ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA PENYADAPAN OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI (TELAAH UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI)
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh Titin Puspita Sari NIM.E0006038
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penyadapan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Anggodo Widjojo telah menimbulkan banyak pro dan kontra di berbagai kalangan, salah satunya berkaitan dengan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyadapan. Penyadapan ini berkaitan dengan posisi Anggodo sebagai adik kandung Anggoro Widjojo, tersangka kasus dugaan suap dalam proyek pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Departemen Kehutanan. Anggoro saat ini menjadi buron Komisi Pemberantasan Korupsi karena melarikan diri ke luar negeri. Penyadapan yang dilakukan terhadap telepon Anggodo pada awalnya bertujuan untuk menelisik keberadaan Anggoro. Namun penyadapan yang dilakukan ini, menurut sebagian pihak dianggap sebagai tindakan yang berlebihan, salah satunya muncul dari kalangan LSM dan para aktifis HAM. Kalangan ini berargumentasi bahwa penyadapan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia, bahkan muncul inisiatif untuk melakukan amandemen terhadap pasal yang berkaitan dengan penyadapan, untuk mengkaji kembali mengenai penyadapan, baik dari prosedur maupun kewenangan yang diberikan terhadap lembaga yang bersangkutan, dalam hal ini adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (Alasan KPK sadap Anggodo,vivanews.com>[20 Maret 2010, pukul 10.00 WIB]. Kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai penyadapan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a disebutkan bahwa “Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan”. Secara legalitas, Komisi Pemberantasan Korupsi sangat berwenang untuk melakukan tindakan ini guna melakukan pengawasan, menemukan bukti dan membuktikan adanya dugaan korupsi serta menuntutnya ke pengadilan. Pertimbangan lain dilakukannya penyadapan adalah sudah adanya dugaan kuat yang diperoleh dari laporan hasil pengawasan (indikasi) dan bukti permulaan yang cukup. Walaupun Komisi Pemberantasan Korupsi secara legalitas mempunyai wewenang untuk melakukan penyadapan, tidak berarti Komisi
Pemberantasan Korupsi dapat sewenang-wenang dalam penggunaannya. Harus terdapat prosedur yang dapat dipertanggungjawabkan sebelum melakukan penyadapan. Penyadapan, sebagaimana diatur dalam pasal tersebut merupakan salah satu wewenang khusus diantara beberapa wewenang khusus lainnya yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai suatu lembaga khusus dimaksudkan untuk mengefektifkan dan mempercepat penyelesaian kasus-kasus korupsi yang terlanjur mewabah di Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh Todung Mulya Lubis selaku Ketua Dewan Pengurus Transparency Internasional Indonesia dalam Jurnal Komisi Hukum Nasional Vol. 9 No.5, Agustus 2009 hal. 9, bahwa indeks persepsi korupsi di Indonesia saat ini adalah 2,6 sangat berbeda jauh dari angka minimal yang harus dicapai yaitu 5 untuk dikatakan sebagai negara yang bersih dari korupsi, sehingga dengan kondisi demikian keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi mutlak diperlukan (Todung Mulya Lubis, 2000 : 9). Secara historis, Komisi Pemberantasan Korupsi muncul akibat tidak adanya kepercayaan masyarakat (public trust) terhadap lembaga-lembaga hukum yang ada. Kepolisian, kejaksaan, bahkan hingga pengadilan, dianggap tidak mampu menuntuskan problematika yang selama ini mengerogoti sistem Pemerintahan di Indonesia. Hal ini dipertegas di dalam konsideran Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyebutkan bahwa, “lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi”. Lembaga ini memang sengaja didesain untuk menutup lubang dan kelambanan Kejaksaan dan Kepolisian dalam memberantas korupsi. Hal tersebut juga diperparah munculnya mafia peradilan yang menumpulkan pedang peradilan di dua lembaga tersebut. Untuk itulah, sebagai lembaga khusus tentunya juga dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan khusus salah satunya kewenangan untuk melakukan penyadapan. Keberhasilan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam mengungkap kasus korupsi sebagian besar didukung dari hasil penyadapan. Penyadapan pada dasarnya adalah merupakan salah satu teknik audit untuk mendapatkan informasi dalam upaya mengungkap kasus ataupun sebagai dasar menetapkan langkah audit/penyelidikan berikutnya. Komisi Pemberantasan Korupsi telah menggunakan teknologi canggih untuk memperlancar pekerjaan mereka sebagai pemberantas korupsi di Indonesia, terbukti
dengan adanya alat penyadap yang digunakan untuk menyadap percakapan Artalyta Suryani dengan para pejabat Jaksa Agung Muda (JAM) dan terakhir menyadap percakapan Anggodo. Teknologi tersebut untuk mendukung kinerja lembaga ini guna mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani.
Salah satu alat penyadap yang digunakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi adalah ATIS Gueher Gmbh buatan Jerman. ATIS (Audio Telecommunication International Systems) merupakan sebuah generasi baru dari Instant Recall Recorders (IRC) dalam teknologi solid-state, yang dapat dikoneksikan ke dalam audio source berupa telepon atau handphone GSM/AMPS/CDMA dan akan merekam atau menyadap seluruh komunikasi suara dengan kapasitas aktif lebih dari 680 menit dan 1.000 panggilan yang berbeda. Selain alat tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi juga memiliki alat penyadap lain yaitu Firing buatan Amerika Serikat dan Macro System buatan Polandia seharga Rp 28,07 miliar. Disamping itu, Komisi Pemberantasan Korupsi juga memiliki satu unit LID Monitoring Centre (LID MC) seharga Rp 17,31 miliar. Menurut Roy Suryo, harga alat penyadap tersebut bervariasi antara Rp 4 miliar hingga Rp 30 miliar, tergantung fasilitas dan penggunaannya. Diantaranya model base unit, yang harus diletakkan di dalam ruangan khusus karena berukuran besar yang dapat menyadap ratusan nomor, dan dapat memasukkan identitas HP (IMEI dan nomor mesin HP). Ada yang model portable semacam laptop. Penyadap tipe base unit dapat menyadap lintas provinsi se-Indonesia. Yang portable hanya bisa menyadap dalam radius empat kilometer dan diarahkan ke BTS (Base Transceiver Station) tempat si target berada (Haniviva.Teknologi Penyadapan KPK dan cirinya disadap.http://beflasher.co.cc>[1 Juni 2010 pukul 11.00 WIB].
sumber : http://www.beritanet.com/Technology/Berita-IT Gambar 1. Alat Sadap Jenis Portable (Laptop Dan Receiver)
Dalam upaya penegakan hukum, masalah yang sering muncul adalah mengenai persoalan Hak Asasi Manusia. Menurut A. Masyhur Effendi, negara yang mengedepankan kelangsungan hidup rakyat dengan baik, salah satu diantaranya harus menjamin terpenuhinya Hak Asasi Manusia, maka dalam praktik kehidupan berdemokrasi, konstitusi sebagai perangkat hukum dasar (fundamental law) dalam sebuah negara, menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan upaya-upaya penegakan hukum (A. Masyhur Effendi dalam Majda El-Muhtaj, 2005 : 7). Terkait dalam upaya penegakan hukum dalam perkara korupsi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi salah satunya melalui penyadapan, isu yang muncul adalah adanya pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Disatu sisi menyadap dapat menggangu privasi seseorang sehingga oleh sebagian orang hal ini sangat ditentang. Namun disisi lain, penyadapan dapat menjadi cara yang efektif untuk mengetahui sebuah informasi yang sangat rahasia. Sehingga proses penyadapan diperlukan khususnya untuk mengungkap kasus yang sangat berbahaya/besar, khususnya perkara tindak pidana korupsi. Penyadapan merupakan upaya paksa ekstra yang dilakukan guna kepentingan dalam hal penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Berbeda dengan upaya paksa biasa yang dilakukan penyidik yang terdiri dari penangkapan, penahanan, penyitaan dan penggeledahan, hal ini dikarenakan korupsi merupakan extra
ordinary crime sehingga diperlukan penanganan yang khusus salah satunya melalui upaya paksa ekstra yaitu penyadapan.
Terkait penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yang dilakukan terhadap Anggodo Widjoyo, telah menimbulkan banyak polemik, disamping mengenai kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melakukan penyadapan juga mengenai posisi Anggodo yang dalam hal ini dijadikan sebagai subyek yang disadap padahal status dirinya bukan sebagai tersangka, perlu untuk dikaji kembali. Dengan demikian pertanyaan yang membutuhkan penelitian lebih jauh adalah mengenai konstruksi hukum yang digunakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyadapan berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 dalam kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM) serta urgensinya dalam penanganan tindak pidana korupsi. Berdasarkan berbagai pertanyaan dan kondisi yang telah di uraikan di atas, menjadi topik yang menarik untuk dikaji lebih mendalam melalui penulisan hukum seperti yang penulis laksanakan ini. Menilik dari uraian di atas, penulis mencoba mengangkat wacana tersebut sebagai penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA PENYADAPAN OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI (TELAAH UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI)“.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, penulis merumuskan permasalahan untuk dikaji lebih rinci. Beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu :
1. Bagaimana konstruksi hukum legalitas upaya paksa penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?
2. Bagaimana konstruksi hukum upaya paksa berwujud penyadapan ditinjau dari Hak Asasi Manusi (HAM) serta urgensinya dalam penanganan tindak pidana korupsi? C. Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian diperlukan karena terkait erat dengan perumusan masalah dan judul. Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis berupa tujuan secara obyektif maupun secara subyektif. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui konstruksi hukum tentang legalitas penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai salah satu upaya paksa dalam penyidikan tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantsan Tindak Pidana Korupsi. b. Untuk mengetahui konstruksi hukum upaya paksa berwujud penyadapan ditinjau dari Hak Asasi Manusi (HAM) serta urgensinya dalam penanganan tindak pidana korupsi
2. Tujuan Subyektif a. Untuk menambah pengetahuan penulis tentang Hukum Acara Pidana khususnya mengenai penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan
Undang-undang
Nomor
30
Tahun
2002
tentang
Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. b. Untuk melengkapi syarat-syarat guna memperoleh derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. D. Manfaat Penelitian Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini akan bermanfaat bagi penulis maupun pihak lain. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan hukum ini antara lain : 1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Acara Pidana pada khususnya. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan tentang konstruksi Hukum penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan kewenangannya yang diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. c. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penulisan maupun penelitian sejenis untuk tahap berikutnya. 2.
Manfaat Praktis a. Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi semua pihak yang berkepentingan dan menjawab permasalahan yang sedang diteliti. b. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir ilmiah sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang telah diperoleh. E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian hukum secara umum dapat dikategorikan menjadi penelitian doktrinal dan penelitian non doktrinal. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian doktrinal atau disebut juga penelitian hukum normatif. Penelitian doktrinal adalah suatu penelitian hukum yang bersifat peskriptif bukan deskriptif sebagaimana ilmu sosial dan ilmu alam (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 33). 2. Sifat Penelitian Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat peskriptif dan terapan. Dalam penelitian hukum ini karakteristik yang digunakan yaitu ilmu hukum yang bersifat peskriptif. Sebagai ilmu yang bersifat peskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsepkonsep hukum dan norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 22). Sifat
preskriptif tidak mungkin dapat dipelajari oleh disiplin lain yang obyeknya juga hukum. 3.
Pendekatan Penelitian Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Pendekatanpendekatan yang digunakan adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (statute approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conseptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 93). Dari kelima pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan dengan penelitian hukum yang penulis angkat adalah pendekatan undang-undang (statute approach). Pendekatan undang-undang (statute approach) adalah pendekatan dengan menggunakan regulasi dan legislasi, dimana dalam penelitian ini regulasi yang digunakan sebagai acuan adalah Undang-undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi MAnusia dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Penelitian
Jenis sumber penelitian yang penulis pergunakan dalam penelitian ini berupa
jenis sumber penelitian sekunder, yaitu informasi hasil penelaahan
dokumen penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal maupun arsiparsip yang berkesesuaian dengan penelitian yang dibahas. Bahan hukum yang digunakan Penulis dalam penelitian ini adalah: a. Bahan hukum primer, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang berisi penjelasan mengenai bahan hukum primer yang terdiri dari buku, artikel, majalah, koran, makalah dan lain sebagainya khususnya yang berkaitan dengan penelitian hukum ini. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum sekunder terdiri dari kamus, dan bahan bahan dari internet. Uraian tentang bahan hukum yang dikaji meliputi beberapa hal berikut: a. Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundangundangan yang diurutkan berdasarkan hierarki UUD 1945, Undang-undang/Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah. b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks (text books) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutahir yang berkaitan dengan topik penelitian. c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain (Jhonny Ibrahim, 2008:295).
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Karena penelitian yang penulis angkat merupakan penelitian normatif, maka dalam pengumpulan datanya dilakukan dengan studi kepustakaan/studi dokumen. Teknik ini merupakan cara pengumpulan data dengan membaca, mempelajari, mengkaji, dan menganalisis serta membuat catatan dari buku literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen dan hal-hal lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. 6. Teknik Analisis Bahan Hukum Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dengan logika deduktif. Menurut Johnny Ibrahim yang mengutip pendapat Bernard Arief Shidarta, logika deduktif
merupakan suatu teknik untuk menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual. Penalaran deduktif adalah penalaran yang bertolak dari aturan hukum yang berlaku umum pada kasus individual dan konkret yang dihadapi (Johnny Ibrahim, 2006 : 249-250). Sedangkan Peter Mahmud Marzuki yang mengutip pendapat Philipus M. Hadjon menjelaskan metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles, penggunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis major (pernyataan bersifat umum), kemudian diajukan premis minor (bersifat khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion. Akan tetapi di dalam argumentasi hukum, silogisme hukum tidak sesederhana silogisme tradisional (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 47). Jadi dapat disimpulkan bahwa logika deduktif atau pengolahan bahan hukum dengan cara deduktif yaitu menjelaskan suatu hal yang bersifat umum kemudian menariknya menjadi kesimpulan yang lebih khusus. Dalam penelitian ini, bahan hukum yang diperoleh dengan cara menginventarisasi sekaligus mengkaji penelitian dari studi kepustakaan, aturan perundang-undangan serta dokumen-dokumen yang dapat membantu untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap terakhir yaitu dengan menarik kesimpulan dari data yang diolah sehingga pada akhirnya dapat menjawab mengenai konstruksi hukum penayadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penyidikan tindak pidana korupsi.
F. Sistematika Penulisan Hukum Dalam penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab yang masing-masing terdiri atas beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Sistematika penulisan yang dimaksud sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini penulis akan menguraikan kerangka teori yang meliputi tinjauan tentang konstruksi hukum, tinjauan tentang penyadapan, tinjauan tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan diakhiri dengan kerangka pemikiran.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini berisi hasil penelitian dan pembahasan tentang konstruksi hukum legalitas upaya paksa penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 dan konstruksi hukum upaya paksa berwujud penyadapan ditinjau dari Hak Asasi Manusi (HAM) serta urgensinya dalam penanganan tindak pidana korupsi. BAB IV PENUTUP Pada bab ini berisi simpulan serta saran-saran yang dapat penulis kemukakan kepada para pihak yang terkait dengan bahasan penulisan hukum ini. DAFTAR PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Konstruksi Hukum (Rechtsconstructie) Pada dasarnya, konstruksi hukum dinamakan analogi, tetapi di dalam ilmu hukum dikembangkan beberapa bentuk konstruksi hukum yang sebenarnya merupakan variasi dari analogi itu, yaitu konstruksi Penghalusan Hukum dan konstruksi Argumentum a Contrario. 1.
Konstruksi Analogi (argumentum per analogiam) Analogi adalah proses konstruksi yang dilakukan dengan cara mencari rasio legis (genus) dari suatu undang-undang dan kemudian menerapkannya kepada hal-hal lain yang sebenarnya tidak diatur oleh undang-undang itu. Dalam analogi, hakim memasukkan suatu perkara ke dalam lingkup pengaturan suatu peraturan perundang-undangan yang sebenarnya tidak dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan adanya kesamaan unsur dengan perkara atau fakta-fakta yang dapat diselesaikan langsung oleh peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Berdasarkan anggapan itulah hakim kemudian memberlakukan peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada perkara yang sedang dihadapinya. Dengan kata lain, penerapan suatu ketentuan hukum bagi keadaan yang pada dasarnya sama dengan keadaan yang secara
eksplisit diatur dengan ketentuan hukum tadi, tapi penampilan atau bentuk perwujudannya lain. Penerapan hukum dengan analogi hanya dapat dilakukan dalam kasus-kasus hukum perdata. Hukum pidana tidak mengenal analogi karena hal demikian bertentangan dengan asas pokok hukum pidana yaitu “tiada pidana tanpa ketentuan perundang-undangan yang menetapkannya terlebih dahulu” (nullum crimen sine lege). Karena di dalam pidana jika digunakan konstruksi analogi akan menciptakan delik baru. Maka dengan konstruksi analogi, seorang ahli hukum memasukkan suatu perkara kedalam lingkup pengaturan suatu peraturan perundang-undangan yang sebenarnya tidak dibuat untuk menyelesaian perkara yang bersangkutan. 2. Konstruksi Penghalusan Hukum (rechtsverfijning) Seorang ahli hukum beranggapan bahwa dalam menyelesaikan suatu perkara, peraturan perundang-undangan yang ada dan yang seharusnya digunakan untuk menyelesaikan perkara, ternyata tidak dapat digunakan. Penghalusan hukum dilakukan apabila penerapan hukum tertulis sebagaimana adanya akan mengakibatkan ketidak adilan yang sangat sehingga ketentuan hukum tertulis itu sebaiknya tidak diterapkan atau diterapkan secara lain apabila hendak dicapai keadilan. Jenis konstruksi ini sebenarnya merupakan bentuk kebalikan dari konstruksi analogi, sebab bila di satu pihak analogi memperluas lingkup berlaku suatu peraturan perundang-undangan, maka di lain pihak Penghalusan Hukum justru mempersempit lingkup berlaku suatu peraturan perundang-undangan (bersifat restriktif). 3. Argumentum a Contrario Dalam keadaan ini, hakim akan memberlakukan peraturan perundangundangan yang ada seperti pada kegiatan analogi, yaitu menerapkan suatu peraturan pada perkara yang sebenarnya tidak dimaksudkan untuk diselesaikan oleh peraturan itu. Perbedaannya adalah dalam analogi hakim akan menghasilkan suatu kesimpulan yang positif, dalam arti bahwa ia menerapkan suatu aturan pada masalah yang sedang dihadapinya. Sedangkan pada konstruksi Argumentum a Contrario hakim sampai pada kesimpulan yang negatif, artinya ia justru tidak
mungkin menerapkan aturan tertentu dalam perkara yang sedang dihadapinya (John. Z Loudoe, 1985 : 112-113). Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang tidak jelas mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Dalam melakukan penafsiran hukum terhadap suatu peraturan perundangundangan yang dianggap tidak lengkap atau tidak jelas, seorang ahli hukum tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Menurut J.H.A. Logemann, dalam melakukan penafsiran hukum, seorang ahli hukum diwajibkan untuk mencari maksud dan kehendak pembuat undang-undang sedemikian rupa sehingga tidak menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh pembuat undang-undang itu. Dalam usaha mencari dan menentukan kehendak pembuat undang-undang itulah maka dalam ilmu hukum dikembangkan beberapa metoda atau cara menafsirkan peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan seorang ahli hukum yaitu : a.
Penafsiran Gramatikal (taatkundige interpretatie), yaitu penafsiran yang dilakukan terhadap peristilahan atau kata-kata, tata kalimat didalam suatu konteks bahasa yang digunakan pembuat undang-undang dalam merumuskan peraturan perundang-undangan tertentu.
b.
Penafsiran Sejarah (historische interpretatie), yaitu penafsiran yang dilakukan terhadap isi suatu peraturan perundang-undangan dengan meninjau latar belakang sejarah dari pembentukan atau terjadinya peraturan undang-undang yang bersangkutan.
c.
Penafsiran Sistematis (systematische interpretatie), yaitu penafsiran terhadap satu atau lebih peraturan perundang-undangan, dengan cara menyelidiki suatu sistem tertentu yang terdapat didalam suatu tata hukum, dalam rangka penemuan asas-asas hukum umum yang dapat diterapkan dalam suatu masalah hukum tertentu.
d.
Penafsiran sosiologis (teleologis), sejalan dengan pandangan L.J.van Apeldoorn, maka salah satu tugas utama seorang ahli hukum adalah
menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan hal-hal konkrit yang ada di dalam masyarakat. e.
Penafsiran otentik, yaitu penafsiran terhadap kata, istilah atau pengertian didalam peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pembuat undang-undang sendiri (Ishaq, 2009 : 255-256). Menurut Pasal 16 ayat (1) Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengharuskan hakim untuk memeriksa dan memberi keputusan atas perkara yang diserahkan kepadanya dan tidak diperbolehkan
menolak dengan alasan tidak lengkap atau tidak jelas pengaturannya. Dalam hal demikian dalam Pasal 28 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal ini berarti seorang hakim harus memiliki kemampuan dan keaktifan untuk menemukan hukum (rechtsvinding). Rechtsvinding merupakan proses pembentukan hukum oleh hakim/aparat penegak hukum lainnya dalam penerapan peraturan umum terhadap peristiwa hukum yang konkrit dan hasil penemuan hukum menjadi dasar baginya untuk mengambil keputusan. Oleh karena itu, maka hakim dapat melakukan konstruksi dan penghalusan hukum. Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam konstruksi hukum antara lain: a.
Hakim meninjau kembali sistem material yang mendasari lembaga hukum yang dihadapinya sebagai pokok perkara;
b.
Berdasarkan sistem itu, hakim kemudian berusaha membentuk suatu pengertian hukum (rechtsbegrip) baru dengan cara membandingkan beberapa ketentuan di dalam lembaga hukum yang bersangkutan, yang dianggap memiliki kesamaan-kesamaan tertentu;
c.
Setelah pengertian hukum itu dibentuk, maka pengertian hukum itulah yang digunakan sebagai dasar untuk mengkonstruksi suatu kesimpulan dalam penyelesaian
perkara
(macam-macam-penemuan-
hukum.www.masyarakathukum.blogspot.com<20 Maret 2010 pukul 11.00 WIB).
2. Tinjauan Tentang Penyadapan a. Pengertian Penyadapan Penyadapan berasal dari kata “sadap” yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah mendengarkan (merekam) informasi (rahasia, pembicaraan) orang lain dengan sengaja tanpa sepengetahuan orangnya. Sedangkan dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disebutkan “Intersepsi atau penyadapan adalah kegiatan mendengarkan, mengetahui, merekam, membelokkan, menghambat, dan/atau mencatat transmisi suatu Komunikasi Elektronik terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dan bukan merupakan informasi publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi, termasuk kegiatan permintaan dan pemberian Rekaman Informasi“. Mantan Menteri Komunikasi dan Informasi, Sofyan Djalil, menjelaskan istilah yang tepat digunakan terkait dengan penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lawful interception (penyadapan yang sah secara hukum). Tindakan penyadapan yang dilakukan mengacu pada dua standar, yaitu : 1. European Telecommunications Standards Institute (ETSI), berbasis di prancis. 2. Communications Assistance for Law Enforcement Act (Calea), berbasis di USA. Definisi interception menurut ETSI, Interception merupakan kegiatan penyadapan yang sah menurut hukum yang dilakukan oleh network operator/acces provider/service provider (NWP/AP/SvP) agar informasi yang ada selalu siap sedia digunakan untuk kepentingan fasilitas kontrol pelaksanaan hukum. Objek yang disadap adalah layanan komunikasi yang menggunakan/melintasi network operator, access operator, dan atau layanan internet melalui service provider. Dalam lawful interception, layanan internet didefiniskan sebagai :
1. 2.
akses ke internet itu sendiri layanan-layanan yang menggunakan internet, seperti : browsing ke World Wide Web, email, groups, chat dan icq, Voice over IP, File
transfer Protocol (FTP), Telnet, dan segala hal yang melintasi internet protocol
(Lawful-interception.http://panca.wordpress.com<20
Maret
2010, pukul 11.00 WIB>. Di Eropa maupun Amerika, persyaratan terperinci dalam pelaksanaan penyadapan berbeda antar satu yuridiksi dengan yuridiksi lainnya, tetapi dalam pelaksanaan penyadapan itu terdapat satu persyaratan umum yang sama, yaitu sistem penyadapan yang disediakan harus melaksanakan “penahanan/pemotongan ditengah jalan” dan pokok materi harus tidak sadar atau tidak terpengaruh selama aksi pemotongan ini. Bahkan untuk mendukung lawful interception, kelompok industri dan agen pemerintah masih terus mencoba menstandarisasikan pengolahan secara teknis dibelakang pemotongan tersebut. Hal ini berlaku tidak hanya di eropa tetapi diseluruh negara. Teknik implementasi penyadapan ini adalah: - Penyadapan aktif , yaitu penyadapan yang dilakukan secara langsung - Penyadapan semi aktif, dan - Penyadapan pasif Tetapi secara teknis kebanyakan penyadapan yang dilakukan adalah dengan mengimplementasikan penggabungan teknis aktif dan pasif. Penerapan di Indonesia dilakukan mengingat pemerintah telah mengeluarkan aturan hukum melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor : 11/PERM.KOMINFO/02/2006. Tanggal 22 Februari 2006 Tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi. Tetapi Implementasi Lawful Interception di Indonesia tentu tidak mudah dan tidak murah dilakukan, mengingat sarana dan prasarana telekomunikasi yang ada di Indonesia tidak semuanya mendukung (uncomply) untuk diimplementasikan ke Lawful Interception. Kemungkinan yang lebih visible untuk dilakukan penyadapan terhadap informasi ialah informasi yang lalu lintasnya menggunakan layanan internet sebab sarana dan prasarana yang ada telah lebih mungkin untuk dipersiapkan mendukung lawful interception (Lawful-interception.http://panca.wordpress.com<20 Maret 2010, pukul 11.00 WIB>.
Di Indonesia ada 4 (empat) lembaga yang berhak melakukan penyadapan yakni Komisi Pemberantasan Korupsi, Polri, Kejaksaan, dan Badan Intelijen Negara (BIN), namun Komisi Pemberantasan Korupsi secara kelembagaan merupakan institusi yang berbeda dari ketiga institusi pemerintah tersebut. Dalam melakukan penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak membutuhkan izin dari pengadilan, berbeda dengan lembaga yang lain yang harus mendapat izin dari pengadilan untuk melakukan penyadapan. Hal ini sesuai dengan salah satu standar umum yang digunakan di luar negeri, penyadapan hanya bisa dilakukan jika mendapat izin dari pengadilan. Alasan diaturnya penyadapan secara ketat, selain untuk menghindari penyalahgunaan alat penyadap, juga untuk kepentingan perlindungan privasi bagi warga negara. Untuk mendapat izin dari pengadilan, di negara lain, suatu penyadapan hanya bisa dilakukan terhadap seorang tersangka yang telah terdapat bukti awal sebelumnya. Misalnya, terdapat dokumen yang belum ditemukan dokumen aslinya. Adanya pengakuan dari seorang saksi juga bisa menjadi awal untuk meminta izin penyadapan. Dengan demikian, penyadapan sebenarnya adalah alat untuk memperkuat suatu bukti, bukan bukti utama.
b. Kekuatan Pembuktian Hasil penyadapan Menelaah kekuatan pembuktian hasil penyadapan, penulis akan mengaitkan dengan Pasal 184 KUHAP untuk mengetahui kedudukan hasil penyadapan masuk dalam kategori mana dari jenis-jenis alat bukti yang sah yang disebutkan secara limitatif dalam pasal tersebut. Khusus dalam kegiatan pembuktian perkara tindak pidana korupsi, disamping tetap menggunakan
hukum
dimungkinkan
pula
pembuktian berlaku
umum
hukum
dalam
pembuktian
KUHAP, khusus
juga
sebagai
perkecualiannya. Hukum penyimpangan pembuktian yang ada dalam hukum pembuktian perkara tindak pidana korupsi ada dua hal pokok : 1. Mengenai bahan-bahan yang dapat digunakan untuk membentuk alat-alat bukti petunjuk, dan 2. Mengenai sistem pembebanan pembuktian.
Penulis akan mempertajam pada point pertama mengenai bahan-bahan yang dapat digunakan untuk membentuk alat-alat bukti petunjuk, guna menganalisa hasil penyadapan sebagai alat bukti. Menurut Pasal 188 ayat (2) KUHAP, alat bukti petunjuk hanya dapat dibentuk melalui 3 (tiga) macam alat bukti yaitu alat bukti keterangan saksi, alat bukti surat dan alat bukti keterangan terdakwa. Dalam hukum pembuktian tindak pidana korupsi, bahan tersebut diperluas lagi. Menurut Adami Chazawi, perluasan alat bukti untuk membentuk alat bukti petunjuk yang diatur dalam Pasal 26A Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi didasarkan pada 2 (dua) pertimbangan, yaitu :
1. Bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia digolongkan pada tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crimes). Kriteria kejahatan luar biasa adalah meluas dan sukar pemberantasannya. Oleh karena itu harus dihadapi dengan upaya yang luar biasa pula. Perluasan bahan untuk membentuk alat bukti petunjuk ini adalah salah satu upaya yang luar biasa tersebut. 2. Pembuktian kasus tindak pidana korupsi tergolong sukar, berhubung dilakukan secara sistematis, terencana oleh oknum yang berpendidikan terutama para birokrat dan pengusaha yang amat kuat secara politis dan ekonomi, yang dapat mempengaruhi jalannya proses peradilan. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, selain dengan sistem pembuktian terbalik. Juga dengan upaya memperluas bahan untuk membentuk alat bukti petunjuk (Adami Chazawi, 2008: 108-109). Pasal 26A Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menentukan bahwa alat bukti petunjuk juga dapat dibentuk dari 2 (dua) alat bukti lain selain dari Pasal 188 ayat (2) KUHAP yakni : a) Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan, secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b) Dokumen yakni setiap rekaman data, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Dengan adanya ketentuan perluasan bahan untuk membentuk alat bukti petunjuk dalam Pasal 26A mengandung makna bahwa informasi dan dokumen yang dimaksud dalam Pasal 26A adalah sebagai alat bukti yang kedudukannya sejajar atau sama dengan 3 (tiga) alat bukti: keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa yang disebut dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP. Dalam rumusan Pasal 26A huruf a disebutkan secara tegas “alat bukti lain”. Artinya, kedudukan informasi dan dokumen adalah sebagai alat bukti yang sah sama dengan alat bukti keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Dengan alasan tersebut, maka alat bukti petunjuk dalam perkara korupsi sudah dapat dibentuk berdasarkan informasi dan dokumen saja tanpa menggunakan alat bukti lain seperti keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Sehingga hasil penyadapan merupakan alat bukti yang sah yamg merupakan alat bukti petunjuk.
3. Tinjauan Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) a. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berdasarkan Pasal 2 dan 3 Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah “lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”. Dalam ketentuan ini yang dimaksud “kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau anggota Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihakpihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi apapun dengan alasan apapun (Ermansjah Djaja, 2008 : 185).
Kewenangan yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 7,8,9,10,11,12,13 dan 14 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, sebagai pendukung pelaksanaan tugas-tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, yaitu : 1. Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang ; a. mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi ; b. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait ; c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait; d. melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; e. meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi; f. wewenang lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 12, 13 dan 14 Undangundang Nomor 30 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2. Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang melakukan pengawasan, penelitian atau penelaaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi dan instansi yang dalam melaksankan pelayanan publik. 3. Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.
4. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dijelaskan dalam penjelasan Pasal 8 ayat (3) bahwa : “ketentuan ini bukan diartikan penyerahan fisik melainkan penyerahan wewenang, sehingga jika tersangka telah ditahan oleh kepolisian atau kejaksaan maka tersangka tersebut tetap dapat ditempatkan dalam tahanan kepolisian atau tahanan kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi meminta bantuan kepada Kepala Rumah Tahanan Negara untuk menempatkan tersangka di Rumah Tahanan tersebut. Lihat pula penjelasan Pasal 12 ayat (1) huruf i “. 5. Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian dan kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 6. Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan alasan : a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak dilanjuti; b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan; c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya; d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi; e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif atau legislatif; f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
7. Dalam hal terdapat alasan sebagaiamana dimaksud dalam Pasal 9, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberitahukan kepada penyidik atau penuntut umun untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang ditangani. 8. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang : a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara. Dijelaskan dalam penjelasan Pasal 11 huruf a bahwa : “yang dimaksud dengan penyelenggara negara adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme termasuk Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. b. mendapatkan perhatian yang meresahkan masyarakat c.
menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
9. Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang : a. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan ; b. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri; c. meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sadang diperiksa; d. memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa atau pihak lain yang terkait;
e. memerintahkan
kepada
pimpinan
atau
atasan
tersangka
untuk
memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya; f. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait, dalam penjelasan Pasal 12 huruf f dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “tersangka atau terdakwa” adalah orang perorangan atau korporasi. g. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisesnsi serta konsensi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa; Dalam penjelasan Pasal 12 huruf g : “ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari penghilangan atau penghancuran alat bukti yang diperlukan oleh penyelidik, penyidik, atau penuntut atau untuk menghindari kerugian negara yang lebih besar”. h. meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan dan penyitaan barang bukti di luar negeri; i. meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani;
Dalam penjelasan Pasal 12 huruf i : “permintaan bantuan dalam ketentuan ini, misalnya dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan penahanan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi meminta bantuan kepada Rumah Tahanan Negara untuk menerima penempatan tahanan tersebut dalam Rumaha Tahanan”. 10. Dalam melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan langkah atau upaya pencegahan sebagai berikut :
a. melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara; b. menerima laporan dan menentukan status gratifikasi; c. menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan; d. merancang
dan
mendorong
terlaksananya
program
sosialisasi
pemberantasan tindak pidana korupsi e. melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum; f. melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. 11. Dalam melaksanakan tugas monitor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang : a. melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah; b. memberi saran kepada pimpinan lembaga negra dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi; c. melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan.
b. Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ketentuan umum dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan pada Komisi Pemberantasan Korupsi diatur dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 42 Undangundang Nomor 30 tahun 2002, sebagai berikut :
1. Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik dan penuntut umum pada Komisi Pemberantsan Korupsi. Dalam penjelasan Pasal 38 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 tahun
2002
dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan “yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan” dalam ketentuan ini antara lain, kewenangan melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat.
2. Ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undangundang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku bago penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 3. Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan
Undang-undang
Nomor
31
Tahun
1999
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 4. Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama Komisi Pemberantasan Korupsi. 5. Penyelidik, penyidik dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi, diberhentikan sementara dari instansi Kepolisian dan Kejaksaan selama menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
6. Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi. 7. Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melaksanakan kerja sama dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi denagn lembaga penegak hukum negara lain sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku atau berdasarkan perjanjian internasional yang telah diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia. Dalam penjelasan Pasal 41 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan “lembaga penegak hukum negara lain”, termasuk kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan badan-badan khusus lain dari negara asing yang menangani perkara tindak pidana korupsi.
8. Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
1) Penyelidikan
Tindak
Pidana
Korupsi
Oleh
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) Tentang tata cara penyelidikan perkara tindak pidana korupsi pada Komisi Pemberantasan Korupsi ditentukan sebagaimana diatur dalam Pasal 43 dan Pasal 44 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, sebagai berikut :
1. Penyelidik adalah Penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. 2. Penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan fungsi penyelidikan tindak pidana korupsi.
3. Jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut, penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. 4. Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik. 5. Dalam hal penyelidik melakukan tugasnya tidak menemukan bukti permulaan yang cukup yaitu sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi menghentikan penyelidikan. 6. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi berpendapat bahwa perkara tersebut diteruskan, Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan penyidikan sendiri atau dapat dilimpahkan perkara tersebut kepada penyidik kepolisian atau kejaksaan. 7. Dalam hal penyidikan dilimpahkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi kepada Kepolisian atau Kejaksaan, maka Kepolisian atau kejaksaan
wajib melaksanakan koordinasi dan melaporkan
perkembangan penyidikan kepada Komisi Pemberantsan Korupsi.
2)
Penyidikan
Tindak
Pidana
Korupsi
Oleh
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) Mengenai tata cara penyidikan perkara tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ditentukan sebagaimana diatur dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 50 sebagai berikut : 1. penyidik adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
2. Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan fungsi penyidikan tindak pidana korupsi. 3. Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 ini. Dalam penjelasan Pasal 46 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan “prosedur khusus” adalah kewajiban memperoleh izin bagi tersangka pejabat negara tertentu untuk dapat dilakukan pemeriksaan. 4. Pemeriksaan tersangka dengan berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, dilakukan dengan tidak mengurangi hak-hak tersangka. 5. Atas dasar dugaan
yang kuat adanya bukti pemulaan yang cukup,
penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya. 6. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur mengenai tindak penyitaan, tidak berlaku berdasarkan Undang- undang Nomor 30 Tahun 2002. 7. Penyidik yang melakukan penyitaan wajib membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan sekurang-kurangnya memuat : a. Nama, jenis dan jumlah barang atau benda berharga; b. Keterangan tempat, waktu, hari, tanggal, bulan dan tahun dilakukan penyitaan; c. Keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang atau benda berharga lain tersebut; d. Tanda tangan dan identitas penyidik yang melakukan penyitaan; dan
e. Tanda tangan dan identitas dari pemilik atau orang yang menguasai barang tersebut. 8. Salinan berita acara penyitaan barang atau benda berharga lain disampaikan kepada tersangka atau keluarganya. 9. Untuk kepentingan penyidikan, tersangka tindak pidan korupsi wajib memberikan keterangan kepada penyidik tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh tersangka. 10. Setelah penyidikan dinyatakan cukup, penyidik membuat berita acara dan disampaikan kepada kepada pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk segera ditindaklanjuti. 11. Dalam hal tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat empat belas hari hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan. 12. Penyidikan suatu tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan wajib dilakukan koordinasi secara terus-menerus dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. 13. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan suatu tindak pidana korupsi, kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan. 14. Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan.
Dalam penjelasan Pasal 50 ayat (4) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan “dilakukan secara bersamaan” adalah dihitung berdasarkan hari dan tanggal yang sama dimulainya penyidikan.
3) Penuntutan
Tindak
Pidana
Korupsi
Oleh
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) Mengenai tata cara penuntutan perkara tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ditentukan sebagaimana diatur dalam Pasal 51 dan Pasal 52 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, sebagai berikut :
1. Penuntut adalah Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi
yang
diangkat
dan
diberhentikan
oleh
Komisi
Pemberantasan Korupsi. 2. Penuntut
Umum
pada
Komisi
Pemberantasan
Korupsi
melaksanakan fungsi penuntutan tindak pidana korupsi. 3. Penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi adalah Jaksa Penuntut Umum. 4. Penuntut Umum, setelah menerima berkas perkara dari penyidik, paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas tersebut, wajib melimpahkan berkas perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri. 5. Dalam hal pelimpahan berkas perkara tindak pidana korupsi oleh Penuntut Umum kepada Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan Negeri wajib menerima pelimpahan berkas perkara dari Komisi Pemberantasan Korupsi untuk diperiksa dan diputuskan.
B. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan pada apa yang telah disusun dalam kerangka teoritik tinjauan pustaka dan paparan latar belakang di atas, penulis akan menyajikan bagan kerangka pemikiran yang akan membantu dan memberikan gambaran yang lebih riil mengenai alur berpikir dalam penyusunan penelitian ini.
Penanganan Tindak
Upaya Paksa
Pidana Korupsi
Ekstra
(extra ordinary crime) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Upaya Paksa Penyadapan (Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Perluasan Alat Bukti Petunjuk Pasal 26A Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) Konstruksi Hukum Gambar 2. Bagan Kerangka Pemikiran
KETERANGAN :
Keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum pidana khusus, tepat karena korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Karena bersifat luar biasa, maka diperlukan pula penanganan yang luar biasa untuk mengatasinya. Penanganan yang luar biasa tersebut berarti upaya yang bersifat khusus dibandingkan upaya penegakan hukum pada umumnya. Salah satu bentuk penanganan luar biasa tersebut adalah dengan dibentuknya komisi khusus untuk menangani perkara korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salah satu hal yang mendasari terbentuknya KPK adalah kurang efektifnya lembaga negara yang sudah ada dalam hal ini adalah kepolisian dan kejaksaan dalam menangani tindak pidana korupsi. Dalam pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilengkapi dengan sejumlah wewenang yang bersifat khusus dan luar biasa. Diantara beberapa wewenang tersebut antara lain adalah kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam rangka melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penyadapan merupakan salah satu bentuk upaya paksa ekstra dalam penanganan tindak pidana korupsi, dalam hal ini penyadapan akan dikaitkan pada perluasan alat bukti petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 26A Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Karena penyadapan merupakan salah satu bentuk upaya paksa ekstra maka dibutuhkan suatu konstruksi hukum agar dalam pelaksanaannya tidak melanggar hak-hak tersangka maupun terdakwa. BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Konstruksi Hukum Penyadapan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah suatu lembaga independen yang khusus dibentuk untuk menangani perkara korupsi yang dibekali dengan seperangkat kewenangan dari hilir sampai hulu artinya kewenangan dari mulai penyelidikan,
penyidikan sampai pada ke penuntutan, dicakup sekaligus tanpa mengenal adanya penghentian penyidikan. Kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada lembaga ini merupakan hal yang luar biasa dan semakin menjadi kuat dengan tidak perlunya pemberian izin dari pejabat yang berwenang bagi Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu dalam hal penyidikan, diantaranya kewenangan untuk melakukan penyadapan. Sebagaimana lembaga lain seperti kepolisian dan kejaksaan yang harus mendapatkan izin dari pengadilan untuk melakukan penyadapan. Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki dasar hukum Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk melakukan penyadapan. Dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a disebutkan bahwa “Dalam
melaksanakan
tugas
penyelidikan,
penyidikan
dan
penuntutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan”, dari ketentuan tersebut penyadapan dapat dilakukan mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan sampai penuntutan. Dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi tidak dibatasi dalam melakukan penyadapan, tergantung konteks perkara yang ditangani. Bisa saja penyadapan dilakukan untuk mencari bukti awal pada proses penyelidikan. Konstruksi hukum yang digunakan dalam melakukan penyadapan didasarkan pada tujuan yang ingin dicapai pada masing-masing tahap tersebut. Dasar hukum yang lain yaitu dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dalam Pasal 32 menyatakan “kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan surat menyurat termasuk hubungan komunikasi melalui sarana elektronik tidak boleh diganggu kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Disamping menjamin dalam kebebasan dalam berkomunikasi, ketentuan hukum ini ternyata memberikan batasan yang harus diperhatikan, yaitu jika perintah hakim menentukan “gangguan” itu adalah kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka diperbolehkan. Pasal 32 ini justru menjadi dasar hukum bagi lembaga ini untuk melakukan penyadapan yaitu melalui kalimat “kekuasaan yang sah menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku”. Memang
belum jelas kekuasaan dalam hal apa saja. Sebab,
penjelasan Pasal 32 tertulis “cukup jelas”. Namun, jika melihat kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah bersumber dari Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, maka kewenangan ini dapat disebut sebagai kewenangan yang sah menurut perundang-undangan yang berlaku. Yang perlu diperhatikan oleh aparat penegak hukum adalah pada tahap apa penyadapan dilakukan. Karena dari masing-masing tahapan tersebut juga akan berpengaruh pada siapa saja yang bisa dikenai atau menjadi subyek penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam mengungkap kasus-kasus korupsi serta konstruksi hukum yang digunakan.
1. Penyelidikan Dalam Pasal 1 butir 5 KUHAP, penyelidikan adalah “serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini“. Tindakan penyelidikan menekankan pada tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana dan untuk selanjutnya apakah peristiwa yang ditemukan tersebut dapat dilakukan penyidikan atau tidak sesuai dengan cara yang diatur oleh KUHAP. Yahya Harahap mengemukakan bahwa tujuan dilakukannya penyelidikan adalah untuk mengumpulkan atau mempersiapkan semaksimal mungkin fakta, keterangan dan bahan bukti sebagai landasan hukum untuk memulai penyidikan. Apabila penyidikan dilakukan tanpa persiapan yang memadai, bisa terjadi tindakan penyidikan yang bertentangan dengan hukum atau terjadi kekeliruan terhadap orang yang disidik. Akibatnya, pihak yang dirugikan bisa menuntut ganti rugi dan rehabilitasi dalam praperadilan, maka dalam penyelidikan harus dilakukan dengan menggunakan metode scientific criminal detection, yaitu metode teknik dan taktik penyelidikan secara ilmiah (Yahya Harahap, 2000 : 105).
Untuk dapat dilakukan penyidikan harus ada bukti permulaan yang cukup, jika setelah penyelidikan tidak ditemukan bukti permulaan yang cukup maka tidak dapat dilakukan penyidikan. Demikian pula tentang dugaan adanya tindak pidana korupsi maka sebelum dilakukan penyidikan diperlukan adanya penyelidikan terlebih dahulu terhadap kebenaran laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana korupsi. Jika dari hasil penyelidikan terdapat cukup bukti terjadi tindak pidana korupsi, maka penyelidik membuat berita acara penyelidikan sehingga nantinya dapat dijadikan dasar penyidik melakukan penyidikan guna menentukan tersangka yang akan bertanggung jawab terhadap tindak pidana tersebut (criminal responsibility) dan tindak pidana tersebut menjadi terang karenanya (criminal act) (Lilik Mulyadi, 2000:50). Dalam KUHAP dan penjelasannya tidak diatur lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan bukti permulaan, hanya dalam Pasal 17 KUHAP disebutkan “perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup”, dan dalam penjelasan Pasal 17 KUHAP menyebutkan bahwa bukti permulaan yang cukup adalah ”Bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi pasal 1 butir 14”. Sedangkan menurut Lamintang, bukti permulaan yang cukup dalam rumusan Pasal 17 KUHAP itu harus diartikan sebagai ”bukti minimal” berupa alat bukti seperti dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Dalam Rapat Kerja MAHKEJAPOL tanggal 21 Maret 1984, bukti permulaan yang cukup seyogyanya minimal laporan polisi ditambah satu alat bukti lainnya. Sedangkan pengertian bukti permulaan menurut Keputusan Kapolri No. Pol.SKEEP/04/I/1982, 18-2-1982, adalah bukti yang merupakan keterangan dan data yang terkandung di dalam dua diantara:
a. laporan polisi b. BAP di TKP c. laporan Hasil Penyelidikan d. keterangan saksi atau ahli; dan e. barang bukti
Dari beberapa pengertian diatas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa bukti permulaan adalah bukti awal sebagai dasar untuk menduga adanya tindak pidana yang minimal terdiri dari 2 (dua) alat bukti. Menurut Pasal 44 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur bahwa “bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik”. Sementara terkait pembuktian dalam perkara tindak pidana korupsi tentang adanya tindak pidana dan atau kesalahan terdakwa adalah dengan menggunakan alat bukti yang sah yang ditentukan secara limitatif dalam undang-undang hukum acara pidana. Menurut KUHAP ataupun dalam ketentuan pidana pada perundang-undangan yang lebih khusus, alat bukti yang sah adalah sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa alat bukti yang sah ialah :
a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa. penulis akan mempertajam pembahasan tentang alat bukti petunjuk, mengingat ketentuan tentang alat bukti yang sah dalam pembuktian perkara korupsi diperluas pengertiannya dalam ketentuan Undang-undang Pemberantasan Perkara Tindak Pidana Korupsi. Namun, perluasan ini hanya pada alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk. Perluasan alat bukti untuk tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26A Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dikarenakan tidak pidana korupsi merupakan bagian dari white collar crime, yang merupakan salah satu bentuk kejahatan yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kewenangan ataupun sarana yang dimungkinkan oleh
jabatan yang diperolehnya yang dilakukan secara terorganisir. Disisi lain juga adanya kesulitan dalam segi pembuktian karena pelakunya adalah mereka yang memiliki posisi yang kuat secara politis dan ekonomi yang dikhawatirkan dapat mempengaruhi jalannya proses peradilan. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, selain dengan sistem pembuktian terbalik. Juga dengan upaya memperluas bahan untuk membentuk alat bukti petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26A tersebut. Untuk mengetahui lebih jelas mengenai perluasan alat bukti petunjuk, lebih dahulu penulis akan membahas mengenai alat bukti petunjuk. Alat bukti petunjuk merupakan salah satu alat bukti yang sah menurut hukum sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 184 KUHAP. Dalam Pasal 188 KUHAP disebutkan :
(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. (2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari : a. keterangan saksi; b. surat; c. keterangan terdakwa. (3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya. Bertitik tolak dari bunyi Pasal 188 ayat (1), rumusan tersebut sulit untuk dipahami secara jelas. Menurut Yahya Harahap, rumusan tersebut perlu penambahan katakata agar lebih jelas yang dapat disusun dalam kalimat berikut : Petunjuk ialah suatu “isyarat” yang dapat ditarik dari suatu perbuatan, kejadian atau keadaan dimana isyarat itu mempunyai “persesuaian” antara yang satu dengan yang lain maupun isyarat itu mempunyai persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri dan dari isyarat yang bersesuaian tersebut “melahirkan” atau “mewujudkan” suatu petunjuk yang “membentuk kenyataan” terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya (Yahya Harahap, 2002 : 313). Baik dari rumusan yang disusun tersebut maupun dalam rumusan yang diatur dalam Pasal 188 ayat (1), penekanannya terletak pada kata “persesuaian”, yaitu adanya persesuaian kejadian, keadaan atau perbuatan maupun persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri.
Pasal 188 ayat (2) membatasi kewenangan hakim dalam cara memperoleh alat bukti petunjuk. Hakim tidak boleh gegabah untuk mencari petunjuk dari segala sumber. Sumber yang dapat dipergunakan mengkonstruksi alat bukti petunjuk, terbatas dari alat-alat bukti yang secara limitatif ditentukan dalam Pasal 188 ayat (2). Menurut Pasal 188 ayat (2) petunjuk hanya dapat diperoleh dari :
a.
keterangan saksi,
b.
surat,
c.
keterangan terdakwa.
Hanya dari ketiga alat bukti tersebut bukti petunjuk dapat diolah, dari ketiga sumber inilah persesuaian perbuatan, kejadian atau keadaan dapat dicari dan diwujudkan. Lalu mengenai kedudukan keterangan ahli dalam hal ini, undang-undang tidak memberikan kesempatan untuk mencari sumber petunjuk selain yang telah ditetapkan dalam rumusan Pasal 188 ayat (2). Hal tersebut dipertegas dengan katakata “hanya dapat diperoleh”, sehingga undang-undang tidak memberikan alternatif lain bagi hakim untuk mencari sumber dalam membentuk alat bukti petunjuk selain dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Mengenai kedudukan keterangan ahli, Yahya Harahap berpendapat, keterangan ahli sebagai sumber alat bukti petunjuk, didasarkan pada pemikiran perlunya membatasi kewenangan hakim mancari alat bukti petunjuk dari sumber yang terlampau luas. Dianggap terlalu berbahaya memperoleh atau mencari petunjuk dari keterangan ahli, sebab keterangan ahli sebagai alat bukti, dianggap kurang obyektif. Karena sifat alat bukti keterangan ahli, sedikit banyak berwarna pendapat subyektif dari ahli, ahli menerangkan suatu keadaan atau suatu hal semata-mata dari kaca mata subyektifnya sesuai dengan keahlian yang dimiliki (Yahya Harahap, 2002 : 315-316). Mencermati rumusan tentang pengertian alat bukti petunjuk dalam Pasal 188 ayat (1) dan ayat (2), maka unsur atau syarat alat bukti petunjuk adalah :
a. unsur pertama: adanya perbuatan, kejadian, keadaan yang bersesuaian; b. unsur kedua: ada 2 (dua) persesuaian yaitu :
1. bersesuaian antara masing-masing perbuatan, kejadian dan keadaan satu dengan yang lain 2. bersesuaian antara perbuatan, kejadian dan atau keadaan dengan tindak pidana yang didakwakan; c. unsur ketiga, dengan adanya persesuaian yang demikian itu menandakan atau menunjukkan adanya 2 (dua) hal kejadian, yaitu: 1. menunjukkan bahwa benar telah terjadi suatu tindak pidana 2. menunjukkan siapa pembuatnya. d. Alat bukti petunjuk hanya dapat dibentuk melalui 3 (tiga) alat bukti, yaitu keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Karena keberadaan dan bekerjanya alat bukti petunjuk cenderung merupakan penilaian terhadap hubungan atau persesuaian antara isi dari beberapa alat bukti lainnya, dan bukan merupakan alat bukti yang berdiri sendiri, beberapa ahli keberatan apabila alat bukti petunjuk menjadi bagian dalam hukum pembuktian perkara pidana. Van Bemmelen dalam Andi Hamzah mengatakan bahwa kesalahan utama ialah petunjuk-petunjuk dipandang sebagai suatu alat bukti, padahal pada hakikatnya tidak ada (Andi Hamzah, 2001 : 272). Wirjono Projodikoro menyarankan agar alat bukti penunjukan dilenyapkan dari penyebutannya sebagai alat bukti dan penggantinya adalah pengalaman hakim dalam sidang dan keterangan terdakwa dimuka hakim yang tidak mengandung pengakuan salah seluruhnya dari terdakwa (Wirjono Projodikoro,1985:129). Terlepas dari penolakan para ahli tersebut, penggunaan alat bukti petunjuk harus sangat diperhatikan, karena alat bukti petunjuk adalah berupa pemikiran atau pendapat hakim yang dibentuk dari hubungan persesuaian alat bukti yang ada dan dipergunakan dalam sidang, maka sifat subyektifitas hakim lebih dominan. Oleh karena itu, Pasal 188 ayat (3) mengingatkan hakim agar dalam menilai kekuatan alat bukti petunjuk dalam setiap keadaan tertentu harus dilakukan secara arif dan bijaksana, setelah hakim memeriksa dengan cermat dan seksama yang didasarkan hati nuraninya. Alat bukti petunjuk baru diperlukan apabila alat bukti yang lain belum mencukupi batas minimum pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Alat bukti petunjuk baru bisa dipergunakan jika telah ada alat bukti yang lain, karena petunjuk baru mungkin ditemukan jika telah ada alat bukti yang lain. Sifat petunjuk sebagai alat bukti adalah tergantung pada alat bukti keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa sebagai pembentuknya. Namun, menurut Wirjono Projodikoro dalam Adami Chazawi, alat bukti petunjuk tidak perlu dipergunakan apabila dari alatalat bukti yang ada sudah memenuhi syarat minimal pembuktian dan dari syarat minimal itu sudah dapat menyakinkan hakim tentang terjadinya tindak pidana dan terdakwa bersalah melakukannya, karena alat bukti petunjuk sesungguhnya bukan merupakan alat bukti yang sebenarnya, melainkan sebagai kesimpulan hakim belaka yang diambil dengan mempergunakan alat-alat bukti yang sebenarnya (Adami Chazawi, 2008 : 83). Nilai kekuatan alat bukti petunjuk adalah bebas, artinya hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, sehingga hakim bebas menilainya dan mempergunakannya dalam upaya pembuktian, serta petunjuk sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri untuk membuktikan kesalahan terdakwa karena terikat pada prinsip batas minimum pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Oleh karena itu agar petunjuk memiliki nilai pembuktian yang cukup harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang lain. Mengenai perluasan alat bukti petunjuk dalam tindak pidana korupsi, diatur dalam Pasal 26A Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni: ”alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari: c) Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan, secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan d) Dokumen yakni setiap rekaman data, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Dalam penjelasan Pasal 26A huruf a diperjelas mengenai definisi pentingnya, bahwa “yang dimaksud dengan “disimpan secara elektronik” misalnya data yang disimpan dalam microfilm, Compact Disk Read Only Memory (CD Room) atau Write Once Read Many (WORM)”. Kemudian dijelaskan pula bahwa yang dimaksud dengan “alat Optik atau yang serupa dengan itu” dalam ayat ini tidak terbatas pada data penghubung elektronik (elektronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimile”. Dengan adanya ketentuan perluasan bahan untuk membentuk alat bukti petunjuk dalam Pasal 26A, secara formal jelas bahwa informasi dan dokumen yang dimaksud dalam Pasal 26A merupakan alat bukti yang yang kedudukannya sejajar atau sama dengan 3 (tiga) alat bukti lainnya: keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa sebagaimana disebut dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP. Hal tersebut dipertegas dalam rumusan Pasal 26A huruf a yang menyebutkan “alat bukti lain”, artinya kedudukan informasi dan dokumen adalah sebagai alat bukti yang sah sama dengan alat bukti keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Sementara dalam penjelasan Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan adalah kegiatan mendengarkan, mengetahui, merekam, membelokkan, menghambat, dan/atau mencatat transmisi suatu Komunikasi Elektronik terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dan bukan merupakan informasi publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi, termasuk kegiatan permintaan dan pemberian Rekaman Informasi”. Merujuk dari pengertian diatas mengenai bahan yang dipergunakan untuk membentuk alat bukti petunjuk, selain dari alat bukti keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP, alat bukti petunjuk juga dapat dibentuk dengan menggunakan informasi dan dokumen yang disebutkan dalam Pasal 26A tersebut. Sehingga apabila dikaitkan dengan penggunaan alat bukti elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal 26 A Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, dapat dilihat bahwa sebenarnya hasil penyadapan dikategorikan sebagai alat bukti petunjuk. Demikian pula sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, menyebutkan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, yang secara jelas disebutkan dalam Pasal 5 : (1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. (2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Menurut penulis, dari ketentuan tersebut semakin memperjelas bahwa hasil penyadapan merupakan alat bukti hukum yang sah yaitu alat bukti petunjuk yang diatur secara limitatif dalam Pasal 184 KUHAP yang merupakan perluasan alat bukti petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 26 A Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sementara dalam Pasal 44 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur bahwa “bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik”. Sebagaimana analisis penulis mengenai hasil penyadapan yang dikategorikan sebagai alat bukti petunjuk, maka kedudukan penyadapan dalam hal ini apabila dihubungkan dengan Pasal 44 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, merupakan salah satu bukti permulaan disamping alat bukti lain sebagaimana yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Tanpa terpenuhinya minimal dua alat bukti tersebut dugaan adanya tindak pidana korupsi belum dapat ditingkatkan ketahap penyidikan karena belum adanya bukti permulaan yang cukup.
Dari uraian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam tingkat penyelidikan, dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan yang cukup agar dapat dilanjutkan pada tingkat penyidikan. Kedudukan hasil penyadapan dalam hal ini adalah sebagai alat bukti petunjuk yang dapat dijadikan sebagai bukti permulaan yang cukup disamping alat bukti yang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP Banyak muncul perdebatan mengenai siapa saja yang bisa menjadi subyek penyadapan. Komisi Pemberantasan Korupsi dituding telah menggunakan hak dan wewenangnya secara sewenang-wenang. Karena dalam prakteknya ternyata banyak pihak yang telah menjadi “korban” penyadapan oleh lembaga ini. Perlu untuk dikaji kembali, bahwa dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a disebutkan bahwa “Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan”, dari ketentuan tersebut Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang untuk melakukan penyadapan mulai dari tahap penyelidikan sampai ke penuntutan. Yang perlu untuk digarisbawahi adalah dalam tingkat apa Komisi Pemberantasan Korupsi malaksanakan penyadapan, hal ini penting guna menentukan langkah-langkah selanjutnya. Mengenai siapa saja yang bisa disadap dalam tingkat penyelidikan, perlu untuk dipahami bahwa penyelidikan dimaksudkan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan. Pencarian dan usaha menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana bermaksud untuk menentukan sikap pejabat penyelidik selanjutnya, apakah peristiwa yang ditemukan dapat dilakukan penyidikan atau tidak. Sehingga dalam penyelidikan tidak terfokus untuk mencari siapa tersangka atau pelakunya namun untuk menentukan apakah suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana dapat atau tidak untuk dilanjutkan ke tingkat penyidikan yang didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Oleh karena itu dalam penyelidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, penyadapan dapat dilakukan terhadap setiap orang untuk kepentingan penyelidikan guna menemukan bukti permulaan yang cukup untuk diteruskan ke tingkat penyidikan, yang perlu diperhatikan adalah meskipun
penyadapan dapat dilakukan kepada setiap orang namun tidak ke sembarang orang, melainkan hanya kepada mereka yang sedang diselidiki terkait dugaan keterlibatannya dalam kasus tindak pidana korupsi, seperti yang dilakukan terhadap Anggodo Widjojo. Status Anggodo bukan sebagai tersangka terkait dengan kasus yang sedang diselidiki namun penyadapan ini berkaitan dengan posisi Anggodo sebagai adik kandung Anggoro Widjojo, tersangka kasus dugaan suap dalam proyek pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Departemen Kehutanan. Anggoro saat ini menjadi buron Komisi Pemberantasan Korupsi karena melarikan diri ke luar negeri. Penyadapan yang dilakukan terhadap telepon Anggodo bertujuan untuk menelisik keberadaan Anggoro. Sehingga penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penyelidikan tindak pidana korupsi dapat dilakukan terhadap setiap orang, dimana orang tersebut patut diduga atau dianggap memiliki keterkaitan atau keterlibatan dalam perkara korupsi yang sedang diselidiki.
2. Penyidikan Dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP disebutkan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Berdasarkan rumusan tersebut maka tugas utama penyidik adalah mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi untuk kemudian menemukan tersangkanya. Pada penyidikan, titik beratnya ditekankan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti” agar tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta dapat menemukan dan menentukan siapa pelakunya. Tugas utama penyidik dalam hal ini adalah untuk mencari serta mengumpulkan bukti. Mencari bukti yang dimaksud adalah sesungguhnya mencari alat bukti, karena bukti tersebut hanya terdapat atau dapat diperoleh dari alat bukti, dan alat bukti yang dimaksud adalah alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP (Adami Chazawi, 2008 : 14).
Bagi penyidik bukti yang terdapat dari alat bukti itu dinilai untuk menarik kesimpulan apakah dari bukti yang ada itu sudah cukup untuk membuat terang tindak pidana yang terjadi dan sudah cukup dapat digunakan untuk menemukan tersangkanya. Yang menjadi fokus dalam penyidikan adalah kegiatan untuk mengumpulkan bukti dari alat-alat bukti, yang pada dasarnya adalah kegiatan mencari atau mengumpulkan bukti kemudian mengurai, menganalisa, menilai dan menyimpulkannya dalam suatu surat yang disebut Resume. Semua alat bukti dan penilaian penyidik ini akan dibawa oleh Jaksa Penuntut Umum ke dalam sidang dan diperiksa ulang di hadapan 3 (tiga) pihak yaitu, hakim, jaksa penuntut umum dan terdakwa atau penasihat hukumnya. Penyidik harus berusaha semaksimal mungkin dalam mencari dan mengumpulkan bukti-bukti yang ada di lapangan terkait dengan kasus yang sedang ditangani. Hal ini dikarenakan yang menilai sah atau tidaknya bukti tersebut adalah hakim. Bukti yang sah, dalam arti bukti yang dapat dinilai dan dipertimbangkan hakim dalam rangka membentuk keyakinannya untuk membuat putusan adalah bukti yang diajukan dan diperiksa dalam persidangan, bukan bukti yang didapat dari hasil penyidikan. Sehingga ada kemungkinan bukti-bukti yang dikumpulkan oleh penyidik tidak semuanya dapat digunakan di persidangan. Terkait penanganan perkara korupsi, hal tersebut bukanlah hal yang mudah, sangat berbeda jauh dengan penanganan perkara biasa. Korupsi merupakan extra ordinary crime, dimana pelakunya adalah mereka yang memiliki kedudukan dan jabatan yang tinggi, terlebih tidak hanya dilakukan oleh orangperorangan tapi juga termasuk di dalamnya badan hukum baik privat maupun publik. Selain itu cara-cara yang digunakan pun tergolong rapi agar tidak mudah tercium oleh aparat penegak hukum, hal ini tentu saja sangat menyulitkan dalam mengungkap kasus korupsi. Terlebih lagi kasus korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi adalah kasus-kasus yang cukup besar, menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Hal ini menuntut usaha yang lebih dari Komisi Pemberantasan Korupsi diantaranya penyidik
yang harus lebih bekerja keras dalam mencari dan menemukan bukti-bukti. Dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penyidik diberikan beberapa kewenangan lebih hal ini tentu saja
terkait dengan tujuan dibentuknya lembaga ini yaitu untuk
mempercepat penanganan korupsi di Indonesia. Salah satu kewenangan ekstra tersebut adalah dapat melakukan penyitaan tanpa perlu mendapatkan izin dari Ketua Pengadilan Negeri. Pada penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi,
berdasarkan
kewenangan
yang
dimilikinya
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, salah satunya adalah berhak untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Penyadapan dalam tingkat penyidikan dilakukan untuk memperoleh tambahan alat bukti disamping alat bukti yang lain, dan dengan alat bukti tersebut penyidik dapat mencari dan menemukan siapa pelaku tindak pidana tersebut. Yang wajib menjadi pertimbangan bagi penyidik dalam melakukan penyadapan adalah telah diperolehnya bukti permulaan yang cukup telah terjadi suatu indikasi tindak pidana (korupsi), sehingga penyadapan yang dilakukan tidak merugikan orang lain dan tidak memunculkan opini yang mengarah pada arogansi aparat. Yang perlu diperhatikan adalah hasil penyadapan yang diperoleh oleh penyidik hanya sekedar untuk menyempurnakan alat bukti, bukan alat bukti utama. Penyadapan yang dilakukan oleh pejabat penyidik dalam tingkat penyidikan adalah untuk mencari alat bukti guna menemukan siapa tersangkanya. Mengenai kedudukan hasil penyadapan, apabila dikaitkan dengan Pasal 184 KUHAP mengenai macammacam alat bukti yang sah adalah sebagai alat bukti petunjuk, hal ini merujuk pada Pasal 26A Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 26A yang mengatur tentang perluasan alat bukti petunjuk dalam perkara korupsi, menjelaskan bahwa selain dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, alat bukti yang sah dalam bentuk
petunjuk khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan, secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu dan dokumen yakni setiap rekaman data, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Walaupun secara formal daya pengaruh alat bukti petunjuk yang dibentuk dari informasi dan dokumen, seperti halnya penyadapan, sama dengan daya pengaruh alat-alat bukti yang lain, tetapi secara subyektif ketika masing-masing alat bukti telah dipergunakan, bisa saja menjadi tidak sama. Sehingga bisa terjadi 2 (dua) alat bukti atau lebih telah diperiksa dan dipergunakan dalam pembuktian, tetapi tidak mampu membentuk keyakinan hakim. Syarat minimal bukti bukan merupakan syarat untuk mengharuskan hakim untuk membentuk keyakinannya, tetapi syarat agar hakim dapat membentuk keyakinannya. Bukti yang didapat dari hasil penyidikan dapat digunakan oleh jaksa penuntut umum sebagai dasar menyusun surat dakwaan. Di dalam persidangan, bukti atau alat bukti yang didapat dari proses penyidikan berfungsi membantu menemukan bukti dan memberi arahan bagi hakim, jaksa penuntut umum dan penasihat hukum. Dari penjelasan diatas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam tingkat penyidikan, bertujuan untuk mencari dan mengumpulkan bukti agar tindak pidana yang ditemukan menjadi terang dan selanjutnya dapat menentukan siapa tersangka atau pelaku tindak pidana. Kedudukan penyadapan dalam hal ini adalah sebagai alat bukti petunjuk berdasarkan Pasal 26A Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal tersebut mengatur mengenai perluasan alat bukti petunjuk dalam perkara korupsi. Sehingga hasil penyadapan merupakan alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP. Mengenai siapa yang menjadi subyek penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam tingkat penyidikan, perlu mencermati pengertian dari penyidikan itu
sendiri. Dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP disebutkan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Sedangkan pengertian tersangka dalam Pasal 1 butir 14, adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Dari 2 (dua) pengertian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dijadikan obyek penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam tingkat penyidikan adalah mereka yang berstatus tersangka.
3. Penuntutan Pengertian mengenai penuntutan dijelaskan dalam Pasal 1 butir 7 KUHAP yaitu tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Sedangkan pengertian penuntut dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 adalah penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi adalah Jaksa Penuntut Umum. Dalam penuntutan sangat berkaitan erat dengan proses pembuktian, namun pada dasarnya seluruh kegiatan dalam proses hukum penyelesaian perkara pidana, sejak penyelidikan sampai putusan akhir diucapkan di muka persidangan oleh majelis hakim adalah berupa kegiatan yang berhubungan dengan pembuktian atau kegiatan untuk membuktikan. Walaupun hukum pembuktian perkara pidana terfokus pada proses kegiatan pembuktian di sidang pengadilan, tetapi sesungguhnya proses pembuktian sudah ada dan dimulai pada saat penyelidikan, suatu pekerjaan awal dalam menjalankan proses perkara pidana oleh negara (Adami Chazawi, 2008 : 13). Pembuktian sebagai suatu kegiatan adalah usaha untuk membuktikan sesuatu (obyek yang dibuktikan) melalui alat-alat bukti yang boleh
dipergunakan dengan cara tertentu pula untuk memperoleh kekuatan hukum bahwa apa yang dibuktikan itu dikatakan terbukti atau tidak terbukti berdasarkan
undang-undang.
Hal-hal
yang
perlu
diperhatikan
dalam
pembuktian hukum acara pidana adalah : 1. Putusan hakim minimal didasarkan pada 2 (dua) alat bukti yang saling mendukung satu dengan yang lain. 2. Dari alat bukti tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. 3. Disamping alat bukti yang telah ditetapkan oleh KUHAP, alat bukti lain adalah hal yang secara umum sudah diketahui dan tidak perlu dibuktikan. Segi-segi umum hukum pembuktian umum dalam KUHAP terutama : 1. Mengenai alat bukti yang dapat digunakan untuk membuktikan (Pasal 184). Obyek yang harus dibuktikan bersumber pada tindak pidana yang didakwakan. 2. Mengenai kedudukan, fungsi pihak yaitu hakim, JPU, dan terdakwa atau penasihat hukumnya yang terlibat dalam kegiatan pembuktian. Dari sudut pihak mana yang berkewajiban membuktikan, maka disini terdapat sistem pembebanan pembuktian. 3. Mengenai nilai atau kekuatan alat bukti dalam pembuktian dan cara-cara menilainya (Pasal 184-189). 4. Mengenai cara bagaimana membuktikan dengan menggunakan alat bukti tersebut. Dengan kata lain bagaimana alat bukti tersebut dipergunakan dalam kegiatan pembuktian (Pasal 159-181). 5. Mengenai standar minimal pembuktian sebagai kriteria yang harus dipenuhi untuk menarik kesimpulan pembuktian tentang terbukti ataukah tidak hal apa (obyek) yang dibuktikan (Pasal 183). 6. Mengenai syarat subyektif (keyakinan) hakim dalam hubungannya dengan standar minimal pembuktian dalam hal hakim menarik amar putusan akhir (Pasal 183) (Adami Chazawi, 2008 : 102-103). Kegiatan pembuktian dalam sidang pengadilan, tidak terfokus lagi pada pencarian alat-alat bukti dan mengurangi bukti-bukti, akan tetapi memeriksa
alat-alat bukti yang sudah terlebih dahulu disiapkan oleh penyidik dan diajukan oleh jaksa penuntut umum dalam sidang untuk diperiksa bersama hakim dan terdakwa atau penasihat hukumnya. Pada dasarnya kegiatan dalam sidang pengadilan perkara pidana adalah kegiatan pengungkapan fakta-fakta suatu peristiwa melalui berbagai alat bukti. Kegiatan ini sering disebut dengan pemeriksaan alat-alat bukti. Fakta-fakta yang diperoleh tersebut akan dirangkai menjadi suatu peristiwa, peristiwa mana seperti yang sebenarnya (kebenaran materiil), mendekati yang sebenarnya ataukah jauh dari kebenaran yang sesungguhnya. Begitu juga apakah peristiwa tersebut mengandung muatan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan jaksa penuntut umum atau tidak aka bergantung sepenuhnya kepada akurat atau tidaknya dan lengkap atau tidaknya fakta-fakta yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut (Adami Chazawi, 2008 : 16). Dalam ilmu hukum, terdapat empat teori atau sistem pembuktian, yakni ; a. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim semata (conviction intime) Menurut sistem ini, bersalah tidaknya terdakwa sepenuhnya berdasarkan pada penilaian dan keyakinan hakim. Keyakinan hakim tidak harus didasarkan pada alat bukti yang ada, sehingga pemeriksaan di pengadilan bukan untuk mencari alat bukti, tetapi untuk membentuk keyakinan hakim. Kelemahan sistem ini yaitu memberikan kepercayaan terlalu besar kepada hakim. b. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan atas alasan yang logis (conviction raisonee) Meskipun sistem ini juga mengutamakan penilaian dan keyakinan hakim sebagai dasar dalam menjatuhkan putusan seperti halnya sistem conviction intime, namun dalam sistem ini ada keharusan menggunakan pertimbangan hakim yang nyata dan logis dan dapat diterima akal pikiran yang sehat. c. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif (positif wettelijk) Bersalah tidaknya terdakwa menurut sistem ini didasarkan pada ada tidaknya alat bukti sah menurut undang-undang, sehingga mengabaikan atau tidak
mempertimbangkan keyakinan hakim. Sistem ini hanya dapat dipergunakan dalam hukum acara perdata yang mencari kebenaran formil. d. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatif wettelijk) Menurut sistem ini hakim hanya dapat menjatuhkan pidana, apabila ia yakin dan keyakinan hakim tersebut didasarkan alat bukti sah menurut undang-undang. Walaupun alat-alat bukti cukup dan lengkap, jika hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa, maka perkara diputus bebas (Yahya Harahap, 2000: 255-259). Sistem pembuktian yang dianut di Indonesia secara eksplisit terdapat dalam Pasal 183 KUHAP “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dari ketentuan Pasal 183 tersebut, maka dapat kita ketahui, bahwa hukum acara pidana di negara kita menggunakan sistem “menurut undang-undang yang negatif” (R.Soesilo,1997 : 15). Hal ini berarti walaupun alat-alat bukti cukup dan lengkap, jika hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa, maka tidak cukup untuk menetapkan kesalahan terdakwa. Demikian juga sebaliknya jika keyakinan hakim tidak didukung dengan keberadaan alat-alat bukti yang sah menurut hukum, maka tidak cukup untuk menetapkan kesalahan terdakwa. Pembuktian merupakan inti dari proses peradilan, sehingga keabsahan alat bukti sangat menentukan putusan yang akan dijatuhkan. Agar alat bukti terjamin keabsahannya, maka penegak hukum harus sangat berhati-hati dalam menggunakan alat bukti terutama dalam penentuan mengenai bukti permulaan, karena bukti permulaan merupakan dasar dapat tidaknya dilakukan penyidikan yang kemudian akan dilanjutkan dengan penuntutan hingga proses persidangan. Penentuan mengenai bukti permulaan merupakan diskresi penyidik. Dalam kaitannya dengan penuntutan, berdasarkan Pasal 12 ayat (1) huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berhak untuk melakukan penyadapan. Penyadapan yang dilakukan dimaksudkan untuk melengkapi Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) sebelum diajukan ke persidangan. Dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan “Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi” dari bunyi pasal tersebut maka kewenangan penuntut umum yang diatur dalam KUHAP juga berlaku bagi penuntut umum dalam Komisi Pemberantasan korupsi. Dalam Pasal 14 butir a KUHAP menyebutkan, “penuntut umum mempunyai wewenang menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu”. Dalam hal berkas perkara yang diterima oleh penuntut umum belum lengkap, penuntut umum dapat melakukan pemberitahuan kepada penyidik (P18) dengan memberikan petunjuk (P19) agar berkas perkara tersebut lengkap (P21). Dalam penyusunan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) oleh penyidik harus dibuat selengkap mungkin, karena BAP tersebut akan digunakan dalam pemeriksaan di persidangan. Oleh karena itu demi melengkapinya, penyadapan dapat dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi guna mendapatkan informasi-informasi yang bersifat rahasia yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang sedang ditangani. Dalam kaitannya dengan pemeriksaan di persidangan, perlu diperhatikan bahwa dalam hukum pembuktian pidana, ada 6 (enam) hal yang dapat dijadikan tolok ukur pembuktian, yaitu dasar-dasar pembuktian (bewijsgronden), alat-alat bukti (bewijsmiddelen), cara memperoleh dan menyampaikan bukti (bewijsvoering), beban pembuktian (bewijslast), kekuatan pembuktian (bewijskracht), dan minimum bukti yang diperlukan untuk memproses perkara pidana (bewijs minimum).
Dari sisi bewijsmiddelen, berdasarkan Pasal 184 KUHAP, alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Berdasarkan analisa penulis sebelumnya yang menyatakan bahwa hasil penyadapan merupakan alat bukti petunjuk berdasarkan ketentuan mengenai perluasan alat bukti petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 26A Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka hasil penyadapan merupakan alat bukti yang sah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP. Mengenai bewijskracht, terkait dengan bewijsmiddelen bahwa hasil penyadapan merupakan alat bukti petunjuk maka mengenai kekuatan
pembuktiannya adalah bebas, artinya hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, sehingga hakim bebas menilainya dan mempergunakannya dalam upaya pembuktian, serta petunjuk sebagai alat bukti tidak bisa berdiri sendiri untuk membuktikan kesalahan terdakwa karena terikat pada prinsip batas minimum pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Terkait
bewijsvoering,
penyadapan
yang
dilakukan
oleh
Komisi
Pemberantasan Korupsi harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang benar, seperti yang dikatakan oleh mantan Menteri Komunikasi dan Informasi, Sofyan Djalil, istilah yang tepat digunakan terkait dengan penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lawful interception (penyadapan yang sah secara hukum). Hal tersebut untuk menghindari perolehan bukti dengan cara tidak sah atau unlawful legal evidence. Mengenai bewijs minimum, atas dasar ketiga tolok ukur pembuktian yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa hasil penyadapan adalah alat bukti yang sah yang merupakan alat bukti petunjuk yang diperoleh dengan cara-cara yang sah maka hasil penyadapan merupakan minimum bukti yang diperlukan untuk memproses perkara pidana disamping satu alat bukti yang lain. Dari uraian diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam tingkat penuntutan, bertujuan untuk mendapatkan informasi-informasi tambahan yang bersifat rahasia yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang sedang ditangani. Informasi-informasi tersebut digunakan untuk melengkapi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang telah dibuat oleh penyidik sebelumnya guna kepentingan penuntutan di persidangan. Siapa saja yang dapat disadap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam tingkat penuntutan, perlu untuk dicermati kembali tentang pengertian penuntutan. Dalam Pasal 1 butir 7 KUHAP penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang
pengadilan. Dari pengertian tersebut menjelaskan tentang pelimpahan perkara pidana ke pengadilan negeri agar diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Bila dikaitkan dengan pengertian terdakwa dalam Pasal 1 butir 15, terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan. Maka yang menjadi subyek penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam tingkat penuntutan adalah terdakwa yaitu seseorang yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan. Mencermati konstruksi hukum mengenai legalitas upaya paksa penyadapan, dapat diringkas dalam rincian tabel sebagai berikut :
Tabel 1. Tabulasi Legalitas Upaya Paksa Penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
No. Tahap Penegakan
Dasar Hukum/Landasan Hukum dan
Subyek Hukum
Konstruksi Hukum
yang Dapat Dikenai
Hukum 1.
Penyelidikan
Penyadapan
1. Pasal 12 ayat (1) huruf a Undangundang Nomor 30 Tahun 2002
Setiap orang yang
2. Pasal 32 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
dalam tindak
diduga terlibat pidana korupsi
3. Pasal 1 butir 5 KUHAP 4. Pasal 26 A Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 5. Pasal 44 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 2.
Penyidikan
1. Pasal 12 ayat (1) huruf a Undangundang Nomor 30 Tahun 2002
Tersangka dalam
2. Pasal 32 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
korupsi
tindak pidana
3. Pasal 1 butir 2 KUHAP 4. Pasal 184 KUHAP 5. Pasal 26 A Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 6. Pasal 188 KUHAP 3.
Penuntutan
1. Pasal 12 ayat (1) huruf a Undangundang Nomor 30 Tahun 2002
Terdakwa dalam
2. Pasal 32 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
korupsi
3. Pasal 1 butir 7 KUHAP 4. Pasal 183 KUHAP 5. Pasal 26 A Undang-undang Nomor
tindak pidana
31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
B. Konstruksi Hukum Penyadapan Ditinjau dari Aspek Upaya Paksa Dalam Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM) serta Urgensinya Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi Kegiatan peradilan atas pelanggaran hukum (law adjudicating) sebagai bagian dari sistem hukum negara Indonesia, sejauh ini memang menjadi benteng terakhir bagi masyarakat untuk mencari keadilan atas pelanggaran hak-hak asasinya. Namun sebagai suatu sistem, lembaga peradilan khususnya sistem peradilan pidana seringkali malah menjadi “aktor pelanggar” hakhak tersebut. Dalam penyelesaian perkara pidana yang dimulai dari proses penyidikan, sering melahirkan praktik-praktik seperti penyiksaan dan upaya paksa lainnya. Hal itu terjadi karena rendahnya kesadaran hukum (law awarnnes) yang terkait dengan sumber daya manusia di lembaga-lembaga yang tergabung dalam sistem peradilan pidana, yang pada akhirnya menimbulkan kesenjangan dengan tingkah laku hukum (law behavior) lembaga-lembaga sistem peradilan pidana. Secara umum sistem peradilan pidana bertujuan untuk menghukum mereka yang bersalah melakukan kejahatan. Namun sebaliknya, jika seseorang yang bersalah itu tidak dihukum karena sistem peradilan pidana tidak berjalan sebagaimana mestinya, atau malah justru seseorang yang tidak bersalah yang dihukum, inilah yang disebut dengan kegagalan dalam menegakan hukum atau keadilan. Untuk menekan kemungkinan terjadinya kegagalan tersebut, maka sistem peradilan pidana Indonesia yang dilaksanakan berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menetapkan prosedur upaya paksa (dwang middelen). Upaya paksa (dwang middelen) adalah suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan suatu peraturan yang berlaku. Tindakan hukum ini dapat mengurangi dan membatasi hak asasi seeorang, seperti diantaranya penyidikan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Upaya paksa (dwang middelen) ini disatu sisi merupakan kekuasaan dan kewenangan yang sah dari penyidik terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan. Akan tetapi di sisi lain, wewenang menjalankan upaya paksa (dwang middelen) tersebut menunjukan praktik- praktik yang telah menjurus kepada pelanggaran hak-hak konstitusional (HAM) tersangka itu sendiri.
Dalam penegakan hukum dalam perkara korupsi, dimana korupsi sebagai kejahatan luar biasa harus dihadapi dengan upaya-upaya yang luar biasa juga. Salah satu upaya luar biasa itu adalah dengan memberikan otoritas kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melakukan penyadapan terhadap perbincangan pihak-pihak yang terindikasikan terlibat korupsi, tanpa terkecuali para pejabat publik. Sebuah aktivitas yang dalam kondisi biasa memang hanya layak dilakukan atas izin lembaga peradilan. Penyadapan merupakan salah satu upaya paksa luar biasa yang dilakukan oleh lembaga ini untuk menangani perkara korupsi. Sekitar tahun 1960-an, kepolisian di Amerika Serikat telah melakukan penyadapan. Masyarakat ketika itu sangat mendukung operasi kepolisian dengan teknik-teknik tersebut. Walau demikian, setelah deklarasi Hak Asasi Manusia Universal PBB (1946), disusul berbagai konvenan mengenai hak-hak sipil dan hak politik pada 1966 (Indonesia meratifikasinya dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005), maka teknik tersebut dipersoalkan karena rentan terhadap penyalahgunaan wewenang. Teknik itu juga sangat bersentuhan dengan hak-hak asasi seorang tersangka yang seharusnya diperlakukan layaknya seorang yang tidak bersalah sebelum diputus oleh pengadilan yang independen. Termasuk ke dalam perkara hak asasi yang bersentuhan dengan teknik tersebut adalah hak-hak pribadi seperti hak memiliki kerahasiaan baik mengenai pekerjaan, keluarga, atau harta kekayaan. Teknik tersebut dihadapkan kepada prinsip due process of law. Proses beracara pidana, termasuk dalam menemukan bukti-bukti yang cukup dan baik, harus menjunjung tinggi dan sesuai dengan standar hak asasi manusia (RomliAtmasasmita,Legalitaspenyadapan.www.news.okezone.com<[8 Juni 2010, pukul 10.00 WIB]. Konsep due process dikaitkan dengan landasan menjunjung tinggi supremasi hukum dalam menangani tindak pidana. Tidak seorangpun berada dan menempatkan diri diatas hukum (no one is above the law) dan hukum harus diterapkan kepada siapa pun berdasar prinsip perlakuan dan dengan cara yang jujur (fair manner). Esensi due process adalah srtiap penegakan dan penerapan hukum pidana harus sesuai dengan persyaratan konstitusional serta harus menaati hukum. Oleh karena itu due process tidak membolehkan pelanggaran terhadap suatu bagian ketentuan hukum dengan dalih guna menegakkan bagian hukum yang lain (Yahya Harahap, 2002 : 95). Pasal 28 F Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia” dan dalam Pasal 14 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia “. Kedua Undang-undang ini mempertegas bahwa pada dasarnya setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan mendapatkan informasi yang dijamin dalam konstitusi di Indonesia. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga telah memberikan jaminan pada kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan komunikasi melalui sarana apapun. Dalam Pasal 32 menyatakan “kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan surat menyurat termasuk hubungan komunikasi melalui sarana elektronik tidak boleh diganggu kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”. Disamping menjamin dalam kebebasan dalam berkomunikasi, ketentuan hukum ini ternyata memberikan batasan yang harus diperhatikan, yaitu jika perintah hakim menentukan “gangguan” itu adalah kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku maka diperbolehkan. Sehubungan dengan penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, sebenarnya Pasal 32 ini justru menjadi dasar hukum bagi lembaga ini untuk melakukan penyadapan yaitu melalui kalimat “kekuasaan yang sah menurut peraturan perundangundangan yang berlaku”. Memang belum jelas kekuasaan dalam hal apa saja. Sebab, penjelasan Pasal 32 tertulis “cukup jelas”. Namun, jika melihat kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah bersumber dari Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, maka kewenangan ini dapat disebut sebagai kewenangan yang sah menurut perundang-undangan yang berlaku. Meskipun demikian, apabila dari tindakan penyadapan itu ternyata menimbulkan kerugian maka telah disediakan mekanisme rehabilitasi atau kompensasi. Hal itu diatur dalam Pasal 63 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002. Mekanisme ini diberikan sebagai wujud diberlakukannya asas kepastian hukum dan keadilan yang memperhatikan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia. Selain dari peraturan nasional, Universal Declaration Of Human Rights (UDHR) adopted and proclaimed by General Assembly resolution 217 A (III) of 10 December 1948 Article 19 juga menyebutkan bahwa “ everyone has the right to freedom of opinion and expressions; this right
includes freedom to hold opinions whitout interfence and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers”. Dari peraturan internasional tersebut dapat diperoleh suatu dasar hukum bahwa setiap orang berhak untuk menyampaikan dan memperoleh informasi apapun dari media apapun dan berhak terbebas dari interfensi pihak manapun dalam menyampaikan informasi tersebut. Dari ketentuan tersebut dapat dikatakan bahwa pada dasarnya penyadapan pada prinsipnya melanggar hak orang sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Deklarasi Internasional tentang HAM. Pelanggaran-pelanggaran hak asasi tersangka atau terdakwa oleh aparat penegak hukum ini pada akhirnya akan menimbulkan miscarriage of justice (kegagalan dalam menegakan keadilan). Dimana penegak hukum yang mempunyai kuasa dan wewenang untuk mengupayakan tercapainya keadilan, ternyata menggunakan kuasa dan wewenang yang ada padanya justru untuk memberikan ketidak adilan . Hal ini tentu akan sangat berpengaruh bagi integritas moral proses pidana (moral integrity of the criminal proses) sendiri. Masyarakat tidak akan percaya lagi dengan proses pidana yang dilakukan melalui mekanisme sistem peradilan pidana. Ada beberapa pendapat dari ahli hukum tentang penyadapan dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia, seperti yang penulis kutip dari pernyataan pakar hukum pidana Universitas Indonesia Rudy Satrio pada suatu forum diskusi di Jakarta yang menyatakan bahwa kewenangan penyadapan yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi bukanlah kewenangan khusus, melainkan kewenangan yang juga dimiliki penyidik Kepolisian dan Kejaksaan. Ditegaskan pula bahwa dikaitkan dengan proses penyidikan, penyidik harus mencari alat bukti. Kalau penyidik diharuskan mengambil informasi yang berkaitan dengan tindak pidana, maka penyidik harus menyadap. Ini tidak melanggar Hak Asasi Manusia, demikian menurut Rudy Satrio (Pemberantasan Korupsi, KPK Jangan Dibubarkan, harian KOMPAS, Senin, tanggal 20 November 2006 Halaman 3). Di Indonesia penyadapan hanya dapat dilakukan oleh lembaga penegak hukum yaitu kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (UU Telekomunikasi), dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah memuat ketentuan tentang penyadapan. Di dalam UU Telekomunikasi kegiatan penyadapan dalam rangka pengamanan telekomunikasi diatur Pasal 40, secara eksplisit ketentuan Pasal 40 menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apa pun. Pasal 56 menegaskan, barang siapa melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud Pasal 40, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. Sedangkan UU ITE mencantumkan hal serupa dengan istilah “Perbuatan yang Dilarang” dalam Pasal 31 Bab VII. Bedanya, UU Telekomunikasi secara terbatas menjelaskan lembaga penegak hukum yang berwenang melakukan penyadapan, sedangkan UU ITE belum mengaturnya sama sekali. Sejumlah undang-undang di Indonesia, memberikan kewenangan khusus pada penyidik untuk melakukan penyadapan telepon dan merekam pembicaraan, termasuk penyidikan dengan cara under cover. Paling tidak ada 4 (empat) undang-undang yang memberi kewenangan khusus itu, yaitu Undang-Undang Psikotropika, Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Bila dicermati, ketentuan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan terdapat perbedaan prinsip antara satu dengan undang-undang lainnya. Undang-undang Psikotropika dan Undang-undang Narkotika mengharuskan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan dengan izin Kepala Polri dan hanya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari. Artinya, ada pengawasan vertikal terhadap penyidik dalam melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan. Berbeda dengan kedua undang-undang itu, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme membolehkan penyidik menyadap telepon dan perekaman pembicaraan hanya atas izin ketua pengadilan negeri dan dibatasi dalam jangka waktu satu tahun. Di sini ada pengawasan horizontal terhadap penyidik dalam melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan. Namun dalam Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi boleh melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan dalam mengungkap dugaan suatu kasus korupsi tanpa pengawasan dari siapa pun dan tanpa dibatasi jangka waktu. Hal ini bersifat dilematis karena kewenangan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan oleh KPK bersifat absolut dan cenderung melanggar hak asasi manusia. Hal ini, di satu sisi dapat disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu di lembaga ini, sedangkan di sisi lain, instrumen yang bersifat khusus ini diperlukan dalam mengungkap kasus-kasus korupsi yang sudah amat akut di Indonesia. Dari berbagai ketentuan diatas yang menilai penyadapan dari berbagai sudut pandang, penulis dapat menarik benang merah bahwa pada dasarnya menyadap pembicaraan orang adalah suatu tindakan ilegal yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan merupakan tindak pidana. Namun berbeda dengan kegiatan penyadapan untuk proses penegakan hukum, hal tersebut diperbolehkan namun hendaknya dilakukan secara prosedural dan tidak dilakukan
secara sembarangan. Yang tetap mengedepankan due process of law dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
Terlepas dari perdebatan terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia, hal yang juga masih menjadi pembahasan adalah mengenai prosedur penyadapan. Belum ada aturan yang jelas mengenai penyadapan, baik dalam Undang undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maupun dalam peraturan-perturan yang lain, hanya saja dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Pasal 31 ayat (4) menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Namun, sampai sekarang Peraturan Pemerintah tersebut belum ada bahkan Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) tentang penyadapan malah memunculkan banyak pro dan kontra terkait adanya indikasi untuk mengaputansi kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi khususnya soal penyadapan. Setidaknya ada 3 (tiga) patokan dasar yang diterapkan yaitu : need (kebutuhan), tools (instrumen) dan goal (tujuan). Dari segi need (kebutuhan), penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mencari alat bukti. Kebutuhan ini disesuaikan berdasarkan pada tingkat penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Sedangkan terkait tools (instrumen), alat sadap yang digunakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menyadap adalah berdasarkan standar yang telah ditetapkan oleh Pemerintah, dengan teknologi yang sangat canggih diharapkan dapat menyadap informasi yang rahasia secara akurat. Mengenai goal (tujuan) yang diharapakan dalam melakukan penyadapan ini adalah untuk mengungkap kasus-kasus korupsi untuk kepentingan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang saat ini menjadi target prioritas pemerintah. Mengenai
prosedur
penyadapan
yang
selama
ini
dilakukan
oleh
Komisi
Pemberantasan Korupsi, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Chandra M. Hamzah mengatakan hal tersebut digunakan untuk melengkapi bukti di pengadilan sedangkan yang meminta untuk melakukan penyadapan adalah penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam hal ini penyelidik mengisi formulir yang berisi lamanya waktu penyadapan dan hasil yang diharapkan dari penyadapan itu. Penyadapan tidak dilakukan sepanjang waktu, namun sesuai permintaan penyelidik dan hasil yang
diharapkan
(anggota-komisi-iii-pertanyakan-prosedur-penyadapan.www.dpr.go.id/.../
.<[10 Juni 2010, pukul 13.00 WIB]. Penyadapan pun hendaknya dilakukan terhadap pembicaraan yang hanya ada kaitannya dengan perkara yang sedang ditangani, jika nanti dalam hal perekaman atau penyadapan ada pembicaraan yang tidak berkaitan dengan perkara yang sedang ditangani, maka hasil rekaman atau penyadapan harus dilenyapkan karena hal ini menyangkut privasi dan Hak Asasi Manusia. Batasan yang lain yaitu penyadapan hanya dapat dilakukan terhadap suatu perkara dengan kategori tertentu, yaitu perkara-perkara yang sifatnya sangat khusus atau perkara pidana yang extra ordinary seperti perkara terorisme, perkara pelanggaran HAM berat, perkara korupsi dan perkara pidana lain yang sifatnya sangat luar biasa. Prosedur penyadapan seharusnya menganut prinsip velox et exastus (informasi terkini dan akurat). Mungkin atas dasar inilah KPK selama ini berhasil membongkar beberapa tindak pidana korupsi seperti kasus dua anggota DPR yang telah terjerat hukum pemenjaraan: Abdul Hadi Jamal dan Al Amin Nasution. Keduanya berhasil ditangkap melalui proses penyadapan dan laporan terkini dan akurat (Muslimin B.Putra, Menimbang Rencana Regulasi Penyadapan Depkominfo.www.suaramerdeka.com<[8 Maret 2010, pukul 10.00 WIB). Hasil penyadapan, baru mempunyai nilai atau manfaat jika memenuhi dua syarat. Pertama, informasi yang diperoleh harus alami (natural evidence). Kedua, substansi dari informasi tersebut relevan dengan kasus yang sedang atau akan ditangani. Informasi bersifat alami adalah pada saat dilakukan penyadapan, pihak yang disadap benar-benar tidak tahu kalau pembicaraannya disadap. Syarat untuk dapat memperoleh informasi yang alami adalah bahwa penyadapan harus independen, terjamin kerahasiaannya. Independensi yang dimaksud adalah auditor atau penyelidik KPK harus bebas dari intervensi pihak lain. Dalam audit investigafif, auditor dengan intuisi atau nalurinya, seharusnya diberikan kebebasan menetapkan siapa yang harus disadap dan kapan penyadapan dilakukan. Hal inilah yang mungkin bagi pihak-pihak tertentu dianggap sebagai pelanggaran HAM. Sebagai contoh, dalam rekaman hasil penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi yang diungkap di Mahkamah Konstitusi (MK), antara lain ada pembicaraan antara Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) I
Ketut Sudiarsa dengan Anggodo Widjojo. Waktu itu Ketut antara lain berkata, ”Wah jangan-jangan pembicaraan kita ini disadap”, dan Anggodo menjawab bahwa nomor HP nya telah diganti dengan nomor baru. Andaikata mereka tahu pembicaraannya disadap, kemungkinannya tidak akan ada rekaman tersebut. Kemungkinan lain mereka mungkin sengaja membuat skenario pembicaraan yang arahnya menyesatkan (Mentis Harjanto, Mengaputansi Kewenangan KPK.www.suara merdeka.com<[1 Juni 2010, pukul 09.00 WIB]. Penulis dapat menarik kesimpulan, bahwa pada dasarnya belum ada aturan baku mengenai tata cara dan prosedur tentang penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yang diwujudkan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Namun ada patokan dasar yang dapat diterapkan oleh lembaga ini agar dalam pelaksanaannya tidak bersinggungan dengan Hak Asasi Manusia tersangka atau terdakwa. Selain itu untuk menghindari perolehan bukti dengan cara tidak sah atau unlawful legal evidence agar nantinya hasil penyadapan dapat digunakan untuk mengungkap tindak pidana korupsi. Mengenai seberapa efektifkah penyadapan terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, perlu untuk dipelajari bagaimana karakteristik dari tindak pidana korupsi. Menurut Erry, korupsi merupakan penyakit yang mulai berjangkit dan harus segera ditangkal. Istilah yuridis ini muncul dalam bentuk Peraturan Penguasa Militer-Angkatan Darat dan Laut RI-Nomor PRT/PM/06/1957 sebagai upaya awal karena KUHP dianggap tidak mampu menanggulangi meluasnya korupsi pada masa itu yang juga telah dianggap sebagai penyakit masyarakat yang menggerogoti kesejahteraan rakyat, menghambat pelaksanaan pembangunan, merugikan perekonomian dan mengabaikan moral (Erry Riyana Hardjapamekas dalam Jeremy Pope, 2007 : xxii). Korupsi bukan merupakan sebuah bentuk kejahatan lokal, hampir di seluruh negara di dunia korupsi telah menjadi suatu wabah. Baik itu pada negara berkembang maupun negara maju. Termasuk negara-negara bekas jajahan, namun menurut John S.T. Quah meskipun Thailand adalah satu-satunya negara ASEAN yang tidak pernah dijajah, tapi kebebasan dari kekuasaan kolonial tersebut tidak menjamin bahwa negara itu akan kebal penyakit korupsi. Dalam kenyataannya, di Thailand korupsi sudah menjadi tingkat endemik dan ini dapat ditelusuri dari perilaku korup pejabat dalam birokrasi
pemerintahan dari abad ke-17 (John S.T. Quah, Bureaucratic Corruption in The ASEAN Countries : A Comparative Analysis of Their Anti-Coruption Strategies. Journal of Southeast Asean Studies, Vol. 13 No. 1). Pemberantasan korupsi memang mutlak diperlukan dan harus menjadi prioritas utama pemerintah. Konsep dan kegiatan pemberantasan korupsi juga harus berkesinambungan. Korupsi di Indonesia sudah mendarah daging, cakupannya sangat luas dan menyeluruh, baik horizontal maupun vertikal. Sangat sulit mencari birokrat dan pengusaha kakap yang masih belum terjangkit korupsi di dalam sejarah hidupnya (Kwik Kian Gie, 2006 : 10). Menurut Gerald E. Caiden bentuk-bentuk korupsi yang umum dikenal antara lain : 1.
Berkhianat, subversi, transaksi luar negeri ilegal, penyelundupan.
2.
Menggelapkan barang milik lembaga, swastanisasi anggaran pemerintah, menipu dan mencuri.
3.
Menggunakan uang yang tidak tepat, memalsu dokumen dan menggelapkan uang, mengalirkan
uang
lembaga
ke
rekening
pribadi,
menggelapkan
pajak,
menyalahgunakan dana. 4.
Menyalahgunakan wewenang, intimidasi, menyiksa, penganiayaan, memberi ampubn dan grasi tidak pada tempatnya.
5.
Menipu dan mengecoh, memberi kesan yang salah, mencurangi dan memperdaya, memeras.
6.
Mengabaikan keadilan, melanggar hukum, memberikan kesaksian palsu, menahan secara tidak sah, menjebak.
7.
Tidak menjalankan tugas, desersi, hidup menempel pada orang lain.
8.
Penuapan dan penyogokan, memeras, mengutip pungutan, meminta komisi.
9.
Menjegal pemilihan umum, memalsu kertas suara, membagi-bagi wilayah pemilihan umum agar bisa unggul.
10. Menggunakan informasi internal dan informasi rahasia untuk kepentingan pribadi, membuat laporan palsu. 11. Menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang milik pemerintah dan surat izin pemerintah. 12. Manipulasi peraturan, pembelian barang persediaan, kontrak dan pinjaman uang. 13. Menghindari pajak, meraih laba berlebih-lebihan.
14. Menjual pengaruh, menawarkan jasa perantara, konflik kepentingan. 15. Menerima hadiah, uang jasa, uang pelicin dan hiburan, perjalanan yang tidak pada tempatnya. 16. Berhubungan dengan organisasi kejahatan, operasi pasar gelap. 17. Perkoncoan, menutupi kejahatan. 18. Memata-matai secara tidak sah, menyalahgunakan telekomunukasi dan pos. 19. Menyalahgunakan stempel dan kertas surat kantor, rumah jabatan, dan hak istimewa jabatan (Gerald E. Caiden, Toward a General Theory of Official Coruption, Asian Journal of Public Administration, Vol. 10 No. 1, 1988). Sampai saat ini koupsi merupakan salah satu dari tindak pidana yang dikategorikan extra ordinary crime seperti halnya tindak pidana terorisme dan tindak pidan pelanggaran HAM berat. Korupsi disebut sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) disebabkan beberapa alasan, antara lain : 1. Dari sisi pelaku, korupsi dilakukan bukan oleh orang biasa, tetapi oleh mereka yang memiliki kedudukan dan status terhormat dalam masyarakat. Korupsi juga dilakukan oleh badan hukum khususnya badan hukum privat dan tidak tertutup kemungkinan juga dilakukan oleh badan hukum publik, contohnya korupsi berjamaah yang dilakukan oleh anggota DPRD di sejumlah daerah dilakukan dengan proses administrasi yang terencana, terstruktur dan sitematis secara institusional. Dari jabatan, pelaku korupsi mulai dari pegawai biasa, pengusaha sampai tingkat menteri atau bahkan mungkin dapat dilakukan paa tingkat jabatan presiden. 2. Dari sisi modus operandi, korupsi dilakukan dengan berbagai cara mulao dari yang remeh sampai manipulasi besar-besaran. Sebagai contoh memberi tips kepada petugas, membuat perjalanan dinas fiktif, sampai pada pengadaan proyek fiktif (ada dalam anggaran tapi wujudnya tidak pernah ada). Korupsi dilakukan dengan cara sistematis yang sulit disentuh hukum dan secara bersama-sama. 3. Dari sisi niat (motivasi) para pelaku, korupsi tidak dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup mendasar tetapi dengan niat memperkaya diri. Sampai berapa ukuran menambah kekayaan tidak pernah ada batasnya. 4. Dari sisi penyebaran kasus, kasus korupsi terjadi hampir di semua instansi tanpa ada terkecuali. Walaupun tidak semua pegawai pada satu instansi melakukan korupsi,
kasus-kasus korupsi yang mencuat hampir merata di semua instansi mulai dari tingkat pusat sampai ke pemerintahan terendah. 5. Dari sisi penindakan atau penegqakan hukumnya, terdapat kesulitan seriusuntuk mengungkapnya, diperlukan sejumlah prosedur yang dibatasi oleh peraturan perundang-undangan, bukti yang sulit ditemukan dan dukungan masyarakat yang lemah. 6. Dari sisi masyarakat dan budaya, korupsi telah dianggap sebagai sesuatu yang lumrah bahkan luhur jika hasil korupsi ikut dinikmati oleh masyarakat. Cenderung tidak ada penolakan serius atas praktek korup yang dilakukan oleh para pejabat publik dan tokoh masyarakat terlebih jika hasil korupsi disalurkan kepada lembaga-lembaga sosial dan keagamaan. Praktek-praktek tindakan korup telah lama berlangsung sejak zaman dahulu sebagai kebiasaan yang lumrah. 7. Dari sisi penegak hukum, disinyalir para petugas penegak hukum yang semestinya memberantas korupsi justru melakukan korupsi, contoh kasus Jaksa Urip Tri Gunawan, kasus Komisi Judisial dan sebagainya. 8. Dari sisi perkembangan kasus, terus terjadi peningkatan kasus korupsi. Walaupun secara umum Komisi Pemberantasan Korupsi telah melakukan tindakan-tindakan yang luar biasa, dan disaat yang sama kepolisian dan kejaksaan juga terus memburu koruptor, yang tidak tertangkap dan tidak terungkap jauh lebih banyak lagi. Jika dibandingkan dengan masa Orde Baru, maka sesungguhnya di era reformasi ini telah terjadi pemerataan korupsi (Erdianto Effendi, Korupsi, Kejahatan Luar Biasa Yang Merobohkan Bangsa. Jurnal Komisi Hukum Nasional, Vol. 9, No. 5). Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hakhak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan
luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Cara-cara yang luar biasa tersebut antara lain, membentuk suatu lembaga yang khusus untuk menangani tindak pidana korupsi yang tentunya juga dilengkapi dengan sejumlah kewenangankewenangan yang istimewa. Saat ini Indonesia telah mempunyai suatu lembaga independen yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi yang selama ini telah menunjukkan kiprahnya dengan menangkap dan menjerat para koruptor kelas kakap. Diantara beberapa wewenang khusus yang dimiliki oleh lembaga ini, salah satunya adalah kewenangan untuk melakukan penyadapan. Penyadapan dilakukan untuk mendapatkan informasi-informasi yang bersifat rahasia guna kepentingan mengungkap perkara-perkara korupsi. Ada 3 (tiga) hal yang sudah dijalankan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam proses penyadapan. Lembaga antikorupsi tersebut telah memiliki dasar hukum untuk menyadap, yakni Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain itu, lembaga ini juga tidak sembarangan dalam menentukan orang yang akan disadap. Hanya pihakpihak yang diduga melakukan perkara korupsi saja yang direkam pembicarannya. Terakhir, ada keperluan proses hukum untuk menyadap itu. Yaitu mengusut tindak pidana korupsi (Rachmadin Ismail, Penyadapan KPK Tak Langgar HAM, Jangan Diganggu!.Error! Hyperlink reference not valid. Juni 2010, pukul 12.00 WIB]. Meskipun bertentangan dengan Hak Asasi Manusia, penyadapan harus tetap dilaksanakan karena korupsi merupakan kejahatan non konvensional, yang dilakukan dengan cara-cara yang rapi, korbannya tidak kasat mata, namun akibat yang ditimbulkan memberikan dampak yang meluas dalam berbagai aspek kehidupan. Untuk itu perlu ditangani dengan cara yang ekstra, melalui penyadapan diharapkan dapat memberikan hasil yang maksimal dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Dengan kata lain penyadapan tetap dilakukan meskipun melanggar Hak Asasi Manusia. Untuk lebih jelasnya akan digambarkan dalam skema berikut ini : Upaya Paksa
Penyadapan
Extra ordinary Law
HAM pelaku
Dalam status : Pelaku korupsi - Penyelidikan : setiap orang (koruptor) - Penyidikan : tersangka - Penuntutan : terdakwa
Dasar Hukum : - Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 - Pasal 32 Undang-undang
HAM pelaku dapat dieliminir/direduksi karena sifat hukum pidana seperti pedang bermata dua, satu sisi tajam dalam penegakan hukum, namun di sisi lain tajam mengiris HAM pelaku à penegakan hukum yang memiliki payung hukum
Skema 1. Konstruksi Hukum Penyadapan ditinjau dari Hak Asasi Manusia
BAB IV. PENUTUP
A. Simpulan 1. Penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki dasar hukum Pasal 12 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 32 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Penyadapan dilakukan mulai dari tingkat penyelidikan sampai penuntutan. Dalam tingkat penyelidikan, penyadapan dilakukan untuk mencari bukti permulaan dan setiap orang yang diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi dapat menjadi subyek penyadapan. Setelah adanya bukti permulaan yang cukup, penyelidikan dapat ditingkatkan ke penyidikan guna mencari dan menemukan alat bukti, hasil penyadapan merupakan alat bukti petunjuk berdasarkan perluasan alat bukti petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 26A Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, orang yang berstatus tersangka dalam tindak pidana korupsi dapat disadap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Sedangkan dalam penuntutan, hasil penyadapan dapat digunakan untuk melengkapi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) untuk kepentingan di persidangan, dan yang dijadikan subyek penyadapan adalah terdakwa dalam tindak pidana korupsi. 2. Penyadapan merupakan bentuk upaya paksa ekstra yang pada dasarnya merupakan pelanggaran terhadap HAM tersangka atau terdakwa. Namun, dalam upaya penegakan hukum yang memilki landasan/dasar hukum yang jelas hal tersebut dapat dilakukan artinya HAM tersangka atau terdakwa dapat dikurangi/dieliminir. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya di lapangan harus tetap memperhatikan hak-hak tersangka atau
terdakwa dengan memperhatikan prosedur-prosedur yang ada, mengenai tata cara penyadapan memang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. Tapi ada patokan dasar yang dapat menjadi acuan yaitu penyadapan dilakukan berdasarkan kebutuhan (need) yaitu untuk mencari dan menemukan bukti dalam perkara tindak pidana korupsi, penyadapan dilakukan dengan menggunakan instrumen (tools) yang memenuhi standar, agar hasil penyadapan yang didapat akurat dan penyadapan dilakukan dengan tujuan (goal) untuk mengungkap tindak pidana korupsi.
B. Saran 1. Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi harus mengacu pada Standart Operating Procedure (SOP) dalam melaksanakan penyadapan sebagai upaya paksa dalam penanganan tindak pidana korupsi, agar para aparat penegak hukum tetap mengedepankan due process of law dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. 2. Apabila pengaturan tentang prosedur dan tata cara mengenai penyadapan belum diatur secara jelas maka, Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu membentuk suatu peraturan tentang tata cara dan prosedur penyadapan atau Undangundang yang ada harus diamandemen demi penguatan kewenangan penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, agar penyadapan tetap memilki payung hukum yang jelas dan memilki legalitas yuridis. DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi. 2005. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia. Malang: Bayumedia. ____. 2008. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung : Alumni. Alasan KPK sadap /Joggotfo.vivanews.com>[20 Maret 2010. pukul 10.00 WIB], Andi Hamzah. 2001. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta ; Sinar Grafika. AnKROta-komisi-iii-pertanvakan-prosedur-penyadapan .www.dpr.go.id/.../ ,<[10 Juni 2010, pukul 13.00 WIB]. Anton M Moeliono. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Dwi Antoro (Kepala Seksi Ekonomi dan Moneter As Intel Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah). 2010. "Legalitas Penyadapan (Wiretapping) Oleh Jaksa Penyidik Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi (2)". Majalah Swara Adhyaksa. Tahun ke I No. 04. Semarang : Yayasan Tridaya Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah. Erdianto Effendi (Dosen Fakultas Hukum Universitas Riau). 2009. "Korupsi, Kejahatan Luar Biasa yang Merobohkan Bangsa". Jurnal Komisi Hukum Nasional. Vol. 9, No. 5. Ermansjah Djaja. 2008. Memberantas Korupsi Bersama KPK Komisi Pemberantasan Korupsi Kajian Yuridis NormatifUUNomor 3ITahun 1999 juncto UUNomor 20 Tahun 2001 Versi UUNomorSO Tahun 2002. Jakarta : Sinar Grafika. Gerald E. Caiden, Toward a General Theory of Official Coruption, Asian Journal of Public Administration, Vol. 10 No. 1, 1988. Haniviva. Teknologi Penyadapan KPK dan cirinya disadap. http://benasher.co.con Juni 2010pukul 11.00 WIB. Ishaq. 2008. Dasar-dasar Emu Hukum. Jakarta : Sinar Grafika. Jeremy Pope. 2007. Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Johnny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif Edisi Revisi. Malang: Bayumedia. John S.T. Quah, Bureaucratic Corruption in The ASEAN Countries : A Comparative Analysis of Their Anti-Corruption Strategies. Journal of Southeast Asean Studies, Vol. 13 No. 1). John Z. Loudou. 1985. Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Kata. Jakarta : Bina Aksara. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Kwik Kian Gie. 2006. Pikiran Yang Terkorupsi. Jakarta : Kompas Media Nusantara. Lilik Mulyadi. 2000. Tindak Pidana Korupsi. Bandung : Citra Aditya Bakti. Majda El-Muhtaj. 2005. Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002. Jakarta : Prenada Media. Masyhur Effendi. 2005. Perkembangan Dimensi Hak Asasi Mamisia (HAM). Bogor Selatan : Ghalia Indonesia. Mentis Harjanto, Mengaputansi Kewenangan KPK.www.suara merdeka,com<(' 1 Juni 2010, pukul 09.00 WIB. Muslimin B.Putra, Menimbang Rencana Regulasi Penyadapan Depkotninfo. www.suaramerdeka.com<[8 Maret 2010, pukul 10.00 WIB).
Panca, Lawful interception penyadapan secara sah menurut /i»£»m. http://panca.wordpress.com2 006/07/17/lawfull-interception>[20 Maret 2010 pukul 21.00] Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Rachmadin Ismail, Penyadapan KPK Tak Langgar HAM, Jangan Diganggu/.www.detiknews.com>[4 Juni 2010, pukul 12.00 WIB]. Rudy Satrio (Pemberantasan Korupsi, KPK Jangan Dibubarkan, harian KOMPAS, Senin, tanggal 20 November 2006 Halaman 3). Undang-undang No. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Yahya Harahap. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta : Sinar Grafika. ____ 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta : Sinar Grafika.