perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERAN DAKTILOSKOPI DALAM MENGUNGKAPKAN KASUS TINDAK PIDANA PENCURIAN (STUDI KASUS DI WILAYAH HUKUM POLRES SRAGEN)
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh: Yudha Prasasti E0007244
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2011
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO “Kesuksesan tidaklah datang dengan sendirinya, namun kesuksesan akan dapat diraih dengan usaha dan doa kepada Allah SWT”
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN Dengan doa dan kerja keras, Karya Tulis ini kupersembahkan kepada :
1. Untuk para penegak hukum di negeri ini khususnya Kepolisian, penulis berharap dengan karya tulis ini akan dapat memberikan masukan dalam menangani perkara tindak pidana pencurian dengan metode Daktiloskopi. 2. Pada umumnya bagi negara dan bangsa Indonesia demi terciptanya keadilan hukum di seluruh negeri. 3. Kedua orang tuaku tercinta yang senantiasa memberikan dukungan, bimbingan dan berdoa sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. 4. Kakak dan adikku tersayang yang tidak hentinya memberi semangat kepada penulis selama menjalani masa perkuliahan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama : Yudha Prasasti NIM : E0007244 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul: ”PERAN
DAKTILOSKOPI
DALAM
MENGUNGKAPKAN
KASUS
TINDAK PIDANA PENCURIAN (STUDI KASUS DI WILAYAH HUKUM POLRES SRAGEN” adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, November 2011 Yang Membuat Pernyataan
Yudha Prasasti NIM. E0007244
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Yudha Prasasti, E0007244. 2011. PERAN DAKTILOSKOPI DALAM MENGUNGKAPKAN KASUS TINDAK PIDANA PENCURIAN (STUDI KASUS DI WILAYAH HUKUM POLRES SRAGEN). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peranan Daktiloskopi dan seberapa besar peran tersebut dalam mengungkap kasus tindak pidana pencurian di Polres Sragen. Dalam pembahasan penulis membagi menjadi 4 pokok penting, yang pertama adalah Daktiloskopi secara umum, peran Daktiloskopi dalam mengungkapkan kasus tindak pidana pencurian di Polres Sragen, kendala-kendala yang dihadapi Polres Sragen dan solusi untuk mengatasi kendala-kendala tersebut. Metode penelitian ini merupakan penelitian empiris bersifat deskriptif, karena penulis harus terjun langsung kelapangan untuk mendapatkan data yang diperlukan. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara dengan Kanit Reskrim Polres Sragen dan petugas Polres lainnya. Sedangkan sumber data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. yang bersumber dari KUHP, arsip, dokumen, buku dan cyber media. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, yang pertama peran Daktiloskopi dalam mengungkapkan kasus tindak pidana pencurian di Polres Sragen adalah untuk mengenali dan menemukan pelaku pencurian, yang kedua kendala-kendala yang dihadapi Polres Sragen yaitu dari sumber daya manusia (SDM), sarana prasarana dan dari masyarakat. Yang terakhir adalah solusi-solusi yang digunakan untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, yaitu untuk mengatasi kendala dari SDM yaitu dengan mengadakan pelatihan kejuruan Daktiloskopi, dari segi sarana prasarana yang kurang lengkap diatasi dengan bantuan dari Pemerintah, untuk kendala yang datang dari masyarakat dengan bergerak cepat pada saat penanganan kasus. Kata kunci : Pencurian, Mengungkapkan, Daktiloskopi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT Yudha Prasasti, E0007244. 2011. THE ROLE OF DAKTILOSKOPI IN REVEALING THE THIEVING CRIME CASE (A CASE STUDY ON JURISDICTION OF POLRES SRAGEN). Faculty of Law of Sebelas Maret University. This research aims to describe the role of Daktiloskopi and the extent to which this role reveal the thieving crime case in Polres Sragen. The writer divided the discussion into four main points: firstly, Daktiloskopi generally, the role of Daktiloskopi in revealing the thieving crime case in Polres Sragen, the obstacles the Polres Sragen faces and the solution to cope with such the obstacles. The research method employed was an empirical research that is descriptive in nature, because the writer should participate directly in the field to obtain the necessary data. The data used in this research consisted of primary and secondary data. The primary data derived from the interview with the Criminal Detective Unit Chief of Polres Sragen and other Polres officers. Meanwhile the secondary data source consisted of primary, secondary and tertiary law materials, originating from Penal Code, archive, document, book, and cyber media. Based on the result of research and discussion, the following conclusion can be drawn. Firstly, the role of Daktiloskopi in revealing the thieving crime case in Polres Sragen is to identify and to find the thief. Secondly, the obstacles the Polres Sragen faces include human resource, infrastructure and that from the society. Finally, the solutions used to cope with such the obstacles are: to cope with the human resource obstacle, Daktiloskopi vocational training is held; for inadequate infrastructure, the government grant can cope with this, and the obstacle coming from the society is coped with by moving quickly during the case handling. Keywords: Thieving, Reveal, Daktiloskopi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas segala curahan Anugrah, Rahmat, Berkah dan hidayah-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi) yang berjudul “PERAN
DAKTILOSKOPI
DALAM
MENGUNGKAPKAN
KASUS
TINDAK PIDANA PENCURIAN (STUDI KASUS DI WILAYAH HUKUM POLRES SRAGEN” ini dengan baik dan lancar. Penulisan Hukum disusun dan diajukan Penulis untuk melengkapi persyaratan guna memperoleh derajat S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dalam proses menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi) ini Penulis menyadari banyak kendala, tantangan dan hambatan. Syukur Alhamdulillah Penulis selama menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi) ini selalu dapat motivasi dan support dari berbagai pihak agar segera menyelesaiaknnya. Oleh karena itu dengan penuh kerendahan hati Penulis sampaikan terima kasih yang setinggi-tingginya, terutama kepada : 1. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret beserta jajarannya. 2. Bapak R. Ginting, S.H., M.H., selaku Kepala Bagian hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang juga telah memberikan izin kepada penulis untuk menyelesaikan Penulisan Hukum (SKRIPSI) ini. 3. Ibu Siti Warsini, S.H., M.H., selaku pembimbing I yang dengan penuh kesabaran dan ketelitian sudi meluangkan waktunya untuk membimbing dan memberikan saran-saran serta petunjuk yang sangat berguna hingga terselesaikannya skripsi ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. Bapak Sabar Slamet, S.H., M.H., selaku pembimbing II yang dengan penuh ketekunan memberikan bimbingan dan arahannya di dalam penyelesaian skripsi ini. 5. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademis yang telah memberikan banyak nasehat yang sangat berguna bagi penulis selama penulis melaksanakan kegiatan belajar di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. 6. Bapak Kepala Kepolisian Resort Sragen beserta seluruh stafnya yang membantu penulis dalam memperoleh data-data yang sangat penulis perlukan dalam penyelesaian skripsi ini. 7. Kedua orang tua tercinta yang telah memberikan doa dan dorongan moril maupun materiil serta kasih sayangnya mengiringi keberhasilan penulis dalam penyusunan skripsi. 8. Dosen-dosen dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang selalu memberikan dukungan dan semangat. 9. Segenap karyawan dan karyawati Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang dengan senang hati membantu penulis dalam pengurusan surat-surat perizinan. 10. Bapak Sumarjono serta seluruh staf identifikasi di Polres Sragen atas bantuannya dan pengertiannya kepada penulis. Penulis menyadari bahwa kualitas dari penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Mudah-mudahan penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Amin.
Surakarta,
Agustus 2011
Penulis
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………. ...... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………. ...... ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI…………………………… .......... iii HALAMAN MOTTO………………………………………………..……… iv PERSEMBAHAN……………………………………………………………. v PERNYATAAN……………………………………………………………… vi ABSTRAK…………………………………………………………………… vii KATA PENGANTAR……………………………………………………….. ix DAFTAR ISI…………………………………………………………. ........... . xi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………………………………………. .. 1 B. Perumusan Masalah…………………………………………… .. 3 C. Tujuan Penelitian……………………………………………… .. 4 D. Manfaat Penelitian……………………………………………. ... 5 E. Metode Penelitian……………………………………………... ... 5 F. Sistematika Penulisan Hukum………………………………… ... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoritis…………………………………………...….. 11 1. Pengertian Daktiloskopi…….….…….……..………….…... 11 a. Istilah dan Pengertian Daktiloskopi.…….…………… 11 b. Sifat Sidik Jari………….…………….……………….. 14 c. Jenis-jenis Sidik Jari………..…………….…………… 14 d. Sejarah Penggunaan Sidik Jari di Indonesia………...... 14
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Kajian tentang Tindak Pidana…………................................ 18 a. Pengertian tentang Tindak Pidana……………………... 18 b. Unsur-unsur Tindak Pidana…………..………………... 19 c. Jenis-jenis Tindak Pidana………………………………. 23 3. Kajian tentang Pencurian……………………..….................... 26 a. Pengertian Pencurian………………………..…………... 26 b. Bentuk-bentuk Pencurian.…………...……..….………... 28 B. Kerangka Pemikiran…………..………………………..….…….. 33 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Daktiloskopi secara umum………………………………………... 35 1. Peran Daktiloskopi…………..…………………………………. 35 2. Pengambilan Sidik Jari……………………………..…………... 38 3. Perumusan Sidik Jari……………………………………………. 39 4. Penyimpanan Sidik Jari…………………………………………. 44 B. Peran Daktiloskopi dalam Mengungkapkan Kasus Tindak Pidana Pencurian di Sragen........................................................................ 46 C. Kendala-kendala yang dihadapi Polres Sragen dalam Mengungkapkan Kasus Tindak Pidana Pencurian dalam kaitannya dengan Peran Daktiloskopi………………….…………………………………….. 52 1. Kendala Sumber Daya Manusia (SDM)………………………... 52 2. Kendala Sarana Prasarana………………………………………. 53 3. Kendala dari Masyarakat………………………………….…….. 53 D. Solusi dari kendala-kendala yang dihadapi Polres Sragen………… 55 1. Usaha yang dilakukan Polres Sragen dalam meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM)…………………………………………... 55
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Upaya Polres Sragen dalam Mengatasi Keterbatasan Sarana dan Prasarana…………………………………………………………55 3. Upaya dalam Mengatasi Masalah yang Timbul dari Masyarakat..56 BAB IV PENUTUP A. Simpulan....................................................………………………… 57 B. Saran……………………………………………………………..... 61
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Disetiap negara baik itu negara maju maupun berkembang, tindak pidana selalu muncul dalam kehidupan warganya. Dengan adanya tindak pidana tentu akan merugikan orang lain baik itu yang menjadi korban tindak pidana maupun orang-orang yang berada disekitar tempat kejadian dimana tindak pidana itu dilakukan. Hal ini tentu saja menimbulkan kecemasan dan keresahan warga karena telah mengganggu kenyamanan dan keamanan hidup mereka. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat berbagai macam tindak pidana, salah satunya adalah pencurian. Pencurian menurut KUHP yang diatur dalam Pasal 362 yang berbunyi: “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, dengan karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah”. Tindak pidana pencurian memang menjadi modus kejahatan yang sering terjadi di setiap negara, meskipun tingkat perekonomian negara maju tiap tahun tetapi kemiskinan tetap bertambah dan karena kemiskinan pula yang menjadi salah satu faktor penting mengapa pencurian selalu ada dan sulit menghilang dari kehidupan manusia. Begitu pula halnya dengan Kota Sragen yang banyak menghadapi kasus pencurian yang menganggu keamanan serta keresahan bagi masyarakat. Seiring dengan perkembangan jaman yang semakin modern, kasus pencurian pun semakin marak dan dilakukan dengan cara baru yang memungkinkan para pencuri dapat melarikan diri dengan mudah.
commit to user
1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam kasus pencurian dengan pelaku merusak pintu disertai kekerasan terhadap korban pencurian dalam hal tertangkap tangan, untuk melarikan diri sendiri. Maka yang dapat dilakukan untuk mencari pelakunya adalah salah satunya dengan mencari dan mengumpulkan sidik jari yang tertinggal pada benda-benda di sekitar rumah yang disentuh pelaku dan alatalat yang ditinggalkan pelaku yang digunakan untuk melancarkan aksinya. Untuk pengambilan dan pengumpulan sidik jari harus dilakukan oleh tenaga ahlinya yang dalam hal ini adalah Kepolisian. Kemampuan sidik jari dalam mengungkap identifikasi seseorang sudah tidak diragukan lagi. Dalam struktur organisasi Kepolisian, kegiatan ini telah diatur dan disusun mulai dari tingkat Markas Besar Polisi Republik Indonesia (Mabes Polri) sampai tingkat Kepolisian Resort disebut Seksi Identifikasi yang diharapkan dapat bekerja sama dengan baik di dalam menunjang tugas penyidikan. Pada mulanya penggunaan sidik jari memang masih terbatas untuk melacak pelaku-pelaku kejahatan saja, setiap pelaku tindak pidana kejahatan diambil sidik jarinya untuk disimpan dalam arsip Kepolisian. Setiap terjadi suatu tindak pidana, pihak Kepolisian mengumpulkan atau mengambil bekas sidik jari yang tertinggal di tempat terjadinya tindak pidana, untuk kemudian dicocokan dengan arsip sidik jari yang disimpan oleh pihak Kepolisian, apakah ada kesamaan atau tidak. Dengan sistem penyidikan identifikasi dengan sidik jari ini, pekerjaan Kepolisian relatif diringankan dan pencarian pelaku tindak pidana menjadi lebih efektif. Kemudian sistem identifikasi dikembangkan lagi tidak saja terbatas untuk melacak penjahat atau korban yang tidak memiliki identitas lain, tetapi juga untuk kepentingan di luar penyidikan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Seperti diketahui dari ajaran tentang sidik jari (Daktiloskopi) ini adalah tidak ada manusia yang sama sidik jarinya dan sidik jari itu tidak akan berubah sepanjang hidupnya. Dua sifat tersebut memungkinkan sidik jari seseorang dipergunakan sebagai sarana yang mantap dan meyakinkan untuk menentukan identitas seseorang. Sarana identifikasi ini ternyata memenuhi persyaratan di seluruh dunia, selain sebagai sarana identifikasi sidik jari juga sebagai sarana penyidikan. Karena itu untuk mengambil sidik jari tidak dapat dilakukan terhadap orangorang yang sekedar hanya untuk diambil cap jempolnya seperti yang terjadi di kantor kelurahan atau kecamatan. Sebab di dalam pelaksanaannya seorang penyidik harus dapat membaca sidik jari yang disejajarkan agar dapat diketemukan identitas atau bukan identitas dari yang bersangkutan dan untuk itu memerlukan pengambilan sidik jari yang sempurna. Maka dari itu Daktiloskopi sebagai ilmu yang mempelajari sidik jari untuk keperluan identifikasi kembali seseorang sangat dibutuhkan petugas penyidik dalam mengungkap tindak pidana. Daktiloskopi atau yang lebih dikenal dengan sebutan ilmu sidik jari ini telah mampu mendesak metode identifikasi lainnya karena keunikan dan karakteristik fisik sidik jari yang berbeda pada tiap individunya, serta sangat praktis dan akurat (Raditiana Patmasari, Mohamad Ramdhani, Achmad Rizal, 2009). “Penyelenggaraan
Daktiloskopi
dalam
pelaksanaan
tugas-tugas
Kepolisian, terutama dalam proses penyidikan tindak pidana, memegang peranan penting” (Departemen Pertahanan Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2000:17).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pengetahuan mengenai Daktiloskopi ini memberikan sumbangan yang besar di bidang kriminalistik, karena dengan sidik jari dapat menemukan dan menentukan tersangka dalam sebuah kasus pencurian. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas, maka penulis tertarik untuk menyusun suatu karya ilmiah dalam bentuk penulisan skripsi dengan judul: “PERAN DAKTILOSKOPI DALAM MENGUNGKAPKAN KASUS TINDAK PIDANA PENCURIAN (STUDI KASUS DI WILAYAH HUKUM POLRES SRAGEN)”.
B. Perumusan Masalah Dilihat dari uraian di atas dapat diketahui bahwa sidik jari sebagai alat bukti dalam suatu pemeriksaan terhadap tindak pidana yang telah terjadi. Diketahui pula bahwa dalam penyidikanpun memerlukan suatu keahlian khusus dan ketelitian, karena suatu jejak dari jari-jari yang terdapat di tempat kejadian biasanya kabur dan tergores atau ternoda dengan jejak atau jari-jari yang lain. Berdasarkan apa yang penulis uraikan maka dapatlah penulis rumuskan beberapa permasalahan : 1. Apakah peran Daktiloskopi dalam mengungkapkan kasus tindak pidana pencurian? 2. Adakah
kendala-kendala
yang
dihadapi
Polres
mengungkapkan kasus tindak pidana pencurian? 3. Bagaimana Polres Sragen mengatasi kendala tersebut?
commit to user
Sragen
dalam
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang dicapai penulis dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Obyektif a. Untuk
mengetahui
sejauh
mana
peran
Daktiloskopi
dalam
mengungkap kasus tindak pidana pencurian. b. Untuk mengetahui apa saja kendala-kendala yang dihadapi Polres Sragen dalam mengungkap kasus tindak pidana pencurian. c. Untuk mengetahui cara penanganan Polres Sragen dalam mengatasi kendala dalam mengungkap kasus tindak pidana pencurian. 2. Tujuan Subyektif a. Untuk menambah, memperluas, pengetahuan dan wawasan penulis mengenai ilmu hukum khususnya hukum pidana dan terutama mengenai peran Daktiloskopi dalam mengungkap kasus tindak pidana pencurian. b. Untuk memperoleh data dan informasi yang lengkap guna penyusunan penulisan hukum (skripsi) sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum khususnya hukum pidana, berupa pemikiran-pemikiran yang positif guna menyelesaikan masalah-masalah yang timbul, khususnya yang berkaitan dengan sidik jari.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Merupakan salah satu sarana bagi penulis untuk mengumpulkan bahan-bahan atau sumber-sumber yang dibutuhkan untuk dapat terselesainya penulisan hukum (skripsi) ini. 2. Manfaat Praktis a. Dengan penulisan hukum ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai bekal untuk masuk ke dalam instansi penegak hukum maupun bekal sebagai praktisi hukum yang senantiasa memperjuangkan hukum di negeri ini. b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumbangan yang diberikan penulis dalam perkembangan Hukum Pidana dan bermanfaat menjadi referensi sebagai bahan acuan dalam penelitian pada masa yang akan datang.
E. Metode Penelitian Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan (Soerjono Soekanto, 2006:43). Adapun metode penelitian yang digunakan penulis ini adalah sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian “Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah penelitian hukum sosiologs atau empiris, maka yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder, untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terhadap data primer di lapangan, atau terhadap masyarakat” (Soerjono Soekanto, 2006:52). 2. Sifat Penelitian Penelitian yang dilakukan dalam penulisan hukum ini adalah penelitian deskriptif. Menurut Soerjono Sukanto, penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, maksudnya untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam menyususn teori-teori baru (Soerjono Sukanto, 2006:10). 3. Pendekatan Penelitian Penulis dalam penulisan hukum ini menggunakan jenis pendekatan kualitatif. Pendekatan kualtatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian. 4. Lokasi Penelitian Lokasi dalam penelitian hukum ini adalah Polres Sragen. 5. Jenis dan Sumber Data Penelitian a. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) Data Primer “Data primer adalah data atau fakta atau keterangan yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama, atau melalui penelitian di lapangan, yaitu berupa wawancara dengan pihak yang berkompeten” (Soerjono Soekanto, 2008:12). 2) Data Sekunder Data sekunder merupakan data yang digunakan untuk mendukung data primer, yang diperoleh dari perundang-undangan,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian dan lain-lain. b. Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah: 1) Sumber Data Primer Sumber data primer merupakan sumber data yang diperoleh dari lapangan yang memberikan informasi secara langsung mengenai segala hal yang dapat berkaitan dengan obyek penelitian dan sumber-sumber yang berada di lapangan berupa keterangan dari pihak-pihak yang terkait secara langsung dengan permasalahan yang diteliti. 2) Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder adalah sumber data yang secara tidak langsung memberikan keterangan yang bersifat mendukung sumber data primer. Menurut Soerjono Soekanto sumber data sekunder dibagi menjadi tiga yaitu : a) Bahan hukum primer Bahan hukum primer yang akan digunakan dalam penelian ini adalah norma atau kaidah dasar hukum, peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti, penulis menggunakan sumber hukum primer berupa Kitab UndangUndang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. b) Bahan hukum sekunder Bahan hukum yang mendukung data sekunder dari bahan hukum primer. Bahan penelitian yang akan digunakan dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penelitian initerdiri dari hasil-hasil penelitian dan bahan-bahan lain yang berkaitan dengan pokok bahasan. c) Bahan hukum tersier “Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yakni kamus hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan lain sebagainya” (Soerjono Soekanto, 2008:52).
6. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan teknik untuk mengumpulkan data dari salah satu atau beberapa sumber data yang ditentukan. Untuk memperoleh data yang lengkap dan relevan, maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut : a. Data primer Data yang diperoleh melalui studi langsung ke lapangan,dalam hal ini melalui wawancara. Wawancara (interview) dalam penelitian ini menggunakan metode interview yang bebas terpimpin, yaitu metode wawancara dalam pengumpulan data secara bebas dengan pengumpulan data berupa catatan-catatan pokok yang ditanyakan sehingga masih memungkinkan variasi pertanyaan sesuai dengan kondisi saat melakukan wawancara. b. Data sekunder Data
sekunder diperoleh
dengan
studi
kepustakaan
yaitu
pengumpulan data sekunder guna memperoleh landasan hukum atau bahan penulisan lainnya yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum atau bahan penulisan lainnya yang dapat dijadikan sebagai landasan teori. Studi kepustakaan ini dilakukan dengan mempelajari dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengidentifikasi literatur-literatur yang berupa peraturan perundangundangan yang berlaku, buku-buku, dokumen resmi, jurnal-jurnal hukum, artikel-artikel, serta hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli. 7. Teknik Analisis Data Penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif yaitu dengan mengumpulkan
data
yang
diperoleh,
mengidentifikasikan,
menghubungkan dengan teori literatur yang mendukung masalah kemudian menarik kesimpulan dengan analisis kualitatif. Dari penelitian kualitatif ini penulis menggunakan model analisis melalui tiga unsur utama yaitu mereduksi data, menyajikan data, dan menarik kesimpulan. Tiga tahap tersebut menurut HB. Sutopo adalah : a. Reduksi data Reduksi data merupakan proses seleksi, pemfokusan, dan penyederhanaan data pada penelitian. b. Penyajian data Penyajian data sebagai sekumpulan informasi yang memungkinkan kesimpulan riset dapat dilaksanakan. c. Menarik kesimpulan Setelah memahami arti dari beebagai hal yang meliputi pencatatanpencatatan peraturan pernyataan-pernyataan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat, akhirnya peneliti menarik kesimpulan (HB.Sutopo, 2002 : 37).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
F. Sistematika Penulisan Hukum Penulisan hukum ini akan dibagi menjadi 4 (empat) bab yang saling berkaitan. Adapun sistematika penulisan ini adalah sebagai berikut : BAB I
: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian E. Metode Penelitian F. Sistematikan Penulisan Hukum
BAB II
: Tinjauan Pustaka A. Kerangka Teori 1. Pengertian Daktiloskopi 2. Kajian tentang Tindak Pidana 3. Kajian tentang Pencurian B. Kerangka Pemikiran
BAB III
: Hasil Penelitian dan Pembahasan Pada bab ini penulis menguraikan mengenai pembahasan dan hasil yang diperoleh dari penelitian. Berpijak dari rumusan masalah yang ada, maka dalam bab ini penulis membahas 3 pokok permasalahan yaitu peranan Daktiloskopi dalam mengungkapkan kasus tindak pidana pencurian,
kendala-kendala apa saja yang
dihadapi Polres Sragen dalam mengungkapkan kasus tindak pidana pencurian dan bagaimana cara mengatasi kendala tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
BAB IV
digilib.uns.ac.id
: Penutup A. Simpulan B. Saran
Daftar Pustaka Lampiran
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Pengertian Daktiloskopi a. Istilah dan Pengertian Daktiloskopi “Istilah Daktiloskopi yang berasal dari bahasa Yunani ‘daktulos berarti jari jemari, scopeen berarti mengamati atau meneliti. Daktiloskopi yaitu mengamati sidik jari khususnya garisgaris terdapat pada ruang ujung jari baik tangan maupun kaki atau ilmu yang memepelajari sidik jari untuk keperluan pengenalan kembali identifikasi orang” (http://stifin.com/?p=19). “Daktiloskopi adalah ilmu yang mempelajari sidik jari untuk keperluan pengenalan kembali (identifikasi) terhadap orang” (A. Gumilang, 1993:82). “Daktiloskopi adalah ilmu yang mempelajari sidik jari untuk keperluan pengenalan kembali identitas orang dengan cara mengamati garis yang terdapat pada guratan garis jari tangan dan telapak kaki” (http://id.wikipedia.org/wiki/Sidik_jari). Dasar dari penggunaan sidik jari adalah tiap manusia mempunyai sidik jari yang berbeda satu dengan yang lainnya, sidik jari manusia tidak pernah berubah dari mulai lahir sampai mati. Sehubungan dengan hal-hal diatas, maka menurut M. Karyadi : Ternyata setelah diadakan penyelidikan dan penelitian berpuluhpuluh tahun oleh para ahlinya, memiliki sifat-sifat yang meyakinkan, ialah :
commit to user
11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Sidik jari yang dibentuk oleh alur-alur papilair pada setiap orang berbeda satu sama lain, meskipun mereka kakak beradik atau saudara kembar sekalipun. Juga pada seseorang tidak akan diketemukan sidik jarinya yang sama satu dengan yang lain di antara kesepuluh jarinya sendiri. Sifat tersebut sudah merupakan keyakinan yang tetap dan berlaku di dunia ini dengan tidak membeda-beda suku bangsa. b. Gambar sidik jari pada seseorang tidak akan berubah bentuknya dari lahir sampai mati, walaupun pada saat-saat tertentu kulit jari mengalami perubahan, misalnya pembaharuan kulit dan lain sebagainya. Gambarnya hanya dapat berubah, karena keadaan yang tidak wajar, misalnya jari terbakar, kepotong atau teriris pisau atau rusak sedemikian rupa sehingga bentuk alur papilair berubah. Yang dapat berubah ialah besarkecilnya gambar sidik jari, misalnya sidik jari bayi kemudian tumbuh menjadi besar setelah dewasa (M. Karyadi, 1976:3). Menurut A.Gumilang, “Sidik jari adalah hasil reproduksi tapak-tapak jari, baik yang sengaja diambil atau dicapkan dengan tinta, maupun bekas yang ditinggalkan pada benda karena pernah terpegang atau tersentuh dengan kulit telapak (friction skin) tangan atau kaki” (A. Gumilang, 1993:82). Kulit telapak adalah kulit yang terdapat pada bagian telapak tangan mulai dari pangkal pergelangan sampai kesemua ujung jari, dan kulit bagian dari telapak kaki mulai dari tumit sampai ke ujung jari, di mana terdapat garis-garis halus yang menonjol ke luar, satu sama lainnya dipisahkan dengan celah atau alur dan membentuk lukisan-lukisan tertentu (Penuntun Daktiloskopi Subdirektorat Identifikasi Reserse Polri, 1986:1). Kulit telapak terdiri dari dua lapisan yaitu: a) Lapisan Dermal (lapisan kulit dalam) sering juga dinamakan kulit yang sebenarnya karena lapisan inilah yang menentukan bentuk garis-garis yang terdapat pada permukaan kulit telapak. Apabila lapisan dermal terbuka atau cacat, maka bekas luka atau cacat itu akan permanen sifatnya; b) Lapisan Epidermal adalah lapisan kulit luar yang terdapat garis-garis halus menonjol ke luar (yang selanjutnya disebut
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
garis-garis papilair).terhadap lukisan-lukisan yang dibentuk oleh garis-garis papilair itulah perhatian kita ditujukan untuk menentukan bentu pokok, perumusan dan pemeriksaan perbandingan sidik jari (A. Gumilang, 1993:82). A fingerprint is the visible impression that papillary produces when the papillary crest contact in a surface. The fingerprint is the oldest and the most popular characteristic used for recognition or verification of people. A fingerprint consists of ridges (lines across fingerprints) and valleys (spaces between ridges). The ridges and valleys pattern are unique for each individual. (Jorge Leon Garcia, 2008:180). Jika terdapat luka atau cacat pada lapisan epidermal hanya merupakan cacat sementara karena susunan garis-garisnya akan kembali sebagaimana susunannya semula yaitu mengikuti lapisan dermal setelah sembuh. Kegunaan yang sebenarnya dari garis papilair ialah untuk memperkuat
pegangan
(grip),
sehingga
benda-benda yang
dipegang tidak mudah tergelincir. Garis-garis papilair itu terdapat juga pada telapak hewan sejenis kera dan burung, tetapi bentuk lukisannya tidak sama seperti yang dimiliki manusia. Fingerprint classification (rumus sidik jari) terdiri dari angka dan huruf-huruf tertentu yang menyatakan bentuk pokok beserta perincian garis dari seperangkat sidik jari. Fingerprint identification (identifikasi atau pengenalan kembali melalui sidik jari) adalah proses penentuan dengan jalan memperbandingkan seberapa sidik jari berasal dari jenis jari yang sama. Garis-garis papilair yang terdapat pada ruas yang kedua dan ketiga dari jari-jari, demikian pula pada telapak tangan (palm) dan telapak kaki beserta jari-jarinya mempunyai nilai identifikasi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang sama dengan garis-garis papilair pada ruas sidik jari tangan, yaitu dapat diperbandingkan untuk menentukan kesamaannya. Sidik jari seseorang tidak akan berubah bentuknya seumur hidup. Dalam mengidentifikasi sidik jari yang dilakukan usaha mencocokan bentuk gambar garis sidik jari yang diambil dari sidik jari yang tertinggal di tempat kejadian perkara, yaitu sidik jari yang menempel pada benda-benda yang pernah terpegang atau tersentuh sidik jari di tempat kejadian perkara, dengan sidik jari yang tersimpan pada file atau diambil langsung dari tersangka. b. Sifat sidik jari Ilmu sidik jari didasarkan atas tiga dalil yang nyata yaitu: a) Setiap jari mempunyai ciri-ciri garis tersendiri ditinjau dari segi detailnya dan tidak sama dengan yang lain; b) Ciri-ciri garis itu sudah membentuk sejak janin berumur kirakira 120 hari di dalam kandungan ibu dan tidak berubah selama hidup sampai hancur (decomposition) setelah meninggal dunia; c) Seperangkat sidik jari dapat dirumuskan, sehingga dapat diadministrasikan (disimpan dan dicari kembali) (A. Gumilang, 1993:84). c. Jenis-jenis sidik jari Adapun sidik jari terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu: a) Visible impression yaitu sidik jari yang langsung dapat terlihat tanpa mempergunakan alat-alat tambahan seperti sidik jari yang diambil dengan tinta, demikian pula sidik jari bekas darah, bekas cat yang masih basah, dan sebagainya yang sering tertinggal di tempat kejadian perkara (TKP); b) Latent impression yaitu sidik jari laten yang biasanya tidak dapat langsung terlihat dan memerlukan beberapa cara pengembangan terlebih dahulu untuk membuatnya nampak jelas, seperti sidik jari yang selalu ada kemungkinannya untuk tertinggal di TKP;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c) Plastic impression yaitu sidik jari yang berbekas pada bendabenda yang lunak seperti sabun, gemuk, lilin, permen cokelat dan sebagainya (A. Gumilang, 1993:84). d. Sejarah penggunaan sidik jari di Indonesia Sebenarnya sampai saat ini belum ada perundangundangan nasional yang secara tegas dan rinci mengenai Daktiloskopi. Meskipun demikian penyelenggaraan Daktiloskopi oleh Polri dikuatkan dengan Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisisan Negara Republik Indonesia Pasal 15 butir 1 yang menyebutkan : Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang: a) menerima laporan dan/atau pengaduan; b) membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum; c) mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; d) mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; e) mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administrative kepolisian; f) melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; g) melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; h) mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; i) mencari keterangan dan barang bukti; j) menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional; k) mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; l) memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
m) menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu. Jadi, berdasar ketentuan tersebut, maka Kepolisian mempunyai kewenangan untk mengambil sidik jari seseorang, untuk selanjutnya sidik jari tersebut dirumuskan dan dikumpulkan serta disimpan sebagai dokumentasi. Sampai saat ini belum ada perundang-undangan nasional yang secara jelas mengatur mengenai Daktiloskopi. Meskipun demikian penyelenggaraan Daktiloskopi oleh Kepolisian Republik Indonesia dikuatkan dengan Undang-undang No. 2 Tahun 2002, yang memberikan kewenangan kepada Polri untuk mengambil sidik jari dan memotret seseorang. For the past ninety years, law enforcement fingerprint examiners have been matching partial latent fingerprint fragments detected at crime scenes to inked fingerprints taken directly from suspects (Robert Epstein, 2002:605). Penulis akan menjelaskan sedikit uraian asal mula penggunaan sidik jari di Indonesia. Di Indonesia, pemakaian sidik jari untuk kepentingan Polisi dalam proses penyidikan sudah berjalan sejak masa Pemerintahan Kolonial Belanda, yaitu pada Tahun 1911. Pada Tahun 1911 tersebut Pemerintah Hindia Belanda secara resmi telah mengeluarkan suatu ketentuan yang berupa Koninklijke Besluit tanggal 16 Januari 1911 Nomor 27, dimuat dalam Staatsblad Nomor 234 Tahun 1911 yang isinya menetapkan memperlakukan sidik jari untuk mengenal seseorang. Sedangkan pelaksanaannya diserahkan
kepada
commit to user
Departemen
Kehakiman
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(Departement Van Justitie) dan baru terwujud pada tanggal 12 Nopember Tahun 1914 dengan didirikannya Kantor Pusat Daktiloskopi Departemen Kehakiman dengan nama Central Kantoor
Voor
mengumpulkan
Dactyloscopy,
dengan
sebanyak-banyaknya
dari
tugas semua
utamanya orang
di
Indonesia baik criminal maupun yang non criminal serta memberikan keterangan-keterangan yang dibutuhkan oleh instansiinstansi
lain
baik
pelaksanaannya
Pemerintah
menggunakan
maupun
sidik
jari
swasta. dari
Dalam
orang-orang
Indonesia. Dengan demikian Kantor Pusat Daktiloskopi tersebut menjadi
Pusat
penyelenggaraan
segala
pekerjaan
yang
berhubungan dengan prose pengumpulan dan pengolahan sidik jari yang diterima baik dari instansi maupun swasta di seluruh Indonesia dan merupakan arsip pusat dalam urusan Daktiloskopi. Dengan Staatsblad Nomor 332 Tahun 1914, dibentuklah Kantor Daktiloskopi yang terpisah dari kantor pusat Daktiloskopi Departemen Kehakiman oleh pihak Kepolisian Hindia Belanda. Dengan
pembagian
tugas
yang
menyangkut
penghimpunan,pengolahan dan penyimpanan kartu sidik jari diserahkan
pada
Kantor
Pusat
Daktiloskopi
Departemen
Kehakiman, sedangkan tugas-tugas dan kegiatan yang menyangkut bidang kriminal, Daktiloskopi dilaksanakan oleh pihak Kepolisian dan hal ini berlangsung sampai Indonesia merdeka. Pada Tahun 1959 Kepolisian Negara Republik Indonesia mulai berusaha menyusun
dan
commit to user
membangun
kantor pusat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Daktiloskopi sendiri, karena didesak oleh kebutuhan pelaksanaan tugas Kepolisian Negara. Sejak dari dulu kartu-kartu sidik jari dari Kepolisian dirumuskan di Kantor Daktiloskopi Departemen Kehakiman, tetapi sejak Tahun 1960 hal itu sudah tidak dilaksanakan lagi, karena Departemen itu sendiri tidak dapat melayani lagi keperluan sidik jari yang semakin meningkat, bahkan Kehakiman selalu minta bantuan kepada Kepolisian. Dalam perkembangannya hanya berkisar pada perubahan pengertian organ Daktiloskopi dalam struktur organisasi Polri. Dan pada Tahun 1967 dengan Surat Keputusan Menhankam/Pangab No: KEP/15/IV/1976 tertanggal 13-4-1976, tentang Pokok-Pokok Organisasi Kepolisian Republik Indonesia, Pusat Identifikasi dirubah menjadi Jawatan Identifikasi sebagai Badan Pelaksana Pusat dengan tugas dan kewajiban melaksanakan pembinaan dan pelaksanaan fungsi Identifikasi sebagai tugas Kepolisian serta untuk Menhankam/ABRI serta instansi pemerintah lainnya sesuai dengan
ketentuan Pemerintah, dalam hal ini Departemen
Kehakiman. Dengan demikian untuk penanganan tugas identifikasi khususnya sidik jari masih ada dua Departemen yaitu Kepolisian dan Kehakiman dan hal ini dapat dianggap sebagi suatu pemborosan,
disamping
timbulnya
kesulitan
dalam
usaha
pemusatan tugas sidik jari. Sebagai gambaran, bahwa setiap orang yang tersangkut perkara pidana, pada proses penyidikan pertama oleh Kepolisian pasti diambil sidik jarinya, serta disimpan oleh
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pihak Jawatan Identifikasi, setelah itu divonis oleh Hakim. Kemudian di Lembaga Pemasyarakatan terpidana juga diambil sidik jarinya dan disimpan oleh pihak Departemen Kehakiman tersebut. Jelas di sini merupakan pemborosan yang seharusnya tidak perlu terjadi, sebab dengan hanya mengambil sidik jari sekali saja, maka akan dapat dipergunakan untuk keperluan penyidikan (sidik jari tidak ada yang sama dan tidak berubah). Jadi selain Staatsblad No. 322 Tahun 1914, pengembalian sidik jari juga ditegakan dalam Undang-Undang Kepolisian Republik Negara Indonesia No. 2 Tahun 2002. Melihat perkembangannya ternyata sidik jari sebagai alat untuk identifikasi tidak pernah Kepolisian,
terutama
tindakan
ditinggalkan yang
dalam
dilakukan
tugas dalam
kewenangannya sebagai penyidik dalam rangka penyidikan perkara pidana. 2. Kajian tentang Tindak Pidana a. Pengertian Tindak Pidana Mengenai isi dari pengertian dari tindak pidana memang tidak ada satu kesatuan mengenai pengertian tindak pidana dari pendapat para sarjana. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana istilah Tindak Pidana sendiri dikenal dengan perkataan “strafbaar feit”. Stafbaar feit sendiri merupakan terjemahan dari istilah “Tindak Pidana” yang sering dipakai dalam hukum pidana. “Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan tindakan hukuman pidana. Dan pelaku ini dapat dikenakan hukuman pidana” (Wirjono Prodjodikoro, 2002:55).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Menurut
Moeljatno
menganggap
lebih
tepat
menggunakan istilah “Perbuatan Pidana” sebagai terjemahan dari Tindak Pidana” yang didefinisikan sebagai “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut” (Moeljatno dalam Adami Chazawi, 2002:71). “Menurut Pompe, merumuskan strafbaar feit atau Tindak Pidana sebagai tindakan yang menurut sesuatu rumusan UndangUndang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum” (Pompe dalam P.A.F. Lamintang, 1997:183). Perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hokum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu (Moeljatno, 2008:59). “J. Baumann menyebutkan tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan” (J. Baumann dalam Sudarto, 1990:42). Dari sejumlah pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang bersifat melawan hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana. b. Unsur-unsur Tindak Pidana Setelah kita mengetahui definisi dari istilah tindak pidana, tentunya kita perlu mengetahui unsur-unsur tindak pidana. Ada beberapa pendapat
ahli yang mengemukakan
commit to user
pendapatnya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengenai unsur-unsur tindak pidana, begitu pula dengan Kitabkitab Undang-Undang Hukum Pidana yang memuat unsur tindak pidana. Diantaranya adalah sebagai berikut: a) Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah: 1) Kelakuan dan akibat; 2) Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan; 3) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana; 4) Unsur melawan hukum yang objektif, yaitu yang menunjuk kepada keadaan lahir atau objektif yang menyertai perbuatan, misalnya Pasal 167 bahwa terdakwa tidak mempunyai wewenang untuk memaksa masuk, karena bukan pejabat Kepolisian atau Kejaksaan; 5) Unsur melawan hukum subjektif, yaitu terletak pada hati sanubari terdakwa sendiri, misalnya Pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai pencurian, pengambilan barang orang lain, dengan maksud untuk memiliki barang tersebut secara melawan hukum (Moeljatno 2008:69). b) Menurut D. Simons, unsur-unsur strafbaar feit ialah: 1) Perbuatan manusia (positif atau negative; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan); 2) Diancam dengan pidana; 3) Melawan hukum; 4) Dilakukan dengan kesalahan; 5) Oleh orang yang bertanggung jawab (Simon dalam Sudarto, 1990:41). c) Dalam KUHP, diketahui adanya 8 unsur tindak pidana, yaitu: 1) Unsur tingkah laku; 2) Unsur melawan hukum; 3) Unsur kesalahan; 4) Unsur akibat konstitutif; 5) Unsur keadaan yang menyertai; 6) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana; 7) Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana; 8) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana (Adami Chazawi, 2002:81-82). Mengingat banyaknya rumusan unsur tindak pidana yang dikemukakan oleh beberapa ahli hukum dan Undang-undang, tidak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ada kesatuan pendapat mengenai unsur tindak pidana. Namun dapat disimpulkan unsur tindak pidana terdiri dari: a) Unsur perbuatan perbuatan atau tindakan orang merupakan unsur pertama dari tindak pidana. Perbuatan orang adalah titik hubungan yang menjadi awal dari terjadinya tindak pidana. Perbuatan mengandung arti berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Berbuat sesuatu adalah suatu perbuatan aktif dari seseorang yang memerlukan gerakan tubuh. “Tingkah laku aktif adalah suatu bentuk tingkah laku yang untuk mewujudkannya atau melakukannya diperlukan wujud gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian tubuh, misalnya mengambil (362) atau memalsu dan membuat secara palsu (268)” (Adami Chazawi, 2002:83). Sedangkan tidak berbuat sesuatu adalah suatu perbuatan tidak melakukan aktivitas tertentu dengan tubuhnya, dimana seharusnya seseorang tersebut melakukan perbuatan aktif pada saat tertentu. Dengan tidak berbuat demikian seseorang itu disalahkan karena tidak melaksanakan kewajiban hukumnya, contohnya perbuatan tidak memberikan pertolongan (531), membiarkan (304), meninggalkan (308), tidak segera memberitahukan (164), tidak datang (522) (Adami Chazawi, 2002:83). b) Unsur sifat melawan hukum “Dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum saja, perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dengan pidana” (Moeljatno, 2008:140).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Unsur ini merupakan unsur yang penting dalam tindak pidana, karena perbuatan melawan hukum jelas merupakan tindakan yang tidak sesuai dan bertentangan dengan hukum yang berlaku dimana pun. Unsur melawan hukum bukan suatu penilaian yang objektif terhadap sipembuat melainkan terhadap perbuatannya. Unsur ini memiliki dua ajaran yaitu sifat melawan hukum formil dimana dapat dikatakan melawan hukum apabila bertentangan dengan Undang-undang (hukum tertulis) dan ajaran sifat melawan hukum materiil yaitu melawan hukum karena bertentangan dengan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. c) Unsur kesalahan Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam Undang-undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungkan kepada orang tersebut (Sudarto, 1990:85). Untuk adanya pemidanaan haruslah ada kesalahan pada sipembuat, maka dari itu berlakulah asas “Tiada Pidana Tanpa kesalahan”. Pasal 6 ayat 2 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman (UU No. 48/2009) berbunyi:”Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan
bahwa
bertanggungjawab,
seseorang telah
bersalah
commit to user
yang atas
dianggap
dapat
perbuatan
yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
didakwakan atas dirinya”. Jadi, unsur kesalahan sangat penting untuk menilai akibat dari perbuatan seseorang. d) Unsur kemampuan bertanggungjawab Dalam KUHP kita tidak secara jelas merumuskan pengertian kemampuan bertanggungjawab. Namun ada satu pasal yang berhubungan dengan kemampuan bertanggungjawab, yaitu Pasal 44 ayat 1 KUHP:”Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. Dalam Pasal 44 KUHP memang tidak secara jelas memuat apa yang dimaksud dengan kemampuan bertangungjawab, tetapi di Pasal tersebut terdapat alasan pada diri sipembuat sehingga perbuatan yang dilakukannya itu tidak dapat dipertanggung jawabkan. e) Unsur memenuhi rumusan Undang-Undang Unsur ini menerangkan bahwa untuk ada tidaknya tindak pidana, maka Undang-undang itu sendiri harus mengatur sebelum perbuatan itu dilakukan. Dalam Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi ”suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”. Ini berarti bahwa orang yang telah melakukan suatu tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang itu hanya dapat dituntut dan dihukum berdasarkan Undang-undang Pidana atau berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang yang berlaku, pada waktu orang tersebut telah melakukan tindakannya yang terlarang dan diancam dengan hukuman (P.A.F. Lamintang, 1997:154).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Jenis-jenis Tindak Pidana Tindak pidana dapat dibedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu: a) Tindak pidana dibedakan antara kejahatan (misdrijven) yang dimuat dalam buku II dan pelanggaran (overtredingen) yang dimuat dalam buku III. Pembagian dari tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran” itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian Kitab Undang-undang Hukum Pidana kita menjadi Buku ke-2 dan Buku ke-3 melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan pidana sebagai keseluruhan (P.A.F. Lamintang, 1997:211). Dengan dibedakannya tindak pidana antara kejahatan dan pelanggaran secara tajam dalam KUHP, mempunyai konsekuensi berikutnya dalam hukum pidana materiil, antara lain: 1) Dalam hal percobaan, yang dapat dipidana hanyalah terhadap percobaan melakukan kejahatan saja, dan tidak ada percobaan pelanggaran. 2) Mengenai pembantuan, yang dapat dipidana hanyalah pembantuan dalam hal kejahatan, dan tidak dalam hal pelanggaran (56). 3) Asas personaliteit hanya berlaku pada warga Negara RI yang melakukan kejahatan (bukan pelanggaran) diluar wilayah hukum RI yang menurut hukum pidana Negara asing tersebut adalah berupa perbuatan yang diancam pidana (Pasal 5 ayat 1 sub 2). 4) Dalam hal melakukan pelanggaran, pengurus atau anggota pengurus atau anggota komisaris hanya dipidana apabila pelanggaran itu terjadi adalah atas sepengetahuan mereka (59), jika tidak, maka pengurus, anggota pengurus atau komisaris itu tidak dipidana. Hal ini tidak berlaku pada kejahatan. 5) Dalam ketentuan perihal syarat pengaduan bagi penuntutan terhadap tindak pidana (aduan) hanya berlaku pada jenis kejahatan saja, dan tidak pada jenis pelanggaran.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6) Dalam hal tenggang waktu daluwarsa hak Negara untuk menuntut pidana dan menjalankan pidana pada pelanggaran relative lebih pendek daripada kejahatan (78, 84). 7) Hapusnya hak Negara untuk melakukan penuntutan pidana karena telah dibayarnya secara sukarela denda maksimum sesuai yang diancamkan serta biaya-biaya yang telah dikeluarkan jika penuntutan telah dimulai, hanyalah berlaku pada pelanggaran saja (82 ayat 1). 8) Dalam hal menjatuhkan pidana perampasan barang tertentu dalam pelanggaran-pelanggaran hanya dapat dilakukan jika dalam UU bagi pelanggran tersebut ditentukan dapat dirampas (39 ayat 2). 9) Dalam ketentuan mengenai penyertaan dalam hal tindak pidana yang dilakukan dengan alat percetakan hanya berlaku bagi kejahatan-kejahatan saja (61, 62), dan tidak berlaku pada pelanggaran. 10) Dalam hal penadahan, benda obyek penadahan haruslah diperoleh dari kejahatan saja, dan bukan dari pelanggaran. (480). 11) Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia hanya diberlakukan bagi setiappegawai negeri yang di luar wilayah hukum Indonesia melakukan kejahatan jabatan (7), dan bukan pelanggaran jabatan. 12) Dalam hal perbarengan perbuatan sistem penjatuhan pidana dibedakan antara perbarengan antara kejahatan dengan kejahatan yang menggunakan sistem hisapan yang diperberat (verscherpteabsorptiestelsel, 65) dengan perbarengan perbuatan antara kejahatan dengan pelanggaran atau pelanggaran dengan pelanggaran yang menggunakan sistem kumulasi murni (zuivere cumulatiestelsel, 70) (Adami Chazawi, 120-122). b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil (formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materiel delicten). 1) Tindak pidana formil adalah melakukan perbuatan yang dilarang, sehingga dapat diancam dengan hukuman oleh Undang-undang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“ Perumusan tindak pidana formil tidak memperhatikan dan atau tidak memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan
semata-mata
pada
perbuatannya”
(Adami
Chazawi, 2002:122). Contohnya, pencurian (362) untuk selesainya suatu pencurian dinilai pada selesainya perbuatan mengambil. 2) Tindak
pidana
materiil
adalah
tindak
pidana
yang
menimbulkan aikbat yang dilarang, oleh karena dengan menimbulkan akibat yang dilarang tersebut yang dapat dipertanggungjawabkan
dan
dipidana.
Misalnya
pada
pembunuhan (338) inti larangan ialah menimbulkan kematian seseorang,
bukan
pada
wujud
menusuk,
menembak,
membacok atau memukul. c) Menurut bentuk kesalahannya, dapat dibedakan tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan disengaja (culpose delicten). 1) “Tindak pidana sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan” (Adami Chazawi, 2002:124). Tindak pidana yang mengandung unsur kesengajaan, misal Pasal-pasal 187, 197, 245, 263, 338 KUHP. 2) Tindak pidana tidak dengan sengaja mengandung unsur kealpaan, yaitu tindak pidana yang unsur kesalahannya adalah berupa kelalaian, karena kurang hati-hati dan tidak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kesengajaan. Tindak pidana yang yang mengandung unsur kealpaan ini misalnya Pasal 114, 359, 360 KUHP. d) Berdasarkan macam perbuatannya, dibedakan tindak pidana Aktif (Delik Commisionis) dan tindak pidana Pasif (Delik Omisionis). 1) Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif. (Adami Chazawi, 2002:125). Delik Commisionis adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, ialah berbuat sesuatu yang dilarang. Berbuat sesuatu yang dilarang,misalnya pencurian (362), penggelepan (372) KUHP. 2) Tindak pidana Pasif adalah dapat dikatakan sebagai pengabaian suatu kewajiban hukum. Yaitu kondisi dimana mewajibkan seseorang dibebani hukum untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, yang apabila tidak dilakukan akan melanggar kewajiban hukumnya tadi. e) Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya dibedakan Tindak Pidana Terjadi seketika dan Tindak Pidana Berlangsung Terus. 1) Tindak pidana terjadi seketika dirumuskan sebagai tindak pidana yang untuk terwujudnya dalam waktu seketika saja, tindak pidana ini dapat disebut juga dengan aflopende delicten. Seperti misalnya tindak pidana pencurian (362), jika perbuatan mengambil selesai, maka tindak pidana itu pun akan selesai dengan sempurna. 2) “Tindak pidana berlangsung terus yaitu tindak pidana yang mempunyai cirri, bahwa keadaan terlarang itu berlangsung
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terus, misalnya merampas kemerdekaan seseorang (Pasal 333 KUHP)” (Sudarto, 1990:58). f) Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus. 1) Tindak Pidana umum adalah semua tindak pidana dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil (Adami Chazawi, 2002:127). 2) Tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat diluar kodifikasi tersebut. Misalnya tindak pidana Korupsi (UU No.31 Th 1999), Tindak Pidana Perbankan (UU No. Th1998) (Adami Chazawi, 2002:127). 3. Kajian tentang Pencurian a. Pengertian Pencurian Sebagaimana kita ketahui pencurian dalam KUHP diatur dalam Bab XXII, Pasal 362-367. Pasal 362 KUHP berbunyi, “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”. Jadi, yang dimaksud dengan mencuri dalam Pasal 362 adalah perbuatan mengambil suatu barang, yang seluruh atau sebagian merupakan kepunyaan dari orang lain, dengan maksud untuk dimiliki sendiri dan dilakukan dengan cara melawan hukum. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mencuri berasal dari kata dasar “curi” yang artinya mengambil milik orang lain tanpa ijin atau dengan tidak sah, biasanya dengan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sembunyi-sembunyi. Sedangkan pencurian adalah proses dari perbuatannya, cara mencurinya. Bagian inti delik (delicts bestanddelen) pencurian dalam Pasal 362 KUHP yang menjadi definisi semua jenis delik pencurian adalah: 1) Mengambil suatu barang (enig goed), 2) Yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, 3) Dengan maksud untuk memilikinya secara, 4) Melawan hukum. Semua bagian inti ini harus disebut dan dijelaskan dalam dakwaan bagaimana dilakukan. Kata Koster Henke (Komentar W.v.S.), dengan mengambil saja belum merupakan pencurian, karena harus seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain. Lagi pula pengambilan itu harus dengan maksud untuk memilikinya bertentangan dengan pemilik. Menurut Cleiren, mengambil (wegnemen) berarti sengaja dengan maksud. Ada maksud untuk memiliki (Cleiren:907). Pada delik pencurian, barang yang dicuri itu pada saat pengambilan itulah terjadi delik, karena pada saat itulah barang berada di bawah kekuasaan si pembuat. Walaupun pengambilan itu hanya untuk dipergunakan sementara barang itu merupakan “memiliki” barang itu (Hoge Raad, 10 Desember 1957, NJ. 1958, 49). Dengan maksud untuk melawan hukum mengambil barang itu sebagai tuan dan penguasa memiliki barang itu (Hoge Raad, 14 Februari 1938, NJ. 1938, 731) (Andi Hamzah, 2009:101). b. Bentuk-bentuk pencurian Bentuk-bentuk pencurian sebagaimana diatur dalam KUHP dapat dibedakan menjadi: 1) pencurian dalam bentuk pokok atau pencurian biasa (Pasal 362 KUHP)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2) pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 dan Pasal 365 KUHP) 3) pencurian ringan (Pasal 364 KUHP) 4) pencurian dalam lingkungan keluarga (Pasal 367 KUHP). Pencurian Dalam Bentuk Pokok atau Pencurian Biasa Pencurian dalam bentuk pokok diatur dalam Pasal 362 KUHP, yang berbunyi : “Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, diancam dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”. Dari rumusan di atas dapat diketahui bahwa tindak pidana pencurian merupakan delik formil, dimana yang dilarang dan diancam dengan pidana itu adalah perbuatannya. Perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana itu adalah perbuatan “mengambil”. Pencurian dengan Pemberatan Pencurian dengan pemberatan pertama diatur dalam Pasal 363. Yang dimaksud dengan pencurian pemberatan adalah pencurian yang mempunyai unsur-unsur dari bentuk pencurian pokok atau biasa, namun karena terdapat tambahan dari unsur-unsur yang lain, maka hukumannya diperberat. Unsur-unsur Pasal 363 yang menyebabkan pencurian itu diancam dengan hukuman yang lebih berat adalah sebagai berikut: 1) Pencurian ternak Yang disebut ternak dalam Pasal 101 adalah binatang yang berkuku satu, binatang memamah biak, dan babi. Alasan memperberat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hukuman terletak pada hal; bahwa ternak dianggap kekayan yang penting. Dan ini sesuai dengan istilah Jawa rojokoyo bagi ternak, yaitu istilah yang berarti kekayaan besar. 2) Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang. Pemberian hukuman dikenakan lebih berat pada pencurian ini karena peristiwa atau kejadian seperti ini pasti menimbulkan keributan dan kekhawatiran pada khalayak ramai, hal ini justru memberikan kesempatan seorang yang jahat untuk melakukan pencurian dengan mudah, sedangkan seharusnya orang-orang harus sebaliknya memberi pertolongan kepada para korban. 3) Pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh seorang yang ada di situ tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak. Waktu malam adalah waktu dimana matahari terbenam menuju matahari terbit, “rumah kediaman” yaitu bangunan yang digunakan manusia sebagai tempat tinggal atau tempat kediamannya, “pekarangan tertutup” yaitu adanya pagar yang seluruhnya mengelilingi pekarangan dari sekelilingnya. Yang dimaksud “tidak diketahui” yaitu pencuri telah masuk kedalam rumah atau pekarangan tanpa sepengetahuan dari yang berhak atas rumah atau pekaranagn tersebut. Sedangkan “yang tidak dikehendaki” yaitu pencuri yang telah berada di dalam rumah atau pekarangan tanpa meminta ijin dari yang berhak atas rumah atau pekarangan tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4) Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama, maksudnya adalah dua orang atau lebih yang melakukan tindak pidana pencurian secara bersama-sama. Untuk melakukan hal ini harus dilakukan dalam hubungannya sebagai mededaderschap (Pasal 55) dan medeplichtigheid (Pasal 56). 5) Pencurian dengan merusak, memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu dan pakaian jabatan palsu. Perusakan misalnya dilakukan dengan merusak kunci dari pintu dirusak, memanjat menurut Pasal 99 KUHP dapat diartikan juga masuk melalui lubang yang memang sudah ada tetap bukan untuk masuk atau masuk melalui lubang di dalam tanah yang dengan sengaja di gali, begitu juga menyeberangi selokan atau parit yang digunakan sebagai batas penutup. Kunci palsu menurut Pasal 100 KUHP dapat diartikan juga segala perkakas yang tidak dimaksud untuk membuka kunci seperti misalnya sepotong kawat. Pakaian jabatan adalah seragam yang dipakai orang yang tidak mempunyai hak untuk memakainya. Pencurian dengan pemberatan kedua adalah pencurian yang diatur dalam Pasal 365 KUHP, yang berbunyi: 1) Diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun, pencuri yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang, dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
atau peserta lainnya atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya 2) Diancam dengan pidana penjara peling lama dua belas tahun : Ke-1 jika perbuatan dilaksanakan pada waktu malam hari dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, dijalan umum atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan; Ke-2
jika perbuatan dilakukan dua orang atau lebih dengan bersekutu;
Ke-3
jika masuknya ke tempat melakukan kejahatan dengan bersekutu;
Ke-4 jika perbuatan mengakibatkan luka berat. 3) Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun. 4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama 20 (dua puluh) tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau sampai mati dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, pula disertai oleh salah satu hal yang diterangkan dalam nomor 1 dan 3. Pencurian Ringan Pencurian ringan diatur dalam Pasal 364 KUHP. Pencurian dapat dikatakan sebagai pencurian biasa yang disertai hal-hal tersebut dalam Pasal 363 butir 4 dan 363 butir 5, yang apabila tidak dilakukan di dalam suatu rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, dan apabila harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
rupiah, dan diancam dengan pidana penjara maksimum tiga bulan penjara atau pidana denda enam puluh rupiah. Pencurian Dalam Kalangan Keluarga Pencurian ini diatur dalam Pasal 367 KUHP, yang berbunyi sebagai berikut: 1) Jika pembuat atau pembantu dari salah satu kejahatan dalam bab ini adalah suami (isteri) dari orang yang terkena kejahatan dan tidak terpisah meja dan tempat tidur atau terpisah harta kekayaan, maka terhadap pembuat atau pembantu itu, tidak mungkin diadakan tuntutan pidana. 2) Jika dia adalah suami (isteri) yang terpisah meja dan tempat tidur atau terpisah harta kekayaan atau jika dia adalah saudara sedarah atau semenda, baik dalam garis lurus, maupun garis menyimpang derajat kedua, maka terhadap orang itu hanya mungkin diadakan penuntutan, jika ada pengaduan yang terkena kejahatan. 3) Jika menurut lembaga matriarkhal, kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain dari pada bapak kandung (sendiri), maka ketentuan ayat di atas berlaku juga bagi orang itu. Maksud dari Pasal 367 ayat (1) adalah jika seorang suami atau isteri melakukan sendiri pencurian atau membantu orang lain melakukan pencurian terhadap harta benda si isteri atau suaminya, sedangkan hubungan suami isteri belum diputuskan oleh suatu perceraian ataupun mereka masih bersama dalam tinggal satu rumah, dan tidak terpisah harta kekayaannya, maka pembuat atau pembantu tindak pidana pencurian tersebut tidak dapat diadakan tuntutan pidana.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Maksud dari Pasal 367 ayat (2) KUHP adalah jika pencurian dilakukan seorang suami terhadap harta benda si isteri atau sebaliknya si isteri melakukan pencurian terhadap harta benda si suami, sedangkan hubungan mereka telah terpisah meja dan tempat tidur atau terpisah harta kekayaan ataupun pencurian dilakukan oleh saudara sedarah atau semenda, baik dalam garis lurus, maupun garis menyimpang derajat kedua, maka tuntutan dapat dilakukan terhadap mereka jika ada pengaduan dari pihak yang dirugikan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran Tindak Pidana
Pencurian
Pencarian sidik jari di tempat kejadian perkara
Dirumuskan di Kepolisian
Proses Perbandingan
Sidik jari yang disimpan di Kepolisian
Sidik jari yang dicurigai
Pelaku ditemukan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keterangan Kerangka Pemikiran : Dalam suatu kejahatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku dalam hal ini pencurian, maka pelaku yang berhasil melakukan tindak pidana pencurian kemudian melarikan diri setelah melakukan perbuatannya, pihak kepolisian akan melakukan pemeriksaan tempat kejadian perkara atau TKP dimana salah satu tindakan dari kepolisian tersebut adalah mengadakan pencarian sidik jari yang ditinggalkan oleh pelaku. Setelah menemukan sidik jari yang diduga milik pelaku, pihak kepolisian akan melakukan perumusan dengan melakukan perbandingan sidik jari temuan dari tempat kejadian perkara dengan sidik jari yang terdapat di kantor kepolisian hasil dari pengumpulan sidik jari warga Sragen yang sebelumnya pernah menjadi pelaku tindak pidana maupun bukan pelaku tindak pidana dan sidik jari yang diambil dari orang yang dicurigai. Setelah itu dilakukan pengolahan persamaan sidik jari. Dari hasil pengolahan tersebut kemudian ditemukan kesamaan sidik jari yang diperoleh dari temuan di tempat kejadian perkara dengan sidik jari yang ada di kepolisian atau sidik jari orang yang dicurigai, sehingga pihak kepolisian dapat menyimpulkan siapa pelaku tindak pidana pencurian tersebut. Di Amerika Daktiloskopi juga dipergunakan di Rumah Sakit sebagai sarana identifikasi, dimana tiap bayi yang baru lahir diambil sidik jarinya untuk mencegah terjadinya pertukaran bayi tersebut. Sedang untuk anggota Air Force di samping diambil sidik jari juga diambil sidik jari kakinya, dengan alasan bahwa bila pesawat itu meledak, kebanyakan kaki masih utuh karena memakai sepatu sehingga dengan demikian dapat dilakukan identifikasi. Bagi pihak Kepolisian, tentu saja fungsi Daktiloskopi berperan penting dalam melaksanakan tugasnya yaitu penyidikan suatu kasus tindak pidana.
Pengalaman
selama
bertahun-tahun
commit to user
membuktikan
bahwa
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Daktiloskopi atau Fingerprint mempunyai fungsi yang besar. Seperti diketahui sistem identifikasi melalui sidik jari mempunyai kelebihankelebihan yang tidak dimiliki oleh sistem-sistem lainnya, diantaranya adalah terdapat dua ketentuan yang merupakan prinsip dari sidik jari yang sudah dibahas sebelumnya yaitu bahwa sidik jari seseorang tidak akan berubah sampai orang itu meninggal dan sidik jari setiap orang berbedabeda. Hingga saat ini prinsip tersebut belum mendapat bantahan dari manapun juga, sebab kenyataannya memang belum pernah terdengar terjadi kesalahan atau kekeliruan dalam usaha pengenalan kembali seseorang melalui sidik jari. Oleh karena itu Kepolisian tidak meragukan lagi bahwa pentingnya kegunaan Daktiloskopi untuk sarana identifikasi dan alat bantu polisi dalam menunjang usaha-usaha pengungkapan suatu kasus tindak pidana. Dalam uraian ini, akan penulis berikan sebuah contoh kasus kejahatan yang pertama kali dapat diungkap melalui Daktiloskopi: Pada Tahun 1692 di Necechea Argentina,dua orang anak laki-laki kecil, anak seorang janda bernama Francisca Rojas, dibunuh orang. Rojas melaporkan kepada polisi setempat bahwa ia mencurigai seorang bernama Velasquez, yang bekerja di sebuah ranch yang berdekatan. Velasquez, pernah mengancam akan membunuh kedua anak itu, setelah janda Rojas menolak untuk menikah dengannya. Janda itu selanjutnya mengatakan bahwa setibanya di rumah dari tempatnya bekerja, dilihatnya Velasquez berlari dari rumahnya (Rojas) dan berpapasan dengan Velasquez tanpa mengatakan sesuatu apapun. Di kamar tidur dijumpai anaknya sudah mati terbunuh. Velasquez ditahan oleh polisi, sekalipun diperiksa terus menerus selama satu minggu, Velasquez tetap menyangkal. Kecurigaan polisi kemudian beralih kepada Rojas sendiri, karena janda tersebut mau menikah dengan seorang anak muda, dan tidak mau menanggung kedua anaknya. Polisi kemudian dapat menentukan bahwa Velasquez sedang berada di tempat lain, pada saat pembunuhan itu. Dan dalam pemeriksaan di TKP,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Alvarez menemukan sidik jari bekas darah dipintu depan rumah. Ia memerintahkan agar Francisca Rojas dibawa kepadanya dan menyuruhnya menekankan ibu jarinya pada bak stempel, kemudian pada sehelai kertas. Alvares memperbandingkan antara kedua sidik jari itu dengan mempergunakan kaca pembesar dan ternyata identik (sama). Setelah menunjukan kesamaan atas kedua sidik jari itu maka Francisca memberikan pengakuannya bahwa dia sendirilah yang membunuh kedua anaknya itu. Peristiwa tersebut merupakan perkara kejahatan berat yang pertama dibuktikan dengan sidik jari (Penuntun Daktiloskopi Subdirektorat Identifikasi Reserse Polri, 1986:10-11) Kasus tersebut membuktikan bahwa sidik jari sejak dahulu dipergunakan sebagai sarana identifikasi maupun penyidikan dalam sebuah kasus tindak pidana sehingga dapat mengungkap kasus tindak pidana kejahatan tersebut. Dari uraian singkat mengenai peranan Daktiloskopi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Daktiloskopi dapat dipergunakan pada berbagai kepentingan selain digunakan oleh Kepolisian sebagai pengungkap suatu kasus tindak pidana tetapi juga berguna sebagai pengenalan kembali terhadap identitas seseorang. 1. Pengambilan Sidik Jari Untuk mengungkap suatu tindak pidana, Kepolisian mempunyai kewenangan untuk mengambil sidik jari seseorang. Dasar hukum Kepolisian dalam pengambilan sidik jari adalah Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 14 ayat 1 huruf (h) yaitu menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian dan Pasal 15 ayat 1 huruf (h) yaitu mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang. Kepolisian di berbagai negara termasuk Indonesia menggunakan Ilmu Daktiloskopi sebagai salah satu alat yang sangat penting dan kuat dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengungkap suatu kejahatan. Daktiloskopi merupakan salah satu cara yang mudah dan tepat untuk mengenal kembali seseorang dengan tandatanda dan ciri-ciri yang tepat. Pengambilan sidik jari ini dapat dilakukan dengan cara: a) Mengecapkan jari-jari itu dengan digulingkan b) Mengecapkan jari-jari itu dengan ditekan rata saja Sidik jari tersebut direkam pada selembar kartu sidik jari, dimana terdapat kolom-kolom untuk jari-jari yang telah diambil pengecapannya dan kolom tentang identitas dari seseorang yang telah diambil sidik jarinya. Dari hasil sidik jari tersebut dapat ditentukan identitas seseorang, apakah dia adalah si pembunuh, pegawai, dan sebagainya yang dapat dipergunakan baik untuk pengenalan kembali, untuk penyidikan, untuk memperkuat pembuktian maupun untuk kepastian mengenai keadaan seseorang. Dalam penggunaan sidik jari, diperlukan sebuah file sidik jari yang disusun secara baik dan benar. File sidik jari tersebut berupa serangkaian kegiatan-kegiatan yang meliputi pengambilan sidik jari seseorang baik tersangka ataupun orang yang dicurigai, merumuskan, dan menyimpan menurut cara tertentu sehingga akan mudah ditemukan kembali di kemudian hari. Pengambilan sidik jari harus dilakukan dengan baik sehingga akan memudahkan pihak Kepolisian dalam menemukan identitas seseorang. 2. Perumusan Sidik Jari a. Langkah-langkah dalam melakukan perumusan sidik jari 1) Pada waktu melakukan perumusan sidik jari langkah pertama adalah membubuhi blocking out yaitu pembubuhan tanda pada tiap-tiap kolom kartu sidik jari yang menunjukan interpretasi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengenai bentuk pokok lukisan, sesuai dengan bentuk pokok lukisan yang ada. 2) Blocking Out Bentuk pokok lukisan ditulis atau dibubuhkan dibawah masingmasing kolom sidik jari. a) Bentuk pokok lukisan Whorl pada semua jari nyatakan dengan huruf besar W. b) Khusus pada jari telunjuk baik kanan/kiri semua bentuk pokok lukisan ditulis dengan huruf besar (A.T.R.U.W). c) Pada jari-jari yang lain dilukis dengan huruf kecil a, t, dan r dan berbentuk garis diagonal (V) menghadap/berhadapan dengan delta. Contoh blocking out 1. Jempol
3. Tengah
4. Manis
5. Kelingking
M
13
0
|
W
T
\
\
6. Jempol 3) | W
2. Telunjuk
7. Telunjuk 9 |
8. Tengah 9 |
5
9. Manis
10.Kelingking 0
Keterangan : a) Tanda tidak merusak sidik jari yang ada U / W a b) Tidak ada pembakuan dalam buku penuntun c) Kesamaan persepsi pada peserta didik yang telah lalu
d) Bentuk W tidak perlu dihitung kecuali pada kelingking yang akan digunakan sebagai fisial. 3) Perhitungan garis pada loop ditulis pada kolom sudut kiri atas (dinyatakan dengan angka) dan dengan salah satu huruf besar I dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
O untuk ke 6 jari telunjuk s/d jari manis. Sedangkan untuk jempol dengan huruf SML sesuai dengan tabel perhitngan garis dan hurufhuruf tersebut ditulis pada kolom sudut kanan atas. 4) Untuk bentuk pokok lukisan W penentuan I.M.O mengikuti garis (ridge tracing). Dimulai dari delta kiri dan bukan type lines. Karena delta biasanya terdiri dari garis pendek maka tracing line pindah pada garis yang segara berada diluarnya, bila garis itu terputus juga maka tracing dilanjutkan lagi ke garis yang segera berada di luarnya sampai mencapai suatu titik atau tempat yang sejajar dengan delta kanan. Bilamana ridge tracing menuju kedalam dengan jumlah hitungan garis mencapai 3 keatas dengan lambing I. bila garis ridge tracing menuju kedalam atau keluar berjumlah kurang dari 3 (tiga) atau tepat pada delta kanan maka dengan lambing M. bilamana ridge tracing menuju keluar dengan jumlah garis keatas maka dengan lambang O.
RUMUS
SIDIK
JARI
TERDIRI
DARI
:
Primary
Secondary,
Subsecondary mayor, Final dan Key dan perumusan ini ditempatkan pada garis rumus dengan urutan sebagai berikut : KEY, MAJOR, PRIMARY, secondary, subsecondary Final. Primary diambil dari nilai angka tertentu yang mempunyai nilai angka tertentu tersebut hanyalah bentuk pokok lukisan Whorl saja. Adapun nilai Whorl tersebut sesuai dengan kolomnya, Nilai Whorl menurut kolom ini yang dimaksud dari jempol kanan s/d kelingking kanan baru diteruskan dengan jempol kiri s/d kelingking kiri, jelasnya sebagai berikut :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1
2
3
4
5
Kanan
Jempol 16
Telunjuk 16
Jari Tengah Jari Manis 8 8
Kelingking 4
Kiri
Jempol 4
Telunjuk 2
Jari Tengah 2
Jari Manis 1
Kelingking 1
6
7
8
9
10
PRIMARY Perumusan primary sebagai pembilang diambil dari nomor genap sedangkan penyebut diambil dari nomor ganjil. Baik pembilang maupun penyebut harus ditambah 1, dengan demikian perumusan primary pembilang penyebut terbesar adalah 32 dan paling kecil adalah 1/1. SECONDARY Secondary adalah rumus yang diperuntukan bagi telunjuk kanan dan kiri dinyatakan atau ditulis dengan huruf besar menurut bentuk pokok sidik jarinya. Telunjuk kanan sebagai pembilang (ditulis diatas garis rumus) dan telunjuk kiri sebagai penyebut (ditulis dibawah garis rumus). SUB SECONDARY Sub secondary dinyatakan dengan huruf besar setelah diketahui hitungan garis dari loop (the ridge count of loops) dan mengikuti jalannya garis tengah dan jari manis kanan dan kiri (I.O.M) sertra ditulis disebelah kanan dari secondary dalam deretan rumus. FINAL Final adalah bilangan garis diutamakan bentuk loop pada kelingking kanan yang dinyatakan dengan angka (jumlah garis) dan ditulis sebelah kanan atas subsecondary ditulis sebelah kanan bawah sub secondary bila kelingking kiri berbentuk loop dengan catatan kelingking kanan bukan bentuk loop. Bilamana kedua kelingking tidak ada bentuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lukisan loop/radial loop maka Whorl pada kelingking dapat digunakan sebagai final. Bilangan garis dari bentuk Whorl dapat dihitung dengan cara sebagai berikut: 1) Untuk kelingking kiri mulai dihitung dari delta kanan ke core. 2) Bilamana terdapat 2 (dua) atau lebih core pada bentuk Whorl tersebut maka perhitungan garis antara delta kiri (tangan kanan) atau anara delta kanan (tangan kiri) ke coreyang letaknya terdekat dari delta. 3) Bila jenis Whorl itu double loop maka perhitungan garis dimulai dari delta ke core pada loop yang menegak (upright loop). 4) Bila double loop mendatar (horizontal) core yang terdekat letaknya dengan delta yang dipakai. Final dinyatakan tidak ada bila kedua kelingking (kanan dan kiri) berbentuk Arch atau Tented Arch (a/t). KEY Key adalah jumlah bilangan garis dari loop pertama yang terdapat pada rangkaian 8 sidik jari mulai dari jempol sd jari manis kanan dan kiri. Key selalu ditulkan diatas garis umus (pembilang) dan ditempatkan pling kiri dari major. Bilamana tidak terdapat bentuk loop dari ke 8 (delapan) jari tersebutdiatas maka rums key haps (tidak ada) dan digant dengan tanda dash (-) ditempatkan tau ditulis seperti penulisan key bentuk loop pertama dari ke 8 (delapan) jari. MAJOR Major dinyatakan dengan huruf tertentu bagi bentuk-bentuk lukisan yag terdapat pada jempol kanan dan jempol kiri, diletakan atau dituli pada pembilang dan penyebut disebeh kiri umusan primary. 1) Bilamana jempol berbentuk Whorl maka huruf yang dipergunakan adalah sesuai denganridge tracing (I O M).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2) Bilamana jempol berbentukloop maka huruf yang dipergunakan adalah sesuai dengan jumlah hitungan garis (seperti dalam tabel) yaitu S.M.L. 3) Bilamana jempol berbentuk Radia Loop (r) seperti halnya pada bentk loop hanya saja hurf (r) harus ditulis antara major dan primary SMALL LETTER (HURUF KECIL) Dari ke 6 (enam) rumus tersebut diatas masih ada satu macam rumus lagi dikarenakan Small letter (huruf kecil) untuk bentuk pokok lukisan Arch, Tented Arch dan Radial Loop (a,t dan r) yang terdapat pada jari selain jari telunjuk kanan dan kiri. Penempatan rumusnya ditulis sesuai dengan letaknya dilihat dari letak rumus Subsecondary : 1) Bentuk Arch ‘a’ tented Arch ‘t’ pada jempol kanan atau kiri ditulis diantara rumus primary dan secondary (jempol kanan diatas garis rumus sebagai pembilang, jempol kiri dibawah garis rumus sebagai penyebut). Rumus Major karena ada Small Letter (huruf kecil) diganti dengan tanda dash (-). 2) Bentuk Radial Loop pada jempol kanan atau kiri tidak menghapus rumus Major namun Radial Loop (r) ditulis sebagai mana penulisan a, t tersebut diatas. Dengan demikian apabila Small Letter terdapat pada Sub Secondary, maka rumusnya tidak lagi ditulis dengan huruf I.M.O akan tetapi dengan huruf kecil a.t.r. Bilamana terdapat a.t.r. maka perumusan sub secondary dimulai dari jari tengah s/d kelingking. b. Hal-hal yang perlu diperhatikan Perumusan cacat dan bentuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1) Bilamana terdapat jari yang lukisannya rusak sama sekali (buntung) maka bentuk pokok lukisannya menurut pokok lukisan jari yang lainnya (sesuai kolomnya). 2) Bilamana jari yang sesuai kolomnya sama-sama rusak maka bentuk pokok lukisan dinyatakan Whorl dengan ridge tracing M (Meeting). 3) Apabila ke 10 (sepuluh) jari buntung semua, maka bentuk pokok lukisan dinyatakan Whorl dengan ridge tracing M (Meeting) serta Frial dan Key tidak ada. 3. Penyimpanan Sidik Jari Penyimpanan sidik jari pada suatu proses pengidentifikasian merupakan satu syarat mutlak karena hal ini menyangkut data seseorang. Penyimpanan tersebut digunakan sebagai data atau dokumen yang bertujuan untuk mempermudah pekerjaan di lingkungan Kepolisisan yang membutuhkan data atau dokumen tersebut. Penyimpanan sidik jari berupa kartu sidik jari yang memuat rumus sidik jari pada kartu tersebut. Terdapat data tambahan pada kartu seperti nama dan beberapa catatan penting mengenai pemilik rumus sidik jari tesebut. Kartu ini disebut kartu AK23K dan kartu AK-24K. Berdasarkan buku petunjuk pelaksanaan fungsi identifikasi disebutkan bahwa : Kartu AK-23K yaitu: Formulir yang sudah dibakukan di lingkungan Kepolisian sebagai sarana untuk pengambilan atau pembubuhan sidik jari, ciri-ciri umum, sinyalemen, contoh tulisan tangan, pas poto dan lain-lain dari identitas seseorang”.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sedangkan yang dimaksud dengan kartu AK-24K yaitu: Kartu yang memuat nama, rumus sidik jari dan beberapa catatan penting mengenai orang yang sudah diambil sidik jarinya (Petunjuk Teknis Pelaksanaan Fungsi Identifikasi, 1981:7). Kartu sidik jari tersebut kemudian digandakan untuk kemudian dikirimkan ke setiap tingkat satuan Kepolisian mulai dari Polres, Polda sampai ke Mabes Polri. Fungsi dari penggandaan dan pengiriman sidik jari tersebut bertujuan sebagai bukti dokumen yang apabila dibutuhkan, dapat dengan mudah didapatkan. Pemusatan kartu sidik jari dilakukan dengan cara sebagai berikut: a) Tingkat Kepolisian Sektor (POLSEK) Ditingkat petugas melakukan identifikasi dengan mengambil sidik jari yang menempel pada benda-benda yang dimungkinkan tersentuh oleh pelaku seperti pintu, tembok, jendela dan benda-benda lain disekitar TKP. Selain itu petugas juga meminta sidik jari dari saksi dan orang yang dicurigai di tempat kejadian perkara. Pengambilan sidik jari ini, dilakukan dengan sangat detail dan diorganisir dengan baik karena sidik jari tersebut nantinya akan dikirim ke tingkat Polres sehingga tidak boleh ada kesalahan agar proses penyidikan dapat berjalan dengan lancar. Jadi dapat dikatakan bahwa tugas dari Polsek hanya sebatas pengambilan sidik jari saja sedangkan Polres yang akan merumuskannya. b) Tingkat Kepolisian Resort (POLRES) Ditingkat Polres, petugas melakukan identifikasi ulang dengan mengambil sidik jari dan barang bukti di TKP, seperti yang telah dilakukan di tingkat Polsek. Hal ini dilakukakan untuk meyakinkan bahwa sidik jari dan bukti yang diperlukan sudah
commit to user
benar-benar
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lengkap. Setelah mendapatkan bukti yang cukup langkah selanjutnya adalah merumuskannya dan menyimpannya dalam bentuk kartu yaitu AK-23K dan AK-24K, termasuk merumuskan sidik jari yang berasal dari Polsek. Petugas juga harus mampu membandingkan sidik jari yang didapat dengan sidik jari bandingan yang ada di Polres, untuk selanjutnya dapat menentukan ada atau tidaknya kesamaan antara sidik jari yang diidentifikasi dengan sidik jari bandingan yang sebelumnya tersimpan di Polres dan kemudian dikirim untuk dijadikan arsip di Polda. c) Tingkat Kepolisian Daerah (POLDA) Di tingkat Polda petugas melakukan pemeriksaan terhadap data yang dikirim dari Polres yang berupa kartu-kartu sidik jari dan data pelengkap lainnya. Kemudian menyimpan dan mengirim kartu-kartu sidik jari tersebut ke Mabes Polri. Namun sebelum dilakukan pengiriman
petugas
melakukan
pemeriksaan
ulang
untuk
meminimalisir kesalahan atau kekeliruan. d) Tingkat Pusat (MABES POLRI) Di tingkat pusat atau Mabes Polri tersimpan kartu sidik jari yang dikirim dari semua Polda sehingga tidak perlu mengadakan pemeriksaan ulang dan perumusan. Tingkat pusat hanya melayani permintaan Polda untuk mendapatkan sidik jari bandingan. Dengan cara demikian seluruh sidik jari baik dalam hubungan perkara pidana maupun tidak akan tersimpan secara terpusat di Mabes Polri. Apabila diperlukan sidik jari pembanding dapat ditemukan di Polsek, Polres, Polda dan Mabes Polri karena setiap tingkatan atau wilayah hokum memiliki data sidik jari sebagai dokumen yang apabila sewaktuwaktu diperlukan segera dapat digunakan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Peranan Daktiloskopi dalam Mengungkapkan Kasus Tindak Pidana Pencurian dengan Sidik Jari di Polres Sragen Pada pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan mengenai peranan Daktiloskopi yang pada umumnya tidak hanya diterapkan di Indonesia tetapi juga di negara lain seperti Amerika. Pada pembahasan kali ini, penulis akan menjelaskan bagaimana peranan Daktiloskopi dalam mengungkapkan kasus tindak pidana pencurian di Kota Sragen. Polres Sragen sebagai penegak hukum di wilayah Sragen tentu saja menangani banyak kasus tindak pidana, dalam hal ini kasus pencurian. Untuk kasus tindak pidana pencurian itu sendiri, selama tahun 2011 Polres Sragen sudah menangani kasus pencurian sebanyak 216 kasus pencurian dalam rentan waktu bulan Januari 2011 sampai dengan bulan Agustus 2011 dan dari 216 kasus, yang sudah berhasil diselesaikan jumlahnya sebanyak 72 kasus pencurian. Sidik jari dipakai oleh Polres Sragen sebagai alat untuk mengungkap tindak pidana pencurian guna mengetahui tersangka, karena sidik jari dianggap efektif dalam proses pengungkapan. Selain menggunakan sidik jari, pengenalan kembali juga dapat dilakukan melalui sidik tapak kaki dan sidik bibir namun tidak pernah dipakai, hal ini dikarenakan kurangnya sarana prasarana yang menunjang pelaksanaannya. Menurut keterangan Bapak Aiptu Sumarjono (Kanit Identifikasi Polres Sragen) dikatakan bahwa: “Daktiloskopi
sangat
membantu
dalam
proses
pengungkapan
pencurian, karena Daktiloskopi merupakan salah satu sistem yang paling efektif dalam proses pengungkapan pencurian” (wawancara dengan Kanit Reskrim Polres Sragen, Senin 3 Oktober 2011).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Selain itu Daktiloskopi juga memiliki keuntungan dalam proses penyidikan, diantaranya adalah biaya lebih murah, praktis, hanya memakan waktu singkat dan cepat. Keuntungan dengan memakai sidik jari tersebut sangat membantu dalam penanganan proses pengungkapan tindak pidana pencurian. Menurut keterangan dari Bapak Aiptu Sumarjono, dikatakan bahwa: “Pada umumnya jenis sidik jari yang dapat dijumpai di tempat kejadian perkara adalah sidik jari Latent Impression yaitu sidik jari yang tidak langsung dapat terlihat dan memerlukan beberapa cara pengembangan terlebih dahulu untuk membuatnya terlihat jelas” (wawancara dengan Kanit Identifikasi Polres Sragen, Senin 3 Oktober 2011). Untuk pencarian sidik jari latent (sidik jari yang tertinggal di TKP) di tempat kejadian perkara, digunakan lampu senter (flash light) yang disorotkan miring pada permukaan. Bila cahaya lampu senter disorotkan dari arah yang tepat, sidik jari latent yang tertinggal pada permukaan tersebut akan terlihat jelas, tetapi sering kali ditemukan juga bekas sarung tangan di tempat kejadian perkara. Hal ini tentu saja tidak boleh mengurangi semangat dan kinerja petugas karena usaha pencarian harus tetap dilanjutkan seperti biasa dengan memperhatikan tempat-tempat dimana tersangka mungkin telah membuka sarung tangannya untuk melakukan beberapa pekerjaan yang sulit. Dalam melakukan pencarian sidik jari latent yang demikian tersebut petugas penyidik dituntut untuk mampu dan membayangkan apa saja yang telah disentuh atau dipegang tersangka dalam melakukan operasi kejahatannya. Meskipun tidak ada ketentuan yang mengikat tentang tempat-tempat di mana pencarian sidik jari latent harus dilakukan, hal tersebut di bawah ini dapat dipakai sebagai pedoman yaitu:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam peristiwa pembongkaran, pencarian dilakukan pada: 1) Tempat tersangka masuk; 2) Obyek yang dirusak; 3) Benda-benda yang dipindahkan atau dipegang tersangka; 4) Alat-alat yang digunakan untuk pembongkaran (baik yang tertinggal atau yang ditemukan kemudian); 5) Tempat keluar tersangka; 6) Barang-barang yang ditemukan kembali. Pada peristiwa pencurian mobil, yang ditemukan kembali, pencarian dilakukan pada: 1) Pegangan pintu mobil; 2) Tempat duduk pengemudi, termasuk jendela samping dan depan serta kerangka pintu; 3) Pegangan versneling; 4) Kaca spion; 5) Kepala sabuk pengaman; 6) Benda-benda lain yang mungkin telah dipindahkan atau dipegang (Penuntun Daktiloskopi Subdirektorat Identifikasi Reserse Polri, 1986:83). Dengan demikian apabila Kepolisian (dalam hal ini adalah Polres Sragen) memerankan sidik jari sebagai upaya bantu mengenal pelaku tindak pidana dengan baik, pasti pihak Kepolisian tidak akan mendapat kesulitan dan tidak akan melakukan perbuatan yang melanggar (kekerasan/paksaan) untuk mendapatkan bukti, sebab sidik jari cukup sah untuk membuktikan seseorang menjadi tersangka atau bukan, sehingga dapat dihindarkan dari kemungkinan petugas penyidik melakukan hal-hal yang bertentangan dengan fungsinya selaku aparat penegak hukum ataupun abdi masyarakat. Dari hasil wawancara dengan Aiptu Sumarjono (Kanit Identifikasi Polres Sragen) dalam menangani kasus tindak pidana pencurian, proses yang dilakukan adalah sebagai berikut;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Dimulai dengan mendatangi Tempat Kejadian Perkara (TKP) oleh petugas penyidik identifikasi Reskrim kemudian mengamankan dan mensterilkan agar tidak ada yang masuk selain petugas penyidik. 2. Setelah itu diadakan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP), memeriksa cara pelaku masuk dan keluar dari tempat kejadian perkara serta memeriksa apa yang telah dilakukan pelaku. 3. Kemudian mengumpulkan barang bukti yang tertinggal, pengambilan sidik jari laten dan pemotretan gambar (wawancara dengan Kanit Reskrim Polres Sragen, Senin 3 Oktober 2011). Di dalam pemeriksaan terhadap bukti-bukti yang tertinggal di Tempat Kejadian Perkara (dalam hal ini bekas sidik jari), biasanya terdapat pada tembok, pintu, benda-benda yang dirusak dan ditinggalkan oleh pelaku, karena terdapat suatu ungkapan bahwa sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga dalam
arti lain
sepandai-pandainya penjahat melakukan
kejahatannya pasti membuat kesalahan sebab dalam melakukan kejahatan tersebut seorang penjahat selalu dibayangi rasa takut dan bersalah. Menurut Aiptu Sumarjono (Kanit Identifikasi Polres Sragen), disebutkan bahwa: “Pengambilan sidik jari tidak hanya diambil dari tempat kejadian perkara (TKP) tetapi juga dari barang bawaan pelaku yang tertinggal” (wawancara dengan Kanit Identifikasi Polres Sragen, Senin 3 Oktober 2011). Sidik jari yang tertinggal di tempat kejadian perkara lebih dikenal dengan istilah sidik jari latent yang dapat dipergunakan sebagai petunjuk untuk mengenal kembali pelaku disamping bukti-bukti lain. Petugas penyidik sendiri harus berhati-hati dan mengusahakan agar bukti sidik jari tersebut tidak rusak ataupun hilang agar memudahkan proses penyidikan yang lebih lanjut. Kemudian sidik jari yang tertinggal tersebut diangkat dengan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menggunakan serbuk atau powder magnetic/ non magnetic yang dapat mengangkat (lifting) zat keringat yang terkandung dalam sidik jari latent sehingga lukisan pola garis serta detail-detailnya akan tampak untuk kemudian diidentifikasi. Berdasarkan buku Penuntun Daktiloskopi juga disebutkan bahwa: “Serbuk yang digunakan untuk mengembangkan sidik jari laten warnanya harus kontras dengan latar belakang (back ground) dimana sidik jari laten itu tertinggal. Misalnya latar belakang berwarna hitam (warna gelap) maka serbuk serbuk harus berwarna putih (berwarna terang). Hal ini tidak saja memungkinkan petugas dapat melihat dengan jelas sidik jari laten tersebut, tetapi juga sebagai suatu bantuan untuk mengangkat (lifting) atau memotret sidik jari laten tersebut” (Penuntun Daktiloskopi Subdirektorat Identifikasi Reserse Polri, 1986:86). “Sebelum sidik jari latent yang ditemukan dibandingkan dengan sidik jari tersangka atau sidik jari yang tersimpan di file atas nama orang tertentu, terlebih dahulu sidik jari latent tersebut dibandingkan dengan sidik jari orangorang yang secara sah telah memegang sesuatu di TKP (elimination prints) dan juga orang-orang yang dicurigai” (Petunjuk Teknis Pemeriksaan Sidik Jari, 2000:57). Proses selanjutnya adalah dituangkan dalam berita acara pengangkatan sidik jari. Setelah itu sidik jari dikembangkan dan dirumuskan dengan cara manual atau menggunakan tinta, dengan sidik jari yang ada dikartu pembanding yang tersimpan pada arsip Kepolisian Sragen yang memuat daftar atau register sidik jari tersangka yang pernah melakukan tindak pidana sebelumnya, kemudian dilakukan pencocokan dan dapatlah diketahui siapa yang mempunyai bekas sidik jari tersebut, dengan kata lain dapat menjadi kunci sukses usaha pengenalan kembali dan penentuan siapa sebenarnya pelaku suatu tindak pidana yang terjadi. Sudah barang tentu diperlukan sidik jari pembanding yang sudah tersedia sebelumnya di file kartu sidik jari yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ada di Polres agar proses pembandingan dapat berjalan dengan baik, untuk itu diperlukan pengertian dan kesadaran masyarakat tentang arti pentingnya sidik jari sebagai upaya untuk mengungkap identitas seseorang terhadap kasus tindak pidana seperti pencurian. Ini adalah hal yang positif karena dapat membantu Kepolisian khususnya Polres Sragen dalam melakukan tugasnya menangani sebuah kasus. Di Indonesia khususnya di Kabupaten Sragen sebagai wilayah hukum Polres Sragen belum semua warganya pernah diambil sidik jarinya, jadi apabila sewaktu-waktu dibutuhkan sidik jarinya untuk dijadikan bahan pembanding, Polres akan mengalami kesulitan. Sidik jari yang ada di arsip Polres Sragen diakui sebagian belum banyak membantu untuk mengenali pelaku kejahatan (pencurian). Hal ini dikarenakan orang-orang tersebut belum pernah diambil sidik jarinya di Polres Sragen, sehingga sidik jari tersebut tidak dapat dibandingkan. Secara garis besar, peranan Daktiloskopi dalam mengungkap kasus tindak pidana pencurian kurang terlihat peranannya karena diperlukan sidik jari pembanding untuk dapat dibandingkan dengan sidik jari latent yang ada di TKP. Walaupun demikian bukan berarti peranan Daktiloskopi tidak ada di Polres Sragen. Berikut kasus tindak pidana pencurian yang terjadi di wilayah hukum Polres Sragen yang berhasil diungkap dengan peranan Dactyloscopy melalui pemeriksaan orang-orang yang dicurigai dan pemeriksaan saksi-saksi yaitu: Kasus pencurian uang dan barang di Kantor Balai Rehabilitasi Sosial Raharjo : Telah terjadi pencurian uang dan barang pada tanggal 30 Januari 2011 di Kantor Balai Rehabilitasi Sosial Raharjo, yang dilakukan oleh tersangka Sukimin. Pegawai Kantor bernama Sri Miyatun (saksi I/pelapor), telah mendapatkan barang-barangnya hilang, antara lain : - Uang tunai sebesar Rp. 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) di dalam Brankas
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
-
Uang tunai sebesar Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) di dalam Almari besi - 1 Buah Laptop merk Acer - 1 Buah Proyektor merk Ben’Q Setelah diadakan pemeriksaan diadakan pemeriksaan oleh Kanit Identifikasi dari Kepolisian Resor Sragen yaitu Aiptu Sumarjono, dengan mendatangi tempat kejadian perkara (TKP) telah mengadakan pencarian sidik jari laten dan bekas-bekas lainnya sehubungan dengan kasus tersebut, ditemukannya beberapa sidik jari laten yang tertinggal yang diduga milik tersangka. Kemudian diadakan pemeriksaan bandingan antara sidik jari laten yang ditemukan di TKP dengan sidik jari tersangka yang terdapat pada kartu AK23. Untuk memudahkan pemeriksaan sidik jari laten hasil temuan di TKP diberi tanda huruf A, sedangkan sidik jari yang terdapat pada kartu AK23 atas nama tersangka diberi tanda huruf B. Terhadap sidik jari tersebut kemudian dilakukan pemotretan dan diproduksi dengan dibesarkan beberapa kali dengan posisi yang sama. Selanjutnya setelah dilakukan pemeriksaan perbandingan persamaan sidik jari, menurut Aiptu Sumarjono antara sidik jari laten hasil temuan di TKP (A) dengan sidik jari di kartu AK23 atas nama tersangka (B), dapat ditarik kesimpulan bahwa sidik jari yang diberi huruf A itu identik (sama) dengan sidik jari yang diberi huruf B (Sumber Data Kantor Unit Identifikasi Reskrim Kepolisian Resor Sragen) Dari kasus tersebut dapat diketahui bahwa telah terbukti sidik jari latent yang terdapat di tempat kejadian perkara setelah dikembangkan dapat digunakan untuk mengenal identitas seseorang, sehingga dapat diketahui pelaku tindak pidana tersebut. Dengan demikian dapat mengungkap kasus tersebut dengan menggunakan peranan Daktiloskopi. C. Kendala-kendala yang dihadapi Polres Sragen dalam mengungkap kasus tindak pidana pencurian dalam kaitannya dengan peranan Daktiloskopi Dalam pengungkapan kasus tindak pidana pencurian di Sragen, polres Sragen memiliki beberapa kendala yang memerlukan solusi yang tepat. Kendala- kendala ini sering kali menyulitkan tugas dari Polres dalam penyelesaian kasus tindak pidana, dalam hal ini pencurian.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Kendala Sumber Daya Manusia (SDM) Menurut Kanit Identifikasi Polres Sragen Aiptu Sumarjono, dikatakan bahwa : “Tidak semua anggota kepolisian memiliki kualifikasi sebagai seorang yang benar-benar ahli dalam bidang Daktiloskopi. Hal ini tentu kurang baik bagi kepolisian ditingkat daerah dalam tugasnya untuk mengungkap sebuah kasus tindak pidana. Dibutuhkan pelatihan di kejuruan Daktiloskopi agar anggota Kepolisian di tingkat aerah juga memiliki kualifikasi” (wawancara dengan Kanit Identifikasi Polres Sragen, 19 Oktober 2011). Kendala yang pertama berasal dari segi Sumber Daya Manusia (SDM). Sebagaimana kita ketahui, Daktiloskopi merupakan ilmu yang membutuhkan suatu keahlian yang khusus, sehingga Mabes Polri memberikan suatu pelatihan khusus. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pihak Kepolisian di bidang Daktiloskopi, namun dari Polres Sragen belum ada yang mendapat pelatihan tersebut, sehingga petugas bagian identifikasi tidak memiliki kualifikasi dari kejuruan Daktiloskopi. 2. Kendala Sarana Prasarana Kendala lain yang dihadapi Polres Sragen adalah kendala Sarana dan Prasarana. Sarana Prasarana juga menentukan suatu keberhasian dari pengungkapan kasus tindak pidana pencurian di Sragen. Peralatan yang dipergunakan dalam penanganan kasus tindak pidana pencurian di Sragen masih sangat konvensional atau manual dimana masih menggunakan tinta, bukan komputerisasai seperti yang telah diterapkan di negara-negara maju seperti Jepang. Selain itu, banyaknya jumlah sidik jari ynag terkumpul dari
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
seluruh warga Sragen, kurang terorganisir dengan baik karena keterbatasan sarana dan prasarana. Sebagai contoh, untuk menemukan suatu kartu sidik jari, petugas harus mencari satu persatu dari banyaknya tumpukan kartu, karena belum menggunakan system komputerisasi. Hal ini mempengaruhi keefektifan waktu dan tenaga, walaupun penanaganan kasus dengan sidik jari sudah dirasa efektif dari segi waktu dan tenaga. Namun, kita tidak sepantasnya menyalahkan petugas yang mana mereka hanyalah mahluk biasa, yang bisa melakukan kesalahan, kejenuhan dan kebosanan sehingga sidik jari yang ada tidak lebihnya hanya tumpukan kartu yang tidak berarti. Bantuan pemerintah dalam penyediaan sarana dan prasarana dirasa sangat penting dan membantu dalam hal ini. 3. Kendala dari Masyarakat Kendala terakhir yang dihadapi Polres Sragen adalah kurangnya pengetahuan tentang sidik jari membuat masyarakat tidak mengerti arti pentingnya sidik jari dalam pengungkapan kasus tindak pidana. Kesadaran masyarakat untuk membantu pihak Kepolisian dalam penangan kasus tindak pidana pencurian dirasa sangat kurang. Hal ini dapat dilihat dari Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang sudah berubah dan tidak steril lagi. Berdasarkan pengalaman dari penanganan kasus-kasus pencurian selama ini, olah TKP dimana dilakukan penyidikan dan pengambilan sidik jari malah dijadikan tontonan, terlebih lagi, warga sekitar melakukan hal-hal yang merugikan petugas karena dapat menghilangkan bekas sidik jari laten yang menempel di benda-benda di sekitar TKP, seperti menyentuh atau memindahkan benda-benda tersebut. Selain itu, keaslian TKP sangat penting dalam menilai dan menganalisa peristiwa yang terjadi. TKP merupakan suatu petunjuk dalam pengungkapan kasus dalam hal ini pencurian. Apabila, TKP sudah berubah dan tidak sterile lagi, proses
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penyidikan akan terhambat. Sering kali petugas menemukan sidik jari pelaku yang telah bercampur dengan keluarga korban dan warga yang tidak berkepetingan. Dari uraian singkat ini, dapat disimpulkan bahwa sebagian masyarakat masih kurang mengerti betapa pentingnya keaslian TKP dalam pengungkapan sebuah kasus. Selain itu, kepolisian juga mengalami kesulitan dalam pengambilan dan penyimpanan sidik jari dari masyarakat sebagai arsip terpusat, dikarenakan kurangnya pengertian dari masyarakat akan peranan sidik jari dalam pengungkapan kasus tindak pidana pencurian. Melihat kendala-kendala yang dihadapi Polres Sragen dalam usaha pengungkapan kasus tindak pidana pencurian, peranan Daktiloskopi kurang terlihat. Ditambah lagi dengan tidak adanya sidik jari pembanding yang disebabkan karena belum semua warga Sragen diambil sidik jarinya. Hal ini sedikit menyulitkan petugas dalam menemukan tersangka pencurian. Namun, Daktiloskopi memiliki peranan yang sangat penting walaupun peranan tersebut belum sepenuhnya maksimal. Polres Sragen juga memiliki solusisolusi untuk mengatasi kendala-kendala yang ada, yang diharapkan mampu berperan optimal. D. Solusi dari kendala-kendala yang dihadapi Polres Sragen Seperti dijelaskan sebelumnya, ada beberapa kendala yang dihadapi Polres Sragen dalam mengungkapkan kasus tindak pidana pencurian. Tentu saja hal itu menjadi kerugian bagi pihak Polisi dalam melaksanakan tugasnya sebagai penegak hukum. Untuk itu, diperlukan solusi untuk mengatasi kendala-kendala tersebut. Pihak Polres Sragen telah melakukan beberapa tindakan
sebagai solusi dari kendala
yang dihadapi dalam
pengungkapan kasus tindak pidana pencurian di wilayah Sragen.
commit to user
usaha
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Usaha yang dilakukan Polres Sragen dalam meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) Polres Sragen mengirim beberapa orang ke Mabes Polri untuk mendapatkan
pelatihan
mengenai
Daktiloskopi
melalui
kejuruan
Daktiloskopi yang berlangsung di Mabes Polri. Hal ini dimaksudkan agar Polres Sragen memiliki kemampuan dan pengetahuan yang cukup dalam usaha pengungkapan kasus tindak pidana pencurian dengan sidik jari sehingga nantinya diharapkan dalam setiap penanganan tindak pidana pencurian terutama dengan upaya pengidentifikasian melalui sidik jari. 2. Upaya Polres Sragen dalam Mengatasi Keterbatasan Sarana dan Prasarana Polres Sragen berharap Pemerintah mau memberikan fasilitas untuk lebih menunjang kegiatan polisi dalam mengungkap kasus tindak pidana pencurian, dengan menyediakan Indonesia Automatic Fingerprints Identification System (INAFIS) sebagaimana telah dijelaskan pada peranan Daktiloskopi secara umum di atas. INAFIS sendiri berupa sebuah kendaraan khusus sarana identifikasi yang dilengkapi dengan laboratorium mini yang memungkinkan pengembangan dan perumusan sidik jari dapat dilakukan langsung di Tempat Kejadian Perkara, sehingga usaha identifikasi pun akan lebih cepat terlaksana. Proses perumusan dan pembandinganpun dilakukan dengan sistem komputerisasi hanya saja untuk tingkat Polres khususnya Polres Sragen belum ada kendaraan semacam ini, Kendaraan INAFIS sendiri hanya ada untuk tingkat Mabes Polri dan tingkat Polda. Akan lebih baik lagi apabila pengadaan INAFIS juga sampai ke tingkat Polres agar pemanfaatnya lebih maksimal.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Upaya dalam Mengatasi Masalah yang Timbul dari Masyarakat Seperti yang telah dijelaskan dalam uraian kendala yang dihadapi di atas, Polres Sragen bergerak cepat setelah adanya laporan dengan memerintahkan polisi terdekat yang tengah berjaga di sekitar tempat peristiwa terjadi untuk mengamankan TKP, sementara menunggu Polres datang untuk melakukan proses identifikasi di TKP. Hal ini dirasa cukup efektif untuk meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan, seperti hilangnya keaslian Tempat Kejadian Perkara. Kepolisian dlam hal ini Polres Sragen juga dapat memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya sidik jari dalam pengungkapan kasus tindak pidana pencurian. Untuk mewujudkan sistem penyimpanan sidik jari secara terpusat, diperlukan dasar hukum atau peraturan lain yang mengharuskan semua warga Indonesia khususnya penduduk di wilayah Sragen untuk diambil sidik jarinya sehingga pemusatan penyimpanan sidik jari dapat berjalan dengan baik. Hal ini akan berimbas pada upaya kepolisian dalam pengenalan pelaku tindak pidana menjadi lebih mudah. Demikian solusi yang diharapkan dapat terwujud dengan sebaik-baiknya dengan kerjasama antara polisi, Pemerintah dan partisipasi dari masyarakat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP A. Simpulan Dari pembahasan pada bab III, penulis dapat memberi simpulan sebagai berikut : 1. Peran Daktiloskopi dalam mengungkap kasus tindak pidana pencurian di Polres Sragen Dengan kelebihan yang dimiliki oleh sidik jari yang mana sidik jari seseorang tidak akan berubah sampai mati dan tidak ada sidik jari yang sama antara orang yang satu dengan yang lainnya, tentu saja petugas penyidik perlu mempelajari Daktiloskopi agar dapat menggunakan dengan baik dalam upaya mengungkap kasus tindak pidana yang terjadi. Khusus di Polres Sragen, Daktiloskopi dipakai oleh Polres Sragen sebagai alat untuk mengungkap tindak pidana pencurian guna mengetahui tersangka, karena sidik jari dianggap efektif dalam proses pengungkapan kasus tindak pidana. Selain itu Daktiloskopi juga memiliki keuntungan dalam proses penyidikan, diantaranya adalah biaya lebih murah, praktis, hanya memakan waktu singkat dan cepat. Keuntungan dengan memakai sidik jari tersebut sangat membantu dalam penanganan proses pengungkapan tindak pidana pencurian. Di Indonesia khususnya di Kabupaten Sragen sebagai wilayah hukum Polres Sragen belum semua warganya pernah diambil sidik jarinya, jadi apabila sewaktu-waktu dibutuhkan sidik jarinya untuk dijadikan bahan pembanding, Polres akan mengalami kesulitan. Sidik jari yang ada di arsip Polres Sragen diakui sebagian belum banyak membantu untuk mengenali pelaku kejahatan (pencurian). Hal ini dikarenakan orang-
commit to user
57
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
orang tersebut belum pernah diambil sidik jarinya di Polres Sragen, sehingga sidik jari tersebut tidak dapat dibandingkan. Jadi sidik jari mempunyai fungsi yang sangat penting bagi upaya untuk mengenal pelaku tindak pidana karena melalui sidik jari suatu perkara dapat diungkap. 2. Dalam menangani kasus tindak pidana (dalam hal ini pencurian), Polres Sragen menghadapi beberapa kendala. Dengan adanya kendala tersebut tentunya akan menghambat tugas kepolisian dalam mengungkap kasus tindak pidana pencurian, berikut kendala-kendala yang dihadapi Polres Sragen: a. Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang masih rendah SDM yang dimaksud disini adalah petugas yang menangani pengungkapan kasus tindak pidana dengan sidik jari. Hal ini disebabkan karena kurangnya pelatihan mengenai Daktiloskopi sehingga akan berpengaruh terhadap hasil penyidikan dalam upaya mengungkapkan kasus tindak pidana di Polres Sragen. b. Kendala Sarana dan Prasarana Tidak dapat dipungkiri bahwa Sarana dan Prasarana merupakan faktor yang penting dalam usaha pengungkapan kasus tindak pidana pencurian di Sragen dengan Daktiloskopi. Namun, Sarana dan Prasarana ini jugalah yang menjadi kendala bagi Polres sragen dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini disebabkan oleh peralatan yang belum memenuhi syarat atau bisa dikatakan masih konvensional/manual. Kendala ini cukup menghambat kinerja badan kepolisian karena standar yang digunakan seharusnya sudah dilengkapi dengan sistem komputerisasi yang modern, namun sayangnya peralatan ini hanya terdapat ditingkat Polda.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Kendala dari masyarakat Polres Sragen juga mendapat beberapa kendala dari masyarakat sekitar Sragen yang mana seharusnya masyarakat membantu tugas Kepolisian. Kendala dalam hal ini berupa kurangnya pengetahuan masyarakat
mengenai
Daktiloskopi.
Dampak
dari
kurangnya
pengetahuan masyarakat ini sangat terlihat pada saat polisi hendak melakukan olah TKP ataupun pengambilan sidik jari. TKP yang seharusnya steril dari apapun, malah dijadikan tontonan oleh warga sekitar. Terlebih lagi, dengan kurangnya pengetahuan tentang Daktiloskopi, sering kali mereka melakukan hal-hal yang dapat menghambat kinerja kepolisian seperti mimindahkan menyentuh atau menginjak sidik jari dan barang bukti yang ada di TKP sehingga dapat merusak ataupun menghilangkan sidik jari yangdibutuhkan untuk keperluan penyidikan. 3. Upaya yang dilakukan oleh Polres Sragen dalam
mengatasi kendala-
kendala yang dihadapi: a. Usaha yang dilakukan Polres Sragen dalam meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) Untuk mengatasi masalah mengenai Sumber Daya Manusia (SDM) terkait pengetahuan Daktiloskopi , pihak Polres Sragen, mendapat bantuan dari pemerintah, yaitu dengan memberikan pelatihan khusus di bidang Daktiloskopi yang dilaksanakan di Mabes Polri. Pelatihan ini tentunya sangat membantu tugas kepolisisan karena petugas mendapat pengetahuan yang cukup sebagai usaha penanganan kasus tindak pidana pencurian di Sragen.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Upaya Polres Sragen dalam Mengatasi Keterbatasan Sarana dan Prasarana Dalam usahanya untuk mengatasi kendala Sarana dan Prasarana, Polres Sragen berharap Pemerintah mau memberikan fasilitas untuk lebih menunjang kegiatan polisi dalam mengungkap kasus tindak pidana pencurian dengan pengadaan Indonesia Automatic Fingerprints Identification System (INAFIS). INAFIS berupa sebuah kendaraan khusus sarana identifikasi yang dilengkapi dengan laboratorium mini yang memungkinkan pengembangan dan perumusan sidik jari dapat dilakukan langsung di Tempat Kejadian Perkara, sehingga usaha identifikasi pun akan lebih cepat terlaksana. Namun, pengadaan INAFIS ini hanya ada di tingkat Polda dan mabes Polri, jadi solusi yang diberikan pemerintah dirasa masih kurang maksimal. Akan lebih baik lagi apabila pengadaan INAFIS tersebut merata di setiap tingkat satuan kepolisian sampai ke tingkat daerah. c. Upaya dalam Mengatasi Masalah yang Timbul dari Masyarakat Kendala dari Masyarakat dapat diatasi dengan cara Polres Sragen bergerak cepat untuk menjaga keaslian TKP. Setelah laporan diterima oleh polisi, Polres Sragen segera memerintahkan polisi terdekat yang sedang bertugas di sekitar TKP untuk mengamankan TKP sementara menunggu pihak Polres datang untuk melaksanakan proses penyidikan. Kepolisian dalam hal ini Polres Sragen dapat memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya sidik jari dalam pengungkapan kasus tindak pidana pencurian seperti mengadakan seminar dengan tokoh masyarakat yang selanjutnya tokoh masyarakat tersebut akan memberikan informasi tersebut kepada masyarakat dimana tokoh masyarakat tersebut tinggal. Polres Sragen
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
juga sangat berharap adanya suatu Undang-undang atau peraturan yang mengharuskan warga negara untuk diambil sidik jarinya demi kepentingan penyimpanan pemusatan sidik jari. B. Saran Setelah
memberi
kesimpulan
tentang
peran
Daktiloskopi
dalam
mengungkap kasus tindak pidana pencurian di Polres Sragen, penulis akan mengemukakan beberapa saran yang dirasa dapat dijadikan sebagai masukan dan bahan pertimbangan yaitu: 1. Karena Daktiloskopi sangat penting dalam proses pengungkapan kasus tindak pidana, maka sebaiknya penyidik memiliki kemampuan dan pengetahuan tentang pencarian serta pengolahan bekas-bekas sidik jari di tempat kejadian perkara agar diperoleh hasil yang baik. 2. Mengenai pemusatan penyimpanan sidik jari yang dilakukan Kepolisian, Kepolisian sebaiknya dapat bekerja sama dengan instansi-instansi lain dalam pengambilan sidik jari agar tercapainya penyimpanan sidik jari secara terpusat. 3. Untuk dapat memperlancar pemusatan penyimpatan sidik jari, Pemerintah diharapkan membuat suatu peraturan yang mengharuskan setiap warga negara Indonesia diambil sidik jarinya, sehingga nantinya Kepolisian akan mempunyai sidik jari dari setiap warga Indonesia.
commit to user