalah kontradiksi dasar antara rakyat seluruh negeri dengan modal monopoli asing. Modal
peranakan Tionghoa dan
modal Huakiao harus digunakan sebaik mungkin untuk membangun ekonomi Indonesia. Modal Huakiao sudah dijalankan turun menurun dengan pengalaman dagang yang kaya, dan keuntungan yang didapatkan modal Tionghoa tidak dibawa keluar, jadi merupakan bagian penting modal domestik. Pandangan golongan ini mengusulkan menggunakan modal Tionghoa sebaik mungkin untuk mendorong kemajuan ekonomi nasional sehingga bisa lebih cepat mewujudkan masyarakat adil dan makmur.” Editorial mengkritik pandangan pertama: “Usaha yang dijalankan tidak membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak. Kebalikannya,
hanya
memelihara segelintir klas kapitalis komprador menjadi lebih gemuk. Pandangan semacam ini bukan saja membiarkan mayoritas rakyat tetap miskin, tetapi juga membuat kesenjangan sosial yang menimbulkan kerusuhan sosial dan sepenuhnya melanggar komitmen pemerintah Indonesia yang ingin melaksanakan Resolusi Konperensi Asia Afrika: menggalang persahabatan negara-negara Asia Afrika, dan
12
sekaligus mengkhianati harapan dan kepentingan seluruh Rakyat Indonesia.” Editorial lebih lanjut menandaskan: “Pandangan kedua akan berperan mendorong kemajuan masyarakat Indonesia dan kehidupan rakyat Indonesia ke tingkat lebih tinggi. Seandainya Negara bisa dengan bijaksana menggunakan modal dan pengalaman Tionghoa, membantu mereka
berkembang, Huakiao dan
modal-nya akan menguntungkan usaha pembangunan nasional dan berguna untuk kepentingan rakyat Indonesia.” Bersamaan dengan itu, editorial juga menyatakan “Pihak pedagang Huakiao harus menyadari pula bahwa mereka sedang menghadapi perubahan zaman, harus pandai menyesuaikan diri dengan perubahan ini dan tidak hanya merindukan masa lalu sambil menuntut lebih banyak demi kebaikan hari depannya. Mereka harus realistik dalam menuntut perlindungan, membantu pembangunan nasional rakyat Indonesia. Ini adalah jalan keluar bagi modal Huakiao.” Melalui Editorial-editorial Mingguan Chiao Hsing 1958 yang berkaitan dengan masalah peranakan Tionghoa, kita bisa mengenal dengan baik upaya Siauw Giok Tjhan dalam mempersatukan peranakan Tionghoa dengan Bangsa Indonesia dan konsepnya berintegrasi dengan bangsa. Pada tahun 50-60an telah berkibar tinggi panji nasionalis Indonesia, teryutama ketika perang dingin memanas.
Siauw yang berpandangan jauh dengan tepat
mendasarkan pandangannya atas sejarah dan menyodorkan visi politik jauh ke depan, visi yang berkaitan dengan keterlibatan Tionghoa dalam politik dan ekonomi Indonesia. Apa yang ia anjurkan memiliki dampak yang sangat berpengaruh. Layaklah ia menjadi seorang tokoh dan pemimpin yang menyadarkan komunitas Tionghoa Indonesia. Walaupun waktu sudah lewat sekian lama dan
lembaran sejarah sudah
membuka halaman baru, pemikiran Siauw Giok Tjhan tetap memperkuat integrasi Tionghoa Indonesia dalam bangsa Indonesia. Pikirannya masih tetap membimbing peng-integrasian Tionghoa dalam tubuh bangsa Indonesia. Dengan makalah singkat ini kita memperingati 100 Tahun Siauw Giok Tjhan!
13