1
Perbandingan perlindungan hukum terhadap isteri dari kekerasan suami dalam undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dengan hukum islam
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
OLEH Heny Ebtasari E.0003188
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2007 PERSETUJUAN PEMBIMBING
2
Penulisan Hukum (Skripsi) PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ISTERI DARI KEKERASAN SUAMI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN HUKUM ISLAM
Disusun Oleh : HENY EBTASARI NIM : E0003188
Disetujui Untuk Dipertahankan Dosen Pembimbing
MOHAMMAD ADNAN, S.H., M.Hum NIP. 131 411 014
PENGESAHAN PENGUJI ii
3
Penulisan Hukum (Skripsi) PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ISTERI DARI KEKERASAN SUAMI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN HUKUM ISLAM
Disusun Oleh : HENY EBTASARI NIM : E0003188
Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada : Hari
: Sabtu
Tanggal
: 26 Januari 2008
TIM PENGUJI 1.
Agus Riyanto, S.H., M.Hum
:………………………………………
Sekretaris 2.
Mohammad Adnan, S.H., M.Hum
:………………………………………
Anggota
MENGETAHUI Dekan,
Mohammad Jamin, S.H., M.Hum NIP. 131 570 159 MOTTO iii
4
“Wahai Orang-orang yang beriman, Jika kamu menolong (agama) Allah, Niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (QS. Muhammad: 7)
“Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan syurga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, sehingga mereka membunuh atau terbunuh, (sebagai) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan demikian itulah kemenangan yang agung” (At-Taubah : 111)
“Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?.Dan Kami telah menghilangkan darimu bebanmu.Yang memberatkan punggungmu.Dan Kami tinggikan bagimu sebutan(nama)mu.Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan.Maka apabila kamu telah selesai(dari sesuatu urusan),Kerjakanlah dengan sungguhsungguh(urusan) yang lain.Dan hanya kepada Tuhan-mulah hendaknya kamu berharap.” (Q.S Al-Insyirah:1-8)
“Teguhlah menjadi Jundullah sampai nanti bertemu Allah dalam kondisi seperti itu, dengan meraih satu dari dua kebaikan, berhasil mencapai tujuan atau meraih syahadah pada akhirnya” (AB)
Betapa jaaauh lebih nikmat!! ketika hidup, meski tubuh tersayat beribu pedang tapi dalam keimanan yang membara daripada dalam kenyamanan raga namun jiwa berada dipuncak tebing kefuturan bahkan jauh dari sinarNya….jauh dan kian jauh…Perlahan namun begitu pasti….akhirnya tiada setitik nikmatpun yang mampu ia rasa (Penulis)
PERSEMBAHAN iv
5
Disebabkan oleh cinta, sebuah karya yang ditulis dengan sepenuh perjuangan dan doa ini kupersembahkan untuk :
Allah SWT, Engkau Teramat Luar Biasa! Engkaulah yang senantiasa mengingatkan hamba, Bahwa Keajaiban tak harus di kejar hingga ke ujung dunia ataupun menantinya!…Tapi Keajaiban itu tercipta dalam Hati yang penuh dengan keyakinan!.
Manusia Ter-Agung Sepanjang Masa! Rasulullah Muhammad SAW, Semoga untaian shirohmu menjadi hidayah bagi jiwa yang gersang ini hingga bersemi kembali untuk istiqomah mengikuti perjuanganmu menjadi cahaya umat yang kian terang benderang!.
Bapak Agus Purnama dan Ibu Supadmi, Restuilah putrimu ini tuk tetap teguh dan setia menapaki jalan yang suci ini, jalan yang dirindu oleh para nabi dan syuhada, jalan dimana bersamanya dapat ku pintakan syurga pada Rabbul ‘Izzati tuk kupersembahkan kepada Bapak dan Ibu, hingga Istana cinta yang sering kita lantunkan bersama itu menjadi keajaiban yang nyata dan kitapun bahagia.
Hanny Septi Padma Sari, Heppy Novitasari, Betapa Cinta dan Sayang itu terbangun dari sebuah telaga ketulusan untuk senantiasa saling menasehati dalam kebaikan dan kebenaran, kalian adalah dua bola mataku, dengannya bulir airmata doa dan harapan senantiasa mengema dalam jiwa, karena aku ingin berbagi bahagia ini bersama dengan darah dan dagingku yang terpisah.
Keluarga besar Mangun Dikromo dan Hadi Boman yang kubanggakan, Kalian ibarat siang dan malam yang akan senantiasa memiliki ke-khas-an untuk di cintai dan di ceritakan pada dunia
Para Jundullah!! Aku ingin menjadi bagian dari kalian yang senantiasa menepati janji pada Rabb semesta alam, hingga kemuliaan itu menjelma atau syuhada membahana!.
KATA PENGANTAR v
6
Segala
puji
bagi
Ar-Rahman,
yang
mendenyutkan
setiap
nadi
kehidupan,hingga mematikannya pada suatu batas waktu tertentu yang telah Ia Tetapkan. Maha hebat Al-Malik yang senantiasa menyangga dengan kekuatanNya, tubuh setiap hamba-Nya, hingga siang malamnya tetap benderang, terpancar cahaya harapan yang tak kenal redup. Shalawat serta salam senantiasa tercurah limpahkan pada panglima terhebat di sepanjang sejarah perjuangan hidup, Rasulullah Muhammad SAW, dari beliaulah mampu mencetak generasi terbaik umat ini, generasi Rabbani yang telah menorehkan tinta emas kecermelangan umat. Alhamdulillah, atas kemudahan dan ijin yang diberikan oleh-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini sebagai syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan Judul : “PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ISTERI DARI KEKERASAN SUAMI DALAM UNDANGUNDANG
NOMOR
23
TAHUN
2004
TENTANG
PENGHAPUSAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN HUKUM ISLAM”. Dalam Penulisan Hukum ini, maupun selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, tidak sedikit bantuan yang penulis terima dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, ijinkan penulis menghaturkan terima lasih kepada : 1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum UNS. 2. Bapak Ismunarno, S.H., M.Hum selaku Pembimbing Akademik. 3. Bapak Mohammad Adnan, S.H.,M.Hum selaku Pembimbing Skripsi atas kemudahan, arahan dan tausiyah-tausiyahnya saat konsultasi. 4. Bapak Ibu Dosen dan Karyawan Fakultas Hukum UNS. 5. Bapak Agus Purnama dan Ibu Supadmi, selaku orang tua yang senantiasa Memayungiku dengan sepenuh cinta, doa, semangat dan kebahagiaan yang tak tergantikan, Semoga kita dapat senantiasa bersama hingga ke Syurga. vi
7
Semoga Allah memberiku waktu, kekuatan jiwa dan raga untuk berjihad berbakti pada bapak dan ibu. 6. Adik-adik yang kucintai karena Allah, Heppy Novitasari dan Hanny Septi Padma Sari, Jadilah cahaya yang diliputi doa bukan air mata, Jadilah cahaya nan penuh cinta bagi keluarga, Jadilah cahaya bagi setiap hati yang kelam, dan Jadilah cahaya yang tetap benderang dikala cahaya yang lain telah padam. Semoga senatiasa dalam Cinta dan Hidayah Allah, hingga ketika kakakmu ini berlalu, Cukuplah Allah sebagai pengingat disaat tiba waktu bersujud. 7. Mangun Dikromo: Pak Tuo, begitu diam, begitu dalam menghanyutkan! Yang akan senantiasa kurindukanJ Terimaksih atas perjuanganmu, hingga terjatuh kaupun tak luluh, Hingga akhir itu tiba, Tanpa sempat kukatakan betapa dalam Aku mencintaimu…Simbut-ku yang luchu dan centil..You Are My Soulmate, tak ada yang setia menantiku selama ini kecuali engkau, andai aku tak ada, janganlah pernah mengira aku lupa padamu, karena sungguh disetiap waktuku, kau selalu hadir menemani sunyi dan ramainya hatiku. Dan dalam diamku selalu terlantun cinta dan doa untukmu…Love U 4ever. 8. Hadi Boman: Mbah Kakung& Mbah Puteri (Terima kasih, telah mengajariku bagaimana menjadi seorang wanita yang Hebat, semoga ikatan hati kita semakin kuat, disetiap detik waktu akan setia kubuktikan betapa aku-pun Mampu!J ). 9. Jambon in Love….Mas Ismadi & Mb Erni, serta ponakan kecilku Abiandra Khoir Ramadhan, semoga mampu membina keluarga yang Islami…Mb Yama (Semoga senantiasa dalam cinta dan ridho Allah), Mas Gustap (Syukron telah memperlihatkan kepadaku Green Campus ini, semoga segala ikhtiar mas tercapai, tetap optimis menjadi Ksatria Kalimantan…Ok), Pak De Dadi (antara hidup dan mati telah menghiasi lebaranmu kemarin, akhirnya terlewati sudah, semoga senyum itu kian barokah), Mak (Islam itu mudah!), Lek Ne2k& Lek Sur serta pasukan kecilnya Edo dan si centil Jova (doakan aku agar mampu membahagiakan kalian juga), Pakde guru Family (moga kian vii
8
romantisJ), Mb Bekti, Mas Janal (semoga masa perantauan akan membawa kepada kebahagiaan yang hakiki), Keluargaku di Jakarta: Yu Wiji & Mas Agus (Terimakasih atas perhatian saat silaturahim kerumah, kapan-kapan kita jualan buah bareng ya..), Mas Agus kecil dan Mb Kholil beserta big Familly di Ciledug…Masa-masa bersama yang takkan kulupa 10. Jakarta Fighting!! Om Supri familly’s, Om Hery familly’s, Bulek Ice (cahaya tarbiyah yang kian mempesona), Budhe Tutik, Pakdhe Gino, Mb Watik, Mas Agung (Syukron Jazzakaullah Katsiron Laptopnya, hanya Allah yang bisa membalas keikhlasanmu). Keluarga besar di Sragen : Om Kholis & Mb Dwi, Keluarga besar di Boyolali: Om Agus & Bulek Titin, Keluarga besar di Bantul : Om Joko & Bulek Lastri (salam sayang dan hormat karena Allah). 11. Neighbour Of Raudah : Lek Warni (Trimakasih semua masakannya, dan kedekatan yang berawal dari kebersamaan ini moga tetap abadi), Mbah Rompyoh (Yang setia melihat TV ba’da Maghrib senantiasa berujung tidur, saya senang mbah datang, serasa simbut bersamaku…J), Budhe Har familly (Terimakasih ramah tamahnya, semoga setiap pemberian akan di balas Allah). 12. Teruntuk Fans beratku sepanjang masa! kucing-kucingku nan luthu-luthu!L , Mohon baris yang rapi! Dilarang berisik! Syaratnya cukup menatap dan tersenyum padaku….OK!K 13. FOSMI, Kuibaratkan sebuah kapal yang hendak berlayar ke pantai Mahabbah! Kapal dimana para mujahid-mujahidah itu lahir, dan disanalah ku mengenal dakwah dan ukhuwah karena Allah…Kapal yang akan senatiasa terisi oleh nahkoda yang tangguh dan penumpang yang setia dan bersabar berjuang hingga kapal tersebut benar-benar berlabuh di pantai impian, pantai dimana para syuhada berlabuh!. 14. Kusumawati (Dalam sunyimu, Pernah kubawa sejuta cinta sahabat-sahabatku untuk menemani kesendirianmu…J), An-nauzifa (Gudang ilmu, problem, dan cinta yang penuh hikmah tak terlupakan), Cempaka Putih (Betapa
viii
9
rajinnya menyalin semua catatan ba’da kuliah, masa-masa dimana kurasakan ada sesuatu yang hilang yang kini teramat kurindukan). 15. NJ TEAM (Nisa’ Jambrood): Ukhti Arofah (apapun yang terjadi! Tersenyumlah UkhtiJ don’t cryL Yakinlah Anti Bisa!J...Syukron jazakillah atas semua cinta dan cerita, afwan ya klo ana banyak mendzolimi antiJ), Ukhti Jameela (Set..set…Bruugh!!!***???L...Ukhtifillah ati-ati ya, tetap semangat!. Hilangkan badmoodnya, biar menjadi beautymood. Syukron Jazzakillah khairan katsiran atas persaudaraan ini, darimu banyak hikmah yang ku galiJ), Ukhti Atik (Senyum yang kian Mengesankan, Jazakillah tuk semua, Ukh anti punya banyak janji lho sama ana?), Ukhti Mei Irma (Masamasa berbagi yang takkan kulupakan, Barakaullah ya dah duluan, moga segala urusan dimudahkan Allah), ukhti Eny, Ukhti supadmi, Ukhti Rizka ( Jazakillah atas info-info skripsi dan wisudanya ya, antunna seperti pembimbing keduaku setelah pak AdnanJ), Ukhti devika (Semoga Tarbiyah ini membuat kita semakin kuat mendekat pada Allah, tanpa sedikitpun ragu melangkah dan menapaki kereta ini, tak perlu takut sendiri dikala Allah mengharapkan skenario yang demikian, asal Allah singgah di hati, maka duniamu tak akan sepi…Afwan Jiddan ya Ukhti, jika ana belum memberikan yang terbaik untuk anti). Ukhti Jannati (Miss U Pretty!!...Sekali-kali renungkan sang Matahari…Semoga tetap Istiqomah dan Bersemangatlah!!!), Ukhti Rosita (Ayooo Sekoolaah!!...Klo ketemu nga’ usil kenapa ukh???), Ukhti Dayu (Disini, kita pernah bertemu, mencari warna seindah pelangi, ketika kau menghulurkan tanganmu membawaku ke daerah yang baru dan hidupku kini ceria….Lanjut sendiri/Liat di catatan NggihK. Bertemu, berpisah dan bertemu kembali karena AllahJ. Lets Move Ukhti!! Ini bukanlah sebuah Kebanggaan, tapi suatu isyarat akan Perjuangan Yang Tak Kenal Henti!!). 16. Salam Hormat Teruntuk, Pemilik Rumah Singgahku yang sederhana nan penuh cinta, Ibu Sun nan sholehah dan murah senyumJ, Bibi-bibi
ix
10
Dahsyat!!K& Simbah yang melankolisL, syukron Jazakaullah Khairan Katsiran atas kesabaran, kelapangan dan kebaikannya menerima diri yang dhoif ini, afwan jiddan Si Geulis banyak kekhilafan. Optimislah Bapak dan kakek akan setia menunggu di pintu syurga...oh ya kuberdoa di syurga sana Allah akan memerintahkan para melaikat bersayap untuk membangun sebuah istana yang teramat megah, istana yang terbuat dari segenap rasa cinta yang pernah kalian milikiJ. 17. Mb Androe (Teringat akan sebuah tausiyah “Kita pernah merasa jenuh saat berusaha memelihara amal-amal ketaatan, merasa berat dan tidak bersemangat untuk meneruskan amal yang pernah kita pahat, akan tetapi amal sholeh itu seharusnya menambah kuat energi pelakunya”…akan senantiasa kuingat), Mb Upy
(Barakaullah..menjadi
istri
dan
ummahat
yang
kuat
karena
Allah…Semoga Arul bisa jadi Mujahid tangguh dimasa mendatang), Mb Didi, Mb Destroy (Semoga Istiqomah..Miss U All coz Allah). 18. GB TEAM, Mb Amalia ( Tentu saja takkan pernah terkalahkan Matahari!, karena perjuangan ini-pun tak kenal henti!!), Mb Wik (Engkau adalah kakak dan sahabat yang baik bagiku, perjuangan menciptakan kosbin yang penuh suka duka…Saat-saat petualangan yang mengesankan di sekipan, itu adalah kenangan besar terakhir bersamamu di Solo), Mb Andin ( keceriaan yang tak pernah layu, keceriaan yang menjadi sejuta irama dan hingga kini tetap nian hangat di telingaku untuk senantiasa dirindu ), Mb Ida (Papua nan jauh di mato, Syukron masih senantiasa membersamaiku, Masih terdengar jelas khas suaramu…Tetap Istiqomah Ibu Hakim! Semoga ana bisa segera menyusulJ ), Mb Ira (Syukron gubahan nasyidnya…Semoga di tempat terbaik kelak, kita mampu bersenandung yang lebih indah lagi), Mb Leny (Mb….Itu adalah Cinta!) 19. Pejuang-pejuang ’04 (Puteri, Athina, Nani, Irma, Farikhah, Murfi’ah, Lina, Umi, Dilla, Nisa…Ukhuwah itu ibarat tasbih, Dirangkai dengan Cinta-Nya, Di ratib untuk Mengingat-Nya. Jadilah pelita bagi yang lain, Kuatkan azzam
x
11
tuk tetap tegar di jalan ini, jika yang di kejar adalah Allah, maka kejarlah dengan ketaatan, akan tetapi jika yang dikejar adalah “aku” maka berlarilah sendirian!…Ku yakin antunna adalah orang-orang hebat yang akan senantiasa membuat indah Singgasana Allah! AllahuAkbar!!). 20. Pejuang-pejuang ’05, ’06, ’07 : Nunik, Aisyah, Wiwik, Farin, Asri, Dian, Nana, Dina, Fitri, Recca, Yani, Mega, Anjar, Mitha, Ade, Yeni, Pipin, Beta, Ririn, Veni, Tiur, Putri, Aya (Selamat menikmati apa yang telah tersaji di medan perjuangan ini, antunna adalah rijal-rijal dambaan umat, tetaplah bersemangat untuk menjadi bagian dari bangunan dakwah yang indah ini, hilangkan keluh kesah, bangkitlah bersama Allah, andai kesendirian dan ketidakberdayaan itu mendera maka ucapkan Inallaha Ma’ana, Laa Haula Wala Quwata Illabillah Hil’aliyil ‘Adzim!) 21. Akhwatfillah di Green Campus U’ Desita (The Power Fighting Of Baby Big, Tetaplah bersemangat berjuang dengan penuh Kesabaran, cukup tersenyum saja dengan kakak pertama nggih, ssssst!!), U’ Farida (Kesetiaan dan komitmen yang luar biasa!), U’ Yuli (Kayae akan lebih ringan jika anti tersenyum dehJ…Semangat ya Ukh, anti sangat Luar Biasa!), U’ Tery (Akan setia kutunggu, berubahnya pasword anti “sadis tapi romantis”!!?), U’ Elly (Assalamu’alaikum Warahmatullahi WabarakatuhJ), ‘U Asri (si Sanguinis yang gesit, irit.!), U’ Izzah, U’ Heni (Semoga Istiqomah), U’ Septi (Sahabat seperguruan yang tak disangka-sangka jadi luarbiasa!Ebta di ajari sabar ngiih Bu J). ‘U Nishwa (Syukron Taujih-taujihnya, Menjadi energi penguat terkhusus saat lembur bareng di suasana yang berbeda), U’ Dilla (Syukron kebersamaanya disaat-saat menegangkan dan mengasyikkan saat pelatihan. Tetap Bersiap-Siagalah meski sudah tua nanti), U’ Nita, U’ Lisana (Diam Menghanyutkan!), U’ Anis (semoga tambah maniez kapan-kapan ngobrol lagi ya. Syukron atas segala perhatian dalam perjuangan ini), U’ Desy (Ayo kita pulang ke Kla-X Ukh.!ana juga suka semangat anti lhoJ), U’ Amel, U’ Sarji,
xi
12
U’ Lely (Syukron atas segala taujih-taujihnya, semoga kita dapat bertemu di syurga!) 22. KDFH 03/JAMBROOD 03: Akh Kholid ( Syukron atas kebersamaannya beberapa tahun kemarin di Medan Badar BP…Man jadda wa jadda akhi… Tetap Sehat dan Semangat!!!), Akh Anas ( Kebersamaan di Medan Juang Asistensi,
Afwan
jiddan
belum
bisa
banyak
membantu,
Tetap
Optimis!Bukankah dalam 1 kesulitan ada 2 kemudahan? Semoga Istiqomah wal Muntijah), Akh Bambang (Man Jadda Wa Jadda!), Akh Dwiyanto, Akh Junaidi (Semoga Istiqomah!), Akh Haryono, Akh Reo (Al Waqtu Juz’un Minal ‘Ilaj Wa Taqwin….Waktu adalah bagian dari upaya pengobatan dan pembentukan, segala sesuatu perlu proses, oleh karena itu jangan takut dengan proses meski mungkin harus mulai dari NOL…Kuncinya 1: YAKIN!!!), Akh Yusuf (Beranilah dan bersabarlah dalam medan dakwah yang terjal ini, semoga istiqomah!), Akh Silman (Lihatlah disekitar, yang menuntut kita untuk memahami bukan dipahami!Lihatlah Posisi, yang menuntut untuk mengayomi dengan sepenuh ketaatan, bukan ke-aku-an yang terkadang hebat dimata manusia tapi dhoif disisi Sang Penguasa…Bersemangatlah menjadi jundullah yang dicintai seluruh penghuni langit dan bumi, Antum BISA!!), Semua para Mujahid ‘03-‘07 yang belum ana sebutkan… Tetaplah menjadi batu bata yang baik bagi Bangunan Dakwah nan Indah ini…Belajar beramal dengan
penuh
kepahaman
yang
akan
melahirkan
keikhlasan!...AlllahuAkbar!!! 23. Memoar of Raudah!!. Mustafa, Sang Super Trainer Sepanjang Masa!!! (Syukron Jazakaullah Khairan Katsiran, InsyaAllah semua ilmu yang pernah diberikan penuh barokah untuk umat, Asalkan Istiqomah beriman, Allah akan membeli semua perniagaanmu dengan Syurga!!!), Akh Yoga (Syukron semua Infonya,
terutama
tempat
Daurah
kemarin,
semoga
semua
urusan
dimudahkan), Akh Ridho (Kapan ReOr akh?). Ukhti Wulan (Afwan Bu sekretaris, silaturahim kemarin ana absen). Ukhti Anita (Banjir dimana-mana,
xii
13
anti kemana ukh, kok ga’ tau?..Apa kata Duniaa??), Ukhti Ika, Ukhti Ning, Ukhti Isgiyanti yang sudah berkeluarga & tinggal di kalimantan (Akhirnya Allah mengabulkan apa yang anti yakini, karena keajaiban memang hadir pada hati yang penuh keyakinanJ), Ukhti Ika (Syukron Jazakillah baju muslim OSIS dulu, niat tulusmu tlah kuhias bulir-bulir doa yang menghantarkan cinta-Nya padamu)….Selamat Berjuang di Pos Masingmasing dengan tulus ikhlas tuk gapai Ridho Illahi, Semoga tali silaturahim kian erat terjaga. Bertemu dan berpisah karena Allah. 24. Ustad Badawi, Ust Wiranto, Ust Hatta, Ust Bambang, Ust Fahrudin, Ust Hakim, Ust Wahid, Ust Rodhi, Ust Ma’ruf, Ust Jasiman, Ust Madi, Ust Ustman, Bu Endang, Bu Mutik, Bu Musdalifah, Bu Orinako, Mb Vida, dan semua ustadz/ah di medan badar solo yang belum ana sebutkan….Salam Hormat Karena Allah. Taujih-Taujih yang hadir, ibarat embun pagi yang membasahi setiap dahaga jiwa, Syurga Allah telah menantiJ. 25. Wonderfull of SMUNSAKAR : Rahma (Sahabat Imut, nan setia dan selalu baik padaku, walau kini tak senantiasa bersama…Love U Coz Allah Ma..), Nur Khomariah ( Muslimah Award di hari sabtu yang sungguh anggun dan mengesankan!), Anis,
Budi, Desy (Mariah Keri..SMUNSAKAR..He)
Wijayanti (Barakaullah ya, Maaf, kemarin belum bisa hadir, semoga menjadi keluarga yang SAMARA), Pak Eko (suka-duka menjadi mas’ul kelas…Keep Spirit), Pak Arif (Terima kasih doa dan semua infonya, semoga ke depan kita semua lebih baik…Reuni besok jangan gedombrengan lagi nggih!!??), Wijayanto (Info Reuni yang tak kupercaya, tapi ternyata memang nyata kau telah tiada, semoga Allah meletakkanmu di tempat yang lebih baik dan semoga dengan berpulangnya dirimu, menjadi hikmah hening teruntuk semua sahabat…), Sony (Terima Kasih ramah tamahnya, semoga di tempat rantau hidayah Allah senatiasa menaungimu), Ratna (Aku salut padamu, akhirnya nilai Kimia tak lagi dibawah 5, Perjuanganmu menjadi guru Kimia akan membuat bu Partini Histeris..J)...Semua Sahabat-sahabatku di SMUN I
xiii
14
Karanganom, kenangan yang tak akan pernah lekang, kenangan yang akan senantiasa ku rindu, karena kalian begitu indah menghiasi langkah pencarian jati diri bagiku…serasa kemarin kita masih olahraga bersama…Semoga kita semua dalam hidayah dan ridho Allah, hingga kita bisa memesan lapangan olahraga yang lebih luas & elite di Syurga kelak..Ok!!J 26. HUDWI Family (Heny, Uun, Dwi, Liluk…Kita adalah empat serangkai hingga kini dan nanti, oh ya kita selalu berlomba menjadi yang ter-Cerdas bukan?..J) 27. Muslim Watashiwa dan Aza (TM) barakaullah, afwan jiddan kemarin tidak bisa hadir…kita adalah saudara, bertemu dan berpisah karena Allah, semua adalah kisah, doa dan hikmah. Tak harus bagaikan desiran angin dari ufuk utara dan selatan, yang berpadu mengibas nanar sang mentari, Mungkin memang harus seperti langit dan bumi, begitu tinggi, begitu rendah, namun sama terpandang indah…Because Allah. 28. Teruntuk Ababil…Syukron telah menemani hidupku, menjadi bagian dari inspirasi terindahku, menghiasi sajak hatiku, juga memberi semangat bagi sahabat-sahabatku…bersamamu…I Believe I Can Fly, Aku pasti bertemu denganmu, Tentu saja dengan sayapku yang begitu kekar&Teramat Tangguh!!!J 29. Kemuning, Sekipan, Tawang Mangu, Kendal (Gono Harjo), Semarang (Candi Semut), Segara Gunung, Deles….Romantika para jundullah yang tak kan pernah kulupakan….Kapan nich Mukhoyyam Lagi???.....Bersiap-Siagalah!!! 30. Ikhwahfillah di penjuru dunia, Semoga kita dapat bersahabat sampai ke Syurga….!
Surakarta,
Januari 2008
Penulis
xiv
15
DAFTAR ISI Halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN.........................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN..........................................................................
iii
HALAMAN MOTTO ......................................................................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................
v
KATA PENGANTAR .....................................................................................
vi
DAFTAR ISI....................................................................................................
xv
ABSTRAK .......................................................................................................
xviii
BAB I
PENDAHULUAN.........................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah..........................................................
1
B. Perumusan Masalah ................................................................
10
C. Tujuan Penelitian ....................................................................
11
D. Manfaat Penelitian ..................................................................
12
E. Metode Penelitian....................................................................
12
F. Sistematika Penelitian .............................................................
17
TINJAUAN PUSTAKA................................................................
19
A. Kerangka Teori........................................................................
19
1. Tinjauan Umum Tentang Perbandingan Hukum ..............
19
2. Tinjauan Umum Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan
23
BAB II
a. Definisi Perempuan ....................................................
23
b. Definisi Kekerasan .....................................................
23
c. Latar Belakang Penyebab Kekerasan Terhadap Perempuan ..................................................................
26
d. Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan.......
29
3. Tinjauan Umum Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ..................................................................
xv
34
16
a. Sejarah Lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga............................................................
34
b. Asas-asas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ........................................................................
38
c. Tujuan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ........................................................................
40
4. Tinjauan Umum Tentang Hukum Islam .........................
40
a. Definisi dan Ruang Lingkup Hukum Islam ..............
40
b. Tujuan Hukum Islam ................................................
41
c. Sumber Hukum Islam ...............................................
44
d. Perkawinan Dalam Hukum Islam .............................
46
B. Kerangka Pemikiran .........................................................
69
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...............................
70
A. Perlindungan Hukum Terhadap Isteri Dari Kekerasan Suami Dalam Rumah Tangga Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 ......................................................
70
a. Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga ..........
70
b. Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga ..................................................................
71
c. Sanksi Bagi Pelaku Kekerasan .............................
73
d. Perlindungan Hukum Bagi Korban Kekerasan ....
76
B. Perlindungan Hukum terhadap Isteri Dari Kekerasan Suami Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Islam .....
80
a. Definisi Kekerasan ...............................................
80
b. Bentuk dan Sanksi Kekerasan Dalam Rumah Tangga...................................................................
80
c. Perlindungan Hukum Bagi Isteri...........................
90
xvi
17
C. Perbandingan Perlindungan Hukum Terhadap Isteri Dari Kekerasan suami Dalam Undang-undang nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dengan Hukum Islam..............................
102
a. Definisi kekerasan Dalam Rumah Tangga............
103
b. Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Sanksi Bagi Pelaku Kekerasan .......................
104
c. Perlindungan Hukum Terhadap Isteri ...................
120
BAB IV PENUTUP ........................................................................................
124
A. Kesimpulan .......................................................................
124
B. Saran .................................................................................
129
DAFTAR PUSTAKA
xvii
18
ABSTRAK
HENY EBTASARI. E0003188. PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ISTERI DARI KEKERASAN SUAMI DALAM UNDANGUNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN HUKUM ISLAM. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan Hukum (Skripsi). 2007 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Perbandingan perlindungan hukum terhadap isteri dari kekerasan suami yang diatur dalam Undang-undang Penghapusan kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan Hukum Islam Penelitian ini termasuk dalam lingkup penelitian hukum normatif. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu data pustaka. Dari data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan cara content analysis (analisis isi) terhadap peraturan tersebut. Hasil penelitian dari segi materi kedua peraturan yaitu dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Hukum Islam yang sumber utamanya adalah Al-Qur’an dan hadist, ada beberapa perbedaan yang bisa menjadi evalusi bagi peraturan yang berlaku yaitu dalam hal ganti rugi terhadap korban kekerasan, menurut Hukum Islam ganti rugi itu diberikan oleh pelaku kepada korban bukan kepada negara, sedangkan dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tidak demikian, padahal korban membutuhkan jaminan hidup yang konkrit, disamping itu Undang-undang ini masih terlihat bias gender, yang dapat dicermati dalam beberapa pasal didalamnya, sebagai contoh pasal 1 tentang definisi kekerasan, dan pasal 3 dalam asas penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Padahal kekerasan itu dapat dilakukan oleh siapa saja dan obyekpun bisa lakilaki maupun perempuan, Undang-undang yang dibuat harusnya memuat ketentuanketentuan yang bijaksana dan adil untuk diterapkan, sehingga dalam permasalahan ini tidak akan membuat jurang antara satu dengan yang lain (laki-laki dan perempuan). Konsep Hukum Islam memberikan sebuah aturan yang adil dan komprehensif bagi permasalahan yang ada, Terutama konflik internal rumah tangga (suami-isteri). Sehingga akan dapat menjadi wacana yang signifikan bagi perbaikan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan kekerasan dalam Rumah Tangga. Implikasi teoritis penelitian ini adalah adanya penyempurnaan pasal-pasal dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sehingga dapat mengefektifkan pelaksanaannya, sedangkan implikasi praktisnya adalah hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai wacana dan bahan rujukan dalam amandemen Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga demi terciptanya kehidupan rumah tangga yang harmonis, adil dan sejahtera jauh dari tindak kekerasan.
xviii
1
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pesatnya arus globalisasi, diakui oleh dunia telah membawa banyak perubahan kearah kemajuan di berbagai sektor kehidupan, akan tetapi di sisi lain jika kita amati perkembangan globalisasi ini juga telah membuka celah lebar bagi maraknya perilaku kekerasan, tidak hanya menyentuh ranah publik tapi juga ranah pribadi. Salah satu faktor utama penyulutnya adalah tingkat kebutuhan masyarakat yang melaju tinggi di bandingkan tingkat pendapatan masyarakat yang rendah. Dalam hal ini pihak yang sering menjadi korban bahkan paling di rugikan adalah perempuan. Isu penindasan terhadap wanita terus menerus menjadi perbincangan hangat. Salah satunya adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Perjuangan penghapusan KDRT nyaring disuarakan organisasi, kelompok atau bahkan negara yang meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Elimination of All Form of Discrimination/CEDAW) melalui Undang-undang No 7 tahun 1984. Juga berdasar Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang dilahirkan PBB tanggal 20 Desember 1993 dan telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Bahkan di Indonesia telah disahkan Undang-undang No 23 Tahun 2004 tentang ‘Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga’. ‘Perjuangan’ penghapusan kekerasan dalam rumah tangga berangkat dari fakta banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi dengan korban mayoritas perempuan dan anak-anak. Hal ini berdasar sejumlah temuan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dari berbagai organisasi penyedia layanan korban kekerasan. Di Provinsi Banten
1
2
misalnya, hingga pertengahan tahun 2004 terdapat 5.426 perempuan yang dilaporkan menjadi korban tindak kekerasan (KTK), 90 persen diantaranya menjadi korban kekerasan karena berkerja sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri (Tempo Interaktif, 3/5/04). Sedangkan data yang terdapat di Ruang Pelayanan Khusus (RPK) Kepolisian Kota Bandung menunjukkan bahwa selama 2003-2004 terdapat 60 kasus kekerasan fisik terhadap perempuan. Sementara data yang dihimpun oleh Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan (P2TP2) Kota Bandung memperlihatkan bahwa periode Mei–Desember 2004 sudah terdapat 36 kasus kekerasan terhadap perempuan. Dengan perincian, 3 kasus perkosaan, 7 kasus kekerasan fisik, 26 kasus kekerasan psikis dan penelantaran ekonomi. Mengingat korban kekerasan yang kebanyakan berjenis kelamin wanita itulah, para propagandis anti-Kekerasan Dalam Rumah Tangga beranggapan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah gender, yakni disebabkan adanya ketidak-adilan gender. Adanya subordinasi perempuan telah menempatkan mereka sebagai korban kekerasan oleh pria. Dan, ajaran agama (baca: Islam) dituduh melanggengkan budaya ini. Beberapa syariat Islam dicap sebagai upaya mensubordinasikan posisi wanita, sehingga menjadi pemicu bagi kaum pria untuk memperlakukan wanita semena-mena, yang berujung pada tindak kekerasan. Menurut para propagandis ini, poligami dianggap sebagai bentuk penindasan terhadap wanita karena wanita ditempatkan pada posisi ‘nomor dua’. Menurut mereka jilbab juga merupakan bentuk pengekangan terhadap kebebasan wanita. Perintah istri untuk taat kepada suami pun dianggap sebagai pendorong suami untuk berbuat sewenang-wenang dan memenjarakan wanita dalam rumah tangga. Kebolehan memukul istri atau anak dalam rangka mendidik mereka, dituduh sebagai penganiayaan. Ajaran sunat bagi anak perempuan juga dianggap bentuk kekerasan fisik terhadap perempuan. Sebaliknya, bagi kaum feminis, seorang perempuan tidak wajib untuk taat kepada suaminya, wanita tidak boleh dikekang
3
untuk keluar rumah, suami harus membebaskan istrinya bekerja, pelacur dibela karena dianggap sebagai korban eksploitasi seksual, dll. Para propagandis beranggapan, untuk menghapuskan kekerasan dalam rumah tangga maka perempuan harus disejajarkan dengan pria. Relasi suami-istri dalam kehidupan rumah tangga haruslah seimbang, di mana istri memiliki kewenangan yang tidak harus bersandar kepada suami. Dari sinilah maka arah perjuangan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah untuk memperjuangkan hak-hak wanita menuju gender equality. Banyak hal yang menjadikan perempuan menjadi korban dari maraknya tindak pidana, yaitu budaya bangsa kita yang patriarki, kondisi politik, ekonomi dan pendidikan yang menempatkan perempuan dalam subordinasi laki-laki. Sehingga menimbulkan bias gender. Posisi perempuan terlihat sangat lemah, sehingga sangat rentan terhadap kekerasan yang dilakukan orang-orang di sekitarnya. Baik saat bekerja di tempat publik, maupun saat berada di dalam rumahnya. Disinilah kekeliruan mendasar dari kelompok Feminis, yang menganggap kejahatan diukur berdasarkan kepada gender (jenis kelamin) korban atau pelakunya, bukan pada hukum syara’. Mereka membela pelacur, karena dianggap sebagai korban. Sebaliknya mereka menuduh poligami sebagai bentuk kekerasan terhadap wanita, dengan anggapan wanita telah menjadi korbannya. Padahal, kejahatan bukanlah perkara gender (jenis kelamin). Pasalnya, kejahatan bisa menimpa siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Pelakunya juga bisa laki-laki dan bisa pula perempuan. Jika kita lihat dalam hukum Islam, maka Islam pun menjatuhkan sanksi tanpa melihat apakah korbannya laki-laki atau perempuan. Tidak pula melihat apakah pelakunya lakilaki atau perempuan, tapi yang dilihat apakah dia melanggar hukum Allah SWT atau tidak. Kekerasan juga bukan disebabkan sistem patriarki atau karena adanya subordinasi kaum perempuan, karena laki-laki maupun perempuan mempunyai peluang yang sama sebagai korban. Kalaupun data yang tersedia lebih banyak menyebutkan wanita sebagai korban, itu semata-mata karena data laki-laki sebagai korban kekerasan tidak tersedia. Dengan begitu kekerasan tidak ada
4
kaitannya dengan penyetaraan hak laki-laki atau perempuan. Gagasan antikekerasan dalam rumah tangga dengan mengatasnamakan pembelaan terhadap hak-hak wanita pada akhirnya justru bias gender. Lebih dari itu, kekerasan atau kejahatan sendiri dipicu oleh dua hal. Pertama, faktor individu. Tidak adanya ketakwaan pada individu-individu, lemahnya pemahaman terhadap relasi suamiistri dalam rumah tangga, dan karakteristik individu yang temperamental adalah pemicu bagi seseorang untuk melanggar hukum syara’, termasuk melakukan tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Kedua, faktor sistemik. Kekerasan yang terjadi saat ini sudah menggejala menjadi penyakit sosial di masyarakat, baik di lingkungan domestik maupun publik. Kekerasan yang terjadi bersifat struktural yang disebabkan oleh berlakunya sistem yang tidak menjamin kesejahteraan masyarakat, mengabaikan nilai-nilai ruhiyah dan menafi-kan perlindungan atas eksistensi manusia. Tak lain dan tak bukan ialah sistem kapitalisme-sekular yang memisahkan agama dan kehidupan. Penerapan sistem itu telah meluluh-lantakkan sendi-sendi kehidupan asasi manusia. Dari sisi ekonomi misalnya, sistem kapitalisme mengabaikan kesejahteraan seluruh umat manusia. Sistem ekonomi kapitalistik menitikberatkan pertumbuhan dan bukan pemerataan. Pembangunan negara yang diongkosi utang luar negeri, dan merajalelanya perilaku kolusi dan korupsi pada semua lini pemerintahan, telah meremukkan sendi-sendi perekonomian bangsa. Tak kurang 70% penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Mereka tidak mampu menghidupi diri secara layak karena negara mengabaikan pemenuhan kebutuhan pokok mereka. Himpitan ekonomi inilah yang menjadi salah satu pemicu orang berbuat nekat melakukan kejahatan, termasuk munculnya kekerasan dalam rumah tangga. Banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga menimpa keluarga miskin, dipicu ketidakpuasan dalam hal ekonomi. Dari sisi hukum, ketiadaan sanksi yang tegas dan membuat jera pelaku telah melanggengkan kekerasan atau kejahatan di masyarakat. Seperti pelaku pemerkosaan yang dihukum ringan, pelaku perzinaan yang malah dibiarkan, dll. Dari sisi sosial-budaya, gaya hidup hedonistik yang melahirkan perilaku permisif,
5
kebebasan berperilaku dan seks bebas, telah menumbuh-suburkan perilaku penyimpangan seksual seperti homoseksual, lesbianisme dan hubungan seks disertai kekerasan. Dari sisi pendidikan, menggejalanya kebodohan telah memicu ketidak-pahaman sebagian masyarakat mengenai dampak-dampak kekerasan dan bagaimana seharusnya mereka berperilaku santun. Ini akibat rendahnya kesadaran pemerintah dalam penanganan pendidikan, sehingga kapitalisasai pendidikan hanya berpihak pada orang-orang berduit saja. Lahirlah kebodohan secara sistematis pada masyarakat. dan kemerosotan pemikiran masyarakat, sehingga perilakupun berada pada derajat sangat rendah. Untuk persoalan sistemik ini, dibutuhkan penerapan hukum yang menyeluruh oleh negara. Kalau tidak akan terjadi ketimpangan. Sebagai contoh sulit untuk menghilangkan pelacuran, kalau faktor ekonomi tidak diperbaiki. Sebab, tidak sedikit orang melacur karena persoalan ekonomi. Kekerasaan dalam rumah tangga, kalau hanya dilihat dari istri harus mengabdi kepada suami, pastilah timpang. Padahal dalam Islam, suami diwajibkan berbuat baik kepada istri. Kekerasaan yang dilakukan oleh suami seperti menyakiti fisiknya bisa diberikan sanksi diyat. Disinilah letak penting tegaknya hukum yang tegas dan menyeluruh. Perlu pula diingat, kejahatan bukan sesuatu yang fitri (ada dengan sendirinya) pada diri manusia. Kejahatan bukan pula profesi yang diusahakan oleh manusia, juga bukan penyakit yang menimpa manusia. Tapi kejahatan adalah setiap hal yang melanggar peraturan Allah SWT, siapapun
pelakunya,
baik
laki-laki
maupun
wanita
(http://baitijannati.wordpress.com). Tindakan kekerasan terhadap perempuan terus meningkat secara konsisten dari tahun ke tahun. Selama tahun 2004, kekerasan terhadap perempuan meningkat hampir 100%, yaitu menjadi 14.020 kasus dibanding tahun sebelumnya yang cuma 7.787 kasus. Dan 75% adalah kasus kekerasan terhadap isteri, Ketua Komnas Perempuan Kamala Chandrakirana mengungkapkan hal itu
6
pada laporan tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) sepanjang 2004 (Tempo Interaktif, 7 Maret 2005). Hasil Penelitian mengungkapkan betapa tinggi intensitas kekerasan dalam rumah tangga. Dari penduduk berjumlah 217 juta, 11,4 persen di antaranya atau sekitar 24 juta penduduk perempuan, terutama di pedesaan mengaku pernah mengalami tindak kekerasan, dan sebagian besar berupa kekerasan domestik, seperti penganiayaan, perkosaan, pelecehan, atau suami berselingkuh (Kompas, 27 April 2000). Jauh sebelumnya, Rifka Annisa Women`s Crisis Center di Yogyakarta tahun 1997 telah menangani 188 kasus kekerasan terhadap perempuan, di antaranya 116 kasus menyangkut kekerasan di rumah tangga (MaJEMUK: edisi 10). Angka-angka di atas jika dilihat dalam konteks fenomena gunung es, di mana kasus yang tampak hanyalah sebagian kecil saja dari kejadian yang sebenarnya. Apalagi angka-angka tersebut hanya didapatkan dari jumlah korban yang melaporkan kasusnya ke 303 organisasi peduli perempuan. Data juga mengungkapkan, rata-rata mereka adalah penduduk perkotaan yang memiliki akses dengan jaringan relawan dan memiliki pengetahuan memadai tentang kekerasan dalam rumah tangga. Dalam kehidupan rumah tangga, seorang perempuan mengemban amanah menjadi seorang istri, begitu pula laki-laki mengemban amanah menjadi seorang suami.keduanya memiliki hak dan kewajiban masing-masing. Keberadaan keduanya adalah saling melengkapi, sehingga kebahagiaan hidup dapat tercapai. Dalam hukum islam ikatan agung itu di sebut mitsaqon ghalidza. Suatu perbuatan yang tidak di landasi dengan pemahaman yang baik akan kedudukan menjadi seorang suami maupun istri, akan sering menyulut konflik yang akan menghancurkan kehidupan rumah tangga itu sendiri.
7
Perlindungan terhadap perempuan yang menjadi isu global telah diatur pula dalam instumen-instumen hukum internasional dan berbagai kebijakan internasional, antara lain: a. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (1979) b. Vienna Declaration and Programme of Action (1993) c. Declaration on the Elimination of ViolenceAgaints Women (1993) d. Beijing Declaration and Platform for Action (1995) Pemerintah Indonesia berupaya menghapuskan tindakan kekerasan terhadap wanita. Hal ini terbukti dengan keikutsertaan Indonesia dalam meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskiminasi Terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of All Form of Discrimination Against Women). Indonesia mengakui bahwa dalam hukum maupun dalam kehidupan sehari-hari berlaku prinsip kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki.
Dalam
konvensi
tersebut
termaktub
kesepakatan
pengertian
diskriminasi, yaitu setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang di buat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hakhak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan terlepas dari status perkawinan mereka atas dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki (Pasal 1 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan). Pada Tahun 2004, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undangundang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Lahirnya Undang-undang tersebut menuai banyak pro dan kontra dari kalangan masyarakat, pihak yang pro dengan lahirnya Undang-undang ini menganggap sebagai suatu
terobosan baru dalam perlindungan dari tindak
8
kekerasan terutama bagi perempuan. Karena selama ini belum ada peraturan yang secara tegas mengatur tentang kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga. Sedangkan pihak yang kontra beralasan bahwa permasalahan rumah tangga merupakan ranah yang sangat pribadi. Dari berbagai laporan penelitian di lapangan, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang telah berlaku tiga tahun ini, belum efektif memberikan perlindungan terhadap perempuan terutama isteri dari tindakan kekerasan oleh suami. Solusi atas problem perempuan yang cenderung tidak menyeluruh menjadi salah satu kelemahan mendasar Undang-undang ini. Jika membaca kembali isi Undangundang ini, seolah-olah memiliki semangat yang besar untuk menjerat para pelaku kekerasan. Akan tetapi jika kita pahami dengan seksama, maka upaya perlindungan terhadap perempuan sendiri masih belum konkrit di rasakan. Dalam makalah yang di tulis oleh Intan Savitri yang berjudul Islam dan Aspek-aspek Preventif dan Kuratif Terhadap Potensi Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Disampaikan pada seminar sosialisasi Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Perdagangan Anak dan Perempuan di Hotel Kusuma Kartikasari Surakarta tanggal 14 Januari 2006 menjelaskan bahwa Islam merupakan agama yang telah di sempurnakan oleh Allah, sesuai dengan firman-Nya,”…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu dan telah Aku ridhoi Islam sebagai agamamu..” (QS.Al-Ma’idah:3). Demikian sempurnanya Islam sehingga ia pun mengatur hal-hal yang bersifat personal dan privat seperti rumah tangga.terlebih lagi, Islam tidak hanya mengatur saja tetapi sekaligus meletakkan keluarga sebagai dasar-dasar pokok hubungan social, sekaligus memuliakan kedudukan perempuan dalam rumah tangga. Oleh karena itu tidak mungkin Allah yang Maha Adil menciptakan peraturan yang tidak adil bagi hamba-hambanya, apalagi
9
diskriminasi kedudukan laki-laki dan perempuan. Syariat yang telah termaktub dalam Al-Quran adalah aturan yang sempurna. Oleh karena itu dalam memahami ayat-ayat
dalam
Al-Quran
harus
melihat
sejarah
dan
alasan
Allah
menurunkannya, demikian juga dengan hikmah di balik turunnya ayat-ayat tersebut. Agar tidak terjadi salah penafsiran, yang ujung-ujungnya sering di rasakan adanya bias gender. Dalam meletakkan dasar-dasar peraturannya, Islam sangat menekankan aspek preventifitas, penjagaan dan pencegahan, sebab dengan demikian islam ingin memberikan kehendak bebas kepada manusia untuk memilih (betapa Allah SWT. Sangat memuliakan ciptaannya yang bernama manusia), Apakah mereka akan memilih jalan yang fujur atau yang taqwa, dan didalamnya diletakkan tanggung jawab yang tidak dimiliki makhluk lain selain manusia. Persoalan interaksi antar manusia, apalagi interaksi yang tidak hanya melibatkan aspek fisik tetapi juga psikologis sebagaimana dalam pernikahan memang memiliki potensi kebaikan dan keburukan yang sama. Sebuah pernikahan akan berakhir dalam kebaikan atau keburukan, pastilah di dasarkan pada bagaimana pribadi-pribadi dalam pernikahan itu meletakkan dasar-dasar perilaku mereka dalam berinteraksi satu sama lain. Apakah perilaku mereka didasarkan pada pemahaman yang benar terhadap aturan islam yang benar sebagaimana yang di gariskan Alah dan RasulNya ataukah sebaliknya. Meskipun kita tidak bisa menghindari bias dalam pemahaman terhadap Islam, namun setidaknya kita berangkat dari kerangka berpikir yang sama, akan lebih memudahkan dalam berinteraksi dan berkomunikasi. Kasus kekerasan baik berupa fisik maupun non fisik dalam rumah tangga perlu di selesaikan dengan arif dan bijaksana. Di butuhkan seperangkat peraturan yang mengatur permasalahan dan solusi bagi kekerasan dalam rumah tangga tersebut, peraturan yang di butuhkan adalah peraturan yang tidak parsial akan
10
tetapi
memandang
segalanya
dengan
menyeluruh
atau
memperhatikan
kemaslahatan yang hendak di capai. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul ” PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ISTERI DARI KEKERASAN SUAMI
DALAM
UNDANG-UNDANG
NOMOR
23
TAHUN
2004
TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN HUKUM ISLAM” B. Perumusan Masalah Perumusan
masalah dalam suatu penelitian dimaksudkan untuk
mempermudah penulis dalam membatasi masalah yang akan diteliti sehingga tujuan dan sasaran yang akan dicapai menjadi jelas, terarah dan mendapatkan hasil seperti yang diharapkan. Dalam penelitian ini, perumusan masalah-masalah yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah Perlindungan Hukum Terhadap Isteri dari Kekerasan Suami menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga? 2. Bagaimanakah Perlindungan Hukum Terhadap Isteri dari Kekerasan Suami menurut Hukum Islam? 3. Bagaimanakah Perbandingan Perlindungan Hukum Terhadap Isteri dari Kekerasan Suami dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan Hukum Islam, terutama yang berkaitan dengan Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Bentuk-bentuk Kekerasan dan Sanksi bagi pelaku kekerasan, Perlindungan Hukum Terhadap Korban?
11
C. Tujuan Penelitian Penelitian merupakan kegiatan ilmiah dimana berbagai data dan informasi dikumpulkan, dirangkai dan dianalisa yang bertujuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan juga dalam rangka pemecahan masalah-masalah yang dihadapi (Soerjono Soekanto,1986:2). Tujuan penelitian merupakan target yang ingin dicapai sebagai solusi atas permasalahan yang dihadapi (tujuan obyektif) maupun untuk memenuhi kebutuhan perorangan (tujuan subjektif). Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui Perlindungan Hukum Terhadap Isteri dari Kekerasan Suami menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. b. Untuk mengetahui Perlindungan Hukum Terhadap Isteri dari Kekerasan Suami menurut Hukum Islam. c. Untuk mengetahui Perbandingan Perlindungan Hukum Terhadap Isteri dari Kekerasan Suami dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan Hukum Islam, terutama yang berkaitan dengan Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Bentuk-bentuk Kekerasan dan Sanksi bagi pelaku kekerasan, Perlindungan Hukum Terhadap Korban. 2. Tujuan Subyektif a. Untuk
menambah
wacana
dalam
rangka
mendukung
upaya
perlindungan hukum terhadap isteri dari kekerasan dalam rumah tangga. b. Untuk meningkatkan pengetahuan, wawasan dan kemampuan penulis di bidang Hukum Islam, khususnya dengan membahas dan
12
mencermati peran Hukum Islam dalam melindungi dan memuliakan wanita terkhusus kedudukannya sebagai isteri guna memberikan kontribusi perbaikan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan cara membandingkan peraturan tersebut dengan Hukum Islam. c. Untuk memperoleh data sebagai bahan utama penyusunan penulisan hukum guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya, serta terkhusus dalam Hukum Islam yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap isteri dari kekerasan suami dalam rumah tangga guna memberikan kontribusi perbaikan peraturan dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia, yaitu Undang-undang nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 2. Manfaat Praktis a. Guna memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti. b. Hasil penulisan ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan serta tambahan bagi para pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti, dan berguna bagi para pihak yang berminat pada masalah yang sama. E. Metode Penelitian Metode penelitian adalah suatu cara dan langkah-langkah yang efektif, efisien dan sistematis untuk mencari dan menganalisis data-data untuk menjawab persoalan yang ada (Bambang Sunggono, 2006:54).
13
Penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, gejala, atau hipotesa, usaha mana yang dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah (Sutrisno Hadi, 2001: 4). Metode berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu methodos dan logos. Methodos berarti cara atau metode utama yang digunakan untuk mencapai tujuan. Logos berarti ilmu, jalan, melalui. Jadi Metodologi penelitian adalah ilmu tentang cara-cara untuk mengembangkan dan menguji kebenaran suatu peristiwa (Soerjono Soekanto, 1984:16). Dengan demikian pengertian metode penelitian adalah prosedur atau langkah-langkah yang dianggap efektif dan efisien, dan umumnya sudah mempola untuk mengumpulkan, mengolah dan menganalisis data dalam rangka menjawab masalah yang diteliti secara benar juga dengan cara yang teratur dan berpikir secara runut dan baik dengan menggunakan metode ilmiah yang bertujuan untuk menemukan, mengembangkan maupun guna menguji kebenaran maupun ketidakbenaran dari suatu pengetahuan, gejala atau hipotesa. 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang penulis pergunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti. Senada dengan Soerjono Soekanto, bahwa penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka,
14
dapat dinamakan penelitian hukum normative atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup: a. Penelitian terhadap asas-asas hukum b. Penelitian terhadap sistematik hukum c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal d. Perbandingan Hukum e. Sejarah Hukum (Soerjono Soekanto, 2001:13-14) Penelitian hukum ini menggunakan perbandingan hukum, karena dalam penelitian ini akan membandingkan perlindungan hukum terhadap isteri dari kekerasan suami dalam rumah tangga dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Hukum Islam. 2. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya. Maksud dari penelitian deskriptif adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu dalam memperkuat teori lama di dalam kerangka menyusun teori-teori baru. (soerjono Soekanto, 1986: 10). Dan dalam penelitian ini penulis memberikan data sedetail mungkin kemudian memaparkan dan menjelaskan tentang perbandingan perlindungan hukum terhadap isteri dari kekerasan suami dalam rumah tangga dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 dan Hukum Islam. 3. Jenis data Jenis data yang penulis gunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, yaitu data atau informasi hasil penelaahan dokumen penelitian seperti yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-
15
buku,
literature,
koran,
majalah,
jurnal
maupun
arsip-arsip
yang
berkesesuaian dengan penelitian yang dibahas. 4. Sumber Data Sumber data merupakan tempat dimana dan kemana data dari suatu penelitian dapat diperoleh, sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder, yakni sumber data yang bersifat pribadi dan bersifat publik. Bersifat pribadi berdasarkan literatur atau artikel milik pribadi yang di publikasikan. Sedangkan bersifat publik, contohnya adalah catatan-catatan resmiYang terdiri dari: a. Bahan hukum primer Bahan baku primer yakni bahan baku hukum yang di keluarkan oleh pemerintah dan bersifat mengikat, yakni peraturan perundangundangan, perjanjian internasional dalam bentuk traktat dan konvensi (Burhan Ashofa, 2001:103). Dalam hal ini meliputi: 1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan 3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 4) Instruksi presiden R.I Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Sementara itu di dalam penelitian ini juga menggunakan bahan hukum primer yang merupakan kaidah dasar hukum Islam, yaitu : Al-Qur’an dan Hadits.
16
b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang isinya membahas bahan hukum primer dan terdiri dari buku-buku dan artikel dari berbagai sumber baik itu internet, koran atau karya tulis ilmiah terdahulu mengenai topik yang sama (Soerjono Soekanto, 2001:103). Bahan sekunder yang digunakan antara lain, tafsir Al-Qur’an, Buku tentang relasi suami dan isteri, buku tentang kekerasan dalam rumah tangga, karya tulis ilmiah para sarjana, makalah seminar, literaturliteratur, dan artikel-artikel, yang merupakan pisau analisis bagi penulis agar dapat mengkaji perlindungan isteri dari kekerasan suami dalam rumah tangga secara mendalam. c. Bahan hukum tersier Bahan hukum tersier atau penunjang, yaitu bahan yang memberikan petujuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya bahan dari media internet, kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainya (Soerjono Soekanto, 2001:13). 5. Teknik Pengumpulan Data Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara pengumpulan atau dokumentasi data sekunder berupa peraturan perundangan, artikel maupun dokumen lain yang dibutuhkan untuk kemudian dikategorisasi menurut pengelompokan yang tepat. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik studi pustaka untuk mengumpulkan dan menyusun data yang diperlukan. 6. Teknik Analisis Data
17
Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil penelitian menjadi suatu laporan. Analisis data adalah suatu proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga ditemukan tema dan dapat ditemukan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Lexy J.Moleong, 1993:64). Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis isi (content analysis). Menurut Krippendorf dalam Naskah Akademik tahap kedua versi rilis 1.0, teknik analisis data dalam penelitian normatif menggunakan analisis isi (content analysis) yaitu serangkaian metode untuk menganalisa isi segala bentuk komunikasi dengan mereduksi seluruh isi komunikasi menjadi serangkaian kategori yang mewakili hal-hal yang ingin di teliti, setelah analisis data selesai, maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif yaitu dengan permasalahan yang diteliti dan dan data yang diperoleh. F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan hukum ditujukan untuk dapat lebih memberikan gambaran yang jelas, komprehensif dan menyeluruh mengenai bahasan dalam penulisan hukum yang akan disusun. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN Terdiri dari sub Bab latar belakang masalah, perumusan masalah tujuan penelitian, manfaat Penelitian, metode penelitian, sistematika penulisan hukum
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA Berisi kajian pustaka dan teori yang berkenaan dengan judul dan masalah yang diteliti, memperjelas konsep-konsep dan landasan kerangka teoritis.
18
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berisi hasil penelitian yang diperoleh dan pembahasannya dikaitkan dengan permasalahan pemikiran dengan teknik analisis data yang telah ditentukan dalam sub bab metode penelitian.
BAB IV
PENUTUP Berisi kesimpulan dan saran, kesimpulan dirumuskan secara singkat dan jelas untuk menjawab permasalahan penelitian. Saran dirumuskan bertolak dari kesimpulan penelitian dan mengarah pada rekomendasi yang bersifat konkrit.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
19
BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Perbandingan Hukum Istilah perbandingan hukum bila diterjemahkan dalam bahasa asing antara lain comparative law (bahasa Ingris), droit comparation (istilah Perancis), rechtsgelijking (istilah Jerman), vergleihende rechstlehre (bahasa Belanda). Sedangkan menurut peristilahan Indonesia comparative law berarti perbandingan hukum. Sedangkan menurut pendapat para ahli : a. Definisi menurut Rudolf D.Schlessinger sebagaimana dikutip Barda Nawawi Arief: 1). Comparative Law merupakan metode penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu; 2). Comparative Law bukanlah suatu perangkat peraturan dan asas-asas hukum,bukan suatu cabang hukum; 3). Comparative Law adalah teknik atau cara mengarap unsur hukum asing yang actual dalam suatu masalah hukum b. Definisi menurut Zweigert dan Kort sebagaimana dikutip Barda Nawawi Arief yaitu:”Comparative Law is the comparison of the spirit and style of legal system or of comparable legal problems in different
system”,
artinya
“Perbandingan
hukum
adalah
perbandingan dari jiwa dan gaya dari sistem hukum yang berbedabeda atau lembaga-lembaga hukum yang berbeda-beda atau penyelesaiannya masalah hukum yang dapat diperbandingkan dalam system hukum yang berbeda-beda atau penyelesaian masalah hukum yang dapat diperbandingkan dalam system hukum yang berbeda-beda”.
19
20
c. Lemaire mengemukakan perbandingan hukum sebagai cabang ilmu pengetahuan yang juga menggunakan metode perbandingan mempunyai lingkup; isi dari kaidah-kaidah hukum, persamaan dan perbedanya, sebab-sebabnya dan dasar-dasar kemasyarakatannya. d. Ole Lando mengemukakan antara lain bahwa perbandingan hukum mencakup :”analysis and comparasion of the law”, artinya analisa dan perbandingan hukum. Pendapat tersebut sudah menunjukkan kecenderungan untuk mengakui perbendingan ilmu hukum. e. Hessel E.Yentemna mengemukakan bahwa perbandingan hukum sebagai berikut ”comparative law is simply another name for legal science it has a universal humanistic outlook : it contemplates that while the technique may vary,the problems of justice are basically the same in time and space throughout the world”, artinya “Perbandingan hukum hanyalah nama lain untuk ilmu hukum dan bagian integral dari bidang yang lebih luas dari ilmu pengetahuan social,sebab seperti cabang ilmu pengetahuan lain ia mempunyai pandangan kemanusiaan yang universal: ia memandang,meski tekniknya berbeda,bahwa masalah keadilan pada dasarnya sama menurut waktu dan tempat di seluruh dunia”. f. Rudolf B Schlesinger, mengatakan bahwa perbandingan hukum merupakan metoda penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan
yang
lebih
dalam
tentang
badan
hukum
tertentu.Perbandingan hukum bukanlah perangkat peraturan dan asas-asas hukum dan bukan suatu cabang hukum,melainkan merupakan teknik untuk menghadapi unsur hukum asing dari suatu masalah hukum. g. Winterton mengemukakan, bahwa perbandingan hukum adalah suatu metoda yaitu perbandingan sistem-sistem hukum dan
21
perbandingan tersebut menghasilkan data sistem hukum yang dibandingkan. h. Giutteridge membedakan antara comparative law yaitu untuk membandingkan dua sistem hukum atau lebih, dan foreign law atau hukum asing mempelajari asing tanpa secara nyata membandingkannya dengan sistem hukum yang lain. Tujuan perbandingan hukum adalah mencari identitas dari fungsi kaidah-kaidah hukum dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial yang sama.Bertitik tolak pada pendekatan yang fungsional tersebut maka metoda yang dipergunakan dalam perbandingan hukum adalah metoda yang bersifat : a. Kritis; b. Realistik; c. Tidak dogmatis (Romli Atmasasmita, 2000:11). Metoda yang bersifat kritis karena para ahli perbandingan hukum tidak lagi mementingkan persamaan dan perbedaan dari berbagai system hukum semata-mata sebagai suatu fakta melainkan yang dipentingkan adalah keajegan, dapat dipraktekkan, keadilan, dan jalan keluar bagi suatu masalah hukum tertentu (the fitness,the practicability,the justice and the way of legal solutions to gives problems). Metoda yang bersifat realistik karena perbandingan hukum bukan saja meneliti perundang-undangan, putusan hakim dan doktrin sematamata, melainkan semua motivasi yang sesungguhnya menentukan atau mempengaruhi dunia,seperti : etika, psikologis, ekonomi, dan kebijakan perundang-undangan. Metoda yang bersifat dogmatis karena perbandingan hukum tidak
22
hendak terkekang dalam kekuasaan dogma-dogma. Walaupun dogmadogma itu memiliki fungsi sistematika akan tetapi dogma dapat menyebarkan dan membuat pandangan yang kurang tepat dalam menemukan pemecahan atas masalah hukum yang dianggap terbaik menurut masanya. Berdasarkan
pendapat
atau
definisi
perbandingan
hukum
sebagaimana telah diuraikan diatas dapat dikemukakan bahwa ada dua kelompok definisi perbandingan hukum yaitu: a. Kelompok pertama memberikan definisi yang menganggap perbandingan hukum sebagai metoda b. Kelompok kedua menganggap sebagai cabang ilmu hukum (science). Kedua kelompok definisi tersebut muncul atau dikemukakan sesuai dengan masanya sehingga pendapat kedua model definisi tersebut terdapat kebenarannya. Namun demikian pendapat penulis model definisi kedua sangat relevan
dengan
perkembangan
masyarakat
masa
kini
karena
perbandingan hukum tidak lagi semata-mata sebagai alat untuk mengetahui persamaan dan perbedaan dua sistem hukum melainkan sudah suatu studi sendiri yang mempergunakan metoda dan pendekatan yang khas yaitu metoda perbandingan, sejarah dan sosiologi serta obyek pembahasan tersendiri yaitu sistem hukum asing tertentu. Kedudukan perbandingan
hukum
terakhir
ini
cocok
untuk
mengantisipasi
perkembangan kebutuhan hukum di dalam masyarakat yang sedang membangun.
23
2. Tinjauan Umum Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan a. Definisi Perempuan Untuk memberikan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan harus dibedakan pengertian antara perempuan dan wanita. Penggunaan istilah perempuan dan wanita sama-sama dipakai, jika perempuan diartikan sebagai orang atau manusia yang dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak dan menyusui, maka wanita diartikan sebagai perempuan dewasa atau karier wanita yang berkecimpung di kegiatan profesi. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995:1125). Sedangkan fokus obyek bahasan penulis adalah perempuan atau wanita yang memiliki kedudukan sebagai isteri atau sudah menikah. b. Definisi Kekerasan Dalam bahasa Inggris disebut dengan kata “violence”, yang artinya suatu serangan atau invansi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Dalam kamus bahasa Indonesia, kekerasan di beri tiga pengertian yakni: 1). Suatu perihal (yang bersifat/berciri) keras; 2). Perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik dan barang orang lain; 3). Dari segi etimologi diartikan sebagai paksaan. Jadi, kata kekerasan dalam bahasa Indonesia umumnya dipahami hanya menyangkut serangan fisik saja. Oleh karena itu kata kekerasan dalam hal ini adalah sebuah tindakan atau perilaku kasar yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain atau satu pihak terhadap pihak lain, dimana umumnya tindakan itu dilakukan secara frontal dan sasarannya adalah fisik. Sedangkan “paksaan” yang mengisyaratkan
24
kekerasan itu bisa berbentuk non fisik, karena paksaan lebih berkaitan dengan unsur psikologis atau mental. Tentunya melihat dari tindakan kekerasan itu sendiri merupakan manifestasi dari jiwa dan hati yang kacau karena terganggu. Keguncangan jiwa dan hati itu begitu kuat sehingga mengalahkan akal sehat. (Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, 2006: 279-280). Definisi kekerasan sebagaimana ditulis Aryo Nugrohotomo dalam skripsinya yang berjudul Perbandingan perlindungan hukum Terhadap Wanita Dalam KUHP Dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sebagai berikut : Menurut Budi Sampurna dalam makalah “ Pembuktian dan Penatalaksanaan Kekerasan Terhadap Perempuan Tinjauan Klinis dan Forensik”, yang mengutip dari Buckley W.R., Bahwa literatur-literatur Amerika Serikat mengartikan kekerasan dalam berbagai istilah dengan variasi pengertian seperti tort, assault, dan battery. 1). Tort adalah “a wrongful injury to a person or a person’s property”.Pengertian ini terbagi dalam tiga kategori besar, yaitu dengan sengaja (intentional tort), kelalaian (negligence), stict (absolute) liability. 2). Assault dalam hukum Amerika diartikan sebagai “An attempt by one person to make harmful or offensive contact with another individual without consent. Actual phsycal contact is not necessary” 3). Dalam Black’s Law Dictionary, pengertian assault adalah “Any Willful attempt or threat to inflict injury upon the person of another..”. “Any Intentional display of force such as would give
25
the victim reason to fear or expect immediate bodily harm”. “An assault may be committed without actually touching, or striking, or doing bodily harm, to the person or another” 4). Baterry diartikan sebagai “Tortfeasor’s intentional, unconsented touching of another person in an offensive or harmful manner” Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), dan baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (deffensive), yang disertai dengan penggunaan kekuatan kepada orang lain. Jika orang sepakat bahwa setiap tindakan yang mengganggu fisik atau kondisi psikologis seseorang adalah satu bentuk kekerasan maka seharusnya orang menyadari bahwa rasisime, polusi atau kemiskinan dapat juga diartikan sebagai bentuk kekerasan. Kekerasan yang dimaksud disini adalah setiap tindakan yang berujung pada pelanggaran hak asasi manusia dalam pengertian yang luas atau pelanggaran yang menghalangi manusia memenuhi kebutuhan dasarnya. Dengan demikian maka aksi kekerasan bisa mencakup kekerasan aksidental dan kekerasan struktural (Ridwan, 2006: 57-58). Dari sisi bahasa dan dari terminologi penggunaannya, kata kekerasan yang dalam bahasa Arab sering disebut dengan khusyunat, dan dalam bahasa Inggris berarti violence sering diartikan dengan; “Suatu tindakan yang bersandar pada penggunaan ketegasan ekstra”. Sebagian lagi mendefiniskannya sebagai; "Prilaku yang bertentangan dengan kelembutan dan sesuatu yang natural". Tentu pendefinisian semacam itu adalah definisi yang bersumber dari konsep abstrak yang sangat memungkinkan adanya perbedaan redaksi dan tolok ukur kriterianya. Konsep kekerasan tidak jauh berbeda bahkan mirip
26
dengan konsep-konsep abstrak lainnya seperti; kebebasan, toleransi, reformasi dan sebagainya yang dalam pendefinisiannya sangat berbeda
dengan
konsep-konsep
obyektif.
Atas
dasar
itulah,
perdebatan dalam pendefinisian konsep kekerasan dalam tulisan ringkas ini lebih baik dihindari. Tidak satupun definisi yang para pemikir lontarkan yang memenuhi parameter ilmiah sebuah definisi, sehingga dari situ menyebabkan mereka pun sewaktu menyebutkan kata teror, penyiksaan, pelaksanaan hukum pidana, reaksi kekerasan, penyitaan dan embargo pun dimasukkan sebagai ekstensi dari tindak kekerasan. (http//www.al-shia.com/html/id/service/maqalat/007.htm). c. Latar Belakang Penyebab Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Laporan Penelitian Kajian Wanita yang disusun oleh Mohammad Jamin dan Gayatri Dyah Suprobowati yang berjudul Efektivitas
Undang-undang
Nomor
23
tahun
2004
tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga untuk memberikan perlindungan terhadap Isteri Dari Kekerasan Seksual oleh Suami menjelaskan bahwa, Dalam konsiderans (bagian pertimbangan) Deklarasi PBB tentang Penghapusan kekerasan terhadap perempuan, dinyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah perwujudan ketimbangan historis hubungan-hubungan kekuasaan diantara kaum laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan oleh laki-laki dan hambatan bagi kemajuan mereka. Dalam banyak kasus kekerasan terhadap perempuan, kedudukan dan relasi yang tidak seimbang antara pelaku dan korban telah menjadi faktor utama penyebab kekerasan terhadap perempuan.
27
Henrietta Moore (1994: 66-69) menyebutkan bahwa kekerasan itu muncul sebagai akibat dari adanya bayangan tentang peran identitas berdasarkan jenis kelamin yang dikaitkan dengan bayangan mengenai kekuasaan yang dapat dimilikinya. Hal ini membantu menjelaskan mengapa kekerasan seringkali merupakan hasil dari sebuah ketakutan yang dipersepsikan oleh pelaku ketimbang ketakutan yang sebenarnya. Misalnya isteri yang menjadi korban kekerasan suami hanya karena suami menganggap isteri serong apabila isteri pergi ke kantor. Dengan demikian kekerasan sebenarnya lebih merupakan alat untuk melakukan kontrol sosial dan secara disadari atau tidak, memberi dampak yang buruk kepada korban. Kekerasan terdiri dari tindakan memaksakan kekuatan dan kekuasaan pada pihak lain. Hal yang patut di ingat disini, meski tindak kekerasan dapat menyebabkan implikasi yang serius bagi kesehatan fisik dan mental. Namun fenomena ini bukanlah hanya sebuah fenomena medis. Tindak kekerasan juga bukanlah sebuah fenomena kriminal yang berdiri sendiri, melainkan sebuah fenomena melintasi lingkup lingkup hukum, etika dan kesehatan serta berkaitan erat pula dengan etika moral, budaya, politik dan juga latar belakang pribadi. Radhika Commasraswamy, Special Rapporteur PBB tentang Kekerasan
Dalam
Perempuan
(Commaswamy,
50-51)
juga
menguraikan bahwa kekerasan berbasis gender terjadi karena beberapa alasan. Pertama, kekerasan terjadi karena korban berjenis kelamin perempuan, oleh karena itu menjadi obyek atau sasaran kekerasan
seperti
misalnya
dalam
kasus
penyunatan
bayi,
pembunuhan bayi atau janin perempuan karena menganggap bayi
28
laki-laki lebih berharga daripada bayi perempuan, dan kejahatan seksual. Kekerasan jenis ini berakar pada konstruksi masyarakat tentang seksualitas perempuan dan peran dalam hirarki sosial. Kedua, karena relasinya dengan laki-laki baik karena perempuan atau pertalian darah atau relasi intim lainnya, seorang perempuan menjadi sangat rentan dengan kekerasan domestik. Di beberapa tempat seperti halnya di India, kekerasan jenis ini kadang mengambil bentuk-bentuk kebiasaan yang di benarkan oleh budaya setempat seperti misalnya dowry (pembayaran sejumlah uang dari pengantin perempuan kepada keluarga laki-laki yang jika tidak di bayar bisa berakhir penyiksaan atau pembunuhan) dan sati yakni upacara bunuh diri karena kematian suami. Ketiga, karena perempuan menjadi anggota dari kelompok sosial tertentu. Pada saat perang, kerusuhan etnis, agama, kelas atau kasta dan sebagainya, kaum perempuan kerap menjadi sasaran kekerasan seperti misalnya yang terjadi dalam perkosaan pada kerusuhan Mei 1998 terhadap perempuan etnis Tionghoa. Demikian pula yang terjadi di aceh atau yugoslavia. Penggunaan kekerasan terhadap perempuan tersebut dimaksudkan sebagai alat untuk menghinakan kelompok atau komunitas darimana perempuan itu berasal atau menjadi anggotanya. Persepsi laki-laki terhadap seksualitas perempuan dan perempuan sebagai milik atau properti laki-laki
melanggengkan
praktek-praktek
ini
(Nursyahbani
Katjsungkana dan Asnifriyanti, Damanik, 2004). Dari
contoh-contoh
diatas
jelaslah
bahwa
masalah
ketimbangan kekuasaan dan kekerasan berbasis gender mengakar pada konteks relasi kekuasaan dalam bidang ekonomi, sosial, politik dan budaya. Ketimbang ini bukan saja menciptakan ketergantungan
29
perempuan terhadap laki-laki baik secara sosial dan ekonomi, tapi juga memberikan legitimasi terhadap kekerasan yang terjadi. Walaupun isu kekerasan terhadap perempuan telah tertuang sebagai masalah sosial yang serius, namun masih kurang mendapat respon yang memadai, baik dari pemerintah, aparat penegak hukum, maupun masyarakat pada umumnya. Mengapa demikan, salah satu penyebabnya adalah karena secara mendasar kekerasan terhadap perempuan di pahami hanya sebagai persoalan yang bersifat domestik dan personal. Artinya apabila seorang menjadi korban sasaran tindak kekerasan. Ini serupa saja dengan mengatakan bahwa, kalau perempuan
mengalami tindak kekerasan, sedikit atau banyak
dianggap terjadi atas adilnya. Oleh karenanya, maka dianggap cukup diselesaikan secara pribadi oleh korban. d. Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan Menurut Mulyana W. Kusumah ada empat kategori yang mencakup hampir semua pola – pola kekerasan yakni: 1). Kekerasan Legal.yaitu banyak tindakan-tindakan kekerasan yang didukung oleh
hukum.
Seperti:
seorang
anggota
tentara
memperoleh ganjaran sebagai pahlawan atas intensitas perilaku kerasnya dalam rangka menjalankan tugas dan sport-sport agresif tertentu, contoh: tinju, serta tindakan-tindakan tertentu untuk mempertahankan diri. 2). Kekerasan yang secara sosial memperoleh sanksi, suatu faktor penting dalam menganalisis kekerasan adalah tingkat dukungan terhadapnya atau sanksi social.Misalnya: tindakan kekerasan suami atas pezinah akan memperoleh dukungan sosial.
30
3). Kekerasan Rasional, beberapa tindakan kekerasan yang tidak legal akan tetapi tak ada sanksi sosialnya adalah kejahatan yang dipandang
rasional
dalam
konteks
kejahatan.
Misalnya:
pembunuhan dalam rangka suatu kejahatan terorganisasi. 4). “Illegal, nonsanctioned, irrational violence” yakni kekerasan yang tidak berperasaan, yang terjadi tanpa adanya provokasi terlebih dahulu tanpa memperlihatkan motivasi tertentu dan pada umumnya korban tidak dikenal (dalam pembunuhan; oleh pembunuhnya).( Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, 2006: 281-282). Pasal
1
Deklarasi
Penghapusan
Kekerasan
Terhadap
Perempuan menyatakan: “Any act of gender-based violence that results in, or is likely to results in, physical, sexual or psychological harm or suffering to women, including threats of such acts, coercion, or arbitrary deprivation of liberty, whether occurring in public or private place”. Dalam bahasa Indonesia pengertian ini diartikan menjadi: “Setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu,
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara
sewenang-wenang, baik yang terjadi didepan umum atau dalam kehidupan pribadi”. Sedangkan dalam pasal 2 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan berisi tentang bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan, yang walaupun tidak dibatasi tetapi dibagi kedalam tiga kelompok yaitu kekerasan dalam keluarga, kekerasan dalam masyarakat luas dan kekerasan yang dilakukan atau dibenarkan oleh
31
negara. Dalam pasal 2 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan menyatakan:”Kekerasan terhadap perempuan harus dipahami mencakup,tetapi tidak hanya terbatas pada hal-hal sebagai berikut: 1). Tindak kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam keluarga, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas perempuan kanak-kanak dalam rumah tangga, kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan, perusakan alat kelamin perempuan dan praktekpraktek ekejaman tradisional lain terhadap perempuan diluar hubungan suami isteri, dan kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi. 2). Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat luas termasuk perkosaan, penyalahgunaan seksual ditempat
kerja,
dalam
lembaga-lembaga
pendidikan
dan
sebagainya. 3). Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau dibenarkan oleh Negara, dimanapun terjadinya”. Dalam skripsi yang ditulis Aryo Nugrohotomo yang berjudul Perbandingan perlindungan hukum Terhadap Wanita Dalam KUHP Dengan
Undang-undang
Nomor
23
Tahun
2004
Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sebagai berikut : Terminologi kekerasan terhadap perempuan mempunyai ciri bahwa tindakan tersebut: 1). Berupa fisik, seksual maupun non fisik (psikis), 2). Dilakukan secara aktif maupun dengan cara pasif (tidak berbuat) 3). Dikehendaki atau diniati pelaku,
32
4). Ada akibat/kemungkinan akibat yang merugikan pada korban (fisik, seksual atau psikis), yang tidak dikehendaki oleh korban.(Budi Sampurna, 1999). Perumusan lain tentang batasan dan bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan juga telah dirumuskan dalam Lokakarya dan Pelatihan Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya (Suatu Tinjauan Hukum) yang diadakan oleh Kelompok Kerja Convention Watch, Program Studi Kajian Wanita, Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Dari diskusi dalam lokakarya dan pelatihan dapat diidentifikasi batasan dan kekerasan sebagai berikut. 1). Kekerasan dalan rumah tangga (termasuk perkosaan dalam perkawinan) : setiap tindakan secara fisik, psikis dan seksual (dilakukan oleh suami, mantan suami, pacar, terhadap isteri atau anak perempuan). 2). Kekerasan dan perkosaan massal terhadap perempuan dalam kerusuhan massal (pelaku adalah masa yang tidak diketahui). 3). Kekerasan dan perkosaan terhadap perempuan dalam konflik bersenjata dan pengungsian (dilakukan dan dibiarkan oleh negara atau aparat negara dan merupakan state violence). 4). Incest (dilakukan oleh pacar laki-laki terhadap anak, saudara perempuan). 5). Ingkar janji (dilakukan oleh pacar laki-laki terhadap perempuan yang sudah hamil akibat hubungan mereka). 6). Perampokan (pelecehan dilakukan oleh pelaku dan cara pemeriksaan oleh aparat polisi).
33
Dalam buku yang berjudul Marital Rape (kekerasan seksual terhadap isteri) karangan Milda Maria, menyebutkan beberapa bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dikemukakan oleh beberapa pengamat dalam hal ini diantaranya yaitu : Andy Dermawan menyatakan, sedikitnya ada 3 bentuk kekerasan yang lumrah terjadi dalam rumah tangga yaitu : 1). Kekerasan sikap, merendahkan. 2). Kekerasan bahasa, memaki dan mengintimidasi. 3). Kekerasan fisik, memukul, menendang, mendorong hingga jatuh. Objek atau korban lebih banyak isteri ketimbang suami, dan salah satu kekerasan yang kerap terjadi di dalam rumah tangga adalah pemaksaan aktivitas atau selera seksual. Dalam perkawinan hubungan seksual menjadi aktivitas sah suami isteri dan dilakukan demi menghasilkan keturunan, memenuhi hasrat seks, dan menaati perintah Tuhan atau sunnah rasul (ibadah). Mansour Fakih, berangkat dari analisis gender, menyebutkan 3 bentuk kekerasan terhadap perempuan: 1). Kekerasan terhadap pribadi (personal violence), dalam kehidupan sehari-hari, perempuan menderita dan menjadi korban kekerasan fisik dan mental. Penderitaan ini umumnya sulit diungkap lantaran tidak terdokumentasi secara baik dan resmi. Kekerasan yang paling parah adalah, termasuk didalamnya pemerkosaan dalam perkawinan (marital rape). Pemerkosaan ini terjadi ketika seseorang memaksa untuk beroleh pelayanan seksual tanpa kerelaan
pasangan.
Ketidakrelaan
ini
seringkali
tidak
terekspresikan, dan itu dikarenakan berbagai faktor, misalnya:
34
ketakutan, rasa malu, keterpaksaan ekonomi, sosial maupun kultural, atau ketiadaan pilihan. 2). Kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence). Kekerasan ini umumnya paling sulit diungkap karena selain dianggap sebagai urusan internal rumah tangga, masyarakat pun lebeh cenderung menyalahkan korbannya. Termasuk dalam kekerasan jenis ini adalah pemukulan dan sejenisnya terhadap anggota keluarga, diskriminasi terhadap anak perempuan dalam hal memperoleh pendidikan dan kesehatan, penerapan standar ganda terhadap anak laki-laki dan perempuan, kawin paksa dan subordinasi dalam segenap proses pengambilan keputusan dirumah tangga. Kekerasan publik dan negara (public and state violence). Kekerasan terhadap perempuan diluar rumah maupun dimasyarakat umumnya berupa sanksi sosial dan kultur serta diskriminasi. Termasuk dalam kekerasan ini adalah pemaksaan sterilisasi dalam program Keluarga Berencana, pelacuran, dan pornografi. 3. Tinjauan Umum Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga a. Sejarah lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kebutuhan
akan
adanya
Undang-undang
yang
khusus
mengatur Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai kejahatan dan memberikan perlindungan tertentu bagi korban, sudah dikemukakan lembaga-lembaga
swadaya
masyarakat
selama
bertahun-tahun.
Sebuah draft yang berisikan Rancangan Undang-undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga telah disampaikan oleh sejumlah LSM kepada Komisi V11 DPR RI dan Badan Legislasi DPR RI. Berbagai kajian hukum telah juga didiskusikan dan diseminarkan
35
diberbagai daerah. Undang-undang mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dibutuhkan tersebut meliputi rumusan mengenai tindak pidana yang dianggap sebagai kejahatan, Upaya-upaya hukum yang dapat diakses oleh korban dan saksi kejahatan tersebut termasuk perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan. Sebelum diundangkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, kerangka hukum yang berlaku untuk kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, masih didasarkan pada aturan hukum pidana yang merupakan hukum warisan kolonial yang banyak mengandung kelemahan, sehubungan dengan penegakan hak-hak perempuan. Definisi tentang tindak perkosaan misalnya, merupakan definisi kuno yang tidak lagi dipakai di negara manapun yang serius menegakkan hak asasi manusia karena tidak memunculkan keadilan bagi korban perkosaan. Substansi hukum yang tidak memadahi untuk melindungi perempuan dari tindak kekerasan ini, merupakan faktor penting dalam pelanggengan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia, karena tidak ada sanksi hukum yang tegas bagi pelaku kekerasan. Masalah lain terkait dengan perlindungan terhadap korban kekerasan adalah lemahnya penegakan hukum dari aparat penegak hukum, walaupun Indonesia telah meratifikasi konvensi PPB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskrimasi terhadap Perempuan melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984. Disamping itu, masalah rendahnya kepekaan gender aparat penegak hukum yaitu polisi, jaksa dan hakim juga turut mendukung tidak efektifnya implementasi Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984.
36
Dengan
mendasarkan
pada
kenyataan
Empiris
inilah,
perjuangan untuk membuat sebuah Undang-undang yang secara spesifik mengatur tindak kekerasan menjadi sebuah keniscayan dalam rangka penegakan Hak Asasi Manusia, khususnya penegak hak-hak yang selama ini menjadi korban kekerasan. Berbagai diskusi dan aksi pun digelar oleh para aktivis Hak Asasi Manusia dan Perempuan untuk mengagas instumen hukum bagi penegakan hukum terkait dengan tidak kekerasan dalam rumah tangga. Secara perjalanan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mengalami proses yang cukup panjang. Berbagai kegiatan advokasi kebijakan untuk melakukan pembaruan hukum yang lebih memberikan perlindungan hukum terhadap korban diawali dengan penyusunan naskah akademis tentang kekerasan Dalam Rumah Tangga. Terhitung sejak tanggal 13 Mei 2003, Rancangan Undangundang yang di inisiasi oleh aktivis perempuan dibawah Koordinasi Jaringan Kerja Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (Jangka PKTP) menjadi usul inisiasi DPR yang kemudian berlanjut dengan pengiriman surat dari ketua DPR RI kepada presiden untuk menunjuk salah satu menteri menjadi Leading Sector pembahasan Rancangan Undang-undang tersebut. Setelah melalui lobi dan aksi, pada tanggal 30 Juni 2004, Presiden menerbitkan amanat Nomor R. 14/PU/V1/2004 yang menugaskan Menteri Pemberdayaan Perempuan untuk mewakili pemerintah dalam pembahasan Rancangan Undang-undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sebagai bahan sandingan atas Rancangan Undang-undang inisiatif DPR, Pemerintah dalam hal ini
37
diwakili
oleh
Menteri
Pemberdayaan
Perempuan
menyusun
rancangan Undang-undang dengan judul Perlindungan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dilihat dari judulnya yakni Rancangan Undang-undang Perlindungan Korban, Rancangan Undang-undang versi pemerintah ini mengalami kemunduran dari versi badan legislatif. Pemerintah dalam hal ini tidak menangkap substansi yang selama ini dibutuhkan kelompok
perempuan.
Dengan
hanya
menonjolkan
aspek
perlindungan korban saja maka perlindungan hanya diperuntukkan bagi korban saja bukan antisipasi terhadap terjadinya tidak kekerasan dalam rumah tangga. Padahal yang menjadi mainstream perlawanan dan gagasan mengenai keberadaan Rancangan Undang-undang ini adalah larangan terhadap perilaku atau tindak kekerasan. Dalam perjalanan proses penyusunan Rancangan Undangundang ini melampaui beberapa perubahan baik dari sisi substansi maupun judul. Rancangan awal Rancangan Undang-undang ini berjudul Rancangan Undang-undang Anti kekerasan Dalam Rumah Tangga kemudian diganti Rancangan Undang-undang Anti Kekerasan Domestik. Setelah melalui pembahasan di DPR berubah menjadi Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kemudian terhitung sejak tanggal 14 September 2004, Rancangan Undang-undang ini disahkan menjadi Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Yang terdiri dari 10 BAB dan 56 Pasal (Ridwan, 2006:7780). Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini,
38
menuai pro dan kontra dari berbagai elemen masyarakat, pihak yang kontra mengakui bahwa Undang-undang ini merupakan produk hukum, akan tetapi Undang-undang tersebut disinyalir bermuatan politis, terutama saat proses pembahasan Rancangan Undang-undang di DPR. Sejak Rancangan Undang-undang ini bergulir di DPR, para pengusungnya yang kebanyakan berasal dari LSM kaum feminis, gencar melobi sejumlah anggota dewan. Mereka menekan sejumlah anggota DPR untuk segera menyetujui Rancangan Undang-undang tersebut. Dan usut demi usut, saat pembahasan di DPR, Rancangan Undang-undang tersebut ternyata tidak melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan sejumlah ormas, misalnya dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan ormas Islam lainnya. Dengan proses itu maka suatu produk hukum dinilai cacat hukum ( Rivai Hutapea.
2005
”Undang-undang
Kekerasan
Rumah
Tangga
Bertentangan dengan Islam”. Sabili. Nomor 21 Tahun 5 Mei 2005 halaman : 16-21). Sedangkan
pihak
yang
pro
atau
sepakat
dengan
di
undangkannya Undang-undang ini berpandangan bahwa dengan lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan salah satu tonggak sejarah bagi upaya perlindungan terhadap korban kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga khususnya kaum perempuan sebagai kelompok yang rentan menjadi korban kekerasan (Ridwan, M. Ag. 2006 : 80). b. Asas-asas
Undang-undang
Nomor
23
Tahun
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 1). Asas Penghormatan Hak Asasi Manusia
2004
tentang
39
Tindakan kekerasan dalam bentuk apapun dan kepada siapapun merupakan bagian dari pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Setiap manusia dilahirkan sebagai pribadi yang merdeka dan melekat pada dirinya berbagai hak dasar yang tidak boleh dilanggaratau dirampas oleh orang lain. Pemberlakuan Undangundang ini dalam konteks penegakan hukum, merupakan instrumen yuridis bagi terjaminnya hak asasi manusia sebagai makhluk yang terhormat dan bermartabat. 2). Asas Keadilan dan Kesetaraan Gender Tindakan kekerasan dalam konteks relasi personal lahir antara lain disebabkan oleh pola relasi kekuasaan yang timpang. Pola
relasi
semacam
ini
ketika
tersosialisasikan
dan
terlembagakan pada gilirannya menciptakan suatu sistem sosial yang tidak adil gender. Asas keadilan dan kesetaraan gender dalam implementasi Undang-undang ini merupakan upaya negara dalam rangka menciptakan pola relasi personal dan sosial yang adil gender untuk mengeliminir lahirnya kekerasan dalam rumah tangga ataupun dalam penanganan korban kekerasan yang juga harus memperhatikan kadilan dan kesetaraan gender. 3). Asas Nondiskriminasi Asas ini memberikan suatu jaminan bahwa dalam upaya penghapusan terhadap kekerasan dalam rumah tangga tidak mendasarkan pada perlakuan yang diskriminatif baik karena perbedaan jenis kelamin, status sosial, etnis dan lainnya. Semua warga negara dihadapan hukum adalah sama baik hak dan kewajibannya. Perlakuan yang diskriminatif pada seseorang adalah bagian dari pelanggaran hak asasi manusia. Sedangkan
40
Undang-undang ini lahir justeru berangkat dari semangat untuk menegakkan hak asasi manusia. 4). Asas Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah yang komplek dan perlu penanganan yang serius dan komprehensif. Asas perlindungan terhadap korban adalah upaya perlindungan terhadap hak-hak hukum korban sekaligus dapat dipahami dalam konteks pemberian sanksi terhadap pelaku kekerasan dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan korban. Artinya sanksi hukuman pada pelaku kekerasan lebih berorientasi pada upaya memperhatikan kepentingan-kepentingan korban. Dalam konteks kekerasan dalam rumah tangga (Ridwan, M. Ag , 2006:83-84). c. Tujuan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Tujuan ini diatur dalam pasal 4,yaitu : 1). Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga 2). Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga 3). Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga 4). Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. 4. Tinjauan Umum tentang Hukum Islam a. Definisi dan Ruang Lingkup Hukum Islam 1). Definisi Hukum Islam Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian dari agama Islam. Sebagai system hukum ia mempunyai beberapa istilah kunci yang perlu dijelaskan lebih dahulu, sebab kadangkala membingungkan, kalau tidak diketahui persis maknanya. Yang dimaksud adalah istilah-istilah (1) hukum, (2) hukm dan ahkam, (3) syariah atau syariat, (4) fiqih atau fiqh
41
dan beberapa kata lain yang berkaitan dengan istilah-istilah tersebut (Mohammad Daud Ali, 2005: 42). Hukum
Islam
merupakan
seperangkat
peraturan
berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam (Amir Syarifuddin, 1990:19). Kata hukum Islam tidak ditemukan sama sekali di dalam Al-Qur’an dan literatur hukum dalam Islam,yang ada dalam AlQur’an adalah kata syari’ah, fiqh, hukum Allah dan yang seakar dengannya, atau yang biasa digunakan dalam literatur hukum dalam Islam adalah syari’ah islam,fiqh islam dan hukum syara. Dengan demikian kata hukum islam merupakan istilah khas Indonesia yang agaknya diterjemahkan secara harfiyah dari term Islamic law dari literatur barat. Adapun definisi dari hukum islam itu sendiri setidaknya ada dua pendapat yang berbeda di kalangan para ulama dan ahli hukum islam di Indonesia. Hasbi ash-Shiddieqy
dalam
bukunya
Falsafah
Hukum
Islam
memberikan definisi hukum islam dengan “koleksi daya upaya fuqaha dalam menerapkan syariat islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. Pengertian hukum islam dalam definisi ini mendekati kepada makna fiqh (Abdul Halim Barkatullah& Teguh Prasetyo, 2006: 3). 2). Ruang Lingkup Hukum Islam Hukum Islam mencakup hukum ibadah dan muamalah. Hukum Ibadah mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT,
42
hukum ini tidak terdapat pada hukum positif yang lain. Sedangkan hukum muamalah yaitu yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, benda dan alam semesta mencakup bidang tentang hukum keluarga, pidana, acara, ketatanegaraan, hubungan antar negara, serta ekonomi dan perdagangan. (Gemala Dewi, 2005: 26). Susunan hukum muamalah dalam arti luas yaitu : a) Hukum Perdata (Islam), meliputi : (1). Munakahat,
mengatur
segala
sesuatu
yang
berhubungan dengan perkawinan, perceraian serta akibat-akibatnya; (2). Wirasah, mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan serta pembagian warisan; (3). Muamalat, dalam arti yang khusus mengatur masalh kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jual-beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, perserikatan, dan sebagainya b) Hukum Publik (Islam), meliputi : (1). Jinayat,
yang
memuat
aturan-aturan
mengenai
perbuatan- perbuatan yang diancam dengan hukuman baik dalam jarimah hudud maupun dalam jarimah ta’zir. Jarimah adalah perbuatan pidana, jarimah hudud adalah perbuatan pidana yang telah di tentukan bentuk dan batas hukumannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Jarimah ta’zir adalah perbuatan
pidana
yang
bentuk
dan
ancaman
hukumannya ditentukan oleh penguasa oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya. (Mohammad Daud
43
Ali, 2005 : 57). Jinayat adalah segala bentuk perbuatan yang dilakukan oleh seorang mukallaf yang melanggar
perintah
atau
larangan
Allah
yang
dikhitbahkan kepada orang-orang mukallaf, yang dikarenakan
ancaman
(hukuman)
itu
hukuman,
harus
baik
dilaksanakan
sanksi sendiri,
dilaksanakan penguasa maupun Allah, baik tempat pelaksanaan hukuman itu didunia maupun diakhirat. Disini dapat dipahami, bahwa setiap tindakan pidana (delik, jarimah) itu harus ada sanksi hukum (uqubat) yang dikenakan kepada sipelakunya. Keberadaan ayatayat Al-Qur’an tentang jarimah, uqubat maupun jinayat untuk berusaha dengan segala kekuatan yang ada untuk membersihkan masyarakat dari sebab-sebab kriminalitas dan mendidik setiap individu agar beristiqomah dalam hidup dan kehidupan. Namun demikian, hal ini tidak cukup hanya dorongan moral, meskipun dorongan moral itu di jaga dengan sebaikbaiknya. Juga tidak cukup hanya dengan tarbiyah, meskipun tarbiyah itu suatu kebutuhan yang bersifat religi dan syar’i. (Abdul halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, 2006 : 256-257). (2). Ah-Ahkam As-Sulthaniyah, membicarakan soal-soal yang
berhubungan
dengan
kepala
negara,
pemerintahan, baik pemerintah daerah atau pusat, tentara pajak dan sebagainya. (3). Siyar, mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama dan negara lain
44
(4). Mukhasamat, mengatur soal peradilan, kehakiman dan hukum acara (Mohammad Daud Ali, 2005 : 5658). Di Indonesia telah memiliki Pengadilan Agama untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu anatara orang-orang yang beragama Islam di bidang Perkawinan (termasuk pelanggaran atas Undangundang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan), wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh, dan ekonomi syari’ah.Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. b. Tujuan Hukum Islam Tujuan Hukum Islam adalah kebahagiaan hidup manusia di dunia ini dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil (segala) yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudharat, yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan. Dengan kata lain, tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individual dan sosial. Kemaslahatan itu tidak hanya untuk kehidupan di dunia saja tetapi juga untuk kehidupan yang kekal di akhirat kelak. Abu Ishaq al Shatibi (m.d. 790/1388) merumuskan lima tujuan hukum Islam, yakni memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, yang kemudian disepakati ilmuwan hukum Islam lainnya. (Mohammad Daud Ali, 2005:56).
45
c. Sumber Hukum Islam 1). Al-Qur’an Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam yang pertama dan utama. Ia memuat kaidah-kaidah hukum yang fundamental (asasi) yang perlu dikaji dengan teliti dan dikembangkan lebih lanjut. Menurut keyakinan umat Islam yang dibenarkan oleh peneliti ilmiah Maurice Bucaille, bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang memuat wahyu (firman) Allah, Tuhan Yang Maha Esa, asli seperti apa yang disampaikan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya sedikit demi sedikit selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, mula-mula di Makkah kemudian di Madinah untuk menjadi pedoman atau petunjuk bagi umat manusia dalam hidup dan kehidupannya mencapai kesejahteraan di dunia ini dan kebahagiaan di akhirat kelak (Mohammad Daud Ali, 2005: 78-79). 2). As-Sunnah atau Al-Hadist Merupakan sumber hukum Islam kedua setelah AlQur’an, berupa perkataan (sunnah qauliyah), perbuatan (sunnah fi’liyah) dan sikap diam (sunnah taqririyah atau sunnah sukutiyah) Rasulullah yang tercatat (sekarang) dalam kitab-kitab hadist. Ia merupakan penafsiran serta penjelasan otentik tentang AlQur’an.(Mohammad Daud Ali, 2005: 97)
46
3). Ijtihad Sumber hukum Islam yang ketiga adalah akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berusaha, berikhtiar dengan seluruh kemampuan yang ada padanya memahami kaidah-kaidah hukum yang fundamental yang terdapat dalam Al-Qur’an, kaidahkaidah hukum yang bersifat umum yang terdapat dalam sunnah nabi dan merumuskannya menjadi garis-garis hukum yang dapat diterapkan pada suatu kasus tertentu. Atau berusaha merumuskan garis-garis atau kaidah-kaidah hukum yang “pengaturannya” tidak terdapat di dalam kedua sumber utama hukum Islam itu. (Mohammad Daud Ali, 2005:111-112). Dengan dalil-dalil ijtihadi inilah sebagai upaya alternatif para ulama menemukan jawaban ketentuan hukum terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak ditemukan dalam AlQur’an dan sunnah. Para ulama ushul fiqh membagi dalil-dalil ijtihadi menjadi dua yaitu: a) Dalil-dalil ijtihad yang disepakati para mujtahid yaitu ijma’ dan qiyas. b) Dalil-dalil yang diperselisihkan adalah istihsan,maslahat mursalah, urf, syar’un man qabalana, istishhab, saddudzdzari’ah dan mahzab sahabat. Dalil-dalil ijtihadi ini ketika darinya dihasilkan hukum tentang sesuatu, maka ia disebut sebagai sumber atau dalil hukum Islam. Dan ketika ia dijadikan sebagai sarana menemukan dan menetapkan hukum sesuatu maka ia disebut sebagai metode istimbat hukum Islam. Harus diingat, karena hukum-hukum yang
47
dihasilkan dari dalil-dalil ijtihadi adalah merupakan hasil ijtihad para ulama, maka kekuatan dan kehujjahannya tidak sama dengan hukum yang langsung diambil dari Al-Qur’an dan sunnah yang bersifat qath’i, tetapi bersifat zanni (Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, 2006:14). d. Perkawinan dalam Hukum Islam 1). Pengertian Perkawinan Dalam Kompilasi Hukum Islam, Pasal 2 dinyatakan bahwa “perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan qhalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Makna Perkawinan dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu:”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut bahasa, Nikah berarti penggabungan dan percampuran. Sedangkan menurut istilah syariat, nikah berarti akad antara pihak laki-laki dan wali perempuan yang karenanya hubungan badan menjadi halal. Nikah berarti akad dalam arti yang sebenarnya dan berarti hubungan badan dalam arti majasi (metafora). Demikian itu berdasarkan firman Allah: “Karena itu nikahilah mereka dengan seizin tuan mereka”(An-Nisa’:25).
48
Di pihak yang lain, Abu Hanifah berpendapat, Nikah itu berarti hubungan badan dalam arti yang sebenarnya. Dan berarti akad dalam arti majazi. Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Saling menikahlah kalian sehingga kalian akan melahirkan banyak keturunan.” (Syaikh Hasan Ayub, 2006 : 3). Selain itu ada juga pendapat yang lain, Dalil yang menjadi landasan pertama adalah ayat Al-Qur’an, bahwa kata nikah itu tidak diartikan kecuali akad, sebagaimana yang ditegaskan az-Zamakhsyari dalam kitabnya, al-Kasysyaaf pada pembahasan awal surat An-Nuur. Namun hal itu bertolak belakang dengan firman Allah ta’ala ini: “ Sehingga ia menikah lagi dengan laki-laki yang lain.” (Al-Baqarah:230). Menurut Ijma’, yang dimaksud dengan ayat yang terakhir ini adalah alwath’u (hubungan badan) (Syaikh Hasan Ayub, 2006: 3-4). 2). Hukum Perkawinan Hukum perkawinan menurut hukum Islam yaitu Pertama, orang yang takut terjerumus dalam pelanggaran jika ia tidak menikah. Menurut para fuqoha’ secara keseluruhan keadaan seperti itu menjadikan seseorang wajib menikah, demi menjaga kesucian dirinya. Imam Al-Qurtubi mengatakan “Seorang lajang yang sudah mampu kawin dan takut dirinya serta agamanya menjadi rusak, sedang tak ada jalan untuk menyelamatkan kecuali dengan menikah, maka tak ada perselisihan pendapat tentang wajibnya ia
49
untuk menikah. Maka jika ia belum mampu memberi nafkah isterinya Allah akan melapangkan rezekinya”. Kedua, Orang yang di sunnahkan untuk menikah, yaitu orang yang syahwatnya bergejolak yang dengan pernikahan tersebut dapat menyelamatkannya dari berbuat maksiat pada Allah SWT. Menurut pendapat ashabur ra’yi, menikah dalam keadaan seperti itu adalah lebih utama daripada menjalankan ibadah sunnah . Dan itu pula yang menjadi pendapat para sahabat. Ibnu Mas’ud pernah mengungkapkan, “Seandainya ajalku tinggal sepuluh hari dan aku tahu bahwa aku akan meninggal pada hari yang kesepuluh, sedang pada saat itu aku mempunyai kesempatan menikah, niscaya aku akan menikah karena takut fitnah.” Ibrahim bin Maisarah menceritakan, Thawus pernah berkata kepadaku, “Engkau akan menikah atau aku akan katakan padamu apa yang dikatakan umar kepada Abu Zawai, “Tidak ada yang menghalangi kamu menikah kecuali usia tua atau kesenangan berbuat zina.” Dalam sebuah riwayat al-Mawardzi, Imam Ahmad mengemukakan “membujang itu bukan perintah Islam sama sekali”. Lebih lanjut ia mengatakan, “Barang siapa menyerumu untuk tidak menikah berarti ia telah menyerumu pada selain Islam”. Ketiga, Orang yang tidak memiliki nafsu birahi, baik karena lemah syahwat atau sebenarnya ia memiliki nafsu birahi tetapi hilang karena penyakit atau karena hal lainnya. Dan tentang
50
hal tersebut ada dua pendapat : Yaitu yang tetap mengatakan bahwa hal tersebut hukumnya sunnah karena universalitas alasan yang dikemukakan diatas, dan yang mengatakan bahwa tidak menikah adalah lebih baik baginya, karena ia tidak dapat mewujudkan tujuan nikah dan bahkan menghalangi isterinya untuk dapat menikha dengan laki-laki lain yang memenuhi syarat. Dengan demikian ia telah memenjarakan isterinya tersebut. Pada sisi
yang
lain
ia
telah
menghadapkan
dirinya
pada
ketidakmampuan memenuhi hak dan menunaikan kewajiban (Syaikh Hasan Ayub: 5-7). Keempat, Pernikahan Hukumnya Haram jika seseorang tidak mampu memberi nafkah lahir dan batin kepada isterinya, Imam Qurtubi mengatakan “Pasangan yang hendak menikah harus berterus terang tentang keadaan dirinya baik secara fisik maupun psikologis. Sebab jika kekurangan tersebut tidak disampaikan sebelum terjadinay ikatan perkawinan, maka itu termasuk dalam kategori penipuan”. Kelima, Pernikahan hukumnya Makruh jika jika seorang yang mau menikah adalah orang yang lemah syahwat walaupun ia mampu memberi nafkah isterinya secara lahir. Keenam, Pernikahan hukumnya Mubah bagi laki-laki yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkannya untuk menikah (Intan Savitri: “Islam dan Aspek-Aspek Preventif dan kuratif terhadap potensi kekerasan Dalam rumah tangga”). 3). Tujuan perkawinan
51
Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam termuat bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Kehidupan rumah tangga adalah dalam konteks menegakkan syariat Islam, menuju ridho Allah Swt. Suami dan istri harus saling melengkapi dan bekerja sama dalam membangun rumah tangga yang harmonis menuju derajat takwa. Allah SWT berfirman: “Dan orang-orang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. at-Taubah [9]: 71). Tujuan perkawinan juga disebutkan dalam Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 1, yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan perkawinan tersebut untuk membentuk keluarga bahagia hanya dapat tercapai apabila suami isteri bisa saling menyayangi dan menghargai satu sama lain, dimana suami sebagai kepala rumah tangga selain berperan untuk menafkahi keluarga juga harus menjaga dan mengayomi seluruh anggota keluarga, dan isteri harus selalu patuh pada kepada suami dengan bertindak dan berperan mengurus rumah tangga dan anak-anak sebaik-baiknya. Jika suami dan isteri bisa mengetahui fungsi dan perannya masingmasing
maka
kebahagiaan
akan
(http://hukumkehidupanrealita.blogspot.com/).
dapat
tercapai
52
4). Urgensi Perkawinan Dalam makalah Abdul Ghofar Ismail yang berjudul “Urgensi Berumah Tangga” dijelaskan bahwa urgensi berumah tangga adalah sebagai berikut : a) Memenuhi kebutuhan biologis dan psikologis sebagai fitroh manusia, hal ini diatur dalam QS 3:14 dan QS 30:21. “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anakanak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga) (QS. Al-Imran : 14). Manusia kelengkapan
sebagai jasmaniah
makhluk dan
yang
mempunyai
rohaniah
memerlukan
pemenuhan kebutuhan keuanya agar diperoleh ketenangan. Ada kebutuhan seorang laki-laki yang pemenuhannya tergantung kepada wanita dan begitu sebaliknya ada kebutuhan wanita yang pemenuhannya tergantung laki-laki. Pernikahan
adalah
lembaga
kehidupan
yang
dapat
menghindarkan kegelisahan dan lembaga ampuh untuk membina ketenangan, ketentraman dan kasih sayang. Sebagaimana firman Allah: Artinya: “ Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya adalah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu merasa tentram karenanya dan dijadikanNya diantara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir (QS. Ar-Rum : 21).
53
b) Untuk melestaikan keturunan manusia Allah menciptakan manusia dan menyuruh mereka nikah agar kelangsungan hidup di bumi terus terjaga. Firman Allah : Artinya: “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu (Q.S An-Nisa : 1). c) Pangkal ikatan sosial kemasyarakatan Dari pernikahan terjalin ikatan antar individu yang melahirkan keluarga, dari ikatan antar keluarga terjalinlah ikatan masyarakat/suku. Firman Allah : Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal”(Q.S. Al-Hujarat : 13). d) Menghindarkan penyakit
perbuatan
maksiat
(perzinahan)
dan
54
Para ahli menyatakan bahwa perzinahan/pergaulan bebas merupakan sumber penyakit masyarakat baik penyakit secara fisik berupa sipilis, raja singa, AIDS, maupun penyakit moral dan sosial seperti aborsi, pertentangan antar individu karena perselingkuhan, hancurnya sendi sosial karena banyak anak yang lahir tanpa jelas keturunannya, maka Allah sangat melarang perzinahan dan memasukkanya sebagai dosa besar. Firman Allah SWT : Artinya:
“Dan
janganlah
kamu
mendekati
zina,
sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (Q.S Isra : 32). e) Melahirkan
keturunan
yang
baik
dan
membentuk
masyarakat yang islami Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai naluri juga untuk melestarikan keturunan, sehingga manusia tidak kehilangan sejarah dan tidak punah dari perjalanan dunia ini. Setiap orang menginginkan keturunan yang baik, anak yang sholeh menjadi idaman orang tua karena sebagai penerus juga dapat menjadi amal jariyah. Sabda Rasulullah saw : Artinya: “Apabila telah mati anak cucu Adam, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkara : sadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan dan anak sholeh yang mau mendoakannya “ (HR Bukhori). Pembentukan umat dimulai dari pembentukan pribadi yang Islami, kemudian pembentukan keluarga yang Islami dan selanjutnya masyarakat yang Islami.
55
5). Kedudukan Isteri Dalam Hukum Islam Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia, Dessy Anwar dan Budiono, M.A, mendefinisikan kata Isteri adalah wanita (perempuan) yang telah menikah atau yang bersuami, wanita yang dinikahkan. Ada sebagian agama dan aliran yang menganggap perempuan sebagai najis, termasuk kerabat setan yang harus dijauhi dan lebih baik memilih kehidupan membujang atau kependetaan. Sebagian agama dan ideologi lainnya memandang perempuan
semata-mata
alat
untuk
memuaskan
dan
menyenangkan laki-laki dan menjadi pelayan di rumah laki-laki. Islam datang mengumumkan penghapusan kependetaan dan hidup membujang bahkan mensyariatkan perkawinan dan menganggap bahwa pasangan suami isteri merupakan tandatanda kekuasaan Allah yang terdapat di alam ini : “Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikannya diantara kamu cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (Ar-Rum : 21). Islam menempatkan Isteri shalihah sebagai kekayaan berharga dan termasuk kesenangan dunia yang dapat disimpansetelah iman dan taqwa kepada Allah- bahkan menganggapnya sebagai salah satu faktor utama terwujudnya kebahagiaan hidup. Disebutkan dalam hadist, Nabi Muhammad SAW bersabda pada Umar :
56
“Maukah aku tunjukkan kepadamu perbendaharaan yang terbaik untuk disimpan seseorang? Ialah isteri shalihah, apabila dilihatnya, maka sungguh menyenangkan, apabila diperintah pasti mentaatinya dan apabila di tinggal (pergi suami), pasti dapt menjaga dirinya dan harta suami”.(HR. Abu Dawud dari Ibnu Abbas) Selanjutnya Nabi bersabda: “Dunia adalah tempat kesenangan, dan sebaik-baik kesenangan dunia adalah perempuan (isteri) shalihah”.(HR. Muslim) “Barang siapa dianugerahi isteri yang shalihah, maka Allah membantu
dia
dalam
menjalankan
separuh
agamanya.
Karenanya, hendaklah ia takut kepada Allah dalam separuh yang kedua” (HR. Al Hakim). “Ada tiga perkara yang menyebabkan kebahagiaan manusia dan ada tiga perkara juga yang menyebabkan kesengsaraan manusia. Adapun yang menyebabkan kesenangan manusia: isteri shalihah, tempat tinggal yang nyaman Dan kendaraan yang
nyaman
pula.
Sedangkan
yang
menyebabkan
kesengsaraan manusi : isteri yang jelek (perangainya), tempat tinggal yang tidak nyaman, dan kendaraan yang suka rewel (macet)” ( HR. Ahmad, Al Bazzar dan Thabrani). “Ada empat perkara yang barang siapa diberi empat perkara itu berarti ia telah diberi kebaikan dunia dan akhirat, hati yang bersyukur, lisan yang berdzikir, kesabaran dalam menghadapi cobaan, dan isteri yang tidak berkhianat terhadap dirinya sendiri dan tidak pula terhadap suami”(HR. Thabrani). Islam mengangkat nilai dan martabat perempuan dengan cara meletakkan
perempuan
sebagai
isteri.
Bahkan
Islam
menganggap perempuan yang mampu melaksanakan kewajiban-
57
kewajiban sebagai isteri kepada suami dengan baik, sebagai bentuk jihad di jalan Allah (Yusuf Al-Qardhawi, 2006 : 111114). Islam
tidak
pernah
menanggalkan
kepribadian
perempuan lantaran ia melangsungkan pernikahan. Islam pun tidak melebur kepribadian perempuan kedalam kepribadian suaminya sebagaimana terjadi dalam tradisi barat (dan timurpent) yang menjadikan perempuan mengekor suami, sehingga namanya sendiri, keturunan dan marganya tidak di kenal. Justeru yang dikenal adalah perempuan itu isteri si fulan. Islam menetapkan bagi perempuan kepribadian mandiri yang spesifik, Oleh karena itu kita mengetahui isteri-isteri Rasulullah SAW beserta nama-nama dan keturunan nasab mereka, seperti Khadijah binti khuwailid, Aisyah binti Abu Bakar, Hafsah binti Umar, Maimunah binti Harits, Shafiyyah binti Hayyi. Begitu pula kita cermati dalam hukum sipil niscaya kita dapatkan bahwa kepribadian perempuan itu tidak berkurang sedikitpun lantaran ia kawin dan juga ia tidak kehilangan kelayakannya untuk melaksanakan bentuk transaksi, muamalah dan
tindakan-tindakan
lainnya,
menghibahkan
harta
,menyedekahkan harta, mewakilkan kepada orang lain dan mengadukan perkaranya kepada pihak pengadilan. Ini semua merupakan perkara yang tidak dicapai perempuan barat kecuali hanya sebatas wacana. Bahkan masih ada perempuan di beberapa negara barat yang selalu terikat kepada batas yang keterlaluan dengan kemauan suami (Yusuf Al-Qardhawi : 119120).
58
Dalam Skripsi yang di tulis oleh Destria Merryana Atmayanti yang berjudul “Sinkronisasi Kedudukan hukum wanita dalam Hukum Waris Islam Menurut Kompilasi Hukum Islam dengan Al-Qur’an dan Hadist dijelaskan bahwa Pernikahan dalam Islam didasarkan pada hubungan timbal balik dalam kedamaian dan cinta serta tidak semata-mata didasarkan pada pemenuhan kebutuhan seksual belaka. Allah menjadikan manusia laki-laki dan perempuan berpasangan (sebagai suami isteri) atas dasar kaidah umum untuk membangun alam (dunia) kemudian
menjadikan
tugas
wanita
diantaranya
adalah
mengandung, melahirkan, menyusui dan mengasuh buah hubungannya dengan suami. Ini merupakan tugas-tugas besar dan sangat penting, tidak mudah dan tidak ringan yang harus ditunaikan oleh wanita dengan persiapan fisik, kejiwaan dan pikiran yang mendalam. Dari uraian tersebut, peran perempuan dalam rumah tangga sangatlah jelas, Islam menyamakan lakilaki dan wanita didepan hukum dan dalam semua hak keperdataan, baik bagi wanita yang bersuami maupun yang tidak bersuami. Pernikahan dalam Islam berbeda dengan pernikahan pada sebagian besar masyarakat barat. Dalam Islam wanita tidak kehilangan nama dan kepribadiannya, tidak kehilangan kelayakannya untuk melakukan akad (transaksi) dan hak kepemilikannya (Sayyid Quthub, 2001:229). Bahkan
setelah
menikah
seorang
wanita
dapt
memelihara namanya dan nama keluarganya, dapat memperoleh hak-hak keperdataannya secara penuh, kelayakannya untuk memikul tanggung jawab, memberlakukan transaksi-transaksi
59
seperti jual-beli, gadai, hibah dan wasiat. Wanita dapat menjaga haknya untuk memiliki sesuatu secara mandiri. Perempuan berhak menerima atau menolak lamaran laki-laki yang datang padanya. Apabila terjadi pernikahan tanpa sepengetahuannya, maka pernikahan tersebut dapat dibatalakan apabila si perempuan
menghendaki.
Dalam
Islam
juga
tidak
diperbolehkan bagi suami untuk mengambil sedikitpun dari harta isterinya. “Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka.” (AlBaqarah:229). Ayat tersebut diatas terkait dengan hukum memberikan maskawin kepada seorang wanita yang akan dinikahi. Islam mewajibkan maskawin dan memastikannya untuk dimilikisi wanita sebagai suatu kewajiban dari laki-laki kepadanya yang tidak boleh ditentang. Dengan memberlakukan aturan ini Islam hendak menjauhkan sisa-sisa sistem jahiliyah mengenai urusan wanita dan maskawinnya, hak-hak terhadap dirinya, harta bendanya, kehormatan dan kedudukannya. Pada waktu yang sama Islam tidak mengeringkan hubungan antara wanita dan suaminya, dan tidak menegakkan kehidupan rumah tangganya dengan semata-mata memberlakukan peraturan secara kaku, melainkan memberinya kelapangan dan keleluasaan, saling merelakan, dan kasih sayang untuk hidup berumah tangga. Islam tidaklah semena-mena memperlakukan lelaki dan perempuan
semena-mena. Islam telah menegaskan Bahwa
antara laki-laki tetap sama derajatnya di hadapan Allah, karena
60
yang membedakan adalah iman dan taqwanya. Masing-masing mempunyai kewajiban beramal sesuai kodratnya dan sama-sama berhak atas imbalannya, perempuan juga memilki hak dan kewajiban menuntut ilmu, karena ia harus banyak berinteraksi dengan anak dan mendidiknya agar menjadi orang yang kuat, tangguh dan berkepribadian mulia. Islam juga memberikan hak legal seperti jual- beli, membuat perjanjian, mendapat upah, memilih suami dan lainnya (Lois Larnya al-Faruqi, 1986) (Parjono Wiro Putro. 2005 “Gender dan Keadilan Islam”. Sabili. Nomor 21 Tahun 5 Mei 2005 halaman :54-55). 6). Relasi Suami dan Isteri Dalam Rumah Tangga Sejalan dengan itu dibutuhkan relasi yang jelas antara suami dan istri, dan tidak bisa disamaratakan tugas dan wewenangnya. Suami berhak menuntut hak-haknya, seperti dilayani istri dengan baik. Sebaliknya, suami memiliki kewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya, memberikan nafkah yang layak dan memperlakukan mereka dengan cara yang makruf. Allah SWT berfirman dalam Qs. an-Nisâ’ [4]: 19: “Hai orangorang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menghalangi mereka kawin dan menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena
61
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 19). Nash ini merupakan seruan kepada para suami agar mereka mempergauli isteri-isteri mereka secara ma’ruf. Menurut ath-Thabari, ma’ruf adalah menunaikan hak-hak mereka. Beberapa mufassir menyatakan bahwa ma’ruf adalah bersikap adil dalam giliran dan nafkah; memperbagus ucapan dan perbuatan. Ayat ini juga memerintahkan menjaga keutuhan keluarga. Jika ada sesuatu yang tidak disukai pada diri isterinya, selain zina dan nusyuz, suami diminta bersabar dan tidak terburu-buru menceraikannya. Sebab, bisa jadi pada Jika masing-masing, baik suami maupun istri menyadari perannya dan melaksanakan hak dan kewajiban sesuai syariat Islam, niscaya tidak dibutuhkan kekerasan dalam menyelaraskan perjalanan biduk rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat terhindarkan karena biduk rumah tangga dibangun dengan pondasi syariat Islam, dikemudikan dengan kasih sayang dan diarahkan oleh peta iman. Berdasarkan kajian terhadap Al-Qur’an dan Sunnah , Muhammad Khoiruddin Nasution menyimpulkan lima prinsip perkawinan, yaitu: a) Prinsip Musyawarah dan Demokrasi Prinsip musyawarah dan demokrasi dalam kehidupan rumah
tangga
harus
diputuskan
dan
diselesaikan
berdasarkan hasil musyawarah minimal antara suami dan isteri. Lebih dari itu, jika dibutuhkan juga melibatkan
62
seluruh anggota keluarga yakni suami, isteri dan anak. Sedangkan yang dimaksud dengan demokratis adalah antara suami dan isteri haruslah terbuka untuk menerima pandangan dan pendapat pasangannya. Demikian juga antara orang tua dan anak harus menciptakan suasana yang saling menghargai dan menerima pandangan dan pendapat anggota keluarga lain. Dalam At-Talaq ayat 6, Allah berfirman “Dan musyawarahkanlah diantara kamu (segala sesuatu) dengan baik…”. Surat An-Nisa ayat 19 “Saling bergaulah sesama pasangan dengan baik”. Realisasi
lebih
jauh
dari
sikap
musyawarah,
demokratis dan dialog dapat dikelompokkan menjadi empat: (1). Musyawarah dalam memutuskan masalah-masalah yang berhubungan
dengan
reproduksi,jumlah
anak,dan
pendidikan anak; (2). Musyawarah dalam menentukan tempat tinggal[rumah] (3). Musyawarah dalam memutuskan masalah-masalah yang di hadapi dalam rumah tangga;dan (4). Musyawarah dalam pembagian tugas-tugas rumah tangga. Mu’asyarah berasal dari kata usyrah, yang secara literal berarti keluarga, kerabat, teman dekat [baca al-Qur’an, Qs.An-Nisa’4/19, At-Taubat9/24, Al-Haji 23/13, AsySyu’ara’ 26/14 dan Al Mujadalah 58/22]. Kata mu’asyarah dalam bahasa arab dibentuk berdasarkan sighat musyarakah baina al-istnain, kebersamaan di antara dua pihak. Dari sini, orang sering mengratikan mu’asyarah dengan bergaul atau
63
pergaulan, karena di dalamnya mengandung kebersamaan dan kebertemanan. Jadi ada dua pihak yang menjadi teman bagi yang lain. Sedangkan al-ma’ruf berakar dari kata ‘urf berarti adat, kebiasaan, atau budaya yaitu sesuatu yang sudah dikenal baik oleh masyarakat. Dengan demikian ma’ruf adalah tradisi atau kebiasaan dan norma yang baik berkembang dalam masyarakat. Sedangkan ukuran baik adalah dilihat dari ajaran agama, akal pikiran, maupun naluri kemanusiaan. b) Prinsip menciptakan rasa aman dan tentram dalam keluarga Prinsip menciptakan rasa aman dan tentram dalam keluarga berarti kehidupan rumah tangga harus tercipta suasana merasa saling kasih, saling asih, saling cinta, saling melindungi dan saling sayang dan setiap anggota keluarga berkewajiban untuk menciptakan prinsip ini. Dengan adanya keseimbangan antara kewajiban dan hak untuk mendapatkan kehidupan yang aman, nyaman dan tentram, diharapkan semua anggota keluarga saling merindukan satu dengan yang lainnya. Sehingga pada gilirannya rumah menjadi tempat yang nyaman bagi anggota keluarga. Rasa aman dan tentram bagi anggota keluarga adalah aman dan tentram secara kejiwaan (psikis) maupun jasmani (fisik). Dengan prinsip ini maka rumah ibarat surga bagi seluruh anggota keluarga dan anggota keluarga tersebut tidak akan mencari keamanan dan ketentraman diluar rumah tangganya. Prinsip kenyamanan dan ketentraman kehidupan rumah tangga ini didasarka pada ketentuan Al-Qur’an surat
64
Ar-Ruum ayat 21 yaitu terciptanya keluarga sakinah, mawadah dan rahmah. c) Prinsip menghindari adanya kekerasan Maksud
dari
prinsip
menghindari
kekerasan
(violence) baik kekerasan fisik maupun psikis adalah jangan sampai ada pihak dalam kehidupan rumah tangga yang merasa berhak memukul atau melakukan tindakan kekerasan dalam bentuk apapun dengan dalil atau alasan apapun, termasuk alasan agama baik kepada atau antar pasangan (suami-Isteri) atau anatara pasangan dengan anak. Prinsip ini dasarnya berkaitan dengan prinsip berusaha untuk menciptakan rasa aman dan nyaman dalam kehidupan keluarga, sebagaimana dijelaskan sebelumnya khususnya mengacu pada Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 19. d) Prinsip hubungan suami dan isteri sebagai hubungan partner Prinsip suami dan isteri adalah pasangan yang mempunyai hubungan bermitra, partner dan sejajar (equal). Dasar bagi perumusan prinsip ini adalah ketentuan AlQur’an surat : “ Mereka dalah pakaina bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka”. (Al-Baqarah:187). “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban menurut cara yang ma’ruf. Dan laki-laki mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (AlBaqarah : 228).
65
“Bagi orang laki-laki terdapat bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuanpun ada bagian dari yang mereka usahakan…”(An-Nisa’:32). e) Prinsip keadilan Prinsip keadilan berarti menempatkan sesuatu pada posisi yang semestinya (proporsional). Jabaran dari prinsip keadilan disini antara lain bahwa kalau ada diantara pasangan atau anggota keluarga (anak-anak) yang mendapat kesempatan untuk mengembangkan diri harus didukung tanpa memandang dan membedakan berdasarkan jenis kelamin dengan prinsip keadilan ini maka masing-masing anggota keluarga sadar bahwa dirinya adalah bagian dari keluarga dengan hak dan kewajiban serta tugas dan fungsi yang berbeda untuk secara bersama-sama dilaksanakan secara konsekuen dan proporsional. Setelah sepasang suami isteri menandatangani kontrak sosial (Mitsaqon Ghalidhan), etika atau tata pergaulan antara suami-isteri otomatis berubah. Suami isteri diikat oleh hak dan kewajiban tertentu yang berbeda dengan sebelumnya yaitu kesadaran bahwa mereka tidak lagi hidup sendirian sehingga tidak boleh seenaknya untuk meninggalkan pasangannya tanpa jelas kemana mau pergi, acara apa, sampai kapan, jam berapa pulang dan begitu seterusnya. Semua itu dilakukan bukan berarti membatasi kebebasan seseorang yang telah menjadi suami isteri, tetapi semata-mata untuk menjaga hubungan yang harmonis dan komunikatif. Relasi suami isteri bukanlah relasi kepemilikan ataupun realisasi “atasan” dengan “bawahan”. Kedua pasangan suami isteri adalah
66
pribadi yang utuh yang memilki relasi seimbang, sejajar dalam menunaikan hak dan kewajiban. Ketentuan normatif yang menjadi dasar perumusan prinsip keadilan ini mengacu pada dasar Al-Qur’an surat : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil”(An-Nisa’ :58) “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat baik”(An-Nahl: 90). Dalam kaitan dengan implementasi bagi model ideal relasi suami isteri dalam kehidupan rumah tangga, Rasulullah SAW sang pemberi tauladan telah memberikan contoh konkrit sebagaiman terekam dalam sebuah hadist : “Dari Aswad berkata : Saya bertanya pada Aisyah r.a : apa yang dilakukan nabi dirumahnya? Aisyah menjawab: Beliau berada dalam tugas keluarganya (isterinya) yakni membantu pekerjaan isterinya sampai ketika tiba waktu shalat beliau keluar untuk shalat”(HR. Ahmad). Dalam hadist ini Aisyah merinci pekerjaan nabi ketika dirumah. Beliau menjahit baju dan sandal, memerah susu kambing, melayani dirinya sendiri, serta melaksanakan pekerjaan rumah yang umumnya dilakukan oleh pria. Riwayat ini memberikan bukti nyata bahwa Rasulullah seorang pemimpin besar, tidak ragu menjalankan tugastugas domestik yang sering dilekatkan sebagai pekerjaan perempuan.
67
Rasulullah memberi kriteria suami yang ideal yaitu seorang suami yang bersikap baik terhadap isteri dan keluarganya, seperti di jelaskan dalam hadist berikut: “Dari Ibnu Abbas ra, Rasulullah SAW bersabda: sebaikbaik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah sebaik-baik kalian terhadap keluargaku’. Dengan
berpegang
dengan
prinsip
hubungan
kekeluargaan diatas, maka jelaslah bahwa pola relasi yang ideal antara suami dan isteri adalah setara dengan tugas dan fungsi yang mungkin berbeda. Pemilihan peran dan fungsi oleh seluruh anggota keluarga haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip diatas. Pola relasi yang tidak seimbang diantara
anggota
keluarga
memungkinkan
terjadinya
berbagai tindak kekerasan (Ridwan : 130-137). Dalam kaitannya upaya membangun keluarga yang harmonis dan diliputi kasih sayang menuju keluarga yang berkeadilan dan bermartabat ada tiga kata kunci yang harus di pegang dalam a long life struggle kehidupan berkeluarga, yaitu : a) Mawaddah yaitu saling mencintai/menyayangi antara satu dengan yang lainnya. Mawaddah adalah saling mencintai yang plus yaitu karena Allah, cinta yang penuh kelapangan terhadap keburukan dan kekurangan orang yang dicintainya. Disini di perlukan kemampuan pendekatan psikologis dan management konflik yang tinggi, seperti seperti proses adaptasi, kompromikompromi dan belajar menahan diri.
68
b) Rahmah
yaitu
saling
simpati,
menghormati
dan
menghargai antara yang satu denagn yang lainnya. Sikap rahmah ini termanifestasikan dalam bentuk perasaan saling simpati, menghormati dan mengagumi antar kedua belah pihak sehingga akan muncul kesadaran saling memiliki dan keinginan untuk melakukan yang terbaik bagi pasangannya sebagaimana dirinya ingin di perlakukan. c) Sakinah
yaitu
ketentraman
dan
kedamaian,
ia
merupakan kesadaran perlunya kedamaian, ketentraman, keharmonisan,
kejujuran
dan
keterbukaan
yang
diinspirasikan dan berlandaskan pada spiritualitas ketuhanan. Keterpaduan tiga sikap esensial ini dalam kehidupan rumah tangga
merupakan salah satu kunci sukses
keberhasilan membina keluarga. Pola relasi suami isteri akan seimbang, sejajar dengan penuh kesadaran akan pemenuhan hak dan kewajibannya secara konsekuen. Bangunan rumah tangga yang seperti ini pada akhirnya akan melahirkan generasi baru yang sehat yaitu pribadi manusia yang
juga
mampu
memahami,
menghormati
dan
menghargai orang lain serta memiliki komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai religius dan moralitas yang tinggi. Kehidupan keluarga merupakan miniatur kecil dari potret kehidupan bangsa pada umumnya, sehingga memiliki potret kehidupan sebuah bagsa dapat dilihat dari kehidupan unit terkecil dari masyarakatnya yaitu kehidupan rumah tangga. Dengan demikian membangun karakter dan moralitas
69
bangsa harusnya dimulai dari kehidupan rumah tangga sebagai unit terkecil dari masyarakat bangsa pada umumnya (Ridwan : 138-139). B. Kerangka Pemikiran Dari bagan di bawah ini penulis akan mencari data terkait perbandingan perlindungan isteri dari kekerasan suami dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan hukum islam. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Teori Perbandingan Hukum
Hukum Islam
Perlindungan Hukum Terhadap Isteri Dari Kekerasan Suami Dalam Rumah Tangga
Indikator Perbandingan: Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Sanksi bagi Pelaku Kekerasan, dan Perlindungan Hukum
Format Perlindungan Hukum Terhadap Isteri Dari Kekerasan Suami yang dapat memberikan masukan dalam perbaikan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Bagan 1 : Kerangka Pemikiran
70
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Perlindungan Hukum Terhadap Isteri Dari Kekerasan Suami Menurut Undang-undang
Nomor
23
Tahun
2004
Tentang
Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga 1. Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. (Pasal 1 Undang-undang No. 23 Tahun 2004). Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi: a. suami, isteri, dan anak; b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang yang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinana, persusuan, pengasuhan, perwalian, yang mementap dalam rumah tangga; dan/atau c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga tersebut. (Pasal 2 Undang-undang No. 23 Tahun 2004) Meskipun Undang-undang ini tidak mengatur definisi tentang kekerasan dalam rumah tangga terhadap isteri, akan tetapi dalam undangundang ini menyatakan bahwa kebanyakan korban kekerasan dalam 70
71
rumah tangga adalah perempuan (sebagai isteri), seperti yang tertuang dalam pengertian kekerasan dalam rumah tangga Pasal 1 Undang-undang nomor 23 Tahun 2004. 2. Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga di sebutkan dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, yaitu : a. kekerasan fisik; b. kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga. Sedangkan
yang
dimaksud
dengan
Kekerasan
fisik
sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 tersebut adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (Pasal 6 Undangundang Nomor 23 Tahun 2004). Kekerasan Psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 7 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004). Kekerasan seksual meliputi: pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tanggatersebut dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganyadengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu (Pasal 8 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004). Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran sebagaimana dimaksud juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan
72
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (Pasal 9 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004). Penjelasan dari beberapa bentuk kekerasan tersebut Dalam makalah yang di tulis oleh Vera Kartika Giantari yang berjudul Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Sebuah Fakta di Masyarakat. Disampaikan pada seminar problematika dan prospek Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Fakultas Hukum UNS tanggal 8 Desember 2005 adalah sebagai berikut : a. Kekerasan Fisik, adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat, antara lain: memukul dengan tangan kosong, memukul dengan alat (kayu, sapu, selang), Melempar barang-barang kearah muka/tubuh korban (gelas, kayu, rokok yang masih menyala), menendang, menjambak, menampar, mencekik, menginjak-injak, mensolder, membakar, menembak/ membunuh dan kekerasan fisik lainnya. b. Kekerasan Psikologis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada sesorang, antara lain: mendiamkan, membiarkan, menghina/mengecilkan kotor/kasar,
mengancam
harga yang
diri,
membentak,
memunculkan
rasa
berkata takut,
Pembatasan kebebasan bergerak (dilarang bertemu keluarganya, orang tuanya). c. Kekerasan Seksual, yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam rumah tangga atau pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam
73
lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersil dan/atau tujuan tertentu, antara lain: pemaksaan hubungan seksual, penggunaan benda-benda asing dalam melakukan hubungan seksual. d. Penelantaran Rumah Tangga, yaitu seseorang tidak melaksanakan kewajiban hukumnya terhadap orang dalam lingkup rumah tangga berupa mengabaikan memberikan kewajiban kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut, antara lain memberikan batasan atau melarang seseorang untuk bekerja yang layak di dalam atau diluar rumah sehingga korban berada dalam kendali orang tersebut. Dapat berupa penelantaran ekonomi, yang berarti orang yang bertanggung jawab terhadap pencukupan kebutuhan ekonomi korban tidak melaksanakan kewajibannya dan melakukan pembiaran terhadap diri korban. Asas dan Tujuan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 3. Sanksi Bagi Pelaku Kekerasan Sanksi bagi pelaku kekerasan di jelaskan dalam pasal 44 sampai dengan pasal 50 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sebagai berikut: Dalam Pasal 44 Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dijelaskan bahwa : (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a di pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana
74
dengan pidana penjara paling lam 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). (3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp.45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah). (4) Dalam perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencahariaan atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Dalam Pasal 45 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, dijelaskan bahwa: (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah). (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencahariaan atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp
75
36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) (Pasal 46 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004).
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) (Pasal 47 Undangundang Nomor 23 Tahun 2004). Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 dan pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami ganguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus-menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 48 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004). Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang: a.
Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 (sembilan) ayat (1);
76
b.
Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud pasal 9 ayat (2) (Pasal 49 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004). Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim
dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa: a.
Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjatuhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
b.
Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu (Pasal 50 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004). Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam
pasal 44 ayat
(4) merupakan delik aduan (Pasal 51 Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2004). Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan. (Pasal 52 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004). Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan. (Pasal 53 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004). 4. Perlindungan Hukum Bagi Korban Kekerasan Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, terdapat definisi korban yaitu “Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga”. Dan dalam penulisan hukum ini
77
korban yang dimaksud adalah isteri. Disamping itu dalam pasal tersebut juga termaktub definisi Perlindungan, yaitu “Segala upaya yang ditujukan untuk memberi rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokad, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan”. Perlindungan terhadap hak korban kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagai berikut: a. Perlindungan
dari
pihak
keluarga,
kepolisian,
kejaksaan,
pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan e. Pelayanan bimbingan rohani. (Pasal 10 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004). Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga (Pasal 11 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004). Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 tersebut, pemerintah: a. Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga; b. Menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga;
78
c. Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; dan d. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender. Ketentuan sebagaimana dimaksud dilaksanakan oleh menteri. Menteri dapat
melakukan
koordinasi
dengan
instansi
terkait
dalam
melaksanakan ketentuan tersebut (Pasal 12 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004). Untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat melakukan upaya : a. Penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian; b. Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani; c. Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerjasama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan d. Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, teman korban. (Pasal 13 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004). Untuk menyelenggarakan upaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 13, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing, dapat melakukan kerjasama dengan masyarakatatau lembaga sosial lainnya. (Pasal 14 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004).
79
Setiap orang yang mendengar, melihat atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk : a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana; b. Memberikan perlindungan kepada korban; c. Memberikan pertolongan darurat; dan d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan (Pasal 15 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004). Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban. a. Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani. b. Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
kepolisian
wajib
meminta
surat
penetapan
perintah
perlindungan dari pengadilan. (Pasal 16 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004). Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari : a. Tenaga kesehatan; b. Pekerja sosial; c. Relawan pendamping dan atau; d. Pembimbing rohani. (Pasal 39 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004)
80
B. Perlindungan Hukum Terhadap Isteri Dari Kekerasan Suami Menurut Hukum Islam 1.
Definisi Kekerasan Istilah atau pengertian kekerasan maupun kekerasan dalam rumah tangga tidak dijelaskan baik dalam Undang-undang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam, akan tetapi dalam literatur Islam dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kekerasan adalah bentuk kriminalitas (jarimah). Pengertian kriminalitas (jarimah) dalam Islam adalah tindakan melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam dan termasuk kategori kejahatan. Sementara kejahatan dalam Islam adalah perbuatan tercela (al-qobih) yang ditetapkan oleh hukum syara’, bukan yang lain. Sehingga apa yang dianggap sebagai tindakan kejahatan harus distandarkan pada hukum syara’ (http://baitijannati.wordpress.com). Jadi titik tekan kekerasan yang dimaksud dalam hukum Islam adalah apabila suatu perbuatan atau tindakan tersebut melanggar syariat Islam, syariat itu bersumber pada Al-Qur’an dan sunnah.
2. Bentuk dan Sanksi Kekerasan Dalam Rumah Tangga Berdasarkan syariat Islam ada beberapa bentuk kekerasan atau kejahatan dimana pelakunya harus diberikan sanksi yang tegas. Namun sekali lagi perlu ditegaskan kejahatan ini bisa saja menimpa laki-laki maupun perempuan, pelakunya juga bisa laki-laki atau perempuan. Dan diberlakukan pada siapapun (kaum muslim), dimanapun (dalam rumah tangga/di luar rumah) dan berkedudukan apapun (suami, isteri, anak, pejabat, pegawai, dan sebagainya) karena setiap manusia memiliki kedudukan yang sama, bila ia telah melanggar syariat Islam maka akan diberikan hukuman sesuai sanksi yang telah diatur. Berikut ini beberapa perilaku jarimah dan sanksinya menurut Hukum Islam terhadap pelaku:
81
a. Kekerasan Fisik Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga menurut Hukum Islam memang tidak secara eksplisit melainkan implisit saja. Karena Al-Qur’an pada dasarnya mengandung unsur norma (etika) dalam memberikan pengklasifikasian terhadap tindak pidana kekerasan secara umum. Islam adalah agama yang senantiasa mengajarkan kasih sayang dan tata cara bergaul yang baik, yaitu dengan diri sendiri, sesama manusia, mahkluk dan alam sekitar serta manusia dengan Tuhan. Jika ada kekerasan maka itu terjadi karena manusia pada dasarnya belum bisa memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan baik. Tindak kekerasan dan sanksi bagi pelaku yang diklasifikasikan dalam Islam secara umum tersebut adalah : 1). Kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa/Membunuh, yakni ‘menghilangkan’ nyawa seseorang. Larangan dalam hal membunuh ini sesuai firman-Nya sebagai berikut : “Dan janganlah kamu melakukan pembunuhan terhadap jiwa yang diharamkan, kecuali dengan alasan yang sah” (Al-Isro’ : 33). “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin, Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu, sesungguhnya membunuh anak itu merupakan dosa besar”(Al-Isro’: 31). “Dan barang siapa dengan sengaja membunuh orang mukmin, pembalasannya adalah neraka jahanam kekal untuk selamalamanya, Allah murka kepadanya dan mengutuknya serta menyediakan untuknya siksa yang amat berat” (An-Nisa’: 93).
82
“Dan jangan kamu membinasakan dirimu sendiri”(Al-Baqarah: 193). “Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, sungguh Allah Maha Kasih Sayang kepadamu” (An-Nisa’: 29). Sedangkan ketentuan hukuman bagi tindak kekerasan yang mengakibatkan matinya seseorang ini disebutkan dalam firman Allah, sebagai berikut: “Kami telah mentapkan bagi mereka di dalamnya (taurat) bahkan nyawa (di balas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada Qishasnya (balasan yang sama). Barang siapa melepaskan (hak qishasnya), maka itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah , maka mereka itulah orang-orang zalim” (Al-Maidah:45). 2). Penyerangan terhadap anggota tubuh. Sanksi hukumnya adalah kewajiban membayar diyat (100 ekor unta), tergantung organ tubuh yang disakiti. Penyerang terhadap lidah dikenakan sanksi 100 ekor unta, 1 biji mata 1/2 diyat (50 ekor unta), satu kaki 1/2 diyat, luka yang sampai selaput batok kepala 1/3 diyat, luka dalam 1/3 diyat, luka sampai ke tulang dan mematahkannya 15 ekor unta, setiap jari kaki dan tangan 10 ekor unta, pada gigi 5 ekor unta, luka sampai ke tulang hingga kelihatan 5 ekor unta (lihat Nidzam al-’Uqubat, Syaikh Dr. Abdurrahman al-Maliki).
83
b. Kekerasan Seksual Dalam buku yang berjudul Marital Rape (kekerasan seksual terhadap isteri) karangan Milda Maria menjelaskan bahwa : Kekerasan seksual sangat ditentang oleh syariat Islam, dan Islam mengedepankan sikap atau cara yang ma’ruf dalam segala hal terkhusus pemenuhan kebutuhan seksual. Terkait masalah seksualitas suami
isteri
ada
beberapa
statemen
Al-Qur’an
yang
bisa
dikemukakan: “Pergaulilah mereka (isterimu) dengan cara yang ma’ruf (baik)”(AnNisa ayat 19). “Mereka (isteri-isterimu) adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka” (Al-Baqarah ayat 187).
Dari pernyataan–pernyataan Al-Qur’an di atas, bisa ditarik pelajaran yaitu : 1). Di dalam hubungan seksual, terkandung hak sekaligus kewajiban kedua pihak. Sebagai hak, hubungan seksual harus bisa di nikmati oleh keduanya. Tak hanya itu dalam aktivitas senggama, baik suami maupun isteri berkewajiban untuk saling melayani dan memuaskan. 2). Suami maupun isteri dituntut untuk saling berdandan agar masingmasing bisa saling tertarik. Jika sama-sama, hampir dipastikan dalam persenggamaan tersebut tidak ada pihak yang merasa dipaksa atau dirugikan. Suami yang mengejar kenikmatan diatas penderitaan isteri atau sebaliknya sejatinya melanggar tuntunan Al-Qur’an. 3). Isteri adalah ladang untuk menanam benih dan menyambung keturunan. Oleh karena itu bila ingin memetik hasil atau keturunan yang berkualitas, cara bertanamnya pun harus jelas dan
84
benar. Bila sembrono maka hasilnya akan merusak ladang tersebut. 4). Pakaian adalah lambang kesopanan, kerapian, kenyamanan, dan perasaan aman. Suami isteri harus saling menjadi pakaian buat pasangannya. Artinya , saling memberi dan memenuhi apabila salah satunya membutuhkan. Juga , saling berbagi pengertian, kasih sayang dantenggang rasa. Kekerasan seksual beserta sanksi dalam hukum Islam, sebagai berikut. 1). Mensodomi, yakni menggauli wanita pada duburnya. Haram hukumnya sehingga pelaku wajib dikenai sanksi. Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Allah tidak akan melihat seorang laki-laki yang mendatangi laki-laki (homoseksual) dan mendatangi istrinya pada duburnya.” Sanksi hukumnya adalah ta’zir, berupa hukuman yang diserahkan bentuknya kepada pengadilan yang berfungsi untuk mencegah hal yang sama terjadi. 2). Perbuatan-perbuatan cabul seperti berusaha melakukan zina dengan perempuan (namun belum sampai melakukannya) dikenakan sanksi penjara 3 tahun, ditambah jilid dan pengusiran. Kalau wanita itu adalah orang yang berada dalam kendalinya, seperti pembantu rumah tangga, maka diberikan sanksi yang maksimal c. Kekerasan Psikologis Sebagaimana pembahasan sebelumnya bahwa Islam hanya memberikan batasan secara umum tentang tindak kekerasan, karena Islam memang tidak mengenal istilah kekerasan, munculnya
85
kekerasan adalah karena manusianya sendiri yang memang tidak mau menjalankan etika hidup sesuai Islam, jika mau melaksanakan maka tidak ada yang namanya kekerasan, beberapa batasan umum kekerasan psikis sebagaimana diatur dalam Islam sebagai berikut: 1). Qadzaf, yakni melempar tuduhan yang tentunya akan sangat mempengaruhi psikis si korban. Tuduhan yang pertama adalah menuduh wanita baik-baik berzina tanpa bisa memberikan bukti yang bisa diterima oleh syariat Islam. Sanksi hukumnya adalah 80 kali cambukan. Hal ini berdasarkan firman Alah SWT: “Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat saksi, maka deralah 80 kali.” (Qs. an-Nûr [24]: 4-5). Tuduhan yang kedua adalah li’an yaitu seorang suami menuduh isterinya berbuat zina, yang dikuatkan dengan sumpah empat kali dan pada kali kelima ia mengatakan : “bhwa laknat Allah kepadanya jika ia berbuat dusta”. Pada saat itu isterinya dapat dikenakan had zina, karena ia seolah-olah sudah berzina. Untuk membebaskan diri dari had zina, si isteri pun melakukan pembelaan dengan mengucapkan sumpah empat kali yang menyatakan kedustaan suaminya dan pada kali yang kelima ia menyatakan : “Bahwa Allah marah kepadanya, jika ia (suami) termasuk orang yang benar”. Dengan demikian si isteripun terlepas dari had zina, sebagaimana suami terlepas dari had zina karena li’an hal ini termaktub dalam An-Nur ayat 6-9. 2). Penghinaan. Jika ada dua orang saling menghina sementara keduanya tidak memiliki bukti tentang faktanya, maka keduanya akan dikenakan sanksi penjara sampai 4 tahun (Nidzam al’Uqubat, Syaikh Dr. Abdurrahman al-Maliki).
86
d. Kekerasan Penelantaran Dalam Rumah Tangga Syariat Islam telah memberikan karunia kepada wanita yang terbimbing dengan memberikan hak-hak kepemilikannya secara utuh. Islam telah memberikan kepada wanita kebebasan penuh untuk mengelola dan mengatur, urusannya baik yang terkait dengan harta, kepemilikan, perdagangan atau lainnya. ( Abdul Majid Az-Zindani, 2003: 82).Termasuk dalam kategori ini adalah kebebasan penuh untuk menggunakan maharnya , bila ia telah bersuami. Ia juga mempunyai wewenang untuk melakukan akad jual beli, persewaan, serikat, pegadaian, dan sebagainya. Dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga atau nafkah, didalam Hukum Islam mengatur bahwa nafkah merupakan kewajiban seorang suami terhadap isterinya, dalam firman Allah Ta’ala : “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.”(AtThalaq: 7). “Berikanlah kepada mereka belanja dan pakaian dari hasil harta itu. “ (An-Nisa’: 5) Nafkah adalah semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti makanan, pakaian, rumah dan lain-lain. Dalam kitab Syarh as-Sunnah dikatakan, “Di dalam hadist tersebut terdapat dalil yang menunjukkan bahwa jika seorang suami pergi meninggalkan isterinya, maka tidak gugur kewajibannya memberikan nafkah. Jika tidak memberikan nafkah dalam waktu tertentu, maka nafkah itu menjadi hutang baginya. Demikian juga dengan kewajiban memberikan makanan dan pakaian serta nafkah
87
bagi pembantunya. Hal itu merupakan pendapat Imam Syafi’I, sedangkan para penganut mahzab Hanafi berpendapat bahwa nafkah kepada isteri itu tidak menjadi hutang selama tidak diwajibkanoleh hakim. Dan jika pihak isteri yang pergi tanpa seizin suaminya, maka kewajiban nafkahnya gugur (Syaikh Hasan Ayub, 2006 :383& 385). Dalam Pasal 34 (1) Undang-undamg Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan bahwa:”Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”. Bab V11 Tentang Harta Benda Dalam Perkawinan Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 , mengatur : Dalam pasal 35 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dijelaskan bahwa : 1). Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. 2). Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Dalam pasal 36 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dijelaskan bahwa : 1). Mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas perjanjian kedua belah pihak. 2). Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
88
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing (Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ). Dalam Kompilasi Hukum Islam BAB XIII Tentang Harta Kekayaan
Dalam
Perkawinan,
membuktikan
bahwa
Islam
memperlakukan dengan adil kedudukan antara suami isteri mengelola harta kekayaan,yaitu : Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri ( Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam). Dalam pasal 86 Kompilasi Hukum islam, dijelaskan bahwa : 1). Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan. 2). Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya. Dalam pasal 87 Kompilasi Hukum Islam, dijelaskan bahwa : 1). Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. 2). Suami dan Isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, shadaqah dan lainnya.
89
Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun hartanya sendiri (Pasal 89 Kompilasi Hukum Islam). Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya (Pasal 90 Kompilasi hukum Islam). Dalam pasal 91 Kompilasi Hukum Islam, dijelaskan bahwa: 1). Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 diatas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud. 2). Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga. 3). Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban. 4). Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya. Suami atau Isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama (Pasal 92 Kompilasi Hukum Islam). Dalam pasal 93 Kompilasi hukum Islam, dijelaskan bahwa: 1). Pertanggungjawaban
terhadap
hutang
suami
atau
isteri
dibebankan pada hartanya masing-masing. 2). Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama 3). Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.
90
4). Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan kepada harta isteri. Suami atau isteri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya (Pasal 95 ayat 1 Kompilasi hukum Islam). 3. Perlindungan Hukum bagi Isteri a. Perlindungan Hukum Preventif Terbagi dalam dua hal yaitu: 1). Pra Pernikahan a)
Aspek Hukum Dari sejak semula, Islam telah meletakkan dasar-dasar penjagaan bagi seorang laki-laki dan perempuan baik sebelum pernikahan maupun pada saat dalam pernikahan, dalam aspek hukum ini ditetapkan dengan adanya hukum pernikahan itu sendiri, yaitu : wajib, sunnah, mubah, haram, makruh. Hal ini untuk memberikan rambu-rambu sekaligus penjagaan bagi seseorang agar dalam pernikahan nanti tidak terjadi hal-hal yang tidak di inginkan.
b) Aspek Psikologis Dalam aspek psikologis yang di perhatikan adalah masalah fundamental dalam memilih pasangan hidup yaitu : (1). Memilih calon suami/isteri yang baik agama dan akhlaknya “ Jika datang kepadamu seorang yang engkau ridho akan agama dan akhlaknya, maka nikahlah dengannya. Jika kamu tidak menerima lamarannya
91
niscaya terjadi fitnah dibumi dan kerusakan yang luas” (HR Tirmidzi), yang dimaksud hadist ini, kerusakan akan terjadi jika perempuan tersebut kemudian menikah denga orang yang tidak baik agama dan akhlaknya. (2). Memilih calon suami/isteri bukan dari golongan yang fasik, sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah, “ Laki-laki yang selalu berbuat dosa tidak patut untuk dijadikan suami” (3). Memilih calon suami/isteri dari keturunan yang baik (golongan orang yang baik-baik), pertimbangan faktorfaktor genetik “Pilihlah yang baik untuk benihmu, karena wanita itu melahirkan (anak) seperti saudara laki-laki dan saudara perempuannya” (HR Ibnu ‘Ada dan Ibnu Assakir) (4). memilih Isteri karena kebaikan agamanya, sebagaimana sabda Rasulullah “wanita lazimnya dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, keturunanya, kecantikannya dan agamanya, maka pilihlah karena agamanya jika tidak maka binasalah engkau” (HR Bukhari dan Muslim). ( Intan Savitri : “Islam dan aspek-aspek preventif dan kuratif terhadap potensi kekerasan dalam rumah tangga”). 2). Dalam Pernikahan Suami dan Isteri dalam hukum Islam memiliki hak dan kewajiban yang sama dihadapan Allah, Jika suami dan isteri tersebut melaksanakan karena mengharap ridho Allah semata maka Allah akan memberikan pahala dan ampunan dosa yang begitu besar tanpa memandang jenis kelamin tapi siapa yang lebih bertaqwa.
92
Hak dan kewajiban suami isteri dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu: (1). Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat (2). Suami
isteri
wajib
saling
cinta
mencintai,
hormat
menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain. (3). Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani, maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya. (4). Suami isteri wajib menjaga kehormatannya (5). Jika suami isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama (Pasal 77 Kompilasi Hukum Islam). Dalam pasal 78 Kompilasi Hukum Islam, dijelaskan bahwa: (1). Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap (2). Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1), ditentukan oleh suami isteri bersama. Kedudukan Suami Isteri juga dinyatakan dalam aturan Kompilasi Hukum Islam,yaitu: (1). Suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga (2). Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat
93
(3). Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (Pasal 79 Kompilasi Hukum Islam). Dalam
Hal
kewajiban
sebagai
seorang
suami
dinyatakan dalam Kompilasi Hukum Islam yaitu: (1). Suami adalah pembimbing, terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri bersama (2). Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya (3). Suami wajib memberi pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa (4). Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung (a) Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi isteri; (b) Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak; (c) Biaya pendidikan bagi anak. (5). Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b diatas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya (6). Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b (7). Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz (Pasal 80 Kompilasi Hukum Islam).
94
Dalam pasal 81 kompilasi Hukum Islam, dijelaskan bahwa: (1). Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri yang masih dalam iddah (2). Tempat kediaman adalah tempat yang layak untuk isteri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat (3). Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari ganguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tentram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga. (4). Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya lingkungan
serta
tempat
disesuaikan tinggalnya,
dengan baik
keadaan
berupa
alat
perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya. Dalam pasal 82 Kompilasi Hukum Islam, dijelaskan bahwa: (1). Suami
yang
mempunyai
isteri
lebih
dari
seorang
berkewajiban memberikan tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing isteri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masingmasing isteri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan (2). Dalam hal para isteri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan isterinya dalam satu tempat kediaman. Kewajiban Seorang Isteri, termaktub dalam pasal 83 Kompilasi Hukum Islam, yaitu:
95
(1). Kewajiban utama bagi seorang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami didalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam. (2). Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya. Hak dan Kewajiban Suami dan Isteri juga diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu: Suami Isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat (Pasal 30 Undang-undang nomor 1 Tahun 1974). Pasal 31 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, dijelaskan bahwa : (1). Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang denagn hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. (2). Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. (3). Suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga. Dalam Pasal 32 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, dijelaskan bahwa : (1). Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap (2). Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isterin bersama.
96
Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain (Pasal 33 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004). Dalam pasal 34 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, dijelaskan bahwa : (1). Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (2). Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masingmasing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan. b. Perlindungan Hukum Represif Jika aspek-aspek preventif telah di jalankan, namun dalam perjalanannya tetap saja terjadi kekurangan dan musibah yang menimpa hubungan suami isteri, sebab hanya manusialah yang mengalami kejenuhan, kekhilafan dan kelupaan. Maka islam pun telah menyediakan perangatnya yang komprehensif. Aspek mencegah ketika timbul perselisihan dalam rumah tangga tetap saja di kedepankan dalam Islam, “Al- Wiqoyatu khairum minal ilaj” artinya: Mencegah/menjaga lebih baik dari pada mengobati. Aspek wiqoyah itu adalah memelihara hak-hak pergaulan dan berlapang dada dalam menghadapi perbedaan dan kekurangan pasangan. Jika hal tersebut masih saja terjadi maka dilakukan tahaptahap penyelesaian perselisihan secara garis besar sebagai berikut :
97
1). Perselisihan tingkat pertama a) Saling memberitahukan apa-apa yang tidak disukai antar pasangan dan berusaha memahami b) Rasul menetapkan larangan untuk tidak saling menyapa lebih dari tiga hari 2). Perselisihan tingkat kedua a) Meminta bantuan kerabat atau teman untuk menyelesaikan masalah/ sebagai juru damai (tahkim) b) Mengalah terhadap sebagian haknya 3). Perselisihan tingkat ketiga a) Kebencian yang sangat dalam pada salah satu pihak, kemarahan yang amat sangat dan kengganan pada pasangan yang sangat dalam. Sebagaimana dikatakan isteri Tsabit bin Qois, “Aku sudah tidak kuat lagi, Aku takut kufur kepada Allah” b) Salah satu pihak mengetahui kelemahan pasangannya dan kelemahan tersebut menggoyahkan sendi-sendi rumah tangga (perselingkuhan, cacat fisik/psikologis yang menyebabkan ia tidak mampu melaksanakan kewajiban sebagai suami/isteri, atau merusak hubungan dengan cara penganiayaan) c) Penghianatan yang sampai pada perzinaan. Jika hal ini yang terjadi maka perceraian/khulu’ boleh jadi menjadi hal yang meskipun di benci oleh Allah SWT, tetapi halal untuk dilakukan (Intan Savitri : “Islam dan Aspek-aspek kuratif terhadap potensi kekerasan dalam rumah tangga”). “Dan jika kalian khawatir ada perselisihan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki
98
dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami isteri tersebut. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal “ (An-Nisa’: 35). Dari Ubaidah r.a, mengenai firman Allah ta’ala, “Dan jika kalian khawatir ada perselisihan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan”, ia bercerita, “ada seorang laki-laki dan ada seorang perempuan datang kepada Ali bin Abi Thalib r.a bersama masing-masing pihak terdapat sekelompok orang, maka Ali menyuruh mereka, sehingga mereka mengutus seorang hakam dari keluarga laki-laki dan keluarga perempuan. Kemudian Ali berkata pada kedua hakam tersebut “Apakah kalian tahu apa yang menjadi kewajiban kalian berdua? Yang menjadi kewajiban kalian adalah jika kalian melihat perdamaian lebih baik, maka hendaklah kalian menyatukan mereka kembali, dan jika kalian melihat perpisahan lebih baik, maka pisahkanlah mereka mereka”. Kemudian ada seorang perempuan berkata, “Aku rela dengan kitab Allah atas apa yang terjadi dan kualami”. Maka Ali berkata, “Demi Allah kamu telah berbohong, sehingga engkau mengakui seperti apa yang telah diakuinya”. Imam Al-Baghawi menyebutkan, “Jika terjadi perselisihan antara suami isteri, sehingga keadaan rumah tangganya menjadi runyam, lalu pihak suami tidak melakukan upaya dan tidak pula perceraian, kemudian pihak isteri pun tidak pula melaksanakan kewajiban, lalu keduanya pergi melakukan apa yang tidak dibolehkan, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan. Pada saat itu hendaklah
99
sang imam mengirim wakil keluarga masing-masing sebagai juru damai. Kedua wakil ini haruslah orang yang merdeka dan adil agar kedua wakil itu saling melihat dan mempelajari pendapat dan pandangan mereka masing-masing tentang kemungkian pasangan suami isteri itu bersatu kembali atau bercerai. Selanjutnya kedua juru damai itu berkumpul untuk selanjutnya membicarakan pendapat mereka gunamencapai perbaikan diantara mereka berdua. Kemudian terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang bolehnya pengutusan juru damai tanpa adanya izin dan keridhaan suami isteri . Maka yang paling benar adalah pendapat yang menyatakan tidak dibolehkan pengutusan juru damai tanpa adanya keridhaan pasangan suami isteri yang berselisih. Wakil dari suami tidak boleh menyatakan talaq tanpa izinnya, dan tidak juga wakil dari pihak isteri menyatakan khulu’(permintaan cerai dari pihak isteri) terhadap hartanya kecuali dengan izinnya. Demikian itulah yang menjadi pendapat para ulamapenganut madzhab Hanafi. Ucapan Ali bin Abi Thalib r.a ketika ada seorang laki-laki berkata, “Adapun perceraian tidak akan terjadi”, beliau berkata, “Kamu telah berbohong sehingga kamu mengakui seperti pengakuan yang telah diberikan oleh pihak isteri”. Dengan demikian, penyelesaian masalah tergantung pada pengakuan dan keridhaan pihak suami. Pendapat kedua, dibolehkan pengutusan dua juru damai tanpa adanya keridhaan suami isteri. Wakil dari suami boleh menyatakan talak tanpa ada izin dan keridhaan pihak suami, dan wakil dari pihak isteri pun boleh menyatakan khulu’ tanpa izin dan keridhaan dari pihak isteri, jika keduanya melihat ada kebaikan dari keputusan
100
tersebut. Sebagaimana yang dilakukan oleh seorang hakim dalam memutuskan perkara yang terjadi antara dua orang, meskipun keputusan itu tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh kedua belah pihak yang berselisih.Demikian itu pendapat yang dikemukakan oleh Imam Ali dan Imam Malik. Perlu diketahui bahwa yang mengutus dua wakil tersebut adalah hakim pengadilan, namun demikian yang paling tepat adalah pendapat pertama. Dalam tafsirnya ibnu Katsir mengatakan, jika pihak suami yang salah, maka keduanya (wakil dari kedua belah pihak) menghalangi suami untuk tidak menemui isterinya dan menyuruhnya mencari nafkah secara terus menerus. Jika pihak isteri yang bersalah, maka mereka menyuruhnya untuk terus-menerus melayani suaminya tanpa di beri nafkah. Jika kedua wakil/penengah sepakat atas keputusan cerai dan bersatu kembali, maka kedua keputusan itu boleh dijalankan. Jika kedua penengah berpandangan suami isteri itu harus bersatu, kemudian yang satu menerima dan yang satu menolak, lalu salah satunya meninggal dunia, maka pihak yang menerima putusan dapat mewarisis harta pihak yang menolak putusan dan pihak yang menolak putusan tidak dapat mewarisi harta pihak yang menerima putusan. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Hatim dari Ibnu Abbas. Abdurrazak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Saya dan Mu’awiyah pernah diutus sebagai penengah. “Mu’ammar berkata “telah sampai berita kepadaku bahwa yang mengutus Ibnu Abbas`dan Mu’awiyah sebagai penengah adalah ustman. Ustman berkata kepada keduanya, “jika kalian berdua berpandangan bahwa keduanya dapat disatukan kembali, maka satukanlah. Dan jika keduanya tidak dapat
101
disatukan,
maka
ceraikanlah”.
Keterangan
yang
sama
juga
diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib r.a. Para ulama sepakat bahwa kedua penengah memiliki hak untuk menyatukan
dan
memisahkan,
sehingga
Ibrahim An-Nakha’I
mengatakan, “Jika kedua penengah berkehendak, maka keduanya boleh memisahkan suami isteri dengan talak satu, dua atau tiga”.Demikianlah riwayat dari Malik. Yang menjadi sandaran orang yang berpendapat bahwa tugas kedua penengah itu hanya memutuskan masalah penyatuan dan bukan perceraian antara suami isteri adalah firman Allah Ta’ala: “ Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.(An-Nisa’ : 35) Dua wakil dari pihak suami isteri, maka penengah dapat memutuskan ketetapan bersatu atau bercerai dan hal ini tidak diperselisihkan lagi. Para Imam berbeda pendapat mengenai kedua penengah tersebut. Apakah keduanya diangkat oleh pihak hakim, lalu keduanya menetapkan keputusan walaupun keduanya tidak di sukai suami isteri? Ataukah keduanya merupakan wakil dari suami isteri? Perbedaan mereka terbagi atas dua pendapat. Namun jumhur ulama memegang pendapat pertama berdasarkan firman Allah Ta’ala : “ Maka utuslah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan” ( An-Nisa’ : 35) Sedangkan Hasan Al-Bashri menyebutkan, “ kedua penengah itu hanya bertugas menyatukan suami isteri yang berselisih dan tidak bertugas menceraikannya”. Hal senada juga disampaikan Qatadah dan
102
Zaid bin Aslam, juga menjadi pendapat Imam Ahmad bin Hambal, Abu Tsaur dan Dawud. Yang menjadi dasar pendapat mereka adalah firman Allah dalam An-Nisa’ 35. Abu Umar Ibnu Abdil Barr mengungkapkan, “Para ulama sepakat bahwa apabila dua penengah berselisih pendapat, maka pendapat penengah salah satu dari keduanya tidak boleh dijadikan keputusan. Mereka juga sepakat bahwa pendapat keduanya dapat berlaku meskipun mereka tidak diutus oleh pasangan suami isteri yang berselisih. Namun mereka berbeda pendapat mengenai, apakah ucapan keduanya dapat berlaku dalam hal perceraian. Kemudian jumhur ulama berpendapat bahwa ucapan mereka dapat berlaku dalam hal perceraian meskipun tanpa adanya penyerahan tugas dari pasangan suami isteri tersebut. (Syaikh Hasan Ayub : 178-181). C. Perbandingan Perlindungan Hukum Terhadap Istri Dari Kekerasan Suami Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dengan Hukum Islam Hasil dari perbandingan perlindungan hukum terhadap isteri dari kekerasan suami dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dengan Hukum Islam, dapat diketahui adanya persamaan dan perbedaan diantara kedua peraturan tersebut yaitu : 1. Persamaan Bahwa baik dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga maupun Hukum Islam melarang keras berbagai bentuk kekerasan (fisik, psikis, seksual, penelantaran rumah tangga) dalam hal ini kekerasan dalam rumah tangga. Karena tindakan tersebut amat merugikan setiap pihak dan terutama terjadinya pelanggaran
103
Hak Asasi Manusia, oleh karena itu kedua peraturan tersebut sama-sama menetapkan sanksi hukum guna menjerat para pelaku dan membuatnya jera agar tidak melakukannya kembali. 2. Perbedaan a. Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga Analisis : Pengertian kekerasan dalam rumah tangga menurut Undangundang Nomor 23 Tahun 2004, yaitu setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/ atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup
rumah
tangga.
Kata
“
Perempuan
“
disini
memperlihatkan bahwasanya faktor yang melandasi adanya kekerasan dalam rumah tangga adalah karena gender. Pengertian ini juga menjadi rancu manakala kita sinkronkan dengan pasal 2 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 yang menjelaskan siapa saja yang termasuk dalam lingkup rumah tangga, yang intinya korban tidak hanya perempuan. Dalam Hukum Islam tidaklah demikian, yang menjelaskan bahwa dikatakan sebagai suatu tindak kekerasan apabila ada suatu perbuatan yang telah melanggar hukum Syara’. Dan sanksi bagi yang melakukan pelanggaran tersebut sangat tegas dan mampu membuat pelaku jera. Disini menjelaskan bahwa pelaku maupun korban bisa laki-laki dan bisa perempuan. Karena keduanya memiliki peluang yang sama. Sehingga syariat Islam tidaklah menyudutkan salah satu pihak sebagai pihak yang bersalah, akan tetapi lebih bijaksana dan objektif dalam menetapkan aturan hukumnya.
104
Ketika berfikir untuk melindungi perempuan tidaklah harus pengertian tersebut menggunakan kata “ perempuan”. Karena hal ini akan semakin menimbulkan kesenjangan hidup antara laki-laki dan perempuan itu sendiri. Paham gender adalah produk dari kaum feminis, yang memandang sebuah permasalahan hanya dari satu sisi saja, sehingga tuntutan adanya produk hukum-pun menjadi tidak obyektif. Nuansa gender dalam Undang-undang ini juga semakin jelas dengan melihat Pasal 3 yaitu meyebutkan salah satu asas dari penghapusan kekerasan dalam rumah tangga ini adalah “ Keadilan dan kesetaraan gender”. Semua pihak sepakat bahwa kekerasan adalah suatu tindakan yang harus dihentikan dan dilarang keras. Akan tetapi membuat sebuah peraturan
hendaknya
lebih
bisa
obyektif
dalam
mengaturnya
sebagaimana hukum Islam yang begitu memuliakan kaum hawa-pun, obyektif dalam menerapkan aturannya, tidak mendiskriminasikan salah satu pihak. . b. Bentuk- Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Sanksi Bagi Pelaku Kekerasan 1). Analisis Perbandingan Kekerasan Fisik Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan Hukum Islam Dalam Undang-undang PKDRT yang termasuk kategori kekerasan fisik adalah jika diketahui bahwa pelaku melakukan tindak kekerasan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Dengan melihat ketentuan pidana yang ada dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dapat diketahui beratnya ancaman pidana bagi pelaku
105
tindak kekerasan dalam rumah tangga hal ini menyiratkan sebuah keinginan dari pemegang kebijakan hukum untuk secara serius memberantas praktek-praktek kekerasan dalam rumah tangga. Namun demikian sanksi hukuman tersebut masih belum berorientasi pada kepentingan-kepentingan korban. Dengan kata lain sistem sanksi dan pertanggungjawaban pidananya tidak tertuju pada perlindungan korban secara langsung. Jadi pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku bukanlah pertanggungjawaban terhadap kerugian /penderitaan korban secara langsung dan konkrit. Dengan demikian belum ada ketentuan ganti rugi yang diberikan negara terhadap korban kekerasan. Ganti rugi negara hanya terbatas pada pelaku kekerasan di jadikan sebagai tersangka, terdakwa atau terpidana. Padahal hak korban akan ganti rugi pada dasarnya merupakan bagian integral dari penegakan Hak Asasi Manusia dalam bidang kesejahteraan atau jaminan sosial. Hukum Islam melarang kekerasan Fisik, baik dalam rumah tangga maupun didalam rumah tangga. Hukuman bagi suami isteri yang melakukan kekerasan fisik menurut hadist adalah Qishas. Jika disebutkan Qishas maka tidak bisa dilepaskan dari lembaga pemaafan dan diyat yang harus dibayarkan pelaku tindak kekerasan terhadap korban. Hal ini berdasarkan pada : “Kami telah mentapkan bagi mereka di dalamnya (taurat) bahkan nyawa (di balas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan lukaluka (pun) ada Qishasnya (balasan yang sama). Barang siapa melepaskan (hak qishasnya), maka itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
106
diturunkan Allah , maka mereka itulah orang-orang zalim” (AlMaidah:45). “Wahai Orang-orang yang beriman!. Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) Qishas berkenaan orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang yang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barang siapa memeperoleh
maaf
dari
saudaranya,
hendaklah
ia
mengikutinyadengan baik dan membayar diyat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhan-mu. Barang siapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih”(Al-Baqarah:178). “Dan dalam Qishas itu ada (jaminan) bagimu, wahai orangorang yang berakal agar kamu bertaqwa”(Al-Baqarah : 179). “Bulan haram dengan bulan haram, dan (terhadap) sesuatu yang dihormatiberlaku hukum Qishas…” (Al-Baqarah:194). Dari beberapa ayat diatas jelas kita tangkap bahwa : a. Sanksi hukuman adalah Qishas b. Jadi diyat itu bukan kepada negara akan tetapi diserahkan kepada korban, tidak seperti yang disebutkan dalam pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dalam hal yang dituntut adalah pembayaran diyat, keluarga korban yang memaafkan supaya menagih pembayaran diyat dengan cara yang baik dan sebaliknya
107
Penting adanya penjelasan pembedaan antara Jarimah dan Ta’dib, agar tidak terjadi kesalah pahaman yang selama ini sering terjadi, bahkan sampai menyalahkan Islam sebagai agama yang bias gender dan memposisikan perempuan pada posisi di bawah laki-laki. Dalam konteks rumah tangga, bentuk-bentuk kekerasan memang seringkali terjadi, baik yang menimpa istri, anak-anak, pembantu rumah tangga, kerabat ataupun suami. Misal ada suami yang memukuli istri dengan berbagai sebab, ibu yang memukul anaknya karena tidak menuruti perintah orang tua, atau pembantu rumah tangga yang dianiaya majikan karena tidak beres menyelesaikan tugasnya. Semua bentuk kekerasan dalam rumah tangga itu pada dasarnya harus dikenai sanksi karena merupakan bentuk kriminalitas (jarimah). Perlu digarisbawahi bahwa dalam konteks rumah tangga, suami memiliki kewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya agar taat kepada Allah Swt. Hal ini sesuai firman Allah Swt yang artinya: “Wahai orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (Qs. at-Tahrim [66]: 6). Dalam mendidik istri dan anak-anak ini, bisa jadi terpaksa dilakukan dengan “pukulan”. Dalam hal ini, “pukulan” dalam konteks pendidikan atau ta’dib ini dibolehkan dengan batasan-batasan dan kaidah tertentu yang jelas. Kaidah itu antara lain: pukulan yang diberikan bukan pukulan yang menyakitkan, apalagi sampai mematikan; pukulan hanya diberikan jika tidak ada cara lain (atau semua cara sudah ditempuh) untuk memberi hukuman/pengertian; tidak boleh memukul ketika dalam keadaan marah sekali (karena dikhawatirkan akan membahayakan); tidak memukul pada bagian-bagian tubuh vital
108
semisal wajah, kepala dan dada; tidak boleh memukul lebih dari tiga kali pukulan (kecuali sangat terpaksa dan tidak melebihi sepuluh kali pukulan); tidak boleh memukul anak di bawah usia 10 tahun; jika kesalahan baru pertama kali dilakukan, maka diberi kesempatan bertobat dan minta maaf atas perbuatannya, dll. Dengan demikian jika ada seorang ayah yang memukul anaknya (dengan tidak menyakitkan) karena si anak sudah berusia 10 tahun lebih namun belum mengerjakan shalat, tidak bisa dikatakan ayah tersebut telah menganiaya anaknya. Sekali lagi, pukulan yang dilakukan bukanlah pukulan yang menyakitkan, namun dalam rangka mendidik. Demikian pula istri yang tidak taat kepada suami atau nusyuz, misal tidak mau melayani suami padahal tidak ada uzur (sakit atau haid), maka tidak bisa disalahkan jika suami memperingatkannya dengan “pukulan” yang tidak menyakitkan. Atau istri yang melalaikan tugasnya sebagai ibu rumah tangga karena disibukkan berbagai urusan di luar rumah, maka bila suami melarangnya ke luar rumah bukan berarti bentuk kekerasan terhadap perempuan. Dalam hal ini bukan berarti suami telah menganiaya istri melainkan justru untuk mendidik istri agar taat pada syariat. Semua itu dikarenakan istri wajib taat kepada suami selama suami tidak melanggar syara’. Rasulullah Saw menyatakan: “Apabila seorang wanita shalat lima waktu, puasa sebulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya: Masuklah engkau ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau sukai.” [HR. Ahmad 1/191, di-shahih-kan
109
asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ No 660, 661). Namun di sisi lain, selain kewajiban taat pada suami, wanita boleh menuntut hak-haknya seperti nafkah, kasih sayang, perlakuan yang baik dan sebagainya. Seperti firman Allah SWT: “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf”(Qs.al-Baqarah[2]:228) (http://baitijannati.wordpress.com). Dalam Buku Ridwan, M.A.g yang berjudul Kekerasan Berbasi Gender menjelaskan bahwa kata nusyuz secara harfiah berarti melawan, menentang, menyembunyikan. Implikasi dari kata ini adalah perlawanan terhadap suami. Imam Raghib menyatakan bahwa nusyuz berarti perlawanan terhadap suami dan melindungi laki-laki lain atau mengadakan perselingkuhan. Sedangkan Mahmud Ali AlSyarthawi
memaknai
nusyuz
penyelewengan
(maksiat)
yang
dilakukan oleh seorang isteri terhadap suami terkait dengan penggunaan harta yang diberikan suami kepada isterinya karena hubungan pernikahan, secara gramatikal kata nusyuz diderivasi dari na-sya-za yang berarti tempat yang tinggi sehingga seorang isteri yang nusyuz berarti dia berlaku tinggi hati dan meninggalkan sifat loyal pada suaminya. Berkait
dengan
konsep
nusyuz
ini,
Al-Qur’an
memberikan tiga alternatif yang diberikan kepada suami yang mendapati isterinya nusyuz yaitu memberi nasihat, memisahkan tempat tidurnya dan memukulnya. Kata Fadhribuhunna dalam surat An-Nisa’ ayat 34 di pahami sebagai legitimasi seorang suami untuk
110
menggunakan haknya sebagai kepala keluarga untuk melakukan pemukulan kepada isterinya yang nusyuz. Padahal kata dharraba maknanya tidak hanya memukul saja. Tetapi juga bermakna “memberi contoh” dan kata itu tidak sama dengan kata dharraba yang berarti memukul secara keras dan berulang-ulang. Dengan demikian, ayat itu harus di baca sebagai larangan berperilaku kejam terhadap isteri. Pemaknaan semacam ini didasarkan pada argumentasi bahwa kata dharraba dipahami sebagai batasan, bukan sebagai perintah, yaitu dengan cara menganalisis konteks historis dari ajaran tersebut . Pada masa laki-laki tidak memerlukan izin, dalam konteks semacam itu ayat tersebut jelas sebagai pembatasan. Indikator yang dapat dilihat jelas adalah perintah pemukulan dilakukan sebagai solusi dan alternatif terakhir bukan alternatif satu atau kedua yaitu setelah di nasihati dan dan dipisahkan dari tempat tidur. 2). Analisis Perbandingan Kekerasan Psikis Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan Hukum Islam Kekerasan psikis dalam pasal 7 dapat berupa penghinaan, ancaman, perselingkuhan, caci maki, ejekan, domestifikasi peran/ larangan isteri keluar rumah dan Pasal 49 menyebutkan sanksi pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda 9 juta rupiah. Sanksi ini perlu dikaji ulang dan masih dipertanyakan apakah masih dimungkinkan bagi suami isteri bersangkutan untuk melanjutkan rumah tangga mereka. Tetapi jika kekerasan psikis itu mengakibatkan timbulnya penyakit atau halangan untuk melakukan pekerjaan jabatan atau mata pencahariaan atau kegiatan sehari-hari, maka terhadap suami isteri bersangkutan tetap diberlakukan sanksi pidana dalam pasal 45 ayat 1, yaitu pidana penjara paling lama tiga tahun atau
111
pidana denda paling banyak sembilan juta rupiah. Dan pembayaran denda
ini
bukanlah
pada
korban
melainkan
pada
negara,
permasalahannya adalah siapa yang akan menanggung atas biaya perawatan dan pengobatan korban kekerasan psikis. Hal ini seharusnya menjadi bahan pertimbangan yang sangat penting mengingat tujuan dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang salah satunya adalah melindungi korban dari kekerasan dalam rumah tangga. Bentuk perlindungan konkrit kepada korban selain seperti yang tertuang dalam BAB IV tentang Hak-hak korban dalam Undangundang tersebut denda yang dijatuhkan pada pelaku seharusnya diberikan pada korban. Domestifikasi peran merupakan salah satu bentuk konkrit kekerasan psikis sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 7, yaitu bahwa
kekerasan
psikis
bilamana
mengakibatkan
ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Dalam Islam domestifikasi peran ini perlu di cermati seksama hal-hal yang mendasarinya, karena sering dianggap bias gender. Proses perumahan perempuan dalam konteks relasi sosial dimana perempuan (Isteri) hanya boleh mengambil peran-peran domestik biasanya mengacu pada Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 33, artinya : “…Dan hendaklah kamu tetap dirumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu, dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan
Rasul-Nya.
Sesungguhnya
Allah
bermaksud
hendak
menghilangkan dosa dari kamu, hai ahl bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”
112
Dalam buku karya Ridwan, M.Ag yang berjudul Kekerasan Berbasis Gender mejelaskan bahwa kata Waqarna dengan dibaca fathah pada huruf qaf berarti “menetaplah di dalam rumah kalian” dan dibaca waqirna dengan kasrah pada huruf qaf berarti “hendaklah kalian bersenang-senang dan tenang di rumah”. Jika dibaca dengan fathah huruf qaf-nya meka dengan tegas perempuan diserukan untuk menetap di dalam rumah, sedangkan kalau dibaca kasrah huruf qafnya maka perempuan diserukan untuk bersenang-senang di dalam rumah. Kebanyakan ulama membaca dengan fathah qaf-nya dengan penekanan perempuan hendaknya menetap di dalam rumah. Pemaknaan terhadap kata waqarna yang diartikan sebagai domestifikasi peran perempuan seyogyanya tidak hanya dengan mempertimbangkan pemaknaan teks secara tersurat tetapi juga harus dipertimbangkan sisterm sosial masyarakat Arab yang mengharuskan perempuan memerankan peran seperti itu. Disamping itu juga kitab ayat ini lebih ditujukan pada isteri-isteri nabi sebagai perempuan pilihan dan model bagi perempuan lain. Ayat ini berkait dengan tuntutan untuk menggunakan jilbab sebagai simbol identitas kaum muslimah yang berbeda dengan identitas perempuan kaum jahiliyah dengan berbagai perhiasannya. Jika ditinjau dari sisi bangunan institusi legal-teologis Islam abad pertengahan memaknai surat Al-Ahzab ayat 33 adalah diterapkan kepada seluruh wanita muslim. Para muffasir klasik memaknai tabarruj dengan tiga makna, pertama berlagak atau berjingkrak-jingkrak, kedua bercumbu-cumbu, berlagak genit, dan ketiga berhias diri dengan menunjukkan perhiasan dan memamerkan keindahan tubuh. Perintah Al-Qur’an agar perempuan tinggal dirumah
113
sesungguhnya berangkat dari semangat penyamaan antara kebaikan yang diperoleh laki-laki melalui perjuangan di jalan Allah (jihad) dengan kebaikan yang diperoleh perempuan yang tinggal dirumah mereka, membersihkan diri dari kaki tangan syaitan. Maka kehidupan rumah tangga menjadi inti keshalihan sosial bagi perempuan. Menurut Mumtaz Ali sebagaimana dikutip oleh Asghar Ali Engineer, bahwa ayat ini secara khusus memberikan perintah larangan mempertontonkan kecantikan seperti pada masa jahilliyah dan permintaan untuk tidak keluar rumah hanyalah untuk mencegah mempertontonkan diri ditempat-tempat umum dan ini tidak berarti perempuan dilarang keluar rumah untuk melakukan pekerjaan penting. Ayat ini hanya mencegah bepergian yang tidak terkendali, tidak mengenal rasa malu dan tidak hati-hati dihadapan umum. Pada masa nabi perempuan berpartisipasi secara bebes dalam masalahmasalah perang, yang merupakan wilayah dominasi laki-laki. Dalam suatu riwayat ketika perang uhud sebagaiman dijelaskan dalam shahih bukhari, bahwa banyak perempuan-perempuan termasuk Aisyah ra, isteri Nabi membawakan air untuk kaum laki-laki dimedan perang. Fakta historis ini mengisyaratkan bolehnya kaum perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam proses pergaulan sosial. Zainuddin Al-Maribari
dalam kitabnya Fathul Muin
menyatakan bahwa seorang isteri diperbolehkan keluar rumah tanpa di cap sebagai nusyuz dalam hal-hal sebagai berikut : jika rumahnya akan roboh, jiwa atau hartanya terancam oleh penjahat atau pencuri, mengurus hak-haknya dipengadilan, belajar ilmu-ilmu fardu ‘ain atau keperluan untuk istifta (minta fatwa) karena suaminya bodoh atau emncari nafkah seperti berdagang atau mencari sedekah pada orang
114
lain atau bekerja selam suaminya tidak bisa menafkahinya. Bahkan untuk kondisi tertentu ia wajib bekerja, misalnya karena kewajiban menanggung biaya hidupnya sendiri beserta keluarganya karena tidak ada lagi orang yang membiayainya atau menafkahinya. Khusus bagi isteri larangan dilakukannya kekerasan psikis itu terdapat dalam firman Allah, yaitu : “Dan bergaullah dengan mereka (Isteri-isteri) secara patut (ma’ruf). Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah), karena mungkin kamu idak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan”. (An-Nisa’ : 19) Ayat tersebut menjelaskan bahwa hendaknya seorang suami memperhalus kata-kata,memperindah perilaku dan sikap sesuai kemampuan. Sebagaimana ia menyenangi hal itu dari isterinya sebagaimana firman Allah “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf”.(Al-Baqarah : 228) Rasulullah bersabda : “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling berbuat baik kepada keluarganya. Dan aku adalah orang yang paling berbuat baik pada keluargaku”. “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteriisterimu, walaupun kamu sangat mengiginkan berbuat demikia, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga yang lain kamu biarkan terkatung-katung”(An-Nisa’ : 129).
115
Meskipun ayat ini berkaitan dengan poligami, tetapi larangan membiarkan isteri terkatung-katung itu dapat diterapkan pada terhadap suami yang tidak poligami yang membiarkan isterinya terkatung-katung. Hukuman terhadap pelaku psikis memang belum ada ketentuan yang pasti (qoth’i), karena itu tidak menutup kemungkinan untuk mementukan hukuman terhadap pelaku tindak pidana kekerasan psikis dalam suatu peraturan perundang-undangan berdasarkan ta’zir. 3). Analisis Perbandingan Kekerasan Seksual Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan Hukum Islam Kalimat “pemaksaan hubungan seksual” masih belum jelas dan hanya dijelaskan secara sangat global. Baik di pasal lainnya ataupun di bab penjelasan, tidak ditemukan keterangan lebih mendalam tentang kata “pemaksaan”. Akibatnya kata itu mengandung banyak pengertian : kekerasan itu terjadi apakah karena isterinya enggan melakukan hubungan, kecapekan atau karena ada faktor lain. Pengertian diatas bisa jadi sangat bias. Dengan begitu, berpegangan dengan ketentuan itu, seorang isteri bisa saja menolak setiap ajakan suami untuk “berhubungan” dengan alasan macammacam atau tidak syar’i. Parahnya lagi jika suami “memaksa” isteri dan isteri tak berkenan, maka seorang isteri berdasarkan Undangundang tersebut bisa mengajukan suaminya kemeja hijau. Dalam hukum Islam hubungan seksual tidak hanya untuk bersenang-senang semata, akan tetapi terkandung nilai ibadah. Jika ajaran Islam diterapkan maka tidak mungkin terjadi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan suami terhadap isteri atau
116
sebaliknya. Karena keikhlasan masing-masing dalam membina rumah tangga yang ma’ruf, sakinah mawadah wa rahmah akan meluluhkan rasa keterpaksaan dalam memenuhi keinginan suami isterinya. Jika benar-benar mencintai suami atau isterinya karena Allah, tidak mungkin memaksakan kehendaknya dengan cara menyakiti pasangannya sebagai amanah dari Allah yang diperolehnya dengan bersaksi atas nama Allah. Dalam ajaran Islam perkawinan itu tidak hanya hubungan antara dua individu, tetapi merupakan sarana terjalinnya silaturahim antara dua keluarga. Karena itu pula dalam ajaran Islam dilarang terjadinya perkawinan antara mertua dengan bekas isteri atau bekas suami anaknya. Dalam Islam pola kehidupan rumah tangga dibangun atas dasar persaudaraan. Adanya kepemimpinan dalam rumah tangga tidak seperti kepemimpinan penguasa atas rakyatnya. Tapi kehidupan persahabatan, dimana terjadi usaha yang kuat untuk saling memenuhi hak bukan saling menuntut. Masing-masing anggota keluarga saling menjalankan kewajiban atau betfastabiqul khairat. Maka poial relasi antara anggota keluarga satu dengan yang lainnya adalah semata mengejar ganjaran dari Allah SWT. Dengan demikian tidak menganggap permintaan “berhubungan”
dari
sang
suami
sebagai
pelecehan
atau
kekerasan.Begitu juga kepemimpinan dalam rumah tangga, sebagai subordinasi atau marjinalisasi perempuan. Tapi sebaliknya, di mata Islam, hubungan laki-laki dan perempuan itu masuk dalam bingkai ibadah kepada Allah SWT. (Rivai Hutapea. Sabili Nomor 21 Tahun 5 Mei 2005 : 16-21).
117
Empat belas abad yang lalu , terjadi sebuah kisah sedih dari seorang budak perempuan bernama Mu’adzah yang dijual oleh majikannya. Abdullah bin Ubay bin Salul gembong kaum munafik, kepada lelaki Qurays yang menjadi tawanan Ubay. Motif Ubay hanya satu yaitu jika Mu’adzah hamil dan melahirkan anak, lelaki Qurays itu akan menebusnya dengan jumlah tertentu. Menyikapi persoalan tersebut Mu’adzah seorang mukminah menolak dan membawa persoalannya kepada Rasulullah. Pengaduan ini serta merta mendapat jawaban dari Allah dan menjadi sebab turunnya firman Allah : “ Dan janganlah kamu paksa budak-budak perempaun kamu itu untuk melakukan pelacuran sementara mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari kesenangan duniawi” ( AnNur : 33) . Ayat Al-Qur’an ini dengan mendasarkan pada sebab-sebab turunnya memberikan legitimasi bagi penolakan terhadap upaya eksploitasi
seksual
oleh
seorang
majikan
terhadap
budak
perempuannya untuk kepentingan komersil, apalagi seorang suami terhadap isterinya yang mana kedua belah pihak telah terikat dalam mitsaqan
galidza
yang
dipersaksikan
oleh
Allah.
Hal
ini
mengambarkan pada kita dengan amat jelas bahwa Islam menolak aksi-aksi kekerasan seksual terhadap siapapun walau terhadap seorang budak. Dalam Islam kehormatan setiap manusia wajib di pertahankan. Dalam rumusan hukum Islam di kenal dengan apa yang disebut dengan al-Dharuriyat al-Khams (lima hal yang wajib dijaga) yaitu menjaga agama, jiwa, akal, harta dan kehormatan/keturunan. Menjaga kehormatan dalam Islam dimanifestasikan dalam bentuk larangan melakukan perzinaan (melakukan hubungan seks diluar nikah). Allah berfirman :
118
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (Al-Isra’ : 32). Dalam ayat ini tidak ditentukan hukumannya , karena itu dapat ditentukan hukuman bagi orang tersebut berdasarkan ta’zir. Sedangkan terhadap korban pemaksaan hubungan seksual (orang yang diperkosa), Imam Malik menyatakan bahwa pemerkosa berkewajiban membayar dana sebesar nilai mahar (menurut ulama Syafi’I, mahar yang diberikan kepada isteri disunnahkan sebesar 500 dirham yang sama dengan nilai 1487,5 gram perak, maksimal 1200 uqiyah emas yang nilainya sama dengan Rp. 6.175.000.000. Inilah gambaran denda yang harus dibayarkan oleh pemerkosa kepada korban, bukan kepada negara. Rincian tersebut dapat dijadikan pedoman bagi pembuat Undang-undang dalam menentukan hukuman denda (restitusi) yang diberikan kepada korban pemerkosaan, bukan kepada negara. Tentang pelaku pemerkosaan atau pelaku zina yang dilakukan didalam sidang pengadilan
merupakan
alat
bukti
yang
menentukan,
seperti
pembuktian pengakuan putra Khalifah Umar bin Khathab yang telah memerkosa seorang perempuan dan telah melahirkan seorang bayi laki-laki yang akhirnya dihukum cambuk sebanyak seratus kali. Hukuman itu mengakibatkan puteranya meninggal dunia. Setelah wafat Umar memandikan, mengkafani dan menshalatkan. 4). Analisis Perbandingan Kekerasan Penelantaran Ekonomi Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan Hukum Islam
119
Kekerasan ekonomi dalam pasal 9 tersebut dapat berupa tidak di nafkahi, melarikan atau menggunakan harta korban. Pengertian kata “Layak”dalam pasal 9 ayat 2 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga masih belum di jelaskan secara gamblang. Pasal ini sekali lagi bisa menjadi legitimasi istri untuk menuntut sang suami ke pengadilan dengan berbagai alasan. Dengan mengacu pada pasal tersebut, seorang isteri bisa saja menyeret suaminya ke pengadilan dengan alasan suaminya melarangnya bekerja mencari nafkah. Padahal bisa saja suami melarang isterinya bekerja, demi kemashlahatan bersama. Seorang suami dalam Islam adalah kepala keluarga. Dipundaknya terbeban amanah memimpin keluarga. Hal ini bukan berarti diskriminasi bahkan ini pengagungan Islam terhadap wanita. Dan suami yang baik dengan tanggung jawab tersebut, bisa melihat apakah isterinya masih mampu menjalankan tugas-tugas rumah tangga jika ia bekerja ataukah sebaliknya. Jika isteri juga bekerja, sementara anak-anak terabaikan atau justeru tidak terbentuk character building-nya, tentu saja suami bisa melarang isterinya bekerja. Akan tetapi sekali lagi Islam tidak melarang seorang isteri turut membantu suaminya mencari nafkah, akan tetapi setidaknya sedari awal ada komitmen bersama antara suami dan isteri untuk melihat masa depan keluarganya yang diharapkan sakinah, mawadah warahmah dengan bijaksana, tidak berdasarkan emosi atau egoisme masing-masing pihak, apalagi sampai adanya subordinasi perabn perempuan. Meski saat ini sangat gencar sekali upaya emansipasi wanita, ataupun pengaruh feminisme barat, yang merasa bahwa manusia adalah insan nomor dua setelah laki-laki. Diharapkan tidak mudah terpancing, karena kemulian masing-masing insan adalah ketika ia mampu
120
bekerja profesional sesuai dengan fitrahnya. Dan hendaknya para muslimah mampu memahami ajaran Islam dengan teliti dan bijaksana karena sesungguhnya Islam begitu mengagungkan kedudukan wanita. Perempuan-perempuan
yang
mengemborkan
emansipasi
yang
keblablasan adalah perempuan-perempuan yang bodoh, yang akhirnya dari usaha mereka bukannya mendapatkan keadilan, kebahagiaan dan persamaan tapi justeru membuat mereka semakin buta akan letak kemuliaannya sebagai makhluk yang agung. c. Perlindungan Hukum Terhadap Isteri dari Kekerasan Suami Baik dalam Hukum Islam maupun Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sepakat menolak adanya kekerasan, terkhusus disini adalah kekerasan dalam rumah tangga, dan kedua hukum tersebut sama-sama memberi sanksi yang berat, akan tetapi Hukum Islam disini selain mengatur tentang aturan hidup, juga yang lebih memperkuat lagi adalah bahwa hukum ini merupakan suatu keyakinan yang mampu membuahkan kekuatan
yang
luarbiasa
dalam
pelaksanaanya.
Sehingga
dapat
memberikan perlindungan hukum yang begitu adil dan memandang jauh ke depan dengan kata lain kemashlahatan kehidupan bukan hanya didunia tapi juga di akhirat. Dalam Hukum Islam yang bersmber dari Al-Qur’an dan hadist mensyaratkan adanya aqidah yang sama, yaitu Islam, sedangkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tidaklah mensyaratkan adanya aqidah yang sama, karena Undang-undang ini bukanlah keyakinan tapi Undang-undang yang dibuat oleh manusia. Oleh karena itu Hukum Islam memiliki kekuatan yang lebih dan kesempurnaan yang tak terbantahkan, karena memang Hukum Islam berasal dari Sang Maha pencipta dan Maha Sempurna.
121
Di dalam Hukum Islam terdapat Perlindungan preventif maupun represif yang sudah dikemukakan penulis diawal. Ada tahaptahap yang jelas disana dalam melindungi korban dan senantiasa mengedepankan kerukunan hidup suami dan isteri dan semangat yang senantiasa dibawa adalah perdamaian kedua belah pihak. Hanya saja aturan-aturan dalam hukum Islam ini belum seluruhnya terkodifikasi dalam suatu undang-undang khusus. Sehingga hanya sebagian masyarakat yang tahu, karena meskipun orang tersebut seorang muslim belum tentu akan dapat memahami atauran ini, karena mungkin jarang yang mau membaca/mengkaji bahkan mengamalkan Al-Qur’an dan Hadist. Sekali lagi penulis jelaskan bahwa Hukum Islam adalah memiliki sifat rahmatan lil’alamin selain itu juga senantiasa menjunjung tinggi harkat dan martabat laki-laki maupun wanita, oleh karena itu terkhusus dalam perkara kekerasan dalam rumah tangga, Islam akan menghukum bagi siapa saja yang telah melanggar syariat dan tidak mensubordinasikan pihak tertentu. Jadi lebih obyektif dalam memberikan perlindungan. Jika ada permasalahan dalam rumah tangga maka Islam mengedepankan prinsip kekeluargaan dan perdamaian, karena sesungguhnya untuk demiianlah syariat pernikahan itu diciptakan Allah SWT. Dan Islam memandang bahwa hubungan suami isteri adalah hubungan yang suci penuh barokah oleh karena itu masing-masing pihak hendaknya dapat menjaga kehormatan dan menutupi masing-masing aib dengan senantiasa mengupayakan perbaikan bersama. Ketika muncul permasalahan maka yang pertama dilaksanakan adalah komunikasi empat mata antara suami dan isteri, saling menjelasakan perkara apa yang sekiranya membuat masing-masing berselisih, jika memang keduanya belum mendapatkan solusi maka dianjurkan untuk mengambil pihak ketiga sebagai penengah, tentu saja orang tersebut harus adil, bijaksana, dewasa dan dapat dipercaya. Jika memang tetap tidak bisa maka dapat dibawa ke
122
pengadilan. Disana pun tetap diupayakan perdamaian, jangan sampai perceraian yanga amat dibenci Allah itu terjadi. Bedanya dengan Undangundang Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah, dalam pasal 15, yang menjelaskan bahwa: Setiap orang yang mendengar, melihat atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk : 1). Mencegah berlangsungnya tindak pidana; 2). Memberikan perlindungan kepada korban; 3). Memberikan pertolongan darurat; dan 4). Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan Kekerasan dalam rumah tangga memang harus segera di hentikan . Namun adanya pelaporan orang lain seperti disebutkan dalam pasal 15 tersebut, boleh jadi kurang bisa membantu kedua belah pihak yang sedang bertikai untuk rujuk, atau mungkin dapat dikhawatirkan mendorong terjadinya perceraian. Dan ini akan bertentangan dengan tujuan dari Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yang termaktub dalam pasal 4(d) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yaitu “Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera”. Terkadang apa yang dilihat atau didengar orang itu pun memiliki banyak penafsiran masing-masing, akan tetapi dengan adanya pasal 15 tadi akan melegitimasi kepada siapapun berhak melaporkan, tanpa memandang orang tersebut tahu tidak latar belakang adanya suatu kondisi dimana suami isteri terlihat kurang harmonis. Perlu kita ketahui bersama adanya aturan dalam hukum Islam yang mengatur adab-adab orang lain berkunjung kesebuah keluarga. Yaitu dalam surat An-Nur ayat 27-28, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang
123
bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu selalu ingat . Jika kamu tidak menemui seseorang di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapatkan izin. Dan jika dikatakan kepadamu, “ kembalilah, maka hendaknya kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa saja yang kamu kerjakan”. Ayat tersebut bukanlah pengekangan atau menunjukkan suatu yang misterius dalam rumah tangga, akan tetapi lebih kepada adanya upaya untuk menghormati dan menghargai aktivitas pribadi satu-sama lain. Disisi lain mencerminkan etika pergaulan hidup antar tetangga. Hal tersebut untuk menjaga agar tidak terjadi fitnah dalam rumah tangga.
124
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diurailkan pada bab sebelumnya maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga terdiri dari 10 Bab dan dari bab-bab tersebut telah mengatur perlindungan terhadap korban tindak kekerasan dalam rumah tangga terutama diatur dalam : a. Bab 1 Tentang Ketentuan Umum, terdiri dari pasal 1 dan pasal 2 b. Bab 2 Tentang Asas dan Tujuan, terdiri dari pasal 3 dan pasal 4 c. Bab 3 Tentang Larangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, terdapat rumusan pidana terdiri dari pasal 5, pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9. d. Bab 4 Tentang Hak-Hak Korban yaitu pasal 10. e. Bab 5 Tentang Kewajiban Pemerintah dan Masyarakat terdiri dari pasal 11, pasal 12, pasal 13, pasal 14, pasal 15. f. Bab 6 Tentang Perlindungan terdiri dari pasal 16, pasal 17, pasal 18, pasal 20, pasal 21, pasal 22, pasal 23, pasal 24, pasal 25, pasal 26, pasal 27, pasal 28, pasal 29, pasal 30, pasal 31, pasal 32, pasal 33, pasal 34, pasal 35, pasal 36, pasal 37, pasal 38. g. Bab 7 Tentang Pemulihan Korban terdiri dari pasal, 39, pasal 40, pasal 41, pasal 42, pasal 43. h. Bab 8 Tentang Ketentuan pidana terdiri dari pasal 44, pasal 45, pasal 46, pasal 47, pasal 48, pasal 49, pasal 50, pasal 51, pasal 52, dan pasal 53.
124
125
2.
Hukum Islam Kaidah dasar dalam Hukum Islam adalah Al-Qur’an dan Hadist, didalamnya terdapat aturan yang sangat komprehensif dan sempurna dalam mengatur kehidupan manusia karena Ia diciptakan oleh sang maha pencipta, baik tentang ilmu pengetahuan, hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan dirinya, dan hubungan manusia dengan alam sekitar serta hubungan manusia dengan manusia. Hukum Islam mengatur harmonisasi kehidupan, senantiasa berpijak pada keadilan, kesejahteraan dan terutama menuntun manusia untuk meraih kebahagiaan hakiki di dunia dan di akhirat. Realisasi hukum Islam yang berpijak pada Al-Qur’an dan sunnah di Indonesia tertuang dalam : a. Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan b. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama c. Instruksi presiden R.I Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan Perlindungan isteri dari kekerasan suami dalam rumah tangga tidak dikodifikasikan dalam sebuah peraturan khusus. Akan tetapi dari beberapa aturan Hukum Islam yang sudah dikodifikasi di Indonesia telah dapat dilihat adanya pengaturan tersebut meskipun belum secara mendetail atau lengkap, yaitu : a. Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan lebih mengatur pada dasar dan tujuan perkawinan yang terdapat dalam pasal 1 Bab 1, Bab 6 Tentang Hak dan Kewajiban Suami dan Isteri terdapat dalam pasal 30, pasal 31, pasal 32, pasal 33, pasal 34. Bab 7 Tentang Harta Benda Dalam Perkawinan terdapat dalam pasal 35, pasal 36, pasal 37. Bab 8 Tentang Putusnya Perkawinan serta akibatnya terdapat dalam pasal 38, pasal 39, pasal 40, pasal 41
126
b. Kompilasi Hukum Islam Dalam Hukum Perkawinan terdiri dari 19 Bab, Bab-bab yang berkaitan dengan permasalahan disini yaitu, Bab 2 tentang dasar-dasar perkawinan, yang juga terdapat tujuan perkawinan yaitu pasal 2 dan pasal 3. Bab 12 Tentang Hak dan Kewajiban Suami Isteri terdiri dari pasal 77, pasal 78, pasal 79, pasal 80, pasal 81, pasal 82, pasal 83, pasal 84. Bab 13 Tentang Harta Kekayaan Dalam Perkawinan terdiri dari pasal 85, pasal 86, pasal 87, pasal 88, pasal 89, pasal 90, pasal 91, pasal 92, pasal 93, pasal 94, pasal 95, pasal 96, pasal 97. Bab 16 Tentang Putusnya Perkawinan terdiri dari pasal 113, pasal 114, pasal 115, pasal 116, pasal 117, pasal 118, pasal 119, pasal 120, pasal 121, pasal 122, pasal 123, pasal 124, pasal 125, pasal 126, pasal 127, pasal 128. Prinsip hukum Islam dalam hal relasi suami isteri adalah senantiasa mengedepankan hadirnya rasa sakinah, mawadah, warahmah.
3. Perbandingan Perlindungan Hukum Terhadap isteri dari kekerasan suami dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dengan Hukum Islam, terutama yang berkaitan dengan : a. Persamaan Bahwa baik dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga maupun Hukum Islam melarang keras berbagai bentuk kekerasan (fisik, psikis, seksual, penelantaran rumah tangga) dalam hal ini kekerasan dalam rumah tangga. Karena tindakan tersebut amat merugikan setiap pihak dan terutama terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia, oleh karena itu kedua peraturan tersebut sama-sama menetapkan sanksi hukum guna menjerat para pelaku dan membuatnya jera agar tidak melakukannya kembali.
127
b. Perbedaan 1). Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga Bahwa dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 dalam pasal 1 (1) memberikan definisi bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Definisi diatas terdapat kata perempuan, hal ini terlihat adanya penekanan bahwa titik permasalah kekerasan dalam rumah tangga adalah gender, definisi ini akan menjadi rancu jika disinkronkan dengan pasal 2 Undang-undang tersebut dimana ruang lingkup korban tak hanya isteri tapi bisa terjadi pada suami, isteri, anak, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang tersebut, dan orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Sedangkan dalam hukum Islam memang tidak dijelaskan secara eksplisit akan tetapi dalam hukum Islam menegaskan bahwa adanya kekerasan itu jika ada suatu
perbuatan
yang
melanggar
syariat,
dan
siapapun
yang
melanggarnya akan mendapat sanksi yang tegas. Jadi dalam hukum Islam tidak menitik tekankan adanya kekerasan adalah karena gender, tetapi lebih kepada seseorang yang memang tidak bisa memahami hakikat hidup dan aturan yang baik sehingga ia bertindak menyalahi ketentuan hukum yang ada. 2). Bentuk-bentuk Kekerasan Dan Sanksi Bagi Pelaku Kekerasan Bentuk-bentuk kekerasan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga terdapat dalam pasal 5, pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9, sedangkan ancaman
128
pidananya diatur dalam pasal 44, pasal 45, pasal 46, pasal 47, pasal 48, pasal 49, pasal 50, pasal 51, pasal 52 dan pasal 53. Sedangkan dalam Hukum Islam di Indonesia sendiri tidak mengaturnya secara rinci dalam suatu peraturan khusus dalam bentuk undang-undang, akan tetapi telah diatur dalam Al-Qur’an dan Hadist. Dalam hukum Islam ganti rugi atas sanksi yang dijatuhkan pada pelaku diserahkan kepada korban, sehingga korban mendapat jaminan perlindungan yang konkrit, sedangkan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ganti rugi tersebut diserahkan kepada negara. 3). Perlindungan Hukum terhadap korban (isteri) Dalam
Undang-undang
Nomor
23
Tahun
2004
Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga melibatkan aparat kepolisian, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani. Dan setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib membantu korban bisa dengan melaporkan kepada aparat kepolisian. Dalam hukum Islam senatiasa mengedepankan etika dalam menerapkan syariatnya, yaitu mulai dari adanya perlindungan preventif yaitu sebelum adanya perkawinan maupun suami isteri dalam perkawinan, dan jika masih terdapat ketidakcocokan yang mengakibatkan pertengkaran atau bahkan tindak kekerasan maka dalam penyelesaiannya pun menggunakan tahapantahapan yang arif dan bijaksana, senantiasa melandasinya dengan perdamaian
dan
kerukunan
suami
isteri,
tidak
meruncingkan
permasalahan yang sebenarnya bisa diselesaikan apabila masing-masing pihak paham akan kedudukannya, dan adanya kelapangan hati diantara suami isteri tersebut. Apabila usaha suami-isteri memang tidak bisa memecahkan masalah, maka dipersilahkan untuk meminta pihak ketiga
129
yang dipercaya untuk menjadi hakam, dan apabila perselisihan tetap tak terelakkan maka perceraian menjadi alternatif terakhir sebagai solusinya, dan jika terjadi kekerasan yang mengakibatkan salah satu pihak maka ia akan mendapatkan sanksi sesuai syariat Islam yang sudah penulis paparkan di bab-bab sebelumnya. Dalam Hukum Islam yang bersmber dari Al-Qur’an dan hadist mensyaratkan adanya aqidah yang sama, yaitu Islam, sedangkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tidaklah mensyaratkan adanya aqidah yang sama, karena Undang-undang ini bukanlah keyakinan tapi Undang-undang yang dibuat oleh manusia. Oleh karena itu Hukum Islam memiliki kekuatan yang lebih dan kesempurnaan yang tak terbantahkan, karena memang Hukum Islam berasal dari Sang Maha pencipta dan Maha Sempurna. B. Saran 1.
Dibutuhkan adanya revisi dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, yaitu terkait dengan definisi, ancaman pidana dan perlindungan terhadap korban untuk lebih mengakomodir tercapainya keadilan tidak hanya bagi perempuan atau isteri sebagai korban tetapi lingkup secara umum karena pelaku atau pun korban bisa laki-laki dan bisa juga perempuan, sehingga lebih obyektif dan bijaksana dalam melihat latar belakang masalah dan mengaturnya.
2.
Harus diperjelas berkaitan dengan ketentuan dalam pasal-pasal Undangundang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Pengahapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, karena masih global dan akan cenderung melahirkan penafsiran yang luas, sehingga bisa jadi yang tercapai bukannya kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangga tapi justeru akan menghancurkan rumah tangga itu sendiri.
130
3.
Melakukan pendekatan-pendekatan preventif dengan segala perangkat ajaran agama, hukum, politik, LSM yang dan budaya guna meningkatkan perlindungan terhadap kaum perempuan dari setiap bentuk kekerasan dengan melihat setiap permasalahan lebih objektif dan bukan semata di dorong adanya upaya kesetaraan gender, karena perlu dipahami bersama bahwa lakilaki dan perempuan itu sama dihadapan Allah SWT, jikalau ada perbedaan maka itu bukanlah pembedaan, seperti halnya yang dirasakan dan didengungdengungkan kaum feminis. Kodrat yang dimiliki masing-masing bukanlah menjadi
adanya
pihak
yang
ter-subordinasi,
akan
tetapi
hal
ini
memperlihatkan betapa Allah memuliakan kedudukan hambanya apabila ia mampu menjalankan dan menjaga kodratnya dengan baik. Perlu di ingat pula bahwa setara itu bukan berarti sama. Islam menempatkan laki-laki dan perempuan tidak pada relasi hierarkis, masing-masing mempunyai tanggung jawab dan keunggulan, meski Allah SWT menciptakan manusia dengan dua kelamin, masing-masing memiliki peran sendiri sesuai dengan kodratnya. Salah satu langkah riil yang dapat dilakukan adalah dari pada memikirkan dan menggugat segala sesuatu tentang perempuan, lebih baik bersama-sama mempromosikan keluarga sakinah, seandainya kita berada dalam suasana keluarga yang sakinah, mawaddah dan penuh rahmah, pasti tidak diperlukan Undang-undang kekerasan dalam rumah tangga atau kekhawatiran terjadinya diskriminasi pada perempuan.
131
DAFTAR PUSTAKA
Buku Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo. 2006. Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman Yang Terus Berkembang. Yogyakarta : Pustaka Pelajar ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh. 2006. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2. Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i Bambang Sunggono. 2006. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada Barda Nawawi Arief. 2002. Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada Black H.C. 1979. Black Law’s Dictionary, fifth ed. West Publishing Co Departemen Agama Republik Indonesia. 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung : PT Syaamil Cipta Media Dessy Anwar. 2006. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia.Surabaya: Karya Abditama Gemala Dewi. 2005. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta : Prenada Media HB. Soetopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Dasar Teori dan Terapannya Dalam Penelitian. Surakarta : UNS Press Milda Marlia. 2007. Marital Rape “Kekerasan Seksual Terhadap Isteri”.Yogyakarta : Pustaka Pesantren Mohammad Daud Ali. 2005. Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Mohammad Zuhri. 2007. Perintah dan larangan Allah Ta’ala dalam Relasi Suami isteri. Bandung:Nuansa Aulia Muhammad Baltaji. 2007. Kedudukan Wanita Dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Solo: Media Insani Ridwan. 2006. Kekerasan Berbasis Gender. Yogyakarta: Fajar Pustaka
132
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press Soerjono Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press Sutrisno Hadi. 2001.Metodologi Research Jilid 1. Yogyakarta :PT. Andi Syaikh Hasan Ayyub. 2006. Fikih Keluarga. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar Yusuf Al Qordhawi. 2006. Perempuan Dalam Perspektif Islam. Yogyakarta: Pustaka Fahima Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Instuksi Presiden R.I Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Karya Tulis Aryo Nugroho. 2005. Perbandingan Perlindungan Hukum Terhadap Wanita dalam KUHP dengan Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Destria Merryana Atmayanti. 2005. Sinkronisasi Kedudukan Hukum Wanita Dalam Hukum Waris Islam menurut Kompilasi Hukum Islam dengan Alqur’an dan Hadits Laporan Penelitian Mohammad Jamin dan Gayatri Dyah Suprobowati. 2006. Efektivitas Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga untuk memberikan perlindungan terhadap Isteri Dari Kekerasan Seksual oleh Suami Majalah Hepi Andi. 2005 “Memuliakan Kaum Hawa”. Sabili. Nomor 21 Tahun 5 Mei 2005 halaman :39-43
133
Herry Nurdi. 2005 “Setara Tapi Tidak Sama”. Sabili. Nomor 21 Tahun 5 Mei 2005 halaman : 44-47 Neng Djubaedah. 2005 “Kekerasan Dalam Rumah Tangga Ditinjau Dari Hukum Islam”. Sabili. Nomor 21 Tahun 5 Mei 2005 halaman :22-25 Parjono Wiro Putro. 2005 “Gender dan Keadilan Islam”. Sabili. Nomor 21 Tahun 5 Mei 2005 halaman :54-55 Rivai Hutapea. 2005 ”Undang-undang Kekerasan Rumah Tangga Bertentangan dengan Islam”. Sabili. Nomor 21 Tahun 5 Mei 2005 halaman : 16-21 Rivai Hutapea. 2005 “ Bentengi Keluarga Muslim”. Sabili. Nomor 21 Tahun 5 Mei 2005 halaman : 29-31 Siti Musdah Mulia. 2007 “Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) (Perspektif Islam). MaJEMUK edisi 10 Makalah Abdul Ghofar Ismail. Urgensi Berumah Tangga. Disampaikan pada Kajian Islam. UNS. Intan Savitri. Islam dan Aspek-aspek Preventif dan Kuratif terhadap potensi Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Disampaikan pada seminar sosialisasi Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Perdagangan Anak dan Perempuan. Hotel Kusuma Kartikasari Surakarta.14 Januari 2006 Liliek Djaliyah MA Sururi. Perlindungan dan Penanganan Perkara Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Hubungan Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Disampaikan pada seminar sosialisasi Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Perdagangan Anak dan Perempuan. Hotel Kusuma Kartikasari Surakarta.14 Januari 2006 Vera Kartika Giantari. Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Sebuah Fakta di Masyarakat. Disampaikan dalam seminar problematika dan prospek Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Fakultas Hukum UNS. 8 Desember 2005
134
Mohammad Djamin. Perspektif Sosiokultural Kendala Implementasi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Disampikan dalam diskusi ilmiah Problematika dan prospek Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumha Tangga. Himanoreg FakultasHukum UNS. 8 Desember 2005. Internet Almira at-Thahirah. 2006. Kekerasan Rumah Tangga Produk Kapitalisme (Kritik Atas Persoalan KDRT). www.mail-archive.com (diakses tanggal 15 Agustus 2007) Anna Sakreti N.2004. Peliknya Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. www.kompas.com (diakses 6 Agustus 2007) Dien Zhurindah. 2007. Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Bukan Lagi Sekedar Wacana. http://hukumkehidupanrealita.blogspot.com (diakses tanggal 3 Oktober 2007) Farid Ma’ruf. 2007. Pandangan Islam terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga. http://baitijannati.wordpress.com (diakses tanggal 15 Agustus 2007) H. Anggarawaty. 2006. Isu Kekerasan Dalam Rumah Tangga : Antara Fakta dan Propaganda. www.mail-archive.com (diakses tanggal 15 Agustus 2007) Thoha. 2004. Upaya Membumikan Syariat Islam. www.tabloid.com (diakses tanggal 15 Agustus 2007) __________. 2005. (Keluarga-Sejahtera) Stop Kekerasan di Rumah Tangga. www.pikiran-rakyat.com (diakses tanggal 15 Agustus 2007) __________. 2006. Adakah Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Islam?. www.pikiran-rakyat.com (diakses tanggal 6 Agustus 2007) __________. 2006. Kekerasan Dalam Rumah Tangga.http://qathrunnada.com (diakses tanggal 7 Agustus 2007) __________. 2006. Islam dan Tindak Kekerasan 1. http://www.alshia.com/html/id/service/maqalat/007 (diakses tanggal 3 Oktober 2007)