Analisis yuridis pembatalan surat dakwaan oleh hakim dalam perkara pencabulan terhadap anak dibawah umur (studi putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 180 K/Pid/1988)
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh Ginati Ayuningtyas NIM. E.0006276
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010 PERSETUJUAN PEMBIMBING
1
2
Penulisan Hukum (Skripsi)
ANALISIS YURIDIS PEMBATALAN SURAT DAKWAAN OLEH HAKIM DALAM PERKARA PENCABULAN TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR (Studi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 180 K/Pid/1988)
Oleh Ginati Ayuningtyas NIM. E 0006276
Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 3 Juni 2010 Dosen Pembimbing
Bambang Santoso, S. H, M. Hum NIP. 196202091989031001
3
PENGESAHAN PENGUJI
ANALISIS YURIDIS PEMBATALAN SURAT DAKWAAN OLEH HAKIM DALAM PERKARA PENCABULAN TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR (Studi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 180 K/Pid/1988) Oleh Ginati Ayuningtyas NIM. E 0006276
Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada : Hari
: Selasa
Tanggal
: 20 Juli 2010
TIM PENGUJI 1. Bambang Santoso S.H, M.Hum
: (
)
2. Edy Herdyanto S.H, M.H
: (
)
3. Kristiyadi S.H, M.Hum
: (
)
Mengetahui Dekan,
Mohammad Jamin, S.H, M.Hum NIP. 19610930 1986011 001 PERNYATAAN
4
Nama : Ginati Ayuningtyas NIM : E0006276 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul : Analisis Yuridis Pembatalan Surat Dakwaan Oleh Hakim dalam Perkara Pencabulan terhadap Anak di Bawah Umur (Studi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 180 K/Pid/1988) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 3 Juni 2010 yang membuat pernyataan
Ginati Ayuningtyas NIM. E0006276
ABSTRAKSI
5
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, pertimbangan hakim dalam membatalkan surat dakwaan dalam perkara pencabulan terhadap anak dibawah umur karena pengaduan dilakukan oleh orang yang tidak berhak.
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersikap deskriptif dan apabila dilihat dari tujuannya termasuk penelitian hukum normatif atau doktrinal. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan studi pustaka baik dari buku, peraturan perundangundangan, dokumen-dokumen, dan sebagainya. Analisis data menggunakan analisis data kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat dikemukakan bahwa: Pertimbangan Majelis Hakim dalam memutus surat dakwaan batal demi hukum dikarenakan syarat-syarat aduan/ pengaduan yang tidak tepat. Seperti dalam kasus ini korban masih dibawah umur, maka pengaduan terhadap terjadinya delict tersebut, harus diperhatikan Pasal 72 (1) KUHP. Yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah dalam perkara sipil dan dalam uraiannya dijelaskan bagi orang-orang yang tidak tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Sipil ditentukan menutut hukum adat (setempat) jika wakil-wakil seperti diatas tidak ada, maka pengaduan boleh dilakukan Wali atau penilik, isteri, salah seorang keluarga sedarah dalam garis lurus atau bila tidak ada, salah seorang keluarga sedarah dalam garis lurus atas, atau bila tidak ada salah seorang keluarga sedarah dalam garis menimpang sampai derajat ke-3.
Kata kunci: SURAT DAKWAAN, Pembatalan, Pengaduan
ABSTRACT
This study aims to determine, in consideration of the judge to cancel the indictments in the case of sexual abuse against children under the age because of the complaints made by people who are not eligible. This research is being descriptive and when seen from its purpose, including legal research, normative or doctrinal. Types of data used are secondary
6
data. Data collection techniques used by good library of books, legislation, documents, and so forth. Analysis of data using qualitative data analysis. Based on the research and discussion, it can be argued that: Advisory panel of judges in deciding the indictment is null and void due to the terms of complaints / complaints that are not appropriate. Like the victim in this case is still under age, then the complaint on the occurrence of such delict, must be considered Article 72 (1) of the Criminal Code. The right to complain is the legitimate representative of civil disputes and in its description is described for people who are not subject to the Book of Civil Law Act is determined menutut customary law (local) if representatives of the above does not exist, then the complaint should be mayor or overseers, the wife, one of incest in the family straight line or when no, one of incest in the family of straight lines, or when no one in the family incest unbalanced line until the third degree.
Keywords: Indictment, Cancellation, Complaints
MOTTO
“Di dalam ketakutan ada keberanian sejati, bahwa cara untuk mengatasi ketakutan itu adalah dengan menghadapinya” -Puccino-
7
“Hidup adalah sebuah pilihan, dan pilihan itu bukan apa yang akan kita capai tetapi bagaimana cara kita mencapainya” -Penulis“Kemalasan merupakan awal dari kehancuran” -Penulis-
PERSEMBAHAN
8
Penulisan Hukum ini, penulis persembahkan kepada: 1. Yang Maha Esa, sumber dan pangkal segala pengetahuan. 2. Keluargaku · Bapak ibuku tercinta. · Kembaranku yang maniz dan baik hati. · Adikku tersayang. 3. Sahabat-sahabat, teman-temanku, dan 4. Kamu yang membacanya... KATA PENGANTAR
Segala Puji Hormat Kemuliaan hanya bagi Tuhan Yesus Kristus yang telah melimpahkan kasih dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum dengan judul “ANALISIS YURIDIS PEMBATALAN SURAT DAKWAAN OLEH HAKIM DALAM PERKARA PENCABULAN
9
TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR (Studi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 180 K/Pid/1988)” dengan baik dan lancar. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hukum ini, masih banyak kekurangannya. Untuk itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang membangun dari semua pihak, sehingga dapat memperkaya isi penulisan hukum ini. Penulis yakin bahwa keberhasilan di dalam penyelesaian penulisan hukum ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, maka dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Bapak Mohammad Jamin, S.H, M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum UNS yang telah memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyusun dan menyelesaikan penulisan hukum ini. 2. Bapak Edy Herdyanto, S.H, M.H, selaku Ketua Bagian Hukum Acara yang telah memberikan kelancaran kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini. 3. Bapak Bambang Santoso S.H, M.Hum, selaku Pembimbing Skripsi Penulis yang telah banyak membantu memberikan pengarahan, bimbingan serta saran dalam penulisan hukum ini. 4. Bapak Kristiyadi S.H, M.Hum, selaku Dosen Hukum Acara Pidana yang telah membekali penulis dengan ilmu Hukum Acara Pidana. 5. Bapak Muhammad Rustamaji S.H, M.H, selaku Pembimbing Proposal yang telah banyak memberikan
masukan, arahan dan saran dalam penyusunan
proposal penulisan hukum ini. 6. Ibu Dr. I. Gusti Ketut Ayu Rackhmi, S. H, M. M, selaku Pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan bagi tersusunnya penulisan hukum ini dan bimbingan-bimbingan yang berkenaan dengan perkuliahan. 7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu, serta mengajari dan membimbing Penulis sehingga dapat menjadi bekal bagi Penulis dalam penulisan hukum ini.
10
8. Bapak
ibuku
tercinta
yang
telah
melahirkan,
merawat,
menjaga,
membesarkan, membimbing, dan mendidik dengan penuh cinta dan kasih sayang yang tulus. Terima kasih untuk segala pengorbanan, doa, semangat dan dukungan yang bapak dan ibu berikan kepada saya selama ini. 9. Kembaranku yang selalu memahami, mendampingi, serta memberi semangat penulis dalam menyusun Penulisan hukum ini. Semoga skripsi ini dapat membuat inspirasi dan semangatmu untuk segera menyusul wisuda di bulan Desember 2010!Amien. 10. Orang-orang yang telah mengukir crita suka dan duka dalam kehidupan penulis: Sahabat-sahabatku: Iin Wulandari Sukarno Putri, Annisa Ratih, Teni Dwi Ariyanti, Indah Dwi Astuti, Wahyu Agus Kurniawati AS, Sri Sularsih, terima kasih, semoga jalinan persahabatan kita abadi selamanya, AMIEN; Juni Panto Susilo, yang telah mengajarkan pentingnya sebuah perjuangan dan kesabaran; Dhaneswara APP, Trimakasih untuk hari-hari yang menyenangkan (Double date lagi yuk?!)haha….; Antonius Riski Bayu Pramana, Aku yakin dirimu yang sekarang bukanlah dirimu yang “sebenarnya”. Semoga kita semua selalu diberikan yang terbaik olehNya. 11. Teman seperjuanganku untuk mengejar gelar sarjana di bulan September 2010, Nila, Niken, Vera, Semoga perjuangan kita membuahkan hasil kawan!Terimakasih atas bantuan dan kebersamaan kita selama ini. 12. Rekan-rekan angkatan 2006 yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu, terima kasih atas segala pengalaman dan motivasinya. 13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan bagi penulis, baik selama kuliah maupun dalam penyelesaian penulisan hukum ini. Akhir kata mengingat banyaknya bantuan yang telah penulis terima dari berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, sekali lagi penulis mengucapakan terima kasih banyak, semoga Tuhan Yesus Kristus membalas semua kebaikan dan kasih yang telah diberikan kepada penulis.
11
Surakarta, 3 Juni 2010 Penulis
Ginati Ayuningtyas
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..............................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ........................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN .........................................................................
iv
ABSTRAK .......................................................................................................
v
ABSTRACT.....................................................................................................
vi
MOTTO ...........................................................................................................
vii
PERSEMBAHAN............................................................................................
viii
KATA PENGANTAR .....................................................................................
ix
12
DAFTAR ISI....................................................................................................
xii
DAFTAR BAGAN ..........................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................
xv
BAB I
: PENDAHULUAN ..........................................................................
1
A. Latar Belakang .........................................................................
1
B. Rumusan Masalah ....................................................................
7
C. Tujuan Penelitian .....................................................................
8
D. Manfaat Penelitian ...................................................................
8
E. Metode Penelitian ....................................................................
9
F. Sistematika Penulisan Hukum .................................................
11
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA .................................................................
13
A. Kerangka Teori ........................................................................
13
1. Tinjauan tentang Tindak Pidana Pencabulan Anak ...........
13
2. Tinjauan tentang Anak…………………………………… 17 3. Tinjauan tentang Surat Dakwaan .......................................
22
4. Tinjauan tentang Pengaduan ..............................................
29
5. Tinjauan tentang Mahkamah Agung..................................
34
B. Kerangka Pemikiran.................................................................
37
BAB III : HASIL DAN PEMBAHASAN.......................................................
40
Pertimbangan hakim dalam membatalkan surat dakwaan dalam perkara pencabulan terhadap anak dibawah umur karena pengaduan
dilakukan
oleh
orang
yang tidak
berhak........................................................................................ ......
40
BAB IV : PENUTUP………………..............................................................
57
A. Simpulan………….. ................................................................
57
B. Saran…………….....................................................................
57
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
58
LAMPIRAN
13
DAFTAR BAGAN
Bagan 1 : Alur Kerangka Pemikiran.................................................................. 37
14
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 180 K/Pid/1988.
15
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan, dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan pencegahan maupun usaha pemberantasan atau penindakan setelah terjadinya pelanggaran hukum. penegakan hukum itu sendiri merupakan hal yang penting untuk dapat menciptakan keadilan dalam masyarakat sesuai dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia. Peningkatan kemampuan penegak hukum ini penting karena kebanyakan para penegak hukum Indonesia sudah dibiasakan dididik sebagai calon penerap hukum bukan sebagai calon ahli hukum yang dapat memperbaharui hukum. Dalam lingkungan pelaksanaan tugas aparatur penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Maka kejaksaan menduduki posisi kunci karena dalam proses penyelesaian suatu perkara, jaksa penuntut umum mempunyai fungsi yang berada di tengah-tengah penyidik dan hakim. Penuntut umum adalah instansi yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan serta penetapan pengadilan. Salah satu wewenang penuntut umum adalah melakukan penuntutan, namun sebelum melakukan penuntutan, seorang jaksa penuntut umum harus melakukan prapenuntutan yaitu tindakan penuntut umum untuk memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan oleh penyidik ( Andi Hamzah, 1987 : 160-161 ). Dalam hal ini jaksa penuntut umum melakukan penelitian terhadap berkas perkara yang diterima dari penyidik untuk mengetahui apakah telah memenuhi kelengkapan formal dan material, kemudian dari hasil penyidikan inilah jaksa penuntut umum akan menyusun surat dakwaan. Rumusan surat dakwaan harus sejalan dengan pemeriksaan penyidikan. Rumusan surat dakwaan yang menyimpang dari hasil pemeriksaan penyidikan merupakan surat dakwaan yang palsu dan tidak benar. Surat dakwaan yang demikian
16
tidak dapat digunakan oleh jaksa untuk menuntut terdakwa. Misalnya terdakwa menjumpai perumusan surat dakwaan yang menyimpang dari hasil pemeriksaan penyidikan, terdakwa dapat mengajukan keberatan/ eksepsi terhadap dakwaan yang dimaksud. Demikian juga hakim, apabila menjumpai rumusan surat dakwaan yang menyimpang dari hasil pemeriksaan penyidikan, dapat menyatakan surat dakwaan “ tidak dapat diterima” atas alasan isi rumusan surat dakwaan “kabur/ obscuur libel” karena isi rumusan surat dakwaan tidak menegaskan secara jelas realita tindak pidana yang ditemukan dalam pemeriksaan penyidikan dengan apa yang diuraikan dalam surat dakwaan. Apabila pengadilan menerima pelimpahan berkas perkara, maka harus meneliti secara seksama apakah surat dakwaan yang diajukan tidak menyimpang dari hasil pemeriksaan penyidikan dan tentang menyimpang tidaknya rumusan surat dakwaan dengan hasil pemeriksaan penyidikan dapat diketahui hakim dengan jalan menguji rumusan surat dakwaan dengan berita acara pemeriksan penyidikan. (M. Yahya Harahap, 2000 : 387). Begitu pentingnya fungsi dan kedudukan surat dakwaan sehingga jaksa penuntut umum harus sangat berhati-hati dan cermat dalam menyusun surat dakwaan yang baik. Namun terlepas dari semua itu, seringkali masih dijumpai adanya surat dakwaan yang telah dilimpahkan ke pengadilan dinyatakan batal demi hukum atau tidak dapat diterima dalam putusan hakim. Hal ini memang masalah yang banyak dijumpai jaksa penuntut umum dalam penuntutannya. Salah satu contoh kasus yang putusannya menyatakan dakwaan batal demi hukum adalah kasus Pencabulan anak dibawah umur yang diputus Mahkamah Agung dengan Nomor 180 K/Pid/1988. Dalam kasus ini, hakim menyatakan dakwaan batal demi hukum dengan alasan karena pengaduannya dilakukan oleh orang yang tidak berhak. Dalam kasus diatas tindak pidana pencabulan anak tersebut diketahui oleh karena adanya pengaduan. Pengertian Pengaduan/ laporan dapat kita temukan didalam Pasal 1 angka 24 dan 25 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
17
“Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya”(Pasal 1 angka 25 KUHAP). Sedangkan yang dimaksud dengan laporan adalah: “Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana” (Pasal 1 angka 24 KUHAP). Dari definisi diatas maka secara tegas bahwa KUHAP dapat membedakan apa yang dimaksud dengan laporan dan apa yang dimaksud dengan pengaduan adalah sebagai berikut: 1. Pengaduan Sesuai dengan definisi pengaduan diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa ruang lingkup materi dalam pengaduan adalah adanya kepastian telah terjadi sebuah tindak pidana yang termasuk dalam delik aduan, dimana tindakan seorang pengadu yang mengadukan permasalahan pidana delik aduan harus segera ditindak lanjuti dengan sebuah tindakan hukum berupa serangkaian tindakan penyidikan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Artinya dalam proses penerimaan pengaduan dari masyarakat, seorang pejabat yang berwenang dalam hal ini Polri khususnya, harus bisa menentukan apakah sebuah peristiwa yang dilaporkan oleh seorang pengadu merupakan sebuah tindak pidana delik aduan ataukah bukan. Inti dari pernyataan penulis tersebut diatas, bahwa dalam proses penerimaan pengaduan terjadi proses penyaringan oleh pejabat yang menerima pengaduan tersebut sehingga sangat memungkinkan sebuah pengaduan dari masyarakat ditolak oleh pihak Kepolisian karena beberapa hal diantaranya disebabkan oleh: a. Pengaduan disampaikan bukan oleh orang yang berhak mengadu.
18
Syarat utama untuk melakukan proses penyidikan terhadap pasalpasal pidana yang termasuk dalam delik aduan adalah adanya pengaduan dari pihak yang berwenang mengadu. Contoh: Tindak pidana di bidang Merek, Seseorang yang mengadu karena merasa merek miliknya yang telah resmi terdaftar di Dirjen HAKI telah digunakan tanpa hak oleh pihak lain, harus mampu memperlihatkan kepada penyidik bahwa yang bersangkutan adalah pemilik
merek yang terdaftar dengan cara
memperlihatkan sertifikat asli pemegang merek terdaftar yang dikeluarkan oleh Dirjen HAKI. b. Delik aduan yang diadukan termasuk kepada delik aduan absolute namun diinginkan penanganannya layaknya penanganan dalam delik aduan relative (terjadi pemecahan). Yang dimaksud dengan delik aduan absolute adalah tindak pidana delik aduan yang proses penuntutannya tidak dapat dipecah. Contoh: Perzinahan, mukah
(overspel),
adalah contoh
atau
terbaik
yang
tindak
lebih
pidana
dikenal aduan
dengan perselingkuhan
absolut
(absolute
klach
delict). Dalam hal ini, walaupun pasangan yang sedang dimabuk cinta menampakkan semangat bercinta menyala-nyala dan terang-terangan (mamitra ngalang), baik dilakukan dalam lingkungan keluarga, dengan tetangga, dengan teman sekantor atau atasan langsung dalam satu lembaga pemerintah, tidak dapat dituntut oleh pihak berwajib, tanpa ada pengaduan dari pihak yang berhak mengadukan menurut hukum yang berlaku. Pihak yang dianggap paling berhak mengadukan adalah suami, bagi seorang istri yang berselingkuh, atau seorang istri bagi suami yang berselingkuh. Oknum Hansip dan Tramtib, mertua dan ipar, keluarga dekat dan keluarga jauh, apalagi tetangga, tidak berhak mengadukan sebuah "proyek perselingkuhan", dengan maksud agar perbuatan itu dituntut menurut hukum. Kemudian bila ternyata sang suami ingin mengadukan perbuatan selingkuh yang dilakukan istrinya, atau sang istri ingin mengadukan perbuatan
19
selingkuh yang dilakukan suaminya, pengaduan yang dibuat tidak dapat dipecah dalam arti sang suami atau sang istri tidak bisa hanya mengadukan selingkuhan pasangannya saja tanpa berniat mengadukan pasangannya sendiri. Penanganan terhadap delik aduan relative sangat berbeda dengan penanganan delik aduan absolute, perbedaan terletak pada kehendak pelapor untuk memilah-milah pihak yang ingin diproses hukum, berikut adalah contoh peristiwa pengaduan terhadap deli aduan relative. Contoh: Seorang ayah memiliki lima orang anak, suatu ketika kelima anak tersebut mencuri barangbarang milik sang ayah. Dalam hal ini sang ayah dapat saja mengadukan hanya salah satu anak dari kelima anaknya yang telah mencuri barang-barang miliknya. Misalnya saja dalam membuat pengaduan kepada pejabat yang berwenang sang ayah hanya mengadukan perbuatan anaknya yang bungsu. Dalam hal ini pejabat yang berwenang dapat langsung melakukan proses penyidikan terhadap anak bungsu dari sang ayah.
2. Laporan Berbeda dengan pengaduan, pelaporan merupakan sebuah bentuk pemberitahuan kepada pejabat yang berwenang bahwa telah atau sedang atau diduga akan terjadinya sebuah peristiwa pidana. Artinya sebuah peristiwa yang dilaporkan oleh masyarakat belum tentu merupakan sebuah peristiwa pidana sehingga dibutuhkan sebuah tindakan penyelidikan oleh pejabat yang berwenang untuk menentukan apakah peristiwa tersebut merupakan sebuah peristiwa pidana atau bukan. Tindakan penyelidikan untuk menentukan apakah sebuah peristiwa merupakan peristiwa pidana atau bukan merupakan sebuah kewajiban bagi pejabat yang berwenang ketika menerima sebuah laporan dari masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) KUHAP, yaitu :
20
“Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.” Ketidakpahaman anggota Polri terhadap perbedaan mendasar terhadap laporan dan aduan kerap kali menimbulkan kesalahan dalam proses penerimaannya yang berakibat negative terhadap citra Polri karena masyarakat yang ingin membuat laporan sering ditolak karena tidak membawa sebuah bukti yang jelas, sementara masyarakat berpersepsi bahwa beban untuk mencari barang-bukti tidak terletak pada pundak masyarakat, melainkan menjadi tugas Polri sebagai pihak yang diberi tugas dan kewenangan oleh peraturan perundang-undangan untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang ada untuk melakukan tindakan penyidikan terhadap tersangka. Dalam kasus ini oleh karena tindak pidana tersebut diketahui melalui adanya pengaduan, maka tindak pidana dalam kasus pencabulan anak dibawah umur ini termasuk dalam jenis tindak pidana aduan (klachtdelict). Delik aduan yaitu delik yang penuntutannya tergantung pada adanya aduan dari pihak yang dirugikan. Pada prinsipnya semua orang memiliki hak atau kewajiban untuk melakukan pengaduan atau membuat laporan yang berkaitan dengan adanya suatu pelanggaran hukum. Khusus untuk pengaduan, secara hukum, pihak yang melakukan pengaduan harus memiliki kepentingan hukum. Orang yang berhak mengadu, jika yang menderita atau korban kejahatan suatu tindak pidana, sudah dewasa maka tidak menimbulkan permasalahan karena korban itulah yang berhak mengadu. Masalah timbul, jika korban suatu tindak pidana aduan belum dewasa. Hal ini diatur oleh Pasal 72 KUHP dan Pasal 73 KUHP. Berdasarkan rumusan Pasal 72 KUHP maka yang berhak mengadu adalah: 1. wakilnya yang sah; 2. wali pengawas/wali pengampu; 3. keluarga sedarah sampai derajat ketiga.
21
Jika korban kejahatan telah meninggal dunia maka pengaduan diatur oleh Pasal 73 KUHP. Dengan demikian jika korban kejahatan telah meninggal dunia maka yang berhak mengajukan pengaduan secara limitatif berdasar Pasal 73 KUHP yakni: 1. Orang tuanya 2. Anaknya 3. Isteri/ duami yang masih hidup
Dalam hal ini penulis ingin mengetahui pertimbangan hakim dalam membatalkan surat dakwaan dalam perkara pencabulan terhadap anak dibawah umur karena pengaduan dilakukan oleh orang yang tidak berhak. Berdasarkan latar belakang masalah di atas dan mencermati hal-hal yang mungkin timbul dari segala permasalahan di atas, maka dalam penelitian hukum ini penulis memilih judul : “ANALISIS YURIDIS PEMBATALAN SURAT DAKWAAN
OLEH
HAKIM
DALAM
PERKARA
PENCABULAN
TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR (Studi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 180 K/Pid/1988)”.
B. RUMUSAN MASALAH Untuk mempermudah pemahaman terhadap permasalahan yang akan dibahas serta untuk lebih mengarahkan pembahasan, maka perumusan masalah yang diangkat adalah sebagai berikut: Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam membatalkan surat dakwaan dalam perkara pencabulan terhadap anak dibawah umur karena pengaduan dilakukan oleh orang yang tidak berhak?
C. TUJUAN PENELITIAN
22
Dalam suatu kegiatan harus memiliki suatu tujuan tertentu yang hendak dicapai. Suatu penelitian dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah antara lain sebagai berikut:
1. Tujuan Obyektif Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam membatalkan surat dakwaan dalam perkara pencabulan terhadap anak dibawah umur karena pengaduan dilakukan oleh orang yang tidak berhak. 2. Tujuan Subyektif a. Untuk memperoleh data-data sebagai bahan utama penyusunan penulisan hukum (skripsi) agar dapat memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret; b. Untuk memperluas pengetahuan dan pengalaman serta pemahaman aspek hukum dalam teori; c. Untuk menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh agar dapat memberikan manfaat bagi penulis pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
D. MANFAAT PENELITIAN Dalam suatu penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi bidang ilmu yang diteliti. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan masukan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya, dalam ilmu hukum pada umumnya dan khususnya hukum acara pidana yang berkaitan dengan pembatalan surat dakwaan; b. Sebagai upaya untuk menambah pengetahuan tentang surat dakwaan yang batal demi hukum.
23
2. Manfaat Praktis a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi untuk penelitianpenelitian serupa di masa yang akan datang; b. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti; c. Untuk mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis sekaligus untuk mengetahui sejauh mana kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
E. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan penulis dalam melakukan penelitian ini adalah: 1. Jenis Penelitian Jenis peneltian yang digunakan penulis adalah penelitian hukum normatif atau doktrinal, dengan metode pendekatan kualitatif. Penelitian normatif dapat diartikan sebagai penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti.
2. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat preskriptif dan teknis atau terapan. Hal tersebut merujuk pada teori Peter Mahmud Marzuki, yakni ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai preskriptif atau terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas atau aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagi ilmu terapan, ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuanketentuan, rambu-rambu dalam aturan hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 41).
24
3. Pendekatan Penelitian Pendekatan (approach) yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kasus. Menurut Peter Mahmud Marzuki, dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh peneliti adalah ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 119). Dalam hal ini adalah alasan hakim untuk membatalkan surat dakwaan dalam perkara pencabulan anak dibawah umur ini karena pengaduaannya dilakukan oleh orang yang tidak berhak.
4. Jenis Data dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, yaitu data dari bahan-bahan kepustakaan yang antara lain meliputi : bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, Koran, majalah, jurnal maupun arsip-arsip yang sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti. Berkaitan dengan jenis data yang digunakan, maka sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder, yang terdiri dari: a. Bahan hukum primer yang berupa: 1) KUHP; 2) KUHAP; 3) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; 4) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; 5) UU Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung; 6) Putusan No. 180 K/Pid/1988; 7) Peraturan lainnya yang terkait dengan topik penelitian. b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekender, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta memahami bahan hukum primer, berupa buku-buku, hasil penelitian dan bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan penelitian.
25
5. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis dalam penulisan hukum ini adalah studi kepustakaan, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengkaji dan mempelajari bahan-bahan tertulis yang berupa bahan-bahan dokumen resmi, peraturan perundang-undangan, laporan, buku-buku kepustakaan, dan lain-lain yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti.
6. Teknik Analisis Data Analisis data adalah tahapan yang dilakukan peneliti dalam mengklasifikasi, menguraikan data yang diperoleh kemudian melalui proses pengolahan nantinya data yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Metode deduksi yang digunakan penulis untuk menganalisa data yang diperoleh dalam penelitian ini. Sedangkan yang dimaksud dengan metode deduksi adalah metode yang berpangkal dari pengajuan premis mayor yang kemudian diajukan premis minor, kemudian dari kedua premis tersebut ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 47). Metode deduksi yang dilakukan dalam penelitian ini diawali penelitian dengan mengajukan hal yang bersifat umum dan diakhiri dengan kesimpulan yang bersifat khusus.
F. SISTEMATIKA PENULISAN Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan dalam penulisan hukum serta untuk mempermudah pemahaman mengenai seluruh isi penulisan hukum ini, maka peneliti menjabarkan dalam bentuk sistematika penulisan hukum yang terdiri dari 4 (empat) bab dimana tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman mengenai seluruh isi penulisan hukum ini.
26
Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
BAB I
: PENDAHULUAN Pada bab ini, penulis menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika skripsi.
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini Penulis menguraikan Kerangka teori, yang berisi tinjauan umum tentang indak pidana pencabulan anak; tinjauan umum tentang anak yang meliputi pengertian anak dan perlindungan terhadap anak; tinjauan umum tentang surat dakwaan yang meliputi pengertian surat dakwaan, bentuk surat dakwaan, syarat surat dakwaan, dan perubahan dan pembatalan terhadap surat dakwaan; tinjauan umum tentang pengaduan yang meliputi perbedaan pengaduan dan laporan, pihak yang berhak mengadu, jenis pengaduan; tinjauan umum tentang Mahkamah Agung yang meliputi pengertian Mahkamah Agung dan tugas dan wewenang Mahkamah Agung serta kerangka pemikiran dan penjelasannya.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini penulis menguraikan dan menyajikan pembahasan berdasarkan rumusan masalah, yaitu: pertimbangan hakim dalam membatalkan surat dakwaan dalam perkara pencabulan terhadap anak dibawah umur karena pengaduan dilakukan oleh orang yang tidak berhak.
BAB IV
: PENUTUP Bab ini menguraiakan kesimpulan dan saran terkait dengan permasalahan yang diteliti.
27
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. KERANGKA TEORI 1. Tinjauan Umum Tindak Pidana Pencabulan Anak Akhir-akhir ini kasus kasus tindak pidana kesusilaan yang meliputi tindak pidana pemerkosaan dan pencabulan terhadap orang dewasa maupun anak-anak telah mengalami peningkatan yang sangat signifikan sehingga menimbulkan keresahan bagi masayarakat yang mempunyai anggota keluarga perempuan . Dan yang membuat kecewa bagi keluarga korban karena para pelaku tindak pidana keusilaan seringkali hanya mendapat vonis hukuman yang sangat ringan tidak sebanding dengan penderitaan korban. Hal ini yang menimbulkan ketidakpuasan masyarakat terhadap penegakan hukum terhadap tindak pidana kesusilaan. Tindak pidana kesusilaan yaitu tindak pidana pencabulan dapat dilihat dalam KUHP yaitu diatur dalam Pasal 289-296. Dari pasal diatas dapat disimpulkan bahwa perbuatan cabul adalah termasuk dalam tindak pidana yang mempunyai dimensi luas karena tidak hanya terhadap lain jenis melainkan juga terhadap sesama jenis. Pencabulan berasal dari kata ”cabul”. Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”cabul” memiliki arti sebagai berikut: keji dan kotor, tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan). (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1898:142). Perbuatan cabul digolongkan sebagai salah satu bentuk kejahatan terhadap kesusilaan. KUHP yang digunakan sekarang belum mendefinisikan dengan jelas maksud daripada perbuatan cabul itu sendiri dan terkesan mencapur artikan kata dengan persetubuhan maupun perkosaan. Dalam rancangan KUHP yang baru sudah terdapat penambahan kata ”persetubuhan” disamping kata ”perbuatan cabul”. Dari perumusan tersebut dapat dilihat bahwa pengertian perbuatan cabul dan
13
14
persetubuhan sangatlah dibedakan. Perbuatan cabul biasanya ditujukan untuk perbuatan-perbuatan tidak senonoh yang tidak bisa menimbulkan kehamilan. Jadi jelaslah bahwa perbuatan cabul dan persetubuhan akan dapat menimbulkan akibat yang berbeda dan tentunya kedua perbuatan cabul tersebut masuk dalam perbuatan melanggar kesusilaan. Untuk dapat menyatakan seseorang terdakwa mempunyai kesengajaan melakukan tindak pidana pencabulan, Penuntut umum dan hakim harus dapat membuktikan tentang: a. Adanya kehendak atau maksud terdakwa melakukan kekerasan; b. Adanya kehendak atau maksud terdakwa mengancam akan memakai kekerasan c. Adanya pengetahuan para terdakwa bahwa yang dipaksa itu adalah seseorang dan hal itu mengajukan perbuatan yang memuaskan nafsu birahinya yang bersifat melanggar kesusilaan d. Adanya kehendak atau maksud terdakwa untuk memaksa. Apabila perbuatan cabul yang dilakukan pelaku tidak tercapai maksudnya, misalnya karena adanya perlawanan dari korban, maka ia dipersalahkan melakukan percobaan pencabulan yang ketentuannya diatur dalam Pasal 53 ayat (1) jo 289 KUHP. Adapun syarat-syarat adanya percobaan pada pasal diatas adalah adanya suatu keharusan-keharusan: a. Adanya suatu niat dari pelaku unuk melakuakan perbuatan cabul; b. Bahwa niat tersebut terwujud dalam suatu permulaan tindakan pelaksanaan, misalya dengan cara mengancam akan menganiaya korban apabila tidak mau melayani perbuatan cabul. c. Pelaksanaannya itu sendiri tidak selesai karena hal yang ada brada di luar pelaku misalnya ketahuan orang lain, korban melawan atau melarikan diri. Berdasarkan uraian diatas, perbuatan cabul terjadi apabila telah terjadi persetubuhan antara si pelaku dengan korban. Bila yang menjadi korban adalah anak dibawah umur, maka pemidanaan berdasar Pasal 290 ayat 2 KUHP berbunyi:
15
”Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum 15 tahun atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin.” Pasal ini merupakan pasal perlindungan terhadap anak atau remaja. Perlu diperhatikan bahwa dalam pasal ini orang dapat ditafsirkan bahwa anak yang belum cukup 15 tahun atau belum pantas dikawin adalah anak laki-laki ataupun anak perempuan. Adapun rumusan Pasal 292 KUHP menyatakan orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga belum dewasa, diancam dengan pidana paling lama 5 tahun. Pasal 293 KUHP menyebutkan: ”Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan seseorang belum cukup umur dan baik tingkah lakunya; untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum cukup umurnya itu diketahui ayau selayaknya harus diduga, diancam dngan pidana penjara paling lama lima tahun.” Ketentuan lain yang mengatur tindakan pencabualan terhadap anak dibawah umur terdapat dalam Pasal 294 ayat 1 KUHP yang menyatakan: ”Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau dengan orang yang belum cukup umur yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannaya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahaannya yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.” Dari isi pasal-pasal yang disebutkan diatas maka secara tegas disebutkan bahwa kejahatan pencabulan terhadap anak dibawah umur merupakan salah satu kejahatan kesusilaan. Untuk mencegah hal tersebut tidak berlebihan apabila anak di bawah umur haru dilindungi secara hukum karena dianggap belum dapat membuat pertimbangan-pertimbangan ketika menghadapi suatu masalah secara mandiri dan matang,
16
Perbuatan cabul tidak dapat dilihat sebagai persoalan moral semata, didalammya juga mencakup volence atau kekerasan yang dianggap merupakan pelanggaran dan pengingkaran terhadap hak asasi manusia khususnya anak-anak. Beberapa hal yang membedaka konsep tindak pidana pencabulan menurut RUU KUHP dengan KUHP yaitu bahwa adanya ketentuan ancaman pidana minimum terhadap orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap anak dibawah umur. Rancangan KUHP ini merupakan langkah maju dibandingkan dengan KUHP yang berlaku saat ini yang cenderung tidak bisa mengakomodasikan perkembangan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Diluar KUHP juga ada ketentuan pidana yang megatur tentang pencabulan terhadap anak dibawah umur, ketentuan tersebut terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Seorang pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak dibawah umur selain dapat dijerat dalam pasal KUHP juga dapat dijerat dengan Undang-Undang Perrlindungan anak, bahkan menurut penulis harus ditetapkan UU Perlindungan Anak karena ini merupakan UndangUndang khusus, jadi berlaku asas lexspecialist derogate lex generalis. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 81 yaitu sebagai berikut: ”(1) Setiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjuara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000, 00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”. Ketentuan dalan Pasal 82 menjelaskan bahwa: ”Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakuka tipu muslhat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan atau membiarkan dialakuan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”.
17
KUHP dan Undang nomor 23 tahun 2002 tersebut terdapat perbedaan dalam penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku tindak pidana kesusilaan yang dalam hal ini adalah pelaku pencabulan yang korbannya adalah anak-anak, dalam KUHP tidak terdapat adanya hukuman minimal, hanya ada hukuman pidana maksimal dan dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 disebutkan adanya hukuman pidana maksimal dan minimal, disamping itu adanya tambahan pidana denda harus dibayar oleh pelaku tindak pidana yang diancamkan secara komulatif.
2. Tinjauan Umum Tentang Anak
a. Pengertian Anak Anak adalah amanah sekaligus karunia dari Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak-anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita ciata bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang (Endang Sumiarni dan Chandera Halim, 2000: 1-2).
Definisi mengenai pengertian anak dapat dilihat dari berbagai macam peratuaran perundang-undangan sebagai berikut (Darwan Prinst, 2003: 2): 1) Undang-Undang Pengadilan Anak Undang-Undang Pengadilan anak (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997) Pasal 1 (2) merumuskan, bahwa anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 tahun, tetapi belum mencapai umur 18 tahun. Sedangkan syarat kedua si anak belum pernah kawin. Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila si anak sedang
18
terikat dalam perkawinan atau perkawinannya putus karena perceraian, maka si anak dianggap sudah dewasa; walaupun umurnya belum genap 18 tahun. 2) Definisi anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 3) Definisi anak menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh Satu) tahun dan belum pernah kawin (pasal 1 ayat (2)).
4) Definisi anak menurut UndangUndang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dalam undang-undang ini terdapat dalam Pasal 1 ayat (8) dijelaskam mengenai anak didik pemasyarakatan yang terdiri dari anak pidana, anak negara dan anak sipil. Dan didefinisikan sebagai berikut: a) Anak pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun; b) Anak negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama sampai berumur18 (delapan belas) tahun c) Anak sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
5) Anak dalam hukum Perburuhan
19
Pasal 1 (1) Undang-Undang Pokok Perburuan (UndangUndang Nomor 12 Tahun 1984) mendefinisikan, anak adalah orang laki-laki atau perempuan berumur 14 tahun kebawah.
6) Anak menurut KUHP Pasal 45 KUHP mendefinisikan anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 tahun. Oleh karena itu. apabila ia tersangkut dalam perkara pidana, hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya; walinya atau pemeliharaannya dengan tidak dikenakan suatu hukuman, atau memerintahkannnya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan memerintahkannya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman. Ketentuan Pasal 35, 46, dan 47 KUHP ini sudah dihapuskan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997. KUHP mengatur umur anak sebagai korban pidana adalah belum genap berumur 15 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal-Pasal 285, 287, 290, 292, 293, 294, 295, 297 KUHP dan lain-lain. PasalPasal itu tidak mengkualifikasinya sebagai tindak pidana, apabila dilakukan dengan/ terhadap orang dewasa, akan tetapi sebaliknya menjadi tindak pidana karena dilakukan dengan/ terhadap anak yang belum berusia 15 tahun.
7) Anak menurut Hukum Perdata Pasal 330 KUH Perdata mengatakan, orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dulu telah kawin.
8) Anak menurut Undang-Undang Perkawinan
20
Pasal 7 (1) Undang-Undang Pokok Perkawinan (UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974) mengatakan, seorang pria hanya diizinkan kawin apabila telah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita telah mencapai umur 16 tahun. Penyimpangan atas hal tersebut hanya dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan Negeri. Dalam praktek terdapat kesulitan menentukan usia ini, karena tidak semua orang mempunyai akta kelahiran atau Surat Kenal Lahir. Akibatnya adakalanya menentukan usia ini dipergunakan rapor, Surat Babtis, atau Surat Keterangan dari Kepala Desa/ Lurah saja. Karenanya kadang kala terdapat kejanggalan, anak berbadan besar lengkap dengan kumis dan jenggotnya, tapi menurut keterangan usia masih muda. Sedangkan adakalanya orang yang terlibat kasus pidana membuat keterangan dia masih anak-anak sementara usia sudah dewasa dan sudah kawin. 9) Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) Definition of the child (Article 1): “The Convention defines a 'child' as a person below the age of 18, unless the laws of a particular country set the legal age for adulthood younger”. The Committee on the Rights of the Child, the monitoring body for the Convention, has encouraged States to review the age of majority if it is set below 18 and to increase the level of protection for all children under 18. (http://www.crin.org/resources/treaties/CRC.asp?catName=International+T reatie. Diakses 22 Juni 2010 Pukul 21.00). Definisi Anak dalam Konvensi Hak Anak adalah setiap manusia di bawah umur delapan belas tahun kecuali, menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal. Dalam hal ini, Komisi tentang Hak-hak Anak, badan pemantauan untuk Konvensi, telah mendorong Amerika untuk meninjau usia sebagian
21
besar jika sudah diatur di bawah umur 18 tahun dan untuk meningkatkan level perlindungan untuk semua anak di bawah umur 18 tahun.
b. Perlindungan Terhadap Anak Seorang anak merupakan seorang individu yang juga mempunyai hak asasi, hak asai anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 menjelaskan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 serta prinsipprinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi (Endang Sumiarni dan Chandra Halim, 2000: 2): 1) non diskriminasi 2) kepentingan yang terbaik bagi anak 3) hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan 4) penghargaan terhadap pendapat anak. Yang dimaksud perlindungan anak adalah segala upaya yang ditujukan untuk mencegah, merehabilitasi, dan memperdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran agar dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara wajar, baik fisik, mental maupun sosialnya (Sholeh Soeaidy, 2001: 4). Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002 dijelaskan pengertian mengenai perlindungan anak yaitu:
22
”Segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskrimimnasi”(Pasal 1 butir 2 UU No. 23 yahun 2002) Dalam kasus tindak pidana kesuilaan yang korbannya adalah anak-anak, di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 17 ayat (2) dijelskan bahwa: ”Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakian”. Jadi dalam hal ini perlindungan anak sebagai korban maupun pelaku dari tindak pidana kekerasan seksual mempunyai hak untuk dirahasiakan agar identitas mereka tidak diketahui oleh masyarakat luas. Hak mereka sebagai anak dilindungi oleh undang-undang.
3. Tinjauan Umum Tentang Surat Dakwaan a. Pengertian Surat Dakwaan Berbagai pengertian tentang surat dakwaan telah dikemukakan oleh pakar di bidang hukum pidana atau hukum acara pidana. Pengertianpengertian tersebut antara lain: 1) M. Yahya Harahap, surat dakwaan adalah : surat atau akta yang memuat rumusan tindak pidana yang dari dakwaan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik hasil pemeriksaan penyidikan,dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan dimuka sidang pengadilan. (M. Yahya Harahap, 2000: 375-376). 2) Harun Husein menyatakan bahwa surat dakwaan adalah suatu surat yang diberi tanggal dan ditandatangani oleh jaksa penuntut umum, yang memuat uraian tentang identitas lengkap terdakwa, perumusan tindak pidana yang didakwakan yang dipadukan dengan unsur-unsur tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan pidana yang
23
bersangkutan, disertai uraian tentang waktu dan tempat tindak pidana dilakukan oleh terdakwa, surat yang mana menjadi dasar dan batas ruang lingkup pemeriksaan di sidang pengadilan. (Harun M. Husein, 2000 :43). 3) Karim Nasution menyatakan bahwa tuduhan (dakwaan) adalah suatu surat atau akta yang memuat perumusan tindak pidana yang dituduhkan, yang sementara dapat disimpulkan dari surat-surat pemeriksaan pendahuluan yang merupakan dasar bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan, yang bila ternyata cukup bukti, terdakwa dapat dijatuhi hukuman. (A. Karim Nasution, 1981 : 75). Dari berbagai definisi di atas, dapat ditarik inti persamannya sebagai berikut:
1) Sebagaimana suatu akta surat dakwaan harus mencantumkan tanggal pembuatannya dan tanda tangan pembuatnya. 2) Bahwa dalam surat dakwaan harus mencantumkan tentang tindak pidana yang didakwakan beserta waktu dan tempat dilakukan tindak pidana. 3) Bahwa dalam perumusan tindak pidana yang didokumentasikan kepada terdakwa haruslah dilakukan secara cermat, jelas, dan lengkap sebagaimana diisyaratkan dalam ketentuan undang-undang. 4) Bahwa surat dakwaan merupakan dasar pemeriksaan perkara disidang pengadilan.
b. Bentuk-bentuk Surat dakwaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tidak menetapkan bagaimana bentuk surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum. Mengenai bentuk-bentuk surat dakwaan yang dikenal sekarang ini adalah merupakan produk yang timbul dari ilmu pengetahuan hukum dan praktek peradilan.
24
Dalam literatur dan yurisprudensi dikenal adanya beberapa bentuk surat dakwaan. Bentuk mana yang setepatnya untuk dipergunakan dalam menuntut suatu perkara, tidak dapat ditentukan sebagai patokan umum, karena bentuk dakwaan akan sangat bergantung pada corak tindak pidana yang ditangani penuntutannya. Bentuk-bentuk surat dakwaan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Surat Dakwaan Tunggal Dalam bentuk surat dakwaan tunggal ini hanya didakwakan satu perbuatan pidana dan hanya dicantumkan satu pasal yang dilanggar. Penyusunan dakwaan ini sangat mengandung resiko karena kalau dakwaan satu-satunya ini gagal dibuktikan dalam persidangan maka tidak ada alternatif lain kecuali terdakwa dibebaskan. Dalam praktek
kadang-kadang
ditemui
suatu
keadaan
perkara
yang
berdasarkan bukti-bukti yang ada sulit dicari alasan untuk mendakwa perbuatan pidana yang lain, maka terpaksa disusun dakwaan secara tunggal. Penyusunan surat dakwaan tunggal merupakan penyusunan surat dakwaan yang teringan jika dibandingkan dengan surat dakwaan lain, karena penuntut umum hanya memfokuskan pada sebuah permasalahan saja. Hal ini berarti bahwa penyusunan surat dakwaan tunggal
mempunyai
sifat
sederhana
yaitu
sederhana
dalam
perumusannya maupun sederhana dalam pembuktian dan penerapan hukumnya. Contoh dakwaan tunggal misalnya hanya didakwakan tindak pidana pencurian. (Pasal 362 KUHP)
2) Surat Dakwaan Alternatif Dasar pertimbangan penggunaan dakwaan alternatif adalah karena penuntut umum belum yakin benar tentang kualifikasi atau pasal yang tepat untuk diterapkan kepada tindak pidana tersebut, maka untuk memperkecil peluang lolosnya terdakwa dari dakwaan digunakan bentuk dakwaan alternatif. Dalam surat dakwaan ini didakwakan
beberapa
perumusan
tindak
pidana,
tetapi
pada
25
hakekatnya yang merupakan tujuan utama adalah hanya ingin membuktikan satu tindak pidana saja diantara rangkaian tindak pidana yang didakwakan. Dalam dakwaan ini terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis, lapisan yang satu merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya. Meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan, tetapi hanya satu dakwaan yang akan dibuktikan. Pembuktian dakwaan tidak perlu dilakukan secara berurut sesuai lapisan dakwaan, tetapi langsung kepada dakwaan yang dipandang terbukti. Apabila salah satu telah terbukti maka dakwaan pada lapisan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi. Contohnya didakwakan: Pertama
: Pencurian ( Pasal 362 KUHP)
Kedua
: Penadahan ( Pasal 480 KUHP)
3) Surat Dakwaan Subsidair Bentuk dakwaan subsidier akan dibuat oleh Penuntut Umum, bilamana penuntut umum berpendapat bahwa tersangka hanya melakukan satu tindak pidana akan tetapi ia ragu-ragu tentang tindak pidana apa yang dilakukan oleh tersangka. Dalam dakwaan ini dirumuskan beberapa perumusan tindak pidana yang disusun sedemikian rupa dari yang berat sampai yang paling ringan. Hal ini dimaksudkan agar terdakwa tidak lepas dari pemidanaan. Contohnya didakwakan: Primair
: Pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP)
Subsidair
: Pembunuhan (Pasal 338 KUHP)
4) Surat Dakwaan Kumulatif Dakwaan dalam bentuk kumulatif akan dibuat oleh penuntut umum, bila ia berpendapat bahwa tersangka melakukan dua atau lebih tindak pidana. Dalam surat dakwaan ini, beberapa tindak pidana masing-masing berdiri sendiri artinya tidak ada hubungan antara tindak
26
pidana yang satu terhadap yang lain dan didakwakan secara serempak. Dalam hal ini didakwakan beberapa tindak pidana sekaligus ke semua dakwaan harus dibuktikan satu demi satu. Tindak pidana yang didakwakan masing-masing berdiri sendiri, tetapi didakwakan secara serempak asal saja pelaku dari tindak pidana itu adalah sama. Dakwaan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan dituntut pembebasan dari dakwaan tersebut. Contohnya didakwakan: Kesatu
: Pembunuhan ( Pasal 338 KUHP)
Kedua
: Pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP)
5) Surat Dakwaan Kombinasi (Gabungan) Dalam perkembangan praktek penyusunan surat dakwaan dewasa ini, dikenal bentuk surat dakwaan yang disebut dakwaan kombinasi/
gabungan.
Dakwaan
kombinasi
adalah
merupakan
kombinasi dari dakwaan yang berbentuk alternatif dengan dakwaan subsidair/ antara dakwaan kumulatif dengan dakwaan subsidair/ antar dakwaan kumulatif dengan dakwaan alternatif, dan sebagainya. Surat dakwaan ini harus diperhatikan secara teliti mengenai bentuk-bentuk dari kumulasinya, dan jangan sampai upaya untuk mencegah terdakwa lepas dari dakwaan justru memperluas kemungkinan terdakwa untuk lepas
dari
dakwaan.
Timbulnya
bentuk
ini
seiring
dengan
perkembangan di bidang kriminalitas yang semakin variatif baik dalam bentuk
atau
jenisnya
maupun
dalam
modus
operasi
dipergunakan. Contohnya didakwakan: Kesatu Primair
: Pembunuhaan berencana (Pasal 340 KUHP)
Subsidair : Pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP) Kedua
yang
27
Primair
: Sengaja membakar (Pasal 187 KUHP)
Subsidair : Karena kesalahannya yang mengakibatkan kebakaran (Pasal 188 KUHP) Ketiga Primair
: Pencurian yang didahului/ disertai dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP)
Subsidair : Pencurian pada waktu malam/ yang dilakukan bersamasama oleh dua orang/ lebih ( Pasal 363 KUHP)
c. Syarat-syarat Surat Dakwaan Berdasarkan Pasal 143 KUHAP, maka surat dakwaan harus memenuhi syarat formil dan syarat materiil.
1) Syarat Formil Syarat formil diatur dalam Pasal 143 ayat (2) a KUHAP. Dalam
syarat
ini
hendaknya
surat
dakwaan
diberi
tanggal,
menyebutkan dengan lengkap identitas terdakwa yang meliputi nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaaan terdakwa kemudian surat dakwaan itu harus ditandatangani oleh penuntut umum. 2) Syarat Materiil Bahwa menurut Pasal 143 ayat (2) b KUHAP, surat dakwaan harus berisi uraian secara cermat, jelas dan lengkap tentang tindak pidana yang dilakukan dengan menyebutkan waktu dan tempat dimana tindak pidana itu dilakukan. Adapun pengertian dari cermat, jelas dan lengkap adalah sebagai berikut (Darwan Prinst, 1998 : 117-119): a) Cermat Cermat adalah ketelitian penuntut umum dalam membuat surat dakwaan yang didasarkan pada undang-undang yang berlaku
28
serta menghindari hal-hal yang akan berakibat bahwa dakwaan itu menjadi batal atau dapat dibatalkan. b) Jelas Jelas adalah bahwa penuntut umum harus merumuskan unsur-unsur dari delik yang didakwakan sekaligus mengadukan dengan uraian perbuatan material (fakta) yang dilakukan oleh terdakwa dalam surat dakwaan. c) Lengkap Lengkap adalah surat dakwaan harus mencakupi semua unsur yang ditentukan oleh undang-undang dengan baik dan benar.
d. Perubahan dan Pembatalan Terhadap Surat Dakwaan Telah disebutkan bahwa surat dakwaan harus disusun secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai perbuatan pidana yang didakwakan, tetapi sifat khilaf secara manusiawi dapat menghinggapi setiap orang termasuk jaksa penuntut umum, apabila terjadi ketidaksempurnaan dalam pembuatan surat dakwaan. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memberi kelonggaran dengan memberi kesempatan kepada jaksa penuntut umum untuk mengadakan perubahan. Adapun ketentuan ini diatur dalam Pasal 144 Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana yang berbunyi: a) Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya. b) Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai. c) Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia menyampaikan turunannya kepada tersangka atau penasehat hukum dan penyidik. Dari ketentuan di atas dapatlah disimpulkan (Hari Sasongko dan Tjuk Suharjanto, 1988: 63): a) Perubahan surat dakwaan dilakukan oleh penuntut umum;
29
b) Waktu perubahan tersebut adalah 7 (tujuh) hari sebelum sidang; c) Perubahan surat dakwaan hanya satu kali saja; d) Turunan perubahan surat dakwaan haruslah diberikan kepada tersangka atau penasehat hukum dan penyidik. Menurut Mederburg, pembatalan surat dakwaan ada 2 (dua) macam yaitu: a) Pembatalan formil (Formale Nietigheid) Pembatalan formil adalah pembatalan surat dakwaan yang disebabkan karena surat dakwaan yang disebabkan karena surat dakwaan tidak memenuhi syarat-syarat mutlak yang ditentukan undang-undang. Dalam KUHAP hal ini ditunjukkan oleh Pasal 143 ayat (2) b yaitu tentang surat dakwaan yang tidak memenuhi persyaratan material. Surat dakwaan yang demikian menurut Pasal 143 ayat (3) KUHAP adalah batal demi hukum. (Darwin Prints, 1998 : 121). Arti dari dakwaan “ batal demi hukum” berarti bahwa dakwaan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum dan dakwaan tersebut dianggap “tidak pernah ada”. Dalam hal ini maka keadaan perkara kembali ke status semula yaitu status sebagaimana semula dalam keadaan belum dilimpahkan sehingga penuntut umum jika hendak melimpahkan perkara lagi harus memperbaiki surat dakwaan atau mengajukan upaya banding (Leden Marpaung, 1992:322).
b) Pembatalan hakiki (Wezenlijke Nietigheid) Pembatalan hakiki adalah pembatalan yang menurut penilaian hakim sendiri, yang disebabkan karena tidak terpenuhinya suatu syarat yang dianggap essensial, contohnya adalah pembuatan surat dakwaan yang tidak terang, sehingga dari isinya tidak dapat dilihat surat dakwaan seperti yang dikehendaki oleh undang-undang. Oleh sebab itu surat dakwaan itu tidak memenuhi tujuan yang sebenarnya walaupun syarat material telah terpenuhi. Dakwaan yang kabur dan tidak jelas seperti ini disebut Obccuur libel. Dalam hal ini maka hakim harus menyatakan surat dakwaan batal
30
secara formil karena adanya sesuatu kekurangan yang disyaratkan undangundang. Apabila surat dakwaan dinyatakan batal demi hukum, sikap yang paling tepat dan singkat yaitu jaksa penuntut umum tidak perlu mengajukan upaya banding namun langsung menyempurnakan rumusan surat dakwaan untuk segera dalam waktu singkat diajukan kembali ke pengadilan (M. Yahya Harahap, 2000:452).
4. Tinjauan Umum Tentang Pengaduan a. Perbedaan Pengaduan dan Laporan Pengaduan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah proses, cara, perbuatan mengadu. Namun uraian yang relatif lebih jelas tentang pengaduan tercantum dalam Pasal 1 angka 25 Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP), yakni: Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang, untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya. Sedangkan definisi tentang laporan terdapat dalam Pasal 1 angka 24 KUHAP, yakni: Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak dan kewajiban berdasarkan Undang-Undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. Definisi pengaduan dan laporan tersebut diatas memang khusus untuk hukum pidana, namun, dari pengertian tersebut, kita dapat mengambil pengertian umum bahwa pengaduan dan laporan merupakan suatu tindakan pemberitahuan oleh pihak-pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang tentang adanya suatu peristiwa hukum. Tindakan pemberitahuan
31
tersebut dimaksudkan agar peristiwa hukum yang terjadi dapat ditindaklanjuti oleh pejabat yang berwenang. Penulis mencari ketentuan KUHAP yang sama dengan Pasal 45 HIR itu, namun tidak berhasil. Dalam Pasal 45 HIR itu diatur tentang laporan dan pengaduan. Antara keduanya ada perbedaan yaitu sebagai berikut:
1) Pengaduan hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu saja yang disebut dalam undang-undang dan dalam kejahatan tertentu saja. Laporan dapat dilakukan oleh siapa saja terhadap semua macam delik. 2) Pengaduan dapat ditarik kembali sedangkan laporan tidak dapat, bahkan seseorang yang melaporkan orang lain telah melakukan delik padahal tidak benar, dapat dituntut melakukan delik laporan palsu. 3) Pengaduan mempunyai jangka waktu tertentu untuk mengajukan (Pasal 74 KUHP) sedangkan laporan dapat dilakukan setiap waktu. 4) Sebenarnya pengaduan itu merupakan suatu permintaan kepada penuntut umum agar tersangka dituntut. b. Pihak yang Berhak Mengadu Pada prinsipnya semua orang memiliki hak atau kewajiban untuk melakukan pengaduan atau membuat laporan yang berkaitan dengan adanya suatu pelanggaran hukum. Khusus untuk pengaduan, secara hukum, pihak yang melakukan pengaduan harus memiliki kepentingan hukum. Kepentingan hukum ini dapat menyangkut kepentingan pribadi maupun kepentingan sebuah kelompok, organisasi, atau kepentingan masyarakat secara umum yang disesuaikan dengan maksud dan tujuan atau cita-cita yang akan dicapai dari pengaduan tersebut. Pihak-pihak yang dapat mengadu antara lain:
1) Seorang atau masyarakat yang menjadi korban atau keluarganya
32
2) Organisasi masyarakat 3) Organisasi politik 4) Lembaga Swadaya Masyarakat 5) Instansi pemerintah terkait Khusus mengenai pengaduan yang dilakukan oleh instansi pemerintah, dalam hal ini pegawai negeri, selain merupakan hak, dalam kondisi tertentu merupakan suatu kewajiban seperti dinyatakan dalam Pasal 108 ayat (3) KUHAP: “Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik”. Orang yang berhak mengadu, jika yang menderita atau korban kejahatan suatu tindak pidana, sudah dewasa maka tidak menimbulkan permasalahan karena korban itulah yang berhak mengadu. Masalah timbul, jika korban suatu tindak pidana aduan belum dewasa. Hal ini diatur oleh Pasal 72 KUHP dan Pasal 73 KUHP. Pasal 72 KUHP bunyinya sebagai berikut: “(1) Selama orang yang terhadapnya dilakukan kejahatan yang hanya boleh dituntut atas pngaduan, umurnya belum cukup enam belas tahun dan lagi belum dewasa atau selama ia dibawah pengampuan yang disebabkan oleh hal lain daripada keborosan, maka wakilnya yang sah dalam perkara perdata yang berhak mengadu. (2) Jika wakil itu tidak ada atau ia sendiri yang harus diadukan maka penuntutan dapat dilakukan atas pengaduan wali pengawas atau wali pengampu atau majelis yang menjalankan kewajiban wali atau seorang keluarga sedarah dalam turunan yang lurus, atau pada ketiadaan keluarga sedarah itu atas pengaduan keluarga sedarah dalam turunan yang menyimpang sampai derajat ketiga”. Berdasarkan rumusan Pasal 72 KUHP maka yang berhak mengadu adalah: 1) wakilnya yang sah;
33
2) wali pengawas/wali pengampu; 3) keluarga sedarah sampai derajat ketiga. Jika korban kejahatan telah meninggal dunia maka pengaduan diatur oleh Pasal 73 KUHP yang bunyinya sebagai berikut: “Jika orang yang terhadapnya dilakukan kejahatan itu telah meninggal dunia, dalam tempo yang ditetapkan dalam pasal berikut, maka dengan tak usah menambah tempo itu, penuntutan itu boleh dilakukan atas pengaduan orang tuanya, anaknya atau suami/isteri yang masih hidup kecuali jika nyata, bahwa yang meninggal itu tidak menghendaki penuntutan”. Dengan demikian jika korban kejahatan telah meninggal dunia maka yang berhak mengajukan pengaduan secara limitatif dimuat Pasal 73 KUHP yakni: 1) Orang tuanya 2) Anaknya 3) Isteri/ duami yang masih hidup Pengaduan dapat dilakukan dalam hal:
1) Terjadi pelanggaran hukum oleh individu atau kelompok dalam kapasitas sebagai pribadi 2) Terjadi pelanggaran atau penyimpangan dalam melakukan tugas, fungsi, dan kewenangan sebagai penyelenggara negara dan/ atau pejabat publik. Pengaduan dapat dilakukan dalam hal terjadinya suatu tindakan yang dilakukan oleh pihak lain di mana tindakan tersebut mengakibatkan atau menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya. Tindakan yang mengakibatkan atau menimbulkan kerugian itu disebut pelanggaran Pelanggaran yang terjadi tidak hanya dilakukan oleh individu secara pribadi atau kelompok, tetapi juga bisa terjadi ketika pelaku pelanggaran adalah aparat pemerintah atau aparat negara, seperti pejabat pemerintah (birokrat), hakim, jaksa, polisi dan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI). Bahkan bagi
34
kaum
profesionalpun,
tidak
menutup
kemungkinan
dapat
melakukan
pelanggaran dalam melaksanakan profesinya. Kaum professional itu, misalnya Advokat, notaris, dan dokter atau tenaga medis.
c. Jenis Pengaduan
Perlu diperhatikan bahwa pengaduan itu ada dua macam (Andi Hamzah, 2000: 123): a. Pengaduan yang Absolut (absolute klachtdelikt) Dalam pengaduan yang absolute, hanya dapat dilakukan penyidikan jika telah ada pengaduan. Jadi, delik itu sendiri menentukan apakah merupakan delik aduan ataukah tidak. Umpama: Pasal 284 KUHP (mukah), Pasal 287 KUHP (bersetubuh dengan perempuan dibawah umur), Pasal 293 KUHP (membujuk anak dibawah umur untuk berbuat cabul), Pasal 310-321 KUHP (Penghinaan). b. Pengaduan yang relatif (relative klachtdelikt) Dalam pengaduan yang relatif, pada umumnya deliknya sendiri merupakan delik biasa, tetapi ditinjau dari orang yang melakukannya, maka menjadi delik aduan. Oleh karena itu, berbeda dengan yang tersebut pertama, maka dalam pengaduan yang relatif ini penyidikan dapat dilakukan meskipun tidak ada pengaduan. Hanya pada tingkat penuntutan, barulah diperlukan adanya pengaduan yang tertulis yang dilampirkan pada berkas perkara. Kalau pengaduan tertulis itu tidak dilampirkan, maka hakim dapat menolak tuntutan jaksa (niet ontvankelijk verklaring van het OM).
5. Tinjauan Umum tentang Mahkamah Agung
35
a. Pengertian Mahkamah Agung Sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, bahwa : “ Mahkamah Agung adalah Lembaga Tinggi Negara sebagaimana dimaksud dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum untuk dapat menciptakan hukum yang benar-benar adil maka diperlukan suatu badan peradilan tertinggi dari semua lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004). Mahkamah agung adalah puncak kekuasaan peradilan dan fungsi peradilan di Indonesia. Dalam mewujudkan prinsip keadilan dan kebenaran hukum, Mahkamah Agunglah yang menjadi puncak harapan seluruh masyarakat indonesia. Tetapi, sebagai puncak aspirasi akan keadilan itu, tugas Mahkamah Agung pada pokoknya bukanlah dalam pembuatan hukum ataupun dalam pelaksanaan hukum dan penegakan hukum. Fungsi Mahkamah Agung itu adalah untuk menghakimi perkara-pekara ketidakadilan yang muncul, sehingga dapat diputuskan secara tepat Demi Keadilan Berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa.
b. Tugas dan Wewenang Mahkamah Agung Mahkamah Agung merupakan badan peradilan tertinggi di Indonesia, yang berkedudukan di Ibu kota Negara Indonesia. Mahkamah Agung bukanlah merupakan pengadilan tingkat ketiga, tetapi sebagai hakim pengawas ataupun hakim kasasi. Hakim Kasasi tidak dapat menilai secara keseluruhan isi dari putusan pengadilan yang lebih rendah. Tegasnya hakim Mahkamah Agung bertugas semata-mata sebagai hakim pengawas, yaitu meliputi pengawasan terhadap jalannya peradilan, pekerjaan pengadilan dan tingkah laku hakimhakim di semua lingkungan badan peradilan. Menurut Pasal 11 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Agung mempunyai kewenangan:
36
1) Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung; 2) Menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang; dan 3) Kewenangan lainnya yang diberikan Undang-Undang. Kewenangan Mahkamah Agung juga diatur oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, yaitu : 1) Meminta keterangan dan pertimbangan dari : a) Pengadilan di semua lingkungan peradilan (Pasal 32 ayat (3) Jo Pasal 38); b) Jaksa Agung (Pasal 44 ayat (2)); c) Pejabat lain yang diserahi tugas penuntutan perkara pidana. 2) Membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran jalannya peradilan (Pasal 79); 3) Mengatur sendiri administrasinya baik administrasi peradilan maupun administrasi umum. Kewenangan Mahkamah Agung tersebut didasarkan pada kekuasaan yang diberikan oleh peraturan perUndang-Undangan yang meliputi : 1) Memeriksa dan memutus permohonan kasasi, sengketa wewenang mengadili, permohonan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 28); 2) Memberi pertimbangan dalam bidang hukum, baik diminta atau tidak kepada Lembaga Tinggi Negara (Pasal 37); 3) Memberi nasehat hukum kepada presiden sebagai Kepala Negara untuk pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35); 4) Melaksanakan tugas dan wewenag lain berdasarkan Undang-Undang (Pasal 39).
37
38
B. KERANGKA PEMIKIRAN Pengaduan
Delik
Pencabulan Anak di Bawah Umur
Penyelidikan
Penuntutan
Pemeriksaan di Muka Sidang
BAP
Dakwaan
Dakwaan Ditolak
Orang yang tidak berhak
Bagan. 1
Pertimbangan hakim dalam membatalkan Surat Dakwaan
Penjelasan Kerangka Pemikiran: Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum. Dalam bagan ini
ini suatu delik diketahui karena adanya suatu pengaduan. Pengaduan, yaitu
pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seseorang yang telah melakukan
39
tindak pidana aduan yang merugikan (Pasal 1 butir 25 KUHAP). Dalam hal ini delik yang terjadi adalah Pencabulan anak dibawah umur. Untuk itu, dilakukanlah suatu proses pembuktian peradilan. Dimulai dengan adanya penyelidikan. Menurut Pasal 1 butir 5 KUHAP, penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur oleh dalam Undang-Undang. Adapun pihak yang berwenang untuk melakukan penyelidikan menurut Pasal 4 KUHAP adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia. Apabila setelah melalui tahap penyelidikan dapat ditentukan bahwa suatu peristiwa merupakan suatu peristiwa pidana, maka dilanjutkan dengan tahap penyidikan. Menurut Pasal 1 butir 2 KUHAP serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Pihak yang berwenang melakukan penyidikan menurut Pasal 6 KUHAP adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undangundang. Ketika melaksanakan penyelidikan dan penyidikan, para aparat penegak hukum melakukan suatu upaya paksa, yaitu serangkaian tindakan untuk kepentingan penyidikan yang terdiri dari penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan dan pemeriksaan surat. Para penyidik kemudian menuangkan hasil penyidikan tersebut kedalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). BAP ini kemudian diserahkan oleh penyidik kepada penuntut umum untuk dipelajari dan diteliti kelengkapannya sebagai dasar untuk membuat surat dakwaan. Menurut Pasal 38 KUHAP, penuntut umum mengembalikan BAP tersebut kepada penyidik apabila penuntut umum menilai bahwa BAP tersebut belum lengkap .
40
Pengembalian tersebut disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi oleh penyidik dalam waktu 14 hari setelah penerimaan berkas. Setelah BAP ditetapkan dan penuntut umum menilai bahwa BAP tersebut telah lengkap, penuntut umum kemudian akan membuat surat dakwaan dan dilanjutkan ke tahap penuntutan. Dalam tahap penuntutan ini diperoleh suatu dakwaan mengenai kasus pencabulan anak dibawah umur tersebut. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan di muka persidangan. Pada tahap ini dakwaan mengenai kasus pencabulan anak dibawah umur ini ditolak oleh hakim, alasannya karena hakim beranggapan bahwa pengaduan delik pencabulan anak dibawah umur ini dilakukan oleh orang yang tidak berhak. Untuk itu perlu diketahuinya kebenaran mengenai pertimbangan hakim dalam membatalkan surat dakwaan dalam perkara pencabulan terhadap anak dibawah umur karena pengaduan dilakukan oleh orang yang tidak berhak.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMBATALKAN SURAT DAKWAAN DALAM PERKARA PENCABULAN TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR KARENA PENGADUAN DILAKUKAN OLEH ORANG YANG TIDAK BERHAK
Paparan perkara pencabulan terhadap anak dibawah umur dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 180 K/Pid/1988 dengan Terdakwa Ambo Rizal Pontoh adalah sebagai berikut : 1. Kasus Posisi Ambo R. Pontoh, pada suatu hari mengajak seorang anak gadis Dewi Binol, yang baru umur 6 tahun, untuk pergi bermain-main dengan janji akan diberikan uang Rp. 50,- untuk jajan. Dewi yang masih kecil ini menuruti kemauan Pemuda Ambo R. Pontoh untuk bermain di pekarangan dibelakang rumah Nurdin Binol, paman Dewi. Pada saat bermain-main pemuda Ambo R. Pontoh mengatakan kepada Dewi, bahwa ia akan buang air dan Dewi diajaknya. Disemak-semak pekarangan tersebut, Ambo R. Pontoh membuka celananya. Saat celana dibuka, pemuda tersebut menarik Dewi, direbahkan disemak-semak dan celana gadis ini dibukanya. Saat itulah si pemuda lalu menyetubuhi Dewi, Dewi ketakutan. Beberapa saat kemudian, Nurdin Binol mengetahui kejadian tersebut. Dewi ditanya tidak dapat menjawab, karena takut dan menangis sambil mengatakan kesakitan di celananya. Kejadian tersebut lalu dilaporkan oleh Nurdin Binol kepada Kepolisian dan menuntut agar Ambo R. Pontoh ditindak menurut hukum. Di pijak lain, hasil Visum et Repertum dokter menyatakan bahwa Dewi sudah disetubuhi seorang pria.
40
41
2. Identitas Terdakwa
Nama
: AMBO RIZAL PONTOH
Tempat Lahir
: Bolang Itang
Umur/ tanggal lahir
: 17 tahun / 17 Nopember 1970
Jenis kelamin
: Laki-laki
Kebangsaan/ Kewarganegaraan : Indonesia Tempat Tinggal
: Desa Bolang Itang, Kecamatan Bolang Itang, Kabupaten Bolang Mongondow
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Tiada
Pendidikan
: SMP Kelas 1
3. Dakwaan
Terdakwa dalam persidangan oleh Penuntut Umum didakwa melakukan tindak sebagai berikut : PRIMAIR : Bahwa ia terdakwa Ambo Rizal Pontoh pada hari Minggu tanggal 31 1987 sekitar jam 15.00 WITA, atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan Mei atau sekitar waktu itu, bertempat di desa Bolang Itang di belakang rumahnya lelaki Nurdin Binol atau ditempat-tempat lain dalam wilayah Kecamatan Bolang Itang yang masuk kopetensi Pengadilan Negeri Kotamobagu, ia terdakwa pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut diatas, dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan bernama Dewi Binol yang baru berusia kurang lebih 6 tahun dan bukan isterinya bersetubuh dengan dia terdakwa, atau setidak-tidaknya ia terdakwa telah memperkosa perempuan Dewi Binol, dengan cara ia terdakwa Dewi Binol untuk pergi mencari kayu dibelakang rumahnya lelaki Nurdin Binol dan setibanya mereka disuatu tempat di semak- semak yang rumputnya tinggi dan tebal ia terdakwa membohongi perempuan Dewi Binol dengan mengatakan ia
42
mau buang air besar yang ternyata ia terdakwa hanya memperlihatkan kemaluannya dihadapan perempuan Dewi Binol, kemudian ia terdakwa langsung memegang tangan kiri perempuan Dewi Binol dan membaringkan di atas rumput dan langsung menimpa di atas badan perempuan Dewi Binol kemudian terdakwa membuka celana dalam perempuan Dewi Binol dan memasukkan kemaluannya yang sudah dalam keadaan tegang ke dalam lobang kemaluan perempuan Dewi Binol dengan paksa sambil mencium-cium perempuan Dewi Binol sehingga perempuan Dewi Binol merasa kemaluannya sangat sakit dan hendak berteriak akan tetapi terdakwa menutup mulut perempuan Dewi Binol sehingga tidak dapat berteriak dan dengan keadaan yang demikian ia terdakwa menyetub uhi perempuan Dewi Binol sehinnga terdakwa merasa nikmat, dan sebagai akibat perbuatan terdakwa tersebut perempuan Dewi Binol terganggu kesehatannya dan mengalami hal-hal sebagaimana terurai dalam Visum Et Repertum an. korban perempuan Dewi Binol, tertanggal 1 Juni 1987 No.199/PKM-BI/VI/1987 yang dibuat oleh dr. Ruddy Handoyo, Kepala Puskesmas Bolang Itang sebagai berikut: Hasil Pemeriksaan: a. Pada tubuh penderita tak diketemukan tanda-tanda kekerasan b. Payudara tubuh sesuai usia, puting susu dan gelangan susu warna kecoklatan. c. Perut bentuk biasa, tidak diketemukan tanda-tanda kekerasan. d. Alat kelamin: 1) Rambut kemaluan belum tumbuh. 2) Mulut kemaluan luar dan mulut kemaluan dalam bentuk biasa, tidak diketemukan tanda-tanda kekerasan. 3) Disekitar muara saluran kencing terdapat hemetom (resapan darah), ukuran satu kali satu mili meter pada jam satu, dua kali satu milimeter pada jam lima dan jam enam, serta luka robek ukuran satua kali mili meter pada jam tiga. 4) Selaput dara tampak sudah robek, pada jam tujuh, jam dua belas dan jam satu. 5) Liang senggama dapat dilalui satu jari kelingking agar longgar.
43
Kesimpulan: Robeknya himen. hematom (resapan darah) dan luka disekitar muara saluran kencing disebabkan oleh benturan dengan benda tumpul. Atas perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam hukuman dalam Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
SUBSIDAIR: Bahwa ia terdakwa Ambo Rizal Pontoh pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut dalam dakwaan primair telah melakukan persetubuhan dengan perempuan bernama Dewi Binol yang berumur kurang lebih 6 tahun dan bukan isterinya sedang diketahuinya atau harus patut disangkanya bahwa umur perempuan itu belum cukup 15 tahun atau belum masanya untuk kawin, dengan cara ia terdakwa mengajak perempuan Dewi Binol pergi kesemak-semak dibelakang rumahnya lelaki Nurdin Binol dan setelah mereka berada ditempat tersebut terdakwa langsung membaringkan perempuan Dewi Binol diatas rumput dan menyetubuhinyabsehingga terdakwa merasa nikmat, dan sebagai akibat perbuatan terdakwa `tersebut perempuan Dewi Binol telah terganggu kesehatannya dan mengalami hal-hal sebagaimana tersebut dalam Visum Et Repertum tertanggal 1 Juni 1987an. dewi Binol yang dibuat oleh dr Rudy Handoyo, Kepala Puskesmas Bolang Itang sebagaimana tersebut dan terurai dalam dakwaan Primair. Atas perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 287 (1) KUHP.
LEBIH SUBSIDAIR: Bahwa ia terdakwa Ambo Rizal Pontoh pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut dalam dakwaan Primair, telah dengan sengaja membujuk atau menggoda perempuan Dewi Binol yang baru berumur 6 tahun dan tidak cacat
44
kelakuannya atau yang harus diketahuinya atau harus patut disangkanya belum dewasa atau belum masanya untuk kawin, setidak-tidaknya ia terdakwa dengan salah mempergunakan pengaruh yang berlebih-lebihan atau dengan tipu, sengaja membujuk perempuan Dewi Binol untuk melakukan perbuatan cabul dengan ia terdakwa atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul , dengan cara ia terdakwa membujuk perempuan Dewi Binol untuk pergi mencari kayu dibelakang rumahnya lelaki Nurdin Binol, kemudian ia terdakwa membujuk perempuan Dewi Binol untuk melakukan perbuatan cabul dengan menjanjiakan kepada perempuan Dewi Binol akan memberikan uang sebesar Rp 50, - dan sebuah kalung bersih putih sehingga perempuan Dewi Binol tertarik dan mengikuti ia terdakwa dan setibanya mereka disuatu tempat semak-semak yang rumputnya tinggi dan tebal terdakwa mengatakan ia mau buang air besar yang ternyata terdakwa bukan buang air besar tetapi memperlihatkan kemaluannya dihadapan perempuan Dewi Binol kemudian ia terdakwa memegang tangan perempuan Dewi Binol dan membaringkan diatas rumput kemudian menimpa diatas badan perempuan Dewi Binol dan mencium-cium sambil membuka celana dalamnya perempuan Dewi Binol dan memasukkan batang kemaluannya yang sudah tegang kedalam lobang kemaluan perempuan Dewi Binol dan menyetubuhinya sambil mengatakan sedap-sedap, sehingga perempuan Dewi Binol terasa kemaluannya sangat sakit serta mengakibatkan dan mengalami hal-hal sebagaimana tersebut dalam Visum Et Repertum yang dibuat oleh dr. Rudy Handoyo, Kepala Puskesmas Bolang Itang terurai sebagaimana dalam dakwaan primair. Atas perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam hukuman dalam Pasal 290 (2) yo. Pasal 293 (1) KUHP.
4. Tuntutan Penuntut Umum
Penuntut Umum/ Jaksa berdasarkan pembuktian terhadap dakwaan di persidangan , maka mengajukan tuntutan pidana sebagai berikut : a. Membebaskan terdakwa Ambo Rizal Pontoh dari dakwaan Primair;
45
b. Menyatakan terdakwa Ambo Rizal Pontoh bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 287 (1) KUHP dalam surat dakwaan Subsidair; c. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Ambo Rizal Pontoh dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun potong tahanan; dengan perintah terdakwa tetap ditahan; d. Menyatakan supaya terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.2500, (dua ribu limaratus rupiah). 5. Amar Putusan Pengadilan Negeri a. Menyatakan terdakwa Ambo Rizal Pontoh tersebut diatas; 1) Dalam dakwaan primair melanggar Pasal 285 KUHP tidak terbukti secara sah dan meyakinkan oleh karena itu membebaskan terdakwa dari dakwaan primair tersebut; 2) Dalam dakwaan Subsidair dan Lebih Subsidair, oleh karena syarat-syarat aduan/ pengaduan tidak tepat, tentang orang yang harus mengadu, maka dakwaan Subsidair dan Lebih Subsidair tidak dapat diterima. b. Menyatakan terdakwa dikeluarkan dari tahanan segera mungkin; c. Membebankan biaya perkara kepada Negara sebesar Rp 2500,- (Dua ribu lima ratus rupiah. 6. Alasan Pengajuan Kasasi Keberatan-keberatan yang diajukan oleh pemohon kasasi/ Penuntut Umum/ Jaksa pada pokoknya adalah sebagai berikut: Bahwa Pengadilan Negeri dalam menjatuhkan putusan dan dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut telah melakukan kekeliruan, yakni: a. Tidak menerapkan atau menerapkan peraturan hukum tidak sebagaimana mestinya, yakni dalam hal: 1) Bahwa putusan Pengadilan Negeri tersebut tidak jelas, apakah terdakwa terbukti atau tidak melanggar perbuatan sebagaimana yang didakwakan pemohon kasasi/ Penuntut Umum/ Jaksa dan juga tidak menyatakan
46
hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa karena putusannya tersebut tidak memenuhi ketentuan Pasal 197 (1) KUHAP; 2) Bahwa dalam putusan tersebut dinyatakan dakwaan Subsidair dan Lebih Subsidair oleh karena syarat-syarat pengaduan tidak tepat tentang orang yang harus mengadu maka dakwaan tersebut tidak dapat diterima b. Sedangkan menurut penjelasan Pasal 287 (2) dinyatakan bahwa peristiwa sebagaimana dimaksud Pasal 287 (1) adalah delik aduan kecuali bila umur perempuan itu belum 12 tahun atau peristiwa itu berakibat luka berat atu mati; c. Dalam dakwaan Subsidair dan Lebih Subsidair korbannya Dewi Binol umurnya baru 6 tahun, sehingga jelas pengaduannya tidak mutlak harus dari orang tua saksi korban, siapa saja yang menemukan kejadian tersebut, dapat melaporkan/ mengadukan kepada pihak yang berwenang; d. Dalam perkara ini pengaduan dilakukan oleh paman saksi korban yaitu Nurdin Binol kepada Polsek Bolang Itang dan/ dengan pengaduan tersebut penyidikan dilakukan; e. Kasus perkara terdakwa telah diperiksa oleh Pengadilan Negeri secara berturutturut yaitu: 1) Tanggal 30 Juli 1987 surat dakwaan dibacakan dipersidangan, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi korban, Dewi Binol, saksi Nurdin Binol, Andi Made Boosbi, Sri Damayanti, Djenaan dan akhirnya pemeriksaan terdakwa; 2) Pada sidang tanggal 3 Agustus 1987 pembacaan tuntutan pidana oleh pemohon kasasi/ Penuntut Umum/ Jaksa kemudian sidang ditunda ke tanggal 3 Agustus 1987 untuk memberikan kesempatan pada terdakwa mengajukan pembelaannya; 3) Sidang tanggal 3 Agustus 1987 terdakwa membacakan nota pembelaannya, kemudian tanggal 6 Agustus 1987 dengan acara membacakan putusan terhadap perkara terdakwa; 4) Sidang tanggal 6 Agustus 1987 Majelis Hakim memberitahukan bahwa putusan ditunda ke tanggal 7Agustus 1987; 5) Sidang tanggal 7 Agustus 1987 Majelis hakim membacakan putusannya dalam perkara terdakwa.
47
f.
Dalam pemeriksaan dipersidangan Majelis Hakim yang mengadili perkara ini tidak menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan/ sebgaiman adiatur dalam Pasal 287 (2) KUHAP.
7. Pertimbangan Hakim Kasasi Dalam rangka menjatuhkan putusan, maka Hakim Kasasi membuat pertimbangan sebagai berikut: a. Bahwa atas keberatan-keberatan yang diajukan oleh pemohon kasasi/ Penuntut Umum/ Jaksa tersebut, maka Mahkamah Agung berpendapat bahwa keberatankeberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena putusan Pengadilan Negeri terhadap dakwaan Subsidair dan lebih Subsidair Penuntut Umum/ Jaksa seharusnya mengajukan banding dan bukan langsung mengajukan pemohonan kasasi; b. Bahwa berdasarkan alasan-alasan yang diuraikan diatas lagi pula tidak ternyata, bahwa putusan judex facti dalam perkara ini bertentangan dengan hukum dan/ atau Undang-Undang, maka permohonan kasasi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima; c. Memperhatikan Undang-Undang No .14 Tahun 1970, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 dan Undang-Undang No 14 tahun 1985.
8. Amar Putusan Kasasi a. Menyatakan tidak dapat diterima permohonan kasai dari pemohon kasasi: Penunturt Umum/ Jaksa pada Kejaksaan Negeri di kota Mobagu tersebut; b. Membebankan biaya perkara dalam tingkat kasasi ini kepada negara.
9. Pembahasan
48
Bentuk putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan tergantung dari hasil mufakat musyawarah hakim berdasarkan pada penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan. Surat dakwaan sangat penting artinya dalam pemeriksaan perkara pidana, karena surat dakwaan menjadi dasar dan menentukan batas-batas bagi pemeriksaan hakim. Putusan yang diambil oleh hakim hanya boleh mengenai peristiwa-peristiwa yang terletak dalam batas-batas yang ditentukan dalam surat dakwaan. Bagi hakim manfaat surat dakwaan yaitu antara lain sebagai dasar pemeriksaan di sidang pengadilan, sebagai dasar putusan yang akan dijatuhkan, dan sebagai dasar membuktikan terbukti atau tidaknya kesalahan terdakwa. ( Darwan Prinst, 1998: 115-117 ). Hakim dalam memutus suatu perkara memiliki kebebasan karena kedudukan hakim secara konstutisional dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25 yang berbunyi bahwa Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh dan campur tangan kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam Undang-Undang tentang kedudukan para hakim. Hal ini sesuai dengan ciri dari Negara hukum itu sendiri yaitu terdapat suatu kemerdekaan hakim yang bebas, tidak memihak dan tidak dipengaruhi oleh Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif. Kebebasan hakim tersebut tidak dapat diartikan bahwa hakim dapat melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap suatu perkara yang sedang ditanganinya, akan tetapi hakim tetap terikat pada peraturan hukum yang berlaku. Dalam hal kebebasan hakim ini, juga berarti bahwa hakim harus dapat memberi penjelasan dalam menerapkan Undang-Undang terhadap suatu perkara yang ditanganinya. Penjelasan tersebut diberikan berdasarkan penafsiran dari hakim itu sendiri. Penafsiran disini bukan semata-mata berdasaran akal, ataupun sebuah uraian secara logis, namun hakim dalam hal ini harus bisa memilih berbagai kemungkinan berdasarkan keyakinannya.
49
Hakim sebagai penentu untuk memutuskan suatu perkara yang diajukan ke pengadilan,
dalam
menjatuhkan
putusan
harus
memiliki
pertimbangan-
pertimbangan. Adapun pertimbangan-pertimbangan hakim tersebut, di samping berdasarkan pasal-pasal yang diterapkan terhadap terdakwa, sesungguhnya juga didasarkan atas keyakinan dan kebijaksanaan hakim itu sendiri. Hakim dalam mengadili suatu perkara berdasarkan hati nuraninya. Sehingga hakim yang satu dengan yang lain memiliki pertimbangan yang berbeda-beda dalam menjatuhkan suatu putusan. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Aparatur penegak hukum menncakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim dan petugas-petugas sipir pemasyarakatan.
Setiap aparat dan aparatur
terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana. Pada proses pemeriksaan dalam persidangan pada permulaan sidang diawali dengan Hakim Ketua membuka sidang yang terbuka untuk umum, kemudian dilanjutkan dengan Hakim Ketua sidang menanyakan kepada terdakwa tentang Identitas terdakwa, serta mengingatkan terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya dalam sidang sesudah itu Hakim Ketua sidang meminta kepada Penuntut Umum untuk membacakan surat dakwaan selanjutnya hakim Ketua Sidang menanyakan kepada terdakwa apakah ia sudah benar-benar mengerti dari isi surat dakwaan Penuntut Umum. Apabila tidak mengerti Penuntut Umum harus memberikan penjelasan yang diperlukan atas dakwaan terhadap terdakwa.
Kemudian
terdakwa
dengan
penasihat
hukumnya
mengajukan
keberatannya (Eksepsi). Kemudian Hakim Ketua Sidang melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi, alat bukti dan pemeriksaan terdakwa. Apabila pemeriksaan ini
50
dianggap cukup, maka penuntut umum atau jaksa membacakan surat tuntutan (Requisitor). Selanjutnya terdakwa dan penasehat hukumnya dapat mengajukan pembelaan (pledoi), dengan mengajukan replik,
terdakwa atau penasehat
hukumnya dapat menanggapi replik dengan mengajukan duplik. Kemudian majelis hakim menjatuhkan putusan. Tindak Pidana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam surat dakwaan menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dengan mempertimbangkan apakah unsur-unsur dari perbuatan yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum terhadap terdakwa terbukti atau tidak.
Hakim “atasan” seperti hakim anggota Mahkamah Agung/ hakim anggota Pengadilan Tinggi tidak berhak dan berwenang untuk mendikte kepada hakim Pengadilan Negeri. Dalam hal ini hakim-hakim dalam semua tingkatan mempunyai kewenangan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas dan kewajibannya yang dilindungi oleh UUD 1945 dan Pancasila serta selalu mendasarkan keputusannya kepada hukum, kebenaran dan keadilan. Surat dakwaan sangat penting artinya dalam pemeriksaan perkara pidana karena surat dakwaan menjadi dasar dan menentukan batas-batas bagi pemeriksaan hakim. Surat dakwaan yang tidak memenuhi persyaratn formil maupun materiil dapat dinyatakan tidak dapat diterima maupun batal demi hukum dalam putusan hakim.
Sebagaimana yang terjadi dalam perkara
pencabulan anak dibawah umur yang pengaduannya dilakukan oleh orang yang tidak berhak, surat dakwaan atas perkara tersebut telah diputuskan batal demi hukum atau tidak dapat diterima oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kotamobagu. Putusan ini adalah berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersendiri dari hakim. Pertimbangan Majelis Hakim yang teramat penting dalam memutuskan surat dakwaan batal demi hukum adalah karena Dakwaan Subsidair dan Lebih Subsidair Penuntut Umum, oleh karena syarat-syarat aduan/ pengaduan tidak tepat, tentang orang yang harus mengadu, maka dakwaan Subsidair dan Lebih Subsidair tidak dapat diterima.
51
Pasal 143 ayat 3 KUHAP hanya menyatakan bahwa surat dakwaan batal demi hukum bila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat 2 huruf b yaitu surat dakwaan harus berisi uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat pidana itu dilakukan. Dalam kasus ini, pertimbangan Majelis Hakim dalam memutus surat dakwaan batal demi hukum dikarenakan syarat-syarat aduan/ pengaduan yang tidak tepat. Oleh karena korban Dewi Binol masih dibawah umur (6 tahun), maka pengaduan terhadap terjadinya delict tersebut, harus diperhatikan Pasal 72 (1) KUHP. Yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah dalam perkara sipil dan dalam uraiannya dijelaskan bagi orang-orang yang tidak tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Sipil ditentukan menutut hukum adat (setempat) jika wakil-wakil seperti diatas tidak ada, maka pengaduan boleh dilakukan Wali atau penilik, isteri, salah seorang keluarga sedarah dalam garis lurus atau bila tidak ada, salah seorang keluarga sedarah dalam garis lurus atas, atau bila tidak ada salah seorang keluarga sedarah dalam garis menimpang sampai derajat ke-3. Sesuai dengan keterangan terdakwa dan para saksi, maka gadis Dewi Binol ini masih mempunyai orang tua yang berdiam di Botang Itang, tetapi dalam peristiwa ini yang mengadukan ke Kepolisian adalah paman Dewi Binol yaitu Nurdin Binol. Nurdin Binol bertindak atas diri sendiri untuk memasukkan pengaduan/ laporan ke Posek Bolang Itang. Nurdin Binol mengadukan peristiwa tersebut ke Kepolisian tanpa ada Surat Kuasa dari orang tua Dewi Binol, maka pengaduan tersebut adalah tidak tepat menurut ketentuan Pasal 72 KUHP, bahwa karena Dewi Binol mempunyai orang tua, maka yang berhak untuk mengadu adalah orang tua Dewi Binol; bukan pamannya. Demikian pentingnya kedudukan dan fungsi surat dakwaan tersebut, maka jaksa penuntut umum harus sangat berhati-hati dan cermat dalam menyusun surat dakwaan yang baik, agar Terdakwa tidak sampai lepas dari
52
jeratan hukum. Jaksa perlu menguasai hukum materiil dan formil secara baik, tidak hanya itu saja Jaksa juga diharapkan mempunyai pengetahuan yang luas baik pengetahuan sosial, budaya maupun filsafat untuk dapat menggali lebih dalam lagi pandangannya terhadap hukum dan kemasyarakatan. Sebelum melangkah lebih lanjut dalam pembuatan surat dakwaan sesuai dengan persyaratan-persyaratan dan menurut ketentuan yang berlaku serta menurut kebiasaan yang lazim agar dapat dipertanggungjawabkan sebagai dasar dan titik tolak pemeriksaan perkara di persidangan, jaksa penuntut umum harus menguasai dan memperhatikan modal dasar pembuatan surat dakwaan yang meliputi : a. Penguasaan materi perkara Menguasai materi perkara berarti mengetahui siapa yang melakukan perbuatan pidana, kapan perbuatan dilakukan, dimana terjadinya perbuatan tersebut, cara bagaimana perbuatan dilakukan, dan dengan alat apa perbuatan tersebut dilakukan. Selanjutnya apa akibat dari perbuatan tersebut dalam arti siapa yang menjadi korban / siapa yang dirugikan. Semua itu masing-masing harus didukung oleh bukti-bukti yang cukup sesuai dengan ketentuan undangundang. Dalam hal ini sebelum jaksa penuntut umum mulai membuat surat dakwaan, lebih dulu hendaklah membaca berkas perkara yang bersangkutan. Setelah membaca Berita Acara Pendapat dari penyidik kemudian dilanjutkan dengan membaca Berita Acara Pemeriksaan saksi-saksi dan tersangka / terdakwa, mempelajari bukti-bukti serta memperhatikan masalah penahanan, barang-barang sitaan, dsb. Membuat surat dakwaan selain harus memenuhi syarat cermat, jelas dan lengkap, harus pula disusun secara sistematis tentang urut-urutan kejadian dengan tetap berpegang pada unsur-unsur yang terdapat pada pasal-pasal undang-undang yang dilanggar. Hal ini dapat dilakukan apabila materi perkara benar-benar sudah dikuasai. Setelah menguasai materi perkara tersebut, barulah dapat ditentukan pasal mana yang paling tepat didakwakan dan
53
bagaimana sebaiknya dakwaan tersebut disusun, apakah dakwaan tunggal, kumulatif, alternatif, subsider / berlapis ataupun kombinasi / gabungan. b. Penguasaan Materi Ketentuan Perundang-undangan Untuk menguasai materi perkara maka syarat mutlak untuk membuat surat dakwaan yang benar adalah penguasaan materi undang-undang yang dilanggar. Pembuat surat dakwaan harus mengetahui secara tepat dan rinci unsur-unsur dari pasal yang direncanakan akan didakwakan yang unsurunsurnya cocok dengan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Masalahmasalah unsur-unsur di dalam pasal-pasal KUHP ini perlu didalami karena antar pasal yang satu dengan yang lain saling berdekatan. Apabila tidak waspada maka dapat bercampur baur yang mengakibatkan kesalahan fatal. Untuk menghindarkan tercecernya unsur-unsur dari pasal yang akan didakwakan seyogyanyalah pada waktu menyusun surat dakwaan itu mengutip unsur-unsur dari pasal tertentu yang relevan apabila dihubungkan dengan perbuatan yang didakwakan. Pengutipan ini tidak perlu mencakup keseluruhan bunyi pasal melainkan yang berkaitan dengan unsur yang cocok dengan perbuatan yang didakwakan. Dalam kasus ini, oleh karena dakwaan tidak dapat diterima, maka terdakwa harus segera dikeluarkan dari tahanan dan biaya perkara dibebankan kepada negara. Berdasarkan atas alasan tersebut diatas, akhirnya Hakim Pertama memberikan putusan yang diktumnya, pokoknya, sebagai berikut: a. Dakwaan Primair, Pasal 285 KUHP; tidak terbukti secara sah dan meyakinkan oleh karena itu membebaskan terdakwa dari Dakwaan Primair. b. Dakwaan Subsidair dan Dakwaan lebih Subsidair, kareana syarat-syarat aduan (pengaduan) tidak tepat, tentang orang yang harus mengadu, maka Dakwaan Subsidair dan Dakwaan Lebih Subsidair adalah tidak dapat diterima atau batal demi hukum. c. Menyatakan terdakwa dikeluarkan dari tahanan segera mungkin. d. Membebankan biaya perkara kepada negara sebesar Rp 2500, - (Dua Ribu Lima Ratus Rupiah).
54
Terhadap putusan Hakim Pertama tersebut diatas, pihak Jaksa mengajukan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung RI, dengan ketentuan sebagai berikut (http://pn-ungaran.go.id/pidana-kasasi.html): a. Permohonan kasasi diajukan dalam waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi diberitahukan. b. Permohonan kasasi yang telah memenuhi prosedur, dan tenggang waktu yang te1ah ditetapkan harus dibuatkan akta pernyataan kasasi yang ditandatangani oleh Panitera. c. Permohonan kasasi wajib diberitahukan kepada pihak lawan dan dibuatkan akta/relaas pemberitahuan permohonan kasasi. d. Terhadap permohonan kasasi yang melewati tenggang waktu tersebut, tetap diterima dengan membuat surat keterangan oleh Panitera yang diketahui oleh Ketua Pengadilan Negeri, dan berkas perkara tersebut dikirim ke Mahkamah Agung. e. Memori kasasi selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat betas) hari sesudah pernyataan kasasi, harus sudah diterima pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri. f.
Dalam hal terdakwa selaku pemohon kasasi kurang memahami hukum, Panitera wajib menanyakan dan mencatat alasan-alasan kasasi dengan membuat memori kasasi baginya.
g. Dalam hal pemohon kasasi tidak menyerahkan memori kasasi, panitera harus membuat pernyataan bahwa pemohon tidak mengajukan memori kasasi. h. Sebelum berkas perkara dikirim kepada Mahkamah Agung, pihak yang bersangkutan hendaknya diberi kesempatan mempelajari berkas perkara tersebut. i.
Selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah tenggang waktu mengajukan memori kasasi berakhir, berkas perkara berupa berkas A dan B harus sudah dikirim ke Mahkamah Agung.
j.
Foto copy relas pemberitahuan putusan Mahkamah Agung, supaya dikirim ke Mahkamah Agung.
55
Dalam kasus ini Jaksa/ Penuntut Umum mengemukakan Keberatan Kasasi yang pada pokoknya sebagai berikut: Judex facti tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya, yaitu: a. Putusan hakim tidak jelas, apakah terdakwa terbukti atau tidak terbukti; melanggar delict yang didakwakan; tidak memenuhi Pasal 197 (1) KUHP. b. Putusan hakim yang menyatakan Dakwaan Subsidair dan Lebih Subsidair, karena syarat pengaduan tidak tepat tentang orang yang harus mengadu, maka dakwaan tidak dapat diterima atau batal demi hukum. c. Menurut penjelasan Pasal 287 (2) KUHP dinyatakan bahwa peristiwa ini adalah delict aduan, kecuali bila umur perempuan itu belum 12 tahun atau berakibat luka berat atau mati. Dalam Dakwaan Subsidair atau Lebih Subsidair, korban Dewi Binol umurnya adalah 6 tahun, sehingga jelas, pengaduannya adalah tidak mutlak harus dari orang tua saksi korban; siapa saja dapat mengadukan kepada yang berwenang. Majelis Mahkamah Agung RI setelah memeriksa perkara ini, dalam putusannya berpendirian bahwa “Keberatan Kasasi” yang diajukan oleh Jaksa sebagai pemohon kasasi, adalah tidak dapat dibenarkan. Putusan judex facti adalah tidak bertentangan dengan Undang-undang. Pendirian Mahkamah Agung RI ini didasari oleh pertimbangan hukum bahwa terhadap Dakwaan Subsidair dan Dakwaan Lebih Subsidair yang oleh judex facti diberikan putusan; Dakwaan Jaksa Tidak dapat diterima atau batal demi hukum, maka terhadap putusan judex facti yang demikian itu, jaksa seharusnya mengajukan upaya hukum banding dan bukan mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi. Dengan alasan tersebut diatas, akhirnya Mahkamah Agung memberikan putusan yang pokoknya sebagai berikut: a. Menyatakan tidak dapat diterima permohonan kasasi dari Penuntut Umum/ Jaksa pada Kejaksaan Negeri Kotamobagu. b. Membebankan biaya perkara kepada Negara. Apabila terdapat ketidakpuasan atas putusan Mahkamah Agung tersebut, para pihak seharusnya dapat dewasa dalam menyikapinya dengan jalur hukum yang
56
tersedia. Putusan Mahkamah Agung sejatinya dihormati dengan pelaksanaan. Namun sepanjang masih tersedia upaya hukum dan apabila diperlukan, maka kreativitas yudisial (judicial creativity) berdasar hukum perlu ditempuh oleh para pihak yang merasa dirugikan dalam membuka jalur yang buntu. Begitu pula dengan para hakim, dengan pertimbangan di atas seharusnya tidak perlu ragu melakukan aktivitas yudisial (judicial activism) seandainya bermaksud untuk meluruskan kembali putusan tersebut berdasarkan keadilan dan hati nuraninya (Kermit Roosevelt 2008). Upaya hukum peninjauan kembali ke Mahkamah Agung atau menguji konstitusionalitas dan penafsiran Pasal 205 ayat (4) UU 10/2009 ke Mahkamah Konstitusi, mungkin saja menjadi alternatif jalur solusi hukum yang dapat diambil. Hanya saja yang perlu dipahami adalah ketika jalur hukum yang tersedia telah habis (exhausted), maka para pihak, suka tidak suka, mau tidak mau,harus tunduk dan patuh serta menghormati pada apapun putusannya.
BAB IV PENUTUP
A. SIMPULAN Berdasarkan apa yang diuraikan dalam hasil penelitian dan pembahasan, maka penulis dapat merumuskan simpulan sebagai berikut: Majelis Mahkamah Agung RI, setelah memeriksa perkara ini, dalam putusannya berpendirian bahwa ”Keberatan Kasasi” yang diajukan oleh Jaksa sebagai pemohon kasasi, adalah tidak dapat dibenarkan atau dengan kata lain Majelis Mahkamah Agung RI sependapat dengan putusan judex facti. Dasar pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung RI dalam memutuskan surat dakwaan tidak dapat diterima/ batal demi hukum pada kasus pencabulan anak di bawah umur ini adalah sebagai berikut: 1. Putusan Pengadilan Negeri terhadap dakwaan Subsidair dan lebih Subsidair, Dakwaan Jaksa tidak dapat diterima atau batal demi hukum, maka Penuntut Umum/ Jaksa seharusnya mengajukan banding dan bukan langsung mengajukan pemohonan kasasi; 2. Putusan judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/ atau Undang-Undang, maka permohonan kasasi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima.
B. SARAN-SARAN 1. Aparat Kejaksaan
harus meningkatkan profesionalisme dalam tugas di bidang
penuntutan pidana, khususnya dalam pembuatan surat dakwaan agar jangan sampai dakwaan dibatalkan oleh hakim di persidangan. 2. Penuntut Umum harus mengambil langkah upaya hukum terhadap tindakan hakim yang membatalkan dakwaan, agar diperoleh kepastian hukum terhadap status perkara yang bersangkutan.
57
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah. 1987. Surat Dakwaan. Bandung : Alumni. -----------------. 2000. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika. AusAID, YLBHI, PSHK, IALDF. 2009. Panduan bantuan Hukum di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Darwan Prinst. 1998. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik. Jakarta : Djambatan. Darwan Prinst. 2003. Hukum Anak Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Endang Sumiarni dan Chandera Halim. 2000. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Hukum Keluarga. Yogyakarta: Universitas Atmajaya Yogyakarta. Hari Sasongko dan Tjuk suharjanto. 1988. Penuntutan dan Teknik Pembuatan Surat Dakwaan. Surabaya : Pustaka tinta Mas. Harun M. Husein. 1994. Surat Dakwaan (Tehnik Penyusunan, Fungsi dan Permasalahannya). Jakarta: PT. Rineka Cipta. http://wahyubram.blogspot.com/2009/04/mekanisme-penerimaan-laporan-atau.html. (Diakses pada 20 juni, Pukul 11.00) http://www.crin.org/resources/treaties/CRC.asp?catName=International+Treatie.
Diakses
22 Juni 2010 Pukul 21.00. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Leden Marpaung. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. Leden Marpaung. 1996. Tindak Pidana Terhadap Kehormatan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
57
lix
Mahkamah Agung. Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan. http://pnungaran.go.id/pidana-kasasi.html. (Diakses 1 Juni 2010 Pukul 10.00).
Moch Faisal Salam. 2001. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek. Bandung: Mandar Maju. M. Yahya Harahap. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyedikan dan Penuntutan. Jakarta : Sinar Grafika. M. Yahya Harahap. 2006. Pembahasan Permasalahn dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali). Jakarta : sinar Grafika. Pan
Mohamad
Faiz.
2009.
Quo
Vadis
Putusan
MA?.
http://jurnalhukum.blogspot.com/2009/07/quo-vadis-putusan-ma.html. Diakses 1 juni 2010 Pukul 10.00 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1980 Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Sholeh Soeaidy. 2001. Dasar Hukum Perlindungan Anak: Anak Cacat, Anak Terlantar, Anak Kurang Mampu, Pengangkatan Anak, Pengadilan Anak, Pekerjaan Anak. Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri.
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Wirjono Prodjodikoro. 1967. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama.
lix
lx
lx