1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sejak terbentuknya Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) pada tahun 1967 sebagai organisasi regional di wilayah Asia Tenggara, kerjasama ekonomi telah menjadi salah satu agenda utama negara-negara anggota ASEAN. Pada awalnya kerjasama ekonomi difokuskan pada program-program pemberian preferensi perdagangan (preferential trade), usaha patungan (joint ventures), dan skema saling melengkapi (complementation scheme) antar pemerintah negara-negara anggota maupun pihak swasta di kawasan ASEAN, seperti ASEAN Industrial Projects Plan (1976),
Preferential
Trading
Arrangement
(1977),
ASEAN
Industrial
Complementation scheme (1981), ASEAN Industrial Joint-Ventures scheme (1983), dan Enhanced Preferential Trading arrangement (1987). Sekitar tahun 80-an dan 90an, ketika negara-negara di berbagai belahan dunia mulai melakukan upaya-upaya untuk menghilangkan hambatan-hambatan ekonomi, negara-negara anggota ASEAN menyadari bahwa cara terbaik untuk bekerjasama adalah dengan saling membuka perekonomian mereka, guna menciptakan integrasi ekonomi kawasan. Akhirnya pada Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-5 ASEAN di Singapura tahun 1992 ditandatangani Framework Agreement on Enhancing ASEAN Economic
2
Cooperation sekaligus menandai dicanangkannya ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada tanggal 1 Januari 1993 dengan Common Effective Preferential Tariff (CEPT) sebagai mekanisme utama. Pendirian AFTA memberikan impikasi dalam bentuk pengurangan dan eliminasi tarif, penghapusan hambatan-hambatan non-tarif, dan perbaikan
terhadap
kebijakan-kebijakan
fasilitasi
perdagangan.
Dalam
perkembangannya, AFTA tidak hanya difokuskan pada liberalisasi perdagangan barang, tetapi juga perdagangan jasa dan investasi.1 Sejalan dengan makin pesatnya dinamika hubungan antar-bangsa di berbagai kawasan, pada pertemuan informal para Kepala Negara ASEAN di Kuala Lumpur tanggal 15 Desember 1997 disepakati ASEAN Vision 2020 yang kemudian ditindaklanjuti dengan pertemuan di Hanoi yang menghasilkan Hanoi Plan of Action (HPA). Visi 2020 termasuk HPA berisi antara lain: kondisi yang ingin diwujudkan di beberapa bidang, seperti orientasi ke luar, hidup berdampingan secara damai dan menciptakan perdamian internasional. Beberapa agenda kegiatan yang akan dilaksanakan untuk merealisasikan Visi 2020 adalah dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, ekonomi, lingkungan hidup, sosial, teknologi, hak cipta intelektual, keamanan dan perdamaian, serta turisme melalui serangkaian aksi bersama dalam bentuk hubungan kerjasama yang baik dan saling menguntungkan di antara negara-negara anggota ASEAN.
1
Dian Triansyah Djani, MA, ASEAN Selayang Pandang, Direktur Jenderal Kerjasama ASEAN, Jakarta, 2008, h.32.
3
Selanjutnya pada KTT ASEAN ke 9 di Bali pada tahun 2003 dihasilkan Bali Concord II, yang menyepakati pembentukan ASEAN Community untuk mempererat integrasi ASEAN. Terdapat tiga komunitas dalam ASEAN Community yang disesuaikan dengan tiga pilar di dalam ASEAN Vision 2020, yaitu pada bidang keamanan politik (ASEAN Political-Security Community), ekonomi (Masyarakat Ekonomi ASEAN), dan sosial budaya (ASEAN Socio-Culture Community). Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) adalah tujuan akhir integrasi ekonomi seperti yang dicanangkan dalam ASEAN Vision 2020, adalah "To create a stable, prosperous and highly competitive ASEAN economic region which there is free flow of goods, services, investment, skill labor and freer flow of capital, equitable economic development and reduced poverty and socio-economic disparities in year 2020” KTT ke-10 ASEAN di Vientiene tahun 2004 antara lain menyepakati Vientiane Action Program (VAP) yang merupakan panduan untuk mendukung implementasi pencapaian AEC di tahun 2020. ASEAN Economic Ministers Meeting (AEM) di Kuala Lumpur bulan Agustus 2006 menyetujui untuk membuat suatu cetak biru (blueprint) untuk menindaklanjuti pembentukan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dengan mengindentifikasi sifat-sifat dan elemen-elemen AEC pada tahun 2015 yang konsisten dengan Bali Concord II dan dengan target-target dan timelines yang jelas serta preagreed flexibility untuk mengakomodir kepentingan negara-negara anggota ASEAN. KTT ke-12 ASEAN di Cebu bulan Januari 2007 telah menyepakati ”Declaration on the Acceleration of the Establishment of an ASEAN Community by
4
Dalam
2015”.
konteks
tersebut,
para
Menteri
Ekonomi
ASEAN
telah
menginstruksikan Sekretariat ASEAN untuk menyusun” Cetak Biru AEC”. Cetak Biru AEC tersebut berisi rencana kerja strategis dalam jangka pendek, menengah dan panjang hingga tahun 2015 menuju terbentuknya integrasi ekonomi ASEAN, yaitu2 : 1. Menuju single market dan production base (arus perdagangan bebas untuk sektor barang, jasa, investasi, pekerja terampil, dan modal); 2. Menuju penciptaaan kawasan regional ekonomi yang berdaya saing tinggi (regional competition policy, IPRs action plan, infrastructure development, ICT, energy cooperation, taxation, dan pengembangan UKM); 3. Menuju suatu kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata (region of equitable economic development) melalui pengembangan UKM dan program-program Initiative for ASEAN Integration (IAI); dan 4. Menuju integrasi penuh pada ekonomi global (pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi eksternal serta mendorong keikutsertaan dalam global supply network). Berlakunya MEA 2015, berarti negara-negara ASEAN menyepakati perwujudan integrasi ekonomi kawasan yang penerapannya mengacu pada AEC Blueprint. AEC Blueprint merupakan pedoman bagi negara-negara Anggota ASEAN
2
Ibid., h. 33.
5
dalam mewujudkan AEC 2015.3 Dengan 12 sektor prioritas, yakni: produk-produk berbasis pertanian, otomotif, elektronik, perikanan, poduk berbasis karet, tekstil dan pakaian, produk berbasis kayu, perjalanan udara, e-ASEAN, kesehatan, pariwisata, dan logistik dengan kebijakan yang jelas dan transparan dengan kesepakatan standar internasional negara ASEAN yaitu ASEAN Agreed Version Standards (AAS), sebagai dasar penyamaan standar produk untuk ke-12 sektor prioritas tersebut. Mengenai penyamaan standar sebenarnya sudah dibahas sebelumnya dalam Mutual Recognition Arrangement (MRA) pada tahun 1998 dalam Asean Framework Agreement on Mutual Recognition Arrangement, yaitu suatu kesepakatan pengakuan terhadap produk-produk tertentu untuk memudahkan proses ekspor impor sehingga tidak memerlukan proses pengujian kembali karena memang sudah memakai standar yang sama. Terbentuknya MRA dilatarbelakangi oleh terhambatnya ekspor suatu komoditi ke suatu negara akibat peraturan teknis/standar yang diberlakukan oleh negara importir, sehingga untuk menjembatani kegiatan ekspor/impor agar tidak menghadapi hambatan baik berupa tingginya biaya yang ditimbulkan dan keterlambatan sampainya barang di tangan konsumen sebagai akibat adanya pemeriksaan di pelabuhan tujuan, maka ditempuhlah penyamaan standar dengan MRA. Namun pada kenyataanya belum siapnya negara negara ASEAN dalam penyeragaman standar karena perbedaan standar di setiap negara menyebabkan Humphrey Wangke, 2014, Info Singkat Hubungan Internasional “Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, h. 6. 3
6
kesulitan dalam penyeragaman standar. Misalnya saja Indonesia dengan kesiapan harmonisasi Standar Nasional Indonesia (SNI) terhadap ASEAN Agreed Version Standards (AAS); dengan kategori SNI telah tersedia, memiliki acuan yang sama dengan AAS dan dengan metode adopsi identik atau modifikasi hanya diperoleh 39% dari total 228 AAS. Dengan perincian kesipan SNI per sektor, adalah: peralatan elektrik dan elektronik (EEE) diperoleh 42,8%, produk berbahan dasar kayu (Wood Based Product) diperoleh 62% produk berbahan dasar karet (Rubber Based Product) diperoleh 38%, dan peralatan kesehatan (Medical Device) diperoleh 3%. Ketiga negara pembanding di ASEAN (Singapore, Loao PDR dan Myanmar) juga menunjukan kesiapan standar nasional yang rendah namun memiliki kebijakan untuk mengadopsi AAS4. Dampak buruk yang dapat terjadi dari penerapan standar yang kurang adalah pasar yang tertutup bagi perusahaan-perusaahaan yang belum mampu mencapai standar yang sudah ditetapkan sehingga pasar tertutup bagi produsen-produsen yang belum mampu memenuhi standar pasar tersebut. Dalam hal ini terdapat kemungkinan terjadinya praktik monopoli yang disebabkan oleh penerapan standar, sementara di sisi lain para produsen terutama Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dari negaranegara berkembang di kawasan ASEAN belum mampu memenuhi standar dimaksud. Oleh karena itu, maka dirasakan perlu untuk dilakukan suatu penelitian mengenai permasalahan tersebut di atas. Adapun bentuk penelitian tersebut dituangkan dalam
4
Bendjamin Benny Louenapessy, Kesiapan Sni Produk Prioritas Mengadapi Mea, Website Resmi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat, 09 April 2015, URL: ttp://disperindag.jabarprov.go.id/news/detail/eksternal/2015/04/09:02:21508c75c8507a2ae5223dfd2fae b98122 (diakses 20 Oktober 2015)
7
bentuk skripsi berjudul: “KAJIAN PENGATURAN TERHADAP STANDAR PRODUK PRIORITAS USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN KAITANYA DENGAN PRAKTIK MONOPOLI “ 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat ditemukan beberapa masalah yang akan diteliti lebih lanjut yaitu sebagai berikut: 1. Bagaimanakah harmonisasi pengaturan standar produk menurut Hukum Nasional maupun Internasional? 2. Bagaimanakah pengaturan standar produk prioritas usaha kecil mikro dan menengah dalam masyarakat ekonomi asean yang dapat mencegah praktik monopoli? 1.3 Ruang Lingkup Masalah Dalam usulan penelitian ini penulis menentukan ruang lingkup masalah yang ingin dipecahkan adalah bagaimana Bagaimana penerapan standar produk dalam masyarakat ekonomi asean dapat menyebabkan praktik monopoli. 1.4 Orisinalitas Penelitian Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan penulis, belum ditemukan tulisan yang mirip dengan penelitian penulis. Ada beberapa tulisan mengenai
8
persaingan usaha dalam ruang lingkup ASEAN namun penulis belum menemukan tulisan yang membahas tentang praktik monopoli dalam ruang lingkup MEA. Namun dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiarisme dalam dunia pendidikan Indonesia maka penulis akan menampilkan tulisan tersebut yaitu “Kajian Yuridis Terhadap Kedudukan Advokat Asing di Indonesia dengan Keberadaan Masyarakat Ekonomi ASEAN.” Oleh mahasiswa Fakultas hukum Universitas Sumatra Utara. Bila kedepanya ditemukan penelitian yang mirip dengan penelitian penulis maka akan ditampilkan sebagai pembanding. Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa penelitian yang dilakukan penulis terjamin orisinalitasnya, dikarenakan memang belum ditemukan tulisan lain yang mirip dengan tulisan penulis. 1.5 Tujuan Penelitian Dalam menentukan tujuan penelitian yang hendak dicapai oleh peneliti, maka berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah, dan ruang lingkup masalah, serta untuk mendapatkan data-data dan informasi atau keterangan-keterangan, maka peneliti mempunyai tujuan sebagai berikut yaitu : a.
Tujuan Umum 1. Untuk menganalisis pembentukan suatu standar produk dalam perdagangan internasional.
9
2. Untuk menganalisis bagaimana standar produk dalam hukum internasional yang dapat menyebabkan praktik monopoli. b. Tujuan Khusus 1. Untuk lebih mengetahui dan memahami harmonisasi pengaturan dalam standar produk dalam Hukum Nasional maupun Hukum Internasional serta prinsip-prinsip atau asas-asas Hukum Nasional maupun Internasional yang berkaitan dengan penerapan standar produk. 2. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan standar produk dalam masyarakat ekonomi ASEAN yang dapat mencegah praktik monopoli?
1.6 Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Dengan dilakukannya penelitian ini maka diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah dan memperkaya Ilmu Pengetahuan Hukum. Ilmu Pengetahuan Hukum yang dimaksud adalah Hukum Internasional maupun Hukum Bisnis Internasional mengenai konsekuensi penerpaan standar produk terkait praktik monopoli . b. Manfaat Praktis Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan hasil penelitian ini dapat memberi manfaat dan sumbangan pemikiran bagi pihak yang mendalami bidang Hukum Internasional maupun Hukum Bisnis Internasional dan pihak yang terlibat dalam perdagangan internasional. Sehingga dapat tewujud pasar ekonomi ASEAN
10
yang baik demi kepentingan tercapainya tujuan dari Masyarakat Ekonomi Asean itu sendiri. 1.7 Landasan Teoritis a. Dasar Perlindungan Usaha dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; Undang-undang anti monopoli harus dapat mendukung terwujudnya struktur ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan: Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan,5 dan dalam ayat (4): Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Ciri khas dari demokrasi ekonomi itu sendiri adalah perekonomian yang diwujudkan oleh semua anggota masyarakat dan harus mengabdi pada kesejahtraan seluruh rakyat. Negara dalam hal ini harus menciptakan suatu peraturan persaingan usaha untuk mencapai suatu demokrasi ekonomi sesuai pasal 33 ayat (1) dan (4) UUD 1945, yang dalam hal ini telah terwujud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
5
Suyud Margono, 2009, “Hukum Anti Monopoli”, Jakarta, Sinar Grafika, h.27.
11
Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dimaksudkan untuk menegakkan aturan hukum dan memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha di dalam upaya untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat. Undang-undang ini memberikan jaminan kepastian hukum untuk lebih mendorong percepatan pembangunan ekonomi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umum, serta sebagai implementasi dari semangat dan jiwa Undang-Undang Dasar 1945.
b. Teori Kebebasan Berdagang Berdasarkan teori ini setiap negara memiliki kebebasan untuk berdagang dengan setiap orang atau setiap negara di mana pun di dunia ini. Kebebasan ini tidak boleh terhalang dengan alsan sistem ekonomi negara, ideologi ataupun politik yang berbeda dengan negara lainnya. Menurut Schwarzenberger, kebebasan berdagang ini sudah tampak sejak daulu, misalnya di Inggris, ketika negara tersebut mengeluarkan Magna Charta (1215). Pada saat itu Raja Inggris (King John) mengeluarkan Magna Charta untuk memberi kebebasan berdagang kepada pedagang asing (termasuk bangsawan dan para pemimpin agama). Magna Charta juga memberi jaminan peradilan yang adil apabila mereka
12
dihadapkan ke pengadilan.6 Sejak Abad ke -12 dan sterusnya, penerapan prinsip ini masih berkembang. Perkembangan penting tampak ketika pemerintah Inggris mengirimkan surat resmi (British State Paper) kepada pemerintah Spanyol pada tanggal 8 Maret 1872. Surat tersebut berisi penegasan pemerintah Inggris untuk memberikan kebebasan kepada semua orang asing untuk tinggal di Inggris. Surat tersebut juga memuat jaminan perlakuan hukum yang sama kepada orang asing seperti halnya warga negara Inggris. Pernyataan tersebut antara lain berbunyi : “ By the exsisting law of Great Britain all forigners have the unstestritired right of entrance the residence in this country and, ehile they remain in it, are, equally with British subjects, under the protection of law, and under the sentence of the ordinary Tribunal of Justice, after a public trial, and on a conviction founded on evidence given in open court. No foreigners, as such, can be sent out of this country by the executive government, except persons removed by virtue of treaties with other states, confirmed by Act of Parialment, for the mutual surrender of criminal offender”.7 Pernyataann Pemerintah Inggris tersebut mengandung 4 prinsip penting yaitu : 1.
Semua warga negara asing memiliki hak tak terbatas untuk masuk dan tinggal di wilayah Inggris.
2.
Pemerintah Inggris akan memperlakukan dan melindungi warga negara asing sebagaimana warga negaranya.
6
Geroge W. Keeton dan Georg Scwarzenberger, 1967, A Manual of International Law, London, Steven and Sons, h.109. 7 Ibid, h.133.
13
3.
Warga negara asing tidak akan dihukum kecuali mereka melangga rhukum yang diputus oleh Pengadilan melalui proses peradilan yang adil dan terbuka.
4.
Pemerintah Inggris tidak akan mengusir orang asing kecuali berdasarkan perjanjian (ekstradisi) dengan negara lain sehubungan dengan tindakan kejahatan yang dilakukanya. c. Teori Perlakuan Sama (Identical Treatment) Teori ini pun sudah ada sejak dahulu kala. Berdasarkan teori ini dua raja sepakat
untuk secara timbal balik memberikan perlakuan yang sama terhadap para pedangang. Menurut Schawarzenberger, prinsip ini tampak dalam hukum kekebalan diplomatik yang juga menganut prinsip timbal balik. Dalam hal ini pemberian perlakuan yang sama yang sifatnya timbal balik berada sepenuhnya kepada wewenang atau kebijaksanaan para penguasa kedua negara.8 Dewasa ini prinsip dasar ini lebih dikenal dengan resiproritas (reciprocity). Perlakuan yang sama demikian biasanya tertuang dalam suatu perjanjian, baik yang sifatnya multilateral maupun bilateral. Oliver Long menganggap resiprositas sebagai suatu prinsip fundamental dalam perjanjian General Agreement on Tariffs and Trade (GATT).9 Prinsip resiprositas ada dalam paragraf ke-3, Preambule GATT, yag berbunyi : “being desirous of contributing to those objectives by entering into reciprocal and mutually advantageous arrangement directed to the substantial
8
Ibid, h.219. Oliver Long, 1978, Law and Its Limitation in te GATT Multilateral Trade System, Dordrecht, Martinus Nijoff Publiser, h.10. 9
14
reduction of tariffs and other barriers to trade and to the elimination of discriminatory treatment in international commerce”.10 1.8 Metode Penelitian a. Jenis Penelitian Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah pemecahan masalah yang didasarkan pada literature-literatur dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas beranjak dari adanya kesenjangan dalam notma atau asas hukum, dengan menggunakan landasan teoritis dan bahan hukum yang terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan tersier. Landasan teoritis yang digunakan merupakan undang-undang, norma-norma maupun teori-teori teori yang sesuai dengan pernasalahan yang diangkat. Penelitian hukum normatif yang terdiri dari penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, dan taraf sinkronisasi hukum.11 Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode normatif karena pene litian ini mempelajari bahan-bahan hukum sebagai acuan dalam penelitian. Peraturan perundang-undangan, dikaji berdasarkan teori-teori dan ketentuan hukum yang mengaturnya.
10
Huala Adolf, 2005, Hukum Ekonomi Internasioan Suatu Pengantar, Raja Grafindo, Jakarta,
11
Bambang Sunggono, 2009, Metodologi Penelitian Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta. h.
h. 19. 41.
15
Penelitian hukum normatif yang mengacu pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai ketentuan mengikat secara umum (perundang-undangan) atau mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak berkepentingan (kontrak, konvensi, dokumen hukum, dan putusan hakim). Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer (buku ilmu hukum, jurnal hukum, laporan hukum dalam media cetak maupun elektronik). Sedangkan bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder (rancangan undang-undang, kamus hukum dan ensiklopedia). b. Jenis Pendekatan Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya. Macam-macam pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah:12 1. Pendekatan undang-undang (statute approach) 2. Pendekatan kasus (case approach) 3. Pendekatan historis (historical approach) 4. Pendekatan komparatif (comparative approach)
12
h. 93.
Peter Mamud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
16
5. Pendekatan konseptual (conceptual approach) Dalam karya tulis ini, penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan. Mengenai perundang-undangan, dalam Hukum Internasional tidaklah terdapat Undang-Undang, sehingga makna Undang-Undang tersebut perlu diinterpretasikan secara lebih luas lagi, mencakup segala ketentuan hukum yang tertulis, sehingga Konvensi, dan segala bentuk Perjanjian Internasional juga dapat dipandang atau diinterpretasikan sebagai sebuah Undang-Undang. c. Bahan Hukum Karena penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, maka sumber yang digunakan berupa bahan hukum, yang terdiri atas : a. Bahan Hukum Primer, yaitu sumber hukum yang bersufat autoratif yang artinya mempunayi otoritas.13 Bahan hukum primer dalam karya tulisan ini terdiri atas asas dan kaidah hukum yang diwujudkan dalam : 1. ASEAN Framework Agrement on Mutual Recognition Arrangements, 1998); 2. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;
13
Ibid, h. 96
17
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu sumber hukum yang bersifat pelengkap bagi bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dalam karya tulis ini terdiri dari buku-buku, jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum, dan materi muatan internet yang berkaitan dengan rumusan masalah. c. Bahan Hukum Tersier, yaitu sumber yang menjelaskan bahan hukum primer maupun sekunder. Bahan hukum tersier dalam karya tulis ini terdiri atas Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris, Kamus Hukum, dan Ensiklopedia. d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah teknik studi dokumen dengan card system yaitu dengan cara mencari bahanbahan di dalam buku-buku terkait untuk dibaca serta dicatat kembali dalam kartu kutipan untuk mencatat dan mengutip sumber bahan hukum yang digunakan dengan mencari ikhtisar dari sumber bahan hukum yang dianggap penting dan digunakan sebagai ulasan guna menjawab permasalahan.14 untuk disusun secara sistematis sesuai dengan bahasan dalam penelitian ini. e. Teknik Analisis Bahan Hukum Analisis bahan hukum merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan bahan hukum yang dibantu
14
Jonny Ibraim, 2005, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, PT. Bayu Media Publising, Malang, h.296.
18
dengan teori-teori yang telah didapatkan sebelumnya.15 Adapun teknik pengolahan bahan hukum yaitu setelah bahan hukum terkumpul kemudian dianalisis menggunakan teknik deskripsi yaitu dengan memaparkan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder apa adanya.16 Bahan hukum primer dan sekunder yang terkumpul selanjutnya diberikan penilaian (evaluasi), kemudian dilakukan interpretasi dan selanjutnya diajukan argumentasi. Argumentasi di sini dilakukan oleh peneliti untuk memberikan preskripsi atau penilaian mengenai benar atau salah atau apa yang seyogyanya menurut hukum atau peristiwa hukum dari hasil penelitian. Dari hasil tersebut nantinya akan ditarik kesimpulan secara sistematis agar tidak menimbulkan kontradiksi antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lain. Teknik lainnya yang penulis gunakan adalah teknik analisis, yaitu pemaparan secara mendetail dari keterangan-keterangan yang didapat pada tahap sebelumnya yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini sehingga keseluruhannya membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan secara logis. 17
15
Mukti Fajar MD dan Yulianto Acmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 183. 16 Ronny anitjito, 1991, Metode Penelitian Hukum, Cet II, Galia Indonesia, Jakarta, h. 93. 17 Ibid.