TINJAUAN YURIDIS TENTANG TINDAK PIDANA PERAMPOKAN DISERTAI PEMBUNUHAN (Studi Putusan Hakim Pengadilan Negeri Surakarta No. 99/PID B/1990/PN.Ska. dan Putusan No. 98/PID B/1990/PN.Ska).
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh : SUTIYONO NIM.E. 1105138
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi) TINJAUAN YURIDIS TENTANG TINDAK PIDANA PERAMPOKAN DISERTAI PEMBUNUHAN (Studi Putusan Hakim Pengadilan Negeri Surakarta No. 99/PID B/1990/PN. Ska dan Putusan No. 98/PID B/1990/PN. Ska).
Disusun Oleh : SUTIYONO NIM.E.1105138
Disetujui untuk Dipertahankan
Pembimbing I
WINARNO BUDYATMOJO, S.H., M.S NIP.196005251987021002
Pembimbing II
SITI WARSINI, S.H., M.H NIP. 130814587
PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi) TINJAUAN YURIDIS TENTANG TINDAK PIDANA PERAMPOKAN DISERTAI PEMBUNUHAN (Studi Putusan Hakim Pengadilan Negeri Surakarta No. 99/PID B/1990/PN. Ska dan Putusan No. 98/PID B/1990/PN. Ska). Disusun Oleh : SUTIYONO NIM : E. 1105138 Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada : Hari
:
Tanggal
: TIM PENGUJI
1.
: ……………………….
2.
: ……………………….
3.
: ……………………….
MENGETAHUI Dekan,
(Mohammad Jamin, S.H., M.Hum.) NIP. 196109301986011001
HALAMAN MOTTO
”Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,maka apabila kamu telah selesai(dari suatu urusan),kerjakanlah dengan sungguh-sungguh(urusan) yang lain”. (QS. Al Insyirah:6-7)
”Di dalam ketakutan ada kebenaran sejati,bahwa cara untuk mengatasi ketakutan itu adalah dengan menghadapinya”. (puccino) ”Sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya”. (Al-Hadist) ’’Rasa percaya diri adalah kunci rahasia pertama dari sukses seseorang’’. (Ralph.W.Emerson)
HALAMAN PERSEMBAHAN
LAPORAN SKRIPSI INI, PENULIS PERSEMBAHKAN KEPADA :
·
ALLAH S.W.T YANG MEMBERIKAN RIDHO-NYA
·
AYAHANDA DAN IBUNDA TERCINTA YANG SENANTIASA MENDIDIK,MENGASIHI,MENYAYANGI,DAN MENDOAKAN KU
·
KAKAKKU
TERSAYANG
RUBIYATUN,RAIHLAH
YANG
KAMU INGINKAN DAN TERBAIK UNTUKMU.SEMOGA TERCAPAI CITA-CITA MU DAN KEBAHAGIAAN SELALU BARSAMA MU ·
MAS EDI SUNARTO,THANK’S ATAS SEMANGAT DAN PENGERTIANNYA
· ·
SELURUH DOSEN DAN STAF FAKULTAS HUKUM UNS ALMAMATERKU
ABSTRAK
SUTIYONO,2010.TINJAUAN PERAMPOKAN
DISERTAI
YURIDIS
TENTANG
PEMBUNUHAN
TINDAK
(Studi
Putusan
PIDANA Hakim
Pengadilan Negeri Surakarta No. 99/1990/PID B/PN SKA dan Putusan No. 98/1990/PID
B/PN
Surakarta).FAKULTAS
HUKUM
UNIVERSITAS
SEBELAS MARET SURAKARTA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dalam perkara tindak pidana perampokan di sertai pembunuhan dan kendala yang di alami hakim dalam mengadili perkara tindak pidana perampokan di sertai pembunuhan. Penelitian hukum ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat analisis yaitu dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder tentang pertimbangan hakim dalam menjatukan pidana terhadap tindak pidana perampokan di sertai pembunuhan dan kendala yang di alami hakim dalam mengadili perkara tindak pidana perampokan di sertai pembunuhan.Lokasi penelitian di lakukan di pengadilan negeri surakarta.Sumber data yang di gunakan meliputi data primer dan hasil wawancara dengan hakim pengadilan negeri surakarta, serta data sekunder berupa bahan pustaka. Teknik pengumpulan data dengan mempelajari,membaca,dan mencatat buku-buku, literatur,peraturan per undang-undangan dan dokumen.Teknik analisa data menggunakan teknik analisis (contentanalysis) dengan model memanfaatkan buku dan dokumen untuk ditarik kesimpulan yang sahih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap tindak pidana perampokan di sertai pembunuhan di dasari oleh dua aspek yaitu aspek yuridis dan aspek sosiologis. Aspek yuridis meliputi perangkat peraturan per undang-undangan yang mengaturnya seperti surat dakwaan,alat bukti yang sah, dan pertimbangan. Sedangkan sosiologis meliputi halhal yang sifatnya sosial kemasyarakatan dari si terdakwa seperti hal-hal yang meringankan terdakwa dan hal-hal yang memberatkan terdakwa. Kendala yang di alami oleh hakim dalam mengadili perkara tindak pidana perampokan di sertai pembunuhan dapat terjadi karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang hukum, kurangnya kesadaran hukum di kalangan masyarakat itu sendiri,kurang profesionalnya aparat penegak hukum dan minimnya tingkat pendidikan masyarakat yang dapat menyita waktu lama pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan. Misalnya pelaku atau saksi tidak dapat berbahasa Indonesia, sehingga ketua hakim harus menunjuk seorang guru bahasa sehingga pemeriksaan juga memakan waktu yang tidak sedikit. Kata Kunci: Kajian Yuridis, terhadap tindak pidana perampokan disertai pembunuhan.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Dengan segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta karunia dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini dengan baik. Penulisan hukum ini membahas tentang TINJAUAN YURIDIS TENTANG TINDAK PIDANA PERAMPOKAN DISERTAI PEMBUNUHAN (Studi Putusan Hakim Pengadilan Negeri Surakarta No. 99/1990/PID B/PN SKA dan Putusan No. 98/1990/PID B/PN Surakarta) Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan hukum ini tidak luput dari kekurangan, baik dari segi materi yang disajikan maupun dari segi analisisnya. Namun penulis berharap bahwa penulisan hukum ini mampu memberikan manfaat baik bagi penulis sendiri maupun bagi pembacanya. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik material maupun non material sehingga penulisan hukum ini dapat diselesaikan, terutama kepada : 1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum UNS. 2. Bapak Winarno Budyatmojo, S.H.,M.S. selaku pembimbing I dan ibu Situ Warsini S.H Selaku pembimbing II penulisan hukum (skripsi), yang telah
menyediakan waktu, arahan dan pikirannya untuk memberikan bimbingan bagi tersusunnya penulisan hukum (skripsi) ini. 3. Bapak Munawar Kholil S.H., M.Hum, selaku pembimbing akademis. 4. Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan Fakultas Hukum UNS. 5. Bapak Ketua Pengadilan Negeri Surakarta yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk mengadakan penelitian di Pengadilan Negeri Surakarta. 6. Ayahanda dan Ibunda tercinta’’Bapak dan Ibu adalah kaki tangan ALLAH yang di ciptakan untuk ku,yang telah memberikan doa,dorongan,perhatian,dan kepercayaan yang sangat berarti bagi penulis. 7. Kakakku tersayang Mas Edy dan mbak Rubi terima kasih atas semangat dan doanya. 8. Keponaanku Arif,Novi,Aan,Andika. 9. My LOVELY’’ thank’s for eferything. 10. Sahabatku dan teman-teman Kartiko : Wisnu Seno Kartiko, Denny Wahyu Hidayat, Arifianto Nugroho,Alfian Sanjaya,S.H,ilham yosmiardi SH Dodi Tri Hari, Ari Kristanto,S.H, Rani Dwi Wati,S.H, Prasasti Dewi Yuliarti,S.H, Siti Munawaroh,S.H, Rahmat Wibisono,S.H, Denanda Septiana, Fitha Erdhina,S.H, Danang Jaya Prahara, Karuniawan Arif Kuncoro, Sandy Seno KartiKo, Adi Surya Wijaya, Yoga Itut, Ronggo, S.H yang telah mememani dan memberi doa serta semangat. 11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penyusunan skripsi ini.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Surakarta,
Januari 2010
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...........................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN....................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN..............................................................................
iii
HALAMAN MOTTO..........................................................................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN..........................................................................
v
ABSTRAK...........................................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ........................................................................................
vii
DAFTAR ISI ......................................................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................
ix
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................... A. Latar Belakang................................................................................. B. Perumusan Masalah........................................................................
5
C. Tujuan Penelitian............................................................................
5
D. Manfaat Penelitian..........................................................................
6
E. Metode Penelitian...........................................................................
7
F. Sistematika Skripsi.........................................................................
13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................
15
A. Kerangka Teori ........................................................................... .
15
I. Tujuan Umum Tentang Pidana…………………………… A. Pengertian Pidana …………………………………….. B. Jenis-Jenis Pidana ………………………………………. C. Sifat Hukum Pidana ……………………………………. D. Tujuan Hukum Pidana …………………………………… II. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana...................................
1. Pengertian Tindak Pidana........................................................... 2. Unsur-Unsur Tindak Pidana ..................................................... 3. Jenis-Jenis Tindak Pidana......................................................... C. Tinjauan Umum Tentang Perampokan............................................ 1 Pengertian Perampokan ............................................................. D. Tinjauan Umum Tentang Pembunuhan .......................................... 1.PengertianTindak Pidana Pembunuhan.......................... 2.Jenis-Jenis Tindak Pidana Pembunuhan............................ E.Tinjauan Umum Tentang Putusan ................................................. 1.Pengertian Putusan Hakim................................................... 2.Macam Putusan Hakim....................................................... A. Putusan Bebas........................................................................ B. Putusan
Pelepasan
Dari
Segala
Tuntutan
Hukum
.............................................................................................. C. Putusan Pemidanaan ......................................................... D. putusan Tidak Berwenang Mengadili ..................................... E. Putusan
Yang
Menyatakan
Dakwaan
Tidak
Dapat
Diterima................................................................................ F. Putusan Yang Menyatakan Batal Demi Hukum .................. BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................. A. Apakah dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Surakarta dalam menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tindak pidana perampokan disertai pembunuhan?................................................ B Kendala-kendala apa yang dialami hakim dalam mengadili perkara tindak pidana perampokan disertai pembunuhan?.........................
BAB IV
PENUTUP.......................................................................................
A. KESIMPULAN............................................................... B. SARAN........................................................................... DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………….. LAMPIRAN ……………………………………………………………………….
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan pada hukum, atau rechstaat bukan negara yang berdasarkan atas kekuasaan atau Republik Indonesia tahun 1945. Dalam skala yang lebih luas, hukum merupakan kebutuhan bagi semua umat manusia yang beradab, manusia merupakan makhluk sosial yang hidup berkelompok untuk melangsungkan kehidupannya. Ketika manusia terlibat konflik kepentingan satu degan yang lainnya, maka diperlukan norma yang dapat menyelesaikannya, salah satunya adalah hukum. Dalam konteks negara, maka Indonesia mempunyai mekanisme sendiri untuk menengahi konflik yang terjadi di dalam masyarakat, maka berlakulah hukum positif. Untuk mencapai tujuan, bangsa Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan dan hambatanyang harus disingkirkan, karena hambatan dan tantangan tersebut dapat menjadi penghambat bagi tercapainya suatu tujuan hukum (das sein). Di antara tantangan dan hambatan yang timbul, khususnya menyangkut suasana kehidupan yang aman, tenteram, tetib dan damai yaitu berkenaan dengan tindak pidana yang terjadi di dalam masyarakat, karena tindak pidana dapat mengganggu keamanan, ketentraman dan ketertiban bangsa dan negara pada umumnya dan masyarakat pada khususnya. Berbagai bentuk dari tindak pidana yang timbul di dalam masyarakat dirumuskan dan tercantum diantaranya adalah di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang diatur di dalam buku ke II yang memuat tentang kejahatan dan Buku ke III yang memuat tentang pelanggaran.
Di antara berbagai bentuk kejahatan yang sering terjadi di dalam masyarakat, kejahatan pembunuhan adalah klasik atau dapat dikatakan sampai detik ini pun tetap saja ada dimana pun, termasuk di negara kita Indonesia ini. Hal inilah yang menjadikan kejahatan ini tetap perlu untuk mendapatkan perhatian. Hal ini juga dapat dilihat bahwa di dalam negara Indonesia sangat menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, tetapi kejahatan ini tetap saja ada, bahwa dengan banyaknya kejahatan pembunuhan belakangan ini, semakin menariklah kejahatan pembunuhan ini untuk kembali dibicarakan dari segi yuridis. Kejahatan atau tindak pidana jelas tidak hanya merugikan negara, tetapi juga meresahkan masyarakat. Semakin meningkatnya tindak pidana juga para penegak hukum harus bekerja keras tanpa ada pengecualiannya, baik polisi, jaksa, maupun para hakim di dalam tulisan ini penulis menitikberatkan pada hakim sebagai salah satu penegak hukum, dengan harapan supaya kasus-kasus seperti ini tidak berkelanjutan dan memakan korban yang lebih banyak, maka menjadi salah satu tugas dari para penegak hukumlah untuk kemudian menanggulanginya melalui hukum positif, yang dalam hal ini menunjukkan pada pemidanaan yang tegas dari penegak hukum, khususnya hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana yang mengakibatkan hilangnya nyawa si korban. Di dalam mengambil keputusan seorang hakim tentunya harus menggunakan dasar pertimbangan agar putusan yang dihasilkan dapat mencerminkan rasa keadilan kepastian hukum, serta dapat menghindari atau setidaknya mengurangi dampak buruk terhadap hukum itu sendiri. apa saja yang menjadi pertimbangannya, mengingat tugas dan kewajiban hakim adalah menegakkan hukum dan kebenaran di negara Indonesia, sehingga hakim dapat menjatuhkan hukum, seadil-adilnya bagi para pelaku tindak pidana dengan bijaksana dan bertanggungjawab.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana di Pengadilan Negeri Surakarta dan mengambil judul : TINJAUAN YURIDIS TENTANG TINDAK PIDANA PERAMPOKAN DISERTAI PEMBUNUHAN (Studi Putusan Hakim Pengadilan Negeri Surakarta NO. 99/1990/PID B/PN SKA dan Putusan NO. 98/1990/PID B/PN Surakarta) B. Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam suatu penelitian digunakan untuk memperjelas agar penelitian dapat dibahas lebih terarah dan sesuai dengan sasaran yang diharapkan. Rumusan masalah merupakan acuan dalam penelitian agar hasilnya yang diharapkan sesuai pokok permasalahan yang sedang dibahas. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana Pengaturan terhadap masalah perampokan disertai pembunuhan dalam KUHP? 2. Apakah dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Surakarta dalam menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tindak pidana perampokan disertai pembunuhan? 3. Kendala-kendala apa yang dialami hakim dalam mengadili perkara tindak pidana perampokan disertai pembunuhan? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan dapat memberikan suatu manfaat dan untuk menemukan intisari hukum dari gejala hukum yang terkandung dalam objek yang diteliti melalui suatu kegiatan ilmiah. Tujuan
merupakan target yang ingin dicapai sebagai hasil dari pemecahan permasalahan yang dihadapi. Adapun tujuan dari penulisan penelitian ini adalah : 1. Tujuan Objektif Tujuan objektif penelitian yang direncanakan ini ialah : a. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana terhadap tindak pidana perampokan disertai pembunuhan b. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dialami hakim dalam mengadili perkara tindak pidana perampokan disertai pembunuhan 2. Tujuan Subjektif Tujuan subjektif penelitian yang direncanakan ini ialah : a. Untuk memperoleh pengetahuan yang lengkap dan jelas dalam menyusun penulisan hukum, sebagai syarat dalam mencapai gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Memberikan gambaran dan sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum, khususnya hukum pidana. c. Untuk melatih kemampuan dan keterampilan penulis dalam penulisan ilmiah di bidang ilmu hukum. D. Manfaat Penelitian Setiap penulisan penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat dan kegunaan. Berdasarkan hal tersebut di atas, manfaat yang hendak dicapai penulis adalah sebagai berikut : 1. Manfaat teoritis Manfaat teoritis penelitian ini adalah :
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengetahuan serta pemikiran yang bermanfaat terhadap perkembangan ilmu hukum pada umumnya. b. Hasil penelitianini diharapkan mampu memberikan masukan bagi penelitian-penelitian sejenis untuk tahap berikutnya. 2. Manfaat Praktis Manfaat praktis penelitian ini adalah : a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti b. Untuk mengembangkan daya pikir dan analisis yang akan membentuk pola pikir dinamis, sekaligus untuk menerapkan ilmu yang selama ini diperoleh dalam teori dan praktek. E. Metode Penelitian Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi.Hal ini di sebabkan,oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis,metodologis dan konsisten.Melalui proses penelitian tersebut di adakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah di kumpulkan dan di olah (Soerjono Soekanto,1990 : 1). Penelitian pada dasarnya merupakan suatu upaya pencarian dan bukan sekedar mengamati dengan teliti terhadap suatu obyek yang mudah terpegang di tangan.Penelitian merupakan terjemahan dari bahasa inggris yaitu research,yang berasal dari kata re (kembali)dan search (mencari).Dengan demikian artinya ’’mencari kembali’’ (Bambang Sunggono,1997:27). Di dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang akan digunakan oleh penulis adalah normatif. Penelitian normatif menggunakan sumber data sekunder sebagai sumber data yang utama. 2. Lokasi Penelitian Lokasi yang digunakan oleh penulis dalam mencari data adalah di Pengadilan Negeri Surakarta. 3. Jenis Data Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari study kepustakaan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti, data tersebut berupa dokumen-dokumen resmi dalam hal ini diambil dari putusan perkara pidana di Pengadilan Negeri Surakarta dan Peraturan perundang-undangan yang terkait.
4. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder, terdiri dari : a. Bahan hukum primer yang berupa : 1) KUHP 2) KUHAP 3) Undang-undang no. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman b. Bahan hukum sekunder berupa Putusan hakim No. 99/pid B/1990 PN.Ska dan putusan no. 98/pid B/1990/PN Ska
5. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah teknik pengumpulan data dengan mempelajari, membaca dan
mencatat
buku,
dokumen-dokumen,
literatur-literatur,
peraturan
perundang-undangan dan lain sebagainya yang berhubungan dengan obyek penelitian. Penulis juga menggunakan penelitian lapangan yang berupa interview atau wawancara yang artinya tehnik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara tanya jawab langsung dengan narasumber yang diperlukan. Dengan demikian narasumber yang akan diwawancara dalam penelitian ini adalah Hakim Pengadilan Negeri Surakarta, terutama yang pernah mengadili kasus perampokan disertai pembunuhan. 6. Teknik Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah teknik analisis (contentanalysis). Menurut Webber analisis adalah metodologi penelitian yang memanfaatkan perangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari buku,dokumen,wawancara dan pendapat hakim. F. Sistematika Skripsi Agar penelitian ini dapat tersusun secara teratur dan berurutan sesuai apa yang hendak dimaksud dengan judul skripsi, maka dalam sub bab ini penulis akan membuat sistematika sebagai berikut : BAB I
PENDAHULUAN Dalam bab pendahuluan penulis akan mengemukakan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, sistematika.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab kedua akan berisi dua sub bab, yaitu kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori meliputi : A. Tujuan Umum Tentang Pidana 1. Pengertian Pidana 2. Jenis-Jenis Pidana 3. Sifat Hukum Pidana 4. Tujuan Hukum Pidana B. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana 2. Unsur-Unsur Tindak Pidana 3. Jenis-Jenis Tindak Pidana C. Tinjauan Umum Tentang Perampokan 1. Pengertian Perampokan D. Tinjauan Umum Tentang Pembunuhan 1. Pengertian Pembunuhan 2. Jenis-jenis tindak pidana pembunuhan E. Tinjauan Umum Tentang Putusan 1. Pengertian putusan hakim 2. Macam-macam putusan hakim a. Putusan Bebas b. Putusan Pelepasan Dari Segala Tuntutan Hukum c. Putusan Pemidanaan d. putusan Tidak Berwenang Mengadili e. Putusan Yang Menyatakan Dakwaan Tidak Dapat Diterima f. Putusan Yang Menyatakan Batal Demi Hukum
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab tiga akan berisi tentang pokok-pokok permasalahan yang ingin dikemukakan berdasarkan rumusan masalah.
BAB IV
PENUTUP Bab empat ini merupakan bagian akhir dari penelitian yang akan berisi kesimpulan-kesimpulan yang didapat dan diambil dari penelitian serta berisi saran-saran tindak lanjut dari kesimpulan-kesimpulan yang telah didapat.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Kerangka Teori a. Tinjauan Umum Tentang Pidana 1) Pengertian Pidana Pada dasarnya pidana adalah sama dengan penderitaan. Perbedaannya hanya terletak, penderitaan pada tindakan lebih kecil atau ringan dari pada penderitaan yang dijatuhi oleh pidana. Pidana berasal dari kata straf (Belanda) yang adakalanya disebut sebagai hukuman. Mencantumkan pidana pada setiap larangan dalam hukum pidana, disamping bertujuan untuk kepastian hukum dan dalam rangka membatasi kekuasaan negara, juga bertujuan untuk mencegah bagi orang yang berniat untuk melanggar hukum pidana. Pidana didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar aturan hukum pidana (Adami Chazawi,2002:24). 2)
Jenis-jenis Pidana KUHP sebagai induk pidana telah merinci jenis-jenis pidana, sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 10 KUHP, dimana dibedakan adanya pidana pokok dan pidana tambahan.
a) Pidana pokok terdiri dari: (1) Pidana Mati Berdasarkan pasal 69 KUHP maupun berdasarkan hak yang tertinggi bagi manusia, pidana mati adalah pidana yang terberat, yang pelaksanaanya berupa penyelenggaraan terhadap hak hidup manusia, yang sesungguhnya hak itu hanya mutlak milik Tuhan. Kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati hanyalah kejahatan-kejahatan yang dianggap sangat berat saja, seperti: (a) Kejahatan-kejahatan yang mengancam keamanan negara (pasal 104,111 ayat (2), 124 ayat 3 jo 129) (b) Kejahatan-kejahatan pembunuhan terhadap orang-orang tertentu dan atau dilakukan dengan faktor-faktor pemberat, misalnya (pasal 140 (3), 340) (c) Kejahatan terhadap harta benda yang disertai unsur/faktor yang sangat memberatkan (pasal 365 ayat (4), 368 ayat (2)) (d) Kejahatan-kejahatan pembajakan laut, sungai dan pantai. Tindak pidana mati tidak dengan mudah dijatuhkan, menggunakan upaya pidana mati selalu diancamkan juga alternatifnya, yaitu pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara setinggi-tingginya 20 tahun. (2) Pidana penjara Pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan. Batas waktu. pidana penjara minimal 1 hari sampai pidana penjara seumur hidup. Namun pada umumnya pidana penjara maksimum adalah lima belas tahun.
Seseorang yang dipidana penjara akan kehilangan hakhak tertentu: (a) hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilu (b) hak untuk memangku jabatan politik (c) hak mendapatkan ijin tertentu (d) hak untuk bekerja pada perusahaan-perusahaan (e) hak untuk meugadakan asuransi hidup (f) hak untuk tetap dalam ikatan perkawinan (g) hak untuk kawin (h) beberapa hak sipil lainnya (3) Pidana kurungan Pidana kurungan relatif sama dengan pidana penjara namun pada pidana kurungan batas waktu minimal satu hari dan maksimal satu tahun. Pidana kurungan diancamkan pada tindak pidana yang dianggap ringan seperti tindak pidana penjara adalah pelaksanaan pidana kurungan lebih ringan dari pada pelaksanaan pidana penjara. (4) Pidana denda Pidana denda banyak diancamkan pada banyak pelanggaran baik sebagai alternatif dari pidana kurungan maupun berdiri sendiri. Begitu juga bagi kejahatan-kejahatan ringan maupun culpa, pidana denda sering dijadikan alternatif dari pidana kurungan. (5) Pidana tutupan Pidana tutupan ini ditambahkan kedalam Pasal 10 berdasarkan UU No.20 Tahun 1946, yang maksudnya
sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan bahwa, dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan pidana penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana tutupan. Tempat dakun menjalani pidana tutupan dan segaja sesuatu yang perlu untuk menjalani UU No.20 Tahun 1946 diatur lebih lanjut dalam PP tahun 1948, yang dikenal dengan PP rumah tutupan. b) Pidana tambahan terdiri dari: Ada 3 jenis pidana tambahan: (1) Pidana pencabutan hak-hak tertentu (2) Pidana perampasan barang-barang tertentu (3) Pidana pengumuman keputusan hakim 3) Sifat Hukum Pidana Ditinjau dari sifatnya, hukum pidana merupakan hukum publik yaitu mengatur hubungan antara individu dengan suatu masyarakat hukum umum, yakni negara atau daerah-daerah di dalam negara. sifatnya sebagai hukum publik nampak jelas dari kenyataannya (P.A F Lamintang,1990:13-14). a. Bahwa sifatnya yang dapat dihukum dari seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana itu tetap ada, walaupun tindakannya itu telah mendapat persetujuan terlebih dahuku dari korbannya.
b. Bahwa penuntutan menurut hukum pidana itu tidak digantungkan pada keinginan dari orang yang telah dirugikan oleh suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh orang lain. Sifat hukum pidana sebagai hukum publik tidak serta merta melekat begitu saja. Dahulu, hukum pidana lebih bersifat privat (sipil), karena apabila seseorang melakukan suatu kejahatan terhadap orang lain, maka orang atau keluarga ataupun suku bangsa orang yang menjadi korban ini diperkenankan membalas dendam kepada orang yang telah merugikannya itu. Prinsip yang dipakai adalah “darah dibalas dengan darah” sehingga tidak dapat dielakkan bahwa pada saat itu banyak terjadi pembunuhan besar-besaran di antara suku bangsa satu dengan yang lain. Belum adanya organisasi kenegaraan seperti yang dikenal sekarang, adalah penyebab hal-hal tersebut sering terjadi. Lambat laun oleh karena diketahui bahwa hal tersebut sangat merugikan suku-suku bangsa itu sendiri, maka seiring dengan perkembangan terbentuknya organisasi masyarakat berupa negara, kepentingan-kepentingan yang dianggap sebagai kepentingan bersama harus pula diatur oleh negara sehingga apabila terjadi pelanggaran terhadap kepentingan perorangan yang merugikan kepentingan individu itu sendiri, maka pelanggaran tersebut juga merupakan pelanggaran yang merugikan kepentingan masyarakat, dan hanya negara lah yang diberi kekuasaan untuk menuntut dan menjatuhkan hukuman kepada orang-orang yang telah berbuat pelanggaranpelanggaran itu. Demikianlah maka hukum pidana yang tadinya bersifat privat (sipil) sekarang menjadi bersifat umum dan menjadi hukum publik (Winarno B,2008;12-13).
4) Tujuan Hukum Pidana Pada dasarnya semua hukum bertujuan untuk menciptakan suatu keadaan dalam pergaulan hidup masyarakat, baik dalam lingkungan yang kecil maupun dalam lingkungan yang lebih besar, agar di dalamnya terdapat keserasian, suatu ketertiban, suatu kepastian hukum dan lain sebagainya. Pun dengan hukum pidana yang merupakan salah satu bagian dari hukum pidana pada umumnya, yaitu bahwa semua hukum tersebut memuat sejumlah ketentuan-ketentuan. Ketentuan-ketentuan tersebut dibuat untuk menjamin agar normanorma yang diakui di dalam hukum itu benar-benar akan ditaati orang. Akan tetapi di dalam satu hal hukum pidana itu menunjukkan adanya suatu perbedaan dari hukum-hukum yang lain pada umumnya, yaitu bahwa di dalamnya orang mengenal adanya suatu kesenjangan untuk memberikan suatu akibat hukum berupa suatu bijzondere leed atau suatu penderitaan yang bersifat khusus dalam bentuk suatu hukuman kepada mereka yang telah melakukan suatu pelanggaran terhadap keharusan-keharusan atau larangan-larangan yang telah ditemukan di dalamnya. (P.A.F. Lamintang,1990:15). Adanya penderitaan yang bersifat khusus dalam bentuk hukuman itu sudah pasti ada did alam bagian-bagian yang lain dari hukum pada umumnya, yaitu agar norma-norma yang terdapat di dalamnya benar-benar akan ditaati. Namun, penderitaan yang bersifat khusus di dalam hukum pidana sifatnya sangat berbeda hukum-hukum lain tersebut, karena di dalam hukum pidana orang mengenal adanya perampasan kemerdekaan atau pembatasan kemerdekaan yang telah melanggar norma-norma yang telah diatur dalam hukum pidana.
Bahkan, orang juga mengenal perampasan nyawa dalam bentuk hukuman mati, yang secara nyata memang tidak dikenal dalam hukum-hukum lain pada umumnya. Menurut ahli-ahli filsafat Jerman pada akhir abad ke-18, bahwa tujuan dibentuknya hukuman adalah mutlak untuk menghukum atau membalas perbuatan jahat seseorang. Orang-orang yang jahat harus diberi hukuman dan hukuman yang adil adalah hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Demikian tujuan hukum pidana adalah pembalasan. Berbeda dengan apa yang dikemukakan Franz Von Lizt, Van Hamel, dan Simons, bahwa tujuan hukum pidana atau hukuman adalah bukan sebagai pembalasan, tetapi lebih melihat pada tujuan hukuman itu, yaitu : a. Menghindarkan masyarakat dari perbuatan yang jahat b. Berkaitan dengan pelaksanaan hukuman yang dilakukan ditempat umum, dimaksudkan agar masyarakat umum mengetaahui proses penjatuhan hukuman terhadap suatu perbuatan jahat, sehingga jika masyarakat mengetahui kejamnya hukuman itu diharapkan perbuatan jahat itu tidak akan terulang lagi atau dilakukan oleh orang lain lagi (menakut-nakuti serta memperbaiki) c. Membinasakan orang yang melakukan kejahatan dan pergaulan masyarakat d. Mencapai ketertiban hukum Kemudian, seiring perkembangan pola pikir masyarakat timbul pendapat bahwa tujuan hukuman sebagai pembalasan sama sekali tidak memberi kepuasan hukum bagi kepentingan masyarakat. Begitu
pula apabila tujuan hukuman itu hanya untuk menakut-nakuti umum dan membinasakan penjahat. Juga tidak memberikan kepuasan hukum bagi masyarakat, sehingga kedua tujuan hukuman tersebut harus berjalan beriringan, yaitu : a. Mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapat dipertahankannya tata tertib masyarakat b. Mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana. b. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana. 1) Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada perbuatan manusia. Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda strafbaarfeit yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam strafwetboek atau Kitab UndangUndang Hukum Pidana yang sekarang berlaku di Indonesia. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS belanda tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud strafbaarfeit itu. Karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan terjemahan dan pengertian yang berbeda-beda mengenai istilah tersebut seperti tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang lain (Adami Chazawi,2002:67)
Berikut ini pendapat beberapa ahli dalam menterjemahkan istilah “strafbaarfeit” ke dalam bahasa Indonesia. a) Moeljatno Menterjemahkan "strafbaarfeit" ke dalam bahasa Indonesia dengan "Perbuatan Pidana" Perbuatan pidana diartikan sebagai perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan itu. (Moeljatno,193:54) b) P.A.F. Lamintang menterjemahkan istilah "strafbaarfeit" dengan "tindak pidana". Selanjutnya dikatakan tindak pidana sebagai suatu tindakan melanggar hak dengan sengaja telah dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya
yang
dinyatakan sebagai dapat dilakukan (P.A.F. Lamintang,1981:127) c) Wirjono Prodjodikoro menterjemahkan istilah “strafbaarfeit” ke dalam bahasa Indonesia menjadi istilah "tindak pidana". Menurut pendapatnya "tindak pidana" adalah suatu perbuatan yang pelakunya
dapat
dikenakan
pidana
(Wirjono
Prodjodikoro,1986:32). Pendapat para ahli hukum dalam menterjemahkan istilah “strafbaarfeit” ke dalam bahasa Indonesia, apabila dikaitkan dengan teori dalam ilmu hukum pidana yakni teori monistis dan teori dualistis maka dapat dikatakan sebagai berikut: Moeljatno dikelompokkan ke dalam aliran dualistis. Dikatakan demikian oleh karena aliran ini membedakan antara "perbuatan", dan "orang yang melakukan perbuatan pidana", atau dikatakan pemisahan
antara "criminal act dan "criminal responsibility". Menurut aliran dualistis seseorang yang telah melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana belum tentu terhadapnya dikenakan pidana. Oleh karena masih harus dilihat dan ada tidaknya kemampuan bertanggung jawab dari pelaku. P.A.F. Lamintang dan Wirjono Prodjodikoro, dapat dikatakan sebagai aliran "monastis" yaitu aliran yang berpandangan apabila unsur-unsur tindak pidana telah dipenuhi maka terhadapnya dapat dipidana. 2) Unsur-unsur Tindak Pidana Unsur tindak pidana adalah unsur-unsur yang ada pada suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Jika unsurunsur tersebut terpenuhi, maka dapat dikenakan pemindanaan pada pelaku tindan pidana tersebut, tetapi jika salah satu unsur tindak pidana tidak terpenuhi, maka pelaku tindak pidana tersebut tidak dapat dihukum. Dalam setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Pidana itu pada umumnya dapat kita jabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yaitu unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif. Yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif itu adalah unsurunsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
a) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa); b) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP; c) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejanatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain. d) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachie road seperti misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP; Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP. Golongan subyektif antara lain : a) Mampu bertanggungjawab b) Kesalahan : sengaja atau alpa c) Tidak ada alasan pemaaf Yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif itu dalam unsurunsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan dan si pelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah: a) Sifat melanggar hukum atau wederechtlijkheid; b) Kualitas dari si pelaku, misalnya "keadaan sebagai seorang pegawai negeri" di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau "keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas" di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP: c) Kausalitas, yaitu hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat
Yang termasuk golongan obyectif antara lain: a) Melawan Hukum b) Tidak ada alasan pembenar Konsekuensinya jika yang tidak terbukti unsur obyektif, maka amar putusannya adalah bebas. Namun jika yang tidak terbukti adalah unsur subyektif, maka amar putusannya dilepas dan tuntutan. Jika semua unsur terbukti, maka pelaku dipidana. Maka dari itu apabila yang terbukti adalah unsur obyektif yaitu unsur melawan hukum namun pelaku tidak mampu dipertanggungjawabkan, maka ia harus dilepaskan dari tuntutan. Dengan kata lain, perbuatannya itu tetap melawan hukum tetapi pelaku menderita penyakit jiwa seperti yang terdapat dalam Pasal 44 KUHP, karena itu ia tidak dapat dipertanggungjawabkan (Martiman Prodjohamidjojo,1997:15-17).
3) Jenis-jenis tindak pidana Tindak pidana dapat digolongkan antara lain sebagai berikut : a) Tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran Untuk membedakan antara kejahatan dengan pelanggaran, dipakai ukuran kualitatif dan kuantitatif. Secara kaulitatif, bahwa kejahatan (recht deliet) dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan dan pelanggaran (wets deliet) adalah perbuatan yang merupakan tindak pidana karena
dalam undang-undang
menyebutkan
sebagai
delik,
sedangkan secara kualitatif, bahwa kejahatan dipidana lebih berat daripada pelanggaran. b) Tindak pidana formil dan tindak pidana materiil Tindak pidana formil merupakan tindak pidana yang perumusannya menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang bukan pada akibat dari perbuatan itu, contohnya penghasutan (pasal 160 KUHP) dan penghinaan (pasal 315 KUHP), tindak pidana
materiil
yaitu
tindak
pidana
yang
perumusannya
menitikberatkan pada akibat dari perbuatan itu, contohnya pembunuhan (pasal 338 KUHP). c) Tindak pidana dengan kesengajaan dan tindak pidana dengan kealpaan. Tindak pidana dengan unsur kesengajaan (deliet dolus) merupakan tindak pidana yang terjadi karena pelaku memang menghendaki untuk melakukan tindak pidana tersebut, termasuk mengetahui timbulnya akibat dari perbuatan tersebut, misalnya pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP). Sedangkan tindak pidana dengan unsur kealpaan (deliet culpa) merupakan tindak pidana yang terjadi sementara sebenarnya pelaku tidak berkeinginan untuk melakukan perbuatan itu, demikian pula dengan akibat yang ditimbulkannya atau tidak adanya penduga-dugaan yang diharuskan oleh hukum dan penghati-hatian oleh hukum, misalnya : karena kealpaannya menyebabkan matinya orang (pasal 359 KUHP)
d) Tindak pidana aduan dan tindak pidana biasa Tindak pidana aduan yaitu tindak pidana yang hanya dapat dituntut, diproses dan diadili berdasarkan pengaduan dari korban, anggota keluarga, dan atau orang yang dirugikan. Tindak pidana biasa yaitu tindak pidana yang dapat dituntut, diproses dan diadili walaupun tidak ada pengaduan. e) Tindak pidana berlangsung terus dan tindak pidana tidak berlangsung terus Tindak pidana berlangsung terus dan merupakan tindak pidana yang terjadinya berlangsung terus menerus, misalnya : merampas kemerdekaan seseorang (pasal 333 KUHP). Tindak pidana tidak berlangsung terus menerus atau tindak pidana yang berjalan habis, yaitu tindak pidana yang selesai pada suatu saat, misalnya : pembunuhan (pasal 338 KUHP).
f) Tindak pidana sederhana dan tindak pidana dengan pemberatan Tindak pidana sederhana adalah tindak pidana dalam bentuk pokok tetapi tidak ada keadaan yang memberatkan, misalnya : penganiayaan (pasal 351 KUHP). Tindak pidana dengan pemberatan merupakan tindak pidana dalam bentuk pokok tetapi ada keadaan yang memberatkan, misalnya : pencurian pada waktu malam (pasal 363 KUHP)
g) Tindak pidana tunggal dan tindak pidana berganda Tindak pidana tunggal yaitu tindak pidana yang terjadi cukup dengan satu kali perbuatan, misalnya : pembunuhan (pasal 338 KUHP). Tindak pidana berganda yaitu tindak pidana yang baru dianggap terjadi bila dilakukan berkali-kali, misalnya : penadahan (pasal 481 KUHP) h) Tindak pidana commisionis, tindak pidana ommisionis dan tindak pidana commisionis per ommisionis commisa Tindak pidana commisionis merupakan tindak pidana yang berupa pelanggaran terhadap larangan yang diadakan undangundang, misalnya penipuan (pasal 378 KUHP). Tindak pidana ommisionis merupakan pelanggaran terhadap keharusan yang diadakan oleh undang-undang, misalnya : tidak menolong orang dalam keadaan bahaya (pasal 351 KUHP). Kemudian yang dimaksud dengan tindak pidana commisionis per ommisionis commisa yaitu pelanggaran terhadap larangan yang diadakan undang-undang tetapi dilakukan dengan jalan tidak berbuat atau tidak melakukan sesuatu yang merupakan kewajibannya, misalnya : seorang ibu yang membunuh bayinya dengan tidak memberi susu (pasal 338 dan pasal 340 KUHP) i) Tindak pidana umum dan tindak pidana khusus Tindak pidana umum merupakan tindak pidana yang perumusannya yang diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana. Tindak pidana khusus merupakan tindak pidana yang
diatur secara khusus dalam undang-undang lain, misalnya : tindak pidana korupsi. c. Tinjauan Umum tentang Perampokan Di antara kejahatan yang paling banyak terjadi di Indonesia adalah pencurian, yang dinamakan pencurian menurut pasal 362 KUHP adalah ’’Barang siapa mengambil barang sesuatu,yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain,dengan maksud untuk di miliki secara melawan hukum,di ancam karena pencurian,dengan pidana penjara paling lama lima tahun,atau
pidana
denda
paling
banyak
rupiah’’.(KUHP;1991:221).
sembilan
ratus
Unsur-unsur yang dapat
di tarik dari pasal 362 adalah sebagai berikut : 1) Perbuatan “mengambil” 2) Yang diambil adalah suatu “barang” 3) Barang itu harus “seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain” 4) Pengambilan itu harus dilakukan “dengan maksud hendak memiliki barang itu dengan melawan hukum” Pencurian merupakan kejahatan terhadap harta benda yang diatur dalam buku II KUHP dalam bab XXI, kejahatan tersebut merupakan tindak pidana formil yang berarti perbuatannya yang dilarang dan diancam dengan hukuman dan undang-undang. Menurut undang-undang pencurian itu di bedakan atas lima macam pencurian yaitu; 1. Pencurian Biasa (pasal 362 KUHP). 2. Pencurian dengan pemberatan (pasal 363 KUHP).
3. Pencurian dengan kekerasan (pasal 365 KUHP). 4. Pencurian ringan (pasal 364 KUHP). 5. Pencurian dalam kalangan keluarga (pasal 367 KUHP). Dari macam-macam pencurian di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa sesuai dengan rumusan pencurian ini termasuk pencurian dengan kekerasan pasal 365 KUHP.Pencurian dengan kekerasan adalah pencurian yang didahului, disertai atau diiringi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang-orang dengan tujuan untuk mempersipakan atau mempermudah pencurian itu, atau pada keadaan tertangkap tangan supaya mempunyai kesempatan bagi diri sendiri atau orang lain yang turut serta melakukan kejahatan itu untuk melarikan diri atau supaya barang yang dicuri tetap dalam kekuasaannya. d. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pembunuhan 1. Pengertian tentang tindak pidana pembunuhan Tindak pidana pembunuhan oleh pasal 338 KUHP dirumuskan sebagai barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, diancam
karena
pembunuhan
dengan
penjara
paling
lama
15
tahun.(KUHP;1991:207). Hal ini merupakan suatu rumusan secara materiil yaitu “menyebabkan sesuatu tertentu” tanpa menyebutkan ujud dari tindak pidana. Unsur-unsur yang dapat ditarik dari pasal 338 KUHP adalah : a) Perbuatan itu harus disengaja, dengan kesengajaan itu harus timbul seketika itu juga, ditujukan maksud supaya orang itu mati
b) Melenyapkan nyawa orang lain itu harus merupakan yang “positif” walaupun dengan perbuatan yang kecil sekalipun. c) Perbuatan itu harus menyebabkan matinya orang, disini harus ada hubungan kausal di antara perbuatan yang dilakukan itu dengan kematian orang tersebut. Dari unsur-unsur pasal 338 KUHP di atas dapat disimpulkan sebagai berikut : a) Dengan sengaja Dalam KUHP tidak dijelaskan apa arti kesengajaan, tetapi didalam MvT (memorie van Toelieting) disebutkan “pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barang siapa yang melakukan perbuatan yang dilarang yang dikehendaki dan diketahui”. Terwujudnya perbuatan seperti yang dirumuskan dalam undangundang berpangkal tekad adalah azaz dari perbuatan kesengajaan. Teori berpangkal tekad karena akibat itu hanya dapat dibayangkan dan dicita-citakan saja oleh orang yang melakukan suatu perbuatan. Kesengajaan adalah kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsur-unsur yang diperlukan menurut perumusan undang-undang. Dalam ilmu hukum pidana dibedakan dalam 3 corak kesengajaan, yaitu : (a) Kesengajaan sebagai tujuan Kesengajaan
ada,
apabila
si
pelaku
benar-benar
menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukum pidana. (b) Kesengajaan sebagai kepastian Kesengajaan semacam ini ada, apabila si pelaku tahu benar bahwa suatu akibat pasti ada dari perbuatan itu.
(c) Kesengajaan sebagai kemungkinan Kesengajaan ada, apabila dalam pemikiran si pelaku hanya suatu kemungkinan belaka akibat yang akan terjadi dari suatu perbuatan. 2) Menghilangkan nyawa orang lain Unsur-unsur tindak pidana yang menyebabkan hilangnya nyawa korban adalah sebagai berikut : a) Adanya suatu perbuatan yang menyebabkan matinya orang lain b) Adanya kesengajaan yang tertuju pada terlaksananya kematian orang lain c) Kesengajaan merampas nyawa dilakukan segera setelah timbulnya niat untuk membunuh d) Orang lain merupakan unsur yang menunjukkan bahwa merampas nyawa orang lain merupakan perbuatan positif sekalipun dengan perbuatan kecil. Delik ini mengandung unsur dan kualifikasi yaitu pembunuhan dan sanksi pidana. Delik ini juga dirumuskan secara materiil artinya menitik beratkan pada akibat hilangnya nyawa, tentang bagaimana cara menghilangkan nyawa itu. 2. Jenis-jenis tindak pidana pembunuhan Kejahatan terhadap nyawa (misdrijven tegen bet leveri) adalah berupa penyerangan terhadap nyawa orang lain. Kepentingan hukum
yang dilindungi dan yang merupakan obyek kejahatan ini adalah nyawa (leven) manusia. Pembunuhan ini termasuk tindak pidana materiil (materiale delict), artinya untuk kesempurnaan tindak pidana ini tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan itu, akan tetapi menjadi syarat juga adanya akibat dari perbuatan itu. Kejahatan terhadap nyawa dalam KUHP dibedakan atas dua dasar, yaitu atas dasar unsur kesalahannya dan atas dasar obyeknya (nyawa). Kejahatan terhadap nyawa atas dasar kesalahannya, dibedakan menjadi dua, yaitu: a) Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (dolus misdrijven), adalah kejahatan yang dimuat dalam Bab XIX KUHP, Pasal 338 s/d Pasal 350. b) Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan tidak dengan sengaja (culpose misdrijven), adalah kejahatan yang dimuat dalam Bab XXI (khusus Pasal 359). Berdasar atas obyeknya (kepentingan hukum yang dilindungi), maka kejahatan terhadap nyawa dengan sengaja dibedakan menjadi tiga macam, yaitu : a) Kejahatan terhadap nyawa orang pada umumnya, dimuat dalam Pasal 338,339, 340, 344, dan 345 KUHP. b) Kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan, dimuat dalam Pasal 341, 342, dan 343 KUHP.
c) Kejahatan terhadap nyawa bayi yang masih ada dalam kandungan ibu (janin), dimuat dalam Pasal 346, 347,348, dan 349 KUHP. (Adami Chazawi, 2001: 55). Tindak pidana pembunuhan yang merupakan kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja atas dasar obyeknya, terbagi atas beberapa jenis, yaitu:
1)
Pembunuhan Biasa dalam Bentuk Pokok/ Doodslag (Pasal 338 KUHP) Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (pembunuhan) dalam bentuk pokok, dimuat dalam Pasal 338 KUHP, yang rumusannya adalah sebagai berikut: “Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain dipidana karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Dari
rumusan
tersebut,
dapat
diketahui
unsur-unsur
pembunuhan, yaitu: a) Unsur obyektif (1)
Perbuatan : menghilangkan nyawa.
(2)
Obyeknya : nyawa orang lain.
b) Unsur subyektif : dengan sengaja Dalam perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
a) Adanya wujud perbuatan; b) Adanya suatu kematian (orang lain); c) Adanya hubungan sebab dan akibat (causal verband) antara perbuatan dan akibat kematian (orang lain). Tiga syarat yang ada dalam unsur perbuatan menghilangkan nyawa tersebut, harus dibuktikan. Walaupun antara satu dengan yang lain dapat dibedakan, akan tetapi tidak dapat dipisahkan, merupakan suatu kebulatan. Apabila tidak terdapat salah satu diantara tiga syarat, maka perbuatan menghilangkan nyawa tidak terjadi. Antara unsur subyektif sengaja dengan unsur obyektif mengenai wujud perbuatan menghilangkan nyawa, terdapat syarat yang juga harus dibuktikan, yaitu pelaksanaan perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) harus seketika itu juga atau tidak
lama
setelah
timbulnya
kehendak
(niat)
untuk
menghilangkan nyawa orang lain itu. Apabila terdapat tenggang waktu yang cukup lama sejak timbulnya kehendak untuk membunuh dengan pelaksanaannya, di mana dalam tenggang waktu yang cukup lama itu pelaku dapat memikirkan tentang berbagai hal, misalnya memikirkan apakah kehendaknya akan diwujudkan dalam pelaksanaan atau tidak, dengan cara apa kehendak
itu
akan
diwujudkan
dan
sebagainya,
maka
pembunuhan itu telah masuk ke dalam pembunuhan berencana (Pasal 340), dan bukan lagi pembunuhan biasa. Perbuatan menghilangkan nyawa orang lain itu harus merupakan perbuatan "positif walaupun dengan perbuatan yang
sekecil apapun. Unsur tingkah laku "menghilangkan nyawa" orang lain, menunjukkan bahwa kejahatan pembunuhan adalah suatu tindak pidana materiil, yaitu suatu tindak pidana yang melarang menimbulkan akibat tertentu (akibat yang dilarang atau akibat konstitutif / constitutief gevolg). Dalam tindak pidana pembunuhan harus ada hubungan diantara perbuatan yang dilakukan itu dengan kematian orang tersebut. Pada saat timbul akibat hilangnya nyawa tidaklah harus seketika atau tak lama setelah perbuatan, melainkan dapat timbul beberapa lama kemudian. Jadi kematian atau akibat itu harus disebabkan oleh perbuatan itu.
2)
Pembunuhan yang Diikuti, Disertai, atau Didahului oleh tindak Pidana Lain (Pasal 339 KUHP) Pembunuhan yang dimaksud ini adalah sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 339 KUHP, yang berbunyi: “Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh sesuatu perbuatan pidana yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua juluh tahun”.
Dari rumusan tersebut, dapat diketahui unsur-unsurnya, sebagai berikut: a) Semua unsur pembunuhan (obyektif dan subyektif) Pasal 338. b) Yang diikuti, disenai, atau didahului oleh tindak pidana lain. c) Pembunuhan itu dilakukan dengan maksud: (1) Untuk mempersiapkan tindak pidana lain yang dilakukan sesudah pembunuhan itu. Sengaja membunuh sebagai persiapan untuk perbuatan pidana lain. Pembunuhan itu diikuti oleh perbuatan pidana lain. (2) Untuk mempermudah pelaksanaan tindak pidana lain. Pembunuhan itu bersamaan atau disertai dengan perbuatan pidana lain. Sengaja membunuh untuk memudahkan perbuatan pidana lain. (3)
Dalam
hal
tertangkap
tangan
ditujukan
untuk
menghindarkan diri sendiri maupun peserta lainya dari pidana atau untuk memastikan penguasaan benda yang diperolehnya secara melawan hukum atau supaya apa yang didapat dari perbuatan itu tetap akan ada di tangannya. Kejahatan pokok yang terdapat dalam Pasal 339 KUHP adalah pembunuhan yang diperberat (gequlificeerde doodslag). Sifat yang memberatkan pidana dalam bentuk pembunuhan khusus ini terletak pada unsur b) dan c). Dalam pembunuhan yang diperberat ini terdapat dua tindak pidana sekaligus, yaitu tindak pidana pembunuhan dalam bentuk pokok (Pasal 338 KUHP) dan tindak pidana lain (selain pembunuhan). Tindak pidana lain itu tidak boleh baru percobaan,
namun harus terjadi. Adanya unsur diikuti, disertai, atau didahului oleh tindak pidana lain, menunjukkan bahwa tindak pidana lain itu harus sudah terjadi. Apabila tindak pidana lain itu baru merupakan percobaannya, sedangkan pembunuhannya telah terjadi, maka yang terjadi adalah percobaan pembunuhan. Kata
"diikuti"
Pembunuhan
itu
dimaksudkan,
diikuti
dimaksudkan
untuk
kejahatan
lain.
mempersiapkan
dilakukannya kejahatan lain. Kata "disertai" dimaksudkan, disertai kejahatan lain. Pembunuhan itu dimaksudkan untuk mempermudah terlaksananya kejahatan lain itu. Kata "didahului" dimaksudkan, didahului kejahatan lainnya atau menjamin agar pelaku kejahatan tetap dapat menguasai barang-barang yang diperoleh dari kejahatan. Dalam Pasal 339 terdapat hubungan yang erat (yang bersifat subyektif) antara pembunuhan dengan tindak pidana lain itu. Hal ini tampak dari adanya kalimat "dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya". Artinya pembunuhan itu dimaksudkan untuk mempermudah atau mempersiapkan
tindak
pidana
lain.
Unsur
maksud
itu
menghubungkan antara pembunuhan itu dengan tindak pidana lain (subyektif). Secara obyektif, apakah pembunuhan yang dilakukan
itu
benar-benar
memberi
kemudahan
dalam
melaksanakan tindak pidana lain, dan itu merupakan hal yang tidak penting. Unsur obyektif dalam Pasal 339 KUHP terdapat pada unsur/ perkataan diikuti, disertai, atau didahului, yang ditempatkan
antara unsur pembunuhan dengan tindak pidana (lain). Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan (obyektif) yang erat antara pembunuhan dengan tindak pidana lain. Dari sudut obyektif, perkataan mempersiapkan menunjukkan bahwa pembunuhan itu adalah sebagai langkah awal untuk melakukan tindak pidana lain, artinya pembunuhan itu dilakukan terlebih dahulu. Kenyataan dilakukannya pembunuhan itu sebelum melakukan tindak pidana lain ini bersifat obyektif dan harus dibuktikan. Mempersiapkan adalah dituju oleh unsur maksud, dan dalam hal ini yang harus dibuktikan adalah: a) Secara obyektif, bahwa pembunuhan itu dilakukan terlebih dahulu dari tindak pidana lain. b) Secara subyektif . maksud yang terkandung dalam batin terdakwa adalah sebagai maksud untuk mempersiapkan tindak pidana lain. Walaupun keduanya bisa dibedakan, namun tidak bisa dipisahkan. Unsur subyektif dalam Pasal 339 KUHP terdapat pada unsur/ perkataan dengan maksud. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang bersifat subyektif (hubungan alam batin pelaku) antara pembunuhan dengan tindak pidana lain tersebut. Adanya hubungan obyektif maupun hubungan subyektif antara pembunuhan dengan tindak pidana lain, dapat dilihat dari perkataan atau unsur-unsur: dikuti, disertai, atau didahului dan dengan maksud untuk mempersiapkan dan seterusnya. a) Dari unsur diikuti dan maksud mempersiapkan
Apabila pembunuhan itu diikuti (gevolgd) oleh tindak pidana lain, yang artinya pembunuhan itu dilakukan terlebih dahulu, baru kemudian tindak pidana lain, maka maksud untuk
melakukan
pembunuhan
itu
adalah
untuk
mempersiapkan tindak pidana lain itu. b) Dari unsur disertai dan maksud mempermudah Apabila pembunuhan itu disertai (vergezeld) oleh tindak pidana lain, yang artinya bahwa pelaksanaan pembunuhan dengan pelaksanaan tindak pidana lain terjadi secara berbarengan/serentak, maka maksud melakukan pembunuhan itu ditujukan pada hal mempermudah atau memperlancar pelaksanaan tindak pidana lain. Unsur/perkataan disertai, menunjukkan bahwa ada hubungan yang bersifat obyektif antara pembunuhan dengan tindak pidana lain. Membuktikan hubungan ini adalah membuktikan bahwa pelaksanaan kedua kejahatan itu secara berbarengan. Unsur
perkataan
maksud
(untuk
mempermudah),
menunjukkan adanya hubungan yang bersifat subyektif antara pembunuhan dengan tindak pidana lain. Dilakukannya pembunuhan
dimaksudkan
untuk
memudahkan
dalam
melakukan tindak pidana lain itu. Apabila pembunuhan itu benar-benar secara obyektif berperan untuk mempermudah atau memperlancar pelaksanaan tindak pidana lain itu, dalam hal ini tidaklah penting dan tidak perlu untuk dibuktikan. Sebab keadaan obyektif itu bukan merupakan syarat atau unsur, yang merupakan syarat adalah maksudnya saja yaitu maksud untuk mempermudah. c) Dari unsur didahului dan maksud melepaskan diri dan seterusnya
Apabila pembunuhan itu didahului (voorafgegaan) oleh tindak pidana lain, dalam hal ini tindak pidana lain itu dilakukan lebih dahulu daripada pembunuhan, maka maksud melakukan pembunuhan itu adalah dalam hal tertangkap tangan ditujukan: (1) untuk menghindari dirinya sendiri maupun peserta lainnya dari pidana; (2) untuk memastikan penguasaan benda yang diperolehnya dari tindak pidana lain. Adanya hubungan yang bersifat obyektif, adalah bahwa pembunuhan itu didahului oleh tindak pidana lain, artinya dilakukan setelah melakukan tindak pidana lain, dan keadaan inilah
yang
harus
dibuktikan.
Sedangkan
apa
peranan
pembunuhan itu terhadap tindak pidana lain, tidak ada, karena tindak pidana lain itu sudah selesai dilaksanakan. Di sini tidak ada hubungan secara obyektif. Hubungan subyektif terdapat dalam perkataan unsur dengan maksud untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dan seterusnya, dan unsur ini harus dibuktikan. Perkataan melepaskan diri dari pidana mempunyai arti bahwa maksud pelaku membunuh ditujukan agar ia maupun peserta lainnya tidak dapat ditangkap, diadili, dan dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana lain itu. Timbulnya maksud yang demikian tersebut harus: (1) sebelum atau setidak-tidaknya pada saat mewujudkan perbuatan menghilangkan nyawa; (2) pada saat berada dalam hal tertangkap tangan (obyektif).
Peserta lain yang dimaksud adalah orang lain yang ikut terlibat bersama (dengan dirinya) dalam hal melakukan tindak pidana lain, bukan terlibat dalam pembunuhan. Mereka hanya dipersalahkan atas perbuatan pidana yang lainnya saja. Yang dimaksud tertangkap tangan menurut Pasal 339 KUHP adalah pada saat seseorang sedang dalam melakukan tindak pidana ia diketahui oleh orang lain sebagai yang melakukan tindak pidana itu. Dalam Pasal 339 KUHP terdapat hubungan antara unsur maksud (kesalahan) dengan unsur tertangkap tangan, yaitu bahwa dalam hal pembunuhan yang didahului oleh tindak pidana lain, dan dalam melakukan tindak pidana lain itu tertangkap tangan, ia melakukan pembunuhan, maka pembunuhan itu dilakukan dengan maksud yang ditujukan untuk memastikan penguasaan benda yang diperolehnya secara melawan hukum. Maksud dari memastikan adalah agar ia tetap dapat menguasai benda yang diperoleh secara melawan hukum. Diperoleh secara melawan hukum artinya benda itu didapatnya dari melakukan tindak pidana lain itu, dalam hal ini adalah tindak pidana mengenai harta benda, misalnya pencurian, pemerasan, dan sebagainya. Tindak pidana yang ada dalam Pasal 339 KUHP ada dua, yaitu pembunuhan dan tindak pidana lain selain pembunuhan. Orang yang dipertanggungjawabkan atas pembunuhan (339) adalah hanya bagi orang yang melaksanakan pembunuhan itu atau orang yang perbuatannya mempunyai andil (misalnya pelaku peserta atau pelaku pembantu) terhadap pembunuhan ketika pembunuhan itu berlangsung. Sedangkan bagi orang lain yang
tidak ikut terlibat secara aktif atau fisik dengan pembunuhan itu, ia hanya dipertanggungjawabkan atas tindak pidana lain yang dilakukannya saja. 3) Pembunuhan Berencana (moord) Pembunuhan berencana adalah pembunuhan yang paling berat ancaman pidananya dari seluruh bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia. Pembunuhan berencana diatur dalam Pasal 340 KUHP, yang rumusannya adalah: "Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain, dipidana karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun". Dari rumusan tersebut dapat diketahui unsur-unsurnya sebagai berikut: a) Unsur subyektif (1) Dengan sengaja, yaitu kesengajaan yang harus disertai dengan suatu perencanaan terlebih dahulu; (2) Dengan rencana terlebih dahulu.
b) Unsur obyektif (1) Perbuatan menghilangkan nyawa; (2) Obyeknya: nyawa orang lain.
Pembunuhan yang terdapat dalam Pasal 340 KUHP ini adalah pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu dalam keadaan tenang untuk menghilangkan nyawa orang lain. Berencana disini meliputi bagaimana cara pelaksanaan pembunuhan, alat atau sarana yang akan digunakan, tempat atau lokasi akan dilaksanakannya pembunuhan, waktu pelaksanaannya, atau bahkan cara pelaku pembunuhan berencana untuk meghilangkan jejak, misalnya: dengan membuang alat atau sarana yang digunakan untuk melakukan kejahatan, memakai sarung tangan agar tidak meninggalkan sidik jari pelaku ataupun dengan membuang mayat korban di tempat yang dirasakan aman. Para
perancang
pembunuhan
KUHP
berencana
(WvS)
adalah
menganggap
kejahatan
yang
bahwa sangat
menyinggung asas-asas kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam pembunuhan berencana ini diperlukan suatu akal licik atau niat yang sangat jahat, alat atau sarana yang memadai, waktu yang tepat serta motif yang kuat untuk menggerakkan seseorang untuk melakukan pembunuhan yang keji. Oleh karena itu, ancaman pidana pada pembunuhan berencana, lebih berat dibandingkan dengan pembunuhan dalam Pasal 338 maupun 339. Hal ini diletakkan pada adanya unsur dengan rencana terlebih dahulu. Pembunuhan berencana diancam dengan pidana mati untuk melindungi ketemtaman dan kesejahteraan umum. Menurut M. Sudrajat Bassar, unsur-unsur yang terdapat dalam kejahatan pembunuhan berencana ini adalah sebagai berikut:
a) Adanya kesengajaan (dolus premidilalus), yaitu kesengajaan yang harus disertai dengan suatu perencanaan terlebih dahulu; b) Yang bersalah di dalam keadaan tenang memikirkan untuk melakukan pembunuhan itu dan kemudian melakukan maksudnya dan tidak menjadi soal berapa lama waktunya; c) Di antara saat timbulnya pikiran untuk membunuh dan saat melakukan pembunuhan itu, ada waktu ketenangan pikiran. Pembunuhan berencana berbeda dengan pembunuhan biasa (Pasal 338). Dalam pembunuhan biasa, pelaku mempunyai pikiran untuk membunuh itu timbul dalam keadaan marah, dan keharuan itu berlangsung terus sampai ia melaksanakan pembunuhan itu, maka dalam hal ini tidak ada perencanaan yang dipikirkan dalam hati yang tenang (M. Sudrajat Bassar, 1986: 124): Unsur dengan rencana terlebih dahulu pada dasarnya mengandung tiga syarat/unsur, yaitu: a) Memutuskan kehendak dalam suasana tenang; b) Tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak; c) Pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana tenang. Tiga unsur tersebut bersifat kumulatif, saling berhubungan, dan merupakan suatu kebulatan yang tidak terpisahkan. Apabila sudah terpisah/terputus, maka sudah tidak ada lagi dengan rencana terlebih dahulu. Untuk dapat diterimanya suatu rencana terlebih dahulu, maka perlu adanya suatu tenggang waktu pendek atau panjang dalam mana dilakukan pertimbangan dan pemikiran
yang tenang. Pelaku harus dapat memperhitungkan makna dan akibat-akibat perbuatannya, dalam suatu suasana kejiwaan yang memungkinkan untuk berfikir. Memutuskan kehendak dalam suasana tenang adalah pada saat memutuskan kehendak untuk membunuh itu dilakukan dalam suasana (batin) yang tenang. Suasana (batin) yang tenang adalah suasana tidak tergesa-gesa atau tiba-tiba, tidak dalam keadaan terpaksa dan emosi yang tinggi. Tanda-tandanya adalah sebelum memutuskan kehendak untuk membunuh itu, telah dipikir dan dipertimbangkan, telah dikaji untung dan ruginya. Pemikiran dan pertimbangan seperti ini hanya dapat dilakukan apabila ada dalam suasana tenang sebagaimana waktu ia memikirkan dan mempertimbangkan dengan mendalam itulah ia akhiraya memutuskan kehendak untuk berbuat. Sedangkan perbuatannya tidak diwujudkan ketika itu. Pembunuhan berencana adalah pembunuhan yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu secara tenang. Unsur perancangan ini tidak perlu ada tenggang waktu lama antara waktu
merancangkan
dan
waktu
melakukan
perbuatan
pembunuhan. Sebaliknya, walaupun ada tenggang waktu yang tidak begitu pendek, belum tentu dapat dikatakan ada rancangan lebih dahulu secara tenang. Semua tergantung dari keadaan konkret dan setiap peristiwa. Antara
timbulnya
niat
untuk
membunuh
dengan
pelaksanaannya itu harus masih ada waktu si pembuat untuk dengan tenang memikirkan, misalnya dengan cara bagaimana
pembunuhan
itu
akan
dilakukan.
Unsur
waktu
dalam
pembunuhan berencana ini tidak boleh terlalu sempit, akan tetapi sebaliknya juga tidak perlu terlalu lama. Yang penting disini adalah apakah di dalam waktu itu si pembuat dengan tenang masih dapat berfikir-fikir, yang sebenarnya ia masih ada kesempatan untuk membatalkan niatnya akan membunuh itu, akan tetapi ia tidak mempergunakannya. Unsur yang berupa pelaksanaan pembunuhan dilakukan dalam suasana (batin) tenang merupakan unsur yang terpenting. Maksudnya suasana hati pada saat melaksanakan pembunuhan itu tidak dalam suasana yang tergesa-gesa, amarah tinggi, rasa takut yang berlebihan, dan lain sebagainya. 4) Pembunuhan Oleh Ibu Terhadap Bayinya Pada Saat Atau Tidak Lama Setelah Dilahirkan Bentuk pembunuhan yang dilakukan oleh ibu terhadap bayinya pada saat dan tidak lama setelah dilahirkan, yang dalam praktik hukum sering disebut dengan pembunuhan bayi, ada dua macam, yang dirumuskan dalam Pasal 341 dan Pasal 342 KUHP. a) Pembunuhan biasa oleh ibu terhadap bayinya pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan (kinderdoodslag) Pembunuhan biasa oleh ibu terhadap bayinya diatur dalam Pasal 341 KUHP, yang rumusannya sebagai berikut: "Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan bayi pada saat bayi dilahirkan atau tidak lama kemudian,
dengan sengaja menghilangkan nyawa anaknya dipidana karena membunuh bayinya sendiri dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun". Dari rumusan tersebut dapat diketahui unsur-unsumya sebagai berikut: (1) Unsur obyektif (a) Pelakunya
: seorang ibu;
(b) Perbuatannya : menghilangkan nyawa; (c) Obyeknya
: nyawa bayinya;
(d) Waktunya
: pada saat bayi dilahirkan, tidak lama setelah bayi dilahirkan;
(e) Motif
: karena takut diketahui melahirkan
(2) Unsur subyektif : dengan sengaja. Pelakunya harus seorang ibu, yaitu ibu dari bayi (korban) yang dilahirkan. Dengan demikian ada hubungan antara ibu dengan anak. Adanya ibu yang merupakan syarat yang harus ada pada subyek hukumnya, menandakan bahwa kejahatan ini tidak dapat dilakukan oleh setiap orang. Ditinjau dari motifnya karena takut diketahui melahirkan bayi, sesungguhnya kejahatan ini berlatar belakang pada bahwa bayi tersebut diperolehnya dari hubungan kelamin diluar pernikahan yang sah. Unsur takut diketahui merupakan unsur subyektif yang diobyektifkan, artinya selain menyangkut masalah batin yaitu takut diketahui, juga menyangkut alam nyata (obyektif) yaitu alasan timbulnya perasaan takut tersebut. Perasaan takut begitu
menekan dan meliputi seluruh pikiran si ibu, sampai pada mengalahkan rasa cinta sebagai ibu terhadap anaknya. Faktor ini yang
menggerakan
pembuat
undang-undang
menetapkan
ancaman hukuman yang lebih ringan daripada pembunuhan biasa. Ancaman pidana terhadap pembunuhan ibu atas bayinya ini lebih ringan dibanding dengan pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP). Hal ini terletak bahwa dalam keadaan sedang melahirkan , didorong oleh perasaan takut diketahui oleh orang lain yang menguasai jiwa ibu. Keadaan jiwa ini dinilai sebagi faktor yang mengurangi kesalahan bagi ibu atas perbuatan menghilangkan nyawa bayinya. b) Pembunuhan ibu terhadap bayinya pada saat atau tidak lama setelah
dilahirkan
dengan
direncanakan
lebih
dahulu
(kindermoord) Pembunuhan bayi berencana ini diatur dalam Pasal 342 KUHP yang rumusannya sebagai berikut: " Seorang ibu yang untuk melaksanakan keputusan kehendak yang telah diambilnya karena takut akan ketahuan bahwa ia akan melahirkan bayi, pada saat bayi dilahirkan atau tidak lama kemudian dengan sengaja menghilangkan nyawa bayinya itu, dipidana karena pembunuhan bayinya sendiri dengan rencana dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun".
Dari
rumusan
tersebut,
dapat
diketahui
bahwa
pembunuhan bayi berencana tersebut mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: (1) Pelaku : Seorang ibu; (2) Adanya
putusan
kehendak
yang
telah
diambil
sebelumnya; (3) Perbuatan: menghilangkan nyawa; (4) Obyek : nyawa bayinya sendiri; (5) Waktu : (a) pada saat bayi dilahirkan; (b) tidak lama setelah bayi dilahirkan; (6) Karena takut akan diketahui melahirkan bayi; (7) Dengan sengaja. Unsur keputusan kehendak yang telah diambilnya adalah keputusan kehendak untuk menghilangkan nyawa bayi yang akan dilahirkannya, dan terbentuknya kehendak ini adalah harus sebelum bayi dilahirkan. Ada hubungan kausal antara motif dengan putusan kehendak, yaitu motif sebagai penyebab dan putusan kehendak sebagai akibat. Kehendak timbul pada saat keadaan batin pelaku tidak tenang, karena dalam keadaan batin yang ketakutan akan diketahui bahwa dia melahirkan bayi. Pelaksanaan kehendak juga dilakukan dalam keadaan batin yang tidak tenang. Dalam Pasal 343 KUHP dijelaskan mengenai pelaku peserta yang merupakan orang-orang yang ikut terlibat secara aktif dalam pembunuhan bayi. Perbuatan orang lain tersebut harus sedikit
atau banyak mempunyai andil/peranan secara obyektif terhadap matinya bayi. 5) Pembunuhan Atas Permintaan Korban Pembunuhan atas permintaan korban sendiri disebut sebagai euthanasia (mercy killing). Bentuk pembunuhan ini diatur dalam Pasal 344 KUHP, yang rumusannya sebagai berikut: "Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun penjara". Dan rumusan tersebut diatas dapat diketahui unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: a) Perbuatan : menghilangkan nyawa; b) Obyek : nyawa orang lain; c) Atas permintaan orang itu sendiri; d) Yang jelas dinyatakan dengan sungguh-sungguh. Perbedaan antara pembunuhan 344 dengan 338 ialah terletak bahwa pada pembunuhan 344 terdapat unsur: (1) atas permintaan korban sendiri, (2) jelas dinyatakan dengan sungguh-sunguh, dan (3) tidak dicantumkannya unsur kesengajaan seperti dalam rumusan Pasal 338 KUHP. Faktor penyebab lebih ringannya pidana dibanding dalam Pasal 338 adalah terletak pada unsur bahwa pembunuhan (Pasal 344) dilakukan atas permintaan korban itu sendiri. Permintaan adalah berupa pernyataan
kehendak yang ditujukan pada orang lain, agar orang lain itu melakukan perbuatan tertentu bagi kepentingan orang yang meminta. Orang yang diminta, mempunyai kebebasan untuk memutuskan kehendaknya. Pasal 344 KUHP ini menunjuk pada bentuk euthanasia aktif. Meskipun ada kata-kata "atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati", namun perbuatan itu tetap diancam dengan pidana. Hal ini untuk mencegah kemungkinan yang tidak dikehendaki. Misalnya, oleh si pelaku justru diciptakan suatu keadaan yang demikian rupa sehingga timbul
permintaan
untuk
merampas
nyawa
dari
yang
bersangkutan. Ancaman pidana disini ditujukan terhadap penghormatan kehidupan manusia pada umumnya, meskipun dalam hal ini, orang tersebut sangatlah menderita baik secara fisik maupun rohani. 6) Penganjuran dan Pertolongan Bunuh Diri Kejahatan ini diatur dalam Pasal 3.45 KUHP yang rumusannya adalah sebagai berikut: "Barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri". Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa unsur-unsur dari kejahatan ini adalah sebagai berikut:
a) Unsur obyektif (1) Perbuatan : mendorong, menolong, memberikan sarana; (2) pada orang untuk bunuh diri; (3) orang tersebut jadi bunuh diri. b) Unsur Subyektif : dengan sengaja. Perbuatan bunuh diri dilakukan sendiri oleh korban. Perbuatan ini dirumuskan secara materiil, artinya untuk dapat terwujudnya secara sempurna tidak hanya dari telah nyata-nyata terwujudnya perbuatan, tetapi tergantung pada apakah dari wujud perbuatan itu telah timbulnya suatu akibat kematian korban. Dalam Pasal 345 ini dicantumkan unsur kesengajaan, dimana pelaku menghendaki perbuatan mendorong, menolong, dan memberi sarana terhadap orang yang diketahuinya akan bunuh diri. Kesengajaan
terhadap
perbuatan
mendorong
adalah
kesengajaan dengan maksud, yang ditujukan pada terbentuknya kehendak, yaitu agar orang berkehendak untuk bunuh diri. Sedangkan kesengajaan terhadap perbuatan menolong dan memberi sarana adalah ditujukan pada maksud mempermudah atau memperlancar pelaksanaan dari bunuh diri. 7) Pengguguran dan Pembunuhan Kandungan Kejahatan pengguguran dan pembunuhan kandungan diatur dalam 4 pasal, yaitu: 346, 347, 348, 349 KUHP. Obyek dari kejahatan ini adalah kandungan, yang berupa sudah berbentuk makhluk yaitu manusia dan dapat juga belum berbentuk manusia.
Ditinjau dari subyek hukumnya, kejahatan pengguguran dan pembunuhan kandungan ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: a) Yang dilakukan sendiri (346); b) Yang dilakukan oleh orang lain,yang dibedakan menjadi dua: (1) atas persetujuannya (347); (2) tanpa persetujuannya (348). Ada pengguguran dan pembunuhan kandungan yang dilakukan oleh orang lain, baik atas persetujuannya maupun tidak, dan orang lain itu adalah orang yang mempunyai kualitas pribadi tertentu, yaitu dokter, bidan, dan juru obat (349). a) Pengguguran dan Pembunuhan Kandungan Olehnya Sendiri Kejahatan ini diatur dalam Pasal 346 KUHP yang rumusannya adalah sebagai berikut: "Seorang perempuan yang sengaja meggugurkan atau mematikan kandungan atau menyuruh orang lain untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun". Dari rumusan tersebut, dapat diketahui bahwa unsurunsur dari kejahatan ini adalah sebagai berikut: (1) Unsur obyektif (a) Pelaku : seorang wanita; (b) Perbuatannya: menggugurkan, mematikan, menyuruh orang lain menggugurkan, menyuruh orang lain mematikan. (c) Obyek : kandungannya sendiri.
(2) Unsur subyektif: dengan sengaja. Dalam rumusan Pasal 346, subyek hukumnya adalah seorang perempuan, karena dalam pasal ini tidak disyaratkan kandungan tersebut sudah berwujud sebagai bayi sempurna dan belum ada proses kelahiran bayi maupun kelahiran bayi seperti pada Pasal 341 dan 342. b) Pengguguran
dan
Pembunuhan
Kandungan
Tanpa
Persetujuan Perempuan yang Mengandung Kejahatan ini diatur dalam Pasal 347 KUHP yang rumusannya adalah sebagai berikut: (1) Barangsiapa mematikan
dengan kandungan
sengaja
menggugurkan
atau
perempuan
tanpa
seorang
persetujuannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa unsurunsur dari kejahatan ini adalah sebagai berikut: (1) Unsur obyektif (a) Perbuatan : menggugurkan, mematikan; (b) Obyek : kandungan seorang perempuan; (c) Tanpa persetujuan perempuan itu. (2) Unsur subyektif: dengan sengaja. Antara Pasal 346 dan 347 terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah (1) pada kedua perbuatan, yaitu menggugurkan dan mematikan, (2) obyeknya yaitu
kandungan seorang perempuan. Perbedaannya adalah dalam Pasal 346 terdapat perbuatan menyuruh! (orang lain) menggugurkan atau menyuruh (orang lain) mematikan. Pada Pasal 347 ada unsur tanpa persetujuannya (perempuan yang mengandung). Pelaku dalam Pasal 346 adalah perempuan yang mengandung, sedangkan pelaku menurut Pasal 347 adalah orang lain (bukan perempuan yang mengandung). Ancaman pidana dalam Pasal 347 ini adalah terberat. Faktor yang memperberat pidananya adalah adanya akibat kematian. c) Pengguguran dan Pembunuhan Kandungan atas Persetujuan Perempuan yang Mengandung Kejahatan ini diatur dalam Pasal 346 KUHP yang rumusannya adalah sebagai berikut: (1) Barangsiapa mematikan
dengan kandungan
sengaja seorang
mengugurkan perempuan
atau dengan
persetujuannya, dipidana dengan pidana penjara selamalamanya 5 tahun 6 bulan. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa unsurunsur dari kejahatan ini adalah sebagai berikut: (1) Unsur obyektif (a) Perbuatan : menggugurkan, mematikan; (b) Obyek : kandungan seorang perempuan; (c) Dengan persetujuannya.
(2) Unsur subyektif : dengan sengaja. Persetujuan artinya dikehendaki bersama dengan orang lain, dalam hal ini ada dua orang atau lebih yang mempunyai kehendak yang sama terhadap gugur atau matinya kandungan itu. Syarat terjadi persetujuan adalah harus ada dua pihak yang mempunyai kehendak yang sama. d) Pengguguran atau Pembunuhan Kandungan oleh Dokter, Bidan, atau Juru Obat Kejahatan ini diatur dalam Pasal 349 KUHP yang rumusannya adalah sebagai berikut: "Jika seorang dokter, bidan, atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan Pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan itu dilakukan". Perbuatan
melakukan
adalah
berupa
perbuatan
melaksanakan dari kejahatan itu, dimana ia sebagai pelaku, baik sebagai petindaknya ataupun pelaku pelaksananya. Dia berkualitas sebagai petindak (dader) apabila dia sendirilah yang melaksanakan kejahatan itu, tanpa ada orang lain yang ikut terlibat dalam kejahatan. Dia berkualitas sebagai pelaku pelaksananya apabila dalam melaksanakan kejahatan itu ada
orang lain yang terlibat selain dia, baik itu perempuan yang mengandung itu sendiri maupun orang lain. Membantu melaksanakan adalah berupa perbuatan yang wujud dan sifatnya sebagai perbuatan yang mempermudah atau
memperlancar
pelaksanaan
kajahatan
itu.
Dasar
pemberatan pidananya adalah (1) sebagai orang yang ahli yang seharusnya ilmu tersebut digunakan untuk kemanfaatan bagi kehidupan dan kesehatan manusia, justru keahlian itu disalahgunakannya, (2) karena keahlian mereka itu akan memperlancar dan memudahkan terlaksananya kejahatan itu.
e. Tinjauan Umum tentang Putusan Hakim 1. Pengertian Putusan Hakim Putusan pengadilan sangat diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Dengan adanya putusan hakim ini diharapkan para pihak dalam perkara pidana khususnya bagi terdakwa dapat memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya antara lain berupa menerima putusan, melakukan upaya hukum banding/kasasi, melakukan grasi dan sebagainya. Sedangkan ditinjau dari optik hakim yang mengadili perkara pidana tersebut, putusan hakim merupakan “mahkota” sekaligus “puncak” pencerminan nilai-nilai kebenaran, kebenaran hakiki, hak asasi, penguasaan hukum atau fakta, secara mapan dan fuktual serta visualisasi etika beserta moral dari hakim yang bersangkutan (Lilik Mulyadi, 2007 : 201).
Menurut Pasal 1 butir 11 KUHAP Putusan Pengadilan adalah “pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan yang terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta merta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini”. Menurut ketentuan dalam Pasal 182 ayat (4) KUHAP proses pengambilan putusan oleh majelis hakim dilakukan dengan musyawarah yang didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di persidangan. Dalam musyawarah tersebut hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan mulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan hakim ketua terakhir sekali memberikan pendapatnya. Semua pendapat harus disertai pertimbangan dan alasan-alasannya. Dalam Pasal 182 ayat (6) KUHAP pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka berlakulah ketentuan : a) Putusan diambil dengan suara terbanyak; b) Jika tidak diperoleh suara terbanyak, maka di ambillah pendapat hakim yang paling menguntungkan terdakwa. 2. Macam Putusan Hakim Bentuk putusan yang akan dijatuhan oleh pengadilan tergantung hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Adapun bentuk-bentuk putusan menurut Yahya Harahap adalah sebagai berikut: a) Putusan Bebas
Adapun dasar putusan yang berbentuk bebas adalah ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP, yaitu “jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”. Dalam
putusan
bebas,
pembuktian
yang
diperoleh
dipersidangan tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan kesalahan tersebut tidak diyakini oleh hakim. Dalam putusan bebas tidak memenuhi asas minimum pembuktian. b) Putusan Pelepasan Dari Segala Tuntutan Hukum Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum berdasar pada Pasal 191 ayat (2) KUHAP, yaitu : “jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan sesuatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”. Bahwa hal yang mendasari putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, terletak pada kenyataan apa yang didakwakan dan yang telah terbukti tersebut tidak merupakan tindak pidana, tetapi termasuk dalam ruang lingkup hukum perdata atau hukum adat. c) Putusan Pemidanaan Bentuk putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 KUHAP, yaitu bahwa terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa.
d) Putusan Tidak Berwenang Mengadili Ketua Pengadilan Negeri berpendapat bahwa suatu perkara tidak termasuk wewenangnya seperti yang ditentukan dalam Pasal 84 KUHAP, yaitu : karena tindak pidana yang terjadi tidak dilakukan dalam daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan, atau sekalipun terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, diketemukan atau ditahan berada di wilayah Pengadilan Negeri tersebut, tapi tindak pidananya dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri lain, sedang saksi-saksi yang dipanggil pun lebih dekat dengan Pengadilan Negeri Tempat dimana tindak pidana dilakukan.
e) Putusan yang Menyatakan Dakwaan Tidak Dapat Diterima Penjatuhan putusan yang menyatakan dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima, berpedoman kepada Pasal 156 ayat (1) KUHAP, yaitu : "dalam hal terdakwa atau penasehat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaraperkara atau dakwaan tidak dapat diterima/surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk
menyatakan
pendapatnya,
hakim
mempertimbangkan
keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan”. f) Putusan Yang Menyatakan Batal Demi Hukum
Putusan pengadilan yang berupa pernyataan dakwaan penuntut umum batal atau batal demi hukum didasarkan pada pasal 143 ayat (3) dan pasal 156 ayat (1) KUHAP (Yahya Harahap, 2000 : 247-359
2. Kerangka Pemikiran
Tindak pidana perampokan disertai pembunuhan
Terdakwa
Permohonan di Pengadilan Negeri
Pertimbangan hakim
Hambatan hakim
Putusan Keterangan : Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka segala perbuatan, tindakan, maupun tingkah laku harus berdasarkan atas ketentuan hukum atau perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sangat penting bagi negara Indonesia yang saat ini mengalami krisis multi dimensi pasca tumbangnya rezim orde baru. Salah satu bidang yang terkena krisis multi dimensi adalah hukum, yaitu menurunnya kesadaran hukum dari masyarakat, salah satu fenomenanya terlihat di dalam kehidupan sehari-hari. Khususnya yang berkaitan dengan kekerasan yang dalam hal ini menunjuk kepada perampokan disertai pembunuhan yang dilakukan oleh si pelaku sehingga hilangnya nyawa seseorang yang menjadi korbannya. Sekarang tugas para penegak hukum untuk menerapkan hukum meresahkan masyarakat tentunya dengan berbagai dasar pertimbangan.
Dalam suatu tindak pidana ada beberapa unsur-unsur tindak pidana dalam diri seorang pelaku, yaitu melawan hukum, mampu bertanggungjawab, tidak alasan pembenar, tidak ada alasan pemaaf dan kesalahan (sengaja atau alpa). Dalam hal ini pelaku telah terbukti melakukan kejahatan yang mengakibatkan matinya korban dengan perbuatannya tersebut pelaku dapat dikenai pidana, maka hakim selaku penegak hukum yang paling berperan dalam pengambilan putusan di sidang pengadilan dengan menggunakan berbagai pertimbangan yang tidak hanya pada keyakinan hakim itu sendiri, tetapi juga mendasarkan pada keterangan saksi ahli dalam pengambilan putusan yang seadil-adilnya bagi terdakwa. Dalam perkaranya hakim tentunya masih ada hambatan-hambatan dalam memproses terdakwa, sehingga harus ada berbagai solusi yang dapat digunakan untuk mengatasi berbagai hambatan-hambatan tersebut, sehingga hukum yang diharapkan tepat dan terlaksana dengan baik.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ANALISIS KASUS
A. Penyajian Hasil Penelitian A.1 Perkara No : 98 / 1990 / PID B / PN. SKA 1. Identitas Nama Lengkap
: Karta Cahyadi Bin Yongki
Tempat lahir
: Jakarta
Umur/Tanggal Lahir
: 27 Tahun
Jenis Kelamin
: laki-laki
Kebangsaan
: Indonesia
Tempat Tingga
: Karang Anyar Jl. C. No 12 Rt 007/3 sawah Besar, Jakpus
Agama
: Katolik
Pekerjaan
: Wiraswasta
2. Posisi Kasus Bahwa ia terdakwa Karta Cahyadi baik secara bersama-sama bersekutu dengan Tugiman Bin Sikin telah melakukan tindak pidana dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu merampas nyawa orang lain pada februari 1990 bersama dengan Fandy, Haryanto alias gundul dan Tugiman bin Sikin telah merencanakan pembunuhan. Sekitar pukul 06.00 terdakwa bersama Tugiman bin Sikin mulai menuju tempat sasaran dan sebagai persiapan maka telah mencari alat-alat yang dapat digunakan untuk melaksanakan niatnya yaitu pelepah pisang, kawat, silet, jugil ban mobil dan terdakwa memakai topi sebagai penyamaran agar tidak dikenal oleh penghuni rumah yang dijadikan sasaran. Terdakwa dan Tugiman bin Sikin melaksanakan niatya dimana langkah pertama berpura-pura bertamu,
kemudian terdakwa masuk dengan cara menekan bel listrik dan salah satu penghuni membukakan pintu karena merasa sudah kenal maka terdakwa dan Tugiman bin Sikin dipersilahkan masuk. Setelah terdakwa diruang tamu maka terdakwa bertemu dengan Shaw Swie Song adik dari Utomo Kasidi. Setelah berbincang-bincang dengan korban, terdakwa mengajak korban ke teras, terdakwa langsung memberikan isyarat kepada Tugiman bin Sikin setelah itu korban langsung dijerat lehernya dengan tali plastik hitam yang telah dipersiapkan, kemudian mulutnya di sumbat dengan kain sandaran kursi, kemudian secara bergantian terdakwa dan Tugiman bin Sikin menyetrum korban karena masih hidup. Terdakwa langsung memukul leher korban dengan sepotong besi/jugil ban sehingga korban meninggal dunia. Untuk meanjutkan rencana pembunuhan berikutnya terdakwa kemudian memanggil Denny Kasidi yang berada di loteng dan mendengar panggilan terdakwa, maka korban turun. Setelah itu terdakwa berpura-pura bersikap manis kemudian korban diajak ke ruang tamu. Dalam perjalanannya tersebut Tugiman bin Sikin langsung menjerat leher korban dengan kabel warna putih kemudian terdakwa menyumbat mulut Denny Kasidi/korban dengan kain penutup sandaran kursi, kemudian terdakwa menikam leher korban dengan pisau, dengan seketika itu juga korban langsung meninggal dunia. Selanjutnya terdakwa masuk ke dalam rumah dan memanggil pembantu yang bernama Lasiyem, setelah didekatnya terdakwa langsung menarik rambut dan Tugiman bin Sikin menjerat leher Lasiyem dengan kabel serta membenturkan ke lantai, belum selesai itu juga korban ditikam lehernya dengan menggunakan gunting taman dan tak lama kemudian korban meninggal dunia. Setelah itu ketiga penghuni rumah utomo Kasidi meninggal dunia, maka terdakwa bersama Tugiman bin Sikin mengambil barang-barang kepunyaan Utomo Kasidi. 3. Tuntutan, dakwaan
Menimbang, bahwa pada bagian dakwaan primair ini, terdakwa oleh Jaksa Penuntut Umum telah di dakwa melakukan tindak pidana yaitu: Primair
: Pasal 340 Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
Subsidair
: Melanggar Pasal 339 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
Lebih Subsidair : Melanggar pasal 365 ayat (1) dan (3) Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. 4. Putusan Hakim Tingkat Pertama yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut diatas yang terdiri dari Nasril, SH sebagai Hakim Ketua, Soetarjo, SH Hakim anggota dan M.T. SIABULUN, SH sebagai Hakim anggota serta Lely Poerwani, SH sebagai Panitera Pengganti. Mempertimbangkan keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa : a. Yang Memberatkan : bahwa terdakwa telah berkali-kali di hukum, tetapi tidak memperlihatkan kesadaran, namun malah sebaliknya.
Dimana
terdakwa
melakukan
kejahatan lagi yang lebih berat. Terdakwa telah merencanakan kejahatan dengan rapi dan matang. Tanpa belas kasihan terdakwa merencanakan kejahatan terhadap orang yang telah dikenal dengan baik, bahkan terdakwa telah sempat menikmati uluran tangan kebaikan pemilik rumah di saat terdakwa tidak mempunyai tempat tinggal. Perbuatan terdakwa telah merenggut tiga nyawa sekaligus, Terdakwa memberi keterangan berbelitbelit dan melemparkan semua tanggung jawab pada orang lain (Tugiman). Terdakwa telah mengabaikan undang-undang negara terutama undang-undang yang menyangkut perlindungan anak dan orang cacat.
b. Yang Meringankan : bahwa tidak satupun unsur-unsur yang dapat meringankan terdakwa Mengadili, menyatakan terdakwa Karta Cahyadi Bin Yongki terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana : Pembunuhan Berencana disertai pencurian yang di lakukan 2 (dua) orang atau lebih dengan jalan merusak. Menghukum terdakwa dengan pidana mati, memerintahkan supaya
terdakwa
tetap
dalam
tahanan,
menetapkan
barang
bukti,
membebankan biaya perkara sebesar Rp 1000 ( Seribu Rupiah) kepada terdakwa. 5. Analisis Kasus Pertimbangan hakim dalam perkara tindak pidana pembunuhan berencana diserai pencurian yang dilakukan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan jalan merusak yang pertama ialah surat dakwaan. Dalam surat dakwaan tunggalnya jaksa penuntut umum mendakwanya dengan dakwaan pasal Pasal 340 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, 339 Jo Pasal 55 ayat (1) ke1 KUHP, Pasal 365 ayat (1) dan (3) Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Unsur yang kedua adalah dua alat bukti yang sah, dalam hal ini alat buktinya adalah sebilah pisau dan gunting taman, juga visum et revertum No : 10/MF/II/1990 tertanggal 6 februari 1990 yang di buat olah Dokter Kahakiman Universitas Sebelas Maret Surakarta dan saksi Utomo Kasidi, Sotia Kasidi, Tugiman Bin Sikin, mbok Karto alias Suparsi, sutarno, Fatimah Harjo Sugito, Setyo Kuswanto, Anwar Sanusi, I.K. Suladra, Hadi Siswanto, S. Hutabarat, Soni Ibrahim, Royke, Ny. Agustini, Ny. Nanik Susanti. Terdakwa berada dalam keadaan sehat secara jasmani maupun rohani yang dengan kata lain mempunyai kemampuan untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Unsur terakhir adalah hal-hal yang memberatkan terdakwa adalah bahwa terdakwa telah berkali-kali dihukum tetapi tidak memperlihatkan kesadaran, namun malah sebaliknya. Dimana terdakwa melakukan kejahatan lagi yang lebih berat, terdakwa telah merencanakan kejahatan dengan rapi dan tenang. Bahwa
tanpa belas kasihan, perbuatan terdakwa telah merenggut tiga nyawa sekaligus, terdakwa telah mengabaikan undang-undang negara terutama undang-undang yang menyangkut perlindungan anak dan orang cacat. Terdakwa memberi keterangan berbelit-belit dan melemparkan tanggung jawab pada orang lain (Tugiman). Dan hal yang meringankannya adalah tidak ada satupun unsur-unsur yang dapat meringankan terdakwa.
A.2 Perkara No : 99 / 1990 / PID B / PN. SKA 1. Identitas Nama Lengkap
: Tugiman Bin Sikin
Tempat lahir
: Semarang
Umur/Tanggal Lahir
: 37 Tahun
Jenis Kelamin
: laki-laki
Kebangsaan
: Indonesia
Tempat Tingga
: Karang Anyar Jl. D gg VII Rt 01/02 Kel. Sawah Besar, Jakpus
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Sopir
2. Posisi Kasus Bahwa ia terdakwa Tugiman bin Sikin bersama-sama dan bersekutu dengan karta Cahyadi (dalam perkara tersendiri) telah sengaja dan di rencanakan terlebih dahulu merampas nyawa 3 orang yang masing-masing di kenal dengan nama Shaw Swie Song, Denny Kasidi, dan Siyem. Pada februari 1990 terdakwa bersama Karta Cahyadi merencanakan perampokan di Solo, tepatnya di rumah Kasidi (orang yang telah dikenal/teman Karta Cahyadi) karena merasa Utomo Kasidi sudah dikenal olah Karta Cahyadi, maka di rencanakan akan di lakukan pembunuhan terlebih dahulu 2 pembantu rumah tangga Kasidi dan seorang laki-laki buta (adik Utomo Kasidi/Sha Swie
Song) atau siapa saja yang ada di rumah tersebut agar perampokan berjalan lancar. Dalam perundingan merencanakan pembunuhan tersebut terdakwa dan saksi Karta Cahyadi sepakat mempersiapkan alat-alat yang akan digunakan untuk melakukan pembunuhan sekaligus malakukan perampokan dengan mempersiapkan segulung pelepah pisang dan kawat, 2 buah jugil ban serta sebuah pisau atau silet. Setelah pasti pemilik rumah sudah pergi ke tokonya, terdakwa dan Karta Cahyadi melaksanakan niatnya yang telah di rencanakan yang sebelumnya berpura-pura sebagai tamu, maka ketika Karta Cahyadi dan korban Shaw Swie Song berjalan menuju keluar rumah terdakwa terus menjerat leher korban dengan tali plastik warna hitam dan kemudian mulut korban ditutup dengan kain alas kursi agar tidak menjerit/bersuara minta tolong. Hingga akhirnya korban di setrum secara bergantian karena merasa korban masih hidup atau bergerak maka terdakwa memukul kepala bagian belakang berkali-kali dengan jugil ban hingga akhirnya korban tidak berdaya dan tewas. Untuk melanjutkan rencana pembunuhan berikutnya Karta Cahyadi memanggil korban Denny Kasidi yang baru berumur 11 tahun yang ketika itu berada di loteng. Atas panggilan itu korban Denny Kasidi turun menemui saksi Karta Cahyadi kemudian diajak ke depan rumah dan bercanda sebagai siasat untuk mempermudah pelaksanaan niat pembunuhan. Sesampainya didepan pintu rumah, leher korban Denny Kasidi di jerat dari belakang oleh terdakwa dengan kabel kemudian saksi Karta Cahyadi menutup leher korban dengan kain sandaran kursi ketika korban jatuh terlentang sehingga tidak dapat berteriak kemudian terdakwa dan saksi Karta Cahyadi menusukkan pisau ke leher korban, sehingga korban meninggal dunia. Setelah menghabisi/merampas nyawa korban Shaw Swie Song dan Denny Kasidi terdakwa dan saksi Karta Cahyadi mendatangi Siyem (pembantu rumah tangga) yang kala itu sedang di loteng. Ketika Siyem sedang di ajak berbicara dengan saksi Karta Cahyadi, terdakwa langsung
menjerat leher korban dengan kabel akan tetapi kabel tersebut putus sehingga korban berteriak, kemudian mulut Siyem di bungkam dengan tangan, dan kemudian kepala korban dibenturkan ke lantai sambil dipukuli dengan jugil ban. Setelah dipukuli terdakwa menusuk leher korban hingga akhirnya tewas. Setelah ketiga penghuni rumak Kasidi tersebut di habisi nyawanya maka terdakwa bersama Karta Cahyadi mengambil barang-barang kepunyaan Utomo Kasidi. 3. Tuntutan, Dakwaan Menimbang, bahwa pada bagian dakwaan primer ini, terdakwa oleh jaksa penuntut umum teah di dakwa melakukan tindak pidana yaitu : Primair
: Melanggar pasal 363 ayat (1) ke-4 dan 5 KUHP
Subsidair
: Melanggar pasal 339 Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
Lebih Subsidair : Melanggar pasal 365 ayat (1) dan ayat (3) Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP 4. Putusan Hakim Tingkat Pertama yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut di atas yang terdiri dari Nasril, SH sebagai Ketua Majelis, Suhardjo, SH. Sebagai Hakim anggota, Lukito mangkuatmojo, SH. sebagai hakim anggota dan Siti Hartati sebagai panitera pengganti menyatakan bahwa terdakwa Tugiman bin Sikin terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana dan pencurian yang dilakukan 2 (dua) orang dengan jalan merusak. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut dengan pidana mati, memerintahkan supaya terdakwa tetap dalam tahanan, menetapkan barang bukti sesuai dengan daftar barang bukti yang terlampir dalam berkas lain, membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 1000 (seribu rupiah). Demikian di jatuhkan putusan ini pada hari : Kamis, tanggal 20 september 1990 dalam Rapat Permusyawaratan Majelis Hukum Pengadilan Negeri Surakarta.
5. Analisis kasus Sebagaimana telah kita ketahui bahwa pertimbangan Hakim dalam perkara tindak pidana pembunuhan berencana disertai pencurian yang dilakukan oleh 2 (dua) orang dengan jalan merusak yang pertama adalah dakwaan. Dalam surat dakwaan terdakwa di dakwa dengan dakwaan pokok pasal 363 ayat (1) ke-4 dan 5 KUHP, dan dakwaan subsidair pasal 339 Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dan dakwaan lebih subsidair pasal 365 ayat (1) dan ayat (3) Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Unsur kedua adalah dua alat bukti yang sah, dalam hal ini alat buktinya adalah sebuah pisau, silet, dan juga visum et repertum tertanggal 6 februari 1990 No : 09/MF/II/1990 dan saksi Sofia Kasidi, Utomo Kasidi. Terdakwa berada dalam keadaan sehat secara jasmani maupun rohani yang dengan kata lain mempunyai kemampuan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Unsur terakhir adalah hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa, hal-hal yang memberatkan terdakwa adalah bahwa terdakwa telah merencanakan kejahatan dengan rapi dan tenang, bahwa korban pembunuhan yang dilakukan terdakwa adalah orang-orang lemah yang harus dilindungi karena korban Denny Kasidi adalah anak-anak yang berumur 11 tahun yang belum mengerti apa tentang dunia ini, korban Shaw Swie Song adalah orang cacat/tuna netra yang tidak berdaya sama sekali dan korban lasiyem pembantu rumah tangga, terdakwa telah mengabaikan undang-undang terutama undang-undang yang menyangkut perlindungan anak dan orang cacat, terdakwa memberi keterangan berbelitbelit sehingga mempersulit jalannya sidang. Dan yang meringankannya adalah terdakwa belum pernah dihukum, terdakwa menyesali perbuatannya. B.
Pembahasan Hasil Penelitian
B.1 Pengaturan Terhadap Masalah Perampokan Disertai Pembunuhan Dalam KUHP.
Di
dalam
penerapannya
tindak
pidana
perampokan
disertai
pembunuhan perbuatannya di lakukan secara berbarengan sehingga dalam hal ini di katakan sebagai concursus realis yaitu apabila orang melakukan beberapa perbuatan yang dapat di pandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri dan masing-masing merupakan tindak pidana berupa kejahatan dan atau pelanggaran.Sehingga harus ada seorang pembuat,serentetan tindak pidana yang di lakukan olehnya,tindak pidana itu sejenis atau berhubungan satu sama lain,di antara tindak pidana itu tidak terdapat keputusan hakim.
Dari kesimpulan di atas dapat di ketahui bahwa pengaturan masalah perapokan disertai pembunuhan dalam KUHP, diatur di dalam pasal 65 ayat (1) dan (2) yang berbunyi: 1. Dalam hal berbarengan beberapa perbuatan yang harus di pandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan yang di ancam dengan pidana pokok yang sejenis maka di jatuhkan satu pidana. 2. Maximum pidana yang di jatuhkan ialah jumlah maximum pidana yang di ancam terhadap perbuatan itu, tetapi tidak boleh lebih dari maximum pidana yang terberat di tambah 1/3.
B.2 Pertimbangan Hakim dalam Penjatuhan Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perampokan disertai Pembunuhan Hasil wawancara terhadap hakim yang menangani kasus perampokan di sertai Pembunuhan di pengadilan Negeri Surakarta sebagai berikut : Menurut M. Najib Sholeh, bahwa "Hakim sebagai pejabat peradilan yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk melaksanakan tugas pokok badan peradilan tersebut, maka hakim mempunyai tugas untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya.”
Oleh karena itu, hakim sebagai penegak hukum dan keadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara yang diberikan kepadanya. Sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 16 (ayat 1) Undang-undang No. 4 tahun 1004, yang berbunyi: “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan, dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan untuk memeriksa dan mengadili.”(Wawancara Tanggal 11 Desember 2009). Jadi hakim sebagai penegak hukum yang dianggap memahami hukum seandainya tidak menemukan hukum tertulis, maka hakim tersebut wajib untuk menggali hukum yang tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum sebagai seorang yang bijaksana dan bertanggungjawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, bangsa dan negara. Menurut M. Najib Sholeh, SH, bahwa: “Di dalam melaksanakan tugas tersebut, hakim mempunyai wewenang untuk mengadili segala perkara yang dilakukan di daerah hukumnya, yang diajukan kepadanya serta berwenang mengadili di daerah mana terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, tempat diketemukan atau ditahan, dengan syarat apabila tempat sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat Pengadilan Negeri itu daripada tempat kedudukan Pengadilan Negeri yang dalam daerahnya tindak pidana dilakukan.”(Wawancara Tanggal 11 Desember 2009). Hal ini sesuai dengan Pasal 84 (ayat 2) KUHAP yang antara lain menyatakan, bahwa pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal berdiam, terakhir, ditempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan.
Menurut M. Najib Sholeh, SH, ada beberapa teori untuk menjatuhkan hukuman yang dapat digunakan oleh hakim, yaitu antara lain: (1) Teori Mutlak membalaskan sengsara dengan sengsara. (2) Teori Nisbi mempertahankan ketertiban umum. (3) Teori Gabungan membalas dengan melindungi. 1. Teori Mutlak dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: a. Teori Pembalasan Objektif Tujuan hukuman, perbuatan pembuat mesti dibalas sehingga ia merasakan penderitaan yang sama besar dengan kesengsaraan yang diadakan olehnya.
b. Teori Pembalasan Subjektif Hanya kesalahan pembuat mesti dibalas. Jika sesuatu kesengsaraan besar diadakan oleh
kesalahan enteng (misalnya,
pembuat
merupakan
psychopat/yang masih sangat muda), maka pembuat harus di hukum enteng. 2. Teori Nisbi mempertahankan ketertiban umum. a. Teori Prepensi General Tujuan hukuman, menakuti orang banyak, supaya mereka jangan berani melakukan delik di hukum, dengan cara: 1) Menjalankan hukuman-hukuman bengis dihadapan orang banyak (Bentham). 2) Desakan psychologis: kodifikasi hukum pidana dengan ancaman hukuman yang berat (von Feurbach). 3) Menjatuhkan hukuman yang lebih berat daripada kesalahan pembuat. b. Teori Prevensi Spesial Tujuan hukuman adalah supaya si tersalah sendiri jangan lagi melakukan sesuatu delik, dengan cara: 1) Menakuti si tersalah. 2) Memperbaiki si tersalah.
3) Membuat si tersalah tidak berbahaya lagi. 3. Teori Gabungan membalas dan melindungi. a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan. Tujuan hukuman adalah membalaskan, akan tetapi tidak lebih berat daripada perlu untuk melindungi masyarakat (Pompe). b. Teori gabungan yang mengutamakan melindungi masyarakat. Tujuan hukuman adalah melindungi masyarakat, akan tetapi tidak boleh dihukum lebih berat dan pada perlu untuk membalas kesalahan (perbuatan) pembuat.(Wawancara Tanggal 11 Desember 2009).
Kemudian M Najib Shaleh, SH mengatakan bahwa: “Hakim dalam mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya, dalam membuktikan bahwa seseorang telah bersalah melakukan suatu tindak pidana harus ada sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah dan hakim harus yakin bahwa terdakwalah yang melakukannya dan bersalah atas perbuatan itu serta mampu bertanggung jawab atas perbuatannya, baru kemudian hakim menjatuhkan pidana.”(Wawancara Tanggal 11 Desember 2009). Jadi hakim sebagai penegak hukum yang dianggap memahami hukum di mengadili perkara pidana khususnya mengenai pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana perampokan disertai pembunuhan, perbuatan pertimbangan hakim tersebut bertujuan dan berintikan memberikan suatu keadilan. Dalam mengadili perkara pidana M. Najib Sholeh mengatakan sebagaimana di bawah ini : “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib mengadili, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.” Hal tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana.(Wawancara Tanggal 11 Desember 2009). Di samping hal yang telah dijelaskan di atas, M Najib Shaleh, SH juga mengatakan sebagai berikut: “Yang wajib juga diperhatikan adalah sifat yang baik dan yang jelek dan terdakwa atau hal-hal yang meringankan dan memberatkan terdakwa.” Apabila terdakwa pada akhir pemeriksaan sidang oleh hakim, yaitu sudah sampai pada penjatuhan putusan yang berupa penjatuhan pidana terhadap terdakwa, hakim narus bersikap tegas dan bijaksana dalam mencapai suatu keadilan di dalam menjatuhkan putusannya. Untuk mencapai. suatu keadilan di dalam proses mengadili, hal ini memerlukan suatu kesungguhan dari aparat yang terkait dalam proses peradilan pidana.(Wawancara Tanggal 11 Desember 2009).
Sebagaimana dikatakan oleh M. Najib Sholeh, bahwa: “Tugas hakim adalah berat tetapi mulia, hakim di dalam mengadili suatu perkara harus memberikan suatu putusan yang adil yang sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku dan memenuhi rasa keadilan masyarakat, putusan itu kelak akan dipertanggungjawabkan bukan hanya kepada masyarakat, diri sendiri, tetapi juga kepada Tuhan, sebagaimana putusan yang berkepala demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”(Wawancara Tanggal 11 Desember 2009). Menurut M. Najib Sholeh, sehubungan dengan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana (vonis) khususnya tindak pidana perampokan disertai pembunuhan dapat dijelaskan sebagai berikut: “Bahwa sebagaimana telah disinggung sebelumnya suatu perkara pidana dengan dakwaan perampokan disertai pembunuhan umumnya dakwaannya selalu disusun secara subsidair yang maksudnya untuk menjaga jarak jangan sampai terdakwa bebas dengan begitu saja. Dakwaan mana dalam hal ini dimulai dari dakwaan primair, subsidair, subsidair lagi dan seterusnya yang dimulai dengan dakwaan yang ancaman pidananya lebih berat, misalnya primair Pasal 340
KUHP, subsidair Pasal 339 KUHP, subsidair lagi Pasal 365 ayat (1) dan (3) jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.(Wawancara Tanggal 11 Desember 2009). Suatu perkara yang dakwaannya disusun secara subsidair, pertimbangan hukumnya dimulai dari dakwaan primair, semua unsur-unsur dari pasal Undangundang, misalnya pasal KUHP yang didakwakan dalam dakwaan primair harus dibuktikan, apabila salah satu unsurnya tidak terbukti maka terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan. Apabila dakwaan primair sudah terbukti maka dakwaan subsidair tidak perlu dipertimbangkan, dakwaan subsidair baru dipertimbangkan jika dakwaan primair tidak terbukti dan begitu seterusnya terhadap dakwaan berikutnya. Untuk membuktikan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan telah memperoleh keyakinan bahwa terdakwalah pelakunya yang bersalah dan yang dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya berdasarkan sekurangkurangnya dua (2) alat bukti yang sah. Menurut M. Najib Sholeh, seperti halnya perkara pidana umumnya, maka pada kasus perampokan disertai pembunuhan terdapat 3 kemungkinan putusan yang bisa diambil oleh hakim, yaitu: 1. Putusan yang mengandung pembebasan terdakwa (Vrijspraak). 2. Putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan (Ontslag van Rechtsvervolging). 3. Putusan
yang
mengandung
penghukuman
terdakwa
(Veroordeling).(Wawancara Tanggal 11 Desember 2009). Adapun keterangan dari ketiga macam putusan di atas akan diterangkan oleh penulis sebagai benkut: 1. Putusan yang mengandung pembebasan terdakwa.
Putusan ini diambil jika peristiwa-peristiwa yang tersebut dalam surat dakwaan seluruhnya atau sebagian oleh hakim dianggap tidak terbukti. 2. Putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan. Apabila hakim berpendapat bahwa peristiwa-peristiwa yang dimuat dalam surat dakwaan yang didakwakan terhadap terdakwa, adalah terbukti, akan tetapi yang terbukti itu tidak merupakan suatu kejahatan atau pelanggaran. 3. Putusan yang mengandung penghukuman terdakwa. Putusan ini diambil apabila oleh hakim dipandang bahwa apa yang didakwakan kepada terdakwa terbukti dan merupakan suatu kejahatan atau pelanggaran. Sesudah pemeriksaan dinyatakan ditutup, maka hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah dilakukan setelah terdakwa, saksi, penasehat hukum, penuntut umum dan hadirin meninggalkan ruang sidang. Untuk lebih jelasnya musyawarah terakhir ini dapat dilihat dalam Pasal 182 (ayat 5) KUHAP dan Pasal 182 (ayat 6) KUHAP. Di dalam Pasal 182 (ayat 5) KUHAP, bahwa dalam musyawarah majelis mengajukan pertanyaan mulai dari hakim termuda sampai dengan hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan-pertimbangan beserta alasannya. Di dalam Pasal 182 (ayat 6) KUHAP, juga diatur bahwa sedapat mungkin musyawarah majelis merupakan pemufakatan bulat, kecuali jika hal itu telah diusahakan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka ditempuh dua cara, yaitu: 1. Putusan diambil dengan suara terbanyak. 2. Jika yang disebut pada nomor 1 tidak dapat diperoleh, maka yang dipakai ialah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa. Jadi, apa yang telah disebutkan di atas adalah pertimbangan yuridis hakim sebelum menjatuhkan putusan terlebih dahulu dan di pertimbangkan pula faktor sosiologis yang dalam praktek dijabarkan dengan istilah:
1. Hal yang memberatkan Hal yang memberatkan antara lain. Bahwa terdakwa telah berkali-kali di hukum, tetapi tidak memperlihatkan kesadaran, namun malah sebaliknya. Dimana terdakwa melakukan kejahatan lagi yang lebih berat. Terdakwa telah merencanakan kejahatan dengan rapi dan matang. Tanpa belas kasihan terdakwa merencanakan kejahatan terhadap orang yang telah dikenal dengan baik, bahkan terdakwa telah sempat menikmati uluran tangan kebaikan pemilik rumah di saat terdakwa tidak mempunyai tempat tinggal. Perbuatan terdakwa telah merenggut tiga nyawa sekaligus, Terdakwa memberi keterangan berbelit-belit dan melemparkan semua tanggung jawab pada orang lain (Tugiman). Terdakwa telah mengabaikan
undang-undang
negara
terutama
undang-undang
yang
menyangkut perlindungan anak dan orang cacat. 2. Hal yang meringankan Hal yang meringankan antara lain : bahwa tidak satu pun unsur-unsur yang dapat meringankan terdakwa Barulah kemudian putusan diucapkan disidang terbuka untuk umum sebagai syarat putusan pengadilan yang sah dan mempunyai kekuatan hukum. Hal ini sesuai dengan Pasal 195 KUHAP, yang antara lain menyatakan bahwa semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum. Setelah kita telaah di atas, maka pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana perampokan disertai pembunuhan didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: 1. Surat dakwaan dari jaksa penuntut umum; 2. Dua alat bukti yang sah; 3. Kemampuan untuk bertanggungjawab; 4. Hal-hal yang meringankan dan memberatkan terdakwa.
B.3 Kendala Yang Dihadapi Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perampokan Disertai Pembunuhan Mengenai kendala-kendala yang dihadapi oleh hakim dalam menangani tindak pidana perampokan disertai pembunuhan, menurut M. Najib Shaleh, SH, adalah: 1. Segi hukum. 2. Segi aparat penegak hukum. 3. Segi Masyarakat Maka dari segi-segi yang telah disebutkan di atas oleh penulis, ada baiknya jika kita menerangkan segi-segi tersebut: 1. Segi Hukum Penerapan pasal-pasal hukum pidana yang diterapkan tidak selalu dirasakan sebagai suatu keadilan oleh masyarakat, dengan demikian dapat dikatakan keadilan menurut hukum pidana tidak sama dengan keadilan yang dirasakan oleh masyarakat, khususnya bagi terdakwa. Karena keadilan menurut hukum pidana dimana ancaman pidananya harus setimpal dengan perbuatannya. Dengan demikian tidaklah mudah bagi hakim untuk menjatuhkan putusan yang dapat dirasakan suatu keadilan bagi masyarakat, karena dalam hal ini diperlukan kemampuan dan kecakapan seorang hakim di dalam mengadili.
2. Segi Aparat Penegak Hukum Kurang profesionalnya aparat penegak hukum misalnya ditingkat penyidikan dalam rangka untuk mencari dan mengumpulkan bukti dan dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi, dan guna menemukan tersangkanya. Letak kurang profesionalnya penyidik dapat dilihat dari adanya perbedaan antara hasil pemeriksaan dalam tingkatan penyidikan dengan keterangan terdakwa di sidang pengadilan. Hal ini mengharuskan hakim untuk mencari tahu serta meminta keterangan mengenai perbedaan
tersebut. Jadi, seandainya pihak penyidik profesional dalam menangani perkara, maka di dalam mengadili tidak akan membutuhkan waktu yang cukup lama. 3. Segi Masyarakat Di antara segi hambatan yang terdapat di dalam masyarakat adalah sebagai berikut a. Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang hukum. Hal ini membuat masyarakat kurang mengerti dan memahami pentingnya aparat penegak hukum, khususnya pertimbangan-pertimbangan yang diambil oleh hakim di dalam mengadili, sehingga masyarakat kurang menghargai tugas hakim yang diberikan undang-undang. b. Kurangnya kesadaran hukum dikalangan masyarakat Misalnya, orang yang telah ditunjuk atau dibutuhkan untuk memberi kesaksian, walaupun orang tersebut sudah dipanggil dengan surat panggilan yang sah, dia tidak mau datang. Hal ini dapat mengulur waktu pemeriksaan disidang pengadilan. c. Minimnya tingkat pendidikan masyarakat yang dapat menyita waktu lama pada saat pemeriksaan disidang pengadilan. Misalnya pelaku/saksi tidak dapat berbahasa Indonesia, sehingga ketua hakim harus menunjuk seorang guru bahasa sehingga pemeriksaan juga memakan waktu yang tidak sedikit. Demikianlah antara lain kendala-kendala yang dihadapi oleh hakim dalam penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana perampokan disertai pembunuhan.
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian permasalahan menyangkut pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana perampokan disertai pembunuhan mengakibatkan hilangnya nyawa korban di atas, maka untuk selanjutnya penulis mencoba menarik kesimpulan dari permasalahan, yaitu: 1.
Pengaturan Terhadap Masalah Perampokan Disertai Pembunuhan Dalam KUHP. Di
dalam
penerapannya
tindak
pidana
perampokan
disertai
pembunuhan perbuatannya di lakukan secara berbarengan sehingga dalam hal ini di katakan sebagai concursus realis yaitu apabila orang melakukan beberapa perbuatan yang dapat di pandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri dan masing-masing merupakan tindak pidana berupa kejahatan dan atau pelanggaran.Sehingga harus ada seorang pembuat,serentetan tindak pidana yang di lakukan olehnya,tindak pidana itu sejenis atau berhubungan satu sama lain,di antara tindak pidana itu tidak terdapat keputusan hakim. Dari kesimpulan di atas dapat di ketahui bahwa pengaturan masalah perapokan disertai pembunuhan dalam KUHP,diatur di dalam pasal 65 ayat (1) dan (2) yang berbunyi: a. Dalam hal berbarengan beberapa perbuatan yang harus di pandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri,sehingga merupakan beberapa kejahatan yang di ancam dengan pidana pokok yang sejenis maka di jatuhkan satu pidana. b. Maximum pidana yang di jatuhkan ialah jumlah maximum pidana yang di ancam terhadap perbuatan itu,tetapi tidak boleh lebih dari maximum pidana yang terberat di tambah 1/3.
2. Pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana perampokan disertai pembunuhan didasarkan pada pertimbangan (1) yuridis atau perangkat perundang-undangan yang mengaturnya seperti surat dakwaan, alat bukti, dan pertimbangan (2) sosiologis atau hal-hal yang sifatnya sosial kemasyarakatan dari si terdakwa seperti hal-hal yang meringankan terdakwa dan hal-hal yang memberatkan terdakwa. Hal ini akan dirasa cukup adil, meskipun tidak selalu memenuhi rasa keadilan semua pihak. 3. Kendala-kendala yang dihadapi oleh hakim dalam mengadili perkara tindak pidana perampokan disertai pembunuhan dapat terjadi karena: a. Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang hukum. Hal ini membuat masyarakat kurang mengerti dan memahami pentingnya aparat penegak hukum, khususnya pertimbangan-pertimbangan yang diambil oleh hakim di dalam mengadili, sehingga masyarakat kurang menghargai tugas hakim yang diberikan undang-undang. b. Kurangnya kesadaran hukum dikalangan masyarakat itu sendiri. Misalnya, orang yang telah ditunjuk atau dibutuhkan untuk memberi kesaksian, walaupun orang tersebut sudah dipanggil dengan surat panggilan yang sah, dia tidak mau datang. Hal ini dapat mengulur waktu pemeriksaan disidang pengadilan. c. Minimnya tingkat pendidikan masyarakat yang dapat menyita waktu lama pada saat pemeriksaan disidang pengadilan. Misalnya pelaku/saksi tidak dapat berbahasa Indonesia, sehingga ketua hakim harus menunjuk seorang guru bahasa sehingga pemeriksaan juga memakan waktu yang tidak sedikit.
B. Saran Adapun saran yang dapat penulis ajukan atas judul penulis ini adalah sebagai berikut:
1.
Di dalam penerapannya tindak pidana perampokan disertai pembunuhan perbuatannya di lakukan secara berbarengan sehingga dalam hal ini di katakan sebagai concursus realis yaitu apabila orang melakukan beberapa perbuatan yang dapat di pandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri dan masingmasing
merupakan
tindak
pidana
berupa
kejahatan
dan
atau
pelanggaran.Sehingga harus ada seorang pembuat,serentetan tindak pidana yang di lakukan olehnya,tindak pidana itu sejenis atau berhubungan satu sama lain,di antara tindak pidana itu tidak terdapat keputusan hakim 2.
Hendaknya hakim dalam mengadili perkara tindak pidana perampokan disertai pembunuhan dengan mempertimbangkan aspek yuridis dan sosiologi secara teliti, cermat, tepat dan bijaksana, agar putusan yang dikeluarkan mendekati rasa keadilan masyarakat.
3.
Kendala-kendala yang dihadapi oleh hakim dalam mengadili perkara tindak pidana perampokan disertai pembunuhan dapat terjadi karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang hukum, kurangnya kesadaran hukum di kalangan masyarakat itu sendiri, kurang professionalnya penegak hukum, Minimnya tingkat pendidikan masyarakat yang dapat menyita waktu lama pada saat pemeriksaan disidang pengadilan. Misalnya pelaku/saksi tidak dapat berbahasa Indonesia, sehingga ketua hakim harus menunjuk seorang guru bahasa sehingga pemeriksaan juga memakan waktu yang tidak sedikit.
4.
Perlunya peningkatan Sumber Daya Manusia dalam penegak hukum, umumnya penegak hukum dalam lingkungan pidana, seperti polisi, jaksa, hakim dalam penyidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian Dua. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Bambang Sunggono.1997. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Lilik
Mulyadi.
2007.Hukum
Acara
Pidana
Normtif,Teoritis,Praktik,Dan
Permasalahannya.Bandung:PT.Alumni. Martiman Prodjodikoro. 1997. Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana 2. Jakarta : PT. Pradiya Paramita M.Sudrajat Bassar,1986.Tindak-Tindak Pidana Tertentu.Bandung:Remaja Karya Moeljatno. 1993. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Bineka Cipta. Soerjono Soekanto.1990. Penelitian Hukum Normatif. jakarta: Rajawali Pers P.A.F. Lamintang dan C.Djasman Samosir. 1990. Detik-detik khusus. Bandung : Tarsito. Winarno Budyatmojo.2009. Hukum Pidana Kodifikasi. Surakarta: UNS Press Wirjono Prodjodikoro. 1986. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung : PT. Eresco. Yahaya Harahap. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta : Sinar Grafika. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang no 4 tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman