perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERAN BOARD OF DIRECTORS DALAM OPERATIONAL RISK DISCLOSURE: STUDI EMPIRIS PERBANKAN INDONESIA
SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta
Disusun oleh: ERNA RAHMAWATI NIM. F0307010
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang (Al-Fatihah: 1)
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah kehendaknya kamu berharap (Al Insyirah: 5-8)
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam (Al-Fatihah: 2)
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya kecil ini kepada: ♥ Allah SWT ♥ Bapak dan Ibu tercinta ♥ Semua orang yang kusayangi ♥ Almamater
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, karunia, segala nikmat, dan kekuatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Peran Board of Directors dalam Operational Risk Disclosure: Studi Empiris Perbankan Indonesia”, sebagai tugas akhir guna memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Sebelas Maret. Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dorongan dan bantuan banyak pihak. Oleh karenanya, penulis dengan ini mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Bambang Sutopo, M.Com., Ak., selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret. 2. Drs. Jaka Winarna M.Si., Ak., selaku Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret. 3. Bapak Drs. Djoko Suhardjanto, M.Com (Hons), Ph.D, Ak. selaku pembimbing skripsi atas semua kritik, saran, nasihat dan perhatianya yang sangat membantu penulis untuk mencapai hasil yang terbaik. 4. Seluruh
pengajar
Fakultas
Ekonomi
Universitas
Sebelas
Maret.
Terimakasih atas ilmu dan kesabaran yang diberikan selama belajar di Fakultas ini. Semoga semua ilmu yang telah diberikan dapat digunakan dengan sebaik-baiknya. commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5. Seluruh karyawan dan staff Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret. Terimasih atas bantuan dan kerjasamanya selama penulisan skripsi ini. 6. Semua pihak yang telah membantu baik secara moril maupun materiil yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Demikian ucapan terima kasih yang penulis sampaikan semoga atas bantuan serta kebaikan dari semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis hingga tersusunnya skripsi ini, mendapatkan imbalan dari Allah SWT. Amiin.
Surakarta,
Maret 2011
Penulis
commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
THANKS TO
1. Allah SWT, atas segala anugerah, ilmu, kesempatan dan segala sesuatu yang membuatku ada di dunia ini. Subhanallah, sungguh besar nikmat-Mu untukku. 2. Bapak dan Ibu tercinta atas kasih sayang, perhatian didikan, bimbingan dan kesempatan yang telah beliau berikan. Terimakasih telah membuatku menjadi seperti sekarang ini. Hanya ucapan terima kasih yang sebesar-besanya yang dapat kuucapkan. Aku sayang kalian. 3. Adiku tersayang, T. Kuncoro Adi, makasih buat doa dan motivasinya. Belajar yang rajin dan jangan mengeluh, apa yang telah ada adalah yang terbaik untukmu. 4. Mbah kakung dan mbah putri, terima kasih atas doa dan dukungannya. I miss u so much. Akhirnya erna lulus, semoga bisa jadi kebanggaan kalian. 5. Anggota “11000” (Umi, Verian, Latifa, Meldhan), Nastiti, dan Soli, makasih banget buat semuanya. Aku bersyukur banget punya teman kayak kalian…Semoga kita sukses dunia dan akhirat…Amin. 6. The Djs’s fans (Ane, Fira, Umi dan Mas Wahyu), terima kasih semua bantuan, koreksi & sharing-nya. 7. Keluarga besar AGEN 007 FE UNS (andin , diana, ayus, endah, adu, dee, sofi, tia, irma, cuiy, ici, nia, erna, fira, umi, ve, ifa, ira, fajrika, irla, pu3, ratih, fat, hermin, murdiani, aniz, suci, dela, novi, dewilis, mba sri, puspa, dewi indrias, silvy, nani, dewok, ana, meldhan, sari, neesya, made ayu, rina, sanda, asmara, dina, miol, mb opi, ery, ajeng, mike, aninda, eva, rini, ria, bimo, hafid, sepep, commit to user viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
rija, yandi, basri, anang, ndok, moyo, fitrah, angga, iwak, mek, timo, andri, tafik, adikur, ragil, dedi, spirtuz, peka, tri, fariz, awang, herman, smuanya.. terima kasih untuk persahabatan yg begitu besar, hahahaha.. ! thx for all.. 8. Temen2 di BEM (mbak ayut, mbak finik, mas barjos, zulfikar, suryo, maya, adip, fitrah, suroto makasih banget sudah bantu aku pas di BEM, maaf ya kalau aku suka rewel). 9. Keluarga besar kos Aulia dan eks-aulia (mbak wida, mbak hesti, mbak dety, mbak retno, mbak rahma, mela, kiki, widi, astuti, yuniah, fajar, septi, isma, sari, dian, adis, nining, maya, metha, yana) sukses buat kita…semangat! 10. Teman-teman Djs’s fans 06 yang telah memberikan banyak bantuan (mas ujo, mb dora, mb choir, mbak rena, mbak rini) terima kasih sekali. Penulis menyadari bahwa karya ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak, penulis harapkan demi perbaikan yang berkelanjutan. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan di kemudian hari. Terima kasih.
Surakarta, Maret 2011
Penulis
commit to user ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i HALAMAN ABSTRAKSI ................................................................................ iii HALAMAN ABSTRACT ................................................................................. iii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................... iv HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... v HALAMAN MOTTO ........................................................................................ vi HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................ vii HALAMAN KATA PENGANTAR ................................................................. viii HALAMAN DAFTAR ISI ................................................................................ xii HALAMAN DAFTAR TABEL ........................................................................ xv HALAMAN DAFTAR GAMBAR ................................................................... xvi HALAMAN DAFTAR LAMPIRAN................................................................ xvii
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1 B. Perumusan Masalah ...................................................................... 7 C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 8 D. Manfaat Penelitian ........................................................................ 8 E. Sistematika Penulisan ................................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA commit to user A. Tinjauan Pustaka ........................................................................... 10 x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Annual Report dan Disclosure .............................................. 10 2. Operational Risk Disclosure.................................................. 12 3. Basel II .................................................................................... 17 4. Dewan Komisaris (Board of Directors)................................ 21 B. Kaitan Board of Directors dengan Pengungkapan Risiko Operasional ................................................................................... 26 C. Skema Konsep Penelitian ............................................................. 28 D. Pengembangan Hipotesis ............................................................. 29 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian .......................................................................... 35 B. Populasi, Sampel dan Tehnik Pengambilan Sampel .................. 35 C. Data dan Metode Pengumpulan Data .......................................... 36 D. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel.......................... 37 E. Teknik Analisis Data .................................................................... 43 BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Deskriptif Data .............................................................................. 48 1.Seleksi Sampel ........................................................................... 48 2.Statistik Deskriptif ..................................................................... 49 B. Pengujian Hipotesis dan Pembahasan ......................................... 57 Analisis Regresi Berganda ........................................................... 57 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................... 67 B. Saran .............................................................................................. 68 commit to user xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C. Keterbatasan .................................................................................. 69 D. Rekomendasi ................................................................................. 69 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
commit to user xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Perbandingan Klasifikasi Risiko ............................................................. 14 Tabel 2.2 Perbandingan Ruang Lingkup Pengungkapan Risiko Operasional ................................................................................... 20 Tabel 3.1 Item Pengungkapan Risiko Operasionoal ............................................... 40 Tabel 3.2 Durbin-Watson ......................................................................................... 46 Tabel 4.1 Jumlah Populasi dan Sampel Penelitian .................................................. 48 Tabel 4.2 Statistik Deskriptif Pengungkapan Risiko Operasional ........................ 49 Tabel 4.3 Statistik Deskriptif Variabel Independen ................................................ 54 Tabel 4.5 Hasil Regresi Berganda ............................................................................ 59
commit to user xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Struktur Board of Director dalam One Tier System ......................... 22 Gambar 2.2 Struktur Struktur Board of Commissioner dan Board of Director dalam Two Tiers System yang diadopsi oleh Belanda .................. 23 Gambar 2.3 Struktur Board of directors dalam Two Tiers System yang diadopsi oleh Indonesia .................................................................................... 24 Gambar 2.4 Skema Konsep Penelitian ................................................................... 28
commit to user xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran I
Summary Karakteristik Ruang Lingkup Risiko Operasional
Lampiran II
Daftar Perbankan
Lampiran III Perbankan dan Skor Pengungkapan Risiko Operasional Lampiran IV Descriptives Statistic Lampiran V
Uji Asumsi Klasik
Lampiran VI Regresi Berganda Lampiran VII T-Test
commit to user xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERAN BOARD OF DIRECTORS DALAM OPERATIONAL RISK DISCLOSURE: STUDI EMPIRIS PERBANKAN INDONESIA ABSTRAKSI ERNA RAHMAWATI F0307010 Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran board of directors dalam operational risk disclosure pada perbankan Indonesia. Board of directors direpresentasikan dengan ukuran dewan komisaris, komposisi komisaris independen, komposisi komisaris wanita, dan jumlah rapat dewan komisaris. Penelitian ini menggunakan profitabilitas dan komposisi komite audit independen sebagai variabel kontrol. Pengukuran tingkat operational risk disclosure dalam penelitian ini menggunakan item yang terdapat dalam Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/21/DPNP/2003. Dengan menggunakan teknik purposive sampling, sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 46 perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2008-2009. Rerata tingkat operational risk disclosure sebesar 76,270%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan perbankan di Indonesia dalam mengungkapkan informasi mengenai operational risk ternyata masih rendah (partly comply) mengingat operational risk disclosure adalah pengungkapan wajib (mandatory disclosure) sesuai dengan PSAK No. 31 (revisi 2000), PBI Nomor: 5/8/PBI/2003, PSAK 50 (2006) dan P3LKEPPBANK (2008). Hasil pengujian regresi berganda menunjukkan bahwa board of directors melalui ukuran dewan komisaris (board size) mempengaruhi tingkat operational risk disclosure. Dewan komisaris merupakan inti corporate governance yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan, dan mewajibkan terlaksananya akuntabilitas. Kata kunci: board of directors, operational risk disclosure, perbankan Indonesia
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERAN BOARD OF DIRECTORS DALAM OPERATIONAL RISK DISCLOSURE: STUDI EMPIRIS PERBANKAN INDONESIA ABSTRACT ERNA RAHMAWATI F0307010 The purpose of this study is to examine the effect of board of directors to operational risk disclosure of Indonesian banks. Board of directors are identified as the board size, the composition of independent commissioners, the composition of woman commissioners, and the number of board meetings. This study also uses profitability and the composition of independent audit committee members as control variable. The level of operational risk disclosure is measured based on identified items of Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/21/DPNP/2003. Under purposive sampling, secondary data of 46 annual reports year 2008-2009 of banks in Indonesian Stock Exchange are selected. The average level of operational risk disclosure of 76.27%. The result indicates that the level of operational risk disclosure of Indonesian’s banking is at low level (partly comply) since operational risk disclosure is mandatory disclosure according PSAK No. 31 (revised 2000), PBI Nomor: 5/8/PBI/2003, PSAK 50 (2006) and P3LKEPPBANK (2008). The result of multiple regression shows that board of directors affects the level of operational risk disclosure through the variable board size. Board of commissioners lies at the core of corporate governance, charged ensuring strategic guidance, monitoring management, and providing accountability.
Keywords: board of directors, operational risk disclosure, Indonesian banks
commit to user
iv
1 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
Bab pertama akan menjelaskan mengenai latar belakang dilakukannya penelitian, rumusan masalah, tujuan, manfaat, dan sistematika dari penulisan penelitian ini.
A. Latar Belakang Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran board of directors (dewan komisaris) dalam operational risk disclosure (pengungkapan risiko operasional) pada perbankan Indonesia. Board of directors direpresentasikan dengan ukuran dewan komisaris, komposisi komisaris independen, komposisi komisaris wanita, dan jumlah rapat dewan komisaris. Menurut Napitupulu (2009) perbankan sebagai lembaga perantara keuangan merupakan salah satu media translasi dan transformasi risiko dari pemilik dana yang umumnya bersifat risk averse. Risiko dalam konteks perbankan merupakan suatu kejadian potensial, baik yang dapat diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak diperkirakan (unanticipated) yang berdampak negatif terhadap pendapatan dan permodalan bank (Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor
5/21/DPNP,
2003).
Perdebatan
mengenai
pentingnya
pengungkapan risiko dimulai sejak tahun 1998 ketika Institute of Chartered Accountants in England and Wales (ICAEW) menerbitkan paper yang berjudul Financial Reporting of Risk-Proposals for A Statement of Business Risk (Amran, commit to user
1
perpustakaan.uns.ac.id
2 digilib.uns.ac.id
Bin, dan Hassan 2009). Oorschot (2009) menyatakan bahwa pengungkapan risiko semakin penting karena bermanfaat bagi investor, perusahaan, dan manajemen. Semakin berkembangnya produk yang ada di dunia perbankan dekade terakhir ini mendorong Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) mengeluarkan konsep permodalan yang lebih sensitif terhadap risiko (risk sensitive) dan dikenal dengan Basel II (Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, 2006). Pengungkapan risiko (risk disclosure) diperlukan untuk memastikan mekanisme market discipline dapat bekerja dengan efektif (Oorschot, 2009). Menurut Hirtle (2007) tingkat pengungkapan yang lebih tinggi dapat menurunkan risiko bank. Hal tersebut dikarenakan transparansi informasi (terkait produk dan aktivitas bank) merupakan aspek penting dalam pengendalian risiko (Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/25/PBI/2009). Kasus penyimpangan dan kejahatan perbankan mulai mengancam perekonomian Indonesia (www.bataviase.co.id, 2010). Kasus bank bermasalah karena praktek perbankan yang tidak sehat banyak terjadi. Maraknya kasus tersebut disebabkan oleh lemahnya pengelolaan manajemen perbankan sebagai lembaga kepercayaan, kurangnya transparansi dan pemahaman nasabah terhadap laporan keuangan bank, serta kelemahan infrastruktur pengawasan bank (www.denpasar.tv, 2004). Kasus Bank Global tahun 2004 mencerminkan lemahnya transparansi perbankan karena Bank Global menyembunyikan informasi yang penting bagi stakeholders, yaitu informasi penurunan CAR dari 44,84% per September 2004 menjadi -39% dalam tempo dua bulan (www.denpasar.tv, 2004). Kasus kredit macet Bank Mandiri tahun 2005 yang commit to user
3 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
melibatkan jajaran direksi menunjukkan bahwa tugas dan tanggung jawab dewan komisaris selaku pengawas pelaksanaan fungsi governance pada perbankan belum dilaksanakan dengan baik (www.tempointeraktif.com, 2009). Meek, Roberts, dan Gray (1995) menyatakan bahwa informasi yang diungkapkan dalam laporan tahunan dikelompokkan menjadi 2 (dua) jenis yaitu pengungkapan wajib (mandatory disclosures) dan pengungkapan sukarela (voluntary disclosure). Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 31 tentang perbankan revisi tahun 2000 menyatakan bahwa bank wajib mengungkapkan informasi mengenai risiko umum yang dihadapinya. Hal tersebut berarti pengungkapan risiko di perbankan Indonesia merupakan pengungkapan wajib. Ketentuan yang mewajibkan pengungkapan risiko oleh perbankan di Indonesia diperkuat dengan berlakunya PBI Nomor: 5/8/PBI/2003 yang telah mengalami perubahan menjadi PBI Nomor: 11/25/PBI/2009. Berdasarkan peraturan tersebut, risiko yang dihadapi perbankan mencakup delapan jenis risiko, yaitu: (a) risiko kredit; (b) risiko pasar; (c) risiko likuiditas; (d) risiko operasional; (e) risiko hukum; (f) risiko reputasi; (g) risiko strategik; dan (h) risiko kepatuhan. Penelitian ini berfokus pada operational risk, yaitu risiko akibat ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan
sistem,
mempengaruhi
dan/atau
operasional
adanya bank
kejadian-kejadian
(Peraturan
Bank
eksternal
Indonesia
yang Nomor:
11/25/PBI/2009). Kegagalan operasional akibat restrukturisasi institusi keuangan (Natwest, Allied Irish Bank, dan LTCM) menyebabkan perhatian terhadap operational risk meningkat (Helbok dan Wagner, 2006). Hasil penelitian mereka commit to user
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menunjukkan bahwa lembaga keuangan di Amerika Utara, Asia, dan Eropa yang memiliki profitabilitas lebih rendah mengungkapkan operational risk lebih luas. Dalam penelitian mereka operational risk disclosure masih bersifat voluntary (sukarela).
Menurut
Abraham
dan
Cox
(2007)
pengungkapan
risiko
mencerminkan kondisi perusahaan sehingga dapat membantu menentukan profil risiko yang berguna bagi para investor. Sundmacher dan Ford (2007) meneliti tentang operational risk disclosure pada institusi keuangan di Australia dan hasilnya menunjukkan bahwa meskipun penerapan Basel II mengakibatkan kebutuhan yang lebih besar dalam mengungkapkan informasi operational risk, tapi kurangnya konsistensi dalam cara pelaporan mengakibatkan keraguan atas manfaat operational risk disclosure bagi pihak eksternal. Menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI, 2001), dewan komisaris memegang peranan yang penting dalam perusahaan, terutama dalam pelaksanaan corporate governance (CG). Isu mengenai corporate governance di Indonesia menjadi bahasan penting sejak pertengahan 1987. Hal tersebut dikarenakan corporate governance diperlukan untuk mendukung pemulihan ekonomi dan pertumbuhan perekonomian yang stabil setelah masa krisis (Herwidayatmo, 2000). Menurut Dalton, Daily, Johnson, dan Ellstrad (1999) jumlah anggota dewan komisaris yang besar lebih efektif daripada jumlah yang kecil. Hal ini menyebabkan aktivitas pengendalian dan pengawasan terhadap manajemen semakin baik (Andres, Azofra, dan Lopez, 2005). Dengan demikian, semakin bertambahnya jumlah anggota dewan komisaris, maka pengawasan terhadap operational risk disclosure diharapkan meningkat. commit to user
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Komisaris independen memiliki peran yang kuat untuk mempengaruhi perusahaan dalam pengambilan keputusan dan mereka harus memelihara reputasinya sebagai dewan pengawas (Cheng dan Courtenay, 2006). Chen dan Jaggi (2000) dan Hossain (2008) melakukan penelitian mengenai pengaruh komposisi komisaris independen terhadap tingkat pengungkapan informasi pada laporan tahunan bank dan hasilnya menunjukkan bahwa komposisi komisaris independen berpengaruh positif signifikan terhadap tingkat pengungkapan informasi. Namun, hasil penelitian Eng dan Mak (2003) menyatakan bahwa komposisi komisaris independen berpengaruh negatif terhadap pengungkapan sukarela. Menurut mereka, komisaris independen dipilih oleh pemegang saham mayoritas (blockholder) untuk mewakili kepentingannya sehingga komisaris independen lebih banyak menyampaikan informasi kepada mereka daripada ke publik. Mereka berpendapat bahwa komisaris independen merupakan substitusi dalam memonitor pengungkapan ke publik, sedangkan menurut Chen dan Jaggi (2000)
komisaris
independen
sebagai
komplementer
dalam
memonitor
pengungkapan ke publik. Akhir-akhir ini perdebatan mengenai keragaman gender dalam perusahaan menjadi perhatian pembuat kebijakan, manajer, direktur, dan akademisi (Volkart dan Noldeke, 2008). Keragaman gender dapat meningkatkan value driver dalam strategi perusahaan dan corporate governance sehingga menjadi isu yang menarik dalam penelitian akademik sekarang ini (Marinova, Plantenga, dan Remery, 2010). Mereka juga menyatakan bahwa semakin tinggi jumlah wanita dalam dewan komisaris dapat meningkatkan produktivitas dan profitabilitas perusahaan. commit to user
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Farrel dan Hersch (2005) menemukan bukti bahwa komisaris wanita cenderung lebih memperhatikan kinerja perusahaan, termasuk operational risk disclosure. Oleh karena itu, semakin banyak komposisi komisaris wanita diharapkan tingkat pengungkapan semakin meningkat. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor: 8/14/PBI/2006 menyatakan bahwa dewan komisaris wajib menyelenggarakan rapat secara berkala sekurangkurangnya empat kali dalam setahun. Vafeas (2003) menunjukkan bahwa semakin banyak rapat yang diselenggarakan dewan komisaris, maka meningkatkan kinerja perusahaan termasuk pengungkapan informasi. Penelitian Ettredge, Johnstone, Stone, dan Wang (2010) menunjukkan bahwa jumlah rapat dewan komisaris memiliki pengaruh positif terhadap kualitas kepatuhan pengungkapan wajib. Fokus penelitian ini dilakukan pada perbankan karena perbankan merupakan lembaga keuangan yang bersifat risk taking entities (Oorschot, 2009). Kegiatan usaha bank selalu dihadapkan dengan pengambilan risiko yang besar, seperti dalam aktivitas pendanaan, perkreditan, dan treasuri. Faktor lain yang menunjukkan pentingnya penelitian pada perbankan adalah lemahnya transparansi di perbankan Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian 1 dengan judul “Peran Boards of Directors dalam Operational Risk Disclosure: Studi Empiris Perbankan Indonesia”.
1
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), pengaruh merupakan daya yang timbul dari seseorang, sedangkan peran merupakan sesuatu yang diharapkan dimiliki seseorang. Oleh karena itu, dalam penelitian ini definisi peran direpresentasikan dengan pengaruh.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
7 digilib.uns.ac.id
Motivasi penelitian ini adalah: a. Penelitian ini penting dilakukan di Indonesia karena informasi mengenai operational risk diperlukan para stakeholders untuk mengetahui bagaimana operational risk dikelola sehingga dapat membantu mereka dalam mengambil keputusan. Kasus penipuan perbankan melalui penerbitan letter of credit (L/C), seperti yang terjadi pada Bank Negara Indonesia (BNI) tahun 2003 dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) tahun 2006 menunjukkan kurangnya transparansi pihak perbankan dalam pengelolaan operational risk. Penelitian tentang operational risk disclosure pada perbankan belum pernah dilakukan di Indonesia. Penelitian mengenai operational risk disclosure mulai dilakukan di luar negeri antara lain oleh Linsey dan Shrives (2005), Helbok dan Wagner (2006), dan Sundmacher dan Ford (2007). b. Mengetahui bagaimana peran dewan komisaris yang bertanggung jawab mengawasi operational risk disclosure. Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi kepada regulator, nasabah, perbankan, investor, kreditor, dan masyarakat mengenai bagaimana operational risk disclosure di Indonesia dan peran dewan komisaris terhadap tingkat operational risk disclosure. Dengan demikian, penelitian ini dapat dijadikan evaluasi bagi perbankan dan stakeholder. B. Rumusan Masalah Sesuai dengan latar belakang dan judul penelitian, maka yang menjadi permasalahan adalah apakah board of directors yang direpresentasikan dengan ukuran dewan komisaris, komposisi komisaris independen, komposisi komisaris commit to user
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
wanita, dan jumlah rapat dewan komisaris berpengaruh terhadap tingkat operational risk disclosure?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran board of directors yang direpresentasikan dengan ukuran dewan komisaris, komposisi komisaris independen, komposisi komisaris wanita, dan jumlah rapat dewan komisaris dalam operational risk disclosure.
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Bagi Perbankan, memberikan pengetahuan tentang praktik operational risk disclosure dan dapat digunakan untuk bahan pertimbangan manajemen dalam praktik operational risk disclosure. 2. Bagi Stakeholder, dapat dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan melaksanakan fungsi pengawasan terhadap pengelolaan perusahaan, terutama dalam pengelolaan operational risk disclosure. 3. Bagi Regulator, mendorong regulator (Bapepam, BI, dan IAI) untuk menetapkan kebijakan dan regulasi ataupun standar pengungkapan yang lebih baik bagi bank di Indonesia maupun sektor lainnya dalam hal praktik operational risk disclosure. 4. Bagi Akademisi, hasil penelitian ini akan menambah wawasan dan pengetahuan tentang operational risk disclosure. commit to user
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
E. Sistematika Penulisan BAB I
:
Pendahuluan Berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II
: Tinjauan Pustaka Bab ini menguraikan tinjauan pustaka yang memuat literatur terkait dengan topik penelitian; kaitan variabel independen dengan
variabel
dependen;
kerangka
pemikiran;
pengembangan hipotesis. BAB III
: Metode Penelitian Bab ini berisi tentang desain penelitian; populasi, sampel, dan teknik pengambilan sampel; data dan metode pengumpulan data; variabel penelitian dan pengukurannya; dan metode analisis data yang terdiri dari statistik deskriptif, uji asumsi klasik dan pengujian hipotesis.
BAB IV
: Analisis dan Pembahasan Bab ini menguraikan analisis deskriptif data; pengujian hipotesis dan pembahasan hasil analisis.
BAB V
: Penutup Bab ini membahas kesimpulan mengenai obyek yang diteliti berdasarkan
hasil analisis
data, menjelaskan
mengenai
keterbatasan penelitian dan memberikan saran bagi pihak yang terkait, serta rekomendasi bagi peneliti berikutnya. commit to user
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab II ini akan menjelaskan mengenai tinjauan pustaka, kaitan board of directors dengan operational risk disclosure, kerangka konseptual, serta pengembangan hipotesis dalam penelitian ini.
A.
Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka ini menerangkan literatur yang mendasari komponen
maupun variabel penelitian, yaitu 1) Annual Report dan Disclosure, 2) Operational Risk Disclosure, 3) Basel II, dan 4) Board of Directors.
1. Annual Report (Laporan Tahunan) dan Disclosure (Pengungkapan) Laporan
tahunan
(annual
report)
adalah
media
utama
untuk
mengkomunikasikan informasi keuangan dan informasi lainnya dari pihak manajemen kepada pihak di luar perusahaan (Suhardjanto dan Miranti, 2009). Menurut Suwardjono (2005), secara umum tujuan pengungkapan adalah menyajikan informasi yang diperlukan dalam mencapai tujuan pelaporan keuangan untuk melayani berbagai pihak yang mempunyai kepentingan berbeda. Meek, Roberts, dan Gray (1995) menyatakan pengungkapan informasi dalam laporan tahunan dikelompokkan menjadi 2 (dua) jenis yaitu pengungkapan wajib (mandatory disclosures) dan pengungkapan sukarela (voluntary disclosure). Pengungkapan wajib merupakan pengungkapan informasi yang diharuskan oleh peraturan yang berlaku. Pengungkapan sukarela, seperti corporate social commit to user
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
responsibility (CSR) disclosure dan intellectual capital disclosure merupakan pilihan bebas manajemen perusahaan untuk pembuatan keputusan oleh para pengguna laporan tahunannya. Peraturan mengenai praktik pengungkapan informasi perusahaan di Indonesia, khususnya yang bersifat wajib (mandatory) diatur oleh Bapepam dan Ikatan Akuntan Indonesia (Benardi, Sutrisno, dan Assih, 2009). Laporan keuangan merupakan mekanisme komunikasi antara manajer dengan investor (Hastuti, 2005) sehingga pengungkapan informasi melalui laporan keuangan menjadi penting untuk mendukung transparansi dan akuntabilitas publik (Suharli dan Amrullah, 2007). Pengungkapan informasi berguna untuk membantu pengguna laporan keuangan memahami isi dan angka yang dilaporkan dalam laporan keuangan (Rahayu, 2008). Pengungkapan informasi yang memadai dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan yang cermat dan cepat (Suharli dan Amrullah, 2007). Peraturan tentang standar pengungkapan informasi bagi perusahaan yang telah melakukan penawaran umum dan perusahaan publik, yaitu Peraturan No. VIII.G.7 tahun 2000 tentang Pedoman Penyajian Laporan Keuangan. Peraturan tersebut didukung dengan Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-17/PM/1995, yang selanjutnya diubah melalui Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-38/PM/1996. Peraturan tersebut diperbaharui dengan Surat Edaran Ketua Bapepam No. SE02/PM/2002 yang mengatur tentang penyajian dan pengungkapan laporan keuangan emiten atau perusahaan publik untuk setiap jenis industri, yaitu commit to user
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
manufaktur, investasi, rumah sakit, jalan tol, perhotelan, restoran, telekomunikasi, konstruksi, perdagangan, transportasi, real estate, peternakan, dan perkebunan. Industri perbankan di atur dalam Surat Edaran Ketua Bapepam dengan Nomor: SE-02/BL/2008 yang dikeluarkan tanggal 31 Januari 2008. Salah satu jenis pengungkapan informasi dalam annual report adalah pengungkapan mengenai operational risk. Informasi risiko, termasuk operational risk, penting bagi perusahaan karena dapat menyediakan informasi masa depan, mendorong manajemen risiko yang lebih baik, mengurangi biaya modal, dan meningkatkan akuntabilitas (ICAEW, 2002).
2. Operational Risk Disclosure Era globalisasi dan semakin terintegrasinya pasar keuangan menyebabkan produk dan aktivitas perbankan semakin kompleks sehingga menyebabkan eksposur risiko bank semakin tinggi (Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/25/PBI/2009). Risiko adalah potensi terjadinya suatu kejadian atau peristiwa yang dapat menimbulkan kerugian bagi bank (Peraturan Bank Indonesia Nomor: 5/8/PBI/2003). Berdasarkan peraturan tersebut risiko yang dikelola perbankan meliputi risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko hukum, risiko reputasi, risiko strategik, dan risiko kepatuhan. Perbankan dapat mengendalikan risiko dengan menerapkan manajemen risiko. Menurut PBI Nomor: 11/25/PBI/2009, manajemen risiko didefinisikan sebagai
serangkaian
metodologi
dan
prosedur
yang
digunakan
untuk
mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko yang timbul commit to user dari seluruh kegiatan usaha bank. Manajemen risiko dianggap sebagai bagian
perpustakaan.uns.ac.id
13 digilib.uns.ac.id
integral dari pengendalian internal dan tata kelola perusahaan, yang juga dapat digunakan sebagai indikator kinerja keberhasilan manajemen dalam mencapai tujuannya serta dalam menghadapi ketidakpastian dan risiko yang terkait dengan operasi perusahaan dan lingkungan global (Lajili dan Zeghal, 2005). Beberapa alasan penting manajemen risiko bagi perbankan menurut nustaffsite.gunadarma.ac.id (2009) adalah 1) merupakan salah satu aspek corporate governance khususnya transparansi, 2) membantu top management dalam mengambil keputusan bisnis, 3) tersedianya ukuran penilaian secara kualitatif dan kuantitatif, 4) mendorong bank beroperasi secara lebih efisien, 5) mengantisipasi penerapan internal model, 6) meningkatkan shareholder’s value (ultimate objective), dan 7) sebagai sarana early warning system bagi risk management unit dan risk management committee. Salah satu risiko yang dikelola perbankan adalah operational risk (PBI Nomor: 5/8/PBI/2003). Operational risk menurut Basel Committee on Banking Supervision (BCBS, 2003a:120) adalah “The risk of loss resulting from inadequate or failed internal processes, people, and system, or from external event”. Bank Indonesia melalui Surat Edaran Bank Indonesia Nomor: 5/21/DPNP/2003 juga menyampaikan definisi mengenai operational risk, yaitu risiko disebabkan ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasional bank. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 5/8/PBI/2003 dan Surat Edaran Ketua Bapepam (P3LKEPPBANK) Nomor: SE02/BL/2008, operational risk secara jelas disebutkan sebagai risiko yang commit to user
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
umumnya dihadapi oleh perbankan, tapi dalam PSAK 50 (2006) operational risk tidak secara langsung disebutkan sebagai salah satu jenis risiko. Perbandingan klasifikasi risiko sebagai berikut: Tabel 2.1 Perbandingan Klasifikasi Risiko PBI Nomor: 5/8/PBI/2003 Risiko kredit Risiko likuiditas Risiko pasar Risiko operasional Risiko hukum Risiko reputasi Risiko strategik Risiko kepatuhan
PSAK 50 (2006) Instrumen Keuangan: Penyajian dan Pengungkapan Risiko kredit Risiko likuiditas Risiko pasar: - Risiko suku bunga - Risiko mata uang asing/ risiko nilai kurs - Risiko harga lainnya
P3LKEPPBANK (2008) Risiko umum: Risiko kepanikan masyarakat Risiko pemogokan karyawan Risiko kerusuhan dan penjarahan Risiko operasional Risiko investasi Risiko penanganan masalah litigasi Risiko persaingan Risiko khusus: Risiko kredit Risiko likuiditas Risiko pasar: - Risiko suku bunga - Risiko nilai tukar rupiah Risiko solvabilitas Risiko obligasi rekapitalisasi pemerintah Risiko bank penggabungan Risiko teknologi sistem informasi Risiko ketergantungan kepada pemerintah Risiko tidak dilanjutkannya program penjaminan pemerintah Risiko ketergantungan pada deposito berjangka Risiko agunan kredit Risiko pemulihan krisis sektor perbankan Risiko fidusia
Sumber: PBI Nomor: 5/8/PBI/2003, PSAK 50 (2006), dan P3LKEPPBANK (2008) : Area penelitian Menurut Idroes dan Sugiarto (2006: 135), kesepakatan Basel II mengkaji peristiwa operational risk meliputi: a. Risiko proses internal, yaitu risiko yang terkait dengan kegagalan dari suatu proses bank atau prosedur. b. Risiko sumber daya manusia, yaitu risiko yang berhubungan dengan karyawan dari suatu bank. c. Risiko sistem, yaitu risiko yang berhubungan commit to user dengan penggunaan sistem dan teknologi.
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d. Risiko eksternal, yaitu risiko yang berhubungan dengan peristiwa yang terjadi di luar kekuasaan langsung dari bank. e. Risiko hukum, yaitu risiko yang disebabkan oleh ketidakpastian tindakan hukum atau ketidakpastian dalam menginterpretasikan atau mengaplikasikan kontrak, hukum, atau peraturan. Secara eksplisit pengungkapan risiko di Indonesia diatur dalam PSAK 50 (revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan: Penyajian dan Pengungkapan dan Keputusan
Bapepam
LK Nomor: Kep-134/BL/2006 tentang Kewajiban
Penyampaian Laporan Tahunan bagi Emiten dan Perusahaan Publik. PSAK 50 (revisi 2006) menyatakan bahwa perusahaan yang melakukan transaksi menggunakan instrumen keuangan disyaratkan untuk mengungkapkan risiko dan manajemen risikonya. Manajemen wajib mengungkapkan uraian singkat mengenai tata kelola perusahaan yang meliputi, “Penjelasan mengenai risiko-risiko yang dihadapi perusahaan serta upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mengelola risiko tersebut, misalnya: risiko yang disebabkan oleh fluktuasi kurs atau suku bunga, persaingan usaha, pasokan bahan baku, ketentuan negara lain atau peraturan internasional, dan kebijakan pemerintah” (Keputusan Bapepam LK Nomor: Kep-134/BL/2006). Pengungkapan risiko sebagai pengkomunikasian informasi mengenai strategi, karakteristik, operasi, dan faktor eksternal yang mempengaruhi hasil yang diharapkan (Beretta dan Bozzolan, 2004). Pengungkapan risiko, termasuk operational risk di perbankan diatur dalam Pedoman Corporate Governance Perbankan (KNKG, 2004) dan Surat Edaran Ketua Bapepam dengan Nomor: SE-02/BL/2008 tentang Pedoman Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten atau Perusahaan Publik Industri Perbankan yang menyatakan bahwa bank harus mengungkapkan uraian commit to user setiap jenis risiko mengenai kebijakan, faktor-faktor yang mempengaruhi, dan
perpustakaan.uns.ac.id
16 digilib.uns.ac.id
strategi manajemen dalam menanggulangi risiko. Operational risk disclosure merupakan pengungkapan informasi yang menggambarkan operational risk suatu perusahaan, seperti identifikasi operational risk, yaitu apakah bank sudah melakukan identifikasi operational risk dengan baik sehingga hasil identifikasi dapat digunakan untuk mengembangkan database kerugian operasional yang memadai. Pedoman Corporate Governance Perbankan (KNKG, 2004) dan Surat Edaran Ketua Bapepam Nomor: SE-02/BL/2008 tidak menjelaskan mengenai item operational risk disclosure. Bapepam maupun IAI belum menyediakan kerangka kerja konseptual pengungkapan risiko. Padahal, regulasi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kepatuhan pengungkapan wajib (Akra, Eddie, dan Ali, 2010). Pengungkapan risiko termasuk operational risk penting karena membantu para stakeholder dalam mendapatkan informasi yang diperlukan untuk memahami profil risiko dan bagaimana manajemen mengelola risiko. Selain itu, pengungkapan risiko juga bermanfaat bagi bank karena membantu memonitor risiko dan dapat mendeteksi potensi masalah sehingga bank dapat melakukan tindakan lebih awal agar masalah tersebut tidak terjadi (Linsley dan Shrives, 2006). Kasus Bank Lippo tahun 2002 mengenai laporan keuangan ganda dan dugaan manipulasi perdagangan saham (www.tempointeraktif.com, 2003) menunjukkan kurangnya transparansi yang dilakukan pihak manajemen bank kepada para stakeholder-nya. Maraknya pembobolan anjungan tunai mandiri commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
17 digilib.uns.ac.id
(ATM) mengindikasikan masih lemahnya manajemen operational risk pada perbankan Indonesia (www.eksposnews.com, 2010). Operational risk disclosure semakin penting dengan adanya kerangka permodalan baru (Basel II) khususnya untuk memenuhi aspek market discipline yang berkaitan dengan transparansi dan pengungkapan risiko suatu entitas bisnis dan memiliki potensi untuk memperkuat pengawasan, meningkatkan keselamatan dan kesehatan bank serta sistem keuangan (BCBS, 2001). Hal tersebut didukung oleh Arsitektur Perbankan Indonesia (2006) yang menyatakan bahwa Basel II merupakan suatu kesepakatan menyeluruh yang mendorong disiplin pasar dengan mensyaratkan pengungkapan informasi yang terkait, termasuk informasi mengenai risiko.
3. Basel II Kebutuhan suatu harmonisasi regulasi secara internasional untuk dijadikan acuan bagi regulator masing-masing negara menjadi dasar munculnya kesepakatan Basel (Basel Accord) (Idroes dan Sugiarto, 2006). Idroes dan Sugiarto (2006) menyatakan bahwa komite basel dibentuk tahun 1974 di Basel, Swiss dan diprakarsai oleh para gubernur bank sentral negara anggota the Group of Ten (G-102) dan perwakilan dari Spanyol dan Luxembourg berfokus pada regulasi dan praktek pengawasan perbankan. Basel Accord I dikeluarkan pada tahun 1988 dan sejalan dengan berkembangnya produk perbankan, maka Bank for International Settlement (BIS) mengeluarkan konsep permodalan baru yang 2
Anggota G-10 adalah Prancis, Jerman, Belgia, Italia, Jepang, Belanda, Swedia, Inggris,
commit to user Amerika Serikat, Canada, dan Swiss.
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dikenal sebagai Basel II pada bulan Juni 2004 (Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, 2006). Basel II diadopsi oleh Bank Indonesia mulai tahun 2008 (Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, 2006). Basel II merupakan pengembangan dari Basel I sebagai konsekuensi perkembangan instrumen di pasar keuangan. Berdasarkan informasi Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan (2006), operational risk menurut Basel II terdiri dari tiga pilar, sebagai berikut: 1. Pilar 1 mengenai penetapan beban modal operational risk yang meliputi tiga pendekatan, yaitu a. Basic Indicator Approach, yaitu menetapkan beban modal untuk operational risk sebesar persentase tertentu (alpha factor) dari gross income yang digunakan sebagai perkiraan terhadap eksposur risiko bank. Dalam pendekatan ini, modal yang harus dialokasikan bank terhadap kerugian yang berasal dari operational risk sama dengan persentase tertentu dari rata-rata gross income tahunan selama periode tiga tahun. b. Standardized Approach, yaitu mempersyaratkan suatu institusi untuk memisahkan kegiatannya menjadi delapan lini bisnis standar, sebagai contoh perbankan retail, pembiayaan korporasi, dan lain-lainnya. Beban modal untuk setiap lini bisnis dihitung dengan mengalikan gross income untuk masing-masing lini bisnis tersebut dengan suatu angka (beta) yang ditetapkan untuk masing-masing lini bisnis. Angka beta akan berbeda untuk masing-masing lini bisnis. commit to user
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Advanced Measurement Approach, yaitu perhitungan kebutuhan modal akan sama dengan pengukuran risiko yang dihasilkan dari sistem pengukuran operational risk yang digunakan secara internal oleh bank. Bank harus memenuhi kriteria kualitatif dan kuantitatif sebagaimana ditetapkan dalam Basel II dan harus disetujui oleh pengawas. 2. Pilar 2 mengenai proses review dalam rangka pengawasan yang bertujuan untuk memastikan bahwa bank memelihara tingkat permodalan yang sebanding dengan profil risikonya. 3. Pilar 3 mengenai pengungkapan informasi yang meliputi cakupan risiko, modal, eksposur risiko, proses pengukuran risiko, dan kecukupan modal yang mencukupi bagi pelaku pasar untuk memahami risiko. Persiapan Indonesia dalam menghadapi Basel II dimulai tahun 2006 dengan adanya Keputusan Gubernur Bank Indonesia Nomor: 8/32/KEP.GBI/2006 tentang Pembentukan Tim Khusus dalam Rangka Persiapan Implementasi Kerangka Permodalan Bank Sesuai Basel II di Indonesia dan arahan Gubernur Bank Indonesia yang menyatakan bahwa Basel II mulai diterapkan pada tahun 2008. Selanjutnya, perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk operational risk dengan menggunakan Pendekatan Indikator Dasar (PID) sesuai Basel II mulai diterapkan tahun 2010. Hal tersebut sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia No. 11/3/DPNP/2009. Perbandingan ruang lingkup operational risk disclosure berdasarkan Basel II dan Lampiran SE Bank Indonesia No.5/21/DPNP sebagai berikut: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
20 digilib.uns.ac.id
Tabel 2.2 Perbandingan Ruang Lingkup Operational Risk Disclosure Basel3 II Kecukupan ModalPengungkapan Kuantitatif
Pendekatan yang digunakan oleh bank dalam menghitung kecukupan modal operational risk, antara lain: a. Basic Indicator Approach b. Standardized Approach c. Advanced Measurement Approach
Pengungkapan Kualitatif
Deskripsi manajemen risiko dan kebijakan : · Strategi dan Proses · Struktur dan Manajemen risiko · Ruang lingkup pelaporan risiko dan/atau sistem pengukuran · Kebijakan untuk hedging dan/atau mitigasi risiko dan strategi. · Memonitor efektivitas mitigasi risiko
Surat Edaran Bank Indonesia No.5/21/DPNP tanggal 29 September 2003. Di Indonesia untuk Perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk Operational risk dengan menggunakan Pendekatan Indikator Dasar (PID) akan dilakukan mulai tahun 2010. Hal tersebut sesuai dengan surat edaran Bank Indonesia No. 11/3/DPNP tahun 2009. Tahapan perhitungan ATMR sebagai berikut: a. 1 Januari-30 Juni 2010: 5% dari rata-rata pendapatan bruto positif tahunan selama tiga tahun terakhir. b. 1Juli-31 Desember 2010: 10% dari rata-rata pendapatan bruto positif tahunan selama tiga tahun terakhir. c. Sejak 1 Januari 2011: 15% dari rata-rata pendapatan bruto positif tahunan selama tiga tahun terakhir. Pengungkapan operational risk dalam penelitian ini melibatkan aspek ruang lingkup definisi operational risk, yaitu 1) ketidakcukupan/kerugian, 2) proses internal, 3) kesalahan manusia, 4) kesalahan sistem, 5) problem eksternal. Ruang lingkup manajemen operational risk, sebagai berikut: · Pengawasan aktif dewan direksi dan komisaris · Kebijakan, prosedur, dan penetapan limit · Identifikasi risiko · Pengukuran risiko · Pemantauan risiko · Sistem informasi manajemen operational risk · Pengendalian operational risk
Sumber: Surat Edaran Bank Indonesia No.5/21/DPNP/2003 dan Basel Committee on Banking Supervision (2003) Pelaksanaan corporate governance yang efektif dapat meningkatkan operational risk disclosure. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Solomon, 3
Nama sebuah kota di Swiss yang dijadikan nama untuk hasil kesepakatan yang diselenggarakan commit to user di kota tersebut.
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Solomon, Norton, dan Joseph (2000) yang menyatakan bahwa pengungkapan risiko merepresentasikan perbaikan praktik corporate governance. Prinsip dasar corporate governance menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI,
2001),
(transparency),
yaitu
pertanggungjawaban
akuntabilitas
(accountability),
(responsibility), kesetaraan
dan
transparansi kewajaran
(fairness), dan independensi (independency). Salah satu aspek penting dalam tata kelola perusahaan (corporate governance) adalah adanya board of directors (FCGI, 2001). Fama dan Jensen (1983) menyatakan bahwa board of directors merupakan mekanisme penting dalam memonitor kinerja manajemen dan melindungi kepentingan pemegang saham. Hal ini berarti board of directors memiliki peran penting dalam pengungkapan risiko yaitu memonitor pengungkapan risiko untuk melindungi kepentingan stakeholders. Che Haat, Rahman, dan Mahenthiran (2008) menyatakan bahwa dewan komisaris memiliki kekuatan untuk memantau keputusan manajemen dan keputusan penting lainnya.
4. Dewan Komisaris (Board of Directors) Menurut Organization for Economic Corporation and Development atau OECD (2004) praktik yang diharapkan muncul dalam menerapkan akuntabilitas diantaranya pemberdayaan dewan komisaris untuk melakukan monitoring, evaluasi, dan pengendalian terhadap manajemen guna memberikan jaminan perlindungan kepada pemegang saham dan pembatasan kekuasaan yang jelas di jajaran direksi. Committee Cadbury mendefinisikan Corporate Governance commit to user (Forum for Corporate Governance in Indonesia, FCGI, 2001: 1) sebagai:
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
"Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan." Menurut FCGI (2001), terdapat dua sistem bentuk dewan dalam perusahaan, yaitu one tier system (sistem satu tingkat) atau single board dan two tiers system (sistem dua tingkat) atau dual board. Sistem satu tingkat artinya perusahaan hanya memiliki satu dewan yang umumnya adalah kombinasi antara manajer atau pengurus senior (direktur eksekutif) dan direktur independen yang bekerja dengan prinsip paruh waktu (nondirektur eksekutif). Sistem ini biasanya dimiliki oleh negara yang sistem hukumnya Anglo Saxon, seperti Amerika Serikat dan Inggris. General Me eting of the Shareholders
(GMoS)
Boards of Directors Executive Director
Non-Executive Director
Gambar 2.1 Struktur Board of Director dalam One Tier System (sumber: FCGI, 2001) Sistem dua tingkat berarti perusahaan mempunyai dua badan terpisah, yaitu dewan pengawas (dewan komisaris) dan dewan manajemen (dewan direksi). Dalam sistem ini, dewan direksi bertugas mengelola dan mewakili perusahaan di bawah pengarahan dan pengawasan dewan komisaris. Anggota dewan komisaris commit to user
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
diangkat dan setiap waktu dapat diganti oleh badan pengawas (dewan komisaris) (FCGI, 2001). Dewan komisaris bertanggung jawab untuk mengawasi tugas manajemen (dewan direksi) sehingga dewan direksi harus memberikan informasi dan menjawab hal-hal yang diajukan dewan komisaris. Dewan komisaris tidak boleh melibatkan diri dalam tugas manajemen dan tidak boleh mewakili perusahaan dalam transaksi dengan pihak ketiga. Negara yang menganut sistem ini memiliki sistem hukum Kontinental Eropa, seperti Denmark, Jerman, dan Jepang. General Meeting of The Shareholders (GMoS)
Board of Commissioner (BoC)
Board of Directors (BoD)
Gambar 2.2 Struktur Board of Commissioner dan Board of Director dalam Two Tiers System yang diadopsi oleh Belanda (sumber: FCGI, 2001) Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI, 2001) menyatakan bahwa Indonesia menganut Two Tiers System (sistem dua tingkat) karena sistem hukum di Indonesia berasal dari sistem hukum Belanda. Berdasarkan UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dewan komisaris dan direksi diangkat dan diberhentikan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Dewan komisaris dipilih oleh RUPS untuk mengawasi kinerja dewan direksi dan bersama-sama bertanggung jawab pada RUPS.
commit to user
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Dewan Direksi
Dewan Komisaris
Gambar 2.3 Struktur Board of directors dalam Two Tiers System yang diadopsi oleh Indonesia (sumber: Undang-Undang Perseroan Terbatas tahun 2007) Keterangan Gambar: : pengangkatan dan pemberhentian anggota dewan : tanggung jawab terhadap RUPS : supervisi atau pengawasan
Menurut FCGI (2001), dewan komisaris merupakan inti corporate governance yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi
manajemen
dalam
mengelola
perusahaan,
dan
mewajibkan
terlaksananya akuntabilitas. Hal tersebut didukung oleh Ho dan Wong (2001) yang menyatakan bahwa corporate governance adalah cara yang efektif untuk menggambarkan hak dan tanggung jawab stakeholder dalam sebuah perusahaan dimana transparansi merupakan indikator utama standar corporate governance. Oleh karena itu, dewan komisaris mempunyai peran penting dalam melakukan pengawasan, salah satunya adalah pengawasan terhadap transparansi operational risk disclosure. Tugas utama dewan komisaris menurut FCGI (2001: 5) sebagai berikut: 1. Menilai dan mengarahkan strategi perusahaan, garis-garis besar rencana kerja, kebijakan pengendalian risiko, anggaran tahunan dan rencana usaha, menetapkan sasaran kerja, pelaksanaan dan kinerja commitmengawasi to user
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2.
3.
4. 5.
perusahaan, serta memonitor penggunaan modal perusahaan, investasi dan penjualan aset. Menilai sistem penetapan penggajian pejabat kunci dan penggajian anggota dewan direksi, serta menjamin suatu proses pencalonan anggota dewan direksi secara transparan dan adil. Memonitor dan mengatasi masalah benturan kepentingan di tingkat manajemen, anggota dewan direksi dan anggota dewan komisaris, termasuk penyalahgunaan aset perusahaan dan manipulasi transaksi perusahaan. Memonitor pelaksanaan governance dan mengadakan perubahan jika diperlukan. Memantau proses keterbukaan dan efektifitas komunikasi dalam perusahaan. Keefektifan peran pengawasan oleh dewan komisaris ini didukung dengan
keberadaan komisaris independen dalam dewan komisarisnya (John dan Senbet, 1998). Keberadaan komisaris independen diatur dalam ketentuan Peraturan Pencatatan Efek Bursa Efek Indonesia (BEI) Nomor I-A tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas di Bursa yang berlaku sejak tanggal 1 Juli 2000. Perusahaan yang terdaftar di BEI wajib memiliki komisaris independen yang jumlahnya sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh bukan pemegang saham pengendali dengan ketentuan jumlah komisaris independen 30% dari jumlah seluruh anggota komisaris. Beberapa kriteria komisaris independen menurut FCGI (2001: 9) sebagai berikut: a. Komisaris independen tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan pemegang saham mayoritas atau pemegang saham pengendali (controlling shareholders) perusahaan tercatat yang bersangkutan. b. Komisaris independen tidak mempunyai hubungan dengan direktur, dan/atau komisaris lainnya perusahaan tercatat yang bersangkutan. c. Komisaris independen tidak mempunyai kedudukan rangkap pada perusahaan lainnya yang terafiliasi dengan perusahaan tercatat yang bersangkutan. d. Komisaris independen harus mengerti peraturan perundang-undang di bidang pasar modal. commit to user
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
e. Komisaris independen diusulkan dan dipilih oleh pemegang saham minoritas yang bukan merupakan pemegang saham pengendali (bukan controlling shareholders) dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
B.
Kaitan Board of Directors dengan Operational Risk Disclosure Dewan komisaris merupakan salah satu governance structure yang
bertanggung jawab mengawasi dipenuhinya kepentingan semua stakeholders berdasarkan azas kesetaraan (Pedoman Corporate Governance Perbankan, 2004). Berdasarkan Pedoman Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten atau Perusahaan Publik Industri Perbankan (2008) bank wajib mengungkapkan informasi risiko kepada publik. Oleh karena itu, dewan komisaris bertanggung jawab terhadap pengawasan pengungkapan risiko, termasuk operational risk. Kaitan dewan komisaris dan operational risk disclosure juga didukung oleh Khomsiyah (2003) yang menyatakan semakin baik implementasi corporate governance, semakin banyak informasi yang diungkapkan oleh perusahaan dalam laporan tahunan, termasuk operational risk disclosure. Selain itu, perusahaan yang melaksanakan corporate governance akan memberikan lebih banyak informasi untuk mengurangi asimetri informasi. Dewan komisaris sebagai puncak dari sistem pengelolaan internal perusahaan memiliki peranan terhadap aktivitas pengawasan (Siallagan dan Machfoedz,
2006).
Ukuran
dewan
komisaris
mempengaruhi
aktivitas
pengendalian dan pengawasan (Andres, Azofra, dan Lopez, 2005) termasuk pengawasan terhadap operational risk disclosure. Menurut PBI Nomor: 8/4/PBI/2006, pasal 5, adanya komisaris independen commit to userdan lingkungan kerja yang lebih bertujuan untuk mendorong terciptanya iklim
perpustakaan.uns.ac.id
27 digilib.uns.ac.id
obyektif dan menempatkan kewajaran dan kesetaraan di antara berbagai kepentingan stakeholders. Komposisi komisaris independen secara signifikan berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan informasi (Hossain, 2008). Pudjiastuti dan Mardiyah (2006) menyatakan bahwa komposisi komisaris independen berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan. Abraham dan Cox (2007) menunjukkan bahwa jumlah komisaris independen mempengaruhi tingkat risk disclosure. Ho dan Wong (2001) menemukan bahwa komposisi komisaris independen berpengaruh negatif terhadap pengungkapan sukarela. Menurut mereka, independensi komisaris independen dan efektivitasnya dalam memonitor CEO masih dipertanyakan. Selain komposisi komisaris independen, Adams dan Ferreira (2004) menyatakan bahwa anggota dewan komisaris yang terdiri dari komisaris laki-laki dan wanita lebih efektif dalam melakukan pengawasan. Lepine (2002) menyatakan apabila semua anggota tim adalah laki-laki, maka tim tersebut memiliki komposisi yang buruk karena meningkatnya persentase laki-laki dalam sebuah tim, semakin meningkatkan kecenderungan untuk membuat keputusan yang agresif (Murphy dan Mclntyre, 2007). Dengan demikian, wanita memiliki peranan penting dalam pengambilan keputusan yang tepat karena wanita cenderung lebih hati-hati dalam mengambil keputusan termasuk keputusan yang berkaitan dengan operational risk disclosure. Menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor: 8/14/PBI/2006 dewan komisaris wajib menyelenggarakan rapat secara berkala sekurang-kurangnya empat kali dalam setahun. Kinerja dan tugas dewan komisaris dalam mengawasi commit to user
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
manajemen efektif apabila setiap anggota dewan secara aktif hadir dalam pertemuan dewan komisaris baik secara fisik maupun teknologi konferensi (PBI Nomor: 8/14/PBI/2006). Dengan demikian, semakin sering diadakannya rapat diharapkan dapat meningkatkan operational risk disclosure.
C.
Skema Konsep Penelitian Kerangka mengenai hubungan antar masing-masing variabel dapat dilihat
dalam gambar di bawah ini: Variabel Independen 1. Ukuran dewan komisaris (X1) 2. Komposisi komisaris independen (X2) 3. Komposisi komisaris wanita (X3) 4. Jumlah rapat dewan komisaris (X4)
Variabel Dependen H1 + H2 + H3 + H4
Operational risk disclosure (Y)
+
1. Profitabilitas 2. Komposisi komite audit independen 3. Variabel Kontrol Gambar 2.4 Skema Konsep Penelitian Konsep penelitian di atas menjelaskan pengaruh variabel independen yaitu dewan komisaris (board of director) yang direpresentasikan dengan ukuran dewan komisaris, komposisi komisaris independen, komposisi komisaris wanita, dan jumlah rapat dewan komisaris terhadap variabel dependen (operational risk disclosure).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
29 digilib.uns.ac.id
Selain menguji pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen, penelitian ini juga menguji pengaruh variabel kontrol. Variabel kontrol yang pertama adalah profitabilitas. Menurut Suhardjanto dan Miranti (2009), perusahaan yang mampu menghasilkan laba (profitabilitas) di atas rerata industri memiliki tingkat pengungkapan informasi lebih tinggi. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan keyakinan pada stakeholders bahwa kegiatan operasional perusahaan berjalan dengan baik. Variabel kontrol yang kedua adalah komposisi komite audit independen. Komite audit bertugas untuk membantu dewan komisaris dalam melakukan pengawasan (FCGI, 2001), termasuk pengawasan dalam hal transparansi informasi. Selain itu, komite audit dipandang sebagai alat untuk menghindari kecurangan dalam pelaporan keuangan dan memonitor kinerja manajemen (Herwidayatmo, 2000).
D.
Pengembangan Hipotesis Pengujian hipotesis dilakukan untuk menguji pengaruh board of directors
(ukuran dewan komisaris, komposisi komisaris independen, komposisi komisaris wanita, dan jumlah rapat dewan komisaris) terhadap operational risk disclosure dengan profitabilitas dan komposisi komite audit independen sebagai variabel kontrol. Berikut ini merupakan pengembangan hipotesis yang dilakukan:
1. Pengaruh ukuran dewan komisaris (board size) terhadap tingkat operational risk disclosure. Dewan komisaris bertugas untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, akuntabilitas, dan mengawasi manajemen commit to(FCGI, user 2001). Dewan komisaris diberi
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tanggung jawab atas pengawasan kualitas informasi yang terkandung dalam laporan
keuangan
(Nasution
dan
Setiawan,
2007).
Jumlah
komisaris
mempengaruhi aktivitas pengendalian dan pengawasan (Andres, Azofra, dan Lopez, 2005). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Abeysekera (2008) pada perusahaan di Kenya, jumlah dewan komisaris yang dinilai efektif berada pada rentang lebih dari lima orang dan kurang dari 14 orang. Dalton et al (1999) menyatakan bahwa board size dengan ukuran yang besar lebih efektif daripada board size dengan ukuran kecil. Collier dan Gregory (1999) menyatakan bahwa semakin besar jumlah anggota dewan komisaris, maka semakin mudah untuk mengendalikan CEO dan memonitor kegiatan manajemen. Ukuran dewan komisaris berpengaruh positif terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial (Sitepu, 2009) dan pengungkapan wajib (Akra, Eddie, dan Ali, 2010). Semakin besar jumlah dewan komisaris diharapkan dapat meningkatkan operational risk disclosure. Berdasarkan uraian di atas, hipotesis yang dikembangkan adalah H1:
Ukuran dewan komisaris berpengaruh positif terhadap tingkat operational risk disclosure.
2. Pengaruh komposisi komisaris independen terhadap tingkat operational risk disclosure. Berdasarkan Pedoman Komisaris Independen (KNKG, 2004), komisaris independen bertanggung jawab dalam pelaksanaan prinsip tata kelola perusahaan commit to user (corporate governance). Keefektifan peran pengawasan oleh dewan komisaris
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
didukung dengan keberadaan komisaris independen (Permatasari, 2009). Ayuso dan Argondana (2007) menemukan bahwa independent director lebih efektif dalam melakukan pengawasan terhadap perusahaan karena kepentingan mereka tidak terganggu oleh ketergantungan pada organisasi. Komisaris independen dapat meningkatkan pengendalian terhadap perusahaan sehingga diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pengungkapan informasi perusahaan (Ettredge et al, 2010). Ajinkya, Bhojraj, dan Sengupta (2005) menemukan bukti bahwa perusahaan yang memiliki lebih banyak komisaris independen lebih banyak menyediakan ramalan pada laporan tahunan mereka. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Abraham dan Cox (2007), yaitu komisaris independen berpengaruh positif terhadap pengungkapan risiko, termasuk operational risk. Forker (1992) dan Chen dan Jaggi (1998) menemukan bahwa proporsi komisaris independen berpengaruh positif terhadap financial disclosure. Dengan demikian,
semakin
besar
komposisi
komisaris
independen,
diharapkan
meningkatkan operational risk disclosure. Berdasarkan uraian di atas hipotesis yang dikembangkan adalah H2:
Komposisi komisaris independen berpengaruh positif terhadap tingkat operational risk disclosure.
3. Pengaruh komposisi komisaris wanita terhadap tingkat operational risk disclosure. Kusumastuti, Supatmi, dan Sastra (2007) menyatakan bahwa wanita commit to user memiliki sikap kehati-hatian yang tinggi dan lebih teliti daripada pria. Adam dan
perpustakaan.uns.ac.id
32 digilib.uns.ac.id
Fereirra (2004) menyatakan bahwa komisaris wanita memberikan pandangan, pengalaman, dan opini yang berbeda terhadap board governance practice. Dengan keberagaman tersebut menghasilkan harmonisasi pendapat, pandangan, dan pengalaman sehingga diharapkan informasi yang diungkapkan lebih banyak. Penelitian Pudjiastuti dan Mardiyah (2006) menunjukkan adanya wanita dalam dewan komisaris menjadi drive teamwork dan menekan masalah ketidakhadiran dalam rapat dewan. Carter (2003) menemukan bahwa jumlah komisaris wanita mempengaruhi nilai perusahaan. Menurut Bonna, Yoshikawab, dan Phan (2004) komposisi komisaris wanita berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan, termasuk operational risk disclosure. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh Volkart dan Noldeke (2008). Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang dikembangkan adalah H3:
Komposisi komisaris wanita berpengaruh positif terhadap tingkat operational risk disclosure.
4. Pengaruh jumlah rapat dewan komisaris terhadap tingkat operational risk disclosure. Menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor: 8/14/PBI/2006 dewan komisaris wajib menyelenggarakan rapat secara berkala sekurang-kurangnya empat kali dalam setahun. Dewan komisaris dapat memantau dan mengawasi kegiatan manajemen melalui rapat. Seringnya frekuensi pertemuan atau rapat diharapkan mampu meningkatkan peran dewan komisaris sehingga tercipta commit to user corporate governance di dalam perusahaan (Cety dan Suhardjanto, 2010).
perpustakaan.uns.ac.id
33 digilib.uns.ac.id
Penelitian Vafeas (2003) dan Brick dan Chidambaran (2007) menunjukkan bahwa semakin banyak rapat yang diselenggarakan dewan komisaris, maka semakin meningkatkan kinerja perusahaan dan pengungkapan, termasuk operational risk disclosure. Dari uraian tersebut, maka hipotesis yang dikembangkan adalah H4: Jumlah rapat dewan komisaris berpengaruh positif terhadap tingkat operational risk disclosure. Penelitian ini menggunakan variabel kontrol profitabilitas karena hubungan profitabilitas dan pengungkapan merupakan refleksi respon sosial agar perusahaan dapat beroperasi (Suhardjanto dan Miranti, 2009). Perusahaan mengungkapkan informasi lebih banyak jika kemampuan untuk menghasilkan laba berada di atas rerata industri. Hal tersebut bertujuan untuk meyakinkan stakeholder bahwa perusahaan memiliki posisi persaingan yang kuat dan operasi perusahaan berjalan dengan baik. Profitabilitas merupakan indikator kinerja yang dilakukan oleh manajemen dalam mengelola kekayaan perusahaan yang ditunjukkan oleh laba yang dihasilkan (Sudarmadji dan Sularto, 2007). Berdasarkan penelitian Helbok dan Wagner (2006) lembaga yang memiliki profitabilitas rendah memiliki tingkat operational risk disclosure yang lebih tinggi. Variabel kontrol yang kedua adalah komposisi komite audit independen. Menurut Herwidayatmo (2000) peran pengawasan yang dilakukan oleh dewan komisaris perusahaan di Indonesia belum memadai karena anggota dewan komisaris dipilih lebih berdasarkan kedudukan dan kekerabatan sehingga commit to user
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menyebabkan mekanisme check and balance terhadap direksi tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. PBI Nomor: 8/4/PBI/2006, pasal 12, mewajibkan dewan komisaris membentuk sekurang-kurangnya komite audit, komite pemantau risiko dan komite remunerasi dan nominasi untuk mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya. Sesuai dengan Keputusan Ketua Bapepam Nomor: kep. 29/PM/2004, komite audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris untuk melakukan tugas pengawasan dan pengelolaan perusahaan. Menurut FCGI (2001), komite audit memiliki tugas terpisah dalam membantu dewan komisaris untuk memenuhi tanggung jawabnya dalam memberikan pengawasan secara menyeluruh. Cety dan Suhardjanto (2010) menyatakan bahwa komposisi komite audit independen berpengaruh positif terhadap environmental performance. Komposisi komite audit independen berpengaruh positif terhadap pengungkapan, termasuk operational risk disclosure (Li, Pike, dan Haniffa, 2008).
commit to user
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN
Setelah membahas landasan teori dan pengembangan hipotesis di Bab II, maka Bab III akan menjelaskan mengenai desain penelitian, populasi, sampel, dan teknik pengambilan sampel, data dan metode pengumpulan data, pengukuran variabel, dan metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini.
A. Desain Penelitian Penelitian ini adalah penelitian pengujian hipotesis (hypotesis testing) yaitu penelitian yang menguji hipotesis yang telah ditentukan di awal penelitian (Hartono, 2005). Penelitian ini bertujuan untuk menguji hipotesis yang diajukan oleh peneliti mengenai pengaruh board of directors yang direpresentasikan dengan ukuran dewan komisaris, komposisi komisaris independen, komposisi komisaris wanita, dan jumlah rapat dewan komisaris terhadap operational risk disclosure. Menurut Sekaran (2006), pengujian hipotesis harus menjelaskan sifat dari hubungan tertentu, memahami perbedaan antar kelompok atau independensi dua variabel atau lebih.
B. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah semua perbankan yang listing (terdaftar) di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2008-2009. Jumlah populasi tahun 2008 adalah 28 perbankan dan tahun 2009 sebanyak 29 perbankan. Penggunaan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
36 digilib.uns.ac.id
perbankan yang terdaftar di BEI karena perbankan mempunyai kewajiban untuk menyampaikan laporan tahunan kepada stakeholder. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling karena sampel penelitian ini harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan. Teknik purposive sampling adalah pengambilan sampel yang dilakukan dengan mengambil sampel berdasarkan kriteria tertentu sesuai dengan tujuan penelitian (Hartono, 2005). Perbankan yang menjadi sampel adalah perbankan yang selama tahun 2008 dan 2009 tidak mengalami delisting dan menerbitkan annual report selama dua tahun berturut-turut. Pemilihan tahun tersebut dikarenakan BI mengadopsi Basel II mulai tahun 2008 dimana kebijakan, prosedur dan proses manajemen risiko dikembangkan sesuai Basel II. Manajemen operational risk dilaksanakan berdasarkan ketentuan Peraturan Bank Indonesia No.5/8/PBI/2003 (Implementasi Manajemen Risiko untuk Bank Umum) dan Basel II (Laporan Tahunan Bank Danamon, 2008). Berdasarkan kriteria tersebut, jumlah sampel yang diambil adalah 46 annual report perbankan. Ukuran sampel sudah memenuhi kriteria penelitian karena ukuran sampel yang tepat untuk kebanyakan penelitian adalah lebih dari 30 dan kurang dari 500 (Sekaran, 2006).
C. Data dan Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan data sekunder yang diambil dari laporan tahunan perbankan yang listing di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2008-2009. Laporan tahunan dipilih karena memiliki kredibilitas yang commit to user tinggi (Zeghal dan Ahmed, 1999) dan digunakan oleh sejumlah stakeholder
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sebagai sumber utama informasi (Deegan dan Rankin, 1997). Data sekunder yang dikumpulkan diperoleh dari situs www.idx.co.id dan dari situs masing – masing perusahaan sampel.
D. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel a. Variabel Independen Variabel independen dalam penelitian ini terdiri dari ukuran dewan komisaris, komposisi komisaris independen, komposisi komisaris wanita, dan jumlah rapat dewan komisaris.
1.
Ukuran Dewan Komisaris
Jumlah anggota dewan komisaris mempengaruhi aktivitas pengendalian dan pengawasan (Andres, Azofra, dan Lopez 2005). Abeysekera (2008) menyatakan bahwa ukuran dewan komisaris yang besar lebih efektif jika dibandingkan dengan ukuran dewan komisaris yang kecil. Indikator yang digunakan adalah jumlah keseluruhan anggota dewan komisaris yang dimiliki perusahaan baik yang berasal dari dalam maupun luar perusahaan (independen) sesuai dengan penelitian Dalton et al (1999), Nasution dan Setiawan (2007) dan Abeysekera (2008). Jumlah Dewan Komisaris =
2.
å Komisaris
Internal +
å Komisaris
Eksternal
Komposisi Komisaris Independen
Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang commit to user
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan (Herwidayatmo, 2000). Sesuai dengan peraturan BEI tanggal 1 Juli 2000, persyaratan jumlah minimal komisaris independen adalah 30% dari seluruh anggota dewan komisaris. Komposisi komisaris independen diukur dengan persentase anggota dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan dari seluruh ukuran anggota dewan komisaris perusahaan. Indikator yang digunakan sesuai dengan penelitian Eng dan Mak (2005), Suhardjanto dan Afni (2009), dan Suhardjanto dan Miranti (2009), yaitu Komposisi
3.
Komisaris
=
Independen
å
Komisaris
å
Independen
Komisaris
x 100 %
Komposisi Komisaris Wanita
Komposisi komisaris wanita merupakan persentase jumlah komisaris wanita dibandingkan jumlah seluruh anggota komisaris. Menurut Carter (2003) jumlah komisaris wanita dikatakan rendah apabila tidak ada komisaris wanita dan tinggi apabila jumlah komisaris wanita 2 atau lebih. Indikator yang digunakan adalah persentase komisaris wanita dari seluruh anggota dewan komisaris perusahaan (Marinova, Plantenga, dan Remery, 2010) dan (Peterson dan Philpot, 2009) sehingga rumus yang digunakan adalah Komposisi
Komisaris
Wanita
=
å
Komisaris
å
Wanita
Komisaris
commit to user
x 100 %
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4.
Jumlah Rapat Dewan Komisaris
Jumlah rapat dewan komisaris merupakan rapat yang dilakukan oleh dewan komisaris dalam suatu perusahaan selama satu tahun. Menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor: 8/14/PBI/2006, dewan
komisaris
wajib
menyelenggarakan rapat secara berkala sekurang-kurangnya empat kali dalam setahun. Ukuran yang digunakan adalah jumlah rapat yang dilakukan oleh dewan komisaris dalam waktu satu tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian Vafeas (2003), Brick dan Chidambaran (2007), dan Cety dan Suhardjanto (2010).
b. Variabel Dependen (Operational Risk Disclosure) Dalam penelitian ini, operational risk disclosure mengacu pada PBI Nomor: 5/8/PBI/2003. Penelitian ini tidak menggunakan operational risk disclosure-related disclosure requirements yang terdapat dalam Basel II karena belum sepenuhnya relevan dengan kondisi di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan tingkat
adopsi Basel II belum
menyeluruh, dimana Indonesia belum
memperhitungkan tingkat kecukupan modal berdasarkan aturan Basel II, tapi masih dalam tahap simulasi. Salah satu implementasi tahun 2008 adalah penyelenggaraan simulasi Operational Risk Framework dari Capital Adequacy Ratio (CAR) dengan menggunakan kerangka kerja Basel II (Laporan Tahunan Bank Bumiputera Indonesia, 2008). Pengungkapan menurut Basel II terbagi menjadi dua bagian, yaitu capital adequacy (quantitative disclosure) 1 item dan general qualitative disclosure requirements 5 item. Untuk general qualitative disclosure requirements secara commit to user umum sudah tercakup dalam Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
No.5/21/DPNP/2003, tapi capital adequacy (quantitative disclosure) efektif diterapkan mulai tahun 2010 sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia No.
11/3/DPNP/2009. Oleh karena itu, penelitian ini mengacu pada Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/21/DPNP/2003 karena dapat mewakili periode sampel perbankan, lebih relevan dengan kondisi perbankan di Indonesia dan peraturan tersebut dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai regulator perbankan Indonesia. Operational risk disclosure terbagi menjadi dua bagian, yaitu pengungkapan atas definisi yang terdiri dari 5 item dan pengungkapan atas manajemen operational risk yang terdiri dari 7 item. Total item operational risk disclosure adalah 12. Item-item operational risk disclosure berdasar Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/21/DPNP/2003 sebagai berikut: Tabel 3.1 Item Operational Risk Disclosure Definisi
Manajemen Risiko
Item Operational Risk Disclosure 1. Ketidakcukupan atau kerugian 2. Proses Internal 3. Kesalahan manusia 4. Kesalahan sistem 5. Problem eksternal 1. Pengawasan aktif dewan direksi dan komisaris 2. Kebijakan, prosedur, dan penetapan limit 3. Identifikasi risiko 4. Pengukuran risiko 5. Pemantauan risiko 6. Sistem informasi manajemen risiko operasional 7. Pengendalian risiko operasional
Karakteristik untuk setiap item pengungkapan manajemen risiko dapat dilihat pada lampiran I. Sesuai dengan penelitian Helbok dan Wagner (2006) dan Oorschot (2009), penelitian ini menggunakan teknik pengukuran scoring yaitu jika item tidak diungkapkan dalam laporan diberi nilai 0 dan 1 jika diungkapkan commit to user
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dalam laporan tahunan. Agar penilaian yang dilakukan dalam penelitian ini lebih obyektif, dilakukan verifikasi oleh dua orang mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret sehingga ketelitian data terjamin dan lebih meyakinkan. Persamaan
yang
digunakan
untuk
menghitung
tingkat
kuantitas
operational risk disclosure dalam penelitian ini:
ORD
BY
=
n
1
MAX
å SCORE BY
i=1
iBY
Keterangan Persamaan Simbol ORDBY MAXBY i SCOREiBY
Keterangan Skor pengungkapan bank B pada tahun Y Nilai maksimum yang mungkin dicapai bank B pada tahun Y Item dalam framework Skor untuk item I, bank B pada tahun Y
c. Variabel Kontrol Variabel kontrol digunakan untuk melengkapi atau mengontrol hubungan kausalnya supaya lebih baik untuk mendapatkan model empiris yang lebih lengkap dan lebih baik (Hartono, 2005). Penelitian ini menggunakan variabel kontrol profitabilitas dan komposisi komite audit independen.
1. Profitabilitas Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba pada periode tertentu (Nurkhin, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Helbok dan Wagner (2006) menunjukkan bahwa perbankan yang memiliki tingkat profitabilitas rendah mengungkapkan informasi perusahaan lebih banyak daripada commit to user perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi. Hal ini dikarenakan bank
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang profitabilitasnya rendah memiliki insentif yang lebih tinggi untuk meyakinkan pengawas. Berbeda dengan hasil penelitian Helbok dan Wagner (2006), hasil penelitian Haniffa dan Cooke (2005) dan Nurkhin (2009) menunjukkan bahwa perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi mengungkapkan informasi perusahaan lebih banyak daripada perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang rendah. Indikator profitabilitas dalam penelitian ini menggunakan Return On Assets (ROA) karena ROA menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba serta mengukur tingkat efisiensi operasional perusahaan secara keseluruhan dan efisiensi perusahaan dalam menggunakan harta yang dimiliki (Haniffa dan Cook, 2005). Indikator yang digunakan sesuai dengan penelitian Helbok dan Wagner (2006) dan Suhardjanto dan Choiriyah (2010). ROA
=
Laba Bersih Total Aset
2. Komposisi Anggota Komite Audit Independen Komite audit independen merupakan anggota komite audit yang tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan. Cety dan Suhardjanto (2010) mengungkapkan bahwa anggota komite audit yang independen berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan, termasuk operational risk disclosure. Indikator yang digunakan adalah persentase anggota komite audit yang berasal commit to user
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dari luar perusahaan dari seluruh ukuran komite audit perusahaan (Cety dan Suhardjanto, 2010). Komposisi Komite Audit Independen
=
å Komite Audit å Komite
Independen Audit
x100 %
E. Teknik Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan statistik deskriptif, uji asumsi klasik dan pengujian hipotesis. Pengujian dilakukan dengan menggunakan bantuan program SPSS release 16.
1. Statistik Deskriptif Statistik deskriptif terdiri dari penghitungan mean, standar deviasi, maksimum, dan minimum. Analisis ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai distribusi dan perilaku data (Ghozali, 2006).
2. Pengujian Hipotesis Ketepatan fungsi regresi sampel dalam menaksir nilai aktual dapat diukur dari goodness of fit-nya. Secara statistik, goodness of fit suatu model dapat diukur dari nilai koefisien determinasi (R2), nilai statistik F dan nilai statistik t. Perhitungan statistik dikatakan signifikan apabila nilai uji statistiknya berada dalam daerah kritis (daerah dimana Ho ditolak). Sebaliknya disebut tidak signifikan bila nilai uji statistiknya berada dalam daerah dimana Ho diterima (Ghozali, 2006).
commit to user
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Persamaan regresi berganda untuk pengujian hipotesis dalam penelitian ini adalah ORD = α + β1J.KOM + β2KOM_KOMIND + β3KOM_KOMWAN + β4RPTDekom + β5PROF + β6KOM_KAIND + e Keterangan Persamaan Regresi Berganda Simbol
Keterangan
ORD J.KOM KOM_KOMIND KOM_KOMWAN RPTDekom PROF KOM_KAIND α β e
Operational Risk Disclosure Ukuran Dewan Komisaris Komposisi Komisaris Independen Komposisi Komisaris Wanita Jumlah Rapat Dewan Komisaris Profitabilitas Komposisi Komite Audit Independen Konstanta Koefisien Regresi Error
a) Koefisien Determinasi (R2) Koefisien determinasi adalah nilai yang menunjukkan seberapa besar variabel independen dapat menjelaskan variabel dependennya. Koefisien determinasi digunakan untuk menguji goodness of fit model regresi. Nilai koefisien determinasi (R2) dilihat pada hasil pengujian regresi linier berganda untuk variabel independen terhadap variabel dependennya. Untuk jumlah variabel independen lebih dari dua, lebih baik menggunakan koefisien determinasi yang telah disesuaikan yaitu adjusted R2 (Ghozali, 2006). b) Nilai F Merupakan pengujian untuk mengetahui apakah variabel independen secara bersama-sama atau simultan mempengaruhi variabel dependen (Ghozali, 2006). Dengan pengujian ini dapat diketahui apakah ukuran dewan commit to user
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
komisaris, komposisi komisaris independen, komposisi komisaris wanita, dan jumlah rapat dewan komisaris berpengaruh secara simultan terhadap operational risk disclosure. c) Nilai t Dilakukan
untuk
mengetahui
pengaruh
masing-masing
variabel
independen terhadap variabel dependen (Ghozali, 2006). Nilai t dalam penelitian ini menggunakan tingkat signifikansi 5%. Variabel independen (ukuran dewan komisaris, komposisi komisaris independen, komposisi komisaris wanita, dan jumlah rapat dewan komisaris) dikatakan berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen (operational risk disclosure) apabila nilai signifikan (p-value) lebih kecil dari 5%. Dengan demikian, H1, H2, H3, dan H4 diterima apabila nilai signifikan (p-value) lebih kecil dari 5%. Sebagai persyaratan pengujian regresi berganda dilakukan uji asumsi klasik untuk memastikan bahwa data penelitian valid, tidak bias, konsisten, dan penaksiran koefisien regresinya efisien (Gujarati, 2003). Uji asumsi klasik sebagai berikut: 1. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal (Ghozali, 2006). Hasil pengujian data dilakukan dengan menguji Kolmogorov-Sminorv. Kriteria pengujian apabila p-value > 0,05, maka data berdistribusi normal, sedangkan apabila p-value < 0,05 data tidak berdistribusi normal. Hal ini didukung juga dengan tampilan grafik histogram dan normal probability plot. commit to user
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Uji Multikolinieritas Uji multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah masalah yang sering muncul dalam analisis regresi terjadi, yaitu dimana terdapat korelasi yang tinggi antar dua atau lebih variabel independen (Ghozali, 2006). Pengujian dilakukan dengan menggunakan toleransi value VIF (variance inflation factor). Jika tolerance value > 0,1 dan VIF < 10 maka tidak terjadi multikolonieritas. 3. Uji Autokorelasi Uji autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam model regresi linier ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t–1 (Ghozali, 2006). Untuk mengetahui dan menguji ada tidaknya autokorelasi dalam model analisis regresi, bisa digunakan cara pengujian statistik Durbin Watson (DW). Tabel 3.2 Nilai Durbin–Watson Nilai DW
Kesimpulan
Kurang dari 1,10 1,10 sampai 1,54 1,55 sampai 2,46 2,47 sampai 2,90 Lebih dari 2,91
Ada autokorelasi Tanpa kesimpulan Tidak ada autokorelasi Tanpa kesimpulan Ada autokorelasi
4. Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain (Ghozali, 2006). Untuk menentukan heteroskedastisitas dapat digunakan menggunakan grafik scatterplot. Dalam grafik scatterplot titik commit to user yang terbentuk harus menyebar secara acak, baik di atas maupun di bawah
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
angka 0 pada sumbu Y. Bila kondisi ini terpenuhi maka tidak terjadi heteroskedastisitas (Ghozali, 2006). Analisis dengan grafik plots memiliki kelemahan yang cukup signifikan karena jumlah pengamatan mempengaruhi ploting. Semakin sedikit jumlah pengamatan, semakin sulit menginterpretasikan hasil grafik plot. Oleh karena itu, diperlukan uji statistik untuk menjamin keakuratan hasil, seperti uji glejser (Ghozali, 2006). Uji Glejser dilakukan dengan meregresi nilai absolute residual terhadap variabel independen (Gujarati, 2003).
commit to user
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Bab ini akan menjelaskan mengenai deskripsi data, pengujian hipotesis dan pembahasan hasil pengujian yang telah dilakukan selama penelitian. Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi berganda dengan bantuan program SPSS release 16 untuk sistem operasi windows.
A. Deskriptif Data Analisis deskriptif data terdiri dari seleksi sampel dan statistik deskriptif.
1. Seleksi Sampel Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa annual report tahun 2008-2009. Data ini diperoleh dari situs www.idx.co.id dan dari situs masing – masing perusahaan sampel. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perbankan yang listing di Bursa Efek Indonesia selama tahun 2008-2009 dengan rincian sebagai berikut: Tabel 4.1 Jumlah Populasi dan Sampel Penelitian
Tahun 2008 2009 Total
Populasi 28 29 57
Sampel Awal 27 27 54
Sampel Digunakan 23 23 46
Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling. Perusahaan yang menjadi sampel adalah perusahaan yang memenuhi commit to user beberapa kriteria tertentu yang sudah dijelaskan di Bab III halaman 36.
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan teknik pengambilan sampel tersebut, maka jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 46 perbankan dan nama perusahaan sampel dapat dilihat pada Lampiran II. Hal tersebut dikarenakan dari 57 populasi, sejumlah 54 perbankan tidak mengalami delisting selama periode 2008-2009, tapi hanya 46 perbankan yang menyediakan data dan informasi secara lengkap.4
2. Statistik Deskriptif Operational risk disclosure (ORD) sebagai variabel dependen dalam penelitian ini diukur dari rerata skor 12 aspek ruang lingkup operational risk yang diungkapkan dalam annual report perbankan. Dua belas aspek tersebut dapat dilihat pada Bab III, halaman 40. Berikut ini adalah statistik deskriptif operational risk disclosure. Tabel 4.2 Statistik Deskriptif Operational Risk Dsiclosure Variabel ORD (%)
Mean 76,270
Min 8,000
Max St. Deviasi 100,000 0,250
Berdasarkan tabel 4.2, statistik deskriptif rerata pengungkapan operational risk pada annual report sebesar 76,270%. Hal tersebut menunjukkan bahwa operational risk disclosure pada annual report masih rendah karena belum mencapai 100,000%, mengingat
operational risk disclosure merupakan
pengungkapan wajib. 4
Perbankan yang dieliminasi sebagai sampel adalah Bank Capital Indonesia, Bank Eksekutif Internasional, Bank Nusantara Parahyangan, dan Bank Windu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
50 digilib.uns.ac.id
Nilai minimum ORD dalam penelitian ini adalah 8,000% yang dimiliki Bank Agroniaga karena hanya mengungkapkan aspek kebijakan, prosedur, dan penetapan limit dalam annual report-nya. Aspek kebijakan yang diungkapkan adalah kebijakan mengenal nasabah (Know Your Customer/KYC). Bank Agroniaga dalam annual report-nya menyatakan, ”Dalam rangka memberikan perlindungan atas kepentingan nasabah maka perseroan telah mengembangkan struktur perlindungan nasabah yang dimulai dari penerapan prinsip mengenal nasabah, penerapan prinsip transparansi informasi produk hingga pembentukan struktur penanganan dan penyelesaian pengaduan nasabah sampai ke tingkat mediasi perbankan. Dengan struktur semacam ini diharapkan kepentingan nasabah dapat terlindungi yang pada akhirnya dapat menciptakan hubungan yang saling menguntungkan.” (AR Bank Agroniaga, 2009). Aspek kebijakan, prosedur, dan penetapan limit merupakan aspek yang banyak diungkapkan dalam annual report perbankan di Indonesia tahun 20082009. Aspek tersebut merupakan aspek dimana perbankan telah melakukan kegiatan perlindungan nasabah untuk mewujudkan hubungan yang baik dan saling menguntungkan antara perbankan dan nasabah. Selain aspek kebijakan, prosedur, dan penetapan limit, aspek pengendalian operational risk juga banyak diungkapkan. Aspek tersebut menekankan bahwa bank dapat mengembangkan program untuk memitigasi operational risk dengan pengamanan proses teknologi informasi, asuransi, dan outsourcing sebagian kegiatan operasional bank (Lampiran SE Bank Indonesia No.5/21/DPNP/2003), seperti yang dilakukan oleh Bank Danamon, yaitu “Pendekatan Danamon atas manajemen operational risk terutama bertujuan untuk memitigasi kemungkinan terjadinya kerugian tersebut dengan mengimplementasikan Operational Risk commit to user Management Framework (ORMF/Kerangka Manajemen
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Operational Risk) secara konsisten dan menyeluruh yang merupakan risiko spesifik pada setiap proses bisnis. Operational Risk Management Framework Danamon diimplementasikan melalui siklus yang terintegrasi (integrated cycle) dimana Danamon memastikan bahwa pengendalian risiko sudah memadai dan risiko telah identifikasi untuk produk dan proses yang baru maupun yang sudah ada.” (AR Bank Danamon, 2008). Peringkat skor pengungkapan masing-masing item sebagai berikut: (1) Kebijakan, prosedur, dan penetapan limit 95,650%, (2) Pengendalian risiko operasional 93,480%, (3) Sistem informasi manajemen 89,130%, (4) Identifikasi risiko operasional 86,960%, (5) Pengukuran risiko operasional 82,610%, (6) Pemantauan risiko operasional 73,910%, (7) Peringkat ini dimiliki oleh aspek definisi, yaitu proses internal, kesalahan manusia, kesalahan sistem, dan problem eksternal
masing-masing
sebesar 67,390%,
(8)
Ketidakcukupan/kerugian
63,040%, dan (9) Pengawasan aktif dewan direksi dan komisaris 60,870%. Nilai maksimum operational risk disclosure pada penelitian ini adalah 100,000%, yang artinya semua aspek operational risk telah diungkapkan dalam annual report. Beberapa bank yang mengungkapkan semua aspek operational risk, antara lain Bank CIMB Niaga (2008 dan 2009), Bank Danamon Indonesia (2008 dan 2009), Bank Ekonomi Raharja (2008 dan 2009), Bank Internasional Indonesia (2008 dan 2009), Bank Mandiri (2008 dan 2009), Bank Panin (2008 dan 2009), Bank Permata (2008 dan 2009), Bank Tabungan Pensiunan Nasional (2008), dan Bank OCBC NISP (2009). Hal ini dikarenakan bank tersebut sudah menyadari kewajiban untuk mengungkapkan operational risk yang diatur di PBI Nomor:
5/8/PBI/2003
No.5/21/DPNP/2003.
dan
Lampiran
Surat
commit to user
Edaran
Bank
Indonesia
perpustakaan.uns.ac.id
52 digilib.uns.ac.id
Rendahnya tingkat operational risk disclosure, menyebabkan terjadinya asimetri informasi yang merugikan stakeholder, terutama investor, nasabah dan pemerintah. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab maraknya kasus kejahatan bank yang terjadi di Indonesia. Salah satu kasus perbankan di Indonesia adalah kasus Bank Suma tahun 1992. Kasus tersebut merupakan cerminan dari buruknya peraturan perbankan (Pakto 1988) di Indonesia. Menurut Rasjim Wiraatmadja, ahli hukum perbankan menyatakan bahwa kreditur dan nasabah dapat menggugat Bank Suma mengenai laporan palsu karena tidak melaporkan kerugian dan pemberian kredit pada grupnya (www.tempointeraktif.com, 1992). Kasus tersebut menunjukkan pentingnya pengungkapan informasi agar stakeholders dapat mengambil keputusan yang tepat sehingga kemungkinan kerugian yang terjadi semakin kecil. Perbankan Indonesia mulai menata kembali struktur perbankan di Indonesia, salah satunya dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor: 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum. Namun, kecurangan yang terjadi di perbankan Indonesia masih terjadi. Hal ini terbukti dengan terjadinya kasus Bank Century tahun 2008. Kasus Bank Century tersebut menunjukkan bahwa dewan komisaris tidak menjalankan tugasnya dengan baik, terbukti dengan pemecatan dan penjatuhan hukuman kepada komisaris utama Bank Century (www.tempointeraktif.com, 2009). Basel Committee telah mengeluarkan Prinsip Dasar Basel (Basel Core Principles/BCP) untuk memperbaiki kekuatan sistem keuangan. Salah satu aturan penting dari Prinsip Dasar Basel adalah untuk melindungi bank agar tidak commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
53 digilib.uns.ac.id
disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab serta mewajibkan pengawas perbankan untuk dapat menentukan apakah suatu bank telah memiliki kebijakan, praktek, dan prosedur perbankan yang standar dan layak, termasuk juga dengan aturan Prinsip Mengenal Nasabah (PMN) yang mendukung kerjasama internasional dalam memberantas kejahatan pencucian uang dan keuangan teror (www.nustaffsite.gunadarma.ac.id, 2007). Terkait dengan permasalahan risiko, Risk Management Center Indonesia (RMCI) menggelar Konferensi Manajemen Risiko 2008. Konferensi tersebut mengangkat tema "Pendekatan Ideal dan Praktis dalam Penerapan Manajemen Risiko Operasional, Manajemen Risiko Kredit, dan Manajemen Data". Konferensi dilaksanakan di Swiss Grand Bali Hotel, Nusa Dua, Bali, pada 24-25 April 2008. Menurut Direktur RMCI, Othman Z Harahap, saat ini industri perbankan masih belum memiliki fokus yang konkrit, sejalan dengan roadmap yang sudah dikeluarkan BI dan sesuai dengan Basel II Accord. RMCI yang merupakan yayasan nirlaba yang dibentuk Bank Indonesia, akan membahas berbagai kendala dan solusi penerapan manajemen risiko di industri perbankan secara komprehensif dan tahap demi tahap. Baik mengenai pendekatan, perhitungan, pelaksanaan, kebijakan, SOP, metode modeling, pengelolaan data sampai ke persiapan sistem informasi. Fokus awal RMCI adalah manajemen operational risk dengan membantu perbankan nasional dalam penerapannya sesuai dengan kebijakan Bank Indonesia dan iklim perbankan nasional (www.okezone.com, 2008). Pada tabel 4.3 di bawah ini dijelaskan statistik deskriptif dari variabel independen penelitian. Informasi mengenai statistik deskriptif tersebut meliputi: commit to user
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
nilai minimum, maksimum, rerata (mean), dan standar deviasi yang dihitung dengan menggunakan alat bantu statistik SPSS release 16. Hasil dari perhitungan tersebut ditampilkan pada tabel 4.3 berikut: Tabel 4.3 Statistik Deskriptif Variabel Independen Variabel Mean Min Max 5,065 J.Kom 2,000 8,000 58,740 33,000 100,000 Kom_KomInd (%) 8,480 Kom_Komwan (%) 0,000 67,000 15,000 Rpt_Dekom (kali/tahun) 3,000 51,000 1,109 -0,070 Profitabilitas (%) 2,770 93,130 60,000 100,000 Kom_KAInd (%)
St. Deviasi 1,818 0,109 0,156 13,882 0,760 0,128
Abeysekera (2008) mengungkapkan bahwa jumlah komisaris di Kenya dinilai efektif berada pada rentang lebih dari 5 (lima) orang dan kurang dari 14 orang. Berdasarkan hasil penelitian, rerata jumlah komisaris yang dimiliki perbankan di Indonesia adalah lima orang. Menurut Muntoro (2006), ukuran dewan komisaris yang efektif dipengaruhi oleh 1) ukuran dewan direksi, 2) jenis industri, 3) risiko yang dihadapi, dan 4) komite audit. Jumlah komisaris yang paling sedikit dimiliki oleh Bank Kesawan, yaitu hanya memiliki dua komisaris. Hal ini memungkinkan lemahnya pengawasan dewan komisaris terhadap manajemen sehingga berdampak pada rendahnya tingkat operational risk disclosure, yaitu sebesar 58,333% pada tahun 2008 dan 2009. Jumlah dewan komisaris paling banyak adalah delapan orang yang dimiliki oleh Bank OCBC NISP (2008 dan 2009), Bank Danamon (2008 dan 2009), dan Bank Permata (2008 dan 2009). Rerata komposisi komisaris independen adalah 58,740%. Komposisi ini commit to user sudah memenuhi Peraturan Bank Indonesia Nomor:
8/14/PBI/2006 tentang
perpustakaan.uns.ac.id
55 digilib.uns.ac.id
Pelaksanaan Corporate Governance Bagi Bank Umum, pasal 5, yang menyatakan “paling kurang 50,000% (lima puluh perseratus) dari jumlah anggota dewan komisaris adalah komisaris independen”. Komposisi komisaris independen paling rendah dimiliki oleh Bank Tabungan Pensiunan Nasional (2008), yaitu sebesar 33,000%. Hal ini mencerminkan bahwa tidak semua perbankan mematuhi peraturan yang telah ditetapkan. Komposisi komisaris independen tertinggi, yaitu sebesar 100,000% dimiliki oleh Bank Kesawan (2009) karena semua anggota dewan komisaris merupakan komisaris independen. Selain variabel komposisi komisaris independen, penelitian ini juga melibatkan komposisi komisaris wanita sebagai variabel independen. Berdasarkan hasil statistik menunjukkan bahwa rerata komposisi komisaris wanita sebesar 8,480%, sebanyak 30 sampel tidak memiliki komisaris wanita. Komisaris wanita terbanyak hanya 2 orang dan hanya terdapat di Bank Victoria Internasional (2008 dan 2009) dan ICB Bumiputera (2009). Hasil ini menunjukkan bahwa masih sedikit perbankan yang memiliki komisaris wanita. Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor:
8/14/PBI/2006 tentang
Pelaksanaan Corporate Governance Bagi Bank Umum Pasal 15 Ayat 1 rapat dewan komisaris wajib diselenggarakan secara berkala paling kurang 4 (empat) kali dalam setahun. Tabel 4.3 menunjukkan bahwa rerata frekuensi rapat di Indonesia sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu sebanyak 15 kali dalam setahun. Namun, terdapat tiga perbankan yang menyelenggarakan rapat dibawah ketentuan yang berlaku, yaitu Bank CIMB Niaga (2008), Bank Kesawan (2008 dan 2009), dan Bank Agroniaga (2009) yang hanya melakukan rapat 3 kali commit to user
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dalam setahun. Hal ini menunjukkan bahwa masih kurangnya kesadaran akan ketentuan yang telah ditetapkan. Rerata profitabilitas yang diukur dengan ROA sebesar 1,109%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemampuan dari aset perbankan untuk menghasilkan laba bersih sebesar 1,109%. Profitabilitas tertinggi dimiliki oleh Bank Tabungan Pensiunan Nasional tahun 2008, yaitu sebesar 2,770%, sedangkan untuk profitabilitas terendah didapat oleh Bank Internasional Indonesia tahun 2009, yaitu sebesar -0,070%. Semakin tinggi laba yang diperoleh perusahaan, maka dana yang tersedia lebih banyak untuk mengumpulkan, mengelompokkan dan mengolah
informasi menjadi lebih
bermanfaat
serta dapat menyajikan
pengungkapan yang lebih komprehensif termasuk operational risk disclosure (Hertanti, 2005). Tingkat profitabilitas perbankan Indonesia selama tahun 2008 dan 2009 lebih baik daripada rerata profitabilitas bank di tingkat regional dan memiliki kinerja yang relatif stabil (www.tempointeraktif.com, 2010). Berdasarkan PBI Nomor: 8/4/PBI/2006, keanggotaan komite audit sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang anggota, seorang diantaranya merupakan komisaris independen perusahaan tercatat yang sekaligus merangkap sebagai ketua komite audit, sedangkan anggota lainnya merupakan pihak ekstern yang independen. Rerata komposisi komite audit independen perbankan di Indonesia sebesar 93,130%. Komposisi komite audit independen terendah sebesar 60,000% dimiliki oleh Bank Tabungan Pensiunan Nasional (2009) dan komposisi tertinggi, yaitu sebesar 100,000% dimiliki oleh sebagian besar perbankan. Hal ini commit to user
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menunjukkan bahwa perbankan di Indonesia memiliki komposisi komite audit independen yang tinggi. Berdasarkan hasil statistik deskriptif dan penjelasan di atas, rerata operational risk disclosure sebesar 76,270%; rerata ukuran dewan komisaris sebesar 5,065; komposisi komisaris independen sebesar 58,740%; rerata komposisi komisaris wanita sebesar 8,480%; rerata frekuensi rapat dewan komisaris sebanyak 15 kali; rerata profitabilitas sebesar 1,109%; dan rerata komposisi komite audit independen sebesar 93,130%.
B. Pengujian Hipotesis dan Pembahasan Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda. Prasyarat pengujian regresi berganda dilakukan uji asumsi klasik untuk memastikan bahwa data penelitian valid, tidak bias, konsisten, dan penaksiran koefisien regresinya efisien (Gujarati, 2003). Pengujian asumsi klasik meliputi, Normalitas, Multikolinieritas, Autokorelasi, dan Heteroskedastisitas. Penelitian ini telah memenuhi uji asumsi klasik. Hasil pengujian asumsi klasik tersebut dapat dilihat pada lampiran V. Analisis Regresi Berganda Analisis regresi berganda dalam penelitian ini digunakan untuk menjawab rumusan masalah yaitu dengan menguji apakah board of directors yang direpresentasikan dengan ukuran dewan komisaris, komposisi komisaris independen, komposisi komisaris wanita, dan jumlah rapat dewan komisaris berpengaruh terhadap operational risk disclosure pada perbankan di Indonesia. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
58 digilib.uns.ac.id
Pengujian regresi berganda ini dilakukan dengan metode backward5. Penelitian ini memiliki enam langkah untuk mencapai keadaan dimana tidak ada variabel yang dikeluarkan dari fungsi diskriminan (lihat Lampiran VI). Tabel 4.5 di bawah ini menggambarkan hasil analisis regresi berganda pengaruh board of directors terhadap operational risk disclosure. Tabel 4.5 menunjukkan bahwa nilai R Square (R2) sebesar 0,122 dan Adjusted R Square (Adjusted R2) sebesar 0,102. Berdasarkan nilai Adjusted (R2) tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebanyak 10,200% operational risk disclosure dapat dijelaskan oleh variabel independen dan variable kontrol dan sisanya sebanyak 89,800% dijelaskan oleh faktor lain. Tabel 4.5 juga menunjukkan nilai F hitung sebesar 6,134 dengan probabilitas 0,017 (probabilitas < 0,050). Karena nilai F lebih besar dari 4,000 dan probabilitas lebih kecil dari 0,050, maka model regresi ini menunjukkan model yang baik (good overall model fit) sehingga model regresi dapat digunakan untuk memprediksi operational risk disclosure dan dapat menunjukkan bahwa variabel independen dan kontrol secara bersama-sama berpengaruh terhadap operational risk disclosure (Ghozali, 2006).
5
Metode Backward adalah metode yang dimulai dengan semua variabel membentuk fungsi diskriminan, selanjutnya setiap langkah satu variabel dikeluarkan dari fungsi determinan, yaitu variabel yang memiliki jumlah penurunan terkecil dalam discriminating power dan prosedur ini commit to userdari fungsi diskriminan (Ghozali, 2006). terus diulang sampai tidak ada variabel yang dikeluarkan
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 4.5 Hasil Regresi Berganda Variabel (Constant) J.Kom Kom_KomInd Kom_Komwan Rpt_Dekom Profitabilitas Kom_KAInd R-Square Adjusted R-Square F Sig
Koefisien 0,520 0,048 -0,260 -0,169 -0,220 0,106 -0,018 0,122 0,102 6,134 0,017
t 5,002 2,477 -1,589 -1,199 -1,554 0,729 -0,117
P-value 0,000 0,017* 0,119 0,237 0,128 0,470 0,907
*Secara statistik signifikan pada tingkat 5% Variabel yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengungkapan operational risk hanya ada satu (1), yaitu ukuran dewan komisaris, sedangkan variabel komposisi komisaris independen, komposisi komisaris wanita, jumlah rapat dewan komisaris, profitabilitas, dan komposisi komite audit independen tidak berpengaruh terhadap operational risk disclosure. Menurut FCGI (2001), tugas dewan komisaris adalah menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan, serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas. Sembiring (2005) menyatakan bahwa dewan komisaris dianggap sebagai mekanisme pengendalian intern tertinggi yang bertanggung jawab untuk memonitor tindakan manajemen puncak. Anggota dewan komisaris harus memiliki kemampuan yang mencakup a) keahlian, pendidikan formal yang memadai, dan pengalaman yang cukup, b) kemampuan berkomunikasi dengan baik dan bekerja sama (teamwork), c) kepemimpinan, dan d) kemampuan bernegosiasi (Muntoro, 2006). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
60 digilib.uns.ac.id
Ukuran dewan komisaris (β = 0,048 dan ρ-value = 0,017) menunjukkan bahwa board size berpengaruh positif signifikan terhadap tingkat operational risk disclosure6. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah komisaris, maka tingkat pengawasan dan tekanan terhadap manajemen semakin baik sehingga mendorong manajemen lebih transparan dalam mengungkapkan operational risk. Muntoro (2006: 6) menyatakan bahwa ukuran dewan komisaris dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut: 1. Ukuran dewan direksi. Jumlah anggota komisaris minimal sama dengan jumlah anggota direksi. Hal ini dikarenakan apabila jumlah anggota komisaris lebih kecil, maka dewan komisaris mungkin mendapat tekanan dari direksi sehingga dewan komisaris tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik. 2. Jenis Industri dan keahlian yang dibutuhkan. Ukuran dewan komisaris bergantung pada jenis industri karena menentukan jenis kompetensi yang harus dimiliki oleh perusahaan tersebut. 3. Risiko yang dihadapi perusahaan. Semakin besar ukuran dewan komisaris, maka semakin banyak yang memikirkan dan memantau berbagai risiko yang dihadapi perusahaan sehingga semakin besar kemampuan perusahaan untuk mengatasi ancaman risiko tersebut. 4. Komite audit. Setiap komite terdiri dari satu atau lebih anggota komisaris dan anggota lain yang bukan komisaris. Oleh karena itu, semakin banyak komite dalam struktur governance di suatu perusahaan, maka semakin banyak komisaris yang dibutuhkan. Dalton et al (1999) menyatakan bahwa peranan keahlian atau konseling yang diberikan oleh dewan komisaris merupakan jasa yang berkualitas bagi manajemen dan perusahaan yang tidak dapat diberikan oleh pasar. Jumlah komisaris yang besar menciptakan perpaduan keahlian dan pengalaman
6
Hasil regresi berganda didukung oleh uji beda t (t = 2,584 dan p-value = 0,013) menunjukkan bahwa tingkat operational risk disclosure berbeda secara signifikan antara jumlah dewan to user di bawah rerata (lihat lampiran VII). komisaris di atas rerata dengan jumlahcommit dewan komisaris
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
anggotanya sehingga dapat meningkatkan pengawasan dan pengendalian terhadap manajemen perusahaan. Hasil penelitian Collier dan Gregory (1999) menunjukkan semakin besar jumlah anggota dewan komisaris, maka semakin mudah untuk mengendalikan Chief Executif Officer (CEO) dan monitoring. Semakin besar ukuran dewan komisaris, kemampuannya untuk melindungi kepentingan stakeholders semakin baik. Apabila dikaitkan dengan pengungkapan, maka dewan komisaris dengan ukuran yang besar memiliki power yang lebih besar untuk menekan manajemen agar mengungkapkan informasi mengenai perusahaan, termasuk operational risk disclosure. Hal tersebut ditunjukkan oleh Bank Danamon dan Bank Permata yang memiliki jumlah komisaris tertinggi selama tahun 2008-2009, yaitu sebanyak delapan anggota memiliki tingkat operational risk disclosure 100,000%. Bank Permata berhasil menerapkan assessment center, yaitu metode mengindentifikasi dan merekrut pegawai berdasarkan kompetensi yang dimiliki untuk menduduki suatu jabatan tertentu (www.litbang-lan-bdg.info, 2010). Hal ini mencerminkan bahwa dewan komisaris yang dimiliki Bank Permata memiliki kompetensi yang memadai untuk menjalankan tugas-tugasnya sehingga tingkat operational risk disclosure mencapai 100,000%. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Abeysekera (2008) dan Akra, Eddie, dan Ali (2010). Komposisi komisaris independen (β = -0,260 dan ρ-value = 0,119) menunjukkan bahwa komposisi komisaris independen tidak berpengaruh terhadap
commit to user
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
operational risk disclosure7. Hal ini mengindikasikan bahwa komisaris belum memahami dan melaksanakan tugasnya selaku pihak independen dalam mengawasi, mengarahkan dan mengevaluasi pelaksanaan corporate governance dan kebijakan strategis bank sehingga peran komisaris independen pada perbankan di Indonesia belum berfungsi sebagaimana mestinya. Hal tersebut mendukung survei dari Asian Development Bank (2004) yang menemukan bahwa kuatnya kendali pendiri perusahaan dan kepemilikan saham mayoritas menjadikan dewan komisaris tidak independen dan fungsi pengawasan tidak efektif karena timbulnya masalah dalam koordinasi, komunikasi, dan pembuatan keputusan. Dengan timbulnya masalah tersebut dapat menyebabkan lemahnya kemampuan untuk mengawasi manajemen. Berdasarkan hal tersebut, tingginya
komposisi
komisaris
independen
tidak
menjamin
perbankan
meningkatkan operational risk disclosure. Koefisien negatif menunjukkan pengaruh negatif komposisi komisaris independen terhadap operational risk disclosure. Surya dan Yustiavanda (2006) menyatakan bahwa di Indonesia pemberian jabatan komisaris kepada seseorang bukan berdasarkan kompetensi dan profesionalisme, tapi sebagai penghargaan atau penghormatan. Suhardjanto (2008) menyatakan ”kelihatannya komisaris independen mempunyai fungsi ”pseudo” (semu)”. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa pemilihan komisaris di Indonesia kurang mempertimbangkan
7
Hasil regresi berganda didukung oleh uji beda t (t = -2,443 dan p-value = 0,019) menunjukkan bahwa tingkat operational risk disclosure berbeda secara signifikan antara komposisi komisaris independen di atas rerata dengan komposisi komisaris independen di bawah rerata (lihat lampiran VII).
commit to user
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
integritas serta kompetensi (Cety dan Suhardjanto, 2010). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Eng dan Mak (2003) dan Ho dan Wong (2001). Herwidayatmo (2000) menyampaikan bahwa dewan komisaris di Indonesia merupakan organ perusahaan yang berlaku pasif karena struktur kepemilikan perusahaan masih terkonsentrasi yaitu dikendalikan oleh satu keluarga atau kelompok. Jabatan komisaris diberikan kepada keluarga dan pejabat atau mantan pejabat pemerintah yang masih memiliki kekuasaan sebagai upaya untuk
meningkatkan
bargaining
power
di
kalangan
pemerintah
yang
mengakibatkan kualitas dewan komisaris ditinjau dari independensinya terhadap direksi patut dipertanyakan. Peran komisaris independen dalam melakukan tugasnya perlu ditingkatkan karena banyak problem yang terjadi di perbankan Indonesia, seperti kasus L/C fiktif pada Bank Negara Indonesia (BNI) Cabang Kebayoran Baru (2003) yang melibatkan jajaran direksi, yaitu kepala cabang dan kepala customer service luar negeri BNI Kebayoran Baru (www.filemediakasus-lc-bni.blogspot.com, 2004) dan kasus pembobolan kredit di Bank Rakyat Indonesia (www.detiknews.com, 2006). Komposisi komisaris wanita (β = -0,169 dan ρ-value = 0,237) menunjukkan
bahwa
komposisi
komisaris
wanita
tidak
mempengaruhi
operational risk disclosure8. Koefisien negatif menunjukkan pengaruh negatif komposisi komisaris wanita terhadap operational risk disclosure. Hal ini dikarenakan wanita biasanya mengambil keputusan yang berisiko lebih rendah 8
Hasil regresi berganda didukung oleh uji beda t (t = 0,160 dan p-value = 0,873) menunjukkan commit to secara user signifikan antara komposisi komisaris tingkat operational risk disclosure tidak berbeda wanita di atas rerata dengan komposisi komisaris wanita di bawah rerata (lihat lampiran VII).
64 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(Kusumastuti, Supatmi, dan Sastra, 2007) sehingga semakin tinggi komposisi komisaris wanita, maka informasi yang disampaikan kepada publik lebih sedikit untuk meminimalkan risiko akibat operational risk disclosure. Selain itu, adanya ruang gerak yang terbatas, perempuan yang aktif pada peran publik (berkarier di luar rumah tangga) mempunyai peran ganda yang diduga dapat mempengaruhi kinerja (Zulaikha, 2006).
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian
Nalikka (2009), yaitu komposisi komisaris wanita tidak mempengaruhi pengungkapan di annual report. Jumlah rapat dewan komisaris (β = -0,220 dan ρ-value = 0,128) menunjukkan bahwa jumlah rapat dewan komisaris tidak mempengaruhi operational risk disclosure dan koefisien negatif berarti adanya pengaruh negatif jumlah rapat dewan komisaris terhadap operational risk disclosure9. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah rapat dewan komisaris di Indonesia sekadar hanya untuk memenuhi ketentuan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor: 8/14/PBI/2006 yang mewajibkan perbankan menyelenggarakan rapat minimal 4 kali setahun belum mendorong terciptanya corporate governance. Menurut
Cety dan
Suhardjanto (2008), peraturan yang ada di Indonesia masih dijalankan sebagai formalitas dan demi menjaga image perusahaan. Kondisi ini terjadi pada Bank Negara Indonesia (BNI) tahun 2008, dimana dalam setahun frekuensi rapat dewan komisaris sebanyak 51 kali, tetapi hanya memiliki skor operational risk 9
Hasil regresi berganda didukung oleh uji beda t (t = -0,432 dan p-value = 0,668) menunjukkan tingkat operational risk disclosure tidak berbeda secara signifikan antara jumlah rapat dewan komisaris di atas rerata dengan jumlah rapat dewan komisaris di bawah rerata (lihat lampiran VII).
commit to user
65 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
disclosure sebesar 50,000%. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Cety dan Suhardjanto (2010). Dalam penelitian ini terdapat dua variabel kontrol, yaitu profitabilitas dan komposisi komite audit independen. Variabel kontrol yang pertama adalah profitabilitas yang diukur dengan ROA (β = 0,106 dan ρ-value = 0,470) mengindikasikan profitabilitas tidak berpengaruh terhadap operational risk disclosure10. Koefisien
positif memperlihatkan
adanya pengaruh positif
profitabilitas terhadap operational risk disclosure. Bank dengan tingkat laba yang tinggi tidak mempengaruhi tingkat operational risk disclosure walaupun pengungkapan penting bagi stakeholders untuk mengambil keputusan terutama terkait operational risk. Praktik corporate governance hanya merupakan suatu bentuk kepatuhan (conformance) terhadap peraturan atau ketentuan dan bukan sebagai suatu sistem yang diperlukan perusahaan untuk meningkatkan kinerja (Mintara, 2008). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa perbankan yang memiliki profitabilitas tinggi belum menggunakan sebagian profitnya untuk memperbaiki kualitas informasi karena perbankan harus mengeluarkan biaya tambahan untuk mengungkapkan informasi tersebut yang dapat mengurangi labanya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa profitabilitas yang tinggi dari suatu perusahan tidak menjamin bahwa tingkat operational risk disclosure perusahaan tersebut tinggi.
10
Hasil regresi berganda didukung oleh uji beda t (t = 1,986 dan p-value = 0,053) menunjukkan tingkat operational risk disclosure tidak berbeda secara signifikan antara profitabilitas di atas commit user VII). rerata dengan profitabilitas di bawah rerata (lihattolampiran
perpustakaan.uns.ac.id
66 digilib.uns.ac.id
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Cety dan Suhardjanto (2010) dan Brick dan Chidambaran (2007) dan tidak mendukung hasil penelitian Helbok dan Wagner (2006) yang menyatakan bahwa semakin kecil profitabilitas maka semakin tinggi tingkat operational risk disclosure. Komposisi komite audit independen (β = -0,018 dan ρ-value = 0,907) menunjukkan bahwa komposisi komite audit independen tidak mempengaruhi operational risk disclosure11. Koefisien negatif berarti bahwa komposisi komite audit independen berpengaruh negatif terhadap operational risk disclosure. Hasil penelitian ini bertentangan dengan teori yang ada karena seharusnya keberadaan komite audit mendukung prinsip responsibilitas dalam penerapan corporate governance, yang menekan perusahaan untuk memberikan informasi lebih baik terutama keterbukaan dan penyajian yang jujur dalam laporan keuangan. Hal tersebut dikarenakan pemilihan anggota komite audit independen masih belum jelas dan terbuka, sehingga independensinya masih diragukan (Mintara, 2008). Pemilihan komite audit di Indonesia mungkin kurang mempertimbangkan intergritas serta kompetensi seperti pemilihan komisaris independen. Faktor tersebut dapat menyebabkan kurangnya pemahaman komite audit independen terhadap tugasnya dalam mengawasi manajemen dan merendahkan kualitas
informasi perusahaan karena banyaknya kesempatan untuk memanipulasi dan mempermainkan data (Cety dan Suhardjanto, 2010). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Cety dan Suhardjanto (2010) dan Mintara (2008).
11
Hasil regresi berganda didukung oleh uji beda t (t = -0,612 dan p-value = 0,544) menunjukkan commit to user tingkat operational risk disclosure tidak berbeda secara signifikan komposisi komite audit independen di atas rerata dengan komposisi komite audit di bawah rerata (lihat lampiran VII).
67 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB V PENUTUP
Setelah dilakukan analisis hasil pembahasan pada bab IV, maka pada bab ini akan dibahas mengenai kesimpulan hasil penelitian, saran, keterbatasan dan rekomendasi untuk peneliti selanjutnya.
A. Kesimpulan Penelitian
ini
bertujuan
menguji
peran
board
of
directors
(direpresentasikan dengan ukuran dewan komisaris, komposisi komisaris independen, komposisi komisaris wanita, dan jumlah rapat dewan komisaris) dalam operational risk disclosure pada perbankan Indonesia dengan profitabilitas dan komposisi komite audit independen sebagai variabel kontrol. Dari hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Hasil dari pengujian hipotesis menunjukkan board of directors mempengaruhi tingkat operational risk disclosure. Variabel independen (board of directors) yang mempengaruhi tingkat operational risk disclosure adalah ukuran dewan komisaris (board size). Ukuran dewan komisaris yang besar memiliki power yang besar untuk menekan manajemen agar mengungkapkan informasi mengenai perusahaan, termasuk operational risk disclosure. Variabel lainnya, yaitu komposisi commit to user
68 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
komisaris independen, komposisi komisaris wanita, dan jumlah rapat dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap operational risk disclosure. 2. Hasil penelitian menunjukkan tingkat operational risk disclosure sebesar 76,270%. Rendahnya tingkat operational risk disclosure menunjukkan bahwa board of directors belum menjalankan fungsi governance dengan baik, yaitu menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan, dan mewajibkan terlaksananya akuntabilitas. Selain itu, Bank Indonesia selaku regulator belum membuat regulasi yang jelas, memadai dan spesifik mengenai item apa yang harus diungkapkan dalam annual report mengingat operational risk disclosure adalah pengungkapan wajib (mandatory disclosure) sesuai dengan PSAK No. 31 (revisi 2000), PBI Nomor: 5/8/PBI/2003, PSAK 50 (revisi 2006) dan P3LKEPPBANK (2008).
B. Saran Beberapa saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai berikut: 1. Dewan
komisaris
sebagai
komponen
penting
yang
mendukung
terlaksananya corporate governance harus meningkatkan perannya sehingga dapat meningkatkan operational risk disclosure. 2. Perlu adanya regulasi mengenai item operational risk disclosure pada perbankan Indonesia. Bank Indonesia sebagai regulator harus membuat regulasi mengenai item tersebut karena di Indonesia operational risk commit to user
69 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
disclosure merupakan salah satu pengungkapan wajib (mandatory) yang harus dilakukan oleh perusahaan. 3. Perlu diadakan sosialisasi mengenai Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/25/PBI/2009 dan Basel II mengenai pelaksanaan manajemen risiko dan pengungkapan informasi risiko kepada publik.
C. Keterbatasan Variabel independen board of directors yang digunakan dalam penelitian ini hanya terbatas pada ukuran dewan komisaris, komposisi komisaris independen, komposisi komisaris wanita, dan jumlah rapat dewan komisaris. Padahal, cakupan board of directors masih luas seperti usia anggota dewan komisaris, latar belakang pendidikan komisaris utama dan latar belakang etnik komisaris utama.
D. Rekomendasi Beberapa rekomendasi untuk penelitian selanjutnya sebagai berikut: 1. Peneliti selanjutnya bisa membandingkan tingkat operational risk disclosure periode sebelum adopsi Basel II dan setelah adopsi Basel II. 2. Selain itu, penelitian berikutnya juga bisa membandingkan tingkat operational risk disclosure antara perbankan yang listing dan nonlisting di BEI.
commit to user