Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017
PERAN GURU PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DALAM MEMBENTUK KARAKTER SISWA Yanty Rosdiana Barutu Sekolah Dasar Negeri 030293 Lae Hole Dairi Corresponding author:
[email protected] Abstrak Pembentukan karakter merupakan salah satu sasaran dari mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Melalui mata pelajaran inilah nilai-nilai Pancasila itu ditanamkan serta di belajarkan kepada siswa. Pembentukan karakter merupakan tujuan dari pembelajaran yang diberikan oleh guru. Peran guru PKn dalam membentuk atau membina karakter siswa merupakan alternatif utama dalam menghasilkan peserta didik yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Guru PKn harus bisa mengajarkan, menanamkan, mengaplikasikan apa yang telah dicita-citakan oleh dasar negara Indonesia yaitu Pancasila. Pengaplikasian karakter tidak hanya ketika di dalam kelas atau ketika kegiatan belajar berlangsung, tetapi guru PKn juga harus mengaplikasikannya ketika diluar kelas baik di lingkungan keluarga atau pun masyarakat. Agar guru tersebut menjadi panutan yang benar dalam membentuk karakter siswa. Kata kunci : peran guru, pendidikan kewarganegaraan, karakter siswa PENDAHULUAN Saat ini Indonesia sedang gencarnya dengan sebutan revolusi mental. Revolusi mental yang akan merubah karakter warga negara Indonesia untuk menghasilkan sumber daya manusia yang unggul, kreatif, inovatif serta mampu bersaing yang didapat melalui proses pendidikan baik pendidikan dasar maupun pendidikan menengah. Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan sesuai dengan apa yang ditetapkan di dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yaitu dalam pasal 28C ayat (1) dituliskan bahwa: “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” Pembentukan karakter merupakan salah satu sasaran dari mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Melalui mata pelajaran inilah nilai-nilai Pancasila itu ditanamkan serta di belajarkan kepada siswa. Pembentukan karakter merupakan tujuan dari pembelajaran yang diberikan oleh guru. Hardiyana (2014: 56) menyatakan bahwa guru PKn merupakan salah satu guru yang memiliki tugas dan kewajiban menanamkan etika norma dan perilaku yang berlaku di masyarakat, termasuk didalamnya penanaman pendidikan karakter bagi anak. Peran guru PKn dalam membentuk atau membina karakter siswa merupakan alternatif utama dalam menghasilkan peserta didik yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Guru PKn harus bisa mengajarkan, menanamkan, mengaplikasikan apa yang telah dicita-citakan oleh dasar negara Indonesia yaitu Pancasila. Pengaplikasian karakter tidak hanya ketika di dalam kelas atau ketika kegiatan belajar berlangsung, tetapi guru PKn juga harus mengaplikasikannya ketika diluar kelas baik di lingkungan keluarga atau pun masyarakat. Agar guru tersebut menjadi panutan yang benar dalam membentuk karakter siswa. Melalui proses pendidikan, warga negara dapat meningkatkan kualitas hidupnya, dapat memecahkan masalah dalam kehidupannya dan tujuan akhir dari pendidikan ini ialah membentuk karakter yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang dapat diimplementasikan di kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karakter yang sesuai dengan nilainilai Pancasila yaitu bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, jujur, bertanggungjawab, mengetahui hak dan kewajibannya, mandiri, mau menolong sesama, mengutamakan kepentingan orang banyak dari kepentingan pribadi, patuh dan taat terhadap hukum yang berlaku, memiliki sikap toleransi terhadap warga negara yang lain, disiplin, peduli terhadap lingkungan sosial, serta memiliki semangat kebangsaan. Inilah karakter yang harus ada di dalam diri peserta didik, selaku generasi penerus bangsa. Namun kenyataannya, berdasarkan hasil observasi masih ada siswa yang kurang berkarakter . Hal ini dibuktikan dari masih adanya siswa yang melanggar peraturan sekolah yaitu sering datang terlambat ke sekolah, tidak mengumpulkan tugas yang diberikan oleh guru tepat pada waktu yang ditentukan, menyontek ketika ujian, membuang sampah sembarangan, bolos sekolah, serta tidak menggunakan atribut atau simbolkelengkapan seragam yang sudah ditentukan misalnya topi, dasi, rompi, identitas nama siswa, identitas sekolah, warna kaos kaki serta tali pinggang. Guru BP/BK yang hanya ada 1 (satu) orang saja tidak sebanding dengan jumlah seluruh siswa sebanyak 171 orang. Dengan kurangnya guru BP/BK yang ada, maka perkembangan pembentukan karakter siswa tidak terkontrol dengan baik. Tidak ada pertemuan secara berkala antara kepala sekolah dan guru dengan orangtua siswa untuk membahas bagaimana perilaku siswa disekolah maupun dirumah. Komunikasi antara kepala sekolah dan guru dengan orangtua kurang terjalin http://semnasfis.unimed.ac.id
e-ISSN: 2549-5976 p-ISSN: 2549-435X 343
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017
dengan baik sehingga baik pihak sekolah maupun orangtua tidak mengetahui perkembangan karakter siswa dengan jelas. Hal ini mengakibatkan perkembangan karakter siswa menjadi kurang terkontrol. Selain itu guru yang mengajar dikelas juga kurang memperhatikan sikap seluruh siswanya. Guru hanya mengajar dikelas, menerangkan pelajaran, memberikan tugas atau pekerjaan rumah, serta memberikan ujian. Guru hanya memberikan aspek kognitif atau pengetahuan saja. Tetapi guru tidak menanamkan juga aspek afektif atau sikap kepada siswa. Jadi siswa hanya berlomba untuk mengejar mendapatkan nilai yang bagus saja. Hal inilah yang membuat sikap para siswa tidak diperhatikan oleh guru, karena guru tersebut hanya mengedepankan atau mengutamakan aspek kognitif atau pengetahuan saja. Didalam kelas guru memiliki batasan waktu yang sudah ditetapkan dalam kurikulum KTSP yaitu 2x40 menit dalam waktu seminggu. Dalam alokasi waktu tersebut guru harus menyelesaikan materi yang akan diajarkan yang sudah termuat di dalam Rencana PelaksananPembelajaran (RPP). Waktu yang sudah ditentukan itu digunakan untuk mengajarkan aspek kognitif, afektif dan psikomotor sekaligus dalam kegiatan pembelajaran. Berarti dalam mengajarkan aspek kognitif, guru juga memberikan afektif dan psikomotor kepada siswa secara bersamaan. Namun yang dinilai dalam kurikulum KTSP hanya aspek kognitif siswa saja yang dinilai oleh guru. PEMBAHASAN Peran Guru Dalam pasal 1 butir 1 undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, yang dimaksud dengan guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (Sholeh, 2006: 157). Guru adalah salah satu komponen manusiawi dalam proses belajar-mengajar, yang ikut berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang berpotensi dibidang pembangunan. Oleh karena itu, guru yang merupakan salah satu unsur di bidang kependidikan harus berperan serta secara aktif dan menempatkan kedudukannya sebagai tenaga profesional, sesuai dengan tuntutan masyarakat yang semakin berkembang. Dalam arti khusus dapat dikatakan bahwa pada setiap diri guru itu terletak tanggungjawab untuk membawa para siswanya pada suatu kedewasaan atau taraf kematangan tertentu. Dalam rangka ini guru tidak semata-mata sebagai “pengajar” yang melakukan transfer of knowledge, tetapi juga sebagai “pendidik” yang melakukan transfer of values dan sekaligus sebagai “pembimbing” yang memberikan pengarahan dan menuntun siswa dalam belajar (Sardiman, 2008: 125). Pengertian peran adalah sebuah kegiatan yang dilakukan karena adanya sebuah keharusan maupun tuntutan dalam sebuah profesi atau berkaitan dengan keadaan dan kenyataan. Jadi peran merupakan perilaku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang yang sesuai dengan kedudukannya dalam suatu sistem. Jadi peran di pengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil (Fauzi dkk, 2013: 3). Menurut Syatra (2013: 60) peran guru adalah memperhatikan anak didik dari berbagai aspek, sehingga mempermudah pencapaian tujuan yang dicita-citakan oleh anak didik. Menurut Wrigthman dalam Usman (2002: 4) peranan guru adalah terciptanya serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan yang dilakukan dalam suatu situasi tertentu serta berhubungan dengan kemajuan tingkah laku dan perkembangan siswa siswa yang menjadi tujuannya. Menurut Usman (2002: 9-12) peran guru dalam proses belajar mengajar yaitu sebagai berikut: a) Guru sebagai demonstator: melalui peranannya sebagai demonstrator, lecturer, atau pengajar, guru hendaknya senantiasa menguasai bahan atau materi pelajaran yang akan diajarkannya serta senantiasa mengembangkannya dalam arti meningkatkan kemampuannya dalam hal ilmu yang dimilikinya karena hal ini akan sangat menentukan hasil belajar yang dicapai oleh siswa. Sehingga mampu memperagakan apa yang diajarkannya secara didaktis. Maksudnya agar apa yang disampaikannya itu betul-betul dimiliki oleh anak didik; b) Guru sebagai pengelola kelas: dalam perannya sebagai pengelola kelas (learning manager), guru hendaknya mampu mengelola kelas sebagai lingkungan belajat serta merupakan aspek dari lingkungan sekolah yang perlu diorganisasi. Lingkungan ini diatur dan diawasi agar kegiatan-kegiatan belajar terarah kepada tujuan-tujuan pendidikan; c) Guru sebagai mediator dan fasilitator: sebagai mediator guru hendaknya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media pendidikan karena media pendidikan merupakan alat komunikasi untuk lebih mengefektifkan proses belajar mengajar. Sebagai mediator guru pun menjadi perantara dalam hubungan antarmanusia. Tujuannya agar guru dapat menciptakan secara maksimal kualitas lingkungan yang interaktif. Sebagai fasilitator guru hendaknya mampu mengusahakan sumber belajar yang berguna serta dapat menunjang pencapaian tujuan dan proses belajar-mengajar, baik yang berupa narasumber, buku teks, majalah, ataupun surat kabar; dan d) Guru sebagai evaluator: guru hendaknya mampu dan terampil melaksanakan penilaian karena dengan penilaian, guru dapat mengetahui prestasi yang dicapai oleh siswa setelah ia melaksanakan proses belajar. Dalam fungsinya sebagai penilai hasil belajar siswa, guru hendaknya terus-menerus mengikuti hasil belajar yang telah dicapai oleh siswa dari waktu ke waktu. Menurut Sardiman (2008: 144-146) menyatakan peranan guru dalam kegiatan belajar-mengajar secara singkat dapat disebutkan sebagai berikut: a) Informator: sebagai pelaksana cara mengajar informatif, laboratorium, studi lapangan dan sumber informasi kegiatan akademik maupun umum; b) Organisator: guru sebagai organisator, pengelola kegiatan akademik, silabus, workshop, jadwal pelajaran dan lain-lain. Komponen-komponen yang berkaitan dengan kegiatan belajarmengajar, semua diorganisasikan sedemikian rupa, sehingga dapat mencapai efektivitas dan efesiensi dalam belajar pada diri siswa; c) Motivator: untuk meningkatkan kegairahan dan pengembangan kegiatan belajar siswa. Guru harus dapat http://semnasfis.unimed.ac.id
e-ISSN: 2549-5976 p-ISSN: 2549-435X 344
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017
merangsang dan memberikan dorongan serta reinforcement untuk mendinamisasikan potensi siswa, menumbuhkan swadaya (aktivitas) dan daya cipta (kreativitas), sehingga akan terjadi dinamika di dalam proses belajar mengajar; d) Pengarah/ direktor: guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan. Guru harus juga ”handayani”; e) Inisiator: sebagai pencetus ide-ide dalam proses belajar. Sudah barang tentu ide-ide itu merupakan ide-ide kreatif yang dapat dicontoh oleh anak didiknya; f) Transmitter: guru akan bertindak selaku penyebar kebijaksanaan pendidikan dan pengetahuan; g) Fasilitator: guru akan memberikan fasilitas atau kemudahan dalam proses belajar-mengajar, misalnya saja dengan menciptakan suasana kegiatan belajar yang sedemikian rupa, serasi dengan perkembangan siswa, sehingga interaksi belajar-mengajar akan berlangsung secara efektif. Hal ini bergayut dengan semboya “Tut Wuri Handayani”; h) Mediator: guru sebagai penengah dalam kegiatan belajar siswa. Misalnya menengahi atau memerikan jalan ke luar kemacetan dalam kegiatan diskusi siswa. Mediator juga diartikan sebagai penyedia media. Bagaimana cara memakai dan mengorganisasikan penggunaan media; dan g) Evaluator: guru mempunyai otoritas untuk menilai prestasi anak didik dalam bidang akademis maupun tingkah laku sosialnya, sehingga dapat menentukan bagaimana anak didiknya berhasil atau tidak. Konsep Karakter Pencetus pendidikan karakter pertama yaitu pedagogi Jerman yang bernama F.W. Foerster (869-1966). Karakter menurut Foerster adalah sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas, menjadi ciri, menjadi sifat yang tetap, yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Jadi karakter adalah seperangkat nilai yang telah mnejadi kebiasaan hidup sehingga menjadi sifat tetap dalam diri seseorang, misalnya kerja keras, pantang menyerah, jujur, sederhana dan lain sebagainya. Dengan karakter itulah kualitas seseorang pribadi diukur. Sedangkan tujuan pendidikan karakter adalah terwujudnya kesatuan esensial si subjek dengan perilaku dan sikap/nilai hidup yang dimilikinya. Jadi, pendidikan karakter dapat dilakukan dengan pendidikan nilai pada diri seseorang (Adisusilo, 2014: 77-78). UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 3, yang menyebutkan bahwa: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Watak atau karakter berasal dari kata Yunani “charassein”, yang berati barang atau alat untuk menggores, yang dikemudian hari dipahami sebagai stempel/cap. Jadi watak itu sebuah stempel atau cap, sifat-sifat yang melekat pada seseorang. Watak sebagai sifat seseorang dapat dibentuk, artinya watak seseorang dapat berubah, kendati watak menandung unsur bawaan (potensi internal), yang setiap orang dapat berbeda. Namun, watak amat dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu keluarga, sekolah, masyarakat, lingkungan pergaulan dan lain-lain (Adisusilo. 2014:76). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku (Musfiroh dalam Purwanto, 2014: 179). Menurut pusat bahasa Depdiknas karakter berarti bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak. Karena hal itu, istilah karakter dihubungkan dan dipertukarkan dengan istilah etika, akhlak, dan atau nilai dan berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi positif bukan netral (Purwanto, 2014:179). Defenisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Dengan demikian karakter adalah nilai-nilai yang unik, baik yang tertanam dalam diri maupun yang terimplementasi dalam perilaku (Purwanto, 2014: 180). Menurut Moenier dalam Lestari dan Sukanti (2016: 76-77), bahwa karakter dapat dilihat dari dua hal. Pertama, sebagai sekumpulan kondisi yang telah diberikan begitu saja, atau telah ada begitu saja yang lebih kurang dipaksakan dalam diri manusia. Karakter yang demikian ini dianggap sesuatu yang telah ada dari sananya (given). Kedua, karakter juga bisa dipahami sebagai tingkat kekuatan melalui mana seseorang individu mampu menguasai kondisi tersebut. Karakter yang seperti ini disebutnya sebagai sebuah proses yang dikehendaki (willed).Dengan demikian, karakter adalah nilai-nilai yang terpatri dan terukir dalam diri manusia melalui pendidikan, endapan pengalaman, pembiasaan, dan pengaruh lingkungan, dipadukan dengan nilai-nilai intrinsik dalam diri manusia yang mendarah daging yang mendasari pemikiran, sikap, perilaku secara sadar, dan bebas. Orang yang berkarakter dengan demikian seperti seseorang yang membangun dan merancang masa depannya sendiri. Ia tidak mau dikuasai oleh kondisi kodrati yang menghambat perkembangannaya. Sebaliknya ia menguasainya, bebas mengembangkannya demi kesempurnaan kemanusiaan dan spiritualnya. Pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya (Purwanto, 2014:184). Menurut Haryanto dalam Purwanto (2014: 184) pendidikan karakter merupakan upaya yang terencana untuk menjadikan peserta didik mengenal, peduli dan menginternalisasi nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan kamil. Menurut Ramli dalam Purwanto (2104: 184) menyatakan bahwa pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik , warga masyarakat, dan wara negara yang baik (menjunjung nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya). http://semnasfis.unimed.ac.id
e-ISSN: 2549-5976 p-ISSN: 2549-435X 345
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017
Menurut Kemendiknas dalam Purwanto (2014: 184-185) menyebutkan bahwa pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang hal yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (domain kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (domain afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (domain perilaku). Jadi, pendidikan karakter terkait erat kaitannya dengan kebiasaan yang terus menerus dipraktikkan atau dilakukan. Kemendiknas dalam Purwanto (2014: 186-187) memaparkan beberapa tujuan dari pendidikan karakter yaitu mengembangkan nilai-nilai yang terdapat pada Pancasila, meliputi: (1) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) membangun bangsa yang berkarakter Pancasila; (3) mengembangkan potensi warga negara agar memiliki sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia. Hal itu merupakan tujuan pendidikan karakter secara umum. Tujuan pendidikan karakter dalam arti khusus untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter atau akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi kelulusan. Peran Guru PKn dalam Membentuk Karakter Siswa Menurut Kemendiknas dalam Purwanto (2014:192) bahwa karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting), dan kebiasaan (habit). Karakter tidak terbatas pada pengetahuan saja. Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai dengan pengetahuannya, jika tidak terlatih (menjadi kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut. Karakter juga menjangkau wilayah emosi dan kebiasaan diri. Dengan demikian diperlukan tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling (perasaan tentang moral), moral action (perbuatan bermoral). Hal ini diperlukan agar peserta didik atau warga sekolah lain yang terlibat dalam sistem pendidikan tersebut sekaligus dapat memahami, merasakan, menghayati, dan mengamalkan (mengerjakan) nilai-nilai kebajikan (moral). Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleransi, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila (Puspitasari, 2014: 46). Kemendiknas dalam Purwanto (2014: 189-191) menyatakan bahwa dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter pada satuan pendidikan telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional. Berikut ini daftar 18 nilai yang dimaksud yaitu sebagai berikut: a) Religius: pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan dan/atau ajaran agamanya; b) Jujur: perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap diri dan pihak lain; c) Tanggung jawab: sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana yang seharusnya dia lakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, budaya), negara dan Tuhan yang Maha Esa; d) Disiplin: tindakan yang menunjukan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan; e) Kerja keras: perilaku yang menunjukan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas (belajar/pekerjaan) dengan sebaik-baiknya; f) Berfikir logis, kritis, kreatif dan inovatif: berfikir dan melakukan sesuatu secara kenyataan atau logika untuk menghasilkan cara atau hasil baru dan mutakhir dari apa yang telah dimiliki; g) Mandiri: sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas; h) Rasa ingin tahu: sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluar dari apa yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar; i) Cinta ilmu: cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap pengetahuan; j) Toleransi: sikap tahu dan mengerti serta melaksanakan apa yang menjadi diri sendiri dan orang lain serta tugas/kewajiban diri sendiri dan orang lain; k) Menghargai prestasi: sikap dan tindakan yang mendorong dirinyauntuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain; l) Bersahabat/komunikatif: sifat yang halus dan baik dari sudut pandang tata bahasa dan tata perilakunya ke semua orang; m) Demokratis: cara berfikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain; n) Semangat kebangsaan: berfikir dan bertindak yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan diri dan kelompoknya; o) Cinta tanah air: cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya; p) Menghargai keberagaman: sikap memberikan respek/hormat terhadap berbagai macam hal yang baik yang berbentuk fisik, sifat, adat, budaya, suku, dan agama; q) Peduli lingkungan: sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi; dan r) Peduli sosial: sikap selalu ingin memberi bantuan bagi orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Menurut Adisusilo (2014:82-83), yang dapat dilakukan oleh guru yaitu sebagai berikut: a) Guru harus mengubah paradigma dari pengajar menjadi pendidik; b) Dalam setiap pembelajaran atau tatap muka, guru menunjukkan bahwa “di balik” materi yang dipelajari, minimal ada satu nilai kehidupan yang baik bagi siswa untuk diketahui, dipikirkan, direnungkan dan diyakini sebagai hal yang baik dan benar sehingga mendorongnya untuk melaksanakan dalam kehidupannya; c) Guru menawarkan mulai dengan nilai-nilai yang elementer, relevan, dan konstektual, misalnya guru PKn menekankan nilai: kejujuran, kemanusiaan, penghormatan terhadap sesama/rasa hormat, kedisplinan, ketertiban, kepedulian dan lain-lain http://semnasfis.unimed.ac.id
e-ISSN: 2549-5976 p-ISSN: 2549-435X 346
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017
dalam kehidupan sehari-hari; d) Nilai-nilai tertentu itu terus-menerus diingatkan kepada siswa dan guru mencoba memberi contoh konkret; dan e) Pelaksanaan atas nilai-nilai di atas menjadi bagian dalam penilaian hasil belajar (masuk jenis portofolio). Nilai-nilai karakter untuk Mata Pelajaran PKn meliputi nilai karakter pokok dan nilai karakter utama. nilai karakter pokok mata pelajaran PKn yaitu : kereligiusan, kejujuran, kecerdasan, ketangguhan, kedemokratisan, dan kepedulian. Sedangkan nilai karakter utama mata pelajaran PKn yaitu : nasionalis, kepatuhan pada aturan sosial, menghargai keberagaman, kesadaran akan hak dan kewajiban diri dan orang lain, bertanggung jawab, berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, dan kemandirian.Nilai-nilai karakter utama ini dapat dikembangkan lebih luas, untuk upaya memperkokoh fungsi PKn sebagai pendidikan karakter (Cholisin, 2011: 10-11). SIMPULAN Pembentukan karakter merupakan salah satu sasaran dari mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Melalui mata pelajaran inilah nilai-nilai Pancasila itu ditanamkan serta di belajarkan kepada siswa. Pembentukan karakter merupakan tujuan dari pembelajaran yang diberikan oleh guru. Peran guru PKn dalam membentuk atau membina karakter siswa merupakan alternatif utama dalam menghasilkan peserta didik yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Guru PKn harus bisa mengajarkan, menanamkan, mengaplikasikan apa yang telah dicita-citakan oleh dasar negara Indonesia yaitu Pancasila. Pengaplikasian karakter tidak hanya ketika di dalam kelas atau ketika kegiatan belajar berlangsung, tetapi guru PKn juga harus mengaplikasikannya ketika diluar kelas baik di lingkungan keluarga atau pun masyarakat. Agar guru tersebut menjadi panutan yang benar dalam membentuk karakter siswa. REFERENSI Adisusilo, Sutarjo J. R. 2014. Pembelajaran Nilai Karakter: Konstruktivisme dan VCT Sebagai Pendekatan Pembelajaran Afektif. Jakarta: Rajawali Press. Basri, Hasan. 2012. Kapita Selekta Pendidikan. Bandung: CV Pustaka Setia. Djamarah, Syaiful Bahri. 2000. Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: PT Rineka Cipta. Mulyasa, E. 2008. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mustari, M. 2014. Nilai Karakter: Refleksi Untuk Penelitian. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Prayitno dan Belferik Manullang. 2010. Pendidikan Karakter dalam Pembangunan Bangsa. Medan: Pascasarjana UNIMED. Purwanto, N. 2014. Pengantar Pendidikan.Yogyakarta: Graha Ilmu. Sagala, Syaiful. 2013. Etika dan Moralitas Pendidikan: Peluang dan Tantangan. Jakarta: Kencana. Sardiman, A. M. 2008. Interaksi dan Motivasi Belajar-Mengajar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Setiawan, Deny dan Sri Yunita. 2017. Kapita Selekta Kewarganegaraan. Medan: Larispa Indonesia. Sholeh, A. N. 2006. Membangun Profesionalitas Guru: Analisis Kronologis atas Lahirnya UU Guru dan Dosen.Jakarta: eLSAS. Syatra, N. Y. 2013. Desain Relasi Efektif Guru dan Murid. Yogyakarta: Bukubiru. Usman, M. U. 2002. Menjadi Guru Profesional.Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
.
http://semnasfis.unimed.ac.id
e-ISSN: 2549-5976 p-ISSN: 2549-435X 347