PERAN KOMISI KEPOLISIAN NASIONAL (KOMPOLNAS) DALAM PENGAWASAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN
SKRIPSI
Untuk Memenui Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh: Dyah Tantri Tillotami E1A010042
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2014
i
ii
iii
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang
berjudul:
PERAN
KOMISI
KEPOLISIAN
NASIONAL
(KOMPOLNAS) DALAM PENGAWASAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN. Melalui kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tulus kepada: 1.
Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
2.
Bapak Sanyoto, S.H., M.Hum. selaku Ketua Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
3.
Bapak Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H. dan ibu Handri Wirastuti Sawitri, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing skripsi penulis, atas segala bimbingan, bantuan, arahan, dukungan dan masukan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini. Terima kasih atas bimbinganya semoga suatu saat nanti penulis dapat membalas jasa yang telah Bapak dan Ibu berikan. Walaupun penulis tahu, Bapak dan Ibu tidak mengharapkan imbalan apapun dari penulis.
4.
Bapak Pranoto, S.H., M.H. Dosen Penguji skripsi penulis yang telah bersedia untuk menjadi penguji penulis.
5.
Bapak Komari, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis.Terima kasih atas kebaikan serta kesediannya setiap kali penulis berkonsultasi Kartu Rencana Studi (KRS).
iv
6.
Segenap dosen, karyawan, dan karyawati serta keluarga besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, yang telah berjasa kepada Penulis selama menempuh kuliah.
7.
Ibuku tercinta Maria Stephanie wanita terhebat yang telah melahirkan, menyayangi, membesarkan, mendoakan dan memberikan motivasi kepada penulis.
8.
Mamah ku tersayang Suryati wanita yang telah merawat, menyayangi, membesarkan, mendoakan dan memberikan motivasi kepada penulis.
9.
Bapakku Kusmanto lelaki yang telah mendidik, menyayangi, mendoakan dan selalu memberikan motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi. Terimakasih atas semua cinta, perjuangan, dukungan, nasihat-nasihat serta doa yang terus-menerus diberikan kepada penulis hingga saat ini.Terimakasih yang setulus-tulusnya untuk kalian, walaupun penulis tahu bahwa ucapan terimakasih tidak cukup untuk mewakili betapa penulis bangga dan sayang terhadap kalian, semoga Allah SWT membalas segalanya yang telah papa dan mama berikan kepada saya. Amin.
10. Adikku tercinta Dyah Niken Larasati, Dimas Tantra Eswaryapada, dan Dimas Rakyan Suryokusumo yang telah mendoakan penulis. 11. Anak-anak “BOBO” betty, ika, aya, ama, pika, ein, dini, syarah, anti, kiki, budi, hilman yang telah memberikan warna-warni selama kuliah dari sedih, senang, banyak cerita indah yang tak pernah penulis lupakan.
v
12. Teman-teman “PLKH”
riska, ica, usi, haya, ama, arif, oki, syarah, ika,
hilman, ai terimakasih atas kerjasamanya. 13. Keluarga Besar Justitia English Club, Organisasi tempat penulis menimba ilmu dan berproses. 14. My partner in Public Relation JEC bondan you are the best, zhara, loria, saad, and andra terimakasih atas semua hal menyenangkan yang sudah kalian berikan untuk penulis. 15. My partner skripsweet pika dan deta terimakasih atas semua semangat yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 16. Terimakasih banyak buat mira, ana, tami, fajar, nanda tidak ada kata-kata lain yang dapat menggambarkan kalian kecuali “kalian luar biasa”. 17. Keluarga Besar FH UNSOED angkatan 2010, teman-teman UKM di kampus merah, serta semua pihak yang turut membantu dan tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu. 18. Temen-temen terbaik ku di luar Fakultas Hukum Unsoed baning, ifha, dita, dan farah terimakasih untuk semua doa dan semangat yang kalian berikan untuk penulis. Semoga segala kebaikan yang mereka berikan kepada penulis, mendapatkan balasan sebesar-besarnya dari ALLAH SWT. Penulis juga memohon maaf kepada semua pihak apabila terdapat kesalahan dalam ucapan maupun tindakan selama berproses di FH UNSOED. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan tentang Hukum
vi
Acara khususnya Hukum Acara Pidana.
Purwokerto,
Agustus 2014
DYAH TANTRI TILLOTAMI E1A010042
vii
PERAN KOMISI KEPOLISIAN NASIONAL DALAM PENGAWASAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN Oleh: Dyah Tantri Tillotami E1A010042 ABSTRAK Dewasa ini kinerja para aparatur penegak hukum khususnya dalam hal ini lembaga kepolisian makin banyak disorot dan menjadi perhatian publik akibat kinerjanya yang buruk. Sebagai lembaga pengawas eksternal Polri Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) turut berkewajiban untuk memperbaiki kinerja Polri sehingga, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran dan hambatan yang dialami oleh Kompolnas dalam melaksanakan pengawasan perkara pidana khususnya di tingkat penyidikan. Guna mencapai tujuan tersebut maka penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian preskriptif. Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mempunyai dua peran pokok dalam melaksanakan pengawasan perkara pidana di tingkat penyidikan yang tertuang dalam Perpres Nomor 17 tahun 2011 yaitu sebagai lembaga pengawas eksternal Polri dan sebagai penerima Saran dan keluhan dari Masyarakat (SKM). Terdapat 3 kendala yang dialami Kompolnas dalam melaksanakan peranya tersebut. Kendala internal Kompolnas yang pertama adalah kurangnya sumber daya berupa man power dan wewenang punitif yang tidak dimiliki Kompolnas. Kendala internal kedua Kompolnas adalah kurangnya kecepatan waktu yang dibutuhkan oleh Polda untuk membalas surat permohonan klarifikasi yang dikirimkan oleh Kompolnas. Kendala eksternal Kompolnas dalam melaksanakan tugasnya adalah kesediaan untuk diawasi dan kesediaan untuk berubah anggota Polri yang melakukan pelanggaran. Kata Kunci
: peran, pengawasan, penyidikan.
viii
ABSTRACT The current performance of law enforcement, especially police department is high lighted and become public attention cause of it’s bad performance. As anexternal monitoring department of the National Police Commission Police (Kompolnas) is also obliged to improve the performance of the Police so, the aim of this research is to perceive the roleand the obstacle experienced by the National Police Commissionin carrying out the supervision of the criminal case, especially on investigation. To achieve the goal, the research was conducted using research methods to the specification of normative juridical prescriptive research. National Police Commission (Kompolnas) has two main roles in carrying out surveillance on investigation of criminal cases which statein Presidential Decree No. 17of 2011 is as an external regulatory department and the police as the recipient of the Community Suggestions and complaints (SKM). There are 3 obstacles by the National Police Commission in carrying out the role. Internal constraints in Kompolnas the first is the lackness of human resources in the form of man power and authority that is not owned Kompolnas punitive. The second internal constraints is the lackness of speed Kompolnas time required by the Police to reply to requests for clarification submitted by the National Police Commission. Kompolnas external constraintsin performing their duties is awillingness to be supervised and willingness to change members of the police who committed the offense. Keywords: role, supervision, investigation.
ix
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.........................................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN..............................................................................
ii
SURAT PERNYATAAN..................................................................................
iii
KATA PENGANTAR.......................................................................................
iv
ABSTRAK......................................................................................................... viii ABSTRACT........................................................................................................
ix
DAFTAR ISI.....................................................................................................
x
DAFTAR SINGKATAN..................................................................................
xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.............................................................................
1
B. Perumusan Masalah....................................................................................
8
C. Tujuan Penelitian........................................................................................
8
D. Kegunaan Penelitian...................................................................................
9
1. Kegunaan Teoritis...................................................................................
9
2. Kegunaan Praktis....................................................................................
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyidikan................................................................................................
10
1. Penyidikan Secara Umum....................................................................... 10 2. Proses Penyidikan oleh penyidik..........................................................
15
a. Penangkapan..................................................................................
18
b. Penahanan......................................................................................
22
x
c. Penggeledahan...............................................................................
31
d. Penyitaan........................................................................................
38
e. Pemeriksaan Surat.........................................................................
45
f. Penghentian Penyidikan.................................................................
54
B. Komisi Kepolisian Nasional.....................................................................
49
1. Pengertian Kompolnas.......................................................................
49
2. Fungsi, Tugas dan Wewenang Kompolnas.......................................
50
3. Peran Kompolnas...............................................................................
53
BAB III METODE PENELITIAN A. Metode penelitian.....................................................................................
56
B. Spesifikasi Penelitian................................................................................
57
C. Lokasi Penelitian .....................................................................................
57
D. Sumber Hukum.........................................................................................
58
E. Metode Pengambilan Data........................................................................
58
F. Metode penyajian data..............................................................................
60
G. Analisa data..............................................................................................
60
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PE,BAHASAN A. Hasil Penelitian........................................................................................
61
B. Pembahasan..............................................................................................
94
BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan.................................................................................................
115
B. Saran.......................................................................................................
115
xi
DAFTAR SINGKATAN
Divpropam
Divisi Profesi dan Pengamanan (Polri)
HIR
Herziene Inlandsch Reglement
Interface
Interaksi, interkoneksi dan interdependensi
Irwasda
Inspektur Pengawas Daerah (Polda)
Itwasum
Inspektorat Pengawasan Umum
JSI
Jaringan Suara Indonesia
Kapolri
Kepala Kepolisian Rpublik Indonesia
Kemenpan
Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara
Komnas HAM
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Kompolnas
Komisi Kepolisian Nasional
KPAI
Komisi Perlindungan Anak Indonesia
KUHAP
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
KUHP
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi
Perpres
Peraturan presiden
SKM
Saran dan Keluhan Masyarakat
Polri
Kepolisian Republik Indonesia
Sekjen DPR
Sekertaris jenderal Dewan Perwakilan Rakyat
SPI
Pengawas Internal Polri
SP3
Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan
TII
Transparancy Internasional Indonesia
UKP 4
Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan
xii
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Istilah criminal justice system secara harafiah diartikan sebagai sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana ini menurut Mulyadi1 merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil, maupun pelaksanaan hukum pidana yang pada hakekatnya merupakan open system.2 Bersifat terbuka (open system) karena pengertian Sistem Peradilan Pidana dalam geraknya akan selalu mengalami interface (interaksi, interkoneksi dan interdependensi) dengan lingkungannya dalam peringkat-peringkat masyarakat : ekonomi, politik, pendidikan dan teknologi serta sub sistem sub sistem dari Sistem Peradilan Pidana itu sendiri (subsystem of criminal justice system ).3 Pada sistem peradilan pidana ini masukannya (input) adalah perkara pidana atau kejahatan termasuk pelanggaran (overtredingen) dan kejahatan ringan yang tercatat. Sedangkan keluarannya (out-put) yang bersifat langsung berupa hukuman penjara, menimbulkan nista, pencabutan hak milik maupun hukuman mati.4 Aparatarur penegak hukum yang di miliki oleh Indonesia sebagai bagian dari suatu Criminal Justice system saat ini adalah lembaga kepolisian, kejaksaan,
1
Mulyadi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, Cetakan ke-II. 2002, hlm.4. 2 Ibid, hlm. 2. 3 Muladi dalam Mahrus Ali, 2007, Sistem Peradilan Pidana progresif;Alternatif Dalam penegakan Hukum Pidana, Jurnal Hukum Program Pascasarjana FH-UII, Vol. 14, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, hlm. 218. 4 ML. HC. Hulsman, Sistem Peradilan Pidana Dalam Prespektif Perbandingan Hukum, Disadur oleh Soedjono Dirjosisworo, Rajawali, Jakarta, 1984, hlm. 2.
2
kehakiman dan lembaga pemasyarakatan. Kinerja aparatur penegak hukum di Indonesia saat ini memang telah menjadi sorotan oleh masyarakat Indonesia Jaringan Suara Indonesia (JSI)5 mengatakan bahwa terjadi penurunan kepuasan publik terhadap kinerja lembaga hukum di Indonesia dari tahun ke tahun sejak Juli 2009 sampai Oktober 2011. Bahkan berdasarkan data survei yang di ambil oleh Transparancy Internasional Indonesia (TII)6 mengatakan bahwa Polri sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Bicara mengenai polisi pasti berbicara juga mengenai tugas-tugasnya sebagai lembaga keamanan negara. Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 13 tugas polisi yaitu : 1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 2. Menegakkan hukum; dan 3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Apabila dijabarkan lebih lanjut mengenai tugas polisi yang pertama yaitu Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, dalam melaksanakan tugas ini polisi harus tetap memperhatikan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam bingkai integritas wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada tugas polisi yang kedua yaitu sebagai aparat penegakkan hukum harus di laksanakan secara profesional dan proporsional dengan menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia menuju kepada adanya kepastian hukum dan rasa keadilan. Ketiga memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan 5
Tempo.co, Tingkat Kepercayaan Publik Terhadap Kinerja Lembaga Hukum Turun, http://m.tempo.co/read/news/2011/11/02/063364495/Tingkat-Kepercayaan-Publik-TerhadapKinerja-Lembaga-Hukum-Turun, di akses pada tanggal 6 April 2014, Pukul 21.38 WIB. 6 Portalkbr.com, Polisi Terkorup dan Tantangan Kapolri Baru, http://www.portalkbr.com/berita/perbincangan/2947874_5534.html, di akses pada tanggal 6 April 2014, Pukul 22.08 WIB.
3
kepada masyarakat meliputi aspek security, surety, safety, dan peace sehingga masyarakat bebas dari gangguan psikis maupun fisik.7 Hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah kata “pelayanan masyarakat”
yang terdapat pada poin ke 3 dalam tugas kepolisian karena
memiliki arti yang ambigu sebab memberikan penekanan pada obyek yang dilayani (masyarakat) tanpa memberikan batasan tentang apa yang dilayani. Dengan menggunakan kata “pelayan masyarakat” polri dapat dituntut oleh setiap masyarakat untuk melayani segala sesuatu yang mungkin diluar bidang tugas dan wewenangnya seperti yang dialami oleh kepolisian amerika serikat. 8 Kata “pelayanan masyarakat” sebenarnya mengandung pengertian yang tak jauh beda dengan “pelayanan kepolisian” yang ini berarti bahwa pelayanan oleh polisi kepada masyarakat. Pelayanan disini tidak mencakup segala sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat tetapi terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan fungsi kepolisian. 9 Melihat tugas tersebut tentunya polisi sudah mendapatkan posisi yang penting dalam peningkatan keamanan negara yang dalam hal ini adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau yang biasa di singkat NKRI di samping tentara. Menurut pendapat Kunarto10 tahun 1997 yang dikutip dari sebuah website “sejarah kepolisian tumbuh dan berkembang bersama dengan tumbuh dan berkembangnya peradaban manusia. Setiap peradaban manusia yang 7
Organisasi Polri-Visi Misi, http://www.polri.go.id/organisasi/op/vm/, Diakses pada tanggal 30 April 2014 Pukul 9.02 WIB. 8 Koeparmono Irsan, Adrianus, Farouk, dkk,. 2000. Polisi Indonesia. Jurnal Polisi Indonesia Program Pascasarjana KIK-UI. Vol.2. Program Pascasarjana Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia. Hal. 30. 9 Ibid., Hal. 30. 10 La patuju. Polisi di mata masyarakat. http://lapatuju.blogspot.com/2013/04/polisi-dimata-masyarakat.html. di akses pada tanggal 24 Februari 2014 pukul 20.38 WIB.
4
memulai dan merasakan perlunya keamanan, ketentraman, dan ketertiban dalam mempertahankan kehidupannya, pada saat itulah sebenarnya fungsi polisi itu ada, tumbuh dan berkembang. “ Apabila menghayati latar belakang pembentukan lembaga kepolisian, kita dapat
mengidentifikasi
bahwa
harapan
masyarakat
yang
esensial
dari
penyelenggaraan fungsi kepolisian hanya mencakup timbulnya rasa keamanan dan adanya
kepastian
hukum.
Pertanggungjawaban
kepolisian
tidak
hanya
mencangkup “apa yang di lakukannya” tapi juga “bagaimana melakukannya” dalam hal ini polisi harus melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan aturan hukum oleh karena itu aspek ke 3 dari harapan masyarakat adalah ditegakannya keadilan.11 Kepolisian tidak mungkin berhasil menjalankan tugasnya untuk mencapai tujuan tanpa dukungan masyarakat. Kepercayaan masyarakat dapat dicapai apabila Polri mampu menyajikan layanan jasa kepolisian dan melalui proses hukum dan apabila polisi dapat di senangi oleh masyarakat. Agar dapat disenangi oleh masyarakat polisi di tuntut untuk dapat bersikap simpatik dalam melaksanakan tugasnya. Dewasa ini banyak sekali kasus-kasus yang membuat nama polisi tercoreng sehingga sulit untuk mendapatkan simpati dari masyarakat, salah satu kasus yang sering terjadi adalah kekerasan baik fisik maupun nonfisik yang dilakukan oleh anggota polisi pada saat proses penyidikan contohnya adalah kasus
11
Koeparmono Irsan, Adrianus, Farouk, dkk. Loc.Cit., Hal 31.
5
salah tangkap di sertai penganiayaan terhadap susanto, waga Giriputro Wonogiri.12 Padahal saat ini cara penyidikan dengan kekerasan Inkusitur sudah di larang dan diganti dengan cara penyidikan Akusatur. Para pembuat UndangUndang berusaha untuk memahami tentang hak-hak tersangka atau terdakwa yang secara langsung ada hubungannya dengan sistem pemeriksaan dalam penyelidikan dan selama dipersidangan, sehingga munculah 2 teknik pemeriksaan yaitu Inqusitoir (inkusitur) dan Aqusitoir (akusitur). Setiap penyidikan dan penyelidikan harus didasarkan pasa azas praduga tak bersalah. Anggota Polri selalu di berikan arahan agar tidak melakukan kekerasan kepada masyarakat. Pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sendiri para pembuat Undang-undang sudah memikirkan mengenai tatacara penangkapan, penahanan serta bagaimana cara melindungi hak-hak tersangka terdakwa bahkan terpidana karena bagaimanapun juga proses penegakan hukum di Indonesia harus berpedoman pada asas Equality before the law atau asas perlakuan sama dihadapan hukum. Tersangka sendiri termasuk kedalam subjek yang harus di lindungi hak asasinya hal ini sesuai dengan KEPKAP Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Pelaksanaan Hak Asasi Manusia. Aturan-aturan di atas tentunya sudah memberikan perintah kepada para penegak hukum untuk memperlakukan tersangka atau terdakwa secara manusiawi dan tetap memperhatikan hak-hak mereka, tapi pada kenyataanya masih banyak 12
Wisnu Adhi Nugroho, Diduga Menganiaya Empat Anggota Polres Wonogiri Terancam Dipecat, http://www.antarajateng.com/detail/index.php?id=73920, diakses pada tanggal 31 Mei 2014 Pukul 6.28 WIB.
6
kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam suatu proses penyidikan dan hal ini menggambarkan kurang profesionalnya kinerja polisi saat ini. Salah satu alasan mengapa kinerja polisi tidak profesional adalah tidak adanya lembaga pengawas. Selama lembaga pengawas tidak ada maka aturan-aturan tersebut agaknya susah untuk ditegakan dengan baik. Pembuatan dan penguatan mekanisme kontrol dan pengawasan terhadap sektor keamanan
merupakan bagian dari agenda demokratisasi pasca 1998.
Tujuannya adalah mencegah potensi abuse of power dan juga memastikan akuntabilitas penyelenggaraan kekuasaan negara. Salah satu institusi di sektor keamanan yang tidak luput dari agenda itu adalah Kepolisian Republik Indonesia (Polri), bersamaan dengan jalannya reformasi institusi tersebut. 13 Reformasi Polri mulai sejak tahun 2000, diawali dengan pemisahan TNIPolri dalam ketetapan (TAP) MPR Nomor VI Tahun 2002 dan TAP MPR Nomor VII tahun 2000, yang kemudian dilakukan melalui perubahan ke dua UUD 1945 BAB XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara dan terbitnya UndangUndang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Sejalan perubahan regulasi itu juga mengamanatkan pembentukan Komisi Kepolisian Nasional. 14 Pada tahun 2005 akhirnya terbentuklah Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang merupakan lembaga pengawas Eksteren atas kinerja Polri untuk menjamin profesionalisme dan kemandirian Polri. Pada tanggal 7 Februari 2005 Kompolnas akhirnya terbentuk dengan terbitnya Peraturan Presiden
13
Ujang Firmanysah, Executive Summary (Sebuah Study Perbandingan), http://www.imparsial.org/en/2010/evaluasi-peran-komisi-kepolisian-nasional-di-masareformasi.html, diakses pada tanggal 31 Mei 2014, Pukul 5.59 WIB. 14 Ibid.
7
(Perpres) Nomor 17 Tahun 2005 tentang Kompolnas. Setelah melalui proses seleksi, Kompolnas yang pertama akhirnya terbentuk yang bekerja dari periode 2005 sampai 2009. Pada tanggal 4 Maret 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di masa jabatannya yang kedua sejak 2009, kembali menandatangani Perpres Nomor 17 Tahun 2005 tentang Kompolnas. Berdasarkan perpres tersebut, periode Kompolnas yang kedua pun terbentuk untuk periode jabatan dari 20122016. 15 Berdasarkan data yang di peroleh oleh Kompolnas16 terdapat bebrapa keluhan yang di laporkan oleh masyarakat kepada Kompolnas yang secara garis besar difokuskan pada 4 keluhan utama yaitu : 1. 2. 3. 4.
Penyalah gunaan wewenang; Pelayanan yang buruk; Perlakuan diskriminasi; Penggunaan diskresi yang keliru.
Sebagai penunjang data di atas berdasarkan keterangan salah satu komisioner Kompolnas Edi Saputra Hasibuan mengatakan, sekitar 90% masyarakat mengaku tidak puas dengan kinerja reserse, baik di tingkat Polri, Polda, Polres maupun Polsek.17 Sebagai tambahannya menurut survei yang di lakukan oleh Ombudsman18 di bidang penyelesaian laporan, pada tahun 2012, lembaga pengawas pelayanan publik mengelola 2.209 laporan masyarakat. Sebanyak 383 aduan di antaranya 15 16
Ibid.
http://www.kompolnas.go.id/masyarakat-bisa-adukan-masalah-pelayanan-oknumpolisi-melalui-posko-kompolnas-di-fh-unsoed/, di akses pada tanggal 24 februari 2014, pukul 21.10 WIB. 17 liputan6.com/news/read/725956/kompolnas-masyarakat-tidak-puas-dengan-kinerjareserse-polri, diakses pada tanggal 10 April 2014, pukul 13.10 WIB. 18 http://www.jpnn.com/read/2013/11/07/199615/Polri-Dapat-Rapor-Merah-dariOmbudsman-RI- , di akses pada tanggal 24 April 2014, Pukul 20.15 WIB.
8
terkait dengan pelayanan di kepolisian. Sementara pada 2013 hingga September, Ombudsman RI telah menangani 129 laporan masyarakat yang mengadukan buruknya kinerja pelayanan di kepolisian. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan peran Komisi Kepolisian Nasional, namun di sini penulis ingin memfokuskan penelitian penulis di taraf penyidikan sehingga penulis mempunyai judul penelitian PERAN KOMISI KEPOLISIAN NASIONAL
(KOMPOLNAS)
DALAM
PENGAWASAN
PERKARA
PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu: 1. Bagaimanakah peran Komisi Kepolisian Nasional dalam melakukan pengawasan perkara pidana di tingkat penyidikan? 2. Apakah yang menjadi hambatan Komisi Kepolisian Nasional dalam melakukan pengawasan perkara pidana di tingkat penyidikan? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini dilakukan bertujuan untuk: 1. Untuk mengetahui peran Komisi Kepolisian Nasional dalam melakukan pengawasan perkara pidana di tingkat penyidikan. 2. Untuk mengetahui hambatan Komisi Kepolisian Nasional dalam melakukan pengawasan perkara pidana di tingkat penyidikan.
9
D. Kegunaan Penelitian Peneliti berharap agar penulisan usulan penelitian ini dapat memberikan kegunaan sebagai berikut: 1. Kegunaan Teoritis Untuk memberikan gambaran pengetahuan dan informasi yang jelas bagi mahasiswa dan masyarakat tentang peran Komisi Kepolisian Nasional khususnya tentang peran Komisi Kepolisian Nasional. 2. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai acuan wacana bagi para praktisi dalam mengambil kebijakan atau bagi para akademisi dalam menelaah sauatu permasalahan di bidang hukum pidana serta bagi para pihak yang menaruh perhatian terhadap lembaga Polisi Republik Indonesia khususnya dalam hal ini adalak Komisi Kepolisian Nasional.
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyidikan Penyidikan adalah salah satu bagian yang dibahas dalam hukum acara pidana. Penyidikan adalah hal yang diatur dalam hukum acara pidana. Tatacara penyidikan yang benar adalah yang sesuai dengan hukum acara pidana yang terkodifikasi dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Tindakan-tindakan penyidik yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHAP lah yang akan menjadi salah satu bahan koreksi Kompolnas dalam memperbaiki kinerja penyidik yang dalam hal ini adalah aparat kepolisian. Cara untuk mengetahui apakah suatu penyidikan telah melanggar ketentuan dalam hukum acara pidana atau telah melanggar prosedur yang telah diatur dalam KUHAP mengenai penyidikan maka ada baiknya jika kita mengetahui apa itu penyidikan dan bagaimana prosedurnya. 1. Penyidikan Secara Umum Sebelum membahas mengenai penyidikan secara lebih mendalam ada baiknya jika pertama-tama kita membahas penyidikan secara umum terlebih dahulu. Penyidikan adalah suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian opsporing (Belanda) dan investigation (Inggris) atau dalam bahasa Malaysia disebut dengan penyiasatan atau siasat. 19
19
Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori-Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakkan Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1993, hlm 118.
11
Bahasa Belanda memaknai kata penyidikan ini sama dengan opsporing. Menurut de Pinto 20 menyidik (opsporing) berarti “pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi suatu pelanggaran hukum”. Penyidikan merupakan bagian awal dari proses penegakan hukum pidana, kedudukan penyidikan sangat penting mengingat proses ini menentukan berhasil tidaknya proses selanjutnya. Istilah penyidikan dilihat dari bahasa Indoesia berasal dari kata dasar 'sidik'. Sidik berarti terang, jadi menyidik itu berarti membuat menjadi terang. Pada sidik jari, sidik juga bisa berarti bekas, bekas jari atau bekas telapak jari. Dengan begitu menyidik juga bisa berarti mencari bekas yaitu bekas kejahatan secara lebih rinci. 21 Pengertian Penyidikan diatur dalam Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana yang menjelaskan bahwa: "Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya." Banyak orang yang keliru dan menyamakan antara penyelidikan dan penyidikan, padahal 2 hal tersebut adalah beda sama sekali, antara penyelidikan dan penyidikan adalah dua fase tindakan yang berwujud satu. Diantara keduanya saling berkaitan dan isi mengisi guna dapat diselesaikan pemeriksaan suatu
20
Ibid., hlm. 118. Hibnu Nugroho dalam Niko Demus Pracaya, 2013, Skripsi " Pengawasan Terhadap Kekerasan Dalam Penyidikan di Polisi Daerah (POLDA) Jawa Tengah", hlm.22 dan 23. 21
12
peristiwa pidana. Hal yang membedakan dari penyelidikan dan penyidikan sebagaiman dikemukakan oleh Yahya Harahap22 yaitu: 1.
2.
Dari segi pejabat pelaksana, pejebat penyelidik terdiri dari semua anggota Polri dan pada dasarnya pangkat dan wewenangnya berada di bawah pengawasan penyidik. Wewenang penyidik sangat terbatas, hanya meliputi penyelidikan atau mencari dan menemukan data atas suatu tindakan yang diduga merupakan tindak pidana. Hanya dalam hal-hal telah mendapat perintah dari pejabat penyidik, barulah penyelidik melakukan tindakan yang disebut Pasal 5 ayat 1 huruf b seperti penangkapan, larangan, meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan.
Pengetahuan dan pengertian penyidikan perlu dinyatakan dengan pasti dan jelas, karena hal itu langsung menyinggung dan membatasi hak-hak asasi manusia. Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagai berikut : 1) Ketentuan tentang alat-alat penyidik. 2) Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik. 3) Pemeriksaan di tempat kejadian. 4) Pemanggilan tersangka atau terdakwa. 5) Penahanan sementara. 6) Penggeledahan. 7) Pemeriksaan dan introgasi. 8) Berita acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat). 9) Penyitaan. 10) Penyimpangan perkara.
22
Damang. Penyelidikan dan Penyidikan. http://www. negarahukum.com /hukum/penyelidikan-dan-penyidikan.html. diakses pada tanggal 1 Juli 2014. Pukul 11.18 WIB.
13
11) Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan. 23 Pada kenyataanya penyidikan dimulai sesudah terjadinya tindak pidana. Sebelum diadakan penyidikan terlebih dulu dilakukan penyelidikan gunanya adalah untuk mengetahui apakah suatu perbuatan tertentu merupakan perbuatan pidana atau bukan. Apabila merupakan suatu perbuatan pidana maka selanjutnya barulah dilakukan penyidikan. Penyidikan dilakukan untuk mendapatkan keterangan-keterangan mengenai : a. Tindak pidana apa yang telah dilakukan; b. Kapan tindak pidana itu dilakukan; c. Dimana tindak pidana itu dilakukan; d. Dengan apa tindakan pidana itu dilakukan; e. Bagaimana tindak pidana itu dilakukan; f. Mengapa tindak pidana itu dilakukan; g. Siapa pembuatnya.24 Hal tersebut diatas dicari tahu pada hakekatnya adalah untuk mengetahui siapa yang akan mendapatkan hukuman pidana dan seberapa beratkah hukuman pidana yang akan dijatuhkan. Pihak yang berhak untuk melakukan penyidikan adalah seorang penyidik. Penyidik menurut Pasal 1 butir 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara pidana
adalah : " Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau 23
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 118. Suryono Sutarto, Sari Hukum Acara Pidana I, Yayasan Cendekia Purna Dharma, Semarang, 1987, hlm. 28. 24
14
pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang- undang untuk melakukan penyidikan.” Pada Pasal 6 KUHAP juga mengatur mengenai pengertian penyidik. (1) Penyidik adalah : a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia. b. Pejabat pegawai negri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. (2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Pada penjelasan ayat (2), disebutkan bahwa kedudukan dan kepangkatan penyidik yang diatur dalam peraturan pemerintah. Kedudukan penyidik diselaraskan dan diseimbangkan dengan kedudukan dan kepangkatan penuntut umum dan hakim peradilan umum. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pada Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 telah menetapkan kepangkatan pejabat polisi sebagi penyidik yaitu sekurang-kurangnya pembantu letnan Dua Polisi sedangkan bagi pegawai negri sipil yang dibebani wewenang sebagai penyidik ialah yang berpangkat sekurangkurangnya Pengatur Muda Tingkat 1 (Golongan II b) atau yang disamakan dengan itu. Pengecualiannya adalah jika disuatu tempat tidak ada pejabat penyidik berpangkat Pembantu Letnan Dua ke atas, maka Komandan Sektor Kepolisian yang berpangkat Bintara dibawah Pembantu Letnan Dua Polisi, karena jabatannya adalah Penyidik.
15
Penyidik pejabat polisi negara tersebut diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia, yang dapat melimpahkan wewenangnya kepada pejabat polisi lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 25 Penyidik Pejabat polisi negara Republik Indonesia lah yang menjadi subjek pengawasan yang dilakukan oleh Kompolnas, karena kompolnas adalah lembaga pengawas eksteren Polri. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh penyidik polisi harus sesuai dengan asas dan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang yang berlaku. Wewenang yang dimiliki penyidik Polri dalam Pasal 7 KUHAP sebagai berikut : 1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang : a. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindakan pidana; b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c. menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; g. memanggil seseorang untuk di dengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i. mengadakan penghentian penyidikan; j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. 2. Proses Penyidikan oleh penyidik Penyidik dalam melakukan penyidikan haruslah sesuai dengan proses dan prosedur yang telah ditentukan oleh undang-undang. Proses penyidikan yang baik 25
Ibid., hlm. 28.
16
dan benar akan menciptakan suatu ketertiban hukum dan akan mempermudah tercapainya tujuan penyidikan. Pada suatu proses penyidikan ada beberapa kewenangan polisi apabila terjadi suatu tindak pidana, yaitu penangkapan, penahanan, penggeledahan badan, pemasukan rumah, penyitaan dan pemeriksaan surat, baik dilakukan dengan prosedur biasa ataupun dengan upaya paksa. Sebelum dilakukan penangkapan dan tindakan penyidikan yang lainnya terlebih dahulu dilakukan proses pemanggilan terhadap tersangka dan juga saksi. Pada peraturan lama (HIR) mengatur tentang pemanggilan dalam dua buah pasal yaitu Pasal 80 dan 81. Sedangkan KUHAP mengatur mengenai pemanggilan terhadap tersangka dan juga saksi hanya dalam 1 pasal yang isinya adalah penyidik yang tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a (Polri) karena kewajibannya mempunyai wewenang “memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi”. (Pasal 7 ayat (1) butir g). Tidak disebut seperti halnya dengan Pasal 81 HIR bahwa jika yang dipanggil tidak dapat menghadap karena alasan yang hanya dapat diterima, maka pemeriksaan dapat dilakukan di rumahnya. Alasan yang dapat diterima misalnya sakit berat.26 Apabila yang dipanggil tidak mau datang tanpa alasan yang dapat diterima, maka ia dapat dipidana menurut Pasal 21 KUHP. Kalau pemanggilan itu untuk menghadap di sidang pengadilan dan saksi tidak mau datang tanpa alasan yang dapat diterima, maka ia dapat dipidana menurut Pasal 522 KUHP.
26
Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 125.
17
Petugas yang berwenang mengeluarkan surat panggilan adalah Kepala Kesatuan atau Pejabat yang ditunjuk selaku penyidik atau penyidik pembantu. Pertimbangan pembuatan surat pemanggilan adalah adanya : a. Laporan polisi; b. Pengembangan hasil pemeriksaan yang tertuang dalam Berita Acara; c. Laporan Hasil Penyelidikan yang dibuat oleh petugas atas perintah penyidik atau penyidik pembantu. 27 Petugas yang menyampaikan surat panggilan adalah setiap anggota Polisi Negara Republik Indonesia. Apabila seorang yang dipanggil tidak ada ditempat, surat panggilan tersebut dapat diterimakan pada keluarganya atau ketua RT atau ketua RW atau Ketua Lingkungan atau Kepala Desa atau orang lain yang dapat dijamin bahwa surat itu sampai kepada yang bersangkutan. Apabila seseorang menolak
untuk
menandatangani
Surat
Panggilan,
maka
petugas
yang
menyampaikan surat tersebut berusaha menyampaikan betapa pentingnya surat tersebut. Terhadap tersangka atau saksi yang tidak memenuhi tanpa alasan yang patut dan wajar atau menolak untuk menerima dan menanda tangani Surat Panggilan, maka akan diterbitkan surat panggilan untuk yang kedua kalinya dengan disertai surat perintah membawa. Hal - hal yang harus diperhatikan dalam hal ini adalah: 1. Terhadap orang yang menolak memenuhi panggilan, maka petugas yang menyampaikan surat panggilan, agar memberikan penjelasan tentang kewajiban memenuhi panggilan dan adanya sanksi pidana 27
Niko Demus Pracaya, 2013, Skripsi " Pengawasan Terhadap Kekerasan Dalam Penyidikan di Polisi Daerah (POLDA) Jawa Tengah", hlm.29.
18
sebagai mana tercantum dalam Pasal 216 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana; 2. Apabila tersangka atau saksi yang dipanggil untuk kedua kalinya, tidak memenuhi tanpa alasan yang patut dan wajar atau menolak untuk menerima dan menanda tangani Surat Panggilan kedua, maka Surat Panggilan Membawa dapat diberlakukan kepada saksi atau tersangka. Dasar hukum dari pemanggilan tersangka atau saksi adalah: 1. Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; 2. Undang - Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisisn Negara Republik Indonesia; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Hukum Acara Pidana. 4. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Pelaksanaan Hukum Acara Pidana. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, selain pemanggilan penyidik mempunyai
wewenang
yang
lainnya
yaitu
penangkapan,
penahanan,
penggeledahan badan, pemasukan rumah, penyitaan dan pemeriksaan surat, baik dilakukan dengan prosedur biasa ataupun dengan upaya paksa. Berikut merupakan penjelasan masing-masing kewenangan tersebut: a. Penangkapan a.1. Istilah Penangkapan Istilah penangkapan sejajar dengan arrest (Inggris), sedangkan penahanan sejajar dengan detention (Inggris). jangka waktu penangkapan
19
tidak lama, dalam hal tertangkap tangan, penangkapan (yang dapat dilakukan oleh setiap orang) hanya berlangsung antara ditangkapnya tersangka sampai ke pos polisi terdekat. Sesampai dikantor polisi atau penyidik, maka polisi atau penyidik dapat menahan jika delik yang dilakukan ditentukan tersangkanya dapat ditahan.28 Pasal 1 butir 20 KUHAP memberi definisi tentang penangkapan. Penangkapan adalah : “Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan kebebasan sementara waktu tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.” Hal yang dimaksud dengan “atas perintah penyidik” termasuk juga penyidik pembantu sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 11 KUHAP. Perintah yang dimaksud berupa suatu surat perintah yang dibuat secara tersendiri, dikeluarkan sebelum penangkapan dilakukan. Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. 29 Hal yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” ialah bukti awal untuk menduga kemungkinan adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14. Ketentuan ini menunjukan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang, tetapi diajukan kepada orang yang betul-betul melakukan tindak pidana.30
28
Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 126. Nico Ngani, dkk, Mengenal Hukum Acara Pidana (Bagian Umum dan Penyidikan), Liberty, Yogyakarta, 1984, hlm. 24. 30 Ibid. 29
20
Menurut Andi Hamzah definisi Pasal 1 butir 20 KUHAP tentang penangkapan ini tidak sesuai dengan bunyi Pasal 16 yang mengatur tentang penangkapan. Pasal 16 KUHAP berbunyi sebagai berikut : 1.
Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang untuk melakukan penangkapan.
2.
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan.
Tidak cocok disini bukan hanya karena penyidik yang dapat melakukan
penangkapan
seperti
yang disebutkan
dalam
definisi
penangkapan Pasal 1 butir 20 KUHAP tetapi penyelidik juga dapat melakukan penangkapan. Bahkan dalam hal tertangkap tangan setiap orang
dapat
melakukan
penangkapan.
Namun
mengenai
alasan
penangkapan bukan hanya untuk kepentingan penyidikan tetapi juga untuk kepentingan penyelidikan sehingga definisi penangkapan tersebut perlu diperbaiki.31 a.2. Orang yang berhak melakukan penangkapan Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara dengan memperlihatkan surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
31
Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 127.
21
Surat perintah penagkapan dikeluarkan oleh pejabat Kepolisian Negara
yang
berwenang
dalam
melakukan
penyidikan
didaerah
hukumnya. Tembusan surat perintah penangkapan harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.32 a.3. Jangka waktu penangkapan Jangka waktu penangkapan ada pada Pasal 19 KUHAP yang menentukan : (1) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan untuk paling lama satu hari. (2) terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah. Menurut pendapat Nico Ngani, dkk33 penangkapan hanya dapat dikenakan kepada mereka yang diduga melakukan tindak pidana kejahatan, sedangkan bagi tindak pidana pelanggaran tidak dapat dilakukan penangkapan dengan pengecualian yang disebutkan dalam Pasal 19 ayat (2) KUHAP. a.4. Dasar hukum penangkapan Dasar hukum dilakukanya penangkapan adalah : 1. Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Acara Pidana; 2. Undang - Undang Nomor 2 Tahun 2002 tetang Kepolisian Negara Republik Indonesia; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan Hukum acara pidana;
32 33
Nico Ngani, dkk, Op.cit., hlm. 25. Ibid., hlm. 26.
22
4. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Pelaksanaan Hukum Acara Pidana. b. Penahanan b.1. Pengertian penahanan menurut Pasal 1 butir 21 KUHAP “penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undangundang ini” Penahanan adalah salah satu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak seseorang. Penahanan harus dilakukan dengan alasan yang sah, karena jika ada kekeliruan dalam penahanan dapat mengakibatkan hal-hal fatal bagi penahan. Pada KUHAP diatur tentang ganti rugi dalam Pasal 95 disamping kemungkinan digugat pada praperadilan. Menurut Pendapat ahli larnaude34 “Penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak seseorang yang merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati disatu pihak, dan kepentingan ketertiban umum di lain pihak, yang harus dipertahankan untuk masyarakat, dari perbuatan jahat sitersangka.” b.2. Fungsi penahanan. Perlunya penahanan menurut Ned.Sv dengan HIR dan KUHAP itu berbeda. Menurut Ned.Sv mengatakan bahwa perlunya penahanan itu jika dikhawatirkan tersangka akan melarikan diri dan kedua adalah adanya alasan kuat bahwa keamanan masyarakat menuntut agar diadakan penahanan segera. 34
Penahanan dan Syarat Penahanan. http://kantorhukumludwichbernhardhshpartners. blogspot.com/2011/06/penahanan-syarat-penahanan.html. diakses pada tanggal 1 Juli 2014. Pukul 11.35 WIB.
23
Sedangkan menurut HIR dan KUHAP diperlukanya penahanan adalah” jika ada keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri”,” juga merusak barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana”.35 b.3. Syarat dilakukanya penahanan Menahan seseorang berarti orang itu diduga keras telah melakukan salah satu delik yang tercantum pada Pasal 21 ayat (4) KUHAP. Pada KUHAP syarat dan ketentuan mengenai penahanan sudah ada dalam Pasal 21 KUHAP yang berbunyi : (1) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. (2) Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan. (3) Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya. (4) Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pembenian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal: a.tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; b.tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang 35
Andi hamzah, Op.cit., hlm. 128.
24
Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, dan Pasal 48 Undangundang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambähan Lembaran Negara Nomor 3086). Penahanan oleh penyidik dapat dilakukan apabila memenuhi dua syarat, yaitu syarat materiil dan syarat formil. Syarat formil tercantum dalam Pasal 21 ayat (1) Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana penahanan terhadap seoarang tersangka atau terdakwa dapat dilakukan apabila: 1. Ada bukti yang cukup; 2. Ada kehawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti; dan 3. Mengulangi tindak pidananya. Syarat materiil penahanan pada Pasal 21 ayat (2) Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana. b.4. Yang berhak melakukan penahanan Menurut HIR hanya ada 2 macam pejabat atau instansi yang berhak melakukan penahanan yaitu jaksa (magistraat) dan pembantu jaksa (hulp magistraat). Hakim hanya berhak untuk memperpanjang penahanan yang dilakukan oleh jaksa.36 Sedangkan menurut KUHAP yang ada dalam Pasal 20 sampai Pasal 31,
yang berhak melakukan penahanan ada 3
macam pejabat atau instansi yaitu penyidik atau penyidik pembantu,
36
Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 130.
25
penuntut umum, dan hakim yang menurut tingkatan pemeriksaan terdiri atas hakim pengadilan negri, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung. b.5. Jangka waktu penahanan Perintah penahanan yang dikeluarkan oleh penyidik sebagaimana dimaksud oleh Pasal 20 KUHAP, hanya berlaku paling lama dua puluh hari. Penahanan yang dilakukan oleh penyidik tersebut dapat diperpanjang oleh penuntut umum paling lama empat puluh hari (Pasal 24 ayat (1) dan (2) KUHAP). Hal ini berbeda dengan ketentuan HIR dulu, dimana penuntut umum tidak berhak memperpanjang penahanan yang dilakukan oleh pembantu jaksa dan hanya dapat melakukan penahanan sendiri paling lama 30 hari. Pada Pasal 24 ayat (4) KUHAP ditentukan bahwa setelah waktu empat puluh hari tersbut penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum. Jaksa penuntut umum mempunyai hak untuk melakukan penahanan selama dua puluh hari dan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan yang berwenang paling lama tigapuluh hari hal ini diatur dalam Pasal 25 KUHAP. Selanjutnya yang berhak melakukan penahanan adalah hakim pengadilan negri sesuai dengan Pasal 84 KUHAP. Menurut Pasal 26 ayat (2) KUHAP Pengadilan negri berhak melakukan penahanan selama tigapuluh hari, dan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negri paling lama 60 hari dengan alasan “apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai”, Jadi total waktu penahanan yang
26
dilakukan oleh pengadilan negri adalah 90 hari. Pada Pasal 26 ayat (4) disebutkan bahwa apabila lewat dari 90 hari masa penahanan walaupun perkara tersebut belum putus, terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan demi kepentingan hukum. Batas waktu penahanan yang dimiliki oleh pengadilan tinggi adalah sama dengan pengadilan negri. Berbeda halnya dengan Mahkamah Agung yaitu limapuluh hari dan dapat diperpanjang selama enampuluh hari. Namun ada pengecualian tentang penahanan yang diatur dalam Pasal 29 ayat (1) KUHAP yang mengatakan bahwa dikecualikan dari jangka waktu penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28 guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasarkan alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena : a. Tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; b. Perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan tahun atau lebih. b.6. Bentuk-bentuk penahanan Bentuk-bentuk penahanan diatur dalam Pasal 22 KUHAP. Pada KUHAP mengenal 2 bentuk penahanan yaitu, dirumah tahanan negara yang juga dikenal dengan rumah tahanan kota dan penahanan rumah. Penahan Rumah Tahanan Negara adalah penempatan tersangka atau terdakwa di Rumah Tanahan Negara dan selama Rumah Tahanan
27
Negara belum ada, maka penahanan dapat dilakukan di Ruang Tahanan Kantor Kepolisian Negara, Kantor Kejaksaan Negeri , pada Lembaga Pemasyarakatan, atau diRuang Khusus Rumah Sakit dan dalam keadaan memaksa di tempat lain.37 Penahanan Rumah adalah penahanan yang dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengwasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat maenimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntuan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.38 Penahanan kota adalah penahanan yang dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa untuk melapor pada waktu yang ditentukan.39 Perbedaan bentuk penahanan ini mengakibatkan perbedaan perhitungan masa penahanan pada penjatuhan pidana dalam ketiga macam bentuk penahanan tersebut. Menurut Pasal 22 ayat (5) untuk tahanan kota pengurangan tersebut seperlima dari jumlah lamanya waktu penahanan, sedangkan untuk penahanan rumah sepertiga dari jumlah lamanya penahanan. Timbul pertanyaan adalah bagaimana jika seseorang tahanan masuk rumah sakit. Apakah selama dirumah sakit itu tahananya diperhitungkan sepertiganya dalam penjatuhan pidana karena ia berstatus 37
Niko Demus Pracaya, Op.cit., hlm. 34. Ibid. 39 Ibid. 38
28
tahanan rumah dan masuk rumah sakit atau dihitung penuh karena tahanan rumah sakit dihitung sebagai tahanan negara? Menurut Andi Hamzah40 bahwa “tahanan dirumah sakit itu menurut penjelasan pasal 22 ayat 1 KUHAP tersebut sama dengan rumah tahanan negara”. Maka menurut Andi Hamzah status tersangka yang dirawat dirumah sakit adalah tetap dengan status sebagai tahanan negara dan selama masa menjalani perawatan tersebut harus dihitung sebagai penahanan penuh, karenanya harus pula dikurangkan secara penuh dengan lamanya hukuman yang dijatuhkan nantinya. Artinya, masa tahanan dirumah sakit tetap dihitung sebagai masa penahanan. b.7. Prosedur penahanan Ketika melakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa, penyidik wajib memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan (Pasal 21ayat (2) Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana). Tembusan surat penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim diberikan kepada keluarganya ( Pasal 21 ayat (3) Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana). Petugas yang berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penahanan adalah Kepala Kesatuan atau Pejabat yang ditunjuk selaku
40
Andi Hamzah, Op.Cit., hlm. 139.
29
Penyidik atau Penyidik Pembantu atau pelimpahan wewenang dari penyidik. Setelah satu hari pasca tersangka ditahan, harus mulai diperiksa. Setelah dilakukan penahanan harus dibuat Berita Acara Penahanan. Halhal yang harus diperhatikan adalah: 1. Penahanan tersangka dilakukan dengan memberikan Surat Perintah Penahanan kepada tersangka dan tembusan Surat Perintah Penahanan tersebut kepada keluarganya; 2. jika ada alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena tersangka menderita gangguan fisik atau mental berat yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Dokter atau tersangka diperiksa dalam perkara yang diancam dengan penjara 9 tahun atau lebih, maka penahanan terhadapnya dapat diperpanjang lagi paling lama 2 x 30 hari oleh Ketua Pengadilan Negeri atas permintaan dari penyidik yang bersangkutan yang disertai dengan laporan hasil penyidikan (Pasal 29 Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana); 3. Terhadap tersangka yang menderita ganguan fisik atau mental berat yang dibuktikan dengan keterangan Dokter dapat pula dilakukan Pembatalan Penahanan; 4. Apabila tengget waktu penahanan maupun perpanjangan penahanan yang telah dilakukan ternyata tidak sah, tersangka berhak mengajukan ganti kerugian sesuai Pasal 95 dan Pasal 96 KUHAP;
30
5. Penyidik atau atas penyidik dapat menolak permintaan keberatan yang diajukan tersangka, keluarganya atau penasehat hukumnya atas penahanan atau jenis penahanan yang dilakukan terhadap tersangka; 6. Penahanan dilakukan di Rumah Tanahan Negara dan selama Rumah Tahanan Negara belum ada, maka penahanan dapat dilakukan di Ruang Tahanan Kantor Kepolisian Negara, Kantor Kejaksaan Negeri , pada Lembaga Pemasyarakatan, atau diRuang Khusus Rumah Sakit dan dalam keadaan memaksa di tempat lain; 7. Penahanan di Rumah Tahanan Negara agar diusahakan jangan sampai menggangu kelancaran pemeriksaan; 8. Bagi tersangka yang statusnya dinyatakan sebagai tahanan, maka sebelum melakukan penahanan harus diambil foto dan sidik jarinya. Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan penahanan harus sesuai dengan norma-norma yang telah ada. Norma-norma tersebut ada di dalam : 1. Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Acara Pidana; 2. Undang - Undang Nomor 2 Tahun 2002 tetang Kepolisian Negara Republik Indonesia; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan Hukum acara pidana; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Pelaksanaan Hukum Acara Pidana.
31
c. Penggeledahan Berkaitan
dengan
kepentingan
penyidikan
maka
penyidik
dapat
melakukan penggeledahan. Ada dua jenis penggeledahan yang diakui di Indonesia yaitu penggeledahan rumah, penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan. Semua jenis penggeledahan ini harus dilakukan sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku. Penggeledahan menjadi penting untuk diperhatikan apalagi mengenai penggeledahan rumah karena setiap orang mempunyai perlindungan terhadap ketentraman rumah atau tempat kediaman, dan ini merupakan salah satu asas dasar Hak Asasi Manusia. Pelanggaran mengenai hal ini akan dikenakan ancaman pidana yang serius sesuai dengan Pasal 167 KUHP dan 429 KUHP. Menggeledah atau memasuki rumah atau tempat kediaman orang dalam rangka penyidik suatu delik menurut hukum acara pidana harus dibatasi dan diatur secara cermat. Menggeledah rumah atau tempat kediaman merupakan suatu usaha mencari kebenaran, untuk mengetahui baik salah maupun tidak salahnya seseorang. Ini berarti menggeledah tidak selalu harus berarti mencari kesalahan seseorang,
tetapi
kadang-kadang
juga
bertujuan
untuk
mencari
ketidaksalahannya41. c. 1. Pihak yang berhak menggeledah Pihak yang berhak melakukan penggeledahan adalah hanya penyidik atau anggota kepolisian yang diperintah olehnya yang boleh melakukan
41
penggeledahan
atau
E Boon dalam Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 138.
memasuki
rumah
orang.
Setiap
32
penggeledahan baru boleh dilaksanakan setelah mendapatkan izin dari ketua pengadilan negri (Pasal 33 ayat (1) KUHAP). Ketentuan lain dalam KUHAP adalah jika yang melakukan penggeledahan itu bukan penyidik sendiri, maka petugas kepolisian yang diperintahkan melakukan penggeledahan itu harus dapat menunjukan selain surat izin ketua pengadilan negri juga surat perintah tertulis dari penyidik (Penjelasan Pasal 33 ayat (2) KUHAP). c.2. Jenis-jenis penggeledahan. Penggeledahan dalam hukum acara pidana diklasifikasikan menjadi dua yaitu penggeledahan rumah dan penggeledahan badan dan atau pakaian. Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 angka 17 KUHAP). Penggeledahan rumah oleh penyidik dilakukan dengan izin ketua pengadilan negeri setempat dan apabila dilakukan oleh petugas kepolisian (bukan penyidik) diperlukan surat perintah tertulis dari penyidik (Pasal 33 ayat (2)). Penggeledahan dilakukan apabila tersangka atau penghuni menyetujuinya dengan disaksikan oleh dua orang saksi. jika tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir dalam penggeledahan, penggeledahan disaksikan oleh oleh kepala desa atau ketua lingkungan dan dua orang saksi. Dua hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada
33
pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan (Pasal 33 ayat (4) dan (5) KUHAP). Penyidik, selaian dapat melakukan penggeledahan rumah, dapat pula melakukan penggeledahan pakaian dan atau badan tersangka apabila terdapat dugaan keras dengan alasan yang cukup bahwa pada tersangka tersebut terdapat benda yang dapat disita (Pasal 37). Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta, untuk disita (Pasal 1 angka 18 KUHAP). Penjelasan Pasal 37 menyebutkan bahwa penggeledahan badan meliputi pemeriksaan rongga badan, di mana apabila tersangkanya adalah wanita, maka dilakukan oleh pejabat wanita. ketika penyidik berpendapat perlu dilakukan pemeriksaan rongga badan, penyidik minta bantuan kepada pejabat kesehatan. c.3. Pengecualian dalam pasal-pasal penggeledahan Penggeledahan baru dapat dilakukan apabila mendapatkan surat izin dari ketua pengadilan negri. Pasal 34 ayat (1) KUHAP berisi pengecualian dari Pasal 33 ayat (1) KUHAP yaitu bahwa dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu penyidik dapat melakukan penggeledahan. “keadaan yang sangat perlu dan mendesak” adalah bilamana di tempat yang akan digeledah diduga keras terdapat tersangka atau terdakwa yang dikhawatirkan segera melarikan diri
34
atau mengulangi tindak pidana atau benda yang dapat di sita dikhawatirkan segera dimusnahkan atau dipindahkan, sedangkan surat izin ketua pengadilan tidak mungkin diperolah dengan cara yang layak dan dalam waktu yang singkat.42 Pasal 34 ayat (1) KUHAP juga telah memperluas mengenai pengertian rumah yang ada dalam Pasal 33 KUHAP mengikuti Pasal 78 HIR. Setelah diperluar yang dimaksud dengan rumah adalah juga meliputi: a. Pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam dan yang ada diatasnya; b. Pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada; c. Ditempat tindak pidana dilakukan; d. Ditempat penginapan dan tempat umum lain. Disamping
batasan
yang
ditentukan
tersebut,
untuk
melakukan
penggeledahan masih dibatasi oleh Pasal 35 KUHAP yang menyatakan bahwa dalam hal bukan tertangkap tangan, penyidik tidak diperkenankan memasuki : a.
Ruang
di
mana
sedang
berlangsung
sidang
Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; b.
Tempat di mana sedang berlangsung ibadah dan atau upacara keagamaan;
42
Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 141.
35
c.
Ruang di mana sedang berlangsung sidang pengadilan. Penjelasan diatas membuktikan bahwa dalam hal tertangkap tangan penyidik mempunyai wewenang yang lehih luas. Penggeledahan dapat dilakukan di tempat-tempat yang di sebutkan dalam Pasal 35 dengan syarat harus dalam keadaan tertangkap tangan.
Pengecualian yang selanujutnya adalah yang ada dalam Pasal 34 ayat (2) KUHAP yang isinya berbunyi : (2) Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan seperti dimaksud dalam ayat (1) penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan dengan tindik pidana yang bersangkutan atau yang diduga telab dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya. c.4. Prosedur penggeledahan. Penyidik dapat melakukan penggeledahan, baik penggeledahan rumah, pakaian, maupun badan menurut tata cara yang ditentukan undangundang guna kepentingan penyidikan (Pasal 32 KUHAP). Saat melaksanakan penggeledahan rumah di samping harus dilengkapi Surat Ijin Ketua Pengadilan Negeri dan Surat Perintah Penggeledahan, Pejabat yang berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penggeledahan adalah Kepala Kesatuan atau Pejabat yang ditunjuk selaku Penyidik atau Penyidik Pembantu. Pertimbangan dilakukan penggeledahan dan Pembuatan Surat Penggeledaan adalah adanya laporan polisi, hasil
36
pemeriksaan tersangka dan atau saksi, dan dari laporan hasil penyelidikan yang dibuat oleh petugas atas perintah Penyidik atau Penyidik pembantu. 43
Setiap memasuki rumah harus disaksikan oleh 2 orang saksi apabila tersangka atau penghuni rumah mengijinkan namun apabila penghuni tidak menyetujui harus disaksikan oleh Ketua Lingkungan atau Kepala Desar bersamasama 2 (dua) orang saksi dari lingkungan yang bersangkutan. Proses pelaksanaan penggeledahan di luar daerah hukum penyidik, harus dengan Surat Ijin Ketua Pengadilan Negeri Setempat di mana dilakukan penggeledahan dan di dampingi oleh penyidik dari daerah hukum di mana penggeledahan itu dilakukan.44 Saat melaksanakan penggeledahan badan wanita, dilakukan oleh penyidik/penyidik pembantu wanita atau dapat meminta bantuan seorang wanita yang dapat dipercaya dalam hal perlu dilakukan penggeledahan atau pemeriksaan rongga badan diminta bantuan pejabat kesehatan.45 Setelah kurun waktu 2 (dua) hari pasca dilakukan penggeledahan, harus sudah dibuat Berita Acara Penggeledahan dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau perighuni rumah atau tempat yang bersangkutan. Apabila keadaan sangat perlu dan mendesak, penyidik dapat melakukan penggeledahan dengan segera meski belum mendapatkan surat izin terlebih dahulu (Pasal 34 ayat (1)).
43
Niko Demus Pracaya, Op.cit., hlm. 40. Ibid. 45 Ibid. 44
37
Penyidik dalam penggeledahan rumah atau tempat tertutup lainnya, boleh menyita surat, buku, dan tulisan lain atau benda yang berhubungan atau diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana. Semua tindakan penyidik itu kemudian wajib segera dilaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat untuk memperoleh persetujuan (Pasal 34 ayat (2)). c.5. Dasar hukum penggeledahan. 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana; 2. Undang - Undang Nomor 2 Tahun 2002 tetang Kepolisian Negara Republik Indonesia; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan Hukum acara pidana; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Pelaksanaan Hukum Acara Pidana. Selain undang-undang diatas masih ada beberapa undang-undang yang bersifat khusus yang juga mengatur mengenai penggeledahan. Undang-undang itu adalah : 1. Undang-Undang Nomor 7 (drt) Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi; 2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Korupsi; 3. Undang-Undang Nomor 11 (pnps) Tahun 1973 tentang Kegiatan Pemberantasan Subversi;
38
4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 197 tentang Narkotika. Semua undang-undang diatas mengatur tentang penggeledahan yang hampir sama dengan ketentuan dalam KUHAP, kecuali tentang keharusan adanya izin dari ketua pengadilan negri yang dikeluarkan dalam Pasal 33 ayat (1) KUHAP. Pada perundan-undangan tersebut tidak ditentukan adanya syarat semacam itu. 46 d. Penyitaan d.1. Pengertian penyitaan. Pengertian penyitaan ada pada Pasal 1 butir 16 KUHAP yang berbunyi : “Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.” Terdapat hal baru yang membedakan antara definisi penyitaan menurut HIR dengan KUHAP. Pada HIR penyitaan hanya dapat dilakukan untuk benda-benda yang berwujud, namun dalam KUHAP benda-benda yang tidak berwujud juga dapat di sita sebagai contohnya seperti tagihan piutang. 47Andi Hamzah48 mengatakan bahwa: “Definisi ini (penyitaan dalam KUHAP) agak panjang tetapi terbatas pengertiannya karena hanya untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Dalam Pasal 134 Ned.Sv juga diberikan definisi penyitaan (inbeslagnming) yang lebih pendek tetapi lebih luas pengertiannya. Terjemahannya kira-kira sebagai berikut “dengan penyitaan suatu benda diartikam pengambil alihan atau penguasaan benda itu guna 46
Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 143 dan 144. Mohammad Taufik Makarao dan Suharsil, Acara Pidana Dalam teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 54. 48 Andi hamzah dalam Mohammad Taufik Makarao dan Suharsil, Acara Pidana Dalam teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 54. 47
39
kepentingan acara pidana.” Jadi tidak dibatasi hanya untuk pembuktian ”. Arti dari pembeslahan sama dengan menyita, yakni mengambil barang atau benda dari kekuasaan pemegang benda itu untuk kepentingan pemeriksaan dan bahan pembuktian seedangkan, arti dari perampasan benda atau barang berbeda dengan penyitaan. Perampasan adalah tindakan hakim yang berupa putusan tambahan pidana pokok sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 10 KUHP, yakni mencabut dari hak kepemilikan seseorang atas benda itu, dengan demikian benda itu atas penetapan hakim dirampas dan kemudian dapat dirusakan atau dibinasahkan atau bahkan dapat dijadikan sebagai milik negara.49 d.2. Benda-benda yang dapat disita. Benda-benda yang dapat disita diatur dalam Pasal 39 KUHAP yang berbunyi : (1)Yang dapat dikenakan penyitaan adalah: a.Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dan tindak pidana atau sebagai hasil dan tindak pidana; b.Benda yang telah dipergunakan secara Iangsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; c.Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; d.Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; e.Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. (2) Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1). 49
Martiman Prodjohamidjojo dalam Mohammad Taufik Makarao dan Suharsil, Acara Pidana Dalam teori dan Praktel, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 54.
40
d.3. Tujuan penyitaan. Tujuan penyitaan berbeda dengan tujuan penggeledahan. Seperti yang sudah dijelaskan, tujuan penggeledahan dimaksudkan untuk kepentingan penyelidikan dan atau untuk kepentingan penyidikan. Tujuan penyitaan ialah untuk kepentingan “pembuktian”, terutama ditujukan sebagai barang bukti dimuka sidang pengadilan. Kemungkinan besar tanpa adanya barang bukti perkaranya tidak dapat diajukan kemuka sidang pengadilan. Oleh karena itu agar perkara tadi lengkap dengan barang bukti, penyidik melakukan tindakan penyitaan guna kepentingan barang bukti di persidangan pengadilan.50 d.4. Tatacara penyitaan Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat apabila keadaan sangat perlu dan mendesak, dimana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya (Pasal 38 Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana). Pejabat yang berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penyitaan adalah Kepala Kesatuan atau Pejabat yang ditunjuk selaku penyidik atau penyidik pembantu. Pertimbangan dilakukan penyitaan dan pembuatan
50
Ibid.
41
Surat Perintah Penyitaan adalah adanya laporan polisi, hasil pemeriksaan, laporan hasil penyelidikan yang dibuat oleh petugas atas perintah penyidik atau penyidik pembantu, dan hasil penggeledahan.51 Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh penyidik dalam melakukan penyitaan selain yang berkartan dengan surat izin yaitu : 1) Jika tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti (Pasal 40 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). 2) Penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda tersebut diperuntukkan bagi tersangka atau berasal dari padanya dan kepada tersangka atau pejabat institusi tersebut harus diberikan surat tanda penerimaan (Pasal 41 Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana). 3) Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang dapat disita, menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan
51
Ibid. hlm. 44.
42
(Pasal 42 ayat (1) Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana). 4) Penyidik dapat menyita surat atau tulisan lain jika surat atau tulisan itu berasal dari tersangka atau terdakwa atau ditujukan kepadanya atau kepunyaannya atau diperuntukkan baginya atau jikalau benda tersebut merupakan alat untuk melakukan tindak pidana (Pasal 42 ayat (2) Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana). 5) Terhadap penyitaan ini, mereka berkewajiban merahasiakan sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus ketua pengadilan negerti setempat (Pasal 43 Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana). d.5. Penyimpanan benda sitaan. KUHAP Pasal 44 mengatakan : (1) Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara. (2) Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga. Barang-barang sitaan harus dijaga dan dirawat dengan baik, karena jika sampai kesalahan tersangka tidak terbukti atau barang tersebut tidak tersangkut atau terlibat dalam tindak pidana yang dilakukan tersangka, ternyata pada saat benda yang disita itu dikembalikan kepadanya sudah hancur dan tidak mempunyai nilai apa-apa lagi hal ini dapat merugikan
43
pemilik dari benda yang disita tersebut. Atau jika memang benda yang disita tersebut memang tersangkut dalam tindak pidana dan benda sitaan tersebut milik saksi yang menjadi korban tindak pidana tersebut, dan pada saat putusan memerintahkan pengembalian benda-benda sitaan tersebut kepada korban ternyata barang sitaan tersebut sudah rusak dan tidak bisa lagi dimanfaatkan hal ini akan menampah penderitaan dan kerugian yang telah dialami oleh korban.52 Apabila benda sitaan adalah benda yang cepat rusak atau membahayakan atau terlalu tinggi biaya penyimpanannya sehingga tidak mungkin untuk disita sampai putusan pengadilan, maka atas persetujuan tersangka atau kuasanya, benda sitaan itu dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh penyidik dengan disaksikan tersangka atau kuasanya. Hasil pelelangan benda sitaan berupa uang akan dipakai sebagai barang bukti. Ketentuan ini tidak berlaku bagi benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan. Ketentuan diatas ada dalam Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berbunyi : (1) Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau yang membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka atau kuasanya dapat diambil tindakan sebagai berikut: a. Apabila perkara masih ada ditangan penyidik atau penuntut umum, benda tersebut dapat dijual lelang atau dapat
52
Ibid., hlm. 57.
44
diamankan oleh penyidik atau penuntut umum, dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya; b. Apabila perkara sudah ada ditangan pengadilan, maka benda tersebut dapat diamankan atau dijual yang oleh penuntut umum atas izin hakim yang menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya. (2) Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang dipakai sebagai barang bukti. (3) Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian kecil dan benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (4) Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, tidak termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan negara atau untuk dimusnahkan. d.6. Pengembalian barang sitaan Penyidik mengembalikan barang sitaan kepada mereka yang berhak apabila: a) Perkara sudah diputus, kecuali apabila menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, dimusnahkan atau dirusakan sampai tidak dapat dipergunakan lagi (Pasal 46 ayat (2) KUHAP); b) Kepentingan penyidikan sudah tidak memerlukan lagi, perkara tersebut tidak jadi dituntut atau perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau ditutup demi hukum (Pasal 46 KUHAP). e. Pemeriksaan Surat Pada saat penyidikan penyidik berhak untuk membuka, memeriksa, dan menyita surat lain yang dikirim melalui kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan jika benda tersebut dicurigai dengan alasan yang kuat mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang
45
sedang diperiksa, dengan izin khusus yang diberikan untuk itu dari ketua pengadilan negeri.53 Maksud dari “surat lain” adalah surat yang tidak langsung mempunyai hubungan dengan tindak pidana yang diperiksa akan tetapi dicurigai dengan alasan yang kuat. Untuk kepentingan ini maka penyidik dapat meminta kepada kepala kantor pos dan telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain umtuk menyerahkan kepadanya surat yang dimaksud dan untuk itu harus diberikan surat tanda penerimaan.54 Demi
kepentingan
penyidikan,
penyidik
berwenang
melakukan
pemeriksaan surat. Pemeriksaan surat dilakukan dengan tata cara sebagai berikut: 1. Dengan ijin Ketua Pengadilan Negeri, penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita surat lain yang dikirim melalui kantor pos dan telekomunikasi atau perusahaan pengangkutan lainnya yang dicurigai dengan alasan yang kuat mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa, dan untuk kepentingan ini dapat meminta agar surat tersebut diserahkan kepadanya dengan memberikan surat tanda terima. Yang dimaksud surat lain adalah surat yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang diperiksa tetapi dicurigai dengan alasan kuat; 2. Apabila surat tersebut sesudah dibukan dan diperiksa, ternyata surat tersebut ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa, maka surat tersebut dilampirkan dalam berkas perkara, sedangkan apabila 53 54
Nico Ngani,dkk, Op.cit., hlm.58. Ibid.
46
tidak ada hubungannya dengan perkara tersebut, surat itu harus ditutup kembali dengan rapi dan segera diserahkan kepada kantor pos dan telekomunikasi,
jawatan
atau
perusahaan
telekomunikasi
atau
pengangkutan lain setelah dibubuhi cap yang berbunyi, "telah dibuka oleh penyidik" dengan diberi tanggal, tanda tangan beserta identitias penyidik; 3. Penyidik yang melakukan pemeriksaan surat wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan isi surat yang dikembalikan itu; 4. Jika timbul dugaan kuat adanya surat palsu atau dipalsukan, dengan ijin ketua pengadilan negeri, penyidik dapat datang dan minta kepada pejabat penyimpan umum supaya surat asli yang disimpannya dikirimkan kepada penyidik, dan apabila tidak dikirimkan, penyidik berwenang mengambilnya; 5. Membuat berita acara dan turunan berita acara ini dikirimkan kepa kantor atau jawatan atau instansi di mana surat-surat tersebut disita. f. Penghentian Penyidikan Selain beberapa proses penyidikan secara umum di atas masih ada satu lagi proses penyidikan yang penting untuk diketahui yaitu mengenai penghentian penyidikan. Hukum Acara Pidana di Indonesia mengatur tentang aturan main (rule of the game) penegakan hukum pidana khususnya adalah KUHP, termasuk didalamnya jika ada kemungkinan penghentian penyidikan karena alasan-alasan tertentu. Setiap ketetapan yang dikeluarkan oleh penyidik mengenai penghentian
47
penyidikan suatu kasus pidana wajib mengeluarkan SP3 atau Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan. SP3 merupakan surat pemberitahuan dari penyidik pada penuntut
umum
bahwa
perkara
dihentikan
penyidikannya.
Penghentian
penyidikan sendiri diatur oleh KUHAP dalam Pasal 109 ayat (2). Pasal 109 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa “ Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.” Dengan
demikian
dapat
disimpulkan
alasan-alasan
penyidik
menghentikan penyidikan sesuai dengan Pasal 109 ayat (2) KUHAP adalah sebagai berikut : 1. Tidak diperoleh bukti yang cukup, yaitu apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka.55 Menurut Harun Husein56 “Penyidikan yang memperoleh tidak cukup bukti dan menuntut tersangka untuk membuktikan kesalahan tersangka di depan persidangan maka penyidik berwenang untuk menghentikan penyidikan.” 2. Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana. 57
55
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl624/sp3. Diakses pada tanggal 11 Juli 2014. Pukul 6.24 WIB. 56 http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/122580-PK%20III%20637.8250 Penghentian %20penyidikan-Literatur.pdf. Diakses pada tanggal 11 Juli 2014. Pukul 8.34 WIB. 57 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl624/sp3. Diakses pada tanggal 11 Juli 2014. Pukul 6.24 WIB.
48
3. Penghentian penyidikan demi hukum. Alasan ini dapat dipakai apabila ada alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana, yaitu antara lain karena nebis in idem, tersangka meninggal dunia, atau karena perkara pidana telah kedaluwarsa.58 Pada proses penghentian penyidikan, Keberlakuan KUHAP merupakan realisasi dan unifikasi dan kodifikasi dalam bidang hukum acara pidana. Tujuannya agar masyarakat dapat menghayati kewajiban dan haknya dan pembinaan sikap para penegak hukum sesuai fungsi dan wewenangnya.59 SP3 diberikan dengan merujuk pada pasal 109 ayat (2) KUHAP, yaitu: 1. Jika
yang
menghentikan
penyidikan
adalah
penyidik
Polri,
pemberitahuan penghentian penyidikan disampaikan pada penuntut umum dan tersangka atau keluarganya. 2. Jika yang menghentikan penyidikan adalah penyidik PNS, maka pemberitahuan penyidikan disampaikan pada: a) penyidik Polri, sebagai pejabat yang berwenang melakukan koordinasi atas penyidikan; dan b) penuntut umum.60 Penuntut umum juga wajib untuk diberitahu jika terjadi suatu penghentian penyidikan karena ini sesuai dengan amanah yang ada di dalam Pasal 109 ayat (3) KUHAP yang berbunyi:
58
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl624/sp3. Diakses pada tanggal 11 Juli 2014. Pukul 6.24 WIB. 59 Djoko Prakoso. 1987. Penyidik, Penuntut Umum, Hakim Dalam Proses Hukum Acara Pidana. Bina Aksara. Jakarta. h. 5. 60 Ibid.
49
“Dalam hal penghentian tersebut pada ayat (2) dilakukan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, pemberitahuan mengenai hal itu segera disampaikan kepada penyidik dan penuntut umum.” Ketika penyidik memulai tindakan penyidikan, kepadanya dibebani kewajiban untuk memberitahukan hal dimulainya penyidikan tersebut kepada penuntut umum. Akan tetapi masalah kewajiban pemberitahuan itu bukan hanya pada permulaan tindakan penyidikan, melainkan juga pada tindakan penghentian penyidikan. Untuk itu, setiap penghentian penyidikan yang dilakukan pihak penyidik secara resmi harus menerbitkan suatu Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).61 3. Komisi Kepolisian Nasional a. Pengertian Kompolnas Menurut Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Pasal 37 ayat (1) Kompolnas adalah “Lembaga kepolisian nasional yang disebut dengan Komisi Kepolisian Nasional. Kompolnas merupakan lembaga non-struktural yang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya berpedoman kepada prinsip tata pemerintahan yang baik. “ Berdasarkan Perpres Nomor 17 Tahun 2011 kedudukan kompolnas berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kompolnas bekerja dengan mengumpulkan dan menganalisis data sebagai bahan pemberian saran kepada Presiden. Kompolnas di pimpin oleh seorang ketua yang merangkap sebagai anggota.
61
Lilik Mulyadi dalam I Dewa Gede Dana Sugama. 2014. Surat Perintah Penghentian Penyidikan (Sp3) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Hukum. Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Udhayana Denpasar. Hlm. 5.
50
b. Fungsi, Tugas dan Wewenang Kompolnas Fungsi Komisi Kepolisian Nasional dapat di lihat dalam Perpres Nomor 17 tahun 2011 Pasal (3) yaitu Kompolnas melaksanakan fungsi pengawasan fungsional terhadap kinerja Polri untuk menjamin profesionalisme dan kemandirian Polri, Pelaksanaan fungsi pengawasan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan pemantauan dan penilaian terhadap kinerja dan integritas anggota dan pejabat Polri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengertian pengawasan fungsional ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor
20
Tahun
2001
tentang
Pembinaan
dan
Pengawasan
Atas
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Pada Pasal 1 poin 10 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 menyebutkan pengertian Pengawasan fungsional adalah “Pengawasan fungsional adalah pengawasan yang dilakukan oleh Lembaga atau Badan atau Unit yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengawasan melalui pemeriksaan, pengujian, pengusutan dan penilaian.” Kompolnas adalah pengawas external Polri karena anggota Kompolnas bukanlah bagian dari anggota Polri. Pengertian pengawas ekternal adalah pengawasan yang dilancarkan oleh petugas-petugas dari luar organisasi ataupun perusahaan atau jawatan yang bersangkutan, baik merupakan pengawasan dari pihak pemerintah maupun masyarakat umum. Tugas Kompolnas di atur dalam Pasal (4) Perpres Nomor 17 tahun 2011 yaitu: a. Membantu presiden dalam menentukan arah kebijakan polri; dan
51
b. Memberikan pertimbangan kepada presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Tugas Kompolnas yang pertama adalah membantu presiden dalam menentukan arah kebijakan Polri, Kompolnas bekerja dengan mengumpulkan dan menganalisis data sebagai bahan pemberian saran kepada Presiden. Saran yang diberikan oleh Kompolnas berkaitan dengan anggaran Polri, pengembangan sumber daya Polri , dan pengembangan sarana dan prasarana Polri, dalam upaya mewujudkan Polri yang profesional dan mandiri.62 Berkaitan
dengan
tugas
Kompolnas
yang
kedua
yaitu
memberi
pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Jika Komisi Kepolisian Nasional memberikan masukan-masukan dan kriteriakriteria kepada Presiden untuk menentukan calon Kapolri yang akan diajukan ke DPR yang kemudian mengadakan uji kelayakan dan memutuskan siapa calon yang layak memangku jabatan tersebut sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Pada Pasal 11 ayat (6) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 disebutkan bahwa calon Kapolri adalah perwira tinggi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karir. Pengertian ”jenjang kepangkatan” dan “jenjang karir” dapat dilihat di penjelasan Pasal 11 ayat (6) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. Jenjang kepangkatan ialah prinsip senioritas dalam arti penyandang pangkat tertinggi dibawah Kapolri yang dapat dicalonkan sebagai kapolri. Sedangkan yang dimaksud dengan jenjang
62
Komisi Kepolisian Nasional. http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Kepolisian_Nasional. diakses pada tanggal 7 Juli 2014. Pukul 14.15 WIB.
52
karir ialah pengalaman penugasan dari pati calon Kapolri pada berbagai bidang profesi Kepolisian atau berbagai macam jabatan di Kepolisian. Kemudian mengenai pemberhentian Kapolri diatur dalam Pasal 2 sampai Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota kepolisian Negara Republik Indonesia ada dua macam, a.
Pemberhentian dengan hormat, yaitu apabila: mencapai batas usia pensiun,pertimbangan
khusus
untuk
kepentingan
dinas,
tidak
memenuhi syarat jasmani dan/atau rohani, dan gugur, tewas, meninggal dunia atau hilang dalam tugas. b.
Pemberhentian dengan tidak hormat, yaitu apabila: melakukan tindak pidana, melakukan pelanggaran, meninggalkan tugas atau hal lain.
Wewenang Kompolnas di atur dalam bab III Perpres Nomor 17 tahun 2011 tentang Kompolnas dari Pasal 7 sampai dengan Pasal 11. Namun, pokok wewenang Kompolnas ada pada Pasal 7. Wewenang Kompolnas adalah : a) Mengumpulkan dan menganalisis data sebagai bahan pemberian saran kepada Presiden yang berkaitan dengan anggaran Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengembangan Polri, dan pengembangan sarana dan prasarana Polri; b) Memberikan saran dan pertimbangan lain kepada Presiden dalam upaya mewujudkan Polri yang Profesional dan mandiri; c) Menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja kepolidian dan menyampaikannya kepada Presiden. Keluhan yang diterima Kompolnas adalah pengaduan masyarakat yang menyangkut penyalahgunaan wewenang, dugaan korupsi, pelayanan yang buruk, perlakuan diskriminasi, dan penggunaan diskresi kepolisian yang keliru.
53
Pengumpulan data dan keluhan masyarakat ini dilakukan melalui jalur media komunikasi elektronik, terutama internet.63 Wewenang yang dimiliki oleh Kompolnas terlampau lemah bagi sebuah komisi yang diharapkan menjalankan fungsi pengawasan terhadap Polri. Kalau hanya menerima saran dan keluhan masyarakat mengenai kinerja kepolisian untuk disampaikan kepada Presiden, hal ini cukup dilakukan oleh kepolisian sendiri, tidak harus oleh sebuah komisi nasional.64 Efektifitas pengawasan terhadap Polri juga diragukan jika Kompolnas hanya sebatas menampung keluhan-keluhan masyarakat mengenai penegakan hukum pada tahap penyelidikan dan atau penyidikan tanpa memiliki kewenangan untuk memberi penilaian atas tindakan kepolisian atau diskresi kepolisian. Betapapun pentingnya kepatuhan terhadap norma agama, kesopanan, kesusilaan, maupun berbagai pertimbangan etik lainnya, salah satu kunci bagi penilaian masyarakat atas kinerja Polri adalah kemampuan Polri menjalankan fungsi pelayanan dan penegakkan hukum secara adil, konsisten dan konsekuen.65 c. Peran Kompolnas Peran adalah sebuah kata yang sering kita ucapkan dalam kehidupan sehari-hari namun pada kenyataanya sukar untuk menerjemahkan arti dari kata peran. Ketika kita mendengar kata peran yang terpikirkan oleh kita adalah apa yang di perbuat sesuai fungsi, tugas dan tujuannya.
63
www.kompolnas.go.id/hubungi-kami. diakses pada tanggal 19 April 2014. Pukul 15.06
64
Catur Cahyono Wibowo, Op.cit., hlm. 8. Ibid, hlm. 10.
WIB. 65
54
Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia peran sendiri bermakna pemain sedangkan peranan mempunyai makna tindakan yg dilakukan oleh seseorang dalam suatu peristiwa.66 Jika menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh W.J.S Poerwardaminta67 peran adalah sesuatu yang menjadi bagian atau yang memegang pimpinan yang terutama dalam mewujudkan terjadinya tata pemerintahan yang baik. Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2011 memang tidak secara tegas mengatakan apa peran Kompolnas itu, namun jika dilihat dari fungsi, tugas dan wewenang Kompolnas maka dapat disimpulkan bahwa peran kompolnas ada 4 yaitu : 1. Membuat arah kebijakan Polri sebagai dokumen tertinggi Polri dalam rangka membuat arah bijak. 2. Memberi usulan dalam rangka pemberhentian dan pengangkatan Kapolri. 3. Memberikan rekomendasi kepada Presiden dan Kapolri dalam rangka 3 hal yaitu : a. Anggaran. b. Sarana dan prasarana. c. Sumber daya manusia.
66
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), http://kbbi.web.id/, di akses pada tanggal 26 Februari 2014, pukul 10.46. 67 W.J.S. Poerwardaminta, 1991, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Hal. 735.
55
4. Menampung atau menerima saran dan keluhan dari masyarakat yang berkaitan dengan kinerja Polri.68 Peran Kompolnas pada periode sebelumnya atau pada Perpres Nomor 17 Tahun 2005 hanya seperti tukang Pos atau pak Pos karena Kompolnas hanya menerima pengaduan dari masyarakat atas kinerja Polri untuk disampaikan kepada Presiden. 69 Peran Kompolnas kini telah diperkuat dengan lahirnya Perpres Nomor 17 Tahun 2011 tentang Komisi kepolisian Nasional. Pada Perpres ini peran Kompolnas diperkuat. Penguatan peran Kompolnas sendiri ada dalam pasal 9 Poin d, e, dan f. Pasal 9 poin d Perpres Nomor 17 Tahun 2011 menyebutkan bahwa Kompolnas berhak meminta pemeriksaan ulang atau pemeriksaan tambahan atas pemeriksaan yang telah dilakukan satuan pengawas internal Polri terhadap anggota dan/atau pejabat Polri yang diduga melakukan pelanggaran disiplin dan/atau etika profesi, dengan catatan, dalam satu kasus ada temuan novum (bukti baru) yang bisa digunakan untuk didalami dan dilakukan pemeriksaan. Selain itu, Pasal 9 poin e Perpres Nomor 17 Tahun 2011, merekomendasikan kepada Kapolri agar anggota dan/atau pejabat Polri yang melakukan pelanggaran disiplin, etika profesi, dan/atau diduga melakukan tindak pidana diproses sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Adanya
68
Hasil wawancara dengan Prof. Adrianus Eliasta Meliala, Ph.D.Komisioner Komisi Kepolisian Nasional, tanggal 17 Juni 2014. 69 Imam Syafi’i. Setelan Kompolnas Bukan Pak Pos. www.jawapos.com. diakses pada tanggal 1 Juni 2014. Pukul 08.00 WIB.
56
aturan ini, diharapkan pihak eksternal (Kompolnas) bisa ikut mengawasi Internal Polri. Kemudian, Pasal 9 poin f Perpres Nomor 17 Tahun 2011 juga disebutkan, Kompolnas dapat mengikuti gelar perkara, sidang disiplin, dan sidang komisi kode etik profesi kepolisian. Terakhir, poin g menyebutkan, Kompolnas bisa mengikuti pemeriksaan dugaan pelanggaran disiplin dan kode etik yang dilakukan anggota dan/atau pejabat Polri.70
70
Ibid.
57
BAB III METODE PENELITIAN Menurut
Woody71
Penelitian
merupakan
sebuah
metode
untuk
menemukan kebenaran yang juga merupakan sebuah pemikiran kritis (critical thinking). Penelitian meliputi pemberian definisi dan redevinisi terhadap suatu masalah, memformulasikan hipotesis atau jawaban sementara, membuat kesimpulan dan sekurang-kurangnya mengadakan pengujian yang hari-hati atas semua kesimpulan untuk menentukan apakan ia cocok dengan hipotesis. Penelitian ilmiah adalah penelitian dengan menggunakan metode ilmiah (scientific method).72 A. Metode penelitian Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti data, wawancara dengan responden terkait dan mengkaji bahan kepustakaan yang merupakan data sekunder. Menurut Johny Ibrahim73, dalam bukunya mengatakan bahwa: “Metode pendekatan yuridis normatif adalah suatu prosedur ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dan sisi normatifnya. Logika keilmuan yang ajeg dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri”.
71
Moh. Nazir,2005, Metode Penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia, hal.14. Ibid., hlm. 14. 73 Joni Ibrahim, Teori dan Metedologi Penelitian Hukum Normatif, 2010, Malang:Bayu Publishing, hlm. 295. 72
Media
58
Bahan hukum primer meliputi Undang-Undang N0. 17 Tahun 2011 tentang Komisi kepolisian Nasional, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi penelitian preskriptif. Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang preskriptif, artinya sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Menurut Peter Mahmud Marzuki74, bahwa: “ilmu hukum mempunyai kerakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuanketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum”. C. Lokasi Penelitian Untuk memperoleh data primer penelitian akan dilakukan di kantor Komisi Kepolisian Nasional di Jakarta, dan untuk memperoleh data skunder maka penelitian di lakukan di Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman dengan menelaah pustaka yang berkaitan dengan kajian penelitian, Pusat Informasi Ilmiah Universitas Jendral Soedirman dengan menelaah pustaka yang berkaitan dengan kajian
74
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, 2007, Surabaya:Kencana Perdana Media Group, hlm. 22.
59
penelitian, perpustakaan Sekolah Polisi Negara Purwokerto dengan menelaah pustaka yang berkaitan dengan kajian penelitian. D. Sumber Hukum Pada penelitian normatif pustaka merupakan data dasar, dimana dalam penelitian ini penulis mengumpulkan bahan primer dan bahan sekunder, yang merupakan penunjang data primer. Data primer berupa wawancara dengan pihak Komisi Kepolisian Nasional yang berwenang untuk mendapatkan informasi yang akan diteliti, yang termasuk sebagai data sekunder. Pada hal ini sekunder dibagi menjadi tiga bagian yaitu : a. Sumber Data Sekunder Sumber hukum yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan serta dokumen resmi lain sesuai dengan pokok masalah yang diajukan. b. Sumber Data Primer Diperoleh dari hasil wawancara dengan pihak Komisi Kepolisian Nasional Jakarta. c. Sumber Data Tersier Sumber hukum memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, literatur, dan lain-lain.
60
E. Metode Pengambilan Data Sesuai dengan sumber data yang di perlukan yaitu data primer dan data sekunder maka metode pengambilan data dapat dijelaskan sebagai berikut : 1.1
Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dengan cara melakukan studi dokumen terhadap peraturan perundang-undangan, bukubuku literatur, dan dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan objek atau materi penelitian.
1.2
Data primer yaitu data yang di peroleh dengan wawancara secara langsung dari lokasi penelitian yaitu di Sekertariat Komisi Kepolisian Nasional, terhadap data primer menggunakan metode interview
dilakukan
terhadap
narasumber
penelitian
untuk
mendapatkan informasi yang di perlukan. Observasi di lakukan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh para pelaku yang diamati. a. Interview (wawancara) wawancara adalah salah satu metode pengumpulan data untuk mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung kepada responden.75 Pada penelitian ini peneliti menggunakan metode wawancara semi terstruktur yaitu jenis wawancara campuran antara wawancara terstruktur yang untuk mengetahui informasi baku dimana peneliti memiliki panduan wawancara dan wawancara tak 75
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, 1985, Metode Penelitian Survai, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, Jakarta. hlm. 145.
61
terstruktur dimana wawancara berjalan mengalir sesuai topik atau dikatakan wawancara terbuka. Pemilihan wawancara semi terstruktur ditujukan untuk mendapatkan informasi yang lengkap. b. Observasi Observasi
yang
dilakukan
adalah
observasi
takterlibat yaitu peneliti hanya mengamati saja tanpa terlibat langsung kedalam objek yang diteliti. F. Metode penyajian data Hasil penelitian disajikan dalam bentuk teks naratif yang disusun secara sistematis. Sistematis disini maksudnya adalah keseluruhan data primer yang di peroleh akan di hubungkan dengan data sekunder yang diperoleh serta saling di hubungkan dengan pokok permasalahan sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. G. Analisa data Tahap awal yang dilakukan sebelum melakukan analisis data adalah dengan melakukan pengolahan data. Pengolahan data diartikan sebagai kegiatan merapikan data hasil pengumpulan data sehingga siap pakai untuk dianalisis.76
76
hlm. 72.
Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta : Sinar Grafika,
62
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian peran Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dalam pengawasan perkara pidana di tingkat penyidikan ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Pada penelitian ini diperlukan data primer atau data empiris dan data sekunder. Data primer yaitu data berupa informasi dan pendapat yang diperoleh langsung dari anggota Komisi Kepolisian Nasional dan staff Komisi Kepolisian Nasional. Data sekunder diperoleh dari peraturan perundangundangan, literatur dan doktrin yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Peranan Kompolnas yang diteliti oleh penulis adalah peranan Kompolnas dalam kaitannya sebagai lembaga pengawas eksternal Polri dan di khususkan dalam pengawasan terhadap kinerja penyidik dalam melakukan penyidikan suatu perkara pidana. Bab ini menyajikan hasil penelitian dan analisis data baik data primer maupun data sekunder yang diperoleh selama penelitian di lokasi penelitian. Data sekunder akan disajikan terlebih dahulu untuk mengetahui dasar dari peranan Komisi kepolisian Nasional dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja Polri. A. Hasil Penelitian 1. Hasil Penelitian Data Skunder 1.1 Peran Kompolnas dalam roses penyidikan perkara pidana a. Sebagai Pengawas eksternal polri Kompolnas diatur secara khusus dalam Perpres Nomor 17 Tahun 2011. Peran Kompolnas sendiri dapat dilihat dalam BAB III
63
Perpres Nomor 17 Tahun 2011. Peran Kompolnas dapat kita lihat dalam Tugas pokok dan Fungsi Kompolnas yang ada dalam BAB III yaitu: 1.
Pada Pasal 3 Perpres Nomor 17 Tahun 2011 menyebutkan bahwa Kompolnas melaksanakan fungsi pengawasan fungsional terhadap kinerja Polri untuk menjamin profesionalisme dan kemandirian Polri.
2.
Pada Pasal 4 Perpres Nomor 17 Tahun 2011 menyebutkan peran Kompolnas yang ke 2 yaitu membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Polri
3.
Pasal 4 ayat (2) Perpres Nomor 17 Tahun 2011 menyebutkan peran Kompolnas yang ke 3 yaitu memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.
4.
Peran Kompolnas yang terakhir ada dalam Pasal 9 huruf a yaitu Kompolnas sebagai penerima dan meneruskan saran dan keluhan masyarakat kepada Polri untuk ditindak lanjuti.
Kaitanya dengan Peran kompolnas dalam suatu proses penyidikan kasus pidana adalah 2 hal yaitu Kompolnas sebagai pengawas Polri dan kompolnas sebagai penerima saran dan keluhan masyarakat.
64
Peran Kompolnas sebagai pengawas Polri ada dalam Pasal 3 ayat (1) Perpres Nomor 17 Tahun 2011. Pasal 3 ayat (2) menyebutkan bahwa “Pelaksanaan fungsi pengawasan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan pemantauan dan penilaian terhadap kinerja dan integritas anggota dan pejabat Polri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Pasal 3 ayat (2) Perpres Nomor 17 Tahun 2011 menyebutkan mengenai hal yang harus di awasi oleh Kompolnas terhadap Polri yaitu: 1) Kinerja Anggota dan Pejabat Polri; 2) Integritas anggota dan Pejabat Polri. Pengawasan yang dilakukan oleh Kompolnas menurut Pasal 3 ayat (2) Perpres Nomor 17 Tahun 2011 adalah pengawasan fungsional. Pengertian pengawasan fungsional ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Pada Pasal 1 poin 10 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 menyebutkan pengertian Pengawasan fungsional adalah “Pengawasan fungsional adalah pengawasan yang dilakukan oleh Lembaga atau Badan atau Unit yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengawasan melalui pemeriksaan, pengujian, pengusutan dan penilaian.” Kompolnas adalah pengawas eksternal Polri dengan jenis pengawasan fungsional. Pengertian pengawas ekternal adalah pengawasan yang dilancarkan oleh petugas-petugas dari luar
65
organisasi ataupun perusahaan atau jawatan yang bersangkutan, baik merupakan pengawasan dari pihak pemerintah maupun masyarakat umum. Kompolnas sebagai pengawas ekteren karena Kompolnas adalah lembaga negara tersendiri yang independent yang di bentuk oleh presiden sebagai pembantu presiden dalam rangka mengawasi polri agar menjadi lebih baik dan profesional. Hal ini diatur dalam Pasal 37 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia jo Pasal 1 dan Pasal 2 ayat (1) Perpres Nomor 17 Tahun 2011 tentang Komisi Kepolisian nasional yang menyebutkan bahwa Pasal 37 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 1) Lembaga kepolisian nasional yang disebut dengan Komisi Kepolisian Nasional berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. 2) Komisi Kepolisian Nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk
dengan Keputusan
Presiden. Pasal 1 angka 1 Perpres Nomor 17 Tahun 2011 “Komisi Kepolisian Nasional yang selanjutnya disebut Kompolnas adalah Lembaga Kepolisian Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) UndangUndang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.” Pasal 2 ayat (1) Perpres Nomor 17 Tahun 2011
66
“Kompolnas merupakan lembaga non struktural, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berpedoman pada prinsip tata pemerintahan yang baik.” b. Sebagai penerima saran dan keluhan dari masyarakat terkait dengan kinerja Polri Peran Kompolnas yang ke dua dalam kaitanya dengan proses penyidikan ada dalam Pasal 9 huruf a yaitu Kompolnas sebagai penerima dan meneruskan saran dan keluhan masyarakat kepada Polri untuk ditindak lanjuti. Peran Kompolnas sebagai penerima saran dan keluhan masyarakat juga di atur dalam Pasal 7 huruf c Perpres Nomor 17 Tahun 2011 yang berbunyi : “menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja kepolisian dan menyampaikannya kepada Presiden.” Saran dan keluhan dari masyarakat yang masuk ke Komplnas dinamakan SKM atau Saran dan keluhan Masyarakat. Saran dan keluhan dari masyarakat yang diterima oleh Kompolnas adalah yang berkaitan dengan kinerja dan intergritas Polisi. Tindak lanjut dari SKM yang masuk adalah Kompolnas mengklarifikasi SKM tersebut ke pihak yang bersangkutan bersama dengan satuan pengawas internal Polri (SPI) yaitu Itwasda dan Divpropam dan memonitoring hasil dari kesepakatan atau keputusan mengenai kasus dalam SKM tersebut. Hal ini di atur dalam Pasal 9 huruf c Perpres Nomor 17 Tahun 2011 yang berbunyi:
67
“Melakukan klarifikasi dan monitoring terhadap proses tindak lanjut atas saran dan keluhan masyarakat yang dilakukan oleh Polri” Selain melakukan klarifikasi dan monitoring terhadap SKM yang masuk ke Kompolnas, Kompolnas juga wajib untuk memberiahukan hasil dari penanganan kasus tersebut kepada pelapor SKM. Hal ini diatur dalam Pasal 11 Perpres Nomor 17 Tahun 2011 yang berbunyi : “Kompolnas menyampaikan hasil tindak lanjut atas saran dan keluhan masyarakat yang disampaikan dan dilaporkan kepada Kompolnas kepada pelapor yang bersangkutan.” Apabila Kompolnas merasa bahwa penanganan kasus yang dilakukan oleh SPI belum dianggap cukup maka Kompolnas berhak untuk meminta SPI melakukan pemeriksaan tambahan atau pengulangan pemeriksa terhadap kasus tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 9 huruf d Perpres Nomor 17 Tahun 2011 yang berbunyi “Meminta pemeriksaan ulang atau pemeriksaan tambahan atas pemeriksaan yang telah dilakukan oleh satuan pengawas internal Polri terhadap anggota dan/atau Pejabat Polriyang diduga melakukan pelanggaran disiplin dan/atau etika profesi” Selain yang telah disebutkan sebelumnya Kompolnas mempunyai hak-hak lain dalam kaitanya dengan pelaksanaan peran kompolnas yang telah diatur dalam Pasal 9 Perpres Nomor 17 Tahun 2011. Kompolnas dalam melakukan wewenangnya dapat : Pasal 9 huruf e Perpres Nomor 17 Tahun 2011
68
“Merekomendasikan kepada Kapolri, agar anggota dan/atau pejabat Polri yang melakukan pelanggaran disiplin, etika profesi dan/atau diduga melakukan tindak pidana, diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku” Pasal 9 huruf f Perpres Nomor 17 Tahun 2011 “Mengikuti gelar perkara, Sidang Disiplin, dan Sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian” Pasal 9 huruf g Perpres Nomor 17 Tahun 2011 “Mengikuti pemeriksaan dugaan pclanggaran disiplin dan kode etik yang dilakukan oleh anggota dan/atau Pejabat Polri.” 1.2 Struktur Keanggotaan Kompolnas Struktur kepengurusan Kompolnas diatur dalam bab IV Perpres nomor 17 Tahun 2011. Keanggotaan Kompolnas terdiri dari 9 orang Komisioner dengan ketentuan seperti pada Pasal 14 Perpres Nomor 17 Tahun 2011 yaitu : “Keanggotaan Kompolnas terdiri dari unsur: a. pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang; b. pakar Kepolisian sebanyak 3 (tiga) orang; dan c. tokoh Masyarakat sebanyak 3 (tiga) orang.” Ketiga unsur tersebut tersusun atas 4 hal yang diatur dalam pasal 15 Perpres Nomor 17 Tahun 2011 yaitu : “Susunan keanggotaan Kompolnas, terdiri atas: a. ketua merangkap anggota; b. wakil Ketua merangkap anggota; c. sekretaris merangkap anggota; dan d. 6 (enam) orang Anggota.” Anggota aktif Kompolnas berjumlah 6 yang terdiri dari 3 orang Pakar kepolisian dan 3 orang tokoh masyarakatlah yang aktif melakukan
69
klarifikasi ke Polda atau Polres yang terdiri atas 31 rayon di seluruh Indonesia.
Hanya anggota Kompolnas lah yang berwenang untuk
melakukan seluruh Peran Kompolnas yang diatur dalam Perpres Nomor 17 Tahun 2011. 1.3 Hasil Pengawasan dan Penanganan SKM Pertama setelah melakukan pengawasan terhadap kinerja dan integritas Polri maka Kompolnas akan memberikan hasil kerjanya kepada Presiden. Selain memberikan hasil pengawasan kepada presiden Kompolnas juga dapat menggunakan hasil pengawasanya untuk membuat usulan arah kebijakan strategis untuk Polri agar dapat meminimalisis terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh oknum anggota Polri dalam rangka menciptakan polri yang baik dan profesional. Hal ini diatur dalam Pasal 4 huruf a Perpres Nomor 17 Tahun 2011yaitu : “Kompolnas bertugas membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Polri” Penyusunan arah bijak yang dilakukan oleh Kompolnas sesuai dengan Pasal 4 huruf a Perpres Nomor 17 Tahun 2011, Kompolnas melakukanya bersama-sama dengan Polri. Hal ini diatur dalam Pasal 5 ayat (3) Perpres Nomor 17 Tahun 2011 yang berbunyi : “Penyusunan arah kebijakan Polri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersama dengan Polri.” Kedua hasil klarifikasi atas SKM yang dilakukan oleh Kompolnas wajib diberitahukan kepada Pelapor SKM tersebut. Kewajiban ini diatur dalam Pasal 11 Perpres nomor 17 Tahun 2011 yang berbunyi :
70
“Kompolnas menyampaikan basil tindak lanjut atas saran dan keluhan masyarakat yang disampaikan dan dilaporkan kepada Kompolnas kepada pelapor yang bersangkutan.” 2. Hasil Penelitian Data Primer Narasumber dalam penelitian ini adalah Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Staff Komisi Kepolisian Nasional. Wawancara dilakukan secara terarah dan mendalam. Wawancara terarah maksudnya dalam wawancara terdapat pengarahan atau struktur tertentu dengan membatasi aspek masalah yang dibicarakan dan menggunakan daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan. Sedangkan wawancara mendalam dimaksudkan untuk membangkitkan pernyataan-pernyataan bebas yang dikemukakan secara berterus terang. Berdasarkan hasil wawancara terhadap narasumber di kota tersebut maka diperoleh data sebagai berikut: 2.1. Peranan
Komisi
Kepolisian
Nasional
(Kompolnas)
dalam
pengawasan perkara pidana di tingkat penyidikan a. Peran
Komisi
Kepolisian
Nasional
dalam
melakukan
pengawasan perkara di tingkat penyidikan Berdasarkan hasil wawancara dengan Prof. Adrianus Eliasta Meliala, Ph.D selaku salah 1 Komisioner Komisi Kepolisian Nasional diketahui bahwa peran kompolnas secara umum menurut Tugas pokok dan fungsi Kompolnas adalah ada 4 yaitu :
71
1. Membuat arah kebijakan Polri sebagai dokumen tertinggi Polri dalam rangka membuat arah bijak. 2. Memberi usulan dalam rangka pemberhentian dan pengangkatan Kapolri. 3. Memberikan rekomendasi kepada Presiden dan Kapolri dalam rangka 3 hal yaitu : a. Anggaran b. Sarana dan prasarana c. Sumber daya manusia 4. Menampung atau menerima saran dan keluhan dari masyarakat yang berkaitan dengan kinerja Polri.77 Berdasarkan
ke 4 peran umum Kompolnas yang telah
disebutkan di atas, Prof. Adrianus mengatakan bahwa Peran Kompolnas dalam melakukan pengawasan ditingkat Penyidikan ada pada Point ke 4 yaitu masuk pada peran menampung atau menerima saran dan keluhan dari masyarakat. Jadi peran kompolnas dalam melakukan pengawasan ditingkat penyidikan adalah peran Kompolnas yang paling akhir, paling belakang dan merupakan peran yang paling kecil dan pendek.78 Secara singkat menurut Tetra Megayanto Putra S.H. selaku Kabab Pelayanan Teknis Komisi Kepolisian Nasional mengatakan bahwa peran Kompolnas dalam hal sebagai pengawas perkara pidana di tingkat 77
Hasil wawancara dengan Prof. Adrianus Eliasta Meliala, Ph.D. Komisioner Komisi Kepolisian Nasional. di Jakarta. pada hari Selasa 17 Juni 2014. 78 Ibid.
72
penyidikan adalah mengadakan klarifikasi berdasarkan SKM (Saran dan Keluhan Masyarakat) yang masuk.79 Menurut Tetra Megayanto, setiap SKM yang masuk ke Kompolnas harus diklarifikasi, karena dalam Perpres Nomor 17 Tahun 2011 tugas Kompolnas yang ke 4 adalah sebagai penerima saran dan keluhan dari masyarakat.80 b. Batasan Komisi Kepolisian Nasional dalam melakukan pengawasan perkara pidana di tingkat penyidikan Prof. Adrianus mengatakan bahwa dalam melakukan pengawasan perkara ditingkat penyidikan harus tetap di ingat bahwa Kompolnas adalah lembaga pengawas Eksternal Polri. Sebagai lembaga pengawas eksternal Polri, Kompolnas tidak bisa melakukan tindakan berupa pengambil alihan kasus atau proses penyidikan. Kompolnas sebagai lembaga pengawas eksternal Polri dalam hal ini hanya bisa “melongok” atau “melihat” proses penyidikan tersebut. Jika memang semua proses penyidikan berjalan baik maka Kompolnas tidak perlu bertindak apa-apa. Namun jika memang terbukti ada suatu pelanggaran yang terjadi pada saat proses penyidikan maka Kompolnas akan melakukan kelarifikasi mengenai kasus pelanggaran penyidikan tersebut
79
Hasil wawancara dengan Tetra Megayanto Putra, S.H. Kabab Pelayanan Teknis Komisi Kepolisian Nasional. di Jakarta. pada hari Selasa 17 Juni 2014. 80 Ibid.
73
kepada penyidik yang bersangkutan dengan ditemani oleh Divpropam dan Itwasda.81 Kompolnas sebagai lembaga pengawas Eksternal Polri dalam melaksanakan perannya hanya sebagai “Pengkelarifikasi” apakah benar ada suatu penyimpangan dalam proses penyidikan. Kompolnas tidak bisa mengambil alih perkara tersebut namun mengembalikanya kepada Satuan Pengawas Internal Polri (SPI) yang sudah ada dan dalam hal ini adalah Itwasda dan Divpropam. Itwasda adalah SPI yang menangani masalah penyimpangan dan pelanggaran yang umum dilakukan oleh polri. Divpropam adalah SPI yang menangani masalah mengenai perilaku anggota Polri. 82 Kompolnas tidak wenang untuk mengusik kemandirian Polri dalam hal penyidikan, Itwasum dan Divpropam yang bertugas dan berwenang untuk merivew atau menangani mengenai kasus pelanggaran penyidikan tersebut. Karena Itwasum dan Divpropam yang bertugas untuk menangani kasus pelanggaran penyidikan tersebut maka ke dua satuan inilah yang berkewajiban untuk memberi informasi kepada Kompolnas mengenai kelanjutan, perkembangan dan segala informasi kasus pelanggaran penyidikan tersebut.83 Kompolnas juga berhak untuk bertanya dan menyatakan ketidak puasanya dalam hal perkembangan kasus pelanggaran 81
Hasil wawancara dengan Prof. Adrianus Eliasta Meliala, Ph.D. Op.Cit. Hasil wawancara dengan Prof. Adrianus Eliasta Meliala, Ph.D. Op.Cit. 83 Ibid. 82
74
penyidikan tersebut. Jika dirasa hasil perkembangan suatu kasus tidak memuaskan menurut Kompolnas maka Kompolnas dapat meminta Itwasum dan Divpropam untuk melanjutkan proses penyelesaian kasus pelanggaran penyidikan, bahkan Kompolnas dapat datang dan mengklarifikasi sendiri bersama dengan Itwasda dan Divpropam mengenai perkembangan kasus pelanggaran penyidikan tersebut kepada polda dan hal ini akan terus berlanjut sampai Kompolnas merasa puas.84 Proses Klarifikasi yang dilakukan oleh Kompolnas yang dilakukan langsung ke Polda ataupun Polres yang diduga terjadi suatu
pelanggran
penyidikan,
Kompolnas
tidak
boleh
melakukannya sendiri namun harus didampingi oleh Itwasda (jika berada di daerah) dan Divpropam.
85
Dalam Perpres Nomor 17
Tahun 2005 peran Kompolnas diibaratkan hanya seperti Tukang Pos karena hanya sebagai penyambung lidah antara masyarakat dengan Polda namun sejak dikeluarkanya Perpres Nomor 17 Tahun 2011 peran kompolnas ditingkatkan yaitu Kompolnas dapat melakukan
klarifikasi
mengenai
suatu
kasus
pelanggaran
penyidikan.86 c. Tipologi Pelanggaran tentang Kinerja Polri. Kompolnas dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai lembaga pengawas eksternal Polri telah membuat tipologi 84
Ibid. Ibid. 86 Ibid. 85
75
pelanggaran
tentang
kinerja
Polri.
Tipologi
ini
dibentuk
berdasarkan data-data yang masuk ke Kompolnas tentang pelanggaran yang sering dilakukan oleh anggota Polri. Pada dasarnya ada lima tipologi pelanggaran tentang kinerja Polri yaitu : 1. Pelayanan yang buruk; 2. Dugaan Korupsi; 3. Penyalahgunaan wewenang; 4. Diskresi yang keliru; 5. Diskriminasi. Kelima hal inilah yang menjadi tolak ukur adanya suatu pelanggaran atas kinerja Polri atau tidak.
87
Saat ini sedang di
matangkan mengenai 5 tipologi pelanggaran atas kinerja polri yang akan di tambah 1 point lagi yaitu hak-hak warga negara dan Kompolnas sedang membuat elaborasi dari masing-masing point tipologi tersebut. Elaborasi atas point-point tersebut sangat penting karena pada kenyataanya ada beberapa lembaga di Indonesia yang menjadi penerima keluhan-keluhan dari masyarakat mengenai kinerja Polri. Lembaga-lembaga negara yang menjadi penerima keluhan mengenai kinerja Polri adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP 4), Sekertaris jenderal Dewan Perwakilan
87
Ibid.
76
Rakyat (Sekjen DPR), Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara (Kemenpan), Call center Telkom, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Komnas Perempuan. Selain lembaga negara ada beberapa LSM yang menjadi penerima keluhan dari masyarakat mengenai kinerja Polri yaitu Imparsial, YLBHI dan Kontras.88 Semua lembaga-lembaga tersebut baik lembaga negara maupun non negara mempunyai mekanisme yang berbeda-beda dalam menampung keluhan dari masyarakat. Sebagai lembaga negara yang paling berwenang untuk menampung keluhan mengenai
kinerja
Polri,
Kompolnas
berupaya
untuk
mengumpulkan lembaga-lembaga tersebut untuk mengumpulkan data yang ada pada lembaga tersebut. Dengan mengumpulkan data yang dimiliki dari lembaga-lembaga tersebut maka Kompolnas akan mendapatkan data yang valid tentang Polri dan mengetahui apa yang menjadi indikator lembaga tersebut dalam menerima keluhan dari masyarakat mengenai kinerja Polri lalu indikator tersebut akan di masukan kedalam indikator yang dimiliki oleh Kompolnas. Hasil dari pengumpulan data dan indikator dari lembaga-lembaga tersebut adalah masih ada 1 hal yang tidak termasuk kedalam indikator yang dimiliki oleh kompolnas sebelumnya dalam tipologi pelanggaran tentang kinerja Polri yaitu
88
Ibid.
77
hak-hak warga negara, oleh karena itu hak-hak warga negara akan dimasukan menjadi indikator ke 6 dari tipologi pelanggaran tentang kinerja Polri.89 d. Mekanisme kerja Kompolnas dalam menangani SKM atau Kasus Pelanggaran Penyidikan. Mekanisme kerja Kompolnas dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga pengawas Polri dan sebagai penampung dan penerima saran dan keluhan masyarakat adalah ketika Komponas menerima SKM maka : 1. Kompolnas akan menyaring SKM yang masuk tersebut dan melihat apakah SKM ini termasuk wewenang Kompolnas atau tidak dalam menindak lanjutinya. 2. lalu Kompolnas akan memilah SKM tersebut termasuk kedalam bagian mana dari lima tipologi pelanggaran tentang kinerja Polri. 3. Kompolnas akan mengirim surat permohonan klarifikasi ke Polda sebanyak 8 surat. 4. Polda membalas surat permohonan klarifikasi dari Kompolnas. 5. Kompolnas bersama dengan Itwasum dan Divpropam melakukan klarifikasi atas SKM tersebut.
89
Ibid.
78
6. Kompolnas mengirim tembusan Surat permohonan klarifikasi SKM kepada pelapor surat. 7. Kompolnas akan menerima hasil klarifikasi SKM dari Polri melalui surat. 8. Hasil dari klarifikasi tersebut diberitahukan kepada pelapor surat.90 9. Apabila pelapor masih belum puas terhadap hasil klarifikasi yang dilakukan oleh Kompolnas maupun jawaban yang dikirim Polda maka pelapor dapat mengirimkan
ketidak
puasanya
kembali
kepada
Kompolnas dengan menyertakan dokumen pendukung untuk selanjutnya oleh Kompolnas akan diteruskan ke Polda kembali.91 10. Apabila Kompolnas menilai bahwa penanganan Polda ditemukan ada suatu kejanggalan, maka Kompolnas akan meminta kepada Polda untuk dilaksanakan gelar perkara dengan dihadiri oleh Kompolnas dan Kompolnas dapat meminta kepada Itwasum Polri dan bareskrim Polri untuk mendampingi Kompolnas dalam pelaksanaan gelar perkara yang dilaksanakan oleh Polda.92
90
Hasil wawancara dengan Tetra Megayanto Putra, S.H. Op.Cit. Komisi Kepolisian Nasional. 2014. Laporan. "Laporan Analisa dan Evaluasi Penanganan Saran dan keluhan Masyarakat Kompolnas Tahun 2013". hlm 5. 92 Ibid. 91
79
Pada saat SKM di register, maka Kompolnas akan mengirimkan
SKM surat kepada daerah mana objek dari
pengaduan dalam SKM tersebut, namun apabila SKM ini menyangkut kinerja Polri di Polres maka Kompolnas tidak dapat langsung mengirimkan Surat ijin mengadakan Klarifikasi atau Kompolnas tidak dapat langsung datang ke Polres namun harus tetap melalui Polda daerah itu. Hal ini karena suber hubungan Kompolnas adalah dengan Polda dalam hal ini adalah Itwasda. Selanjutnya dari Polda tersebut yang akan menghubungkan Kompolnas dengan polres yang dimaksud.93 Pada dasarnya semua SKM harus di tindak lanjuti oleh Kompolnas, namun yang membuat tidak pada dasarnya atau yang membuat SKM tersebut tidak ditindak lanjuti oleh Kompolnas apabila : 1. Bahan – bahan SKM tersebut tidak lengkap. 2. Setelah dilihat dan di saring ternyata SKM ini tidak menjadikan Kompolnas sebagai sumber pengaduan. Maksudnya adalah Kompolnas hanya sekedar menjadi tembusan dari sebuah pengaduan. 3. SKM tersebut tidak ada unsur polisinya. Unsur polisi sangat penting karena ini adalah sebagai dasar wewenang
93
Hasil wawancara dengan Tetra Megayanto Putra, S.H. Op.Cit.
80
Kompolnas dalam menangani kasus tersebut. Kompolnas hanya berkompetnsi mengurus masalah polisinya saja. Ke 3 hal tersebutlah yang menjadi dasar penyaringan dari kasuskasus, pengaduan dan SKM yang masuk ke Kompolnas. 94 SKM bukanlah suatu hal yang mutlak dibutuhkan bagi Kompolnas dalam melakukan peranya, tanpa adanya SKM Kompolnas tetap dapat melakukan pengawasan terhadap kinerja polri. Kompolnas turut berperan aktif dalam mengawasi Polri.95 Selama ini ada 2 katagori SKM yang masuk ke Kompolnas yaitu: 1. SKM yang bertingkat dan bersifat dari bawah ke atas. Tipikal SKM ini adalah jika ada orang yang memiliki kasus di polsek tertentu. Jika yang bersangkutan tidak puas, maka bisa mengadukannya tetap di Polsek yang sama atau ke Polres yang mengatasi Polsek tersebut. Jika tetap tidak puas, bisa naik ke Polda, bahkan ke mabes Polri. Ketika tetap saja tidak puas maka datanglah anggota masyarakat itu ke Kompolnas. 2. SKM yang bersifat melambung dan acak. Tipikal SKM ini adalah ketika ada orang yang memiliki kasus terkait kepolisian, maka kemudian SKM dilayangkan kemana saja. Bisa langsung ke Kapolri, ke Kompolnas atau bahkan ke presiden RI. Bisa pula SKM yang sama 94 95
Hasil wawancara dengan Prof. Adrianus Eliasta Meliala, Ph.D. Op.Cit. Ibid.
81
dikirim ke berbagai Komisi, mulai dari Komisi Pemberantasan korupsi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau ke komisi-komisi yang lain.96 Setelah klarifikasi selesai dilakukan maka Kompolnas akan membuat suatu berita acara yang berisikan apakah kasus tersebut telah selesai atau belum, mana kasus yang sudah terbukti atau belum. Ketika suatu kasus belum selesai padahal sudah diadakan klarifikasi maka Kompolnas akan menghubungi SPI untuk menindak lanjuti kasus tersebut. Kompolnas akan memantau apakah kasus tersebut ditindak lanjuti atau tidak oleh SPI. Kompolnas akan melihat apakah kasus ini harus ditindak lanjuti melalui peradilan pidana atau cukup dengan sanksi yang ada dalam kode etik atau sanksi disiplin. Ketika memang suatu kasus pelanggaran yang dilakukan oleh penyidik harus diselesaikan melalui peradilan pidana maka Kompolnas juga akan memantau jalannya persidangan hingga penjatuhan putusan.97 Pemantauan yang dilakukan oleh Kompolnas ini dilakukan melalui Itwasda dan Divpropam. Setelah semua proses penanganan SKM usai maka Kompolnas
akan
melakukan
Kegiatan
Analisis
Evaluasi
penanganan SKM yang masuk di Kompolnas. Kegiatan ini
96
Suara Komisi Kepolisian Nasional. “Mengadu ke Kompolnas? Jangan Melempar Bola Panas’’ Kompolnas. Juli 2013. hlm. 47. 97 Hasil wawancara dengan Tetra Megayanto Putra, S.H. Op.Cit.
82
dilakukan setiap bulan dengan membuat Laporan Analisa Evaluasi Perbulan.98 Terlampir data hasil pelaksanaan penanganan SKM di kompolnas dan hasil evaluasi penanganan SKM Tahun 2012-2013 sebagai bukti kinerja Kompolnas dalam melaksanakan peranya. Tabel 1. Rekapitulasi Berdasarkan Surat Masuk Perbulan Tahun 2013.
No
Satwil
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Total
SKM Saran
Januari 99 95 0 Februari 50 46 1 Maret 42 41 0 April 109 101 1 Mei 64 63 0 Juni 61 57 1 Juli 69 63 0 Agustus 1 1 0 September 164 160 0 Oktober 106 98 0 November 93 91 0 Desember 81 77 0 Jumlah 939 893 3 Sumber Laporan Analisa dan Evaluasi Masyarakat Tahun 2013
Surat Masuk Bukan Audiensi BKK TMS SKM 1 1 2 0 2 0 0 1 0 0 1 0 3 0 0 4 1 0 0 0 1 0 1 1 1 0 2 3 0 0 0 0 1 0 0 3 3 0 2 3 1 0 1 0 1 0 2 1 15 1 11 16 Penanganan Saran dan keluhan
Surat masuk terbanyak yang masuk ke Kompolnas adalah pada bulan September 2013 sebanyak 164 surat, disamping pada bulan April 2013 sebanyak 109 surat dan Oktober 2013 sebanyak 106 surat. Banyaknya surat-surat yang diterima pleh Kompolnas pada bulan-bulan tersebut dimungkinkan karena antar bulan Februari sampai dengan Juli 2013, Kompolnas mengadakan
98
Ibid.
83
kegiatan tatap muka dengan tokoh masyarakat di beberapa Polda serta sosialisasi dibeberapa mass media cetak maupun televisi sehingga berpengaruh terhadap kepedulian masyarakat khususnya yang menginginkan keadilan dan perlindungan hukum terhadap kinerja Polri kepada Kompolnas.99 Tabel 2. Rekapitulasi SKM Berdasarkan Pengelompokan Jenis Keluhan Tahun 2012. NO
Jenis Keluhan
Jumlah
Rangking
1
Penyalahgunaan wewenang
173
II
2
Pelayanan Buruk
277
I
3
Diskriminasi
25
III
4
Diskresi yang keliru
0
-
5
Korupsi
1
IV
Total
467
Sumber Laporan Analisa dan Evaluasi Penanganan Saran dan keluhan Masyarakat Tahun 2013 Pada
Tahun
pengelompokannya,
2012 seperti
SKM dalam
yang
berdasarkan
pengelompokan
SKM
berdasarkan jenis keluhan, dari jumlah SKM yang masuk 467 surat yang paling banyak dikeluhkan masyarakat adalah Pelayanan yang buruk.100
99
Komisi Kepolisian Nasional. Op.Cit.,hlm 5. Komisi Kepolisian Nasional. Op.Cit.,hlm 6.
100
84
Tabel 3. Rekapitulasi Rekapitulasi SKM Berdasarkan Pengelompokan Jenis Keluhan Tahun 2013.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 1 16 17 18 19 20 21 22 23 24 2 26 26 28 29 30 31 32
Satwil
JS
PB
Jenis Keluhan LW DK DM KR KK
NAD 6 3 2 0 1 0 0 SUMUT 131 80 39 0 11 1 11 SUMBAR 8 6 2 0 0 0 0 RIAU 30 18 11 0 1 0 2 Kep. RIAU 8 5 3 0 0 0 0 JAMBI 13 8 5 0 0 0 1 SUMSEL 35 18 14 0 1 2 0 BENGKULU 7 7 0 0 0 0 1 LAMPUNG 25 18 7 0 0 0 1 BABEL 11 4 7 0 0 0 1 METRO JAYA 169 122 26 0 0 1 5 JABAR 70 42 23 0 5 0 2 JATENG 62 37 20 0 4 1 1 DIY 16 10 6 0 0 0 1 BANTEN 8 6 2 0 0 0 0 JATIM 67 39 24 0 3 1 1 KALBAR 10 5 5 0 0 0 0 KALTIM 34 16 15 0 3 0 3 KALSEL 14 7 4 0 3 0 0 KALTENG 14 7 6 0 1 0 1 SULSEL 43 28 14 0 1 0 0 SULTRA 8 5 2 0 1 0 0 SULTENG 6 3 3 0 0 0 0 SULUT 23 13 9 0 1 0 0 GORONTALO 2 1 1 0 0 0 0 MALUKU UTARA 2 1 1 0 0 0 0 BALI 18 11 6 0 1 0 1 NTB 15 9 5 0 1 0 0 NTT 10 5 5 0 0 0 0 PAPUA 11 8 3 0 0 0 0 MALUKU UTARA 12 5 7 0 0 0 1 MABES POLRI 5 2 1 0 2 0 0 Jumlah 893 548 298 0 40 6 33 Sumber Laporan Analisa dan Evaluasi Penanganan Saran dan keluhan Masyarakat Tahun 2013
85
Keterangan : Satwil : Satuan wilayah JS : Jumlah Saran dan Keluhan Masyarakat PB : Pelayanan Buruk LW : Penyalah gunaan wewenang DK : Diskresi yang keliru KR : Korupsi KK : Kekerasan Keluhan masyarakat apabila dilihat dari jenis keluhanya maka keluhan tertinggi yaitu mengenai kinerja Polri yaitu 548 SKM atau 61%, sisanya adalah penyalah gunaan wewenang sebanyak 298 SKM atau 33% dan diskriminasi, dugaan korupsi dan kekerasan yang dilakukan oleh anggpta Polri total ada 79 SKM atau 6%. Polda Metro jaya dan Polda sulut adalah yang paling banyak menerima keluhan dari masyarakat karena pelayanan yang buruk. Tabel 4. Rekapitulasi SKM Berdasarkan Satuan Fungsi kepolisianTahun 2012. No Satuan Fungsi kepolisian Jumlah Rangking 1 Reserse 417 I 2 Samapta 2 III 3 Lantas 7 II 4 Intelkam 1 5 fungsi Lainya 49 IV Jumlah 476 Sumber Laporan Analisa dan Evaluasi Penanganan Saran dan keluhan Masyarakat Tahun 2013 Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa fungsi reserse adalah yang paling banyak menerima keluhan masyarakat, menyusul dibawahnya adalah fungsi Lantas diurutan ke II dengan jumlah 7 surat SKM, Fungsi Samapta di urutan ke III dengan
86
jumlah SKM 2 surat dan fungsi lainya berjumlah 49 Sutar SKM. Fungsi reserse paling banyak dikeluhkan oleh masyarakat karena reserse adalah fungsi yang mengemban tugas untuk memberikan pelayanan duubidang penegakan hukum yang rawan terjadinya pelanggaran sesuai dengan 5 tipologi pelanggaran yang dilakukan oleh anggota polri.101 Tabel 5. Rekapitulasi berdasarkan satuan fungsi kepolisian tahun 2013. FUNGSI KEPOLISIAN No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
SATWIL NAD SUMUT SUMBAR RIAU Kep. RIAU JAMBI SUMSEL BENGKULU LAMPUNG BABEL METRO JAYA JABAR JATENG DIY BANTEN JATIM KALBAR KALTIM KALSEL KALTENG SULSEL SULTRA SULTENG SULUT 101
JS
R
L
I
BM
0 4 2 0 0 0 1 1 0 0 2 0 2 1 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
6 4 131 108 8 6 30 28 8 8 13 12 35 29 7 5 25 22 11 11 169 157 70 59 62 49 16 15 8 7 67 62 10 8 34 30 14 13 14 14 43 39 8 8 6 3 23 21
Komisi Kepolisian Nasional. Op.Cit.,hlm 8.
S 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0
LL 2 17 0 2 0 1 5 1 3 0 10 11 11 0 0 3 2 4 0 0 4 0 3 2
87
25 26 27 28 29 30 31 32
GORONTALO 2 2 0 0 0 0 MALUKU UTARA 2 0 0 0 0 0 BALI 18 18 0 0 0 0 NTB 15 13 0 0 0 0 NTT 10 8 0 0 0 0 PAPUA 11 9 0 0 0 0 MALUKU UTARA 12 10 0 0 0 0 MABES POLRI 5 4 0 0 0 Jumlah 893 782 15 0 0 4 Sumber Laporan Analisa dan Evaluasi Penanganan Saran Masyarakat Tahun 2013
0 2 0 2 2 2 2 1 92 dan keluhan
Keterangan : Satwil : Satuan Wilayah JS : Jumlah Saran dan Keluhan Masyarakat R : Reserse L : Lantas I : Intel BM : Bina Mitra S : Samapta Fungsi reserse paling banyak mendapatkan keluhan yaitu sebesar 782 atau 88% hal ini dikarenakan fungsi reserse adalah satuan ungsi kepolisian yang banyak menjalankan upaya penegakan hukum terhadap pelanggar. Para pelaku pelanggaran sering merasa tidak puas dengan penanganan perkara yang dilakukan oleh fungsi reserse.102 Tabel 6. Rekapitulasi Berdasarkan Satuan Fungsi Kepolisian per bulan Tahun 2013. JML SATWIL N o 1 Januari 102
SURAT MASUK
SKM
RESERS E
LANTA S
95
81
1
Komisi Kepolisian Nasional. Op.Cit.,hlm 9.
SAM LAIN BINAINTE L MITR APT A A LAIN 0 0 0 13
88
2 3 4 5 6 7 8
Februari 46 32 0 0 0 0 14 Maret 41 32 3 0 0 0 6 April 101 84 4 0 0 2 11 Mei 63 55 0 0 0 0 8 Juni 57 47 0 0 0 0 10 Juli 63 52 2 0 0 0 9 Agustus 1 1 0 0 0 0 0 Septemb 9 er 160 149 0 0 0 1 10 10 Oktober 98 92 2 0 0 0 4 Novembe 11 r 91 84 2 0 0 1 4 Desembe 12 r 77 73 1 0 0 0 3 Jumlah 893 782 15 0 0 4 92 Sumber Laporan Analisa dan Evaluasi Penanganan Saran dan keluhan Masyarakat Tahun 2013 Apabila ditinjau dari data SKM perbulan selama Tahun 2013, maka dapat dilihat bahwa pengaduan masyarakat terkait dengan kinerja Polri banyak diterima oleh Kompolnas pada bulanbulan september, April, Oktober, Januari dan November Tahun 2013. Pengaduan masyarakat tersebut mencapai jumlah diatas 90 SKM. 103 Khusus pada bulan September 2013 jumlah SKM sebanyak 160 SKM sedang masyarakat yang mengadu tentang kinerja fungsi reserse sebanyak 149 SKM, pada bulan April 2013 sejumlah 101 SKM, sedang Masyarakat yang mengadu tentang kinerja fungsi reserse sebanyak 84 SKM.104
103 104
Komisi Kepolisian Nasional. Op.Cit.,hlm 10. Ibid.
89
h. perbandinga data SKM Tahun 2012 dan 2013 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
2012 48 37 42 29 44 29 37 32 61 44 28 45
2013 95 46 41 101 63 57 63 1 160 98 91 77
Analisa Evaluasi +4/95% +9/24% -1/-2% +72/248% +19/43% +28/96% +26/70% -31/-97% +99/162% +54/122% +63/225% +32/71%
476 893 +417/94% Jumlah Sumber Laporan Analisa dan Evaluasi Penanganan Saran dan keluhan Masyarakat Tahun 2013 Berdasarkan perbandingan data SKM Tahun 2012-2013 terjadi kenailan sebanyak 417 SKM dari 476 SKM Tahun 2012, menjadi 893 SKM diTahun 2013 atau terjadi kenaikan sebesar 94%. Sedang apabila dilihat dari tabel tersebut diatas, maka pada bulan April, September, Oktober, Nofember Tahun 2013 terjadi kenaikan yang signifikan dibanding Tahun 2012, rata-rata kenaikan diatas 100%, namun sebaliknya pada bulan Agustus 2013 terjadi penurunan drastis dibanding pada Tahun yang sama maupun Tahun 2012 karena pada bulan Agustus Tahun 2013 SKM yang diterima Kompolnas hanya 1 SKM.105
105
Komisi Kepolisian Nasional. Op.Cit.,hlm 13.
90
2.2
Hambatan
Komisi
Kepolisian
Nasional
dalam
melakukan
pengawasan perkara pidana di tingkat penyidikan. Komisi Kepolisian Nasional dalam melaksanakan peranya sebagai lembaga pengawas Polri tentunya memiliki kendala-kendala yang menghambat kinerja mereka. Kendala yang disampaikan adalah kendala umum yang dijumpai Komisioner kompolnas dalam melaksanakan tugasnya. Kendala yang pertama adalah kesediaan untuk diawasi dan kesediaan untuk berubah oknum anggota Polri. Prof. Adrianus berpendapat bahwa oknum polisi yang bermain kotor biasanya mengelak dan menutup diri ketika Kompolnas meminta laporan atas kejadian yang sebenarnya terkait suatu kasus pelanggaran. Karena kalau sudah ada niat untuk bermain kotor atau menyimpang maka Kompolnas tidak punya cukup daya untuk melakukan upaya yang lebih dalam mencari tahu mengenai kejadian yang sebenarnya. Semua hal itu dikarenakan
Kompolnas
hanya
bisa
memberikan
rekomendasi,
Kompolnas tidak berwenang untuk memidanakan, mencopot atau memindahakan anggota Polri dari suatu jabatan. Kompolnas hanya bisa memberikan rekomendasi untuk memperbaiki kinerja Polri namun semua itu tergantung kepada pihak yang diberikan rekomendasi. Kompolnas adalah pembantu presiden maka rekomendasi yang dibuat oleh kompolnas adalah untuk presiden. Prof. Adrianus berpendapat bawa sebagai pembantu presiden yang diberi tugas untuk melakukan
91
pengawasan terhadap Polri, secara logika mestinya presiden mendengar setiap rekomendasi yang diberikan oleh Kompolnas namun pada kenyataanya tidak ada yang dapat menjamin hal itu pasti terjadi.106 Prof. Adrianus juga berasumsi bahwa seharusnya Kapolri karena sudah mengetahui bahwa Kompolnas adalah pembantu presiden, Kapolri akan mendengar setiap masukan yang diberikan oleh Kompolnas. Pada kenyataanya tidak semua masukan yang diberikan oleh Kompolnas ditindak lanjuti oleh Kapolri. Hal seperti inilah yang dibaca oleh para pelaku yang berniat menyimpang untuk mengelabuhi Kompolnas.107 Mengetahui bahwa ada beberapa oknum polisi yang berniat atau telah mengelabuhi Kompolnas maka Kompolnas telah melakukan upaya untuk meminimalisir terjadinya hal tersebut. Memang benar dalam konteks “kasus” Kompolnas tidak bisa bermain terlalu jauh karena semua tindakan yang dilakukan tergantung kepada beberapa hal yaitu : 1. Tergantung kepada satuan pengawas internal Polri. 2. Tergantung kepada kerjasama antar satuan penyidik polri 3. Tergantung kepada satuan Polri tersebut, apakah mau untuk mengungkapkan masalah tersebut atau tidak dalam tingkat kasus. 108
106
Hasil wawancara dengan Prof. Adrianus Eliasta Meliala, Ph.D. Op.Cit. Ibid. 108 Ibid. 107
92
Mengetahui bahwa Kompolnas tidak bisa “bermain” dalam tingkat kasus maka pada tingkat yang lain Kompolnas mempunyai wewenang untuk membuat kebijakan dalam rangka meminimalisir terjadinya upaya pengelabuhan tersebut.109 Kompolnas membuat arah bijak untuk mempengaruhi berbagai keputusan Kapolri yang pada dasarnya dapat menghilangkan faktor atau hal-hal yang sering disalahgunakan oknum Polisi untuk mengelabuhi Kompolnas.
Prof.
Adrianus
juga
berpendapat
bahwa
dengan
dikeluarkannya satu kebijakan strategis maka dapat menghilangkan hingga 1000 kasus pelanggaran yang dilakukan oleh penyidik.110 Upaya membuat arah bijak yang strategis dalam menanggulangi hambatan Kompolnas sebagai pengawas Polri
diakui belum cukup
sempurna. Daya ubah yang lama adalah kelemahan dari upaya tersebut.111 Selain kesediaan untuk di awasi dan untuk berubah masih ada faktor yang menjadi kendala Kompolnas dalam melaksanakan peranya yaitu kurangnya Sumber Daya yang dimiliki oleh Kompolnas. Kompolnas dalam Perpres Nomor 17 Tahun 2011 mempunyai 3 fungsi yaitu : 1. Sebagai penasehat presiden terkait pembuatan arah bijak Polri dan pengangkatan Kapolri. 2. Sebagai badan penerima keligan Publik terkait kinerja Polri. 109
Ibid. Ibid. 111 Ibid. 110
93
3. Sebagai lembaga pengawas eksternal Polri.112 Besarnya fungsi tersebut harus dilakukan hanya dengan 1 lembaga yang sama yaitu Kompolnas, padahal Sumber daya Kompolnas sangat minim. Menurut Prof. Adrianus keputusan penggabungan tanggung jawab Kompolnas harus melaksanakan 3 fungsi sekaligus tersebut diatas hanya dalam 1 lembaga yang sama dimungkinkan untuk atas nama efisiensi. Namun dengan keterbatasan Sumber daya ini Kompolnas tetap di tuntut untuk melaksanakan semua fungsi tersebut dengan baik. Suber daya yang dimaksud disini bisa berarti man power atau sumber daya manusia dan kewenangan.113 Kurangnya sumberdaya manusia yang dimaksud adalah kurangnya staff ahli yang dapat membantu para Komisioner Kompolnas selaku anggota Kompolnas. Kurangnya Sumber daya dalam hal kewenangngan adalah kurang adanya fungsi punitif atau fungsi “gebuk” yang tidak dimiliki oleh Kompolnas. Kompolnas sebagai Public Complain maka harus mempunyai fungsi punitif. Fungsi punitif perlu untuk dimiliki agar para reserse mau untuk menuruti Kompolnas. Kurangnya sumberdaya
Kompolnas
tentunya
dapat
mempengaruhi
kinerja
Kompolnas dalam melaksanakan tugas-tugas dan wewenangnya. Hali ini juga secara langsung akan mempengaruhi kinerja Kompolnas sebagai lembaga pengawas perkara pidana pada tingkat penyidikan.114
112
Ibid. Ibid. 114 Ibid. 113
94
Menurut Tetra Megayanto kendala Kompolnas dalam menjalanan tugasnya adalah kecepatan dalam menangani SKM. Seperti yang sudah dibahas bahwa untuk dapat melakukan klarifikasi Kompolnas terlebih dahulu mengirimkan surat ijin melakukan klarifikasi ke Polda, namun tidak semua Polda langsung membalas surat dari Kompolnas. Hal ini akan memperlambat kinerja Kompolnas dalam menangani suatu SKM.115 Idelnya untuk penanganan satu SKM diperlukan waktu satu sampai dua bulan. Namun hal ini sukar untuk dilaksanakan karena Kompolnas hanya memiliki 6 Komisioner aktif yang harus melaksanakan semua tugas dan fungsi Kompolnas. Tugas dan fungsi Kompolnas bukan hanya menerima saran dan keluhan masyarakat tetapi ada beberapa yang lainnya sesuai dengan Perpres nomor 17 Tahun 2011. Berdasarkan hasil evaluasi data SKM yang masuk dari bulan Januari dampai Desember Tahun 2013 tercatat ada 893 SKM yang masuk ke Kompolnas dan ada 675 SKM yang dikirimkan ke Polda. Dari 675 SKM yang dikirimkan ke Polda ada 590 tunggakan SKM yang harus segera diselesaikan oleh Kompolnas.116 Lambatnya penanganan SKM membuat masyarakat tidak puas dan menggangap bahwa Kompolnas lamban dalam melaksanakan tugasnya.
115 116
Hasil wawancara dengan Tetra Megayanto Putra, S.H.Op. Cit. Komisi Kepolisian Nasional. Op.Cit.,hlm 14.
95
B. Pembahasan 3.
Peran Komisi Kepolisian Nasional dalam melakukan pengawasan perkara pidana di tingkat penyidikan. Peran adalah sebuah kata yang sering kita ucapkan dalam kehidupan
sehari-hari
namun
pada
kenyataanya
sukar
untuk
menerjemahkan arti dari kata peran. Ketika kita mendengar kata peran yang terpikirkan oleh kita adalah apa yang di perbuat sesuai fungsi, tugas dan tujuannya. Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia peran sendiri bermakna pemain sedangkan peranan mempunyai makna tindakan yg dilakukan oleh seseorang dalam suatu peristiwa.117 Jika menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh W.J.S Poerwardaminta118 peran adalah sesuatu yang menjadi bagian atau yang memegang pimpinan yang terutama dalam mewujudkan terjadinya tata pemerintahan yang baik. Berdasarkan pengertian mengenai peran diatas peranan Komisi Kepolisian Nasional sesuai dengan Perpres Nomor 17 Tahun 2011 secara keseluruhan ada 4 yaitu 1. Membuat arah kebijakan Polri sebagai dokumen tertinggi Polri dalam rangka membuat arah bijak. 2. Memberi usulan dalam rangka pemberhentian dan pengangkatan Kapolri.
117
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Op.Cit. W.J.S. Poerwardaminta, 1991, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Hal. 735. 118
96
3. Memberikan rekomendasi kepada Presiden dan Kapolri dalam rangka 3 hal yaitu : a. Anggaran b. Sarana dan prasarana c. Sumber daya manusia 4. Menampung atau menerima saran dan keluhan dari masyarakat yang berkaitan dengan kinerja Polri.119 Peran kompolnas dalam pengawasan perkara pidana di tingkat penyidikan adalah sebagai lembaga pengawas eksternal Polri dan sebagai lembaga yang menampung atau menerima saran dan keluhan dari masyarakat. Peran Kompolnas yang pertama akan dibahas adalah peran Kompolnas sebagai lembaga pengawas eksternal polri dalam kaitanya dengan pengawasan Kompolnas yang dilakukan saat proses penyidikan perkara pidana. Hal ini di atur dalam Pasal 3 ayat (1) Perpres Nomor 17 Tahun 2011. Pasal 3 ayat (2) menyebutkan bahwa: “Pelaksanaan fungsi pengawasan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan pemantauan dan penilaian terhadap kinerja dan integritas anggota dan pejabat Polri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Saat membicarakan mengenai peran Kompolnas dalam mengawasi perkara pidana pada tingkat penyidikan, sepintas Kompolnas tampak seperti bukan pihak yang tugasnya berkaitan langsung dengan penyidikan. Memang, dapat dikatakan polisi sebagai ujung tombak proses peradilan 119
Hasil wawancara dengan Prof. Adrianus Eliasta Meliala, Ph.D. Op.Cit.
97
pidana adalah pihak utama yang memiliki wewenang dan pengaruh terhadap pelaksanaan suatu penyidikan dan Kompolnas tidak dapat mempengaruhi kemandirian polisi dalam hal ini. Ketika terjadi suatu pelanggaran dalam proses penyidikan Kompolnas tetap tidak dapat secara aktif ikut ambil bagian untuk turut serta menyidik kasus pidana tersebut, karena wewenang Kompolnas adalah hanya sebagai lembaga pengawas eksternal Polri. Namun jika dikaji berdasarkan Perpres Nomor 17 Tahun 2011, sebenarnya Kompolnas memiliki peran penting untuk memastikan seluruh tindakan yang dilakukan polisi pada saat proses penyidikan adalah benar dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku demi terwujudnya Polri yang baik dan profesional. Kompolnas adalah lembaga pengawas eksternal polri dengan tipe pengawasan fungsional, maksudnya adalah Kompolnas sebagai lembaga pengawas yang kedudukanya diluar dari institusi Polri yang mengawasi kinerja Polri untuk menjamin profesionalisme dan kemandirian Polri dan Kompolnas merupakan lembaga pengawas yang dibentuk atau ditunjuk khusus untuk melaksanakan fungsi pengawasan secara independen terhadap obyek yang diawasi yaitu Polri. Kompolnas adalah lembaga nonstruktural Polri yang bertanggung jawab langsung kepada presiden, hal ini di atur dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) Perpres Nomor 17 Tahun 2011. Pada dasarnya peran Kompolnas sebagai lembaga pengawas Polri dan peran kompolnas sebagai lembaga penerima saran dan keluhan
98
masyarakat terkait dengan kinerja Polri, saling berhubungan erat. Apabila terjadi suatu pelanggaran pada proses penyidikan perkara pidana maka, akan ada keluhan dari masyarakat yang diterima Kompolnas, lalu Kompolnas akan melakukan klarifikasi atas pengaduan tersebut kepada penyidik yang bersangkutan dan memberikan saran untuk menindak lanjuti pelanggaran perkara pidana tersebut kepada Satuan pengawas Internal Polri. Satuan Pengawas Internal Polri (SPI)lah yang berwenang turut campur dalam proses penyidikan yang telah berlangsung. Terakhir Kompolnas akan terus mengawasi jalanya penyidikan hingga diketahui bahwa proses penyidikan telah kembali baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Begitu juga sebaliknya Kompolnas saat melakukan pengawasan dan mengetahui bahwa ada pelanggaran dalam proses penyidikan perkara pidana, Kompolnas tanpa menunggu adanya keluhan dari masyarakat dapat langsung mengadakan klarifikasi atas kasus pelanggaran tersebut dan melakukan mekanisme yang sama seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Sebagai lembaga pengawas eksternal Polri, Kompolnas tidak bisa melakukan tindakan berupa pengambil alihan kasus atau proses penyidikan. Kompolnas sebagai lembaga pengawas eksternal Polri dalam hal ini hanya bisa “melongok” atau “melihat” proses penyidikan tersebut. Apabila terjadi suatu pelanggaran pada proses penyidikan Kompolnas bekerja sama dengan SPI yaitu Inspektorat Pengawasan Umum
99
(Itwasum) dan Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Divpropam). Kompolnas akan bekerja sama dengan Itwasum, Jika pelanggaran yang dilakukan adalah berkaitan dengan kesalahan prosedur atau pelanggaran umum, namun apabila pelanggaran tersebut berhubungan dengan perilaku menyimpang anggota Polri maka Kompolnas akan bekerja sama dengan Divpropam. Itwasum dan Divpropamlah yang berhak untuk merivew dan menangani proses pelanggaran penyidikan. ke dua satuan inilah yang berkewajiban untuk memberi informasi kepada Kompolnas mengenai kelanjutan, perkembangan dan segala informasi kasus pelanggaran penyidikan tersebut. Itwasum dan Divpropam juga harus hadir pada saat Kompolnas melakukan klarifikasi atas kasus pelanggaran penyidikan suatu perkara pidana yang dilakukan oleh oknum polisi. Peran Kompolnas yang akan dibahas selanjutnya adalah peran Kompolnas sebagai lembaga yang menampung atau menerima saran dan keluhan dari masyarakat. Hal ini telah diatur dalam Pasal 9 huruf a dan Pasal 7 huruf c Perpres Nomor 17 Tahun 2011 yang pada pokoknya berisi Kompolnas sebagai lembaga yang menerima saran dan keluhan masyarakat. Saran dan keluhan dari masyarakat itu akan ditindak lanjuti oleh Polri selanjutnya Kompolnas sampaikan saran dan keluhan dari masyarakat tersebut kepada presiden. Peran Kompolnas dalam hal sebagai penerima saran dan keluhan dari masyarakat adalah mengadakan
100
kalifikasi berdasarkan SKM (Saran dam Keluhan Masyarakat) yang masuk.120 Saran dan keluhan dari masyarakat tentang Polri yang masuk ke Kompolnas disebut dengan SKM. SKM berbentuk surat yang dikirimkan oleh masyarakat baik melalui telfon, mitra Kompolnas maupun datang langsung ke sekertariat Kompolnas yang berada di Jakarta. Pada dasarnya setiap SKM yang masuk ke Kompolnas harus ditindak lanjuti oleh anggota Kompolnas. Hal yang membuat tidak setiap SKM ditindak lanjuti oleh Kompolnas adalah 1. Apabila Bahan – bahan SKM tersebut tidak lengkap. 2. Setelah dilihat dan si saring ternyata SKM ini tidak menjadikan
Kompolnas
sebagai
sumber
pengaduan.
Maksudnya adalah Kompolnas hanya sekedar menjadi tembusan dari sebuah pengaduan. 3. SKM tersebut tidak ada unsur polisinya. Unsur polisi sangat penting karena ini adalah sebagai dasar wewenang Kompolnas dalam
menangani
kasus
tersebut.
Kompolnas
hanya
berkompetnsi mengurus masalah polisinya saja. Ke 3 hal tersebutlah yang menjadi dasar penyaringan dari kasus-kasus, pengaduan dan SKM yang masuk ke Kompolnas. 121 Selama ini ada 2 katagori SKM yang masuk ke Kompolnas yaitu:
120 121
Hasil wawancara dengan Tetra Megayanto Putra, S.H. Op.Cit. Hasil wawancara dengan Prof. Adrianus Eliasta Meliala, Ph.D.Op. Cit.
101
1. SKM yang bertingkat dan bersifat dari bawah ke atas. Tipikal SKM ini adalah jika ada orang yang memiliki kasus di polsek tertentu. Jika yang bersangkutan tidak puas, maka bisa mengadukannya tetap di Polsek yang sama atau ke Polres yang mengatasi Polsek tersebut. Jika tetap tidak puas, bisa naik ke Polda, bahkan ke mabes Polri. Ketika tetap saja tidak puas maka datanglah anggota masyarakat itu ke Kompolnas. 2. SKM yang bersifat melambung dan acak. Tipikal SKM ini adalah ketika ada orang yang memiliki kasus terkait kepolisian, maka kemudian SKM dilayangkan kemana saja. Bisa langsung ke Kapolri, ke Kompolnas atau bahkan ke presiden RI. Bisa pula SKM yang sama dikirim ke berbagai Komisi, mulai dari Komisi Pemberantasan korupsi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau ke komisi-komisi yang lain.122 Kedua tipe ini memiliki kesulitanya masing-masing. Tipe SKM yang pertama menjadikan Kompolnas sebagai lembaga pengawas terakhir dan tertinggi. Sebagai lembaga pengawas tertinggi maka besar harapan orang bahwa Kompolnas dapat berbuat banyak. Jika satuan kerja sekelas Itwasum dan Divpropam sudah tidak dianggap lagi maka beban tanggung jawab Kompolnas menjadi sangat besar padahal wewenang Kompolnas dalam melakukan pengawasan sangat terbatas. Tipe SKM yang kedua juga
122
Suara Komisi Kepolisian Nasional. Op.Cit.
102
memiliki kesulitan yaitu Kompolnas cenderung tidak akan menindak lanjuti SKM tersebut karena akan muncul kemungkinan adanya respon ganda dari instansi-instansi yang lain.123 Hal ini akan menimbulkan kekacauan karena setiap instansi memiliki fokus yang berbeda-beda. sebagai
contohnya
apabila ada
SKM
yang masuk
ke
Komisi
Pemberantasan Korupsi maka tindak lanjut dari SKM tersebut akan terfokus pada dimensi korupsinya. Begitupula jika SKM tersebut masuk ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) maka tindak lanjut dari SKM tersebut akan terfokus pada dimensi hak asasi manusianya, padahal fokus Kompolnas adalah terkait dengan kinerja dan perilaku polisinya.124 Setelah Kompolnas menerima SKM dari masyarakat maka langkah pertama Kompolnas adalah melakukan Penyaringan SKM yang masuk tersebut dan melihat apakah SKM ini termasuk wewenang Kompolnas atau tidak dalam menindak lanjutinya. Terhadap kasus pelanggaran penyidikan kompolnas akan melihat apakah Kompolnas tidak menjadi lembaga tembusan atas pengaduan kasus pelanggaran penyidikan tersebut dan apakah bahan-bahan SKM telah dipenuhi atau belum. Kedua, Kompolnas akan memilah SKM tersebut termasuk kedalam bagian mana dari lima tipologi pelanggaran tentang kinerja Polri. Terdapat 5 Tipologi pelanggaran tentang kinerja Polri yang telah dibuat oleh Kompolnas berdasarkan SKM yang masuk ke Kompolnas. 123 124
Ibid. Suara Komisi Kepolisian Nasional. Op.Cit.
103
Kelima hal inilah yang menjadi tolak ukur adanya suatu pelanggaran atas kinerja Polri atau tidak. 125 Kelima tipologi tersebut adalah 1. Pelayanan yang buruk. 2. Dugaan Korupsi. 3. Penyalahgunaan wewenang. 4. Diskresi yang keliru. 5. Diskriminasi. Berdasarkan data yang bersumber dari laporan analisa dan evaluasi penanganan SKM Kompolnas Tahun 2013 diketahui bahwa terdapat 939 surat masuk ke Kompolnas dan 893 diantaranya adalah SKM. Jumlah ini meningkat sebesar 93% dari Tahun 2012 yang hanya ada 467 SKM masuk ke Kompolnas. Jenis keluhan yang paling banyak diadukan pada Tahun 2013 adalah mengenai pelayanan yang buruk sebesar 548 SKM dan penyalahgunaan wewenang sebesar 298 SKM. Berdasarkan sumber data yang sama satuan fungsi kepolisian yang paling banyak dikeluhkan oleh masyarakat adalah satuan reserse sebesar 782 SKM dari 893 SKM yang masuk. SKM mengenai pelanggaran penyidikan perkara pidana masuk dalam fungsi satuan kepolisian reserse dan ini membuktikan bahwa masih banyaknya dugaan pelanggaran yang terjadi dalam proses penyidikan perkara pidana yang dari Tahun 2012 sampai dengan Tahun 2013 mengalami peningkatan yang sangat tajam. 126
125 126
Hasil wawancara dengan Tetra Megayanto Putra, S.H.Op. Cit. Komisi Kepolisian Nasional. Op.Cit., hlm 5-13.
104
Ketiga, Kompolnas akan mengirim surat permohonan klarifikasi ke Polda sebanyak 8 surat. Hal ini dilakukan karena dalam melakukan klarifikasi Kompolnas bekerja sama dengan SPI, sehingga perlunya kesiapan dari SPI yang bersangkutan untuk mengadakan klarifikasi atas suatu kasus pelanggaran penyidikan bersama dengan Kompolnas. Pada saat SKM di register, maka Kompolnas akan mengirimkan
SKM
kedaerah mana objek dari pengaduan dalam SKM tersebut, namun apabila SKM ini menyangkut kinerja Polri di Polres maka Kompolnas tidak dapat langsung mengirimkan Surat ijin mengadakan Klarifikasi atau Kompolnas tidak dapat langsung datang ke Polres namun harus tetap melalui Polda daerah itu. Hal ini karena suber hubungan Kompolnas adalah dengan Polda dalam hal ini adalah Itwasda. Nanti dari Polda tersebut yang akan menghubungkan Kompolnas dengan polres yang dimaksud.127 Selama Tahun 2013 Kompolnas sudah mengirimkan 676 surat permohonan klarifikasi ke Polda. 128 Empat, Polda membalas surat permohonan klarifikasi dari Kompolnas. Pada tahap inilah yang sering menjadi kendala Kompolnas dalam melakukan klarifikasi menjadi tersendat karena terkadang tidak semua Polda langsung membalas surat dari Kompolnas. Hal ini akan memperlambat kinerja Kompolnas dalam menangani suatu SKM.129 Lima, Kompolnas bersama dengan Itwasum dan Divpropam melakukan klarifikasi atas SKM tersebut. Apabila Kompolnas menilai 127
Hasil wawancara dengan Tetra Megayanto Putra, S.H.Op. Cit. Komisi Kepolisian Nasional. Op.Cit., hlm 4. 129 Hasil wawancara dengan Tetra Megayanto Putra, S.H.Op. Cit. 128
105
bahwa penanganan Polda ditemukan ada suatu kejanggalan, maka Kompolnas akan meminta kepada Polda untuk dilaksanakan gelar perkara dengan dihadiri oleh Kompolnas dan Kompolnas dapat meminta kepada Itwasum Polri dan bareskrim Polri untuk mendampingi Kompolnas dalam pelaksanaan gelar perkara yang dilaksanakan oleh Polda.130 Kunjungan kerja Kompolnas ke Polda dalam rangka klarifikasi SKM selama tahu 2013 sebanyak 36 kali.131 Enam, Kompolnas mengirim tembusan Surat permohonan klarifikasi SKM kepada pelapor surat. Hal ini diatur dalam Pasal 11 Perpres nomor 17 Tahun 2011 yang berbunyi : “Kompolnas menyampaikan basil tindak lanjut atas saran dan keluhan masyarakat yang disampaikan dan dilaporkan kepada Kompolnas kepada pelapor yang bersangkutan.” Maksud dari pengiriman tembusan permohonan klarifikasi kepada pelapor adalah agar pelapor tahu sejauh mana SKM ditindak lanjuti oleh Kompolnas. Tujuh, Kompolnas akan menerima hasil klarifikasi SKM dari Polri melalui surat. Kompolnas hanya berwenang untuk melakukan klarifikasi terhadap penyidik yang melakukan pelanggaran bersama-sama dengan SPI. Itwasum dan Divpropam selaku SPI yang bertugas dan berwenang untuk merivew atau menangani mengenai kasus pelanggaran penyidikan tersebut. Karena Itwasum dan Divpropam yang bertugas untuk menangani kasus pelanggaran penyidikan tersebut maka ke dua satuan inilah yang 130 131
Ibid. Komisi Kepolisian Nasional. Op.Cit.,hlm 4.
106
berkewajiban untuk memberi informasi kepada Kompolnas mengenai kelanjutan, perkembangan dan segala informasi kasus pelanggaran penyidikan tersebut.132 Selama Tahun 2013 Kompolnas sudah menerima 246 surat laporan hasil klarifikasi dari Polri.133 Delapan, Hasil dari klarifikasi tersebut diberitahukan kepada pelapor surat.134 Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 11 Perpres nomor 17 Tahun 2011 yang berbunyi : “Kompolnas menyampaikan hasil tindak lanjut atas saran dan keluhan masyarakat yang disampaikan dan dilaporkan kepada Kompolnas kepada pelapor yang bersangkutan.” Pelapor berhak untuk mengetahui hasil tindak lanjut atas SKM yang telah dikirimkan ke Kompolnas. Selama Tahun 2013 Kompolnas telah mengirimkan surat jawaban hasil klarifikasi kepada pelapor atau pengadu sebanyak 510 surat.135 Apabila pelapor masih belum puas terhadap hasil klarifikasi yang dilakukan oleh Kompolnas maupun jawaban yang dikirim Polda maka pelapor dapat mengirimkan ketidak puasanya kembali kepada Kompolnas dengan menyertakan dokumen pendukung untuk selanjutnya oleh Kompolnas akan diteruskan ke Polda kembali.136 Setelah klarifikasi selesai dilakukan maka Kompolnas akan membuat suatu berita acara yang berisikan apakah kasus tersebut telah selesai atau belum, mana kasus yang sudah terbukti atau belum. Ketika 132
Ibid. Komisi Kepolisian Nasional. Op.Cit.,hlm 4. 134 Hasil wawancara dengan Tetra Megayanto Putra, S.H. Op.Cit. 135 Komisi Kepolisian Nasional. Op.Cit.,hlm 4. 136 Komisi Kepolisian Nasional. Op.Cit.,hlm 5. 133
107
suatu kasus belum selesai padahal sudah diadakan klarifikasi maka Kompolnas akan menghubungi Irwasda dan bekerja sama dengan irwasda untuk menindak lanjuti kasus tersebut. Kompolnas akan memantau apakah kasus tersebut ditindak lanjuti atau tidak, Kompolnas akan melihat apakah kasus ini harus ditindak lanjuti melalui peradilan pidana atau cukup dengan sanksi yang ada dalam kode etik atau sanksi disiplin. Ketika memang suatu kasus pelanggaran yang dilakukan oleh penyidik harus diselesaikan melalui peradilan pidana maka Kompolnas juga akan memantau
jalannya
persidangan
hingga
penjatuhan
putusan.137
Pemantauan yang dilakukan oleh Kompolnas ini dilakukan melalui itwasda dan Divpropam. 2. Hambatan Komisi Kepolisian Nasional dalam melakukan pengawasan perkara pidana di tingkat penyidikan Efektivitas memiliki arti berhasil atau tepat guna. Efektif merupakan kata dasar, sementara kata sifat dari efektif adalah efektivitas. Menurut Effendy138 efektivitas adalah: ”Komunikasi yang prosesnya mencapai tujuan yang direncanakan sesuai dengan biaya yang dianggarkan, waktu yang ditetapkan dan jumlah personil yang ditentukan”. Pada realita kehidupan bermasyarakat, seringkali penerapan hukum tidak efektif sehingga wacana ini menjadi perbincangan menarik untuk di
137 138
Hasil wawancara dengan Tetra Megayanto Putra, S.H. Op.Cit. http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/487/jbptunikompp-gdl-muhamadalf-24330-2
babii.p df. diakses pada tanggal 7 Agustus 2014. Pukul 0.31 WIB.
108
bahas dalam perspektif efektivitas hukum.139 Penerapan hukum yang baik akan mempengaruhi efektivitas adanya suatu lembaga hukum karena, hukum adalah pedoman untuk bertingkah laku untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Suatu lembaga hukum dibentuk tentunya memiliki suatu tujuan, dalam hal ini pembentukan Kompolnas bertujuan untuk menjamin profesionalisme dan kemandirian polri, yang dilakukan melalui kegiatan pemantauan dan penilaian terhadap kinerja dan integritas anggota dan pejabat Polri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada.140 Kompolnas dapat dikatakan efektif apabila Kompolnas dapat menyelesaikan
masalah
sesuai
dengan
tujuan
awal
dibentuknya
Kompolnas yaitu untuk meningkatkan profesionalisme dan kemandirian Polri. Untuk membahas keefektivitasan Kompolnas tentu ada baiknya juga memperhatikan faktor-faktor yang menghambat Kompolnas dalam melaksanakan perannya. Menurut Soerjono Soekanto141 ada lima faktor yang dapat mempengaruhi efektifitas berlakunya hukum. Faktor-faktor ini dapat dijadikan patokan untuk menentukan efektifitas Kompolnas selama ini. Faktor –faktor tersebut yaitu : 1. Hukumnya sendiri. 2. Penegak hukum. 139
http://sarmyendrahendy.blogspot.com/2012/06/dalamrealita-kehidupan bermasyarakat. html. diakses pada tanggal 6 Agustus 2014. Pukul 21.35 WIB. 140 www.kompolnas.go.id. Diakses pada tanggal Agustus 2014. Pukul 23.07 WIB. 141 http://sarmyendrahendy.blogspot.com/2012/06/dalamrealita-kehidupan bermasyarakat. html. diakses pada tanggal 6 Agustus 2014. Pukul 21.35 WIB.
109
3. Sarana dan fasilitas. 4. Masyarakat. 5. Kebudayaan Kenyataan yang terjadi banyak kendala yang dihadapi Kompolnas untuk mencapai tujuan Kompolnas baik yang berasal dari luar Kompolnas ataupun dalam Kompolnas yang membuat tidak maksimal dalam penerapanya. Berdasarkan data penelitian dari wawancara terhadap narasumber dan hasil pengamatan penulis maka terdapat beberapa kendala yang dirasakan oleh Komisi Kepolisian Nasional. Kendala yang disampaikan adalah kendala umum yang dijumpai Komisioner kompolnas dalam melaksanakan tugasnya. Kendala ini akan dibagi menjadi dua sumber yaitu kendala yang bersumber dari dalam Kompolnas (Interen) dan kendala yang bersumber dari luar Kompolnas (eksteren). 2.1 Kendala yang bersumber dari dalam Kompolnas (interen) Kendala Kompolnas yang bersumber dari dalam Kompolnas ada dua yaitu: a. Kurangnya Sumber Daya yang dimiliki oleh Kompolnas. b. Kecepatan dalam menangani SKM. Hambatan Pertama adalah kurangnya sumber daya yang dimiliki oleh Kompolnas. Sumber daya Kompolnas yang dimaksud ada 3 hal yaitu Sumber Daya Manusia (SDM), anggaran, dan kewenangan. Untuk hal anggaran Prof. Adrianus berpendapat bahwa hal itu bukan menjadi
110
hambatan Kompolnas, namun untuk hal SDM dan kewenangan itu menjadi kendala Kompolnas. Apabila dikaitkan dengan teori menurut Soerjono Soekanto142 tentang faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas hukum kendala ini masuk kedalam faktor penegak hukum untuk kurangnya Sumber Daya Manusia yang dimiliki Kompolnas dan faktor hukum untuk kurangnya wewenang yang dimiliki oleh Kompolnas dalam Perpres Nomor 17 Tahun 2011. Kurangnya sumberdaya manusia yang dimiliki Kompolnas. Hal ini termasuk dalam faktor pertama yaitu faktor penegak hukum. Sumber daya manusia yang dimaksud adalah kurangnya staff ahli yang dapat membantu para Komisioner Kompolnas melaksanakan tugasnya sehingga, kinerja para Komisioner Kompolnas maksimal. Saat ini Kompolnas hanya memiliki 9 orang Komisioner yang harus menjalankan seluruh tugas dan wewenang Kompolnas yang diatur dalam Perpres Nomor 17 Tahun 2011. Dari 9 Komisioner itu hanya 6 Komisioner yang aktif melakukan klarifikasi ke 31 Polda yang ada di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan pembagian wilayah rayon pengawasan terhadap Polda di Indonesia hanya untuk 6 orang Komisioner yang terdiri dari 3 orang Pakar Kepolisian dan 3 orang Tokoh Masyarakat. Padahal kita ketahui Jumlah SKM yang masuk ke
142
http://sarmyendrahendy.blogspot.com/2012/06/dalamrealita-kehidupan bermasyarakat. html. diakses pada tanggal 6 Agustus 2014. Pukul 21.35 WIB.
111
Kompolnas pada Tahun 2013 sejumlah 893 SKM.143 Banyaknya tugas, fungsi, dan wewenang yang harus dijalankan oleh Kompolnas dengan 9 orang Komisioner ini sudah barang tentu memberatkan para komisioner yang ada. Faktor yang kedua adalah faktor hukum, hal ini karena kurangnya Sumber daya dalam hal kewenangngan yang dimiliki oleh Kompolnas dalam Perpres Nomor 17 Tahun 2011. Wewenang yang dimaksud adalah fungsi punitif atau fungsi “gebuk” yang tidak dimiliki oleh Kompolnas. Kompolnas sebagai Public Complain maka harus mempunyai fungsi punitif. Fungsi punitif perlu untuk dimiliki agar para reserse mau untuk menuruti Kompolnas. Kurangnya sumberdaya Kompolnas tentunya dapat mempengaruhi kinerja Kompolnas dalam melaksanakan tugas-tugas dan wewenangnya. Hali ini juga secara langsung akan mempengaruhi kinerja Kompolnas sebagai lembaga pengawas perkara pidana pada tingkat penyidikan.144 Hambatan kedua adalah Kecepatan dalam menangani SKM. Hambatan ini berhubungan kausal dengan hambatan yang telah disebutkan sebelumnya. kecepatan menangani SKM di Kompolnas rendah karena dua hal yaitu: 1. Sumber daya manusia di Kompolnas yang minim. Hal ini menyebabkan semakin lamanya proses penanganan SKM karena para anggota Kompolnas terbatas jumlahnya yaitu hanya 6 143 144
Komisi Kepolisian Nasional. Op.Cit.,hlm 5. Ibid.
112
anggota aktif. Mininmya sumber daya manusia di Kompolnas ditambah lagi dengan tugas Kompolnas yang cukup banyak menyebabkan kurang maksimalnya kinerja para anggota Kompolnas yaitu dalam hal efisiensi waktu. 2. Waktu yang dibutuhkan oleh Polda untuk membalas surat permohonan klarifikasi dari Kompolnas. Hal ini dapat terjadi karena terkadang tidak semua Polda langsung membalas surat dari Kompolnas bahkan ada Polda yang tidak membalas surat permohonan klarifikasi dari Kompolnas. Hal ini akan memperlambat kinerja Kompolnas dalam menangani suatu SKM. Buruknya kinerja Kompolnas akan berakibat dengan kepuasan masyarakat akan kinerja Kompolnas. Padahal buruknya kinerja Kompolnas bukan karena kinerja anggota Kompolnas yang buruk melainkan karena faktor-faktor lain yang sudah dijelaskan di atas. 2.1 Kendala yang bersumber dari luar Kompolnas (eksteren) Hambatan Kompolnas dalam melaksanakan pengawasan perkara pidana pada tingkat penyidikan yang bersumber dari luar Kompolnas (eksteren) adalah kesediaan untuk diawasi dan kesediaan untuk berubah oknum penyidik yang melakukan pelanggaran. Hambatan ini masuk dalah faktor kebudayaan. Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan
113
sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang. Pada kenyataanya Layaknya orang yang berbuat kesalahan sebagian besar dari mereka enggan untuk diawasi karena takut kesalahanya terbongkar dan harus terkena sanksi, begitu pula dengan anggota penyidik yang enggan untuk diawasi karena takut terkena sanksi atas semua penyimpangan yang telah ia lakukan.
Anggota
Kompolnas Prof. Adrianus berpendapat bahwa oknum polisi yang bermain kotor biasanya mengelak dan menutup diri ketika Kompolnas meminta laporan atas kejadian yang sebenarnya terkait suatu kasus pelanggaran.145 Kompolnas tidak dapat berbuat banyak ketika memang ada anggota polisi yang menutup diri dan mengelak ketika dimintai keterangan oleh kompolnas pada saat proses klarifikasi kasus pelanggaran penyidikan perkara pidana karena Kompolnas hanyalah sebagai lembaga pengawas eksternal. Wewenang kompolnas sebagai lembaga eksternal jika diketahui ada aparat kepolisian yang melakukan pelanggaran adalah memberikan rekomendasi atau saran kepada satuan yang berwenang menjatuhkan sanksi terhadap anggota oknum polisi tersebut. Kompolnas tidak berwenang menjatuhkan sanksi apapun
145
Hasil wawancara dengan Prof. Adrianus Eliasta Meliala, Ph.D. Op.Cit.
114
kepada oknum polisi yang melakukan pelanggaran. Namun sebuah saran baru dapat dijalankan apabila pihak yang diberikan saran menerima saran tersebut. Kompolnas tidak dapat memaksakan rekomendasi yang diberikan oleh Kompolnas di setujui oleh pihak yang diberi saran. Menurut Pasal 7 huruf b Perpres Nomor 17 Tahun 2011 Kompolnas berwenang untuk memberikan saran kepada presiden untuk menciptakan Polri yang mandiri dan profesional. Apabila pelanggaran terjadi dalam tingkat kasus Kompolnas hanya dapat menegur secara lisan oknum polisi yang berbuat salah dan untuk hukuman disiplin, kode etik , ataupun pidana yang dijatuhkan akan diserahkan kepada pihak yang berwenang. Apabila terjadi kejanggalan dalam proses tindak lanjut atas pelanggaran yang dilakukan oleh anggota polisi maka Kompolnas akan meminta bantuan Itwasum dan Divpropam untuk memperbaiki kelasalah tersebut dan kompolnas akan terus mengawasi jalanya perbaikan tersebut. Kendala bahwa Kompolnas hanya bisa memberikan rekomendasi tanpa bisa memberikan sanksi kepada oknum polisi yang menyimpang atau turut capur dalam suatu proses penjatuhan sanksi terhadap polisi yang menyimpang merupakan kelemahan dalam sistem pengawasan yang
dilakukan
oleh
Kompolnas.
Kelemahan
ini
seringkali
dimanfaatkan oleh oknum polisi yang tidak bertanggung jawab untuk berbuat menyimpang.
115
Sampai dengan saat ini hal terbaik yang bisa Kompolnas lakukan hanyalah membuat arah bijak untuk mempengaruhi berbagai keputusan Kapolri yang pada dasarnya dapat menghilangkan faktor atau hal-hal yang sering disalahgunakan oknum Polisi untuk mengelabuhi Kompolnas.
Prof.
Adrianus
juga
berpendapat
bahwa
dengan
dikeluarkannya satu kebijakan strategis maka dapat menghilangkan hingga 1000 kasus pelanggaran yang dilakukan oleh penyidik.146 Namun solusi ini agaknya masih belum sempurna karena terdapat suatu kekurangan didalamnya. Pembuatan kebijakan strategis agar dapat berjalan dan berfungsi dengan benar memerlukan waktu yang cukup lama. Daya ubah akibat dikeluarkanya kebijakan tersebut juga memerlukan waktu yang lama. Kesimpulanya adalah Kompolnas belum sepenuhnya efektif dalam melaksanakan tujuannya karena, solusi Kompolnas untuk menghadapi hambatan yang dialami belum sepenuhnya efektif. Solusi yang diberikan masih mempunyai kelemahan yang cukup besar karna daya ubahnya yang lama.
146
Ibid.
116
BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Peranan Komisi Kepolisian Nasional dalam melakukan pengawasan perkara pidana di tingkat penyidikan adalah a. Sebagai lembaga pengawas eksternal Polri dengan jenis pengawasan fungsional. b. Sebagai lembaga yang menampung atau menerima saran dan keluhan dari masyarakat. 2. Kendala atau Hambatan Komisi Kepolisian Nasional dalam melakukan pengawasan perkara pidana di tingkat penyidikan adalah: a. Bersuber dari dalam diri Kompolnas 1) Kurangnya Sumber Daya yang dimiliki oleh Kompolnas. 2) Kurangnya Kecepatan dalam menangani SKM. b. Bersumber dari luar diri Kompolnas adalah kesediaan untuk diawasi dan kesediaan untuk berubah oknum anggota Polri. Kendala yang disampaikan adalah kendala umum yang dijumpai Komisioner kompolnas dalam melaksanakan peranya. B. Saran Beberapa saran dapat diberikan berkaitan dengan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini. Saran-saran tersebut adalah:
117
1. Peningkatan wewenang Kompolnas dalam melaksanakan fungsinya sebagai lembaga pengawas perlu dilakukan. Sebagai lembaga pengawas Kompolnas perlu memiliki fungsi punitif agar setiap hal yang dilakukan oleh Kompolnas dapat memberikan efek preventif untuk polisi yang hendak melakukan pelanggaran. 2. Penambahan Sumber Daya Manusia juga perlu dilakukan. Beratnya tanggung
jawab
menyebabnyak
yang
kurang
dipikul
oleh
maksimalnya
anggota kinerja
Kompolnas Kompolnas.
dapat Kurang
maksimalnya kinerja anggota Kompolnas dapat diminimalisir dengan memberikan bantuan berupa tambahan Sumber Daya Manusia yang bertugas untuk membantu Kompolnas menjalankan tanggung jawabnya.
DAFTAR PUSTAKA A. Literatur Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta:Sinar Grafika. Ibrahim, Joni. 2010. Teori dan Metedologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:Bayu Media Publishing. Makaro, Mohammad Taufik dan Suharsil. 2010. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek. Jakarta:Ghalia Indonesia. Marzuki, Peter Mahmud. 2007. Penelitian Hukum. Surabaya:Kencana Perdana Media Group. Mulyadi. 2002. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia. Ngani, Nico, dkk. 1984. Mengenal Hukum Acara Pidana (Bagian Umum dan Penyidikan), Yogyakarta: Liberty. Prakoso, Djoko. 1987. Penyidik, Penuntut Umum, Hakim Dalam Proses Hukum Acara Pidana. Jakarta: Bina Aksara. Poernomo, Bambang. 1992. Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta:Ghalia Indonesia. Poerwardaminta, W.J.S, 1998. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN. Balai Pustaka. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1985. Metode Penelitian Survai. Jakarta : Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Sutarto, Suryono. 1987, Sari Hukum Acara Pidana I. Semarang: Yayasan Cendekia Purna Dharma. Waluyo, Bambang. 2002. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta : Sinar Grafika. B. Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. ________, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian.
________, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pedoman Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. ________, Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah ________, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. ________, Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Komisi Polisi Nasional. Kapolri Nomor 12 tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. C. Internet dan lain-lain http://www.kompolnas.go.id/masyarakat-bisa-adukan-masalah-pelayanan-oknumpolisi-melalui-posko-kompolnas-di-fh-unsoed/, di akses pada tanggal 24 februari 2014. http://lapatuju.blogspot.com/2013/04/polisi-di-mata-masyarakat.html, pada tanggal 24 Februari 2014.
di
akses
http://kbbi.web.id/, di akses pada tanggal 26 Februari 2014. http://www.jpnn.com/read/2013/11/07/199615/Polri-Dapat-Rapor-Merah-dariOmbudsman-RI- , di akses pada tanggal 24 April 2014. http://m.tempo.co/read/news/2011/11/02/063364495/Tingkat-KepercayaanPublik-Terhadap-Kinerja-Lembaga-Hukum-Turun, di akses pada tanggal 6 April 2014. http://www.portalkbr.com/berita/perbincangan/2947874_5534.html, diakses pada tanggal 6 April 2014. liputan6.com/news/read/725956/kompolnas-masyarakat-tidak-puas-dengankinerja-reserse-polri, diakses pada tanggal 10 April 2014. http://www.polri.go.id/organisasi/op/vm/, Diakses pada tanggal 30 April 2014. http://nawzngapax.blogspot.com/2008/12/pengawasa-fungsional.html. pada tanggal 6 Mei 2014.
diakses
http://anissaisyaa.blogspot.com/2012/01/pengawasan.html. diakses pada tanggal 6 Mei 2014.
http://www.antarajateng.com/detail/index.php?id=73920, diakses pada tanggal 31 Mei 2014. http://www.imparsial.org/en/2010/evaluasi-peran-komisi-kepolisian-nasional-dimasa-reformasi.html, diakses pada tanggal 31 Mei 2014. http://www. negarahukum.com /hukum/penyelidikan-dan-penyidikan.html. diakses pada tanggal 1 Juli 2014. http://kantorhukumludwichbernhardhshpartners.blogspot.com/2011/06/penahanan -syarat-penahanan.html. diakses pada tanggal 1 Juli 2014. http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Kepolisian_Nasional. diakses pada tanggal 7 Juli 2014. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl624/sp3. diakses pada tanggal 11 Juli 2014. http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/122580-PK%20III%20637.8250 Penghentian %20penyidikan-Literatur.pdf. Diakses pada tanggal 11 Juli 2014. sarmyendrahendy.blogspot.com/2012/06/dalamrealita-kehidupan bermasyarakat. html. diakses pada tanggal 6 Agustus 2014. www.kompolnas.go.id. Diakses pada tanggal Agustus 2014. Wibowo, Catur Cahyono. 2012. Kebijakan Strategis Guna Mengoptimalkan Peran KOMPOLNAS Dalam Mempercepat Reformasi POLRI. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoron Semarang. Irsan, Koeparmono, Adrianus, Farouk, dkk,. 2000.Polisi Indonesia. Jurnal Polisi Indonesia”. jurnal. Vol.2, Program Pascasarjana Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia. Mahrus Ali. 2007. Sistem Peradilan Pidana progresif;Alternatif Dalam penegakan Hukum Pidana. Jurnal. Vol. 14. Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Sugama, I Dewa Gede Dana. 2014. Surat Perintah Penghentian Penyidikan (Sp3) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Hukum. Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Udhayana Denpasar. www.sarjanaku.com, diakses pada 10 Juni 2014.
Meliala, Adrianus Eliasta. Tahun 2014. Di wawancara oleh Dyah Tantri Tillotami. (17 Juni 2014). List Pertanyaan. Koleksi pribadi. Putra, Tetra Megayanto. Tahun 2014. Di wawancara oleh Dyah Tantri Tillotami. (17 Juni 2014). List Pertanyaan. Koleksi pribadi. Komisi Kepolisian Nasional. 2014. Laporan. "Laporan Analisa dan Evaluasi Penanganan Saran dan keluhan Masyarakat Kompolnas Tahun 2013". Laporan. Komisi Kepolisian Nasional. Jakarta. Suara Komisi Kepolisian Nasional. 2013. “Mengadu ke Kompolnas? Jangan Melempar Bola Panas’’ Kompolnas. hlm. 47.