Kajian yuridis implementasi pasal 170 ayat (2) ke-1 kuhp tentang tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang (pengeroyokan) (studi kasus di pengadilan negeri boyolali)
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh : Rouliati Marehanda NIM E.0004274
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi) KAJIAN YURIDIS IMPLEMENTASI PASAL 170 AYAT (2) KE-1 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA DENGAN TENAGA BERSAMA MELAKUKAN KEKERASAN TERHADAP ORANG (PENGEROYOKAN) (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Boyolali)
Disusun oleh : ROULIATI MAREHANDA NIM : E0004274
Disetujui untuk dipertahankan
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
BUDI SETIYANTO, S.H NIP. 131 568 283
SUBEKTI, S.H NIP. 131 841 891
ii
PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi) KAJIAN YURIDIS IMPLEMENTASI PASAL 170 AYAT (2) KE-1 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA DENGAN TENAGA BERSAMA MELAKUKAN KEKERASAN TERHADAP ORANG (PENGEROYOKAN) (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Boyolali) Disusun oleh : ROULIATI MAREHANDA NIM : E0004274
Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada : Hari
: Sabtu
Tanggal
: 3 Mei 2008
TIM PENGUJI 1.
Rofikah, S.H., M.H
: ...............................................
Ketua 2.
Subekti, S.H
: ...............................................
Sekretaris 3.
Budi Setiyanto, S.H.
: ...............................................
Anggota
Mengetahui : Dekan,
Moh. Jamin, S.H., M.H. NIP. 131 570 154 iii
MOTTO
”Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan” (Yeremia 29:11)
“Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia” (Yakobus 1:12)
iv
PERSEMBAHAN
Hasil penulisan hukum ini penulis persembahkan kepada :
Tuhan Yang Maha Esa.
Papa Halomoan Simanjuntak dan Mama Dra. Sundari, M.Hum yang telah memberikan kasih sayang, dukungan dan pengorbanan baik materiil maupun spiritual.
Adik tersayang, Philo Dellano, Inilah hasil karyaku, kutunggu hasil karyamu kelak di kemudian hari.
v
KATA PENGANTAR
Segala sesuatu ada waktunya. Ada waktu memulai, dan ada waktu untuk mengakhiri. Oleh karena itu dengan berakhirnya penyusunan penulisan hukum (skripsi) ini, penulis memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya yang selalu mengalir di dalam kehidupan penulis dalam penyusunan penulisan hukum ini sehingga penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum (skripsi) dengan judul “ KAJIAN YURIDIS IMPLEMENTASI PASAL 170 AYAT (2) KE-1 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA DENGAN TENAGA BERSAMA
MELAKUKAN
KEKERASAN
TERHADAP
ORANG
(PENGEROYOKAN) (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Boyolali)”.
Penulis menyadari bahwa dalam Penulisan Hukum (skripsi) ini terdapat banyak hambatan dan kekurangan, untuk itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang membangun sehingga dapat memperkaya isi Penulisan Hukum (skripsi) ini. Dalam kesempatan ini pula, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik meteriil maupun spiritual sehingga Penulisan Hukum (skripsi) ini dapat diselesaikan, terutama kepada : 1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Bapak Ismunarno, S.H., M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana yang telah memberikan ijin dan rekomendasi pembimbing Penulisan Hukum (skirpsi) kepada penulis. 3. Bapak Budi Setiyanto, S.H., Selaku Pembimbing Akademik penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret dan selaku Pembimbing I Penulisan Hukum (skripsi) yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam Penulisan Hukum (skripsi). 4. Ibu Subekti, S.H., selaku Pembimbing II Penulisan Hukum (skripsi) yang penuh kedisiplinan, ketekunan dan kesabaran dalam memberikan bimbingan dan pengarahan dalam Penulisan Hukum (skripsi) ini.
vi
5. Pengadilan Negeri Boyolali (bagian Hukum) yang telah memberikan waktu untuk kelancaran informasi dan kerjasama selama penelitian guna kelengkapan penelitian hukum penulis. 6. Papa dan mama tercinta, yang telah memberikan kasih sayangnya dan pengorbanan yang luar biasa kepada penulis selama penulis hidup hingga menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini. 7. Adik tercinta, Philo Dellano terima kasih atas dukungan moril baik cinta maupun kasih sayang serta materiil kepada penulis. 8. Saudara-saudaraku, Kak Jo, Kak Nad, Kak Do, Ida, Disa, Ela, Mbak Tria, dll terima kasih atas dukungan doanya selama penulis menyusun skripsi ini, walaupun jauh, tapi doa kalian memiliki kekuatan yang besar buat kehidupan penulis. 9. Sahabatku, Nonik dan Cimcim, terima kasih atas kasih sayang dan dukungan kalian selama kuliah di FH UNS yang telah mengalami berbagai suka dan duka bersama. 10. Komsel Youth Pemuda Sambeng, Kak Andin, Kak Ardi, Ony, Cik Fit, Mbak Marsi, Peter, Mas Yudi, Cik Yanti, Ototo, Vany, Vika, Vivin dll terima kasih atas dukungan kalian dalam doa dan selalu support penulis dalam menyelesaikan
Penulisan Hukum (skripsi) ini, Tuhan selalu memberkati
kalian. 11. Teman-temanku di TLG, Neo Warnet, PMK FH, mahasiswa FH UNS angkatan 2004 terima kasih atas dukungan moril yang diberikan kepada penulis. 12. Seluruh
dosen
dan
karyawan
di
Fakultas
Hukum,
yang
selalu
mempermudahkan penulis dalam menimba ilmu baik di kelas maupun di luar kelas di Fakultas Hukum. 13. Seluruh staf Perpustakaan Pusat UNS dan Staf Perpustakaan Hukum UNS, penulis mengucapkan terima kasih yang telah mempermudah mencari bukubuku dalam menunjang penulisan hukum (skripsi) penulis
vii
14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan Penulisan Hukum (skripsi) ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan Hukum (skripsi) ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu segala kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan skripsi ini akan diterima dengan senang hati. Akhir kata penulis berharap, agar karya tulis ilmiah yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis pribadi, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret khususnya dan para pembaca pada umumnya. Surakarta, April 2008
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL........................................................................................ i HALAMAN PERSETUJUAN......................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iii HALAMAN MOTTO ...................................................................................... iv DAN PERSEMBAHAN .................................................................................. v KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi DAFTAR ISI.................................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xi ABSTRAK ....................................................................................................... xii BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1 A. Latar Belakang Masalah......................................................................... 1 B. Perumusan Masalah ............................................................................... 4 C. Tujuan Penulisan.................................................................................... 4 D. Manfaat Penulisan.................................................................................. 5 E. Metode Penulisan................................................................................... 6 F. Sistematika Penulisan Hukum................................................................. 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………... 12 A. Kerangka Teori………………………………………………………… 12 1. Tinjauan Tentang Tindak Pidana………………………………….. 12 a. Istilah dan pengertian Tindak Pidana………………………….. 12 b. Unsur-unsur Tindak Pidana……………………………………. 16 c. Jenis Tindak Pidana……………………………………………. 17 d. Pengertian Tinda Pidana dengan Terang-terangan dan Tenaga Bersama Melakukan Kekerasan (Pengeroyokan)…………….. 21 1) Pengertian dengan terang-terangan………………………... 21 2) Pengertian Tenaga Bersama……………………………….. 23 3) Melakukan Kekerasan……………………………………... 23 ix
4) Menyebabkan Luka………………………………………..
26
2. Tinjauan Tentang Pidana………………………………………….
27
a. Pengertian Pidana……………………………………………… 27 b. Jenis-jenis Pidana……………………………………………… 28 c. Teori Pemidanaan……………………………………………… 29 3. Tinjauan Perbedaan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP tentang Penyertaan dengan Pasal 170 KUHP tentang Tindak Pidana yang Dilakukan dengan Tenaga Bersama…………………………………………… 31 a. Pelaku (Dader)………………………………………………… 32 b. Pembantu (Medeplichtigheid)………………………………… 33 B. Kerangka Pemikiran……………………………………………………. 37 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………………………. 39 A. Implementasi Pasal 170 Ayat (2) ke-1 KUHP Tentang Tindak Pidana dengan Tenaga Bersama Melakukan Kekerasan Terhadap Orang yang
Mengakibatkan
Luka
di
Pengadilan
Negeri
Boyolali………………………………………………………………..
39
B. Dasar Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Boyolali dalam Menjatuhkan Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana dengan Tenaga Bersama
melakukan
Kekerasan
Terhadap
Orang
yang
Mengakibatkan Luka sebagaimana Diatur Dalam Pasal 170 Ayat (2) Ke-1 KUHP………………………………………………………….... 49 BAB IV SIMPULAN DAN SARAN………………………………………… 58 A. Kesimpulan……………………………………………………………. 58 B. Saran…………………………………………………………………… 59 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar I.1. Siklus Analisis Data Model Interaktif ........................................
9
Gambar II.2. Gambar Kerangka Pemikiran ..................................................... 37
xi
ABSTRAK ROULIATI MAREHANDA, 2008. KAJIAN YURIDIS IMPLEMENTASI PASAL 170 AYAT (2) KE-1 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA DENGAN TENAGA BERSAMA MELAKUKAN KEKERASAN TERHADAP ORANG (PENGEROYOKAN) (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Boyolali). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan ini mengkaji dan menjawab permasalahan tentang bagaimana implementasi Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP tentang tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka di Pengadilan Negeri Boyolali serta dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Boyolali dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP. Penulisan ini apabila dilihat dari tujuannya termasuk jenis penulisan hukum normatif yang bersifat diskriptif. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Sumber Data menggunakan Putusan Pengadilan Negeri Boyolali Nomor 101/Pid.B/2007/PN.Bi, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen, dan sebagainya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti oleh penulis mengenai tindak pidana pengeroyokan sebagaimana diatur dalam Pasal 170 KUHP. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan yaitu melalui penulisan kepustakaan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti tentang tindak pidana pengeroyokan. Analisis data menggunakan teknik analisis data content analisys dengan pendekatan kualitatif. Berdasarkan penulisan ini diperoleh hasil bahwa Implementasi Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP terhadap Pelaku tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka jauh berbeda dengan ancaman pidana yang terdapat dalam Pasal tersebut. Pidana yang dijatuhkan hakim ternyata lebih ringan yaitu 2 (dua) bulan 15 (lima belas) hari penjara dikurangi masa tahanan dibanding dengan ancaman pidana selama 7 (tujuh) tahun penjara. Ini dikarenakan Terdakwa dengan Korban telah menyatakan perdamaian dengan adanya Surat Pernyataan Damai dimana terdakwa telah meminta maaf dan membayar ganti kerugian yang di derita oleh korban. Selain itu pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku didasari pada unsur obyektif dan unsur subyektif. Unsur obyektif didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang terdiri dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang No.2 Tahun 1986 jo. Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum, Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sedangkan unsur subyektif didasarkan pada keyakinan (diri pribadi) hakim tersebut yang menangani, mengadili dan memutus suatu perkara terhadap diri terdakwa.
xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan suatu negara hukum, pernyataan tersebut termuat dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat)”, sebagai negara hukum maka Indonesia mempunyai serangkaian peraturan atau hukum supaya kepentingan masyarakat dapat terlindungi. Alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan landasan konstitusional negara ini memuat bahwa tujuan negara salah satunya antara lain adalah menciptakan kesejahteraan umum. Jadi semua usaha dan pembangunan yang dilakukan negara ini harus mengarah pada tujuan ini sehingga tercipta kesejahteraan rakyat. Hukum sesungguhnya merupakan pencerminan kehidupan sosial suatu masyarakat dimana hukum tersebut terbentuk. Dapat dikatakan bahwa hukum adalah fungsi sejarah sosial suatu masyarakat, namun hukum bukanlah bangunan sosial yang statis, melainkan ia dapat berubah dan perubahan ini terjadi karena fungsinya untuk melayani masyarakat (H. Zamhari Abidin, 1986:84). Suatu hukum dalam masyarakat tidak selalu bertindak sebagai suatu penghalang terhadap perubahan sosial. Adanya sikap masyarakat yang peduli terhadap hukum dapat berfungsi sebagai sumber kekuatan yang luar biasa untuk ketentraman dari pergaulan masyarakat itu sendiri. Kurangnya kesadaran hukum dalam masyarakat dewasa ini menyebabkan terjadinya ketidakpercayaan antara anggota masyarakat itu sendiri maupun ketidakpercayaan dengan aparat penegak hukum dan pemerintah. Terlebih dengan kondisi perekonomian negara kita yang sulit saat ini, mengakibatkan timbulnya kriminalitas yang terjadi dalam masyarakat yang dilatarbelakangi karena kebutuhan hidup yang semakin meningkat dalam setiap anggota masyarakat tersebut. Kondisi yang terjadi setiap hari dan dialami oleh masyarakat misalnya penjambretan, penodongan, pencurian,
xiii
perampokan, penganiayaan, perkosaan, pembunuhan, tawuran remaja, atau lebih dikenal dengan “kejahatan jalanan” atau “street crime” menjadi tantangan bagi proses penegakan hukum. Seiring dengan adanya perkembangan kejahatan seperti diuraikan diatas, maka hukum menempati posisi yang penting untuk mengatasi adanya persoalan kejahatan ini. Perangkat hukum diperlukan untuk menyelesaikan konflik atau kejahatan yang ada dalam masyarakat. Salah satu usaha pencegahannya dan pengendalian kejahatan itu ialah dengan menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana (Muladi dan Barda Nawawi, 1998:148). Kekerasan yang dilakukan oleh seseorang baik bersama-sama maupun seorang diri terhadap orang ataupun barang semakin meningkat dan meresahkan masyarakat serta aparat penegak hukum. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Buku II Bab V mengatur tentang kejahatan terhadap ketertiban umum yang terdapat dalam Pasal 153-181. Dalam Pasal 170 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana disebutkan bahwa : “Barangsiapa di muka umum, bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang …” dapat dilihat dalam pasal tersebut memiliki unsur-unsur yang memberi batasan untuk dapat menjerat seseorang yang melakukan tindak pidana kekerasan. Dibandingkan dengan tindak pidana kekerasan lainnya yang terdapat juga dalam KUHP, Pasal 170 KUHP memiliki ancaman pidana yang lebih berat daripada pasal-pasal yang mengatur tentang bentuk kekerasan yang lain dalam KUHP. Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP lebih menegaskan lagi bahwa “ Yang bersalah dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun, kalau ia dengan sengaja merusak barang atau jikalau kekerasan yang dilakukanya itu menyebabkan orang mendapat luka”. Dalam pasal ini bukan hanya unsur kekerasan saja, namun unsur menyebabkan orang mendapat luka termasuk didalamnya. Dilihat dari unsurnya, Pasal 170 KUHP memiliki suatu perbedaan terhadap Pasal 55 ayat (1) KUHP mengenai tindak pidana yang dilakukan lebih dari satu orang.
xiv
Seseorang yang melakukan tindak pidana yang tergolong dalam Pasal 170 ayat (1) maupun ayat (2) KUHP haruslah diproses berdasarkan peraturan hukum yang berlaku. Hal ini akan menjadi tanggung jawab hakim dalam menentukan penjatuhan pidana bagi pelaku tindak pidana tersebut sesuai dengan unsur-unsur yang terdapat dalam pasal tersebut. Hakim sebagai salah satu penegak hukum yang berperan penting dalam peradilan haruslah dapat bersikap seadil-adilnya, karena hakim memiliki posisi sentral dalam proses penegakan hukum yang mampu menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana. Putusan hakim sangatlah penting karena merupakan tolak ukur pemahaman hakim atas suatu perkara dari tindak pidana yang dipersidangkan dalam pengadilan serta menjadi puncak dalam perjuangan memperoleh keadilan. Sesuai dengan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, seorang hakim memiliki kemampuan untuk mengimplementasikan undang-undang secara tersendiri serta tidak terikat pada yurisprudensi atau putusan dari hakim yang terdahulu pada suatu perkara yang sejenis. Hakim dapat memberikan pidana terhadap pelaku tindak pidana yang diatur dalam suatu peraturan perundangundangan sesuai dengan pemikiran dari hakim itu sendiri. Implementasi pidana yang dijatuhkan oleh hakim di Pengadilan Negeri Boyolali terhadap pelaku tindak pidana Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP tentang tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang menyebabkan luka atau pengrusakan pada barang (pengeroyokan), hakim harus mempunyai implementasi dalam pasal tersebut yang nantinya dapat memberikan putusan yang terbaik bagi pelaku tindak pidana tersebut. Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian
dengan
judul
:
“KAJIAN
YURIDIS
IMPLEMENTASI PASAL 170 AYAT (2) KE-1 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA DENGAN TENAGA BERSAMA MELAKUKAN KEKERASAN TERHADAP ORANG (PENGROYOKAN) (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Boyolali)”.
xv
B. Perumusan Masalah Dalam suatu penelitian diperlukan adanya perumusan masalah untuk mengidentifikasi persoalan yang diteliti sehingga sasaran yang hendak dicapai menjadi jelas, tegas, terarah, serta tercapai sasaran yang diharapkan. Dalam penelitian ini, peneliti merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana implementasi
Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP tentang
tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka di Pengadilan Negeri Boyolali? 2. Apa yang menjadi dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Boyolali dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP? C. Tujuan Penulisan Tujuan penelitian diperlukan karena terkait erat dengan perumusan masalah dan judul dari penelitian itu sendiri. Oleh karena itu peneliti mempunyai tujuan atau hal-hal yang ingin dicapai melalui penelitian ini. Tujuan itu berupa tujuan secara obyektif dan tujuan secara subyektif. Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui implementasi
Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP
tentang tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka di Pengadilan Negeri Boyolali. b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Boyolali dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP. 2. Tujuan Subyektif
xvi
a. Untuk memperluas pengetahuan dan wawasan peneliti di bidang hukum serta pemahaman aspek hukum dalam teori dan praktek dalam lapangan Hukum Pidana. b. Untuk mengetahui kemampuan peneliti dalam meneliti di bidang ilmu hukum khususnya Hukum Pidana. D. Manfaat Penulisan Manfaat dari penulisan yang penulis lakukan adalah : 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu Hukum Pidana, terutama berhubungan dengan implementasi Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP tentang tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka di Pengadilan Negeri Boyolali. b. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi mahasiswa, dosen, atau pembaca yang tertarik dalam Hukum Pidana. 2. Manfaat Praktis a. Untuk melatih mengembangkan pola pikir yang sistematis sekaligus untuk mengukur kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu yang telah diperoleh. b. Dengan disusunnya penulisan hukum ini maka dapat digunakan sebagai syarat guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. E. Metode Penulisan Metode artinya adalah “jalan ke”, sedangkan penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten (Soerjono Soekanto, 1986:42). Metode penelitian adalah jalan yang dilakukan berupa serangkaian kegiatan ilmiah yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten untuk memperoleh data yang lengkap yang dapat dipertanggungjawabkan secara
xvii
ilmiah sehingga tujuan penelitian dapat dicapai. Metode yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Mengacu pada judul dan perumusan masalah, maka penelitian yang dilakukan ini mengacu pada penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif sering disebut juga penelitian hukum doktrinal atau kepustakaan karena penelitian ini hanya meneliti dan mengkaji bahanbahan hukum tertulis dan banyak dilakukan di perpustakaan. 2. Sifat Penelitian Apabila dilihat dari sifatnya, maka penelitian ini termasuk penelitian yang bersifat deskriptif yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya. Maksud dari penelitian deskriptif ini adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu didalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 1986 :10). 3. Jenis data Dalam penelitian hukum normatif ini, jenis data yang digunakan peneliti
berupa data sekunder. Data sekunder merupakan data yang
diperoleh dari penelaahan dokumen dari penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan-bahan pustaka seperti buku-buku, artikel, literatur, koran, majalah, jurnal, internet, perundang-undangan, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti serta putusan Pengadilan Negeri Boyolali mengenai perkara tindak pidana kekerasan bersama dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP. 4. Sumber Data Penelitian ini menggunakan sumber data sekunder yang terdiri dari : a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan secara yuridis, yaitu Putusan Pengadilan Negeri Boyolali
xviii
Nomor 101/Pid.B/2007/PN.Bi tentang tindak pidana Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer berupa pendapat para ahli, surat kabar, majalah, internet dan jurnal, hasil penelitian yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti : 1) Kamus bahasa 2) Kamus hukum 3) Ensiklopedia 5. Teknik Pengumpulan Data Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yaitu studi dokumen atau bahan pustaka yang terkait dengan masalah yang akan diteliti tentang tindak pidana dengan menggunakan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka.
6. Teknik Analisis Data. Terhadap data yang telah terkumpul, diperlukan suatu teknik analisis data agar data yang telah terkumpul dapat digunakan untuk mencapai tujuan dari penelitian yaitu mendapatkan jawaban dari permasalahan yang diteliti. Analisis data yaitu menguraikan data dalam bentuk rumusan angka-angka, sehingga kemudian dibaca dan diberi arti bila data itu kuantitatif dan menguraikan data dalam bentuk kalimat yang baik dan benar sehingga mudah dibaca dan diberi arti (diinterpretasikan) bila data itu kualitatif. (Abdulkadir Muhammad, 2004:92). Dalam penelitian hukum ini, peneliti menggunakan teknik analisis isi atau content analysis yang kemudian menganalisisnya secara kualitatif. Data xix
dikumpulkan, kemudian dianalisis melalui tiga tahap, dengan menyeleksi dan mengklarifikasi data yaitu : a. Mereduksi data Kegiatan
yang
bertujuan
untuk
mempertegas,
menyederhanakan, membuat fokus dan membuang hal-hal yang kurang mendukung penelitian pada tahap pengumpulan data. Proses reduksi data ini berlangsung terus menerus, mulai dari pengumpulan data, sampai penelitian selesai. b. Menyajikan data. Data yang dikumpulkan dan direduksi kemudian disajikan menjadi sekumpulan informasi yang telah tersusun sehingga memungkinkan penarikan kesimpulan sehingga peneliti mengerti dan memahami apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan. c. Menarik kesimpulan. Setelah melaksanakan tahapan-tahapan tersebut diatas yang meliputi reduksi data dan penyajian data, maka selanjutnya yang harus dilakukan oleh peneliti adalah menarik kesimpulan dengan verifikasi selama penelitian berlangsung.
Pengumpulan Data
Sajian Data
Reduksi Data
Penarikan Kesimpulan / Verifikasi
Gambar 3 xx
Siklus Analisis Data Model Interaktif F. Sistematika Penulisan Hukum Dalam
mempermudah
pemahaman
mengenai
pembahasan
dan
memberikan gambaran yang jelas mengenai keseluruhan isi skripsi ini, penulis menjabarkan dalam bentuk sistematika penulisan hukum. Dengan demikian dapat diketahui hal-hal yang saling berkaitan dengan pembahasan yang saling berhubungan dengan pokok permasalahan yang diangkat ke dalam penulisan hukum ini. Adapun Penulis menyusun sistematika penulisan hukum sebagai berikut : BAB I
: PENDAHULUAN Pada bab ini penulis memberikan gambaran awal tentang penulisan yang dilakukan yang terdiri dari, latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan yang dipergunakan dalam penulisan ini, dan yang terakhir adalah sistematika penulisan hukum untuk memberikan pemahaman terhadap isi dari penulisan ini secara garis besar.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Bab ini menguraikan tentang Kerangka Teori yang berupa Tinjauan tentang Tindak Pidana terdiri dari Istilah dan Pengertian Tindak Pidana, Unsur-unsur Tindak Pidana, Jenis Tindak Pidana dan Pengertian Tindak Pidana Pengeroyokan. Tinjauan tentang Pidana terdiri dari Pengertian Pidana, Jenis-jenis Pidana, Teori Pemidanaan, dan Tinjauan tentang Perbedaan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP tentang Penyertaan dengan Pasal 170 KUHP tentang Tindak Pidana yang Dilakukan dengan Tenaga Bersama. Bab ini juga memuat tentang Kerangka Pemikiran dari penelitian yang diteliti. BAB III : HASIL PENULISAN DAN PEMBAHASAN
xxi
Dalam bab ini, penulis akan menguraikan dan menyajikan pembahasan berdasarkan rumusan masalah, yaitu : Implementasi Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP tentang tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka di Pengadilan Negeri Boyolali. Selain itu juga membahas tentang Dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Boyolali dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP. BAB IV : SIMPULAN DAN SARAN Pada bagian akhir dari penulisan hukum ini, berisi tentang simpulan dari hasil penulisan hukum yang telah diteliti oleh penulis dan berisi tentang saran-saran terhadap beberapa kekurangan dalam penelitian yang menurut penulis perlu diperbaiki, yang penulis temukan selama penulisan. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tindak Pidana a. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, barangsiapa melanggar larangan tersebut (Adam Chazawi, 2002:71).
xxii
Adapun beberapa tokoh yang memiliki perbedaan pendapat tentang peristilahan “strafbaarfeit” atau tindak pidana, antara lain : 1) Moeljatno dan Roeslan Saleh, menterjemahkan dengan istilah Perbuatan Pidana 2) Soedarto dan Wirjono Prodjodikoro, menterjemahkan dengan istilah Tindak Pidana 3) R. Tresna dan Zainal Abidin, menterjemahkan dengan istilah Peristiwa Pidana 4) Leden Marpaung, menterjemahkan dengan istilah Delik Terdapat beberapa definisi mengenai tindak pidana yang dikemukakan oleh beberapa tokoh yaitu : 1) Simons Tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum (PAF Lamintang, 1984:185).
2) Wirjono Prodjodikoro Tindak pidana merupakan pelanggaran norma-norma dalam 3 (tiga) bidang hukum lain, yaitu hukum perdata, hukum ketatanegaraan, dan hukum tata usaha pemerintah, yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukum pidana (Wiryono Prodjodikoro, 2002:01) 3) Pompe Tindak pidana adalah suatu pelanggaran terhadap norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi
xxiii
terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum (PAF Lamintang, 1984:182). 4) R Tresna Peristiwa pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman (Adam Chazawi, 2002:73). Dalam beberapa peristilahan dan definisi diatas, menurut pendapat penulis yang dirasa paling tepat digunakan adalah “Tindak Pidana dan Perbuatan Pidana”, dengan alasan selain mengandung pengertian yang tepat dan jelas, sebagai istilah hukum juga sangat praktis diucapkan dan sudah dikenal oleh masyarakat pada umumnya. Menurut Moeljatno, Perbuatan Pidana didefinisikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut (Moeljatno, 2002:54). Menurut Moeljatno, yang dikutib oleh Adam Chazawi perbuatan pidana lebih tepat digunakan dengan alasan sebagai berikut : 1) Perbuatan yang dilarang adalah perbuatannya (perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya. Sementara itu, ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya. 2) Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana (yang ditujukan pada orangnya), ada hubungan yang erat. Oleh karena itu, perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula. 3) Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah, maka lebih tepat digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan konkret yaitu pertama, adanya kejadian tertentu (perbuatan), dan kedua, adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu (Adam Chazawi, 2002: 71). Sudradjat Bassar menyimpulkan pengertian perbuatan pidana yang didefinisikan oleh Moeljatno bahwa suatu perbuatan akan menjadi suatu tindak pidana apabila perbuatan tersebut : xxiv
1) melawan hukum, 2) merugikan masyarakat, 3) dilarang oleh aturan pidana, 4) pelakunya diancam dengan pidana Butir 1) dan 2) menunjukkan sifat perbuatan, sedangkan butir 3) dan 4) merupakan pemastian dalam suatu tindak pidana (Sudradjat Bassar, 1986:2). Menurut Roeslan Saleh, perbuatan pidana didefinisikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum (Roeslan Saleh, 1981:9). Beliau membedakan istilah perbuatan pidana dengan strafbaarfeit. Ini dikarenakan perbuatan pidana hanya menunjuk pada sifat perbuatan yang terlarang oleh peraturan perundang-undangan. Soedarto memakai istiah tindak pidana sebagai pengganti dari pada strafbaarfeit, adapaun alasan beliau karena tindak pidana sudah dapat diterima oleh masyarakat. Terdapat kelompok sarjana yang berpandangan monistis dan dualistis dalam kaitannya dengan tindak pidana. Pandangan monistis berpendapat bahwa semua unsur dari suatu tindak pidana yaitu unsur perbuatan, unsur memenuhi ketentuan undang-undang, unsur sifat melawan hukum, unsur kesalahan dan unsur bertanggungjawab digunakan sebagai satu kesatuan yang utuh, sehingga memungkinkan untuk dijatuhkan pidana kepada pelakunya. Mereka yang berpandangan dualistis, memisahkan perbuatan dengan pertanggungajawaban pidana dalam pengertian jika perbuatan tersebut telah memenuhi unsur yang terdapat dalam rumusan undang-undang, maka perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana. Mengenai pelaku tersebut, dalam hal pertanggungjawaban pidana, masih harus ditinjau secara tersendiri, apakah pelaku tersebut mempunyai kualifikasi tertentu sehingga ia dapat dijatuhi pidana. Sebagai contoh apabila pelaku mengalami gangguan jiwa maka ia tidak dapat dipidana.
xxv
Adanya pandangan tentang kedua paham tersebut diatas, maka sangat berpengaruh terhadap suatu tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu orang (penyertaan). Sebagai contoh, A bersama dengan B melakukan pengrusakan terhadap barang milik C, maka menurut pandangan monistis maka A dan B semua dipenjara. Sedangkan menurut pandangan dualistis, jika A dan B (sehat akalnya semua), maka A dan B dapat dipidana tetapi apabila A (sehat akalnya) dan B (tidak sehat akalnya) maka A dapat dipidana dan B tidak dapat dipidana karena mengalami gangguan jiwa (tidak sehat akalnya) sesuai dengan Pasal 44 KUHP yang dalam pasal tersebut seseorang yang mengalami gangguan jiwa tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya. Ini dikarenakan dalam pandangan dualistis, pertanggungjawaban pidana dipisahkan dengan perbuatan pidana para pelaku. Indonesia menganut Paham Dualistis, terbukti dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dalam Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51 KUHP yang mengatur tentang tidak dipidananya seseorang walaupun telah melakukan suatu tindak pidana karena alasan-alasan tertentu, yaitu : 1) Cacat jiwa; 2) Daya paksa; 3) Pembelaan terpaksa; 4) Melaksanakan ketentuan undang-undang; 5) Perintah jabatan. b. Unsur-unsur Tindak Pidana Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana maka harus memenuhi beberapa unsur. Unsur-unsur tindak pidana yang diberikan beberapa tokoh memiliki perbedaan, tetapi secara prinsip intinya sama. Adapun unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan menjadi 2 (dua) segi yaitu :
xxvi
1) Unsur Subyektif Yaitu hal-hal yang melekat pada diri si pelaku atau berhubungan dengan si pelaku, yang terpenting adalah yang bersangkutan dengan batinnya. Unsur subyektif tindak pidana meliputi : a) Kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa); b) Niat atau maksud dengan segala bentuknya; c)
Ada atau tidaknya perencanaan;
2) Unsur Obyektif Merupakan hal-hal yang berhubungan dengan keadaan lahiriah yaitu dalam keadaan mana tindak pidana itu dilakukan dan berada diluar batin si pelaku. a) Memenuhi rumusan undang-undang b) Sifat melawan hukum; c) Kualitas si pelaku; d) Kausalitas, yaitu yang berhubungan antara penyebab tindakan dengan akibatnya. Pada dasarnya unsur tindak pidana tidak terlepas dari dua faktor yaitu faktor yang ada dalam diri si pelaku itu sendiri dan faktor yang timbul dari luar diri si pelaku atau faktor lingkungan. c. Jenis Tindak Pidana Tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu yaitu sebagai berikut: 1) Menurut sistem KUHP, dibedakan antara Kejahatan terdapat dalam Buku II dan Pelanggaran dimuat dalam Buku III. Kejahatan adalah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan meskipun peraturan perundang-undangan tidak mengancamnya dengan pidana. Sedangkan Pelanggaran atau tindak pidana undang-undang adalah perbuatan yang oleh masyarakat
xxvii
baru dirasa sebagai tindak pidana karena ada peraturan perundangundangan yang mengaturnya. Menurut M.v.T (Memorie van Toelichting) (Smidt I hlm 63 dan seterusnya) yang dikutib oleh Moeljatno, bahwa kejahatan adalah “rechtsdelicten” yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagi perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. Sedangkan pelanggaran adalah “wetsdelicten” yaitu perbuatan-perbuatan yang sifatnya melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada ketentuan yang menentukan demikian (Moeljatno, 2002:71). Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pembagian atas kejahatan dan pelanggaran didasarkan pada berat ringannya pidana. Kejahatan terdapat dalam Buku II, dan Pelanggaran diatur dalam Buku III. Ancaman pidana dalam kejahatan relatif lebih berat daripada pelanggaran. Beberapa perbedaan tersebut dapat dilihat dari : a) Dalam hal percobaan, hanya kejahatan yang dapat dipidana, sedangkan percobaan dalam pelanggaran tidak dipidana. b) Hal pembantuan, pembantuan dalam hal melakukan tindak pidana kejahatan dapat dipidana, dalam hal pembantuan melakukan tindak pidana pelanggaran tidak dipidana. c) Dalam hal penyertaan yang dilakukan terhadap tindak pidana menggunakan alat percetakan hanya berlaku bagi kejahatan, sedangkan dalam pelanggaran tidak berlaku. d) Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia hanya diberlakukan bagi setiap pegawai negeri yang di luar wilayah hukum Indonesia melakukan kejahatan jabatan, dan bukan pelanggaran jabatan.
xxviii
e) Tenggang daluwarsa, baik untuk hak menentukan maupun hak penjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek daripada kejahatan. f) Dalam
hal
perbarengan
perbuatan
(concursus),
sistem
penjatuhan pidana dalam concursus kejahatan menggunakan sistem absorbsi yang diperberat, sedangkan dalam concursus pelanggaran menggunakan sistem kumulasi murni. 2) Menurut cara perumusannya, dibedakan antara Tindak Pidana Formil dan Tindak Pidana Materiil Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan dengan menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang. Jika seseorang telah berbuat sesuai dengan rumusan delik maka orang itu telah melakukan tindak pidana (delik), tidak dipermasalahkan bagaimana akibat dari perbuatan itu. Contoh : Pasal 362 KUHP tentang Pencurian, yang dirumuskan sebagai perbuatan yang berwujud ‘mengambil barang’ tanpa mempersoalkan akibat tertent dari pengambilan barang tersebut.. Sedangkan tindak pidana materiil adalah tindak pidana yang dirumuskan dengan menitikberatkan pada akibat yang dilarang atau tidak dikehendaki. Tindak pidana ini baru selesai jika akibatnya sudah terjadi sedangkan cara melakukan perbuatan itu tidak dipermasalahkan. Contoh : Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan, yang dirumuskan sebagai perbuatan yang ‘mengakibatkan matinya’ orang lain. Terdapat tindak pidana formil materiil yaitu terdapat dalam pasal 378 KUHP tentang penipuan dimana selain menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang yaitu memakai nama palsu/peri keadaan yang palsu juga menitikberatkan pada akibat untuk menghapuskan piutang atau membuat hutang yang merupakan akibat yang dilarang.
xxix
3) Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan Tindak Pidana Dolus dan Tindak Pidana Culpa Tindak pidana dolus adalah tindak pidana yang memuat unsur kesengajaan dalam rumusannya. Contoh : Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan (sengaja), dan Pasal 187 KUHP tentang kesengajaan membakar atau menyebabkan peletusan atau banjir. Tindak pidana culpa adalah tindak pidana yang memuat unsur kealpaan dalam perumusannya. Contoh : Pasal 359 KUHP tentang kealpaan yang menyebabkan orang mati atau luka. 4) Berdasarkan macam perbuatannya, dibedakan Tindak Pidana Aktif (Delik Comissionis) dan Tindak Pidana Pasif (Omisionis) Tindak pidana Comissionis yaitu tindak pidana yang berupa perbuatan aktif. Perbuatan aktif adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya diisyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat. Contoh : Pasal 362, 338, dan 378 KUHP. Tindak pidana Omisionis yaitu tindak pidana yang berupa tidak berbuat sesuatu. Tindak pidana ini dapat disebut sebagai tindak pidana pengabaian suatu kewajiban hukum (Adam Chazawi, 2002:129). Contoh : Pasal 531 KUHP tentang Pelanggaran terhadap orang yang perlu ditolong. Terdapat delicta commisionis perommisionem commissa yaitu delik-delik yang umumnya terdiri dari berbuat sesuatu, tetapi dapat pula dilakukan dengan tidak berbuat (Moeljatno, 2002:76). Sebagai contoh seorang ibu sengaja tidak memberi makan kepada bayinya, lalu anak itu mati kelaparan, maka ibu tersebut dapat dipidana berdasarkan Pasal 338 KUHP. 5) Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, dibedakan Tindak Pidana Aduan dan Tindak Pidana Biasa Tindak pidana aduan timbul karena adanya pengaduan dari korban atau keluarga korban yang dirugikan. Contoh : Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik. Tindak pidana biasa xxx
merupakan tindak pidana yang sebagian besar telah tercantum dalam KUHP dimana dalam tindak pidana biasa tersebut tanpa ada aduan dari siapapun, pelaku dari tindak pidana tersebut dapat dituntut secara hukum. 6) Dilihat dari subyek hukumnya, dibedakan Tindak Pidana Communia dan Tindak Pidana Propia Tindak Pidana Communia adalah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang pada umumnya, tindak pidana memang diberlakukan pada semua orang. Tindak Pidana Propia adalah tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu (Adami Chazawi, 2002:131). Contoh : Pasal 346 KUHP tentang seorang wanita yang menggugurkan kandungannya sendiri. 7) Berdasarkan berat ringannya ancaman pidana, dibedakan Tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten), tindak pidana yang diperberat (gequalificeerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten) Tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara lengkap, artinya semua unsur yang tercantum dalam rumusan pasalnya telah ditulis secara lengkap dengan kata lain terkandung pengertian yurudis dari tindak pidana tersebut, contoh Pasal 362 tentang pencurian. Sedangkan dalam bentuk yang diperberat maupun yang diperingan menyebutkan kualifikasi pasal dalam bentuk pokoknya, yang kemudian ditambahkan unsur yang bersifat memberatkan atau meringankan secara tegas dalam rumusan. Adanya faktor yang memberatkan maupun faktor yang meringankan, maka ancaman pidana menjadi lebih berat maupun menjadi lebih ringan daripada dalam pasal bentuk pokoknya. Contoh tindak pidana yang diperberat : Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana (unsur yang memperberat ialah adanya perencanaan terlebih dahulu), contoh tindak pidana yang xxxi
diperingan : Pasal 341 KUHP tentang pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ibu terhadap anaknya yang baru lahir (unsur yang memperingan yaitu terletak pada subyek hukumnya : seorang ibu). d. Pengertian Tindak Pidana dengan Terang-terangan danTenaga Bersama Melakukan Kekerasan (Pengeroyokan) 1) Pengertian dengan terang-terangan Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, tindak pidana pengeroyokan diatur dalam Pasal 170 KUHP yang berbunyi: ayat (1) : Barangsiapa dengan terang-terangan dan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. ayat (2) : Yang bersalah diancam : ke-1
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka;
ke-2
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat;
ke-3
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut;
ayat (3) : Pasal 89 tidak diterapkan. Kata “terang-terangan” dapat dikatakan di hadapan publik. Dalam Pasal 170 ayat (1) KUHP dijelaskan bahwa terang-terangan dalam pengertian tidak bersembunyi, ini berarti tidak perlu di muka umum tetapi cukup apabila tidak diperlukan apa ada kemungkinan orang lain dapat melihatnya (Soenarto Soerodibroto, 1991:105). Dapat dikatakan apabila terjadi suatu kekerasan dilakukan dalam suatu rumah dan publik melihatnya, maka itu juga dapat dikatakan
xxxii
sebagai terang-terangan. Dalam hal melakukan kekerasan yang dilakukan di tempat yang sunyi dan tidak diketahui oleh orang atau umum, maka tidak dapat digolongkan dalam Pasal 170 KUHP ini. Kejahatan yang diatur dalam Pasal 170 KUHP ini termasuk kejahatan terhadap ketertiban umum. Sedangkan bagi yang melakukan kekerasan yang tidak terlihat oleh umum maka dapat digolongkan sebagai penganiayaan. Menurut Simon yang dikutib oleh Moeljatno tentang kata “terang-terangan” atau (openlijk) diartikan apabila dilakukan di depan umum namun tidak ada publik yang melihatnya, disitu tidak dapat dikatakan terang-terangan, sedangkan apabila perbuatan kekerasan tersebut dilakukan dalam rumah dan sempat terlihat oleh publik melalui jendela rumah maka itu sudah dapat dikatakan terang-terangan (Moeljatno, 1984:129).
2) Pengertian Tenaga Bersama Arti kata ‘tenaga bersama’ atau ‘secara bersama-sama’ dalam penjelasan Pasal 170 KUHP yaitu dilakukan oleh dua orang atau lebih bersama-sama melakukan suatu perbuatan (R. Sugandhi, 1981:190). Sedangkan apabila dalam melakukan suatu kekerasan yang dilakukan oleh satu orang saja maka pelaku tersebut tidak dapat dituntut dengan Pasal 170 ayat (1) ke-2 KUHP ini. Dalam melakukan tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana pengeroyokan, harus memuat pelaku yang dilakukan oleh dua otang atau lebih. Noyon Langemeyer berpendapat bahwa untuk dikenai Pasal 170 ayat(1) ke-2 KUHP adalah 2 (dua) orang sudah cukup. Pendapat Noyon Langemeyer didukung oleh Moeljatno bahwa menggunakan tenaga bersama, dimana 2 (dua) orang sudah dapat merupakan tenaga bersama (Moeljatno, 1984:126). xxxiii
Tenaga bersama disini menunjuk pada bentuk penyertaan atau medeplegen (turut serta melakukan), dan untuk mengadakan kerjasama kekerasan harus dilakukan setidak-tidaknya minimal 2 (dua) orang secara bersekutu. Para pelaku masing-masing mengetahui bahwa terdapat orang-orang lain yang turut serta melakukan perbuatan tersebut. Para pelaku tersebut harus menginsafi bahwa ia bekerja sama dengan orang-orang lain, sebab hanya dengan demikianlah dapat diadakan pertanggungjawaban atas perbuatannya orang lain (Moeljatno, 1984:125). 3) Melakukan Kekerasan Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku baik yang terbuka ataupun tertutup yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain dan bersifat menyerang atau bertahan (Thomas Susanto, 2002:11). Kekerasan (Geweld) mengandung pengertian menggunakan tenaga fisik atau jasmaniah tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul, menyepak, menendang dengan tangan atau senjata dan sebagainya. Kekerasan dilakukan secara terbuka dan dengan kekuatan yang terkumpul, hingga kejahatan ini merupakan kejahatan terhadap ketertiban umum dimana korban yang dirugikan kurang diperhatikan. Menurut Thomas Susanto, terdapat jenis-jenis kekerasan yang terbagi dalam 4 (empat) bentuk yaitu : a) Kekerasan Terbuka, merupakan kekerasan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang yang dapat dilihat oleh publik secara kasat mata, seperti perkelahian antar pelajar. b) Kekerasan Tertutup, merupakan kekerasan yang dilakukan secara tersembunyi atau tidak dilakukan secara fisik. Publik tidak mengetahui adanya dilakukan kekerasan jenis ini. Kekerasan ini lebih ditujukan pada psikologis korban seperti perilaku mengancam.
xxxiv
c) Kekerasan Agresif, merupakan kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan tetapi untuk mendapatkan sesuatu. d) Kekerasan Defensif, merupakan kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan, pelindung diri. Baik kekerasan agresif maupun kekerasan defensif dapat bersifat terbuka ataupun tertutup (Thomas Susanto, 2002:13). Pengertian kekerasan yang terdapat dalam Pasal 170 KUHP ini tidak dijelaskan secara detail hanya dijelaskan cara dilakukannya kekerasan dalam beberapa cara yaitu : perusakan terhadap barang; penganiayaan terhadap orang atau hewan; melemparkan batu-batu kepada orang atau rumah; membuangbuang barang-barang hingga berserakan dan lain sebagainya (R. Sugandhi, 1981:190). Pengaturan mengenai pengertian kekerasan dalam KUHP terdapat pada Pasal 89 KUHP yang berbunyi : “Yang dimaksud dengan melakukan kekerasan, yaitu membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya lagi”. Dalam Pasal 89 KUHP tersebut arti dari melakukan kekerasan adalah dengan menggunakan tenaga secara jasmani sekuat mungkin secara tidak sah yang menyebabkan orang yang menjadi korban dari kekerasan tersebut merasakan sakit akibat kekerasan tersebut. Namun pengertian kekerasan dalam Pasal 170 ayat (1) KUHP memiliki perbedaan pengertian kekerasan yang terdapat dalam Pasal 89 KUHP, dimana dalam Pasal 170 ayat (3) KUHP berbunyi “Pasal 89 KUHP tidak diterapkan”. Perbedaan tersebut terletak pada obyek yang dimaksudkan. Pasal 89 KUHP dijelaskan bahwa obyek yang menjadi sasaran dalam melakukan kekerasan ditujukan terhadap orang menjadi pingsan atau tidak berdaya. Sedangkan obyek sasaran yang menjadi inti dari pengertian kekerasan dalam Pasal 170 KUHP lebih meluas, tidak hanya ditujukan kepada orang tetapi juga barang yang menjadi sasaran xxxv
kekerasan termasuk di dalamnya serta penggunaan alat dalam melakukan tindak pidana kekerasan tersebut. Berdasarkan 4 (empat) pengertian kekerasan yang diutarakan oleh Thomas Susanto, kekerasan yang terdapat dalam Pasal 170 KUHP termasuk kekerasan terbuka dimana kekerasan tersebut dilakukan oleh seseorang ataupun beberapa orang melakukan kekerasan secara fisik yang dilakukan di tempat dimana dapat diketahui atau dilihat oleh publik. Kekerasan yang terdapat dalam Pasal 170 KUHP secara keseluruhan ini menitikberatkan pada seseorang yang melakukan suatu perbuatan kekerasan terhadap orang maupun barang bukan suatu “ancaman kekerasan” atau mengatakan tentang “kekerasan”. Di tempat mana publik mengetahui orang tersebut sedang melaksanakan kekerasan tersebut kepada orang lain atau barang maka orang tersebut dapat dikenai Pasal 170 KUHP. 4) Menyebabkan Luka Pengertian luka dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Tahun 1991 yaitu pertama, belah (pecah, cedera, lecet, dsb) pada kulit karena kena barang tajam; kedua, menderita luka. Definisi luka yang terdapat dalam Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP merujuk pada Pasal 90 KUHP dimana termasuk memiliki pengertian luka berat, sebagaimana diatur dalam Pasal 90 KUHP yang berbunyi : “ Luka berat berarti : a) penyakit atau luka yang tak dapat diharap akan sembuh lagi dengan sempurna atau yang dapat mendatangkan bahaya maut; b) senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pekerjaan pencaharian; c) tidak dapat lagi memakai salah satu pancaindera; d) mendapat cacat besar; e) lumpuh (kelumpuhan); f) akal (tenaga paham) tidak sempurna lebih lama dari empat minggu; g) gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.”
xxxvi
Khusus Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP, kata ‘luka’ bukan merupakan pengertian dari ‘luka berat’ yang diatur dalam Pasal 90 KUHP yang mana penyembuhannya memerlukan waktu yang sangat lama atau dapat menyebabkan cacat bagi orang yang menderita. Pengertian luka dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP tersebut masih tergolong dapat disembuhkan dengan sempurna dan tidak mendatangkan bahaya maut yang diderita oleh seseorang akibat dari suatu tindak pidana kekerasan dikarenakan tergolong luka ringan. Seseorang yang mengalami luka, baik luka berat maupun luka ringan perlu didukung dengan adanya visum et repertum dari rumah sakit yang digunakan yang ditanda tangani oleh seorang dokter sebagai bukti surat dalam penanganan tindak pidana terkait dalam Pasal 170 KUHP ini maupun tindak pidana kekerasaan yang lain dalam KUHP. 2. Tinjauan tentang Pidana a. Pengertian Pidana Istilah “hukuman” dalam lingkungan masyarakat terkadang disamaartikan dengan istilah “pidana”, padahal kenyataannya kedua istilah tersebut memiliki makna yang berbeda. Istilah “hukuman” memiliki pengertian yang lebih luas sehingga bidang yang dicakup juga luas. Istilah “hukuman” sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari misalnya dalam bidang pendidikan, moral, agama, dan sebagainya. Sedangkan istilah “pidana” digunakan khusus dalam bidang hukum sehingga memiliki makna yang lebih tegas terhadap setiap pelanggar hukum. Pidana merupakan reaksi atas delik yang dijatuhkan yang berdasarkan pada vonis hakim melalui sidang peradilan atas terbuktinya perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Namun apabila tidak terbukti bersalah maka tersangka dapat dibebaskan, ini
xxxvii
dikarenakan dalam sistem hukum di Indonesia menganut asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Pidana mempunyai istilah yang lebih khusus maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan sifat dari pidana itu sendiri. Dalam memberikan gambaran yang lebih luas, Soedarto memberikan definisi pidana sebagai penderitaan yang sengaja diberikan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sedangkan Menurut Roeslan Saleh, memberikan definisi pidana sebagai reaksi atas delik, dan ini berujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat tindak pidana tersebut (dalam buku Muladi dan Barda Mawawi,1998:2). Berdasarkan definisi dari 2 (dua) tokoh diatas, dapat disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut : a) Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan. b) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh orang yang berwenang). c) Pidana itu dikenakan kepada seseorang atau korporasi yang telah melakukan tindak pidana menurut Undang-undang (Muladi dan Barda Mawawi, 1998:5). b. Jenis-jenis Pidana Dalam Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1946, pidana dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok, antara pidana pokok dan pidana tambahan. Urutan dari pidana menunjukan berat ringannya pidana. Pidana terberat adalah pidana yang pertama kali disebutkan, dan urutan berikutnya menunjukan pidana yang semakin ringan. Pidana pokok terdiri dari : 1) pidana mati; 2) pidana penjara; 3) pidana kurungan; xxxviii
4) pidana denda; 5) pidana tutupan (Undang-undang Nomor 20 Tahun 1946). Pidana tambahan terdiri dari : 1) pidana pencabutan hak-hak tertentu; 2) pidana perampasan barang-barang tertentu; 3) pidana pengumuman putusan hakim.
c. Teori Pemidanaan Masyarakat dari tahun ke tahun telah mengenal pemidanaan dengan berbagai cara, hal itu dilakukan agar orang yang berbuat jahat tidak mengganggu hubungan yang terjalin dalam masyarakat. Oleh karena itu hukum pidana memberikan teori-teori tentang pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Beberapa teoriteori pemidanaan antara lain : 1) Teori Absolut atau Teori Pembalasan Teori ini berpendapat bahwa penjatuhan yang berupa penderitaan pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan terhadap orang lain. Menjatuhkan pidana tidak dimaksudkan untuk mencapai sesuatu yang praktis, tetapi satu-satunya penderitaan bagi penjahat. Pidana secara multak harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Teori ini dikatakan sebagai teori pembalasan karena sebenarnya inti dari teori ini adalah untuk mencapai kepuasan hati. Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat menjatuhkan pidana tersebut. Setiap kejahatan harus mendapatkan pidana terhadap orang yang melakukan kejahatan. Aliran ini dipengaruhi oleh para filosof seperti Imanuel Kant, Hegel, Stahl, dan Herbert. 2) Teori Relatif atau Teori Tujuan xxxix
Teori relatif ini mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan untuk prevensi terjadinya kejahatan (Andi Hamzah 1994:34). Dalam teori ini terdapat adanya suatu pengambilan tindakan yang tidak bersifat pidana secara positif dianggap baik oleh pihak pemerintah. Tindakan ini misalnya berupa mengawasi perilaku setiap penjahat atau menyerahkannya kepada suatu lembaga swasta dalam bidang sosial (Andi Hamzah dan Siti Rahayu, 1983:27). Teori relatif ini terbagi dua prevensi yaitu pertama, prevensi general atau umum yang menyatakan pidana yang dijatuhkan pada penjahat ditujukan agar masyarakat menjadi takut untuk berbuat jahat. Masyarakat diberikan suatu pandangan bahwa penjahat yang dijatuhi pidana dapat dijadikan contoh oleh masyarakat agar masyarakat tidak meniru perbuatan yang serupa dilakukan oleh penjahat tersebut. Kedua, prevensi special atau khusus menyatakan bahwa tujuan pemidanaan adalah mencegah pelaku kejahatan yang telah dipidana agar ia tidak mengulangi lagi melakukan tindak pidana dengan adanya sosialisasi yang diberikan oleh lembaga-lembaga sosial yang telah diberikan suatu tanggung jawab untuk perbaikan diri dari pelaku kejahatan agar kehidupan nantinya dapat menjadi lebih baik setelah kembali dalam lingkungan masyarakat. Teori ini disebut teori tujuan karena untuk memidana seseorang harus dilihat apa tujuannya, disamping hanya menjatuhkan pidana. Jadi memberikan tindakan kepada pelaku kejahatan lebih diutamakan agar kejahatan itu tidak terulang lagi atau lebih bersifat prevensi. 3) Teori Gabungan Teori gabungan merupakan perpaduan dari teori absolut dan teori relatif, pidana dijatuhkan selain sebagai sarana untuk pembalasan bagi pelaku kejahatan, namun juga pidana digunakan untuk mencegah masyarakat lainnya agar tidak melakukan xl
kejahatan karena ancaman pidana yang diberikan dan bagi pelaku sebelumnya tidak mengulangi penderitaan dari pidana akibat kejahatan yang telah dia lakukan sebelumnya. Disimpulkan
bahwa
pemidanaan
merupakan
suatu
penjatuhan pidana oleh majelis hakim kepada pelaku tindak pidana di suatu pengadilan dan bertujuan untuk mencegah dilakukannya tindak
pidana
dengan
menegakkan
norma
hukum
demi
pengayoman masyarakat (Andi Hamzah dan Siti Rahayu, 1983:95). 3. Tinjauan Perbedaan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP tentang Penyertaan dengan Pasal 170 KUHP tentang Tindak Pidana yang Dilakukan dengan Tenaga Bersama Suatu tindak pidana yang dirumuskan dalam undang-undang baik sebagai kejahatan maupun pelanggaran ditujukan pada orang (subyek hukum pidana) dan hanya sebagian kecil terdapat tindak pidana yang ditujukan pada suatu badan hukum yang terdapat diluar KUHP. Subyek hukum yang disebutkan dan dimaksudkan dalam rumusan tindak pidana adalah hanya satu orang, bukan beberapa orang. Namun sering terjadi subyek suatu tindak pidana dilakukan lebih dari satu orang. Dalam hal ini dinamakan sebagai suatu penyertaan atau deelneming. Penyertaan atau deelneming adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta/terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana (Adam Chazawi, 2002:73). Menurut Van Hamel, memberikan definisi penyertaan sebagai ajaran pertanggungjawaban atau pembagian pertanggungjawaban dalam hal suatu tindak pidana yang menurut pengertian undang-undangan, dapat dilaksanakan oleh seorang pelaku dengan tindakan sendiri (AK Moch Anwar, 1981 :3).
xli
Permasalahan penyertaan diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Buku I Bab V yaitu dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Pasal 55 KUHP mengatur tentang apa yang disebut dengan pelaku atau dader, sedangkan Pasal 56 KUHP mengatur tentang pembantuan atau medeplichtigheid. Melihat Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP apabila ditinjau maka suatu penyertaan bukan hanya satu orang saja yang tersangkut dalam terjadinya tindak pidana, akan tetapi beberapa orang. Menurut Moeljatno, selain peserta yang terdapat dalam pasal-pasal tersebut maka tidak ada peserta lain yang dapat dipidana (Moeljatno, 1977:01). a. Pelaku (Dader) Pasal 55 KUHP merumuskan sebagai berikut : 1) Dipidana sebagai pembuat sesuatu tindak pidana ; ke-1. orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang turut melakukan perbuatan; ke-2. orang yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melaukan perbuatan. 2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya. Dalam Pasal 55 KUHP dapat dikelompokkan orang-orang yang disebut sebagai pembuat yaitu : 1) mereka, yang melakukan perbuatan pidana. Arti kata dari ‘melakukan’ adalah secara lengkap memenuhi semua unsur delik dan
merupakan
suatu
bentuk
tunggal
dari
pengertian
‘berbuat’.Orang itu sendiri yang melakukan delik tersebut. 2) mereka, yang menyuruh melakukan perbuatan pidana. Arti kata ‘menyuruhlakukan’ adalah bukan pelaku utama yang melakukan delik tersebut, namun pelaku utama tersebut menggerakkan orang
xlii
lain, yang (dengan alasan apapun) tidak dapat dikenai pidana, melakukan suatu delik; 3) mereka, yang turut serta melakukan perbuatan pidana. Arti kata ‘turut (serta) melakukan adalah bersepakat dengan orang lain membuat rencana untuk melakukan suatu delik dan secara bersama-saman melaksanakannya; 4) mereka, yang membujuk supaya dilakukan perbuatan pidana. Arti dari ‘membujuk’ adalah meminta orang lain untuk melakukan suatu delik dengan bantuan yang secara limitatif terdapat dalam Pasal 55 ayat (2) KUHP yang biasa disebut sarana-sarana pembujukan, membujuk orang lain yang memang dapat dipidana. Seseorang merupakan pembuat atau pelaku dari sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, bilamana tindak-tindakannya memenuhi semua unsur yang disebut dalam perumusan perbuatan yang dapat dihukum tersebut (AK Moch.Anwar, 1981:7). Pertanggungjawaban yang dibebankan pelaku yang melakukan suatu tindak pidana adalah berdiri sendiri, pelaku tersebut harus bertanggungjawab penuh atas perbuatan yang telah dilakukannya sesuai dengan aturan hukum yang mengaturnya. b. Pembantu (Medeplichtigheid) Pasal 56 KUHP merumuskan sebagai berikut : Sebagai pembantu melakukan kejahatan dipidana : ke-1 orang yang dengan sengaja membantu waktu kejahatan itu dilakukan; ke-2 orang yang dengan sengaja memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu. Pasal 56 KUHP menjelaskan tentang medeplichtigheid atau pembantuan dimana ancaman pidana bagi mereka yang terlibat dalam tindak pidana kejahatan, secara sengaja memberikan bantuan atau memberikan kesempatan serta daya upaya atau keterangan sehubungan
xliii
dengan pelaksanaan tindak pidana. Medeplichtigheid atau pembantuan terjadi apabila terdapat 2 (dua) orang yang satu sebagai pembuat (dader) sedangkan yang lain sebagai pembantu (medeplichtigheid). Orang yang membantu dalam Pasal 56 KUHP ini khusus mereka yang membantu tindak pidana kejahatan. Sedangkan pembantuan dalam hal pelanggaran tidak dipidana karena terdapat ketentuan dalam Pasal 60 KUHP. Pengertian orang yang membantu adalah mereka yang dengan sengaja memberi bantuan untuk melakukan kejahatan, sengaja memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Unsur sengaja dalam medeplichtigheid ini merupakan unsur yang tidak dapat diabaikan karena unsur sengaja ditujukan pada perbuatan atau sikap dalam memberi bantuan. Menurut Simons, medeplichtigheid merupakan suatu onzelfstandige deelneming atau suatu keturutsertaan yang tidak berdiri sendiri (PAF Lamintang, 1997:646). Maksud dari yang diutarakan Simons memiliki pengertian bahwa dalam hal pemidanaan bagi pembantu, ancaman pidananya akan tergantung pada apa yang dilakukan oleh si pembuat. Apabila si pembuat tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana maka pembantuan tersebut tidak dipidana, begitu juga sebaliknya. Suatu Pembantuan atau medeplichtigheid terjadi pada saat sebelum terjadinya suatu kejahatan dan pada saat kejahatan tersebut dilaksanakan. Dikatakan secara jelas bahwa dalam suatu penyertaan diperlukan 2 (dua) orang atau lebih dalam hal melakukan suatu tindak pidana sama seperti kata ”dengan tenaga bersama” yang terdapat dalam Pasal 170 ayat (1) KUHP. Namun dengan demikian terdapat suatu perbedaan yang mendasar antara penyertaan yang diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dengan penyertaan dalam Pasal 170 KUHP. Penyertaan membahas tentang peranan atau hubungan tiap-tiap peserta dalam suatu pelaksanaan tindak pidana, sumbangan apa yang diberikan oleh tiap-tiap peserta agar tindak pidana tersebut dapat xliv
dilaksanakan/diselesaikan serta pertanggungjawabannya atas sumbangan/bantuan tersebut. Hubungan antara peserta dalam penyelesaian tindak pidana tersebut dapat bermacam-macam yaitu : a. Bersama-sama melakukan sesuatu kejahatan; b. Seorang mempunyai kehendak dan merencanakan sesuatu kejahatan, sedangkan ia mempergunakan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana tersebut; c. Seorang saja yang melaksanakan tindak pidana, sedangkan orang lain membantu dalam melaksanakan tindak pidana tersebut (AK. Moch Anwar, 1981:2-3). Menurut Wirjono Projodikoro, Pasal 170 KUHP tergolong bentuk pidana yang merupakan penyertaan mutlak perlu (Noodzakelijke Deelneming) yang dapat dipidana (Wirjono Projodikoro,2002:169). Penyertaan mutlak perlu bukan merupakan penyertaan dalam arti yang telah diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP, melainkan suatu bentuk tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, dimana untuk mewujudkan tindak pidana itu diperlukan lebih dari 1 (satu) pembuat (Adami Chazawi, 2002:160). Pasal 170 KUHP dalam hal dilakukan oleh lebih dari satu orang tidak memenuhi unsur dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP tentang turut serta melakukan dimana unsur dalam pasal tersebut adalah adanya ‘niat’ dalam melaksanakan suatu perbuatan dengan kesadaran yang kemudian terjadi suatu kerjasama dalam melakukan perbuatan tersebut (AK. Moch Anwar, 1981:25). Apabila dalam kerjasama tersebut dilakukan tanpa kesadaran, perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan “turut serta melakukan” menurut pengertian Pasal 55 ayat (1) KUHP (AK. Moch Anwar, 1981:26). Pasal 170 KUHP yang termasuk penyertaan mutlak tidak selalu diperlukan kerjasama yang diinsyafi seperti pada penyertaan dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP, hal ini tergantung pada bunyi dari isi pasal-pasal yang termasuk dalam tindak pidana penyertaan mutlak. Dalam Pasal 170 ayat (1) KUHP hanya dijelaskan cara melakukan suatu kekerasan yang dilakukan lebih dari satu orang yang mana tidak disebutkan apakah melakukan kekerasan tersebut berdasarkan niat atau kerjasama dari kedua
xlv
pihak dalam melaksanakan tindak pidana tersebut. Pasal 170 KUHP merujuk pada akibat atas perbuatan yang dilakukan, oleh karena itu pertanggungjawaban pidana terhadap para pelaku berdiri sendiri, masingmasing pelaku mendapatkan suatu pertanggungjawaban pidana penuh atas perbuatan yang dilakukan masing-masing.
B. Kerangka Pemikiran
xlvi
Tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang (Pengeroyokan)
Pengadilan Negeri Boyolali
Pelaku Tindak Pidana Pengeroyokan
Pasal 170 Ayat (2) ke-1 KUHP
Pemidanaan Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP terhadap pelaku tindak pidana
Kerangka Pemikiran Terkadang tanpa disadari kejahatan maupun pelanggaran yang terjadi dalam masyarakat semakin meningkat dewasa ini. Ini dikarenakan kurangnya kesadaran hukum didalam masyarakat. Banyak kasus mengenai tindak pidana xlvii
kekerasan yang dilakukan baik seorang diri maupun dilakukan secara bersama-sama. Kekerasan sekarang tidak hanya dilakukan secara fisik tetapi juga secara psikis. Terdapat banyak kasus yang dikenakan dalam Pasal 170 KUHP dimana pelaku tindak pidana lebih dari 1 (satu) orang atau dapat dikatakan sebagai tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, seperti kasus yang terdapat dalam Pengadilan Negeri Boyolali. Dalam melakukan tugasnya sebagai hakim yang
arif dan adil bagi
pencari keadilan maka dibutuhkan suatu pertimbangan yang sangat matang dalam menjatuhkan pidana bagi pelaku tindak pidana sebagaimana terdapat dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP. Ancaman pidana dalam Pasal 170 KUHP sangat tinggi apabila diterapkan kepada terdakwa. Supaya pemidanaan dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP nantinya tidak timbul kesewenangwenangan dan ketidakadilan, maka hakim dalam menerapkan penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana haruslah sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku dengan tidak mengesampingkan rasa keadilan masyarakat. Sehingga pada ahkirnya pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim bagi pelaku tindak pidana telah mencerminkan rasa keadilan sosial serta memandang tinggi hak-hak asasi manusia. Diharapkan juga atas penjatuhan pidana terhadap terdakwa membuat terdakwa tidak melakukan lagi tindak pidana tersebut dan membuat terdakwa jera. BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Implementasi Pasal 170 Ayat (2) Ke-1 KUHP Tentang Tindak Pidana dengan Tenaga Bersama Melakukan Kekerasan Terhadap Orang yang Mengakibatkan Luka di Pengadilan Negeri Boyolali Dalam Pasal 1 ayat (11) KUHAP, putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana. Apabila xlviii
perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum, maka pengadilan menjatuhkan pidana (Pasal 193 ayat (1) KUHAP). Hasil penelitian yang telah dilakukan penulis di Pengadilan Negeri Boyolali tentang studi kasus mengenai Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP tentang tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka (pengeroyokan), hakim telah memberikan putusan berupa pidana penjara terhadap pelaku tindak pidana tersebut yang tertuang dalam Putusan Nomor :101/Pid.B/2007/PN.Bi. di Pengadilan Negeri Boyolali. Putusan Pengadilan Negeri Boyolali Nomor : 101/Pid.B/2007/PN.Bi Nama
: Nur Cahyono alias Kembar bin Paino
Tempat lahir
: Boyolali
Umur/Tanggal lahir
: 22 tahun, 19 Oktober 1985
Jenis kelamin
: Laki-laki
Kebangsaan
: Indonesia
Tempat tinggal
:Dukuh Sanggrahan RT.05 RW.03 Desa Trayu, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Swasta.
1. Kasus Posisi Pada hari Minggu tanggal 8 April 2007 sekitar jam 00.30 WIB Terdakwa Nur Cahyono dan saudara kembarnya Nur Cahyanto (belum tertangkap) sedang tiduran di makam di desanya tiba-tiba didatangi Supriyanto yang mengatakan bahwa Sarno alias Itheng bertengkar dengan Warga Winong. Mendengar hal tersebut Terdakwa dan saudara kembarnya Nur Cahyanto (belum tertangkap) beserta Supriyanto pergi ke tempat dimana Sarno alias Itheng ditahan oleh warga Winong untuk melerai perkelahian. Sesampai ditempat tersebut, Terdakwa dan Sdr. Nur Cahyanto (belum tertangkap) langsung memukul Semi yang mengenai xlix
mata sebelah kanan. Tukimin alias Karyo yang melihat Semi dipukul oleh Terdakwa dan Sdr. Nur Cahyanto (belum tertangkap) berusaha melerai lagi, namun belum sempat melerai mereka, Tukimin alias Karyo malah dipukul Terdakwa dengan tangan kosong sebanyak kurang lebih 4 (empat) kali dan dipukul Sdr. Nur Cahyanto alias Kembar (belum tertangkap) dengan menggunakan batu sebesar kepalan tangan orang dewasa yang mengenai bagian atas mata sebelah kiri dan kening hingga mengeluarkan darah, kemudian Terdakwa dan Sdr. Nur Cahyanto (belum tertangkap) mendorong Tukimin alias Karyo hingga jatuh, selanjutnya Tukimin alias Karyo ditendangi dengan menggunakan kedua kaki Terdakwa dan Sdr. Nur Cahyanto alias Kembar (belum tertangkap) sebanyak kurang lebih 10 (sepuluh) kali. Perkelahian mereka berhenti setelah Budi Giono dan Eko Susanto datang melerai perkelahian tersebut dan membawa Tukimin alias Karyo yang menderita luka ke Rumah Sakit Bayudono, Kecamatan Boyolali. Akibat perbuatan Terdakwa tersebut, Tukimin alias Karyo mengalami pusing dan muntah-muntah serta mengalami luka robek kurang leih 5 Cm sehingga harus dijahit sebanyak 6 (enam) jahitan dan Tukimin harus opname selama 1 (satu) hari di Rumah Sakit Banyudono Kabupaten Boyolali, sesuai dengan Visum et Repertum No.445/537/IV/2007 yang ditandatangani oleh dr. Yeni Titisari R dari Rumah Sakit Banyudono. 2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Jaksa Penuntut Umum dalam surat dakwaannya tanggal 29 Mei 2007 No. Reg.Perk PDM-24/Ep.2/05/2007 telah mendakwa sebagai berikut : --- Bahwa Terdakwa Nur Cahyono alias Kembar bin Paino dengan Sdr. Nur Cahyanto alias Kembar (belum tertangkap) pada hari Minggu tanggal 8 April 2007 sekitar jam 00.30 WIB atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam Bulan April 2007 bertempat di Perempatan Dukuh Winong, Desa Canden, Kecamatan Sambi, Kabupaten Boyolali atau setidaktidaknya di suatu tempat yang masih termasuk daerah Hukum Pengadilan
l
Negeri Boyolali, dimuka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap korban Tukimin alias Karyo yang menyebabkan korban mengalami luka, yang dilakukan dengan cara sebagai berikut : a. Pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut diatas, ketika korban Tukumin alias Karyo berusaha melerai perkelahian antara Saksi Sarno alias Itheng dengan Sdr. Jitheng, tiba-tiba datang terdakwa dengan Sdr. Nur Cahyanto alias Kembar (belum tertangkap) mendatangi tempat kejadian dan langsung memukul tetapi Saksi Semi yang mengenai mata sebelah kanan, namun Saksi Semi tidak mengalami luka; b. Bahwa melihat Saksi Semi dipukul Terdakwa dan Sdr. Nur Cahyanto (belum tertangkap), maka korban Tukimin alias Karyo berusaha melerai lagi, namun belum sempat melerai ketiganya, korban malah dipukul terdakwa dengan tangan kosong sebanyak kurang lebih 4 (empat) kali dan dipukul oleh Sdr. Nur Cahyanto alias Kembar (belum tertangkap) dengan menggunakan batu sebesar kepalan orang dewasa yang mengenai bagian atas mata sebelah kiri dan kening hingga mengeluarkan darah, kemudian Terdakwa dan Sdr. Nur Cahyanto (belum tertangkap) mendorong korban hingga jatuh, selanjutnya korban ditendangi dengan menggunakan kedua kaki Terdakwa dan Sdr. Nur Cahyanto alias Kembar (belum tertangkap) sebanyak kurang lebih 10 (sepuluh) kali. c. Bahwa perbuatan Terdakwa dan Sdr. Nur Cahyanto alias Kembar (belum tertangkap) baru berhenti setelah saksi Budi Giono dan saksi Eko susanto datang melerai perbuatan Terdakwa dan Sdr. Nur Cahyanto alias Kembar (belum tertangkap), selanjutnya korban dibawa ke Rumah Sakit Banyudono, Kabupaten Boyolali. d. Bahwa akibat perbuatan terdakwa tersebut, saksi korban Tukimin alias Karyo mengalami pusing dan muntah-muntah sehingga mengalami luka robek kurang lebih 5 Cm sehingga harus dijahit sebanyak 6 (enam) jahitan dan korban diharuskan opname selama 1 (satu) hari di li
Rumah Sakit Banyudono, Kabupaten Boyolali, sesuai Visum et Repertum No.445/537/IV/2007 yang ditandatangani oleh dr. Yeni Titisari R dari Rumah Sakit Banyudono. Perbuatan Terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 Kitab Undangundang Hukum Pidana. 3. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Dalam kasus ini Jaksa Penuntut Umum pada pokoknya memohon Majelis Hakim Pengadilan Negeri Boyolali yang memeriksa dan mengadili perkara ini agar memutuskan sebagai berikut : a. Menyatakan Terdakwa Nur Cahyono alias Kembar bin Paino terbukti bersalah melakukan tindak pidana pengeroyokan, sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP; b. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa Nur Cahyono alias Kembar bin Paino dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dikurangkan selama Terdakwa ditahan dengan perintah tetap ditahan; c. Menetapkan barang bukti berupa : 1) 1 (satu) baju warna abu-abu motif kotak-kotak, dikembalikan kepada korban Tukimin alias Karyo 2) Pecahan batu sebesar kepalan tangan orang dewasa, dirampas untuk dimusnahkan; d. Menetapkan supaya Terdakwa dibebani untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2000,- (dua ribu rupiah) 4. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Boyolali Telah mendengar pembelaan Terdakwa secara lisan yang mengajukan keringanan hukuman, keterangan saksi, serta adanya barang bukti, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Boyolali dalam putusannya Nomor. 101/Pid.B/2007/PN.Bi telah memutuskan sebagai berikut : a. Menyatakan Terdakwa Nur Cahyono alias Kembar bin Paino terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
lii
dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka; b. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan dan 15 (lima belas) hari; c. Menetapkan lamanya Terdakwa berada dalam tahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; d. Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan; e. Memerintahkan barang bukti berupa: 1) 1 (satu) buah baju warna abu-abu motif kotak-kotak, dikembalikan kepada saksi Tukimin alias Karyo 2) 1 (satu) bongkahan pecahan batu sebesar kepalan tangan orang dewasa, dirampas untuk dimusnahkan; f. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2000,- (dua ribu) rupiah. Analisis Kasus : Majelis Hakim menyatakan bahwa Terdakwa Nur Cahyono alias kembar bin Paino telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP. Hal ini dapat kita ketahui karena unsur-unsur dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP telah terpenuhi. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut : 1. Unsur barang siapa Unsur barang siapa menunjukkan subyek hukum atau orang yang di dakwa oleh Jaksa Penuntut Umum karena melakukan suatu tindak pidana dan kepada Terdakwa tersebut dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya secara hukum. Unsur barang siapa dalam perkara ini adalah Terdakwa NUR CAHYONO alias KEMBAR bin PAINO yang setelah dinyatakan identitas Terdakwa di muka persidangan sama dan sesuai dengan identitas Terdakwa yang tercantum dalam Surat Dakwaan No.
liii
Reg.Perk PDM-24/Ep.2/05/2007 oleh Jaksa Penuntut Umum. Terdakwa mengakui perbuatan yang telah dilakukannya dan selama dalam pemeriksaan Terdakwa menyatakan dirinya sehat jasmani maupun rohani dan
mampu
mempertanggungjawabkan
perbuatan
yang
telah
dilakukannya. Berdasarkan hal tersebut, maka unsur barang siapa telah terpenuhi. 2. Unsur secara terang-terangan dengan tenaga bersama Bahwa pada hari Minggu tanggal 8 April 2007 sekitar jam 00.30 WIB di perempatan Jalan Dukuh Winong, Desa Canden, Kecamatan Sambi, Kabupaten Boyolali telah terjadi perkelahian antara Terdakwa bersama saudara kembar Terdakwa bernama Nur Cahyanto (belum tertangkap) berhadapan dengan beberapa Warga Dukuh Winong yang diantaranya bernama Tukimin alias Karyo. Pada waktu malam itu, Terdakwa bersama Sdr. Nur Cahyanto (belum tertangkap) yang sedang tiduran di makam di desanya setelah ada orang meninggal dunia didatangi Supriyanto yang mengatakan bahwa Sarno alias Itheng bertengkar dengan Warga Dukuh Winong, lalu terdakwa dan saudaranya segera menuju tempat tersebut yang bermaksud melerai Sarno alias Itheng dengan Warga Winong. Sesampai di sana, Warga Winong mengeroyok Nur Cahyono dan saudara kembarnya Nur Cahyanto (belum tertangkap) , bahkan Tukimin alias Karyo sempat memukul Terdakwa hingga jatuh dan terjadi perkelahian kedua kelompok tersebut. Merasa dipukul maka Terdakwa memukul Tukimin alias Karyo dengan tangan kosong dan kemudian Sdr. Nur Cahyanto (belum tertangkap) ikut memukul dengan menggunakan batu sebesar kepalan tangan orang dewasa hingga Tukimin alias Karyo jatuh dan menendang lagi dengan kaki. Menimbang bahwa tempat kejadian perkelahian tersebut berada di perempatan jalan Dukuh Winong, Desa Canden, Kcamatan Sambi, Kabupaten Boyolali yang banyak dikunjungi orang dan pelaku pemukulan
liv
terhadap Tukimin alias Karyo adalah terdakwa bersama dengan saudara kembarnya yaitu Sdr. Nur Cahyanto(belum tertangkap) . Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan diatas, Majelis Hakim berpendapat unsur secara terang-terangan telah terpenuhi oleh perbuatan terdakwa dan telah terbukti secara sah menurut hukum. 3. Unsur melakukan kekerasan terhadap orang atau barang Menimbang bahwa pengertian melakukan kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 KUHP adalah “mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil yang tidak sah” tidak diterapkan lagi sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (3) KUHP. Dalam Penjelasan Pasal 170 KUHP pengertian kekerasan tidak dijelaskan secara detail hanya menjelaskan bahwa kekerasan dapat dilakukan dalam beberapa cara sebagai berikut : a. pengerusakan terhadap barang; b. Penganiayaan terhadap orang atau hewan; c. Melemparkan batu-batu kepada orang atau rumah; d. Membuang barang-barang hingga berserakan dan lain sebagainya (R. Sugandhi, 1981:190). Pada saat terjadi perkelahian antara Terdakwa beserta saudara kembarnya Nur Cahyanto (belum tertangkap) dengan Warga Winong, Terdakwa dipukul oleh Tukimin alias Karyo hingga jatuh, lalu Terdakwa memukul Tukimin alias Karyo dengan tangan kosong dan Sdr. Nur Cahyanto (belum tertangkap) ikut memukul Tukimin alias Karyo dengan menggunakan sebongkah batu ukuran kepalan tangan orang dewasa, setelah itu mereka mendorong Tukimin alias Karyo hingga jatuh dan menendang lagi dengan kaki. Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum dipersidangan diatas, dan dari pengakuan Terdakwa telah terungkap bahwa perbuatan Terdakwa dilakukan dan ditujukan kepada korban Tukimin alias Karyo.
lv
Unsur melakukan kekerasan terhadap orang atau barang telah terpenuhi oleh perbuatan Terdakwa. 4. Unsur menyebabkan orang lain luka Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum dipersidangan bahwa akibat perkelahian tersebut korban Tukimin alias Karyo menderita luka robek di dahi; Menimbang bahwa berdasarkan Visum Et repertum dokter pemerintah pada Rumah Sakit Banyudono Nomor : 445/537/IV/2007 tanggal 4 April 2007, yang ditandatangani oleh dr. Yeni Titisari R atas nama korban Tukimin, Umur 39 tahun, Pekerjaan Swasta, alamat Dukuh Winong, Desa Canden, Kecamatan Sambi, Kabupaten Boyolali dengan kesimpulan : pada laki-laki umur 39 tahun pada pemeriksaan didapat pada dahi luka robek ± 5 Cm kemungkinan karena benturan benda tumpul. Menimbang bahwa berdasarkan uraian diatas menurut hemat Majelis Hakim unsur menyebabkan orang lain luka tersebut telah terpenuhi oleh perbuatan terdakwa dan telah terbukti secara sah menurut hukum ; Pemberian sanksi pidana tidak lepas dari tujuan pemidanaan. Pidana pada hakekatnya merupakan pengenaan penderitaan atau nestapa yang tidak menyenangkan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut peraturan yang berlaku. Pemberian pidana tersebut bukan hanya ditujukan untuk memberikan penderitaan bagi terdakwa, namun juga untuk mewujudkan ketertiban hukum masyarakat dalam suatu negara. Putusan Hakim adalah hukum (jugde made law), sebagaimana hukum pada umumnya harus ditaati dan mempunyai kekuatan yang mengikat terutama mengikat para pihak yang berperkara. Dalam pengertian bahwa putusan hakim harus dianggap benar oleh kedua pihak sampai dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi. Hakim dalam memberikan keputusan tampak menggunakan pola pemikiran syllogisme. Dalam perkara pidana ditetapkan lebih dulu fakta-fakta atau perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa kemudian
lvi
ditetapkan hukumannya yang cocok untuk fakta-fakta itu sehingga dengan jalan penafsiran dapat fakta itu ditetapkan apakah perbuatan terdakwa dapat dipidana (Djoko Prakoso, 1984 : 19-20). Tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang (pengeroyokan) sebagaimana dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP yang didakwakan terhadap Terdakwa Nur Cahyono alias Kembar bin Paino, telah terbukti secara sah dan melawan hukum yang semua unsur dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP telah terpenuhi. Dapat diketahui bahwa Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan tuntutannya terlalu rendah, yaitu 3 (tiga) bulan dikurangkan selama Terdakwa ditahan dengan perintah tetap ditahan. Dalam hal ini, Terdakwa Nur Cahyono mengakui bahwa Terdakwa dan saudara kembarnya Nur Cahyanto (belum tertangkap) telah memukul korban Tukimin alias Karyo berkali-kali setelah korban jatuh di perempatan jalan atau setidak-tidaknya diketahui oleh publik. Berdasarkan fakta hukum yang diperoleh dalam persidangan perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa pada dasarnya bukan merupakan suatu perencanaan yang dibentuk sedemikian rupa dengan suatu kerjasama dengan beberapa teman dari Terdakwa, karena pada awalnya Terdakwa menuju ke tempat Perempatan jalan di Desa Winong untuk mendamaikan pertengkaran antara Sarno alias Itheng dengan Warga Winong. Terdakwa melakukan pemukulan terhadap korban karena berusaha membela diri setelah korban memukul Terdakwa terlebih dahulu. Perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa Nur Cahyono dengan saudara kembarnya yaitu Nur Cahyanto (belum tertangkap) menunjuk pada suatu penyertaan tetapi hanya dalam hal pelaku yang dibutuhkan adalah lebih dari satu orang sebagaimana terdapat dalam unsur tenaga bersama dalam Pasal 170 ayat (1) KUHP mengenai apakah terdapat niat dan kerjasama yang dilakukan oleh para pelaku, Pasal 170 KUHP tidak menyebutkan hal tersebut. Pasal 170 KUHP hanya mengarah pada akibat atas perbuatan yang dilakukan pelaku. Sesampainya di perempatan jalan Dukuh Winong, terjadi kesalahpahaman antara warga Winong dengan Terdakwa bersama Nur Cahyanto (belum tertangkap) dimana salah satu Warga Winong memukul Terdakwa dan lvii
kemudian menyebabkan terjadinya pengeroyokan antara warga Winong dengan Terdakwa bersama saudara kembarnya Nur Cahyanto (belum tertangkap), serta Supriyanto. Dalam hal ini tidak terdapat unsur kerjasama dalam melakukan suatu tindak pidana kekerasan yang direncanakan terlebih dahulu oleh para pelaku untuk melakukan pengeroyokan karena pada dasarnya tujuan Terdakwa, saudara kembarnya Nur Cahyanto serta Supriyanto adalah hanya untuk mendamaikan Sarno alias Itheng yang bertengkar dengan Warga Winong. Tidak adanya niat dalam diri terdakwa untuk mengeroyok warga Winong yang melakukan penahanan terhadap Sarno alias Itheng. Oleh karena itu Terdakwa didakwa dengan Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP karena melakukan kekerasan yang dilakukan oleh lebih dari satu orang. Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara selama 2 (dua) bulan dan 15 (lima belas) hari dikurangkan selama terdakwa dalam tahanan dan Terdakwa menerima putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim. Tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum dan penjatuhan pidana yang diberikan oleh Majelis Hakim relatif lebih ringan jika dibanding dengan ancaman pidana dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP yaitu dengan pidana penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun. Pertimbangan Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutan maupun penjatuhan pidana oleh Majelis Hakim adalah karena didalam diri terdakwa tidak terdapat alasan-alasan yang dapat menghapus pidana Terdakwa, baik alasan pemaaf maupun alasan pembenar serta Terdakwa belum pernah dihukum, bersikap baik selama di persidangan, mengaku terus terang atas tindak pidana yang didakwakan serta Terdakwa berusia relatif masih muda dan memiliki masa depan yang masih panjang. Terdakwa telah ditahan dari tingkat penyidikan sampai dengan tingkat pengadilan negeri selama 2 (dua) bulan lebih 6 (enam) hari sejak tertanggal 4 (empat) April 2007 sampai dengan 28 (dua puluh delapan) Juni 2007. Selama dalam tahanan Terdakwa telah menyesali perbuatan yang telah dilakukannya dan dalam tahanan Terdakwa bersikap baik. Menurut penulis, penjatuhan pidana yang diberikan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Boyolali sebenarnya sedikit memberatkan pihak Terdakwa karena Terdakwa masih lviii
harus ditahan kurang lebih 1 (satu) minggu lagi, di lain pihak pada kenyataannya Terdakwa telah bertanggungjawab secara penuh kepada pihak korban Tukimin alias Karyo dengan membantu membayar perawatan korban di Rumah Sakit sebesar Rp 750.000,- (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) dan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi dengan adanya Surat Pernyataan Damai antara Terdakwa dengan pihak Korban Tukimin dan Korban Tukimin memaafkan Terdakwa tetapi karena tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa termasuk tindak pidana biasa maka haruslah diproses oleh pihak yang berwajib secara hukum yang berlaku. Penjatuhan pidana yang dilakukan oleh hakim terhadap Terdakwa telah sesuai dengan teori yang dianut di Indonesia yaitu teori Gabungan, dimana teori tersebut selain menitikberatkan pada pembalasan atas perbuatan yang dilakukan pelaku kejahatan juga menitikberatkan pada maksud dan tujuan penjatuhan pidana untuk memberikan pelajaran dan kesempatan untuk memperbaiki diri terdakwa sehingga dengan demikian terdakwa tidak akan mengulangi perbuatannya dikemudian hari. Selain itu memberikan pandangan positif kepada masyarakat agar tidak melakukan perbuatan pidana sama seperti yang telah dilakukan oleh terdakwa. Mengenai analisis unsur Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP didalam putusan Pengadilan Negeri Boyolali Nomor : 1/Pid.B/2007/PN.Bi menurut penulis terdapat sedikit kesalahan. Kesalahan tersebut dapat terlihat dalam unsur melakukan kekerasan dimana pengertian kekerasan dalam Pasal 89 KUHP secara tersirat masih digunakan. Namun pada kenyataannya Pasal 89 KUHP tidak diterapkan lagi yang diatur dalam Pasal 170 ayat (3) KUHP. B. Dasar
Pertimbangan
Hakim Pengadilan
Negeri
Boyolali
Dalam
Menjatuhkan Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana dengan Tenaga Bersama Melakukan Kekerasan Terhadap Orang yang Mengakibatkan Luka Sebagaimana Diatur Dalam Pasal 170 Ayat (2) Ke-1 KUHP Dalam memberikan keputusan, hakim memiliki kebebasan dalam menentukan berat ringannya suatu pidana. Kebebasan yang dimiliki oleh lix
hakim harus memiliki suatu batasan agar keputusan yang diberikan tetap objektif dan sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku. Keputusan yang diberikan oleh hakim harus memiliki pertimbangan-pertimbangan baik secara yuridis,
psikologis
maupun
sosiologis.
Selain
itu
hakim
dalam
mempertimbangkan suatu putusan harus juga memperhatikan berat ringannya pidana serta sifat-sifat yang baik maupun yang buruk dari terdakwa sehingga dapat memberikan keputusan sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Penerapan suatu sanksi pidana terhadap terdakwa ditetapkan pula apakah perbuatan terdakwa memenuhi segala unsur yang terdapat dalam ketentuan pidana yang didakwakan kepada terdakwa tersebut. Dalam pemberian pidana faktor usia dari dalam diri terdakwa yang relatif masih muda sudah menjadi kewajiban pertimbangan hakim, karena hakim dalam menjatuhkan pidana wajib
mempertimbangkan
segala
sesuatu
yang
memberatkan
atau
meringankan pidana. Menimbang bahwa Terdakwa diajukan ke persidangan atas dakwaan sebagaimana terurai dalam dakwaan No. Reg.Perkara PDM-24 Ep.2/05/2007 tertanggal 29 Mei 2007 ; Menimbang bahwa setelah dakwaan tersebut dibacakan Terdakwa menyatakan telah mengerti isi dan maksud dakwaan tersebut, serta tidak mengajukan eksepsi atau keberatan ; Menimbang bahwa untuk membuktikan dakwaan tersebut Jaksa Penuntut Umum mengajukan saksi-saksi yang telah didengar keterangannya masing-masing di depan persidangan yaitu : 1. Saksi ke-1, Supriyanto (dibawah sumpah) 2. Saksi ke-2, Sarno alias Itheng (dibawah sumpah) 3. Saksi ke-3, Tukimin alias Karyo (dibacakan dari Berita Acara Pemeriksaan Kepolisian) 4. Saksi ke-4, Budi Giono (dibacakan dari Berita Acara Pemeriksaan Kepolisian)
lx
5. Saksi ke-5, Semi (dibacakan dari Berita Acara Pemeriksaan Kepolisian) Semua saksi yang telah didengar keterangannya di depan persidangan semuanya mengarah pada kebenaran adanya tindak pidana pengeroyokan yang dilakukan oleh terdakwa dan telah terjadi perdamaian antara Terdakwa dengan korban Menimbang bahwa dari keterangan para saksi Terdakwa menyatakan membenarkan ; Menimbang
bahwa
telah
dibacakan
Visum
Et
Repertum
No.445/537/IV/2007 yang ditandatangani oleh dr. Yeni Titisari R. dari Rumah Sakit Banyudono, dan Terdakwa menyatakan tidak keberatan ; Menimbang bahwa dipersidangan diajukan barang bukti : 1. 1 (satu ) buah baju warna abu-abu motif kotak-kotak, 2. 1 (satu) bongkah pecahan batu sebesar kepalan tangan orang dewasa ; Menimbang bahwa segala sesuatu yang terjadi di persidangan telah tercatat lengkap dalam Berita Acara Persidangan dan untuk mempersingkat putusan ini, maka segala sesuatu yang tersebut dalam Berita Acara Persidangan haruslah dianggap sebagai bagian dari putusan ini ; Menimbang bahwa di persidangan telah
diajukan barang bukti
sebagaimana tersebut dimuka ternyata telah dilakukan penyitaan secara sah menurut hukum sehingga dapat dijatuhkan sebagai pendukung pembuktian ; Menimbang bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dipersidangan, bukti surat serta dihubungkan dengan barang bukti maka diperoleh fakta-fakta hukum sebagai berikut : 1. Bahwa pada hari Minggu tanggal 8 April 2007 sekitar Jam 00.30 WIB di Perempatan Jalan Dukuh Winong Desa Canden, Kecamatan Sambi, Kabupaten Boyolali telah terjadi perkelahian antara Terdakwa bersama saudara kembar Terdakwa bernama Nur Cahyanto (belum tertangkap) berhadapan dengan beberapa Warga Dukuh Winong diantaranya bernama Tukimin alias Karyo :
lxi
2. Bahwa malam itu ketika Terdakwa bersama Sdr. Nur Cahyanto (belum tertangkap) sedang tiduran di makam desanya dimana saat itu sehabis ada orang meninggal dunia di malam Jumat Kliwon didatangi Supriyanto yang mengatakan bila Sarno alias Itheng bertengkar dengan Warga Dukuh Winong yang kemudian ditahan disana, dan Terdakwa bersama Sdr. Nur Cahyanto (belum tertangkap) diminta ketempat tersebut dengan maksud agar mendamaikan Sarno alias Itheng dengan Warga Winong tersebut : 3. Bahwa Terdakwa bersama Sdr. Nur Cahyanto dan Supriyanto (belum tertangkap) menuju tempat kejadian, dimana sampai disana berusaha untuk mendamaikan kedua pihak, tetapi Warga Winong bahkan mengeroyok mereka dimana Tukimin alias Karyo sempat memukul Terdakwa hingga jatuh dan terjadilah perkelahian kedua kelompok tersebut : 4. Bahwa karena Terdakwa dipukul Tukimin alias Karyo lalu jatuh, lalu dengan tangan kosong Terdakwa memukul Tukimin alias Karyo, kemudian Sdr. Nur Cahyanto (belum tertangkap) ikut memukul dengan menggunakan batu sebesar kepalan orang dewasa, setelah itu mereka mendorong Tukimin alias Karyo hingga jatuh dan menendangi lagi dengan kaki : 5. Bahwa benar barang bukti baju tersebut milik Tukimin alias Karyo dan batunya yang digunakan Sdr. Nur Cahyanto (belum tertangkap) untuk memukul Tukimin alias Karyo tersebut : 6. Bahwa saat pertama tiba ditempat kejadian Terdakwa bertanya kepada Sarno alias Itheng apakah sudah didamaikan, dijawab Sarno alias Itheng, sudah…tetapi Warga Winong tadi memukulinya dan secara reflek tiba-tiba Terdakwa memegang kepala salah satu Warga Winong kemudian agak ditekan, dimana orang yang dipegang kepalanya tersebut lalu memukul Terdakwa sehingga terjadi perkelahian tersebut : 7. Bahwa akibat penganiyaan yang Terdakwa dan Sdr. Nur Cahyanto (belum tertangkap) lakukan, kening Tukimin alias Karyo mengalami luka dan berdarah dan Terdakwa juga telah membantu biaya perawatan korban sebesar Rp. 750.000 (tujuh ratus lima puluh rupiah) : lxii
8. Bahwa sekarang antara Terdakwa dengan korban tidak ada masalah, bahkan Terdakwa dengan Tukimin alias Karyo sudah membuat Surat Pernyataan Perdamaian yang tidak akan melanjutkan kesalahpahaman hingga terjadi penganiayaan tersebut: 9. Bahwa dengan kejadian ini, Terdakwa merasa menyesal dan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi: 10. Bahwa Terdakwa membenarkan barang bukti yang diajukan di persidangan: Menimbang bahwa berdasarkan hal-hal yang terurai diatas apakah dapat diterapkan terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang mendakwa Terdakwa dengan dakwaan tunggal Pasal 170 ayat (2) ke-1 Kitab Undangundang Hukum Pidana ; Menimbang Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana melanggar Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 1. Barang siapa : 2. secara terang-terangan dengan tenaga bersama : 3. Melakukan kekerasan terhadap orang atau barang : 4. menyebabkan orang lain luka. Menimbang bahwa karena Majelis Hakim sependapat dengan Jaksa Penuntut Umum dengan terbuktinya seluruh unsur-unsur dakwaan tunggal tersebut secara sah dan menurut hukum ; Menimbang bahwa untuk mewujudkan tujuan pemidanaan yang ada dasarnya ditujukan untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat tersebut bagi Terdakwa, berikut akan dipertimbangkan pula hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan hukuman bagi Terdakwa : Hal yang memberatkan : 1. Perbuatan Terdakwa telah menimbulkan luka bagi orang lain Hal yang meringankan : 1. Terdakwa belum pernah dihukum
lxiii
2. Terdakwa mengaku bersalah menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya 3. Terdakwa masih muda usia diharapkan masih dapat memperbaiki perbuatannya dikelak kemudian hari 4. Terdakwa sopan dan berterus terang dipersidangan sehingga melancarkan jalannya persidangan Menimbang bahwa oleh karena Terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana seperti tersebut diatas, maka Terdakwa haruslah dibebani untuk membayar biaya perkara ini yang besarnya disebutkan dalam amar putusan ini ; Hakim dalam memutus suatu perkara berdasarkan pada pertimbangan yang berifat objektif dan bersifat subyektif. Pertimbangan yang bersifat obyektif didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu : 1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yaitu dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP, yang unsur-unsurnya sebagai berikut : a) Barang siapa, b) Secara terang-terangan dengan tenaga bersama, c) Melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, d) menyebabkan orang lain luka, pada semua unsur yang diuraikan dalam putusan telah terpenuhi semua; 2. Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, adanya alat-alat bukti yang telah diajukan di depan persidangan yaitu adanya keterangan saksi, keterangan terdakwa, Visum et Repertum nomor 445/537/IV/2007 yang ditandatangani oleh dr. Yeni Titisari R tanggal 4 April 2007 atas nama TUKIMIN dari Rumah Sakit Banyudono Boyolali serta adanya tambahan barang bukti di persidangan; 3. Undang-undang No.2 Tahun 1986 jo. Undang-undang No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum, Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara yang masuk ke
lxiv
Pengadilan Negeri. Dalam hal ini hakim wajib memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara yang diterimanya; 4. Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Dalam Pasal 28 ayat (2) dijelaskan bahwa dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Dalam pertimbangan dari segi subyektif, didasarkan pada keyakinan (diri pribadi) hakim tersebut yang mengadili suatu perkara, dimana keyakinan tersebut dapat diukur dengan pertimbangan yang ada dalam diri terdakwa, seperti itikad baik dari terdakwa, kadar kesalahan/kealpaannya dan sikap batin dari terdakwa. Dasar pertimbangan secara subyektif ini tidak ada aturan atau patokan yang jelas, dan ini diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan hakim dalam memberikan putusan guna memenuhi keadilan di masyarakat, khususnya bagi mereka yang mencari keadilan. Menurut penulis, hakim dalam memeriksa dan memutus perkara Terdakwa mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : 1. Apakah tindak pidana yang merupakan kejahatan tersebut dilakukan oleh terdakwa dengan niat yang timbul dari hati nuraninya dan menimbulkan kesadaran dalam melakukan kejahatan tersebut atau tidak; 2. Melihat cara yang digunakan oleh terdakwa dalam melakukan tindak pidana,
apakah
memukul
korban
menggunakan
tangan
kosong,
menggunakan sebongkah batu dan lain-lain; 3. Tempat terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa sesuai dengan pasal yang didakwakan yaitu ditempat umum atau tempat dimana publik dapat melihat terjadinya suatu tindak pidana pengeroyokan; 4. Melihat berapa banyak pelaku atau orang yang melakukan tindak pidana. Pasal 170 KUHP disebutkan bahwa tindak pidana dilakukan secara bersama-sama, berarti tindak pidana tersebut dilakukan lebih dari 1 (satu) orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Roeslan Saleh memberikan padangan bahwa hakim dalam mengambil suatu keputusan, berdasarkan suatu penilaian tentang keputusan mengenai lxv
perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan keputusan mengenai aturan pidana yaitu perbuatan yang dilakukan terdakwa memang merupakan suatu perbuatan pidana (Roeslan Saleh, 1983:15). Keyakinan Majelis Hakim bahwa perbuatan pidana tersebut benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, dalam hal ini harus didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang merupakan alat bukti adalah sebagai berikut : 1. Keterangan Saksi; 2. Keterangan Ahli; 3. Surat; 4. Petunjuk; 5. Keterangan Terdakwa. Dalam perkara Terdakwa Nur Cahyono tersebut telah terdapat keterangan saksi-saksi yaitu Saksi Supriyanto, Budi Biono, Semi, Sarno alias Itheng dan Saksi Korban Tukimin alias Karyo serta keterangan terdakwa sendiri. Terdapat juga surat berupa Visum Et Repertum No.445/537/IV/2007 yang ditandatangani oleh dr. Yeni Titisari R. dari Rumah Sakit Banyudono Kabupaten Boyolali. Selain itu juga barang bukti yaitu 1 (satu) buah baju warna abu-abu motif kotak-kotak dan 1 (satu) sebongkah batu sebesar kepalan orang dewasa. Sehingga dari alat bukti dan barang bukti yang sah tersebut Majelis Hakim berkenyakinan bahwa telah terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa Nur Cahyono alias Kembar bin Paino dan berketetapan memutus dengan pidana penjara 2 (dua) bulan 15 (lima belas) hari dipotong masa tahanan terdakwa. Menurut penulis dalam hal menjatuhkan pidana penjara, hakim harus melihat setiap kasus secara obyektif, dalam pengertian hakim harus bersikap adil baik bagi korban atau keluarga korban maupun terdakwa. Dimana antara korban dengan terdakwa telah mengadakan perjanjian perdamaian dan terdakwa telah membayar semua biaya rumah sakit, sedangkan terdakwa tergolong masih muda sehingga masa depan dari terdakwa tersebut juga harus dipertimbangkan. lxvi
Menurut Mr. M.H. Tirtaamidjaja dalam bukunya Kedudukan Hakim dan Jaksa yang dikutib oleh Leden Marpaung, hakim dalam menetapkan suatu penjatuhan pidana yang dirasakan oleh masyarakat dan terdakwa itu sendiri merupakan suatu hukuman yang adil dan bertanggungjawab maka hakim tersebut harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1. sifat pelanggaran hukum pidana itu (apakah itu suatu pelanggaran pidana yang berat atau ringan); 2. ancaman hukuman terhadap pelanggaran pidana itu; 3. keadaan dan suasana waktu melakukan pelanggaran pidana itu (yang memberatkan dan meringankan); 4. pribadi terdakwa, apakah ia seorang penjahat tulen atau seorang penjahat yang telah berulang-ulang dihukum (recidive) atau seorang penjahat untuk satu kali ini saja; atau apakah ia seorang yang masih muda ataupun seorang yang telah berusia tua; 5. sebab-sebab untuk melakukan pelanggaran pidana tersebut; 6. sikap terdakwa dalam pemeriksaan perkara itu (apakah dia menyesal tentang kesalahannya ataukah dengan keras menyangkal meskipun telah ada bukti yang cukup akan kesalahannya); 7. kepentingan umum (hukum pidana diadakan untuk melindungi kepentingan umum, yang dalam keadaan-keadaan tertentu menuntut suatu penghukuman berat pelanggaran pidana) (Leden Marpaung, 1992:414-415). Selain hal tersebut diatas hakim dapat menemukan faktor-faktor lain seperti tidak adanya hal-hal yang menghapus pidana Terdakwa baik alasan pemaaf maupun alasan pembenar dalam diri terdakwa, terdakwa bersikap baik selama persidangan berlangsung dan berkata jujur dan berterus terang serta mengaku bersalah atas perbuatan yang telah dilakukannya selama persidangan berlangsung dalam mempengaruhi pengambilan putusan terhadap terdakwa karena hakim memiliki kebebasan dalam menentukan suatu putusan selama sesuai dengan aturan yang berlaku. BAB IV SIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
lxvii
Berdasarkan pada perumusan masalah dan pembahasan masalah yang telah penulis uraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Dalam kasus yang diteliti oleh penulis bahwa Terdakwa Nur Cahyono alias Kembar bin Paino secara sah dan melawan hukum bersalah melakukan tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP. Unsur-unsur dalam pasal tersebut adalah : a) Barang siapa, b) secara terang-terangan dengan tenaga bersama, c) Melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, d) menyebabkan orang lain luka, telah terpenuhi semua setelah diperiksa hakim di persidangan. Pidana yang dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Boyolali terhadap Terdakwa Nur Cahyono alias kembar bin Paino yang melakukan tindak pidana pengeroyokan sesuai dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP relatif lebih ringan dari tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum yaitu 2 (dua) bulan lebih 15 (lima belas) hari dikurangi masa tahanan sebelumnya. Hakim dalam
memberikan
putusan
pidana
tersebut
terhadap
terdakwa
dikarenakan terdakwa yang belum pernah dihukum, bersikap baik selama di persidangan, mengaku terus terang atas tindak pidana yang didakwakan serta terdakwa berusia relatif masih muda dan memiliki masa depan yang masih panjang. Selain itu tekdawa telah memberikan ganti kerugian atas perbuatan yang telah dilakukannya dengan membayar semua biaya perawatan korban sebesar Rp 750.000,- (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah). 2. Dasar pertimbangan hakim pada kasus tindak pidana pengeroyokan dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP yang dilakukan oleh Terdakwa Nur Cahyono alias Kembar bin Paino dalam memberikan putusan pidana, hakim telah memenuhi syarat-syarat obyektif dan syarat subyektif, baik berpedoman Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dalam dalam lxviii
Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan adanya alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan, Undang-Undang No.2 Tahun 1986 jo. Undang-undang No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum, Undang-Undang Nomor. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman serta pertimbangan atas dasar keyakinan atau hati nurani dari diri hakim. Unsur-unsur pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP telah terpenuhi, hal yang memberatkan dan hal yang meringankan terdakwa, tidak terdapatnya alasan-alasan yang dapat menghapus pidana terdakwa baik alasan pembenar maupun alasan pemaaf di dalam diri terdakwa sangat dipertimbangkan oleh hakim dalam memberikan pidana. B. Saran Dari pembahasan dalam Bab III tersebut, beberapa saran sederhana yang akan penulis sampaikan antara lain : 1. Karena ukuran yang digunakan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap perkara kejahatan adalah berdasarkan rasa keadilan masyarakat, disarankan dalam prakteknya prinsip-prinsip dalam masyarakat ini benarbenar dilaksanakan terutama terhadap perkara tindak pidana kekerasan dimana keadilan dari pihak terdakwa dan pihak korban sama-sama diperhatikan berdasarkan peraturan yang berlaku. 2. Pertimbangan subyektif hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa diharapkan janganlah terlalu berpihak kepada korban dan keluarga korban tetapi juga harus mempertimbangkan tentang masa depan terdakwa yang masih panjang dimana terdakwa masih berusia 22 (dua puluh dua) tahun. DAFTAR PUSTAKA Dari Buku
lxix
Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Abdullah Mustafa. 1983. Intisari Hukum Pidana. Jakarta : Ghalia Indonesia. Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana bagian I. Jakarta : Raja Grafindo Persada. ----------------. 2002. Pelajaran Hukum Pidana bagian III (Percobaan dan Penyertaan). Jakarta : Raja Grafindo Persada. ----------------. 1986. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia (Dari Retribusi ke Reformasi). Jakarta, Pradnya Paramita. AK. Moch Anwar. 1981. Beberapa Ketentuan Umum dalam Buku I Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Bandung : Alumni. Andi Hamzah. 1994. Asas-Asas Hukum Pidana edisi revisi. Jakarta: Rineka Cipta. Andi Hamzah dan Siti Rahayu. 1983. Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia. Jakarta : Akademika Pressindo. Bambang Waluyo. 2000. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta : Sinar Grafika. Djoko Prakoso. 1984. Masalah Pemberian Pidana dalam Teori dan Praktek Peradilan. Jakarta : ghalia Indonesia. Gerson W. Bawengan. 1983. Hukum Pidana dalam Teori dan Praktek. Jakarta : PT Pradnya Paramita. H. Zamhari Abidin. 1986. Pengertian dan Asas Hukum Pidana. Palembang : Ghalia Indonesia. Jan Remmelink. 2003. Hukum Pidana (Komentar atas pasal-pasal terpenting dari KUHP Belanda dan pandangan dalam KUHP Indonesia). Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
lxx
J.E. Jonkers. 1987. Hukum Pidana Hindia Belanda. Jakarta : PT Bina Aksara. Leden Marpaung. 2005. Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana. Jakarta : Sinar Grafika. --------------------. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana bag.II (di Kejaksaan dan Pengadilan Negeri - Upaya Hukum dan Eksekusi). Jakarta : Sinar Grafika. Moeljatno. 2002. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Rineka Cipta. ------------. 1977. Hukum Pidana Delik-delik Penyertaan. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada. ------------. 1984. Kejahatan-Kejahatan terhadap Ketertiban Umum (Openbare Orde). Jakarta : Bina Aksara. Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1998. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Bandung : Alumni. P.A.F Lamintang. 1984. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Sinar Grafika. Roeslan Saleh.1981. Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana. Jakarta : Aksara Baru. -----------------. 1983. Suatu Reorientasi dalam Hukum Pidana.. Jakarta : Aksara Baru. R. Sugandhi. 1981. KUHP dan Penjelasannya. Surabaya : Usaha nasional. Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia (UI Press).
lxxi
Soenarto Soerodibroto. 1991. KUHP dan KUHAP dilengkapi Yurisprudensi, Mahkamah Agung, Hoge Raad Edisi 4. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Sudarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung : Alumni. Sudradjat Bassar. 1986. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Bandung : Remadja Karya. Thomas Susanto. 2002. Teori-teori Kekerasan. Jakarta : Ghalia Indonesia. Utrecht. 1980. Hukum Pidana 1. Surabaya : Pustaka Tinta Emas. Wirjono Prodjodikoro. 2002. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung : Refika Aditama.
Dari perundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945 Anomim. 2006. Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana. Bandung : Citra Umbara. Undang-Undang Nomor. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum
lxxii