Trikonomika
Volume 11, No. 1, Juni 2012, Hal. 1–14 ISSN 1411-514X
Peran Board of Directors dalam Operational Risk Disclosure: Studi Empiris Perbankan Indonesia Djoko Suhardjanto Fakultas Ekonomi, Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) Jl. Ir. Sutami 36-A Jebres, Surakarta Jawa Tengah 57126 E-Mail:
[email protected] Erna Rahmawati Fakultas Ekonomi, Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) Jl. Ir. Sutami 36-A Jebres, Surakarta Jawa Tengah 57126
ABSTRACT The purpose of this study is to examine the effect of board of directors to operational risk disclosure of Indonesian banks. Board of directors are identified as the board size, the composition of independent commissioners, the composition of woman commissioners, educational background of president directors, and the number of board meetings. This study also uses profitability and the composition of independent audit committee members as control variable. The level of operational risk disclosure is measured based on identified items of Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/21/ DPNP/2003. Under purposive sampling, secondary data of 46 annual reports year 2008-2009 of banks in Indonesian Stock Exchange are selected. The result of multiple regression shows that the size of board of directors affects the level of operational risk disclosure. Board of directors is the core of corporate governance, charged ensuring strategic guidance, monitoring management, and providing accountability. Other variables, the composition of independent commissioners, the composition of woman commissioners, educational background of president directors, and the number of board meetings are not good predictors for level of operational risk disclosures. Keywords: board of directors, operational risk disclosure, Indonesian banks.
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh dewan komisaris terhadap pengungkapan risiko operasional di perbankan Indonesia. Dewan komisaris diidentifikasikan oleh ukuran dewan komisaris, komposisi komisaris independen, komposisi komisaris wanita, latar belakang pendidikan komisaris utama, dan jumlah rapat dewan komisaris. Penelitian ini juga menggunakan profitabilitas dan komposisi anggota independen komite audit sebagai variabel kontrol. Tingkat pengungkapan risiko operasional diukur berdasarkan item yang diidentifikasikan dari Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/21/DPNP/2003. Dengan menggunakan metode purposive sampling, terkumpul sebanyak 46 laporan tahunan tahun 2008-2009 dari bank yang listing di Bursa Efek Indonesia. Hasil analisis regresi berganda menunjukkan bahwa ukuran dewan komisaris berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan risiko operasional. Dewan komisaris mempunyai peran sentral dalam corporate governance, menjamin strategi perusahaan, manajemen monitoring, dan penyediaan akuntabilitas. Variabel lain seperti komposisi komisaris independen, komposisi komisi wanita, latang belakang pendidikan, komposisi wanita dan jumlah rapat bukan merupakan prediktor yang baik untuk pengungkapan risiko operasional. Kata Kunci:����������������������������������������������������������������������� dewan komisaris, pengungkapan risiko operasional, perbankan Indonesia.
PENDAHULUAN
Penelitian
ini bertujuan untuk menguji peran board of directors (dewan komisaris) dalam operational risk disclosure pada perbankan Indonesia. Board of directors dalam penelitian ini direpresentasikan dengan ukuran dewan komisaris, komposisi komisaris independen, komposisi komisaris wanita, latar belakang pendidikan komisaris utama, dan jumlah rapat dewan komisaris. Menurut Napitupulu (2009) perbankan sebagai lembaga perantara keuangan merupakan salah satu media translasi dan transformasi risiko dari pemilik dana yang umumnya bersifat risk averse. Risiko merupakan suatu kejadian potensial, baik yang dapat diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak diperkirakan (unanticipated) yang berdampak negatif terhadap pendapatan dan permodalan bank (Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/21/DPNP, 2003). Perdebatan mengenai pentingnya pengungkapan risiko dimulai sejak tahun 1998 ketika Institute of Chartered Accountants in England and Wales (ICAEW) menerbitkan paper yang berjudul Financial Reporting of Risk-Proposals for A Statement of Business Risk (Amran, Bin, dan Hassan, 2009). Pengungkapan risiko semakin penting karena bermanfaat bagi investor, perusahaan, dan manajemen (Oorschot, 2009). Semakin berkembangnya produk yang ada di dunia perbankan dekade terakhir ini mendorong Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) mengeluarkan konsep permodalan yang lebih sensitif terhadap risiko (risk sensitive) dan dikenal dengan Basel II (Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, 2006). Kasus penyimpangan dan kejahatan perbankan mulai mengancam perekonomian Indonesia (www. bataviase.co.id, 2010). Kasus bank bermasalah karena praktek perbankan yang tidak sehat telah banyak terjadi. Maraknya kasus tersebut disebabkan oleh lemahnya pengelolaan manajemen perbankan sebagai lembaga kepercayaan, kurangnya transparansi dan pemahaman nasabah terhadap laporan keuangan bank bersangkutan, serta kelemahan infrastruktur pengawasan bank (www.denpasar.tv, 2004). Kasus Bank Global tahun 2004 mencerminkan lemahnya transparansi perbankan, karena Bank Global menyembunyikan informasi yang material bagi
Trikonomika
Vol. 11, No. 1, Juni 2012
stakeholders, yaitu informasi penurunan CAR dari 44,84% per September 2004 menjadi minus 39% dalam tempo dua bulan (www.denpasar.tv, 2004). Kasus kredit macet Bank Mandiri tahun 2005 yang melibatkan jajaran direksi menunjukkan bahwa tugas dan tanggung jawab dewan komisaris selaku pengawas pelaksanaan fungsi governance pada perbankan belum dilaksanakan dengan baik (www. tempointeraktif.com, 2009). Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 31 tentang perbankan revisi tahun 2000, PBI Nomor: 5/8/PBI/2003, dan Surat Edaran Ketua Bapepam (P3LKEPPBANK, 2008) menyatakan bahwa bank wajib mengungkapkan informasi mengenai risiko umum yang dihadapi. Oleh karena itu, pengungkapan risiko di perbankan Indonesia merupakan pe ngungkapan wajib. Penelitian mengenai pengungkapan risiko dilakukan oleh Helbok dan Wagner (2006) pada industri perbankan di Amerika Utara, Asia, dan Eropa. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa lembaga keuangan dengan profitabilitas yang lebih rendah mengungkapkan penilaian dan pengelolaan risiko operasional lebih luas. Chen dan Jaggi (2000) dan Hossain (2008) melakukan penelitian mengenai pengaruh proporsi komisaris independen terhadap tingkat pengungkapan informasi pada laporan tahunan bank dan hasilnya menunjukkan bahwa komposisi komisaris independen berpengaruh positif signifikan terhadap tingkat pengungkapan informasi. Penelitian tentang keterkaitan dewan komisaris dengan tingkat pengungkapan risiko operasional belum pernah dilakukan di Indonesia. Fokus penelitian ini dilakukan pada perbankan karena perbankan merupakan lembaga keuangan yang bersifat risk taking entities (Oorschot, 2009). Kegiatan usaha bank selalu dihadapkan dengan pengambilan risiko yang besar, seperti dalam aktivitas pendanaan, perkreditan, dan treasuri. Faktor lain yang menunjukkan pentingnya penelitian pada perbankan adalah lemahnya transparansi di perbankan Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Peran Boards of Directors dalam Pengungkapan Risiko Operasional: Studi Empiris Perbankan Indonesia”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), pengaruh merupakan
Djoko Suhardjanto Erna Rahmawati
daya yang timbul dari seseorang, sedangkan peran merupakan sesuatu yang diharapkan dimiliki seseorang. Oleh karena itu, dalam penelitian ini definisi peran direpresentasikan dengan pengaruh. Motivasi penelitian ini adalah: (a) penelitian ini penting dilakukan di Indonesia karena informasi mengenai risiko operasional diperlukan para stakeholders untuk mengetahui bagaimana risiko operasional dikelola sehingga dapat membantu mereka dalam mengambil keputusan. Penelitian tentang pengungkapan risiko operasional pada perbankan belum pernah dilakukan di Indonesia. Penelitian serupa dilakukan di luar negeri antara lain oleh Linsey dan Shrives (2005), Helbok dan Wagner (2006), dan Sundmacher dan Ford (2007). (b) mengetahui bagaimana peran dewan komisaris yang bertanggung jawab mengawasi pengungkapan risiko operasional di perbankan Indonesia. Operational Risk Disclosure Operational Risk menurut Basel Committee on Banking Supervision (BCBS, 2003a: 120) adalah “The risk of loss resulting from inadequate or failed internal processes, people, and system, or from external event”. Menurut Surat Edaran Bank Indonesia No.5/21/DPNP/2003, risiko operasional adalah risiko yang disebabkan ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasional bank. Pengungkapan risiko, termasuk risiko operasional di perbankan diatur dalam Pedoman Corporate Governance Perbankan (KNKG, 2004) dan Surat Edaran Ketua Bapepam dengan Nomor: SE-02/BL/2008 tentang Pedoman Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten atau Perusahaan Publik Industri Perbankan yang menyatakan bahwa bank harus mengungkapkan uraian setiap jenis risiko mengenai kebijakan, faktorfaktor yang mempengaruhi, dan strategi manajemen dalam menanggulangi risiko. Namun, kedua peraturan tersebut tidak menjelaskan mengenai item pengungkapan risiko operasional. Bapepam dan Ikatan Akuntan Indonesia juga belum menyediakan kerangka kerja konseptual pengungkapan risiko. Padahal, regulasi memberikan pengaruh terhadap kepatuhan pengungkapan wajib (Akra, Eddie, dan Ali, 2010).
Kasus yang menunjukkan kurangnya transparansi yang dilakukan pihak manajemen bank kepada para stakeholder-nya yaitu kasus Bank Lippo tahun 2002 mengenai laporan keuangan ganda dan dugaan manipulasi perdagangan saham (www.tempointeraktif. com, 2003). Selain itu, adanya kasus pembobolan ATM yang terkesan di tutup-tutupi oleh perbankan karena kasus tersebut muncul setelah korban melapor ke polisi (www.arsipberita.com, 2010). Pengungkapan risiko, termasuk risiko operasional, semakin penting dengan adanya kerangka permodalan baru (Basel II) khususnya untuk memenuhi aspek market discipline yang berkaitan dengan transparansi dan pengungkapan risiko suatu entitas bisnis dan memiliki potensi untuk memperkuat pengawasan, meningkatkan keselamatan dan kesehatan bank serta sistem keuangan (BCBS, 2001). Basel II Kebutuhan harmonisasi regulasi secara internasional untuk dijadikan acuan bagi regulator setiap negara menjadi dasar munculnya kesepakatan Basel (Basel Accord) (Idroes dan Sugiarto, 2006). Basel II diadopsi oleh Bank Indonesia mulai tahun 2008 (Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, 2006). Berdasarkan informasi Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan (2006:15), risiko operasional menurut Basel II terdiri dari tiga pilar, antara lain: (1) pilar 1 yang terkait dengan persyaratan modal minimum yang harus disediakan oleh masing-masing bank untuk menutup eksposur kredit, pasar, dan operasional, (2) pilar 2 khusus terkait dengan proses review dalam rangka pengawasan yang bertujuan untuk memastikan bahwa tingkat permodalan bank mencukupi untuk menutup risiko bank secara keseluruhan, dan (3) pilar 3 terkait dengan disiplin pasar dan rincian mengenai batas minimum untuk pengungkapan kepada publik. Dewan Komisaris (Board of Directors) Dewan komisaris adalah bagian perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi (UndangUndang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas). Menurut Egon Zehnder (FCGI, 2001), dewan komisaris merupakan
Peran Board of Directors dalam Operational Risk Disclosure: Studi Empiris Perbankan Indonesia
inti dari corporate governance yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan, dan mewajibkan terlaksananya akuntabilitas. Hal tersebut didukung oleh Ho dan Wong (2001) yang menyatakan bahwa corporate governance adalah cara yang efektif untuk menggambarkan hak dan tanggung jawab stakeholder dalam sebuah perusahaan di mana transparansi merupakan indikator utama standar corporate governance. Coller dan Gregory (1999) menyatakan bahwa semakin besar jumlah anggota dewan komisaris, maka semakin mudah untuk mengendalikan CEO dan memonitor kegiatan manajemen. Ukuran dewan komisaris mempengaruhi aktivitas pengendalian dan pengawasan (Andres, Azofra, dan Lopez, 2005) termasuk pengawasan terhadap pengungkapan risiko operasional. Variabel lain yang digunakan dalam penelitian ini yaitu komposisi komisaris independen. Menurut PBI Nomor: 8/4/PBI/2006, pasal 5, adanya komisaris independen bertujuan untuk mendorong terciptanya iklim dan lingkungan kerja yang lebih obyektif dan menempatkan kewajaran dan kesetaraan di antara berbagai kepentingan stakeholders. Komposisi komisaris independen berpengaruh positif signifikan terhadap tingkat pengungkapan informasi (Hossain, 2008). Adams dan Ferreira (2004) menyatakan bahwa anggota dewan komisaris yang terdiri dari komisaris laki-laki dan wanita lebih efektif dalam melakukan pengawasan. Lepine (2002) menyatakan apabila semua anggota tim adalah laki-laki, maka tim tersebut memiliki komposisi yang buruk karena apabila persentase laki-laki dalam sebuah tim meningkat, semakin meningkatkan kecenderungan untuk membuat keputusan yang agresif (Murphy dan Mclntyre, 2007). Dengan demikian, wanita memiliki peranan penting dalam pengambilan keputusan yang tepat karena wanita cenderung lebih hati-hati dalam mengambil keputusan termasuk keputusan yang berkaitan dengan pengungkapan risiko operasional. Menurut Kusumastuti, Supatmi, dan Satra (2007), sebaiknya anggota dewan memiliki latar belakang pendidikan bisnis dan ekonomi meskipun bukan suatu keharusan bagi seseorang yang beraktivitas di dunia bisnis untuk berpendidikan bisnis dan ekonomi. Suhardjanto dan Afni (2009) menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan
Trikonomika
Vol. 11, No. 1, Juni 2012
komisaris utama merupakan faktor yang menentukan pengungkapan social disclosure pada annual report perusahaan. Menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor: 8/14/PBI/2006 dewan komisaris wajib menyelenggarakan rapat secara berkala sekurangkurangnya empat kali dalam setahun. Kinerja dan tugas dewan komisaris dalam mengawasi manajemen efektif apabila setiap anggota dewan secara aktif hadir dalam pertemuan dewan komisaris baik secara fisik maupun teknologi konferensi (PBI Nomor: 8/14/PBI/2006). Dengan demikian, semakin sering diadakannya rapat diharapkan dapat meningkatkan pengungkapan risiko operasional. Pengembangan Hipotesis Pengaruh Ukuran Dewan Komisaris (Board Size) terhadap Tingkat Pengungkapan Risiko Operasional Dewan komisaris bertugas untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, akuntabilitas, dan mengawasi manajemen (FCGI, 2001). Jumlah dewan komisaris mempengaruhi aktivitas pengendalian dan pengawasan (Andres, Azofra, dan Lopez, 2005). Ukuran dewan komisaris berpengaruh positif terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial (Sitepu, 2009) dan pengungkapan wajib (Akra, Eddie, dan Ali, 2010). Semakin besar jumlah dewan komisaris diharapkan dapat meningkatkan pengungkapan risiko operasional. Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis yang dikembangkan adalah ukuran dewan komisaris berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan risiko operasional. Pengaruh Komposisi Komisaris Independen terhadap Tingkat Pengungkapan Risiko Operasional Komisaris independen bertanggung jawab pada penerapan prinsip tata kelola perusahaan (KNKG, 2004). Menurut Ajinkya, Bhojraj, dan Sengupta (2005), semakin banyak komisaris independen yang dimiliki perusahaan, maka semakin banyak menyediakan informasi pada laporan tahunan. Abraham dan Cox (2007) menemukan bahwa komisaris independen berpengaruh positif terhadap pengungkapan risiko, termasuk risiko operasional. Berdasarkan uraian tersebut hipotesis yang dikembangkan adalah komposisi komisaris independen berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan risiko operasional.
Djoko Suhardjanto Erna Rahmawati
Pengaruh Komposisi Komisaris Wanita terhadap Tingkat Pengungkapan Risiko Operasional Penelitian Pudjiastuti dan Mardiyah (2006) menunjukkan adanya wanita dalam dewan komisaris menjadi drive teamwork. Carter (2003) menemukan bahwa jumlah komisaris wanita mempengaruhi nilai perusahaan. Bonna, Yoshikawab, dan Phan (2004) menemukan bukti bahwa komposisi komisaris wanita berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan, termasuk pengungkapan. Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis yang dikembangkan adalah komposisi komisaris wanita berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan risiko operasional. Pengaruh Latar Belakang Pendidikan Komisaris Utama terhadap Tingkat Pengungkapan Risiko Operasional Latar belakang pendidikan komisaris utama mempengaruhi keputusan dan masukan yang diberikan kepada dewan direksi (Suhardjanto dan Afni, 2009). Kusumastuti, Supatmi, dan Sastra (2007) menyatakan bahwa anggota dewan yang memiliki latar pendidikan ekonomi dan bisnis memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengambil keputusan bisnis. Suhardjanto dan Afni (2009) menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan komisaris utama merupakan faktor yang menentukan social disclosure pada annual report perusahaan. Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis yang dikembangkan adalah latar belakang pendidikan komisaris utama berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan risiko operasional. Pengaruh Jumlah Rapat Dewan Komisaris terhadap Tingkat Pengungkapan Risiko Operasional Menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor: 8/14/PBI/2006 dewan komisaris wajib menyelenggarakan rapat secara berkala sekurangkurangnya empat kali dalam setahun. Penelitian yang dilakukan oleh Vafeas (2003) dan Brick dan Chidambaran (2007) menunjukkan bahwa semakin banyak frekuensi rapat yang diselenggarakan dewan komisaris maka semakin meningkatkan kinerja perusahaan. Dari uraian tersebut, maka hipotesis yang dikembangkan adalah jumlah rapat dewan komisaris berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan risiko operasional.
Berikut ini adalah gambar yang menjelaskan hubungan antar masing-masing variabel: Variabel Kontrol Variabel Independen
Variabel Dependen H1 +
1. Ukuran Dewan Komisaris (X1)
2. Komposisi Komisaris Independen (X2) 3. Komposisi Komisaris Wanita (X3)
4. Latar Belakang Komisaris Utama (X4) 5. Jumlah Rapat Dewan Komisaris (X5)
H2 + H3 +
Operational Risk Disclosure (Y)
H4 H5 +
1. Profitabilitas 2. Kompoisisi Komite Audit Independen
Gambar 1. Skema konsep penelitian
Selain menguji pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen, penelitian ini juga menguji profitabilitas dan komposisi komite audit independen sebagai variabel kontrol.
METODE Penelitian ini adalah penelitian pengujian hipotesis (hypothesis testing). Menurut Sekaran (2006), pengujian hipotesis harus dapat menjelaskan sifat dari hubungan tertentu, memahami perbedaan antar kelompok atau independensi dua variabel atau lebih. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah semua perbankan yang listing (terdaftar) di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2008–2009. Jumlah populasi
Peran Board of Directors dalam Operational Risk Disclosure: Studi Empiris Perbankan Indonesia
5
tahun 2008 adalah 28 perbankan dan tahun 2009 sebanyak 29 perbankan. Teknik �������������������������� pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling. Perbankan yang menjadi sampel adalah perbankan yang selama tahun 2008 dan 2009 tidak mengalami delisting dan menerbitkan annual report selama dua tahun berturut-turut. Pemilihan tahun tersebut dikarenakan BI mengadopsi Basel II mulai tahun 2008 di mana kebijakan, prosedur dan proses manajemen risiko dikembangkan sesuai Basel II. Kriteria sampel yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu perusahaan perbankan yang listing di BEI dan menerbitkan annual report selama tahun 2008–2009. Berdasarkan kriteria tersebut, jumlah sampel yang digunakan adalah 46 annual report perbankan. Data dan Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan data sekunder yang diambil dari laporan tahunan perbankan yang listing di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2008-2009. Data sekunder yang dikumpulkan diperoleh dari situs www.idx.co.id dan dari situs masing-masing perusahaan sampel. Definisi Operasional dan Pengukurannya Variabel Independen 1. Ukuran Dewan Komisaris Ukuran dewan komisaris direpresentasikan dengan jumlah keseluruhan anggota dewan komisaris yang dimiliki perusahaan baik yang berasal dari dalam maupun luar perusahaan (independen) sesuai dengan penelitian Dalton et al. (1999), Nasution dan Setiawan (2007) dan Abeysekera (2008). 2. Komposisi Komisaris Independen Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan (Herwidayatmo, 2000). Komposisi �������������������� komisaris independen diukur dengan persentase anggota dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan dari seluruh anggota dewan komisaris perusahaan.
Trikonomika
Vol. 11, No. 1, Juni 2012
Indikator yang digunakan sesuai dengan penelitian Suhardjanto dan Afni (2009) dan Suhardjanto dan Miranti (2009). 3. Komposisi Komisaris Wanita Indikator yang digunakan adalah persentase komisaris wanita dari seluruh anggota dewan komisaris perusahaan sesuai dengan penelitian Peterson dan Philpot (2009) dan Marinova, Plantenga, dan Remery (2010). 4. Latar Belakang Pendidikan Komisaris Utama Penelitian Suhardjanto dan Miranti (2009) dan Haniffa dan Cooke (2005) komisaris utama yang memiliki latar belakang pendidikan ekonomi atau bisnis diberi kode 1, dan selain itu diberi kode 0. Penelitian ini menggunakan kode 1 untuk komisaris utama yang memiliki latar belakang pendidikan non ekonomi atau bisnis dan kode 0 untuk komisaris utama yang memiliki latar belakang pendidikan ekonomi atau bisnis. 5. Jumlah Rapat Dewan Komisaris Jumlah rapat dewan komisaris merupakan rapat yang dilakukan oleh dewan komisaris dalam suatu perusahaan selama satu tahun�������������������� . Menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor: 8/14/PBI/2006, dewan komisaris wajib menyelenggarakan rapat secara berkala sekurang-kurangnya empat kali dalam setahun. Ukuran yang digunakan adalah jumlah rapat yang dilakukan oleh dewan komisaris dalam waktu satu tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian Vafeas (2003), Brick dan Chidambaran (2007), dan Cety dan Suhardjanto (2010). Variabel Dependen Variabel dependen dalam penelitian ini adalah operational risk disclosure (pengungkapan risiko operasional). Penelitian ini mengacu pada Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/21/DPNP/2003 karena surat edaran tersebut menjadi landasan bagi perbankan sampai sekarang. Pengungkapan risiko operasional terbagi menjadi dua bagian, yaitu pengungkapan atas definisi yang terdiri dari 5 item dan pengungkapan atas manajemen risiko operasional yang terdiri dari 7 item sehingga total item pengungkapan risiko operasional adalah 12 item. Sesuai dengan penelitian Oorschot (2009) dan Helbok
Djoko Suhardjanto Erna Rahmawati
dan Wagner (2006), penelitian ini menggunakan teknik pengukuran scoring yaitu jika item tidak diungkapkan dalam laporan diberi nilai 0 dan 1 jika diungkapkan dalam laporan. Persamaan yang digunakan untuk menghitung tingkat kuantitas operational risk disclosure dalam penelitian ini: ORDBY =
1 MAX BY
ORD = β0+ β1JKOM + β2KOM_KOMIND +
å SCORE i -1
iBY
β3KOM_KOMWAN + β4LBPKomUt +
di mana: ORDBY : Skor pengungkapan bank B pada tahun Y MAXBY : Nilai maksimum yang mungkin dicapai bank B pada tahun Y i : Item dalam framework SCOREBY : Skor untuk item I, bank B pada tahun Y Proses pemberian skor dalam penelitian me libatkan dua peneliti lain sehingga ketelitian data terjamin. Variabel Kontrol 1. Profitabilitas Pengukuran profitabilitas dalam penelitian ini sesuai dengan penelitian Helbok dan Wagner (2006) dan Suhardjanto dan Choiriyah (2010), yaitu profitabilitas dihitung dengan ROA (Return On Assets): ROA =
dilakukan uji asumsi klasik untuk memastikan bahwa data penelitian valid, tidak bias, konsisten, dan penaksiran koefisien regresinya efisien (Gujarati, 2003). Uji asumsi klasik meliputi uji normalitas, uji m�������������������������������������������� ultikolinieritas, uji autokorelasi, dan uji heteroskedastisitas. Persamaan regresi berganda untuk pengujian hipotesis dalam penelitian ini adalah:
Laba Bersih Total Aset
β5 RPTDekom + β6PROF + β7KOM_KAIND + e di mana: ORD : Operational Risk Disclosure J.KOM : Ukuran Dewan Komisaris KOM_KOMIND : Komposisi Komisaris Independen KOM_KOMWAN : Komposisi Komisaris Wanita LBPKomUt : Latar Belakang Pendidikan Komisaris Utama RPTDekom : Jumlah Rapat Dewan Komisaris PROF : Profitabilitas KOM_KAIND : Koefisien Regresi β : Koefisien Regresi e : Error
HASIL Analisis Deskriptif Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perbankan yang listing di Bursa Efek Indonesia selama tahun 2008–2009 dengan rincian sebagai berikut: Tabel 1. Jumlah Populasi dan Sampel Penelitian
2. Komposisi Anggota Komite Audit Independen Indikator yang digunakan adalah persentase anggota komite audit yang berasal dari luar perusahaan dari seluruh ukuran komite audit perusahaan (Cety dan Suhardjanto, 2010). Komposisi Komite Audit Independen =
å Komite Audit Independen å Komite Audit
Tahun Populasi
Sampel Awal
Sampel Digunakan
2008
28
27
23
2009
29
27
23
Total
57
54
46
´100%
Metode Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan statistik deskriptif dan pengujian hipotesis. Sebagai persyaratan pengujian regresi berganda
Berdasarkan teknik pengambilan sampel tersebut, maka jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 46 perbankan. Hal tersebut dikarenakan dari 57 populasi, sejumlah 54 perusahaan tidak mengalami delisting selama periode 2008-2009, tapi hanya 46 perusahaan yang
Peran Board Of Directors dalam Operational Risk Disclosure: Studi Empiris Perbankan Indonesia
menyediakan data dan informasi secara lengkap Perbankan yang dieliminasi sebagai sampel adalah Bank Capital Indonesia, Bank Eksekutif Internasional, Bank Nusantara Parahyangan, dan Bank Windu. Tabel 2. Statistik Deskriptif Operational Risk Dsiclosure Variabel
Mean
Min
Max
St. Deviasi
ORD (%)
76,27
8,00
100,00
0,25
Berdasarkan Tabel 2. statistik deskriptif rerata pengungkapan risiko operasional pada annual report sebesar 76,27%. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengungkapan risiko operasional pada annual report masih rendah karena belum mencapai 100,00%, mengingat pengungkapan risiko operasional merupakan pengungkapan wajib. Peringkat skor pengungkapan masing-masing item sebagai berikut: (1) kebijakan, prosedur, dan penetapan limit 95,65%, (2) pengendalian risiko operasional 93,48%, (3) sistem informasi manajemen 89,13%, (4) identifikasi risiko operasional 86,96%, (5) pengukuran risiko operasional 82,61%, (6) pemantauan risiko operasional 73,91%, (7) peringkat ini dimiliki oleh aspek definisi, yaitu proses internal, kesalahan manusia, kesalahan sistem, dan problem eksternal masing-masing sebesar 67,39%, (8) ketidakcukupan/ kerugian 63,04%, dan (9) pengawasan aktif dewan direksi dan komisaris 60,87%. Rendahnya tingkat operational risk disclosure, menyebabkan terjadinya asimetri informasi yang merugikan stakeholder, terutama investor, nasabah dan pemerintah. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab maraknya kasus kejahatan bank yang terjadi di Indonesia. Salah satu kasus perbankan di Indonesia adalah kasus Bank Suma tahun 1992 mengenai laporan palsu karena tidak melaporkan kerugian dan pemberian kredit pada grupnya (www.tempointeraktif.com, 1992). Kasus tersebut menunjukkan pentingnya pengungkapan informasi agar stakeholders dapat mengambil keputusan yang tepat sehingga kemungkinan kerugian yang diterjadi semakin kecil. Perbankan Indonesia mulai menata kembali struktur perbankan di Indonesia, salah satunya dengan dikeluarkannya Peraturan ���������������������� Bank Indonesia Nomor: 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko
Trikonomika
Vol. 11, No. 1, Juni 2012
Bagi Bank Umum.������������� Selain ������������ itu, Basel Committee mengeluarkan Prinsip Dasar Basel (Basel Core Principles/BCP) untuk memperbaiki kekuatan sistem keuangan. Salah satu aturan penting dari Prinsip Dasar Basel adalah untuk melindungi bank agar tidak disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab serta mewajibkan pengawas perbankan untuk dapat menentukan apakah suatu bank telah memiliki kebijakan, praktek, dan prosedur perbankan yang standar dan layak, termasuk juga dengan aturan Prinsip Mengenal Nasabah (PMN) yang mendukung kerja sama internasional dalam memberantas kejahatan pencucian uang (www.nustaffsite.gunadarma.ac.id, 2007). Statistik deskriptif dari variabel independen penelitian dijelaskan pada Tabel 3. Rerata jumlah anggota dewan komisaris adalah 5 orang; rerata komposisi komisaris independen sebesar 58,74%; rerata komposisi komisaris wanita 8,48%, rerata frekuensi rapat dewan komisaris 15, rerata profitabilitas 1,11%, dan rerata komposisi komite audit independen sebesar 57,22%. Tabel 3. Statistik Deskriptif Variabel Independen Mean
Min
Max
St. Deviasi
J.Kom
5,07
2,00
8,00
1,82
Kom_KomInd (%)
58,74
33,00 100,00
0,11
Kom_Komwan (%)
8,48
0,00
67,00
0,16
Rpt_Dekom (kali/tahun)
15,00
3,00
51,00
13,88
Profitabilitas (%)
1,11
–0,07
2,77
0,76
Kom_KAInd (%)
57,22
25,00
75,00
0,12
Variabel
Pengujian Hipotesis dan Pembahasan Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis regresi berganda dengan metode backward. Metode backward adalah metode yang dimulai dengan semua variabel membentuk fungsi diskriminan, selanjutnya setiap langkah satu variabel dikeluarkan dari fungsi determinan, yaitu variabel yang memiliki jumlah penurunan terkecil dalam discriminating power dan prosedur ini terus diulang sampai tidak ada variabel yang dikeluarkan dari fungsi diskriminan (Ghozali, 2006).��������������� Hasil �������������� regresi
Djoko Suhardjanto Erna Rahmawati
berganda setelah pengujian asumsi klasik dapat asumsi klasik dapat dilihat sebagai berikut. Analisis Regresi Berganda Tabel 4. Hasil Regresi Berganda Variabel
Koefisien
t
P-value
(Constant)
0,520
5,002
0,000
J.Kom
0,048
2,477
0,017*
Kom_KomInd
–0,260
–1,589
0,119
Kom_Komwan
–0,169
–1,199
0,237
LBP.KomUt
0,110
0,774
0,443
Rpt_Dekom
–0,220
–1,554
0,128
Profitabilitas
0,106
0,729
0,470
Kom_KAInd
–0,071
–0,413
0,682
R-Square
0,122
Adjusted R-Square
0,102
F
6,134
Sig
0,017
*Secara statistik signifikan pada tingkat 5%
Tabel 4. menunjukkan bahwa nilai R Square (R2) sebesar 12,20% dan Adjusted R Square (Adjusted R2) sebesar 10,20%. Berdasarkan nilai Adjusted (R2) tersebut, dapat diartikan bahwa sebanyak 10,20% operational risk disclosure dapat dijelaskan oleh variabel independen dan variabel kontrol dan sisanya sebanyak 89,80% dijelaskan oleh faktor lain di luar model. Tabel 4. menunjukkan nilai F hitung sebesar 6,134 dengan probabilitas 0,017 (p-value < 0,050). Karena nilai F lebih besar dari 4,000 dan probabilitas lebih kecil dari 0,050, maka model regresi ini menunjukkan model yang baik (good overall model fit) sehingga model regresi dapat digunakan untuk memprediksi operational risk disclosure dan dapat menunjukkan bahwa variabel-variabel independen dan kontrol secara bersama-sama berpengaruh terhadap operational risk disclosure (Ghozali, 2006).
PEMBAHASAN Variabel yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengungkapan risiko operasional hanya ada satu (1), yaitu ukuran dewan komisaris, sedangkan untuk variabel komposisi komisaris independen, komposisi komisaris wanita, latar belakang pendidikan komisaris utama, dan jumlah rapat dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap pengungkapan risiko operasional. Ukuran dewan komisaris �(β = 0,048 dan ρ-value = 0,017) menunjukkan bahwa board size berpengaruh positif signifikan terhadap tingkat operational risk disclosure. Hasil ������������������������������������ ini menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah komisaris, maka tingkat pengawasan dan tekanan terhadap manajemen semakin baik sehingga mendorong manajemen lebih transparan dalam mengungkapkan risiko operasional. Dalton et al. (1999) menyatakan bahwa peranan keahlian atau konseling yang diberikan oleh dewan komisaris merupakan jasa yang berkualitas bagi manajemen dan perusahaan yang tidak dapat diberikan oleh pasar. Jumlah komisaris yang besar menciptakan perpaduan keahlian dan pengalaman anggotanya sehingga dapat meningkatkan pengawasan dan pengendalian terhadap manajemen. Hasil penelitian Coller dan Gregory (1999) menunjukkan semakin besar jumlah anggota dewan komisaris, maka pengendalian terhadap Chief Executif Officer (CEO) dan monitoring yang dilakukan semakin efektif. Semakin besar ukuran dewan komisaris, kemampuannya untuk melindungi kepentingan stakeholders semakin baik. Apabila dikaitkan dengan pengungkapan, maka dewan komisaris dengan ukuran yang besar memiliki power yang lebih besar untuk menekan manajemen agar mengungkapkan informasi lebih banyak mengenai perusahaan, termasuk operational risk disclosure. Koefisien positif yang dimiliki board size menunjukkan pengaruh positif board size terhadap tingkat� operational risk disclosure. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian, Sembiring (2005), Abeysekera (2008)����������������������������������� , dan Akra, ����������������������������� Eddie, dan Ali (2010). Komposisi komisaris independen (β = –0,260 dan ρ-value = 0,119) menunjukkan bahwa komposisi komisaris independen tidak berpengaruh terhadap operational risk disclosure. Hal ������������������������ ini mengindikasikan
Peran Board of Directors dalam Operational Risk Disclosure: Studi Empiris Perbankan Indonesia
bahwa komisaris belum ���������������������������������� memahami dan melaksanakan tugasnya selaku pihak independen dalam mengawasi, mengarahkan dan mengevaluasi pelaksanaan corporate governance dan kebijakan strategis bank sehingga peran komisaris independen pada perbankan di Indonesia belum berfungsi sebagaimana mestinya��. Survei dari Asian Development Bank (2004) me nemukan bahwa kuatnya kendali pendiri perusahaan dan kepemilikan saham mayoritas menjadikan dewan komisaris tidak independen dan fungsi pengawasan tidak efektif karena timbulnya masalah dalam koordinasi, komunikasi, dan pembuatan keputusan. Dengan timbulnya masalah tersebut dapat menyebabkan lemahnya kemampuan untuk mengawasi manajemen. �������������������������� Berdasarkan hal tersebut, tingginya komposisi komisaris independen tidak menjamin perbankan meningkatkan pengungkapan risiko operasionalnya. Koefisien negatif menunjukkan ��������������������� pengaruh negatif komposisi komisaris independen terhadap pengungkapan risiko operasional. ���������� Surya dan Yustiavanda (2006) menyatakan bahwa di Indonesia pemberian jabatan komisaris kepada seseorang bukan berdasarkan kompetensi dan profesionalisme, tapi sebagai penghargaan atau penghormatan. Suhardjanto (2008) menyatakan, kelihatannya komisaris independen mempunyai fungsi pseudo (semu). Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa pemilihan komisaris di Indonesia kurang mempertimbangkan integritas serta kompetensi (Cety dan Suhardjanto, 2010). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Eng dan Mak (2003) dan Ho dan Wong (2001). Komposisi komisaris wanita �(β= –0,169 dan ρ-value = 0,237) menunjukkan ���������������������������� bahwa komposisi komisaris wanita tidak mempengaruhi pengungkapan risiko operasional�������������������������������� . ������������������������������ Koefisien negatif menunjukkan pengaruh negatif komposisi komisaris wanita terhadap pengungkapan risiko operasional. Hal ini dikarenakan wanita biasanya mengambil keputusan yang berisiko lebih rendah (Kusumastuti, Supatmi, dan Sastra, 2007) sehingga semakin tinggi komposisi komisaris wanita maka informasi yang disampaikan kepada publik lebih sedikit untuk meminimalkan risiko akibat pengungkapan risiko operasional. Selain itu, a�������������������������������������� danya ruang gerak yang terbatas, maka perempuan yang aktif pada peran publik (berkarier di luar rumah tangga) akan mempunyai peran ganda dan
10
Trikonomika
Vol. 11, No. 1, Juni 2012
peran tersebut diduga dapat mempengaruhi kinerja (Zulaikha, 2006). Hasil ����������������������������������� penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Nalikka (2009), yaitu komposisi komisaris wanita tidak mempengaruhi pengungkapan informasi di annual report. Latar belakang pendidikan komisaris utama (β = 0,110 dan ρ-value = 0,443) menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan komisaris utama tidak mempengaruhi pengungkapan risiko. Hal tersebut mengindikasikan bahwa latar belakang pendidikan komisaris utama tidak menentukan keputusan per bankan dalam mengungkapkan informasi mengenai risiko operasional. Selain itu, kemampuan atau keahlian seseorang tidak hanya berdasarkan latar belakang pendidikan, tapi juga pengalaman����������� , variabel latar belakang pendidikan komisaris utama harus diintepretasikan secara hati-hati, karena merupakan variabel dummy. Hal tersebut dikarenakan arah positif atau negatif bergantung pada pemberian kode�������� . Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian ������������ Suhardjanto dan Afni (2009) dan Suhardjanto dan Miranti (2009). Jumlah rapat dewan komisaris �(β = –0,220 dan ρ-value = 0,128) menunjukkan bahwa jumlah rapat dewan komisaris tidak mempengaruhi pengungkapan risiko operasional dan koefisien negatif berarti adanya pengaruh negatif jumlah rapat dewan komisaris terhadap pengungkapan risiko operasional. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah rapat dewan komisaris di Indonesia sekadar hanya untuk me menuhi ketentuan dari ������������������������� Peraturan Bank Indonesia Nomor: 8/14/PBI/2006 ���������������������������������������� yang mewajibkan perbankan menyelenggarakan rapat minimal 4 kali setahun bukan ������ untuk mendorong terciptanya corporate governance. Menurut Cety dan Suhardjanto (2008), peraturan yang ada di Indonesia masih dijalankan sebagai formalitas dan demi menjaga image perusahaan. Dalam penelitian ini terdapat dua variabel kontrol, yaitu profitabilitas dan komposisi komite audit independen. Variabel kontrol yang pertama adalah profitabilitas yang diukur dengan Return on Assets (ROA). Profitabilitas (β = 0,106 dan ρ-value = 0,470) mengindikasikan profitabilitas tidak berpengaruh terhadap pengungkapan risiko operasional. Bank dengan tingkat laba yang tinggi tidak mempengaruhi pengungkapan risiko operasional walaupun pengungkapan penting bagi stakeholders untuk mengambil keputusan terutama terkait risiko operasional. Koefisien positif memperlihatkan adanya
Djoko Suhardjanto Erna Rahmawati
pengaruh positif profitabilitas terhadap pengungkapan risiko operasional. Hasil ������������������������������������ penelitian ini sejalan dengan pendapat Cety dan Suhardjanto (2010). Komposisi komite audit independen �(β = –0,071 dan ρ-value = 0,682) menunjukkan bahwa komposisi komite audit independen tidak mempengaruhi pengungkapan risiko operasional. Hal tersebut dikarenakan pemilihan ��������������������� anggota komite audit independen masih belum jelas dan terbuka, sehingga independensinya masih diragukan (Mintara, 2008). Koefisien negatif berarti bahwa komposisi komite audit independen berpengaruh negatif terhadap pengungkapan risiko operasional. Pemilihan komite audit di Indonesia mungkin kurang mempertimbangkan intergritas serta kompetensi seperti pemilihan komisaris independen. Faktor tersebut dapat menyebabkan kurangnya pemahaman komite audit independen terhadap tugasnya dalam mengawasi manajemen. Hal ini mengakibatkan komite audit independen tidak menjalankan fungsi governance dengan baik dan merendahkan kualitas informasi perusahaan karena banyaknya kesempatan untuk memanipulasi dan mempermainkan data (Cety dan Suhardjanto, 2010). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Cety dan Suhardjanto (2010) dan Mintara (2008).
dalam mengelola perusahaan, dan mewajibkan terlaksananya akuntabilitas. Selain itu, Bank Indonesia selaku regulator belum membuat regulasi yang jelas, memadai dan spesifik mengenai item apa yang harus diungkapkan dalam annual report mengingat operational risk disclosure adalah salah satu pengungkapan wajib (mandatory disclosure) sesuai dengan PSAK No. 31 (revisi 2000), PBI Nomor: 5/8/PBI/2003, PSAK 50 (revisi 2006) dan P3LKEPPBANK (2008). Dewan komisaris sebagai komponen penting yang mendukung terlaksananya corporate governance harus meningkatkan perannya, sehingga dapat meningkatkan operational risk disclosure. Perlu adanya regulasi mengenai item pe ngungkapan risiko operasional pada perbankan Indonesia. Bank Indonesia sebagai regulator harus membuat regulasi mengenai item tersebut karena di Indonesia operational risk disclosure merupakan salah satu pengungkapan wajib (mandatory). Perlu diadakan sosialisasi mengenai Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/25/PBI/2009 dan Basel II mengenai pelaksanaan manajemen risiko dan pengungkapan informasi risiko kepada publik.
KESIMPULAN
Abeysekera, I. 2008. The Role of Corporate Governance in Intellectual Capital Disclosure of Kenyan Listed Firms. http://ssrn.com. 5 Oktober 2010. Abraham, S. and P. Cox. 2007. Analyzing The Determinants of Narrative Risk Information in UK FTSE 100 Annual Reports. British Accounting Review, 39: 227-248. Adams, Renee B. and Daniel Ferreira. 2004. Gender Diversity in the Boardroom. Stockholm School of Economics. http://skinance.com. 21 November 2010. Ajinkya, B., S. Bhojraj, and P. Sengupta. 2005. The Association Between Outside Directors, Institutional Investors and The Properties of Management Earnings Forecasts. Journal of Accounting Research, 43 (3): 343-375. Akra, M. A., Ian A. Eddie, and Muhammad Jahangir Ali. 2010. The Influence of The Introduction of Accounting Disclosure Regulation on Mandatory Disclosure Compliance: Evidence from Jordan. The British Accounting Review, 42: 170-186.
Sesuai dengan tujuan penelitian, hasil dari pengujian hipotesis menunjukkan board of directors mempengaruhi tingkat operational risk disclosure. Variabel independen (board of directors) yang mempengaruhi tingkat operational risk disclosure berupa ukuran dewan komisaris (board size). Ukuran dewan komisaris yang besar memiliki power yang besar untuk menekan manajemen agar mengungkapkan informasi mengenai perusahaan, termasuk operational risk disclosure. Variabel lainnya yaitu komposisi ������������������������������������������ komisaris independen, komposisi komisaris wanita, latar belakang pendidikan komisaris utama, dan jumlah rapat dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap ���������������������������� operational risk disclosure. Hasil penelitian menunjukkan tingkat operational risk disclosure sebesar 76,27%. Rendahnya tingkat operational risk disclosure menunjukkan bahwa board of directors belum menjalankan fungsi governance dengan baik, yaitu menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen
DAFTAR PUSTAKA
Peran Board of Directors dalam Operational Risk Disclosure: Studi Empiris Perbankan Indonesia
11
Amran, A., Abdul Manaf Rosli Bin, dan Bin Che Haat Mohd Hassan. 2009. Risk Reporting An Explanatory Study on Risk Management Disclosure in Malaysian Annual Report. Managerial Auditing Journal, 24 (1): 39-57. Andres, P., Azofra, V., and Lopez, F. 2005. Corporate Boards in OECD Countries: Size, Composition, Functioning and Effectiveness, Journal of Corporate governance, 13 (2): 197-210. BCBS, 2001a, The New Basel Capital Accord, BIS, Basel. 4 November 2010. BCBS, 2003a, The New Basel Capital Accord, BIS, Basel. 4 November 2010. Bonna, I., Yoshikawab, T. and Phan P.H. 2004. Effects of Board Structure on Firm Performance: A Comparison Between Japan and Australia. Journal of Asian Business & Management, 3: 105-125. Brick E., Ivan and Chidambaran N. K. 2007. Board Meetings, Committee Structure and Firm Performance. http://ssrn.com. 21 November 2010. Carter, David A., B. J. Simkins, and W. G. Simpson. 2003. Corporate Governance, Board Diversity, and Firm Value. The Financial Review, 8: 33-53. Cety T. dan D. Suhardjanto. 2010. Pengaruh Corporate terhadap Environmental Performance di Indonesia. Call for Paper Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3 November 2010. Chen, C. J. P., and B. Jaggi. 2000. The Association Between Independent Nonexecutive Directors, Family Control and Financial Disclosures in Hongkong. Journal of Accounting and Public Policy, 19 (4): 285–310. Coller, P., and A. Gregory. 1999. Audit Committee Activity and Agency Cost. Journal of Accounting and Public Policy, 18 (4-5): 311-332. Dalton D., Daily C., Johnson J., and Ellstrad A. 1999. Number of Director and Financial Performance: Meta Analysis. Academy of Management Journal, 42 (6): 674-686. Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan. 2006. www.bi.go.id. 4 September 2010. Eng, L. L. and Y. T. Mak. 2003. Corporate Governance and Voluntary Disclosure. Journal Accounting and Public Policy, 22: 325-345.
12
Trikonomika
Vol. 11, No. 1, Juni 2012
Forum for Corporate Governance in Indonesia. 2001. Seri Tata Kelola (Corporate Governance) Jilid II. http://fcgi.org.id. 14 agustus 2010. Ghozali, Imam. 2006. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Gujarati, Damodar. 2003. Basic Econometrics (4th edition). New York: McGraw-Hill. Haniffa, R. M. and Cooke, T. E. 2002. Culture, Corporate Governance and Disclosure in Malaysian Corporations. ABACUS, 38 (3): 317-349. Helbok, Gunther and Wagner, Christian. 2006. Determinants of Operational Risk Reporting in the Banking Industry. http://ssrn.com. 27 Agustus 2010. Herwidayatmo. 2000. Implementasi Good Corporate Governance Untuk Perusahaan Publik Indonesia. http://muhariefeffendi.files.wordpress.com. 21 November 2010. Hossain, Mohammed. 2008. The Extent of Disclosure in Annual Reports of Banking Companies: The Case of India. European Journal of Scientific Research, 23 (4): 659-680. Ho, Simon S. M. and Kar Shun Wong. 2001. A Study of Relationship Between Corporate Governance Structure and Extent of Voluntary Disclosure. Journal of International Accounting Auditing and Taxation, (10): 139-156. Idroes, Ferry N. dan Sugiarto. 2006. Manajemen Risiko Perbankan (edisi ke-1). ����������������������� Yogyakarta: ����������� Graha Ilmu. Ikatan Akuntan Indonesia. 2009. Standar Akuntansi Indonesia. Jakarta: Salemba ��������������� Empat. Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance. 2004. Pedoman Good Corporate Governance Perbankan Indonesia. www.google.com. 9 September 2010. Kusumastuti, Sari Supatmi, dan Sastran Perdana. 2007. Pengaruh Board Diversity Terhadap Nilai Perusahaan dalam Perspektif Corporate Governance. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, 9 (2): 88-98. Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia Nomor: 5/21/ DPN/2003 Tentang Pedoman Standar Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum. LePine, J. A., et al. 2002. Gender Composition, Situational Strength, and Team Decision-Making Accuracy: A Criterion Decomposition Approach. Organizational Behavior and Human Decision Processes, 88 (1): 445-75.
Djoko Suhardjanto Erna Rahmawati
Linsley, Philip M. and Philip J. Shrives. 2005. Transparency and The Disclosure of Risk Information In The Banking Sector. Journal of Financial Regulation and Compliance, 13 (3): 205-214. Marinova, J., J. Plantenga, and C. Remery. 2010. Gender Diversity and Firm Performance: Evidence from Dutch and Danish. Utrecht University. www.uu.nl/rebo/economie/discussionpapers. 21 November 2010. Mintara, Yunita Heryani. 2008. Pengaruh Implementasi Corporate Governance terhadap Pengungkapan Informasi. Skripsi FE Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Murphy, Steven A and Michael L Mclntyre. 2007. Board of Director Performance: A Group Dynamics Perspective. Journal of Corporate Governance, 7 (2): 209-224. Nalikka, Aminah. 2009. Impact of Gender Diversity on Voluntary Disclosure in Annual Report. Journal Accounting and Taxation, 1 (1): 101113. Napitupulu, Sri Jayanti. 2009. Pengukuran Risiko Operasional Dengan Metode Aggregating Value At Risk. Universitas Sumatera Utara. www.usu. com. 22 Oktober 2010. Nasution dan Setiawan. 2007. Pengaruh Corporate Governance terhadap Manajemen aba di industri perbankan. Simposium Nasional Akuntansi X. Peraturan Bank Indonesia Nomor: 8/14/PBI/2006 Tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum. Peraturan Bank Indonesia Nomor: 5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum. www.bi.go.id. 22 Oktober 2010. Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/25/PBI/2009 Tentang Perubahan Atas PBI Nomor: 5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum. www.bi.go.id. 22 Oktober 2010. Peterson, Craig A. and James Philpot. 2009. Roles of Academic Directors on US Fortune 500 Boards. Journal of Corporate Governance, 9 (2): 202215. Pudjiastuti, Widanarni dan Aida Ainul Mardiyah. 2006. The Influence of Board Structure on Firm Performance. Simposium Akuntansi Nasional X.
Sekaran, Uma. 2006. Research Methods for Business (4th edition). John Wiley and Sons Inc. Sembiring, E. R. 2005. Karakteristik Perusahaan dan Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial: Study Empiris Pada Perusahaan yang Tercatat di Bursa Efek Jakarta. Simposium Nasional Akuntansi VIII. Sitepu, Andre Christian. 2009. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Informasi Sosial Dalam Laporan Tahunan pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Universitas Sumatera Utara. www.usu.com. 22 November 2010. Suhardjanto, D. dan A. N. Afni. 2009. Praktik Corporate Social Disclosure di Indonesia. Jurnal Akuntansi, 8 (3): 265-279. Suhardjanto, D. dan Umi Choiriyah. 2010. Information Gap: Demand Supply Environmental Disclosure di Indonesia. Jurnal Keuangan dan Perbankan, 14 (1): 36-51. Suhardjanto, D. dan L. Miranti. 2009. Praktik Penerapan Indonesian Environmental Reporting Index dan Kaitannya dengan Karakteristik Perusahaan. Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia, 13 (1): 63-77. Sundmacher, Maike and Guy Ford. 2007. Operational Risk Disclosure on Financials Institutions. http://ssrn.com. 22 Oktober 2010. Surat Edaran Ketua Bapepam dengan Nomor: SE02/BL/2008 Tentang Pedoman Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten atau Perusahaan Publik Industri Perbankan. 2008. 8 November 2010. Surya, Indra dan I. Yustiavandana. 2006. Penerapan Good Corporate Governance: Mengesampingkan Hak-hak Istimewa Demi Kelangsungan Usaha. Penerbit: Kencana. Jakarta. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi ke-3). Jakarta: Balai Pustaka. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Vafeas, Nikos. 2003. Futher Evidence on Compensation Committee Composition As A Determinant of CEO Compensation, Financial Management, 32: 53-77.
Peran Board of Directors dalam Operational Risk Disclosure: Studi Empiris Perbankan Indonesia
13
Van Oorschot, L. 2009. Risk Reporting: An analysis of German Banking Industry. http://oaithesis.eur.nl. 24 Oktober 2010. Zulaikha. 2006. Pengaruh Interaksi Gender, Kompleksitas Tugas, dan Pengalaman Auditor Terhadap Audit Judgment. Simposium Nasional Akuntansi IX.
14
Trikonomika
Vol. 11, No. 1, Juni 2012
www.arsipberita.com. 2010. 3 Februari 2011 www.bataviase.co.id. 2010. 3 Februari 2011 www.denpasar.tv.3. 2004. Februari 2011. www.idx.co.id www.nustaffsite.gunadarma.ac.id. 2 Februari 2011. www.tempointeraktif.com. 1992. 2 Februari 2011. www.tempointeraktif.com. 2003. 2 Februari 2011. www.tempointeraktif.com. 2009. 2 Februari 2011.
Djoko Suhardjanto Erna Rahmawati