eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2013, 1 (2) : 567 - 578 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2013
PERAN ASSOCIATION OF SOUTH EAST ASIAN NATIONS (ASEAN) DALAM MENANGANI PERDAGANGAN PEREMPUAN DI INDONESIA (2004 – 2008) NURACHMA RIZKA YUNIFTASARI 1 NIM. 06. 54009. 08284. 02 Abstract This research aim to know how the role of ASEAN to overcome trafficking in women in Indonesia from 2004 until 2008. This research is descriptive research wherein give the common pictures and explain about the role of ASEAN regarding to overcome trafficking in women especially in Indonesia. Presented data is secondary data which is collected from various books, magazines, articles, journals, summary lectures, websites and newspapers related to problems. Data analyse’s technique used is content analysis. Result of this research about role of the ASEAN to overcome trafficking in women is to motivate Indonesia to publish the law about againts criminal act trafficking in persons, to prevent and overcome trafficking in persons and protect trafficking victims as an adaptation from the signature of UN Convention Transnational Organized Crime and its protocol, Protocol to Prevent Suppress and Punish Trafficking in Person, Especially Women and Children Suplementing The United Nation Convention Again Transnational Organized Crime in 2000. Wherein this law answer about the recommendation of ASEAN workshop at 6th SOMTC in 2006 about determining the definition and parameter of trafficking in persons that point to Palermo protocol which can be used as regional standard to collecting data in national level. There is the obstacle are lack of the knowledge about trafficking in person as criminal act that still happen in Indonesia society and the mistrust of society to law intruments and agency in overcome trafficking in person especially women. Keyword : ASEAN, Trafficking in Women
1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email:
[email protected]
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2, 2013: 567 - 578
Pendahuluan Pasca ditetapkannya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Konvensi wanita; CEDAW), perdagangan manusia masih menjadi isu global yang mengemuka. Dalam perkembangannya, perdagangan manusia adalah bentuk modern perbudakan yang luas terjadi di seluruh dunia. Memperdagangkan manusia adalah industri kejahatan terbesar kedua di dunia setelah perdagangan obat terlarang dan merupakan yang tercepat pertumbuhannya (www.duniapelajar.org, diakses 3 Desember 2008). Dalam catatan Asian Development Bank, pada tahun 2003 sebanyak satu juta manusia telah diperdagangkan di seluruh dunia. Sebagian besar dari negara miskin dan berada pada tahap berkembang. Dalam aktivitas perdagangan manusia tersebut, perempuan juga telah menjadi bagian dari komoditas yang dieksploitasi. Dalam kondisi seperti ini, anak – anak bangsa menjadi kehilangan tokoh ibu yang bisa dijadikan panutan dan kebanggaan. Perdagangan perempuan ini juga terjadi di kawasan ASEAN. Berdasarkan data UNICEF, diperkirakan terdapat 40.000-70.000 anak menjadi korban eksploitasi seks dan sekitar 100.000 anak diperdagangkan setiap tahunnya di kawasan ASEAN. Bahkan, Indonesia tercatat sebagai negara pelaku perdagangan manusia ke luar negeri, lintas batas dan domestik. Negara anggota ASEAN yang menjadi tujuan utama perdagangan manusia dari Indonesia ini adalah Malaysia, Singapura, dan Brunai. Hal ini dipengaruhi oleh faktor geografis yang mempermudah pelaku perdagangan mengirimkan korban melintasi perbatasan antar negara – negara tersebut. (Louis Brown, 2005 : 76) Sebagai organisasi regional di Asia Tenggara, ASEAN memiliki posisi istimewa di mata Indonesia sebagai sarana pencapaian kepentingan nasional Indonesia di kawasan Asia Tenggara. Indonesia merupakan negara anggota yang aktif dalam mengimplementasikan kebijakan – kebijakan yang dikeluarkan ASEAN ke dalam kebijakan – kebijakan nasional Indonesia. Pemberantasan perdagangan manusia khususnya perempuan tidak dapat ditangani sendiri oleh Indonesia. Hal ini dikarenakan, perdagangan perempuan tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga hampir diseluruh negara. Pemerintah Indonesia membuat kebijakan dengan mengadakan kerjasama dengan berbagai negara khususnya di kawasan ASEAN melalui keikutsertaan negara Indonesia dalam berbagai konvensi – konvensi internasional yang membahas mengenai perdagangan manusia khususnya perdagangan perempuan.(www.sinarharapan.co.id, diakses 4 Maret 2009 Isu mengenai wanita mulai diangkat pada ASEAN Women Leaders Conference di Jakarta pada bulan Desember 1975. Pertemuan pertama ASEAN Standing Committee di Manila tahun 1975 membentuk ASEAN Sub-Committee on Women (ASW). Selanjutnya pada Pertemuan ke-20 ASW tahun 2001, ASW ditingkatkan statusnya menjadi ASEAN Committee on Women (ACW). Dari sisi perkembangan regional policy framework, terdapat tiga deklarasi penting ASEAN yang terkait dengan isu wanita dan telah disahkan, yakni (www.deplu.go.id, diakses 27 Desember 2008): 568
Peran ASEAN menangani perdagangan perempuan di Indonesia (Nurachma Rizka)
1. Declaration on the Advancement of Women in ASEAN, tahun 1988; 2. The Declaration on HIV and AIDS, tahun 2001; 3. The Declaration against Trafficking in Persons Particularly Women and Children, tahun 2004; dan 4. The Declaration on the Elimination of Violence against Women (DEVAW), tahun 2004. Sejauh ini, terdapat dua Work Plan yang telah disusun dan disahkan sebagai tindak lanjut dari deklarasi-deklarasi yang dihasilkan, antara lain: 1. Work Plan on Women’s Advancement and Gender Equality (2005-2010) sebagai tindak lanjut dari 1988 Declaration on the Advancement of Women in the ASEAN Region; dan 2. Work Plan to Operationalize the Declaration on the Elimination of Violence against Women in ASEAN sebagai tindak lanjut dari Declaration on the Elimination of Violence against Women (DEVAW) 2004. Selain itu, terdapat AIPO (ASEAN Inter-Parliamentary Organization) yang kemudian bertransformasi menjadi AIPA (ASEAN Inter-Parliamentary Assembly) yang menjadi wadah bagi negara – negara ASEAN untuk saling berbagi informasi dan menoptimalkan kerjasama terutama dalam penanggulangan perdagangan manusia di kawasan ASEAN. Pemerintah Indonesia sendiri sudah mengambil tindakan atas masalah perdagangan manusia yang ada di Indonesia, yaitu dengan menandatangani Protocol to Prevent Suppress and Punish Trafficking in Person, Especially Women and Children Suplementing The United Nation Convention Again Transnational Organized Crime (Protokol PBB untuk mencegah, menekan dan menghukum pelaku trafficking terhadap manusia khususnya perempuan dan anak) tahun 2000. Sikap pemerintah Indonesia untuk memerangi perdagangan manusia dipertegas kembali dalam Keputusan Presiden RI No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN). Masih terjadinya perdagangan manusia khususnya perempuan walaupun telah banyak usaha dan ketentuan yang ditempuh dan ditetapkan baik oleh pemerintah Indonesia maupun ASEAN sebagai organisasi regional inilah yang mendorong penulis untuk mengangkat judul Peran ASEAN dalam Menangani Perdagangan Perempuan di Indonesia. Kerangka Dasar Teori Konsep Organisasi Internasional Organisasi Internasional, akan lebih lengkap dan menyeluruh jika didefinisikan sebagai berikut : “Pola kerjasama yang melintasi batas – batas Negara dengan didasari struktur organisasi yang jelas dan lengkap serta diharapkan atau diproyeksikan untuk berlangsung serta melaksanakan fungsinya secara berkesinambungan dan melembaga guna mengusahakan tercapainya tujuan – tujuan yang diperlukan serta disepakati 569
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2, 2013: 567 - 578
bersama, baik antara pemerintah dengan pemerintah maupun antara sesama kelompok non-pemerintah pada Negara yang berbeda” (T.May Rudi, 2005 : 3). Penggolongan Organisasi Internasional Dari segi ruang lingkup, fungsi, kewenangan dan lain sebagainya, ada bermacam – macam penggolongan organisasi internasional. Secara terinci, penggolongan organisasi internasional ada bermacam – macam, tinjauan ini di dasarkan pada (T.May Rudi, 2005 : 5-9) : Kegiatan Administrasi 1. Organisasi Internasional Antar-pemerintah (Inter-Governmental Organization / IGO) : Anggotanya adalah pemerintah atau instansi yang mewakili pemerintah suatu negara secara resmi. 2. Organisasi Internasional non-pemerintah (Non-Governmentlk Organization / NGO): Terdiri dari kelompok – kelompok swasta di bidang keilmuan, keagamaan, kebudayaan, bantuan teknik atau ekonomi dan sebagainya. Ruang Lingkup (Wilayah) Kegiatan Dan Keanggotaan: 1. Organisasi Internasional Global : Wilayah kegiatannya adalah global dan keanggotaannya terbuka dalam ruang lingkup di berbagai penjuru dunia 2. Organisasi Internasional Regional : Wilayah kegiatannya adalah regional dan keanggotaannya hanya diberikan bagi negara – negara pada kawasan tertentu saja. Bidang Kegiatan (Operasional) Organisasi 1. Bidang Ekonomi 2. Bidang Lingkungan Hidup 3. Bidang Kesehatan 4. Bidang Pertambangan 5. Bidang Komoditi 6. Bidang Bea-Cukai Dan Perdagangan Internasional Tujuan dan Luas Bidang Kegiatan Organisasi 1. Organisasi Internasional Umum : Tujuan organisasi serta bidang kegiatannya bersifat luas dan umum bukan hanya menyangkut bidang tertentu. 2. Organisasi Internasional Khusus : Tujuan organisasi dan kegiatannya adalah khusus pada bidang tertentu. Ruang Lingkup (Wilayah) dan bidan kegiatan 1. Organisasi Internasional : Global – Umum 2. Organisasi Internasional : Global – Khusus 3. Organisasi Internasional : Regional – Umum 4. Organisasi Internasional : Regional – Umum
570
Peran ASEAN menangani perdagangan perempuan di Indonesia (Nurachma Rizka)
Menurut Taraf Kewenangan 1. Organisasi Supra-Nasional (Supra-National Organization) : Kedudukan dan kewenangan organisasi internasional berada di atas negara- negara anggota. 2. Organisasi Kerjasama (Co-Operative Organization) : Kedudukan dan kewenangan organisasi internasional tidaklah lebih tinggi dibanding negara – negara anggotanya. Organisasi adalah wadah kerjasama berdasarkan kesepakatan anggota. Bentuk dan pola kerjasama 1. Kerjasama pertahanan – keamanan (Collective Security) yang adakalanya disebut “Institutionalized Alliance” 2. Kerjasama Fungsional (Functional Co-operation). Organisasi yang didasarkan pada kerjasama fungsional ini, jumlahnya sangat banyak. Ada kerjasama fungsional di bidang ekonomi politik, sosial dan budaya; disamping pola kerjasama secara umum (mencakup berbagai bidang) Fungsi Organisasi 1. Organisasi Politikal (Political Organization), yaitu organisasi yang dalam kegiatannya menyangkut masalah – masalah politik dalam hubungan internasional. Mungkin saja, titik berat pola kerjasama adalah ekonomi dan sosial-budaya tetapi tidak dapat melepaskan sepenuhnya kaitan hal – hal lainnya itu terhadap masalah politik 2. Organisasi Administartif (Administration Organization), yaitu organisasi yang sepenuhnya hanya melaksanakan kegiatan teknik secara adminitratif. Misalnya : pengaturan lalu-lintas dan ketentuan mengenai pos, lalu-lintas dan ketentuan telekomunikasi (telepon SLI, telex, SKSD), ketentuan jalur pelayaran dan jalur penerbangan, pengaturan kuota serta tingkat harga minyak atau komoditi lainnya. 3. Organisasi Peradilan (Judical Organization), yaitu organisasi yang menyangkut penyelesaian sengketa pada berbagai bidang atau aspek (politik, ekonomi, hukum, sosial dan budaya) menurut prosedur hukum dan melalui proses peradilan (sesuai ketentuan internasional dan perjanjian – perjanjian internasional) Peran Organisasi Internasional Le Roy Bennet dalam bukunya International Orgnanization (1997 : 3) secara jelas mengemukakan mengenai peran dan fungsi organisasi internasional, akan tetapi terbatas hanya untuk organisasi internasional antar-pemerintah (IGOs/InterGovernmental Organizations). Dalam ulasan Le Roy Bennet memang tidak secara tegas membedakan antara peranan (role) dan fungsi (function). Namun dapat kita simpulkan bahwa fungsi organisasi internasional tidak mencakup pelaksanaan kedaulatan (soveregnty) dan kekuasaan (power) sebagaimana yang dimiliki oleh negara, melainkan hanya mencakup (T.May Rudi, 2005 : 28): 1. Sebagai sarana kerjasama antar-negara dalam bidang – bidang dimana kerjasama dapat memberi manfaat/keuntungan bagi sejumlah negara. 2. Sebagai tempat atau wadah untuk menghasilkan keputusan bersama. 3. Sebagai saranan atau mekanisme administratif dalam mengejewantahkan keputusan bersama menjadi tindakan nyata 571
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2, 2013: 567 - 578
4. Menyediakan berbagai saluran komunikasi antar-pemerintah sehingga penyelarasan lebih mudah tercapai Pakar Lainnya Clive Archer menyatakan bahwa peranan organisasi internasional (1983: 136-137) adalah sebagai berikut pada (T.May Rudi, 2005 : 29): 1. Instrumen (alat/sarana), yaitu untuk mencapai kesepakatan, menekan intensitas konflik (jika ada) dan menyelaraskan tindakan 2. Arena (forum/wadah), yaitu untuk berhimpun berkonsultasi dan memprakarsai pembuatan keputusan secara bersama – sama atau perumusan perjanjian – perjanjian internasional (convention, treaty, protocol, agreement dan lain sebagainya) 3. Pelaku (aktor), bahwa organisasi internasional juga merupakan aktor yang autonomus dan bertindak dalam kapasitasnya sendiri sebagai organisasi internasional dan bukan lagi sebagai pelaksanaan kepentingan anggota – anggotanya. Konsep Perdagangan Perempuan (Trafficking in Women) Perdagangan perempuan menurut Protocol to Prevent and Punish Trafficking in Person Especially Women and Children Suplemting The United Union Convention Againts Transnational Organized Crime tahun 2000 adalah (www.pemantauperadilan.com, diakses 27 Desember 2008): “Rekrutmen, transportasi, pemindahtanganan, penampungan atau penerimaan orang, dengan menggunakan cara – cara ancaman atau penggunaan kekerasan atau berbagai bentuk paksaan lainnya, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau penyalahgunaan posisi kerentanan atau pemberian atau penerimaan bayaran atau keuntungan lain guna mendapat persetujuan dari seseorang yang mempunyai kendali terhadap orang lain, untuk kepentingan eksploitasi. Eksploitasi mencakup, sedikitnya eksploitasi prostitusi atau bentuk – bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan atau praktek – praktek sejenisnya, perhambaan atau pengambil alihan organ – organ tubuh.” Persatuan Bangsa – Bangsa (PBB) mendefinisikan trafficking sebagai (Andy Yentriani, 2005 : 20) : Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk – bentuk paksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Diantara banyaknya kasus perdagangan perempuan yang terjadi, dengan terpenuhinya syarat bahwa perdagangan harus melibatkan unsur penipuan, kekerasan atau pemaksaan, maka seorang perempuan dapat diakui menjadi korban perdagangan. Bahkan jika ia menyetujui perekrutan atau pengiriman dirinya ke tempat bekerjanya pun, juga dapat dikatakan sebagai korban. Biasanya seseorang akan menyetujui perekrutan diri mereka, bahkan ingin sekali direkrut sebagai tenaga kerja ke luar negeri (buruh migran). Namun fakta yang terjadi di lapangan adalah calon tenaga kerja ini tidak mendapatkan informasi yang jelas dan benar mengenai kondisi kerja yang akan mereka hadapi di negara tujuan bekerja. Mereka mungkin akan dipaksa untuk menjadi pekerja seks, dipaksa untuk bekerja dengan pembayaran yang kecil 572
Peran ASEAN menangani perdagangan perempuan di Indonesia (Nurachma Rizka)
atau bahkan tidak digaji sama sekali, dipaksa untuk melakukan pekerjaan yang berbeda dari apa yang dijanjikan sebelumnya. Metode Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan tipe deskriptif, yaitu tipe penelitian yang mendeskripsikan satu atau lebih fenomena dengan beberapa pertimbangan, yang mana penulis memberikan gambaran dan menjelaskan mengenai peran Association of South East Asian Nation (ASEAN) dalam menangani perdagangan perempuan di Indonesia pada tahun 2004 - 2008. Data yang disajikan merupakan data sekunder yang diperoleh melalui telaah pustaka, yakni dengan mengumpulkan data-data yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dari literatur seperti buku, surat kabar, atau majalah dan situs-situs dari internet. Teknik analisis yang digunakan adalah content analysis, yaitu menganalisa data dari sumber – sumber tertulis dan data yang terkumpul akan dihubungkan demi mendukung permasalahan yang diteliti. Pembahasan Perdagangan perempuan merupakan fenomena regional dan global yang selalu dapat ditangani secara efektif pada tingkat nasional. Sebuah respon nasional sering berakibat para pelaku perdagangan berpindah operasi ke tempat lain. Kerjasama internasional baik multilateral maupun bilateral sangat berperan penting dalam memberantas perdagangan perempuan. Kerja sama seperti ini dapat mengupas secara kritis antara negara yang terlibat pada tahap – tahap yang berbeda dalam lingkaran perdagangan perempuan. Dalam buku Kerjasama ASEAN dalam Menanggulangi Kejahatan Lintas Negara dijelaskan bahwa asumsi dasar dari kejahatan lintas Negara adalah jelas (Abdurrachman Mattalitti, dkk, 2001 : 1) : Pertama, merupakan gejala global yang tidak dapat diselesaikan oleh satu Negara saja, melainkan harus melalui kerjasama internasional. Kedua, kejahatan ini tumbuh dan berkembang seirama dengan kemajuan teknologi informasi dan transportasi internasional. Ketiga,kejahatan tersebut disebabkan oleh kondisi sosial, politik, ekonomi, pertahanan, keamanan, dan teknologi yang berkembang pesat di berbagai Negara juga kebijakan dalam dan luar negeri suatu Negara yang menjadi sasaran dari kejahatan ini. Keempat, kejahatan lintas Negara tidak memandang ideologi, suku bangsa ataupun agama dari para pelaku kejahatan ini. Kelima, dapat dilakukan oleh individu, kelompok, atau bahkan Negara, baik sebagai sponsor maupun pelakunya; keenam, tidak selalu didasari oleh motif politik semata, tetapi juga motif-motif ekonomi atau bahkan tak ada motif yang jelas. Dengan demikian, tindak pidana perdagangan manusia terutama perempuan merupakan kejahatan transnasional sehingga tidak dapat ditanggulangi secara parsial atau secara sendiri – sendiri oleh masing – masing negara. Negara – negara yang tidak menyetujui perbudakan dan melindungi warga negaranya harus bersatu padu bekerja sama menanggulangi dan mencegah terjadinya perdagangan perempuan. Kerjasama antar pemerintah (government to government), antar-LSM, antar organisasi 573
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2, 2013: 567 - 578
masyarakat dan perorangan dalam dan luar negeri harus dibina dan dikembangkan, sehingga terbentuk kekuatan yang dapat menanggulangi dan memberantas serta mencegah tindak pidana perdagangan perempuan yang terorganisir tersebut. Dari pendefinisian dapat diperoleh gambaran mengenai kejahatan transnasional. Sementara dari ASEAN sendiri, dalam pertemuan di Yangon, Myanmar pada bulan Juni 1999, telah ditetapkan Rencana Aksi ASEAN untuk memerangi kejahatan lintas Negara (ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crimes) dimana rencana aksi tersebut memproritaskan enam bidang kerjasama dalam kejahatan transnasional, salah satunya adalah perdagangan perempuan. ASEAN Senior Official Meeting on Transnational Crime. ASEAN Senior Official Meeting on Transnational Crime (SOMTC) merupakan forum kerjasama negaranegara ASEAN dalam memberantas kejahatan transnasional. Pertemuan SOMTC diselenggarakan setiap tahun secara bergiliran di tiap-tiap negara anggota ASEAN. Hasil dari pertemuan SOMTC selanjutnya akan dibawa ke pertemuan tingkat Menteri (ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime-AMMTC) untuk dibahas lebih lanjut dan disahkan. Dalam pertemuan AMMTC ke-2 di Kuala Lumpur, Malaysia telah disepakati delapan jenis kejahatan transnasional yang dianggap berdampak serius di kawasan Asia Tenggara dan memerlukan perhatian serta kerjasama yang serius dari negara-negara anggota ASEAN. Kedelapan jenis kejahatan transnasional tersebut yaitu : 1. Illicit Drug Trafficking, 2. Trafficking in Persons Especially Women and Children, 3. Sea Piracy and Armed Robbery at Sea, 4. Arms Smuggling, 5. Terrorism, 6. Money Laundering, 7. International Economic Crime, dan 8. Cyber Crime Seiring dengan perkembangan kedelapan kejahatan transnasional tersebut, pertemuan SOMTC ke-5 di Kamboja 2005 menyepakati dari 8 issue kejahatan transnasional, empat jenis kejahatan yang menjadi prioritas yaitu terrorisme, perdagangan gelap narkotika, perdagangan manusia, dan pencucian uang. Pertemuan SOMTC ke-6 kali ini dirangkaikan dengan pertemuan SOMTC+1 yaitu +China, +Jepang, + Korea Selatan dan +Australia serta SOMTC+3 yaitu +China, Jepang dan Korea Selatan. Sebelum acara SOMTC dimulai terlebih dahulu diselenggarakan kegiatan Workshop dan Working Group pada tanggal 5-6 Juni 2006 yaitu :
1.Workshop tentang Pengumpulan Data & Statistik perdagangan manusia dan sebelum penutupan SOMTC ke-6 diselenggarakan peluncuran buku yang terkait dengan data perdagangan manusia 2.Working Group tentang Counter Terrorime. 3.Working Group tentang Perdagangan Manusia. 574
Peran ASEAN menangani perdagangan perempuan di Indonesia (Nurachma Rizka)
4.Working group tentang Finalisasi Program Kerja SOMTC+3 5.Workshop tentang Pengumpulan Data & Statistik perdagangan manusia Pra SOMTC diawali dengan Workshop tentang Pengumpulan Data & Statistik perdagangan manusia pada tanggal 5 Juni 2006. Workshop dibuka oleh Kabareskrim Polri selaku ketua SOMTC Indonesia. Rekomendasi yang dihasilkan dalam workshop ini yaitu : 1. Negara tujuan menginformasikan segera kepada Kedutaan atau Konsulat negara asal/pengirim guna melakukan tindakan terhadap adanya dugaan kekerasan, pelaku dan para korban sesuai mekanisme internasional. 2. Melaksanakan pelatihan bagi para aparat penegak hukum, polisi, jaksa dan hakim untuk lmeningkatkan sensitivitas terhadap isu pelanggaran terhadap wanita dan anakanak. 3. Mengkriminalisasikan segala bentuk eksploitasi seksual termasuk perdagangan manusia sesuai Deklarasi ASEAN mengenai Perlawanan terhadap Perdagangan Manusia khususnya terhadap Wanita dan Anak-anak serta Konvensi PBB termasuk Protokolnya mengenai Perlawanan terhadap Kejahatan Terorganisir. 4. Memberikan perlindungan terhadap para saksi dan korban perdagangan manusia melalui langkah-langkah yang efektif guna memfasilitasi proses repatriasi, rehabilitasi, akses ke tempat-tempat penampungan, bantuan hukum dan kesehatan, psikologi, sosial dan ekonomi, serta kemungkinan mendapatkan kompensasi atas kerugian yang diderita. 5. Memfasiliatasi kerjasama pertukaran informasi dan intelijen, Bantuan Hukum Timbal Balik dibidang Kejahatan, pengembangan legislasi, bantuan investigasi dan melakukan penandatangan kesepakatan-kesepakatan bilateral dan multilateral yang sesuai dengan UU nasional masing-masing. 6. Menetapkan definisi dan parameter “perdagangan manusia” dengan mengacu pada Protokol Palermo yang dapat digunakan sebagai Standard Regional guna pengumpulan data pada level nasional. 7. Melakukan kerjasama dengan proses regional lainnya seperti Bali Process, Konsultasi Antar Pemerintah Asia Pasifik (APC) mengenai pengungsi, migrant and orang terlantar, Budapest Process, dan Coordinated Mekong Ministerial Initiatives against Trafficking (COMMIT), guna meningkatkan upaya-upaya ASEAN dalam memberantas perdagangan manusia. 8. Membentuk suatu mekanisme pengumpulan data secara kualitataif maupun kuantitatif guna mencegah perdagangan manusia khususnya wanita dan anak-anak serta mencegah mereka menjadi korban lagi. 9. Meningkatkan koordinasi dan kerjasama pengumpulan data di tingkat daerah dengan membentuk focal point pengumpulan data tentang perdagangan manusia. 575
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2, 2013: 567 - 578
focal point ini juga berfungsi sebagai penghubung dalam proyek-proyek yang berkaitan dengan perdagangan dalam rangka meningkatkan pengumpulan data. 10. Mengembangkan format data pengumpulan atau pola yang berisi informasi sesuai dengan kebutuhan operasional ASEAN dalam rangka memerangi perdagangan manusia. 11. Meningkatkan kerjasama yang lebih praktis dan berkelanjutan dengan mitra ASEAN dialog, seperti Training of Trainers (TOT), pembangunan kamp relokasi, penyediaan bantuan teknis, kerjasama intelejen, pembentukan hotline, mengidentifikasi akar penyebab dan merumuskan rencana aksi. 12. Membuat kerjasama dengan Badan ASEAN terkait lainnya dalam rangka merumuskan rencana kerja untuk melaksanakan Deklarasi ASEAN tentang Perdagangan manusia, terutama Perempuan dan Anak. Berdasarkan rekomendasi tersebut yang juga merupakan adaptasi dari penandatanganan UN Convention Transantional Organized Crime beserta protokolnya Protocol to Prevent Suppress and Punish Trafficking in Person, Especially Women and Children Suplementing The United Nation Convention Again Transnational Organized Crime (Protokol PBB untuk mencegah, menekan dan menghukum pelaku trafficking terhadap manusia khususnya perempuan dan anak) tahun 2000. Lahir Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana perdagangan orang dan melindungi korban perdagangan (www.interpol.go.id, diakses 8 Mei 2012). Undang – Undang ini mengatur berbagai ketentuan yang dapat mengantisipasi dan menjaring semua jenis tindak pidana perdagangan manusia khususnya perempuan, mulai dari proses dan cara, sampai kepada tujuan dalam semua bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi dalam perdagangan perempuan, baik yang dilakukan antar wilayah yang dalam negeri maupun antar negara dan baik dilakukan perorangan,kelompok maupun korporasi. Undang – undang ini juga mengatur perlindungan saksi dan korban sebagai aspek penting dalam penegakan hukum untuk memberikan perlindungan kepada korban dan/atau saksi. Selain itu, undang – undang ini memberikan perhatian terhadap penderitaan koban akibat tindak pidana perdagangan manusia khususnya perempuan dalam bentuk hak restitusi yang harus diberikan pelaku tindak perdagangan sebagai ganti kerugian bagi korban dan mengatur hak korban atas rehabilitasi medis, psikologis dan sosial, pemulangan serta integrasi yang wajib dilakukan oleh negara, khususnya bagi mereka yang mengalami penderitaan fisik, psikis, dan sosial akibat tindak perdagangan. Undang – Undang ini juga mengatur ketentuan tentang pencegahan dan penanganan korban tindak pidana perdagangan sebagai tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat dan keluarga. Juga mengatur pembentukan gugus tugas untuk mewujudkan langkah – langkah yang terpadu dalam pelaksanaan pencegahan dan penanganan perdagangan manusia. 576
Peran ASEAN menangani perdagangan perempuan di Indonesia (Nurachma Rizka)
Untuk kerjasama internasional diatur juga dalam Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam bentuk perjanjian hukum timbal balik dalam pidana dan/atau kerja sama teknis lainnya. Hal ini karena sifat dari tindak pidana perdagangan manusia merupakan tindak pidana yang tidak hanya terjadi dalam satu wilayah negara, tetapi juga antar negara. ASEAN juga melakukan kerjasama dengan Organisasi internasional lainnya, LSM – LSM, aparat kepolisian, dan aparat daerah dalam hal pencarian data jumlah perempuan yang menjadi korban perdagangan manusia. Untuk memerangi perdagangan perempuan di Indonesia, Kesimpulan Peran ASEAN dalam menanggulangi masalah perdagangan perempuan di Indonesia adalah sebagai fasilitator dengan mendorong Indonesia untuk mengeluarkan Undang – Undang mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan menfasilitasi Indonesia untuk menjalin kerjasama dengan negara lain dalam kerangka ASEAN, serta bekerja sama dengan pihak – pihak lain untuk melakukan pengumpulan data jumlah korban perdagangan perempuan. Namun demikian, peran ASEAN di Indonesia masih terbatas hanya dalam tatanan pembentukan kebijakan atau undang – undang. Belum ada tindakan langsung yang menggambarkan peran ASEAN secara teknis di Indonesia. Hal ini yang mengakibatkan peran ASEAN menjadi kurang efektif dan tidak menunjukkan hasil seperti yang diharapkan karena pada kenyataannya jumlah korban perdagangan perempuan masih meningkat. Akan tetapi, di satu sisi ASEAN cukup membantu Indonesia melalui kerjasama – kerjasama yang dilakukan Indonesia dengan negara – negara lain dalam kerangka ASEAN Saran Berkaitan dengan peran ASEAN dalam menangani perdagangan perempuan di Indonesia, maka ada beberapa saran yang penulis anggap perlu untuk di ajukan, yaitu: 1. ASEAN sebagai organisasi internasional dalam kawasan Asia Tenggara harus menetapkan badan – badan khusus yang berfokus pada kesejahteraan dan perlindungan bagi perempuan seperti yang dimiliki oleh organisasi lain seperti PBB. Hal ini akan lebih mempermudah fokus pemberantasan perdagangan perempuan di wilayah negara – negara anggotanya. 2. Pemerintah Indonesia harus lebih bekerja keras dalam upaya mengeliminir kasus – kasus perdagangan manusia khususnya perempuan dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat bahwa kegiatan trafficking merupakan salah satu bentuk kejahatan dan pelanggaran hak asasi manusia 3. Penetapan hukuman harus lebih memberi efek jera kepada pelaku dan memberi perlindungan terhadap korban tindak perdagangan 4. Pemerintah juga harus lebih memperhatikan program – program penghapusan kemiskinan di Indonesia karena apabila faktor – faktor penyebab perdagangan perempuan dapat di minimalkan, maka tindak kejahatan dapat dicegah pula. 577
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2, 2013: 567 - 578
Daftar Pustaka ACILS-ICMC, 2005. Panduan Untuk Pendamping Korban Perdagangan Manusia Dalam Proses Hukum Di Indonesia. ICMC & ACILS. Indonesia Brown, Louise, 2005. Sex Slaves: Sindikat Perdagangan Perempuan di Asia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Rudy, T. May, 2005. Administrasi dan Organisasi Internasional. Bandung : PT Refika Aditama. Yentriyani, Andy, 2005. Politik Perdagangan Perempuan. Yogyakarta : Galang Press. Jurnal : Mattalitti, Abdurrachman dkk, 2001. Kerjasama ASEAN Dalam Menanggulangi Kejahatan Lintas Negara. Jakarta : Direktoral Jenderal Kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri Republik Indonesia. Sumber lain : ASEAN Selayang Pandang. Diakses dari http://www.deplu.go.id/pdf. Tanggal 27 Desember 2008 Indonesia Peringkat ketiga perdagangan perempuan dan anak – anak. Diakses dari http://www.sinarharapan.co.id/berita/0303/26/nas09.html. Tanggal 4 maret 2009 Kesepakatan Bersama (SOMTC) Ke-6 di Denpasar - Bali. Diakses dari http://www.interpol.go.id/id/uu-dan-hukum/kesepakatan-bersama/221kesepakatan-bersama-somtc-ke-6-di-denpasar-bali. Tanggal 29 Agustus 2010. Perdagangan (trafficking) Perempuan dan Anak, Suatu Permasalahan. Diakses dari http://www.pemantauperradilan.com/opini.pdf. Tanggal 27 Desember 2008
578